Volume 87 Number 857 March 2005

Hak asasi manusia dan penahanan tanpa batas waktu Alfred de Zayas Alfred de Zayas* J.D. (Harvard), Dr. phil. (Göttingen), anggota dari New York Bar, mantan Sekretaris Komite Hak Asasi Manusia dan Kepala Unit Petisi, profesor tamu hukum, University of British Columbia dan Institut Pascasarjana Studi Internasional, Jenewa

“Hukuman penjara tanpa batas waktu dan tanpa denda atau peradilan adalah anathema dalam setiap negara yang menaati aturan hukum.” Lord Nicholls dari Birkenhead dalam putusannya tanggal 16 Desember 20041

Abstrak Hukum HAM internasional membenci lubang hitam hukum. Ini berlaku dimanapun disetiap negara yang melaksanakan yurisdiksinya, tidak hanya di masa damai tetapi juga selama konflik bersenjata, sebagai pujian terhadap hukum humaniter. Perampasan kebebasan tunduk pada kondisi tertentu, dan bahkan penahanan awalnya yang sah menjadi sewenang-wenang dan bertentangan dengan hukum jika tidak ditinjau secara berkala. Penahanan tanpa batas waktu tidak sesuai dengan Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Meski pengecualian sementara dari ketentuan ini diperbolehkan dalam Pasal 4 ICCPR, pengecualian tersebut hanya mungkin dilakukan "di saat darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa" dan "sejauh sangat diperlukan oleh situasi urgensi." Orang yang dirampas kebebasannya berhak atas persidangan yang cepat atau pembebasan, dan dalam kasus-kasus penahanan sewenang-wenang, mereka berhak mendapatkan kompensasi. Baik perang melawan teror atau kebijakan imigrasi yang ketat yang membenarkan penahanan tanpa batas. 

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Oldrich Andrysek dan Christoph Bierwirth dari UNHCR untuk saran mereka yang berguna. 1 Lord Nicholls dari Birkenhead dalam putusan mayoritas delapan-satu dari House of Lords tentang banding dari 11 tahanan yang disekap di penjara Belmarsh dengan keamanan tingkat tinggi yang dijuluki "Guantanamo Inggris". A(FC) dan lain-lain (FC) (Pemohon) v. Sekretaris Negara Urusan Dalam Negeri (Responden), ayat 74 dari keputusan 16 December 2004. BBC News “Terror detainees win Lords appeal”; tersedia di: (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). Glenn Frankel “British anti-terror law reined in”, Washington post, 16 Desember 2004. Dalam arti yang sama, Lord Leonard Hoffmann berkomentar: “tidak ada alasan yang cukup untuk menghapuskan atau menangguhkan hak untuk tidak dipenjara tanpa pengadilan, yang telah dinikmati semua penduduk negeri ini selama lebih dari tiga abad," dikutip dalam Amnesty International Press Release 16 Desember 2004.

1

Orang yang dirampas kebebasannya tidak pernah secara de jure berada di dalam lubang hitam. Pada prinsipnya, mereka menikmati perlindungan hukum di bawah setidaknya dua rezim hukum - hukum nasional dan hukum HAM internasional. Dalam masa konflik bersenjata, mereka juga berhak atas perlindungan tambahan dari rezim hukum ketiga, yaitu hukum humaniter internasional. Namun, de facto puluhan ribu orang di seluruh dunia mengalami penahanan tanpa batas waktu, seringnya adalah penahanan tanpa komunikasi, dan pemerintah mencoba untuk membenarkan hukuman penjara yang tidak beres itu atas dasar "keamanan nasional," "keadaan darurat," "migrasi ilegal" dan keadaan luar biasa lainnya. Pengecualian sementara dari beberapa ketentuan rezim hukum yang berlaku adalah mungkin, tetapi dengan kondisi tertentu, terutama kriteria "darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa,"2 dan prinsip proporsionalitas, yang membatasi pengecualian tersebut "sejauh yang diperlukan oleh situasi urgensi.”3 Pengecualian bersifat tidak terbatas dalam perubahan, namun harus dibatasi dalam lingkup dan durasi. Analisis hukum justifikasi yang disodorkan oleh negara untuk pembatasan hak sering mengungkapkan bahwa pengecualian seperti itu tidak sah menurut hukum baik nasional maupun internasional.4 Fenomena penahanan tanpa batas waktu mempengaruhi banyak kategori manusia, termasuk orang-orang yang ditahan karena risiko keamanan, "teroris," "pejuang musuh," dan penjahat biasa yang ditahan di penahanan pra-sidang tanpa jaminan, tetapi juga pencari suaka, migran tidak berdokumen, orang yang menunggu deportasi, dan orang di bawah tahanan kejiwaan.5 Untuk tujuan artikel ini kita akan memeriksa keabsahan penahanan tanpa batas waktu terhadap sejumlah kriteria—tidak hanya unsur temporal, yaitu lamanya penahanan atau jeda waktu sebelum dibawa ke hadapan hakim, tetapi juga unsurunsur lain seperti ketidakpastian tentang penghentian penahanan tersebut yang sebenarnya, ilegalitas dalam cara pelaksanaan penangkapan (yaitu dengan atau tanpa surat perintah penangkapan dari 2 Pasal 15, ayat 1 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental. Lihat juga Pasal 4, ayat (1), dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik: “In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed…” 3 Ibid. 4 A. de Zayas “La dérogation et le Comité des Droits de l’Homme des Nations Unies” dalam Daniel Prémont dkk. (eds.), Droits Intangibles et Etats d’Exception, Bruylant, Brussels, 1996, h. 213-234. 5 Dalam Komentar Umumnya No. 8 tentang Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Komite mencatat "bahwa ayat (1) berlaku untuk semua perampasan kebebasan, baik dalam kasus pidana atau dalam kasus lain seperti, misalnya, penyakit mental, menggelandang, kecanduan narkoba, tujuan pendidikan, kontrol imigrasi, dll,” dalam “International human rights instruments: Compilation of general comments and general recommendations adopted by human rights treaty bodies,” UN Doc. HRI/GEN/1/Rev.7 (2004), h. 130, ayat (1).

2

pengadilan), pembenaran terhadap perampasan kebebasan yang diberikan kepada tahanan, kemungkinan memiliki akses ke pengacara dan salah satu keluarganya (yaitu ilegalitas penahanan tanpa komunikasi), kemungkinan pengujian legalitas penahanan sebelum pengadilan yang kompeten, dan kondisi penahanan (yaitu sehubungan dengan martabat yang melekat pada manusia, dan tanpa dikenakan metode interogasi yang tidak teratur). Bagian pertama dari makalah ini berfokus pada norma-norma internasional yang relevan yang berlaku terhadap perampasan kebebasan. Bagian kedua membahas kasus-hukum nasional dan internasional. Bagian ketiga mensurvei mekanisme ganti rugi internasional. Bagian keempat membahas upaya hukum yang tersedia bagi para korban. Kelima menunjukkan tindakan yang mungkin dilakukan oleh masyarakat hukum internasional untuk membela hak asasi manusia atas kebebasan dan keamanan pribadi, termasuk apa yang mungkin bisa dilakukan oleh masyarakat sipil ketika pemerintah mencemoohkan norma-norma. Norma-norma yang berlaku Ada banyak norma hukum nasional dan internasional yang menjamin hak atas kebebasan dan keamanan pribadi, dan, khususnya, menetapkan hak untuk menguji keabsahan penahanan seseorang sebelum pengadilan yang kompeten dan tidak memihak. Dalam hukum kebiasaan negara-negara hak ini diabadikan dalam tulisan terkenali habeas corpus, dalam hukum-kontinental yurisdiksi hak itu dikodifikasikan dalam undang-undang tertentu, di negara-negara Amerika Latin ia dikenal dengan hak amparo. Penting untuk dicatat mengenai perbedaan antara aturan hukum keras/hard law (perjanjian, undang-undang), yang berkeadilan sebelum pengadilan nasional dan internasional, dan aturan-aturan hukum lunak/soft law (resolusi dan deklarasi), yang bersifat dukungan dan sering berkembang pada aturan hukum keras. Keduanya berkontribusi dalam munculnya budaya hak asasi manusia universal. Norma-norma universal Di antara norma-norma yang relevan dari hukum hak asasi manusia internasional, referensi dapat dilakukan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 9 yang menyatakan : "Tidak seorangpun dapat dikenakan dengan penangkapan, penahanan dan pengasingan yang sewenang-wenang.” Ketentuan yang terkait dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR)6 adalah pasal 9, ayat (1), 6

UNTS, Vol. 999, h. 171, 16 Desember 1966, mulai berlaku 23 Maret 1976; 154 Negara Peserta Januari 2005

3

yang menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat dikenakan dengan penangkapan atau penahanan yang sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali dengan alasan tersebut dan sesuai dengan prosedur seperti yang ditetapkan oleh hukum.” Dalam yurisprudensinya Komite Hak Asasi Manusia PBB, badan yang bertanggung jawab untuk memantau kepatuhan oleh negara peserta ICCPR, telah menyatakan dengan jelas bahwa penahanan yang mungkin awalnya sah bisa menjadi "sewenang-wenang" jika terlalu lama atau tidak tunduk pada tinjauan periodik.7 Dalam Komentar Umum No. 8 tentang Pasal 9, Komite menetapkan unsur-unsur yang harus diuji dalam menentukan keabsahan penahanan preventif: "Jika penahanan preventif tersebut digunakan, untuk alasan keamanan publik, maka harus dikontrol oleh ketentuan-ketentuan yang sama, yakni penahanan tidak boleh sewenang-wenang, dan harus didasarkan pada alasan dan prosedur yang ditetapkan oleh hukum (ayat 1), informasi berdasarkan alasan harus diberikan (ayat 2) dan kontrol pengadilan penahanan harus tersedia (ayat 4) serta kompensasi dalam kasus pelanggaran (ayat 5). Dan jika, di samping itu, tuntutan pidana terkandung dalam kasus tersebut, perlindungan penuh dari Pasal 9 (2) dan (3), serta Pasal 14, harus dikabulkan.”8 Perlindungan umum ini berdasarkan Pasal 9, ayat (1), berlaku untuk semua orang yang berada di tahanan, baik administrasi (misalnya pencari suaka) atau tahanan kriminal. Pasal 9, ayat (3) ICCPR menyatakan: "Setiap orang yang ditangkap atau ditahan atas tuduhan pidana harus segera dihadapkan ke depan hakim atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan menjadi aturan umum bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan di bawah pengawasan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan muncul pada waktu sidang.” Penahanan pra-sidang yang berkepanjangan tanpa jaminan tidak sesuai dengan Pasal 9 dan

