Tinjauan Mutlaq dan Muqayyad Oleh: Nurhasan, SHI (Cakim PA Bandung)

A. Pendahuluan Sebagian bahasa dalam hukum Islam terkadang hadir dalam bentuk mutlaq dan terkadang adapula yang berbentuk muqayyad. Dan pengistilahan mutlaq dan muqayyad kepada Kitabullah tersebut sering dikenal sebagai “Mutlaqu al-Quran wa Muqayyaduh” atau kemutlakan al-qur‟an dan keterbatasanya. Dalam kitab-kitab ulum al-quran (ulum al-quran)atau usul fikih ada yang menjadikan pembahasan tentang mutlak dan muqayyad dalam satu bab tersendiri dan sebagaian yang lain memasukannya sebagai sub bab dalam pembahasan ‘Amm danKhas. Dalam pembahasan ini penulis tidak menyinggung mengapa terjadi perbedaan pembagian bab atau sub bab antara „ulum al-quran dan „ilmu al-ushul. B. Pengertian Al-qattan mendefinisikan bahwa Mutlaqadalah lafazh yang menunjukan suatu hakikat tanpa suatu qayyid(pembatas).1 Sedangkan Mukhtar yahya dan Fatchurrahman mendefinisikan Lafazh Mutlaq adalah lafazh yang tidak diberi qayyid(pembatasan) yang berupa lafazh yang dapat mempersempit keluasan artinya.2 Dari segi cakupannya, dapat dikatakan bahwa mutlaq sama dengan nakirah yang disertai tanda-tanda keumuman sesuatu lafazh; termasuk jama‟ nakirah yang belum diberi qayyid (ikatan). Misalnya dalam firman Allah:

     Artinya:” Dan mereka yang men-Dhihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang mereka telah ucapkan, maka mereka (wajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan.” ( QS: Al-mujadalah : 3). 1

Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, (t.t, mantsurat „asri al-hadits, 1973) hal. 245. Lafazh Mutlaq ini biasanya berbentuk lafazh nakirah dalam kontek kalimat positif. Selain Al-qattan, ada juga definisi atau pengertian lainnya yang berdekatan misalnya adalah:Imam Ibn Hazm memberikan definisi mutlaq adalah Ungkapan pentang nakirah dalam kontek kalimat yang positif. Muhammad Khudhari Beik yang mendefinisikan Mutlaq adalah lafazh yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzhi. Al-amidi memberi definisi bahwa mutlaq adalah lafazh yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya. Sedangkan Abu Zahrah mengartikan mutlaq sebagai lafazh yang memberi petunjuk terhadap madhu‟nya (sasaran penggunaan lafazh) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. 2 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: PT. Ma‟arif, 1993. hal. 181.

1

Kata (‫ )رقبة‬atau budak dalam ayat tersebut adalah sebuah lafazh yang mutlaq karena tidak diberi qayyid dengan sifat tertentu. Sehingga dalam pengertian diatas budak yang dimaksud adalah segala macam budak, baik yang mukmin atau kafir.3 Adapun Muqayyad adalah lafazh yang menunjukan suatu hakikat dengan qayyid (pembatasan).4 Amir Syarifudin mendefinisikan muqayyad adalah lafazh yang menunjukan hakikat sesuatu yang diikatkan kepada lafazh itu sesuatu sifat.5 Adapun Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman mengatakan lafahz Muqayyad adalah lafazh yang diberi qayyid(pembatasaan)yang berupa lafazh yang dapat mempersempit keluasan artinya.6 Lafazh muqayyad dapat mengambil bentuk sifat, syarat atau juga ghayyah (limit waktu).7 Seperti contoh:

            Artinya:” Dan tidak patut bagi orang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barang siapa yang membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbubuh itu), kecuali jika keluarga terbunuh membebaskan pembayaran. Jika (dia yang terbunuh) dari kaum yang memusuhimu , padahal dia orang yang beriman, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika dia (si terbunuh) dari kaum kafir yang ada perjanjian (damai) antara mereka dan kamu, maka hendaklah si pembunuh membayarkan tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta membebaskan hamba sahaya yang beriman. 3

Lafazh Mutlaq ditinjau dari cakupan jumlah afrad-nya sama dengan lafazh Amm, akan tetapi yang membedakan adalah Lafazh Amm itu bersifat Syumuli (melingkupi, sedangkan keumuman dalam lafazh mutlaq bersifat badali (mengganti). Umum yang bersifat Syumuli adalah kulli (keseluruhan) yang berlaku atas satuansatuan sedangkan umum badali adalah kulli (keseluruhan) dari nsegi tidak terhalang untuk menggambarkan terjadinya kebersamaan, tetapi tidak menggambarkan untuk setiap satuan-satuan, hanya menggambarkan satuan yang meliputi. (Lihat: Amir Syarifudin). 4 Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, (t.t, mantsurat „asri al-hadits, 1973) hal. 246. 5 Amir Syarifuddin, Usul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009). Jilid-2, hal. 123. 6 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: PT. Ma‟arif, 1993. hal. 184. 7 Dalam bentuk sifat misalnya : kata “hamba sahaya yang beriman”, sedangkan dalam bentuk syarat misalnya: “maka barang siapa yang tidak memperoleh hamba sahaya hendaklah berpuasa tiga hari”. Dan dalam bentuk ghayyah adalah lafazh” Kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam hari”.

