EPISTEMOLOGI TAFSIR SUFI (Studi terhadap Tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri>)

Disertasi

Oleh: Arsyad Abrar 12.3.00.0.05.01.0045

Pembimbing: Prof. Dr. Yunasril Ali, MA. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA.

KONSENTRASI TAFSIR SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur dipersembahkan kepada Allah Swt, Tuhan semesta alam. Berkat rahmat dan ‘inayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini sesuai dengan apa yang diharapkan. Demikian juga, shalawat dan salam penulis sampaikan kepada panutan sekalian alam, Nabi Muhammad Saw. Setelah melalui pengkajian dan pembahasan dengan literatur dan referensi yang ada, pada akhirnya penulisan disertasi ini telah dapat diselesaikan dengan dengan baik. Disertasi yang mengkaji tema penafsiran sufi ini mencoba menguraikan data-data tentang otoritas penafsiran sufi, dan menguatkan bahwa sufi dengan penafsiran Alqurannya memiliki otoritas dalam penafsiran Alquran. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA. Para Asisten Direktur, yaitu: Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA, dan Dr. J.M. Muslimin, MA. Serta seluruh staf pengajar Jakarta, terkhusus Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Suwito, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA penulis ucapkan terima kasih atas kesempatan untuk belajar dan menimba ilmu, memberikan arahan dan motivasi selama masa perkuliahan. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada seluruh karyawan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak membantu sehingga menjadikan proses perkuliahan lancar dan nyaman. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingginya kepada pembimbing, yaitu Prof. Dr. Yunsril Ali, MA dan Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA yang telah banyak membantu penulis memberikan saran dan arahan dalam penulisan dan penyelesaian disertasi ini ditengah aktivitas mereka sebagai dosen tetap Fakultas Syariah dan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah serta dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang ikut memberikan kritik dalam ujian-ujian sebelumnya. Hal yang sama juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, MA dan Prof. Dr. Abdul Hadi WM, MA, sebagai

iii

penguji yang telah memberikan banyak masukan dan kritikan yang bermanfaat untuk penelitian ini menjadi lebih baik. Rasa cinta, kasih sayang dan ucap syukur dihaturkan kepada Papa Drs. H. Bakhtiar Effendi dan Mama Yunidar Jamal, BA, yang dengan penuh kasih sayang terus memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk senantiasa berkreasi menuntut ilmu sejak kecil hingga saat ini, dan senantiasa mendoakan penulis dalam setiap untaian doa mereka untuk keselamatan penulis dunia dan akhirat. Kebahagian yang sempurna adalah menjadi apa yang diharapkan oleh kedua orang tua. Semoga ini menjadi amal saleh. Special Thanks untuk penyeru kebaikanku dan buah hati tercinta, dengan kebaikan dan ketulusan hatinya jualah disertasi ini dapat diselesaikan pada waktu yang tepat. Terimakasih atas segala hal yang telah dicurahkan, berupa perhatian, semangat dan tak kenal lelah untuk selalu mengingatkan dan memberikan saran selama disertasi ini dalam proses penelitian.

iv

ABSTRAK Disertasi ini membuktikan bahwa tafsir Alquran yang diterapkan oleh sebagian kelompok sufi memiliki dasar yang berasal dari Alquran dan Sunnah. Sufi dalam tafsir Alquran juga memiliki epistemologi sendiri yang memberikan sikap legal dalam tafsir. Penelitian ini juga menguatkan bahwa tafsir Alquran yang dilakukan oleh kelompok sufi memiliki relasi yang rasional, yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan Alquran itu sendiri. Penelitian ini sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Machasin (2005), ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah (2007). Menurut mereka konsep sufi pada saat ini merupakan kontemplasi dari syariat dan tasawuf. Sufi tidak lagi identik dengan pemahaman yang tidak benar dan banyak melakukan praktek bid’ah. Penelitian ini mendukung pendapat Alexander D. Knysh (2007), yang menyimpulkan bahwa ‚interpretasi sufi merupakan suatu hasil dari proses pembacaan Alquran yang tidak terputus selama bertahun-tahun dalam rangka meng-ekstrak (istinbath) makna yang tersembunyi. Adapun perbedaan dengan akademik lainnya adalah menolak apa yang diuraikan oleh Michael A.Sells, dalam Early Islamic Mysticism: Sufi, Qur’an, Mi’raj, Poetic and Theological Writings. Ia menyimpulkan bahwa pola tafsir sufi itu cenderung pada sastra. Dengan kata lain, tafsir sufi hanya menghasilkan sebuah karya sastra dalam bentuk puisi, syair dan yang sejenisnya. Penelitian ini juga tidak sependapat dengan hasil temuan Annabel Keeler dalam ‚Sufi Tafsir as a Mirror: al-Qushayri the murshid in his lat}a>’if al-isha>rat‛, yang menyimpulkan bahwa tafsir sufi utamanya adalah merefleksikan kapasitas spiritual, tingkat iluminasi. Secara umum ia menilai bahwa konsep tafsir sufi memiliki orientasi doktrin, wawasan spiritual dan tempramen. Sumber utama dalam penelitian ini adalah kitab H}aqa>’iq al-Tafsi>r, yang ditulis oleh Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sulami> dan kitab Lat}a>’if al-Isha>ra>t, yang merupakan karya al-Qushayri>. Sumber sekunder untuk melengkapi penelitian ini adalah karya tulis yang dinilai memiliki relevansi terhadap penulisan ini. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif-komparatif analitis. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai penguat adalah studi pemikiran tokoh dengan pendekatan sosio historis. Penggunaan pendekatan ini ditujukan untuk menganalisis tiga unsur kajian, yakni: (1) mengkaji teks itu sendiri, (2) akar-akar historis secara kritis serta latarbelakang yang kontroversial, dan (3) kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Dengan pendekatan historis akan tampak pola keragaman (diversity), perubahan (change), dan kesinambungan (continuity). Pendekatan filosofis dalam penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan struktur dasar dari pemikiran al-Sulami> dan al-Qushayri>.

xi

ABSTRACT This dissertation proves that the quranic interpretation which applied by some Sufis has authority in the interpretation. This dissertation also intend to confirms that the quranic interpretation which were performed by Sufi group has a rational relation, and it is not contradict with the Koran itself. The method of interpretation Sufi will produce a good interpretation. This research agrees with opinions of Machasin (2005), and 'Abd al-Rahim Ahmad al-Zaqah (2007). According to them, understanding of Sufi is the contemplation of law and Sufism. Sufi is not identical to bad understanding and invent acting. Furthermore, this research also supports Alexander D. Knysh opinion’s (2007). He concludes that the sufi interpretation is a result of the process of reading the koran for years in order to extract (istinba>t)} hidden meaning. This research reject the idea of Michael A.Sells, in the Early

Islamic Mysticism: Sufi, Qur'an, Mi'raj, poetic and Theological Writings. He concluded that the pattern of the mystical interpretation

tends to literature. In other words, the interpretation of Sufi only produce a literary work in the form of poetry. This study also disagrees with the findings of Annabel Keeler in "Sufi Commentary as a Mirror: al-Qushayri the Murshid in his lat} a> 'if al-isha> rat" ,who concluded that the main Sufi interpretation is reflection of spiritual capacity, level of illumination. In general, she considered that the interpretation of the sufi concept have doctrine orientation, spiritual insight and temperament. The major sources of discussion in this study are the book H}aqa> 'iq al-Tafsir> , which was written by Abu> Abd al-Rah}ma> n al-Sulami> and Lat}a>' if al-Isha> ra> t, al-Qushayri’>s tafsir. The secondary sources are the papers that have relevance with this writing. In this research the writer uses descriptive-analytical method, and socio-historical approach. The use of this approach is intended to analyze three elements of the study, namely: (1) examine the text itself, (2) the historical roots critical and controversial background, and (3) socio-historical conditions surrounding it. With a historical approach would seem pattern diversity (diversity), change (change), and continuity (continuity).

xiii

‫التجريد‬ ‫ىذه الرسالة تثبت أن التفسري الصويف ىو أحد من التفاسري ادلعتربة‪ .‬أيدت ىذه الرسالة على أن‬ ‫التفسري الصويف لو عالقة عقالنية‪ ،‬ال يتعارض مع القرآن نفسو‪ .‬و تفسري الذي يتبع من خالل طريقة‬ ‫الصوفية سوف ينتج تفسري شامال‪.‬‬ ‫نص على ذلك‬

‫‪ ،Machasin‬و ‪ .)2007( ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad‬و من وجهة‬

‫نظرىم‪ ،‬تعاليم الصوفية يف ىذا الوقت ىو يتضمن الشريعة و التصوف ‪ .‬يدعم رأي‬

‫‪Alexander D.‬‬

‫‪ ،)2007 ( Knysh‬وخيلص إىل أن التفسري الصويف ىو نتيجة من عملية قراءة القرآن اليت ال تنقطع‬ ‫لسنوات من أجل انتزاع ادلعىن اخلفي‬ ‫نتائج ىذه الدراسة قد ردت فكرة ‪ ، Michael A. Sells‬يف كتابتو‪ .‬وخلص اىل امنا منط‬ ‫التفسري الصويف مييل إىل األدب‪.‬و التفسري الصويف ينتج سوى العمل األديب يف شكل الشعر وما شابو ذلك‪.‬‬ ‫ختتلف ىذه الدراسة أيضا على نتائج ‪ Annabel keleer‬يف "التعليق الصوفية باعتبارىا مرآة‪ :‬أنو خلص‬ ‫إىل أن التفسري الصويف الرئيسي ىو انعكاس لقدرة روحية‪ ،‬ومستوى اإلضاءة‪ .‬بشكل عام‪ ،‬اعترب أن مفهوم‬ ‫تفسري الصوفية لو عقيدة التوجو والبصرية الروحية‪.‬‬ ‫ادلصدر الرئيسي يف ىذا البحث ىو حقائق التفسري ‪ ،‬الذي كتبو أبو عبد الرمحن السلمي وكتاب‬ ‫لطائف اإلشار ا ت‪ ،‬للقشريي‪.‬و أما ادلصادر الثانوية فهي الورقة اليت قيمت دعم كتابة ىذه السطور‪.‬‬ ‫طريقة يف ىذا البحث الوصفي ادلقارن‪ .‬النهج ادلتبع يف ىذه الدراسة ىو هنج االجتماعي‬ ‫والتارخيي‪ .‬وادلقصود من استخدام ىذا النهج لتحليل العناصر الثالثة من الدراسة‪ ،‬وىي‪ )1 ( :‬دراسة النص‬ ‫نفسو‪ )2( ،‬اجلذور التارخيية اخللفية احلرجة وادلثرية للجدل‪ ،‬و ( ‪ )3‬الظروف االجتماعية والتارخيية احمليطة بو‪.‬‬ ‫مع ادلنهج التارخيي ويبدو تنوع منط‪ ،‬والتغيري‪ ،‬واالستدامة‪.‬‬

‫‪xv‬‬

Pedoman Transliterasi Pedoman alih aksara Arab ke Latin merujuk kepada pedoman transliterasi Library of Congress. Pedoman Transliterasi Arab-Latin: ‫ء‬ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫ث‬ ‫ج‬ ‫ح‬ ‫خ‬ ‫د‬ ‫ذ‬ ‫ر‬ ‫ز‬ ‫س‬ ‫ش‬ ‫ص‬

= = = = = = = = = = = = = =

‫ض‬ ‫ط‬ ‫ظ‬ ‫ع‬ ‫غ‬ ‫ف‬ ‫ق‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫و‬ ‫ي‬

’ B T Th J h} Kh D Dh R Z S Sh s}

= = = = = = = = = = = = = =

d} t} z} ‘ gh f q k l m n h w y

Vokal dan Diftong: Vokal pendek Vokal panjang Diftong

a =َ a> = ‫ْا‬ ay = ‫َيْا‬

xvii

i= ِ i> = ‫يْا‬ aw = ‫َوْا‬

u= ُ u> = ‫وْا‬

DAFTAR ISI EPISTEMOLOGI TAFSIR SUFI (Studi terhadap Tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri>) KATA PENGATAR .......................................................................................................................... iii PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ............................................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................................... vii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................................... ix ABSTRAK......................................................................................................................................... xi PEDOMAN TRANSLITERASI........................................................................................................ xvii DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................................... B. Permasalahan ........................................................................................................................ 1. Identifikasi Masalah ....................................................................................................... 2. Pembatasan Masalah ...................................................................................................... 3. Perumusan Masalah........................................................................................................ C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ...................................................................................... D. Tujuan Penelitian .................................................................................................................. E. Kegunaan Penelitian ............................................................................................................. F. Metodologi Penelitian .......................................................................................................... 1. Sumber Data Penelitian ................................................................................................. 2. Sifat dan Jenis Penelitian ............................................................................................... 3. Metode Penelitian .......................................................................................................... G. Sistematika Penulisan...........................................................................................................

1 1 15 15 16 16 16 19 20 20 20 21 22 22

BAB II DISKURSUS ESOTERIK DALAM TAFSIR ALQURAN .............................................................. A. Historisitas Tafsir Sufi ......................................................................................................... B. Kerangka dan Alur Perdebatan Tafsir Sufi .......................................................................... C. Pemahaman Makna Tafsir Batin Alquran ............................................................................

25 26 46 56

BAB III PENGARUH AJARAN SUFI DALAM KONSTRUK TAFSIR ...................................................... A. Al-Sulami> dan al-Qushayri> dalam Perspektif Akademis...................................................... B. Pendekatan Isha>ri> dalam Tafsir ............................................................................................ C. Takwil dan Tafsir dalam Perspektif Sufi .............................................................................

63 63 71 84

BAB IV DIALEKTIKA DAN PROBLEMATIKA TAFSIR .......................................................................... 93 A. Tendensi Sufi dalam Memahami Alquran ............................................................................ 95 1. Konsep al-Sulami> terhadap Teks Alquran ..................................................................... 104 2. Formulasi Tafsir al-Qushayri> ......................................................................................... 110 B. Struktur Bahasa dan Pemaknaan ‘Ulu>m al-Qur’a>n .............................................................. 114 C. Corak Sufi Sebagai Kritikan Orientasi Fikih ....................................................................... 117 BAB V APLIKASI PEMAHAMAN SUFI DALAM TAFSIR ALQURAN ................................................. 125 A. Operasional Tafsir al-Sulami dan al-Qushayri ..................................................................... 125 B. Komparasi Tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri>. (Arti dan Peran Teks. Kajian terhadap Surah al-Fatihah)............................................................................................................................. 147 xix

C. Isyarat dan Simbol. Telaah terhadap Huruf al-Muqat}t}a‘ah ................................................. D. Tafsir Sufi dalam Konsep Ajaran Tasawuf .......................................................................... 1. Taubat ............................................................................................................................ 2. Sabar ............................................................................................................................... 3. Tawakal .......................................................................................................................... 4. Ridha .............................................................................................................................. E. Validitas Tafsir Sufi ............................................................................................................. 1. Teori Koherensi .............................................................................................................. 2. Teori Korespondensi ...................................................................................................... 3. Teori Pragmatisme .........................................................................................................

174 181 181 184 185 187 189 190 192 193

BAB VI PENUTUP ......................................................................................................................................... 195 A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 195 B. Implikasi Penelitian .............................................................................................................. 196 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 199 INDEKS ............................................................................................................................................. 219 GLOSARI .......................................................................................................................................... 225

xx

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Perdebatan tentang tafsir sufi berawal dari cara pandang dan perbedaan para akademisi dalam memahami problematika tafsir yang dilakukan oleh kaum sufi. Setidaknya perdebatan ini telah melahirkan dua kelompok besar. Satu kelompok menanggapi dengan penolakan, bahwa sejatinya tafsir sufi tersebut bukan sebagai sebuah produk tafsir. Sisanya memberikan tanggapan positif dengan memberikan ruang untuk melakukan pengkajian yang lebih mendalam.1 Tafsir sufi bermula dari berkembangnya paham tasawuf. Keberadaan tafsir sufi ini merupakan antitesis dari tafsir fikih yang memahami Alquran dengan menggunakan pendekatan hukum. Pada tahapan proses, tafsir sufi melampaui tafsir fikih dengan menggunakan pendekatan batin (isha>ri>) yang lebih menimbangkan penggunaan hati. Dengan bahasa yang sederhana tafsir sufi ini merupakan kritikan terhadap tafsir fikih.2 Pembelajaran tasawuf yang memasuki dimensi tafsir Alquran, dengan tegas ingin menggambarkan bahwa Alquran pada dasarnya memiliki sisi batin dalam tafsir, yang mana maknanya tidak lari dari teks ayat.3 Begitu juga dalam keyakinan sufi, Alquran mengandung makna batin berorientasi esoteris-sufi yang terdapat dalam setiap ayat, melampaui bacaan yang tidak terbaca (qira>’ah ma> la yuqra), makna yang tidak tersurat (al-maskut ‘anhu)

1

Di antaranya adalah Alexander D. Knysh. ‚Esoterisme Kalam Tuhan: Sentralitas al-Qur’an dalam Tasawuf‛. Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007. Lihat juga, John Kaltner, Introducing The Qur’an: For Today Readers (Minneapolis: Fortress Press, 2011), 7. 2 Hasan Hanafi. ‚Signifikansi Tafsir Sufi Bagi Spiritualitas Islam Kontemporer‛, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. Januari 2007, 204. 3 Nasaruddin Umar, ‚Apa itu Wahdatul Wujud [Bagian 3]‛, Republika. Jumat, 31 Mei 2013.

1

dalam ayat Alquran yang dikenal dengan ‘Ilm isha>rah.4 Lebih lanjut, menurut para sufi, menafsirkan Alquran berdasarkan analisis kebahasaan saja tidak cukup dan hal itu baru memasuki pada makna teks ayat, yang mana menurut sufi itu merupakan badan akidah, sedangkan tafsir sufi menempati posisi ruhnya.5 Praktik tafsir sufi pada dasarnya berjalan beriringan dengan awal kemunculan tasawuf. Menurut Taufiq Tawil, yang dikutip oleh Cecep Alba, esensi ajaran tasawuf awal muncul pada abad pertama dan kedua Hijriah, yang sangat identik dengan faham asketisme. Pada abad ke 3 Hijriah, tasawuf mulai membicarakan latihan spritual yang dapat membawa manusia semakin dekat kepada Tuhannya. Pada abad ketiga dan keempat ini, tasawuf memiliki fungsi sebagai cara untuk mensucikan jiwa dan menghasilkan makrifat dengan jalan kashf dan isyra>q. Pada zaman ini, lahir karya-karya tasawuf yang menggambarkan orientasi tasawuf. Di antaranya, yaitu: al-Luma>‘, karya al-T}u>si>, Risa>lah alQushayriyyah, karya imam al-Qushayri>, al-Ta‘a>ruf li> Madhhab Ahl at-Tas}awwuf karya al-Kala>badhi ( w. 990 H) dan T}abaqa>t alS}uf> iyyah karya al-Sulami>. (w. 412 H))6 Salah satu kekeliruan di antara kalangan sarjana Alquran dalam memberikan penilaian terhadap tafsir sufi adalah tidak adanya sikap terbuka untuk memahami kajian tafsir sufi lebih mendalam. Pada dasarnya, bila dikaji secara mendetail, tafsir sufi memiliki sumber penguat yang berasal dari Alquran. Meskipun terkadang tafsir sufi dalam kasus tertentu tidak sesuai dengan makna lahiriah, akan tetapi hal tersebut bukan merupakan

4

Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutika Sufi Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Jila>ni (Ciputat: Referensi, 2012), 1. Lihat juga, al-Sarra>j al-Tu>si, al-Luma’ fi Ta>rikh al-Tasawuf al-Isla>mi> (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyah, 2001), 100. 5 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS, 2012), 22. 6 Cecep Alba, ‚Pola Tafsir Al-Qur’an Ibnu ‘Arabi: Studi Analisis Metodologis terhadap Tafsir yang bercorak Tasawuf , Tafsir al-Qur’an al-Karim Ibnu ‘Arabi‛. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, 3-4.

2

kekeliruan, selama makna lahir tersebut mendapatkan pembenaran menurut kaidah bahasa Arab.7 Hal senada diuraikan oleh al-Jili (w. 805 H/ 1405 M) sebagaimana yang dikutip oleh Yunasril Ali, bahwa Alquran memiliki tiga tingkatan pengetahuan dan ajaran di dalamnya,8 yaitu: a. Pengetahuan dan ajaran yang harus disampaikan kepada umat secara umum. Pengetahuan dan ajaran yang demikian disebut syariat. Yaitu pengetahuan dan ajaran yang bersifat formal b. Pengetahuan dan ajaran yang hanya disampaikan kepada umat secara selektif kepada orang-orang tertentu saja. Hal ini yang dikenal dengan ilmu hakikat, yaitu ajaran batiniah yang menjadi inti dari syariat c. Pengetahuan dan ajaran yang harus dirahasiakan, yaitu yang berkaitan dengan rahasia-rahasia ketuhanan. Pengetahuan ketiga ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang melihat sesuatu dengan al-kashf al-ila>hi>. Jika kita melihat uraian di atas tentang tiga bagian pokok tersebut, maka tafsr sufi ini berada pada tingkatan yang kedua. Karena menggunakan aspek batin yang menjadi isyarat untuk mendapatkan pengetahuan. Penjelasan di atas memiliki kesamaan dengan apa yang dikutip oleh Ami>n al-Khu>li> (w. 1385 H), yang dijadikan referensi oleh Sunarwato, bahwa khazanah intelektual Islam terbagi ke dalam tiga hal. Yaitu: a. Ilmu yang matang dan final, yaitu ilmu nahwu dan ilmu ushul. b. Ilmu yang matang tapi belum final, yaitu ilmu fikih dan ilmu hadis.

7

Oman Fathurrahman, Ith}a>f al-Dhaki>. Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara ( Jakarta : Mizan, 2012), 77. 8 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Perkembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Ji>li> (Jakarta: Paramadina, 1997 ), 169.

3

c. Ilmu yang belum matang dan belum final, yaitu ilmu bayan dan ilmu tafsir.9 Tafsir isha>ri> – dalam konteks memahami makna Alquran memiliki dasar yang kuat dalam sejarah tafsir. Ini bukan merupakan hal yang baru dalam Alquran. Alquran sendiri juga mendorong kita melakukan tafsir dan memahaminya. Lebih lanjut Alquran juga memberikan informasi pada kita bahwa Alquran memiliki dimensi zahir dan dimensi batin.10 Dalam satu riwayat diceritakan bagaimana sahabat Nabi Saw berbeda pendapat dalam memahami atau menafsirkan satu ayat. Ayat tersebut adalah QS. al-Nas}r [110]: 1.11 Di antara sahabat ada yang memahami ayat tersebut dengan mengikuti apa yang ada pada zahir ayat. Dengan pemahaman bahwa ayat tersebut merupakan perintah Allah untuk senantiasa bertahmid dan memohon ampunan. Adapun sahabat nabi yang lain memahami bahwa ayat tersebut merupakan isyarat bahwa ajal nabi Saw sudah sangat dekat. Ini menunjukan bahwa tidak semua sahabat memahami apa yang ada di belakang teks ayat. Hanya sebagian orang tertentu saja yang bisa memahami makna batin Alquran.12 Di waktu yang berbeda, respon yang dimunculkan ‘Umar Ibn al-Khat}t}a>b pun demikian, ketika mendengar telah turunnya

9

Sunarwoto, ‚Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-studi Al-Qur’an dalam Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya, ed. Syahiron Syamsuddin (Yogyakarta: Islamika, 2003 ), 103. 10 Muh}ammad H}usein ad-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 ), 261. Menurut ad-Dhahabi salah satu bukti adanya makna batin (esoteris) bagi Alquran adalah ketidakpahaman orang-orang kafir dalam memahami apa yang tersirat dalam Alquran. Mereka hanya sekedar melihat apa yang ada dalam teks ayat, tapi tidak memahami secara baik maksud dan tujuan Allah dari ayat tersebut. Maksud dan tujuan inilah yang menurut adDhahabi adalah makna batin Alquran. Muhammad Husein ad-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 ), 262. 11

‫ِإ َذ ا َذ اَذا َذ ْص ُر ا الَّل ِإا َذ اْص َذ ْص ُرا‬

12

Muh}ammad H}usein ad-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 ), 263.

4

QS. al-Maidah (5): 3,13 ia pun menangis, karena ia memahami tidak ada yang datang setelah mencapai kesempurnaan kecuali kekurangan. Kondisi ‘Umar ini berbeda dengan sebagian sahabat lainnya yang berbahagia ketika mendengar ayat ini. 14 Pembahasan tentang tafsir sufi Alquran menjelaskan bahwa telah terjadinya pergeseran epistem dalam tafsir Alquran. Perubahan ini bisa saja dipelopori atau dipengaruhi oleh kondisi lokal dan bahkan politik dari setiap mufasir. Dengan kata lain kita mesti menyikapi produk tafsir sebagai organisme yang hidup dan berkembang.15 Ada banyak tipe dalam hal ini. Sebagian sarjana menyikapi Alquran sebagai sebuah kitab kontemporer yang mesti diselaraskan dengan kondisi zaman melalui pendekatan linguistik, semiotika, sejarah dan lain sebaginya. Sehingga melahirkan sebuah kesimpulan bahwa Alquran pada dasarnya lahir sebagai jawaban terhadap realita sosial di mana Alquran diturunkan.16 Sebagian lagi menyikapi Alquran sebagai produk yang hadir di tengah masyarakat yang sedang dalam masa peralihan dan hilangnya wujud kepribadian suatu masyarakat, komunitas dan suatu bangsa secara umum. Di tengah kondisi seperti itu, Alquran telah menjadi manifestasi dari perwujudan kehendak Allah di bumi, menampilkan dirinya dalam bentuk lisan manusia, agar manusia paham terhadap apa yang dikehendaki oleh Allah. Ini menunjukan bahwa manusia memiliki peran sebagai yang memberikan pemahaman terhadap Alquran tersebut.17 Bila demikian, hal ini akan mengarah pada suatu hasil akhir bahwa Alquran akan sangat identik dengan warna dan kebutuhan

‫ادين ُركما أَذْصْتَذمتاعلَذي ُركما ِإعم ِإِتا ر ِإضيتااَذ ُركما ْصِإْلس َذَلم ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ادينً افَذ َذم ِإنا‬ ‫اْصيَذ ْصوَذماأ ْص‬ ‫َذك َذم ْصل ُر‬ ‫تااَذ ُرك ْصم َذ ْص َذ ْص ُر َذ ْص ْص ْص َذ َذ َذ ُر ُر ْص َذ‬ ‫ض ُرَّل اِإ ا َذْصم َذ ٍةا َذْصي ا َذ ِإ ٍة ِإِإ ِإ‬ ‫ور َذارِإ ٌرا‬ ‫يم‬ ‫ْص‬ ‫اْل ْصٍة افَذ َّل ا الَّل َذا َذ ُر ٌر‬ ‫َذ ُر َذ‬ ‫َذ‬

13

14

Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Tafsi>r al-Qa>simi> Mah}a>sin alTa’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1997), 41. 15

M. Jamil, ‚Pergeseran Epistemologi Dalam Tradisi Tafsir AlQur’an‛, Jurnal Ilmiah Abadi Ilmu, Vol. 4, No.1 Juni 2011, 469. 16 M. Hilaly Basya, ‚Mendialogkan Teks Agama dengan Makna Zaman: Menuju Transformasi Sosial‛, Al-Huda, Vol. III, No. 11. 2005, 11. 17 Nasaruddin Umar, ‚Menimbang Hermeneutika‛ . Jurnal Studi AlQur’an. Vol. 1, No. 1, Januari 2006, 41.

5

lokalitas dan kasus tertentu. Tidak hanya itu, perbedaan kondisi dan waktu yang sangat jauh, memaksakan tafsir Alquran melahirkan pergerakan yang sangat signifikan. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Faktor pertama, bersifat eksternal, yang terdiri dari pengaruh politik, lingkungan, budaya dan sosial. Kedua, yaitu faktor internal, yaitu faktor paradigma sang pemikir dan faktor teks itu sendiri.18 Sehingga hal ini melahirkan pembacaan dan peradaban yang baru untuk tafsir Alquran itu sendiri. Hal yang sama juga telah digagas dan dipertegas oleh Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, yang mengkaji keterkaitan wahyu dengan budaya masyarakat Arab. Kajian tersebut menghasilkan sebuah pandangan bahwa Alquran merupakan tindakan Tuhan yang selalu berkaitan dengan realitas. Oleh karena itu, Alquran telah berubah menjadi sebuah teks profan sebagaimana teks-teks lainnya. Sehingga bisa dibaca dan dipahami dengan menggunakan pendekatan apa pun.19 Salah satu isu dalam tema tafsir Alquran adalah pembicaraan tentang tesktual dan kontekstual tafsir Alquran. Kedua pendekatan dalam memahami Alquran tersebut menurut Yusuf Rahman, menjadi pembeda antara kelompok muslim salafi dengan muslim progresif. Muslim salafi condong menggunakan pendekatan tekstualitas dalam memahami Alquran. Sebaliknya kelompok muslim progresif lebih memilih pendekatan kontekstual dalam memahami Alquran.20 Kontekstual lebih rincinya mengandung dua makna. Pertama, bagian dari teks atau pernyataan yang menyelimuti kata, atau bagian tertentu yang menentukan maknanya. Kedua, adalah ‚di mana suatu peristiwa itu terjadi‛. Hal tersebut menunjukan, bahwa kontekstual tersebut memiliki relasi dengan konteks. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemahaman kontekstual 18

M.Sadik, ‚Alquran Dalam Perdebatan Pemahaman Tekstual dan Kontelstual‛, Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.1 April 2009, 53. 19 Aksin Wijaya, ‚Relasi Alquran dan Budaya Lokal‛, Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 4, No. 2 Juli-Desember 2005, 236. 20 Yusuf Rahman, ‚Tafsir Tekstual dan Kontekstual terhadap alQur’an dan Hadis (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif)‛, Journal of Qur’an and hadith Studies, Vol. 1, No. 2, 2012, 297.

6

tersebut adalah pemahaman teks yang dikuatkan dengan penilaian terhadap situasi dan kondisi ketika teks tersebut muncul, disamping menggunakan pendekatan kebahasaan.21 Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa pembacaan atau tafsir Alquran secara kontekstual adalah suatu proses tafsir Alquran yang tidak terkurung dalam pembahasan bahasa semata. Melainkan dengan menguatkan tafsir tersebut dengan kondisi dan berbagai situasi yang dinilai sejalan dan memiliki relasi yang terjadi. Sehingga akan menjadikan sebuah teks (nas ayat) menjadi lebih hidup dan seoalah-olah berada dalam kehidupan masyarakat. Alquran adalah sebuah pedoman dan petunjuk yang ada dalam bentuk bacaan.22 Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna yang mendekati kebenaran, diharuskan memiliki beberapa komponen yang otoritatif untuk mendapatkan pesan Alquran yang menjadi inspirasi majunya suatu peradaban. Alquran berbeda dengan kitab-kitab samawi sebelumnya. Alquran memiliki ruang bebas bicara untuk mendapatkan pengertian yang mengarah pada kebenaran. Ruang tersebut adalah tafsir.23 Meskipun demikian, bukan berarti tafsir tersebut, akan bisa dilakukan sesuka hati dan keinginan. Sarjana muslim klasik telah memagari kode etik tertentu dalam rangka memberikan bingkai dan arahan tafsir Alquran. Sehingga hal ini menjadi suatu seni membaca Alquran 21

M.Sadik, ‚Alquran Dalam Perdebatan Pemahaman Tekstual dan Kontelstual‛, Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.1 April 2009, 53. 22 Nur al-Di>n ‘Itr, ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Damaskus: Mat}ba‘ al-S}aba>h, 1996), 10. 23 Tafsir ini berasal dari bahasa Arab, dengan asal kata fa-sa-ra. Secara bahasa memiliki pengertian al-iba>nah, al-kashf dan al-iz}ha>r. Ketiga kata tersebut bila kita beri pemahaman dalam bahasa Indonesia menjadi penjelasan, penyingkapan dan pemunculan. Dengan demikian tafsir dapat dipahami sebagai suatu upaya penyingkapan suatu maksud dari teks atau lafaz yang sulit dipahami. Adapun tafsir secara istilah adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji cara berdialog dengan teks Alquran, indikator-indikatornya, hukum-hukum dan kandungan yang ada di dalamnya. Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>hi>th fi ‘Ulu>m alQur’a>n (Riya>d}: Dar al-Rashi>d, tth), 333. Defenisi yang lain menyebutkan bahwa tafsir Alquran adalah suatu disiplin ilmu yang membahas segala hal yang berkaitan dengan Alquran yang ditinjau dari sisi dalalahnya, untuk disesuaikan dengan kehendak Allah, sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri. Kha>lid ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>‘id at-Tafsi>r Jam‘an wa Dira>sah (Kairo: Dar Ibn ‘Affa>n, 2001), 29.

7

bagi para sarjana muslim dalam memunculkan pesan dan makna kehendak Tuhan dalam Alquran.24 Hal tersebut kiranya yang menjadi kendala terhadap laju diterimanya tafsir sufi. Yang cenderung keluar dari main stream tafsir.25 Satu hal yang sering diabaikan adalah bahwa tafsir sufi ini merupakan tafsir yang juga berlandaskan pada Alquran dan Sunnah. Menurut catatan Seyyed Hosein Nasr, Alquran selain sebagai sumber hukum, ia juga merupakan jalan atau t}ari>qah. Nabi Saw merupakan figur dan sumber penting dalam kehidupan para sufi. Adapun sosok nabi merupakan jiwa yang disinari oleh Allah sebagaimana diwahyukan di dalam Alquran, sehingga tepat sekali dikatakan bahwa wahyu Alquran adalah sumber tasawuf.26 Alquran merupakan sumber inspirasi dalam setiap tindakan muslim dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagai teks suci kiranya adalah hal yang wajar jika ketergantungan terhadap Alquran sangat besar dalam mempengaruhi kehidupan dan perkembangan muslim saat ini. Banyak kalangan yang tertarik untuk mempelajari Alquran, tidak hanya muslim yang memberikan ketertarikan untuk mendalami Alquran. Kalangan luar juga memiliki semangat yang sama dalam memberikan perhatian serius terhadap segala polemik yang muncul atau yang terinspirasi dalam permasalahan Alquran.27 24

Secara umum istilah tafsir lebih dominan dan popular sebagai suatu proses untuk memahami Alquran. Yang berisikan tentang cara mengurai bahasa, konteks dan pesan-pesan yang terkandung dalam teks atau nash kitab suci. Syahiron Syamsuddin [Ed], Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), xxi. 25 Menurut Hasan Hanafi, pengaruh kekuasan memberikan kontribusi dalam perkembangan tafsir sufi ini. Setiap penguasa akan mempertahankan pemikiran yang mampu menopang masa jayanya. Bilamana hal tersebut telah menjadi ancaman, maka itu akan segera disingkirkan. Melihat uraian tersebut, maka adanya suatu indikasi bahwa potret tafsir sufi telah mengalami tekanan dari penguasa. Hal ini lebih disebabkan karena, sifat dan out put tafsir sufi, cenderung mengutamakan kehidupan akhirat dari pada dunia. Hasan, Hanafi. ‚Signifikansi Tafsir Sufi Bagi Spiritualitas Islam Kontemporer‛, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. Januari 2007. 204. 26 Seyyed Hossein Nasr, ‚Al-Qur’an Sebagai Fondasi Spiritualitas Islam‛ dalam Islamic Spirituality Foundations. Seyyed Hossein Nasr (Ed), ter. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2002), 10. 27 Sebut saja seperti Ignaz Goldziher dalam Die Richtungen der Islamidchen Koranauslegung, , Richard C. Martin dalam Understanding the

8

Meminjam istilah Goldziher, bahwa tafsir pada tahap awal telah melahirkan tafsir idiologis atau aliran. Hal ini logis, karen tidak semua kalangan mendapatkan legitimasi dalam menafsirkan Alquran sehingga, mereka yang pakar dan memiliki wewenang menjadikan faksi-faksi dalam tafsir Alquran.28 Tafsir–tafsir esoteris terhadap Alquran pada dasarnya disatukan melalui prinsip simbolisme, sebagaimana dipahami dalam pengertian tradisionalnya. Bahkan, simbolisme berfungsi sebagai kata kuci untuk semua itu sehingga tafsir-tafsir itu bisa juga disebut sebagai ‚tafsir-tafsir simbolis‛. Proses tafsir simbolis ini selanjutnya dikenal sebagai takwil, yang secara teknis bermakna hermeneutika simbolis dan spiritual.29 Makna batin menjadi kunci dalam tafsir esoteris ini. Makna batin Alquran adalah makna yang terkandung di dalam teks ayat, yang menjadi apa yang dimaksudkan oleh Allah. Adapun zahir Alquran adalah apa yang diturunkan melalui lisan Arab, yang bisa langusng dipahami oleh orang Arab yang tersusun dengan kata-kata.30 Tafsir sufi memiliki dua kategori. Pertama ditinjau dengan melalui pemahaman teologis, yakni definisi yang diuraikan oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang masih selektif dan memberikan batasan yang masih dipengaruhi oleh tradisi Sunni. Kedua, pemahaman secara tematik taksonomis, yaitu dengan melakukan peninjauan subtansi pemikiran dalam lintasan sejarah yang berkaitan dengan perkembangan tafsir sufi.31 Dalam proses tafsir ditemukan adanya tiga faktor yang tidak bisa dipisahkan dan saling memiliki keterkaitan. Hal tersebut Quran in Text dan Context , Richard Bell dalam The Alquran Translated, with a Critical Rearrangement of The Surah, John Burton dalam The Collection of The Al-Quran. Serta masih banyak para orientalis yang kajiannya terhadap Alquran cukup menarik untuk ditelaah ulang. 28 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern , ter. M. Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), 3. 29 Abdurrhman Habil, ‚Tafsir-Tafsir Tradisional Al-Qur’an‛ dalam Islamic Spirituality Foundations. Seyyes Hossein Nasr (Ed), ter. Rahnmani Astuti (Bandung: Mizan, 2002), 33. 30 Muh}ammad H}useyn ad-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 ), 265. 31 Aik Iksan Anshori, Tafsir Ishari. Pendekatan Hermeneutika Sufi Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, 31.

9

adalah, dunia pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca. Selain ketiga faktor di atas, keberadaan konteks juga mempunyai peran yang penting dalam memahami peristiwa turunnya wahyu. Sebab ayat-ayat Alquran tidak akan dapat dimengerti dengan baik kecuali dengan memperhatikan realitas yang melatar belakanginya. Indikasi ini muncul dengan konsep asba>b al-nuzu>l dan na>sikh wa al mansu>kh yang telah menjadi pembicaraan khusus dalam studi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. 32 Alquran secara utuh telah mengandung tiga hal penting. Pertama adalah terkait dengan teks Alquran itu sendiri. Kedua, berkaitan dengan pembaca sekaligus penafsir. Ketiga, adalah audien yang menjadi objek ketika Alquran telah melewati proses tafsir.33 Ketiga kandungan yang ada dalam pembelajaran atau tafsir Alquran tersebut, pada akhirnya akan memiliki pengaruh dan tujuan yang berbeda. Hal tersebut adalah suatu fenomena yang wajar, mengingat sifat dasar dari Alquran tersebut adalah melahirkan relativisme dengan batasan-batasan yang disepakati. Dalam pengertian luas, sufisme dapat dideskripsikan sebagai interiorisasi dan intensifikasi dari keyakinan dan praktik Islam. Berbagai kecaman ditujukan pada sufisme. Tidak sedikit di antara yang menjadi penyebab ini berupa pengaruh sosial dan politik para guru sufi, yang sering mengancam kekuasaan serta hak-hak istimewa para ahli hukum dan bahkan penguasa.34 Tidak dapat diingkari bahwa sufi sebagai gerakan dan ajaran memiliki pengaruh yang kuat. Ini dibuktikan dengan tawaran dari kalangan sufi terkait dengan perspektif teologis jauh lebih atraktif bagi bagian terbesar mayoritas muslim dibandingkan kalam, yang merupakan kajian akademis dengan dampak praktis yang kecil 32

Akhmad Muzakki, ‚Kontribusi Semiotika Dalam Memahami Bahasa Alquran‛, Islamica, Vol. 4 No.1, September 2009, 35. 33 Hal yang sama juga diutarakan oleh Ibn Taymiyah, bahwa ada tiga hal yang mesti diperhatikan ketika ingin menafsirkan Alquran. Pertama adalah siapa yang mengatakan, kedua kepada siapa dituturkan, ketiga ditujukan kepada siapa. Muzairi, ‚Hermeneutik Dalam Pemikiran Islam‛ dalam Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Syahiron Syamsuddin (Ed), (Yogyakarta: Islamika, 2003), 62. 34 Hasan Hanafi. ‚Signifikansi Tafsir Sufi Bagi Spiritualitas Islam Kontemporer‛, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. Januari 2007.

10

terhadap kebanyakan orang.35 Apabila kalam dan fikih sangat didominasi oleh peran akal untuk menetapkan kategori-kategori dan distinksi-distinksi, otoritas sufi bergantung pada fakultas jiwa yang lain untuk menjembatani kesenjangan dan membuat jalinan.36 Tafsir sufi atau sufi masih menyisakan pro dan kontra di kalangan para pakar. Sebagian ada yang menerima, sisanya menolak dengan alasan yang diskriminatif. Tafsir Alquran selalu identik dengan tafsir eksoterik. Suatu tafsir yang hanya mengkaji aspek luar tafsir. Hal ini yang telah menjadi tradisi kuat dalam tafsir Alquran. Bahkan hegemoni tafsir eksoterik ini, kerap menjadi penghambat bagi kalangan atau pemikiran lain yang memiliki cara pandang berbeda. Yaitu menelaah pesan-pesan Alquran melalui sisi esoterik, makna batin dari Alquran. Penolakan terhadap sufi ditengarai karena adanya penyimpangan dalam praktik keagamaan yang menjadi ritualitas sufi. Sufi terkesan sebagai kelompok yang mengusung pemahaman tradisional dan menjauhi dunia. Said Nursi memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini. Ia menawarkan satu alternatif yang menurutnya didasarkan pada Alquran dalam meniti jalan sufisme, tanpa menafikan adanya cara-cara yang lain. Hal ini ia namakan dengan h}aqi>qa. Menurutnya sufisme harus dipraktikkan dalam bingkai dan tanpa meninggalkan syariah, karena syariah bukanlah sisi luar dari Islam , tapi merupakan satu sistem utuh yang mencakup inner dan sekaligus outer aspect dari Islam.37 Tafsir sufi adalah tafsir yang memiliki perbedaan mencolok dengan tafsir lainnya. Hal ini disebabkan oleh perangkat dalam tafsir sufi ini mengacu pada ilmu tasawuf yang para mufasirnya merupakan seorang sa>lik dalam kesufian.38 Nasaruddin Umar menempatkan tafsir sufi ini sebagai takwil. Karena takwil pada 35

Hasan Hanafi. ‚Signifikansi Tafsir Sufi Bagi Spiritualitas Islam Kontemporer‛, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. Januari 2007. 36 Muh}ammad Ibn T}ayyi>b, Isla>m al-Mut}asawwifah (Damaskus: Dar alTali’ah, 2007), 39. 37 Machasin, ‚Bediuzzaman Said Nursi and the Sufi Tradition‛ AlJami’ah Vol. 43, No.1, 2005, 2. 38 Syarif, ‚Persepektif Interaksi Antar Penganut Agama: Analisis Komparatif Tafsir Fikih dan Tafsir Sufi‛ (Disertasi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), 59-60.

11

dasarnya merupakan bagian dari tafsir. Dinamakan takwil karena proses pemahamannya lebih mendalam daripada sekedar menafsirkan Alquran.39 Adapun nama lain dari tafsir sufi ini adalah tafsir isha>ri>. Satu hal yang menjadi keistimewaan dalam tafsir sufi adalah, bahwa para sufi (penafsir) menafsirkan Alquran dengan menggunakan mata batin (bas}i>rah) dan insting, berbeda dengan kebanyakan mufasir yang memfokuskan memahami Alquran melalui indera dan akal.40 Muh}ammad H}usayn ad-Dhahabi> menggolongkan bahwa tafsir isha>ri> ini merupakan bagian dari tafsir sufi. Ia membagi tafsir sufi ke dalam dua bagian besar. Pertama adalah tafsi>r s}u>fi al-naz}ari> dan kedua adalah tafsi>r s}u>fi al-isha>ri>.41 Seringkali kita terjebak dalam memahami tafsir sufi ini dengan menyamakannya kepada satu bentuk tafsir yang mirip dengan tafsir isha>ri>, yaitu tafsir batiniah. Perbedaan yang mencolok antara kedua tafsir ini, pertama, tafsir batiniah lahir dari agama majusi. Kedua, tafsir batiniah lebih meyakini makna batin yang ada dalam Alquran. Dalam perkembangannya, pemahaman kelompok batiniah hanya menafsirkan Alquran dengan mendalami makna batin saja tanpa didasarkan dengan pengetahuan ijtihad, kecuali hanya dengan keinginan mereka semata.42 Secara definitif tafsir isha>ri> ini dapat dikategorikan ke dalam bentuk pentakwilan ayat-ayat Alquran yang berbeda dengan apa yang tampak pada zahirnya.43 Hal tersebut dilakukan dengan adanya tuntunan isyarat-isyarat yang didapatkan melalui proses 39

Nasaruddin Umar. ‚Kontruksi Takwil Dalam Tafsir Sufi dan Syiah. Sebuah Studi Perbandingan‛. Jurnal Studi Al-Qur’an. Vol. 2, No.1, 2007, 39. 40 Fais}al Bari>r ‘Aun Al-Tas}awwuf al-Isla>mi> at-T}ari>q wa Rija>l (Maktabah Sa‘id Ra‘fat Jami‘ah ‘Ayn al-Shams, 1983), 17. 41 Muh}ammad H}usayn ad-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 ), 251. 42 T. Mairizal, ‚Tafsir Dengan Pendekatan Isyari: Kajian Terhadap Kitab Haqaiq at-Tafsir Karya Abu ‘Abdirrahman As-Sulami‛ (Tesis di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), 47. 43 Mukhtar al-Fajja>ri, Hafariya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi> Dirasah al-Maja>l al-Ma’rifi al-Us}u>li> al-Awwa>l li> Tafsi>r al-Su>fi> (Yordania: ‘Alam al-Kutb alHadith, 2008), 443.

12

suluk. Hasil dari tafsir ini bisa saja dikompromikan dengan makna teks ayat.44 Ini menjadi sebuah rumusan dari tafsir isha>ri> atau tafsir sufi ini, yaitu sebuah tafsir dengan tidak meninggalkan salah satu dari dua tafsir yang ada. Tidak meinggalkan makna batin, tidak pula mengabaikan teks ayat. Yang terjadi pada dasarnya adalah ‚crossing over‛ yakni menyebrang dari yang satu kepada yang lain, dari makna lahir ke rahasia.45 Penelitian ini secara serius ditulis untuk menanggapi pendapat yang mengatakan, bahwa tafsir sufi adalah tafsir Alquran yang irasional dan tidak layak dijadikan rujukan dalam menafsirkan Alquran.46 Dalam menjawab kritikan tersebut, diperlukan media untuk dijadikan sebagai bahan kajian. Di antara karya tafsir sufi yang lahir pada generasi awal-awal sufi, setelah masa al-Tustari (w. 283 H) yang diklaim sebagai karya pertama terkait tafsir sufi adalah H{aqa>’iq al-Tafsi>r, ditulis oleh Abu> ‘Abd al-Rah{ma>n al-Sulami>.(w. 412 H)47 dan Lat}a>’if al-Isha>ra>t, yang ditulis oleh al-Qushayri> (w. 465 H ). Berdasarkan penjelasan sebelumnya, penelitian ini menitik beratkan fokus kajian untuk mendalami epistemologi tafsir sufi. Adapun yang dimaksud dengan ‚Epistemologi Tafsir Sufi‛ adalah penelitian yang menjelaskan tentang hakikat tafsir sufi, serta bagaimana validitas dan metode tafsir Alquran yang diterapkan dalam tafsir sufi. Khususnya dalam karya tafsir yang ditulis oleh al-Sulami> dan al-Qushayri>. Secara lebih sistematis, keinginan penulis untuk meneliti epistemologi tafsir sufi studi terhadap H}aqa>‘iq al-Tafsi>r karya alSulami> dan Lat}a>’if al-Isha>ra>t, karya al-Qushayri> dilatari oleh beberapa alasan. Alasan utama adalah dalam pengamatan penulis, penjelasan atau tafsir Alquran yang dilakukan oleh para sufi, 44

Muh}ammad Husayn ad-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 ), 261. 45 Mulyadhi Kartanegara, ‚Tafsir Sufi Tentang Cahaya‛ Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.1, No. 1 Januari 2006, 31. 46 Annabel Keeler. ‚Sufi Tafsir as a Mirror: al-Qushayri the Murshid in his Lat}a>’if al-Isha>rat‛, Journal Of Qur’anic Studies Iqra>’ Bismi Rabbika. Vol. 8, Issue 1, 2006, 5. 47 Alexander D. Knysh, ‚Esoterisme Kalam Tuhan: Sentralitas alQur’an dalam Tasawuf‛. Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007, 76.

13

merupakan tafsir sufi yang sama sekali tidak menanggalkan sisi rasional. Pola tafsir sufi yang diterapkan oleh kedua tokoh di atas mengarah pada kombinasi antara tafsir yang tidak mengabaikan syariah dan tafsir yang dihasilkan melalui riyadah (pelatihan spiritual) sufi. Dengan kata lain, tafsir sufi ini sama sekali tidak mengabaikan teks ayat dan tidak pula mengabaikan makna yang terkandung di dalam ayat. Sebagai contoh apa yang dijelaskan oleh al-Sulami dalam menafsirkan makna ibadah, (dalam surah alfatihah) baginya ibadah kepada Allah haruslah disertai dengan niat yang tulus, yaitu memutuskan segala bentuk keinginan dan tujuan dalam beribadah.48 al-Qushayri> pun memiliki pandangan yang sama, bahwa sejatinya ibadah itu merupakan sikap patuh dan tunduk dengan mengerahkan segala kemampuan. Karena dengan ibadah itu, maka akan menjadi mulia seorang hamba.49 Penelitian ini mengkaji tentang pola-pola dan corak tafsir Alquran yang diterapkan oleh sebagian kelompok sufi, dan membuktikan bahwa hal tersebut memiliki otoritas dalam tafsir. Selain itu juga membuktikan bahwa tafsir Alquran yang dilakukan oleh kelompok sufi memiliki relasi yang rasional, yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan Alquran itu sendiri. Dengan kata lain, penelitian ini mengungkap adanya pergeseran epistemologi, dan sisi lain dalam wilayah tafsir yang selama ini dianggap sebagai sebuah upaya dan kreativitas suci dalam memahami Alquran. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait hal di atas, di sini penulis melakukan fokus pembahasan dengan judul ‚Epistemologi Tafsir Sufi. (Studi terhadap Tafsir alSulami> dan al-Qushayri>)‛. Objek kajian dalam penelitian ini adalah kitab H}aqa>’iq al-Tafsi>r, yang ditulis oleh Abu> Abd alRah}ma>n al-Sulami> (w. 412 H) dan kitab Lat}a>’if al-Isha>ra>t, yang merupakan karya al-Qushayri>.(w. 465 H) Pemilihan kedua tokoh tersebut sebagai bahan kajian dalam penelitian ini memiliki beberapa alasan. Hal yang pertama adalah kedua tokoh ini merupakan tokoh sufi yang tergolong kedalam generasi awal, sehingga adalah hal yang tepat untuk 48

al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001),

Jilid 1, 36.

49

al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 12.

14

mengkaji pemikiran sufi dengan merujuk kepada generasi pertama paham sufi itu lahir. Alasan kedua, baik al-Sulami> dan al-Qushayri> memiliki karya tafsir, namun meski keduanya hidup pada saat yang hampir bersamaan, corak dan model tafsir yang ditampilkan berbeda. Adapun faktor terakhir yang mendorong kajian ini penting untuk dilakukan adalah pada zaman di mana al-Qusahyri> hidup merupakan zaman kebangkitan kedua kekuatan keagamaan, yaitu keagamaan yang diusung oleh para sufi, dan para ahli fikih. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan banyak perdebatan terkait siapa yang lebih berhak untuk memegang peran dalam hal keagamaan. B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dalam banyak literatur, kajian ini –tafsir sufi- yang fokus untuk membaca asal usul dan arah tafsir Alquran al-Sulami> dan alQushayri>, memiliki beberapa persoalan yang banyak yang layak untuk dipertanyakan. Beberapa hal tersebut antara lain; a. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan melahirkan wacana sufi dalam tafsir Alquran b. Apakah ada pengaruh mazhab tertentu dalam tafsir Alquran yang dihasilkan pendekatan sufi c. Apakah tafsir Alquran yang dihasilkan melalui perenungan sufi saat ini dipengaruhi oleh pembacaan kontekstual Alquran d. Apakah Tafsir Alquran yang dihasilkan melalui perenungan sufi saat ini didominasi oleh pemahaman tekstual e. Sejauh mana relasi pemikiran para sufi ikut memberikan pengaruh terhadap perkembangan tafsir sufi yang terjadi dalam kelompok keagamaan Islam

15

2. Pembatasan Masalah Untuk menjadikan pembahasan dalam penelitian ini lebih baik dan fokus dengan tema dan sumber permasalahan. Maka dalam hal ini penulis memberikan batasan masalah. Adapun yang menjadi batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menguraikan faktor apa saja yang menjadi landasan utama dalam tafsir sufi b. Menjelaskan arah dan wilayah yang menjadi sasaran dalam tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri> c. Memberikan uraian terhadap kasus-kasus tafsir Alquran yang dihasilkan oleh narasi dan nalar kritik tafsir sufi d. Menjelaskan sisi orisinal tafsir Alquran yang mengandung pemahaman tasawuf tertentu dalam pemikiran al-Sulami> dan al-Qushayri> e. Menjelaskan epistemologi tafsir sufi yang dilakukan oleh alSulami> dan al-Qushayri>.

3. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hakikat epistemologi tafsir sufi, khususnya dalam tafsir yang ditulis oleh al-Sulami> dan al-Qushayri>? C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Selanjutnya pada kajian terdahulu ini, penulis dalam hal ini secara umum membagi dua buah betuk kajian terdaulu. Pertama adalah yang mewakili kajian tentang pergeseran epistemologi tafsir Alquran. Kedua adalah kajian yang banyak mendalami seluk beluk dan orientasi tafsir sufi yang menjadi objek kajian. Perkawinan antara dua sumber itu, menurut hemat penulis akan menjadikan penelitian ini semakin berwarna dan kaya akan wacana. 16

Adapun tulisan yang berkaitan dengan pengkajian tafsir sufi antara lain adalah: ‚Perspektif Interaksi Antar Penganut Agama (Analisis Komparatif Tafsir Fikih dan Tafsir Sufi ), karya ini ditulis oleh Syarif. Tulisan ini merupakan disertasi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Inti dari tulisan ini adalah memberikan gambaran serta batasan tentang tafsir sufi dan tafsir fikih. Yang paling penting dalam tulisan ini adalah memberikan penawaran solusi konflik dengan menggunakan pendekatan tafsir sufi. Titik lemah dalam tulisan ini adalah belum matangnya contoh-contoh serta aplikasi dari tafsir sufi tersebut. Selanjutnya adalah apa yang diuraikan oleh Machasin, dalam ‚Bediuzzaman Said Nursi and the Sufi Tradition‛ AlJami’ah Vol. 43, No.1, 2005. Menurutnya, konsep sufi pada saat ini adalah kontemplasi dari syariat dan tasawuf. Sufi tidak lagi identik dengan pemahaman yang kolot dan banyak melakukan praktik bid’ah. Kesimpulan tersebut ditemukan dalam mendalami pemahaman dan aplikasi tasawuf Sa’id Nursi. Pendapat ini sejalan dengan Sayyid Muh}ammad ‘Abd al-Qadi>r Aza>d, ‚al-Tas}awwuf kama> Yus}awwiruhu al-Kita>b wa al-Sunnah‛ fi A‘ma>l Multaqi> alTas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami (1995), yang menyimpulkan bahwa secara praktik, tasawuf dan pola pemahamannya telah menjadi tradisi yang kuat pada zaman sahabat nabi. Adapun yang memiliki kaitan dengan penelitian ini, penulis temukan dalam ‚Tafsir Dengan Pendekatan Isyari (Kajian Terhadap Kitab Haqaiq at-Tafsir Karya Abu ‘Abdirrahman asSulami [325-412H]), T. Mairizal menyimpulkan bahwa tafsir isyari adalah sebuah tafsir yang dapat dipertahankan kebenarannya. Meskipun menggunakan isyari sebagai sebuah pendekatan memahami Alquran, tidak serta merta menjadikan tafsir isyari sama dengan tafsir batiniah. Bahkan adakalanya, tafsir isyari juga merujuk pada Alquran dan Hadis.

Tafsir Ishari Pendekatan Hermeneutika Sufi Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Jila>ni>, (2012) yang ditulis oleh Aik Iksan Anshori memberikan ruang untuk mendalami apa yang dimaksud dengan tafsir sufi. Ia menyimpulkan bahwa tafsir isha>ri> pada dasarnya adalah legal selama tidak resistensi dan mematuhi kaidah tafsir

17

Alquran.50 Akan tetapi yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah sikap dari pengarang buku ini yang masih memposisikan tafsir isha>ri> sebagai produk yang diletakkan tidak sejajar dengan tafsir konvensional pada umumnya. Di sini terlihat, hasil penelitian ini belum memberi ruang yang kuat, hanya memberi dasar untuk menjadikan tafsir isha>ri> sebagai suatu alternatif lain. Abdurrahman Habil (1997) dalam ‚Tafsir-tafsir Esoteris Tradisional Al-Qur’an‛ menjelaskan bahwa tafsir sufi memiliki landasan yang kuat berasal dari Alquran dan Sunnah. Menurutnya unsur-unsur pembacaan simbolis Alquran ini dapat ditemukan dalam Alquran sendiri. sesungguhnya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa prinsip-prinsip tafsir esoteris-simbolis atas Alquran terjewantahkan di dalam Alquran itu sendiri. Dengan demikian Alquran adalah tafsir paling pertama dan dengan sendirinya, paling baik atas dirinya.51 Adapun Annabel Keeler dalam ‚Sufi Tafsir as a Mirror: alQushayri the murshid in his lat}a>’if al-isha>ra>t‛ menyimpulkan bahwa tafsir sufi utamanya adalah merefleksikan kapasitas spiritual, tingkat iluminasi. Secara umum ia menilai bahwa konsep tafsir sufi memiliki orientasi doktrin, wawasan spiritual dan tempramen.52 Satu hal yang diabaikan oleh Keeler Annabel dalam penelitiannya ini adalah sisi rasionalitas tafsir sufi. Sehingga sebagai peneliti ia juga larut dengan objek yang ia kaji. Berbeda dengan Annabel Keeler dan Michael A.Sells. Alexander D. Knysh, dalam ‚Esoterisme Kalam Tuhan: Sentralitas al-Qur’an dalam Tasawuf‛. (2007), menyimpulkan bahwa ‚interpretasi sufi merupakan suatu hasil dari proses pembacaan Alquran yang tidak terputus selama bertahun-tahun dalam rangka meng-ekstrak (istinbath) makna yang

50

Aik Iksan Anshori, Tafsir Isha>ri Pendekatan Hermeneutika Sufi Tafsir Shaikh ‘Abd Qa>dir al-Jila>ni> (Ciputat: Referensi, 2012), 190. 51 Seyyed Hossein Nasr [ed], Ensiklopedi Tematis Spritualitas Islam , ter. Rahmani Astuti (Bandung : Mizan, 2002), 35-36. 52 Annabel Keeler, ‚Sufi Tafsir as a Mirror: al-Qushayri the murshid in his lat}a>’if al-isha>rat‛ Journal Of Qur’anic Studies Iqra>’ Bismi Rabbika. Vol. 8. Issue 1 2006, 200.

18

tersembunyi.‛53. Penelitian ini sangat membantu dalam memberikan pijakan bahwa tafsir sufi memiliki dimensi rasional yang sangat kuat. Adapun isha>ri> yang sering diperdebatkan merupakan hasil dari rasional tafsir sufi yang dilakukan sejak lama. Hal yang sama juga dibuktikan oleh ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah, dalam ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m Mafhu>muhu, wa Nash’atuhu, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa D}awa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini mencoba untuk mengurai bagian terpenting dari tafsir sufi, yaitu berkaitan dengan sisi epistemologi yang secara mendalam mengkaji sumber, metode, karakterisitik tafsir sufi yang dilakukan oleh al-Sulami> dan al-Qushayri>. D. Tujuan Penelitian Ada beberapa tujuan dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini memang benar-benar layak dan menarik untuk dikaji lebih lanjut dan komprehensif. Tujuan tersebut antara lain adalah; untuk memberikan penjelasan tentang epistemologi dan corak tafsir Alquran sufi dalam pemikiran al-Sulami> dan al-Qushayri>. Menguraikan beberapa elemen-elemen yang ada berdasarkan fakta, bahwa di dalam pembacaan Alquran telah terjadi pergeseran epistemologi tafsir. Membuktikan bahwa semangat dari tafsir sufi adalah semangat spiritual Alquran yang selalu mengedepankan simbol dan pemaknaan yang berbeda, namun tidak bertentangan dengan Islam. Terakhir, penelitian ini ditujukan untuk membuktikan bahwa tafsir Alquran yang ada dalam kelompok tertentu untuk beberapa kasus, dilatarbelakangi oleh kepentingan dan landasan filosofis-politik. Sekaligus menguatkan adanya sisi lokalitas dalam tafsir Alquran. E. Kegunaan Penelitian 53

Alexander D. Knysh, ‚Esoterisme Kalam Tuhan: Sentralitas alQur’an dalam Tasawuf‛. Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007.

19

Ada dua bentuk kegunaan dalam penelitian ini. kegunaan pertama adalah yang bersifat umum. Kedua adalah yang bersifat khusus. Adapun kegunaan penelitian ini yang bersifat umum adalah menjadikan penelitian ini sebagai salah satu solusi dalam memahami beragamnya tafsir Alquran. Serta diharapkan penelitian ini mampu memberikan gambaran tentang tafsir sufi, khususnya melalui pengkajian terhadap hasil pemikiran alQushayri> dan al-Sulami>, serta diharapkan mampu membangun cara pandang yang baik dan obyektif. Adapun kegunaan penelitian ini secara khusus adalah memberikan wawasan dan cara pandang baru terhadap fenomena tafsir Alquran. F. Metodologi Penelitian 1. Sumber Data Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yang menitik beratkan kajian terhadap objek penelitian melalui penelusuran buku-buku dan litertatur yang ada. Adapun sumber utama yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah kitab H}aqa>’iq alTafsi>r, yang ditulis oleh Abu> Abd al-Rah}ma>n al-Sulami> dan kitab Lat}a>’if al-Isha>ra>t, yang merupakan karya al-Qushayri>. Sedangkan sumber sekunder adalah karya tulis yang dinilai mendukung penulisan ini, serta karangan yang berkaitan dengan tafsir sufi, dan yang mendukung penelitian ini secara umum.

2. Sifat dan Jenis Penelitian Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini bagian dari penelitian kajian pustaka. Fokus penelitian lebih tertuju dengan tulisan-tulisan dan hasil penelitian ilmiah yang mengkaji sufi, tasawuf, dan pemahaman mereka terhadap Alquran. Untuk menguji keberadaan data-data yang didapatkan, di sini penulis menggunakan teori the history of idea . Teori ini membagi tahapan perkembangan tafsir pada tiga tahapan. Pertama dikenal dengan istilah era formatif. Kedua periode ini dikenal dengan sebutan era afirmatif dan bentuk yang terakhir dari teori ini 20

menghasilkan periode tafsir yang dikenal disebut dengan periode reformatif. Teori the history of idea dalam penelitian ini berguna untuk menelisik corak perkembangan tafsir yang berbeda pada setiap generasinya. Dengan demikian, hal ini mampu memberikan banyak informasi yang baik untuk melihat cikal bakal serta hal-hal yang ikut memberikan peran dalam pertumbuhan tafsir sufi. Selain menggunakan teori di atas, penulis juga menggunakan teori hermenutika dialogis sebagai alat bantu untuk memahami tindakan dan aktifitas mufasir dalam melakukan tafsir Alquran. Hermenutika dialogis ini merupakan teori hermeneutika yang digagas oleh Hans Georg Gadamer (1900-2002). Alasan digunakan teori ini dikarenakan teori ini memberikan cara pandang untuk menilai sejauh mana obyektivitas dan subyektivitas mufasir dalam menafsirkan Alquran. Secara umum teori ini membantu dalam hal menilai sejauh mana pengarang, dalam hal ini adalah mufasir terpengaruh oleh tradisi yang ada di sekitarnya. Dalam teorinya, Gadamer menyimpulkan bahwa eksistensi manusia selalu bersifat situasional. Teori ini juga memberikan kontribusi dalam meninjau latar belakang mufasir. Karena berdasarkan teori ini, seseorang yang melakukan tafsir pada dasarnya telah memiliki pemahaman yang akan dibangun. Itu juga yang pada akhirnya melahirkan dialektika antara penafsir dengan yang ditafsirkan.54 3. Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif-komparatif analitis. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif-analitis, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai penguat adalah studi pemikiran tokoh dengan pendekatan sosio-historis. Pendekatan historis-filosofis model strukturalisme genetic55 dan pendekatan 54

Lihat, Hans Gadamer, Truht and Method (New York: the Seabury Press, 2009), 251, 266. Lihat juga, Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme Dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013), 28-31. 55 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1996), 164-165.

21

filosofis. Penggunaan pendekatan ini ditujukan untuk menganalisis tiga unsur kajian, yakni: (1) mengkaji teks itu sendiri, (2) akarakar historis secara kritis serta latar belakang yang kontroversial, dan (3) kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Dengan pendekatan historis akan tampak pola keragaman (diversity), perubahan (change), dan kesinambungan (continuity). Sedangkan dengan pendektan filosofis ditujuan untuk menampakan struktur dasar dari pemikiran al-Sulami> dan al-Qushayri>. Menelusuri struktur fundamental ini yang menjadi ciri pendekatan filosofis.56 G. Sistematika Penulisan Untuk lebih rincinya dan terarahnya penelitian ini, di sini akan dijelaskan secara umum sistematika penulisan atau penelitian. Adapun gambaran dari sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab pertama dalam penelitian ini berisikan tentang pendahuluan yang sebagaimana lazimnya berkaitan tentang; latar belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua dalam penelitian ini menjelaskan tentang pemetaan wilayah literatur tafsir sufi. Meliputi kajian asal-usul dan perkembangan kaum sufi, yang dimulai pada abad 2 hingga 5 Hijriah. Dalam bab ini juga menjelaskan signifikansi spritual Alquran, yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pembacaan esoteris Alquran. Hal ini dirasa perlu untuk memperkenalkan apa yang dimaksud dengan tasawuf, sufi dan esoteris tersebut. Sehingga tidak terjadi kekeliruan ketika membedakan antara tafsir sufi dan tafsir batin. Bab dua ini sekaligus membantah temuan yang mengatakan bahwa tafsir sufi hanya memiliki orientasi spiritual yang meninggalkan sisi rasional dalam tafsir Alquran. Pada bab dua ini ditutup dengan kritikan para pengkaji Islam dan orientalis tentang problematika tafsir sufi. Bab ketiga dalam disertasi ini menjelaskan potret keagamaan al-Sulami> dan al-Qushayri> sebagai objek utama dalam 56

Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 285.

22

pembahasan ini. Oleh karena itu bab ini mengkaji tentang biografi al-Sulami> dan al-Qushayri>, dimulai dari latar belakang kehidupan keluarganya, jenjang pendidikan, karya-karya tulisnya, sosio kultural atau kondisi masyarakat sekitar dan prestasi apa saja yang pernah ia dapatkan. Ini perlu diuraikan karena memberikan kita informasi terkait corak sufi yang dipahami oleh keduanya, yang mana juga berpengaruh pada kualitas tafsirnya. Pada bab ini juga dijelaskan berbagai polemik terkait kritik metodologi tafsir yang diterapkan oleh al-Qushayri> dan al-Sulami>. Lebih ditekankan pembahasan tentang aspek tafsir sufi yang merupakan berbasis esoteris dan takwil. Dalam bab ini juga dijelaskan kembali faktorfaktor yang menumbuhkan subjektif spiritual sufi, yang melahirkan simbol-simbol dalam tafsir dan pemahaman. Ini dianggap perlu karena akan memberikan banyak informasi terkait asal-usul dan formasi tafsir sufi. Bab empat memberikan penjelasan tentang dialektika dan problema tafsir sufi yang dilakukan oleh al-Sulami> dan alQushayri. Kajian ini meliputi pembahasan konsep dan formulasi tafsir, yang diikuti dengan faktor-faktor pendukung dalam tafsir sufi, seperti berapa besar pengaruh dan penerapan ulum al-Quran dalam tafsir sufi. Ini penting dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih tentang esensi dari tafsir sufi. Bab kelima merupakan penjelasan tentang titik temu antara tafsir sufi al-Sulami> dan al-Qushayri>. Perbedaan metodologi di antara keduanya juga menjadi fokus dalam bab ini. Hal ini penting untuk melacak sejauh mana peran dan kontribusi tasawuf dalam tafsir keduanya. Pada akhir bab akan dijelaskan tentang aplikasi tafsir sufi. Bab keenam ini merupakan bab penutup. Menjelaskan tentang kesimpulan dari hasil penelitian ini. Serta memberikan penjelasan agar penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut, dalam bab ini juga dilengkapi dengan saran.