Alfred de Zayas “The examination of individual complaints by the United Nations Human Rights Committee under the Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights”, dalam G. Alfredsson dkk. (eds), International Human Rights Monitoring Mechanisms, Martinus Nijhof Publishers, The Hague, 2001, h. 67-121. Juga A. de Zayas, “Desarrollo jurisprudencial del Comité de Derechos Humanos”, dalam Carlos Jiménez Piernas (ed.), Iniciación a la Práctica en Derecho Internacional, Marcial Pons, Madrid, 2003, h. 215-277. Lihat dala kasus khusus No.305/1988 (Van Alphen v. The Netherlands) UN Doc. A/45/40, Vol. 2, Lampiran IX, Sect. M, ayat. 5.8: “Sejarah penyusunan Pasal 9, ayat (1), menegaskan bahwa 'kesewenangwenangan' tidak boleh disamakan dengan 'melawan hukum', tetapi harus ditafsirkan lebih luas untuk mencakup unsur ketidaktepatan, ketidakadilan dan kurangnya prediktabilitas. Ini berarti bahwa penahanan yang dilakukan berdasarkan penangkapan yang sah tidak hanya harus sah tapi masuk akal dalam segala situasi.” Manfred Nowak, U.N. Covenant on Civil and Political Rights. Commentary, N.P. Engel, Kehl, Strasbourg, 1993, h. 172 dst. 8 Komentar Umum, No. 8, op. cit. (note 5), h. 131, ayat 4. 7

4

membutuhkan pembenaran spesifik dan tinjauan periodik.9 Dalam konteks perang yang disebut teror, adalah penting untuk mengingat bahwa ICCPR berlaku pada masa damai dan pada saat konflik bersenjata. Dalam Komentar Umum No. 31 tanggal 29 Maret 2004, Komite Hak Asasi Manusia menjelaskan: "Perjanjian ini berlaku juga dalam situasi konflik bersenjata dimana aturan hukum humaniter internasional berlaku. Sementara, sehubungan dengan hakhak Kovenan tertentu, aturan yang lebih spesifik dari hukum humaniter internasional mungkin sangat relevan untuk tujuan penafsiran hak-hak Kovenan, kedua bidang hukum ini saling melengkapi, tidak saling eksklusif.”10 Selain itu, penerapan Kovenan tidak dapat dipalsukan dengan mentransfer orang di luar perbatasan nasional dari negara yang bersangkutan (misalnya ke pangkalan angkatan laut Guantanamo yang menyewa wilayah Kuba)11 atau ke subkontraktor pribadi atau umum:12 "Negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak yang diatur dalam Kovenan kepada siapa pun dalam kekuasaan atau kontrol efektif dari Negara Pihak, bahkan jika tidak terletak dalam wilayah Negara Pihak.”13 Dan, seperti yang ditunjukkan dalam Komentar Umum Komite No 15, " kenikmatan hak Kovenan tidak terbatas pada warga Negara Pihak tetapi juga harus tersedia bagi semua orang, terlepas dari kebangsaan atau ketidakbernegaraannya, seperti pencari suaka, pengungsi, pekerja migran dan orang-orang lain, yang mungkin mendapati diri mereka di sebuah wilayah atau tunduk pada yurisdiksi Negara Pihak.”14 Selain merupakan pelanggaran Pasal 9 ICCPR, penahanan tanpa batas waktu juga mungkin merupakan pelanggaran ketentuan-ketentuan lain dalam Kovenan, termasuk Pasal 14, yang menjamin sidang cepat sebelum pengadilan yang kompeten dan tidak memihak, Pasal 7, yang melarang penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau hukuman, dan Pasal 10, yang Ibid. Lihat juga Bolaños v. Ecuador, kasus No. 238/1987, dimana Komite menemukan pelanggaran terhadap Pasal 9, Ayat (3), karena Tuan Bolaños ditahan dalam penahanan pra-peradilan selama lebih dari lima tahun. UN Doc. A/44/40, Lampiran X, Sec. I, ayat (8.3). 10 Lihat juga Komentar Umum No. 31, dalam “International human rights instruments: Compilation of general comments and general recommendations adopted by human rights treaty bodies”, UN Doc. HRI/GEN/1/Rev.7 (2004), h. 195, “The nature of the general legal obligation imposed on States party to the Covenant”, diadopsi pada 29 Maret 2004, ayat 11. Mahkamah Internasional, juga telah mengamati "bahwa perlindungan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tidak berhenti di masa perang, kecuali dengan operasi Pasal 4 Kovenan, dimana ketentuan tertentu dapat dihapus pada waktu darurat nasional." 11 Alfred de Zayas, “The status of Guantánamo Bay and the status of the detainees”, 37 UBC Law Review, Vol. 37, 2004, h. 288 dst. 12 Seorang warga negara Amerika Ahmed Abu Ali sedang ditahan di Arab Saudi dan ia dilaporkan disiksa. Hakim Distrik AS John Bates menulis dalam pendapat tentang kasus tersebut dimana pengacara Abu Ali "tidak hanya menduga, tapi telah diberikan beberapa bukti tak terbantahkan bahwa penahanan [nya] adalah atas perintah dan arahan dari pejabat Amerika Serikat." “Subkontraktor Saudi,” Washington Post, 20 December 2004, page A22. 13 Komentar Umum No. 8, op. cit. (note 5), Komentar Umum No. 31, op. cit. (note 10), ayat (10). 14 Komentar Umum Nomor 15 tentang "Posisi alien menurut Kovenan", diadopsi pada dua puluh tujuh sesi Komite pada tahun 1986, dalam "instrumen internasional hak asasi manusia: Kompilasi komentar umum dan rekomendasi umum diadopsi oleh badan perjanjian hak asasi manusia,” UN Doc. HRI/GEN/1/Rev.7 (2004), h. 140 dst. 9

5

memberikan perlakuan yang manusiawi selama penahanan. Tidak dapat diragukan lagi bahwa penahanan tanpa batas waktu merupakan perlakuan tidak manusiawi dan bahwa dalam keadaan tertentu bahkan mungkin merupakan bentuk penyiksaan.15 Selain itu, penahanan tanpa batas waktu terhdap anak-anak bertentangan dengan kewajiban Negara-Negara Pihak berdasarkan Pasal 24, ayat (1), Kovenan untuk memastikan "tindakan-tindakan khusus perlindungan seperti yang dibutuhkan" berdasarkan status mereka sebagai anak di bawah umur. Bahwa Pasal 4 Kovenan memungkinkan pengecualian sementara Pasal 9, 14 dan 24 daripadanya, ia tidak mengizinkan pengecualian Pasal 6 (hak untuk hidup) atau Pasal 7. Setiap pengecualian, bagaimanapun, harus diberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa dan harus memenuhi persyaratan yang ketat. Dalam Komentar Umum No 29, Komite Hak Asasi Manusia menyatakan: "Tindakan pengecualian ketentuan-ketentuan dalam Kovenan harus bersifat luar biasa dan temporer (...) Tidak setiap gangguan atau bencana memenuhi syarat sebagai keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa (...) Suatu persyaratan mendasar untuk setiap tindakan pengecualian Kovenan (...) adalah bahwa tindakan tersebut dibatasi sejauh diperlukan oleh situasi terdesak. Persyaratan ini berkaitan dengan durasi, cakupan geografis dan ruang lingkup materi keadaan darurat ... "16 Dalam konteks "perang melawan teror" Inggris telah secara resmi membuat pengecualian pada Pasal 9 Kovenan. Sebaliknya, Amerika Serikat belum memberitahukan tentang pengecualian Kovenan kepada Sekretaris Jenderal PBB, terlepas dari ketidakcocokan yang terlihat dengan Kovenan dari banyak ketentuan PATRIOT Act17 dan sejumlah Aturan Eksekutif. Sebagaimana ditunjukkan di atas, penahanan tanpa batas waktu dapat mengangkat isu-isu di bawah aturan hukum internasional menyangkut penyiksaan. Karena efek psikologis penahanan tanpa batas waktu yang mungkin dimiliki individu, maka hal itu juga mungkin merupakan pelanggaran Konvensi PBB melawan Penyiksaan dan Perlakuan kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat atau Sehubungan dengan kasus penjara Belmarsh, laporan yang diterbitkan pada 13 Oktober 2004, disiapkan oleh 11 konsultan psikiater dan satu konsultan psikolog klinis mengenai cedera serius pada delapan tahanan 15

Komentar Umum No. 29, “Pencabutan selama situasi darurat,” dalam “International human rights instruments: Compilation of general comments and general recommendations adopted by human rights treaty bodies”, UN Doc. HRI/GEN/1/Rev.7 (2004), h. 184 dst. 16

Bagian 412 dari Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001 (H.R. 3162, “USA PATRIOT ACT”) memungkinkan penahanan tanpa batas waktu—juga terhadap imigran dan non-warga negara, dengan tidak ada persyaratan bahwa mereka yang menjadi tahanan tanpa batas akan dilepas sebagai teroris. Lihat arsip online American Civil Liberties Union. (terahir dikunjungi 17 Januari 2005). 17

6

Hukuman.18 Dalam hubungan ini, penahanan tanpa batas waktu juga telah dikritik oleh Komite Internasional Palang Merah, yang memiliki akses ke tahanan teluk Guantanamo dan telah mengamati kondisi psikologis mereka yang memburuk, yang menyebabkan sejumlah besar percobaan bunuh diri.19 Selain perlindungan hukum hak asasi manusia internasional, orang-orang yang mengalami penahanan mendapat perlindungan yang lebih spesifik dari hukum humaniter internasional di masa konflik bersenjata. Relevansi khusus adalah Konvensi Jenewa Ketiga dan Keempat tahun 1949 dan tahun 1977 di dalam Protokol Tambahan I dan II. Pasal 118 dari Konvensi Jenewa20 Ketiga jelas menyatakan bahwa tawanan perang tidak dapat ditahan tanpa batas waktu: "Tawanan perang harus dibebaskan dan dipulangkan tanpa penundaan setelah penghentian perang aktif." Perjanjian ini adalah penghentian perang aktif, entah perjanjian damai telah ditandatangani atau belum. Ketentuan ini melampaui Pasal 75 dari Konvensi Tawanan-Perang Jenewa 1929, yang menetapkan: “Ketika pihak yang berperang menutup konvensi gencatan senjata, mereka biasanya akan menyebabkan masuknya ketentuan mengenai pemulangan tawanan perang". Bahasa dengan makna yang kabur dari Konvensi 1929 memungkinkan Sekutu yang menang menghindari semangat Konvensi dan menahan tawanan perang Jerman selama bertahun-tahun setelah Jerman menyerah tanpa syarat. Tujuan jelas dari Pasal 118 Konvensi 1949 untuk memastikan bahwa tawanan perang akan dibebaskan "tanpa penundaan" dan tidak ditahan tanpa batas waktu.21 Penting dalam konteks ini adalah, tentu saja, penentuan siapa yang berhak atas status tawanan perang. Pasal 5 Konvensi Jenewa Ketiga mensyaratkan bahwa "apabila timbul keraguan mengenai apakah orang-orang, yang melakukan aksi perang dan jatuh ke tangan musuh, termasuk salah satu kategori yang disebutkan dalam Pasal 4, orang tersebut akan memperoleh perlindungan dari konvensi ini sampai saat status mereka telah ditentukan oleh pengadilan yang kompeten." Menurut Pasal 142 Konvensi Jenewa Ketiga, Konvensi ini tidak dapat dibatalkan selama perang; bahkan jika suatu negara membatalkannya, negara itu akan tetap terikat oleh hukum kebiasaan