2

Barang siapa tidak mendapatkan hamba sahaya maka hendaklah si pembunuh berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah maha mengetahui lagi Maha bijaksana. (QS: Al-Nisa‟- 92). Pada ayat tersebut setidaknya ada lafazh khas yang muqayyad. Yaitu:

1.

‫ومن قتل مؤمنا خطا‬Lafazh“qatala”(pembunuh) di qayyidkan dengan kata

“khatha‟an”,(karena salah). Dalam kontek ini maka, kewajiban membayar kifarat dibebankan terhadap pembunuhan yang dilakukan karena kelalaian bukan karena pembunuhan yang lain. Perbedaan antara Mutlaq dan Muqayyad adalah bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada sesuatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Sedangkan Muqayyad menunjuk pada hakikat sesuatu tetapi memperhatikan beberapa hal, baik jumlah atau sifat dan keadaan. Hal, sifat atau keadaan itulah yang di sebut qayyid (ikatan).

‫ رقبة مؤمنة‬Lafazh “raqabatin” (hamba sahaya) diqayyidkan dengan kata “mu‟minah”(yang beriman). Oleh karena ada pembatasan dengan kata yang beriman, maka tidak cukup memerdekakan budak/hamba sahaya yang tidak beriman. 2.

‫ودية مسلمة‬Lafazh

“diyatun”(denda) diqayyidkan dengan “musallamatun”(yang diserahkan). Oleh karenanya denda yang disyaratkan diserahkan kepada keluarga yang terbunuh.

3.

lafazh harus

C. Pembagian Mutlaq dan Muqayyad serta Hukumnya 1. Lafazh Mutlaq itu tetap pada kemutlaqkanya selama tidak ada dalil yang mengqayyidkannya, dan hukum lafazh Muqayyad itu tetap pada kemuqayyadannya. Oleh karena itu apabila pada lafazh Mutlaq ditemukan dalil yang mengqayyidkanya, maka dalil ini (muqayyad) bisa merubah status mutlaq menjadi muqayyad seperti contoh dalam firman Allah SWT:

          3

         Artinya” Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ِ ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS: An-Nisa‟: 12) Lafazh wasiat di atas adalah mutlaq (tidak dibatasi jumlah minimal dan maksimalnya) kemudian wasiat tersebut di qayyidkan dengan sabda rasululah SAW yang berupa jawaban atas pertanyaan sa‟ad bin Abi Waqqash ketika menanyakan kepada rasul perihal kehendaknya yang akan mewasiatkan 2/3 atau ½ harta peninggalanya.8

‫الثلث والثلث كثير او كبير انك ان تذر ورثتك اغنياء خير من ان تذرهم عالة يتكففون الناس‬ )‫(متفق عليه‬ Artinya:” ...Sepertiga, sepertiga itu banyak dan besarm Karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang berkecukupan adalah lebih baik daripada jika kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta- minta kepada orang banyak.(HR. Bukhari dan Muslim). Dengan adanya hadis ini, maka lafazh wasiat yang semula mutlaq (tidak dibatasi) menjadi muqayyad (dibatasi)yaitu dibatasi dengan 1/3 dari harta. 8

Sa‟ad bin Abi Waqqas adalah sahabat rasul yang kaya dan hanya memiliki anak perempuan saja.

4

2. Jika seandainya dalam suatu nash syara‟ pada satu sisi disebutkan secara namun ditempat lain secara muqayyad maka ada beberapa ketentuan tentang antara lain:

Mutlaq hukum ini

a. ‫(حمل المطلق على المقيد‬Membawa yang Mutlaq kepada yang muqayyad). Hal ini terjadi apabila: 1). Hukum dan sebabnya sama. Seperti contoh firman Allah SWT:

 … aynitrA“ Diharamkan atasmu bangkai, darah dan daging babi…”. (QS:Almaidah : 3). KataDarah adalah lafazh mutlaq tanpa disertai penjelasan tentang sifatsifat darah tersebut. Kemudian dalam surat Al-an‟am 145 disebutka bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Firman Allah SWT:

   …  Artinya: “ Katakanlah! Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi…(QS: Al-an‟am: 145). Jadi darah yang disebutkan dalam surat Al-an‟am diatas diberi hukum dengan lafazh “masfuhan” (mengalir). Oleh karenanya berdasarkan kaidah diatas ( ‫حمل‬ ‫)المطلق على المقيد‬, maka memenangkan muqayyad atas yang mutlaq karena qayyid yang ditunjuk oleh kedua ayat tersebut adalah sama yaitu tentang haramnya darah dan sebab yang menjadikan dasar penetapan hukum yang diambil dari kedua ayat adalah sama yakni keadaan dia berupa darah.9 2).Hukumnya sama, sebabnya berbeda.Seperticontoh pada kata” Budak” dimana budak dalam konotasi yang disebutkan surat al-mujadalah 3 (masalah menzhihar istri) adalah bersifat mutlaq, sedangkan kata “budak” yang dikonotasikan dalam surat an-nisa‟ 92 (masalah pembunuhan karena 9

Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: PT. Ma‟arif, 1993). hal. 187.