23

BAB II DISKURSUS ESOTERIK DALAM TAFSIR ALQURAN Salah satu yang mendorong radikalisme (dalam beragama) adalah kesalah-pahaman terhadap tafsir Alquran. Radikalisme tumbuh dalam kelompok-kelompok tertentu yang berpaham keras.1 Ungkapan di atas, memberikan informasi yang argumentatif dan sangat kritis dalam menyampaikan persoalan yang berkaitan dengan penyimpangan tafsir Alquran. Contoh permasalahan yang sering menjadi kambing hitam dalam tafsir adalah jihad. Jihad bagi beberapa kelompok dipahami sebagai suatu gerakan yang menegaskan dan melegalkan kekerasan atas nama agama.2 Belakangan ideologi jihad ini merusak pencitraan terhadap pemahaman Alquran yang inklusif. Oleh karena itu, penelitian ini berkontribusi dalam memberikan pemahaman yang baik atau standarisasi dalam tafsir Alquran, yang kemudian akan ditelisik lebih dalam dengan hal yang menjadi inti dari kajian penelitian penulis, yaitu tafsir sufi. Pada hakikatnya kekerasan terhadap Alquran dalam bentuk penyimpangan pemahaman menurut William al-Sharif telah ada pada pertengahan abad 7, yang mana pada saat itu Alquran telah dimanipulasi untuk kepentingan ideologi dan teologi, salah satu gerakan ekstrem yang dijadikan sebagai contoh adalah Khawarij.3 Tafsir Alquran memiliki dua orientasi bila dilihat dari sejarah dan perkembangannya. Kedua hal tersebut adalah orientasi tekstual dan orientasi kontekstual. Dua hal tersebut membuktikan bahwa perkembangan tafsir, yang mana dari masa ke masa mengalami pergeseran paradigma. Secara tidak langsung hal tersebut menghasilkan imbas terhadap perubahan epistemologi 1

Mukhlis M. Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama (Ciputat: Lentera Hati, 2013), 291-292. 2 John Kaltner, Introducing The Qur’an: For Today Readers (Minneapolis: Fortress Press,2011), 167-170. 3 William al-Sharif, Rethingking Quranic Studies (Tranet: Jerusalem Academic Publications, 2010), 37. 25

dalam tafsir Alquran. Selanjutnya, dengan memiliki dua orientasi tersebut, tafsir Alquran saat ini terbagi menjadi dua kutub yang saling berseberangan. Yaitu kutub yang tekstual dan kutub yang kontekstual. Kutub tekstual diasumsikan dengan lahirnya kelompok keagamaan yang beraliran keras. Sedangkan pihak kontekstual, lebih dipahami sebagai representatif dari kalangan modernis dan liberalis.4 Berbicara tentang tafsir sufi, tentu kita akan mendapatkan bentuk dan hasil yang berbeda. Karena, tafsir sufi yang menggagas moralitas orientasi dan pancaran ilahi tentunya menawarkan model dan hasil tafsir yang lebih universal dan menjauhi segala hal yang mengarah kepada kekerasan. Tidak adanya kesan diskriminasi dan mengarah pada kekerasan, kiranya menjadi suatu alasan yang cukup kuat mengapa tafsir sufi ini perlu diexplore lebih mendalam. Bab ini menjelaskan sejarah perkembangan tafsir sufi yang diawali dengan bertumubuh pesatnya kelompok-kelompok sufi. Tafsir sufi yang kontroversial telah melahirkan banyak perbedaan di antara ulama, sebagian berkomentar tentang bolehnya tafsir sufi, adapun sisanya menolak. Selain membahas tentang asal usul tafsir sufi, dalam bab ini juga diuraikan tentang hakikat dari spiritualitas Alquran yang menjadi kajian pokok dalam literatur sufi, pada akhir bab ini dilengkapi dengan uraian pendapat orientalis tentang tafsir sufi. Hal ini merupakan bagian yang penting, mengingat telah banyak karya para orientalis yang memberi kontribusi dalam mengenalkan kembali tasawuf dan tafsir sufi. A. Historisitas Tafsir Sufi Tafsir sufi lahir dari kebiasaan para sufi yang melakukan interaksi dengan Alquran berdasarkan keyakinan mereka sebagaimana yang terdapat dalam ajaran tasawuf, baik itu melalui pembacaan, perenungan dan pengalaman spiritual. Gerakan tafsir model ini muncul karena telah adanya legalitas dari hadis Nabi 4

Didi Junaedi, ‚Orientasi Tekstual dan Kontekstual Dalam Tafsir AlQur’an (Melacak Akar Perbedaan Tafsir Terhadap Al-Qur’an)‛. Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, 3-4. 26

saw, yang menunjukan bahwa Alquran memiliki dua makna, zahir dan batin.5 Pada sisi lain harus tetap dikritisi bahwa interaksi sufi dengan Alquran baik itu melalui perenungan makna dan langkah lain dalam memahami Alquran adalah sebuah upaya untuk menemukan dan menguatkan fondasi mazhab sufi dalam Alquran, sekaligus sebagai pembuktian bahwa ajaran mereka benar berasal dari Alquran.6 Berdasarkan intensitas aktivitas sufi terhadap Alquran, Alexander D. Knysh menyimpulkan bahwa tafsir sufi adalah hasil dari proses panjang terhadap pembacaan Alquran yang tidak terputus selama bertahun-tahun dalam rangka mengekstrak (istinbath) makna yang tersembunyi.7 Berbeda dengan beberapa sarjana yang memfokuskan tafsir sufi pada aspek sastra puitis, tentunya hal ini juga didorong dengan adanya pra-pemahaman terhadap Alquran yang menyimpulkan bahwa Alquran memiliki banyak kesamaan dengan karya sastra pada umumnya, ini terlihat jelas dari pola rima Alquran yang sama dengan gaya penulisan sastra.8 Oleh karena itu, berbicara tentang tafsir sufi, maka kita tidak bisa melepaskan diri untuk meninggalkan penjelasan tentang sufi secara definitif, termasuk juga di dalamnya pembicaraan asal usul dan kinerja kelompok sufi dalam menyebarkan paham mereka. Dalam kalangan para sarjana Barat, mereka lebih mengenal tasawuf dengan istilah sufisme sebagai mistisisme9 dalam Islam, 5

Omaima Abou Bakr, ‚The Symbolic Function of Metaphor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shustari‛, Alif: Journal of Comparative Poetics, No. 12, 1992. 41. Adapun lafaz hadis tersebut adalah: ‫لكل آية ظهر و بطن ولكل حرف حد و لكل حد مطلع‬ 6 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir ter. M. Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), 220-221. 7 Alexander D. Knysh. ‚Esoterikme Kalam Tuhan: Sentralitas al-Qur’an dalam Tasawuf‛. Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007. 8 John Kaltner, Introducing The Qur’an: For Today Readers (Minneapolis: Fortress Press, 2011), 7. 9 Mistisisme menjadi kajian yang banyak diminati oleh para sarjana semenjak awal abad 20. Hal ini menunjukan betapa seriusnya para sarjana mengkaji mistisisme sebagai bagian penting dalam studi agama. Ahmet T. Karamustafa, Sufism : The Formative Period (California: University of California Press, 2007), vii. 27

yang mana tidak berlaku untuk mistisisme dalam agama-agama lain.10 Tasawuf saat ini yang telah menjadi sebuah ajaran, adalah problema eksklusif dan transkultural dalam Islam. Karena secara teks, sufisme dilihat dalam tinjauan pluralitas ajaran Islam tidak ada pada masa Nabi. Meskipun demikian sisi tasawuf semakin menekankan pada aspek dalam penghayatan mendalam kepada Tuhan.11 Keterangan di atas setidaknya dapat kita kritisi dengan menekankan sisi ajaran tasawuf sebagai sebuah ajaran moral. Dengan demikian, pada dasarnya tasawuf telah lama dipraktikan, karena telah lahir bersama dengan datangnya Islam. Norma-norma yang ada dalam ajaran tasawuf, khususnya tasawuf akhlaqi telah lama menjadi kebiasaan dalam kehidupan awal Islam, yakni melalui sosok Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang keliru jika dikatakan bahwa Muhammad saw merupakan sufi pertama dan terbesar dalam Islam.12 Ini dibuktikan bahwa tema-tema yang ada dalam tasawuf seperti; sabar, wara’, tawakal, khusyu’, ihsan adalah asas dalam pemahaman zuhud tasawuf, yang mana hal tersebut merupakan praktik keagamaan rasul dalam kesehariannya.13 Akhir abad ke 2 Hijriah14 adalah masa di mana eksistensi tasawuf dan sufi mulai dikenal oleh masyarakat. Sebelum abad ke 2 istilah ini (sufi dan tasawuf) belum begitu dikenal, meskipun demikian praktik keagamaan ini telah ada semenjak zaman

10

J. Sepencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford: At The Clarendon Press, 1970), 1. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 43. Hasan Baharun, ‚Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam‛. Jurnal Bimas Islam, Vol. 6, No.3, 2013, 560. 11 A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Rajawali Pers, 2002 ), 12. 12 Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 34. 13 ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah. ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m. Mafhu>muhu, wa Nash’atuhu, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa D}awa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 178. 14 Abu> Bakr Muh}ammad al-Kalbadhi, al-Ta‘arruf li Madhhab ahl alTasawuf (Kairo: al-Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyah, 1969), 6. 28

sahabat.15 Pendapat ini berbeda dengan apa yang diuraikan oleh Ibn Taymiyah, menurutnya istilah tasawuf mulai dikenal masyarakat setelah abad 3 Hijriah.16 Mengenai asal usul kata sufi ada beberapa teori yang selalu dikemukakan. Pertama Ahlu S}uffah, yaitu mereka yang ikut hijrah bersama Nabi dari Mekkah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di masjid, tidur di atas bangku dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana ini disebut dengan s}uffah. Bila dinisbahkan dengan kata S}uffah, maka untuk menunjukan pelakunya adalah s}ufi17> bukan s}u>fi> seperti yang sedang dibicarakan. Kedua, dari kata S}af, orang yang shalat di saf pertama mendapat kemuliaan dari Allah, demikian pula para sufi yang mendapat kemuliaan dari Allah. Ketiga, kata sufi berasal dari s}afi, yang berarti suci. Kaum sufi adalah mereka yang telah menyucikan dirinya melalui latihan berat dan lama. Kelima, istilah sufi berasal dari kata s}u>f, yaitu kain yang dibuat dari bulu wol. Wol kasar yang digunakan oleh kaum sufi adalah simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Menurut Harun Nasution, pendapat kelima yang banyak diterima sebagai asal usul kata sufi.18 Asal mula lahirnya istilah tasawuf ini dipelopori dengan adanya gerakan dari satu kelompok yang mengkhusukan diri mereka untuk beribadah kepada Allah dan bersikap zuhud19 pada 15

Sayyid Muhammad ‘Abd al-Qadir Azad, ‚al-Tas}awwuf kama Yus}awiruhu al-Kita>b wa al-Sunnah‛ fi A‘ma>l Multaqi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> al‘Alami (Banggazi: Ja>mi‘ al-Da‘wah al-Isla>miyah, 1995), 337 16 Ibn Taymiyyah, Fiqh al-Tas}awwuf (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi>, 1993), 11. 17 Baha>’ H}asan Sulayma>n Za‘rab, ‚Athar al-Fikr al-S}u>fi> fi> Tafsi>r. Dira>sah wa Naqd‛. Tesis di Pascasarjana Fakultas Us}u>l al-Di>n Jurusan Tafsi>r dan ‘Ulu>m al-Qur’a>n Universitas Ghaza, 2012. 4. 18 Lihat, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 43-44. Lihat juga, ‘Abd al-Kari>m al-‘At}a>’ (ed), Risa>lah al-Qushayriyah fi ‘Ilm al-Tas}awwuf (Damaskus: Maktabah ‘Ilm alHadi>th, 2000), 8-9. Lihat juga, ‘Afi>f al-Di>n Sulayma>n Ibn ‘Ali> al-Tilamsa>ni>, Mana>zil al-Sa>’iri>n ila al-H}aq al-Mubi>n li Ibn Isma>‘i>l al-Harawi> (Qum: Amir, 1989), 13-14. 19 Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n ‘Ali Ibn al-Sayyid al-Was}i>fi>, Mawan alS}ufiyah fi D}aw’ al-Kita>b wa al-Sunnah (Iskandariyah: Dar al-Ima>n, 2006), 41. 29

kehidupan dunia. Zuhud secara bahasa memiliki banyak pengertian, antara lain: memutuskan kehendak, menjaga hati dari hal yang bersfifat duniawi, menghilangkan keinginan dan merasa nyaman terhadap kehidupan dunia. Imam Ahmad membagi zuhud dalam tiga tingkatan. Pertama, zuhud orang awam, yaitu meninggalkan hal yang haram, Kedua, zuhud khawas, yaitu meninggalkan hal yang berlebihan meskipun halal. Ketiga, zuhud para ‘arif, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang membuatnya lalai dari Allah. Ada tiga ciri khusus yang menjadi simbol pada periode asketis atau para zahid. Pertama, masih berpegang pada Alquran dan Sunnah, memfokuskan kehidupan akhirat. Kedua, belum banyak membicarakan tentang teori terhadap hal yang dilakukan, semua kegiatan bersifat praktis. Ketiga, motivasi dalam kehidupan zuhud adalah rasa takut yang muncul dari landasan amal secara sungguh-sungguh.20 Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa zuhud merupakan sikap untuk mengutamakan hal-hal yang bersifat ukhrawi dengan tidak melalaikan urusannya di dunia, karena pada dasarnya amal atau pekerjaan yang dilakukan di dunia merupakan sarana menuju akhirat.21 Kelompok ini banyak melakukan ritual khusus yang berupa zikir dan amal saleh lainnya.22 Zikir dalam pemahaman tasawuf memiliki bentuk yang berbeda. Hal ini –zikir- lebih terorganisir manakala tasawuf telah melahirkan tarikat, yang merupakan sebuah lembaga pengamalan ajaran tasawuf. Tarikat atau alT}ari>qah, yang secara bahasa mengandung pengertian sebuah jalan. Oleh karena itu, dalam lingkup linguistik antara tarikat dan syariat tidak memiliki perbedaan, karena kedua kata tersebut mengandung Lihat juga, Ibn Qayyim al-Jawziyah, Mada>rij al-Sa>liki>n bayna Mana>zil Iyya>ka Na‘budu wa Iyya>ka Nast‘inu (Kairo: Muassasah al-Mukhta>r, 2001), 439. 20 A.Khudori Soleh, ‚Mencermati Epistemologi Tasawuf‛. Ulumuna, Vol. XIV, No. 2 Desember 2010, 231. 21 H}ana>n Nu>ri Ilya>s, ‚al-Tas}awwuf ‘inda Sufyan al-Thauri‛ Majallah alFalsafah, Issue: 8, Year: 2012, 91. 22 Hakikat zikir dalam pemahaman sufi adalah melupakan selain yang diingat dalam ingatan. Hakikat zikir dalam pemahaman sufi berasal dari pemahaman mereka terhadap QS. Al-Kahfi : 24. Lihat Abu> Bakr Muh}ammad alKala>badhi, al-Ta‘arruf li Madhhab Ahl al-Tas}awwuf (Kairo: Maktabah alKuliya>t al-Azhariyah, 1969), 123. 30

makna yang sama, yaitu jalan. Akan tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya; syariat sering kali diartikan sebagai jalan yang umum, adapun tarikat dipahami sebagai jalan yang khusus. Dalam tasawuf tarikat merupakan sebuah fase atau jalan yang menghubungkan antara syariat dan hakikat, tidak ada pertentangan yang serius antara kedua hal tersebut, melainkan memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya.23 Secara mendalam perbedaan itu dapat diuraikan sesuai dengan sudut pandang dan peran dari keduanya yang berbeda. Syariat yang mempelajari sunnah rasul merupakan dasar dari lahirnya mazhab dalam fikih, sebaliknya tarikat yang juga mengambil banyak pelajaran melalui kehidupan Nabi, terkhusus dengan menekankan pada aspek hakikat dan dilakukan dalam sebuah majelis, menjadi dasar dari lahirnya tarikat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa yang menjadi pembeda antara syariat dan tarikat adalah cara pandang mereka dalam memperlakukan sumber-sumber ilahi.24 Tedapat tiga tingkatan zikir dalam tasawuf. Pertama, zikir untuk para pemula yang mulai mendalami tasawuf adalah dengan membaca La> Ila>ha illa> Allah, tingkatan ini dikenal dengan istilah dhikr al-‘awa>m. Kedua, dhikr al-kha>s} , pada tahapan kedua ini seorang salik diharuskan membaca lafaz Allah. Adapun yang ketiga adalah dhikr kha>s} al-kha>s} , yaitu melafazkan bacaan zikir dengan damir huwa (sebagai kata ganti dari lafaz Allah).25 Tujuan dari ritual itu untuk mendekatkan diri kepada Allah, dalam melaksanakan ritualnya mereka para sufi menggunakan pakaian sederhana terbuat dari wol (suf). Ciri lain yang menjadi simbol praktik keagamaan sufi dalam menjalankan zuhud adalah berkhalawat. Praktik ini menjadi menu pokok yang mesti dijalani sufi dalam tirakat sufinya. Secara 23

Jean Louis Michon and

Roger Gaetani (ed), Sufism: Love and

Wisdom (Blomington: tp, 2006), 89. 24

Ahmad Aqkul, ‚al-Tas}awwuf wa Ahammiyatuhu fi> H}aya>t al-Isla>m wa al-Muslimi>n‛ fi A‘ma>l Multaqi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami (Banggazi: Jami’ al-Da’wah al-Islamiyah, 1995), 349. 25 Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n ‘Ali Ibn al-Sayyid al-Was}i>fi>, Mawa>zi>n alS}u>fiyah fi> D}aw’ al-Kita>b wa al-Sunnah (Iskanadariyah: Dar al-Ima>n, 2006), 121. 31

umum khalwat adalah ritual sufi dalam bentuk penyendirian (alinfira>d), pengosongan (al-tafarrugh), pemutusan (al-inqit}a>‘) dan pengasingan (al-ikhtila>‘). Huseyn ‘Ali menyimpulkan berdasarkan penjabaran yang diterangkan oleh Ah}mad Zaru>q dalam Qawa>‘id al-Tas}awwuf bahwa khalawat merupakan memutuskan diri dari manusia dalam waktu tertentu, meninggalkan urusan duniawi dalam waktu yang tidak lama, dengan tujuan untuk mengosongkan kecondongan hati terhadap dunia, dan mengistirahatkan pikiran dari rutinitas sehari-hari, kemudian fokus dengan berzikir kepada Allah, merenungi kalam-Nya siang dan malam.26 Perdebatan lain muncul dalam pakain kaum sufi. Ciri khas pakain kaum sufi dengan bahan yang terbuat dari wol ini menjadi pendapat yang kuat secara tekstual untuk mengidentifikasi sekaligus mendiskriminasi asal-usul sufi, yang konon gemar memakai pakain dari wol. Berdasarkan pendapat ini, kecil kemungkinan bahwa asal-usul sufi memiliki kaitan dengan pola kehidupan zuhud masa sebelumnya. Adapun terkait dengan pemakaian wol sebagai pakaian khas para sufi, Julian Baldick memberikan suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya dalam masalah pakaian tersebut terpengaruh dengan pakaian para pendeta Nasrani Timur Tengah saat itu.27 Sejak saat itu istilah sufi atau tasawuf melekat kepada diri mereka.28 Selain informasi di atas, para ulama sepakat untuk berbeda pendapat tentang asal usul istilah tasawuf,29 akan tetapi praktik tasawuf telah ada pada zaman Nabi saw.30 Berdasarkan catatan sejarah orang yang 26

H}useyn ‘Ali> Rays. ‚al-Khalwah fi> Fikr al-S}u>fi> al-Isla>mi>‛. Majallah al-

Diya>li> li al-Buhu>th al-Insa>niyyah. Issue 44, 2010, 437-438. 27

Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n ‘Ali Ibn al-Sayyid al-Was}i>fi>, Mawa>zi>n alS}u>fiyah fi> D}aw‘ al-Kita>b wa al-Sunnah (Iskanadariyah: Dar al-Ima>n, 2006), 36. Julian Baldick, Mystical Islam An Introduction to Sufism (London: New York University Press, 1992), 15. Lihat juga, Winston E Waugh, Sufism: The Mystical Side of Islam. Some Developmental Aspects (tt: tp, 2005), 6. 28 Abu> Bakr Muh}ammad al-Kalbadhi, al-Ta‘arruf li Madhhab ahl alTas}awwuf (Kairo: al-Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyah, 1969), 6. 29 Muh}ammad Sayyid Jibri>l, Madkhal ila Mana>hij al-Mufassiri>n (Kairo: tp, 1987), 201. 30 Ibra>hi>m Zaki> Banu>n, ‚Waraqah fi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi>‛, fi A‘ma>l Multaqi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami (Banggazi: Jami’ al-Da‘wah alIslamiyah, 1995), 338. 32

pertama kali memakai kata sufi adalah seorang zahid atau ascetic yang bernama Abu> Ha>shim al-Ku>fi> (w. 150 H/ 776 M) di Irak.31 Adapun secara teori yang memperkenalkan pemahaman tasawuf pertama kali yang langsung bersentuhan dengan Alquran adalah H}asan al-Bas}ri> (w. 110 H)32 Perilaku asketis ini (zuhud) seperti mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat pada awal perkembangan Islam bukanlah suatu hal yang dianjurkan untuk dikerjakan. Hal ini muncul sebagai reaksi terhadap kerusakan moral umat Islam kala itu. Ini juga yang menjadi landasan untuk pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf merupakan ajaran moral, ibadah yang tumbuh berkembang dari dan dalam Islam. Ibadah atau al- ‘iba>dah , yang ada dalam pemahaman tasawuf, bukan sekedar ritual harian seperti shalat, zikir dan lain sebagainya. Ibadah memiliki perhatian yang lebih luas dalam pemahaman sufi. Ibadah pada hakikatnya adalah ma’rifah kepada Allah, bagaimana seseorang yang belum mengenal Allah akan beribadah kepada Allah. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Abba>s bahwa setiap ibadah pada dasarnya adalah ‘irfa>n terhadap Allah.33 Dengan demikian dapat disimpulkan pada hakikatnya kelahiran tasawuf adalah sebuah manifestasi dari gerakan Islam itu sendiri.34 Belakangan sikap dan pola hidup zuhud kaum sufi dinilai sebagai hal yang melampaui batasan syari’at dan tidak memiliki landasan yang kuat dalam Islam. Melihat banyaknya ajaran yang berbeda (menyimpang) dari ajaran Islam mayoritas, Michael A. 31

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 43. Lihat juga, Julian Baldick, Mystical Islam An Introduction to Sufism (London: New York University Press, 1992), 30. 32 Michael A. Sells, Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi, terj. D. Selamet Riyadi (Bandung: Mimbar Pustaka, 2003), 28. Hasan Basri lahir di Madinah, ia merupakan anak dari seorang tawanan yang dimerdekakan oleh Ummu Salamah salah satu istri Nabi. Puncak karirnya dalam tasawuf semakin kokoh manakala ia hijrah ke Basra, di sana ia mulai menjalani hidup sebagai seorang zahid. Claud Field, Mystics and Saints of Islam (London: Forgotten Books, 2012), 18-27. 33 Muh}ammad Ibn ‘Ala>n al-Siddi>qi> al-Sha>fi‘i> al-Ash‘a>ri> al-Makki>, Futuha>t al-Rabba>niyah ‘ala Adhka>r al-Nawa>wiyah (Libanon: Dar al-Ih}ya>’ alTura>th al-‘Arabi>, tt), 16. 34 Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih (Jakarta:Tiga Serangkai, 2003), 10. 33

Sells menyimpulkan, bahwa sikap dan perilaku asketis dalam Islam dipengaruhi oleh tradisi asketis Kristen di Syria dan Mesir, serta tradisi asketis India.35 Pendapat Michael A. Sells masih menyisakan ruang perdebatan yang masih bisa untuk didiskusikan. Kesimpulan Michael A. Sells berlaku manakala pembicaraan terfokus pada Tasawuf Falsafi, akan tetapi bila kesimpulan tersebut dibawa kepada ajaran yang terdapat pada Tasawuf Akhlaqi maka akan sangat bertolak belakang. Karena sebagaimana yang diterangkan sebelumnya, tasawuf dalam bentuk aturan moral dan akhlak adalah praktik yang telah dilakoni oleh Muhammad saw sebagai sumber inspirasi tasawuf. Lebih jelasnya menurut Zaki> Muba>rak, tasawuf dalam bentuk ajaran moral telah lama dikenal oleh bangsa Arab yang hidup dalam koridor keagamaan. Kesimpulan ini lahir dengan latar belakang adanya kesamaan dengan pola kehidupan ruhani bangsa Arab pra Islam dengan tasawuf.36 Pada akhirnya dapat dipahami bahwa kritikan atau opini Michael A. Sells hanya merujuk dan berlaku pada tasawuf falsafi, meskipun tidak sepenuhnya benar. Bila diklasifikasikan perkembangan tasawuf, maka kita akan menemukan tiga perkembangan sufi atau tasawuf yang signifikan. Pertama adalah periode para zahid. Periode ini mulai muncul sepeninggal Nabi saw yang dilakukan oleh para sahabat, tetapi belum dikenal adanya istilah tasawuf. Bila melihat pola kehidupan para zahid pada periode ini memiliki kesamaan dengan definisi tasawuf yang dijelaskan oleh al-Shibli, yaitu satu pola kehidupan yang menghilangkan ketergantungan terhadap makhluk dan hanya bergantung kepada sang Pencipta.37 Hal yang sama lebih dipertegas oleh Sayyid Muh}ammad Abu> al-Fayd}, dengan mengelompokkan para sahabat Nabi yang merupakan generasi sufi

35

Michael A. Sells, Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi, terj. D. Selamet Riyadi (Bandung: Mimbar Pustaka, 2003), 29. 36 Zaki> Muba>rak. Al-Tas}awwuf al-Isla>mi> fi> al-Adab wa al-Akhla>q. (Kairo: Kalima>t ‘Arabiyyah, 2012), 382. 37 ‘Abd al-Karim al-‘Ata (ed), Risa>lah al-Qushayriyah fi> ‘Ilm alTas}awwuf (Damaskus: Maktabah ‘Ilm al-Hadi>th, 2000), 8. 34

pertama kali dalam Islam.38 Pendapat di atas diperkuat dengan uraian Lamya>‘ ‘Izz al-Di>n. Menurutnya, tasawuf dan apa yang dipraktikkan sufi bukanlah ilmu yang baru dalam Islam, karena merupakan cerminan dari kehidupan Nabi dan sahabat.39 Periode kedua adalah periode di mana konsep tasawuf dalam bentuk disipilin ilmu mulai dibentuk, istilah-istilah sufiyah mulai masyhur di banyak kalangan, penjabaran tentang maqam dan hal telah tersusun secara rinci. Pada masa ini juga banyak ditemukan penyimpangan dan khurafat yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi. Periode ketiga adalah lahirnya corak tasawuf falsafi, yang mana pada periode ini kajian tentang tasawuf telah berbaur dengan kajian filsafat yang berasal dari Yunani. Hasil dari kolaborasi ini ditandai dengan adanya paham al-h}ulu>l,40 alittih}a>d41, wah}dah al-wuju>d,42 dan lain sebagainya. Tasawuf falsafi 38

Sayyid Mah}mu>d Abu> al-Fayd} al-Manu>fi al-Husayni, Jamharah alAwliya>’ wa A‘la>m Ahl al-Tas}awwuf (Kairo: Muassasah al-Halbi , 1967), 6. 39

Lamya>‘ ‘Izz al-Di>n Al-S}aba>gh. ‚S}u>fiyyu>n aw al-Tas}awwuf fi> alMaghrib al-‘Arabi> H}atta al-Qarn al-Ra>bi‘ ‛. Majallah Kuliyyah al-‘Ulum alIslamiyyah, Vol. 7, No.14, 2013. 198. 40 H}ulu>l secara bahasa memiliki arti penempatan, penyinaran dan penurunan dan secara luas mengandung pengertian inkranasi, merupakan salah satu paham yang ada dalam tasawuf. Paham ini pertama kali diajarkan oleh alHallaj. Secara definitif H}ulu>l adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Penyatuan tersebut terjadi manakala manusia telah berhasil meninggalkan sifat buruknya. Luqman Junaedi, Ensiklopedia Tasawuf Imam alGhazali (Jakarta: al-Hikmah, 2009),155. Lihat juga, Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS, 2008), 45. Lihat juga, Abu> Nas}r Sara>j al-T}u>si, al-Luma’ (Kairo: Dar al-Kutb al-Hadithah, 1960), 541. 41 Dalam pemahaman sufi, ittih}a>d merupakan kelanjutan dari konsep fana’ dan baqa. Bagi seorang sufi yang telah melewati fase fana dan baqa ini akan memasuki ittihad yaitu dimana ia merasakan terjadi penyatuan antara Tuhan dan makhluknya , sehingga yang ada hanya satu wujud yaitu Tuhan. Lihat, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 66. 42 Secara umum wah}dah al-wuju>d dipahami sebagai sebuah pemahaman dalam tasawuf falsafi yang menyakini bahwa Tuhan dan makhluk adalah satu. Paham ini dikembangkan oleh Ibn Arabi. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), 195. Lihat juga, Anthony H. Johns, ‚Sufism in Shoutheast Asia‛, Journal of Shouteast Asian-Studies, Vol. 26, No. 1, 1995. 171. Bagian penting dalam 35

mendapat kritikan dari banyak kalangan sarjana muslim, karena ajaran mereka dinilai telah menyimpang dari Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Seperti pemahaman tentang h}ulu>l yang mana menurut para pengkritik merupakan salinan dari ajaran Nasrani dalam hal menuhankan Isa, karena mereka menganggap Tuhan telah menyatu dalam diri Isa.43 Mayoritas dalam tasawuf sangat identik dengan doktrin ini, yaitu tidak adanya perbedaan antara Tuhan dan makhluk.44 Penolakan dan pengingkaran terhadap tasawuf terjadi pada hal-hal rumit dan tertentu saja, sehingga bagi sebagian kelompok hal tersebut menjadikan tasawuf sebagai ajaran yang telah melakukan penyimpangan dari syariat.45 H}ulu>l dan paham yang sejenis dengan itu, dapat dikatakan sebagai capaian para sufi dalam menuju hakikat. Terkait dengan hakikat, meskipun dalam tataran zahirnya, menunjukkan adanya pemisah antara dirinya dan syariat, sejatinya adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan. Syariat tampil sebagai bagian terluar dalam Islam, yang memiliki peran sosial dan hukum, sedangkan hakikat merupakan pengetahuan murni yang berisikan prinsip kebenaran.46 Jauh sebelum istilah penyatuan Tuhan kepada makhlukNya, apakah itu dengan h}ulu>l, wah}dah al-wuju>d, ittih}a>d dan lain sebagainya, dalam sejarah sufi pada awal perkembangan tasawuf adalah Dhu> al-Nu>n al-Mis}ri (w. 860 M)47 yang pertama kali konsep wahdatul wujud ini adalah konsep tajalli, menurut sufi pada fase ini Allah ber-tajalli kepada bentuk makhluk yang bermacam-macam, namun hal ini tidak terjadi dalam bentuk penyatuan atau melebur ke dalam makhluk. Menurut pakar wah}dah al-wuju>d hal ini terjadi karena Allah merupakan wujud mutlak, sehingga bertajalli kepada makhluk. Ah}mad Ibn ‘Abd al-‘Azi>z, ‘Aqi>dah alS}ufiyyah Wah}dah al-Wuju>d al-Khafiyyah (Riyad: Maktabah al-Rushd, 2003), 27-31. 43 ‘Ublah al-Kah}lawi>, ‚Da‘wah ila al-‘Awdah li> Akhla>q al-Isla>mi‛> fi A‘ma>l Multaqi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami (Banggazi: Jami’ al-Da’wah alIslamiyah, 1995), 428. 44 Ah}mad Ibn ‘Abd al-‘Azi>z, ‘Aqi>dah al-S}ufiyyah Wah}dah al-Wuju>d alKhafiyyah (Riyad: Maktabah al-Rushd, 2003), 405-406. 45 Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum (Jakarta: Gunung Mulia, 2007 ), 144. 46 Jean Louis Michon and Roger Gaetani (ed), Sufism: Love and Wisdom (Blomington: tp, 2006), 89. 47 Nama lengkapnya adalah Thauba>n Ibn Ibrahi>m, ada juga yang mengatakan Fayd Ibn Ibrahi>m wafat pada tahun 245 H. Al-Qushayri>, al-Risa>lah 36

menjelaskan doktrin mistik terkait dengan penyatuan Tuhan kepada makhluk, selanjutnya paham ini diperkuat dengan teori Junayd al-Baghdadi (w. 297H) dengan mengatakan makhluk tidak lain adalah cerminan atau tokoh yang dimainkan oleh Tuhan.48 Pada periode pertama sebagai awal kelahiran gerakan sufi, gerakan ini belum menimbulkan kontroversi, barulah pada periode kedua dan ketiga pembicaraan tentang sufi dan tasawuf memasuki wilayah perdebatan, tidak banyak ulama yang mendukung dan tidak sedikit pula yang menolak. Dalam perkembangannya tasawuf secara umum memiliki dua ajaran pokok, pertama berkaitan dengan penyucian jiwa dan yang kedua adalah upaya pendekatan diri kepada Tuhan secara individu.49 Sebagai sebuah ajaran, tasawuf memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut mereka yang mendalaminya. Sebut saja seperti yang diuraikan oleh Junayd al-Baghdadi> (w. 297H)50, menurutnya tasawuf adalah suatu bentuk penyerahan kehendak dan tujuan hanya kepada Allah. Masih menurut Junayd, menurutnya tasawuf merupakan perasaan di mana seseorang merasa dekat dengan Allah tanpa ada rasa keterikatan.51 Adapun An-nu>ri merumuskan tasawuf sebagai keagungan akhlak, yang tidak dapat diukur melalui bentuk lahir dan pengetahuan.52

al-Qushayriyah (Damaskus: Maktabah al-Hadi>th, 2000), 57. Lihat juga, Claud Field, Mystics and Saints of Islam (tt: Forgotten Books, 2012), 60. 48 Rafiq Zakaria, Discovery of God (Mumbai: Ramdas Bhatkal, 2004), 178.

49

Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKis, 2008), 36. 50 Junayd Al-Baghdadi> adalah seorang ulama sufi yang masyhur namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam Junayd tidak dapat dipastikan. Tidak banyak dapat ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan membahas tentang ilmu tasawuf dengan ijtihadnya dan juga yang pertama kali membahas ilmu tauhid di Baghdad. Nama lengkapnya Abu> al-Qa>sim Al-Junayd Ibn Muh}ammad al-Zuja>j, wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun 297H/910M. Al-Qushayri>, alRisa>lah al-Qushayriyah (Damaskus: Maktabah al-‘Ilm al-Hadi>th, 2000), 37. 51 Al-Qushayri, ‘Abd al-Karim al-‘Ata (ed), Risa>lah al-Qushairiyah fi> ‘Ilm al-Tas}awwuf (Damaskus: Maktabah ‘Ilm al-Hadi>th, 2000), 8. 52 Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 25. 37

Abu> Fayd} al-Husayni> merinicikan tasawuf sebagai suatu ilmu yang objeknya adalah mengenal lebih dalam (‘irfa>n) terhadap zat ilahi, menjalankan sunnah rasul saw, menghiasai kehidupan dengan berbekal petunjuk yang berasal dari Alquran dan petunjuk rasul, berakhlak mulia dan berpikiran cerdas yang mampu memberikan kontribusi positif terhadap keimanan, yang mengantarkan kepada keyaikan dan tingkat ihsan.53 Pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf merupakan amalan atau praktik yang mendorong manusia untuk melakukan pembebasan ruh dari materi dan keterikatan jasad dari keterbutuhan terhadap tempat.54 Terkait dengan pengertian tasawuf, selain definisi yang telah dijelaskan di atas, penulis menemukan banyak definisi yang berbeda satu dengan yang lain. Banyaknya definisi terhadap tasawuf merupakan dampak dari adanya perbedaan pandangan tentang hakikat tasawuf, dalam hal penamaan dan sumber ajaran.55 Dalam hal ini penulis memberikan definisi tasawuf sesuai dengan fokus tasawuf yang berbeda-beda, sekaligus menguatkan pengertian tasawuf yang dikemukakan oleh Muh}ammad ‘Uthma>n S}a>lih}. Bahwa tasawuf merupakan suatu ilmu yang berkaitan tentang hati yang menjadikan hati tersebut bercahaya, selamat dan benar. Tasawuf merupakan ilmu batin yang mengkaji tentang pentingnya ibadah batiniyah seperti ikhlas dalam niat ketika beramal, tawakal, sabar. Bila dipandang dari segi norma, maka tasawuf merupakan ilmu tentang akhlak yang mendorong manusia untuk menghiasi dirinya dengan akhlak mulia dan meninggalkan sifat tercela.56 Secara sosiologis tasawuf tidak hanya dinilai sebagai suatu sistem kepercayaan terhadap dunia yang bersifat ilahi (belief system) yang bersifat pribadi, namun juga berkaitan dengan nilainilai, norma-norma, institusi, perilaku, ritual dan simbol yang 53

Sayyid Mah}mu>d Abu> al-Fayd} al-Manu>fi al-Husayni, Jamharah alAwliya>’ wa A‘la>m Ahl al-Tas}awwuf (Kairo: Muassasah al-Halbi , 1967), 151. 54 ‘Abd al-Razaq Nawfal, al-Tas}awwuf wa al-T}ari>q ilayh (Beirut: Dar al-Kita>b al-‘Arabi>, 1975), 21. 55 Abu> Bakr Muh}ammad al-Kalabadhi, al-Ta‘arruf li Madhhab ahl alTas}awuf (Kairo: al-Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyah, 1969),28-34. 56 Muh}ammad ‘Uthma>n S>}a>lih}, ‚al-Tas}awwuf wa Dawruhu fi> Nashr alIsla>m fi> Afriqiya>‛ fi A‘ma>l Multaqi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami (Banggazi: Jami’ al-Da’wah al-Islamiyah, 1995), 361. 38

bersifat sosial. Sampai pada tingkat tertentu, tasawuf menjalin relasi dengan dengan kontruksi sosial dan budaya yang merupakan refleksi dari tatanan kehidupan masyarakat yang mendukungnya.57 Para pakar berbeda pendapat terkait asal-usul atau sumber ajaran yang menjadi anutan kaum sufi. Sebagian besar sarjana muslim dengan tulus mengatakan bahwa sumber ajaran yang ada dalam praktik sufi pada dasarnya diambil atau terinsprasi dari Alquran, Sunnah dan kehidupan para sahabat. Sedangkan satu kelompok berpendapat bahwa sumber ajaran yang diamalkan oleh para sufi berasal dari keyakinan agama terdahulu sebelum datangnya Islam. Sebut saja seperti kehidupan pemuka agama nasrani yang menjauhi dunia, dan kehidupan para zahid dari agama yang lain. Julian Baldick menguatkan pendapat yang kedua, menurutnya ada beberapa kesamaan antara perkembangan sufi pada fase awal dengan kehidupan para zahid nasrani yang ada sebelum sufi. Hal ini terjadi dengan dua alasan; pertama adanya peralihan keyakinan dari nasrani ke muslim, dan menyebabkan pengaruh agama lama masih terbawa dalam agama baru. Kedua, Julian Baldick menyimpulkan bahwa kata sufi yang berasal dari suf yang memiliki arti wol, yang menjadi pakaian khas para sufi, dahulunya juga menjadi pakaian keagungan bagi para zahid dari kalangan nasrani. Pendapat ini ingin menguatkan bahwa awal kemunculan gerakan sufi sangat dipengaruhi dengan kehidupan spiritual rohani agama nasrani.58 Ih}sa>n Ilahi Z}a>hir menjelaskan hal yang serupa dengan apa yang dijelaskan oleh Julian Baldick, menurutnya Tasawuf secara hakiki sulit dibuktikan bahwa berasal dari Islam mengingat kuatnya pengaruh agama lain yang ada pada saat aktivitas sufi mulai berkembang.59 Dari dua pendapat di atas, tersisa satu pendapat lagi. Pendapat ini lebih menitikberatkan perhatian dan kritikannya terhadap besarnya pengaruh filsafat Yunani dalam ajaran tasawuf, 57

Ahmad Nurcholis, ‚Tasawuf antara Kesalehan Individu dan Dimensi Sosial‛, Teosofi Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam . Vol.1, No.2, 2011, 187. 58 Julian Baldick, Mystical Islam An Introduction to Sufism (London: New York University Press, 1992), 15. 59 Ih}sa>n Ilahi Z}ahi>r, al-Tas}awwuf al-Mansha>’ wa al-Mas}a>dir (Lahore: Ida>rah Tarjama>n al-Sunnah, 1986), 49. 39

sehingga kelompok yang terkahir ini berkesimpulan bahwa tasawuf pada dasarnya merupakan pengembangan konsep ketuhanan yang dahulu pernah ada dalam teologi Yunani, yang kemudian ini berkembang pesat dalam Islam. Hal itu terjadi manakala adanya proses penerjemahan kitab-kitab ilmu dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Kritikan ini mengarah pada tasawuf falsafi, seperti paham al-fana>’, al-hulu>l, al-ittih}a>d, alwah}dah al-shuhu>d, al-ishra>qiyah dan lain sebagainya. Kritikan terhadap tasawuf, khususnya yang bercorak filsafat mendapatkan sorotan tajam oleh ulama, karena paham-paham di atas mengidentikan Tuhan dengan alam, atau manusia. Dalam Islam hal ini berpotensi merusak tauhid yang menjadi saripati ajaran Islam. Mereka yang mengkritik paham-paham di atas menyamakan konsep tersebut dengan paham panteisme atau monoteisme, yang meyakini bahwa antara Tuhan dan makhluk pada hakikatnya ada satu.60 Adapun dalam masalah tafsir Alquran, tafsir sufi yang berpijak pada filsafah dinilai telah terlalu menyimpang, karena telah keluar dari zahir ayat, dan mereka memaksakan tafsir Alquran agar sesuai dengan teori keilmuan yang ada dalam filsafat, serta mengklaim tidak ada makna lain selain makna yang telah mereka jelaskan.61 Hasan Hanafi memiliki pandangan yang berbeda dengan pendapat di atas, menurutnya adanya kecaman yang diarahkan pada sufisme, disebabkan oleh pengaruh sosial dan politik para

60

Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum (Jakarta: Gunung Mulia, 2007 ), 148-150. Hal yang sama juga dikuatkan oleh Goldziher, menurtnya pemahaman tasawuf yang pada awalnya merupakan gerakan para zahid, telah beralih menjadi konsep pemikiran, ini terlihat dari konsep pemikiran emanasi ketuhanan, yang merupkan hal populer dalam Neo Platonisme, yang menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi para sufi. Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir ter. M. Alaika Salamullah dkk (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), 217. 61 ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah. ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m. Mafhu>muhu, wa Nash‘atuhu, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa Dawa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 180. 40

guru sufi, yang sering mengancam kekuasaan serta hak-hak istimewa para ahli hukum dan bahkan penguasa.62 Sejalan dengan hal di atas, bagi pembela sufi, ada beberapa ayat yang menguatkan bahwa Alquran memberikan rekomendasi serta inspirasi dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dijalankan oleh para sufi. Banyak ditemukan dalam berbagai ayat yang menerangkan tentang sifat-sifat terpuji terutama dalam konsep tah}alli>, yaitu suatu proses pengisian diri melalui penanaman akhlak dan amalan terpuji dengan melakukan latihan yang berkelanjutan. Contoh latihan yang menjadi kebiasaan para sufi adalah memperbanyak zikir, dan melakukan shalat sunnah dan puasa sunnah. Ini yang diungkapkan oleh Eric Geoffroy dalam mengkritik pendapat yang menolak tasawuf sebagai hal ilegal dalam Islam, pada dasarnya para sufi telah membedakan apa yang mereka lakukan dari bentuk supra-rasio dan irasional, dan yang paling penting adalah para sufi dalam ajaranya tidak menolak disiplin lain yang ada dalam Islam, bahkan mereka menggunakan hal tersebut sebagai batu loncatan dalam ajaran mereka.63 Secara konsep dalam ajaran tasawuf ditemukan istilah s}abr, raja>’, tawakkal, khawf, mah}abbah, rid}a>’ , dan sebagainya, yang mana seluruh istilah atau ajaran tersebut ada dalam Alquran. Setidaknya ada 55 ayat Alquran yang menjadi sumber dalam ajaran tasawuf menurut Sheikh al-Ima>m Ah}mad Kabi>r al-Rifa>’i> yang dikutip oleh Muh}ammad ‘Abd al-Qa>dir A>za>d.64 Selain penjelasan di atas, istilah sufi yang tidak ada ditemukan dalam Alquran sering dijadikan bukti bahwa sufi pada dasarnya tidak memiliki legalitas syar’i terkait dengan ajarannya. Hal tersebut berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Suhrawardi sebagaimana yang dikutip oleh Mir Valiudin, meskipun kata sufi tidak ditemukan dalam Alquran, menurutnya kata muqarrabu>n dalam

62

Hasan, Hanafi. ‚Signifikansi Tafsir Sufi Bagi Spiritualitas Islam Kontemporer‛ Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. Januari 2007. 63 Jean Louis Michon and Roger Gaetani (ed), Sufism: Love and Wisdom (Blomington: tp, 2006), 50 64 Sayyid Muhammad ‘Abd al-Qadir Azad, ‚al-Tas}awwuf kama> Yus}awwiruhu al-Kita>b wa al-Sunnah‛ fi A‘ma>l Multaqi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami (Banggazi: Jami’ al-Da’wah al-Islamiyah, 1995), 341. 41

Alquran memiliki pengertian dan konsep yang sama denga apa yang diyakini dan diamalkan oleh para sufi.65 Berdasarkan uraian di atas tentang sumber tasawuf, maka tasawuf secara teoritis dibagi menjadi tiga bentuk. Penulis cenderung memilih untuk mengklasifikasi pembagian tasawuf menjadi tiga. Pertama adalah tasawuf akhlaki, kedua tasawuf ‘amali, dan yang ketiga adalah tasawuf falsafi. Dari ketiga pembagian tersebut, sebagian ada yang membaginya menjadi dua; tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Ada juga yang menambahkan tasawuf bid’i66 untuk melengkapi dari dua pembagian di atas.67 Secara definisi dan praktik ada beberapa poin pembeda antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Pertama, terkait dengan masalah hubungan hamba dan Tuhan, menurut tasawuf sunni masih ada garis pemisah antara manusia dan Tuhan, adapun menurut tasawuf falsafi tidak ada pemisah antara manusia dan Tuhan, karena keduanya memiliki esensi yang sama, oleh karena itu manusia dapat manunggal dengan Tuhan. Kedua, tasawuf sunni dalam pengamalan ajarannya masih senantiasa merujuk kepada syariah, berbeda dengan tasawuf falsafi yang lebih fokus dengan konsep antara relasi manusia dan Tuhan, seperti hulul, ittihad dan sebagainya. Ketiga, tasawuf sunni dalam berargumentasi selalu berdalih dengan alasan yang naqli samawi, berbeda dengan tasawuf falsafi yang gemar terhadap ide-ide spekulatif, hal ini terjadi karena sufi dalam kelompok ini telah memiliki pengetahuan yang dalam tentang filsafat.68 65

Mir Valiudin, Tasawuf dalam Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 14-15. 66 Istilah tasawuf bid’i ini dimunculkan oleh kelompok yang sangat tidak respek terhadap ajaran tasawuf. Untuk menolak tasawuf, maka yang digunakan sebagai senjata adalah pengklaiman bid’ah untuk seluruh ajaran tasawuf. Bagi kelompok ini tidak ada istilah tasawuf sunni, pada dasarnya penolakan berlaku untuk tasawuf secara umum. Tariq ‘Abd Al-Halim, Dira>sah fi> al-Firaq al-S}u>fiyyah Nash’atuha wa Tat}awwuruha. (Kuwait: Da>r al-Arqa>m, 1997), 6-7. 67 Muh}ammad ‘Uthma>n S>}a>lih}, ‚al-Tas}awwuf wa Dawruh fi> Nashr alIsla>m fi> Afriqiya>‛ fi A‘ma>l Multaqi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami (Banggazi: Jami’ al-Da’wah al-Islamiyah, 1995), 364. 68 Idrus Abdullah al-Kaf, Bisikan-bisikan Ilahi Pemikiran Sufi Imam al Haddad dalam Diwan ad-Durr al-Manhum (Bandung :Pustaka Hidayah, 2003), 111-113. 42

Gerakan tasawuf sunni secara teori mulai dikemas dalam tulisan Qushayri> melalui al-Risa>lah al-Qushayriyyah.69 Tulisan ini merupakan sebuah upaya untuk menyatukan antara tasawuf dengan syariat. Syariat sebagai landasan dalam Islam, termasuk dalam tasawuf adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini tidak lain karena syariat bukanlah sisi luar dari Islam , tapi merupakan satu sistem utuh yang mencakup inner dan sekaligus outer aspect dari Islam.70 Usaha ini pada dasarnya adalah kelanjutan yang pernah digagas oleh Junayd al-Baghdadi> (w.297 H) dan al-Kharra>j (w.277 H), yang menawarkan konsep tasawuf yang bersifat kompromis antara sufisme dan ortodoksi. Eksistensi tasawuf secara koloni atau wilayah, tidak hanya bertahan di Irak,71 pada abad ke empat Iran menjadi tempat yang subur terhadap perkembangan tasawuf, khususnya di Khurasan dan Transoxania, ini diperkaya dengan karya yang lahir melalui para sufi, seperti Kala>badhi>, al-Sarra>j dan al-Sulami>.72 Khusus untuk al-Sarra>j (w.378 H)73 dan kala>badhi ( w. 990/995 M),74 melalui dua karya 69

Nama lengkapnya adalah Abu> al-Qa>sim ‘Abd al-Kari>m b. Hawa>zin al-Qushairi, wafat pada 465 H/ 1072 M. Jawid Ahmad Mojadedi, The

Biograpichal Tradition in Sufism: The T}abaqa>t Genre From al-Sulami to Jami’ (London:Curzon Press, 2001), 99. Selain dikenal sebagai sufi, ia merupakan muhaddis yang memiliki ribuan murid di Naisabur, di antara guru dalam bidang tasawuf yang banyak berkontribusi terhadap karir intelektualnya adalah Abu Ali al-Daqqaq, yang merupakan seorang alim dan mufasir pada zamannya. M.Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan Jakarta: Serambi, ), 95. 70 Machasin, ‚Bediuzzaman Said Nursi and the Sufi Tradition‛ AlJami’ah Vol. 43, No.1, 2005, 2. 71 Irak sebagaimana yang tercatat dalam sejarah merupakan cikal bakal perkembangan para sufi. Hal ini terjadi karena faktor para zahid, dan para ahli ibadah yang banyak hidup di Basrah. Berdasarkan kenyataan tersebut dikenal istilah ‚Fiqh Ku>fi>‛ wa ‚’Iba>dah Bas}riyah‛. Ibn Taymiyyah, Fiqh al-Tas}awuf (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi>, 1993), 12. 72 Ahmet T. Karamustafa, Sufism : The Pormative Period (California: University of California Press, 2007), 83. 73 Sarraj lahir di Iran, melalui karyanya al-Luma’ ia dikenal sebagai sosok yang ahli dalam tasawuf. Melalui penjelasannya, uraian tentang maqam dan hal lebih jelas, dan memiliki tujan tersendiri yang berbeda. Hal tidak seperti maqam, tidak dapat diperoleh melalui praktek-praktek kezuhudan dan kebaktian. Maqam dimulai dengan pertobatan diikuti oleh penolakan terhadap dunia, kemiskinan, kesabaran, dan kepercayaan pada Tuhan. Julian Baldick, 43

mereka, telah mampu menempatkan sufisme dalam mainstream keimanan dan praktek Islam.75 Akhirnya pada abad 5 H, gerakan ini mencapai puncak kejayaan melalui al-Ghaza>li> (w.505 H), yaitu dengan ditulisnya Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n.76 Imam al-Ghaza>li> adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Al-Ghaza>li> selain dikenal sebagai seorang sufi, ia juga masyhur dengan pemikirannya yang tidak mengabaikan ilmu pengetahuan. Menurutnya ilmu pengetahuan dan intelektual adalah dua hal yang berasal dari Alquran sebagai landasan utama, dasar ilmu pengetahuan.77 Pendapat al-Ghaza>li> di atas memiliki pandangan yang sama dengan Ibn ‘Arabi>, dalam hal ilmu pengetahuan, Ibn ‘Arabi> membedakan pengetahuan kepada dua bentuk. Pertama alma‘rifah yang menurutnya adalah pengetahuan dengan pengenalan Mystical Islam An Introduction to Sufism (London: New York University Press, 1992), 55. 74 Nama lengkapnya Abu> Bakr Muh}ammad al-Kalabdhi>, lahir di Kalabdh, merupakan suatu tempat di Bukhara kala itu, untuk sekarang telah menjadi bagian dari Asia Tengah bekas jajahan Soviet. Karyanya yang masyhur dalam tasawuf di antaranya adalah al-Ta‘arruf li Madhab Ahl al-Tas}awwuf. Julian Baldick, Mystical Islam An Introduction to Sufism (London: New York University Press, 1992), 56. Lihat juga, al-Kalabadhi, al-Ta‘arruf li Madhab Ahl al-Tas}awwuf (Kairo: Maktabah al-Kuliya>h al-Azhariyah, 1969). 75 Jhon Renard, Dimensi-dimensi Islam (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), 274. 76 Nama lengkapnya adalah Abu> H}a>mid Muh}ammad Ibn Muh}ammad alGhaza>li> al-T}u>si al-Sha>fi‘i> (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan. Ia memiliki gelar Abu> H}a>mid karena salah seorang anaknya bernama H}a>mid. Gelar beliau al-Ghaza>li> al-T}u>si> berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghaza>lah di Bandar T}u>s, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar al-Sha>fi‘i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Sha>fi‘i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Lihat, Hanafi, ‚Eskatologi al-Ghazali: Studi Pemikiran Kehidupan Akhirat al-Ghazali‛. Tesis di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, 13-15. Yusuf Qaradawi, al-Ghazalai antara Pro dan Kontra, ter. Hasan Abrori (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 39. 77 Massimo Campanini, ‚Qur’an and Science: A Hermeneutical Approach‛. Journal of Qur’anic Studies, Vol. 7, No. 1, 2005, 56. 44

dan kedua adalah al-‘ilm yang ia pahami sebagai pengetahuan intelek yang luas.78 Selain al-Ghaza>li>, dan nama-nama yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu tokoh yang memiliki peran penting dalam proses penyatuan antara fikih dan taswuf adalah Ah}mad Zaru>q (w. 899 H). Melalui Qawa>‘id al-Tas}awwuf ia berhasil menerangkan ajaran tasawuf melalui metode para ahli fikih, yaitu menyajikan penjabaran tasawuf melalui sistematika fikih saat itu.79 Pada abad 6 H karya tasawuf yang berpadu dengan filsafat bermunculan. Di antara tokoh dalam ajaran ini adalah asSuhrawardi> al-Maqtu>l (w.549 H), dan Ibn ‘At}a>’ Allah (w. 709 H).80 Meksipun al-Suhrawardi> al-Maqtu>l dikenal sebagai sufi yang memiliki pemikiran tsawuf falsafi, namun ia juga memiliki kontribusi dalam mengkompromikan antara fikih dan tasawuf, ini dilihat berdasarkan tulisannya dalam ‘Awa>rif al-Ma‘a>rif. 81 Bisa dikatakan bahwa pada fase tasawuf falsafi ini, pembicaraan tasawuf mendapat banyak respon dari kalangan ulama. Pada 10 masehi tulisan tentang tasawuf memasuki fase baru dengan hadirnya al-Luma‘ fi al-Tas}awwuf, karya Abu> Nas}r al-Sarra>j (w.378 H), yang mana termasuk ke dalam periode awal perkembangan tasawuf.82 Setelah fase tersebut lahir beberapa karya sufi lainnya, antara lain adalah karya al-Sulami> (w. 412 H) Melalui T}abaqa>t al-S}ufiyah, al-Sulami> berupaya memberikan kekuatan baru pada dasar tasawuf dalam syariah, dan menempatkan tradisi sufi di dalam konteks tradisi yang mengalir melalui mata rantai hubungan personal manusia. Ia merupakan 78

A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), 174. 79 Ghulam Shams-Ur-Rehman, ‚Juridical Sufism: Zarru>q’s Aplication of The Qawa>’id Genre‛. Islamic Studies, Vol. 49, No. 3, Autumn: 2010. 345. 80 Idrus Abdullah al-Kaf, Bisikan-bisikan Ilahi Pemikiran Sufi Imam al Haddad dalam Diwan ad-Durr al-Manhum (Bandung :Pustaka Hidayah, 2003), 96-97. 81 ‘Abd al-Karim al-‘Ata (ed), al-Risa>lah al-Qushairiyah (Damaskus: Maktabah al-‘Ilm al-Hadi>th, 2000), 9. 82 Laury Silvers,‛Theoretical Sufism in The Early Period: With an Introduction to the Thought of Abu> Bakr al-Wa>sit}i> (d. ca. 320/928) on the interrelationship between Theoretical and the Practical Sufism‛. Studia Islamica, No. 98/99, 2004, 71-72. 45

pionir yang selalu berusaha untuk menyatukan antara syariat dan tarikat. Tidak hanya sebatas menyatukan syariat dan tarikat, ia juga memasukan disiplin ilmu lain ke dalam mistisme.83 Berdasarkan penelitian Michael A. Sells, puncak karya tasawuf ditandai dengan adanya karya sufi yang ditulis oleh al-Qushayri> (465 H) , sebagaimana yang masyhur di kalangan kajian tasawuf, dua karya al-Qushayri> dalam kajian tasawuf yang terbaik adalah karya tafsirnya Lat}a>’if al-Isha>ra>t dan Risa>lah al-Qushayriyyah. 84 Pendapat Michael A. Sells terkait kebesaran al-Qushayri dan pengaruhnya dalam tasawuf senada dengan apa yang dijelaskan oleh al-Kalbadhi, bahwa al-Qushayri> merupakan a’immah almuslimi>n pada zamannya yang menguasi ilmu-ilmu agama dan mahir dalam ilmu bahasa, kematangan intelektual al-Qushayri> juga ikut dibesarkan oleh para ulama yang hidup semasanya, antara lain adalah Abu> ‘Ali> al-Daqa>q.85 B. Kerangka dan Alur Perdebatan Tafsir Sufi Sebagaimana yang telah dibicarakan sebelumnya, bahwa Alquran telah banyak memberikan inspirasi pemahaman dalam konsep ajaran kaum sufi. Di antara konsep tersebut adalah spiritual, yang merupakan salah satu simbol yang penting dalam pembelajaran tasawuf. Ini dikarenakan sifat spiritual yang mengandung beberapa pengertian seperti roh, jiwa, semangat dan keagamaan. Spiritual dalam pemahaman sufi adalah dimensi batin yang lebih dikenal dengan istilah esoterik.86 Adanya tafsir sufi ini juga berhubungan erat dengan subtansi dari tasawuf yang mengkaji dimensi esoterik Islam yang memberikan perhatian lebih dalam hal menjaga keseimbangan spiritualitas dan intelektualitas. 83

Tosun Bayrak al-Jerahi al-Halveti (trs), The Book of Sufi Chivalry. Lesson to A Son of The Moment Futuwwah (New York: Inner Traditions International, 1983), 3. 84 Michael A. Sells, Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi, terj. D. Selamet Riyadi (Bandung: Mimbar Pust aka, 2003), 34-36. 85 Abu> Bakr Muh}ammad al-Kalbazi, al-Ta’arruf li Madhhab ahl alTasawuf (Kairo: al-Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyah, 1969), 12. 86 Muchlis M. Hanafi, Tafsir Al-Qur’an Tematik. Spiritualitas dan Akhlak (Jakarta: Kementrian Agama, 2010), 471. 46

Simbol spiritual yang muncul dalam praktik tafsir sufi menunjukan bahwa tafsir sufi berada pada lingkaran ideologis. Bila dihubungkan dengan teori yang ada, maka realita ini sejalan dengan teori history of idea yang telah disebutkan. Dalam teori history of idea, perkembangan tafsir terbagi menjadi tiga fase, yaitu: (1) tafsir era formatif dengan nalar quasi-kritis, (2) tafsir era afirmatif dengan nalar ideologis, dan (3) tafsir era reformatif dengan nalar kritis.87 Setiap fase dari pembagian tersebut tafsir memiliki ciri khas dan sumber yang berbeda. Pada era formatif, maka ciri khas yang mencolok adalah tingginya antusias penafsir dalam menggunakan riwayat. Sumber utama pada era ini adalah petunjuk Nabi Muhammad, dan ijtihad sahabat. Pada era afirmatif, penulisan tafsir Alquran diindikasikan dengan adanya dorongan keilmuan, mazhab dan paham tertentu yang berada dalam kawasan inti penafsir. Adapun pada era reformatif dengan nalar kritis, tafsir Alquran dibawa untuk senantiasa berdialog dengan permasalahan zaman yang ada. Ciri khusus dari masa ini adalah sikap kritis yang ditunjukan oleh para penafsir terhadap hasil atau karya tafsir yang ada pada era formatif dan afirmatif.88 Pada era ini juga, banyak lahir gagasan untuk mendaur ulang tafsir yang telah ada, dengan berbagai pendekatan dan teori keilmuan yang berkembang. Berdasarkan teori tersebut, tafsir sufi tergolong kepada fase kedua dalam tafsir. Tafsir sufi menjadi bagian dari tafsir yang berbasis nalar ideologis, yang juga di dalamnya terdapat tafsirtafsir Alquran yang dibangun dengan dorongan paham tertentu, seperti pengaruh politik, paham filsafat, Syiah dan sebagainya.89 Berdasarkan teori ini, tafsir yang berkembang pada masa itu (era afirmatif) sangat identik dengan kepentingan yang disebutkan di atas, sehingga seringkali menjadikan tafsir Alquran sebagai alat legitimasi terhadap paham atau keyakinan yang dianut oleh penafsir. Pendapat yang dibangun oleh teori tersebut memiliki ruang yang masih bisa diperdebatkan. Menurut penulis, bahwa tidak sepenuhnya tafsir yang ditulis pada masa itu, didorong 87

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2012), 34-53. 88 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2012), 34-53. 89 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer , 46. 47

dengan kepentingan ideologi tertentu. Sebagai contoh, tafsir yang ditulis oleh para sufi, kebanyakan didorong dengan semangat kecintaan terhadap Allah. Tafsir sufi tidak begitu menonjolkan paham kesufian yang mereka yakini, hanya saja penyampaian mereka terhadap tafsir Alquran lebih bernuansa sufi yang tidak terjebak pada pembahasan bahasa, kata perkata dan uraian yang menitikberatkan pada kualitas riwayat. Penafsir sufi, khususnya al-Sulami> dan al-Qushayri> juga tidak banyak memaksakan doktrin mereka ke dalam tafsir yang mereka tulis. Ide dan gagasan mereka selalu menyesuaikan dengan pembicaraan ayat yang sedang mereka tafsirkan. Pembacaan Alquran melalui tasawuf terasa semakin rumit manakala esensi tasawuf bersifat intuitif subjektif yang berdasarkan pengalaman ruhaniah yang tidak cukup dimengerti manakala dijelaskan dengan kata-kata.90 Zahir dan batin merupakan simbol utama dalam tafsir sufi. Sufi dengan tasawufnya merupakan jalan kolaborasi antara pemahaman zahir dan pendalaman makna batin. Menurut para sufi, syariat dipandang sebagai hal yang memiliki dua sisi, zahir dan batin. Permasalahan ini –zahir dan batin- dalam tasawuf diasumsikan merupakan adopsi dalam ajaran Syiah. Ini juga yang melahirkan pandangan negatif terhadap tasawuf, yang dinilai telah menyimpang.91 Fathullah Ghulen dalam al-Tila>l alZumurrudiyyah Nah}wa H}ayat al-Qalb wa al-Ru>h}, menyatakan bahwa kedua hal, zahir dan batin memiliki jalinan untuk saling melengkapi, sekaligus sebagai dasar utama dalam tasawuf, yang merupakan jalan menuju ma‘rifat kepada Allah.92 Tafsir sufi berbeda dengan tafsir Alquran lainnya, yang mana tafsir Alquran secara umum, dapat dikatakan hanya menitikberatkan pembahasan pada aspek bahasa dan teks, meskipun ada beberapa yang mengkaji tentang metodenya, 90

Idrus Abdullah al-Kaf, Bisikan-bisikan Ilahi. Pemikiran Sufi Imam alHaddad dalam Diwan ad-Durr al-Manzhum (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), 91.

91

Ih}sa>n Ilahi Z}ahi>r, al-Tas}awwuf al-Mansha>‘ wa al-Mas}a>dir (Lahore: Ida>rah Tarjama>n al-Sunnah, 1986), 243. 92 Fathullah Ghulen, al-Tila>l al-Zumurrudiyyah Nah}wa H}ayat al-Qalb wa al-Ru>h} , ter. Ih}sa>n Qa>sim (Istanbul: Dar al-Nayl, 2006), 14. 48

termasuk di dalamnya pembahasan cara pelafalan.93 Tafsir bercorak sufi ini kian tampak ketika mistisisme Islam ini bersentuhan dengan filsafat. Salah satu di antara tafsir yang bercorak sufi-falsafi adalah Tafsir Al-Qur’a>n karya Sahl Ibn Abd Allah al-Tustari> (w. 283 H), karya tafsir al-Tustari ini merupakan karya tafsir pertama yang memiliki corak sufi isha>ri>.94 Selain karya tafsir al-Tustari> di antara beberapa karya tafsir yang muncul pada masa perkembangan tasawuf adalah H}aqa>’iq al-Tafsi>r, karya al-Sulami> (w.421 H)95 dan Lat}a>’if al-Isha>ra>t karya al-Qushayri> (w. 465 H).96 Adapun karya tafsir yang menarik banyak perhatian para pakar setelah melewati fase klasik adalah Ru>h} al-Ma‘a>ni> yang merupakan karya al-Alu>si> (w. 1270 H), tepatnya tafsir ini ditulis pada abad 19 M atau 13 H.97 Apa yang ditulis oleh al-Alu>si> dalam Ru>h} al-Ma‘a>ni> merupakan kolaborasi antara penjelasan zahir ayat 93

Bruce Fudge, ‚Quranic Exegesis in Medieval Islam and Modern Orientalism‛, Die Welt des Islams, New Series, Vol. 46, Issue 2, 2006.118. 94 Sa‘i>d Mat}lak Mahdi Al-Zuba‘i. ‚al-Ima>m al-Qushayri> wa Juhu>duh fi> H}araka>t al-Tafsi>r‛ Majallah al-Kuliyyah al-Tarbiyyah li al-Bana>t, Vol. 17, Issue 1, 2006, 5. 95 Nama lengkapnya adalah Abu Abdarrahman Muhammad b. AlHusayn b. Muhammad b.Musa b. Halid b. Salim b. Zawiyya b. Sa‘id b. Qabisa b. Sarraq al-Azdi as-Sulami an-Naysaburi. Ia lahir di Naisabur pada tahun 325 H/937 M dan wafat pada 412 H/ 1021 M di tanah kelahirannya. Gerhard Bowering, ‚The Major Sources on Sulami’s Minor Qur’an Commentary‛, Oriens, Vol. 35, 1996, 35-36. Pembelajaran tasawuf al-Sulami didapat melalui ayahnya yang merupakan seorang guru sufi pada saat itu, selain mendapatkan pelajaran dari ayahnya, kakeknya juga berperan penting dalam menanamkan pondasi keilmuan dan wawasan keislaman kepada al-Sulami. Tosun Bayrak alJerahi al-Halveti (trs), The Book of Sufi Chivalry. Lesson to A Son of The Moment Futuwwah (New York: Inner Traditions International, 1983), 3. 96 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2012), 48. Lihat juga, Sa‘i>d Mat}lak Mahdi Al-Zuba‘i, ‚al-Ima>m alQushayri> wa Juhu>duh fi> H}araka>t al-Tafsi>r‛. Majallah al-Kuliyyah al-Tarbiyyah li al-Bana>t, Vol. 17, Issue 1, 2006. 7. 97 Nama lengkapnya adalah Shiha>b al-Di>n Mah}mu>d Ibn ‘Abd Allah alH}usayni> al-Alu>si>. Dilahirkan di Baghdad pada tahun 1217 H/ 1802 M, sejak kecil telah mempelajari banyak cabang dari ilmu agama dengan para ulama yang ada di Irak. Wafat pada tahun 1270 H di Irak. Akram ‘Ali> Hamda>n, ‚al-Ja>nib al-S}u>fi> fi Tafsi>r al-Ru>h} al-Ma’a>ni>‛. Majallah al-Jami’ah al-Islamiyyah (Silsilah al-Dirasah al-Islamiyyah), Vol. 14, No.2 Juni 2006, 4. Lihat juga, Muhammad al-Fa>d}il Ibn ‘Ashu>r, al-Tafsir wa Rija>luhu (Kairo: Majmu‘ al-Buhu>th al-Isla>mi, 1970), 122. 49

yang kemudian diikuti dengan maksud batin ayat. Melalui kolaborasi tersebut al-Alu>si (w. 1270 H) dinilai telah berhasil dalam upaya mengkorelasikan antara kandung zahir ayat dan rahasia batin ayat Alquran.98 Ini merupakan salah satu alasan untuk selalu memelihara dan mengembangkan tafsir sufi, karena memiliki kepentingan untuk meningkatkan kualitas muslim dalam hal menangkap pengetahuan empirik, logik, dan menangkap pengetahuan spiritual.99 Ini –tafsir sufi- menjadi terlihat jelas, manakala kita memasuki pemahaman tasawuf sunni yang lebih menekankan aspek moral dan peningkatan ibadah. Hampir semua konsep tasawuf disadur dari Alquran. Seperti konsep tentang taubat, ridha, sabar, tawakal, khalawat dan sebagainya. Dalam tasawuf falsafi hal yang sama juga kita temukan, akan tetapi tidak sebanyak kajian Alquran yang ditekuni dalam tasawuf sunni. Antara lain yang berkaitan dengan tasawuf falsafi adalah konsep musyahadah, kasyf, dan ilmu laduni.100 Hal tersebut kiranya hadir dikarenakan konsep yang ditawarkan oleh tasawuf falsafi sulit dicari kesesuaiannya dalam Alquran secara tekstual. Kedekatan para sufi dengan Alquran ini didorong oleh sifat Alquran yang secara fundamental banyak membicarakan tentang moral, reward, punishmant, dan didukung dengan sugesti yang terdapat dalam Alquran yang memiliki potensi untuk mempengaruhi orang lain dalam bertindak.101 Dengan adanya kesamaan antara semangat Alquran dan kebutuhan kaum sufi dalam menjalankan ajarannya, maka kedekatan sufi dengan Alquran telah menyatu, sehingga dari kedekatan tersebut telah melahirkan suatu bentuk tafsir sufi.