UNTS, Vol. 660, h. 195, 21 Desember 1984, mulai berlaku pada 26 Juni 1987. Neil A. Lewis, “Red Cross criticises indefinite detention in Guantánamo Bay”, New York Times, 10 Oktober 2003, hal. 1. “Red Cross blasts Guantánamo” BBC News, 10 Oktober 2003. Pejabat Palang Merah senior di Washington DC Christophe Girod, menyatakan bahwa sungguh berat karena kompleks itu digunakan sebagai "pusat penyelidikan, bukan pusat penahanan (...). ketidakterbatasan keadaan dan dampaknya terhadap kesehatan penghuninya telah menjadi masalah besar 20 Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War, 12 August 1949, UNTS, Vol. 75, h. 135, mulai berlaku pada 21 Oktober 1950. 21 Jean S. Pictet (ed.), Commentary: III Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, International Committee of the Red Cross, Jenewa, 1960, h. 540 dst. 18 19

7

internasional, termasuk klausul Martens22 dan aturan kebiasaan tentang pembebasan tawanan perang dan perlakuan manusiawinya. Mengenai orang-orang lain yang ditahan selama konflik bersenjata internasional, ada konsensus yang berkembang bahwa mereka akan memperoleh perlindungan berdasarkan Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949. Saat Pengadilan Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia diadakan Jaksa v Delalic dkk, Kasus Kamp Celebici, "Tidak ada kesenjangan antara Konvensi Jenewa Ketiga dan Keempat dan (...) jika seorang individu tidak berhak atas perlindungan Konvensi Ketiga (...) dia selalu jatuh dalam wilayah konvensi IV."23 Norma di atas berlaku pada berbagai kategori orang yang dirampas kebebasannya.

Sebuah kasus khusus disajikan dengan meningkatnya jumlah pencari suaka yang

mengalami penahanan tanpa batas. Dalam hubungan ini penting untuk menyebutkan pedoman revisi Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi tentang kriteria dan standar yang berkaitan dengan penahanan pencari suaka. Meski ini adalah "hukum lunak", negara harus hati-hati melihat ketentuan ini, termasuk Pedoman 7: "Mengingat efek yang sangat negatif yang disebabkan oleh penahanan pada psikologis mereka yang ditahan, pertimbangan aktif dari alternatif yang mungkin harus mendahului aturan apapun untuk menahan pencari suaka yang masuk dalam kategori rentan berikut: orang tua yang sebatang kara. Korban Penyiksaan atau trauma. Orang dengan cacat mental atau fisik ...” Meningkatnya penggunaan penahanan sebagai pembatasan kebebasan bergerak dari pencari suaka dengan alasan masuknya mereka secara ilegal masih menjadi keprihatinan utama UNHCR. Hukum internasional regional Dalam sistem regional perlindungan HAM, Pasal 5, ayat (1), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental (ECHR)24 menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali pada kasus berikut dan sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh hukum ... " Pasal 5, ayat (4), menyatakan: "Setiap orang yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di mana keabsahan penahanannya akan diputuskan dengan cepat oleh pengadilan dan memerintahkan pembebasannya bila penahanan tersebut tidak sah.” Sesuai dengan Pasal 15, Konvensi Eropa dikenakan pengecualian. Dalam konteks "perang melawan teror" Inggris telah membuat pengecualian pada Pasal 5 ECHR, seperti yang terjadi berkenaan

Helmut Strebel, “Martens Clause”, dalam R. Bernhardt (ed.), Encyclopaedia of Public International Law, Vol. 3, 1997, h. 326 Jaksa v. Delalic et al., Keputusan IT-96-21-T, 16 November 1998, ayat 271. 24 Dewan Eropa, European Convention on Human Rights/Convention européenne des Droits de l’homme, Collected Texts/Recueil de textes, Strasbourg, 1981 22 23

8

dengan Pasal 9 ICCPR. Efek dari keputusan House of Lords 16 Desember 2004 dalam kasus penjara Belmarsh bahwa pengecualian ini akan dianggap tidak sah. Dalam sistem Inter-Amerika regional, Pasal 7 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia 25menyatakan:

"Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat

dirampas kebebasan fisiknya kecuali untuk alasan dan di bawah kondisi yang dibentuk sebelumnya oleh konstitusi Negara Pihak yang bersangkutan atau oleh hukum yang dibentuk berdasarkan hal tersebut. Tidak ada seorangpun yang dikenakan dengan penangkapan atau penjara yang sewenang-wenang (...). Siapapun yang dirampas kebebasannya berhak atas bantuan pengadilan yang kompeten, agar pengadilan dapat memutuskan tanpa penundaan keabsahan penangkapan atau penahanan dan memerintahkan pembebasannya bila penangkapan atau penahanan tidak sah. " Dalam sistem regional Afrika, Pasal 6 Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat26 menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi-Nya. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali untuk alasan dan kondisi yang sebelumnya ditetapkan oleh hukum. Secara khusus, tidak ada yang dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang." Norma-norma internasional di atas mencerminkan konsensus universal bahwa seseorang tidak dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan kewenangan legislatif tertentu dan dengan menghormati perlindungan yang prosedural. Namun demikian, kenyataannya adalah bahwa tidak hanya kediktatoran militer tetapi juga demokrasi menahan lawan politik, pengungsi dan pendatang, kadangkadang memang tak terbatas waktu, dengan berbagai dalih. Pengadilan domestik dan internasional lah yang menguji keabsahan penahanan tersebut dan untuk menjamin pembebasan dan kompensasi dari orang-orang yang telah menderita karena ditangkap dan ditahan dengan sewenang-wenang. Undang-undang yang ada baru-baru ini dalam konteks perang melawan terorisme menimbulkan keprihatinan. Sebuah contoh adalah Aksi Keamanan Internal Malaysia (ISA) yang, sebagai hukum penahanan preventif yang awalnya diberlakukan pada tahun 1960 selama keadaan darurat nasional sebagai tindakan sementara untuk melawan pemberontakan komunis, akhir-akhir ini terlihat cukup mengalami kebangkitan.27 Menurut Pasal 73 (1) hukum tersebut, polisi bisa menahan seseorang hingga 60 hari, tanpa surat perintah atau sidang dan tanpa akses ke penasehat hukum, hanya atas kecurigaan bahwa "ia telah bertindak atau akan bertindak dengan cara yang merugikan keamanan Malaysia atau

OASTS, No. 36, UNTS, Vol. 1144, h. 123, 22 November 1969, mulai berlaku pada 18 Juli 1978. Diadopsi di Nairobi pada 26 Juni 1981, mulai berlaku sejak 21 Oktober 1986. 27 Pengawas Hak Asasi Manusia, “Malaysia’s Internal Security Act and suppression of political dissent”, tersedia di: (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). 25 26

9

bagian daripadanya ... "28 Kasus-hukum Penahanan tanpa batas waktu melanggar konstitusi dan rancangan hak-hak negara, serta sejumlah perjanjian internasional. Norma, tentu saja, bergantung pada penafsiran. Kasus-hukum memberikan ilustrasi konkret dan pengembangan lebih lanjut dari norma-norma yang dikodifikasi. Perang melawan teror: Kasus hukum nasional Dalam konteks "perang melawan teror" beberapa negara telah mengadopsi undang-undang yang memungkinkan adanya penahanan tanpa batas waktu terhadap tersangka terorisme. Paling mengkhawatirkan adalah potongan tertentu dari undang-undang yang diadopsi oleh negara-negara yang terikat oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental, dan Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia. Di Inggris, 11 tahanan Muslim di penjara Belmarsh, sebagian besar dari mereka telah ditahan sejak Desember 2001, berhasil menolak penahanan tanpa batas waktu dan memperoleh putusan yang menguntungkan dari House of Lords pada tanggal 16 Desember 2004, yang membalikkan keputusan Pengadilan Banding pada Oktober 2002 bahwa penahanan tanpa batas waktu itu sesuai dengan kewajiban hak asasi manusia Inggris. Sekarang adalah hak Parlemen Inggris untuk membuat pengecualian atau mengubah Pasal 23 dari Undang-Undang Anti-terorisme, Aksi Kejahatan dan Keamanan 2001 (ATCSA), dimana Lords telah diperintah untuk menyesuaikan dengan Aksi Hak Asasi Manusia negara Inggris dan dengan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus, Lords menemukan bahwa penahanan tanpa batas waktu mendiskriminsi dasar kebangsaan (Pasal 14 dari ECHR), karena ia hanya berlaku untuk warga negara asing yang diduga terorisme, meskipun ada ancaman sebanding terhadap tersangka terorisme yang berkewarganegaraan Inggris Raya. Sebagaimana dicatat oleh Baroness Hale of Richmond: "Kesimpulannya adalah tidak perlu memenjarakan warga negara. Harus ditemukan cara lain yang mengandung ancaman. Dan jika tidak perlu memenjarakan warga negara maka tidak perlu juga memenjarakan orang asing. Hal ini tidak sepenuhnya diperlukan oleh situasi darurat.”29 Namun 11 tahanan Muslim belum dibebaskan atau didakwa. Jika situasi ini terus berlanjut, para tahanan bisa mengajukan keluhan ke Pengadilan HAM Eropa dan menuntut pembebasan mereka. Malaysia, Internal Security Laws, Malaysian Law Publishers, Kuala Lumpur, 1982, h. 52 dst. House of Lords, A(FC) dan lainnya (FC) (Pemohon) v. Secretary of State for the Home Department (Responden), Opini 16 Desember 2004, ayat (231). 28 29

