Ben Anderson yang Kukenal
BEn aBEl Cornell University
p
ertama bertemu Ben anderson 1984, dalam satu acara Halloween di rumahnya. Dasar profesor yang ingin tau semua. ketika rehat minum air-kata-kata dari gentongan sebesar pohon kapuk, kalau nda salah dinamakan Singapore sling. Tau-tau nongol lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai empunya rumah. Ditanya, apa namaku betul cuma Ben, tanpa kepanjangan? kujawab, untuk perkara intelijen, ya begitulah. Tapi buat keluarga handai tolan, bisa begitu, pun bisa nambah. Tanpa mempedulikan guyonanku yang memang garing, dia bilang, ini kali pertama kenal orang Dayak yang bisa sampai di amerika. Ya, sampainya karena dapat perempuan; bukan karena dapat beasiswa, kataku. Dia cengengesan; koq perempuan kau samakan dengan beasiswa. maksudmu sudah terpelajar dari yang dapat beasiswa yang baru pelajar gitu? Waktu itu kurasa maksudnya, pasti sombong dan goblog. maklum belum kenal studi gender dan berbilang hal lagi, masih super culun. Yang namanya Ben anderson ini kutau karena orang lain bilang. Bahwa dia profesor, penulis terkenal. punya adik lebih terkenal. Dia pun sering menyatakan, adik secara biologis tetapi abang secara intelektual. Dan dituding sebagai tokoh kiri-baru. Belakangan aku tau, gara-gara jurnal mereka bergelar New Left Review. Ben menjadi teman dekat ketika perkawinanku mengalami prahara, dipaksa bubar sama bini. Dan perceraian memang pukulan berat bagiku. sekali masa tak sengaja kami bersua di antara rak-rak buku perpustakaan, lalu ngobrol singkat. Dia bilang ikut simpati, dan bila ada yang bisa dia bantu, jangan ragu menghubungi. Jangan bikin hal-hal yang edan! Ingat kamu punya keluarga di kalimantan, di sini kita bersaudara, pesannya. setiap kali dia mengambil cuti, ada saja mahasiswa atau teman yang akan menduduki, menjaga rumahnya. Bahkan ada yang berdomisili tahunan, sampai selesai kuliah. Biasanya sekalian menggunakan mobil dia. maklum rumah itu adanya lumayan jauh di luar kota Ithaca. Dia memang seorang yang berkarakter murah hati (magnanimous) di samping karisma intelektualnya. Hal ini membuat dia disayangi banyak orang. Ben adalah seseorang yang tidak suka dengan ketamakan, kelobaan, hipokrit yang lebih mementingkan diri sampai rela mengorbankan orang lain yang lebih lemah. Dia selalu menunjukkan sifat baik hati, dan pemurah, serta ringan tangan membantu mereka yang dikenalnya baik hati, dan jujur. sebab itu banyak mahasiswa pilihannya dengan karakter beginilah yang menjadi alasan pertamanya sebelum kemampuan intelektual. maka itu di saat kasus nsa (as) terangkat, Ben sangat
mengagumi laura poitras sebagai pemberani yang luar biasa jagoan. Bersama Glenn Greenwald adalah orang yang berada di belakang Edward J. snowden dalam mengekspose kelakuan nsa yang dianggap melanggar konstitusi. Di kalangan mahasiswa pun dia dikenal pemurah. Terutama bagi mahasiswa non-amerikan yang serba terbatas nilai beasiswanya. Ben dengan ringan memberi bantuan ketimbang mempiutangkan. kata dia: petuah almarhum ibuku, lebih bagus memberi ketimbang mempiutang gaya rente, sebab belakangan bakal menjadi sumber neraka pertemanan. Terkadang dia maju menyelamatkan mahasiswa marginal yang kebanyakan datang dari lain negeri. Bukan karena masalah biaya saja, tetapi juga oleh persoalan bahasa Inggeris yang jadi bahasa kedua. mahasiswa asing itu, terkadang tidak bisa cepat nulis seperti pengoceh aselinya, tetapi bukan