98

Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduhu (Beirut: Dar al-Nafa>’is, 1986), 216-217. 99 Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 16. 100 Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 67. 101 Kate Zebiri, ‚Towards A Rethorical Criticism of the Quran‛, Journal of Quranic Studies, Vol. 5, No. 2, 2003, 96. 50

Beberapa kalangan mengistilahkan tafsir ini sebagai al-tafsi>r als}u>fi> naz}ari,102 al-tafsir s}ufi> isha>ri103> dan lain sebagainya.104 Kata ‚isha>ri>‛ yang dikaitkan dengan kata tafsir berasal dari kata isharah yang menunjukan bahwa isyarat yang ada dapat dipahami atau dilakukan dengan alat indra. Kata ini hanya ditemukan satu kali dalam Alquran, yaitu ketika membicarakan tentang Maryam. Sama dengan pengertian di atas, maksud isyarat dalam ayat tersebut adalah isyarat yang dapat dipahami oleh indrawi. Adapun dalam istilah sufi, isyarat tersebut adalah makna lain yang ada di balik teks yang tertulis.105 Al-Tusi menerangkan dalam kitabnya al-Luma>‘ sebagaimana yang dikutip oleh ‘Abd alRah}ma>n al-‘Ak, bahwa isha>ri> atau isharat adalah sebuah pengetahuan murni yang dikenal dengan ‘ilm al-Isha>rah. Sebuah pengetahuan yang lahir dari hasil amal saleh, yang Allah berikan kepada mereka yang bersih hatinya dalam bentuk bisikan dan

102

Tafsir yang didasarkan atas pandangan-pandangan ilmiah dan filsafat. Seorang sufi menafsirkan al-Qur’an dengan menyesuaikan tafsirnya dengan pandangan-pandangan pribadinya. Tafsir dalam bentuk ini ditemukan dalam tafsir Alquran yang dilakukan oleh para sufi yang berkolaborasi dengan filsafat, seperti Ibn ‘Arabi ketika menafsirkan ayat dalam QS. Maryam :57 yang menceritakan tentang Idris as. Menurut ia, ‚tempat tinggi‛ ( maka>nan ‘aliyya>n) dimana Allah meletakkan Idris adalah ‘Alam al-Afla>k, yang mana di sana terdapat maqam keruhanian untuk Idris. Muhammad Huseyn al-Dhahabi, alTafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 252. 103 Tafsir atau pentakwilan Alquran sesuai dengan pemahaman yang ditunjukan oleh isyarat samarnya (al-isharat al-khafiyah), yang hanya bisa dipahami oleh seseorang yang telah melakukan perjalanan spiritual ( salik) saja. Tafsir isha>ri> ini dapat dikategorikan ke dalam bentuk pentakwilan ayat-ayat Alquran yang berbeda dengan apa yang tampak pada zahirnya. Mukhtar alFajja>ri, Hafariya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi> Dirasah al-Maja>l al-Ma‘rifi al-Us}u>li> alAwwa>l li> Tafsi>r al-Su>fi> (Yordania: ‘Alam al-Kutb al-Hadith, 2008), 443. 104 Nama untuk tafsir sufi yang lain, tergolong tidak populer antara lain; al-tafsi>r al-ramzi> dan al-tafsi>r al-irsha>di>. Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Menuju Jalan Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 2. 105 Huseyn ‘Ali ‘Ukash, ‚Hawla Mafhu>m Must}alah al-Isha>rah wa Dalalatu ‘inda al-S}ufiyah‛ Majalah al-Sa>til. 9. Lihat juga, ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah, ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m. Mafhumuhu, wa Nash’atuhu, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa D}awa>bit}uhu‛, al-Majallah alUrduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 177. 51

rahasia yang tidak tampak.106 Nama lain dari pengetahuan murni tersebut, ‘ilm al-Ma‘a>rif, ‘ilm al-Asra>r, ‘ilm al-H}aqa>’iq, ‘ilm alKhawa>t}ir, ‘ilm al-Muka>shafah wa al-Musha>hadah, ‘ilm al-war‘. Pengetahuan ini bukanlah suatu yang bisa dihasilkan seperti ilmu pada umumnya, datang melalui ilham sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.107 Baik al-tafsi>r al-s}u>fi> naz}ari atau al-tafsir s}ufi> isha>ri keduanya mendapatkan kritikan dan perhatian serius di kalangan para sarjana yang mengkaji Alquran, terutama para kritikus sufi. Tafsir sufi dianggap sebagai sebuah frase yang belum sampai kepada tingkatan tafsir sebagaimana tafsir Alquran pada umumnya. Khusus dalam tafsir isha>ri>, ada dua kelompok tafsir, pertama adalah tafsir isha>ri> yang merupakan produk sufi-filosof, dan yang kedua adalah produk dari kaum batini dan pelaku bid’ah.108 Di balik pro dan kontra tersebut, beberapa pihak secara khusus memberikan syarat tafsir sufi agar diterima oleh kalangan luas. Ada dua syarat utama yang mesti diperhatikan dalam tafsir sufi. Pertama, khusus untuk mufasir diharuskan untuk menguasai bahasa Arab dan segala perangkat yang berkaitan dengan ilmu syariah. Bahasa Arab merupakan komponen yang sangat penting dalam proses tafsir Alquran. Karena kata dalam bahasa Arab memiliki banyak pengertian, yang sesuai dengan konteks digunakan. Bila salah dalam memahami arti dari setiap kata, maka akan salah dalam memberikan tafsir. Penguasaan bahasa Arab 106

Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduhu (Beirut: Dar al-Nafa>’is, 1986), 210. 107 H}asan ‘As}i>, al-Tafsi>r al-Qur’a>ni> wa al-Lughah al-S}u>fiyah fi> Falsafah Ibn Si>na (Beirut: al-Muassasah al-Ja>mi‘iyyah al-Dira>sah,1982),45. 108 ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah, ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m. Mafhumuhu, wa Nash’atuhu, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa Dawa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 175. Ja’far al-Sajja>ni> menjelaskan dua istilah lain yang identik dengan tafsir sufi, yaitu tafsi>r naz}ari> dan tafsi>r fayd}i>, keduanya meskipun memiliki sumber dan cara yang berbeda dalam memahami Alquran tetap saja mengindikasikan bahwa tidak dapat dimasukan dalam kelompok tafsir, karena tidak memiliki dalil yang otentik dan cenderung dipengaruhi oleh keyakinan dan pemikiran mereka sendiri. Ja ‘far al-Sajja>ni, al-Mana>hij al-Tafsi>riyyah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (tt: Muassasah al-Ima>m al-S}a>diq,tt ), 125-126. 52

adalah modal dasar yang wajib dikuasi oleh setiap mufasir atau penafsir Alquran. Kedua, mufasir dalam tafsir sufi telah menguasai prinsip dan materi yang ada dalam tasawuf. Selanjutnya, hal yang penting dalam memberikan tafsir melalui pendekatan sufi ini adalah kebersihan hati dan kesungguhan dalam memahami kalam Allah, karena tidak mungkin seseorang yang hatinya belum bersih mampu menangkap dan memahami rahasia-rahasia Alquran.109 Konsep ini yang diusung oleh al-Alu>si> (w.1854 M) dan al-Nisaburi melalui konsep tafsir berbasis takwil.110 Dalam doktrin tafsir sufi, Alquran selain dipahami melalui pembacaan dan pemahaman teks bisa juga dibaca (dipahami) dalam perspektif spiritual heart. Yaitu menggunakan mata Tuhan dalam membaca ayat atau mendengarkan dengan menggunakan telinga Tuhan di dalam mendengar bacaan Alquran. Tidak hanya melibatkan indra, otak atau pikiran dan perasaannya ketika membaca Alquran, melainkan juga mampu menghayati lebih mendalam makna sesungguhnya ayat demi ayat Alquran.111 Makna hakiki ini tidak bertentangan dengan makna zahir ayat, yang pada dasarnya berasal dari bahasa Arab. Ia merupakan makna yang berada di balik lafaz zahir, yang hanya Allah peruntukan bagi mereka yang memiliki hati bersih, ilmu yang disampaikan dimulai dari huruf per huruf Alquran, hingga pada akhirnya menjadi sebuah pengetahuan.112 Sebagai contoh terkait tentang memberikan pemahaman makna ta‘awwudh.113 Pemahaman terhadap bacaan (ayat Alquran) hendaknya mesti didahului dengan perspektif rasional-kritis. Hal 109

Huseyn ‘Ali ‘Ukash. ‚At-Tafsi>r al-S}ufi> al-Isha>ri> li al-Qur’a>n: Manhaj al-Istinba>t} wa al-Dala>lah al-Jadi>dah‛ Majallah al-Sa>til, Vol. 17, 2008, 45. 110 Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 14. 111 Nasaruddin Umar, ‚Memahami Makna Batin Alquran : Lapis-lapis Pemahaman Alquran [2]‛. Koran Republika, Jum’at 21 Juni 2013. 112 ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah. ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m. Mafhu>muh, wa Nash’atuhu, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa Dawa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007,178. 113 Dalam kitab tafsir secara umum kata ta‘awwaudh diistilahkan dengan al-isti’a>dhah (memohon pertolongan) 53

tersebut akan mengantarkan seseorang tentang hakikat ta‘awwudh secara bahasa, yang mengantarkan seseorang kepada ketawadhuan. Setelah melalui fase tersebut, maka fase selanjutnya adalah emotional heart. Pada fase ini manusia akan menyadari bahwa ia adalah makhluk yang rawan dari berbagai kekeliruan dengan segala resikonya. Dari kesadaran emotional heart maka akan lahir kesadaran puncak, yaitu spiritual heart. Jika kesadaran ini digunakan untuk membaca (memahami) atau mendengarkan Alquran, begitu juga dengan mata dan telinga Tuhan yang digunakan untuk membaca dan mendengarkan ayat-ayat suci. Dengan demikian kita kita bisa memperoleh makna tertinggi Alquran.114 Contoh tafsir sufi terkait dengan ta‘awwudh berbeda dari tafsir pada umumnya, yang cenderung membicarakan masalah hukum dan bentuk bacaan ta‘awwudh tersebut. Tafsir pada umumnya hanya mengkaji sisi zahir yang merupakan ruang lingkup kajian fikih.115 Dilihat dari penjabaran sebelumnya, dapat dilihat bahwa ada tiga model pembacaan kitab suci. Pertama, pembacaan indrawi, kedua pembacaan emotional heart dan yang terakhir adalah pembacaan melalui spiritual heart. Model yang terkahir ini menurut pengamatan penulis adalah bahasa lain dari tafsir sufi, yang mencakup antara tafsir sufi naz}a>ri dan isha>ri.116 Di sisi lain tawaran tafsir yang diuraikan sebelumnya telah memberikan opsi lain dari sebuah wilayah tafsir yang tidak hanya fokus kepada makna zahir Alquran. Pesan dan kandungan Alquran dapat dipahami melalui sebuah metode yang dikenal dengan takwil. Takwil ini pada umumnya yang digunakan oleh para sufi dalam memahami Alquran.117 114

Nasaruddin Umar, ‚Memahami Makna Batin Alquran : Lapis-lapis Pemahaman Alquran [2]‛. Koran Republika, Jumat 21 Juni 2013. 115 ‘Abd al-Rah}ma>n al-Tha‘labi>, al-Jawa>hir al-H}isa>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1996), 36. Lihat juga, Muh}ammad Ibn T}ayyi>b, Isla>m al-Mut}asawwifah (Damaskus: Dar al-Tali’ah, 2007), 39. 116 Nasaruddin Umar, ‚Memahami Makna Batin Alquran : Lapis-lapis Pemahaman Alquran [2]‛. Koran Republika, Jumat 5 Juli 2013. 117 Nasaruddin Umar, ‚Kontruksi Takwil Dalam Tafsir Sufi dan Syiah. Sebuah Studi Perbandingan‛. Jurnal Studi Al-Qur’an. Vol. 2, No.1, 2007, 39. 54

Dapat kita cermati terjadinya perbedaan pendapat tentang tafsir sufi yang berbeda dengan keilmuan Islam pada umumnya berawal dari konstruk keilmuan tasawuf. Tasawuf sebenarnya berpijak pada epistemologi ‘irfa>ni, yang bersumber kepada kasyf, yaitu datangnya pengetahuan secara langsung dari Tuhan ke dalam hati manusia tanpa adanya perantara, analisis dan olah logika. Sedangkan sisanya, yaitu epistemologi burhani yang dikembangkan oleh para filosouf dan epistemologi bayani lebih digunakan untuk qiya>s al-‘illah dalam masalah fikih dan qiya>s aldila>lah dalam permasalahan kalam,118 yang mana masing-masing berada dan eksis sesuai dengan dispilin keilmuannya. Imam alGhaza>li> menilai bahwa kasyf merupakan kebenaran yang lebih tinggi daripada kebenaran nalar. Tidak berbeda dengan imam alGhaza>li>, al-Sirhindi menjelaskan tiga hal pokok dalam permasalahan kasyf. Pertama, kebenaran yang berasal dari kasyf hanya menjelaskan dari kebenaran wahyu yang masih tersembunyi, bukan sebagai penambah kebenaran. Kedua, kasyf tidak terbebas dari kekeliruan, sebagaimana ijtihadnya mujtahid. Ketiga, bila hasil yang diperoleh melalui kasyf bertentangan dengan akidah Ahlu Sunnah maka wajib hukumnya ditolak sebagai suatu kebenaran.119 Secara kongkrit dapat dikatakan bahwa berdasarkan teoritis, irfan memfokuskan pembahasan tentang hakikat semesta, manusia dan Tuhan, sehingga secara teoritis ketiga hal tersebut yang menjadikan irfan memiliki banyak kesamaan dengan filsafat.120 Titik pembeda yang lebih sederhana untuk memahami hakikat tasawuf yaitu, tasawuf hanya memfokuskan berdasarkan pengalaman spiritual, sehingga tidak begitu terpengaruh dengan teori seperti yang terjadi pada filsafat umumnya.121 Karena pola 118

Hasan Baharun. ‚Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam‛.

Jurnal Bimas Islam, Vol. 6, No.3, 2013, 564. Bandingkan dengan, Lutfi, Epistemologi Tafsir Sains Zaghlul al-Najjar (Ciputat: PKBM ‚Ngudi Ilmu‛, 2013), 23-24. 119 Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 43. 120 A.Khudori Soleh, ‚Mencermati Epistemologi Tasawuf‛. Ulumuna, Vol. XIV, No. 2 Desember 2010, 227-230. 121 Amal Fathullah Zarkasyi, ‚ ‘Aqidah al-Tauhi>d Baina al-Tasawwuf al-Sunni wa al-Tasawwuf al-Falsafi‛, Tsaqafah Vol.6, No.2, Oktober 2010, 390. 55

epistemologi tasawuf tidak didasarkan pada logika deduksi, induksi, dan pengalaman empirik tetapi pada gnosis (‘irfa>n), yang saat ini dalam istilah psikologi modern dengan emotional mistics.122 Tasawuf bukan merupakan hasil dari suatu perumusan konseptual atau konstruksi rasional ilmu pengetahuan. Sejatinya seorang sufi tidak akan menyibukkan dirinya dalam renungan dan pemikiran (sebagaimana filosof) tetapi fokus dalam riyadahnya dalam melewati tahapan dan tingkatan dalam bentuk ahwal dan maqamat.123 C. Pemahaman Makna Batin Tafsir Alquran Tasawuf mengantarkan seseorang sufi untuk lebih mendalam dalam memahami Alquran, termasuk di dalamnya terkait dengan tafsir. Inspirasi utama dalam mempelajari dan memahami Alquran adalah Nabi Muhammad melalui hadis, termasuk di dalamnya hadis qudsi. Hal itu merupakan dasar utama bagi seorang sufi dalam memahami Alquran.124 Pendapat di atas berbeda dengan apa yang disimpulkan oleh Abdurrahman Murad, menurutnya mempelajari tafsir Alquran atau merenungkan maknanya adalah hal yang tidak dianjurkan, bahkan terkadang dilarang.125 Sebagai kitab yang mengandung banyak ilmu pengetahuan126 dan menjadi landasan dalam ajaran sufi, maka satu hal wajar manakala kedekatan sufi dalam memahami Alquran 122

Miftahul Huda, ‚Epistemologi Tasawuf dalam Pemikiran Fiqh alSya’rani‛, Ulumuna Vol.XIV, No. 2 Desember 2010, 260. 123 Miftahul Huda, ‚Epistemologi Tasawuf dalam Pemikiran Fiqh alSya’rani‛, Ulumuna Vol.XIV, No. 2 Desember 2010, 260. 124 Titus Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine (Bloomington: World Wisdom, 2008), 31. Dalam hal ibadah dan ritual secara umum apa yang dilakukan oleh sufi merupakan adopsi dari apa yang dikerjakan oleh Nabi, seperti shalat sunnah, berpuasa, sikap wara’ dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ajaran sufi sangat erat dengan praktik keagmaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Farhat Gill. ‚The Ascetic Phase in The Development of Tasawwuf‛. Pakistan Journal of Histori and Culture , Vol. XXXII, No.1, 2011, 132. 125 Abdurrahman Murad, Sufism. www.wathaker.net 126 Ahmed Hulusi, Decoding The Quran: A Unique Sufi Interpretation (tt: tp,2013), 9. 56

melebihi wilayah teks dari ayat Alquran. Hal itu kiranya semakin didukung dengan sifat dari teks Alquran yang ambigu, memberikan peluang untuk dipahami dengan banyak makna.127 Alasan lain terkait tingginya perhatian terhadap Alquran ini juga didukung dengan keyakinan dalam tradisi muslim, bahwa Alquran merupakan referensi utama terkait dengan hakikat dan eksistensi manusia.128 Uraian sebelumnya menguatkan pendapat para pakar yang mengkaji ayat-ayat Alquran secara mendasar menyimpulkan bahwa Alquran memiliki kekuatan dan wawasan yang luas terkait dengan ilmu pengetahuan, dengan demikian tidak berlebihan jika Alquran dinilai sebagai karya yang rasional yang selalu memicu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penelitian.129 Tafsir Alquran memiliki dua sisi, pertama ia merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan yang kedua ia adalah kebutuhan.130 Hal kedua ini menurut penulis yang banyak melahirkan bentuk tafsir, hal ini sesuai dengan kebutuha setiap penafsir, begitu juga yang terjadi dalam tafsir sufi. Sufi membedakan antara dua jenis tafsir tafsir. yang pertama adalah tafsir, tafsir eksternal Alquran yang berusaha untuk menjelaskan tingkat luar wahyu, seperti makna harfiah, retorika dan gramatikal bahasa. Jenis kedua yang diprakarsai dan dilakukan oleh penafsir sufi, adalah takwil, yaitu suatu proses tafsir internal yang mencari tingkat batin makna.131 Dengan kata lain tafsir merupakan suatu proses humanisasi kata ilahi dan pengilahian jiwa manusia.132 127

Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Quran in Classical Islam (London: Routledge, 2006), 136. 128 William al-Sharif, Rethingking Quranic Studies (Tranet: Jerusalem Academic Publications, 2010), 15 129 Massimo Campanini, ‚Qur’an and Science: A Hermeneutical Approach‛. Journal of Qur’anic Studies, Vol. 7, No. 1, 2005, 56. 130 ‘Ali> Ramad}a>n al-Awsi>, ‚al-Tafsi>r al-Nabawi> fi> li al-Qur’a>n al-Kari>m wa Atha>ruh fi> Tafsi>r bi al-Ma’thu>r‛ . Majallah al-Tura>th al-‘Alami> al-‘Arabi<, Vol. 2, 2012, 197. 131 Omaima Abou Bakr, ‚The Symbolic Function of Metaphor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shustari‛, Alif: Journal of Comparative Poetics, No. 12, 1992. 41. 132 Bruce Fudge, ‚Quranic Exegesis in Medieval Islam and Modern Orientalism‛, Die Welt des Islams, New Series, Vol. 46, Issue 2, 2006, 127. 57

Di kalangan sarjana Barat, istilah komentar lebih mereka gunakan sebagai petunjuk terkait dengan penjelasan Alquran yang dilakukan oleh para sufi. Mereka tidak menggunakan istilah tafsir terhadap penjelasan para sufi terhadap ayat Alquran, meskipun terdapat istilah lain, seperti; isha>rat, fahm, dan ta’wil.133 Abdul Raof dalam Schools of Qur’anic Exegesis: Genesis and Development menjelaskan ada 11 karakter yang menjadi inti dalam tafsir sufi. Tiga di antaranya adalah; konten tafsir sufi sangat erat kaitannya dengan pengalaman mistik yang dialami setiap sufi, dalam tafsir banyak membicarakan tentang pengendalian diri, antara kebutuhan jasmani dan ruhani, dan selanjutnya dalam masalah yang berkaitan dengan hukum, para sufi tidak mengomentarinya.134 Dalam memahami Alquran, para sufi meyakini bahwa tidak hanya ayat per ayat memiliki makna lain selain makna zahir. Setiap huruf yang terdapat dalam Alquran memiliki rahasia dan tujuan tersendiri. Hujjah yang mereka gunakan adalah QS. Yasin (36): 12 dan QS. Al-Hijr (15): 21.135

‫َ ُك َّل َ ٍء ْيأ َ ْيْيَ اُك يِف يِف َ ٍءا ُكيِف ٍء‬ ‫ْي‬

Segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata .

‫َ يِف ْي يِف ْي َ ْي ٍء يِفَّل يِفعْي َدنَ َ َ ايِفُك ُك َ َ نْيُكَْيِّزُك ُك يِفَّل يِفَ َد ٍء َ ْي ُك ٍءا‬ Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. 133

Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Quran in Classical Islam (London: Routledge, 2006), 67. Merujuk pada pendapat Ibn Jawzi (w. 1200 M) pada prinsipnya baik takwil dan tafsir memiliki misi yang sama dalam memahami Alquran, namun secara gradual kata ini memiliki perbedaan yang signifikan. Kata takwil menjadi ekslusif sebagai mascot para sufi pada aba 13, yaitu ketika meningkatnya kajian tasawuf dengan corak falsafi yang dicetus oleh Ibn ‘Arabi. Jhon Renard, Dimensi-dimensi Islam (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), 6. 134 Hussein Abdul Raof, Schools of Qur’anic Exegesis: Genesis and Development (New York: Routledge, 2010), 144. 135 Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduh (Beirut: Dar al-Nafa>’is, 1986), 210. 58

Landasan syar’i untuk mendukung operasional dalam tafsir sufi juga ditemukan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Hasan, bahwa Nabi bersabda:136

‫لكل آية ظهر و بطن ولكل حرف حد و لكل حد مطلع‬

137

Penjelasan dari hadis di atas tidak sekedar membuka ruang untuk menafsirkan Alquran melalui kajian terhadap pesan batin yang tersimpan, melainkan juga merupakan dorongan agar setiap kali hendak memahami Alquran agar memperhatikan aspek zahir dan batin ayat, kemudian dilengkapi dengan kajian tentang h}ad dan mat}la’. Tafsir sufi yang keliru juga banyak ditemukan dalam tafsir Alquran, ini terjadi karena terlalu menggunakan nalar belaka dan memaksakan makna karena ada kesamaan maksud dan tujuan. Contoh tafsir sufi yang keliru sebagaimana yang dikutip oleh Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n yaitu; sebagian sufi mengatakan bahwa Alquran dimulai dengan huruf ‚ al-Ba>’ ‛ sesuai dengan ‚Bismi Allah al-Rah}ma>n al-Rah}i>m‛ dan berakhir dengan huruf ‚al-Si>n‛ sesuai dengan ‚Min al-Jinnah wa al-Na>s‛. Seperti yang dijelaskan di atas terkait dengan penyimpangan dalam tafsir sufi, di sini perlu ditekankan bahwa tafsir sufi yang memiliki orientasi batin, berbeda dengan tafsir Syiah, sebagaimana banyak yang dituduhkan bahwa pengaruh idiologi Syiah memiliki kontribusi dalam ajaran sufi. Sebagai contoh tafsiran Syiah dalam memahami kata al-Ti>n sebagai rasulullah, al-Zaytu>n dipahami sebagai Ali, dan T}u>r Si>ni>na diartikan sebagai Hasan dan Husein, serta al-Balad al-Ami>n 136

Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma‘a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab‘ alMatha>ni> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001),8. 137

Versi lengkap dari hadis tersebut adalah ‫ حدثنا إسحاق‬: ‫ حدثنا محمد بن إسحاق قال‬: ‫أخبرنا عبد هللا بن محمد بن على بن محمد بن زياد الدقاق قال‬ ‫بن إبراهيم الحتظلي قال أخبرنا جرير عن واصل بن حبان عن إبن أبي الهذيل عن أبي األحوص عن عبد‬ ‫ لكل آية ظهر و بطن ولكل حرف‬, ‫ إن القران أنزل على سبعة أحرف‬: ‫هللا بن مسعود عن رسول هللا قال‬ . ‫حد و لكل حد مطلع‬ Hadis di atas menurut ulama memiliki kualitas da’if, sebagian dari perawinya bermasalah. Al-Sulami, Haqa>i’q al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 21-22. 59

ditafsirkan sebagai para imam mereka.138 Dalam pengkultusan Syiah kepada imam mereka juga menggunakan ayat Alquran, yang dianggap memiliki pesan batin, yaitu dalam QS. Al-A’raf (7): 31 yang berbunyi;

‫يَ َيِفِن َ َد َا ُك ُكذ يِفزيَتَ ُكك ْيم يِفعْي َد ُك ِّز َ ْيس يِفجد‬ Hai keturunan Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid

Ayat di atas dipahami sebagai anjuran untuk mandi (membersihkan diri) ketika akan menemui imam mereka.139 Bila kita amati dari dua contoh tafsir Syiah di atas, adalah sangat berbeda dengan konsep batini yang dipakai oleh para sufi dalam memahami Alquran. Perbedaan tersebut terletak pada; tafsir sufi mengembangkan tafsirnya melalui pengalaman batin yang puncaknya adalah kasyf, sedangkan tafsir Syiah mengembangkan tafsirannya untuk memberikan legitimasi terhadap dogma dan keyakinan ajarannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tafsir sufi dan tafsir Syiah adalah dua hal yang jauh berbeda, baik dari sisi metodologi dan empirik. Dalam tradisi Sunni bentuk tafsir yang tidak memiliki dasar dalam ilmu bahasa dapat dikatakan sebagai bagian dari tafsir yang sesat dan menyimpang, dalam hal ini banyak kita temukan dalam tafsir aliran batin yang sekaligus pelaku bid’ah, 140 tentunya juga berbeda dengan tafsir sufi. Selain bentuk tafsir yang ditolak juga ada contoh tafsir sufi yang diterima, seperti yang dijelaskan oleh Abu> Bakr al-Katta>ni terkait dengan tafsir ‚Illa man ata> Allah bi Qalb Sali>m‛, menurutnya qalb sali>m memiliki tiga bentuk, pertama adalah 138

H}useyn H}arbi>, Qawa‘id al-Tarji>h} ‘inda al-Mufassiri>n Dira>sah Naz}ariyyah Tat}biqiyyah (Riyad: Dar al-Qasam, 1996), 357. 139 H}useyn H}arbi>, Qawa‘id al-Tarji>h} ‘inda al-Mufassiri>n Dira>sah Naz}ariyyah Tat}biqiyyah. 357. 140

‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah. ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m. Mafhu>muh, wa Nash’atuh, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa D}awa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi al-Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 176. 60

mereka yang berjumpa dengan Allah tanpa melakukan syirik, kedua adalah mereka yang berjumpa dengan Allah sedangkan hatinya fokus kepada Allah dan yang ketiga adalah mereka yang berjumpa dengan Allah dan tidak peduli terhadap selain Allah.141 al-Tustari> memiliki model tafsir sufi yang juga menarik untuk dikaji, tafsir Alquran yang diterapkan oleh al-Tustari memiliki makna yang jauh dari teks ayat, tetapi memiliki alasan logis yang bisa diterima, khususnya dalam pemahaman sufi.

‫ْي ُك ْي َ َ ْياَ يِف ْياُكُك يِف َ َّل يِفأ يِف يِف ْياَْي يِف َ ْي يِف َّلسيِف يِف‬ “ Tetangga

‫ْيا يِف يِف‬ َ َ

yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil”

Dalam QS. an-Nisa‘ (4): 36 di atas, al-Tustari> mengartikan secara batin kata ‫ والجار ذي القربى‬dengan ‚hati‛, sedangkan ‫الجار‬ ‫ الجنب‬diartikan dengan ‚tabiat‛, dan ‫ الصاحب بالجنب‬mengandung pengertian batin ‚akal yang butuh pada syariat‛, adapun ‫ابن السبيل‬ berarti anggota badan yang taat kepada Allah.142 Bila dicermati lebih lanjut maka orientasi tafsir sufi adalah mengenal Tuhan melalui pendekatan batin. Para sufi menyadari bahwa untuk mengenal Allah lebih dalam dan tidak hanya sematamata menggunakan akal pikiran, perlu peran spiritual dalam menyingkap rahasia ilahi. Tafsir sufi memiliki keistimewaan dari tafsir teologis yang sarat dengan pembahasan kalam, sebagai contoh pembicaraan tentang Tuhan dalam tafsir yang berjenis idiologi semakin mengaburkan pemahaman tentang Tuhan, sebut saja seperti pemahaman Asy’ariyah dan Muktazilah. Adapun dalam tafsir sufi, bukan saja memberikan kejelasan, melainkan mampu menimbulkan rasa untuk menghayati keagungan Tuhan, kekuasaan-Nya dan keesaan-Nya.143 Meskipun menggunakan pendekatan isha>ri> dalam tafsir, produk dari tafsir sufi tidak bertentangan dengan zahir ayat, karena fokus dalam 141

Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduhu (Beirut: Dar al-Nafa>‘is, 1986), 213. 142 H}useyn H}arbi>, Qawa‘id al-Tarji>h} ‘inda al-Mufassiri>n Dira>sah Naz}ariyyah Tat}biqiyyah (Riyad: Dar al-Qasam, 1996), 359. 143 Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 17-18. 61

tafsir sufi adalah pentakwilan yang memungkinkan terjadinya kompromi antara makna zahir dan batin ayat.144 Tidak semua tafsiran sufi itu selalu identik dengan makna batin dan mengesampingkan kandungan zahir ayat. Salah satu bentuk tafsir sufi yang mementingkan aspek kolaborasi antara aspek zahir dan batin ayat adalah al-Alu>si (w. 1270 H). Dalam tafsirnya, al-Alu>si juga memperhatikan aspek dasar dalam pemahaman Alquran yang mesti dimiliki oleh mufasir. Ada beberapa hal yang mesti dikuasai oleh mufasir sebelum memberikan tafsir Alquran, hal tersebut adalah; pertama, menguasai bahasa Arab , kedua menguasai hukum-hukum yang berkaitan dengan gramatikal bahasa Arab, ketiga memahami dengan baik ilmu ma’ani, bayan dan badi’, keempat memahami tentang mubham, mujmal serta asbabun nuzul, kelima segala kaedah bahasa yang berkaitan dengan usul fikih, menguasai materi tentang kalam, dan yang ketujuh mengerti tentang ilmu qira’at.145 Tafsir yang ditulis oleh al-Alu>si> ini menjembatani antara makna zahir dan makna batin, atau yang dikenal dengan sisi syariah dan hakikat dalam tafsir. Upaya al-Alu>si dalam melakukan kompromi antara makna teks dengan kandungan batin ayat adalah suatu hal yang memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya tafsir sufi bukanlah tafsir yang keluar dari kaidah dan tafsir Alquran secara umum. Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat dicermati bahwa tafsir sufi merupakan hasil dari perenungan dan pengamatan terhadap Alquran yang sama sekali tidak mengabaikan aspek zahir dari ayat. Tafsir sufi juga memiliki dorongan yang sangat kuat dalam praktik tafsir. Dorongan tersebut tidak hanya sebatas beban untuk memahami maksud dari kalam Tuhan, juga tersimpan di dalamnya beban moral untuk senatiasa menjaga keutuhan, keserasian dan ketulusan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. 144

‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah. ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m. Mafhu>muhu, wa Nash’atuhu, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa Dawa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 176. 145 Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma‘a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab‘ alMatha>ni> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001), 6-7. 62

BAB III PENGARUH AJARAN SUFI DALAM KONSTRUK TAFSIR Bab ini merupakan pengantar dari bab inti, karena di dalamnya membahas tentang al-Sulami> (w. 412 H) dan alQushayri> (w. 465 H) secara mendalam yang berkaitan dengan inti kajian dalam disertasi ini. Yaitu melihat sejauh mana dan apa saja variabel yang digunakan oleh al-Sulami> dan al-Qushayri> dalam menafsirkan Alquran. Sebelum menjabarkan secara luas, hal tersebut juga didahului dengan pengkajian tentang corak dan bentuk pembelajaran sufi kedua tokoh tersebut yang kemudian memiliki pengaruh dalam tafsir kedua tokoh tersebut terhadap Alquran. Oleh karena itu dalam mengkaji dan memasuki pemikiran dari kedua tokoh tersebut, pada bagian pertama bab ketiga ini diuraikan terlebih dahulu tentang biografi kedua tokoh. Mengingat dengan mengenal latar belakang dan perjalanan intelektual mereka akan banyak didapati pengetahuan yang kiranya berguna untuk mengkaji lebih dalam pemikiran mereka. Karena dengan mengenal dan mempelajari biografi tersebut kita akan sangat terbantu dalam melihat hal-hal yang turut membesarkan karir dan pemikiran kedua tokoh tersebut. Fokus pembicaraan dalam bab ini terkait dengan ciri khas dan model tafsir sufi yang dilakukan oleh alSulami> dan al-Qushayri>. Teknik dan sumber tafsir menjadi sorotan dalam bab ini, karena melalui dua hal tersebut akan memberikan kita pijakan untuk mengenal lebih dalam hakikat tafsir sufi yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut. A.

Al-Sulami> dan al-Qushayri> dalam Perspektif Akademis 1. Biografi al-Sulami >

al-Sulami> yang dimaksud dalam kajian ini adalah Abu> Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad Ibn Al-H}usayn Ibn Muh}ammad Ibn Mu>sa Ibn Halid Ibn Salim Ibn Zawiyya Ibn Sa‘id Ibn Qabisa Ibn Sarraq

63

al-Azdi> as-Sulami> al-Naysaburi.1 Ia lahir di Naisabur pada tahun 325 H/937 M.2 Berdasarkan sumber yang lain, yaitu menurut alDhahabi> (w. 748 H),3 ia lahir pada tahun 330 H.4 Selanjutnya ia lebih dikenal dengan sebutan al-Sulami>, menurut al-Dhahabi>, kata al-Sulami> berasal dari jalur keturunan ibunya dari Abu> ‘Amr Isma>‘i>l Ibn Najid Ibn Ah}mad Ibn Yu>suf Ibn Sa>lim Ibn Kha>lid alSulami>.5

1

Berdasarkan catatan al-Dhahabi> ada 5 orang yang memiliki nama belakangnya al-Sulami>. Mereka adalah Ah}mad Ibn Hisha>m Ibn ‘Imar Ibn Nas}r Abu> ‘Abd Allah al-Dimashqi (w. 316 H) , Ah}mad Ibn Yu>suf Ibn Kha>lid Ibn Sa>lim Abu> al-H}asan Hamda>n al-Naysaburi> (w. 264 H), Ish}a>q Ibn ‘Abd Allah Ibn Muh}ammad Razi>n al-Khusk al-Naysabu>ri> (w. 226 H), dan Isma>‘il Ibn Qutaybah Ibn ‘Abd al-Rah}ma>n Abu> Ya‘qu>b al-Naysabu>ri> (w. 284 H), al-H}useyn Ibn alH}asan Ibn H}arb Abu> ‘Abd Allah al-Marwazi> al-H}a>fiz} al-Mus}annif (w. 246 H) . Al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006),jilid 14, 336. 2 Gerhard Bowering, ‚The Major Sources on Sulami’s Minor Qur’an Commentary‛, Oriens, Vol. 35, 1996, 35-36. Lihat juga, Tosun Bayrak al-Jerahi al-Halveti (trs), The Book of Sufi Chivalry. Lesson to A Son of The Moment Futuwwah (New York: Inner Traditions International, 1983. dan Al-Suyu>t}i>, T}abaqa>t al-Mufassiri>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), 98. Versi lengkapnya berkaitan dengan tanggal lahir al-Sulami> adalah 10 Juma>dil A>khir 325 H, keterangan ini berdasarkan tulisan khusus tentang biografi al-Sulami> yang ditulis oleh al-Muhadith Abu> Sa‘id Muh}ammad Ibn ‘Ali> al-Khisha>b. AlDhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006), Jilid 13, 44. Kenneth Honerkamp, ‚A Sufi Itinerary of Tenth Century Nishapur Based on A Treatise By Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sulami>‛. Journal of Islamic Studies 17:1 2006, 45-47. 3 Nama lengkapnya adalah Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn ‘Uthma>n alDhahabi> lahir pada tahun 673 H dan wafat pada tahun 748 H. al-Dhahabi selain memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menguasai ilmu-ilmu syariah ia juga dikenal sebagai sejarawan Islam terbaik, salah satu karyanya yang fenomenal dalam hal biografi adalah Siya>r A‘la>m al-Nubala>’, berisikan datadata para tokoh dan ulama yang berisikan penjelasan dan kritikan. Al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006), Jilid 1, 12-13 . Buku ini juga menjadi salah satu rujukan dalam proses takhrij hadis, untuk melihat sejauh mana kredibilitas rawi. 4 Al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 9. 5Al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1993), 17, 247.

64

Sebagai seorang sufi yang masyhur dan memiliki pengaruh luas dalam aspek pemikiran,6 al-Sulami> telah memulai mempelajari tasawuf melalui ayah dan kakeknya,7 kedua orang tersebut memberikan dasar-dasar tentang tasawuf semenjak alSulami> kecil.8 Di antara guru-gurunya ada beberapa nama tokoh terkemuka, seperti al-Daruqut}ni (w. 385 H), al-Sarra>j (w.378 H/ 988 M), al-Nas}r Abazi>, dan al-Asfaha>ni>. Dari merekalah al-Sulami> mempelajari ilmu tafsir, hadis, fikih hingga tasawuf. al-Sulami> sebagai sosok ulama yang banyak menguasai ilmu agama telah banyak melahirkan karya-karya pada zamannya. Ia juga dikenal sebagai ulama yang menguasai ilmu hadis, ada yang mengatakan bahwa ia telah menghabiskan lebih kurang 40 tahun untuk mempelajari dan mengajarkan apa yang telah ia peroleh dalam pengkajiannya terhadap hadis. Selain di Naisabur, al-Sulami> juga melanjutkan karir intelektualnya di beberapa tempat seperti Khurasan, ‘Iraq, dan Hijaz. Di antara murid al-Sulami> yang memiliki kedudukan sebagai ulama antara lain Abu> Qa>sim alQushayri> (pengarang Risa>lah al-Qushayri> dan Lata>’if al-Isha>ra>t) dan al-H}a>kim Abu> ‘Abd Allah (lebih dikenal dengan Imam Hakim pengarang Kitab al-Mustadrak w. 405 H)9 Al-Sulami> dalam perjalanan intelektualnya merupakan sosok ulama yang kontroversial. Sekalipun ia dinilai sebagai ulama yang banyak menguasai berbagai ilmu agama dan cabangnya, tetap saja ia tidak lepas dari banyaknya kritikan yang diarahkan 6

al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 9. Lihat juga, al-Da>wu>di>, T}abaqa>t al-Mufassiri>n (Beirut: Da al-Kutb al‘Ilmiyah, t.th), Jilid 2, 142. 7 Kakeknya adalah Isma>‘i>l Ibn Nujayd Ibn Ah}mad Ibn Yu>suf Ibn Sa>lim Ibn Kha>lid al-Sulami>, merupakan seorang sufi besar pada masanya, dan juga meriwayatkan hadis. Salah satu guru sufi yang pernah bertemu dengan kakeknya adalah Junayd al-Baghdadi>. Al-Sulami>, T}abaqa>t al-S}u>fiyyat (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1998),339. Kenneth Honerkamp, ‚A Sufi Itinerary of Tenth Century Nishapur Based on A Treatise By Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n alSulami>‛. Journal of Islamic Studies 17:1 2006, 45-47. N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East (New Delhi: Sarup and Sons, 2002), 501. 8 Libarary. Islamweb.net /newlibrary/showalam.php?ids=14510 9 al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 9. al-Suyu>t}i>, T}abaqa>t al-Muafssiri>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), 98.

65

kepadanya. Dalam periwayatan hadis, al-Sulami> dinilai sebagai pribadi yang tidak mendapatkan kredibiltas dalam periwayatan. Hingga bila ada riwayat yang berasal dari al-Sulami> maka konten dan subtantifnya masih perlu dikaji ulang. Di antara ulama yang memberikan penilian kiri terhadap cacatnya kredibilitas al-Sulami> dalam periwayatan hadis adalah Muh}ammad Ibn Yu>suf al-Qat}t}a>n al-Naysabu>ri.10 Tidak hanya dalam bidang periwayatan hadis kredibiltas al-Sulami> digugat, dalam konteks tafsir Alquran ia juga mendapat kritikan.11 Gugatan yang dinilai paling keras terhadap tafsir Alquran yang dilakukan oleh al-Sulami> melalui karyanya H}aqa>’iq al-Tafsi>r datang dari Ibn al-S}ala>h} yang mengutip perkataan al-Ima>m Abu> al-H}asan al-Wa>h}idi al-Mufassir, bahwa siapa yang meyakini apa yang ditulis oleh al-Sulami> dalam H}aqa>’iq al-Tafsi>r adalah sebagai tafsir maka ia tergolong orang yang kafir.12 Kritikan terhadap al-Sulami> yang ditujukan terhadapnya bukan merupakan kritikan secara mutlak. Karena kritikan ini khusus ditujukan pada dua hal. Pertama, asumsi yang mengatakan bahwa ia tidak memiliki kredibilitas dalam periwayatan hadis, pernyataan ini perlu dikaji ulang, mengingat bahwa al-Sulami> sangat menguasai ilmu hadis. Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya bahwa tidak sedikit ulama yang belajar hadis pada alSulami>, seperti al-H}a>kim yang terkenal dengan al-Mustadraknya. Kritikan pada al-Sulami> harus mengalami penelitian ulang, karena kritikan tersebut sepanjang yang penulis temukan hanya sebatas perkataan ulama, tanpa memberikan penjabaran yang luas. Kondisi sosial-kultural terkait munculnya kritikan tersebut juga perlu mengalami penelusuran untuk mendapatkan kepastian hukum. Apakah kritikan tersebut berdasarkan hasil kajian yang 10

al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006), Jilid

13, 46.

11

Meskipun al-Sulami> dalam beberapa permasalahan mendapat kritikan, menurut sebagian ulama ia termasuk ke dalam tsiqah, artinya yang dapat dipercaya karena keluasan ilmu yang dimiliki. Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir. Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Rajawli Pers, 2006), 151. 12 al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith, 2006), jilid 13, 48.

66

ilmiah atau lebih dari sekedar upaya untuk mengehentikan pesatnya perkembangan tasawuf dan tarikat pada masa itu. Kedua, kritikan yang ditujukan untuk H}aqa>’iq al-Tafsi>r yang notebenenya adalah refleksi pemikiran sufi isha>ri> al-Sulami> dalam tafsir Alquran. Dengan demikian kritikan tersebut hanya ditujukan untuk mengkritiki pemikiran yang di dalamnya ditemukan pengaruhpengaruh pemikiran Syiah melalui Ja‘far al-S}a>diq, yang ada dalam Haqa>’iq al-Tafsi>r, juga banyak rujukan yang diambil melalui tokoh-tokoh sufi seperti Ibn ‘At}a>’ al-Iskandari> (w. 709 H), alJunayd (w. 297H), al-Fud}ayl Ibn ‘Iya>d} (w. 187 H), Sahl Ibn ‘Abd Allah al-Tustari> (w. 283 H) , bahkan ada yang menyamakan tafsir al-Sulami> sebagai tafsir batiniah dari sekte al-Qara>mit}ah.13 Salah satu contoh tafsir al-Sulami> yang merujuk pada perkataan Ibn ‘At}a>’, yaitu ketika menafsirkan QS. al-Baqarah (2): 28, ‚kayfa takfuru>na billahi wa kuntum amwa>tan fa ahya>kum‛. Menurut Ibn ‘At}a>’ perihal kematian manusia itu akibat terlalu disibukkan dengan hal yang bersifat zahir, maka Allah menghidupkan manusia dengan membuka (mukashafah) segala bentuk rahasia ketuhanan.14 Menanggapi kritikan tersebut menurut Abu> H}afs} Sayd ‘Imra>n, apa yang dinisbahkan pada H}aqa>’iq al-Tafsi>r sebagai tafsir yang terpengaruh dengan pemahaman batiniah adalah tidak tepat, karena al-Sulami> dalam tafsirnya sama sekali tidak meninggalkan makna zahir ayat sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok batiniah dari sekte al-Qara>mit}ah. Begitu juga dengan tuduhan kafir bagi yang meyakini bahwa H}aqa>’iq al-Tafsi>r sebagai tafsir adalah tidak tepat, karena al-Sulami> sendiri mengatakan bahwa apa yang ia tulis merupakan isyarat yang tersembunyi dan mendalam.15 Selain H}aqa>’iq al-Tafsi>r kontribusi al-Sulami> terhadap tasawuf dapat ditemukan dalam T}abaqa>t al-S}u>fiyah yang isinya menjelaskan tentang riwayat hidup para imam zuhud dan tokoh sufi yang ia bagi menjadi lima tingkatan, karya ini

13

al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 10-11. 14 al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r, Jilid 1, 53. 15 al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r, Jilid 10-11.

67

terinspirasi dari kecintaannya terhadap para tokoh sufi yang hidup sebelumnya.16 2. Biografi al-Qushayri> Mengingat ada banyak ulama yang memiliki nama belakang al-Qushayri>, maka untuk membedakan dengan alQushayri> yang dimaksud dalam kajian ini perlu ditulis biografi dan perjalanan intelektualnya.17 al-Qushayri> yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Abu> al-Qa>sim ‘Abd al-Kari>m Ibn Hawa>zin Ibn ‘Abd al-Ma>lik Ibn T}alh}ah Ibn Muh}ammad al-Istiwa>’i> al-Ni>sabu>ri> al-Sha>fi’i al-Qushayri>,18 dilahirkan di kota Ustuwa> pada bula Rabi>‘ul Awa>l tahun 376 H berbeda dengan al-Dhahabi> (w. 748 H) menurutnya al-Qushayri> lahir pada tahun 375 H.19 Ia – alQushayri> - menjadi yatim sejak kecil, sehingga ia dirawat dan dibesarkan oleh Abu> al-Qa>shim al-‘Alima>ni>, seorang sahabat ayahnya, kepadanyalah al-Qushayri> memulai belajar bahasa dan sastra Arab dasar.20 Melalui Abu> ‘Ali> al-Daqa>q, ia mempelajari 16

al-Sulami>, T}abaqa>t al-S}u>fiyah wa Yali>hi Dhikru al-Niswah alMuta’abbida>t al-S}u>fiyya>h (Beirut : Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1998) , 21. 17

Berdasarkan data yang dikemukakan oleh al-Dhahabi>, ada 7 orang yang memiliki nama belakang al-Qushayri> berkedudukan sebagai ulama pada zamannya. Mereka tersebut adalah ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn ‘Abd al-Kari>m Ibn Hawa>zin Abu> Nas}r al-Qushayri> al-Nasyabu>ri (w. 514 H) , ‘Abd Allah Ibn ‘Abd al-Kari>m Ibn Hawa>zin Abu> Sa’d al-Qushayri> (w. 477 H) (kedua nama di atas merupakan anak dari al-Qushayri> al-S}u>fi yang dimaksud dalam kajian ini), alFad}l Ibn Muh}ammad Ibn ‘Ubayd Ibn Muh}ammad Abu> Muh}ammad (w. 516 H), Muh}ammad Ibn Zanjawayh Ibn al-Hatham Abu> Bakr al-Naysaburi (w. 302 H), Muh}ammad Ibn Sa’i>d ‘Abd al-Rah}ma>n Abu> ‘Ali> al-H}a>fiz} (w. 334 H), Muslim Ibn al-H}aja>j Ibn Muslim Abu> al-H}asan al-Naysaburi S}a>hib al-S}ah}ih} (w. 261 H), Hibah al-Rah}ma>n Ibn ‘Abd al-Wa>hid Ibn ‘Abd al-Kari>m Abu> al-As’ad alQushayri> al-Naysaburi> (w. 546 H). al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadi>th, 2006), Jilid 17, 604. dan jilid 13, 396. 18 M. Jawid Ahmad Mojadedi, The Biograpichal Tradition in Sufism: The T}abaqa>t Genre From al-Sulami to Jami’ (London:Curzon Press, 2001), 99. Lihat juga, al-Da>wu>di>, Tabaqat al-Muafssirin (Beirut: Da al-Kutb al-‘Ilmiyah, t.th), Jilid 1, 344. 19 al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006), Jilid 13, 395. 20 al-Suyu>t}i>, T}abaqa>t al-Muafssiri>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976),73. Lihat juga, al-Da>wu>di>, T}abaqa>t al-Muafssiri>n (Beirut: Da al-Kutb al-

68

Tasawuf,21 sekaligus ia menikah dengan putri Abu> ‘Ali> al-Daqa>q,22 dasar-dasar tentang fikih mulai ia dalami melalui Abu> Bakr alT}u>si>, Abu> Ish}a>q al-Isfirayin dan pembeljaran tentang kalam ia peroleh dari Abu> Bakr Fu>rak.23 Pada hari Ahad 16 Rabi>ul Awa>l 465 H, ia wafat bertepatan dengan umurnya yang mencapai 87 tahun.24 Ia merupakan seorang sufi yang masyhur pada zamannya, yaitu tepat pada abad 5 Hijriah. Selain piawai dalam membahas kajian tentang tasawuf ia juga aktif memberikan pikiranpikirannya dalam masalah fikih, karena ia merupakan seorang alim yang menekuni mazhab Syafi’i dan memiliki paham teologi Asy’ariah.25 Tidak jumudnya pemahaman al-Qushayri> sebagai sosok yang identik dengan kehidupan zuhud, memberikan penilaian yang berbeda manakala kita menyelami pemahaman tasawuf secara mendalam. Hal yang sama juga diterapkan oleh alGhaza>li> melalui Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, yang mampu memberikan pencerahan sufi dalam ketatnya landasan filosofis fikih. Kiranya ini yang disimpulkan oleh Paul L. Heck, bahwa tasawuf atau sufisme tidak hanya fokus dalam hal pembicaraan praktik spiritual, ‘Ilmiyah, t.th), Jilid 1, 344. Lihat juga, al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006), Jilid 13, 396. 21 Pengetahuan dan pengembangan tasawuf dalam perjalanan intelektual al-Qushayri> semakin matang ketika ia berguru dengan al-Sulami>. Faktor yang mendorong al-Qushayri> untuk menimba pengetahuan tentang tasawuf dari al-Sulami> adalah wafatnya Abu> ‘Ali> sebagai sosok guru yang menanamkan dasar-dasar tasawuf untuk pertamakalinya kepada al-Qushayri>. Sejak saat itu al-Qushayri> mulai dikenal sebagai tokoh sufi di Khurasan. AlDhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006), Jilid 13, 396. 22 al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006), Jilid 13, 395. 23 al-Suyu>t}i>, T}abaqa>t al-Muafssiri>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976),73. 24 al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007),3. Lihat juga, Ibarahi>m Bsuni, al-Ima>m al-Qushayri> Siratuhu, Atharuhu, Madhhabuhu fi> al-Tas}awwu>f (Kairo: Majma‘ al-Buhu>th al-Isla>miyah, 1972), 29. Al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006), Jilid 13, 395398. 25 al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), 3. Lihat juga, Jawid A. Mojaddedi, ‚Legitimizing Sufism in al-Qushayri's "Risala"‛. Studia Islamica, No. 90, 2000, 37.

69

lebih dari itu tasawuf juga memberikan betapa kaya dirinya dengan kajian sastra, kedisiplinan intelektual dan memiliki peran integral dalam pembentukan moral masyarakat muslim.26 Kembali membicarakan al-Qushayri>, arah dan corak pemikiran sufi alQushayri> dapat ditemukan dalam beberapa karyanya, di antara tulisan al-Qushayri> yang mencerminkan dasar dan pijakan dalam tasawuf adalah Risa>lah al-Qushayriyyah. Banyak pengamat menilai bahwa apa yang ditulis oleh al-Qushayri> dalam Risa>lahnya memiliki keistimewaan dari beberapa karya yang ditulis oleh para pendahulunya, seperti al-Sulami> dan al-Sarra>j, yang bisa dikatakan tidak banyak terpengaruh oleh para pendahulunya.27 Selain Risa>lah al-Qushayriyah, al-Qushayri> juga memiliki beberapa karya sebagaimana yang disebutkan oleh Isma‘i>l Ba>sha> al-Baghdadi> dalam Hadiyah al-‘A>rifi>n antara lain: Arba‘u>n fi al-

H}adi>th, Istifa>dah al-Mura>da>t, al-Takhyi>r fi ‘Ilm al-Tadhki>r fi Ma‘a>ni Ism Allah ta‘ala, al-Taysi>r fi ‘Ilm al-Hadi>th, ‘Uyu>n alAjwibah fi Funu>n al-As’ilah, al-Fus}u>l fi al-Fus}u>l, Kita>b al-Mi‘ra>j, Lat>a’if al-isha>ra>t (kitab ini yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian), Na>sikh al-Hadi>th wa Mansu>khuhu, Haya>t al-Arwa>h} wa al-Dali>l ila T}ari>q al-S}}ala>h, Manthu>r al-Khit}a>b fi Shuhu>d alAlba>b.28 Banyak dan beragamnya karya yang ditulis oleh alQushayri> menjadikan dirinya sebagai ulama yang dipandang memiliki kapasitas dan kredibilitas dengan penguasaan dan pemahamannya yang baik, serta dikalim tidak menyimpang dari mainstream pemikiran Islam, memberikan kredit atau poin positf pada dirinya. Meskipun ia memiliki pandangan yang luas dan terbuka terhadap berbagai cabang ilmu agama, tidak lantas menjadikan dirinya sebagai sosok yang kontroversial. Berbeda dengan gurunya ‚al-Sulami>‛, tasawuf yang dikembangkan dan diajarkan lebih menghasilkan pemikiran kanan, dengan lebih menekankan aspek moral dan akhlak yang mengkolaborasikan 26

Paul L. Heck, ‚Mysticism as Morality: The Case of Sufism‛. The

Journal of Religious Ethics, Vol. 34, No. 2 , Juni, 2006, 253. 27

Jawid A. Mojaddedi, ‚Legitimizing Sufism in al-Qushayri's "Risala"‛. Studia Islamica, No. 90, 2000, 37-38. 28 al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), 3.

70

antara syariat dan tasawuf sebagai model dasar pemikiran tasawufnya. Pujian untuk dirinya banyak diberikan oleh ulama sebagai apresiasi untuk baktinya dalam mengembangkan ilmuilmu keislaman, dan ia dinilai sebagai ulama yang memiliki kemampuan lengkap karena banyak berguru dengan ulama-ulama besar pada masanya.29 Kajian terhadap al-Qushayri> dalam penelitian ini adalah berdasarkan karyanya Lat}a>’if al-Isha>ra>t , yang merupakan kitab tafsir yang memiliki corak sufi. Pengambaran kehidupan kedua tokoh di atas, menunjukan bahwa mereka memiliki peran dan pengaruh penting terhadap perkembangan tafsir sufi di masa selanjutnya.

B.

Pendekatan Isha>ri> dalam Tafsir

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam pemahaman sufi Alquran mengindikasikan dirinya sendiri untuk dipahami tidak hanya secara zahir melainkan juga melalui pendekatan isha>ri> atau esoterik. Esoterik menjadi sebuah bagian dari tafsir manakala ia bersentuhan dengan teks yang diamati dan didalami dengan pendekatan nalar insting, tidak lagi terpaku dengan bahasan kebahasaan. Secara sederhana esoterik sebagai alat untuk memahami makna yang tersimpan dalam suatu teks adalah upaya untuk menemukan isyarat dan simbol yang memberikan penjelasan selain dari makna zahir. Dengan demikian esoterik dalam operasionalnya sama sekali tidak mengabaikan makna dan isi dari zahir kata, melainkan mencoba untuk menemukan makna lain di luar zahir kata, yang tidak bertentangan. Tentunya ini berbeda dengan pendapat yang mengklaim atau menyamakan praktik tafsir yang dilakukan oleh para sufi telah keluar dari kaidah tafsir yang sangat fokus terhadap pemahaman bahasa.30

29

al-Dhahabi>, Siya>r A‘la>m al-Nubala>’ (Kairo: Dar al-Hadith,2006), Jilid 13, 396- 397. 30 Masa>’id Ibn Sulayma>n Ibn Na>s}ir al-T}iya>r, al-Tafsi>r al-Lughawi> li alQur’a>n (Riyad: Dar Ibn al-Jawzi, tt), 5-6.

71

Dalam wilayah tafsir Alquran, esoterik (tafsir sufi) sering kali dipahami sebagai bagian dari bentuk pemahaman batin,31 bahkan juga dinamakan sebagai tafsir yang penuh dengan lambang dan isyarat.32 Tentu ini merupakan suatu hal yang keliru, meskipun di sana ada bebebrapa variabel yang menunjukan adanya kesamaan dan semangat yang sama antara pemahaman batin dengan pendekatan esoterik untuk memahami Alquran. Mengapa esoterik sufi berbeda dengan pemahaman batin dalam upaya menggali dan mengkonstruk makna terhadap tafsir Alquran? Pertanyaan tersebut setidaknya dapat dijawab dengan beberapa penjelasan. Pertama, esoterik sebagai sarana dalam memahami makna Alquran adalah capaian untuk menangkap isyarat atau pesan yang terkandung dalam zahir ayat. Kemungkinan yang terjadi adalah tafsir esoterik tidak akan melahirkan hasil yang menyimpang dari zahir ayat. Selanjutnya bisa jadi arah pembicaraan yang dihasilkan melalui pembacaan esoterik sebagai alat memahami Alquran berbeda dengan zahir ayat secara umum, tetapi memiliki semangat yang tidak bertentangan. Hal ini yang tidak ditemukan dalam pemahaman batin untuk menjelaskan Alquran, yang mana mereka – penganut mazhab batin – menafsirkan Alquran sesuai nalar dan ajaran mereka, yang hasilnya jauh dari yang diinginkan oleh Alquran. Salah satu model tafsir batin ini bisa kita jumpai dari beberapa contoh tafsir Syiah. Kedua esoterik dalam memahami Alquran tumbuh dari pengalaman spiritual seorang hamba atau para sufi. Menurut penulis, konsep pengalaman spiritual dalam penafsir sufi, memiliki kesamaan dengan apa yang diterangkan oleh Gadamer dalam teorinya. Dalam teori hermeneutika Gadamer, pengalaman atau pemahaman manusia memiliki sisi historis, linguistik dan dialektis. Sederhananya, berdasarkan teori tersebut Gadamer ingin menegaskan bahwa pemahaman penafsir sebagai bukti dari adanya

31

T. Mairizal, ‚Tafsir Dengan Pendekatan Isyari: Kajian Terhadap Kitab Haqaiq at-Tafsir Karya Abu ‘Abdirrahman As-Sulami‛ (Tesis di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), 47. 32 Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 85.

72

subyektifitas.33 Meskipun hasil pembacaan atau proses pembacaan ditentukan dengan sejauh mana tingkatan spiritual seorang sufi, tetap saja dalam teknis tafsir Alquran para sufi tidak meninggalkan aspek kebahasaan dan hal penting lainnya dalam ilmu-ilmu Alquran, hanya saja mereka tidak begitu mengkajinya dan memaparkan lebih lanjut. Hal ini terjadi karena tujuan utama dalam menafsirkan Alquran bagi penggiat esoterik adalah sampainya pemahaman kepada isyarat atau makna lain yang ada di balik teks. Berbeda dengan pendekatan batin dalam memahami Alquran, mereka dengan tegas dan sadar melakukan upaya pembenaran terhadap mazhab dan kepentingan kelompok mereka. Tidak hanya itu, selain memiliki kepentingan untuk memenangkan pemahaman mereka dalam menafsirkan Alquran, mereka juga kerap menolak bentuk-bentuk tafsir lain yang berbeda dengan kelompok mereka. Hal yang terakhir ini tentu tidak ditemukan dalam tafsir esoterik yang diusung oleh para sufi dalam memahami Alquran. Berbicara tentang kapan munculnya tradisi esoterik dalam memahami Alquran, maka kita temukan dalam sejarah perekmbangan tafsir bahwa para sahabat Nabi merupakan generasi awal yang mempraktikkan tafsir esoterik ini melalui pendekatan isha>ri. Sahabat yang lebih dari sekedar simbol dan agen dalam penyebaran Islam telah sangat berjasa dalam memberikan arahan dan pijakan terkait dengan operasional dalam operasional esoterik dalam memahami Alquran. ‘Ali> Ibn T}a>lib (w. 40 H) menyebutkan bahwa setiap ayat Alquran mengandung empat makna. Yaitu; z}a>hir, ba>tin, h}ad dan mat}la‘. Z}ah> ir adalah bacaanya, ba>tin merupakan pemahaman dari Alquran, adapun h}ad merupakan ibarat dan isyarat juga termasuk di dalamnya hal-hal yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, sedangkan mat}la‘ lebih mengarah pada apa yang dipahami oleh seorang hamba dan

33

Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), 31. Lihat juga, Richad E. Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleiermacher Dilthey Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Perss, 1977), 212-215.

73

menjadikan Alquran sebagai ibarat dan isyarat dan hakikathakikat.34 Apa yang dikatakan ‘Ali> ra di atas memberikan bahwa adanya kesan dan kepastian bahwa pendekatan esoterik pada dasarnya adalah inti dari tafsir Alquran. Sebagai contoh adanya perbedaan sahabat Nabi Saw dalam menafsirkan QS. Al-Nasr [110]: 1. Sebagian sahabat memahami ayat tersebut mengikuti apa yang ada pada zahir ayat. Hasilnya adalah bahwa ayat tersebut merupakan perintah Allah untuk senantiasa bertahmid dan memohon ampunan. Adapun sahabat Nabi yang lain memahami bahwa ayat tersebut merupakan isyarat bahwa ajal Nabi Saw sudah sangat dekat. Hal di atas ini menunjukan bahwa tidak semua sahabat memahami apa yang ada di belakang teks ayat. Hanya sebagian orang tertentu saja yang bisa memahami makna batin Alquran.35 Hal yang sama ditemukan dalam kisah ‘Umar Ibn al-Khat}t}a>b (w. 23 H / 644 M) ketika mendengar telah turunnya QS. Al-Maidah (5): 3.36 Esoterik dalam tafsir Alquran lebih tepat dikatakan sebagai bentuk pemahaman dari isyarat yang muncul ketika memahami Alquran. Oleh karena itu menurut penulis istilah yang digunakan untuk tafsir esoterik adalah isha>ri>, atau al-tafsir isha>ri>. Ini sekaligus menolak penggunaan kata takwil untuk menunjukan tafsir esoterik Alquran, karena pada dasarnya tafsir esoterik bukan merupakan hasil yang ditemukan secara langsung, melainkan melalui proses spiritual.37 Karena pada awal perkembangan tafsir Alquran, kata takwil tersebut ditujukan untuk tafsir pada umumnya. Barulah pada abad 8 M istilah takwil digunakan untuk menunjukan bentuk tafsir yang menggunakan esoterik sebagai 34

al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001),

23.

35

Muh}ammad Huseyn al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000 ), 263. 36 Untuk lebih jelas, lihat kembali uraiannya pada bab I tulisan ini halaman 4. 37 Allahbakhsh K. Brohi, ‚Signifikansi Spiritual Al-Quran‛ dalam Islamic Spirituality Foundations. Seyyed Hossein Nasr (Ed), ter. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 2002), 34.

74

pendekatan.38 Pembahasan takwil akan dikaji lebih dalam pada sub bab selanjutnya. Esoterik sebagai cara untuk membaca, memahami, dan menafsirkan Alquran memiliki dua variabel yang mempengaruhi proses tafsir. Pertama adalah eksternal esoterik yang terdiri dari pengaruh lingkungan dan kondisi sosial mufasir. Tafsir sufi juga sangat dipengaruhi dengan kondisi sosial dan politik di masa kehidupannya. Hal ini juga berlaku pada tafsir yang tidak mengusung corak sufi. Dalam beberapa bagian, penjelasanpenjelasan sufi bahkan alasan penting untuk menulis tafsir sufi lantaran terpicu dengan realita dan problema kemasyarakatan, termasuk di dalamnya pembicaraan tentang politik. Sehingga bukan hal yang mengherankan ketika ada beberapa bait dari tafsir sufi begitu keras mengkritik apsek moral, yang pada hakikanya ditujukan kepada pemimpin saat itu. Hal kedua yang memberikan kontribusi dalam mematangkan tafsir sufi adalah internal esoterik. Maksud dari internal esoterik ini adalah pengalaman ruhani seorang mufasir sufi yang kemudian berpengaruh dalam pembacaan, pemahaman serta tafsirnya terhadap pesan-pesan yang berada di balik teks ayat. Internal esoterik ini merupakan bagian sangat sulit untuk dikaji, karena ini berkaitan langsung dengan pengalaman spiritual seorang mufasir yang kemudian menghasilkan beberapa simbol dan isyarat dalam memahami Alquran. Kenapa ini sulit dikaji secara komprehensif, setidaknya ada beberapa alsan untuk menjelaskannya. Pertama, sulitnya untuk memahami sejauh mana kedalaman tingkat spiritual sufi yang kemudian berpengaruh pada tafsirnya. Kedua belum adanya standar kebenaran tentang spiritual dan kualitasnya. Satu-satunya cara yang memungkinkan untuk melacak keberdaan spiritual adalah dengan melihat corak tasawuf yang diyakini oleh mufasir sufi. Meskipun tidak dapat melihat sejauh mana pengaruh spiritual sufi dalam menafsirkan Alquran, setidaknya kita mampu membaca bahwa spiritual sufi dalam menafsirkan Alquran tidak 38

Oliver leaman, The Qur'an : an encyclopedia. (Canada: Routledge,

2008), 94.

75

berdiri sendiri melainkan ditopang dengan ajaran dan dogma yang ditemukan dalam tasawuf yang diyakininya. Internal esoterik ini sangat berbeda dengan pra–tafsir yang diusung oleh sebagian penafsir Alquran. Pra-tafsir yang dimaksud adalah adanya asumsi tertentu untuk menggiring hasil tafsir kepada pemahaman yang ekslusif.39 Tafsir sufi terlihat jelas manakala membicarakan ayat-ayat yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang ketuhanan yang berisikan wujud dan sifat Allah. Baik al-Sulami> dan al-Qushayri> memiliki cara dan sudut pandang yang berbeda dalam memberikan uraian tentang hal tersebut. Pembahasan tentang sifat dan wujud ketuhanan dalam tafsir Alquran lebih menekankan pada aspek moral, ini dibuktikan bahwa komentar-komentar para sufi banyak ditemukan guna mendukung tafsir yang dilakukan. Sebagai contoh lafaz Allah dalam tafsir sufi merupakan simbol dari wah}da>niyah yang menunjukan kesempurnaan Allah, kebenaran mutlak (al-h}aq) tanpa adanya kekurangan. Secara rincinya, huruf alif memberikan isyarat bahwa Allah kuasa dengan dan terhadap dirinya sendiri dan terlepas dari segala makhluk dan tidak terkait dengan makhluk manapun, sama halnya dengan alif yang banyak huruf-huruf berkaitan dengannya, sesuai kebutuhan dan untuk penyempurnaan.40 Dalam ayat lainnya, Allah menegaskan bahwa dirinya adalah satu-satunya Tuhan yang tidak ada lagi Tuhan selain dirinya. Kutipan ayat tersebut terdapat dalam QS. Ali ‘Imran (3): 18, yaitu:

‫ُهى َش‬

‫َش ِه َش الَّلوُه َشَّلوُه َش ِهاَشوَش ِهَّل‬

Bagi para sufi hakikat ayat di atas mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia tidak akan sampai menuju Allah kecuali dengan Allah. Menurut Ibn ‘At}a>’ ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menunjukan kita dengan diri-Nya melalui diri-Nya dengan mencermati asama-Nya, yang mana di dalam hal tersebut terdapat 39

Katajun Amirpur, ‚The Chaning Approach to The Text: Iranian Scholars and The Quran‛. Middle Eastern Studie, Vol. 41, No. 3, May 2005, 337. 40 Al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 26, 30.

76

penjelasan tentang ketuhanan dan sifat-Nya. Hal tersebut pada dasarnya adalah penegasan Allah bahwa hanya ia lah Tuhan satusatunya, tidak ada Tuhan yang lain.41 Berkaitan dengan ini dalam contoh tafsir Alquran, ahli hakikat lebih mengutamakan lafaz ‚alh}amdu li Allah rabb al-‘a>lami>n‛ daripada lafaz la> ila>ha illa> Allah, ini terjadi dengan satu alasan bahwa lafaz la> ila>ha illa> allah yang merupakan penegasan tauhid kepada Allah merupakan penjabaran atau bagian dari lafaz al-h}amdu li Allah rabb al-‘a>lami>n.42 Meskipun menekankan aspek moral,43 justru hal tersebut yang menjadi ciri khas dalam tafsir yang menekankan esoterik sebagai cara baca, memahami dan menafsirkan Alquran. Bentuk moral tertinggi yang ada dalam doktrin sufi adalah cinta, yang dimulai dengan muculnya perasaan dan kerinduan (‘ishq) kepada Allah sang pencipta. Setiap para sufi memiliki konsep yang berbeda tentang cinta, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mengenal dan menghadirkan Tuhan dalam kehidupannya. Sufi-sufi besar seperti al-Ghaza>li> dan sebagainya juga banyak membahas tentang cinta kepada Allah dalam bab khusus.44 Takwa dalam pengertian yang luas juga merupakan salah satu bentuk moral tertinggi di sisi Allah yang dalam banyak kasus Allah janjikan sebagai ujung dari pencarian jati dan kasta tertinggi dalam proses manusia menuju Allah. Takwa dalam pengertian sufi adalah ma‘rifah dengan dalil wa ma> khalaqtu al- jinna wa al-ins illa> liya’budu>ni,45 para ahli ma’rifah memahami liya‘budu>ni 41

al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001),

90-91.

42

Ibn Juzyi al-Kalbi>, al-Tashi>l li> ‘Ulu>m al-Tanzi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1995), Jilid 1,45. 43 Moral dalam bahasa Arab identik dengan kata ahkla>q yang memiliki makna setiap sikap dan tingkah laku yang dibangun melalui kebiasaankebiasaan, dilakukan dalam waktu yang lama, sehingga melekat dalam diri pemiliknya. Menariknya kata ahkla>q tidak pernah ditemukan dalam Alquran, hanya jika menunjukkan suatu hal yang memiliki pengertian budi pekerti, Alquran menggunakan kata khuluq, yang merupakan satu-satunya kata yang dapat ditemukan dalam Alquran, yaitu yang terdapat dalam QS. Al-Qalam (68): 4. Muchlis M. Hanafi (ed), Tafsir Al-Qur’an Tematik. Spiritualitas dan Akhlak (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2010), 32. 44 Joseph E. B. Lumbard, ‚From Hubb to ‘Ishq: The Development of Love in Early Sufism‛. Journal of Islamic Studies 18:3, 2007, 345-348. 45 QS. al-Dha>riya>t (51): 56

77

tersebut dengan liya‘rifu>n. Takwa merupakan induk atau inti dari ibadah. Ilmu dalam makrifah terbagi dua, ilmu d}aru>ri dan ilmu wahbi>.46 Menurut al-Sulami> dalam H}aqa>’iq al-Tafsi>r takwa terbagi dalam empat bagian. Pertama, takwa untuk orang awam yaitu terhindarnya seorang hamba dari perbuatan syirik. Kedua, takwa bagi orang-orang tertentu yaitu terhindarnya dari perbuatan maksiat. Ketiga, takwanya para arif dan keempat takwa ahli s}ofwah (ahli tasawuf) yang memfokuskan dirinya hanya kepada Allah.47 Seyyed Hossein Nasr juga berkomentar mengenai hal di atas, menurutnya, persoalan etika merupakan pesan penting yang digagas Alquran. Alquran tidak hanya berbicara tentang aspek kriminal seperti pembunuhan, pencurian dan perzinaan. Di dalamnya juga dijelaskan tentang konsep kebaikan yang menurutnya bermuara pada istilah takwa. Takwa itu yang dimaksud oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai inti dari gagasan etika Alquran.48 Paparan terdahulu menunjukan bahwa tafsir sufi bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk tafsir yang mengusung dan menggagas aspek moral ketuhanan, yang mana dalam aspek ini Allah dijadikan sebagai moral sentris, dengan merujuk pada sifat dan asma-Nya yang kemudian diestrak melalui pendekatan isha>ri>f sehingga melahirkan pemahaman dan tafsir yang luas yang tidak terpaku pada makna zahir ayat. Apa yang dilakukan oleh mufasir sufi dalam tafsir Alquran merupakan bentuk yang baru dalam memperlakukan wahyu sebagai kebenaran Alquran, yang berupaya untuk menjalin dialog yang bersifat terbuka tidak terkukung dengan dogma, ‚bahwa segala bentuk tafsir Alquran mesti merujuk langsung kepada Nabi‛. Ini sekaligus membenarkan

46

‘Abd al-Kari>m Ibn Ibra>hi>m al-Ji>li, H}aqi>qah al-H}aqa>’iq allati> Hiya li> al-H}aq min Wajh wa min Wajh li al-Khala>’iq (Kairo: Dar al-Risalah, tt), 8-9. 47 Al-Sulami>, H}aqa>i’q al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 58.

48

Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern. Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim (Bandung: Mizan, 1994), 25.