10

Orang yang diduga teroris di Amerika Serikat juga mengalami penahanan tanpa batas waktu. Sejak Januari 2002 lebih dari 700 orang telah ditahan sebagai tersangka terorisme di pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Teluk Guantanamo, Kuba, sesuai dengan Orde Militer yang dikeluarkan oleh Presiden George W. Bush: "Penahanan, Perlakuan dan Pengadilan Non-Warga Tertentu dalam Perang melawan Terorisme."30 Dalam sejumlah kasus awal, beberapa persidangan distrik federal dan persidangan sirkuit diselenggarakan dimana Konstitusi Amerika Serikat dan Bill of Rights tidak berlaku bagi orang asing yang ditahan di Guantanamo,31 yang bahkan tidak memiliki hak untuk habeas corpus. Mereka dianggap berada dalam "lubang hitam hukum."32 Sementara itu, sebanyak 200 orang telah dibebaskan dari Guantanamo,33 tapi sekitar 500 masih ditahan dalam penahanan tanpa batas waktu dan hanya empat dari mereka telah didakwa34 dengan pelanggaran yang kabur seperti "konspirasi untuk melakukan kejahatan perang." Pada tanggal 28 Juni 2004, berdasarkan keputusan pengadilan enam berbanding tiga, Mahkamah Agung Amerika Serikat menolak fiksi lubang hitam hukum dan menyatakan bahwa orang-orang yang ditahan di Teluk Guantanamo berhak untuk berkonsultasi dan menolak keabsahan penahanan mereka.35 Sementara komisi militer telah beroperasi di Guantanamo untuk memastikan ancaman, jika ada, yang ditimbulkan oleh tahanan terhadap keamanan Amerika. Tetapi para pejabat Pentagon telah mengkonfirmasi bahwa tahanan Guantanamo masih bisa tetap ditahanan bahkan jika mereka dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan militer.36 Tidak hanya orang asing tapi juga warga negara Amerika telah diisolir dan dikenakan penahanan tanpa batas waktu sebagai "kombatan musuh." Salah satunya, Yaser Hamdi, awalnya ditahan di Guantanamo dan kemudian ditransfer ke penjara angkatan laut di Charleston, South Carolina, di mana ia 66 F.R. 57833 (2001). Alfred de Zayas, op. cit. (note 11), h. 277-341. Lihat, contohnya. Coalition of the Clergy v. Bush, 189 F. Supp. 2nd 1036 (C.D. Cal. 2002). 32 Lord Johan Steyn, “Guantánamo Bay: The legal black hole”, 27th F.A. Mann Lecture to the British Institute of International and Comparative Law, 53 ICLQ 1-15 (2004). 33 “U.S. to free 140 Guantánamo war detainees” Reuters, 30 November 2003; “Transfer of juvenile detainees completed” (tentang pembebasan tiga tahanan remaja ke negara asal mereka yang telah ditahan di Guantanamo selama dua tahun)), Department of Defence News Release No. 057-04, 29 Januari 2004; “Delight at release of Guantánamo men”, BBC News, 11 Maret 2004 (menarik untuk dicatat bahwa tahanan Guantanamo semua dibebaskan ke Inggris dimana di sana mereka dibebaskan tanpa tuduhan oleh pemerintah Inggris tak lama setelah kedatangan mereka dan interogasi); Alan Cowell, “4 Britons and an American to be freed at Guantánamo”, New York Times, 12 Januari 2005. 34 BBC News, 6 Agustus 2004, (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). 35 Al Odah dkk v. United States (No. 03-343) 2004, Rasul v. Bush (No. 03-334) 2004. (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). 36 BBC News, Nick Childs, BBC Pentagon Correspondent “US may hold cleared detainees”, 25 Februari 2004, (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). 30 31

11

ditahan di sel isolasi. Dia menolak penahanannya dengan alasan bahwa karena otorisasi Kongres warga Amerika menyangkut penahanan diperlukan oleh 18 USC § 400 (a) - yang mengatur bahwa "Tidak ada warga harus dipenjara atau ditahan oleh Amerika Serikat, kecuali berdasarkan Undang-Undang Kongres”, Hamdi berhasil membawa kasusnya ke Mahkamah Agung, yang dilakukan pada tanggal 28 Juni 2004 dimana ia berhak mendapat pengacara dan menolak penahanannya. Dalam pendapat mayoritas Hakim Pengadilan Sandra Day O'Connor menyatakan bahwa "keadaan perang bukanlah cek kosong bagi presiden."37 Daripada memberikan pengadilan untuk Mr Hamdi, pemerintah Amerika Serikat membuat kesepakatan dengannya dimana dia dibebaskan pada Oktober 2004, setelah hampir tiga tahun dalam penahanan pra-sidang, dan dideportasi ke Arab Saudi.38 Warga negara Amerika Serikat lain yang masih dalam penahanan tanpa batas waktu adalah Jose Padilla, yang ditahan di sel isolasi penjara militer di South Carolina. Pada prinsipnya, menurut Amandemen Kelima Konstitusi AS, warga AS tidak dapat ditahan tanpa dakwaan. Namun, pemerintahan Bush mengelak hak konstitusional dengan memberi label pada Mr. Padilla sebagai "kombatan musuh," meskipun ia tidak ditangkap di Afghanistan atau Irak, tetapi di bandara O'Hare di Chicago.39 Kejanggalan ini sekarang sedang diuji di depan pengadilan federal AS. Sementara itu Mr. Padilla tetap ditahan tanpa batas waktu. Keamanan nasional: kasus hukum internasional Pada 1970-an dan 1980-an beberapa negara di Amerika Latin mengalami kerusuhan internal yang menyebabkan kudeta militer dan pemerintah oleh junta militer. Dengan dalih bahwa keamanan nasional masing-masing negara dipertaruhkan, para junta mengadopsi undang-undang darurat melawan "terorisme" (misalnya Uruguayan State Security Act, Undang-Undang, Nomor 14068, Acta Institucional No 4 tanggal 1 September 1976 dan No 8 Juli 1977), yang memungkinkan mereka untuk melakukan penangkapan tanpa surat perintah ("langkah-langkah keamanan cepat" Uruguay) dan menahan tersangka tanpa batas waktu atau mengadili mereka di depan pengadilan militer dengan tuduhan "asosiasi subversif " (asociación subversiva) dan "konspirasi" (conspiración contra la constitución). Sejumlah kasus dihadirkan untuk diperiksa di sidang Komite Hak Asasi Manusia, dan ditemukan bahwa penahanan tanpa batas waktu, Hamdi v. Rumsfeld, Kasus No. 03-6696, 2004 U.S. LEXIS 4761 at 51. Jerry Markon, “Hamdi returned to Saudi Arabia: U.S. Citizen’s detention as enemy combatant sparked fierce debate”, Washington Post, 12 Oktober 2004, h. A02. 39 Robert A. Levy, “Jose Padilla: No charges and no trial, just jail”, Cato Institute, 21 Agustus 2003, (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). 37 38

12

penahanan tanpa komunikasi atau penahanan setelah akhir masa hukuman penjara merupakan pelanggaran Pasal 9 Kovenan. Dalam kasus No 5/1977 Komite menemukan pelanggaran Pasal 9, ayat (1), karena Luis María Bazzano "dipenjara dalam tahanan meskipun ada perintah pembebasan dari pengadilan."40 Dalam kasus Nomor 8/1977, pelanggaran terhadap Pasal 9, ayat (1), ditemukan karena orang-orang yang bersangkutan "tidak dibebaskan dalam kasus Alcides Lanza Perdomo, selama lima bulan dan, dalam kasus Beatriz Weismann de Lanza selama 10 bulan, setelah mereka selesai menjalankan hukuman penjaranya."41 Dalam kasus No. 9/1999 Komite menemukan bahwa Pasal 9, ayat (4), telah dilanggar karena selama penahanannya Mr Santullo “tidak memiliki akses ke penasehat hukum. Dia tidak punya kemungkinan untuk mengajukan permohonan habeas corpus. Juga tidak ada keputusan terhadap dirinya yang bisa menjadi subyek banding.”42 Dalam kasus Nomor 52/1979, Komite menemukan pelanggaran Pasal 9, ayat (1), karena Mr López Burgos diculik dari Argentina dan dibawa dengan paksa ke Uruguay, yang merupakan "penangkapan dan penahanan sewenang-wenang."43 Penahanan tanpa komunikasi, apalagi, merupakan pelanggaran Pasal 7 dan 10 dari Kovenan. Dalam kasus Nomor 63/1979, Komite mencatat bahwa Mr Raul Sendic, pemimpin Movimiento de Liberación Nacional (MLP-Tupamaros) telah mengalami periode panjang dikurung sendirian dalam sel bawah tanah, dengan kekurangan makanan dan mengalami kekerasan, ia juga mengalami plantón (berdiri tegak dengan mata ditutup) dan diperbolehkan untuk tidur atau beristirahat hanya untuk beberapa jam pada suatu waktu, dan bahwa ia telah menolak kunjungan keluarga dan perawatan medis.44 Demikian pula, dalam kasus No 10/1977, Komite menemukan pelanggaran Pasal 10 Kovenan karena Mr. Altesor telah ditahan tanpa komunikasi selama 16 bulan.45 Penahanan tanpa batas waktu terhadap pengungsi dan migran: kasus hukum nasional Penahanan tanpa batas waktu telah menjadi nasib puluhan ribu pencari suaka dan migran ilegal di sejumlah negara demokrasi, termasuk Amerika Serikat dan Australia. Meskipun angkanya mengejutkan, pers relatif tidak menaruh perhatian besar pada ribuan warga Haiti yang ditahan oleh Amerika Serikat di Selected Decisions of the Human Rights Committee under the Optional Protocol, Volume I, h. 42. UN Doc.CCPR/C/OP/1, New York, 1985. 41 Ibid., p. 49 para. 16. See also case No. 43/1979 Drescher v. Uruguay, Selected Decisions, UN Doc.CCPR/C/OP/2, Volume 2, h. 80 dst., ayat 14; kasus No. 84/1981, Dermit v. Uruguay, h. 112 dst., ayat10; No. 107/1981, Almeida de Quinteros v. Uruguay, h. 138 dst.; No. 139/1981 Conteris v. Uruguay,h. 168 dst., ayat 10. 42 Ibid, Vol I, h. 44, ayat10 43 Ibid, Vol I, h. 91, ayat 13 44 Ibid, Vol I, h. 104, ayat 20 45 Ibid, Vol I, h. 107, ayat 9, 2, dan 15 40