mereka tidak mampu, malahan terkadang menghasilkan tulisan yang brilian, hanya saja lambat, memerlukan kesabaran para profesor. Ben tidak membatas diri di kalangan mahasiswa program studi asia Tenggara saja, tetapi program studi internasional. maka itu dia mempunyai mantan mahasiswa yang tersebar di berbagai negeri, benua. Dia juga sangat telaten membantu para mantan mahasiswanya dalam mendapatkan pekerjaan di universitas mana-mana yang ada di dunia. Ben mempunyai dedikasi tinggi atas pemajuan studi asia Tenggara. melampaui Cornell, amerika serikat. Bisa ditengarai dari buku-buku dan tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai jurnal, bahkan kolom majalah maupun koran. Dari judul, isi buku dapat kita lihat semangat kerja dan hidupnya. sambil tetap fokus dalam studi asia Tenggara, dia juga membandingkan serta menghubungkan antar region mana-mana belahan bumi ini, maka tidaklah mengherankan tulisannya menjadi terkenal kemacam-macam penjuru dunia. Juga bisa terlihat nanti dalam arsipnya yang akan berumah di perpustakaan asia Tenggara, Universitas Cornell. Di lingkungan kampus, dia membuat kebiasaan kumpul-kumpul dengan melangsungkan pesta di rumahnya; entah Halloween, atau ulang tahunnya yang dirayakan bersama. Dengan sistim potluck (makanan seadanya) yang dibawa masing-masing orang. Dalam suasana informal beginilah banyak terjadi pertemuan dan interaksi yang membuat orang merasa terjalin dalam sebentuk komunitas asian studies.* Bahkan terasa menjadi international studies. karena yang datang bukan cuma mahasiswa dari program southeast asian studies di Universitas Cornell saja, tetapi juga mahasiswa dari lain program, dan lain universitas pun bisa ikut nongol. Begitulah dia pun sering menjadi pembimbing liaison bagi mahasiswa lain universitas mana-mana, baik yang di amerika sendiri, pun yang berada di luar negeri, lain benua dsbnya. semenjak 1993, aku+Eveline menempati rumah kecil di samping rumahnya. kami pun semakin sering bertemu. masak makan bersama, bakar BBQ hampir setiap akhir pekan di musim panas. Dia menjadi foster parent 2 remaja anak temannya. melakoni ortu, Ben kurang faham. ketika anak masih smU, dia begitu saja meninggalkannya untuk satu tahunan, karena mendapat grand mengajar di tempat lain. akhirnya yang mengurus adalah aku+Eveline. Dia pikir dengan memberi biaya cukup, semua akan beres laiknya mahasiswa universitas. si anak *
Di Universitas Cornell ada program: asia Tenggara, asia selatan, dan asia Timur.
belum tau memasak, dan urusan di sekolah. setelah pensiun 2002, dia memutuskan sepanjang winter akan menetap di asia Tenggara, berpangkalan di Bangkok. Terkadang, summer dia akan tinggal di Freeville bersama teman-teman lamanya yang datang menggunakan perpustakaan Cornell, atau sama-sama asyik menyelesaikan tulisan, naskah buku. maka lumayan ramailah di Freeville. sering makan bersama. masak bersama dengan macam-macam menu. Ben sendiri pandai, suka memasak. spesialnya adalah chicken adobo yang menjadi kesukaan anak-anakku, ali+Felix yang dipanggilnya monster, terus dibalik oleh ali, “om Ben large monster.” lainnya adalah memasak cumi masih bertintah. nanti kala siap santap, sausnya nampak bagaikan lumpur lapindo. Tetapi beraroma sedap. apalagi rasanya, amboi langsung rebutan. Dari semua yang kusaksikan. seperti yang kubeberkan. Ben telah membuat banyak orang merasa hidup jadi possible. Freeville, New York, Desember2015/Januari2016