78

beberapa pendapat yang meyakini bahwa Alquran bersifat polysemic (memiliki beberapa temuan berarti).49 Tentunya hal tersebut tidak muncul secara tiba-tiba, ada hal yang mendorong untuk memberikan penegasan bahwa dalam wilayah tafsir Alquran masih terdapat ruang yang bersifat ijtihadi dan berpotensi untuk selalu mendialogkan pesan dan kesan Alquran dengan perkembangan zaman. Salah satu yang menguatkan pendapat ini adalah perilaku Nabi saw yang tidak menafsirkan Alquran secara utuh dan keseluruhan.50 Pemahaman di atas tentunya berbeda dengan apa yang dimaksud oleh Kenneth Cragg (w. 2012 M). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdullah Saed, bahwa koreksi dan kritik Kenneth Cragg (w. 2012 M) terhadap wahyu (Alquran) lebih bersifat untuk mengubah atau merevisi total dogma yang selama ini telah tertanam dalam pemikiran muslim bahwa Alquran merupakan kalam Allah.51 Bila kita merujuk pada perkembangan tafsir sufi, maka akan kita temukan satu gagasan penting yang mendorong lahirnya tafsir dengan corak atau nuansa sufi ini. Hal tersebut adalah semangat untuk mengembalikan Alquran sebagaimana fungsinya yaitu menjadikan ia kitab yang penuh dengan petunjuk yang membimbing manusia untuk semakin dekat dengan Allah. Semangat yang sama pada saat ini dikenal dengan istilah pembaharuan (tajdi>d). Pembaharuan dalam persoalan tafsir Alquran adalah sebuah upaya untuk memahami Alquran yang lebih mengutamakan dan menghidupkan lagi sisi fungsional Alquran sebagai dasar dan petunjuk manusia dalam menjalani kehidupan agar mampu memberikan solusi dalam persoalan kehidupan. Ini ditujukan agar peran tafsir yang bila kita merujuk kepada definisinya sebagai cara

49

Asma Barlas, ‚The Qur'an and Hermeneutics: Reading the Qur'an's Opposition to Patriarchy‛. Journal of Qur'anic Studies, Vol. 3, No. 2 (2001), 15. 50 Uthma>n Ah}mad ‘Abd al-Rah}ma>n, al-Tajdi>d fi al-Tafsi>r Naz}rah fi> alMafhu>m wa al-D}awa>bit} (Kuwait: al-Wa‘i al-Islami, 1965), 22-23. 51 Abdullah Saed, ‚Rethinking 'Revelation' as a Precondition for Reinterpreting the Qur'an: A Qur'anicPerspective‛. Journal of Qur'anic Studies, Vol. 1, No. 1 (1999), 93.

79

untuk berinteraksi terhadap Alquran tercapai dengan terpenuhi komponen atau perangkat tafsir yang lainnya.52 Kecenderungan tafsir Alquran pada masa lalu yang memberikan kesan statis karena terjebak dengan persoalan bahasa, fikih, kalam dan tasawuf menurut Muh}ammad ‘Abduh (w. 1869 M) menjadi persoalan serius yang mesti mendapatkan solusi. Bentuk solusi yang ditawarkan adalah dengan mengembalikan tujuan-tujuan utama untuk apa Alquran diturunkan dan menjadikan Alquran sebagai kitab petunjuk.53 Inti dalam pembaharuan dalam wilayah tafsir adalah mengubah cara pandang terhadap ayat Alquran, bukan memalingkan apalagi mengubah ayat Alquran. 54 Bukan juga menafsirkan Alquran sesuai dengan kepentingan kelompok, ambisi tertentu dan dengan hasil pemikiran yang sama sekali tidak memiliki relasi terhadap ayat yang sedang ditafsirkan.55 Muh}ammad ‘Abduh menambahkan bahwa Alquran di dalamnya terkandung lima ajaran pokok. Pertama, Alquran membicarakan dan selalu mengedepankan aspek tauhid. Kedua, adanya penjelasan tentang wa‘d dan wa ‘i>d, ketiga, penjelasan tentang ibadah, keempat, Alquran menguraikan jalan hidup untuk mencapai kebahagiaan, dan yang kelima, di dalam Alquran banyak terdapat kisah-kisah yang bisa diambil pelajaran darinya.56 Salah satu dorongan yang menjadikan atau mengharuskan agar pembacaan dan pemahaman terhadap Alquran mesti selaras dengan kondisi masyarakat adalah sebagai respon dari ketidaktahuan dan kebutuhan terhadap hal yang belum jelas. Hal ini kiranya telah dilakukan oleh para sahabat Nabi terkait dengan permintaan mereka kepada Nabi untuk menjelaskan sebagian maksud ayat yang mereka tidak pahami, seperti pertanyaan ‘Umar 52

Ibn ‘At}iyah al-Andalu>si>, al-Muharraru al-Waji>z fi> Tafsi>r al-Kita>b al‘Azi>z (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 3. 53 Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1999), 13-15. 54 Uthma>n Ah}mad ‘Abd al-Rah}ma>n, al-Tajdi>d fi al-Tafsi>r Naz}rah fi> alMafhu>m wa al-D}awa>bit} (Kuwait: al-Wa‘i al-Islami, 1965), 15. 55 al-Kha>zin, Tafsi>r al-Kha>zin al-Musamma Luba>b al-Ta’wi>l fi Ma‘a>ni> al-Tanzi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2004), 6. 56 Muh}ammad Rashi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1999), 24.

80

Ibn al-Khat}t}a>b tentang ‚kala>lah‛. Di sisi lain, dapat kita memahami bahwa pada dasarnya tafsir Alquran merupakan ilmu keislaman yang pertama kali muncul, karena sifatnya yang hidup di tengah masyarakat dan langsung merujuk kepada Nabi saw, yang kemudian tradisi ini terus berjalan pada zaman sahabat dan seterusnya.57 Tafsir Alquran melalui pendekatan dan pemahaman esoterik juga memberikan kontribusi dalam peningkatan ritual sufi, sehingga tidak jarang kita melihat dalam tradisi suluk sufi ada beberapa surah yang dikhususkan untuk rutin membacanya selama masa suluk dan berkhalawat. Ah}mad al-Ghaza>li> (w. 520 H)58 merekomendasikan beberapa surah khusus yang mesti dibaca bagus seorang murid yang sedang berada dalam masa suluk. Kedua surah tersebut adalah surah al-‘As}r dan al-Ikhla>s}.59 57

Muh}ammad T}a>hir Ibn ‘Ashu>r, Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r (Tunis: al-Dar al-Tunisiyah, 1984), 14. 58 Nama lengkapnya adalah Ah}mad Ibn Muh}ammad Ibn Muh}ammad Ibn Ah}mad al-T}u>si> al-Ghaza>li>. Ia merupakan adik dari H}ujjatul Isla>m Ima>m alGhaza>li> dengan gelar Majd al-Di>n. Tidak banyak yang tahu tentang kapan lahirnya Ah}mad al-Ghaza>li> ini, namun diceritakan bahwa semasa kecilnya ia belajar bersama dengan Imam al-Ghaza>li> di sekolah yang sama untuk mendalami fikih, barulah ketikan dewasa mereka menempuh jenjang pendidikan yang berbeda. Berbeda dengan saudaranya yaitu Imam al-Ghaza>li>, yang lebih dikenal sebagai seorang fakih sebelum ia menekuni tasawuf yang pada akhirnya menjadikan dirinya sebagai salah satu guru agung dalam tasawuf, Ah}mad alGhaza>li> merupakan sosok sufi yang sejati, dan ia dikenal sebagai guru dari par sufi yang masyhur, seperti ‘Ayn al-Qudah al-H}amdani yang merupakan seorang sufi di Iran, dan nama al-Ghaza>li> juga banyak ditemukan dalam silsilah tarekat yang ada setelah zamannya. Ah}mad al-Ghaza>li> tidak banyak meninggalkan kaya tulis yang berkaitan dengan keilmuannya, namun ada beberapa karangannya yang masih ditemukan saat ini, antaralain; Luba>b al-Ih}ya>’, merupakan ringkasan dari Ih}ya>’ al-‘Ulu>m al-Di>n karya Imam al-Ghaza>li>, al-Sawa>nih}, yang ditulis dalam bahasa Persia dan Sirru al-Asra>r wa Kashf al-Anwa>r. Ah}mad al-Ghaza>li>, Sirru al-Asra>r wa Kashf al-Anwa>r (Kairo: Dar al-Mas}riyah al-Lubna>niyah, 1988), 5-7. Lihat juga, Joseph E. B Lumbard, ‚From ‘Hubb toIshq : Development of Love in Early Sufism‛. Journal of Islamic Studies, 18:3, 2007, 348. 59 Khusus untuk surah al-Ikhlas, pendapat Ah}mad al-Ghaza>li> ini sejalan dengan Muh}ammad Ibn Fad}l yang mengatakan bahwa surah al-Ikhlas merupakan bagian dari Ayat Muhkamat, yang menunjukan keutamaannya dari yang lain karena di dalamnya berbicara tentang tauhid semata. Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 87.

81

Rekomendasi terhadap dua tersebut tidak lahir begitu saja, ia ada karena pemahaman terhadap kedua surah tersebut yang ditelaah melalui pendekatan sufi. Menurut Ah}mad al-Ghaza>li> kedua surah tersebut, al-‘As}r dan al-Ikhla>s} mencakup segala aspek yang berkaitan dengan alam (Mara>tib al-Kawn), dan aspek yang berhubungan dengan manusia (Mara>tib al-Insa>n). Dari kedua aspek tersebut akan lahir kemuliaan dan kesempurnaan seperti arwah dan akal yang merupakan bagian dari alam dan lain sebagainya. Bila diteliti lebih lanjut maka Alquran menurut Ah}mad al-Ghaza>li> mencakup tiga aspek utama, keseimbangan, kebaikan dan perincian. Ketiga aspek tersebut terdapat dalam kedua surah tersebut yang menjelaskannya secara umum. Dalam tafsir Alquran, khususnya pada surah al-‘As}r, Ah}mad al-Ghaza>li> membagi tafsir Alquran ke dalam dua bentuk, bentuk yang tergambar (s}u>rah) dan yang tidak tergambar (h}aqi>qah). Sebagai contoh firman Allah dalam QS. Al-‘Asr (103): 3, yaitu

‫ِهَّل اَّل ِه ي ء منُه وع ِهملُه َّل ِه ِه‬ ‫ال ِْه‬ ‫ص ْ ِه َّل‬ ‫َش َش َش َش َش‬ ‫ص ْ ِه ْاَش ِّق َشوتَش َش َش‬ ‫ال اَش ا َشوتَش َش َش‬ Tafsir tentang iman yang dimaksudkan oleh ayat di atas dalam bentuk yang tergambar (s}u>rah) adalah penyempurnaan kekuatan intelektual yang menghasilkan pengetahuan yang hakiki, dan hal tersebut juga memberikan peran dalam mematangkan keyakinan. Ini ditempuh dengan dua cara, pertama dengan pengamatan yang pasti dan taklid, cara yang pertama adalah cara yang paling baik. Adapun maksud dari amal saleh dalam ayat di atas adalah penyempurnaan kekuatan amal, selanjutnya pemahaman yang diambil dari saling menasehati dengan cara yang benar adalah apabila telah mapan penyempurnaan kekuatan pikiran intelektual dalam berbagai macam ilmu pengetahuan, maka wajib menyempurnakannya dengan melengkapi dengan hal yang lain, sebagai bentuk apresiasi syukur ke pada Allah. Adapun menasehati dengan sabar dalam ayat ini dimaksudkan bahwa penyempurnaan

82

kekuatan amal terhadap orang lain dilakukan dengan cara yang adil, yang mencakupi kebijaksanaan, memaafkan dan keberanian.60 Penjelasan sebelumnya menerangkan tentang tafsir surah al-‘As}r dalam bentuk gambaran (s}u>rah), selanjutnya diterangkan tentang tafsir surah al-‘As}r dalam bentuk hakikatnya (h}aqi>qah). Menurut Ah}mad al-Ghaza>li>, secara hakikat surah al-‘As}r sangat erat kaitannya dengan pembicaraan tentang aspek ketuhanan. Allah bertajalli dalam bentuk yang umum dan bentuk yang khusus. Secara khusus maka tajalli memiliki tempat-tempat tertentu yang memiliki korelasi dengan hal tersebut, oleh karena itu dalam pandangan Ah}mad al-Ghaza>li>, al-‘As}r merupakan gambaran hati dari Allah yang meliputi dari segala yang ada yang memiliki faidah.

‫ِه ِه‬ ‫ال ِها ِه‬ ‫ِه‬ ‫ا‬ ‫َّل اَّل َشي ءَش َشمنُه َشو َشعملُه َّل َش‬

Dalam tafsir yang hakikat, ayat di atas merupakan isyarat kepada orang yang yakin, batinya selalu menuju, mengarah kepada hal yang tersirat, sedangkan zahirnya tertuju untuk mengetahui hakikat segala sesuatu. Adapun keimanan adalah gambaran dari mengeathui allah, sifat, perbuatannya dan segala yang terjadi di alam semesta merupakan kuasanya. Sedangkan amal saleh adalah amal yang lahir dari pertimbangan akal, yaitu pengetahuan dan pemikiran tentang hakikat segala sesuatu. Pengertian kebenaran (al-H}aq) dari ‚hendaknya kalian saling menasehati dalam kebenaran‛ dalam surah al-‘Asr adalah dengan penyempurnaan, peningkatan dan meninggalkan hawa nafsu. Yang mana apabila telah diperoleh kesempurnaan zat dan sifat maka akan lahir kebenaran yang meliputi zahirnya alam dan batinya. Secara ringkas pada dasarnya Ah}mad al-Ghaza>li> ingin mengatakan bahwa maksud dari al-h}aq (kebenaran) dalam surah al-‘Asr adalah Allah.61

60

Ah}mad al-Ghaza>li>, Sirru al-Asra>r wa Kashf al-Anwa>r (Kairo: Dar al-Mas}riyah al-Lubna>niyah, 1988), 54-59. 61 Ah}mad al-Ghaza>li, Sirru al-Asra>r wa Kashf al-Anwa>r (Kairo: Dar alMas}riyah al-Lubna>niyah, 1988), 54-59. 83

C. Takwil dan Tafsir dalam Perspektif Sufi Permasalahan takwil merupakan pembicaraan yang pokok dalam litertatur tafsir Alquran. Hal ini juga yang mengundang banyak perdebatan dalam memahaminya, dan keabsahannya sebagai alat sekaligus cara untuk memahami Alquran. Ibn Taymiyah (w. 728 H) salah satu di antara banyak ulama yang memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan takwil ini, fokus perhatiannya terhadap takwil ia bahas dalam karyanya alIkli>l fi> al-Mutash>abih wa al-Ta’wi>l . Secara sederhana pemahaman takwil yang dijelaskan oleh Ibn Taymiyah memiliki kesamaan dengan apa yang dijelaskan oleh Ra>ghib al-Asfaha>ni, yaitu pembicaraan yang fokus terhadap makna, adapun tafsir hanya mengkaji permasalahan lafaz.62 Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa ruang lingkup pembahasan takwil terdapat dalam kalimat, sedangkan objek kawasan tafsir hanya berada pada tataran lafaz.63 Belakangan muncul pandangan negatif terhadap takwil, adanya pandangan negatif terhadap takwil ini, karena tafsir yang dibangun berdasarkan takwil berpotensi untuk menimbulkan kebohongan terhadap Allah dan Rasul-Nya melalui pemahaman mereka terhadap Alquran dan al-Sunnah. Pemahaman mereka terhadap takwil dianggap terlalu menyimpang dengan meyakini bahwa makna yang benar adalah makna yang tersimpan di balik teks atau lafaz zahirnya.64 Istilah takwil terdapat dalam Alquran, dari sinilah perbedaan ulama lahir. Kata takwil yang memicu perdebatan di antara para ulama adalah yang terdapat dalam QS. Ali ‘Imra>n (3) : 7.65 Persoalan tersebut terkait dengan tanda waqaf (berhenti), yang

62

Ibn Taymiyah, al-Ikli>l fi> al-Mutash>abih wa al-Ta’wi>l (Iskandaiyah : Dar al-Iman, tt ), 4. 63 Muh}ammad ‘Umar al-H}aji>, Mausu‘ah al-Tafsi>r Qabla ‘Ahd alTadwi>n (Damaskus: Dar al-Maktabi, 2007), 16. 64 ‘Abd al-Rah}ma>n al-Mu‘allimi>, Risa>lah fi H}aqi>qah al-Ta’wi>l (Riya>d}: Dar At}las al-Khud}ra>’, 2005), 9-10. 65 Redaksi ayat tersebut adalah

84

ditujukan untuk lafaz Allah atau untuk al-ra>sikhu>n fi al-‘Ilm.66 AlRa>sikhu>n dalam ayat ini adalah mereka yang memiliki kematangan serta kedalaman ilmu pengetahuan yang mencakup tentang mutsaha>bihat, sehingga dengan kemampuannya tersebut mampu menyimpulkan makna yang dimaksud (takwil) dari ayat mutsaha>bihat.67 Hal tersebut kiranya yang melahirkan polemik, apakah takwil itu hanya Allah yang mengetahui, atau orang-orang yang dalam dan luas pengetahuannya juga memiliki kemampuan dan kapasitas yang layak untuk mengetahui hakikat takwil.68 Ibn Jari>r al-T}abari> (w. 310 H) dalam tafsirnya, sebagaimana yang juga diuraikan oleh Ibn Kathi>r (w. 774 H), mengatakan bahwa perihal takwil pada dasarnya hanyalah otoritas Allah, menurut Ibn Jari>r al-T}abari> (w. 310 H) ayat tersebut ingin menegaskan bahwa ‚Tidaklah yang mengetahui hakikat takwil kecuali hanya Allah dan orang-orang yang dalam pengetahuannya (al-Ra>sikhu>n) mengatakan kami mengimani hal tersebut. Pendapat ini didukung dengan qiraat yang berasal dari ‘Abd Allah Ibn Mas‘u>d (w. 32 H).69 Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ibn Juzyi

‫ِه‬ ‫ا فَشأ َّلَشم‬ ٌ ‫ُهمَش َش اَش‬ ‫َش ْ لَش ُه تَشأْ ِهو لَشوُه ِهَّل الَّلوُه‬ ‫ْاَشاْ ِه‬ ‫ا‬ ‫َش‬

‫ى اَّل ِهي َشْ َش علَش َش اْ ِه ِه‬ ‫ِه ِه‬ ٌ ‫ا ُهْ َش َشم‬ ٌ ‫ا مْنوُه ءَش َش‬ ْ ‫َش َش‬ ‫َش َش‬ ‫ُه َش‬ ‫ا ُهى َّلي ُهُّم اْ َش ا َشوُه َش ُه‬ ‫اَّل ِه َشي ِه ُهلُه ِهاِه ْ َش ْ ٌ فَشَشَّلِه ُه َشو َشم تَش َش َشوَش ِهمْنوُه ِْه َش ءَش اْ ِه ْ نَش ِه َشو ِْه َش ءَش تَشأْ ِهو لِه ِهو َشوَشم‬ ‫َشو اَّل ِها ُه َشو ِه اْ ِهْل ِه َش ُه اُه َشو ءَش َشمنَّل ِهِهو ُه ٌّل ِهم ْي ِهعْن ِه َشرِّقنَش َشوَشم َش َّل َّل ُه ِهَّل ُهواُه‬

66

Secara bahasa, al-ra>sikh, mengandung hal yang tetap dan pasti. AlSami>n al-Jalabi>, al-Durru al-Mas}u>n fi> ‘Ulu>m al-Kita>b al-Maknu>n (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), Jilid 3, 28-29. 67 Sha>kir Ni‘mah Bakri> al-Kabi>si>, al-Tafsi>r al-Tah}li>li> li Shat}ri al-Awal min Su>rah Ali ‘Imra>n (Baghdad: Markaz al-Buh}u>th wa al-Dira>sah al-Isla>miyah, 2009), 41. 68 ‘Abd Allah ‘Abd al-Ghani> Sarh}a>n, al-Tadabbur H}aqi>qatuhu wa

‘Alaqa>tuhu bi Must}alaha>t al-Ta’wi>l wa al-Ist}inba>t} wa al-Fahm wa al-Tafsi>r Dira>satan Bala>ghiyatan Tah}li>liyatan ‘ala Aya>tin min al-Dhikr al-H}aki>m (Riyad: Tadabbur, 2009), 68. 69 Ibn Jari>r al-T}abari>, Tafsi>r al-T}abari> al-Musamma Ja>mi‘ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1999), Jilid 3, 182-184. Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Kairo: Dar Mis}r,tt), Jilid 1, 347. Lihat juga, Hikmat Ibn Bashi>r Ibn Yasi>n, al-Tafsi>r al-S}ah}i>h} Mausu>‘ah al-S}ah}i>h} al-Masbu>r

85

al-Kalbi> (w. 741 H), dengan menjadikan tanda wakaf pada lafaz Allah, menunjukan bahwa perihal takwil ayat mutasha>bihat hanya Allah yang tahu.70 Berbeda dengan penjelasan di atas, informasi yang diriwayatkan oleh Ibn Abi> Naji>h} yang meriwayatkan perkataan Ibn ‘Abba>s (w. 78 H), - dalam jalur yang lainnya diterima dari Ibn alMundhi>r -71 menunjukan bahwa al-Ra>sikhu>n dalam ayat tersebut memiliki kemampuan untuk mengetahui dari takwil ayat. Ungkapan Ibn ‘Abba>s tersebut adalah ‚Aku adalah bagian dari alRa>sikhu>n yang mengetahui takwil. Ungkapan Ibn ‘Abba>s tersebut merupakan realisasi dari doa Nabi72 kepadanya untuk diberikan kemudahan dalam memahami Alquran.73 Pendapat sebelumnya ini juga dikuatkan oleh Muktazilah, yang ditemukan dalam penjelasan Zamakhshari> (w. 538 H).74 Merujuk pada informasi yang diterima oleh Ibn ‘Asa>kir (w. 620 H) melalui jalur ‘Abd Allah Ibn Yazi>d al-Azdi>, bahwa al-ra>sikhu>n fi al-‘ilm di sini adalah mereka yang jujur perkataannya, baik perangainya, dan terjaga perut dan kemaluannya dari yang haram. Adapun yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syar’i yang berasal dari keNabian.75 Secara bahasa takwil berasal dari kata al-awalu, yang berarti kembali kepada asalnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Manz}u>r (w. 711 H). Ada juga yang berpendapat bahwa takwil

min al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r (al-Madinah al-Munawarah: Dar al-Ma>thir, 1999), Jilid 1, 401. 70 Ibn Juzay al-Kalbi>, al-Tashi>l li> ‘Ulu>m al-Tanzi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1995), Jilid 1,136. 71 Al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Kutb al‘Ilmiyah, 2000), jilid 2, 4. 72 Redaksi doa Nabi ke pada Ibn ‘Abbas yaitu:

‫اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويله‬ Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Kairo: Dar Mis}r,tt), Jilid 1,

73

347.

74

al-Zamkhshari>, al-Kashsha>f ‘an Haqa’i>q Ghawamid} al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi Wuju>h al-Ta’wi>l (Riyad: Maktabah al-‘Abi>kan, 1998), Jilid 1, 528-529. 75 al-Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’ alMatha>ni> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 2, 81.

86

berasal dari kata al-Iya>lah dengan arti al-Siya>sah, yaitu politik.76 Ini ingin menunjukan bahwa orang yang sedang melakukan pentakwilan berarti sedang melakukan manipulasi dalam perkataan yang ditakwilkan. Bila merujuk kepada pendapat yang pertama, maka takwil dalam tafsir, menurut al-Baghawi> (w. 516 H) dan al-Kawashi>, merupakan suatu aktivitas mengalihkan suatu ayat kepada makna yang sesuai dengan hal yang sebelumnya dan sesudahnya, yang kemungkinan terkandung di dalam ayat, tanpa menyalahi Alquran dan Sunnah, ini ditempuh melalui cara istinba>t} atau pemahaman yang lebih mendalam. Adapun secara istilah, maka para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan pengertian takwil. Menurut Ibn Kathi>r pengertian takwil yang pertama adalah hakikat dari suatu hal dari yang sedang ditakwilkan, dan yang ke dua takwil dalam pemahaman tafsir.77 Bila ditelisik lebih mendalam, pada dasarnya tafsir merupakan sebuah upaya penjelasan yang hanya terbatas pada tidak adanya pengetahuan, kecuali yang telah ditetapkan seperti asbabun nuzul dan dala>lah lafaz, yang di dalamnya belum tercampur dengan hasil pemikiran. Adapun takwil maka ia hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kredibilitas ilmu dan kesanggupan yang menjadikan ia layak untuk berbicara tentang takwil.78 Pertama, pendapat yang menyamakan bahwa takwil tersebut sama dengan tafsir, yang menjelaskan makna kata dan tujuanya. 79 Artinya takwil adalah suatu upaya untuk menjelaskan makna kalimat baik yang sesuai dengan lafaz zahirnya maupun yang berbeda. Ini dikuatkan dengan argumen Muja>hid (w. 104 H)80 yang mengatakan ‚Para ulama 76

al-Sami>n al-Jalabi>, al-Durru al-Mas}u>n fi> ‘Ulu>m al-Kita>b al-Maknu>n (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), Jilid 3, 28. 77 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Kairo: Dar Mis}r,tt), Jilid 1, 347. 78 al-Sami>n al-Jalabi>, al-Durr al-Mas}u>n fi> ‘Ulu>m al-Kita>b al-Maknu>n (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), Jilid 3, 28. 79 Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Tafsi>r al-Qa>simi> al-Musamma Mah}a>sin al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al- ‘Ilmiyah, 1997), Jilid 2, 264. alAlu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab’ al-Matha>ni> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 2, 80. 80 Mufasir Alquran yang berasal dari golongan tabi’in, banyak belajar dan mengambil tafsiran Alquran dari Ibn ‘Abba>s. Nama lengkapnya adalah

87

melakukan takwil, maksud takwil di sini adalah tafsir‛,81 begitu juga dengan yang diterapkan oleh al-T}abari> (w. 310 H) yang menggunakan kata takwil sebagai persamaan dari kata tafsir.82 Pendapat al-T}abari ini didukung oleh Ibn al-A‘ra>bi> (w. 231 H), yang menurutnya bahwa kata tafsir, takwil dan makna adalah satu istilah yang digunakan oleh para mufasir.83 Kedua, takwil dengan pengertian makna yang terkandung di dalam kalam tersebut. Di sini takwil berperan untuk menjelaskan makna yang diinginkan oleh suatu kalam atau kalimat. Model seperti ini menurut ulama terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu: Ta’wi>l al-Amr dan Ta’wi>l alIkhba>r. Ta’wi>l al-Amr menakwilkan perintah yang terdapat dalam suatu ayat, sebagai contoh bacaan Rasul saw ketika rukuk dan sujud84 yang merupakan pentakwilan dari QS. Al-Nas}r (110): 3

‫ِه ِه‬ ‫ِه ِه‬ ً ‫فَش َشسِّق ْح ِبَش ْم َشرِّق َش َشو ْاَش ْ ْهُه َّلوُه َش َشو تَش َّل‬ Ta’wil al-Ikhba>r dipahami sebagai pentakwilan terhadap hal yang sama dari yang sedang diberitakan, dalam hal ini takwil lebih bersifat sebagai penjelas yang didukung oleh indikator sebelumnya.85 Model tafsir di atas masih sebatas takwil yang sederhana, hanya bermain pada lafaz kata, tentunya bukan model seperti ini yang ada dalam pentakwilan sufi. Pada dasarnya Ibn

Muja>hid Ibn Jabi>r al-Makki>, selain dari Ibn ‘Abba>s ia juga banyak meriwayatkan dari para sahabat lain, seperti Ali> Ibn Abi> T}a>lib, Sa’ad Ibn Abi> Waqas} dan sebagainya. Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Mabahi>th fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Riyad: Dar al-Rashid, tt), 384-385. 81

Redaksi bahasa Arabnya adalah ;

‫ا لم ء لم و تأو لو" ين ت سريه‬

"

82

Ungkapan al-T}abari> dalam redaksi bahasa Arab yaitu;

‫و فإو م ده ا سري‬

‫او ت ىل‬

‫تأو‬

‫ا‬

Masa>’id Ibn Sulayma>n Ibn Na>s}ir al-T}iya>r, al-Tafsi>r al-Lughawi> li al-

83

Qur’a>n (Riyad: Dar Ibn al-Jawzi, tt), 20. 84

Bacaan yang dimaksud adalah :

85

‫غ يل‬

‫ال و ِبم ك ال‬

‫اح‬

‘Abd al-H}ali>m ‘Uways, Must}alaha>t ‘Ulu>m al-Qur’a>n (al-Mans}u>rah: Dar al-Wafa’, 2007), 398-400.

88

‘Abba>s (w. 78 H)86 merupakan sosok pertama yang melahirkan bentuk pentakwilan sufi, atau tafsir isha>ri. Hal itu terjadi pada tafsir surah yang sama ayat ke 2 di atas, yang menurut Ibn ‘Abba>s (w. 78 H), ayat tersebut mengisyaratkan bahwa wafatnya Nabi akan segera terjadi.87 Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pengertian takwil, dapat dipahami bahwa takwil pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk menangkap pesan dan mencari makna yang berada di dalam sebuah kalimat. Selain dua penjelasan di atas, takwil juga digunakan untuk menjelaskan mimpi. Sebagaimana yang diterangkan dalam Alquran terkait dengan kisah Yusuf yang mentakwilkan mimpi (QS. Yusuf [12]: 37 dan 100).88 Menyikapi hal tersebut, sebagian para pakar memberikan batasan terhadap keabsahan takwil sehingga ia bisa diterima. Hal yang pertama adalah takwil tersebut menunjukan adanya koneksi atau keterkaitan antara kata (lafaz) dengan makna yang dimaksud.89 Selanjutnya takwil hendaknya dikuatkan dengan argumen yang mengharuskan terjadi pentakwilan dari makna yang lemah ke makna yang lebih kuat, bila hal ini tidak ada, maka pentakwilan dianggap batal dan memiliki potensi merusak pemahaman yang ada.90

86

Ia merupakan salah satu sahabat Nabi yang diyakini memiliki kapasitas dalam memahami Alquran. Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah Ibn ‘Abba>s Ibn ‘Abd al-Mut}alib Ibn Ha>shim Ibn ‘Abd Mana>f, lahir pada 3 tahun sebelum Hijrah. Ia dikenal sebagai ‘Tarjama>n al-Qur’a>n, gelar tersebut diberikan oleh Ibn Mas’ud sebagai apresiasi terhadap keluasan ilmu yang dimilikinya terutama dalam memahami Alquran. Selain gelar di atas, dengan keluasan ilmunya ia juga dikenal sebagai Ra’i>s al-Mufassiri>n dan al-Bah}ru (lautan). Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’a>n (Riyad: Dar al-Rashid, tt),382-383. 87 Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Mabahi>th fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Riyad: Dar alRashid, tt), 383. 88 Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Tafsi>r al-Qa>simi> al-Musamma Mah}a>sin al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al- ‘Ilmiyah, 1997), Jilid 2, 265. 89 Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Tafsi>r al-Qa>simi> al-Musamma Mah}a>sin al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al- ‘Ilmiyah, 1997), 264. 90 ‘Abd al-H}ali>m ‘Uways, Must}alah}a>t ‘Ulu>m al-Qur’a>n (al-Mans}u>rah: Dar al-Wafa’, 2007), 400.

89

Ibn ‘Arabi> (w. 638 H)91 merupakan salah satu sosok penting dalam perkembangan tasawuf, terutama berkaitan dengan tafsir esoterik sufi Alquran. Bentuk tafsir esoterik Alquran yang dilakukan oleh Ibn ‘Arabi> (w. 638 H) sangat dipengaruhi oleh gaya dan pemikiran filsafat yang dipahaminya. Ketika menafsirkan ayat dalam QS. Maryam : 57, ‫ ورفعناه مكانا عليا‬, Ibn ‘Arabi> (w. 638 H) memahami bahwa maka>n ‘aliyan yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah ‘alam al-aflak, yang di dalamnya terdapat maqam ruhiyah yang pernah ditempati oleh Nabi Idris.92 Secara ringkas dapat dipahami bahwa tafsir sufi adalah suatu proses tafsir yang sama sekali tidak menghilangkan makna zahir ayat, bahkan menambahkan dengan pengetahuan yang disebut dengan isyarat, diperoleh dari kesalehan para sufi. Pembacaan Alquran melalui pendekatan sufi pada hakikatnya akan memudahkan seorang pembaca kepada hidayah Alquran. Hal ini didorong dengan sifat tafsir sufi yang mengusung semangat takwil yang sederhana dan tidak jauh menyimpang. Sebagai contoh, pentakwilan terhadap kata baqarah atau sapi yang harus disembelih dalam peristiwa Mu>sa dan kaumnya, sebagai simbol dari hawa nafsu.93 91

Nama lengkapnya adalah Abu> Abd Allah Ibn ‘Ali> Ibn Muh}ammad Ibn ‘Abd Allah al-‘Arabi> al-H}atimi al-T}a>’i>, yang bergelar Syaikh al-Akbar. Nama lain yang sering dipanggil dengan Ibn al-‘Arabi> adalah Abu> Bakr Ibn al-‘Arabi> yang nama lengkapnya adalah Muh}ammad Ibn ‘Abd Allah Ibn Muh}ammad al‘Arabi> al-Ma‘a>firi> al-Ishbi>li>, yang merupakan seorang qadi dan ahli fikih pada mazhab imam Malik, wafat pada tahun 543 Hijriah. Ibn ‘Arabi>, al-Futu>h}a>t alMakkiyah (Beirut : Dar S}adr, 2004), Jilid 1, 5. 92 Muh}ammad H}useyn al-Dhahabi>, al-Ittija>ha>t al-Munh}arifah fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Dawafi‘uha wa Daf‘uha n(Kairo: Dar al-I’tis}a>m, 1978), 8081. 93 Kisah tersebut terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2): 67, awal kisah ini sebenarnya terdapat pada QS. Al-Baqarah (2): 72, yang sebagian para mufasir memasukkan ini kedalam bentuk ta’khi>r dan taqdi>m dalam Alquran, atau dengan istilah lain, ‚Awwalu al-Qis}s}ah Mu’akhar fi> Tila>wah‛. Kisah ini berawal dari wafatnya seorang Bani Israil, dalam Mada>rik al-Tanzi>l wa H}aqa>’iq alTa’wi>l, Al-Nasafi> menyebutkan nama seseorang yang terbunuh itu adalah ‘Amil. Merupakan seorang yang kaya dan tidak memiliki anak dan modus pembunuhannya adalah untuk mendapatkan warisan dari si mayat, yang akhirnya mayat seseorang tersebut dibuang dipersimpangan jalan, sehingga menimbulkan keresahan pada saat itu. Di saat yang bersamaan Bani Israil

90

Dengan demikian meskipun zahir ayat menceritakan bagaimana perintah Allah ke pada umat Mu>sa untuk menyembelih sapi, sesungguhnya ayat tersebut juga memberikan inspirasi (isyarat) kepada kita manusia untuk menghilangkan sifat dan perilaku hewani yang negatif yang ada pada diri kita. Merujuk pada hal di atas, tafsir sufi mengembalikan semangat yang terkandung di dalam ayat, tidak hanya berhenti pada memahami kisah antara Musa dan umatnya.94 Bentuk tafsir di atas juga diikuti oleh al-Ra>zi> (w. 604 H) yang merupakan simbol pemikiran dari Muktazilah, meskipun tidak persis sama dengan pemahaman isyarat yang diyakini oleh para sufi, namun bagi al-Ra>zi>, secara zahir ayat Alquran memberikan isyarat tertentu yang harus dipahami secara baik. Hal tersebut dikuatkan dengan penjelasannya bahwa lafaz ta’awwudh (a‘u>dhu billah) merupakan isyarat untuk menghilangkan segala yang tidak layak dalam hal keyakinan dan amal, begitujuga dengan lafaz basmallah adalah isyarat mengokohkan segala hal yang dibutuhkan untuk memperkuat keyakinan dan amal.95 Setelah mengamati beberapa penjelasan tentang tafsir dari para pakar tafsir sebelumya, di sini penulis melihat bahwa permasalahan tafsir sufi (yang menimbulkan perdebatan) adalah terletak tentang akidah atau ideologi sufi tersebut sehingga melahirkan banyak perdebatan di kalangan para ulama. Pemahaman tentang akidah ini dan cara pandang dalam beberapa kasus, melahirkan sikap generalisasi terhadap segala aktifitas sufi yang tidak jarang dianggap telah melakukan penyimpangan, meminta kepada Musa agar ia berdoa memohon petunjuk kepada Allah untuk menunjukan siapa pelaku pembunuhan sebenarnya. Akhirnya turunlah QS. AlBaqarah (2): 67, yang memerintahkan kepada Bani Israil untuk menyemblih seekor sapi apa saja, kemudian bagian tertentu dari sapi itu dipukulkan kepada mayat, dengan demikian mayat akan bangun untuk sesaat dan mengatakan siapa yang telah membunuhnya. Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Kairo: Muassasah Qurt}ubah, 2000), Jilid 1, 444. Al-Nasafi>, Mada>rik al-Tanzi>l wa wa H}aqa>’iq al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 58. Al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), Jilid 1, 111. Al-Qa>simi>, Maha>sin al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Jilid 1, 325. 94 Ahmad Izzan, Inklusifisme Tafsir. Studi Relasi Muslim dan NonMuslim dalam Tafsir al-Mizan (Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2014), 46. 95 al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r (Beirut: Dar al-Fikr, 2005), 19.

91

termasuk di dalamnya tafsir Alquran. Padahal sebelumnya, definisi tafsir adalah sebuah upaya untuk memahami Alquran, jika begitu apa pun istilah yang digunakan selagi itu dalam proses untuk memahami Alquran adalah bagian dari tafsir secara umum, penegasan ini mendukung apa yang diuraikan oleh Masa>‘id Ibn Sulayma>n dalam tulisannya.96 Dengan begitu, pengkhususan dan pengukuhan tema pentakwilan sebagai perwakilan dari tafsir sufi, perlu ditelisik secara komprehensif. Ini diperlukan agar tidak terjebak dalam sindrom generalisasi terhadap tafsir sufi yang yang diistilahkan dengan takwil, padahal takwil adalah nama lain dari tafsir. Dalam menemukan bentuk terdalam dari makna dan pesan ayat, para sufi lebih suka dan konsisten untuk memberikan istilah isyarat, sebagai penunjuk terhadap suatu hal penting yang tersimpan di balik zahirnya suatu lafaz. Bagian terakhir ini semakin menguatkan bahwa para sufi dalam menafsirkan Alquran sama sekali tidak mengabaikan lafaz zahir dari suatu kata, bahkan sebaliknya, menguatkan apa yang diuraikan oleh Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, bahwa huruf dalam bahasa memliki posisi yang sangat penting dalam pemahaman kaum sufi.97

96

Masa>‘id Ibn Sulayma>n Ibn Na>s}ir al-T}iya>r, al-Tafsi>r al-Lughawi> li al-

Qur’a>n (Riyad: Dar Ibn al-Jawzi, tt), 28. 97

Abu> Zayd memberikan penjelasan, bahwa pada dasarnya huruf merupakan pokok kalimat dalam bahasa, yang menjadi suara yang terbentuk karena ada kata, dan dari kata tersebut akan terbentuk kalimat. Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, Falsafah al-Ta’wi>l. Dira>sah fi Ta’wi>l al-Qur’a>n ‘inda Muh}yi al-Di>n Ibn ‘Arabi> (Beirut: Dar al-Tanwi>r, 1993), 297-298.

92

BAB IV DIALEKTIKA DAN PROBLEMATIKA TAFSIR Bab 3 sebelumnya membicarakan tentang permasalahan dan kedudukan takwil dalam tafsir sufi, yang meliputi sumber, cara baca dan operasional dalam tafsir. Pentingnya pembahasan takwil dalam tafsir sufi dikarenakan karakter penafisrannya yang sangat identik dengan konsep yang terdapat dalam terminologi takwil, meskipun tidak sepenuhnya benar. Bab ini pada dasarnya merupakan penjelasan lanjutan dari bab sebelumnya, yang lebih berupaya untuk mendalami model tafsir sufi secara eksplisit dan mempelajari indikator yang turut membesarkan dan ruang tafsir yang mendorong lahirnya tafsir sufstik ini. Sufi sebagai kelompok yang terpinggirkan dalam wilayah apapun, kecuali wilayah spiritual yang menjadi objek kajiannya, dianggap kurang otoritatif dalam memberikan tanggapan keberagamaan, sehingga bukan suatu hal yang asing lagi bila penolakan pemahaman dan ajaran sufi telah berubah menjadi hal yang maklum dalam sejarah perkembangan keberagamaan dunia Islam, terutama dalam wilayah tafsir Alquran.1 Dalam hal lainnya, menjadi suatu hal yang menarik ketika kajian sufi menjadi inspirator dalam pembahasan atau pengkajian ilmu lainnya. Seperti yang ditulis oleh Sa‘diyyah Shaikh yang menjabarkan bahwa sufi merupakan salah satu faktor penguat dan pemberi ruang dalam kajian hak-hak perempuan (aliran feminis) dalam hukum Islam.2 Artinya, ini seolah ingin menegaskan bahwa kajian sufi adalah kajian yang hidup, tidak berdiri dalam dunianya sendiri, melainkan mampu menginspirasi kajian ilmu lainnya. Sufi dalam aktivitasnya sangat identik dengan simbol, isyarat yang semuanya itu terangkum dalam konsep isha>ri> (esoterik) baik ia sebagai teori, metodologi dan praktik.3 Ini juga 1

Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’an. Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif (Jakarta: Riora Cipta, 2000), 53. 2

Sa‘diyyah Shaikh, ‚In Search of al-Insa>n: Sufism, Islamic Law, and Gender‛. Journal of the American Academy of Relegion . 781-782. 3 William Stoddart memberikan penjelasan bahwa pada dasarnya semangat esoterik yang ada dalam tasawuf dan sufi adalah sebuah dorongan

93

yang memungkinkan lahirnya beragam model sufi, yang pada akhirnya menjadikan banyak pengertian untuk memahami sufi secara definitif.4 Kecenderungan sufi yang giat mempromosikan gaya dan bentuk pemikirannya ini tidak terlepas dari adanya perubahan sosial yang terjadi pada masa itu, sehingga ruh dan tujuan beragama yang bersumber dari Alquran dan Sunnah tergerus berubah menjadi pola keberagamaan yang cenderung terpaku pada teks, dan mengenyampingkan pesan-pesan yang tersirat yang ada dalam teks. Karena bagaimanapun juga, kondisi lahirnya teks tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sosial kala itu. Begitu juga kondisi internal teks yang tidak hanya bisa dibatasi dalam pemahaman secara tekstual (zahiriyah).5 Kecurigaan terhadap tafsir sufi ditengarai dengan lahirnya paham-paham keagamaan yang memiliki orientasi mistikfilosofis.6 Hal di atas terjadi bisa saja didorong dengan adanya tekanan kelompok keagamaan mainstream, dan yang paling penitng adalah masih menganggap dan menjadikan sufi sebagai bagian terluar dari Islam. Padahal bila kita pelajari lebih baik lagi, maka tafsir Alquran bagi para sufi tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam dalam hal beribadah, muamalah, memutuskan perkara, melainkan untuk mendapatkan ruh, kesan dan pesan yang menjadi hakikat tujuan dari untuk menemukan makna hakiki dari kondis zahir yang ada. Sebagai contoh ia memberikan penjelasan terkait dogma wahdatul wujud yang menurutnya adalah konsep yang langsung terambil dari kalimat Tauhid, yang menunjukan (pada hakikatnya) adanya kesatuan antara Tuhan dan makhluk. William Stoddart, Outline of Sufism. The Essentials of Islamic Spirituality (Indiana: World Wisdom, 2012),23-25. 4 Eric Geoffroy, Introduction to dSufism. The Inner Path of Islam (Indiana: World Wisdom, 2010), 1. 5 Huseyn ‘Ali ‘Ukash,‚al-Tafsi>r al-S}u>fi> al-Isha>ri> li al-Qur‘a>n: Manhaj al-Istinba>t} wa al-Dala>lah al-Jadi>dah‛ Majallah al-Sa>til, Vol. 17, 2008, 10. 6 Kecurigaan ini pada akhirnya menjadi sebuah tren dalam pengkajian keilmuan, terutama yang berkaitan dengan tafsir. Lihat saja beberapa pengakji Aquran khususnya ketika membahas sejarah dan pembagian tafsir. Tafsir sufistik selalu menjadi tafsir yang terbelakang dan lengkap dengan khurafat. Sehingga hasil dari tafsir ini tertolak, tidak dapat dijadikan hujjah. Karena dianggap telah menyimpang dan tidak sejalan dengan apa yang telah menjadi tradisi tafsir. Lihat, ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduhu (Beirut: Dar al-Nafa>’is, 1987), 237-241.

94

diturunkannya Alquran, sebagai petunjuk untuk manusia.7 Hal tersebut sesuai dengan kesimpulan yang ditulis oleh Siti Nora Aesha sedikit membantu untuk memahami bahwa tafsir sufi (isha>ri>) tidak hanya sekedar penegasan tentang ajaran sufi melainkan di dalamnya memberikan sentuhan untuk selalu berpegang pada tradisi ulama sebelumnya, yang menggunakan hadis dan perkataan sahabat serta tabi’in sebagai rujukan dalam tafsir Alquran.8

A. Tendensi Sufi dalam Memahami Alquran Pertanyaan mendasar terkait tafsir sufi adalah perihal keaslian serta kelayakan untuk dijadikan sebagai sebuah tafsir yang benar-benar memiliki otoritas dalam ilmu keislaman. Meskipun demikian, belakangan sufi diharapkan mampu memberikan pencerahan yang memberikan nilai tambah positif, diharapkan melalui tafsir Alquran yang dilakukan sufi, kita akan memperoleh informasi berupa segala data yang memiliki koneksi dengan latarbelakang dan corak teologi yang diyakini oleh sufi. Selanjutnya di lain kasus, salah satu yang bisa jadi menjadi nilai kurang, - namun pada sisi lain berpotensi menjadi suatu keistimewaan dalam tafsir sufi - adalah berhubungan dengan tendensius tafsir. Tendensius tafsir ini diibaratkan sebagai proses yang menghasilkan nalar kritis dan kerangka berfikir sufi dalam

7

Pada dasarnya konsep yang diusung oleh para sufi dalam menafsirkan Alquran adalah sejalan dengan koridor tafsir. Yaitu sebuah upaya untuk memberikan pemahaman makna Alquran yang dibutuhkan oleh manusia. Sufi pada khusunya, dan manusia secara umum adalah satu hal yang sangat membutuhkan kepada penjelasan Alquran, hanya saja secara operasional, sufi seolah-olah tidak terkukung pada kaidah tafsir yang seolah baku. Setidaknya mencakup beberapa aspek kecil, antara lain; kajian lafaz (kata), menjelaskan makna dan menguatkan salah satu kemungkinan yang terkandung dalam satu lafaz. Muh}ammad ‘Umar al-H}a>ji>, Mawsu>‘ah al-Tafsi>r Qabla ‘Ahdi al-Tadwi>n (Damaskuk: Dar al-Maktabi, 2007),14. 8 Siti Nora Aesha, ‚Metodologi Tafsir al-Ishari dalam Tafsir alTustari‛. Disertasi pada Jabatan Al-Qur’an dan al-Hadith Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya Kuala Lumpur, 94-96.

95

menafsirkan Alquran. Ini juga yang menjadi modal dalam melihat konstruk tafsir sufi. Tendensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model keberpihakan para sufi dalam menafsirkan Alquran. Meliputi dari kesatuan pemahaman sufi dalam meyakini adanya kebenaran lain yang datang dari pemahaman esoterik9 atau makna batin dari suatu teks, tanpa meninggalkan kandungan lahiriah dan kondisi teks itu dilahirkan. Esoterik ini dikemudian hari yang menjadi simbol yang khusus menjadi yang ditujukan untuk kaum sufi, terutama dalam memahami Alquran, termasuk di dalamnya perihal tafsir. Kondisi tafsir seperti ini terjadi karena adanya dorongan relasi yang kuat dan emosional antara hamba dan Tuhan yang ada dalam konsep sufi.10 Kata kunci dalam tafsir sufi ini terletak pada sejauh mana kemampuan jiwa mereka dalam menangkap pesan Tuhan. Tentunya ini terjadi ketika terjalinnya koneksi antara manusia dan Tuhan.11 Keberpihakan sufi ini merupakan bahasa lain dari subjektif pemahaman, yang juga terjadi dalam penafsir12 lain dan disiplin ilmu yang berbeda. Meskipun demikian hal ini bukan berarti menunjukan suatu sikap apatis kaum sufi, melainkan ini sebagai wadah atau sarana yang menunjukan ciri tersendiri kaum sufi dalam praktiknya menafsirkan Alquran. Ini juga didukung dengan latarbelakang keilmuan sufi lebih bersifat esoterik, yang 9

Kata ini merupakan serapan dari esoteric yang mengandung arti ‚intended only for those who are initiated, for a small circle of disciples or follower ; abstruse‛. Pada akhirnya kata ini berkembang menjadi aspek dalam batin, hakikat, inti, yang merupakan lawan dari aspek luar, aspek lahir, aspek syariat dan materi. M. Afif Anshori, ‚Mencari Titik Temu Agama-agama di Ranah Esoterikme‛. Analisis Jurnal Studi Keislaman, Vol.XII, No. 2, Desember, 2012, 293. Lihat juga William Stoddart, Outline of Sufism. The Essentials of Islamic Spirituality (Indiana: World Wisdom, 2012),23-25. 10 Maryam Musharraf, ‚a Study on The Sufi Interpretation of Qur'an and The Theory of Hermeneutic‛, al-Bayan, Vol. 11, No. 1, 2013, 33. 11 Sajjad H. Rizvi, ‚The Existential Breath of al-Rah}ma>n and the Munificent Grace of al-Rahi>m : The Tafsi>r Surat al-Fa>tih}a of Jāmī and the School of Ibn ʿArabī‛, Journal of Qur'anic Studies, Vol. 8, No. 1 (2006), 58. 12 Sajjad H. Rizvi, ‚The Existential Breath of al-Rah}ma>n and the Munificent Grace of al-Rahi>m : The Tafsi>r Surat al-Fa>tih}a of Jāmī and the School of Ibn ʿArabī‛, Journal of Qur'anic Studies, Vol. 8, No. 1 (2006), 58.

96

mana produk yang dihasilkan lebih mengarah kepada makrifah (spiritual knowledge), bukan ilmu pengetahuan (knowledge). Sehingga hal ini lah yang menjadikan penjelasan dari uraian sufi sulit untuk dinalar dan diberi argumentasi, sebagaimana produk yang datang dari ilmu pengetahuan, dengan mudah dibangun landasan dan teorinya.13 Meskipun lebih menekankan aspek esoterik dalam memahami Alquran, dari sisi hubungnya dengan keilmuan yang lain, tafsir sufi tidak memiliki banyak problema. Pada saat yang sama mereka juga menggunakan Alquran dan hadis untuk menguatkan pendapat mereka. Hanya saja harus juga diakui adanya beberapa hadis yang memiliki kualitas lemah, sehingga ini sering dijadikan patokan dasar oleh sebagian kelompok untuk melemahkan tafsir sufi. Salah satu produk dari subjektif sufi yang ada dalam tafsir adalah takwil sebagai sarana untuk memahami Alquran. Sebenarnya istilah takwil tidak lahir secara langsung dari pemikiran sufi, melainkan istilah ini dihasilkan oleh mereka yang mengkaji tafsir sufi, dan menggolongkannya ke dalam jenis tafsir sufi. Perlu diingat, pada generasi awal tafsir, istilah takwil digunakan untuk menafsirkan Alquran, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab takwil. Dalam konsep sufi takwil tidak hanya terbatas sebagai metode dalam melakukan analisis dan pemaknaan, melainkan menjadi suatu ilmu tersendiri. Dalam bahasa alGhazali>, ilmu ini lebih populer dengan istilah al-ma’rifah alwahbiyyah al-maksu>b bi al-qalb.14 Ini juga yang menjadi permasalahan dalam menguji kebenaran pemikiran kaum sufi terutama dalam tafsir Alquran. Karena proses tafsir sufi tidak dilakukan dengan cara empirik dan pemikiran logik melainkan berkaitan dengan kapasitas dan kekuatan spiritual (ruhani) yang 13

Ovamir Anjum, ‚Sufism without mysticism? Ibn qayyim alǧawziyyah's objectives in "madāriǧal-sālikīn", Oriente Moderno, Nuova serie, Anno 90, nr. 1, a Scholar in The Shadow: Essaysin The Legal and Theological Thought of Ibn Qayyim al-Gawziyyah (2010), 165 .Sebagai informasi tambahan baca juga, Michael Cooperson, Classical Arabie Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al Ma' mùn, Cambridge, Cambridge University Press, 2000, p. 156, 14 Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran (Yogyakarta: LkiS, 2003), 238.

97

tidak berbatas.15 Meskipun demikian penulis melihat kesulitan itu tidak semuanya benar, sebaliknya dalam hal ini tafsir sufi lebih mengarah kepada pemaknaan esoterik, yang tentunya berbeda dengan takwil. Namun meskipun demikian, warisan dari pembacaan dan pemahaman Alquran dengan konsep sufi setidaknya saat ini mampu memberikan alternatif baru yang bisa disejajarkan dengan beberapa tafsir konvensional yang telah dianggap final. Ini dikarenakan ada beberapa hal yang tidak bisa diselesaikan dengan cara dan pemahaman secara teks yang terkurung dengan situasi kondisi serta tuntutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap penjelasan Alquran yang lebih mengedepankan aspek legal-formal, dari pada sisi spiritual.16 Kasus yang sama juga menginspirasi Muhammad ‘Abduh (w. 1905), melakukan koreksi terhadap tafsir Alquran yang selama ini dijadikan sebagai produk sakral yang tidak bisa dikonstruksi apalagi diberikan perubahan secara radikal, yang berbeda dengan tafsir sebelumnya.17 Bedanya Muhamad ‘Abduh mencoba merealisasikan tafsir sesuai dengan kebutuhan zaman dan ilmu yang berkembang saat sekarang. Titik kesamaannya adalah mengembalikan titik poin tujuan Alquran dihadirkan untuk manusia, yaitu menjadikannya sebagai kitab petunjuk secara totalitas. Ini berarti aspek positif yang ada dalam tafsir sufi, apakah itu yang berupa cara pandang dan produk pemikiran hendaknya selalu mendapat pengawasan dan diwariskan secara baik. Karena hal ini dengan sendirinya menjaga keutuhan pesan Alquran, yang dalam banyak hal berisi pesan tersirat yang tidak dapat dipahami oleh banyak orang.18 15

Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 3. 16 Sa‘diyya Shaikh, ‚In Search of al-Insa>n: Sufism, Islamic Law, and Gender‛. Jounal of The American Academy of Religion 17 Enes Karic. ‚Interpretation Of The Qur'än And The Destiny Of The Islamic World‛ Islamic Studies, Vol. 36, No. 1, Spring 1997, 6. 18 Ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan, bahwa selama konsep dan ajaran yang ada dalam tasawuf tidak bertentangan dnegan prinsip syariah, bahasa dan akal sehat, maka tasawuf tetap dipandang dan harus dijaga sebagai bagian dari Islam. Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 3.

98

Meskipun memiliki sisi tendensi atau keberpihakan dalam tafsir, tendensi yang terjadi dalam tafsir sufi masih dalam kategori wajar, karena tidak terlalu memaksakan dalam penfasiran, berbeda dengan beberapa tafsir Alquran yang terlalu menguatkan dan mengedepankan ideologi mereka, sehingga yang terjadi adalah Alquran dijadikan sebagai alat dan sarana untuk mensahkan, mendukung pemahaman mereka.19 Tendensi ini menurut penulis muncul sebagai hal yang reaktif, sekaligus korektif yang di dalamnya terdapat kritik terhadap tafsir yang ada, yang telah meninggalkan sisi utama dalam menafsirkan Alquran, yaitu berupa kedekatan antara hamba dan pencipta. Ini bukan menunjukan bahwa para sufi sebagai penafsir Alquran memiliki prior text, berupa latar belakang keilmuan, tujuan yang berperan mempengaruhi hasil tafsir,20 karena sufi tidak pernah menjadikan latarbelakang keilmuannya sebagai faktor yang memengaruhi tafsir, melainkan itu hanya dijadikan sarana. Sebaliknya mereka memperoleh pengetahuan tersebut langsung dari pancaran ilahi yang ada dalam jiwa mereka. Pada akhirnya hal ini juga yang melahirkan model pembacaan Alquran yang menekankan pengkajian lebih dalam terhadap aspek batin, sehingga tepat dikatakan bahwa sufi dalam memahami Alquran menggunakan double-standar, yang mana kedua hal tersebut saling melengkapi, tanpa boleh ada yang mencederai satu dengan yang lainnya. Sufi dalam banyak hal memiliki gagasan yang berbeda dari kebanyakan pemerhati agama secara umum. Bisa dikatakan bahwa sufi memiliki dua wajah yang mana keduanya tidak dapat dipisahkan, karena satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan dan keberkaitan yang akan selalu sejalan. Dua hal itu adalah

19

Sofyan Hadi, ‚Negara Islam Indonesia : Konsepsi Shajarah Tayyibah dalam Konstruk Negara Islam‛. Journal of Qur’a>nic and H}adi>th Studies, Vol. 2, No. 1, 2012, 91-98. Lihat juga, Andi Rahman, ‚Hadis dan Politik Sektarian: Analisis Basis Argumentasi tentang Konsep Ima>mah Menurut Shi>‘ah‛. Journal of Qur’a>nic and H}adi>th Studies, Vol. 2, No. 1, 2012, 112. 20 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2012), 57.

99

syariah dan hakikat.21 Ada juga yang membaginya kedalam syariah dan tariqah. Pembagian ini menurut sebagaian kelompok, juga sarat dengan pengaruh politk yang mana pada saat itu, keduanya lahir sebagai gerakan sosial keagamaan yang keduanya ingin mendapatkan legalitas sebagai kelompok yang benar. Perlu diberi penjelasan sebelumnya, bahwa syariah tidak hanya terfokus pada kajian hukum atau dengan bahasa lain, syariah bukan hanya orientasi umum dari fikih, melainkan meliputi segala ilmu pengetahuan syar’i yang mengedepankan aspek istidla>l dalam memahami teks-teks agama, apakah itu melalui jalur periwayatan maupun ijtihad. Oleh karena itu kurang tepat rasanya bila selalu mengaitkan dan memberikan penekanan bahwa syariah adalah nama lain dari fikih. Penyempitan makna ini juga mendorong kastalisasi dalam Islam, sehingga ada hal-hal yang dianggap syar’i, lebih syar’i dan yang tidak syar’i. Padahal seluruh ilmu yang berkaitan dengan ajaran Islam adalah ilmu syar’i.22 Untuk memahami tafsir sufi yang diusung oleh al-Sulami> dan al-Qushayri>, kita harus juga memahami kondisional dan apa saja yang ikut memengaruhi dalam proses tafsir. Terutama hal yang berkaitan dengan tema besar yang menjadi landasan dan pijakan sufi dalam memberikan tafsir. Karena, bagaimanapun juga tafsir sufi lahir sebagai auto kritik terhadap problema tafsir Alquran yang cenderung terkurung dalam permasalahn teks, sehingga terkesan meninggalkan kandungan terdalam dari Alquran, yang merupakan tujuan utama mengapa Alquran diturunkan. Selain itu haurs dipertajam kembali bahwa seluruh ajaran sufi terinspirasi dari Alquran dan Hadis.23 Ini diperlukan untuk 21

Untuk informasi lebih lanjut lihat Maryam Musharraf, ‚a Study on The Sufi Interpretation of Qur'an and The Theory of Hermeneutic‛, al-Bayan, Vol. 11, No. 1, 2013, 35-39. 22 Termasuk juga di dalammnya hal yang mengkaji tentang politik, interaksi sosial, dan ekonomi. Artinya ilmu syar’i yang dimaksud dipahami secara luas dan tidak sempit. Ini juga diuraikan oleh Jamal Bana, bahwa secara teori Islam itu hanya terbagi ke dalam dua bagian besar; Aqidah yang meliputi keyakinan dan syari’ah sebagaiman yang telah dijelaskan sebelumnya. M. Su’ud, ‚Metodologi Tafsir Al-Qur’an Revolusinoer Jamal al-Bana‛, Tesis pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kaljaga Yogyakarta, 2009, 11. 23 Mazheruddin Siddiqi, ‚A Historical Study Of Iqbal's Views On Sufism‛. Islamic Studies, Vol. 5, No. 4 Desember 1966, 411-412.

100

menguatkan kembali akar perdebatan yang menolak tafsir sufi ke dalam tafsir yang memiliki otoritas dan legislasi. Belakangan tafsir sufi yang bersifat auto kritik ini, menjadi hal yang dianggap menyimpang dan tidak memiliki dasar yang kuat dalam ajaran Islam. Melihat dari latar belakang ke dua tokoh di atas (al-Sulami> dan al-Qushayri>), terutama pada zaman dimana mereka berada dan berkembang, keduanya hidup di masa perkembangan tasawuf mulai menuju puncaknya. Harus diakui bahwa tulisan yang ada pada masa sebelumnya memberikan pengaruh pada pola pikir tasawuf keduanya. Ini juga memiliki kontribusi dalam pemahaman konsep tentang tasawuf baik yang bersifat etika dan bercampur mistis yang ditulis melalui beberapa karangan. Karangan tersebut antara lain ; al-Ri‘a>yah li H}uqu>q Allah, al-Was}aya, yang keduanya merupakan tulisan al-Muhasibi, Kita>b al-S}idq karya Abu> Bakr alKharra>z, Amtha>l al-Qur’a>n, al-Rasa>’il, al-Muna>ja>t merupakan karya al-Junayd, dan Kitab al-Mawa>qif dan Kitab al-Mukhathabat karya Muhammad Ibn ‘Abud al-Jabba>r al-Niffari.24 Untuk melihat sejauh mana terpengaruhnya al-Sulami> dan al-Qushayri> dengan tulisan-tulisan tasawuf sebelum masanya dilihat dari karangan mereka, al-Sulami> dengan T}abaqa>t al-S}ufiyah dan al-Qushayri> melalui al-Risa>lah al-Qushayriyah. Dalam alRisa>lah, pengaruh al-Sulami> yang ada dalam T}abaqa>t al-S}ufiyah, dan al-Sarra>j melalui al-Luma’ juga memiliki kontribusi untuk alQushayri> dalam mematangkan konsep tasawuf.25 Satu hal yang menjadi ciri khas dalam tafsir sufi adalah pemberian simbol (isyarat) dalam upaya menerangkan makna. Simbol-simbol yang lahir dalam tafsir sufi menegaskan bahwa ia lahir bukan dalam konteks pembacaan tekstual. Meskipun demikian sifat dari simbol-simbol tersebut tidak bersifat statis, ia menjadi dinamis manakala kita melihat bentuk yang berbeda dari tafsir sufi lainnya.

24

Dimyati, ‚Pembelaan Abu Nashr al-Sarra>j Terhadap Tasawuf dan Kaum Sufi dalam Kitab al-Luma’ ‛. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. 68-75 25 Jawid A. Mojaddedi, ‚Legitimizing Sufism in al-Qushayri’s alRisala‛. Studia Islamica, No.90, 2000, 37-38.

101

Menurut Habil, simbolisme berfungsi sebagai kata kunci untuk semua bentuk tafsir. Dalam tema sufi ini lebih tepat dikatakan sebagai takwil. Karena menurutnya takwil ini berlaku untuk segala jenis simbol.26 Dalam hal pentakwilan, peran para guru sufi masih terjalin dalam relasi intelektual, yang masih kita lihat dari beberapa karya para sufi sebelumnya. Di antara kedua tokoh sufi, al-Sulami> dan al-Qushayri>, al-Sulami> lebih identik dengan simbol tafsir yang masih banyak merujuk kepada para sufi sebelumnya, yang merupakan kumpulan pendapat para ahli tasawuf dan ia susun, sesuai dengan urutan suarh yang ada dalam Alquran.27 Adapun al-Qushayri> lebih fokus mengkaji makna dari kata yang menurut pandangannya memiliki makna batin. Model yang kedua ini banyak ditemukan dalam karyanya Nah}wu al-

Qulu>b.28

Penjabaran al-Qushayri> dalam Nah}wu al-Qulu>b memberikan suatu penjelasan bahwa bahasa memiliki sisi spiritual yang memberikan dampak pemahaman yang berbeda dari tafsir atau pemahaman pada umumnya. Sisi spiritual bahasa ini tentu berbeda dengan apa yang ada dalam kajian sastra. Karena sisi spiritual bahasa diperoleh berdasarkan intuitif,29 tidak seperti penjelasan sastra yang lahir sesuai dengan kaidah-kaidah sastra. Namun meskipun mengusung konsep makna batin, tafsir yang dilakukan oleh al-Qushayri> tidak menyimpang sebagaimana yang dilakukan sebagian sufi, yang mana tafsirnya tidak ada kaitan dengan maksud zahir ayat.30 26

Abdurrahman Habil, ‚Tafsir-tafsir Esoterik Tradisional Al-Qur’an‛ dalam Seyyed Housein Nasr (ed), Ensiklopedi Temtais Spiritualitas Islam (Banudng: Mizan, 2002), 33. 27 Cecep Alba, ‚Pola Tafsir Al-Qur’an Ibnu ‘Arabi‛. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Jakarta 2004, 68. 28 Relasi antara manusia dengan Tuhan dalam konsep sufistik tidak lahir dalam bentuk penghambaan, tetapi dengan tegas mengusung konsep kedekatan. Konsep ini pada akhirnya yang juga ikut mendorong berbagai macam aliran sufis-filosofis, tertutama yang berkaitan dengan ketuhanan. Said Aqil Siraj, Ma’rifatullah Pandangan Agama-agama, Tradisi dan Filsafat (Jakarta: ELSAS, 2003), 22. 29 Huseyn ‘Ali ‘Ukash,‚al-Tafsi>r al-S}u>fi> al-Isha>ri> li al-Qur‘a>n: Manhaj al-Istinba>t} wa al-Dala>lah al-Jadi>dah‛ Majallah al-Sa>til, Vol. 17, 2008, 10. 30 Sebagai contoh tafsir yang dilakukan oleh Ibn ‘Arabi terhadap QS. 73: 8, dengan gagasan wahdah al-wujud sebagai konsep ajaran sufi yang

102

Secara sederhana pendekatan sufi ketika bertemu dengan teks Alquran diharapkan mampu melahirkan sentuhan yang lebih bersifat relijius di tengah masyarakat yang pulral. Tidak hanya itu, melalui ini diharapkan memberikan kontribusi untuk mengembalikan aspek petunjuk, yang mana menjadi tema besar dari Alquran. Akan tetapi proses hadirnya tafsir sufi di tengah masyarakat berbeda dengan ‚teori sosial qurani‛ gagasan yang berusaha untuk menjadikanAlquran sebagai sistem penjelas terhadap realitas, dengan tujuan akhir bahwa tafsiran Alquran dapat ditempuh hingga menjadi teori empiris dan rasional.31 Bentuk lain dari aktifitas sufi dalam pemahamannya adalah terkait dengan ajarannya yang berhubungan dengan relasi manusia dan Tuhan. Wa>sit}i> memberikan tiga poin penting terkait relasi manusia dan Tuhan. Ketiga hal tersebut adalah esensi, sifat dan perbuatan Tuhan.32 Selanjutnya beberapa hal yang menjadi sisi orisinal dalam tafsir sufistitk dapat kita kelompokkan menjadi beberapa bagian. Pertama adalah menegaskan bahwa ada makna lain di balik makna yang diinginkan dari teks ayat, yang tidak menyalahi atau tidak begitu jauh pemahamannya dari teks tersebut.33 Kedua, membicarakan permasalahan nilai, moral dan etika yang bermuara pada problema ketuhanan. Hal yang ketiga adalah kebanyakan para sufi membicarakan tema kesatuan, yang diyakininya, Ibn ‘Arabi menyimpulkn bahwa al-wujud adalah Allah yang absolut, dan semua yang ada selain Allah merupakan manifestasi Allah. Muh}ammad Huseyn al-Dhahabi>, al-Ittija>ha>t al-Munh}arifah fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m (),165 31 Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris. Arah Baru Studi Tafsir AlQuran (Bandung: Pustaka Setia, 2005),100-101. 32 Laury Silvers, ‚Theoretical Sufism in the Early Period: With an Introduction to the Thought of Abū Bakr al-Wāsiṭi (d. ca. 320/928) on the Interrelationship between Theoretical and the Practical Sufism‛. Studia Islamica, No. 98/99 (2004), 80. 33 Sebagai tambahan makna yang diperoleh adalah melalui proses isyari. Dalam hal ini sebagian pakar membagi isyarat yang ada ke dalam dua bentuk. Pertama adalah isyarat hissiah dan kedua adalah isyarah zinniyyah. Ada pun dalam konsep sufi, isyarat juga terbagi ke dalam dua bentuk. Pertama dikenal dengan isyarat halusa yang hanya dicapai oleh ahli takwa, ahli ilmu sewaktu membaca Alquran. Jenis isyarat yang kedua adalah isyarat yang jelas terkandung dalam ayat-ayat kawniyah. Cecep Alba, ‚Pola Tafsir Al-Qur’an Ibnu ‘Arabi‛. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Jakarta 2004, 80.

103

berujung pada tauhid. Ketiga hal tersebut menjadi dasar dalam pengembangan ajaran sufi.34 Dalam konsep yang berbeda, tiga hal di atas meskipun tidak sama, tetapi memiliki kemiripan dan kekuatan dengan tiga hal yang saling melengkapi, yaitu islam, iman dan ihsan.35 1. Konsep al-Sulami terhadap Teks Alquran Baik al-Sulami> dan al-Qushayri> keduanya memiliki sisi pemahaman yang berbeda. Meskipun keduanya mengusung nilai dan semangat esoterik36 yang sama, tetap saja pijakan dan arah sufi berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini merupakan suatu hal yang realistis, mengingat keduanya hidup di saat masa peralihan antara masa kezuhudan dan sufi secara sistematik. Akan tetapi yang paling menonjol di antara keduanya adalah al-Sulami> masih tetap menjaga tradisi keilmuan dari para pendahulunya, sehingga nukilan-nukilan dari tokoh sufi sebelumnya banyak ditemukan dalam karya al-Sulami>. Berbeda dengan al-Qushayri>, sisi orisinal sufinya semakin tajam manakala ia mencoba mengkorelasikan tasawuf dengan syariah (fikih) yang selama ini dinilai memiliki perbedaan yang tidak dapat disatukan. Untuk melihat bentuk konsep pemahaman al-Sulami> terhadap teks Alquran dapat dilacak melaui H}aqa>’iq al-Tafsi>r, yang ia tulis dalam rangka menjaga tradisi para ahli zuhud yang ada sebelumnya. Hal lain yang harus menjadi perhatian bagi para pengkaji tafsir sufi adalah berkaitan dengan dogma dan doktrin esoterik. 34

Konsep ini yang menjadi ciri khas tersendiri bagi kaum sufi dalam mengembangkan ajarannya. Ketiga hal tersebut secara teori merupakan saduran yang berasal dari apa yang ada dalam Alquran dan sunnah, dan mereka lebih cenderung kepada pemahaman inner atau batin dari keduanya. 35 Mohammed Rustom, ‚Approaches to Proximity And Distance In Early Sufism‛. Mystics Quarterly, Vol. 33, No. 1/2 (March/June 2007), 1-2. 36 Esoterik dalam tafsir sufi adalah berawal dari sebuah satu semangat yang memiliki orientasi untuk selalu menyerukan hubungan antara manusia dan Tuhan. Konsep itu berpijak pada relasi kedekatan bukan dalam bentuk relasi penghambaan. Dengan relasi kedekatan itu, para sufi diyakini mampu mendapatkan kebahagiaan ilahiyah. Said Aqil Siraj, Ma’rifatullah Pandangan Agama-agama, Tradisi dan Filsafat (Jakarta: ELSAS, 2003), 22.