13

Teluk Guantanamo pada 1990-an, lebih dari 1.000 "Marielitos" (pengungsi Kuba) yang telah ditahan di penjara Amerika Serikat selama beberapa puluh tahun, atau ribuan pengungsi Afghanistan yang dicegat di perairan Australia dan saat ini ditahan di Nauru di bawah pengawasan imigrasi tanpa harapan nyata akan dibebaskan. Meskipun 30.000 warga Haiti dipulangkan ke Haiti, masih ada manusia perahu Haiti yang banyak ditahan tanpa batas waktu di pusat-pusat penahanan di Florida. Pada tanggal 26 April 2003 Jaksa Agung US John Ashcroft memerintah, dalam kasus seorang imigran Haiti yang telah memenangkan hak untuk dibebaskan dengan jaminan sambil menunggu keputusan tentang klaim suaka, bahwa imigran gelap yang tidak memiliki link ke kelompok teroris dapat ditahan tanpa batas waktu untuk mengatasi masalah keamanan nasional. Sementara Jaksa Agung tidak mengklaim bahwa orang tersebut adalah ancaman terhadap keamanan, ia berpendapat bahwa pembebasan orang tersebut dan orang lain seperti dirinya "akan cenderung mendorong lonjakan migrasi masal lebih lanjut dari Haiti melalui laut, dengan petugas diambil dari keamanan nasional dan sumber daya keamanan dalam negeri.”46 Mr Ashcroft berpendapat bahwa keputusannya itu diperlukan untuk mencegah migrasi masal. Sementara "Marielitos" menjalani hari mereka di pengadilan. Kasus Daniel Benitez,47 seorang pengungsi Kuba dari pengungsi 1980 yang menuju Amerika Serikat dari kota pelabuhan Mariel di Kuba,48 telah berpendapat di depan Mahkamah Agung pada tanggal 13 Oktober 2004. Keputusan Mahkamah Agung baru saja diberikan pada publik pada tanggal 12 Januari 2005. Hal ini menegaskan kembali putusan dalam kasus imigrasi yang diputuskan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 2001, berpendapat bahwa penahanan imigran harus dibatasi dengn ‘waktu yang masuk akal’. Putusan 2001 mencakup periode penahanan yang diwajibkan sementara Amerika Serikat berusaha untuk menemukan sebuah negara ketiga yang disiapkan untuk menerima pendatang asing yang dideportasi. Dalam Zadvydas v Davis, 533 US 678 (2001), Mahkamah Agung memutuskan bahwa non-warga yang sudah diakui oleh Amerika Serikat sebagai penduduk tetap yang sah dan tidak bisa dideportasi tidak boleh ditahan tanpa batas waktu. 5 berbanding 4 pendapat mayoritas Hakim Stephen Breyer mencatat bahwa penahanan

Rachel L. Swans, “Illegal aliens can be held indefinitely, Ashcroft says,” New York Times 26 April 2003 Benítez v. Rozos, No. 03-7434, dan Clark v. Martínez, No. 03-8978, berpendapat di depan Mahkamah Agung pada 13 Oktober 2004. Lihat Stanley Mailman dan Stephen Yale-Loehr, New York Law Journal, 25 Oktober 2004. Lihat juga Charles Gordon, Stanley Mailman dan Stephen yale-Loehr, Immigration Law and Procedure §62.01 (edisi revisi 2004); Stephen Henderson, “Justices question indefinite detention of Cubans due deportation”, The Advocate, Baton Rouge, Louisiana, 14 Oktober 2004, h. 10; Steve Lash, “Court mulls Cubans’ indefinite detention”, Chicago Daily Law Bulletin, 14 Oktober 2004, h. 2. Lihat juga Amicus Brief of the Florida Immigrant Advocacy Centre and the American Civil Liberties Union on behalf of Mr Benítez: (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). 48 125.000 warga Kuba datang ke Amerika Serikat pada tahun 1980 ketika Fidel Castro membolehkan mereka untuk pergi. Sekitar 1.000 dari mereka terlibat konflik dengan penegak hukum AS, menjalani hukuman dan telah mendekam dalam tahanan penundaan deportasi imigrasi. 46 47

14

tanpa batas waktu akan menimbulkan "ancaman konstitusional serius" dan bahwa batas waktu yang wajar yakni enam bulan harus ditafsirkan ke dalam hukum.49 Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Clark, Field Office Director, Seattle, Immigration and Customs Enforcement, et. al. v. Martínez, surat perintah kepada Pengadilan Banding Amerika Serikat untuk Area Kesembilan, dan Daniel Benitez v. Michael Rozos, Field Office Director, Miami, Florida Immigration and Customs Enforcement, tentang surat perintah kepada Pengadilan Banding Amerika Serikat untuk Area Kesebelas, menyatakan bahwa: "Sejak Pemerintah memberi kesan tak ada alasan mengapa periode waktu yang diperlukan lebih panjang untuk melakukan pemulangan pendatang yang tidak dapat diterima, maka dugaan enam bulan penahanan yang ditentukan dalam Zadvydas pun berlaku.50 Martínez dan Benitez ditahan jauh melampaui waktu enam bulan setelah perintah pemulangan mereka mencapai final. Tak ada yang dikemukakan Pemerintah untuk mengindikasikan bahwa kemungkinan besar pemulangan tersebut tetap ada meskipun berlalunya enam bulan (memang, ia mengakui bahwa hal itu bahkan tidak lagi tercakup dalam negosiasi repatriasi dengan Kuba); dan Pengadilan distrik untuk setiap kasus telah memastikan bahwa pemulangan ke Kuba agaknya tidak dapat diperkirakan, petisi habeas corpus seharusnya diberikan. Oleh karena itu, kami menegaskan putusan dari Sirkuit Kesembilan, membalikkan putusan Sirkuit Kesebelas, dan mengirim kembali kedua kasus tersebut untuk proses konsisten dengan pendapat ini.”51 Menurut pendapatnya, Hakim Sandra Day O'Connor menunjukkan, bagaimanapun, bahwa pemerintah AS masih memiliki sarana hukum lain untuk menahan pendatang yang pemulangannya tidak dapat diperkirakan dan yang kehadirannya menimbulkan risiko keamanan. Hakim Antonin Scalia mengamati bahwa Kongres bisa mengubah undang-undang imigrasi yang mengatur tentang penahanan. Implikasinya adalah bahwa masalah hukum internasional pada dasarnya tidak relevan, dan bahwa apapun yang dilakukan Kongres AS, bahkan jika melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, adalah hukum. Apakah dan kapan Mr Benitez dan "Marielitos" lainnya akan dibebaskan dari penahanan tanpa batas waktu tetap menjadi sebuah spekulasi. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa, meskipun kasus Martínez dan Benitez tidak ada hubungannya dengan perang melawan terorisme dan penahanan mereka terjadi lebih dahulu dari peristiwa 11 September 2001, pemerintahan Bush meminjam argumen keamanan nasional dalam rangka untuk membatasi imigrasi. Pengacara Umum Theodore Olson memperingatkan Mahkamah Agung bahwa 533 U.S. 678 (2001) di 701. Ibid., di 699. 51 543 U.S. (2005). 49 50

15

larangan penahanan tanpa batas waktu akan berisiko menciptakan "pintu belakang menuju Amerika Serikat" bagi orang asing yang berbahaya, dan kewajiban pelepasan para tahanan akan menciptakan "sebuah kesenjangan yang jelas dalam keamanan perbatasan yang dapat dieksploitasi oleh pemerintah musuh atau organisasi yang berusaha untuk menempatkan orang-orang di Amerika Serikat untuk tujuan mereka sendiri.”52 Dan, memang, Pengadilan Banding AS untuk Sirkuit kesebelas dalam kasus Benitez telah memutuskan bahwa pengadilan tidak boleh mengganggu kekuatan cabang politik lain untuk memenjarakan imigran ilegal yang berbahaya. Di Australia, di bawah rezim penahanan wajib, Undang-Undang Migrasi mewajibkan non-warga negara yang melanggar hukum untuk ditahan sampai mereka memperoleh visa, dideportasi atau dipulangkan dari Australia. Pada tanggal 6 Agustus 2004 Pengadilan Tinggi Australia, dengan suara 4-3, menjunjung tinggi praktek pemerintah Australia untuk menahan tanpa batas waktu pencari suaka yang gagal sesuai dengan Undang-Undang Migrasi 1958, mengesampingkan keputusan Pengadilan Federal sebelumnya dimana orang-orang tersebut tidak boleh ditahan tanpa batas waktu bahkan jika tidak ada negara yang bersedia membawa mereka. Putusan Pengadilan Tinggi menyangkut dua pencari suaka, orang Palestina tak bernegara Ahmed al-Kateb, dan Iraqi Abbas al Khafaji, yang gagal memperoleh visa tetapi tidak dapat kembali ke negaranya atau ke negara lain. Keputusan itu juga mempengaruhi 13 pencari suaka lainnya yang telah dibebaskan menunggu keputusan. Pada tanggal 7 Oktober 2004, Pengadilan Tinggi Australia sekali lagi memutuskan bahwa penahanan tanpa batas waktu adalah sah menurut hukum Australia, meskipun fakta bahwa hal itu mungkin tidak kompatibel dengan kewajiban hak asasi manusia internasional Australia. Woolley (Manager Pusat Penahanan Imigrasi Baxter); Aplikasi Ex parte M276/2003 oleh Next Friend GS mereka menyangkut empat anak asal Afghanistan yang telah ditahan selama lebih dari tiga tahun dalam tahanan imigrasi. Dalam menolak aplikasi mereka untuk dibebaskan Hakim McHugh mengamati: "Keputusan Komite Hak Asasi Manusia PBB pada A v Australia, 53 C v Australia54 dan Bakhtiyari v Australia, pertimbangan Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan yang sewenang-sewenang55 dan rezim Lihat (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). Lihat juga “Mahkama Agung setuju untuk mempertimbangkan kasus penahanan imigran,” 16 Januari 2004, tersedia di: (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). 53 Kasus No 560/1993, Pandangan-pandangan diadopsi pada 3 April 1997, UN Doc. A/52/40, Vol. II, Annex VI Sec. L. 54 Kasus No. 900/1999, C. v. Australia, Pandangan-pandangan diadopsi 28 Oktober 2002. UN Doc. A/58/40, Vol., II, Lmpiran VI R. 55 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Komisi Hak Asasi Manusia, Hak Sipil dan Politik, termasuk Masalah: Penyiksaan dan Penahanan, Report of the Working Group on Arbitrary Detention, UN Doc. E/CN4/2000/4, (1999) Lampiran 52