5

khilaf)diqayyidkan dengan iman. Jika terjadi seperti ini maka, hukum yang diambil dari kedua ayat ini adalah sama yaitu wajibnya memerdekakan budak, sedang sebab yang digunakan untuk menetapkan hukumnya tidak sama. Jika pada surat al-mujadalah 3 sebabnya adalah kerena kehendak orang yang menzhihar untuk dapat rujuk kembali kepada istrinya. maka pada surat al-nisa‟ 92 adalah membunuh karena khilaf. Dalam contoh ini maka yang dimenangkan adalah yang muqayyad. b. ‫(ال يحمل المطلق على المقيد‬Tidak membawa mutlaq kepada muqayyad).

Hal ini terjadi manakala: 1). Hukum dan sebab tidak sama. Contohnya adalah firman Allah SWT:     Artinya:”Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa, maha bijak.” (QS: Al-maidah: 38). Kata “tangan” adalah bentuk mutlaq, karena tanpa ada pembatasaan setelahnya apakah sampai pergelangan atau siku. Sedangkan redaksi tangan yang ditemukan dalam surat Almaidah ayat 6 yaitu:      Artinya:” Hai! Orang-orang yang berimanapabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukanmu dan tanganmu sampai dengan siku…”.(QS: Almaidah: 6). Kata tangan diberikan qayyid yaitu hingga siku-siku, Jika hal ini terjadi (dimana subab dan hukum tidak sama) yaitu: hukum pada surat Al-maidah 38 adalah hukum memotong tangan dan dalam surat Al-maidah 6 hukum yang digunakan adalah tentang hukum 6

membasuh tangan pada saat wudhu. Sedangkan sebab yang digunakan, dalam surat Al- maidah 38 adalah karena mencuri dan dalam surat Almaidah 6 adalah hendak mengerjakan shalat. Maka lafazh muqayyad tidak dimenangkan atas lafazh yang mutlaq dengan kata lain masing-masing hukum tersebut berdiri sendiri. 2).Sebabnya sama dan Hukum berbeda. Contohnya dalam firman Allah: …   Artinya:”...maka bertayamumlah dengan tanah yang bersih, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…”.(QS: Al-maidah: 6). Lafazh tangan diatas adalah mutlaq, sedangkan yang terdapat pada awal surat ini adalah muqayyad (tangan sampai siku-siku). Hukum yang diambil dari keduanya tidak sama yaitu antara hukum membasuh tangan dan mengusap tangan. Sedangkan sebab yang digunakan adalah sama yaitu sama-sama menghilangkan hadats. Oleh karen itu dalil-dalil tersebut berlaku masing-masing.10

10

Ketetapan yang menetapkan bahwa tidak memenangkan yang muqayyad atas yang mutlaq jika hukumnya berbeda namun sebabnya sama adalah pendapat Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah.Tetapi ulama Syafi’iyah mewajibkan menyapu tangan hingga siku karena berdasarkan hadis nabi “ Tayamum itu dua kali sapuan. Sekali sapu untuk muka dan sekali sapu untuk kedua tangan sampai dengan siku-siku”.(HR. Daruquthni).Adapun ulama Malikiyah dan Hanabilah hanya mewajibkan menyapu tangan pada batas pergelangan semata karena menganggap hadis yang digunaka ulama Syafi‟iyah adalah tidak sahih.. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah bahwa yang muqayyad dimenangkan atas yang mutlaq dan dalam kasus ini menyapu tangan saat tayamum adalah hingga siku.

7

DAFTAR PUSTAKA Al-quran al-Karim. Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustasfa fi „Ilmi al-Usul, (Beirut: Dar al-Kutub alIslamiyyah, 1993). Al-Amidi, Sayf al-Din Abi al-Hasan Ali Ibn Ali, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967). Al-Khudari Beik, Muhammad, Al-Tarikh al-Tasyri‟ al-Islamiy, (Kairo: Dar Ihya‟ alKutub, 1930). Hazm, Ibnu, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam,( Mesir:Mathba‟ah al-Imam, tt). Muhammad, Zahrah Abu, Usul Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr, 1957). Manna‟ Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran, (t.t, mantsurat „asri al-hadits, 1973). Yahya Mukhtar, dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: PT. Ma‟arif, 1993. Syarifuddin,Amir,Usul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009).

8

9