104

Permasalahan esoterik, menurut pengamatan penulis masih menyisahkan banyak perdebatan. Perdebatan yang begitu mencolok dalam masalah ini adalah kedudukan takwil sebagai sumber pengetahuan dan asal usul takwil yang hingga sampai saat ini masih dicurigai merupakan produk pemikiran Syiah. Bila kita merujuk kembali ke beberapa literatur ilmu-ilmu Alquran, maka akan ditemukan bahwa porsi pengkajian tafsir isha>ri> dibedakan dengan kajian tafsir batin, dan tafsir karya Syiah.37 Setidaknya hal di atas merupakan suatu bukti untuk menguatkan argumen, bahwa secara teroi dan praktik, tafsir isha>ri> sufi berbeda dengan tafsir esoterik lainnya. Perlu dijelaskan kembali, takwil dalam arti yang luas mengundang banyak perdebatan, sehingga masing-masing dari kelompok mengklaim memiliki kebenaran dalam mendefenisikan takwil. Tentunya, kata takwil ini memiliki pengertian yang berbeda ketika berada di luar wilayah tafsir, seperti dalam permasalahan kalam, hadis dan fikih. Meksipun tujuan dan cara kerja dari takwil dari masing-masing displin keilmuan memiliki kesamaan, tetap saja produk dan alur pemikiran takwil tersbeut berbeda. Bila takwil dalam hadis hanya memfokuskan kepada pemaknaan kalimat yang lebih logis, lain halnya dengan pengertian takwil yang ada dalam konsep kalam, yang lebih memfokuskan kepada kepada penglogisan kata, sehingga bila tidak diatur sedemikan rupa, maka akan terjadi penyamaan antara Tuhan dan makhluk, hal yang sama juga terjadi dalam praktik fikih. Adapun takwil dalam Syiah telah menjadi doktrin, yang tampaknya menjadi hal yang penting dalam tafsir Alquran. Ini bisa dibuktikan dengan beberapa contoh tafsir Alquran yang ada dalam kelompok Syiah. Bentuk pentakwilan yang ada dalam Syiah ini menurut pengamatan penulis lebih mirip dengan tafsiran kelompok batiniyah, yang salah satunya juga berasal dari Syiah. Karena sebagian besar takwilan dalam tradisi Syiah dihasilkan untuk mendukung ajarannya. Secara definisi mazhab batiniyah adalah suatu kelompok yang menafsirkan Alquran dengan tidak memperdulikan lagi makna eksternal atau teks ayat. Meskipun 37

Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’an. Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif . (Jakarta: Riora Cipta, 2000),41-53.

105

kelompok ini mengakui adanya dua makna dalam ayat Alquran, eksternal dan internal, tetap saja bagi mereka yang layak untuk dijadikan hujjah adalah tafsir internal.38 Hal yang serupa juga ditemukan dalam tafsir yang dicetuskan oleh Ikhwa>n al-S}afwa, namun memiliki sedikit perbedaan, yang mana kelompok ini lebih mengedepankan sisi alegoris (kiasan) terhadap ayat-ayat Alquran. Seperti tafsiran mereka terhadap QS. al-An‘am (6): 112,39 bahwa yang dimaksud dengan setan jin adalah jiwa yang jahat yang terpisah dan terpenjara oleh pengetahuan indrawi, sedangkan setan manusia merupakan jiwa berjasad yang dikuasai oleh jasad.40 Al-Sulami> dalam tafsirnya, mendapatkan kritikan serius terkait isu pengaruh Syiah sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Isu ini bergulir manakala banyak nukilan yang berasal dari Ja‘far al-S}a>diq. Kritikan yang cukup baik datang dari Ibn Taymiyah, bahwa rujukan yang dalam tafsir al-Sulami> yang berasal dari Ja‘far al-S}a>diq secara umum adalah kebohongan dengan mengatasnamakan dirinya. Maksudnya riwayat yang dicantumkan ole al-Sulami> yang merujuk kepada Ja‘far al-S}a>diq pada dasarnya adalah riwayat yang tidak memiliki kualtias dan otensitas, karena memiliki asumsi bahwa riwayat tersebut adalah hasil rekayasa Syiah.41 Anwar Syarifudin dalam tulisannya mencoba memberikan penjelasan terhadap kritikan tersebut. Dalam analisisnya, kritikan yang ditujukan kepada al-Sulami> yang berasal dari Ibn S}ala>h} yang mengurai kembali ucapan al-Wa>h}idi> itu sangat tidak tepat. Dalam asumsinya, kritikan tersebut tidaklah tepat, karena berdasarkan urutan waktu al-Sulami lebih dahulu masanya dari al-Wa>h}idi>, dengan melalui rintang waktu tersebut, tafsir secara teoritis telah 38

Thameem Ushama, Metodologi Tafsir al-Qur’an. Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif (Jakarta: Riora Cipta, 2000),48-49. 39

‫ااِل ِّل ي ِل‬ ‫َو َو ِل َو جع ْلنَوا ِل ُك ِّل َوِل ع ُكد ًّا َو ِل‬ ‫اا َو ِْل‬ ‫وحي َبَو ْع ُك ُك ْ ِل َو َبَو ْع ٍض ُك ْ ُك َو‬ ‫َو‬ ‫َو َو‬ ‫اا ْ ِل َو ْ ُك‬ ‫َو‬ ‫َو‬ ‫اْ َو ْوِل غُكُك ًرا َو َو ْو َو ااَو َورُّب َو َوما َوَب َوعلُكووُك َو َو ْرُك ْ َو َوما يَبَو ْ َوَبُك َوو‬ 40

Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris. Arah Baru Studi Tafsir AlQuran (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 177-18. 41 Abu> H}afs Sayd ‘Imra>n dalam al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 12.

106

banyak mengalami perubahan, apakah itu dari segi upaya pendekatan, atau pun pemahaman tafsir itu sendiri.42 Artinya ada yang terlupakan oleh al-Wa>h}idi>, bahwa secara redaksional dan defenitif tafsir dan takwil itu telah mengalami perubahan makna dan tujuan digunankannya. Penulis cenderung menguatkan pendapat yang terakhir ini, setidaknya ada beberapa alasan kuat untuk mendukung hal tersebut. Adanya fakta sejarah yang panjang terkait tafsir Alquran harus juga ditinjau kembali, terutama pada masa karya awal. Lahirnya klasifikasi terhadap kitab-kitab tafsir tentu sangat dipengaruhi oleh pengarangnya. Tentunya pengklasifikasikan tersebut tidak lahir begitu saja, melainkan ada faktor yang mendorongnya. Kedua, sifat tafsir yang relatif dan tentatif menunjukan bahwa tafsir hanya sebagai upaya untuk mengkonstruk makna dari kalam Allah yang dikaji, sehingga melahirkan pemahaman berupa penjelasan tentang suatu ayat, yang tidak bersifat absolut dan mengikat. Selain itu kita dituntut untuk ikut mempertimbangkan kondisi lokal dan sosial yang berkembang pada abad tersebut.43 Ini bertujuan untuk melihat lebih dalam lagi tentang trend tafsir yang berkembang, dikhawatirkan tren tafsir yang berkembang pada saat itu menjadi idiologi yang disepakati, dan melemahkan sebagian yang lain. Jika demikian adanya, ini membangun sebuah asumsi yang mengarahkan kepada adanya distorsi dan pembagian peran yang cenderung sedikit diskriminatif, meski tidak secara keseluruhan. Terminologi yang digunakan al-Sulami> dalam tafsirnya tidak sebanyak yang digunakan oleh para penafsir lain. Al-Sulami> yang hidup pada abad ke 4 tampaknya belum begitu banyak terpengaruh dengan uraian bahasa dalam tafsir. Ini bisa saja terjadi karena kondisi sosial dan intelektual dimana al-Sulami> tinggal masih banyak yang memahami bahasa secara baik, dan satu poin yang perlu diingat, bahwa kehadiran H}aqa>’iq al-Tafsi>r sebagai 42

M. Anwar Syarifuddin, ‚Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Alquran‛. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol.1, No.2, Desember, 2004, 2-3. 43 Bandingkan dengan penjelasan Abu> H}afas} Sayd ‘Imra>n dalam alSulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah,2001),10-11.

107

salah satu proyek al-Sulami> adalah sebagai bentuk kekagumannya terhadap pemahaman para zahid yang begitu kental interaksi mereka terhadap Alquran. Ditambah lagi latar belakangnya yang seorang sufi, tentu penguraian bahasa, asbab nuzul, dan sebagainya tidak menjadi bagian inti darinya, karena sebagaimana para sufi menjadikan Alquran sebagai pedoman penuh tanpa terjebak dengan permasalahan keilmuan lainnya. Seperti uraian al-Sulami> tentang ayat pemindahan kiblat,44 al-Sulami> tidak menguraikan panjang lebar terkait sebab turun ayat tersebut, tidak pula memberikan bagaimana itu terjadi. Ia langsung menangkap esensial ayat tersebut, dengan memberikan tafsir bahwa ayat tersebut menegaskan bahwa keinginan yang ada dalam diri Muhammad tidak bertentangan dengan apa yang menjadi takdir Allah. Hal yang terpenting lainnya adalah dalam ayat tersebut Allah tidak hanya menjadikan ka‘bah sebagai kiblat badan kita dalam melaksanakan shalat, tapi Allah juga menegaskan agar kita manusia hendaknya menjadikan Allah sebagai kiblat dalam urusan hati, dalam hal ini adalah perihal keimanan.45 Begitu juga dengan tafsirannya tentang makna khalifah ketika menafsirkan QS. al-Baqarah (2): 30,46 ia melihat bahwa syarat utama seseorang untuk menjadi khalifah Allah di bumi ini adalah mampu melihat Allah melalui zatnya terhadap segala sesuatu secara kongkrit (fas}la>n wa was}la>n), karena fas}l dan was}l tidak akan pernah terpisah sedikitpun.47

44

‫ِل‬ ‫ِل‬ ‫ِّل‬ ‫َو ْد َبَوَوى َوَب َو لُّب َو َو ْج ِل َو ِل ا َّسل َو اا َوَبلَونُكَب َووِّلَوَبنَّس َو َْبلَو ً َوَب ْ َو‬ ‫ضا َو ا َوَب َوو َو ْج َو َو َو َْو‬ ‫ااَوَو ِلاا‬ ْ ‫اْ َو ْل ِل ِلد‬ 45

al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001),67-68. 46

‫ِل ْ َوا َو رُّب َو ِلْل َو ِل َو ِل ِل ِّل ج ِل‬ ‫اع ٌل ِل ْاا َْور ِل َو لِل َو ً َواُكوا َوَوْ َوع ُك ِل َو ا َوم ْ يَبُك ْ ِلل ُكد ِل َو ا‬ ‫َو‬ ‫َو‬ ‫َو‬ ‫َو‬ ‫ِل‬ ‫ِل‬ ‫ِل‬ ‫وو‬ ‫ِّلمااَو َو َوْ ُك ُك َولِّل ُك َو ْ د َو َو َبُك َو ِّلد ُك َو َو َوا َو ِل ِّل َْوعلَو ُك َوما َو َوَب ْعلَو ُك َو‬ ‫َو يَو ْل ُك ا د َو‬ 47

al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001),67-55.

108

Bila demikian dapat dikatakan bahwa al-Sulami> mencoba memberikan warna baru dalam tafsir Alquran yang selama ini didominasi oleh egaliter sahabat dan tabi’in. Dalam tafsirnya, ia mencoba menegaskan bahwa uraian dan tafsiran yang diterima dari para zahid yang ada sebelumnya, juga memiliki kwalitas yang baik, terlebih lagi dalam hal meningkatkan kualitas spiritual dan penghambaan manusia kepada Allah. Secara seksama maka akan kita temukan pola dan model zuhud yang mendominasi pemikiran al-Sulami dalam tafsirnya. Ini sangat berguna guna melacak kesahihan apa yang diuraikan oleh para ahli zuhud, agar tidak terjadi pertentangan dengan syariah yang sebagian bersifat qat}’i, yang tidak terbuka padanya peluang untuk berijtihad. Ada beberapa poin yang menjadi klimaks dalam tafsir sufi al-Sulami>. (1) al-Sulami> menafsirkan Alquran sesuai dengan kebutuhan spiritual, ini juga dibatasi dengan referensi terukur yang sebagaimana telah disebutkan di atas, hanya merujuk kepada perkataan dan pendapat para zahid sebelumnya. Satu hal yang kurang lengkap dalam tafsirnya, adalah fakta bahwa al-Sulami> tidak melakukan kritikan terhadap perkataan yang ia nukil. Dalam hal ini ada dua kemungkinan kenapa itu ia lakukan. Pertama, sebagai rasa kagumnya terhadap para zahid, sehingga ia sangat yakin bahwa apa yang berasal dari para zahid merupakan buah dari dialektika mereka terhadap Alquran yang telah melalui proses pencerahan kasyaf. Kedua, bisa jadi al-Sulami> tidak melakukan kritik terhadap sanad perkataan yang ia terima karena ketidaktahuannya. Namun anggapan yang kedua ini perlu dikaji kembali secara mendalam, mengingat al-Sulami> juga merupakan seorang yang mempelajari dan memahami ilmu hadis. (2) alSulami> melakukan selektifitas terhadap ayat-ayat yang ia tafsirkan. Harus diketahui dan dipahami dengan baik, bahwa yang dilakukan oleh al-Sulami> adalah proses selektifitas ayat, bukan tidak menafsirkan ayat secaca keseluruhan sebagaimana karya tafsir pada umumnya. Artinya selektifitas ayat yang dikerjakan oleh al-Sulami>, merupakan suatu proses yang lahir sesuai dengan cara pandang dan kebutuhan, bisa jadi ketidaktahuan. Bukan menunjukan bahwa ia mengingkari sebagian ayat dan mengaminkan sebagaian yang lain. al-Sulami> hanya fokus kepada 109

ayat-ayat yang kiranya memiliki korelasi kuat dengan ajaran sufi. Seperti permasalahan tentang keimanan, hal ghaib, penciptaan, jalan menuju Allah dan ibadah tentunya. Sebagai contoh tafsir al-Sulami> yang tidak terpaku dalam kandungan teks ayat dapat dilihat dari pemahamannya tentang QS. Al-Baqarah (2): 255, dalam memberikan penjelasan tentang kalimat la> Ila>ha illa Allah, menurutnya ada empat komponen yang terkandung dalam kalimat tersebut yang dibutuhkan seseorang yang ingin membacanya. Yaitu; (1)tas}di>q (pembenaran), (2)ta‘z}i>m (pengagungan), (3)jala>wah (peninggian), (4)h}urmah (penghormatan). Keempat komponen tersebut hendaknya hadir ketika mengucapkan kalimat tersebut. Maka siapa yang tidak memiliki pengakuan, maka ia adalah munafik, siapa yang tidak terdapat dalam dirinya pengagungan maka seorang pelaku bid‘ah, yang tidak mengakui ketinggian Allah tergolong sebagai pelaku riya dan siapa yang tidak memiliki rasa hormat maka ia termasuk seorang yang fasik.48 2. Formulasi Tafsir al-Qushayri> Berbeda dengan al-Sulami>, al-Qushayri> yang merupakan murid dari al-Sulami>, secara praktik dan teori tidak menerapkan apa yang dilakukan oleh al-Sulami> dalam tafsir Alquran. AlQushayri> tampak lebih memilih untuk menyegarkan kembali antara sisi zahir dan batin Alquran. Kedua hal ini adalah dasar landasan yang mesti seimbang dan saling menguatkan. Apa yang dilakukan oleh al-Qushayri> mengingatkan bahwa sufi tidak selalu identik dengan makna yang tidak terjangkau oleh nalar. Sebaliknya, nalar sangat diperlukan dalam memberikan argumentasi yang sekiranya belum terjawabkan. Al-Qushayri> merupakan jawaban dari kritikan yang selama ini keliru memahami esensi dari tafsir sufi. Karena seringkali sebagaian kalangan menyamaratakan antara tafsir sufi dengan tafsir esoterik lainnya. Ia juga merupakan pionir dalam memberikan arahan baru yang

48

al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001),

74-75.

110

sangat korelasi dan mengembalikan nilai-nilai sufi seperti pada generasi awal. Isha>rah atau isyarat menjadi kata kunci yang paling banyak kita temukan dalam tafsir sufi al-Qushayri>. Tidak ditemukan kata tafsir dalam karya al-Qushayri> ini memberikan sinyal bahwa ia telah menggantikannya dengan istilah isyarat, yang tentu saja maksud dari kata tersebut adalah tafsir atau penjelasan terhadap Alquran. Bila diperhatikan maka isyarat yang digunakan oleh alQushayri> ini memiliki sedikit perbedaan dengan tafsir secara umum. Melalui kata isyarah yang ia gunakan, al-Qushayri> tampaknya ingin langsung mengurai pesan dan kesan yang ada dalam ayat tersebut. Tidak terjebak dalam kerangka ilmu Alquran yang ada, terminologi isyarah ini memiliki fungsi ganda, tidak hanya sebagai kata lain dari tafsir, melainkan juga sebagai pengurai maksud dan tujuan di balik kandungan ayat.49 Melalui penggunaan kata isyarat ini, ia juga ingin memberikan penjelasan bahwa setiap ayat berpotensi untuk mengandung warning, selain pesan yang harus dipahami secara baik. Melihat hal ini, tampaknya al-Qushayri> sangat menyadari betapa pentingnya aspek isyarat yang menjadi tumpuan dalam tafsir esoterik. Kesadaraan ini bisa jadi dibangun oleh nalar normatif yang secara praktik telah dikenal sebagai salah satu metode memahami Alquran, sebagaimana yang diuaraiakn oleh al-Dhahabi>, bahwa tafsir isha>ri> telah ada pada masa nabi dan sahabat, sehingga hal tersebut bukanlah satu hal yang baru.50 Meski menjadi kata kunci dalam tafsirnya, tidak semua ayat yang ditafsirkan menggunakan kata isyarat. Dalam banyak tempat misalnya, al-Qushayri> langsung memberikan penjelasan terhadap ayat yang akan ditafsirkan. Sebagai contoh ketika menafsirkan hakikat iman yang ada dalam QS. al-Baqarah (2): 3, bahwa hakikat iman itu adalah pembenaran (tas}di>q) dan penerapannya (tah}qi>q). Pembenaran itu merupakan hasil dari pikiran, sedangkan penerapannya lahir dari sebuah kesungguhan, dengan memelihara janji dan menjaga batasan. Maka hakikat orang 49

Huseyn ‘Ali ‘Ukash,‚al-Tafsi>r al-S}u>fi> al-Isha>ri> li al-Qur‘a>n: Manhaj al-Istinba>t} wa al-Dala>lah al-Jadi>dah‛ Majallah al-Sa>til, Vol. 17, 2008, 10. 50 Muh}ammad H}useyn al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000),261.

111

beriman itu adalah orang yang benar dalam keyakinannya dan orang yang benar dan kesungguhannya.51 Meskipun demikian tetap saja apa yang diuraikan oleh al-Qushayri> terhadap ayat-ayat tersebut walaupun tidak menggunakan kata isyarat, tetap saja merupakan tafsir dan tidak mengurangi peran serta pengaruh tasawuf di dalamnya. Dalam pengakuannya, al-Qushayri> menegaskan bahwa dalam hal kalam Allah pun juga digunakan isyarat yang tertuang dalam istilah khusus, yang hanya dipahami oleh orang tertenu. Ungkapan itu berbunyi; al-‘iba>ra>h li al-‘umu>m

wa al-rumu>z wa al-isha>ra>t li al-khus}us{. 52

Dari ungkapan tersebut bila kita hubungkan dengan tasfsir yan ditulis oleh al-Qushayri>, maka sejatinya ia ingin menegaskan bahwa tidak semua orang mampu menangkap pesan yang berupa isyarat yang ada dalam Alquran. Ia juga ingin menguatkan bahwa dalam ayat Alquran terkandung pesan yang berupa isyarat, berguna untuk mengingatkan dan membimbing manusia kepada jalan yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Selain mengutamakan penjelasan yang berkaitan dengan isha>ri>, al-Qushayri> juga tidak melepaskan sisi eksoterik dari ayat yang ia tafsirkan. Sebelum memberikan isyarat terhadap satu ayat, terlebih dahulu ia memberikan penjelasan dari sisi eksoterik atau zahir ayat. Hampir secara keseluruhan ini diterapakan oleh al-Qushayri> dalam tafsirnya. Bentuk tafsir yang bisa kita jadikan contoh antara lain penjelasan al-Qushayri> tentang haji yang terdapat dalam QS.al-Baqarah (2):196.53 Secara umum atau berdasarkan kategori fikih, kesempurnaan haji dengan melakukan segala hal yang berkaitan dengan rukun-rukun, sunnah-sunnah dan tatacara pelaksanaannya. Hal yang sama juga berlaku terhadap esensial haji, menurutnya ayat tersebut memberikan isyarat bahwa haji itu secara esensi adalah sebuah tujuan kepada Allah. Dalam kategori 51

Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Kairo: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 18. 52 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t, Jilid 1, 17. Lihat juga, Kha>lid ‘Abd al-Rah}ma>n al-‘Ak, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduhu (Beirut: Dar al-Nafa>’is: 1987), 94. 53

‫ااَو َّس َواْ ُكع ْ َوَو ِللَّسه‬ ْ ‫َو َوِلِتُّبوا‬ 112

fikih sebagaimana lazimnya haji merupakan serangkaian ibadah yang terdiri dari ihram dan wukuf yang kemudian diikuti dengan tawaf, dan sa‘i. Hal yang sama juga berlaku dalam tataran spiritual, yang mana hendaknya siapa pun yang melakukan haji, maka ihramnya adalah dengan keyakinan yang benar dan niat yang tulus, menjauhi segala keterikatan dengan syahwat, diganti dengan kesabaran dan kefakiran, dan menahan diri dari mengikuti segala tuntutan hawa nafsu.54 Bagi al-Qushayri> inti dari tafsir Alquran adalah bagaimana Aquran menjadi petunjuk dan meningkatkan pengetahuan kita terhadap Allah, penjabaran detail tentang suatu hal, atau kisah tidak begitu menjadi perhatian lebih dalam tafsirnya. Seperti manakala ia memberikan uraian tentang ayat terkait Bani Israil, meskipun yang menjadi khitab dalam ayat tersebut adalah bani israil terkait dengan perintah untuk mengingat akan nikmat Allah yang diberikan padanya. Sedikitpun al-Qushayri> tidak membahas perihal siapa itu Bani Israil, ia hanya fokus mengkaji tentang hakikat dari nikmat, karena baginya itulah yang menjadi esensial dari ayat tersebut, adapun Bani Israil hanya sebagai wasilah untuk menjelaskan perintah itu. Dalam hal ini ia memberikan catatan penting, menurutnya ayat tersebut juga memberikan penegasan bahwa bila Bani Israil diperintahkan untuk mengingat terhadap nikmat yang diperoleh, adapun untuk Muhammad (umat Islam umumnya) Allah memerintahkan agar senantiasa mengingat Allah yang memberikan nikmat (al-Mun‘im).55 Dalam banyak tema al-Qushayri> melakukan hal yang sama, selalu menyelaraskan antara kebutuhan teks ayat dengan pesan yang tersirat di dalamnya. Teks ayat dalam tafsirnya memberikan kontibusi juga dalam menemukan makna esensial ayat. Hubungan antara penjelasan eksoterik ayat dan esoterik ayat ini saling berkaitan dengan tidak bisa ditinggalkan satu dan yang lainnya. Saling melengkapi antara eksoterik ayat yang menjadi pondasi dasar dengan uraian esoterik yang merupakan ruh dari Alquran 54

Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Kairo: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah,2007), Jilid 1, 94-95. 55 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Kairo: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah,2007), Jilid 1, 40-41.

113

itulah gambaran kuat yang diterapkan oleh al-Qushayri dalam tafsirnya.

B. Struktur Bahasa dan Pemaknaan Ulu>m al-Qur’a>n Bahasa dalam literatur sufi merupakan bagian yang sangat penting. Karena melalui bahasa ini dimulai bentuk pemahaman, tafsir yang bersandarkan kepada bentuk luar dan bentuk dalam, dalam bahasa lain sering disebut dengan sisi zahir dan batin. Polarisasi antara zahir56 dan batin ini pada dasarnya terinspirasi dari Alquran, yang menerangakan bahwa Allah menyebut dirinya dengan menggunakan istilah zahir dan batin.57 Bahasa dalam konteks sufi merupakan sebuah sarana untuk menangkap pesan baik yang tersirat maupun yang tersurat. Bagaimanapun juga kedekatan pengunaan bahasa dalam literatur sufi juga memberikan pengaruh terhadap tafsir. Dari sini dimulai komunikasi intuitif mulai terkonstruk, terlebih lagi setelah bersentuhan dengan upaya memahami kalam Allah>. Bila berbicara sejauh mana ketepatan hasil tafsirnya, maka pada tataran hakikat, secara teori kebenaran mutlaknya suatu tafsir hanya Allah yang tahu, manusia yang hanya sebagai penerjemah pesan Tuhan. Oleh karena itu, dalam kasus sufi, pemahaman Alquran tidak lagi sebagai penerjemah, melainkan mengaminkan apa yang diinginkan Tuhan dalam kalamNya. Arti setiap kata atau ayat yang ada dalam Alquran, akan dipahami dan diartikan dengan hal yang mendukung paham kesufian, apakah itu berbicara tentang akhlak, ketuhanan dan lain sebagainya.58 Pada sisi lain, bentuk tafsir sufi hanya menekakan 56

Jelaskan perbedaaan pemahan zahir menurut paham tasawuf. Rujuk Qamar – ul Huda, Striving for Divine Union. Spiritual Exercises for Suhrawardi Su>fi>s (London: RoutledgeCurzon, 2003), 51-52. 57 Eric Geoffroy, Introduction to Sufism. The Inner Path of Islam (Indiana: World Wisdom, 2010), 1. 58 Perilaku seperti ini adalah hal yang wajar dalam sufistik. Karena bagaimana pun juga, pemabahasan dan pembicaaraan yang luas tentang ayat Alquran, bila itu sama sekali tidak memberikan dan menunjang kebutuhan spiritual sufi , maka hal tersebut tidak memiliki arti. Oleh karena itu, bila kita

114

pada apsek penjelasan dan memberikan pemahaman, yang mana model ini bagi sebagaian kelompok juga dikategorikan sebagai tafsir.59 Pertanyaan mendasar dalam tafsir sufi adalah sejauh mana berlaku kaidah ilmu-ilmu Alquran60 dalam aplikasi penerapan tafsir sufi. Hal ini perlu diutarakan kembali, mengingat adanya kritikan terhadap tafsir sufi berangkat dari tidak kokohnya penerapan ilmu-ilmu Alquran yang ada dalam tafsir sufi. perhatikan apa yang dilakukan oleh al-Sulami> adalah tidak menafsirkan seluruh ayat Alquran, hanya saja ia menafsirkan ayat Alquran yang memiliki relasi dan kebutuhan spiritual dengan kondisi batinnya. Menurut Hidayat, dalam ‚Tafsir Sufi‛, jenis tafsir ini dikategorikan ke dalam tafsir sufi ‘amali, jenis tafsir ini jarang sekali membicarakan atau membahas masalah tentang teori-teori ma’rifatullah. Menurt al-Farmawi sebagaimana yang dikutip oleh Hidayat, jenis tafsir seperti ini bukan suatu yang baru, karena secara praktik telah diiyaratkan oleh Alquran, dipesankan oleh Muhammad dan dikenal oleh para sahabat. namun yang menjadi pembeda dalam hal ini, Hidayat memasukan al-Sulami> kedalam jenis tafsir sufi nazhari, yang merupakan jensi kedua dalam tafsir sufi. Tentu ini berbeda dengan pendapat penulis. Lihat, Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 13. 59 Muh}ammad H}useyn al-Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), Juz 1, 12. 60 Secara defenitif ilmu-ilmu Alquran adalah seperangkat teori atau metode dalam memahami Alquran. Teori ini semakin berkembang dengan baik, dibuktikan dengan lahirnya berbagai macam teori yang mendukung kita untuk memahami Aluran. Seperti teori tentang asba>b al-nuzu>l, tarti>b, kodifikasi, qira’ah, tafsi>r, i‘ja>z dan na>sikh mansu>kh. Dalam perkembangannya ilmu Alquran melahirkan berbagai macam bentuk disiplin keilmuan yang berkaitan dengan upaya untuk memahami Alquran. Singkatnya setiap materi yang dihasilkan di dalam pembahasan ilmu Alquran sangat beragam tergantung siapa yang membahas tentang materi tersebut dan kecenderungan pengaran dalam menjabarkannya. Meskipun perkembangan ilmu Alquran mendapat respon positif dari pengkaji Alquran, tetap saja pada sisi lainnya masih menyisahkan kritikan. Di antara kritikan yang masih ada sebagaimana diungkap oleh Farid F.Saenog, adalah cenderung monotonnya pembahasan ilmu Alquran sehingga banyak terjadi pengulangan, tanpa ada upaya untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Kritikan yang sama juga ditujukan pada tafsir yang masih mengesankan kebekuan dalam berfikir, sehingga dianggap belum mampu menjawab kebutuhan zaman saat ini. Farid F.Saenog, ‚Koifikasi ‘Ulum Al-Qur’an Hingga Abad Pertengahan. Studi Bibilografis‛. Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.1, No.1 Januari 2006, 111-124. Lihat juga, M. Nur Kholis Setiawan, ‚Al-Qur’an dalam Keserjanaan Klasik dan Kontemporer; Keniscayaan Geisteswissenschaften‛. Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.1, No.1 Januari 2006, 80.

115

Menanggapi kritikan tersebut, maka konklusi sementara adalah apakah setiap tafsir harus mencakup segala bentuk konsep yang ada dalam ilmu-ilmu Alquran. Tidak hanya itu, subtantif dari ilmuilmu Alquran harus lebih dipertajam dan diperdalam, agar tidak terjadi kesalahpahaman, bila perlu haurs ada revisi dalam memahami ilmu Alquran. Termasuk di dalamnya, apakah ilmu Alquran merupakan hasil rekontruksi ijtihadi yang berasal dari luar Alquran, atau merupakan bagian internal Alquran.61 Perdebatan ini menurut penulis yang menjadi batasan dan sejauh mana orisinal dan otoritas tafsir itu diakui. Sehingga ketika tafsir Alquran yang tidak lagi berpedoman pada ilmu-ilmu Alquran maka dianggap sebagai bentuk penyimpangan, yang bisa jadi melahirkan kualtias tafsir antara sahih dan tidak sahih atau diterima dan tidak diterima. Bukan untuk menunjukan sesuatu yang baru, akan tetapi formalitas yang ada dalam koridor tafsir, menjadi sedikit terabaikan, manakala memahami Alquran dengan pendekatan intuisi. Tafsir sufi yang menitikberatkan kepada pola dan sumber tafsir dengan gagasan intuitif cenderung dihukum sebagai suatu yang mengada-ada, karena tidak dilandasi dengan bangunan keilmuan yang berlaku secara umum. Kritikan di atas semakin memberikan ruang pemisah antara apa yang dibangun oleh sufi dalam metodologi tafsirnya dengan model tafsir secara umum. Padahal bila merujuk kepada fakta sejarah, catatan yang ada adalah tafsir isyari dengan model yang dilakukan oleh sufi, terutama al-Sulami> dan al-Qushayri> lebih mendekati praktik tafsir yang ada pada zaman nabi. Karakter tafsir yang bersifat general dengan semangat untuk memahami Alquran melalui kedekatan seorang hamba dengan Tuhan merupakan cikal bakal dari tafsir isyari, yang mana para sahabat telah lama membangunnya, meski tidak terhimpun dalam satu bentuk karya yang utuh. Ini juga yang menjadi model tafsir pada generasi awal yang lebih bersifta refleksi atas kebutuhan spiritual masyarakat muslim saat itu, yang tidak hanya menjadikan Alquran sebagai

61

Shaykh ‘Abba>s al-Ja>bir, ‚ ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Qira’a>tan Naqdiyatan‛. Vol. 44, 2009. http://albasaer.org/index.php/post/78

116

sebuah tunutunan yang mencakup permasalahan agama, hukum ekonomi dan sebagainya.62 Dengan demikian kedekatan tafsir sufi itu sendiri merupakan pada dasarnya adalah internal dari sejarah perkembangan tafsir. Namun yang menjadi persoalan, masih minimnya faktor pendukung atau sumber-sumber yang menguatkan pendapat ini. Terlebih lagi tidak ada, atau mungkin belum ditemukan satu karya tafsir dari generasi sahabat yang mengusung sufi sebagai modal dasar dalam menafsirkan Alquran. Jika pun ada, kiranya harus diuji validitas kebenarannya, mengingat tradisi ini sangat dekat dengan operasional dalam mensahkan suatu riwayat. Agaknya ini juga yang menjadi kendala dalam melegalkan tafsir sufi sebagai bagian dari tafsir Alquran, di samping banyaknya penyimpangan yang mengatasnamakan sufi, yang berbaur dengan kelompok esoterik lainnya.

C. Corak Sufi Sebagai Kritikan Orientasi Fikih Pendekatan sufi dalam memahami Alquran sebagai suatu model dan alat tafsir mendapatkan kritikan tajam dari sebagaian kalangan. Di antara kelompok yang boleh dikatakan sebagai kelompok kritis dalam menyikapi dan memahami pola serta model tafsir sufi adalah para ahli fikih63 dan ahli hadis. Merujuk kepada hasil dan kebutuhan akan tafsir, maka poin penting yang menjadi

62

Enes Karic. ‚Interpretation Of The Qur'än And The Destiny Of The Islamic World‛ Islamic Studies, Vol. 36, No. 1, Spring 1997, 7. 63 Fokus kerja yang dilakukan oleh ahli fikih adalah menerapkan hukumhukum syari’ah yang diperoleh melalui istinbat dan proses pengambilan hukum yang menggunakan hujjah baik itu yang cenderung rasional atau masih berpegang teguh pada penggunaan hadis. Oleh karena itu, ahli fikih juga terbagi kedalam dua kelompok. Pertama adalah mereka yang menggunakan nalar dalam memahami persoalan hukum, tokoh yang terkenal dalam kelompoh fikih rasional (ahl al-ra’y) adalah Abu Hanifah al-Nu‘man, dan aliran ini banyak berkembang di Iraq. Kedua kelompok ahli fikih yang lebih mengedepankan penggunaan hadis sebagai hujjah. Di antara tokoh yang masyhur adalah Imam Malik, dan kebanyakan mereka berdomisili di Madinah. As‘ad al-Sah}marani>, alTas}awwuf Mansha’uhu wa Mus}t}alah}a>tuhu (Beirut: Dar al-Nafa>is, 2000), 60.

117

pembeda dan pemberi jarak antara tafsir sufi dan tafsir fikih adalah landasan dasar yang menopang kedua tafsir tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tafsir fikih lahir untuk menjawab kebutuhan masyarakat terkait hukum halal dan haram. Tafsir fikih dijadikan sebagai langkah awal dalam memahami wuju>h dila>lah, serta bagaimana sikap dan tindakan dalam menyimpulkan hukum suatu persoalan yang merujuk kepada Alquran.64 Tidak hanya itu, keberhasilan para ahli fikih dalam merumuskan suatu langkah prosedural untuk memahmai suatu teks,65 merupakan salah satu penyebab mundurnya, dan lahirnya inharmonisasi antara tafsir yang berdasarkan fikih kasuistik dengan tasawuf. Bila kita merujuk kepada pendapat yang memberikan adanya dua kutub atau pemetaan dalam tafsir, yaitu; (1) tafsir sebagai proses dan (2)tafsir sebagai produk.66 Maka secara teori tafsir sufi ini berada dalam ke dua ruang tersebut. Sebagai proses, tafsir sufi berupaya untuk menyegarkan kembali ide-ide spiritual yang terdapat dalam Alquran, yang selama ini terabaikan karena kurang terjalinnya harmonisasi antara realita teks dengan kondisi zaman (kejiwaan). Dialektika yang terjadi antara pembaca (penafsir sufi) dengan teks melahirkan sebuah gagasan yang secara fungsional lebih menekankan aspek spiritual-normatif ketimbang mengkaji lebih lanjut permasalahan asal-usul dan kebenaran tafsir. Adapun sebagai produk, tafsir sufi secara sadar telah memasukkan dirinya ke dalam tema tersendiri, yaitu tasawuf. Singkat kata tafsir sufi adalah produk dari pemahaman tasawuf yang melebur dengan pembacaan Alquran. Keduanya menurut penulis memberikan sebuah ruang untuk lebih diamati, bahwa pada dasarnya tafsir sufi memiliki legalitas dan otoritas tafsir Alquran dengan caranya sendiri yang tidak menyimpang. Tafsir sufi hanya menekankan tafsir pada tataran moral yang mampu memberikan kedekatan lebih dalam memahami 64

Muh}ammad Bakr Ibra>him Alu ‘A>bid, Dira>sah fi Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-

Qur‘a>n (tt: Dar al-T}arfayn,1421), 99.6 65

Ur-Rehman, Ghulam Shams-. ‚Juridical Sufism: Zarru>q’s Aplication of The Qawa>’id Genre‛. Islamic Studies, Vol. 49, No. 3, Autumn: 2010, 343. 66 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2012), 118-133.

118

ketuhanan sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Selain masalah tafsir Alquran, langkah intelektual sufi terhenti dengan adanya sebagian paham sufi yang terlalu menyimpang dari ajaran Islam. Dengan adanya hal tersebut, menjadikan sufi sebagai suatu pemahaman yang sangat dekat dengan penyimpangan dan kesesatan. Pada dasarnya kritikan yang ditujukan kepada para sufi, diarahkan bagi pemahaman mereka yang keliru. Seperti adanya perlakuan khusus bagi mereka yang telah sampai pada maqam tertentu. Perlakuan khusus tersebut antara lain berupa gugurnya menjalankan syariat dan tidak perlu lagi beribadah karena telah begitu dekat dengan Tuhan. Contoh di atas merupakan hasil dari pembacaan sufi yang keliru terhadap Alquran. Contoh lain bahwa tafsir sufi tidak begitu tertarik mengkaji pembahasan hukum, dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh alSulami>. Al-Sulami> tidak memberikan penjabaran yang mendalam terkait dengan hukum puasa, sebagaimana yang dibanyak dilakukan oleh penafsir lainnya, akan tetapi ia mengkaji puasa dari sudut esensialnya. Puasa yang dipahami oleh al-Sulami> adalah puasa yang dilakukan dengan dorongan kesaksian (syahadat) terhadap Allah dan perintahnya. Setelah itu diperoleh maka seorang hamba dituntut untuk puasa sesuai dengan waktu yang ditentukan. Ini berasal dari pemahaman al-Sulami> terhadap kata alShahr dalam QS. Al-Baqarah (2): 185,67 diartikan dengan Allah dan perintah Allah, berbeda dengan penafsir lainnya yang mengartikan itu dengan bulan.68 Dalam kasus lainnya, sebagian sufi melakukan kekeliruan dengan tafsir Alquran yang mereka lakukan.69 Bentuk tafsir dan pemahaman seperti ini jelas saja tidak diterima karena sufi mesti 67

‫َو َو ْ َو ِل َود ِلمْن ُك ُك ا َّسل ْ َو َوَب ْلَو ُك ْ هُك َو َوم ْ َو َو‬ ‫او َوم ِلي ً ا َوْ َوعلَوى َو َو ٍض َوعِل َّسد ٌل ِلم ْ َويَّس ٍضاا ُك َو َو يُكِل ُك‬ ‫يد ا لَّسهُك‬ ‫ِل ُك اْ ل َو ي ِل ُك ِل‬ ‫ُك ُك ْ َو َو ُك‬ ‫يد ُك ُك اْ ُكع ْلَو‬ 68

70-71.

al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001),

69

Irfa>n ‘Abd al-H}ami>d Fatta>h}, Nash’ah al-Falsafah al-S}u>fiyah wa Tat}awwaruha (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1973), 73-74.

119

selalu sejalan dengan syariat. Inilah yang diterapkan oleh alQushayri>, selain dikenal sebagai penafsir yang mengusung semangat esoterik, ia juga dikenal sebagai penafsir eksoterik Alquran. Kenyataan diperkuat dengan adanya sedikit pembahasan masalah linguistik, dan hukum yang ditemukan dalam tafsirnya.70 Meskipun tidak sama, akan tetapi kedua kelompok (ahli fikih dan ahli hadis ) ini memiliki gagasan keagamaan yang berseberangan dan seringkali bertolak belakang dengan apa yang ada dalam pemahaman dan konsep keagamaan sufi. Di lain pihak, sufi dan fikih merupakan bagian yang tidak terpisahkan, bahkan menjadi kesatuan tema yang utuh di tangan para sufi. Hal ini telah dibuktikan oleh al-Ghaza>li> yang merupakan seorang sufi yang memiliki latar belakang seorang ahli fikih dan pakar filsafat. Melalui Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, al-Ghaza>li> mencoba menjembatani kesenjangan antara syariah dan fikih. Pola yang sama juga diikuti oleh Suhrawardi. Sebagai seorang sufi yang memiliki aliran filasafat, secara fikih maka ia sangat dekat dengan formalitas fikih Hanbali. Apa yang dilakukan oleh Suhrawardi menunjukan bahwa tidak semua sufi meninggalkan aspek syariah yang mencakup kajian fikih dan hadis.71 Kekonsistenannya dibuktikan dalam berargument, bahwa Suhrawardi selalu merujuk kepada Kutb al-Sittah yang menjadi rujukan utama muslim dalam melacak kebenaran hadis.72 Penolakan terhadap hadis berarti bukan menjadi bagian dari ideologi sufi, bagaimana mungkin dalam kajiannya para sufi akan meninggalkan hadis, sedangkan sumber-sumber esoterik juga banyak ditemukan dalam hadis. Keterangan ini sekaligus membantah yang mengatakan bahwa keilmuan sufi adalah suatu

70

Abdurrahman Habil, ‚Tafsir-tafsir Esoterik Tradisional Al-Qur’an‛ dalam Seyyed Housein Nasr (ed), Ensiklopedi Temtais Spiritualitas Islam (Banudng: Mizan, 2002), 42. 71 Bandingkan dengan informasi yang ada dalam Abdurrahman Habil, ‚Tafsir-tafsir Esoterik Tradisional Al-Qur’an‛ dalam Seyyed Housein Nasr (ed), Ensiklopedi Temtais Spiritualitas Islam (Banudng: Mizan, 2002), 47. 72 Qamar – ul Huda, Striving for Divine Union. Spiritual Exercises for Suhrawardi Su>fi>s (London: RoutledgeCurzon, 2003), 45-46.

120

hal yang mengada-ada dan cenderung tidak menggunakan hadis dalam beramal.73 Tampaknya kritikan tersebut hanya berlaku untuk sebagaian kecil saja, dan tidak bisa dijadikan standar dalam menghukum keingkaran sufi terhadap ajaran Islam. Karena dalam teori dan praktik secara general, sufi tidak bisa ditempuh melainkan melalui kolaborasi positif antara syariah dan tasawuf.74 Hal diatas sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa seorang sufi sebelum mendalami tasawuf hendaknya terlebih dahulu mempelajari dan mendalami syairah atau fikih secara baik. Langkah ini ditujukan agar seorang yang telah mempelajari ilmu syariah seperti hadis dan fikih sebelum mendalami tasawuf, menjadi sufi yang penuh kearifan. Sebaliknya bila mendalami sufi terlebih dahulu, dengan mengabaikan pentingnya syariah maka yang ditimbulkan adalah kesesatan. Karena bagaimanapun juga, ilmu zahir (syariah) adalah pondasi awal dalam memahami agama.75 Ini sejalan dengan apa yang diuraikan oleh William Stoddart, secara ringkas antara aspek zahir (eksoterik) dan batin (esoterik) memiliki hubungan yang kuat. Bagaimana pun juga esoterik juga membutuhkan eksoterik dalam rangka memahami dan membangun teori. Praktik apa pun yang dilakukan tanpa adanya landasan dan pemahaman luar atau teori yang benar maka akan tidak berguna.76 Sebagai proses yang terlahir sebagai kesatuan etika dan keinginan yang dalam untuk menangkap pesan Allah yang tertuang dalam hasil bacaan mereka terhadap Alquran, tafsir sufi tidak hanya membicarakan teks ayat, melainkan mengungkap dan menitikberatkan pada pencarian atas makna dan kehendak Allah. Dialog tafsir seharusnya lebih diutamakan dalam membenahi opini-opini miring seputar tafsir sufi. Al-Sulami> dalam hal ini 73

Lebih jelas lihat, Abdurrahman Habil, ‚Tafsir-tafsir Esoterik Tradisional Al-Qur’an‛ dalam Seyyed Housein Nasr (ed), Ensiklopedi Temtais Spiritualitas Islam (Banudng: Mizan, 2002), 38. 74 Maryam Musharraf, ‚a Study on The Sufi Interpretation of Qur'an and The Theory of Hermeneutic‛, al-Bayan, Vol. 11, No. 1, 2013, 34. 75 As‘ad al-Sah}marani>, al-Tas}awwuf Mansha’uhu wa Mus}t}alah}a>tuhu (Beirut: Dar al-Nafa>is, 2000), 62. 76 William Stoddart, Outline of Sufism. The Essentials of Islamic Spirituality (Indiana: World Wisdom, 2012), 65-66.

121

menjadikan tafsir Alquran yang tidak terkurung dalam teks ayat, lebih dari itu, ia menunjukan sikap hormat dengan menggunakan pendapat para terdahulunya yang masih menyunjung sufi era zuhud.77 Ini juga yang pada akhirnya memberi ruang kritik terhadap tafsir al-Sulami>. Perlu diingat tolak ukur yang dilakukan oleh alSulami> dalam melakukan tafsir yang secara zahir meninggalkan koridor tafsir - sebagaimana dibakukan oleh sebagian para pakar – bukan berarti menolak dan mendistorsi keutuhan ilmu Alquran. Sebaliknya, al-Sulami> mencoba memberikan penawaran yang lebih efektif dan tidak menyulitkan pembaca Alquran dalam memahami teks dan mengambil pelajaran darinya. Sebagai bahan perbandingan, apa yang dipaparkan oleh alSulami> melalui tafsirnya terhadap ayat Alquran, meski tidak secara keselurhan, merupakan produk yang sangat egaliter. Bukan untuk melawan arus pemikiran, melainkan mencoba memberikan sesuatu yang terlupakan dalam wacana pengayaan kelimuan. Ini dibuktikan dengan keseriusannya dalam mengumpulkan tafsiran ahli hakikat secara komplet, meski harus meninggalkan tafsir dari beberapa ayat, dan al-Sulami> sama sekali tidak menolak makna teks ayat, hanya saja ia tidak membahas secara mendetail.78 Sehingga bagi kelompok yang mendukung tafsir sufi ini, mereka menggolongkannya sebagai hasil tafsir Alquran yang memiliki otoritas yang matang dan layak dijadikan sebagai hujjah. Tentunya hujjah ini hanya berlaku untuk kasus sufi, dan sangat berbeda bila dijadikan pedoman untuk kasus yang lebih membutuhkan formalitas hukum atau fikih. Mempelajari tafsir sufi, memberikan kesan bahwa problematika dasar yang ada dalam wilayah tafsir sebenarnya terletak pada sejauh mana kemampuan mufasir menangkap pesan dan menguraikan kembali ke dalam bentuk gagasan-gagasan. Kondisi seperti ini juga yang memberikan titik beda antara tafsir sufi dengan tafsir lainnya. Bila dikerucutkan dengan membuat pemetaan, kondisi real dalam kasus ini terletak pada operasional dasar tafsir. Berbicara 77

Abu> H}afs Sayd ‘Imra>n dalam al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 10. 78 Abu> H}afs Sayd ‘Imra>n dalam al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r , 10.

122

tentang tafsir secara umum, posisi mufasir dalam menafsirkan Alquran adalah aktor yang berada di luar dari teks, sehingga untuk mengurai teks tersebut dibutuhkan alat bantu, apakah itu berupa ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Alquran, dan pemahaman bahasa yang baik tentunya. Realita tersebut tampaknya tidak terjadi bagi mufasir yang berasal dari sufi. Melalui konsep dan pendekatan tasawuf yang membawa arus gnostic (‘irfa>ni), sufi mencoba meleburkan dirinya ke dalam teks secara langsung, berupaya untuk menangkap pesan Tuhan, dan diartikan dengan sederhana, tanpa terjebak, apalagi terkurung dalam situasi formal prosedural dan operasional tafsir. Intinya ruang pembeda tersebut berbentuk komunikasi atau dialog yang dilakukan oleh mufasir. Bila dalam tafsir secara umum dapat digambarkan komunikasi terjadi antara mufasir dan Alquran ibarat masih ada pembatasan, yang mengharuskan mufasir berdiri di luar teks, yang mana untuk menjangkau teks masih dibutuhkan berupa variabel realitas dan disiplin ilmu lain sebagai pendukung. Adapun bagi tafsir sufi, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, kondisi komunikasi yang terjalin adalah komunikasi internal langsung, yang dihasilkan melalui pemberian Tuhan kepada sufi. Dengan ini, menguatkan bahwa produk dari tafsir sufi secara mendetail adalah uraian pesan yang diterima langsung dari dialog atau komunikasi internal sufi dengan Tuhan (Alquran).79 Sehingga dikatakan bahwa praktik tafsir sufi tersebut merupakan aktifitas yang mendalami makna hakikat Alquran. Melihat kenyataan ini, al-Sulami>, meskipun tidak seluruh ayat yang ada dalam tafsirnya merupakan murni hasil karyanya, tetap saja pijakan atau sumber utamanya adalah komentar para sufi tentang Alquran yang lebih bersifat umum terbuka. Ini yang menjadi titik kritik bagi al-Sulami>, apakah apa yang ia tulis merupakan tafsir Alquran atau tidak. Sedikit berbeda dengan para peneliti sebelumnya, dalam hal ini penulis melihat bahwa menggolongkan karya al-Sulami> ke dalam karya yang bukan tafsir, sama saja menghilangkan kekayaan khazanah tafsir. Akan tetapi 79

Sebagai tambahan baca juga Sajjad H. Rizvi, ‚The Existential Breath of al-Rah}ma>n and the Munificent Grace of al-Rahi>m : The Tafsi>r Surat al-Fa>tih}a of Jāmī and the School of Ibn ʿArabī‛, Journal of Qur'anic Studies, Vol. 8, No. 1 (2006), 59.

123

menjadikannya sebagai bagian dari tafsir, memberikan pekerjaan yang tidak mudah dan membutuhkan argumen yang sangat kuat. Berbeda dengan al-Qushayri> sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, karyanya dianggap mampu menjembatani ruang pemisah yang selama ini dianggap menjadi sandungan bagi tafsir sufi. Penekanannya yang kuat terhadap sisi esoterik ayat tidak menjadikan dirinya untuk meninggalkan aspek eksoterik ayat dalam tafsirnya.

124

BAB V APLIKASI PEMAHAMAN SUFI DALAM TAFSIR AL-QUR’AN Tafsir sufi sebagai sebuah proses tafsir senantiasa mendapat beragam respon dari para pengkaji. Setelah menjelaskan beberapa variabel penting dalam operasional tafsir sufi pada babbab sebelumnya, pada bab ini menjelaskan secara detail teori dan praktik tafsir sufi, yang dilakukan oleh al-Qushyari> dan al-Sulami>. Untuk itu dalam bab ini dilakukan komparasi-analisis, ini ditujukan untuk mengurai persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam kedua tafsir tersebut, baik secara praktik dan teori. Dengan demikian setelah melakukan komparasi secara uraian, dari hasil tersebut dapat dinilai sejauh mana orisinal dan praktik pendekatan isha>ri> atau esoterik dalam tafsir yang mereka terapkan.

A.

Operasional Tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri>

Setelah membahas tentang takwil dan bentuk tafsir sufi, pada bagian ini, penulis menjelaskan secara detail terkait metode dan metodologi serta basis tafsir sufi secara umum dan khusus untuk mengungkapkan bentuk dan metode operasional tafsir sufi yang dilakukan oleh al-Sulami> dan al-Qushayri>. Bila metodologi dalam suatu penelitian membicarakan tentang hubungan antara teori dengan suatu penelitian,1 yang juga berusaha menjawab pertanyaan tertentu di samping sebagai sebuah proses mendapatkan pengetahuan baru, 2 maka dalam pembahasan ini – tafsir- metodologi berbicara sejauh mana tafsir disajikan dan dituangkan dalam bentuk pemikiran. al-Sulami> dan al-Qushayri> merupakan dua tokoh sufi yang mengambil tasawuf sebagai pijakan awal dalam proses memahami

1

Rizabuana Ismail, Metode Penelitian Kualitatif (Medan: USU Press, 2009), iii. 2 Wayne Goddard and Stuart Melville, Research Methodology: An Introduction (Cape Town : Juta and Company Ltd, 2004), 1.

125

Alquran,3 sehingga tidak heran jika nuansa sufi begitu melekat dari pemikiran kedua tokoh besar sufi ini. Al-Sulami> masih sangat kental dengan pembahasan rahasia dan makna huruf yang banyak ditemukan dalam tafsirnya, H}aqa>’iq al-Ta’wi>l. Ia juga banyak mengikuti pola pikir para sufi yang hidup sebelum masanya, seperti H}asan al-Bas}ri> (w. 110 H), Junayd al-Baghdadi> (w. 297H)> dan sebagainya. Melihat apa yang dituangkan oleh al-Sulami> melalui karyanya, bisa kita simpulkan bahwa al-Sulami> yang hidup pada abad ke 4 ini merupakan sosok yang sangat konsisten dengan segala bentuk wacana dan keilmuan yang bermuara pada sufi. Ini dibuktikan dengan beberpa karyanya yang selalu memiliki kontribusi dalam mengembangkan secara detail dari ajaran sufi. Sebut saja seperti karyanya yang menghimpun 40 hadis yang keseluruhannya berkaitan dengan sufi.4 Meskipun belakangan ada beberpa pihak yang mengkritisi kualitas hadis-hadis tersebut, yang tergolong lemah dan tidak bisa dijadikan landasan berhukum maupun berhujjah. Mempelajari dan mendalami hasil pemikiran dari seorang tokoh harus diikuti dengan data yang otentik. Dalam hal ini, khususnya menelusuri pemikiran Al-Sulami> terkait pemahaman Alqurannya, tidak hanya semata-mata merujuk pada tafsiran corak sufi yang ditulis di dalam H}aqa>’iq al-Ta’wi>l , tetapi juga harus kembali dengan melakukan pengkajian terhadap seluruh atau sebagian besar karyanya yang masih bisa ditemukan. Ini juga penting untuk diteliti kembali, dengan satu alasan bahwa pada dasarnya pemikiran seseorang memiliki potensi dan kecenderungan untuk berubah. Dengan melacak setiap karyanya dan dilengkapi dengan data kapan karya itu ada, akan sangat membantu untuk memberikan penilian yang objektif. Dalam melakukan tafsir al-Sulami> berbeda dengan alQushayri>, yang paling tajam terkait perbedaan itu adalah keluasan 3

N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East (New Delhi: Sarup and Sons, 2002), 501. 4

Kenneth Honerkamp, ‚A Sufi Itinerary of Tenth Century Nishapur Based on A Treatise By Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sulami>‛. Journal of Islamic Studies 17:1 2006, 45-48. Lihat juga, Gerhard Bowering. ‚The Major Sources of Sulami’s Minor Qur’a>n Commentary‛, Oriens, Vol. 35 (1996).

126

dan ketajaman analisis yang diberikan masing-masing mufasir. AlSulami> tidak melakukan Alquran secara keseluruhan, hanya pada bagian ayat-ayat tertentu ia tafsirkan. Tafsir Alquran dilakukan sesuai dengan sistematika susunan ayat yang sebagaimana lazimnya, dimulai dari al-Fatihah sampai akhir al-Nas. Apa yang dilakukan oleh al-Sulami> ini merupakan upaya untuk meninggalkan suatu hal dalam tafsir Alquran yang sekiranya tidak memberikan dampak yang begitu penting ketika diuraikan. AlSulami> hanya sedikit memberikan komentar atau tafsir terhadap suatu ayat yang ia tafsirkan. Secara umum kebanyakan ia menyalin kembali perkataan para imam sufi sebelumnya, seperti Junayd alBaghdadi>, H}asan al-Bas}ri dan sebagainya.5 Ini menunjukan betapa al-Sulami> belum bisa melepaskan diri dari hasil pemikiran tokohtokoh besar sebelumnya. Meksipun ia mengatakan apa yang ia tulis merupakan tafsir Alquran, tapi tidak menunjukkan bahwa semua yang ia uraikan merupakan murni hasil pemikirannya. Pembicaraan mengenai hukum formal (fikih), tidak begitu mendalam dalam tafsir al-Sulami>. Tampaknya hal tersebut ia lakukan untuk menghindari perdebatan fikih yang menguras banyak waktu dan pikiran. Karena itu dalam tafsirnya tentu tidak ditemukan permasalahan hukum (fikih) seperti yang banyak dijelaskan di dalam beberapa kitab tafsir. Sebagai contoh lihat saja penjabarannya tentang surah al-Fatihah, al-Sulami> hanya fokus untuk memberikan uraian dan makna dari arti setiap kata perkata yang banyak ia nukil dari para ahli hakikat dan makrifat sebelumnya. Al-Sulami> juga tidak melakukan bentuk verivikasi atau sebuah upaya untuk mengkolaborasikan antara pemahaman sufi yang memiliki orientasi batin dengan gagasan fikih yang terkonsep secara zahir melalui pemahamn dan kajian lafaz. Al-Ghaza>li> 5

Menurut Ma>ni’ Abd H}alim Mah}mu>d, hal ini yang menjadi landasan kritik terhadap tafsiran Alquran yang dilakukan oleh al-Sulami>. Karena tafsir alSulami> tidak menjelaskan makna ayat secara detai l dan tidak pula memberikan analisis yang membahasa secara rinci. Singkat kata al-Sulami> hanya merupakan perwakilan sufi yang menafsirkan Alquran dan yang mengistibat hukum dalam hadis. Pada akhirnya ini menjadi sebuah kekurangan dalam tafsir , hingga sebagian para ulama tidak menganggap apa yang ditulis oleh al-Sulami> sebagai tafsir. Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir. Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 152-153.

127

merupakan salah satu sufi yang berupaya menjadikan hal tersebut beriringan dan sejalan. Seperti gagasannya tentang kesucian (alT}aha>rah) yang memiliki dua dimensi, zahir dan batin. Secara zahir kesucian adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh para ahli fikih, adapun secara batin, kesucian dipahami sebagai bentuk terbebasnya jiwa dari segala sesuatu selain Allah, karena hati atau jiwa merupakan tempat terpancarnya cahaya ilahi dan ilmu agama.6 Hal ini berbeda dengan apa yang ditemukan dalam karya tafsir yang secara khusus atau tidak dalam masalah fikih, seperti uraian tentang apakah membaca al-Fatihah itu sebagai syarat sah shalat atau tidak, dan apakah bismi Allah al-rah}ma>n al-rah}i>m itu bagian dari surah al-Fatihah dan seluruh surah, atau hanya bagian dari al-Fatihah, tidak untuk setiap surah lainnya. Ibn al-‘Arabi> (w. 543 H)7 secara detail merincikan perbedaan ulama (antara mazham Syafi’i dan Maliki) terkait permasalahan di atas.8 Selain Ibn al‘Arabi, tercatat beberapa mufasir melakukan hal yang sama, meksipun secara umum tidak mengklaim tafsirnya sebagai tafsir yang mengusung corak fikih. Nama-nama tersebut antara lain: alQurt}ubi> (w. 310 H)9, Ibn Kathi>r (w.774 H),10 al-Nasafi> (w. 710 H)11 dan al-Suyu>t}i> (w. 911 H).12 6

Selain al-Ghazali>, Ah}mad Zarru>q (w. 899 H) juga dikenal sebagai penggagas dan sufi yang mengonsep kaidah fikih berdasar pemahaman tasawuf. Dalam karyanya ia memberikan sentuhan sufi dalam memahami fikih yang bermazhab maliki. Ur-Rehman, Ghulam Shams-. ‚Juridical Sufism: Zarru>q’s Aplication of The Qawa>’id Genre‛. Islamic Studies, Vol. 49, No. 3, Autumn: 2010, 341. 7 Ia dikenal dengan sebutan al-Qa>d}i Abu> Bakr, nama lengkapnya adalah Muh}ammad Ibn ‘Abd Allah Ibn Muh}ammad Ibn ‘Abd Allah Ibn Ah}mad alMa‘a>firi al-Andalu>si> al-Ishbili>. Lahir pada tahun 468 H atau bertepatan dengan 1076 M. Merupakan seorang ulama besar yang berada di Andalusia, memiliki penguasaan ilmu agama, seperti fikih, hadis, tafsir dan sebagainya. tidak hanya itu, tercatat bahwa ia juga aktif menulis berbagai karya dengan bidang yang berbeda. Ibn al-‘Arabi, Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, tt),vii. Al-Dawu>di>, T}abaqa>t al-Mufassiri>n (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2002), 411. 8 Ibn al-‘Arabi, Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, tt),5-6. 9 Ia adalah Abu> ‘Abd Allah Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn Abi> Bakr Ibn Farh} al-Ans}a>ri> al-Khazraji> al-Andalu>si> al-Qurt}ubi>, seorang mufasir yang lahir

128

Ciri khas lain dari tafsir yang disajikan oleh al-Sulami>, dan ini sangat identik dengan tafsir sufi adalah tafsirnya yang secara detail untuk mengungkapkan makna dari setiap kata bahkan setiap hurufnya. seperti penjelasan al-Sulami tentang makna huruf yang ada dalam surah al-Fatihah yang dimulai dengan bismi allah alrah}ma>n al-rah}i>m. Menurutnya basmalah merupakan isyarat atau simbol yang melambangkan ketenangan. Huruf ba, merupakan penjelasan dari kebaikan untuk arwah para nabi dengan anugerah risalah dan kenabian, huruf sin, menceritakan tentang rahasia ahli makrifah dengan anugerah kekerabatan dan kemanusiaan, adapun huruf mim menjelaskan ujian terhadap para muridin dengan penuh rahmat. Al-Junayd menambahkan bahwa bismillah menunjukan tentang pemberian Allah, dan dalam kata al-Rah}ma>n terkandung di dalamnya pertolongan Allah, adapun al-Rahi>m simbol dari kasih dan cinta Allah.13 Pendapat lain mengatakan bahwa huruf ba menunjukkan rahasia Allah terhadap para arif atau ahli ma’rifah, dan huruf sin adalah kata lain dari kesalamatan yang diberikan kepada mereka, adapun mim merupakan cinta Allah kepada mereka.14 Pemaknaan para sufi terhadap huruf-huruf yang ada dalam Alquran memiliki kaitan erat dengan pemahaman mereka, seperti keyakinan mereka tentang kenabian, tercermin dalam pemahaman mereka terkait rahasia huruf ba, yang menunjukan pada awal abad ke 7, dan wafat tepatnya pada 671 H. Al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut : Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, tt), 81-89. Al-Dawu>di>, T}abaqa>t al-Mufassiri>n (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2002), 347. 10 Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Kairo: Dar Mis}r, tt), Jilid 1, 11-12. 11 Al-Nasafi>, Mada>rik al-Tanzi>l wa wa H}aqa>’iq al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 5-6. 12 Nama lengkapnya adalah Jala>l al-Di>n al-H}afiz} ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn al-Kama>l Abi> Bakr Ibn Muh}ammad Ibn Sa>biq al-Di>n Ibn al-Fakhr ‘Uthma>n Ibn Na>z}ir al-Di>n al-Hama>m al-Khud}ayri> al-Asyut}i>. Merupakan seorang yang ahli dalam bidang tafsir, ulum al-quran dan juga memiliki karya tafsir. al-Suyuti, lahir pada tahun 849 dan wafat pada 911 Hijriah. Al-Suyu>t}i>, al-Dur al-Manthu>r Fi> Tafsi>r al Ma’thu>r wa Huwa Mukhtas}ar Tafsi>r Tarjama>n al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2000), 4-5 dan 26-28. 13 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 24. 14 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 25.

129

kenabian, dan hurf sin, merupakan rahasia dari kenabian,sedangkan huruf mim, menurut mereka adalah isyarat dari kekuasaan agama yang diberikan untuk semua umat manusia.15 Tentunya tafsir di atas berbeda dengan apa yang dilakukan oleh mufasir yang lebih fokus ke pada pengkajian bahasa. Sebut saja seperti al-Zujja>j (w. 311 H)16, pembahasannya tentang huruf ba tidak keluar dari aspek kebahasaan secara gramatikal, yaitu huruf ba dalam bismi allah al-rah}ma>n al-rah}i>m mengandung makna permulaan, dan mengandung makna al-Ils}a>q, yang secara nahwu menyebabkan kata setelahnya harus berbaris kasrah.17 Penjelasan al-Zujja>j (w. 311 H) di atas sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Bah}jat ‘Abd al-Wa>hid Sa>lih} dalam karyanya ‚al-I‘ra>b al-Mufas}s}al li Kita>b Allah al-Murattal‛ yang juga mengedepankan aspek pembahasan bahasa tertutama i’rab (posisi kalimat), ishtaq (asal suatu kata). Seperti penjelasannya tentang huruf ba (dalam bismi allah al-rah}ma>n al-rah}i>m) yang merupakan huruf jar dan menjelaskan perbedaan ulama bahasa apakah huruf ba itu berfungsi sebagai pembantu (al-isti‘a>nah) atau sebagai penyebab terjadinya sesuatu (al-sababiyah).18 Uraiannya tentang makna dan rahasia dari setiap huruf melebihi pembahasan dari ayat–ayat muqat}t}a‘ah. Meksipun pada awalnya hal tersebut memang terdorong oleh keingintahuan dari 15

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001.)

Jilid 1, 26.

16

Ia adalah Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m Ibn al-Sirri> Ibn Sahl, tidak banyak riwayat yang mencatat kapan tepatnya al-Zujja>j ini lahir, kecuali ia hidup antara tahun 241 H sampai 311 H. merupakan seorang pakar tafsir yang terkemuka, karya tafsirnya yang fenomenal adalah Ma’a>ni> al-Qur’a>n wa I‘ra>buhu. Dua hal yang menjadikan tafsir ini dikenal adalah komposisi tafsirnya yang masih menekankan pentingnya aspek riwayat dalam tafsir, sehingga tafsir ini adalah tafsi>r bi al-ma’thu>r. Kedua, tafsir ini didukung oleh penjelasan gramtikal atau nahwu untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran. Al-Zujja>j, Ma‘a>ni> al-Qur’a>n wa I‘ra>buhu (Kairo: Dar al-Hadi>th, 2005), Jilid 1, 45-47. Lihat juga, Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir. Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 86-88. Al-Dawu>di>, T}abaqa>t al-Mufassiri>n (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2002), 13. 17 Al-Zujjaj, Ma’a>ni> al-Qur’a>n wa I’ra>buhu (Kairo: Dar al-Hadi>th, 2005), Jilid 1, 45-47. 18 Bah}jat ‘Abd al-Wa>hid Sa>lih, al-I’ra>b al-Mufas}s}al li Kita>b Allah alMurattal (Oman: Dar al-Fikr, 1998), 7.

130

makna ayat–ayat muqat}t}a‘ah, belakangan ini menjadi meluas, dan melakukan usaha yang lebih detail untuk menagkap setiap makna dan rahasia yang terdapat dalam setiap huruf. Jika demikian dapat disimpulkan, bahwa tafsir sufi – khususnya al-Sulami>- mencakup tiga aspek yang berbeda, dan memiliki hasil tafsir yang berbeda pula. Tiga hal tersebut adalah, tafsir sufi yang fokus membahas huruf per huruf (makna dan rahasia dari makna huruf). Tafsir sufi yang memfokuskan kepada pembahasan kata per kata,19 dan yang terakhir adalah tafsir sufi yang mencoba menangkap pesan dan kesan dari setiap ayat Alquran. Semua hal tersebut, dimulai dari tafsiran per huruf, pe rkata, dan per kalimat diperoleh melalui jalur intuitif, yang lebih populer dikenal dengan istilah isha>ri. Tafsir Alquran yang diperoleh melalui jalan intuitif ini yang kemudian dijadikan rujukan oleh al-Sulami>, tentunya juga merujuk kepada para guru dan tokoh sufi yang hidup sebelum zamannya, yang juga memberlakukan tafsir melalui jalur intuitif. Penfasiran al-Sulami> yang hanya fokus mendalami dan memberikan arti dalam setiap kata, banyak kita temukan dalam kitab tafsirnya. Penjelasan dari setiap kata secara umum banyak merujuk dan mengutip pendapat para imam tasawuf, baik hidup yang semasa dengannya maupun sebelum. Tercatat beberpa nama yang banyak dijadikan rujukan oleh al-Sulami> untuk menjelaskan kata-kata yang ada dalam ayat Alquran, seperti Junayd alBaghda>di>, (297 H)20 al-Shibli>, (w. 304 H)21 Abu> Sa‘i>d al-Kharra>z 19

Bentuk yang kedua ini lebih dekat dengan tafsiran mufradat pada kebanyakan kitab tafsir. Akan tetapi dalam tafsir sufi, rujukan untuk mengetahui arti dan rahasia kata tersebut adalah pengetahuan intuitif, atau yang lebih dikenal dengan isha>ri. Sedangkan dalam operasional tafsir secara umum, rujukan dalam memahami arti kata tertentu adalah dengan mencari padanannya, bisa dibuktikan dengan kembali kepada kamus bahasa. Model yang lain dari memahami makna kata per kata dalam Alquran adalah dengan menyesuaikan kandungan kata tersebut dengan kenyataan dan perkembangan saat ini sesuai dengan majunya ilmu pengetahuan. Ini biasanya terjadi pada tafsir yang memiliki nuansa sains. Sujiat Zubadi, ‚Epistemologi Tafsir Ilmiah Al-Qur’an‛ dalam Sujiat Zubadi dan Mohammad Muslih, Kritik Epistemologi dan Model Pembicaraan Kontemporer (Yogyakarta: LESFI, 2013), 49. 20 Adalah al-Junayd Ibn Muhammad Ibn al-Junayd al-Nahawandi alBaghdadi al-Qawarir. Tokoh sufi yang lahir pada 217, telah mendalami ilmu agama sejak kecil, seperti fikih, hadis dan sebagainya. Merupakan tokoh sufi

131

(w. 286 H),22 Abu> H}usayn al-Nu>ri>, (w. 275 H)23 Ibn ‘At}a'> Allah,24 al-Wa>sit}i> (w. 286 H),25 Ja’far Ibn Muh}ammad, al-Qa>sim26 dan

yang sangat dikenal dengan sifat kezuhudannya hingga digelar sebagai Ahli ma’rifah. Al-Junayd wafat pada tahun 297 H. Al-Sulami, Haqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 24. Lihat Juga Siyar dan Tabaqat alSufiyah. 21 Terjadi perbedaan terkait nama al-Shibli ini, ada yang mengatakan ia adalah Dulaf Ibn Jahdar, ada juga yang berpendapat namanya adalah Ja‘far Ibn Yunus, dan pendapat lain mengatakan namanya adalah Ja‘far Ibn Dulaf. Selain dikenal sebagai tokoh sufi, ia juga merupakan seorang ahli fikih yang bermazhab maliki. Wafat di Baghdad pada tahun 304 H. Al-Sulami, Haqa>’iq alTafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 27. Al-shibli juga dikenal sebagai tokoh tasawuf yang konsen terhadap pembicaraan tentang konsep cinta. Joseph E. B Lumbard, ‚From ‘Hubb toIshq : Development of Love in Early Sufism‛. Journal of Islamic Studies, 18:3, 2007, 349. 22 Merupakan seorang tokoh sufi pada generasi awal, ia adalah Abu Sa‘id Ahmad Ibn ‘Isa al-Baghdadi al-Kharraz. Ia juga merupakan tokoh sufi yang pertama kali berbicara tentang konsep fana dan baqa’. Wafat pada tahun 286 H ada juga yang berpendapat bahwa ia wafat pada 277 H. Al-Sulami, Haqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 28. Lihat juga, Siyar A’lam al-Nubala dan Risalah al-Qushayriyah. 23 Adalah Ahmad Ibn Muhammad al-Khurrasani al-Baghawi al-Zahid, seorang sayikh (guru) di Irak. Salah satu tokoh sufi yang kontroversial, ia hidup semasa dengan Junayd al-Baghdadi, yang juga merupakan pemikir dan guru dalam bidang tasawuf dan wafat pada tahun 275 H. Al-Sulami, Haqa>’iq alTafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 28. Lihat juga, Siyar A’lam alNubala. 24 Seorang tokoh sufi besar yang berdomsili di Baghdad. Komentarnya tentang ajaran tasawuf banyak ditemukan dalam tafsir al-Sulami, Haqa’i>q alTafs>ir dan Ziya>da>t Haqa>’iq al-Tafsi>r. Gerhard Bowering. ‚The Major Sources of Sulami’s Minor Qur’a>n Commentary‛, Oriens, Vol. 35 (1996). 41. 25 Adalah Abu> Bakr Muh}amad Ibn Mu>sa al-Wa>sit}i>. Ia dikenal sebagai tokoh sufi yang menguasai ilmu akidah dan syariah. Termasuk salah satu tokoh sufi yang komentar-komentarnya banyak dikutip oleh para sufi setelahnya. Ia juga merupakan murid dari Junayd all-Baghdadi dan Abu Husayn al-Nuri. Selain al-Sulami, Kalabdhi yang merupakan sejarawan sufi abad ke tiga termasuk tokoh yang mengabadikan komentar sufi al-Wasiti. Al-Sulami>, Haqa>’iq alTafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 32 . Laury Silvers, ‚Theoretical Sufism in the Early Period: With an Introduction to the Thought of Abū Bakr al-Wāsiṭi (d. ca. 320/928) on the Interrelationship between Theoretical and the Practical Sufism‛. Studia Islamica, No. 98/99 (2004), 73. Lihat juga, Huseyn ‘Ali ‘Ukash. ‚al-Tafsi>r al-S}u>fi> al-Isha>ri> li al-Qur‘a>n: Manhaj al-Istinba>t} wa alDala>lah al-Jadi>dah‛ Majallah al-Sa>til, Vol. 17, 2008, 44.