2. Dalam Pertibangan No 5, Kelompok Kerja mengusulkan sejumlah prinsip mengenai penahanan terhadap pencari 16

penahanan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Selandia Baru menunjukkan bahwa rezim yang memberikan kewenangan penahanan wajib terhadap non-warga yang melanggar hukum mungkin dianggap sewenang-wenang walaupun rezim memungkinkan tahanan untuk meminta pemulangan setiap saat. Mereka menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih yang diwajibkan jika rezim tidak didapati melanggar Konvensi Pengungsi, ICCPR atau Konvensi Hak Anak, atau sebaliknya bertentangan dengan hukum internasional. Sesuatu yang lebih mungkin termasuk tinjauan yudisial berkala terhadap perlunya penahanan, semacam periode tertentu dari penahanan dan tidak adanya sarana yang kurang membatasi untuk mencapai tujuan yang disebabkan oleh penahanan terhadap non-warga negara yang melanggar hukum. “"Namun, masalah di Pengadilan ini bukanlah apakah penahanan terhadap pemohon sewenangwenang menurut yurisprudensi internasional, apakah hal itu merupakan pelanggaran terhadap berbagai Konvensi dimana Australia merupakan salah satu pihak atau apakah hal itu bertentangan dengan praktek negara lain. Apakah Parlemen bertujuan menghukum anak yang merupakan tahanan, sehingga, untuk tujuan Konstitusi, Parlemen telah melaksanankan atau memberi wewenang Eksekutif untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman Persemakmuran. Pada masalah yang sangat berbeda itu, yurisprudensi internasional dan praktek dari negara lain tidak membantu. Itu karena tujuan ss 189 dan 196 adalah tujuan pelindung—untuk mencegah pelanggaran hukum oleh non-warga negara, termasuk anak-anak, masuk ke dalam masyarakat Australia sampai salah satu dari syarat di s 196 (1) terpenuhi. (...) Apakah Australia mungkin melanggar kewajiban internasionalnya atau tidak, tidak dapat mempengaruhi pertanyaan konstitusional. Untuk alasan yang telah saya berikan, ss 189 dan 196 adalah undang-undang yang valid dan berlaku bagi anak-anak non-warga negara yang melanggar hukum."56 Oleh karena itu, keempat anak tersebut tetap dalam tahanan imigrasi tanpa batas waktu. Penahanan imigrasi: Yurisprudensi internasional Seperti terlihat di atas, sudah menjadi peran Komite Hak Asasi Manusia PBB untuk membangun yurisprudensi internasional penting terhadap praktek penahanan tak terbatas waktu dari para migran. Yurisprudensi ini menjelaskan unsur-unsur konstitutif dari sebuah penahanan ilegal. Jadi bukan hanya karena elemen waktu yang mengarah pada kesimpulan bahwa penahanan tersebut ilegal, tetapi kombinasi suaka, termasuk Prinsip 7, yang mewajibkan bahwa penahanan harus dilakukan dengan jangka waktu yang ditetapkan "diatur oleh hukum" dan "mungkin sama sekali tidak dibatasi atau panjang yang berlebihan”: Lampiran 2, h. 30. 56 Woolley (Manager of the Baxter Immigration Detention Centre); Ex parte, Applicants M276/2003 by their Next Friend GS, ayat (114)-(116).

17

dari faktor-faktor yang menyertai aksi perampasan kebebasan, kemungkinan peninjauan berkala dan prinsip proporsionalitas. Dalam keputusan baru-baru ini berdasarkan Pasal 9 ICCPR mengenai penahanan keluarga Afghanistan, Komite menyatakan bahwa: “Mengenai Ny. Bakhtiyari dan anak-anaknya, Komite mengamati bahwa Ny. Bakhtiyari telah ditahan di penahanan imigrasi selama dua tahun dan sepuluh bulan, dan terus ditahan, sementara anakanak tetap dalam penahanan imigrasi selama dua tahun dan delapan bulan hingga pembebasan mereka atas perintah sementara Pengadilan Keluarga. Pembenaran apapun dilakukan pada penahanan awal untuk tujuan memastikan identitas dan masalah lain, Negara Pihak belum, dalam pandangan Komite, menunjukkan bahwa penahanan mereka itu dibenarkan selama periode yang diperpanjang tersebut. Dengan mempertimbangkan khususnya susunan keluarga Bakhtiyari, Negara Pihak belum menunjukkan bahwa langkah-langkah lainnya tidak bisa mencapai tujuan yang sama sesuai dengan kebijakan imigrasi Negara Pihak dengan, misalnya, mengenakan kewajiban pelaporan, jaminan atau syarat lain yang akan bertanggung jawab terhadap keadaan khusus keluarga tersebut. Akibatnya, kelanjutan dari penahanan imigrasi untuk Ny. Bakhtiyari dan anak-anaknya selama jangka waktu yang disebutkan di atas, tanpa pembenaran yang tepat, adalah sewenang-wenang dan bertentangan dengan Pasal 9, ayat (1), Kovenan.”57 Dalam kasus lain yang menyangkut Australia, individu yang masih dalam tahanan imigrasi tanpa batas waktu menderita trauma psikologis karena penahanan yang berkepanjangan. Komite memutuskan bahwa tidak hanya Pasal 9 ICCPR yang dilanggar, tetapi juga bahwa pelanggaran terhadap Pasal 7 telah terjadi. Dalam pandangannya Komite mengamati: “Mengenai tuduhan penulis bahwa periode pertama penahanannya berarti pelanggaran Pasal 7, Komite mencatat bahwa bukti kejiwaan yang muncul dari pemeriksaan terhadap penulis selama jangka waktu yang diperpanjang, yang diterima oleh pengadilan Negara Pihak dan pengadilan, pada dasarnya sepakat bahwa penyakit jiwa penulis berkembang sebagai akibat dari waktu yang berlarut-larut dalam penahanan imigrasi. Komite mencatat bahwa Negara Pihak menyadari, setidaknya dari Agustus 1992 ketika ia diresepkan obat penenang, tentang masalah kejiwaan yang dihadapi penulis. Memang, pada bulan Agustus 1993, jelas bahwa ada konflik antara penahanan lanjutan penulis dan kewarasannya.

Pada 29 Oktober 2003 Komite HAM mengadopsi pandangan-pandangan tentang komunikasi No. 1069/2002, diajukkan oleh Mr Ali Acsar Bakhtiyari dan Mrs Roquahia Bakhtiyari, UN Doc. A/59/40, Vol. II, Lampiran IX DD, ayat 9.3. 57

18

Meskipun penilaian semakin serius terhadap kondisi penulis pada bulan Februari dan Juni 1994 (dan usaha bunuh diri), hanya pada bulan Agustus 1994 dimana Menteri memegang kekuasaan yang luar biasa untuk membebaskannya dari tahanan imigrasi dengan alasan medis (sementara secara hukum ia tetap ditahan). Seperti yang ditunjukkan peristiwa selanjutnya, pada saat itu penyakit penulis telah mencapai tingkat keparahan yang akan diikuti konsekuensi permanennya. Dalam pandangan Komite, penahanan lanjutan terhadap penulis ketika Negara Pihak menyadari kondisi mental penulis dan gagal untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan mental penulis merupakan pelanggaran hak-hak menurut Pasal 7 Kovenan."58 Mekanisme penanganan Prosedur keluhan individu Individu tidak punya kedudukan di hadapan Mahkamah Internasional di Den Haag dan karena itu tidak dapat secara langsung mengajukan kasus mereka untuk mendapat keputusan oleh ICJ. Namun, Pengadilan Dunia dapat memeriksa pelanggaran hak asasi manusia individu jika suatu negara dengan kedudukan di depan ICJ mengajukan kasus kontroversial untuk ajudikasi, atau jika Majelis Umum atau Dewan Keamanan, sesuai dengan Pasal 96 dari Piagam PBB, mengajukan pertanyaan hukum mengenai hak-hak individu kepada ICJ atas advisory opinion-nya. Hal ini jarang terjadi, contoh paling baru adalah dalam konteks advisory opinion 9 Juli 2004 mengenai Konsekuensi Hukum Pembangunan Tembok di Wilayah Pendudukan Palestina. Selain ICJ, organ utama yang universal yang dapat memeriksa petisi dari individu adalah Komite Hak Asasi Manusia, di bawah Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Komite Anti Penyiksaan, sesuai dengan Pasal 22 Konvensi Menentang Penyiksaan . Tak satu pun dari prosedur ini tersedia bagi orang yang ditahan oleh Amerika Serikat atau Inggris, karena negara-negara ini belum mengakui prosedur pengaduan masing-masing individu. Australia, bagaimanapun, telah menerima keduanya, dan keluhan individu dalam kaitannya dengan penahanan tanpa batas waktu yang telah berhasil diperiksa. Individu yang ingin mengambil manfaat dari prosedur Protokol Opsional harus menggunakan solusi domestik sejauh yang tersedia. Komite dapat, bagaimanapun, memeriksa kasus-kasus bahkan ketika solusi-solusi tersebut belum habis jika undang-undang dan kasus-hukum Negara Pihak membuat

58

C. v. Australia, op. cit. (note 54). UN Doc. A/58/40, op. cit. (note 54),ayat (8).4.

19

semua solusi itu sia-sia. Ini adalah situasi Omar Sharif Baban v Australia, di mana Komite memutuskan berdasarkan penerimaan dan manfaat tanggal 6 Agustus 2003: “"Seperti klaim penulis berdasarkan Pasal 9, Komite mencatat bahwa pengadilan tertinggi Negara Pihak telah menetapkan bahwa ketentuan penahanan wajib adalah konstitusional. Komite mengamati, dengan mengacu pada yurisprudensi sebelumnya, bahwa (...) satu-satunya hasil proses habeas corpus di Pengadilan Tinggi atau pengadilan lainnya akan mengkonfirmasi bahwa ketentuan penahanan wajib berlaku pada penulis karena kedatangan yang tidak sah. Oleh karena itu, tidak ada solusi yang efektif masih tersedia bagi penulis untuk menolak penahanan dalam ketentuan Pasal 9, dan klaim ini akhirnya diterima.”59 Komite terus menemukan pelanggaran Pasal 9, dan mengamati: “Mengenai klaim berdasarkan Pasal 9, Komite mengingatkan yurisprudensinya, untuk menghindari karakterisasi kesewenang-wenangan, penahanan seharusnya tidak berlangsung melampaui masa dimana Negara Pihak dapat memberikan justifikasi yang tepat.60 Dalam kasus ini, penahanan terhadap penulis sebagai warga non-negara tanpa ijin masuk dilanjutkan, dalam masa wajib, hingga ia dipulangkan atau diberikan ijin. Sementara Negara Pihak mengajukan alasan tertentu untuk membenarkan penahanan individu (ayat 4.15 dst.), Komite mengamati bahwa Negara Pihak telah gagal menunjukkan bahwa alasan tersebut membenarkan penahanan lanjutan si penulis mengingat berlalunya waktu dan keadaan yang mengintervensi seperti kesulitan si anak karena penahanan yang berkepanjangan atau fakta bahwa selama periode tinjauan tersebut Negara Pihak ternyata tidak memulangkan warga Irak dari Australia (ayat 4.12). Secara khusus, Negara Pihak belum menunjukkan bahwa, mengingat keadaan tertentu si penulis, tidak ada cara yang kurang invasif untuk mencapai tujuan yang sama, yang mengatakan, sesuai dengan kebijakan imigrasi Negara Pihak dengan, misalnya, pengenaan kewajiban pelaporan, jaminan atau syarat lainnya. Komite juga mencatat bahwa dalam kasus ini penulis tidak mampu untuk menolak penahanan lanjutan di pengadilan. Tinjauan yudisial atas penahanan akan dibatasi pada penilaian apakah penulis adalah seorang non-warga negara yang masuk tanpa dokumen yang sah, dan, dengan operasi langsung dari undang-undang yang relevan, pengadilan yang relevan tidak akan mampu mempertimbangkan argumen bahwa penahanan individu tidak sah dalam hal Kovenan. Tinjauan yudisial tentang keabsahan penahanan berdasarkan Pasal 9, ayat (4),

59 60

UN Doc. A/58/40, Vol. II, Lampiran VI CC, ayat (6).6. A. v. Australia, Kasus No 560/1993, Pandangan-pandangan diadopsi pada 3 April 1997, UN Doc. A/52/40, Lampiran VI Sec. L.