132

sebagainya. Contoh atau bentuk tafsir dengan tipe di atas antara lain ketika menfasirkan kata al-Rah}ma>n. Kata al-Rah}ma>n (dalam Alquran) menurut Ibn ‘Ata>’ sebagaimana yang dikutip oleh alSulami> adalah mengandung pertolongan (al-‘Awn wa al-Nus}rah), adapun makna al-Rahi>m maknanya adalah ketenangan dan kasih sayang (al-mawaddah dan al-rah}mah).27 Gerhard Bowering mencatat komentar dari Ibn ‘Ata> Allah yang ada dalam tafsir alSulami sebanyak 500 kutipan dan seper enamnya disertai dengan isnad.28 Bentuk tafsir al-Sulami> yang ketiga adalah menjelaskan ayat secara keseluruhan. Dari segi rujukan, al-Sulami> masih banyak merujuk kepada para sufi sebelumnya. Tafsirnya pun bersifat sebagai tambahan dari satu ayat tertentu tidak menjelaskan makna ayat secara mendalam, melainkan hanya dalam bentuk penyambungan pemaparan ayat, sehingga menjadi jelaslah maksud dari ayat tersebut. Sebagai contoh bisa terlihat dalam uraiannya dalam menafsirkan QS. Ali Imran (3): 134, menurutnya infaq dalam ayat tersebut berarti seseorang harus melepaskan dirinya dari rasa memiliki, jiwa dan hati, yang mana hal itu diserahkan kepada Allah dengan tidaklah mereka itu bakhil.29 Model tafsir yang kedua ini menunjukan bahwa hasil penafsirsan sufi –terutama al-Sulami>- sangat erat dengan pengalaman spiritual sehingga memberikan gagasan moral sesuai dengan apa yang ia rasakan pada saat itu. Ini yang disimpulkan oleh Huseyn ‘Ali ‘Ukash, bahwa dalam menafsirkan Alquran para sufi sangat terpengaruh dengan kondisi jiwa yang tertuang dalam bentuk prosa, memiliki orientasi dari batin ke zahir dalam memberikan 26

Imam sekaligus ahli hadis dan seorang zahid, namanya adalah Abu> al‘Abbas al-Qa>sim Ibn al-Qa>sim Ibn Mahdi al-Siya>ri al-Marwazi>. Merupakan tokoh yang pertama kali membahas tentang hakikat ihwal, yang juga merupakan sahabat dari al-Wasiti. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang pakar dan mendalami ilmu tawhid dengan mazhab ahlu sunnah. Al-Sulami>, Haqa>’iq alTafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 37. 27 Al-Sulami, Haqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 32. 28 Gerhard Bowering. ‚The Major Sources of Sulami’s Minor Qur’a>n Commentary‛, Oriens, Vol. 35 (1996). 42. 29 Al-Sulami>, Haqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 119.

133

ibrah, dan mengusung orientasi zahir ke batin dalam bentuk tafsir.30 Begitu juga dengan tafsirnya tentang QS. al-Fatihah (1): 67, Ihdina> al-S}ira>t} al-Mustaqi>m, ia memberikan tambahan dari ayat tersebut sebagai bentuk dari penjelasan sehingga menjadi Ihdina>

al-S}ira>t} al-Mustaqi>ma li Nast‘ina bi Hidayatika ‘ala al-Shayt}a>n. Kenapa dalam penjelasan tersebut harus ada permohonan pertolongan agar terhindar dari gangguan syaitan, karena pada ayat lain dijelaskan bahwa setan merupakan sosok yang mengalihkan manusia dari jalan yang lurus. Ayat itu adalah QS. Al-A’raf (7): 16 ‚La’uq‘idanna lahum S}ira>t}aka al-Mustaqi>m‛. selanjutnya ia menguraikan bahwa jalan lurus yang dimaksudkan dari s}ira>t} adalah agama. Al-Sulami> menjelaskan bahwa jalan orang yang telah diberi nikmat oleh Allah meliputi; ilmu makrifat, maka jadilah mereka para ahli makrifah, begitu juga Allah telah memberi nikmat kepada para wali berupa sifat kejujuran, ridha, yakin, Allah juga memberikan nikmat kepada golongan abrar dalam bentuk sifat yang santun, pengasih dan memberikan nikmat kepada mereka yang senantiasa melakukan wirid berupa ketaatan, dan memberikan kepada orang yang beriman dengan keistiqamahan.31 Selanjutnya, lahirnya penolakan terhadap apa yang dikerjakan oleh al-Sulami> dalam tafsirnya, ditujukan untuk mengkritisi ideologinya yang dicurigai sebagi pemikir yang memiliki paham Syiah atau setidaknya terpengaruh dengan ajaran dan pemahaman Syiah. Artinya, penolakan itu terjadi berdasarkan dorongan ideologi, yang pada akhirnya menutup mata sebagian para pakar untuk memasukkan tafsir al-Sulami> ini sebagai kitab tafsir yang otoritatif.32 Bila hanya sebatas mengkaji dari segi 30

H}useyn ‘Ali ‘Ukash. ‚al-Tafsi>r al-S}u>fi> al-Isha>ri> li al-Qur‘a>n: Manhaj al-Istinba>t} wa al-Dala>lah al-Jadi>dah‛ Majallah al-Sa>til, Vol. 17, 2008, 45. 31 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 40- 41. 32 Dalam mukadimah tafsirnya, al-Sulami> secara jelas mengatakan bahwa salah satu hal yang mendorong penulisan kitab tafsirnya adalah begitu banyak kata-kata hikmah dari para ahli hakikat dan makrifat yang berkaitan dengan penjelasan terhadap ayat Alquran, sehingga ia pun berinisiatif untuk mengumpulkannya ke dalam satu tulisan. Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 19-20. Pada umumnya kritikan juga ditujukan untuk sufi secara keseluruhan, terkait dengan beberapa ajarannya yang dianggap

134

bahasa dan perkembangannya, maka tafsir al-Sulami> justru memberikan pemaknaan baru, yang tidak baku dan menyentuh sisi spiritual yang sebelumnya ditinggalkan oleh sebagian mufasir. Pengaruh Syiah yang dimaksud dalam hal ini adalah banyaknya kutipan dalam tafsir al-Sulami> yang berasal dari Ja‘far al-S}a>diq (w. 148 H)33 yang merupakan salah satu tokoh besar sekaligus imam dalam Syiah. Padahal bila diteliti lebih lanjut, kutipan-kutipan al-Sulami> yang merujuk kepada Ja‘far al-S}a>diq tidak ada kaitannya dengan ideologi Syiah. Kutipan-kutipan tersebut hanya bersifat global dan berkaitan erat dengan hikmahhikmah atau pelajaran yang bisa dipahami dari setiap kata dan ayat dalam Alquran. seperti komentar Ja‘far al-S}a>diq tentang awal ayat al-Baqarah (2): 284, tentang kepunyaan Allah segala hal yang ada di bumi dan di langit. Menurutnya ayat ini memberikan gambaran bahwa siapa yang terlalu sibuk dengan kesenangan atau kehidupan dunia (bumi dan langit), maka Allah akan memutuskan kesenangan itu. Namun bila ia (hamba) ridha terhadap Allah, maka Allah akan menjadikan bumi dan langit itu sebagai miliknya.34 Begitu juga dengan tafsirannya yang ada dalam surah al-Fatihah yang dikutip oleh al-Sulami>, bahwa nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada hambanya adalah berupa ilmu (pengetahuan) dan pemahaman tentang Allah.35 Keterangan lain yang menjelaskan bahwa pemikrian Ja‘far al-S}a>diq yang dinukil oleh al-Sulami> tidak berkaitan dengan berbeda. Tasawuf pada akhirnya menjadi oposisi dalam dunia Islam, Meir Hetina menjelaskan bahwa, sikap oposisi sufi semakin matang pada akhir era otoman, yang kemudian ini menjadi suatu pemahaman yang negatif, manakala beberapa nama sarjana barat seperti Bernard Lewis yang menyalin ulang sejarah sufi. Meir Hetina,‚Where East Meets West: Sufism, Cultural Rapprochement, And Politics‛, International Journal of Middle East Studies, Vol. 39, No. 3 (Aug., 2007), 389. 33 Ia adalah Ja‘far Ibn Muh}ammad merupakan salah satu dari imam yang ada dalam Syi’ah, yaitu imam yang ke enam. Merupakan anak dari Imam Muhammad bin Ali Baqir, yang juga adalah imam ke lima dalam keyakinan Syi’ah. Lahir pada 83 H dan wafat pada 148 H. Husayn al-Tabatabai, Shi’a (Manila: al-Hidaya, 1995) 203. 34 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 84. 35 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 43.

135

konsep Syiah bisa dilihat manakala Ja‘far al-S}a>diq menguraikan tafsiran kata al-H}amdu li Allah, dalam penjabarannya sangat jelas bahwa apa yang diuraikan oleh Ja‘far al-S}a>diq semata-mata berkaitan dengan aspek taswuf. ‚Hakikat pujian adalah siapa yang memuji Allah dengan segala sifat yang telah Allah sifati kepada diri-Nya sendiri. Al-H}amdu terdiri dari huruf h}a yang mengisyaratkan keesaan Allah, huruf mim mengisyaratkan kekuasaan Allah, dan huruf dal yang menunjukkan tentang keabadian Allah. Maka siapa yang memahami keesaan, kekuasaan dan keabadian Allah maka ia sungguh mengenal Allah.36 Sebagai kitab tafsir yang menekankan aspek sufi dalam tafsirnya, al-Sulami> termasuk mufasir generasi awal setelah alTustari (w. 283 H)37 yang menulis pemikiran sufsitik qurani dalam Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m.38 Al-Sulami> datang ketika tasawuf mulai memasuki periode kemajuan, sehingga tidak heran bila kita jumpai dalam pemikiran tasawuf al-Sulami> sebagiannya merupakan salinan atau lanjutan dari para pendahulunya. Pesatnya perkembangan ilmu saat itu telah memberikan sentuhan sufi dalam setiap disiplin ilmu. Agaknya berdasarkan hal tersebut al-Sulami> mulai memasuki setiap disiplin ilmu syar’i unsur-unsur sufi. Di mulai dari kecintaannya terhadap para tokoh sufi, ia melahirkan sebuah biografi tokoh-tokoh sufi yang masyhur, sekarang dikenal dengan T}abaqa>t al-Sulami>.39 Hal tersebut dilanjutkan dengan beberapa karyanya, yang masih berkaitan dengan sufi, seperti

36

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001),

Jilid 1, 43.

37

Nama lengkapnya adalah Sahl Ibn ‘Abd Allah al-Tusturi>, lahir pada tahun 203 H di daerah Thwar. Seorang mufasir yang sangat kental dengan nuansa dan pembelajaran tasawuf dalam tafsir Alquran. Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir. Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 86-88. 38 Baharuddin HS, ‚Corak Tafsir Ruh al-Ma’ani Karya al-Alusi Telaah atas Ayat-ayat yang ditafsir Secara Isyarah‛. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002, 113. 39 Lihat juga, Christopher Melchert, ‚The Transition from Asceticism to Mysticism at the Middle of the Ninth Century C.E.‛, Studia Islamica, No. 83 (1996), 53. dan Christopher Melchert, ‚Sufis And Competing Movements In Nishapur‛. Iran, Vol. 39. 2001, 238.

136

Kitab al-Arba‘i>n fi al-Hadi>th, ‘Uyu>b al-Nafs wa al-Mudawa>tuha, al-Futuwa, dan Jawa>mi’ A>da>b al-Sufiyyah.40 Nama-nama seperti E. Kohlberg, G. Bowering dan Kneeth Honerkamp, memberikan penilaiannya tersendiri terhadap alSulami>. E. Kohlberg misalnya yang lebih melihat al-Sulami >sebagai tokoh sufi yang sangat tegas dalam memberikan jawaban terhadap kritikan-kritikan yang ditujukan pada sufi. Sehingga ia menyimpulkan bahwa al-Sulami> memiliki dua tujuan utama dalam tasawuf, pertama adalah mempertahankan dari kritik, dan kedua adalah menyebarluaskannya. G. Bowering yang juga melakukan penelitian terhadap al-Sulami>, ia menemukan ada tiga hal yang ada dalam sejarah hidup al-Sulami>. Pertama, ia merupakan sejarawan dalam bidang kesufian, kedua ia merupakan salah satu penafsir sufi, dan yang ketiga ia merupakan sosok panutan dan risalah dan prilaku para sufi. Adapun Kneeth Honerkamp lebih mengkaji alSulami> dari sisi sufi yang meliputi ajaran dan pengaurhnya dalam dunia sufi.41 Melihat cara penyampaian sebuah tafsir Alquran yang dilakukan oleh al-Sulami> ini dalam konteks kesufian memiliki kesamaan gagasan yang diusung oleh beberapa nama sarjana Alquran, seperti Fazlur Rahman (w. 1988 M), Abdel Haleem dan Vein Cragg. Bahwa hal yang subtantif dalam permasalahan Alquran adalah bagaimana menjadikan tafsir atau pemahaman terhadap Alquran sebagai suatu dorongan yang senantiasa membuat manusia semakin kreatif dalam memahaminya, sehingga terjalin sebuah kesadaran dalam diri, yang ditujukan untuk menjaga komunikasi antara hamba dan Allah. Ini ditujukan untuk menghindari kerumitan dalam mencari pemahaman yang benar dalam Alquran yang seringkali terjebak ke dalam penjelasan yang rumit, dan bersifat teologis pada sebagian hal.42 Gagasan ini jika 40

Honerkamp, Kenneth. ‚A Sufi Itinerary of Tenth Century Nishapur Based on A Treatise By Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sulami>‛. Journal of Islamic Studies 17:1 2006, 47. 41 Honerkamp, Kenneth. ‚A Sufi Itinerary of Tenth Century Nishapur Based on A Treatise By Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sulami>‛. Journal of Islamic Studies 17:1 2006, 45-48. Lihat juga, Gerhard Bowering. ‚The Major Sources of Sulami’s Minor

Qur’a>n Commentary‛, Oriens, Vol. 35 (1996). 42 Kate Zebiri, ‚Towards a Rhetorical Criticsm of the Qur’an‛. Journal of Qur’anic Studies, Vol. 5, No. 2 (2003), 96. Lihat juga, Fazlur Rahman, Major

137

kita persempit dalam konteks tafsir sufi, maka akan melahirkan suatu konsep yang lebih menekankan kebenaran aspek intuitif sebagai dasar tafsir.43 Dari penjelasan tentang bagaimana al-Sulami> menafsirkan Alquran dan apa saja yang menjadi rujukannya, kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa apsek tasawuf yang ada dalam tafsiran al-Sulami> lebih mengarah kepada ajaran-ajaran moral dan pengembangan dari para sufi sebelumnya. Adakalanya ia menggunakan satu ayat untuk dijadikan sebagai penjelasan (sambungan) dari ayat yang sedang ditafsirkan. Tidak banyak ditemukan bentuk orisinal dari pemikiran sufi al-Sulami>, sebagaimana yang ada pada sufi-sufi tertentu, seperti konsep tentang cinta, fana, baqa dan sebagainya. al-Sulami> hanya tampil sebagai sosok yang berusaha untuk mempromosikan dari hal yang telah dijelaskan oleh para pendahulunya. Ini terjadi karena posisi al-Sulami> yang berada pada generasi kedua dari perkembangan awal sufi.44 Bila kita cari perbandingan dengan karya tafsir yang tidak memiliki orientasi sufi, maka dalam hal pengulangan pemikiran dari tokoh terdahulu juga masih terjadi. Ini bisa dilihat bagaiamana Ibn Kathi>r (w.774 H) menulis tafsir yang bila kita amati secara detail merupakan saduran, pengulangan, dan pengeditan dari tafsir al-T}abari> (w. 310 H) dalam hal yang berkaitan dengan periwayatan. Ini terjadi karena sosok Ibn Kathi>r yang dibesarkan dalam konsep keilmuan Islam yang kental dengan nuansa hadis, fikih, dan tidak termasuk di dalamnya pemahaman tentang tasawuf. Tidak ada keraguan bahwa uraian tentang kandungan Alquran pada periode awal Islam mencerminkan jantung spiritualitas Muslim. Spiritualitas ini diwujudkan dalam penetrasi Themes of the Qur’an (Chicago: Bibliotecha Islamica, 1980), 2. dan M.A.S Abdel Haleem, Understanding the Qur’an : Themes and Style (London: I.B Tauris, 1999), 10. Bandingkan dengan, Enes Karic, ‚Interpretation Of The Qur'än And The Destiny Of The Islamic World‛ Islamic Studies, Vol. 36, No. 1 (Spring 1997), 5. 43 Massimo Campanini. ‚Qur’an and Science: A Hermeneutical Approach‛. Journal of Qur’anic Studies, Vol. 7, No. 1, 2005. 54. 44 Christopher Melchert, ‚The Transition from Asceticism to Mysticism at the Middle of the Ninth Century C.E.‛, Studia Islamica, No. 83 (1996), 59.

138

mendalam dan pembahasan mereka Alquran secara keseluruhan. Secara keseluruhan, para penafsir Alquran yang ditandai dengan orientasi spiritual. Mereka memandang Alquran tidak hanya sebagai sumber bimbingan agama, politik, ekonomi dan hukum, tetapi juga sebagai sumber inspirasi spiritual dan pengayaan.45 Luasnya kekuasaan politik Islam di setiap periode memiliki relasi pada tingkatan dan kualitas tafsir kontemporer Alquran. dan pada akhirnya tradisi tersebut menjadi kehidupan intelektual Muslim yang mengharuskan berusaha keras untuk menafsirkan Alquran.46 Berbicara tentang Al-Qushayri>, maka kita akan temukan cara penyajian tafsir yang berbeda dari al-Sulami> dalam menafsirkan ayat Alquran. Perbedaan tersebut meliputi dari cara menyajikan dan sumber rujukan. Al-Qushayri> yang juga merupakan murid dari al-Sulami>, tidak terjebak dalam permainan arti kata secara total sebagaimana yang dilakukan oleh al-Sulami>. Ia juga membahas ayat Alquran secara keseluruhan,47 tidak seperti al-Sulami> yang hanya membahas ayat-ayat tertentu yang kiranya memiliki korelasi dengan pemahaman sufinya. ini juga dijadikan dasar kritikan yang ditujukan kepada al-Sulami>, dengan tidak menafsirkan seluruh ayat Alquran, menunjukan bahwa ia tidak memiliki keyakinan bahwa seluruh ayat Alquran memiliki sisi batin, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian sufi. Ini memberikan informasi bahwa dalam memahami makna batin ayat, dalam komunitas sufi sekalipun masih terjadi perdebatan. Para sufi, termasuk al-Qushayri> yang identik dengan kegiatan spiritual dalam hal menafsirkan Alquran, hidup pada masa transisi pola kehidupan zuhud menuju kesufi, meskipun demikian keduanya memiliki semangat yang sama dengan apa yang dipahami oleh para

45

Enes Karic, ‚Interpretation Of The Qur'än And The Destiny Of The Islamic World‛ Islamic Studies, Vol. 36, No. 1 (Spring 1997), 6. 46 Enes Karic, ‚Interpretation Of The Qur'än And The Destiny Of The Islamic World‛ Islamic Studies, Vol. 36, No. 1 (Spring 1997), 6. 47 Aqi>l Akmu>sh Abid, ‚Tat}awwur Dala>lah al-Mufradah al-Qur’a>niyah ‘inda al-S}u>fiyah Lat}a>’if al-Isha>ra>t Namu>dhujan‛, Majallah al-Ba>hi>th, Vol. 2, Isuue 1, 2002, 139.

139

ahli zahid. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya komentarkomentar para ahli zahid yang ditemukan dalam litertatur sufi.48 Sebagai perbandingan kita dapat melihat tafsir al-Qushayri> dalam QS. Al-Fatihah. Pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh al-Sulami, hanya saja penjelasan dari alQushayri> lebih tajam dan terurai, tidak seperti al-Sulami yang banyak merujuk kepada para sufi sebelumnya. Perbedaan lainya, al-Qushayri> juga menjelaskan beberapa hal yang memiliki nuansa fikih, meskipun tidak detail, tetapi ia tidak mengabaikannya. Ini dibuktikan ketika ia menilai bahwa shalat tidak sah ketika tidak membaca surah al-Fatihah.49 Belakangan model tafsir al-Qushayri> yang mencoba menyatukan antara tasawuf dan fikih diikuti oleh al-Alu>si>, meski tidak sangat rinci menjelaskan permasalahan fikih, akan tetapi penjabarannya tentang hal-hal yang menjadi objek kajian fikih, cukup panjang dan disertai dengan beberapa riwayat yang mendukung penjelasannya. Ini dapat dilihat dalam penjelasannya terkait khilafiyah yang terjadi seputar permasalahan bismillah.50 Al-Qushayri> memberikan satu bagian khusus dalam tafsirnya yang disebut dengan fas}l. Fas}l berisikan tentang uraian dari hal yang ia anggap penting, dengan penjelasan yang singkat dan padat. Sebagai contoh adalah uraiannya tentang tidak sahnya shalat jika tidak membaca al-Fatihah, penjelasan ini terdapat dalam fas}l.51 Tafsir huruf ba yang ada dalam bismi allah al-rah}ma>n alrah}i>m, dalam tafsir al-Sulami> diartikan sebagai tanda yang mewakilkan sesuatu. al-Qushayri> dalam tafsirnya juga melakukan 48

Menurut Christopher Melchert, antara para zahid dan sufi itu dibedakan dengan beberpa hal. Diantaranya, dari segi kesalehan, kesalehan yang ada pada ahli zahid menekankan kepada ketaatan kepada Allah, adapun kesalehan yang ada dalam keyakinan sufi berupa kesatuan Allah terhadap alam. Christopher Melchert, ‚The Transition from Asceticism to Mysticism at the Middle of the Ninth Century C.E.‛, Studia Islamica, No. 83 (1996), 52. 49 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Qushayri> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 8. 50 Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m al-Sab‘ alMatha>ni> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 41. 51 Al-Qushayri, Lat}a>’if al-Qushayri> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 8-9.

140

hal yang sama,52 akan tetapi ia terlebih dahulu menjelaskan sisi bahasa dari huruf ba. Baginya huruf ba adalah huruf tad}mi>n, yang artinya dengan Allah muncul segala yang baharu, dengan-Nya juga ada seluruh makhluk, dan tidaklah ada segala yang ada dunia ini kecuali dengan keberadaan dirinya.53 Dalam bentuk tafsir yang lain, al-Qushayri> juga tidak meninggalkan sisi bahasa lahiriyah untuk melengkapi tafsir sufinya, bagi al-Qushayri>, hakikat memuji yang terdapat dalam lafaz al-H}amdu dalam surah al-Fatihah adalah dengan senantiasa memyebut atau mengingat kedudukan-Nya yang agung dan perbuatan-Nya yang indah. Pemahman ini terbentuk atas dasar Alif lam yang dalam kaidah bahasa Arab mengandung makna istighra>q (menyeluruh). Artinya segala pujian apakah yang berbentuk sifat atau perbuatan hanya layak disandarkan kepada Allah. Melihat apa yang dilakukan oleh al-Qushayri> dalam tafsir, menunujukkan ia melakukan tafsir sebagaimana lazimnya, yang tidak lepas dari aspek kebahasaan. Model di atas adalah model pertama yang sering dilakukan dalam menjelaskan makna ayat Alquran, ini lebih sering disebut sebagai tafsir. Sedangkan model lainnya dari tafsir sufi adalah takwil, yang lebih identik mengkaji suatu lafaz untuk menemukan makna lain yang tidak sama dengan zahirnya.54 Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa fas}l menjadi bagian terpenting dari tafsir al-Qushayri>, berisikan tentang penjelasan inti dan kandungan dari setiap ayat yang sedang dijelaskan. Di dalam menjelaskan surah al-Fatihah, terdapat 11 fas}l. Fas}l pertama menjelaskan tentang kedudukan surah al-Fatihah secara umum, yang menjadikannya bagian inti dari pelaksanaan shalat. Fas}l kedua menjelaskan tentang hakikat pujian dan memuji, 52

Bandingkan dengan penjelasan al-Qushayri> tentang rahasia huruf ba, sin dan mim. Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Qushayri> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), 9. 53 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Qushayri> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), 8. 54 Omaima Abou Bakr. ‚The Symbolic Function of Metaphor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shustari‛, Alif: Journal of Comparative Poetics, No. 12, 1992, 41.

141

ini merupakan lanjutan dari ayat pertama dalam surah al-Fatihah. Fas}l ketiga menguraikan tentang tingkatan-tingkatan orang yang memuji yang terdiri dari beberpa kelompok, juga merupakan lanjutan dari tafsiran surah al-Fatihah ayat 1 bagi yang menjadikan bismillah bukan bagian dari al-Faihah, dan ayat kedua bagi kelompok yang menjadikan bismillah sebagai ayat pertama. Fas}l keempat menjelaskan hakikat malik (menguasai atau memiliki), merupakan tafsiran dari ayat Ma>liki Yawm al-Di>n. fas}l kelima menjelaskan tentang hakikat ibadah. Fasl keenam sampai dengan fas}l kesepuluh menjelaskan tentang makna dan hakikat dari petunjuk, bagaimana cara memperolehnya dan penjelasan dari S}ira>t} al-Mustaqi>m. Adapun fas}l yang kesebelas, sebagai fas}l yang terakhir dari tafsir surah al-Fatihah ini menjelaskan tentang makna dan nilai membaca a>mi>n (ta’mi>n) setelah membaca al-Fatihah dalam setiap shalat.55 Meskipun tidak sama dengan apa yang dijelaskan oleh al-Qushayri, penjelasan inti dari ajaran al-Fatihah masih diikuti oleh beberapa penafsir sufi setelahnya. Sebut saja seperti al-Alu>si>, yang memahami bahwa dalam surah al-Fatihah memiliki empat pengetahuan yang sangat penting. Pertama, adalah pengetahuan yang berkaitan dengan makrifat kepada Allah dan segala sifat-Nya, yang kemudian ini dikenal dengan ‘ilmu al-us}u>l. Kedua, adalah ‘ilmu al-furu‘, di dalamnya berisi penjelasan tentang dasar ibadah baik itu yang bersifat jasmani maupun materi, yang meliputi aspek pergaulan sehari-hari, pernikahan dan sebagainya. Ketiga, ‘ilmu al-Akhla>q, dan yang keempat adalah ‘ilmu al-Qas}as} wa al-Ikhba>r.56 Tafsir Alquran yang merupakan ilmu pengetahuan dan sekaligus sebagai kebutuhan57 adalah hasil pemikiran dari penafsir, oleh karena itu juga tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh dan penggunaan bahasa, yang mana makna juga merupakan hasil dari

55

Al-Qushayri, Lat}a>’if al-Qushayri> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 8-15. 56 Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma‘a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m al-Sab‘ alMatha>ni> (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 41. 57 ‘Ali> Ramad}a>n al-Awsi>, ‚al-Tafsi>r al-Nabawi> li al-Qur’a>n al-Kari>m wa Atharuhu fi> al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r‛, Majallah al-Tura>th al-‘Alami> al-‘Arabi>, Vol. 1, 2002, 197.

142

suatu pemikiran.58 Permasalahan bahasa dalam tafsir sufi mendapat perhatian dari beberapa sarjana. Ini berawal dari lahir dan berkembangnya wacana yang mengkaji dalalah lafaz (indikator suatu kata), yang mana ini memiliki korelasi dengan apa yang dipraktikkan oleh kaum sufi manakala menafsirkan Alquran, dengan mengubah arti dari suatu kata ke dalam bentuk pengertian yang lain. Aqi>l Akmu>sh ‘Abid menjelaskan bahwa kondisi zaman dan realita sosial memberikan kontribusi dalam perubahan dan perkembangan arti dan makna suatu kata. Ia juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa bahasa adalah suatu hal yang statis.59 Dalam tataran pemaknaan kosa kata, pembahasan atau penjelasan kata yang ada dalam tafsir al-Qushyairi> masih sebatas perubahan kata yang bisa jadi disebabkan oleh kondisi perkembangan bahasa yang diikuti oleh pengetahuan dan pengalaman spiritual. Dengan begitu apa yang dilakukan oleh alQushayri> dalam tafsirnya tidak termasuk ke dalam penyimpangan bahasa sebagaimana banyak dijelaskan kelompok yang mengkritik praktik tafsir sufi,60 melainkan hanya mengalihkan suatu makna kepada bentuk yang lebih sesuai yang didukung dengan pengetahuan dan kondsi spiritual. Intinya tafsir al-Qushayri> mewakilkan tafsir Alquran yang tidak menolak makna dari zahir ayat dan tidak pula memberian makna baru yang tidak memiliki

58

Aqi>l Akmu>sh ‘Abid, ‚Tat}awwur Dala>lah al-Mufradah al-Qur’a>niyah ‘inda al-S}u>fiyah Lat}a>’if al-Isha>ra>t Namu>dhujan‛, Majallah al-Ba>hi>th, Vol. 2, Isuue 1, 2002, 141. 59 Aqi>l Akmu>sh ‘Abid, ‚Tat}awwur Dala>lah al-Mufradah al-Qur’a>niyah ‘inda al-S}u>fiyah Lat}a>’if al-Isha>ra>t Namu>dhujan‛, Majallah al-Ba>hi>th, Vol. 2, Isuue 1, 2002, 139. Sebagai contoh bahwa Ibn ‘Abbas pada awalnya ia tidak mengetahui makna dari Fa>t}ir, sampai pada akhirnya ia menyaksikan dua orang yang sedang berbdebat mempersoalkan kepemilikan sumur. Salah seorang di antaranya berkata Ana> Fat}rtuha, artinya saya yang petamakali memulainya. Kisah tersebut menunjukan bahwa kondis zaman telah menjadikan beberapa kata tidak populer bagi sebagian kelompok yang lain. ‘Ali> Ramad}a>n al-Awsi>, ‚al-Tafsi>r al-Nabawi> li al-Qur’a>n al-Kari>m wa Atharuhu fi> al-Tafsi>r bi alMa’thu>r‛, Majallah al-Tura>th al-‘Alami> al-‘Arabi>, Vol. 1, 2002, 198. 60 ‘Abd al-Rahi>m al-Zaqqah, ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n‛, alMajallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 1, 2007, 175-176.

143

kaitannya dengan Alquran, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok batiniah.61 Bentuk tafsir sufi yang juga ditemukan dalam karya tafsir sufi, termasuk di dalamnya tafsir al-Qushayri> dalam beberapa persoalan masih identik dengan nuansa majaz, baik dalam pemaknaan maupun dalam penyajian arti kata. Menurut Omaima Abou Bakr, konsentrasi sufi yang terpengaruh dengan majaz sebagai salah satu bentuk untuk mengungkap pesan dan menyampaikan makna terjadi pada abad pertengahan.62 Model tafsir al-Qushayri> yang tidak meninggalkan makna lahir dari satu ayat menjadikan tafsirnya sebagai sebuah solusi untuk mempertemukan antara apa yang menjadi kebutuhan kelompok fikih (As}h}a>b al-Shari>‘ah) dan apa yang dipahami oleh kelompok sufi (Arba>b al-H}aqi>qah). Sebagai contoh dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah (2): 3, yaitu:

‫م‬ ‫اا ْم ْقُهْم م ُه َو‬ ‫َوِمَّا َ َ ْمْقَ ُه‬

Permasalahan rezki yang diinfakkan, rezki menurut pemahaman al-Qushayri> adalah suatu hal yang bermanfaat bagi manusia yang dengan itu manusia bisa berinfak. Al-Qushayri> memberikan penjelasan tentang objek infak yang ada dalam koridor fikih, yaitu berupa harta (al-Amwa>l), sedangkan dalam pandangan sufi objek infak berupa kondisi kejiwaan (al-Ah}wa>l). Sehingga menjadikan para sufi senantiasa menginfakkan jiwanya dalam menjaga ketulusan beribadah dan juga menginfakkan hati mereka untuk senantiasa dalam keadaan musyahadah terhadap keagungan Allah. Melengkapi tafsirnya al-Qushayri> menjelaskan beberapa tingkatan dan bentuk para hamba yang melakukan infak spiritual. Pertama adalah para zahid, yaitu mereka yang menginfakkan dalam hal yang berusaha mengendalikan hawa nafsu. Kedua, ahli ibadah yang menginfakkan jerih payah dan kekuatan mereka untuk berjuang di jalan Allah. Ketiga, muri>du>n, mereka adalah orang yang memberikan ingatannya hanya untuk 61

‘Abd al-Rahi>m al-Zaqqah, ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi> Tafsi>r al-Qur’a>n‛, al-

Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 1, 2007, 177. 62

Omaima Abou Bakr. ‚The Symbolic Function of Metaphor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shustari‛, Alif: Journal of Comparative Poetics, No. 12, 1992, 40.

144

Allah, dan membuang segala hal yang membuat mereka lalai dari mengingat Allah dan yang terakhir adalah para ahli makrifah, yaitu mereka yang melakukan infak di jalan Allah dengan selain Allah, yang menjadikan mereka dekat dengan Allah, dan Allah membalas mereka dengan kebaikan.63 Al-Qushayri> lebih menekankan sisi sufi dalam memberikan tafsir Alquran, yang memiliki orientasi estetika dan ukhrawi. Ini terlihat ketika ia menafsirakan QS. Al-Baqarah (2): 9664 Menurut al-Qushayri> ayat tersebut merupakan kritikan terhadap pola hidup manusia yang hanya terbebani dengan orientasi dan obsesi duniawi dan melupakan tujuan hidupnya di dunia ini. Hal itu terjadi keran manusia terserang sindrom cinta dunia, yang mana menurut al-Qushayri> itu merupakan hasil dari kelalaian mereka dari mengingat Allah, dan bentuk kelalaian yang paling jelek adalah ingin hidup selamanya di dunia. Kuatnya kecintaan mereka terhadap dunia telah menghilangkan ketaatan mereka pada Allah. Kecintaan mereka terhadap dunia merupakan bentuk pembangkangan kepada Allah, karena hanya hamba yang buruk yang enggan kembali kepada majikannya.65 Al-Qushayri> dalam tafsirnya sebelum menjelaskan makna satu ayat terlebih dahulu ia memberikan perbandingan dengan apa yang dipahami oleh ulama lainnya secara umum (ulama fikih). Bentuk seperti ini merupakan upayanya untuk mengkorelasikan antara paham tasawuf dan fikih. Sebagai contoh apa yang diuraikannya terkait dengan makna nikmat dalam Alquran secara umum ketika menafsirkan QS. Al-baqarah (2): 40.66 Menurutnya Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Qushayri> (Beirut: Dar al-Kutb al-„Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 19-20. 64 Redaksi ayat tersebut adalah 63

‫َوََ م َ ْقَّ ُه ْم َ ْم َ َ م‬ ‫َّاا َعلَى َ َااٍة َوم َ َّ م َ ْم‬ َ ‫َشَُهك ْقَ َ ُّد َ َ ُه ُها ْم َ ْم ْقُه َ َّ ُه َْم‬ ‫َ ٍة و ا ُها م ُه ْم م م م م ْم َ م‬ ‫ا ْمَو ْقُه َ َّ َ َو لَّ ُه َ م ٌري م َا ْقَ ْم َ لُه َو‬ َ َ ََ َ َ َ

Al-Qushayri, Lat}a>’if al-Qushayri> (Beirut: Dar al-Kutb al-„Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 58. 66 Redaksi ayat tersebut adalah 65

‫م م‬ ‫م‬ ‫م م‬ ‫م م م م‬ َّ ‫اي‬ َ َّ ‫َا َم ْم َ ا َي ذْم ُهكُهو ْم َ م َ م َْمْق َ ْم ُه َعلَْم ُه ْم َو ْمَوفُه َ ْم ي ُهوو َ ْم ُهك ْم َو‬ 145

‫فَا ْم َاُه مو‬

nikmat memiliki definisi yang berbeda-beda terutama dari ulama secara umum dan para sufi secara khusus. Nikmat bagi sebagian besar ulama adalah kelezatan sempurna yang terlepas dari segala kotoran dan yang memiliki kesamaan dengan hal tersebut. Adapun nikmat menurut para ahli hakikat adalah ketika kita diperhatikan oleh Allah, segala hal yang mengingatkan kita kepada Allah, atau yang menyampaikan kita ke pada Allah dan kita tidak terhijab dari yang memberi kenikmatan (Allah). Selanjutnya ia menjelaskan bahwa kenikmatan terbagi ke dalam ni‘mah absha>r wa z}awa>hir dan ni‘mah arwa>h wa sara>’ir. Bentuk kenikmatan pertama adalah menghasilkan ketenangan dan bentuk kenikmatan kedua menghasilkan musyahadah dan kasyaf.67 Penjelasan sufi yang ada dalam tafsir al-Qushayri> tidak banyak membicarakan aspek mistis yang berbentuk konsep tertentu, namun bila diteliti lebih lanjut, secara umum terutama pada penjelasan terakhir, lebih dekat dengan pemahaman wahdah al-syuhud. Hanya saja bagi al-Qushayri>, wahdah al-syuhu>d lebih mengarah kepada kedekatan kepada Allah dalam konteks yang umum tidak berbau mistis. Bentuk tafsir al-Qushyari> secara umum telah meninggalkan tradisi lama tafsir yang identik dengan penjelasan bahasa secara detail, penjelasan asbabun nuzul, uraian tentang kisah-kisah, yang mana ini terjadi karena faktor kedekatan mereka dengan budaya Arab,68 ini terjadi karena al-Qushayri> hidup di zaman ketika Islam telah menyebar di wilayah yang menjadi taklukan Islam. Pengkajian terhadap sisi esoterik, baik terhadap al-Sulami> dan al-Qushayri memberikan gambaran bahwa ruang lingkup tafsir sufi tidak sempit seperti yang diklaim selama ini. Setidaknya ada dua hal yang bisa dijelaskan dalam hal ini; (1)tafsir sufi pada generasi awal pada hakikatnya merupakan refleksi kecintaan mereka terhadap ajaran ketuhanan, yang masih didominasi oleh pemahaman zuhud , (2) tafsir sufi mampu melapaskan dirinya dari dominasi pemahamn zuhud dengan beralih kepada pemahaman yang lebih moderat untuk mengembalikan tafsir sufi keasalnya, Al-Qushayri, Lat}a>’if al-Qushayri> (Beirut: Dar al-Kutb al-„Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 40 - 41. 68 Abu> H}aya>n al-Andalu>si>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t} (Beirut: Dar al-Kutb al-„Ilmiyah, 1993), 120. 67

146

yaitu mengkombinasikan antara semangat teks dengan esensial ayat. B.

Komparasi Tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri> (Arti dan Peran Teks. Kajian terhadap Surah al-Fatihah)

Memahami dan mengkaji ulang sebuah karya yang telah ditulis berabad-abad lalu membutuhkan seperangkat alat untuk menjadikan hasil analisis itu lebih baik. Apalagi berkaitan dengan karya tafsir sufi yang telah ditulis pada masa yang sangat jauh dengan saat ini. Terlebih lagi banyak faktor yang ikut berperan terhadap awal kemunculan dan perkembangan tafsir sufi.69 Untuk lebih memudahkan dalam mengkaji ulang hal tersebut, di sini dilakukan komparasi, gunanya adalah untuk melihat satu titik pola yang sama, yang mana dengan hal tersebut akan tampak keorisinalan, serta konsep dasar yang menjadikan karya itu besar, sehingga layak untuk dikaji. Karena harus diakui, sebagaimana tafsir yang lainnya, tafsir sufi pun tidak terlepas dari perbedaan, seperti contoh tafsir sufi yang digagas oleh al-Ghazali> dalam Mishkah al-Anwa>r juga memiliki perbedaan dengan tafsir sufi lainnya, meskipun mengusung pendekatan yang sama.70 Dalam penelitian ini, untuk melihat sejauh mana persamaan dan perbedaan yang ada dalam karya tafsir ini, di sini akan diuraikan tafsir yang dilakukan oleh kedua tokoh terhadap satu ayat, surah dan tema yang sama. Al-Qushyari> yang lebih dikenal sebagai salah satu penggagas esoterik dalam menafsirkan Alquran memiliki kapasitas yang baik dalam melakukan tafsir. Sedangkan al-Sulami>, yang juga merupakan penafsir esoterik juga memiliki kapasitas yang sama, hanya saja keduanya memiliki cara 69

Sa‘i>d Mat}lak al-Zu>b‘i>, ‚al-Ima>m al-Qushayri> wa Juhuduhu fi H}arakah al-Tafsi>r‛, Majallah Kuliyah al-Tarbiyah li al Bana>t. Vol. 17, No.1, 2006, 10. Lihat juga, Bowering, Gerhard. ‚The Major Sources on Sulami’s Minor Qur’an Commentary‛, Oriens, Vol. 35, 1996, 35-38. 70

Mulyadhi Kartanegara, ‚Tafsir Sufi tentang Cahaya: Studi atas Misykat al-Anwa>r Karya al-Ghazali‛, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol. 1, No. 1 Januari 2006, 30-32.

147

penyajian yang berbeda dalam tafsir. Untuk melihat sejauh mana kebenaran hal tersebut di sini akan dijelaskan. Al-Sulami> tampil dengan lebih sederhana dalam menjabarkan tafsir, sebagaimana al-Qushyari> memulai tafsirnya dengan menguraikan kandungan surah, al-Sulami> juga melakukan hal yang sama. Akan tetapi uraian yang dijabarkan oleh al-Sulami> sangat singkat, hanya sebatas penamaan surah saja.71 Ini bisa jadi dipengaruhi oleh sumber-sumber tafsir yang menjadi rujukan alSulami, yang mana menurut Gerhard Bowering, sebagaimana dikutip oleh Kristin Zahra Sands, bahwa ada dua sumber penting yang menjadi rujukan al-Sulami>, pertama adalah sumber lisan dan yang kedua adalah sumber tulisan.72 Tafsirnya juga dibangun dengan dua fondasi pentig, satu yang ia sebut dengan ayat, merupakan tafsir ayat secara spesifik, terakhir ia namakan sebagai aqwal, pada bagian kedua ini lebih banyak peran intuisi atau ishari dalam memahami Alquran.73 AlSulami> memang memiliki perbedaan dengan para mufasir lainnya, tercatat ia hanya menafsirkan beberapa ayat Alqura saja, tidak ada penjelasan yang kongkrit terkait pemilahan yang dilakukan oleh alSulami>, kecuali itu dipengaruhi oleh sumber-sumber yang menjadi rujukannya, yang juga tidak menafsirkan ayat-ayat tertentu, sehingga al-Sulami> hanya menafsirkan ayat-ayat yang sekiranya telah ditafsirkan oleh para ahli hakikat sebelumnya.74 Dari keseluruhan ayat Alquran, al-Sulami> hanya menafsirkan 2197 ayat saja dari yang ada. Tidak ada penjelasan yang pasti terhadap apa yang dilakukan oleh al-Sulami> dalam menafsirkan sebagian ayat dan tidak menafsirkan sebagian lainnya. Jika al-Qushayri> mengupayakan adanya integrasi atau kompromi antara semangat esoterik dan kebutuhan terhadap fikih

71

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001),

jilid 1, 24.

72

Kristin Zahra Sands,Sufi Commentaries on the Qur’an in Classical Islam (New York: Routledge, 2006), 69. 73 Kristin Zahra Sands,Sufi Commentaries on the Qur’an in Classical Islam (New York: Routledge, 2006), 69. 74

Gerhard Bowering,‚The Major Sources on Sulami’s Minor Qur’an Commentary‛, Oriens, Vol. 35, 1996, 38-39.

148

dalam tafsirnya,75 maka al-Sulami> tampil lebih mementingkan sisi klasik sufi yang banyak mengkaji rahasia dari ayat bahkan huruf, yang mana dalam hal ini ia banyak merujuk kepada para ahli hakikat sebelumnya.76 Ini dilihat dari penjabarannya terkait makna huruf al-ba>, al-si>n dan al- mi>m yang terdapat dalam lafaz basmallah. Merujuk kepada para sufi terdahulu al-Sulami> menafsirkan makna huruf ba dengan kebaikan yang ditujukan untuk arwah para nabi dengan mendapatkan risalah dan nubuwah (dinukil dari pendapat al-‘Abba>s Ibn ‘At}a>’) , ba juga mengandung arti rahasia Allah yang ada bersama para hali makrifat (merupakan perkataan Abu> Bakr Ibn T}ah> ir), ia juga memiliki pengertian kekekalan Allah, dan kenabian.77 Hal yang sama juga berlaku pada huruf si>n, yang memiliki banyak makna esoterik antara lain ; si>n menunjukan rahasia (al-sirr) Allah bersama para ahli makrifah dengan menganugerahkan kekerabatan dan manusia, ia juga memiliki arti sinaran (sana>’u), nama-nama Allah (asma>’) dan rahasia kenabian yang mana nabi merahasiakan hal tersebut untul orang-orang tertentu di antara umatnya.78 Adapun makna huruf al-mi>m antara lain; perhatian Allah terhadap para hambanya dengan pandangan Allah terhadap mereka dengan pandangan yang penuh rahmah, dengan bahasa lain al-mi>m juga menunjukan kecintaan Allah terhadap hambanya, dan keagungan dan kepunyaan Allah (berdasarkan perkataan Abu> Qa>sim al-Iskandari> melalui Ja‘far Ibn Muh}ammad yang diperoleh melalui jalur Abu> Ja’far, ‘Ali> Ibn Qa>sim Mu>sa al-Rid}a>).79 Untuk menguraikan makna esoterik yang ada dalam huruf ba>, si>n dan mi>m, al-Sulami> merujuk atau menggunakan pendapat para sufi sebelumnya. Tercatat ada enam tokoh sufi yang dijadikan 75

Sa‘i>d Mat}lak al-Zu>b‘i>, ‚al-Ima>m al-Qushayri> wa Juhu>duhu fi H}arakah al-Tafsi>r‛, Majallah Kuliyah al-Tarbiyah li al Bana>t. Vol. 17, No.1, 2006, 9-10. 76 lihat Gerhard Bowering,‚The Major Sources on Sulami’s Minor Qur’an Commentary‛, Oriens, Vol. 35, 1996, 41-56. 77 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), jilid 1, 24-26. 78 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), jilid 1, 24-26. 79 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), jilid 1, 24.-26.

149

rujukan oleh al-Sulami> dalam mengurai makna huruf tersebut di antaranya; al-‘Abbas Ibn ‘At}a>’, Junayd al-Baghdadi>, Abu> Bakr Ibn T}ah> ir, dan Abu Bakr al-Iskandari.80 Kehadiran tokoh-tokoh sufi di atas dalam karya alSulami> memberikan poin penting betapa transmisi tasawuf masih terus berlanjut hingga zaman al-Sulami>, meskipun kebanyakan melalui tradisi lisan. Sebagaimana yang dijabarkan oleh Victor Danner, kondisi di mana para sufi tumbuh (abad ke dua Hijriah), dan masa dimana al-Sulami> berada, masih dalam masa-masa yang sulit dan berat dalam pekembangan tasawuf. Karena pada awal abad ke tiga, tasawuf mendapatkan guncangan dengan dilangsungkannya hukuman mati untuk al-H}alla>j (w. 309 H). Itu terjadi tidak hanya dikarenakan adanya paham tasawuf yang menyimpang, tetapi juga didorong oleh semangat otoritas eksoterik (para ahli fkih) yang ingin menjadi penguasa dalam segala bentuk tradisi, termasuk jalan spiritual.81 Dengan bahasa lain, kematangan tasawuf pada saat itu, beriringan dengan semakin kuatnya gerakan eksoteris, yang juga telah memasuki pemerintahan. Oleh karena itu, segala hal yang bertentangan dengan konsep eksoteris, harus dipertimbangkan kembali. Barulah pada abad ke empat dan lima, rekonsiliasi antara tasawuf dan syariah mulai banyak dilakukan oleh para tokoh sufi. Pada zaman ini juga lahir al-Qushayri>, al-Ghazali>82 dan sebagainya. 80

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), jilid 1, 24-27. Gerhard Bowering,‚The Major Sources on Sulami’s Minor Qur’an Commentary‛, Oriens, Vol. 35, 1996, 41-56. 81 Victor Danner, ‚Perkembangan Awal Tasawuf‛ dalam Seyyed Hossein Nasr (ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 2002), 345-350. Bandingkan dengan Abdurrahman Habil, ‚Tafsir-tafsir Esoterik Tradisional Al-Quran‛ dalam Seyyed Hossein Nasr (ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 2002), 38-40. 82 Sebagai seorang sufi yang juga sekaligus filosof, al-Ghaza>li> dinilai berhasil dalam mendamaikan perdebatan seputar konsep pemikiran kaum sufi yang identik dengan pemahaman makna batin. Al-Ghaza>li> sebagaimana yang dikutip oleh Fathul Mufid, menjelaskan ada tiga komponen yang menjadi alat untuk memperoleh pengetahuan. Yaitu, Indera, akal, dan qalb. Ketiga hal tersebut ibarat tiga mata rantai yang saling bekaitan satu dengan lainnya. Fathul Mufid, ‚Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam‛, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman. Vol. 17, No.1, Juni 2013, 27.

150

Selain nama di atas, tafsir al-Sulami> juga banyak merujuk pada Ja‘far al-S{a>diq, keberadaan Ja‘far dalam tafsirnya, menunjukan bahwa dakwah yang dilakukan oleh Ja’far tidak lagi mendapat tekanan seperti masa sebelumnya. Ini dikarenakan, faktor runtuhnya Dinasti Ummayah, yang berganti menjadi Dinasti ‘Abbasiyyah, dan ia tidak banyak mendapatkan hambatan untuk menyebarkan ajarannya.83 Meskipun Ja‘far al-S}a>diq sangat identik dengan Syiah, karena ia merupakan salah satu dari imam yang menjadi rujukan dalam Syiah, hal ini tidak bisa dijadikan patokan bahwa pikiran al-Sulami> ikut terkontaminasi oleh paham Syiah. Ini semakin dikuatkan dengan fakta bahwa tafsir esoterik Syiah mengacu pada dua hal; pertama meyakini adanya makna batin dalam Alquran, dan kedua memberikan otoritas tafsir hanya kepada para imam.84 Bahkan dalam Ismailiyah paham esoterik mendominasi tafsir Alquran daripada pemahaman eksoteris.85 Hal yang terkahir ini merupakan jawaban terhadap kritikan yang mengatakan bahwa tafsir al-Sulami> adalah bagian dari Syiah. Tidak hanya lafaz basmallah yang dimaknai secara esoterik oleh al-Sulami>, dalam tafsirnya ia juga menekankan penitngnya mengkaji arti dan makna dari lafaz Allah. Makna huruf alif yang pertama adalah permulaan, yang menunjukan bahwa Allah asal dari segala sesuatu, huruf al-la>m mengandung makna makrifah dan arti dari al-la>m yang kedua adalah 83

Victor Danner, ‚Perkembangan Awal Tasawuf‛ dalam Seyyed Hossein Nasr (ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 2002), 336. 84 Kedudukan imam bagi sebagian kalangan Syiah bisa mencapai derajat kenabian, dalam konteks ini maka lahirlah paham kemaksuman para imam, yang mana para imam terjaga dari melakukan kesalahan, sebagaimana nabi. Ini juga dikuatkan dengan doktrin bada’, sebuah doktrin yang meyakini bahwa para imam memiliki kemampuan untuk mengetahui hal-hal ghaib. Adapun perdebatan lain yang ada antara Sunnah dan Syiah dalam diskursus ulum Alquran, adalah masalah keotentikan Alquran, secara umum Syiah menolak untuk menyepakati bahwa mushaf usmani merupakan salinan salinan resmi yang benar-benar berasal dari rasul. Slamet Mulyono, ‚Pergolakan Teologi SyiahSunni: Membedah Potensi Integrasi dan Disintegrasi‛. Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol. 16, No.2 Desember 2012, 250-256. 85 Abdurrahman Habil, ‚Tafsir-tafsir Esoterik Tradisional Al-Quran‛ dalam Seyyed Hossein Nasr (ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 2002), 50.

151

menunjukan keagungan dan kenikmatan, adapun makna huruf alHa>’ adalah bahwa Allah akhir dari tujuan ibadah tidak ada yang selain Ia. Selain pendapat di atas ada juga yang berpendapat bahwa alif menunjukan akan kekuasaan Allah, al-la>m mewakili kelembutan Allah dan yang kedua mengindikasikan adanya perjumpaan dengan Allah dan huruf al-Ha>’ menunjukan pemberian Allah.86 Dalam menjelaskan makna esoterik huruf, al-Sulami> juga menjelaskan isyarat yang terkandung dalam huruf tersebut. Huruf alif mengisyaratkan keesaan Allah, dan kekuasaan Allah yang menunjukkan bahwa ia berbeda dan bukan makhluk, dan tidak bergantung kepada siapapun, sebagaimana terhalangnya huruf alif untuk tersambung dengan huruf lain pada awal permulaan kata, bahkan huruf lain yang membutuhkan alif untuk melengkapi maknanya. Termasuk di dalamnya juga bahwa lafaz Allah memiliki sebuah penegasan tentang esensi ketuhanan, bahwa segala sesuatu adalah dalam kuasa Allah, sehingga meski hanya satu kata ini, cukup bagi para ahli hakikat untuk meyakini dan mengenal hakikat Allah. Kondisi ini berbeda dengan orang pilihan yang masih butuh penegasan, sehingga dalam ayat selanjutnya Allah beri penegasan dengan kata ah}ad, dan khusus untuk mereka yang masih sangat awam, Allah tambah dengan kata al-s}amad.87 Dalam catatan Abdurrahman Habil, kecenderungan para sufi untuk mengakaji huruf-huruf tertentu dalam ayat Alquran, bisa saja dipicu oleh kondisi huruf tersebut, bila al-Sulami> mengkaji huruf alif dikarenakan huruf tersebut ada dalam lafaz Allah, hal yang sama juga terjadi dalam tafsir esoterik lainnya. Pada akhirnya tradisi ini meluas dan melahirkan semacam ilmu esoeteris yang khusus mengkaji al-muqat}t}a‘ah yang mengkaji simbolisme angka seluruh huruf dalam abjad dan angka tersebut diperhitungkan dalam pengertian secara simbol.88 86

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), jilid 1, 24-29. 87 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), 24-31. 88 Apa yang dijelaskan di atas merupakan bentuk terakhir dari simbolisme sufi. Menurut Habil tafsiran esoteric mengacu pada empat lapisan simbolisme. Pertama, Alquran itu sendiri, karena merupakan hakikat

152

Aspek bahasa tidak begitu ditekankan dalam tafsir alSulami>, penjabarannya langsung ditujukan terhadap kata yang sedang ia tafsirkan. Seperti makna dari al-rah}ma>n, yang menurutnya dengan memiliki potensi untuk mengeluarkan segala bentuk kemuliaan bagi orang yang beriman dalam bentuk keimanan, ketaatan, wilayah, kemaksuman, bahkan seluruh nikmat yang berkelanjutan. Mengutip perkataan al-Wa>siti,89 ia menjelaskan perihal keistimewaan dari kedua kata tersebut. Sesoerang tidak akan mampu mendapatkan rahman Allah, kecuali dengan izin-Nya, akan tetapi untuk memperoleh rahim-Nya Allah, bisa ditempuh dengan jalan berbuat ketaatan. Secara spesifik ia merincikan ada lima poin penting yang menjadi pembeda antara kata al-rah}ma>n dan al-rah}i>m.90 Bila al-Qushayri> pada tafsirnya sebagaimana yang telah dijelaskan selalu memasukkan aspek bahasa sebelum menejelaskan tafsir Alquran dari sisi tasawuf, berbeda dengan al-Sulami>, ia langsung menyandarkan tafsiran tersebut pada tokoh sufi yang dijadikannya rujukan. Dalam hal ini sebenarnya kontribusi alSulami> sangatlah minim, sebagai mana contoh tafsir kata ‚alh}amdu li allah‛, ia merujuk kepada pendapat Ja‘far Ibn Muh}ammad. Secara umum ayat tersebut berisikan seruan untuk bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberi. Bila penjelasan terhadap hal itu berhenti sampai di situ saja, maka tidak inspirasional dari tafsir esoteric. Kedua, symbol-simbol yang ada di luar alam dan di dalam diri manusia. Seperti banyak ditemukan symbol makrokosmis di jagat raya dan symbol mikrokosmis dalam diri manusia. Ketiga, symbol tertentu yang terdapat dalam Alquran, seperti pengertian hakikat dari kata ‚sandal‛, yang terdapat dalam kisah Musa. Dan yang terakhir adalah simbolisme yang terdapat dalam huruf yang tersusun menjadi kata. Abdurrahman Habil, ‚Tafsirtafsir Esoterik Tradisional Al-Quran‛ dalam Seyyed Hossein Nasr (ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 2002), 32. 89 Dalam tafsir sufi dan konsep tasawuf, al-Wa>sit}i merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan. Pemikirannya banyak dikutip atau dijadikan oleh tokoh sufi sebagai rujukan. Bisa dikatakan bahwa ia juga merupakan salah satu pengagas tasawuf secara teoritis. Silvers, Laury. ‚Theoretical Sufism in The Early Period: With an Introduction to the Thought of Abu> Bakr al-Wa>sit}i> (d. ca. 320/928) on the interrelationship between Theoretical and the Practical Sufism‛. Studia Islamica, No. 98/99, 2004, 71-75. 90 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 32-35.

153

ada persoalan. Menjadi lebih menarik, ketika sisi esoterik sufi melihat makna dibalik setiap huruf dari kata al-h}amdu.91 Menurut Abdurrahman Habil, dalam kasus tafsir esoterik yang banyak dipengaruhi oleh perkataan para pendahulunya, pada dasarnya tidak mengurangi nilai tafsirannya, karena pada masa itu trend tafsir yang sedang berkembang khususnya tafsir esoterik, adalah melalui tradisi lisan, yang diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya.92 Hal serupa juga terjadi manakala al-Sulami> memahami ‚Ma>lik al-yawm al-di>n‛, tidak dalam arti sebagaimana umumnya para mufasir, dengan mengartikan sebagai hari pembalasan yang akan terjadi pada hari kiamat nanti. Hal tersebut tidak belaku bagi al-Sulami>, menurutnya ayat tersebut memiliki gagasan atau konsep yang membangun teori kasyf dan musyahadah, secara sederhana ia memahami bahwa ayat tersebut tidak hanya bercerita tentang kronologi pembalasan hari kiamat. Tetapi ayat tersebut berlaku dalam kehdiupan dunia dan akhirat.93 Tafsiran al-Sulami> terhadap ayat kelima dari al-Fatihah mencerminkan konsep ibadah yang tulus sebagaimana lazimnya yang diterapkan oleh kaum sufi. Secara umum konsep tasawuf yang diuraikan oleh al-Sulami> dalam hal ibadah memiliki konsep kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Artinya penjelasan ini memiliki kesamaan dengan paham wah}dah al-shuhu>d, tidak dekat dengan paham konsep penyatuan antara Tuhan dan makhluk.94

91

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 32-35. 92 Abdurrahman Habil, ‚Tafsir-tafsir Esoterik Tradisional Al-Quran‛ dalam Seyyed Hossein Nasr (ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 2002), 32. 93 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 36. 94 Ada banyak istilah yang digunakan untuk menunjukan kesatuan antara Tuhan dan makhluk, satu di antaranya adalah wahdah al-wujud. Menurut William Stoddart, paham ini murni berasal dari ajaran Islam yang dikembangkan oleh sufi. Dalam pengamatannya paham ini muncul dari tafsir esoterik sufi terhadap kalimat syahadah. William Stoddart, Outline of Sufism. The Essentials of Islamic Spirituality (Indiana : World Wisdom, 2012),25-27.

154

Dalam uraiannya di atas masih terlihat jelas bahwa antara makhluk dan Tuhan adalah dua hal yang berbeda, hanya saja segala aktifitas hamba terjadi dengan kehendak Allah, apakah berupa tawfi>q, ira>dah, himmah, fad}i>lah, musha>hadah, yang mana semua itu adalah hak prerogatif Allah. Tafsir al-Sulami> ini dalam pandangan Habil merupakan karya esoterik murni, meskipun ia bukan yang pertama. Asumsinya adalah karena di dalamnya banyak terdapat perkataan para ahli yang sejatinya diperoleh melalui pemahaman esoterik., dan sekaligus menunjukan kemandirian tafsir esoterik dari ilmu tafsir pada umumnya. Secara sederhana ia menilai bahwa semakin esoterik suatu tafsir, maka semakin sedikit ayat Alquran yang ditafsirkan. 95 Ketiadaan pembahasan fikih, bahasa, dan cakupan ilmu Alquran lainnya dalam tafsir sufi, khususnya al-Sulami> bukan berarti menunjukan penolakan mereka terhadap hal tersebut. Karena sebagaimana yang diketahui, bahwa sufi tidak melakukan penolakan terhadap teks ayat. Sebaliknya ini suatu bentuk penegasan bahwa tafsir sufi adalah tafsir yang senantiasa mengusung semangat esoterik, demi menjaga kemurnian itu, maka tafsir sufi tidak membahas secara luas aspek yang tidak menjadi wilayah kajiannya.96 Al-Qushayri> secara umum tidak banyak melakukan perubahan dalam penjabaran tafsirnya, bila dibandingkan dengan tafsir yang berkembang pada masanya. Perubahan yang dimaksud adalah berkaitan dengan sistematis tafsir yang mana, masih konsisten untuk menafsirkan Alquran secara urutan mushaf, dan berusaha untuk menafsirkan Alquran secara keseluruhan. Tentunya ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh al-Sulami> dalam karya tafsirnya. Sebagaimana yang diterapkan oleh al-Qushayri> dalam menafsirkan surah al-Fatihah, sebelum ia menguraikan ayat per 95

Abdurrahman Habil, ‚Tafsir-tafsir Esoterik Tradisional Al-Quran‛ dalam Seyyed Hossein Nasr (ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 2002), 38-40, dan 54. 96 Lihat juga, Annabel Keeler. ‚Sufi Tafsir as a Mirror: al-Qushayri the murshid in his lat}a>’if al-isha>rat‛ Journal of Qur’anic Studies Iqra>’ Bismi Rabbika. Vol. 8. Issue 1 2006, 2-15.

155

ayat terlebih dahulu ia memberikan penjelasan tentang keutamaan surah ini. Menariknya sisi yang dikuatkan dalam penjabarannya adalah keutamaan Muhammad Saw yang menerima dan mendapatkan wahyu dari Allah. Setelah menguraikan hal tersebut pada awal penjelasannya ia menjadikan fas}l sebagai intisari atau abstrak yang mewakili dari inti yang ada dalam surah al-Fatihah.97 Dipilihnya surah al-Fatihah untuk membandingkan tafsir antara alSulami> dan al-Qushayri> ini disebabkan oleh surah al-Fatihah sebagai umm al-kita>b yang di dalamnya terdapat poin penting ajaran Islam, alasan selanjutnya adalah baik al-Sulami> dan alQushayri> menaruh perhatian yang mendalam terhadap surah ini, bila al-Qushayri> tidak hanya fokus kepada kajian sufinya, alSulami> menjadikan al-Fatihah ini sebagai satu-satunya surah yang ia tafsirkan secara lengkap dari awal hingga akhir. Dalam fas}l tersebut al-Qushayri> menjelaskan isi dari surah al-Fatihah meliputi hikmah dari penamaan,98 cakupan alFatihah yang berisikan urusan ibadah, pujian terhadap Allah terkait dengan tauhid rububiyah, dan yang terakhir adalah menjelaskan sisi hukum al-Fatihah sebagai syarat sah shalat.99 Poin terkahir ini yang menjadikan tafsir ini menarik untuk dikaji, 97

Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isa>hra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007),8. Bila diamati lebih lanjut, fas}l yang ada dalam tafsir al-Qushayri> merupakan hasil tafsir yang diperoleh melalui isha>ri> juga, hanya saja ia mengkhususkannya dalam bentuk penjelasan yang lebih ringkas. Lihat juga, alZaqah, ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad. ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m. Mafhumuh, wa Nash’atuh, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa Dawa>bit}uhu‛, alMajallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 175-177. 98 Al-Ra>zi> menguraikan ada dua belas nama yang popular sebagai sebutan untuk al-Fatihah, tiga nama tersebut adalah faith al-kitab, surah alhamd dan umm al-qur’a>n, yang mana setiap nama tersebut memiliki keistimewaan tersendiri. Pendapat al-Ra>zi> ini melengkapi yang telah dijelaskan oleh Ibn Kathi>r, nama-nama itu antara lain; al-s}ala>h, al-shifa>’, umm al-kita>b, alruqyah, asa>s al-qur’a>n, al-waqiyah, dan al-kafiyah, setiap penamaan memiliki faidah yang didasarkan atas riwayat yang berasal dari Nabi. Al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>tih} al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr, 1981). Jilid 1, 179-183. Ibn Kathi>r, Tafsir al-Qur’a>n al-‘Az}i>m (Beirut: Muassasah Qurt}ubah, tt), 151-154. Lihat juga, Muh}ammad T}a>hir Ibn ‘Ashu>r, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r (Tunis: Dar alTu>nisiya, 1984 ), Jilid 1,131-135. 99 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isa>hra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007),8.

156

karena sebagai tafsir yang mengusung semangat esoterik, alQushayri> tidak meninggalkan sisi fikih dalam tafsirnya. Apa yang diterangkan oleh al-Qushayri> dalam fas}l tersebut memiliki kesamaan dengan tafsiran secara umum yang dilakukan oleh beberapa mufasir yang mana inti dari penjabarannya sebagai pengantar agar pembaca terlebih dahulu memahai isi yang terdapat dalam surah tersebut, dan fas}l juga menjelaskan beberapa poin penting dari ayat yang sekiranya menurut al-Qushayri> perlu dijelaskan dengan bahasa yang singkat dan jelas. Akan tetapi tidak semua surah Alquran yang terlebih dahulu dijelaskan dengan fas}l dalam tafsir al-Qushayri>. Secara umum tafsir yang dilakukan oleh al-Qushayri> tidak jauh berbeda dengan tafsir lain, yang mengusung aspek penjabaran bahasa sebagai langkah awal untuk memulai tafsir Alquran. Hanya saja yang membedakan adalah kesan sufi yang sangat mendalam dalam penjabarannya. Ini memiliki kesamaan dengan apa yang diuraikan oleh Kristin Zahra Sands, yang mengurai pendapat Abu> Nas}r al-Sarra>j, bahwa kebiasaan para sufi dalam memahami Alquran terbagi dalam dua hal. Pertama lebih dikenal dengan istilah t}ari>q al-fahm dan yang kedua adalah t}ari>q al-isha>ri.100> Bila dibandingkan dengan apa yang ada dalam tafsir al-Qushayri>, maka t}ari>q al-fahm identik dengan penjabaran kebahasaan, sedangkan penjelasan kandungan ayat yang mendalam memiliki kesamaan dengan t}ari>q al-isha>ri. Kedua bahasa tersebut memiliki gagasan yang menekankan bahwa manusia merupakan pemilik tunggal atas pemahaman Alquran, yang dikenal dengan al-

h}am > il.101

Hal ini terjadi karena sifat dasar para sufi yaitu adanya keyakinan yang kuat dalam tradisi sufi bahwa mereka memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara langsung kepada Allah setelah mereka melewati beberapa tahapan tertentu, seperti yang dijelaskan oleh Spencer Triningham.102 Pengetahuan ini diperoleh 100

Kristin Zahra Sands,Sufi Commentaries on the Qur’an in Classical Islam (New York: Routledge, 2006), 35. 101 Nasaruddin Umar, ‚Menimbang Hermeneutika‛, Jurnal Studi AlQur’an. Vol. 1, No. 1, Januari 2006, 41-42. 102 J. Spenceer Triningham, The Sufi Order In Islam (London: Oxford University Press, 1971 ),1.

157

melalui nalar intuitif yang dalam tasawuf lebih dikenal dengan kasyf, dan dalam istilah tafsir disebut sebagai isha>ri>. Meskipun demikian, sufi dalam aktifitasnya tidak meninggalkan sisi rasionalnya, ungkap Spencer Triningham yang menyebutkan bahwa sufi memperoleh pengetahuan dari nalar (feliing) dan intuisi (unveling),103 dalam bahasa yang lain juga dikenal dengan dhihniyyah dan hissiyah.104 Itu juga kiranya yang melahirkan sebuah definisi khusus untuk tafsir sufi, khususnya yang mengusung isha>ri> sebagai dasar tafsir, yaitu tafsir Alquran yang dilakukan dengan melakukan dua fokus sekaligus, fokus terhadap zahir ayat dan makna batinnya. Zahir yang dimaksud adalah hal yang memiliki relevansi dengan syarih, sedangkan konteks dan ruang lingkup batin berada dalam wilayah hakikat atau esensial.105 Dengan demikian ishari yang ada dalam tafsir Alquran sufi diperoleh melalui kasyf,106 yang menurut sebagian kelompok kebenarannya langsung datang dari Allah. Secara teks, benar bahwa istilah kasyf tidak ditemukan dalam sumber-sumber utama dan awal Islam, akan tetapi menurut al-Qushayri> sebagaimana yang dikutip oleh A. Hidayat, memiliki kesamaan dengan istilah firasat yang ada dalam hadis rasul. Melalui firasat ini sesorang dapat melihat sesuatu limpahan cahaya Allah, hadis ini juga

103

J. Spenceer Triningham, The Sufi Order In Islam, 3. ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah, ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m. Mafhumuh, wa Nash’atuh, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa Dawa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 177. 105 Baha>’ H}asan Sulayma>n Za‘rab, ‚Athar Fikr al-S}u>fi> fi al-Tafsi>r Dira>sah wa Naqd‛.Tesis pada Ja>mi‘ah al- Isla>miyah Ghaza ‘Ima>dah al-Dira>sah al-‘Ulya> fi> Kuliyah Us}u>l al-Di>n Qism al-Tafsi>r wa ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 2012, 46. 106 ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah, ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m. Mafhumuh, wa Nash’atuh, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa Dawa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 178. Lihat juga, Miftahul Huda, ‚Epistemologi Tasawuf dalam Pemikiran Fiqh al-Sya’rani‛, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14, No.2 Desember 2010, 264-267. 104

158

menjadi pijakan dasar dalam konsep makrifah para sufi.107 Dalam pandangan John Wansbrough tafsir ini dimasukkan ke dalam kategori simbolic meaning, atau makna simbol, baginya pelopor tafsir ini adalah Sahl al-Tustari>.108 Dalam menafsirkan surah al-Fatihah yang diawali dengan tafsiran bism allah, ia juga mengkaji sisi atau aspek bahasa, seperti fungsi huruf al-ba>’ yang merupakan huruf jar dan tad}mi>n.109 Akan tetapi ia juga mengaitkan dengan aspek tasawuf di dalamnya. Dengan mengartikan bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah dan karena kuasanya juga segala alam dan makhluk hidup ini ada. Melalui penjabarannya ini pada dasarnya ingin menekankan betapa pentingnya aspek kesadaran akan kuasa Allah dalam kehidupan manusia.110 Dalam tasawuf ini identik dengan konsep ihsan dan tawadhu’. Penjabaran al-Qushayri> yang tidak melepas atribut kebahasaan yang merupakan zahir ayat, bahwa tafsir sufi yang digagasnya berbeda dengan tafsir batiniah yang menolak penggunaan teks atau zahir ayat.111 Satu hal yang harus diingat, 107

A. Hidayat, ‚Tasawuf dan Tarekat dalam Pandangan Ulama, Sunnah dan al-Qur’an‛ dalam Ahmad Tafsir (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan (Tasikmalaya: Latifah Press, 1995), 58-59. 108 John Wansbrough, Qur’anic Studies; Sources and Methods of Scriptual Interpretation (London: Oxford University Press, 1997), lihat juga Abdul Musatqim, Epsitemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKis, 2012), 44. 109 Ada banyak makna yang terdapat dalam huruf ba, yang setiap dari makna huruf ba memiliki funsgi tertentu. al-Qa>simi> dalam Mah}a>sin al-Ta’wi>l ketika menguraikan makna huruf ba dari sudut pandang yang berbeda. Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al‘Ilmiyah, 1997), Jilid 1,224. Abu> H}ayya>n al-Andalu>si> dan Wahbah al-Zuhayli lebih condong untuk mengatakan bahwa huruf ba merupakan tambahan dengan makna ils}a>q, meskipun huruf jar memiliki banyak pengertian, seperti alisti‘a>nah, al-qasm, al-sabab, al-h}a>l dan al-z}arf. Abu> H}ayyan al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t} (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),Jilid 1, 123. Wahbah al-Zuhayli>, alTafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari>‘ah wa al-Manha>j (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1998), Juz 1, 55. Lihat juga, Ah}mad Jami>l Shami>, Mu‘ja>m H}uru>f alMa‘a>ni> (Beirut: Muassasah ‘Izz al-Di>n, 1992), 27-31. 110 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1, 8. 111 ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad al-Zaqah, ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m. Mafhumuh, wa Nash’atuh, wa Adillatuhu, wa Shuru>t}uhu, wa

159

dalam mengkaji lafaz basmalah112 al-Qushayri> meninggalkan pembicaraan seputar perdebatan yang ada dalam hal tersebut, seperti permasalahan sir atau jahr, merupakan bagian dari ayat alFatihah atau tidak seperti yang dilakukan oleh Ibn al-‘Arabi> yang sangat detail mengkaji dari sisi fikih dan mufasir lainnya.113 Fokus kajiannya hanya benar-benar terpaku untuk menggali lebih dalam makna setiap ayat Alquran dengan meninggalkan wilayah perdebatan. Meskipun dalam tafsirnya ia berusaha melakukan kompromi antara semangat fikih dan tasawuf, akan tetapi ia lebih memilih jalan umum untuk tidak memasuki wilayah yang di dalamnya terdapat perdebatan dan perbedaan pendapat. Ini merupakan cerminan dari adanya semangat pembaharuan yang ia terapkan dalam tafsir.114 Pada ayat selanjutnya, yakni ayat ke dua dari surah alFatihah, al-Qushayri> dalam mengulas tafsirannya tetap mendahulukan uraian ayat dari segi bahasa. Seperti perkataannya yang menjelaskan bahwa huruf al-la>m dalam al-h}amdu memiliki makna jinsiyah yang berfungsi menajadikan lafaz yang bersandar padanya bermakna umum dan menyeluruh,115 dalam istilah yang

Dawa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007, 176. 112 Merupakan sebutan untuk lafaz bism Allah. Jenis kalimat ini termasuk dalam penggabungan dua kata yaitu; bism dan Allah. Penggabungan ini dikenal dengan istilah al-nah}t, tujuan peringkasan dua kata ini adalah agar lebih terasa ringan ketika dibaca (li al-takhfi>f). Muh}ammad T}a>hir Ibn ‘Ashu>r, alTah}ri>r wa al-Tanwi>r (Tunis: Dar al-Tu>nisiya, 1984 ), Jilid 1, 137. 113 Ibn al-‘Arabi> , Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut :Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, tt), Jilid 1, 5-8. Lihat juga, Abu> al-Qa>sim Mah}mud Ibn ‘Umar al-Zamakhshari>,

al-Kashsha>f ‘an H}aqa>’iq Ghawa>mid} al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h alTa’wi>l (Riyad}: Maktabah al-‘Abi>ka>n, 1998) Jilid 1, 99. Abu> al-Qa>sim Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn Juzy al-Kalbi>, al-Tashil li ‘Ulum al-Tanzil (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1995), Jilid 1, 42. 114 Lihat juga, Sa‘i>d Mat}lak al-Zu>b‘i>, ‚al-Ima>m al-Qushayri> wa Juhuduhu fi H}arakah al-Tafsi>r‛, Majallah Kuliyah al-Tarbiyah li al Bana>t. Vol. 17, No.1, 2006, 9. 115 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1, 9.

160

lain juga dikenal dengan al-istighra>q, yang keduanya memiliki makna yang sama.116 Dengan demikian menjadikan segala pujian hanya untuk Allah semata. Pujian terhadap Allah mencakup dua aspek; baik itu secara sifat maupun ciptaan. Ia pun juga membedakan antara pujian dan syukur, baginya pujian terhadap Allah berkaitan dengan jelasnya kekuasaan Allah dan kebenaran akan keagungan dan keindahan-Nya, adapun syukur lebih menekankan aspek ihsan-Nya Allah. Dalam pandangannya, pujian Allah terhadap dirinya adalah ketetapannya terhadap sifat kesempurnaan-Nya, sedangkan pujian makhluk kepada-Nya karena banyaknya nikmat yang diterima.117 Secara sederhana dapat juga dipahami dengan pujian itu lebih ditujukan karena sifat yang melekat, sedangkan syukur itu merupakan reaksi atau apresiasi terhadap pekerjaan yang dilakukan.118 Oleh karena itu adalah sesuatu perbuatan terlarang ketika seorang hamba ingin memuji dirinya sendri, menurut Ibn al‘Arabi> dalam ayat tersebut secara tersirat mengajarkan kita bagaimana cara memuji Allah dan mewajibkan kita untuk selalu memuji-Nya.119 Penjelasan yang dilakukan oleh al-Qushayri> ini membuktikan bahwa ia dalam tafsirnya senantiasa memegang teguh aspek-aspek yang memadukan antara syariah dan hakikat, sehingga menurut Sa‘id Mat}lak, Lat}a>’if al-Isha>ra>t yang merupakan tafsir al-Qushayri memiliki keunggulan dari tafsir sufi yang telah ada sebelum masanya, seperti karya al-Tustari> dan al-Sulami>.120 116

Lihat Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1997), Jilid 1,226. Abu> Ja‘far Muh}ammad Ibn Jari>r al-T}abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Kutb al‘Ilmiyah, 1999), Jilid 1, 90. Muh}ammad al-Ami>n al-Shinqit}i>, Ad}wa>’ al-Baya>n fi> Id}a>h} al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n (Jeddah :Dar ‘Alam al-Fawa>’id, tt) Jilid 1, 47 117 al-Qushayri, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1, 9. 118 al-Sami>n al-Halabi>,al-Durru al-Mas}u>n fi> ‘Ulu>m al-Kita>b al-Maknu>n (Damaskus: Dar al-Qalam, tt) Jilid 1,36-37. 119 Ibn al-‘Arabi> , Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut :Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, tt), Jilid 1, 9. Lihat juga, al-Sami>n al-Halabi>,al-Durru al-Mas}u>n fi> ‘Ulu>m alKita>b al-Maknu>n (Damaskus: Dar al-Qalam, tt), 36-38. 120 Sa‘i>d Mat}lak al-Zu>b‘i>, ‚al-Ima>m al-Qushayri> wa Juhu>duhu fi H}arakah al-Tafsi>r‛, Majallah Kuliyah al-Tarbiyah li al Bana>t. Vol. 17, No.1, 2006, 11.

161

Masih dalam menjelaskan ayat kedua dari surah alFatihah, dalam fas}l yang ketiga dari keseluruhan fas}l yang ada dalam surah al-Fatihah, ia menjelaskan bahwa adanya perbedaan terhadap tingkatan orang yang memuji (al-h}a>midu>n). Pertama adalah mereka yang memuji karena telah mendapatkan nikmat dan kemuliaan, dan mereka hanya fokus terhadap kebaikan dari nikmat tersebut daripada mengetahui keutamaannya. Kedua adalah mereka yang memuji terhadap hal yang menenangkan hati mereka berupa keajaiban kelembutan Allah, tersingkapnya segala bentuk rahasia, dan menyatukan ruh mereka dalam makrifah. Adapun yang terakhir adalah merka yang senantiasa memuji Allah ketika mereka telah sampai pada tingkatan kasyaf, sehingga jelaslah sifat qadim Allah, dan tidak mengharapkan keagungan serta kemuliaan.121 Dalam menjelaskan arti dari kata al-rabb, al-Qushayri> juga mengkaji aspek bahasanya secara singkat, baginya penggunaan kata rabb ini menekankan bahwa Allah adalah yang mengatur alam ini, Ia juga yang mengatur jiwa para ahli ibadah dengan senantiasa menguatkan (al-ta’yi>d), mendidik hati mereka yang mencari kebenaran (al-t}a>libi>n) dengan (al-tasdi>d), juga mendidik ruh para ahli makrifah dengan tauhid.122 Al-Qushyari> tidak terlalu banyak mengkaji perbedaan yang terdapat dalam satu lafaz bila dikaji dari segi bahasa. Akan tetapi penjabarannya terhadap kata yang dianalisa tidak pernah terlalu jauh dari makna aslinya, bahkan ia senantiasa menjaga arti dan kemurnian katanya.123 Seperti perbedaan yang ada di antara kata al-rah}ma>n (berasal dari timbangan fa‘la>n yang diambil dari akar kata al-rah}mah)124 dan al-rah}i>m, secara umum menurutnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari kedua kata tersebut, namun dalam penjabarannya ia tetap menjelaskan arti kedua kata 121

al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1, 10. 122 al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t , Jilid 1,11. 123 Sa‘i>d Mat}lak al-Zu>b‘i>, ‚al-Ima>m al-Qushayri> wa Juhu>duhu fi H}arakah al-Tafsi>r‛, Majallah Kuliyah al-Tarbiyah li al Bana>t. Vol. 17, No.1, 2006, 12. 124 Abu> H}ayya>n al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t} (Beirut: Dar alFikr, 1993),Jilid 1, 125.

162

tersebut baik secara bahasa maupun dalam konteks tasawuf. Ia juga menegaskan bahwa terlarang untuk menggunakan kata alrah}ma>n secara mutlak tanpa disandarkan dengan kata yang lain, pendapat ini sama dengan apa yang diutarakan oleh al-Qa>simi>,125 dan menguatkan pendapatnya dengan QS. Al-Isra>’ : 110.126 Sedangkan untuk kata al-rah}i>m hal tersebut diperbolehkan. Secara bahasa ia menjelaskan bahwa, al-rah}ma>n khusus dalam bentuk nama dan umum secara makna, sebaliknya al-rah}i>m umum dalam nama dan khusus secara makna. Argumen ini berdasarkan bahwa al-rah}ma>n memberikan rezeki kepada seluruh makhluk, adapun alrah}i>m hanya berlaku untuk orang beriman saja.127 Kekuasaan Allah (al-mulk) dalam tafsirannya adalah berkaitan dengan kekuasaannya untuk menciptakan yang tidak pernah ada sebelumnya. Terkait dengan adanya perbedaan cara baca terhadap ayat Alquran, al-Qushayri> tidak membahasnya, seperti adanya perbedaan cara baca antara kata malik (tanpa ada tambahan alif pada huruf mim), dengan ma>lik (yang ada huruf alif pada mim yang merupakan bacaan ‘A>s}im dan al-Kisa>’i>).128 Secara sufi dalam pandangan al-Qushayri>, kata tersebut juga memberikan penegasan bahwa Allah mempunyai kuasa terhadap jiwa para ahli ibadah untuk selalu berkhidmah pada-Nya, juga menguasai hati para ahli makrifah dan memuliakan dengan mengetahui rahasiaNya.129 Ini menunjukkan bahwa bentuk kekuasaan Allah ini 125

Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1997), Jilid 1,224. Lihat juga Abu> H}ayyan al-Andalusi>, Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t} (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),Jilid 1, 125. 126

127

َ ‫لَّ َ َ مو ْم ُهع َّ ْم َ َ ًَّا َ ا تَ ْم ُهع فَْقلَ ُه ْماَ ْمَااُه ْماُه ْم َ َوَ َْم َ ْم م َ َ تم‬ ‫مِبَا َو ْمْقَ م ْقَ ْم َ َذم َ َ م اًل‬

‫ُه مي ْم ُهع‬ ‫م‬ ‫َوَ ُهَاف ْم‬

al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1,11. Lihat juga dan bandingkan dengan, Toby Mayer, ‚Shahrastani on the Arcana of the Qur’an : A Preliminary Evaluation‛, Journal of Quranic Studies, Vol. 7, No. 2, 2005, 87. 128 Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1997), Jilid 1,227. Lihat juga, Abu> al-Qa>sim Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn Juzy al-Kalbi>, al-Tashi>l li ‘Ulu>m al-Tanzi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1995), Jilid 1, 46. 129 al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1,12.

163

memiliki dampak positif untuk para hambanya. Hal itu berbeda dengan penjelasan tafsir pada umumnya. Itu dikarenakan pandangan ini berasal dari nalar isha>ri> yang dimiliki oleh alQushayri>, yang hal itu diperoleh melalui proses mujahadah untuk meningkatkan kualitas keimanan. Ini juga berlaku bagi sufi lainnya.130 Selanjutnya dalam konteks kemahakuasaan Allah, dalam pandangan al-Qushayri> Allah memiliki otoritas dalam memutuskan siapa saja di antara hambanya siapa yang berhak mendapatkan ganjaran baik dan buruk. Penjelasan ini berkaitan dengan tafsiran terhadap ayat ke 3 dari surah al-Fatihah (ma>lik alyawm al-di>n), bahwa Allah memberikan balasan kebaikan kepada hambanya disebabkan oleh kemuliaan-Nya, bukan semata-mata apa yang telah mereka kerjakan.131 Selanjutnya dalam menafsirkan ayat iyya>ka na‘budu wa iyya>ka nasta‘i>nu, secara zahir ibadah merupakan suatu bentuk menghinakan diri (kepada Allah), akan tetap secara hakikat ibadah merupakan suatu hal yang penuh keagungan dan keindahan, maka makna ibadah baginya adalah mengerahkan seluruh kemampuan dan kemuliaan, dengan ibadah maka akan menjadikan seorang hamba itu mulia, karena pada hakikatnya dalam ibadah tersebut terdapat kemuliaan. Adapun meminta pertolongan (al-isti‘a>nah) memberikan kasih sayang kepada hamba dan rasa aman.132 Konsep ibadah yang ada dalam pemahaman sufi, khususnya melalui penjelasan al-Qushayri> mencerminkan betapa seorang hamba harus memiliki kinerja yang totalitas. Tampak dari sini al-Qushayri> tidak menganut paham ibadah tertenu sebagaimana kebanyakan kaum sufi, seperti konsep ibadah yang menitikberatkan pada aspek cinta, harapan, takut dan sebagainya. Al-Ra>zi> dalam tafsirnya dalam menjelaskan aspek dan hakikat ibadah, ia mengutip perkataan ahli hakikat, bahwa ibadah pada dasarnya memiliki tiga tingkatan. (1) Mereka yang beribadah yang hanya mengejar pahala dari Allah, sehingga secara tidak 130

Huseyn ‘Ali ‘Ukash, ‚al-Tafsi>r al-S}u>fi> al-Isha>ri> li al-Qur‘a>n: Manhaj al-Istinba>t} wa al-Dala>lah al-Jadi>dah‛ Majallah al-Sa>til, Vol. 17, 2008, 9. 131 al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1,12. 132 al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t , Jilid 1,12-13.

164

sadar, secara hakikat yang ia sembah adalah pahala tersebut. Ini merupakan tingkatan ibadah yang paling rendah, yang disebut sebagai ‘ibadah (2) Mereka yang beribadah, dan dengan melakukannya merasa mendapatkan kemuliaan, ini juga tidak jauh lebih baik dari kelompok pertama, karena tujuannya bukan mencari ridha Allah. (3) Mereka yang beribadah hanya karena Allah sebagai Tuhan yang menciptakan, dan pada akhirnya ini melahirkan rasa hina dan ketundukan dalam diri manusia (‘ubudiyah).133 Apa yang dijelaskan oleh al-Ra>zi> diatas, terkait pendapatnya yang ia kutip dari para ahli hakikat menuai kritikan. Kritikan tersebut lebih ditujukan pada pemahaman para sufi karena dinilai sebagai sebuah kebatilan dan dianggap menyimpang. Seperti adanya perintah dalam ayat untuk berdoa dengan rasa takut dan rakus (t}am‘a),134 ini jelas bertentangan dengan poin pertama dari derajat ibadah.135 Menilai perdebatan di atas, disini terlihat bahwa masih belum begitu jelas duduk persoalan terkait perihal ibadah tersebut. Terutama bagi yang mengkritik, pembagian tingkatan ibadah tersebut samasekali tidak bertentangan dengan ayat Alquran, sebagaimana yang disebutkan. Kritikan tersebut juga mengabaikan penjelasan al-Ra>zi> yang sangat detail tentang ibadah yang ia jelaskan, artinya krtikan tersebut hanya ditujukan pada bagian kecil yang diuraikan oleh al-Ra>zi>, dan meninggalkan sebagian lainnya. Bahkan bila ditelusuri lebih lanjut, secara retorika pembagian tersebut merupakan teguran keras bagi mereka yang dalam ibadahnya masih terdapat riya, sedangkan riya termasuk perkara syirik yang bisa menggugurkan amal seseorang. Sekaligus tingkatan tersebut sebagai anjuran untuk kita agar selalu menjaga ketulusan dan keikhlasan dalam beribadah kepada Allah. 133

al-Ra>zi>, al-Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>tih} al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr, 1981). Jilid 1, 253. 134

135

‫وَ تُهْق ْم م ُه و م ْماَ م ْق َ مص َ م ا و ْم ع و خ فاًلا وطَ ا م َّو ْم َ لَّ م َ م م‬ َ َ ‫ْم َ ْم ْم َ َ ُه ُه َ ْم َ َ اًل‬ ‫ٌري‬ َ ‫ي‬ َ ‫ْم م م‬ َ ‫ُه ْم‬

Za‘rab, Baha>’ H}asan Sulayma>n. ‚Athar al-Fikr al-S}u>fi> fi> Tafsi>r. Dira>sah wa Naqd‛. Tesis di Pascasarjana Fakultas Us}u>l al-Di>n Jurusan Tafsi>r dan ‘Ulu>m al-Qur‘a>n Universitas Ghaza, 2012, 74-76. Lihat juga, Ih}sa>n Ilahi> Z}a>hir, Dirasah fi al-Tas}awwuf (Kairo: Dar al-Imam al-Mujaddid, 2005), 72-125.

165

Ada yang sedikit berbeda ketika al-Qushayri> menafsirkan ayat selanjutnya, ‚ihdina‛ (tunjukilah kami), secara lafaz ayat tersebut diartikan sebagai permohoan kepada Allah agar senantiasa mendapatkan petunjuk dan bimbingan-Nya (al-irsha>d), namun alQushayri> mengartikannya dengan ihdina bina (tunjukilah kami dengan apa yang ada pada diri kami), apa yang diterangkan oleh al-Qushayri> ini senada dengan ungkapan yang selalu diklaim sebagai hadis, yaitu man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu136 (siapa yang mengenal dirinya maka sungguh akan mengenal Tuhannya). Orang yang mendapat petunjuk dari Allah (al-Muhdi>) menurut al-Qushayri> adalah mereka yang telah mengenal Allah, dan mendapatkan rida-Nya, serta beriman kepada Allah. Adapun jalan lurus (al-S}ira>t} al-Mustaqi>m) dalam tafsirnya adalah jalan kebenaran yang mana jalan yang ditempuh oleh para ahli tauhid yang tentunya jalan ini ditempuh sesuai dengan petunjuk yang ada dalam Alquran dan sunnah, bukan yang di dalamnya terdapat perkara bid’ah.137 al-Qushayri> menunjukkan keberpihakkannya dalam menafsirkan Alquran, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, bahwa ditemukan ada beberapa istilah yang sengaja ditujukan untuk kemuliaan ajaran tasawuf, seperti adanya istilah ahli makrifah, dan hakikat, secara tidak langsung di sini mencerminkan 136

Perkataan ini begitu popular di kalangan sufi, bahkan karena sangat populernya sebagaian orang mengira bahwa ungkapan tersebut adalah hadis Nabi. Tidak bisa dipastikan siapa yang memulai ungkapan tersebut, namun yang jelas ungkapan tersebut berlaku secara umum dalam pemahaman sufi. Ungkapan tersebut pada dasarnya adalah himbauan untuk banyak merenungi atas segala nikmat dan keutamaan yang telah diberikan Allah kepada manusia. Secara subtantif ungkapan tersebut tidak bisa dipahami secara tekstual, oleh karenanya harus hati-hati dalam memahami setiap istilah yang lahir dari ajaran sufi. 137 al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), Jilid 1, 13-14. Pendapat al-Qushayri> yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan jalan lurus ini adalah jalan tauhid yang harus sesuai dengan petunjuk Alquran, memiliki kesamaan dengan apa yang diuraikan oleh Ibn ‘Ashu>r, menurutnya jalan lurus itu adalah Islam dan Alquran. Keduanya saling berkaitan, karena dalam Alquran terkandung syariat Islam, ini menunjukkan bahwa jalan lurus dalam ayat ini adalah segala hal yang harus sesuai dengan yang ada dalam syariat Islam. Abu> al-Qa>sim Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn Juzy al-Kalbi>, al-Tashi>l li ‘Ulu>m al-Tanzi>l (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1995), Jilid 1, 47.

166

bahwa sulit sekali bagi para penafsir Alquran untuk melepaskan karya mereka dari sifat subjektifitas, akan tetapi hal tersebut tidak berarti mengurangi nilai tafsir tersebut. Ini dibuktikan dengan penjabarannya terkait ayat terakhir dari al-Fatihah ‚s}ira>t} alladhi>na an‘amta ‘alayhim‛, menurutnya mereka (him) yang diberi nikmat oleh Allah adalah para wali dan sufi. Pada penjelasan selanjutnya ia menegaskan bahwa yang mendapatkan kenikmatan itu adalah mereka yang senantiasa menjaga ketentuan syariah dan hukumnya ketika telah mencapai pada derajat hakikat, dengan tidak keluar dari batasan ilmu dan tidak pula lalai sedikit pun dari yang menjadi bagian dari syariat.138 Uraian al-Qushayri> yang terakhir ini pada dasarnya, sebuah penegasan terhadap betapa pentingya bagi seorang sufi untuk senantiasa mengikuti aturan syariat, karena hanya dengan itu akan tergolong pada mereka yang mendapat nikmat Allah. Penjabaran tersebut tentu tidak bertentangan dengan dasar Alquran yang merupakan fokus terhadap pembicaraan tentang moral prilaku dan moral bahasa.139 Berdasarkan uraian terdahulu bisa disimpulkan bahwa Al-Qushayri> dalam tafsirnya dinilai telah berhasil menuliskan dan merumuskan bentuk pembaharuan dalam tafsir Alquran yang bercorak isha>ri>, yang tidak banyak mendapatkan penolakan.140 Di bawah ini merupakan gambaran umum tentang struktur Tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri>. Uraian dalam table meliputi sumber tafsir, metode tafsir, karakteristik dan tujuan dari tafsir yang dilakukan oleh al-Sulami> dan al-Qushayri.

138

Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1,14-15. 139 Kate Zebiri, ‚Towards A Rethorical Criticism of the Quran‛, Journal of Quranic Studies, Vol. 5, No. 2, 2003, 96. 140

Sa‘i>d Mat}lak al-Zu>b‘i>, ‚al-Ima>m al-Qushayri> wa Juhu>duhu fi H}arakah al-Tafsi>r‛, Majallah Kuliyah al-Tarbiyah li al Bana>t. Vol. 17, No.1, 2006, 14.

167

Struktur Tafsir al-Sulami> Sumber Tafsir

Alquran Hadis Perkataan para sufi (yang paling dominan)

Metode Tafsir

Bi al-ishari, Menggunakan analisis kebahasaan (sangat minim)

Validitas Tafsir

Karakteristik dan Tujuan Tafsir

Sesuai dengan ajaran sufi yang diyakini

Menyebarkan paham tasawuf Menonjolkan sisi esoterik tafsir Alquran

Struktur Tafsir al-Qushayri> Sumber Tafsir

Alquran Hadis Perkataan para sufi (tidak mendominasi)

Metode Tafsir

Bi al-ishari, Menggunakan analisis kebahasaan Menafsirkan dengan Alquran (minim)

Validitas Tafsir

Karakteristik dan Tujuan Tafsir

Sesuai dengan ajaran sufi yang diyakini, dan tidak tercampur dengan mazhab fikih tertentu

Menekankan perpaduan antara aspek eksoterik dan esoterik dalam menafsirkan Alquran

al-Sulami> sebagaimana yang dijelaskan, bahwa ia tidak menafsirkan seluruh ayat Alquran, melainkan hanya sepertiga dari Alquran.141 Berikut ini daftar tafsir yang dilakukan oleh al-Sulami> dalam H}aqa>’iq al-Tafsi>r:142 Daftar di bawah ini juga menunjukkan 141

Terkait dengan penjelasan kenapa al-Sulami tidak menafsirkan seluruh ayat Alquran, lihat kembali pada bab V tulisan ini halaman 134. 142 Daftar tablet tentang ayat yang ditafsirkan al-Sulami merujuk kepada penelitian T. Mairizal tentang al-Sulami, yang sebelumnya juga telah diuji kembali akurasinya. Lihat, T. Mairizal, “Penafsiran Dengan Pendekatan Isyari (Kajian Terhadap Kitab Haqaiq At-Tafsir Karya Abu „Abdirrahman As-Sulami [325-412 H])”, Tesis di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, 30-38.

168

bahwa salah satu bukti bahwa al-Sulami menafsirkan ayat melalui pendekatan sufi adalah dengan tidak beraturannya cara ia menafsirkan ayat. Adakalanya ia tidak menafsirkan Alquran sesuai urutan mushaf. Ayat yang lebih awal letaknya, terkadang ia tangguhkan tafsirannya. Sebagai contoh, lihat manakala ia menafsirkan QS. Ali Imran ayat 188 setelah ayat 191.

No 1 2

Surah Al-Fatihah Al-Baqarah

3

Ali ‘Imra>n

4

Al-Nisa>’

5

Al-Ma>’idah

6

Al-An‘am

Ayat 1-7 1-11,15,17,20-21, 28-31,34-35,37, 4041,44,45,46,-54-55,60-61,71,73,8182,85,88,96,106,112,115,117-118,124125,82,131,128,132,144,154,,152,158,62,172 , 152,208,165,177,185-186,197199,135,187,200-201,210,212,219220,222,245-246,249,253,255-257,259260,258,264,270,269,272,268,273,281,284285 1-9,13-15,17-19,26,28,3032,35,37,39,46,49,53-55,60-61,64-68, 7374,79-80,76, 83-85,92,9697,101,103,102,106,123,128,131,134135,138-139,133134,145,150,152,154,159,160161,164,167,169,171,175176,172,179,180,186-187,190-191,188,193196,128,200 1,5,8-9,11,17,19,26-29,31,34,32,3637,41,43,48-49,51,54,56,58-60,63,46,62,6466,80,69,75,79,82-83,89,97,9495,98,100,102-103,105,139,107-108,113114,118,120,125,128129,131,135,6,136,139,146148,153,162,172,174 1-8,12-13,15-16,18,20,23,22,27,35, 41-42, 44,48,54,56,63,67,69,71,80,74,82-83,8788,92,97,93,101,109-110,116-119 1-2,3,9-10,54,13-14,17-19,25,28,30,32,3436,38-42,46,48,50,54,57,59,62,64-65,67,6973, 75-77,79,82-83,87,9095,97,96,98,101,104-106,108,110,114116,119-122,124-127,133,147,149,151-

169

Jumlah 7 93

83

72

44 87

7

Al-A’raf

8

Al-Anfa>l

9

Al-Tawbah

10

Yunus

11

Hud

12 13 14

Yusuf Al-Ra‘d Ibra>hi>m

15

Al-Hijr

16

Al-Nah}l

17

Al-Isra>’

18

Al-Kahf

19

Maryam

153,159-162,164-165 1-3.6-8,11-12,16-17,20-23,25-27,29,3133,36,43,46,50,52,5458,62,69,64,68,82,94,9697,99,102,105,114,118,120,124,128130,134,137,140,142-146,148,150,152,155160,167,169,172,175-176,178182,192,201,204-205 (ayat 185,188189,196,198-199 terdapat dala,m surah alAnfal) 1-2,4-5,7-8,10,9,11, 17,21-25,2730,33,37,40,42,46,48,53,60,63-64,6667,69,72,74. 3,10,13,18,21-25-26,28,31,33-34,36-38,4041,43,46,44,48,51,54-55,5960,67,71,73,75,77,76,78,88,9193,98,100,103-105,108-109,111-112,115119,122-124,126,128 1-7,10,12-14,22-23,25-26,20-32,34-36,3942-44,49,53,55-58,6162,64,67,82,84,89,94,9697,100,99,101,103,105-109 1,3,5-6,9-10,15,17-18,20,2324,27,29,34,37,40,43,45-47,49,55-56,6970,73-74,80,79,81-84,86,88,90 2-17,19-22,24-28,29,33,36-39,41-43 1,3,5,7-8,10-12,19,22-28,30,32,3438,42,45,48,52 2-3,9,16-17,19,21-24,26,28-31,35,3940,42,45,47-50,54,72,75,85,87-89,93,97-99 1-2,7-9,12,16,18,21,30,32,3637,40,42,44,48,,51,53-54,62,66,68-69,7172,74-75,77-78,83-84,89-91,95-97,99100,102,110-111,114,119-123,125-128 1,3,7,5,8-10,12-14,16,18-19,21,23-25,2930,34-37,41,44-45,52,54-55,57,59,61-62,6465,67,70-72,74,78,80-81,83-85,100101,105,107,109,110-111 1-2,5-9,11,13-15,17,10,18-19,21,23-24,2831,46,33,44-47,49-51,55,57,59,65-70,7778,84,88,101,103-104,107-110 1-7,9,8,12-13,15,17,21,23,25-26,29-32,3839,41-43,46-52,54,56,59,62-63,65-67,7172,81-82,76,85,93,96

170

86

34 57

49

37 34 28 36 53

53

51 48

20

T}aha

21

Al-Anbiya>’

22

Al-H}ajj

23

Al-Mu’minu>n

24

Al-Nu>r

25

Al-Furqa>n

26

Al-Shu‘ara>’

27

Al-Naml

28

Al-Qas}as}

29

Al-‘Ankabu>t

30

Al-Ru>m

31 32 33

Luqma>n Al-Sajadah Al-Ah}zab

34 35 36

Saba>’ Fat>}ir Yas>in

37

Al-S}a>ffa>t

38

S}a>d

39

Al-Zumar

1,3,5-7,9-14,21-23,25,27,33-34,36-37,3944,46-47,55,67-68,72,81-86,99,106,108111,114-115,117-118,121-124,131,132 1,3,7,10,11,18,22-23,27-28,35,37,40,4243,47,50-51,66,69,78-79,83-84,8790,94,101,103,105-107,110 1-3,5,11-12,18,23-28,30,32,3437,45,38,46,52,54,56,58,62-63,66,72-74,7778 1-3,8-10,12,14-15,17,27,29,44,51-53,55,5762,71,73-76,84,91,96,99101,106,111,115,116 1-2,5,14-15,21-22,26,30-33,35-37,3940,44,46,48,52,54,61-63 1-3,7,20,23-24,26,28,31,43-45,48-49,5354,58-59,61-67,70-76 1,3,5,10,12-13,15,18,21,23-24,27-28,26,4142,50-51,52,77-84,87,89,111,114,126127,136,153,193-194,205,212,214,216219,227,220 4,6,10-11,8,15-16,1819,21,26,29,34,40,48,50,52,59,60-64,69,7374,80,88,91 4-5,7-10,12,14,17-18,22-26,29-31,3434,41,46,51,55-57,60-61,68,73,75-80,8385,88 1-6,10,13,17,21,26,29,27,41,43,45,48-49,5657,59-60,65,69 4,7,9-10,12,17,20,19,26,29-31,3941,43,46,50,52-54,60 2,3,6,12-15,17,19,20,22,27,31,34 4-5,7,13,15-18,21,24,27,30 1,3-4,6-8,15,21,13-23-24,31,33,3539,41,46,50-51,55-56,70-72 1,3,10,13,12,23,37,39,46 1-3,6,10,15,32,34-35 1-2,7,9,11-12,22,26,33,36,55,57-58,61,65, 68-70, 78,82 4,6,40,55,84,88-89,99,102-103,106108,105,110,143,161-162,164-166 1-2,6,17,20,22-26,29-30,33,35-36,39,44,7173,78,83,87 3,7-11,17-18,21-22,28,33,38,29,30,36,4243,41,44-45,47,49,52-54,56,60-67,69,71,7475

171

59 36 34 38 25 32 46

29 40 24 22 16 12 30 9 9 20 21 22 40

40

Gha>fir

41

Fus}s}ilat

42

Al-Shura>’

43

Al-Zukhru>f

44 45 46 47 48 49 50 51 52 53

Al-Dukha>n Al-Jathiyah Al-Ah}qa>f Muh}ammad Al-Fath Al-H}ujara>t Qa>f Al-Dhariya>h Al-T}u>r Al-Najm

54 55

Al-Qamr Al-Rah}ma>n

56

Al-Wa>qi‘ah

57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76

Al-H}adi>d Al-Muja>dilah Al-Hashr Al-Mumtahinah Al-S}aff Al-Jumu‘ah Al-Muna>fiqu>n Al-Tagha>bun Al-T}alaq Al-Tah}ri>m Al-Mulk Al-Qalam Al-H}aqqah Al-Ma‘a>rij Nuh al-Jinn Al-Muzammil Al-Muddaththir Al-Qiya>mah Al-Insa>n

1-4,7,13,11,14-19,28,37-38,41,43-44,5152,55-56,60-61,64-65,77-78,80-81,85 1-2,4-6,10,12,15,17,19,22,24-26,30-31,3337,39,42,44,49,51,53 1-2,7,9 11-13,15,18-19,20,2325,28,3036,41,43,47,51-53 2,4,13,15,28,25,31-33,35-36,41,4344,55,59,67-72,80,89 3-4,10,8,21,29,32,40,42,51,56-58 3-4,9,13,15,17-19,21,23,26,28-29,37 3,6,9,13,15,20,26,29-31,35 1,3,24,7,11,14,17,19,30-31,33,36,38 1-4,8-11,18,25-29 1-3,5-15,17 1,8-9,16,18,21-22,29,32-33,35,37-38-45 15,5-6,9,17,19-22,24,26,49-50,54-56,58 1-2,4-5,23,26,35,27,48 1-4,8-12,14,18,17,23-24,29,37,3940,42,43,48,57 1,3,5,10,14,17,49,52,55 1-4,9,11,17,19,2627,29,31,46,56,60,70,22,78 1,3,8-11,13,4,19,24-26,30,33,61-62,7375,77,79,83-85,88-91,95-96 1-4,6-7,10-14,16,15,19-25,27-28 6-7, 10,9, 11,19,21,22 2,8,7,9,13-14.19,21,23 1,4,7,10,12 2,5-6,8,19,13 4,9,11 1,7,8,9 2-3,9,11,14,16-17 1-3,10,12 1,3,6,8-9,12 1-5,10,12,14-15,28,26,29 1,3-4,34,42,44,48-49 1-2,11,12,18-24,38-39,44,48,50-51 4-7,19-22,32,24,33,39,44 7,10,12,19,23 1-2,7,3,13,16,18,21-22,26,28 1-2,4-9,19-20 1-4,6,31-32,34-36,38,52,56 2,13-14,17,20-23,29 1-2,5-7,17,21,31

172

32 27 23 24 13 14 11 13 14 15 14 17 9 23 9 18 29 22 8 10 5 6 3 4 7 5 6 12 8 12 13 5 11 10 13 9 8

77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113

Al-Mursala>t Al-Naba>’ Al-Na>zi‘a>t ‘Abasa Al-Takwi>r Al-Infit}a>r Al-Mut}affifi>n Al-Inshiqa>q Al-Burj Al-T}a>riq Al-A‘la> Al-Gha>shiyah Al-Fajr Al-Balad Al-Shams Al-Layl Al-D}uh}a> Al-Sharh} Al-Ti>n Al-‘Alaq Al-Qadr Al-Bayyinah Al-Zalzalah Al-‘A>diya>t Al-Qa>ri‘ah Al-Takat>hur Al-‘As}r Al-Humazah Al-Fi>l Quraish Al-Ma‘un Al-Kawthar Al-Ka>firun Al-Nas}r Al-Masad Al-Ikhla>s} Al-Falaq

8,15,35-36,46 26,31,35-36, 38 16-19,24-25,37-38,40 1-2,5-7,11,17,20,23,25,34-35,37-38,40 13-14,19,26,28-29 5-8,10-11,13-15,19 1,4,9,14-15,22-24,26-28 1-2,9,15,25,13 1-3,13-16,22 15 1-3,6-7,9,13-14,16-17 2-3,8,13,17,19,18,20-21,25,22 1-3,22,27 1-2,4,8,11-15 7-10,15 4-6,13,17,21 1-11 1-2,4,6-8 1-4 1,6-7,19 1,4-5 5,8 6-7 6-7 6-7 1,3,5,7 1-3 2-3.6 5-7 1,3 1,3 1 1-4 1-2

5 5 9 15 6 10 11 6 8 1 10 15 5 9 5 6 11 6 4 4 3 2 2 2 2 4 3 3 3 2 1 2 1 4 2

114

al-Nas

4-5 Jumlah

2 2197

Apa yang dilakukan oleh al-Sulami> dan al-Qushayri> menunjukan bahwa tafsir Alquran tidak hanya berhak ditafsirkan 173

secara eksoterik semata, melainkan harus juga diimbangi dengan pendalaman esoterik, sebagai kritik fungsional terhadap tafsir eksoterik yang mengabaikan aspek spiritual tafsir Alquran. Esoterik secara umum adalah pemahaman yang dilahirkan melalui proses intuitif, akan tetapi bila mengacu kepada beberapa data yang ada, kenyataannya adalah adanya pemahaman yang mengklaim bahwa di setiap kata memiliki makna batin itu bukan saja terjadi secara intuitif, tetapi juga ikut dipengaruhi oleh factor eksternal lainya. Seperti yang dijelaskan oleh ‘Aqi>l ‘Akmush ‘Abd bahwa kondisi budaya dan sosial seorang sufi melahirkan kebutuhan untuk menemukan metode dalam berfikir dan menguraikan, juga metode dalam melakukan interkasi terhadap teks Alquran dan memahaminya. Pada dasarnya fokus yang dilakukan oleh ‘Aqi>l ‘Akmush ‘Abd adalah analisa perkembangan bahasa yang terjadi pada kaum sufi, karena baginya bahasa merupakan hasil dari proses berfikir yang tidak berhenti pada batas tertentu.143 C.

Isyarat dan Simbol. Telaah terhadap Huruf al-Muqat}t}a‘ah

Isyarat atau simbol merupakan bagian internal dalam sejarah tafsir sufi, sebagaimana yang disebut oleh Habil bahwa ada empat lapisan yang mengisi ruang simbolisme dalam tafsir sufi.144 Tentunya simbol atau isyarat ini hanya bisa diperoleh melalui nalar intuitif yang secara teori tidak dapat dibuktikan, namun kebenarannya adalah suatu hal yang sulit untuk ditolak. Titus menyebutkan bahwa konsep batin atau esoterik dibangun di atas dua hal pokok; simbol secara umum dan kecenderungan banyaknya arti dalam satu kata.145 Sebagai sebuah tradisi, esoterik tidak 143

Abid, Aqi>l Akmu>sh. ‚Tat}awwur Dala>lah al-Mufradah al-Qur’a>niyah ‘inda al-S}u>fiyah Lat}a>’if al-Isha>ra>t Namu>dhujan‛, Majallah al-Ba>hi>th, Vol. 2, Isuue 1, 2002, 4-5. 144 Abdurrahman Habil, ‚Tafsir-tafsir Esoterik Tradisional Al-Quran‛ dalam Seyyed Hossein Nasr (ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Bandung: Mizan, 2002), 32. 145 Titus Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine (Indiana: World Wisdom, 2008 ), 32.

174

hanya menjadi usul dalam tafsir sufi, melainkan sudah menjadi bagian dari ilmu Alquran yang dikonstruk dalam doktrin sufi. Meskipun keabsahan ini masih diperdebatkan bahkan mengarah sampai kepada penolakkan.146 Harus diakui tafsir sufi berdiri dengan keberanian serta kemandiriannya dalam konsep tasawuf dan pemahaman esoteriknya. Meskipun demikian, harus diakui juga bahwa kreativitas sufi dalam tafsir -berdasarkan sejarahnyajuga tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh keilmuan dan realitas sosial yang berkembang saat itu, sebagaimana kesimpulan Andreas Christmann, bahwa sifat tafsir tersebut sangat terkait dengan kondisi dimana penafsir berada.147 Huruf–huruf al-muqat}t}a‘ah 148 dalam klasifikasi yang diuraikan oleh Habil menempati urutan terakhir, artinya bisa saja ini menunjukkan bahwa pemaknaan sufi terhadap makna batin ayat bukan menjadi inti dari ajaran mereka akan tetapi tidak bisa 146

Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>h}i>th fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n ( Kairo: Dar alRashi>d, tt), 356-357. S}a>lih} ‘Abd al-Fatta>h} al-Kha>lidi>, Ta‘ri>f al-Da>risi>n bi Mana>hij al-Mufassiri>n (Damaskus: Dar al-Qalm, tt), 511-515. 147 Andreas Christmann, ‚The Form Is Permanent, but the Content Moves: The Qur’anic Text and Its Interpretation in Mohamad Shahrour’s alKita>b wa ‘l Qur’a>n‛, Die Welt des Islams, New Series, Vol. 43, issue 2, 2003, 171. 148 Huruf al-muqatta‘ah dalam kajian ilmu Alquran termasuk dalam dua pembahasan, pertama ia ditemukan dalam kajian fawa>tih} al-suwar dan kedua ia menjadi bagian penting dari ayat-ayat yang tergolong ke dalam mutasha>biha>t. al-Suyuti dalam al-Itqan menetapkan bahwa di antara hal yang termasuk ke dalam ayat mutashabihat adalah awa>’il al-suwar, ini dikarenakan sifat dari sebagian dari awa>’il al-suwar ini yang masih misterius kebenarannya yang merupakan rahasia dari Allah. Sebagian besar sahabat seperti Ibn ‘Abba>s lebih memilih untuk tidak menafsirkan apa yang ada pada awa>’il al-suwar, seperti sikapnya untuk memilih menyandarkan tafsir alif lam mim dan hal yang seupa kepada Allah, karena hanya Allah yang mengetahui hakikat ayat tersebut. Pada riwayat yang lain ditemukan bahwa Ibn ‘Abba>s menafsirkan kaf ha ya ‘ain s}ad dengan mengatakan bahwa huruf al-kaf menunjukan sifat kemuliaan Allah (kari>m), dan al-ha>’ terambil dari al-hadi (yang member petunjuk), huruf al-ya’ berasal dari haki>m (maha bijaksana), huruf ‘ayn dari ‘ali>m (maha mengetahui), dan al-s}a>d berasal dari s}a>diq (maha benar). Hal tersebut diikuti oleh sebagian tabi‘in yang mencoba menafsirkannya, seperti perkataan al-D}aha>k, dalam menafsirkan alif lam mim s}ad, menurutnya ayat tersebut berarti ana Allah alS}a>diq. Bahkan menurut riwayat yang ada makna dari huruf tersebut berbedabeda meskipun berasal dari orang yang sama. Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Maktabah Dar al-Tura>th),Jilid 2, 21-30.

175

ditinggalkan karena lebih menyempurnakan pengetahuan dan keimanan mereka terhadap kalam Allah.149 Dalam studi ilmu Alquran, ini menjadi bagian tersendiri yang ada dalam bab khusus, bisa ditemukan dalam kajian al-mutasha>biha>t dan fawa>tih} alsuwar. Sebagaian ada yang mencoba memberikan tafsir terhadap al-muqat}t}a‘ah dan sisanya tidak mengomentari karena menilai hal tersebut adalah merupakan rahasia Allah dan tidak satu manusia yang mengetahuinya. Sebaliknya menurut Abu> H}asan sebagaimana yang dikutip oleh al-Sulami>, pada dasarnya Alquran memberikan suatu pengajaran melalui huruf al-muqat}t}a‘ah yang terdapat dalam pembukaan surah (awa>’il suwar).150 Perdebatan ini memiliki landasan qurani, yang dipicu oleh perbedaan pandangan dalam memahami ayat ke 7 dari surah Ali ‘Imran yang dijelaskan pada bab dua dari tulisan ini. Huruf-huruf tersebut antara lain adalah; (1)Alif Lam Mim (terdapat dalam surah al-Baqarah, Ali ‘Imra>n, al-‘Ankabu>t, al-Ru>m, Luqma>n, al-Sajadah), (2) Alif Lam Ra (terdapat dalam surah Yunu>s, Hu>d, Yusu>f, Ibra>hi>m, al-H}ijr), (3) Alif Lam Mim Ra (hanya terdapat dalam surah al-Ra‘d), (4) Kaf Ha Ya ‘Ayn S}ad (hanya terdapat dalam surah Maryam), (5) T}a> ha> (hanya terdapat dalam surah T}a ha), (6) T{a Sin Mim (terdapat dalam surah alShu‘ara>’, al-Qas}as}), (7) T}a> Sin (hanya terdapat dalam surah alNaml), (8) Ya Sin (hanya terdapat dalam surah Yasin), (9) S}ad (hanya terdapat dalam surah S}ad), (10) H}a Mi>m (terdapat dalam surah Gha>fir, Fus}s}ilah, al-Shu>ra>, al-Zukhru>f, al-Dukha>n, alJa>thiyah, al-Ah}qa>f), (11) Qaf (terdapat dalam surah Qaf), (12) Nun (terdapat dalam surah al-Qalm). Sesuai dengan pemaparan di atas, menunjukkan jenis huruf al-muqat}t}a‘ah yang ada dalam Alquran adalah sebanyak 12 jenis, dan bila dihitung secara keseluruhan yang ada dalam Alquran maka jumlahnya adalah sebanyak 28.151

149

Lihat juga, Abou Bakr, Omaima. ‚The Symbolic Function of Metaphor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shustari‛, Alif: Journal of Comparative Poetics, No. 12, 1992, 43-50. 150 al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 294. 151 Penghitungan ini dilakukan sesuai dengan urutan mushaf usmani yang dimulai dari surah al-Baqarah sampai surah al-Nas.

176

Berdasarkan polemik terhadap ayat tersebut, maka otoritas sufi memilih untuk bersikap berbeda dengan mayoritas ulama. Mereka meyakini bahwa selain Allah, manusia mampu untuk mengungkap rahasia, atau pesan yang tersirat dari ayat mutasha>biha>t. Tentunya ini berlaku tidak untuk semua orang, melainkan hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah dalam pengetahuan dan kedekatannya dengan Allah. Ini lah yang menjadi landasan pokok dalam tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri>. Tidak hanya mutasha>biha>t yang dapat diktetahui dalam praktik tafsir sufi, seluruh ayat memiliki potensi makna batin yang dapat diketahui melalui pendekatan esoterik sufi. Al-muqat}t}a‘ah dalam tafsir sufi memiliki keistimewaan dari ayat yang lainnnya. Ini terjadi lantaran al-muqatta‘ah dianggap sebagai ayat Alquran yang mengandung rahasia Allah di dalamnya,152 ini juga yang membedakan untuk orang awam dan orang yang memiliki kelebihan khusus dalam memahami Alquran. Sebagaimana penjelasan dari al-Qushayri> bahwa, al-muqat}t}a‘ah ini pada akhirnya menghasilkan isyarat tertentu yang hanya diperuntukan dan dipahami oleh orang yang memiliki kemampuan khusus.153 Dalam menyikapi permasalahan al-muqatta‘ah, alQushayri> lebih memilih bersikap sebagai penengah meskipun pada akhirnya tafsir al-Qushayri> terhadap al-muqatta‘ah lebih condong ke sufi. Akan tetapi sikap tersebut tidak menafikan bahwa adanya pendapat yang mengatakan bahwa kondisi kongkrit dari almuqatta‘ah tersebut hanya diketahui oleh Allah. Baik al-Sulami> maupun al-Qushayri memiliki pandangan yang sama terhadap tafsir al-muqatta‘ah. Khususnya dalam menafsirkan ayat alif lam mim. Keduanya memafsirkan bahwa ayat tersebut merupakan simbol atau isyarat terhadap keesaan Allah (al-wah}daniyah), dengan rincian bahwa alif mencerminkan keesaan Allah (alah}adiyah), lam isyarat dari kemaha lembutan Allah, sedangkan mim adalah simbol terhdap kekuasaan atau kerajaan Allah. 152

al-Qushayri>, 2007), Jilid 1,16. 153 al-Qushayri>, 2007), Jilid 1,17.

Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah,

177

Tafsiran al-Sulami> ini juga merujuk kepada Ja‘far, yang mengatakan hal yang sama.154 Jika demikian, keterangan tersebut bisa dijadikan sebagai sanggahan terhadap kritikan yang mengatakan bahwa tafsir sufi al-Sulami ini telah terkontaminasi dengan pemikiran Syiah, hanya karena banyak merujuk kepada Ja‘far. Karena kutipan yang berasal dari Ja‘far sama sekali tidak berkaitan dengan ajaran Syiah, melainkan hanya sebatas penjabaran tentang konsep ketuhanan. Al-Qushyari> menambahkan tafsirnya, bahwa rahasia di balik alif lam mim tersebut tidak hanya berbicara tentang keesaan Allah. Huruf alif bagi al-Qushayri>, merupakan isyarat terhadap keseriusan dalam beribadah yang hanya ditujukan untuk Allah semata, sebagaimana huruf alif yang tidak berkaitan dengan huruf mana pun dan selalu dalam keadaan yang istiqamah. Tidak hanya memfokuskan ibadah kepada Allah, tetapi juga menjaga hati yang hanya fokus kepada Allah.155 Penjelasan al-Qushayri> tersebut memberikan penegasan bahwa betapa penitngnya peran seorang hamba dalam menjalankan ritual ibadahnya untuk sampai kepada derjata yang mulia, dengan kata lain ini juga mengisyaratkan bahwa aspek ibadah dalam sufi merupakan elemen yang sangat penting dalam proses mengenal, mendekatkan diri, serta mendapatkan hakikat dari Allah. Secara tidak langsung keterangan ini adalah jawaban terhadap pertanyaan- pertanyaan seputar prilaku seorang yang meninggalkan ibadah karena telah sampai pada maqam tertentu. Tidak semua huruf al-muqat}t}a‘ah ditafsirkan oleh alSulami>, termaktub dalam tafsirnya, bila huruf itu sama ia tidak melakukan tafsir, hanya ada beberapa huruf yang ia tafsirkan kembali itu pun sifatnya pengulangan, seperti tafsir alif lam mim yang ada dalam surah al-Baqarah dan Ali ‘Imra>n. Bahkan khusus untuk alif lam mim ra, ia sama sekali tidak menafsirkan. Ini bisa jadi ia menganggapnya sebagai ulangan dari alif lam mim (ana 154

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1,46-47, dan 86. 155 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1,17.

178

allah a‘lam) dan alif lam ra (ana allah ara>),156 sehingga dengan demikian ia pun tidak menafsirkannya. Adapun keterangan atau penjelasan al-Sulami> terhadap hal tersebut tidak ditemukan dalam tafsirnya. Bila al-Sulami> tidak menafsirkan seluruh huruf almuqatta‘ah, maka sebaliknya al-Qushayri> mengkaji bahkan menjabarkan rincian terhadap huruf-huruf tersebut, meskipun huruf tersebut disebutkan secara berulang tetap saja ia memberikan tafsir yang berbeda. Seperti penjabarannya terhadap alif lam ra dalam surah Yunus dan Hud. Dalam surah Yunus, ia merincikan bahwa setiap huruf merupakan kunci (mifta>h}) dari nama Allah, al-alif menunjukan Allah, al-la>m kunci untuk al-lat}i>f, dan al-ra>’ menunjukan makna al-rahi>m.157 Menurutnya ayat tersebut bermakna sumpah, Allah bersumpah dengan menggunakan huruf-huruf tersebut untuk menunjukkan bahwa kitab tersebut benar diperuntukan kepada manusia pada hari kiamat nanti.158 Dalam surah Hu>d, al-Qushayri> memberikan penjabaran yang berbeda, menurutnya al-alif dalam surah Hu>d, merupakan isyarat terhadap keesaan Allah dalam hal rububiyah, al-la>m isyarat terhadap kelembutan Allah kepada Ahli tauhid, dan al-ra>’ berupa isyarat terhadap rahmat Allah yang sempurna kepada manusia.159 Dalam segi makna, ia juga menekankan bahwa al-muqat}t}a‘ah merupakan bentuk sumpah (qasm), yang artinya ‚Aku (Allah) bersumpah dengan kemahaesaanku dengan rububiyah dan bersumpah dengan kemahalembutannku untuk mereka yang mengenalku dengan keesaan, dan bersumpah dengan rahmatku terhadap seluruh manusia‛. Kemudian dilanjutkan dengan ayat selanjutnya, artinya sumpah yang terdapat dalam al-muqat}t}a‘ah 156

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 46 dan 294. 157 Redaksi ayat tersebut adalah

‫اا ْما م‬ ‫م‬ ‫اا ْم مَ م‬ ‫ت ْمل َ اَ َ ُه‬ َ

158

Lihat juga, M. Zaky Ibrahim, ‚Oaths in the Qur’a>n: Bint al-Sha>t’is Literary Contribution‛, Islamic Studies 48:4, 2009, 476-485. 159 Redaksi ayat tersebut adalah

‫م‬ ‫اا ُه ْم م ْم ا َاتُه ُه ُهَّ فُه ِّص لَ ْم م ْم َ ُه ْمو َ م ٍة َخم ٍة‬ ‫كَ ٌري‬ َ َ 179

merupakan penguat untuk ayat setelahnya.160 Tafsir alif lam mim juga berbeda ketika al-Qushayri> menafsirkan surah al-Ru>m, kali ini setiap huruf dalam pandangannya mengisyaratkan tentang kondisi hamba yang sedang berproses menuju Tuhannya, dari al-alif sampai al-mi>m, menjelaskan kondisi dari masing-masing hamba. Penajabaran terhadap alif lam mim yang berbeda juga ditemukan dalam surah al-Sajadah161 Dalam tafsirnya terhadap surah Yu>suf , yang diawali juga dengan huruf al-muqat}t}a‘ah, al-Qushayri> tidak menjelaskan makna dari huruf tersebut, akan tetapi fokus pembicaraannya lebih diarahkan rahasia di balik penggunaan huruf tersebut. Intinya, tujuan al-muqat}t}a‘ah yang sangat sulit dipahami itu agar menumbuhkan rasa cinta yang mendalam dalam diri seorang hamba, sehingga untuk mengetahui makna itu akan melakukan upaya untuk semakin meningkatkan kualitas spiritualnya, karena hal tersebut tidak dapat dijangkau oleh akal.162 Artinya, secara sederhana dapat dipahami kehadiran al-muqat}t}a‘ah yang sangat sulit dipahami artinya merupakan isyarat agar kita lebih mengenal dan mendekatkan diri pada Allah, karena hanya dengan itu kita akan dapat memahaminya. Bagi al-Qushayri> setiap huruf al-muqat}t}a‘ah memiliki arti dan isyarat khusus, sebagaimaa yang diterangkan sebelumnya bahwa al-muqat}t}a‘ah dihadirkan untuk menambahkan kualitas kecintaan dan diperuntukan hanya bagi orang-orang tertentu yang diizinkan untuk memahaminya. Ketika menafsirkan al-muqat}t}a‘ah yang ada pada awal surah Maryam ia juga menguraikannya dengan sangat terperinci. Rinciannya tersebut tidak jauh dari mengutarakan bahwa di balik setiap huruf merupakan isyarat dari nama Allah, bersama perbuatan-Nya,163 dan khusus dalam surah T}a> ha>, arti dari al-muqat}t}a‘ah tersebut merupakan isyarat terhadap 160

al-Qushayri>, 2007) Jilid 2 , 3 dan 33. 161 al-Qushayri>, 2007) Jilid 3, 3 dan 23. 162 al-Qushayri>, 2007) Jilid 2 ,64. 163 al-Qushayri>, 2007) Jilid 2 ,234.

Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah,

180

Muhammad, yang juga menunjukan terhadap benda tertentu, kondisi kejiwaan, dan tentang hari kebangkitan, seperti tafsirnya terhadap al-muqat}t}a‘ah pada surah al-Shu‘ara>’, al-Naml, al-Qas}as} dan Ya> si>n.164 Dari pemaparan di atas, tampak bahwa tafsiran sufi alQushayri bersifat kondisional, dalam artian bilamana huruf almuqat}t}a‘ah tersebut berkaitan dengan aspek ketuhanan maka isyarat yang ada dalam ayat tersebut berkaitan dengan sifat ketuhanan, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sebaliknya jika ayat setelah huruf al-muqat}t}a‘ah tersebut tidak memiliki kaitan dengan aspek ketuhanan, maka hasil tafsirnya cenderung kepada hal-hal yang kiranya memiliki relasi dengan ayat tersebut, adakalanya berhubungan dengan benda, kondisi jiwa dan sebagainya. Penjelasan di atas menunjukan bahwa, meskipun tafsir sufi identik dengan isha>ri> atau esoterik, dalam kasus lain masih bersifat kondisional, menyesuaikan dengan pembicaraan ayat setelahnya. Ini membuktikan masih adanya sisi rasional dalam tafsir sufi, meskipun sepenuhnya didukung oleh pendekatan isha>ri> atau esoterik. Dalam konteks yang berbeda, Nazar Shakur melihat bahwa pada dasarnya cara penyampaian sufi yang seolah-oleh keluar dari teks kalimat (ayat), lebih merupakan pemahaman tambahan untuk kalimat tersebut.165 D. Tafsir Sufi dalam Konsep Ajaran Tasawuf 1. Taubat Taubat yang terambil dari bahasa Arab al-tawbah,166 merupakan salah satu ajaran penting dalam kajian tasawuf. Konsep ini juga terambil dari Alquran, yang bagi sebgaian kelompok dijadikan argument bahwa perilaku sufi di dalam ajarannya, tidak 164

Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007), Jilid 2, 252, 396, 409, dan 429, Jilid 3, 74 165 Nazar Shaku>r, ‚Tawz}i>f al-Ist}ila>h}a>t al-S}u>fiyah fi al-Shi‘r alShushtari‛, Ada>b al-Ra>fidi>n, Vol. 64, 2012, 103. 166 Secara bahasa tawbah berarti rujuk, kembali atau kembali dari kemaksiatan pada ketaatan, atau kembali dari jalan yang jauh ke jalan yang lebih dekat kepada Allah. Ani>s Ibra>hi>m , al-Mu‘jam al-Wasi>t} (Kairo: Dar alMa‘a>rif, 1972), Jilid 1, 90.

181

hanya dalam konsep sabar, bahkan secara totalitas merupakan suatu hal yang legal, dan bersumber pada ajaran yang dibawa oleh Rasul dan sahabatnya.167 Kata ini terulang dengan segala bentuk derivasinya sebayak 81 kali dalam Alquran.168 Ini juga menunjukkan bahwa permasalahan taubat adalah hal yang ugen. Bahkan sebagian para tokoh tasawuf menjadikan taubat ini sebagai maqam atau pondasi awal bagi mereka yang ingin mendekatkan diri dengan Allah hingga sampai kepada derajat yang mulia. Taubat juga merupakan salah satu dari nama Allah, altawwa>b, yang artinya adalah maha penerima taubat. Ada banyak definisi tentang taubat, setiap ulama memiliki pandangan masing terhadap pengertian taubat ini. Setiap definisi berpengaruh terhadap aplikasi atau cara melakukan taubat. Hal yang sama juga berlaku pada kaum sufi. al-Sulami> memiliki pandangan tersendiri dengan taubat tersebut, menurutnya taubat adalah hal yang sangat mendasar dalam masalah ibadah, oleh karena itu ia mendefinisikan taubat sebagai melemahkan jiwa serta membunuhnya dengan cara meninggalkan segala bentuk keserakahan hawa nafsu, dan memutuskan dari segala keinginan.169 Banyaknya definisi tentang taubat memberikan pemahaman kepada kita, bahwa hal tersebut merupakan bagian penting dalam proses menyucikan dan mendekatkan diri kepada Allah, sehingga tidak keliru bila ia dijadikan dasar atau ajaran pokok dalam tasawuf.170 Di dalam taubat juga dituntut untuk melepaskan diri dari segala keinginan yang buruk, dengan demikian keadaan orang yang sedang dalam maqam taubat, akan mendapatkann cinta dari Allah. Dalam Alquran Allah mengatakan bahwa ‚Ia mencintai orang yang

167

Liya ‘Izz al-Di>n, ‚al-S}u>fiyun wa al-Tas}awwuf fi Maghrib al-‘Arabi> H}atta al-Qarn al-Ra>bi‘‛, Majallah Kuliyah ‘Ulum al-Islamiyah, Vol.7, No. 14, 2013, 2. 168 Muchlis M. Hanafi, Tafsir Al-Qur’an Tematik. Spiritualitas dan Akhlak (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2010 ), 236. 169 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 59. 170 Liya ‘Izz al-Di>n, ‚al-S}u>fiyun wa al-Tas}awwuf fi Maghrib al-‘Arabi> H}atta al-Qarn al-Ra>bi‘‛, Majallah Kuliyah ‘Ulum al-Islamiyah, Vol.7, No. 14, 2013, 11.

182

bertaubat dan membersihkan diri‛171 Kecintaan Allah kepada orang yang bertaubat karena mereka senantiasa melepaskan diri dari keiniginan yang buruk, sedangkan kecintaan Allah terhadap orang yang menjaga kesucian dikarenakan keinginan dan kesungguhan mereka yang baik. Kecintaan Allah kepada mereka yang bertaubat berlaku selama mereka senantiasa melakukan taubat, begitu juga kecintaan Allah kepada orang yang menjaga kesucian, berlaku manakala ia konsisten menjaga kesucian tersebut. al-Sulami> menambahkan dengan mengutip perkataan Abu> Zayd, bertaubat dari perbuatan dosa nilainya adalah satu, sedangkan bertaubat dari ketaatan, maka nilainya adalah seribu.172 Sepintas apa yang dikatakan oleh Abu> Zayd sangat sulit dipahami, karena bertaubat dari dosa adalah hal yang dipahami, tapi bertaubat dari ketaatan butuh penjelasan lebih lanjut. Ini lah kiranya yang membedakan konsep taubat yang ada dalam kaum sufi dengan yang lainnya. Secara umum penjelasan tentang arti dan makna taubat dalam pandangan al-Qushayri> tidak jauh berbeda dengan apa yang dijabarkan oleh al-Sulami>, hanya ia menambahkan bahwa hakikat taubat adalah keluar atau menuju Allah secara totalitas, yang mana seseorang dituntut untuk meninggalkan segala kebutuhan jiwanya dan memfokuskan diri hanya kepada Allah.173 al-Sulami> dan al-Qushayri> keduanya tidak menjelaskan tentang perihal taubat secara tuntas. Sebagaimana sebagian ulama ada yang menjelaskan hakikat taubat disertai dengan cara bertaubat, syarat taubat, taubat yang diterima,174 dan

171 172

QS. al-Baqarah (2): 222

‫ي َّْق َّ م َ َوُهم ُّد‬ ‫م َّو لَّ َ ُهم ُّد‬ َ ‫ي ْم ُه َ َ ِّص م‬

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 74. 173 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1, 47. 174 ‘Abd al-‘Azi>z Muh}ammad al-Salma>n, Mawa>rid al-Z}um’a>n li Duru>s

al-Zama>n . Khutb, wa H}ikam wa Ah}ka>m wa Qawa>‘id wa Mawa>‘iz wa Ada>b wa Akhlak Hisa>n (Riyad: tp, 2004), Jilid 1, 66-67.

183

tingkatan taubat. Seperti yang dilakukan oleh al-Ghaza>li> dalam Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, dan Ibn Qayyim dalam Mada>rij al-Sa>liki>n.175 2. Sabar Sabar juga merupakan hal yang penting dalam tasawuf. Selain taubat sebagai pondasi dasar dalam menjalankan ritual ibadah, maka sabar merupakan elemen yang penting dalam mencapai tujuan, yaitu makrifah.176 Dalam Alquran sabar terulang sebanyak 103 kali yang tersebar di 45 surah, 40% dari keseluruhan surah Alquran yang berjumlah 114, di 93 ayat. Ini menunjukan betapa pentingnya sabar dalam kehidupan manusia. Bahkan beberapa ulama seperti al-Ghaza>li>, Ibn al-Qayyim, dan al-Makki> memberikan perhatian khusus terhadap tema sabar yang ada dalam karya mereka.177 Adakalanya kata sabar berdiri sendiri, selebihnya dikaitkan dengan kata lain, seperti perintah untuk senantiasa meminta pertolongan melalui sabar dan shalat.178 Ayat tersebut mengindikasikan betapa pentingnya posisi sabar, sehingga dikaitkan dengan shalat, bahkan ia didahulukan dari kata shalat. Sabar secara harfiah adalah tindakan untuk menahan diri dari hawa nafsu.179 Dari sini juga ada yang memahami bahwa sabar merupakan sikap mengontrol diri untuk tidak melakukan

175

Ibn Qayyim al-Jawziyah. Mada>rij al-Sa>liki>n bayna Mana>zil Iyya>ka Na‘budu wa Iyya>ka Nasta‘inu (Kairo: Muassasah al-Mukhta>r, 2001) Jilid 1, 163-266. 176

‘Abd al-Huseyn Barghash ‘Abd ‘Ali> wa Fahd al-Asdi>, ‚Madu‘at alal-Sufiyah al-‘A>t}ifah‛, Majallah Abh}a>th al-Ba}srah (al-‘Ulu>m alInsa>niyah), Vol. 38, No. 3, 2013, 162. 177 Muchlis M. Hanafi (ed), Tafsir Al-Qur’an Tematik. Spiritualitas dan Akhlak (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2010 ), 305. 178 QS. al-Baqarah (2): 45 179 Ibn Jari>r al-T}abari> , Tafsi>r al-T}abari> Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wil A>y al-Qur’a>n (tt: Hir,tt )Jilid 1, 617. Lihat juga, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995). 973, Ibn Faris, Mu‘jam Maqa>yis al-Lughah, Jilid 3, 257 Tajrubah

184

perbuatan maksiat, dan juga dalam melaksanakan segala kewajiban.180 Al-Qushayri> menerangkan dalam tafsirnya bahwa sabar ini dalam tasawuf memiliki kedudukan yang sangat penting, sehinnga mereka mencapai derajat ma‘iyah allah (bersama Allah), tidak hanya itu orang yang sabar juga mendapatkan doa dari Tuhannya.181 Melihat dari penjabaran al-Qushayri> tentang sabar, terlihat tidak begitu spesifik, sehingga yang ditemukan adalah uraiannya yang begitu singkat. Ini terjadi dengan adanya dua kemungkinan; pertama singkatnya penjelasan yang diuraikan oleh al-Qushayri> menunjukkan cirri tafsir esoterik yang tidak butuh kepada banyak penjelasan, kedua, bisa saja minimnya informasi tersebut lantaran tema ini telah dibahas olehnya dalam karangan yang lain, seperti al-Risa>lah al-Qushayriyah. Tidak jauh berbeda dengan apa yang ditemukan dalam Lat}a>’if al-Isha>ra>t, al-Sulami> melalui H}aqa>’iq al-Tafsi>r tidak begitu memberikan uraian yang cukup memadai tentang hakikat sabar, kecuali menjelaskan kondisi orang yang sabar itu adalah mereka yang berperilaku tidak menentang apa yang telah terjadi sebagai bagian dari takdirnya. Bahwa Allah menguji hambanya dengan dua hal, pertama menguji hambanya dengan kenikmatan agar tampaklah rasa syukur mereka, kedua menguji para hamba dengan cobaan, agar jelaslah kesabaran mereka.182 3. Tawakal Secara sederhana tawakal merupakan istilah ruhaniyah yang berkaitan dengan keyakinan seseorang kepada Allah dan tentunya memiliki relevansi dengan tauhid. Tawakal juga berarti memutuskan segala ketergantungan hati kepada selain Allah, dan

180

Abu> Muh}ammad al-H}usayn Ibn Mas‘u>d al-Baghawi>, Tafsi>r alBaghawi> Ma‘a>lim al-Tanzi>l (Riyad: Dar al-Tayyibah, 1409), Jilid 1,89. 181 Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 1, 78. 182 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 1, 79.