20

tidak terbatas pada kepatuhan penahanan terhadap hukum domestik belaka tetapi harus mencakup kemungkinan untuk memerintahkan pembebasan bila penahanan tidak sesuai dengan persyaratan Kovenan, khususnya Pasal 9, ayat (1). Dalam hal ini, penulis dan putranya ditahan dalam penahanan imigrasi selama hampir dua tahun tanpa pembenaran individu dan tanpa kesempatan tinjauan yudisial substantif terhadap kompatibilitas lanjutan dari penahanan mereka dengan Kovenan. Dengan demikian, hak-hak dari penulis maupun anaknya dalam Pasal 9, ayat (1) dan (4), dari Kovenan ini telah dilanggar.”61 Selain prosedur petisi kuasi-yudisial Komite Hak Asasi Manusia dan Komite Menentang Penyiksaan, ada juga mekanisme penanganan non-mengikat seperti perantaraan Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang, yang, misalnya, dalam laporannya kepada sesi ke 59 Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia (2003) yang mengecam penahanan tanpa batas waktu orang Afghanistan dan lainnya di Teluk Guantanamo,62 dan "1503 Prosedur “dari Sub-Komisi Pendukung dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, yang selama beberapa tahun secara rahasia memeriksa situasi penahanan tanpa batas waktu dari para "Marielitos", tanpa, bagaimanapun, membujuk Amerika Serikat untuk menghentikan kekejaman ini.63 Dalam sistem regional Eropa, semua orang di bawah yurisdiksi negara anggota Dewan Eropa dapat mengajukan pengaduan individual ke Pengadilan HAM Eropa di Strasbourg. Dalam sistem regional Amerika, semua orang di bawah yurisdiksi negara anggota Organisasi Negara-negara Amerika dapat mengajukan kasus kepada Komisi Inter-Amerika tentang Hak Asasi Manusia di Washington DC. Dalam sistem regional Afrika, semua orang di bawah yurisdiksi negara peserta Piagam Afrika dapat mengajukan pengaduan individual kepada Komisi Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat di Banjul, Gambia. Langkah-langkah perlindungan sementara Semua prosedur pengaduan individu juga termasuk kemungkinan meminta tindakan perlindungan sementara, misalnya sesuai Aturan 86 dari peraturan prosedur Komite Hak Asasi Manusia dan sesuai Aturan 108 dari peraturan prosedur Komite Menentang Penyiksaan. Dalam kedua kasus, tesnya adalah Ibid., ayat (7).2. Laporan Kelompok Kerja tentang Penahanan yang Sewenang-wenang, UN ESC HCHROR, sesi ke 59, UN. Doc. E/CN.4/2003/8 63 Hasil buntu dari kenyataan bahwa Amerika Serikat ingin mendeportasi Mr Benitez dan sekitar 1.000 orang "Marielitos" lainnya kembali ke Kuba, namun Kuba menolak menerima mereka. Dengan demikian, mereka tetap dalam penahanan tanpa batas waktu di Amerika Serikat. Sebagai pengacara Mr Benítez, John Mills dari Jacksonville, Florida, menyatakan, mereka "menghadapi kemungkinan yang sangat nyata dari menghabiskan sisa hidup mereka dipenjara, bukan karena kejahatan yang mereka telah lakukan, tetapi karena negara mereka tidak mau menerima mereka kembali.” (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). 61 62

21

dari "kerugian yang tidak dapat diperbaiki" terhadap korban, dimana Komite meminta Negara-Negara Pihak untuk mencegahnya. Prosedur pengaduan antar-Negara Mengingat bahwa perjanjian hak asasi manusia menciptakan kewajiban erga omnes, negara manapun berpotensi membawa kasus di hadapan pengadilan internasional atau komite ahli, asalkan kriteria penerimaannya dipenuhi. Penahanan tanpa batas waktu adalah ratione materiae subjek yang sah untuk pengaduan antar-negara, karena setiap pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia adalah perhatian setiap negara dan masyarakat internasional secara keseluruhan. Menurut Pasal 36 dari Statuta, Mahkamah Internasional menerima kasus yang dirujuk kepadanya oleh negara yang mencari ajudikasi terhadap sengketa tertentu; Pengadilan melakukannya juga atas dasar suatu deklarasi umum atas pengakuan yurisdiksinya, dan ketika negara menerima Pengadilan yurisdiksi dalam teks perjanjian tertentu. Beberapa negara, bagaimanapun, tidak menerima yurisdiksi ipso facto wajib dari Mahkamah Internasional, termasuk Amerika Serikat. Ketika AS muncul di hadapan Mahkamah Internasional, biasanya berdasarkan ketentuan perjanjian yang membutuhkan penyelesaian sengketa oleh ICJ, seperti Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler, di mana Amerika Serikat adalah peserta. Ini adalah kasus pada keputusan pengadilan 31 Maret 2004 Meksiko v Amerika Serikat, sehubungan dengan Mr Avena dan 50 warga Meksiko lainnya, di mana ICJ menemukan bahwa Amerika Serikat telah melanggar Konvensi Wina tersebut. Menurut Pasal 41 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, suatu negara yang telah menyatakan pengakuannya atas kompetensi, mengenai diri sendiri, atas Komite Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki dan mengadili dapat membawa masalah terhadap negara lain yang juga telah mengakui kompetensi Komite. Sejak Amerika Serikat membuat deklarasi tersebut, negara lain yang juga melakukannya dapat mengajukan pengaduan antar-negara atas pelanggaran Pasal 9 Kovenan berkaitan dengan orang-orang yang ditahan di Guantanamo atau penahanan tanpa batas waktu para "Marielitos ". Tidak perlu bagi negara mengajukan keluhan untuk menjadi negara kebangsaan dari orang-orang yang bersangkutan, karena pelanggaran Pasal 9 Kovenan adalah erga omnes dan dengan demikian merupakan kepentingan yang tulus yang memberikan kedudukan kepada pihak negara lain dalam ICCPR . Australia dan Inggris telah juga membuat pernyataan tersebut sesuai dengan Pasal 41 Menurut Pasal 21 Konvensi Menentang Penyiksaan, suatu negara yang telah menyatakan penerimaan, menyangkut diri sendiri, penyelidikan dan ajudikasi oleh Komite Menentang Penyiksaan dapat 22

membawa masalah terhadap negara lain yang juga telah membuat deklarasi tersebut. Menimbang bahwa penahanan tanpa batas waktu merupakan perlakuan tidak manusiawi yang melanggar Pasal 16 dari Konvensi dan bisa dibilang hal itu juga merupakan pelanggaran terhadap ketentuan lainnya, keluhan antarnegara adalah materiae ratione yang bisa diterima. Australia, Amerika Serikat dan Inggris telah membuat deklarasi tersebut yang mengakui kompetensi Komite. Dalam, sistem Eropa, Amerika dan Afrika keluhan antar-negara juga mungkin dan bisa efektif dalam menekan Amerika untuk meninggalkan praktik penahanan tanpa batas waktu. Negara juga dapat meminta pengadilan yang relevan untuk menyerukan langkah perlindungan sementara yang harus diambil, misalnya sesuai dengan Pasal 41 dari Statuta Mahkamah Internasional atau prosedur pengaduan antar-negara yang relevan. Solusi-solusi yang tersedia bagi para korban Solusi yang paling penting bagi korban penahanan tanpa batas waktu adalah segera dibebaskan. Prinsip ini diabadikan dalam konvensi hak asasi manusia universal dan regional. Sesuai dengan prinsip ubi jus, ibi remedium, kompensasi juga harus diberikan, apakah konvensi HAM khusus dan regional memperkirakan kompensasi tersebut atau tidak. Pasal 9, ayat (5), dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menyatakan: "Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan harus memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi." Dalam sistem regional Eropa, Pasal 5, ayat (5), Konvensi Eropa menyatakan: ". Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal ini harus memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi". Secara umum, Pasal 50 Konvensi menyatakan: "Jika pengadilan memutuskan bahwa sebuah keputusan atau tindakan yang diambil oleh otoritas hukum atau otoritas lain dari Pihak Peserta Agung sepenuhnya atau sebagian bertentangan dengan kewajibankewajiban yang timbul dari Konvensi ini, dan jika hukum internal Pihak tersebut memungkinkan dibuatnya perbaikan parsial atas konsekuensi dari keputusan atau langkah, keputusan Pengadilan akan, jika perlu, memberikan persetujuan kepada pihak yang dirugikan." Sistem regional Amerika tidak memiliki ketentuan khusus untuk kompensasi dalam kasus penahanan sewenang-wenang. Pasal 10 dari Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia hanya menyatakan: "Setiap orang memiliki hak untuk mendapat kompensasi sesuai dengan hukum dalam hal ia telah dijatuhi hukuman oleh keputusan terakhir melalui kegagalan peradilan." 23

Tampaknya logis bahwa seseorang seperti Yaser Hamdi, yang selalu berkeras dirinya tak bersalah dan yang ditahan selama hampir tiga tahun dan kemudian dideportasi ke Arab Saudi tanpa pengadilan, berhak mendapatkan kompensasi atas penahanan sewenang-wenang dan untuk kondisi tak manusiawi dari penahanan tersebut. Namun, hal itu mungkin telah menjadi bagian dari kesepakatan dimana pembebasan diberikan dengan syarat bahwa ia tidak akan menuntut pemerintah AS meminta kompensasi. Atau ia mungkin telah begitu trauma dan diintimidasi oleh pengalamannya di tahanan AS sehingga ia hanya akan ingin melupakannya. Steven Watt, seorang pengacara Inggris yang mewakili tahanan Guantanamo yang dibebaskan Shafig Rasul dan Asif Iqbal, menyatakan bahwa mereka akan mengklaim kompensasi. "Mereka telah menghabiskan dua-setengah-tahun mendekam di penjara itu—itu adalah parodi lengkap sebuah keadilan. Saya pikir mereka dihutangi sesuatu oleh Pemerintah AS, namun apakah mereka akan pernah bisa mendapatkannya, itu jadi persoalan lain.”64 Sehubungan dengan penahanan imigrasi tak terbatas waktu, Komite Hak Asasi Manusia telah membuat rekomendasi konkret untuk Negara-Negara Pihak. Misalnya, Pandangan-pandangan dalam kasus No 900/1999 C. v Australia, Komite merekomendasikan: "Mengenai pelanggaran Pasal 7 dan 9 yang diderita oleh penulis selama periode pertama penahanan, Negara Pihak harus membayar kompensasi yang sesuai pada penulis. Tentang deportasi yang diusulkan penulis, Negara Pihak harus menahan diri mendeportasi penulis ke Iran. Negara Pihak berkewajiban untuk menghindari pelanggaran serupa di masa mendatang.”65 Dalam Pandangan-pandangannya menyangkut Bakhtiyari v. Australia, Komite mengamati: “Sesuai dengan Pasal 2, ayat (3) (a), dari Kovenan, Negara Pihak berkewajiban untuk memberikan kepada penulis sebuah pemulihan yang efektif. Mengenai pelanggaran Pasal 9, ayat (1) dan (4), terus hingga saat ini sehubungan dengan Ny Bakhtiyari, Negara Pihak harus melepaskannya dan membayar kompensasi yang sesuai kepadanya. Sejauh menyangkut pelanggaran Pasal 9 dan 24 yang diderita di masa lalu oleh anak-anak, yang berakhir dengan pembebasan mereka pada tanggal 25 Agustus 2003, Negara Pihak berkewajiban untuk membayar kompensasi yang sesuai untuk anak-anak. Negara Pihak juga harus menahan diri mendeportasi Ny Bakhtiyari dan anak-anaknya, sementara Tuan Bakhtiyari sedang mengejar proses dalam negeri, karena setiap tindakan tersebut sebagai bagian dari Negara Pihak

64 65

BBC News, 11 March 2004, (terakhir dikunjungi 17 Januari 2005). UN Doc. A/58/40, Vol. II, Lampiran VI R, ayat (10).

24

akan mengakibatkan pelanggaran Pasal 17, ayat (1), dan 23, ayat (1), Kovenan."66 Pada saat menulis artikel ini, Australia belum memenuhi rekomendasi ini. Berkenaan dengan kasus yang bahkan lebih serius No 900/1999 tentang Mr C., pada saat menulis artikel ini Australia juga tidak mematuhi rekomendasi Komite. Hal itu memberikan respon sementara oleh note verbale pada 10 Februari 2003 yang menyatakan bahwa setiap upaya sedang dilakukan untuk mengatasi situasi, tapi mengingat sifat kompleks dari masalah-masalah tersebut, konsultasi tingkat tinggi antara otoritas pemerintah diperlukan. Pengacara Mr C., bagaimanapun, memberitahu Komite bahwa Negara Pihak tidak mengambil langkah-langkah untuk memberikan efek pada pandangan-pandangannya dan bahwa si penulis akan terus ditahan.67 Kesimpulan dan rekomendasi Di antara banyak pertanyaan hukum yang harus didegar dan dijawab oleh para pembuat kebijakan adalah tujuan yang sah dari penahanan. Jika tujuannya adalah keamanan nasional, suatu keseimbangan hak harus terjadi. Lebih penting untuk mengatasi akar penyebab terorisme daripada mencoba untuk mengobati gejalanya satu per satu. Hak-hak dasar dan kebebasan tidak harus dikompromikan dalam upaya untuk menyelamatkan mereka dari terorisme. Jika tujuan penahanan adalah untuk mencegah imigrasi ilegal, strategi lain harus ditemukan yang tidak mengabaikan martabat manusia dari calon imigran. Dalam hal ini, solusi proporsional harus dibuat yang harusnya meningkatkan dan bukannya menghancurkan hak asasi manusia. Mengingat bahwa hak asasi manusia adalah kewajiban erga omnes, penting bahwa masyarakat internasional menunjukkan solidaritas dalam menolak penahanan tanpa batas waktu dari orang-orang dalam konteks apapun, baik sehubungan dengan perang melawan terorisme atau dalam konteks kebijakan imigrasi yang ketat. Lebih konkret, kesenjangan harus ditutup antara standar HAM internasional dan hukum nasional dan konstitusi yang berjalan tertatih di belakang, seperti yang digambarkan dalam keputusan Woolley Australia68 Masyarakat sipil harus menuntut bahwa konvensi hak asasi manusia internasional dimasukkan ke dalam konstitusi nasional dan undang-undang. Dalam hal konflik antara hukum internasional dan nasional, hukum internasional lah yang harus menikmati kedudukan tertinggi. Cour de Cassation Perancis baru saja membatalkan putusan pengadilan lebih rendah yang menolak

UN Doc. A/59/40, Vol. II, Lampiran IX DD, ayat (11). UN Doc. A/58/40, Vol. I, ayat (225). UN Doc A/59/40, Vol. I, ayat (230). 68 Lihat teks yag menyertai catatan 56 di atas. 66 67

25

yurisdiksi klaim mantan tahanan Guantanamo karena penahanan ilegal dan sewenang-wenang.69 Sekarang bagi pengadilan Perancis untuk mengkaji bagaimana komitmen internasional Perancis di bawah Konvensi Jenewa Ketiga tahun 1949 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang diterapkan oleh hakim Prancis dalam konteks penahanan.70 Individu maupun Negara harus membuat penggunaan yang lebih baik terhadap mekanisme hak asasi manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan oleh sistem perlindungan hak asasi manusia regional. Misalnya, petisi individual yang menyediakan cara yang berguna untuk memberikan visibilitas ke pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran yang sering luput dari perhatian media. Prosedur keluhan Antar-Negara tetap sangat kurang dimanfaatkan. Sudah saatnya bagi sekelompok negara untuk mengkoordinasikan pengaduan antar-negara berdasarkan Pasal 41 ICCPR dan Pasal 21 dari CAT. Pemeriksaan masalah penahanan tanpa batas waktu oleh Komite Hak Asasi Manusia dan oleh Komite Menentang Penyiksaan dapat berkontribusi pada perumusan kebijakan yang lebih manusiawi di negara-negara yang bertanggung jawab atas penahanan tanpa batas waktu bagi warga dan pendatang. Komite Hak Asasi Manusia PBB telah membentuk yurisprudensi bermakna mengenai penahanan tanpa komunikasi dan penahanan tanpa batas waktu. Prinsip yang sama yang telah diterapkan untuk mengecam penahanan tersebut di negara-negara di seluruh dunia, terutama di tahun 1970-an dan 1980an, juga harus diterapkan dalam konteks perang melawan terorisme saat ini. Sementara hukum hak asasi manusia internasional bukan matematika, ia membutuhkan konsistensi, dan standar ganda tidak boleh ditoleransi. Penahanan tanpa batas waktu dan penyiksaan di Guantanamo melanggar Pasal 7 dan 9 dari Kovenan dengan cara yang sama bahwa praktik serupa melanggar Kovenan pada saat junta militer Argentina, Chile dan Uruguai. Hukum nasional maupun internasional memberikan hak pembenaran bagi orang yang dirampas karena penahanan. Hak-hak ini harus diminta oleh para korban dan masyarakat sipil atas nama mereka. 69 Le Monde, 4 Januari 2005, menyangkut dua belas tahanan Guantanamo, Mourad Benchellali dan Nizar Sassi. Hakim di Lyon menolak untuk mengambil yurisdiksi menyatakan bahwa “aucune convention internationalene donne compétence aux juridictions françaises pour connaître la situation dont les parties civiles se plaignent, laquelle est le résultat, sous l’égide des Nations Unies, de ripostes à des actes terroristes et qui ne saurait dès lors être régie par le seul droit français.” 70 Ibid. Pengacara dua mantan tahanan Guantanamo, Maître William Bourdon, commented: “C’est une décision de principe très importante parce que la Cour de cassation refuse l’idée que, s’agissant de la lutte contre le terrorisme, la fin justifie les moyens et que le droit international humanitaire et le droit français s’effacent devant les résolutions de l’ONU (…). Cela ouvre la voie à des poursuites pénales.”

26

Memang, itu adalah tugas dari setiap korban pelanggaran hukum untuk mengecam dan menuntut perbaikan. Persetujuan dalam praktek penahanan tanpa batas waktu oleh para korban dan / atau oleh masyarakat sipil tidak sesuai dengan budaya hak asasi manusia yang telah muncul secara bertahap melalui upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pengadilan hak asasi manusia regional. Hanya sistem sanksi yang efektif terhadap pelaku dan pemulihan yang tepat untuk korban akan berfungsi sebagai pencegah terhadap pelanggaran di masa depan. Pemulihan dan pencegahan berjalan seiring. Selain itu, solidaritas internasional memerlukan program khusus untuk rehabilitasi korban penahanan tanpa batas waktu, banyak dari mereka menderita trauma sebagai akibat dari penahanan dan membutuhkan bantuan untuk merekonstruksi kehidupan mereka. Ini menempatkan tanggung jawab yang penting terhadap masyarakat sipil. Hal ini mengandung pengulangan bahwa hak asasi manusia dan keamanan tidak bertentangan satu sama lain, tetapi harus saling mendukung. Negara keliru bila mencari keamanan yang lebih besar dengan membatasi hak asasi manusia. Sebaliknya, jika negara-negara mengamati HAM domestik maupun internasional, mereka akan berkontribusi pada lingkungan internasional yang akan mempertahankan perdamaian dan keamanan yang lebih besar bagi semua. Masyarakat sipil harus menolak terorisme negara dan berbahayanya hukum totaliter. Dalam hal ini adalah tepat untuk menyimpulkan dengan kata-kata dari Lord Leonard Hoffmann dalam putusan 16 Desember 2004 dalam kasus penjara Belmarsh: "Ancaman nyata bagi kehidupan bangsa, dalam arti orang-orang yang hidup sesuai dengan hukum kebiasaan dan nilai-nilai politik, tidak berasal dari terorisme tetapi dari hukum-hukum seperti ini. Itu adalah ukuran sejati dari apa yang bisa dicapai terorisme. Parlemen lah yang memutuskan apakah akan memberikan kemenangan semacam itu pada teroris."71

71

Lord Leonard Hoffmann dalam putusan tangga 16 December 2004, op. cit. (note 1) ayat (97).

27

irrc-857 zayas.pdf

Page 1 of 27. 1. Volume 87 Number 857 March 2005. Hak asasi manusia dan penahanan tanpa batas. waktu. Alfred de Zayas . Alfred de Zayas* J.D. (Harvard), ...

485KB Sizes 0 Downloads 122 Views

Recommend Documents

No documents