185

hidup bersama Allah tanpa adanya keterkaitan dengan makhluk.183 Tawakal juga terkadang diartikan sebagai bentuk kepasrahan dan penyerahan diri seseorang kepada Allah. Tawakal merupakan pembicaraan yang mengundang banyak perhatian para ulama. Terlebih lagi mereka yang fokus terhadap mengkaji masalah spiritual. Apalagi dalam tasawuf, tawakal merupakan hal yang pokok yang mesti dipahami dan dijalani oleh seorang hamba dalam proses pendekatan dan penyucian diri kepada Allah. Dalam pandangan al-Qushayri>, sebagaimana yang dikutip oleh Sa‘i>d Mat}lak, bahwa tawakal merupakan pekerjaan hati, bahwa segala bentuk aktivitas pada dasarnya tidak menghilangkan kadar tawakal yang ada di dalam hati, setelah terlebih dahulu diisi dengan keyakinan yang kuat bahwa segalnya berasal dari Allah.184 Al-Ra>ghib al-Asfaha>ni> menjelaskan bahwa secara bahasa, al-tawkil (kata lain dari tawakal) berarti menyandarkan ats selainmu dan menjadikannya pengganti darimu.185 Adapun alQurtubi> berpendapat bahwa al-tawakkul berarti menampilkan kelemahan dan bersandar atas yang lain. Tawakal sebagaimana maqam tasawuf lainnya merupakan pekerjaan hati, ia tidak dapat dideteks melalui perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu banyak model definisi terkait tawakal ini, ada yang mengatakan bahwa tawakal adalah pasrah kepada Allah, seperti pasrahnya jenazah yang dimandikan, yang rela dibolak-balik badannya, secara singkat tawakal bisa dipahami sebagai meninggalkan usaha dan pasrah terhadap takdir yang terjadi. Tawakal juga berarti memutuskan segala ketergantungan hati kepada selain Allah, dan hidup bersama Allah tanpa adanya keterkaitan dengan makhluk.186 Selain penjabaran di atas, tawakal 183

Al-Qurtubi>, al-Ja>mi li Ah}ka>m al-Qur’a>n (Beirut Dar al-Tura>th, 1985), juz IV, 189. Bandingkan dengan H}usayn ‘Ali> Rays. ‚al-Khalwah fi> Fikr al-S}u>fi> al-Isla>mi>‛. Majallah al-Diya>li> li al-Buhu>th al-Insa>niyyah. Issue 44, 2010. 747. 184 Sa‘i>d Mat}lak al-Zu>b‘i>, ‚al-Ima>m al-Qushayri> wa Juhuduhu fi H}arakah al-Tafsi>r‛, Majallah Kuliyah al-Tarbiyah li al Bana>t. Vol. 17, No.1, 2006, 9. 185 Al-Raghib al-Asfahani, Mu‘jam Mufrada>t al-Afa>z} al-Qur’a>n (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), 353. 186 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 2,333.

186

juga disamakan dengan, rid}a.> 187 Karena tawakal akan sulit terwujud manakala tidak disertai dengan rasa rid}a> dari seorang hamba. Oleh karena sebagai imbalannya bagi mereka yang bertawakal maka mendapatkan perlindungan dari Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qushayri>, Allah yang mencukupi segala kebutuhannya.188 Dalam memberikan pengertian tentang tawakal, al-Sulami> banyak mengutip pendapat para tokoh sufi sebelumnya, seperti al-Junayd, Muh}ammad Ibn al-Fad}l, dan sebagainya. Konsep tawakal yang dijabarkan oleh al-Sulami> tidak memiliki perbedaan yang jauh dengan yang telah ada dalam konsep tasawuf sebelumnya, seperti pengertian tawakal yang merupakan bentuk ketenangan hati baik dalam keadaan memiliki atau pun kehilangan, tawakal juga berarti mengikutsertakan sikap untuk senantiasa bersyukur dan rida serta senantiasa mentadaburi ciptaan Allah.189 4. Rida}> Sebagaimana konsep yang telah dijelaskan sebelumnya, ridha dalam ajaran tasawuf termasuk ke dalam hal yang pokok, seperti dalam us}u>l al-tis‘ahnya Abu> T}a>lib al-Makki>.190 Rid}a> atau ridha dalam bahasa Indonesia, memiliki pengertian luas di antaranya untuk menunjukkan sikap hati yang mampu menerima segala bentuk keputusan yang berasal dari Allah. Ia bisa juga dikatakan mirip dengan sikap tawakal pada sisi kepasrahannya. Namun bagi kaum sufi antara rida dan tawakal adalah sesuatu yang berbeda. Secara bahasa ridha berasal dari bahasa Arab, yang secara umum memiliki makna yang beragam tergantung dengan huruf muta‘addinya. Jika kata ridha berkaitan dengan ‘alayhi atau 187

Ibn Qayyim al-Jawziyah. Mada>rij al-Sa>liki>n bayna Mana>zil Iyya>ka Na‘budu wa Iyya>ka Nasta‘inu (Kairo: Muassasah al-Mukhta>r, 2001) Jilid 1, 522-523.

188

Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 3, 328. 189 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 2,333. 190 ‘Abd al-Huseyn Barghash ‘Abd ‘Ali> wa Fahd al-Asdi>, ‚Madu‘at alTajrubah al-Sufiyah al-‘A>t}ifah‛, Majallah Abh}a>th al-Ba}srah (al-‘Ulu>m alInsa>niyah), Vol. 38, No. 3, 2013, 162.

187

‘anhu, maka memiliki arti orang yang senang, puas dan rela. Dengan demikian sikap ridha ini mencerminkan menerima suatu perkara dengan senang hati tanpa ada rasa kecewa, sebagaimana yang diuraikan oleh al-Qushayri>.191 Namun bila kata tersebut digunakan oleh Allah, maka mempunyai arti Allah memberinya rahmat. Al-Sulami> menambahkan bahwa ridha Allah itu berupa pertolongan dan taufiq.192 Selanjutnya jika kata rida dikaitkan dengan fihi atau bihi maka memiliki makna menerima, menyetujui dan merasa puas.193 Kata ridha dalam Alquran memang tidak ditemukan, akan tetapi dari kata dasarnya rad}iya-yard}a>, dengan segala kata jadiannya terulang sebanyak 73 kali dalam Alquran.194 Sekilas perihal rida ini memiliki kesamaan dengan ikhlas, yakni dalam hal merelakan sesuatu hal dengan lapang dada. Suatu hari Fud}ayl Ibn ‘Iyad ditanya tentang persoalan antara perbuatan yang ikhlas dengan perbuatan yang benar. Ia menjawab bahwa kedua hal tersebut harus ada dalam beramal, ikhlas semata hanya ditujukan kepada Allah, sedangkan benar amal tersebut harus sesuai dengan ajaran rasul.195 Melihat penjabaran di atas, dapat dipahami bahwa kedudukan ikhlas berada pada sebelum pekerjaan dilakukan, dan tujukan hanya kepada Allah, adapun rida, sikap rela dan ketulusan terhadap apa yang sedang dijalani atau telah terjadi. Al-Sulami> menjelaskan rida> sebagai suatu tolak ukur kekuatan ilmu pengetahuan dan kedalaman tingkatan makrifah seseorang, rida juga sebagai suatu keadaan yang senantiasa ada untuk menemani seorang hamba baik di dunia dan di akhirat, ia juga berarti sebagai menerima segala ketatapan dengan bahagia.196 191

Al-Qushayri>, Lat}a>’if al-Isha>ra>t (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007) Jilid 3, 440. 192 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 2,412. 193 Muchlis M. Hanafi (ed), Tafsir Al-Qur’an Tematik. Spiritualitas dan Akhlak (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2010 ), 287-288. 194 Al- Raghib Al-Asfahani, Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-Fikr, t.th),203. 195 Ah}mad Fari>d, al-Bah}r al-Ra>’iq fi> al-Zuhd wa al-Raqa>’iq (Jeddah: Maktabah al-S}ah}a>bah, 1991), 13. 196 Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 2, 411-412.

188

Mengutip pendapat Abu> Bakr al-Razi>, al-Sulami menjelaskan adanya tiga tingkatan orang yang rida. Pertama, mereka yang ridha terhadap ketetapan Allah ketika itu terjadi, dan kedua adalah mereka yang rida ketika putusan tersebut telah ditetapkan.197 Melihat penjabaran di atas, yang secara keseluruhan konsep-konsep tasawuf tersebut merupakan atau berkaitan dengan hati. Artinya kedudukan atau posisi hal tersebut, seperti sabar, tawakal dan sebagainya merupakan bagian dari pekerjaan hati, yang tidak dapat diukur tingkat kebenarannya. Ini menunjukkan bahwa peran hati (qalb) bagi para sufi adalah sesuatu hal yang sangat penting, karena segala sesuatu bermula dari kualitas hati, termasuk keimanan di dalamnya.198 D. Validitas Tafsir Sufi Salah satu yang menjadi bagian penting dari epistemologi adalah terkait dengan validitas. Validitas ini secara definisi diartikan sebagai salah satu cara untuk mengukur sejauh mana pengaruh dan kebenaran suatu yang sedang dikaji. Adapun yang dimaksud dengan validitas tafsir di sini adalah menguji sejauh mana tingkat kebenaran tafsir Alquran yang dihasilkan oleh tokoh sufi, khususnya dalam hal ini adalah al-Sulami> dan al-Qushayri>. Dalam teorinya, setidaknya ada tiga teori yang memiliki kaitan dengan validitas yang khususnya dikaitkan dalam kajian ini yaitu melihat dan mengukur validitas tafsir sufi al-Sulami> dan alQushayri>. Ketiga teori itu adalah ; teori koherensi, teori korespodensi, dan teori pragmatisme.199 Teori–teori di atas merupakan teori popular dalam hal menguji validitas sebuah ilmu pengetahuan. Meskipun demikian tidak ada salahnya jika bila ketiga teori itu digunakan untuk menguji suatu kebenaran tafsir. Mengingat bahwa tafsir Alquran adalah wilayahnya relatif dan 197

Al-Sulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001), Jilid 2,413. 198 ‘Abd al-H}useyn Barghash ‘Abd ‘Ali> wa Fahd al-Asdi>, ‚Madu‘at alTajrubah al-S}u>fiyah al-‘A>t}ifah‛, Majallah Abh}a>th al-Basrah (al-‘Ulu>m alInsa>niyah), Vol. 38, No. 3, 2013, 161. 199 Lihat, Bob Hale dan Crispin Wright (ed), A Companion to The Philosophy of Language (Oxford: Blackwell Publisher, 1999), 309-311.

189

tidak absolut, berbeda dengan Alquran yang mengandung kebenaran pasti. Berdasarkan sifat relatif tafsir Alquran tersebut, dalam hal ini dilakukan uji validitas tafsir yang dilakukan oleh al-Sulami> dan al-Qushayri>. Uji validitas itu meliputi hasil tafsir dan sejauh mana tingkat keberhasilan dalam menyampaikan pesan yang ada dalam Alquran. Tentunya uji validitas tersebut tidak keluar dari tiga teori yang disebutkan sebelumnya. Ada beberapa alasan kenapa diperlukannya meninjau validitas tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri>. Pertama, melihat dan mengingat fungsi dari tafsir Alquran adalah sebagai penjelas, oleh sebab itu perlu dilihat sejauh mana hasil pemikiran al-Sulami> dan al-Qushayri> dalam menyampaikan pesan yang ada dalam Alquran. Apakah itu bertentangan dengan tradisi tafsir atau sebaliknya, tafsir mereka dapat diterima dan dijadikan hujjah. Kedua, faktor dari kedua mufasir. Al-Sulami> dan al-Qushayri> merupakan tokoh sufi, dan sekaligus penggagas tafsir esoterik dalam wilayah tafsir. Dengan demikian adalah hal yang pas untuk melihat sejauh mana pengaruh tasawuf dalam tafsir yang ditulis oleh mereka berdua. Ketiga adalah faktor relatif yang dihasilkan oleh tafsir Alquran. Relatifnya hasil dari tasfir Alquran ini membuka ruang untuk dilakukan uji validitas, apakah telah sesuai tafsir tersebut, atau malah telah terjadi penyimpangan, sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya. Keempat, konsistensi yang diterpakan oleh al-Sulami> dan al-Qushayri> dalam tafsirnya, yang meliputi cara penjabaran dan pendekatan tafsir yang digunakan. 1.

Teori Koherensi

Secara definisi teori koherensi ini memberikan penjelasan bahwa sebuah tafsir dianggap benar bila hasil tafsir tersebut sesuai dengan proposisi sebelumnya dan konsisten menerapkan metodologi yang diterapkan oleh seorang mufasir. Teori ini menegaskan bahwa standar kebenaran itu terletak pada hubungan internal antara pendapat atau keyakinan itu sendiri. Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, bahwa yang menjadi tolak ukur tafsir

190

itu dianggap benar adalah jika terdapat konsistensi logis dengan proposisi yang diterapkan sebelumnya.200 Melihat standar teori koherensi yang digunakan di atas, penulis melihat bahwa tafsir yang diterapkan oleh al-Sulami dan al-Qushayri dapat diukur tingkat kebenarannya berdasarkan teori tersebut. Ini dapat dinilai dari kata kunci yang digunakan dalam teori tersebut, yaitu konsistensi dalam penerapan metode yang dibangun oleh kedua mufasir tersebut. Meksipun demikian, penerapan teori ini juga tidak lepas dari kelemahan. Kelemahan tersebut adalah teori ini akan membenarkan hasil suatu tafsir, meskipun secara umum terdapat beberapa kesalahan. Pembenaran ini terjadi lantaran, teori ini lebih mengedapankan aspek konsistensi. Artinya teori ini secara mendalam belum mampu membedakan antara kebenaran yang konsisten dan kesalahan yang konsisten. Konsistensi yang diterapkan oleh al-Sulami> dan alQushayri> meliputi pemilihan dan penggunaan pendekatan sufi dalam menafsirkan Alquran. Baik al-Sulami> dan al-Qushayri>, keduanya memiliki kesamaan dalam memahami bahwa ada pesan yang tersurat di balik zahir ayat. Konsisntensi al-Qushayri> juga terlihat ketika ia selalu memberikan uraian secara bahasa terhadap suatu kata secara singkat, sebelum ia menjelaskan makna ayat tersebut secara hakikat. Hal serupa juga dilakukan oleh al-Sulami>, konsistensi al-Sulami> sangat terlihat dalam hal rujukan. Ia selalu memulai tafsirnya dengan terlebih dahulu merujuk kepada para sufi yang lebih senior darinya. Namun al-Sulami> tidak selamanya konsisten dalam menafsirkan Alquran. Dalam satu kasus ia terlihat meninggalkan konsistensinya dalam melakukan tafsir terhadap Alquran. Seperti dalam masalah menafsirkan Alquran, yang mana tidak semua surah ia berikan tafsirannya secara lengkap. Tercatat hanya al-Fatihah yang merupakan satu-satunya surah ia tafsirkan secara lengkap. Tidak hanya itu, al-Sulami> juga menafsirkan Alquran secara acak meskipun dalam satu surah, sehingga sedikit membingungkan bagi yang membaca tafsirnya.

200

Khalid ‘Uthman al-Sabt, Qawa>‘id al-Tafsir : Jam‘an wa Dira>satan (Mamlakah al-Su‘udiyah: Dar Ibn ‘Affa>n, 1997), Jilid II, 794.

191

2. Teori Korespondensi Dalam teori korespondensi ini, standar yang digunakan dalam menguji kebenaran suatu tafsir adalah sejauh mana hasil tafsir tersebut memiliki kecocokan dengan fakta ilmiah yang ada dilapangan. Pada dasarnya teori ini sangat cocok jika digunakan untuk mengukur kebenaran tafsir yang memiliki corak atau berdasarkan analisis ilmu pengetahuan, yang dikenal dengan tafsir ilmi.201 Suatu pendapat mengatakan bahwa salah satu hal pokok dalam teori ini adalah suatu proposisi dianggap benar jika terdapat suatu fakta yang memiliki kesesuaian dengan apa yang diungkapkannya.202 Pendapat lain memberikan penjelasan kebenaran yang ada dalam teori korespondensi ini merupakan suatu kesesuaian antara pernyataan suatu fakta dengan keadaan lingkungan yang sedang ditafsirkan. Penjelasan di atas menekankan bahwa hal penting dalam teori ini adalah hasil tafsir harus memiliki kesesuaian dengan realita yang terjadi. Konsep ini memiliki kesamaan dalam aliran empirisme yang ada dalam kajian filsafat. Bila menggunakan teori ini (teori korespondensi) untuk mengukur kebenaran tafsir sufi, yang diterapkan oleh al-Sulami> dan al-Qushayri> rasanya adalah hal yang sulit. Mengingat sasaran dari teori ini adalah hal-hal yang bersifat bisa diuji secara langsung dan memiliki kaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun tafsir sufi adalah tafsir yang dibangun dan dibentuk dengan nalar intuitif, yang mana sangat sulit untuk melacak kebenarannya jika harus diuji sesuai dengan standar dan pola pengujian pada teori ini. Dengan demikian penulis melihat bahwa ini merupakan salah satu kelemahan dari teori ini. Yaitu melakukan penolakan terhadap satu hasil tafsir bila tidak sesuai dengan realita. Padahal kenyataannya realita dan ilmu 201

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2012), 83. 202 Dagobert D. Runes (ed), Dictionary of Philosophy, Article Truth New Jersey (T.tp, t.p, 1963), 321. Lihat juga, Bob Hale dan Crispin Wright (ed), A Companion to The Philosophy of Language (Oxford: Blackwell Publisher, 1999), 314.

192

pengetahuan akan selalu berkembang, oleh sebab itu hasil tafsir yang pada saat ini bisa jadi benar karena sesuai dengan realita dan ilmu pengetahuan, pada masa yang akan datang akan menjadi salah, karena tidak lagi sesuai dengan realita dan ilmu pengetahuan pada saat itu. Sulitnya menguji atau mengukut tingkat kebenaran tafsir sufi dengan menggunakan teori ini bukan berarti tafsir sufi adalah sesuatu hal yang keliru dan tertolak dengan sendirinya. Melainkan hal tersebut lebih terkendala oleh faktor sumber dan pendekatan yang diterapkan dalam tafsir sufi, berupa intuitif atau lebih dikenal dalam kelompok sufi sebagai isha>ri>. Sumber tersebut sangat sulit dibuktikan secara empiris, karena hal tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan realita, melainkan berhubungan dengan tingkat spiritual seorang sufi. 3.

Teori Pragmatisme

Dalam teori ini, kebenaran atau suatu proposisi dianggap benar bila ia berhasil memberikan kepuasan, yang digambarkan secra bermacam-macam oleh perbedaan pendukung dan pendapat.203 Ada beberapa poin penting dalam teori ini. Pertama, teori ini menegaskan suatu asumsi bahwa kebenaran tafsir bukan suatu hal yang final. Kedua, teori ini sangat menghargai hasil mutakhir dari perkembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, teori ini menghasilkan sikap yang kritis. Oleh karena itu, bila teori ini digunakan dalam mengukur kebenaran tafsir, hasil dari tafsir itu dianggap benar bila secara empiris mampu memberikan solusi bagi problem kemanusiaan.204 Teori ini dalam pemahamannya bila dikaitkan dengan tafsir Alquran, akan sangat mendukung paham yang mengatakan bahwa hasil dari tafsir Alquran adalah bersifat relatif dan tentatif. Tentunya paham seperti ini sangat sulit diterima bagi kelompok yang lebih menerima hasil tafsir sebagai suatu kebenaran yang mutlak, yang tidak boleh berubah, apalagi mengikuti 203

Lihat, Harold H. Titus, Living Issues in Philosophy : An Introductory Text Book (New Delhi: Eurasia Publisshing House, 1968), 64. 204 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer , 298.

193

perkembangan zaman. Dalam teori pragmatis ini, tafsir atau hasil dari suatu tafsir akan selalu berubah-ubah, sesuai dengan keadaan mufasir dan metode serta pendekatan apa yang sedang digunakan. Berdasarkan teori pragmatis ini, praktik tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri> pada dasarnya sepakat untuk menerima dan melakukan perubahan terhadap sifat dan metode tafsir itu sendiri. Padahal pola tafsir yang sedang berkembang saat itu adalah didominasi oleh tafsir dengan menggunakan periwayatan yang berasal dari Nabi Saw. Ini terlihat ketika keduanya melakukan hal yang serupa dalam tafsir mereka, yaitu memasukkan unsur-unsur sufi dalam uraian tafsir mereka. Tidak hanya itu, mereka juga menggagas suatu pendekatan baru dalam wilayah tafsir (pada saat itu) yang dikenal dengan istilah isha>ri>. Tampaknya baik al-Sulami> dan al-Qushayri> memahami betul bahwa kebenaran dari tafsir Alquran itu relatif dan tentatif, tergantung sejauh mana kemampuan mufasir dalam menangkap dan memahami pesan baik yang tersurat maupun tersurat dalam ayat Alquran. Harus diakui bahwa tafsir sufi yang dibangun oleh kedua mufasir ini sekiranya hanya mampu memberikan solusi pada konflik keruhanian atau spiritual dalam proses ubudiyah kepada Allah. Ini juga yang menjadi kendala ketika ingin menguji atau mengukur tingkat kebenaran tafsir sufi dengan menggunakan teori pragmatis. Karena asumsi dasar dari teori ini adalah hasil tafsir secara empiris mampu memberikan solusi untuk masalah kemanusiaan. Meskipun tasfir sufi belum mampu memberikan solusi dalam masalah kemanusiaan, namun setidaknya tafsir sufi ini berusaha dan menggagas solusi dalam masalah etika dan persoalan ubudiyah kepada Allah.

194

PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menyelesaikan penelitian dengan mengkaji secara seksama aspek dan pendekatan tafsir sufi yang ada dalam karya alSulami>, H}aqa>’iq al-Tafsi>r dan karya al-Qushayri>, Lat}a>’if alIsha>ra>t, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir sufi yang mengusung pendekatan isha>ri> atau esoterik memiliki epistemologi sendiri dan legal dalam wilayah tafsir. Pada dasarnya epistemologi tafsir sufi ini telah dibangun sejak zaman Rasul hingga pada zaman sahabat, dan pada masa setelahnya, yang diwarisi secara turun temurun dengan tradisi lisan. Artinya tafsir sufi adalah sesuatu yang legal dalam kajian keislaman. Epistemologi tafsir sufi ini meliputi; sumber tafsir, pendekatan dan metode yang digunakan dalam tafsir Alquran. Pada sisi lain, penulisan menemukan masih adanya penolakan terhadap tafsir sufi. Dalam pengamatan penulis, perihal penolakan dan kritikan yang ditujukan kepada tafsir sufi merupakan kesalahpahaman yang disebabkan oleh beberapah hal. Pertama, adanya pembacaan yang tidak komprehensif terhadap pergolakan yang dilakukan oleh kelompok eksoteris. Dalam hal ini adalah peran serta upaya ulama fikih yang menentang ajaran ekstrem tasawuf, terutama ajaran yang bekaitan dengan masalah ketuhanan dan pelaksanaan syariah. Pergolakan tersebut pada dasarnya hanya ditujukan untuk praktik tasawuf yang menyimpang, namun juga harus diakui pergolakan itu juga terjadi karena dilatarbelakangi faktor politik. Kedua, masih beredar luas sebuah paham, termasuk dalam kalangan sarjana yang senantiasa menyamakan antara tafsir sufi dengan tafsir batin. Padahal secara sumber, tujuan dan operasional, kedua tafsir ini memiliki perbedaan yang sangat jauh dan tidak memiliki kesamaan. Kecuali dalam penggunaan istilah makna batin. Tulisan ini menguatkan bahwa adanya beberapa faktor yang mendorong adanya tafsir sufi. Pertama adalah adanya dalil yang menekankan bahwa Alquran tidak hanya dipahami secara zahir semata. Dalil tersebut berasal dari Alquran dan Hadis. 195

Kedua, pengaruh paham tasawuf yang dipraktikan oleh para sufi dalam mengambil pelajaran dalam Alquran. Ketiga, terlalu sibuknya para mufasir dalam membahas kajian teks ayat Alquran yang meliputi kajian bahasa dan hukum, sehingga melupakan betapa pentingnya sisi spiritual yang terkandung dalam Alquran. Tafsir sufi pada dasarnya tidak terpengaruh oleh mazahab tertentu, selain corak tasawuf yang sangat memiliki pengaruh yang kuat terhadap tafsir sufi. Hanya dalam beberapa kasus saja tafsir sufi, khususnya di luar al-Sulami dan al-Qushayri dipengaruhi oleh paham filsafat. Adapun arah dan wilayah yang menjadi sasaran utama dalam tafsir sufi adalah pembenahan akhlak dalam hal ubudiyah kepada Allah. Karena hal yang penting dalam tafsir sufi adalah bagaimana memurnikan tauhid dan terhindar dari perbuatan syirik. Beberapa temuan yang menjadi bagian dari disertasi ini adalah; Tafsir sufi khususnya al-Qushayri> adalah tafsir yang dibangun oleh dua sisi, syariah (eksoterik) dan hakikat (esoterik). Tafsir sufi bukanlah suatu tafsir yang menolak secara mutlak penggunaan zahir ayat, sebaliknya, zahir ayat memberikan pengaruh dalam tafsir sufi, ini yang membedakan antara tafsir sufi dengan tafsir batin lainnya, yang mengklaim menggunakan pendekatan esoterik. Tafsir sufi merupakan refleksi kejiwaan dan memiliki orientasi ketuhanan, sehingga tafsir-tafsir ayat Alquran selalu dikaiktan dengan ketuhanan, tepatnya menguraiakan relasi manusia dan Tuhan. Temuan menarik lainnya adalah, bahwa tafsir sufi dalam satu hal bersifat kondisional, kondisional di sini dengan pengertian memiliki kaitan atau relasi dengan ayat setelahnya, ini khusus terjadi pada tafsir huruf al-muqatta‘ah. Ini membuktikan bahwa tafsir sufi tidak sepenuhnya murni berasal dari pendekatan esoterik, melainkan juga terdapat sisi rasional yang mempertimbangkan aspek kontek pembicaraan ayat. Ini juga yang menjadi sisi orisinal dalam tafsir sufi, khususnya untuk alQushayri. B. Implikasi Penelitian dikaji,

Kajian terhadap tafsir sufi akan selalu menarik untuk baik dari sisi sejarah perkembangannya, metode, 196

pendekatan dan analisis teks terhadap karya-karya tafsir sufi. Penelitian ini pada dasarnya merupakan bagian terkecil dalam penelitian tafsir-tafsir sufi. Terlebih lagi kajian ini hanya difokuskan untuk meneliti ulang dan mencermati gaya tafsir sufi yang dipengaruhi oleh ajaran dan konsep tasawuf. Namun meskipun demikian, penelitian ini setidaknya diharapkan mampu memberikan inspirasi dan jalan untuk penelitian selanjutnya, seperti lebih mendalami pengotakan tafsir yang cenderung didominasi oleh fikih, karena bagaimana pun juga, hegemoni fikih yang menyatu dengan kekuasaan telah melunturkan akar serat tafsir sufi. Di sisi lainnya, diharapkan adanya yang mengkaji sisi esoterik tafsir yang tidak hanya menggunakan pendekatanpendekatan yang telah ada, mungkin bisa dikolaborasikan dengan pendekatan keilmuan yang ada. Seperti pengkajian rahasia huruf al-muqatta‘ah yang memiliki relevansi dengan kajian sains, atau mampu meneliti dan mendalami tafsir sufi dari segi ilmu-ilmu Alquran, sehingga menghasilkan kerangka ilmu-ilmu Alquran yang bercorak sufi. Tentunya hal tersebut akan terwujud, bila mana dilakukan dengan metode dan pendekatan yang baik.

197

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Raof, Hussein. Schools of Qur’anic Exegesis: Genesis and Development. New York: Routledge, 2010. Abu> Zayd, Nas}r H{a>mid. Mafhu>m al-Nas} Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 2005. -------, Falsafah al-Ta’wi>l. Dira>sah fi Ta’wi>l al-Qur’a>n ‘inda Muh}yi alDi>n Ibn ‘Arabi>. Beirut: Dar al-Tanwi>r, 1993. ‘Abd al-‘Azi>z, Ah}mad Ibn. ‘Aqi>dah al-S}u>fiyyah Wah}dah al-Wuju>d alKhafiyyah. Riyad: Maktabah al-Rushd, 2003. ‘Abd al-Rah}ma>n, Uthma>n Ah}mad>. al-Tajdi>d fi al-Tafsi>r Naz}rah fi> alMafhu>m wa al-D}awa>bit}. Kuwait: al-Wa‘i al-Islami, 1965. Al-‘Ak, ‘Abd al-Rah}ma>n. Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduh. Beirut: Dar alNafa>’is, 1986. Al-Alu>si>, Abu> Thana’ Shiha>b al-Di>n al-Sayyid Mah}mu>d Afandi>. Ru>h} alMa‘a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa al-Sab‘ al-Matha>ni> . Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001. Al-Asfahani>, al-Ra>ghib. Mu‘jam Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. ‘As}i>, H}asan. al-Tafsi>r al-Qur’a>ni> wa al-Lughah al-S}u>fiyah fi> Falsafah Ibn Si>na. Beirut: al-Muassasah al-Ja>mi’iyyah al-Dira>sah, 1982. Ahmet T. Karamustafa, Sufism : The Pormative Period. California: University of California Press, 2007. Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi: Perkembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilli. Jakarta: Paramadina, 1997. Anshori, Aik Iksan. Tafsir Isha>ri: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Jila>ni. Ciputat: Referensi, 2012.

199

al-Andalusi>, Abu> H}ayya>n. Tafsi>r al-Bah}r al-Muh}i>t}. Beirut: Dar al-Fikr, 1993 Aqkul, Ah}mad. ‚al-Tas}awwuf wa Ahammiyatuh fi> H}aya>t al-Isla>m wa alMuslimi>n‛ fi> A‘ma>l Multaqi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami. Banggazi: Jami’ al-Da‘wah al-Islamiyah, 1995. Aza>d, Sayyid Muh}ammad ‘Abd al-Qadir. ‚al-Tas}awwuf kama> Yus}awwiruhu al-Kita>b wa al-Sunnah‛ fi A‘ma>l Multaqi> > alTas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami. Banggazi: Ja>mi’ al- Da’wah alIsla>miyah, 1995. Badr, ‘A>dil Mah}mu>d. Al-Ta’wi>l al-Rumzi> fi li Shat}aha>t al-S}ufiyyah. Kairo: Dar Mis}r al-Mahrusah, 2012. al-Baghawi>, Abu> Muh}ammad al-H}usayn Ibn Mas‘u>d, Tafsi>r al-Baghawi> Ma‘a>lim al-Tanzi>l. Riyad: Dar al-Tayyibah, 1409. Baldick, Julian . Mystical Islam An Introduction to Sufism. London: New York University Press, 1992. Banu>n, Ibra>hi>m Zaki>. ‚Waraqah fi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi>‛, fi> A‘ma>l Multaqi> al-Tas}awwuf al-Isla>mi> al-‘Alami. Banggazi: Jami’ alDa’wah al-Isla>miyah, 1995. Bari>r, Fais}al. ‘Aun Al-Tas}awwuf al-Isla>mi> at-T}ari>q wa Rija>l. Kairo: Maktabah Sa‘id Ra‘fat Jami‘ah ‘Ayn as-Shams, 1983. Burckhardt, Titus. Introduction to Sufi Doctrine. Bloomington: World Wisdom, 2008. al-Da>wu>di, Muhammad Ibn ‘Ali> Ibn Ah}}mad. T}abaqa>t al-Mufassiri>n. Beirut: Dar el-Kutb el ‘Ilmiyah, 2002. al-Dhahabi>, Muh}ammad H}usayn. Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000. al-Dhahabi>, Abu> ‘Abd Allah Shams al-Di>n Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn ‘Uthma>n. Siya>r A‘la>m al-Nubala>’. Beirut: Muassasah alRisa>lah, 1993.

200

Fathurrahman, Oman. Ith}a>f al-Dhaki>. Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara. Jakarta : Mizan, 2012. Fari>d, Ah}mad. al-Bah}r al-Ra>’iq fi> al-Zuhd wa al-Raqa>’iq. Jeddah: Maktabah al-S}ah}a>bah, 1991. Field, Claud. Mystics and Saints of Islam. London: Forgotten Books, 2012.

Gadamer, Hans. Truht and Method (New York: the Seabury Press, 2009. Ghulen, Fathullah. al-Tila>l al-Zumurrudiyyah Nah}wa H}ayat al-Qalb wa al-Ru>h} , ter. Ih}sa>n Qa>sim. Istanbul: Dar al-Nayl, 2006. al-Ghaza>li>, Ahmad. Sirru al-Asra>r wa Kashf al-Anwa>r. Kairo: Dar alMas}riyah al-Lubna>niyah, 1988. Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik Hingga Modern, ter. M. Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta: eLSAQ, 2006. al-Halveti,Tosun Bayrak al-Jerahi. (trs), The Book of Sufi Chivalry. Lesson to A Son of The Moment Futuwwah. New York: Inner Traditions International, 1983. Hanafi, Hasan. Al-Tura>th wa al-Tajdi>d: Min al-‘Aqi>dah Ila al-Thaurah. Libanon: Dar al-Fikr, 1988. Hanafi, M. Muchlis. Moderasi Islam. Ciputat: Lentera Hati, 2013. -------, Tafsir Al-Qur’an Tematik. Spiritualitas dan Akhlak (Jakarta: Kementrian Agama, 2010. Hanif, N. Biographical Encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East. New Delhi: Sarup and Sons, 2002. al-H}alim, Ta>riq ‘Abd. Dira>sah fi> al-Firaq al-S}u>fiyyah Nash’atuha wa Tat}awwuruha. Kuwait: Da>r al-Arqa>m, 1997.

201

Haleem, M.A.S Abdel. Understanding the Qur’an : Themes and Style. London: I.B Tauris, 1999. Harahap, Syahiri. Al-Qur’an dan Sekularisasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994. H}arbi>,

Qawa>‘id al-Tarji>h} ‘inda al-Mufassiri>n Dira>sah Naz}ariyyah Tat}biqiyyah. Riyad: Dar al-Qasam, 1996.

H}useyn.

Hikmat Ibn Bashi>r Ibn Yasi>n, al-Tafsi>r al-S}ah}i>h} Mausu>‘ah al-S}ah}i>h} alMasbu>r min al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r. al-Madinah alMunawarah: Dar al-Ma>thir, 1999. Huda, Sokhi. Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah. Yogyakarta: LKis, 2008. ul-Huda, Qamar. Striving for Divine Union. Spiritual Exercises for Suharwardi Su>fi>s. London: RoutledgeCurzon, 2003. Hulusi, Ahmed. Decoding The Quran: A Unique Sufi Interpretation. tt: tp, 2013. Al-H}usayni, Sayyid Mah}mu>d Abu> al-Fayd} al-Manu>fi. Jamharah alAwliya>’ wa A‘la>m Ahl al-Tas}awwuf. Kairo: Muassasah alHalbi , 1967. Ibrahim, Muhammad Zaki. Tasawuf Hitam Putih. Jakarta:Tiga Serangkai, 2003. Ibn al-‘Arabi, Ah}ka>m al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, tt. Ibn ‘Ashu>r, Muh}ammad T}a>hir. Tafsi>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r. Tunis: alDar al-Tunisiyah, 1984. Ibn ‘Ashu>r, Muhammad al-Fa>d}il. al-Tafsir wa Rija>luhu. Kairo: Majmu‘ al-Buhu>th al-Isla>mi, 1970. Ibn ‘Arabi>, al-Futu>ha>t al-Makkiyah. Beirut : Dar S}adr, 2004.

202

Ibn ‘At}iyah al-Andalu>si>, al-Muharraru al-Waji>z fi> Tafsi>r al-Kita>b al‘Azi>z . Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001. Ibn Kathi>r, Abu al-Fida>’ ‘Imad al-Di>n Isma‘i>l Ibn ‘Umar. Tafsi>r alQur’a>n al-‘Az}i>m. Kairo: Dar Mis}r,tt.

Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme Dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013. ‘Itr, Nur ad-Di>n. ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Damaskus: Mat}ba’ al-S}aba>h, 1996. al-Jalabi>, Al-Sami>n. al-Durru al-Mas}u>n fi> ‘Ulu>m al-Kita>b al-Maknu>n. Damaskus: Dar al-Qalam, tt al-Jawziyah, Ibn Qayyim. Mada>rij al-Sa>liki>n bayna Mana>zil Iyya>ka Na‘budu wa Iyya>ka Nasta‘inu. Kairo: Muassasah al-Mukhta>r, 2001. Michon, Jean Louis and Roger Gaetani (ed), Sufism: Love and Wisdom. Blomington: tp, 2006. Jibri>l, Muh}ammad Sayyid. Madkhal Ila Mana>hij al-Mufassiri>n. Kairo: tp, 1987. Junaedi, Luqman. Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali. Jakarta: alHikmah, 2009. Kabbani, M.Hisyam. Tasawuf dan Ihsan. Jakarta: Serambi, tt. al-Kabi>si>, Sha>kir Ni‘mah Bakri>. al-Tafsi>r al-Tah}li>li> li Shat}ri al-Awal min Su>rah Ali ‘Imra>n. Baghdad: Markaz al-Buh}u>th wa al-Dira>sah al-Isla>miyah, 2009. al-Kalbadhi, Abu> Bakr Muh}ammad. al-Ta‘arruf li Madhhab ahl alTas}awwuf. Kairo: al-Maktabah al-Kulliyyah al-Azhariyah, 1969. al-Kalbi>, Ibn Juzay. al-Tashi>l li> ‘Ulu>m al-Tanzi>l. Beirut: Dar al-Kutb al‘Ilmiyah, 1995.

203

al-Kaf, Abdullah Idrus. Bisikan-bisikan Ilahi Pemikiran Sufistik Imam al-Haddad dalam Diwan ad-Durr al-Manhum. Bandung: Pustaka Hidayah, 2003. Kaltner,

John. Introducing The Qur’an: Minneapolis: Fortress Press, 2011.

For Today Readers.

Karamustafa, Ahmet T. Sufism : The Pormative Period. California: University of California Press, 2007. al-Kha>zin, Ala>’ al-Di>n ‘Abd al-H}asan ‘Ali> Ibn Muh}ammad Ibn Ibra>hi>m Ibn ‘Amr Ibn Khar al-Kha>zin al-Musamma Luba>b alTa’wi>l fi Ma‘a>ni> al-Tanzi>l . Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2004. Mahmud, Mani’ Abd Halim. Metodologi Tafsir. Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Rajawali Pers, 2006. al-Makki>, Muh}ammad Ibn ‘Ala>n al-Siddi>qi> al-Sha>fi‘i> al-Ash‘a>ri>. Futu>h}a>t al-Rabba>niyyah ‘ala Adhka>r al-Nawa>wiyah. Libanon: Dar alIh}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>, tt. Makruf, Jamhari. ‚Radikalisme Islam di Indonesia: Fenomena sesat? Dalam Bakhtiar Effendi dan Soetrisno Hadi. Agama dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: Nuqtah, 2007. Mejelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tafsir Tematik Al-Qur’an: Tentang Hubungan Sosial antar Umat beragama. Yogyakarta: Pustaka SM, 2000. Mojadedi, Jawid Ahmad. The Biograpichal Tradition in Sufism: The T}abaqa>t Genre From al-Sulami to Jami’ . London: Curzon Press, 2001. Mubarak, Zaki. Al-Tas}awwuf al-Isla>mi> fi> al-Adab wa al-Akhla>q. Kairo: Kalima>t ‘Arabiyyah, 2012.

204

al-Mu‘allimi>, ‘Abd al-Rah}ma>n. Risa>lah fi H}aqi>qah al-Ta’wi>l . Riyad: Dar At}las al-Khud}ra>’, 2005. Nasr, Seyyed Hossein [ed]. Ensiklopedi Tematis Spritualitas Islam. Bandung : Mizan, 2002. -------, Menjelajah Dunia Modern. Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim (Bandung: Mizan, 1994. Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2010. al-Nawfal, ‘Abd al-Razza>q. Tas}awwuf wa al-T}ari>q ilayh. Beirut: Dar alKita>b al-‘Arabi>, 1975. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1994.

Palmer, Richad E. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleiermacher Dilthey Heidegger and Gadamer. Evanston: Northwestern University Perss, 1977 Qa>simi, Muh}ammad Jama>l al-Di>n, al- >. Tafsi>r al-Qa>simi> Mah}a>sin alTa’wi>l. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1997. al-Qat}t}a>n, Manna>‘. Maba>hi>th fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Riyad}: Dar al-Rashi>d, tth. Al-Qushayri>, Abu> al-Qa>sim ‘Abd al-Kari>m Ibn Hawa>zin Ibn ‘Abd alMa>lik Ibn T}alh}ah Ibn Muhammad al-Istiwa>’i> al-Ni>sabu>ri> alSha>fi‘i>. Lat}a>’if al-Isha>ra>t. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2007. al-Ra>zi>, Abu> ‘Abd Allah, Muh}ammad Ibn ‘Umar Ibn al-H}usayn Ibn alH}asan ‘Ali> al-Tami>mi> al-Bakri Al-T}abaristani>. al-Tafsi>r alKabi>r . Beirut: Dar al-Fikr, 2005. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Chicago: Bibliotecha Islamica, 1980. Renard, Jhon. Dimensi-dimensi Islam. Jakarta: Inisiasi Press, 2004.

205

Rid}a>, Muh}ammad Rashi>d. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m al-Mashhu>r bi Tafsi>r al-Mana>r . Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1999. Riyadi, Hendar. Tafsir Emansipatoris. Arah Baru Studi Tafsir Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2005. al-S}abu>ni>, Muh}ammad ‘Ali>. Al-Tibya>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: ‘Alam al-Kutb, t.th. al-Sajja>ni, Ja‘far. al-Mana>hij al-Tafsi>riyyah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. tt: Muassasah al-Ima>m al-S}a>diq,tt. al-Sabt, Kha>lid ‘Uthma>n. Qawa>‘id at-Tafsi>r Jam‘an wa Dira>sah. Kairo: Dar Ibn ‘Affan, 2001. Saeed, Abdullah. Interpreting the Quran. London & New York: Routledge, 2006. S}a>lih}, Bah}jat ‘Abd al-Wa>hid. al-I’ra>b al-Mufas}s}al li Kita>b Allah alMurattal. Oman: Dar al-Fikr, 1998. Sands, Kristin Zahra. Sufi Commentaries on the Qur’an in Classical Islam. New York: Routledge, 2006. Shahrur, Muhammad. al-Kita>b wa al-Qur’a>n, Qira’ah al-Mu‘a>s}irah. Ter. Sahiron Syamsudin dan Burhanuddin Dzikri. Yogyakarta: Elsaq Press, 2004. Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rashid Rida. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994. al-Shinqit}i>, Muh}ammad al-Ami>n. Ad}wa>’ al-Baya>n fi> Id}a>h} al-Qur’a>n bi al-Qur’a>n. Jeddah :Dar ‘Alam al-Fawa>’id, tt. Siregar, A. Rivay. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: Rajawali Pers, 2002. Syarifuddin, M. Anwar. Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan Alquran. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol.1, No.2, Desember, 2004.

206

Stoddart, William. Outline of Sufism. The Essentials of Islamic Spirituality. Indiana: World Wisdom, 2012. al-Sulami>, Abu> Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad Ibn Al-H}usayn Ibn Muh}ammad Ibn Mu>sa Ibn Halid Ibn Sali>m Ibn Zawiyya Ibn Sa‘i>d Ibn Qabisa Ibn Sarra>q al-Azdi>. H}aqa>i’q al-Tafsi>r. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2001. -------. T}abaqa>t al-S}u>fiyah wa Yali>hi Dhikru al-Niswah al-Muta’abbida>t al-S}u>fiyya>h. Beirut : Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1998. Zubadi, Sujiat dan Mohammad Muslih, Kritik Epistemologi dan Model Pembicaraan Kontemporer. Yogyakarta: LESFI, 2013. al-Suyu>t}i>, Abu> al-Fad}l ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Kama>l al-Di>n Abi> Bakr Ibn Muh}ammad Ibn Sa>biq al-Di>n, Jala>l al-Di>n al-Mis}ri. T}abaqa>t al-Muafssiri>n. Kairo: Maktabah Wahbah, 1976.

-------, al-Dur al-Manthu>r Fi> Tafsi>r al Ma’thu>r wa Huwa Mukhtas}ar Tafsi>r Tarjama>n al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 2000. al-T}abari>, Ibn Jari>r. Tafsi>r al-T}abari> Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wil A>y alQur’a>n. tt: Hir,tt . al-T}abarasi>. Majma’ al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur‘an. Beirut: Dar elMa’rifah, 1987. al-Tabataba’i, Husayn. Shi’a . Manila: al-Hidaya, 1995. al-Tilamsa>ni>, ‘Afi>f al-Di>n Sulayma>n Ibn ‘Ali>. Mana>zil al-Sa>’iri>n ila alH}aq al-Mubi>n li Ibn Isma>‘i>l al-Harawi> . Qum: Amir, 1989. al-T}iya>r, Masa>‘id Ibn Sulayma>n Ibn Na>s}ir. al-Tafsi>r al-Lughawi> li alQur’a>n. Riyad: Dar Ibn al-Jawzi, tt. al-T}u>si, al-Sarra>j . al-Luma>‘ fi Ta>rikh al-Tas}awwuf al-Isla>mi> .Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001. -------. al-Luma‘. Kairo: Dar al-Kutb al-Hadi>thah, 1960.

207

Tafsir, Ahmad (ed), Tasawuf Jalan Menuju Tuhan. Tasikmalaya: Latifah Press, 1995. al-Tha‘labi>, ‘Abd al-Rah}ma>n. al-Jawa>hir al-H}isa>n fi> Tafsi>r al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1996. Trimingham, J. Sepencer . The Sufi Orders in Islam. Oxford: At The Clarendon Press, 1970. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetraan Jender. Jakarta: Paramdina, 2001. Ushama, Thameem. Metodologi Tafsir al-Qur’an. Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif . Jakarta: Riora Cipta, 2000. ‘Uways, ‘Abd al-H}ali>m. Must}alaha>t ‘Ulu>m al-Qur’a>n. al-Mans}u>rah: Dar al-Wafa’, 2007. Valiudin, Mir. Tasawuf dalam Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. Wahid, Marzuki. Studi Al-Qur’an Kontemporer Perspektif Islam dan Barat Bandung: Pustaka Setia, 2005. al-Waki>l, ‘Abd al-Rah}ma>n. Hadhi Hiya al-S}u>fiyyah. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1987. Wayne Goddard and Stuart Melville, Research Methodology: An Introduction. Cape Town : Juta and Company Ltd, 2004. Al-Was}i>fi>, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n ‘Ali Ibn al-Sayyid. Mawan al-S}ufiyah fi D}aw’ al-Kita>b wa al-Sunnah. Iskandariyah: Dar al-Ima>n, 2006. Waugh, Winston E . Sufism: The Mystical Side of Islam. Some Developmental Aspects. tt: tp, 2005. Sarh}a>n, ‘Abd Allah ‘Abd al-Ghani.> al-Tadabbur H}aqi>qatuhu

wa ‘Alaqa>tuhu bi Must}alah}a>t al-Ta’wi>l wa al-Ist}inba>t} wa al-Fahm wa al-Tafsi>r Dira>satan Bala>ghiyatan Tahli>liyatan ‘ala Aya>tin min al-Dhikr al-H}aki>m. Riyad: Tadabbur, 2009.

208

Shadi, Abu> Ibrahi>m. Al-Raddu al-‘Ilmi> ‘ala Shubha>t fi> ‘Aqi>dah wa alTas}awwuf. Iskandariyah: Dar al-Itqa>n 2008. al-Sharif, William. Rethingking Quranic Studies. Tranet: Jerusalem Academic Publications, 2010. Siraj, Said Aqil. Ma’rifatullah Pandangan Agama-agama, Tradisi dan Filsafat. Jakarta: ELSAS, 2003. al-T}abari>, Ibn Jari>r. Tafsi>r al-T}abari> al-Musamma Ja>mi‘ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1999. Zakaria, Rafiq. Discovery of God. Mumbai: Ramdas Bhatkal, 2004. Z}ahi>r, Ih}sa>n Ilahi. al-Tas}awwuf al-Mansha>’ wa al-Mas}a>dir. Lahore: Ida>rah Tarjama>n al-Sunnah, 1986. al-Zamkhshari>, Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d Ibn ‘Umar Ibn Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn ‘Umar al-Khawa>rizmi>. al-Kashsha>f ‘an Haqa’i>q Ghawamid} al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi Wuju>h al-Ta’wi>l . Riyad: Maktabah al-‘Abi>kan, 1998. al-Zuhayli>, Wahbah. al-Tafsi>r al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari>‘ah wa al-Manha>j. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘a>s}ir, 1998. al-Zujja>j, Ma’a>ni> al-Qur’a>n wa I’ra>buhu. Kairo: Dar al-Hadi>th, 2005.

Sumber Tesis dan Disertasi Aeshah, Siti Nourah. ‚Metodologi Tafsir al-Ishari dalam Kitab Tafsir alTustari‛. Disertasi di Universiti Malaya Kuala Lumpur, 2012. Alba, Cecep. ‚Pola Penafsiran Al-Qur’an Ibnu ‘Arabi: Studi Analisis Metodologis terhadap Tafsir yang bercorak Tasawuf , Tafsir alQur’an al-Karim Ibnu ‘Arabi‛ Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

209

Ah}mad, Falah} Ibn Isma>‘il, ‚al-‘Ala>qah bayna al-Tashayyu’ wa alTas}awwuf‛. Disertasi di Prodi Pascasarjana Universitas Islam Madinah Fakultas Dakwah, 1999. Baharuddin HS, ‚Corak Tafsir Ruh al-Ma’ani Karya al-Alusi Telaah atas Ayat-ayat yang ditafsir Secara Isyarah‛. Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002. Dimyati, ‚Pembelaan Abu Nashr al-Sarra>j Terhadap Tasawuf dan Kaum Sufi dalam Kitab al-Luma’ ‛. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Junaedi, Didi. ‚Orientasi Tekstual dan Kontekstual Dalam Penafsiran Al-Qur’an (Melacak Akar Perbedaan Penafsiran Terhadap AlQur’an)‛. Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Mairizal, T. ‚Penafsiran Dengan Pendekatan Isyari: Kajian Terhadap Kitab Haqaiq at-Tafsir Karya Abu ‘Abdirrahman As-Sulami‛. Tesis di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Su’ud, M. ‚Metodologi Tafsir Al-Qur’an Revolusinoer Jamal al-Bana‛, Tesis pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kaljaga Yogyakarta, 2009. Syarif, ‚Persepektif Interaksi Antar Penganut Agama: Analisis Komparatif Tafsir Fikih dan Tafsir Sufistik‛. Disertasi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Za‘rab, Baha>’ H}asan Sulayma>n. ‚Athar al-Fikr al-S}u>fi> fi> Tafsi>r. Dira>sah wa Naqd‛. Tesis di Pascasarjana Fakultas Us}u>l al-Di>n Jurusan Tafsi>r dan ‘Ulu>m al-Qur‘a>n Universitas Ghaza, 2012. Sumber Jurnal dan Artikel Abou Bakr, Omaima. ‚The Symbolic Function of Metaphor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shustari‛, Alif: Journal of Comparative Poetics, No. 12, 1992.

210

Abid, Aqi>l Akmu>sh. ‚Tat}awwur Dala>lah al-Mufradah al-Qur’a>niyah ‘inda al-S}u>fiyah Lat}a>’if al-Isha>ra>t Namu>dhujan‛, Majallah alBa>hi>th, Vol. 2, Isuue 1, 2002.

‘Abd ‘Ali> , ‘Abd al-H}useyn Barghash wa Fahd al-Asdi>, ‚Madu‘at al-Tajrubah al-S}uf> iyah al-‘A>t}ifah‛, Majallah Abh}at> h alBasrah (al-‘Ulu>m al-Insa>niyah), Vol. 38, No. 3, 2013. Almond, Ian. ‚The Meaning of Infinity in Sufi and Deconstrutive Hermeneutics: When Is an Empty Text Infinite One?‛ Journal of The American Academy of Religion. Vol. 72, No. 1, Maret 2004. al-Awsi, ‘Ali> Ramad}a>n. ‚al-Tafsi>r al-Nabawi> fi> li al-Qur’a>n al-Kari>m wa Atha>ruh fi> Tafsi>r bi al-Ma‘thu>r‛ . Majallah al-Tura>th al-‘Alami> al-‘Arabi<, Vol. 2, 2012. Altintas, Hayrani. ‚Is There Any Similarity Between ‚al-Munkidh min ad-Dalal‛ and Discourse on Methode‛. Journal of Islamic Research. Vol. 3, No. 2, Desember 2010. Amrullah, Eva F. ‚Beyond Equity. Diskursus Sufisme, Perempuan dan Al-Qur’an‛. Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007. Amirpur, Katajun. ‚The Chaning Approach to The Text: Iranian Scholars and The Quran‛. Middle Eastern Studie, Vol. 41, No. 3, May 2005. Azra, Azyumardi. ‚Revitalisasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia‛, Indo-Islamika, Vol 1, No 2, 2012. Baharun, Hasan. ‚Epistemologi Mistik dalam Dunia Filsafat Islam‛. Jurnal Bimas Islam, Vol. 6, No.3, 2013. Baharudin, Azizan. ‚The Significance of Ṣūfī-Empirical Principles in the Natural Theology and Discourse on Science in Islam‛. Islamic Studies, Vol. 39, No.4, Special Issue : Islam and Science, Winter 2000.

211

Barlas, Asma. ‚The Qur'an and Hermeneutics: Reading the Qur'an's Opposition to Patriarchy‛. Journal of Qur'anic Studies, Vol. 3, No. 2 (2001). Basya, M. Hilaly. ‚Mendialogkan Teks Agama dengan Makna Zaman: Menuju Transformasi Sosial‛,Al-Huda, Vol. III, No. 11. 2005. Bergunder, Michael. ‚What is Esotericism? Cultural Studies Approaches and the Problems of Definition in Religious Studies‛. Method and Theory in The Study of Religion, 22, 2010. Bowering, Gerhard. ‚Tafsir Al-Qur’an Karya al-Sulami‛, Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007. -------. ‚The Major Sources on Sulami’s Minor Qur’an Commentary‛, Oriens, Vol. 35, 1996. Campanini, Massimo. ‚Qur’an and Science: A Hermeneutical Approach‛. Journal of Qur’anic Studies, Vol. 7, No. 1, 2005. Christmann, Andreas. ‚The Form Is Permanent, but the Content Moves: The Qur’anic Text and Its Interpretation in Mohamad Shahrour’s al-Kita>b wa ‘l Qur’a>n‛, Die Welt des Islams, New Series, Vol. 43, issue 2, 2003 D. Knysh, Alexander. ‚Esoterisme Kalam Tuhan: Sentralitas al-Qur’an dalam Tasawuf‛. Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007. Denish, Gurbuz. ‚The Methode of Understanding Ghazali‛. Journal of Islamic Research. Vol. 3, No. 2, Desember 2010. Fudge, Bruce. ‚Quranic Exegesis in Medieval Islam and Modern Orientalism‛, Die Welt des Islams, New Series, Vol. 46, Issue 2, 2006. Gill, Farhat. ‚The Ascetic Phase in The Development of Tasawwuf‛. Pakistan Journal of Histori and Culture, Vol. XXXII, No.1, 2011.

212

Green, Nile. ‚Defending the Sufis in Nineteenth Century Hydebard‛. Islamic Studies. Vol. 47, Autumn 2008, Number: 3. Hadi, Syofyan. ‚Negara Islam Indonesia : Konsepsi Shajarah Tayyibah dalam Konstruk Negara Islam‛. Journal of Qur’a>nic and H}adi>th Studies, Vol. 2, No. 1, 2012. Hanafi, Hasan. ‚Signifikansi Tafsir Sufi Bagi Spiritualitas Islam Kontemporer‛ Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007. H}amda>n, Akram ‘Ali> . ‚al-Ja>nib al-S}u>fi> fi Tafsi>r al-Ru>h} al-Ma‘a>ni>‛.

Majallah al-Jami’ah al-Islamiyyah (Silsilah al-Dirasah alIslamiyyah), Vol. 14, No.2 Juni 2006. Heck, Paul L. ‚Mysticism as Morality: The Case of Sufism‛. The Journal of Religious Ethics, Vol. 34, No. 2 , Juni, 2006. Hetina,

Meir. ‚Where East Meets West: Sufism, Cultural Rapprochement, And Politics‛, International Journal of Middle East Studies, Vol. 39, No. 3, Aug., 2007.

Honerkamp, Kenneth. ‚A Sufi Itinerary of Tenth Century Nishapur Based on A Treatise By Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n al-Sulami>‛. Journal of Islamic Studies 17:1 2006. Huda, Miftahul. ‚Epistemologi Tasawuf dalam Pemikiran Fiqh alSya’rani‛, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol. 14, No.2 Desember 2010. Ibrahim, M. Zaky. ‚Oaths in the Qur’a>n: Bint al-Sha>t’is Literary Contribution‛, Islamic Studies 48:4, 2009 Ilya>s, H}ana>n Nu>ri. ‚al-Tas}awwuf ‘inda Sufyan al-Thauri>‛ Majallah alFalsafah, Issue: 8, Year: 2012. Jamil, M. ‚Pergeseran Epistimologi Dalam Tradisi Penafsiran AlQur’an‛, Jurnal Ilmiah Abadi Ilmu, Vol. 4, No.1 Juni 2011.

213

Jawda, Na>ji> H}useyn. ‚al-Shakhs}iyyah al-S}u>fiyyah li Junayd Ibn Muh}ammad al-Baghda>di>‛. Majallah al-Falsafah, Issue 5, 2009. Johns, Anthony H. ‚Sufism in Shoutheast Asia‛, Journal of Shouteast Asian-Studies, Vol. 26, No. 1, 1995. Kartanegara, Mulyadhi. ‚Tafsir Sufistik Tentang Cahaya‛ Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.1, No. 1 Januari 2006. Karic, Enes ‚Interpretation Of The Qur'än And The Destiny Of The Islamic World‛ Islamic Studies, Vol. 36, No. 1, Spring 1997. Keeler, Annabel. ‚Sufi Tafsir as a Mirror: al-Qushayri the murshid in his lat}a>’if al-isha>rat‛ Journal Of Qur’anic Studies Iqra>’ Bismi Rabbika. Vol. 8. Issue 1 2006. Knysh, Alexander. ‚The ‚Tariqa‛ on a Landeruiser: The Resurgence of Sufi’sm in Yemen‛, Middle East Journal, Vol. 55, No.3, 2001. Lumbard, Joseph E. B. ‚From Hubb to ‘Ishq: The Development of Love in Early Sufism‛. Journal of Islamic Studies 18:3, 2007. Machasin, ‚Bediuzzaman Said Nursi and the Sufi Tradition‛ Al-Jami’ah Vol. 43, No.1, 2005. Melchert, Christopher. ‚The Transition from Asceticism to Mysticism at the Middle of the Ninth Century C.E.‛, Studia Islamica, No. 83. 1996. Mojaddedi, Jawid A. ‚Legitimizing Sufism in al-Qushayri's "Risala"‛. Studia Islamica, No. 90, 2000. Mufid, Fathul. ‚Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam‛, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman. Vol. 17, No.1, Juni 2013. Mulyono, Slamet. ‚Pergolakan Teologi Syiah-Sunni: Membedah Potensi Integrasi dan Disintegrasi‛. Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol. 16, No.2 Desember 2012.

214

Musharraf, Maryam. ‚A Study on The Sufi Interpretation of Qur'an and The Theory of Hermeneutic‛, al-Bayan, Vol. 11, No. 1, 2013. Muzakki, Akhmad. ‚Kontribusi Semiotika Dalam Memahami Bahasa Alquran‛, Islamica, Vol. 4 No.1, September 2009. Nurcholis, Ahmad. ‚Tasawuf antara Kesalehan Individu dan Dimensi Sosial‛, Teosofi Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam . Vol.1, No.2, 2011. Qa>ri‘, H}assa>n. ‚Ibn Baraja>n al-Andalu>si> wa Juhu>duhu fi> Tafsi>r al-S}u>fi> wa ‘Ilm al-Kala>m‛. Majallah Ja>mi’ah Dimashq lil ‘Ulu>m alIqtis}a>diyyah wa al-Qanu>niyyah. Vol. 23, No. 1, 2007. Qomar ul-Huda. ‚The Light Beyond the Shore in The Theology of Proper Sufi Moral Conduct (Adab)‛. Journal of The American Academy of Religion, Vol. 72, No. 2, Juni 2004. Qudsi, Arin Shawkat Salamah. ‚The ‚Sealed Nectar‛ an Overview of Sufi Treatise of ‘Umar al-Suhrawardi ( d. 632 AH/ 1234 AD). Arabica. Vol. 57, 2010. Rahman,

Andi. ‚Hadis dan Politik Sektarian: Analisis Basis Argumentasi tentang Konsep Ima>mah Menurut Shi>‘ah‛. Journal of Qur’a>nic and H}adi>th Studies, Vol. 2, No. 1, 2012.

Rahman, Yusuf . ‚Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap alQur’an dan Hadis (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif)‛, Journal of Qur’an and hadith Studies, Vol. 1, No. 2, 2012. Ur-Rehman, Ghulam Shams-. ‚Juridical Sufism: Zarru>q’s Aplication of The Qawa>’id Genre‛. Islamic Studies, Vol. 49, No. 3, Autumn: 2010. Rays, H}usayn ‘Ali>. ‚al-Khalwah fi> Fikr al-S}u>fi> al-Isla>mi>‛. Majallah alDiya>li> li al-Buhu>th al-Insa>niyyah. Issue 44, 2010.

215

Rizvi, Sajjad H. ‚The Existential Breath of al-Rah}ma>n and the Munificent Grace of al-Rahi>m : The Tafsi>r Surat al-Fa>tih}a of Jāmī and the School of Ibn ʿArabī”, Journal of Qur'anic Studies, Vol. 8, No. 1, 2006. Rofiah, Nur. ‚Hermeneutika Al-Qur’an‛, Mimbar Jurnal Agama dan Budaya . Vol. 24, No.1, 2007. Rohman, Izza. ‚New Approaches in Interpreting the Qur’an‛ Studia Islamika Indonesian Journal for Islamic Studies. Vol. 14, No.2, 2007. al-S}aba>gh, Lamya>’ ‘Izz al-Di>n. ‚S}u>fiyyu>n aw al-Tas}awwuf fi> al-Maghrib al-‘Ara>bi> Hatta al-Qarn al-Ra>bi’ ‛. Majallah Kuliyyah al‘Ulu>m al-Isla>miyyah, Vol. 7, No.14, 2013. Sadik, M. ‚Alquran Dalam Perdebatan Pemahaman Tekstual dan Kontelstual‛, Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.1 April 2009. Saed, Abdullah. ‚Rethinking 'Revelation' as a Precondition for Reinterpreting the Qur'an: A Qur'anic Perspective‛. Journal of Qur'anic Studies, Vol. 1, No. 1, 1999. Saenog, Farid F. ‚Koifikasi ‘Ulum Al-Qur’an Hingga Abad Pertengahan. Studi Bibilografis‛. ‘Ulum Al-Qur’an, Vol.1, No.1 Januari 2006. Siddiqi, Mazheruddin. ‚A Historical Study Of Iqbal's Views On Sufism‛. Islamic Studies, Vol. 5, No. 4 Desember 1966. Soleh, A.Khudori ‚Mencermati Epistemologi Tasawuf‛. Ulumuna, Vol. XIV, No. 2 Desember 2010. Syarifuddin, M. Anwar. ‚Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari‛. Jurnal Studi Al-Qur’an, Vol.2, No. 1 Januari 2007. Silvers, Laury. ‚Theoretical Sufism in The Early Period: With an Introduction to the Thought of Abu> Bakr al-Wa>sit}i> (d. ca.

216

320/928) on the interrelationship between Theoretical and the Practical Sufism‛. Studia Islamica, No. 98/99, 2004. ‘Ukash, Huseyn ‘Ali. ‚al-Tafsi>r al-S}u>fi> al-Isha>ri> li al-Qur‘a>n: Manhaj alIstinba>t} wa al-Dala>lah al-Jadi>dah‛ Majallah al-Sa>til, Vol. 17, 2008. -------. ‚Hawla Mafhu>m Must}alah al-Isha>rah wa Dalalatu ‘inda alS}u>fiyah‛ Majallah al-Sa>til. Umar, Nasaruddin. ‚Memahami Makna Batin Alquran : Lapis-lapis Pemahaman Alquran [2]‛. Koran Republika, Jumat 5 Juli 2013. -------. ‚Menimbang Hermeneutika‛ Jurnal Studi Al-Qur’an. Vol. 1, No. 1, Januari 2006. -------. Kontruksi Takwil Dalam Tafsir Sufi dan Syiah. Sebuah Studi Perbandingan‛. Jurnal Studi Al-Qur’an. Vol. 2, No.1, 2007. Wijaya, Aksin. ‚Relasi Alquran dan Budaya Lokal‛, Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 4, No. 2 Juli-Desember 2005, 236. Yusuf, Aaisa. ‚Defining Tasawuf in The Writings of Hazrat Nizam alDin Awliya: Study of Fawa’id al Fawad (Morals of The Heart)‛ Islam and Muslim Societies: A Social Science Journal. Vol. 6, No. 2, 2013. Zada, Khamami. ‚Wajah Radikal Penerbitan Islam di Indonesia‛. INDOISLAMIKA, Vol. 1, No. 1. 2011. -------, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras. Jakarta: Teraju, 2002. Zamir, Syed Rizwan. ‚Tafsir al-Qur‘a>n bi al-Qur‘a>n : The Hermenutics of Imitation and Adab in Ibn Arabi>’s Interpretation of TheQur‘a>n‛. Islamic Studies, Vol. 50: 1, 2011. al-Zaqah, ‘Abd al-Rah}i>m Ah}mad. ‚al-Ittija>h al-Isha>ri> fi Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m. Mafhumuh, wa Nash’atuh, wa Adillatuhu, wa

217

Shuru>t}uhu, wa Dawa>bit}uhu‛, al-Majallah al-Urduniyah fi Dira>sah al-Isla>miyah, Vol. 3, No.1 2007. Zarkasyi, Amal Fathullah. ‚Aqidah al-Tauhid Baina al-Tasawwuf alSunni wa al-Tasawwuf al-Falsafi‛, Tsaqafah, Vol.6, No.2, Oktober 2010. Zebiri, Kate. ‚Towards A Rethorical Criticism of the Quran‛, Journal of Quranic Studies, Vol. 5, No. 2, 2003. al-Zuba‘i, Sa‘i>d Mat}lak Mahdi. ‚al-Ima>m al-Qushayri> wa Juhu>duh fi> H}araka>t al-Tafsi>r‛ Majallah al-Kuliyyah al-Tarbiyyah li alBana>t, Vol. 17, Issue 1, 2006.

218

GLOSARI

Al-infirad

Al-inqita‘

Al-tafarrugh

Batin

Emotional heart

Epistemologi bayani

Epistemologi burhani

Ishari

Sunni

Syiah

Zahir

Istilah yang digunakan oleh kaum sufi dalam melakukan pemokusan diri ketika menjalani ritual Memutuskan segala keterkaitan atau kebutuhan seorang hamba kepada makhluk lainnya Kegiatan para sufi yang dilakukan untuk memfokuskan diri beribadah kepada Allah Istilah yang digunakan oleh kaum sufi untuk menunjukkan adanya makna lain selain makna teks suatu ayat atau kata Suatu bentuk proses penafsiran Alquran yang menggunakan nalar intuitif dan emosi kejiwaan Disiplin ilmu yang dikembangkan oleh para ahli fikih dalam menganalisa suatu kondisi ketika menginstinbatkan hokum Disiplin ilmu yang dikembangkan oleh para ahli filasafat dalam menganalisa suatu kebenaran Merupakan suatu penalaran intuitif yang menjadi pendekatan dalam penafsiran sufi, ini diperoleh melalui pancaran ilahi Sebutan untuk kelompok yang menisbahkan ajarannya kepada praktik yang dilakukan oleh Nabi, sahabat dan generasi setelahnya, yang berpegang dengan Alquran dan Sunnah Kelompok yang pro atau memihak kepada Ali Ibn Abi Thalib, yang muncul setelah terjadinya konflik dirinya dan Mu‘awiyah Istilah yang digunakan oleh kaum sufi untuk

225

makna asli teks suatu ayat atau kata Fana

Gnosis H}ulu>l Ittihad

Kasyf

Khawarij Takhalli

Muqarrabu>n Muqatta‘ah

Mutasha>bihah Tajalli

Tah}alli

Suatu pengalaman spiritual yang melenyapkan segala bentuk dari sifat buruk dan munculnya sifat-sifat terpuji nama lain dari kata makrifah, bentuk pengetahuan murni yang dating dari Allah Paham dalam tasawuf yang meyakini adanya penyatuan antara Tuhan dan makhluk Suatu bentuk pengalaman spiritual sufi yang sedang jatuh cinta kepada Tuhannya, sehinnga merasakan bersatu dengan Tuhan Suatu ilmu atau proses terjadinya penyingkapan rahasia dan kebenaran ilahi. Ini biasanya terjadi pada para sufi atau wali yang telah mencapai fase tertentu Kelompok yang memerangi para loyalis Ali dan Mu‘awiyah Suatu aktifitas dalam paraktik sufi yang mengosongkan diri dari segala bentuk sifat tercela, yang menjauhkan manusia dari Allah Mereka yang sedang menjalani proses untuk senantiasa dekat kepada Allah Ayat yang ada dalam Alquran dalam bentuk huruf-huruf tertentu, yang tidak diketahui asal-usulnya dalam bahasa Arab Ayat-ayat yang hanya diketahui oleh Allah arti dan maknanya Penampakan diri Tuhan yang bersifat absolute dalam bentuk alam yang bersifat terbatas Paham yang ada dalam tasawuf yang bertujuan meningkatkan kualitas keimanan dengan memperbanyak amal saleh dan beribadah

226

Takwil

Tarekat

Wahdah al-Wujud

Wahdah al-Shuhu>d

Qasm

Zuhud

Suatu bentuk proses dari penafsiran Alquran yang identik dengan memahami makna di luar teks ayat Jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan untuk sampai kepada-Nya. Ia juga merupakan metode yang harus ditempuh seorang sufi dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan petunjuk guru tarekat masing-masing Suatu doktrin dalam tasawuf yang meyakini adanya kesatuan eksistensi antara pencipta dan makhluk Konsep dalam ajaran sufi yang meyakini bahwa seorang sufi menyaksikan kehadiran Allah sejauh kemampuannya, yang mana kehadiran Allah dalam segala sesuatu Bentuk sumpah yang ada dalam Alquran yang Allah gunakan dalam berbagai jenis bentuk Sikap batin yang mengosongkan hati dari sesuatu yang bersifat duniawi

227

Arsyad Abrar_Epistimologi Tafsir sufi.PDF

(Studi terhadap Tafsir al-Sulami> dan al-Qushayri>). Disertasi. Oleh: ..... PDF. Arsyad Abrar_Epistimologi Tafsir sufi.PDF. Open. Extract. Open with. Sign In.

4MB Sizes 166 Downloads 863 Views

Recommend Documents

tafsir-jalalain-id.pdf
Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. tafsir-jalalain-id.pdf. tafsir-jalalain-id.pdf. Open. Extract. Open with.

Tafsir-al-Jalalayn.pdf
The reason for the specific ... There is no power and no strength save in. God, the High, the Tremendous. Page 3 of 2,092. Page 4 of 2,092. Tafsir-al-Jalalayn.pdf.

Tafsir Ibnu Katsir 1 b.pdf
Page. 1. /. 3. Loading… Page 1 of 3. Page 1 of 3. Page 2 of 3. Page 2 of 3. Page 3 of 3. Page 3 of 3. Tafsir Ibnu Katsir 1 b.pdf. Tafsir Ibnu Katsir 1 b.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Tafsir Ibnu Katsir 1 b.pdf. Page

tafsir jalalain arabic pdf
Page 1 of 1. File: Tafsir jalalain arabic pdf. Download now. Click here if your download doesn't start automatically. Page 1 of 1. tafsir jalalain arabic pdf. tafsir jalalain arabic pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying tafsir

tafsir jalalain bangla pdf
Page 1 of 1. File: Tafsir jalalain bangla pdf. Download now. Click here if your download doesn't start automatically. Page 1 of 1. tafsir jalalain bangla pdf. tafsir jalalain bangla pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying tafsir

TAFSIR SURAH 89 - AL-FAJR.pdf
... thích hơn là làm vào những ngày. này6 .” 6 . Mười ngày đầu của tháng Dhul-Hijjah. Page 3 of 14. Main menu. Displaying TAFSIR SURAH 89 - AL-FAJR.pdf.

Tafsir al Qurtubi Vol-1 (English).pdf
Page 2 of 804. © Dar AI Taqwa Ltd. 2003. ISBN 1-870582-22-5. All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored. in a retrieval system, ...

Tafsir Ibnu Katsir Juz 8.pdf
Page 3 of 15. 2 Juz 8 - Al-An'am. Mereka berkata, "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan. kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan ...