91

BAB III KH. MUSTOFA BISRI DAN KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI A. RIWAYAT HIDUP KH. A. MUSTOFA BISRI 1. Latar Belakang Kehidupan Mustafa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944. Beliau lahir dari pasangan KH. Bisri bin H. Zaenal Mustofa dan Hj. Ma’rufah binti KH. Kholil Harun. Gus Mus adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Ketujuh saudara Gus Mus yang lain adalah: KH. Kholil Bisri, KH. Adib Bisri, Hj. Faridah, Hj. Najihah, Nihayah, Labib dan Hj. Atikah.1 Bakat menulis diperoleh dari ayahnya. Ayah Gus Mus, KH. Bisri Mustofa adalah salah satu ulama terkenal pada waktu itu yang juga gemar menulis. Salah satu hasil karyanya yang hingga sekarang masih digemari oleh para pembaca ialah Kitab Tafsir Al Ibriz. Bakat menulis KH. Bisri Mustofa juga tampak dalam penerjemahan kitab-kitab klasik yang umumnya sulit dipahami oleh para santri, semisal: Fath al-Mu’in, Alfiyah Ibnu Malik, Al-Iktsir dan Al-Baiquniyah. Tetapi oleh beliau diterjemahkan ke dalam bahasa yang lugas dengan bahasa indah dan mudah dipahami. 2 KH. Bisri Mustofa juga sangat berpengaruh pada watak Gus Mus yang kreatif, bebas dan gemar membuat karya seni. Watak bebas namun bertanggung jawabmemang diterapkan pada semua keluarga dan keluarga KH. Bisri Mustofa. Sebuah prinsip yang diajarkan Kyai Bisrri Mustofa adalah semua boleh bebas asal tidak meninggalkan kewajiban pokok. Dalam konteks ini yang dimaksud kewajiban pokok adalah melaksanakan ibadah wajib dan mengikuti pengajian. 3

1

Abu Asma Anshari, dkk, Ngetan Ngulon Ketemu Gus Mus, Refleksi 61 Tahun KH. Mustofa Bisri, (Semarang, HMT Foundation, 2005), hlm. 17. 2 Ibid., hlm. 30. 3 Ibid., hlm. 53

91

Sikap bebas dan egalitarian (tidak membedakan teman = persamaan derajat) juga diperoleh Gus Mus selama belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir. Di sana, beliau berteman dengan beberapa rekan diantaranya Gus Dur, Kyai Syukri Zarkasyi, Roem Rowi, Quraish Shihab dan Alwi Shihab.

Pada saat itu persahabatan di antara mereka tidak

terdapat sekat pembeda berdasarkan strata sosial atau ketokohan dalam agama. Sikap egalitarian ini juga didukung dengan tradisi liwetan ala pesantren yang dilakukan secara bergantian. 4 Jiwa seni Gus Mus telah terlihat sejak beliau berada di pesantren Lirboyo. Menurut Kyai Abdul Aziz, Gus Mus sudah mampu menerapkan ungkapan-ungkapan dengan syair Arab untuk menjelaskan tentang tidak adanya keabadian selain Allah. “Kullu syai-in maa kholallahu baathilun, wa kullu na’iimin lamahlakin zaailun” (segala sesuatu selain Allah akan lenyap, dan segala kenikmatan yang kamu peroleh akan sirna). 5 Pada waktu Gus Mus belajar di Pesantren Krapyak, Jogja, beliau banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku sastra hasil penulis terkemuka nasional. Gus Mus juga sering jalan-jalan ke rumahrumah seniman Jogja, salah satunya ke rumah Affandi. Ia ingin sekali melihat bagaimana cara sang maestro melukis. Dari pengalamannya ini kemudian beliau mengambil spidol, pena atau cat air untuk membuat corat-coret. Di kemudian hari kebiasaan ini akhirnya menghasilkan karyakarya lukis yang berbobot, semisal lukisan kletet. 6 Kebiasaannya dalam bidang seni juga terus berkembang ketika beliau kuliah di Mesir. Di sana beliau berdua bersama Gus Dur pernah mengelola sebuah majalah organisasi. Gus Mus, oleh Gus Dur diminta untuk mengisi ruang-ruang luang dengan puisi atau lukisan hasil karyanya. 7

4

Ibid., hlm. 64. Ibid., hlm. 43. 6 Ibid., hlm. 49. 7 Ibid., hlm. 62. 5

91

Secara lengkap, Gus Mus menempuh pendidikan di sekolah Rakyat di Rembang; Pesantren Lirbayo, Kediri; Pesantren Krapyak, Yogyakarta; Pesantren Taman Pelajar, Rembang; dan al-Qism al’Aalie lid Diraasaati ‘Islamiyah wal ‘Arabiyah, Al-Azhar University, Cairo. Pernah menjadi anggota DPRD Jawa Tengah periode 1987-1992, mewakili PPP dan sekarang mengasuh di Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Rembang.8 Selain menulis, berceramah, dan baca puisi, Gus Mus, panggilan akrab pengarang ini, juga mengajar di Pesantren Taman Pelajar Rembang, selain juga menjadi Rais PBNU. Menulis kolom, esai, cerpen, puisi di berbagai media massa: Intisari, Amanah, Panji Masyarakat, DR, Horison, Jawa Pos, Tempo, Forum, Kompas Suara Merdeka, Detak,Wawasan, Dumas, Bernas, dll. Ia juga melukis. Karya-karya lukisnya pernah tampil dalam pameran Tunggal Lukisan Kletet di gedung Pameran seni rupa DEPDIKBUD Jakarta (1997); Pameran Lukisan bersama Amang Rahman dan D. Zamawi Imron di Surabaya (2000); Pameran Lukisan bersama pelukis-pelukis Ibukota, Bandung, dan Surabaya di Jakarta (2001); Pameran Kaos Perdamean di surabaya (2001), di Gresik (2001), di Rembang (2001), di Jakarta (2001); Pameran Lukisan bersama para pelukis Ibukota, Bandung, Surabaya di Surabaya (2003). Menikah dengan Siti Fatma, dikaruniai 6 (enam) anak perempuan; Ienas Tsuroiya, Kautsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiyatul Bisriyah, Nada dan Almas dan seorang anak laki-laki:Muhammad Bisri Mustofa: 3 (tiga) orang menantu: Ulil Abshar Abdalla, Reza Shafi Habibi, dan Ahmad Samton; 3 (tiga) cucu; Ektada Bennabi Muhammad, Ektada Bilhadi Muhammad, dan Muhammad Ravi Hamadah.9

8

Pamusuk Eneste, Buku Pintar Sastra Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hlm.

9

A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm. 132-

22-23. 134.

91

2. Karya-Karya Tulisnya K.H.A Mustofa Bisri sangat produktif menulis. Selain menulis puisi dan cerpen ayah dari tujuh anak ini , juga produktif menulis esai di berbagai media terbitan ibukota dan daerah seperti : INTISARI, Amanah, Panji Masyarakat, Editor, PELITA, Republika , Jawa Pos, Suara Merdeka, Wawasan, Aula, Warta dan penerbit lainnya. Adapun sejumlah karya tulisnya yang diterbitkan antara lain : 1.

Ensiklopedi Ijmak ( terjemahan bersama K.H.M.A. Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta)

2.

Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya)

3.

Awas, Manusia dan Nyamuk Yang Perkasa ( gubahan cerita anakanak, Gaya Favorit Press, Jakarta)

4.

Maha Kyai Hasyim Asy’ari ( terjemahan, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta)

5.

Saleh Ritual , Saleh Sosial : Esai-Esai Moral (Mizan Bandung)

6.

Mutara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat , Yogyakarta, 2004)

7.

Canda Nabi dan Tawa Sufi (Hikmah, Jakarta, )

8.

Fikih Keseharian , Bunga Rampai Masalah-Malasah Keberagamaan (Yayasan Pendidikan al-Ibriz, Rembang dan Al-Miftah, Surabaya, 1997)

9.

Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogyakarta)

10. Syair Asmaul Husna (Al-Huda, Temanggung) 11. Al-Muna, Terjemahan Syair Asmaul Husna (Al-Miftah, Surabaya) 12. Pesan Islam Sehari-Hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1999) Sedangkan sebagai seorang penyair, kumpulan puisinya sudah 8 (delapan), yaitu : 1.

Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (P3M, Jakarta dan kemudian Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991)

2.

Tadarus , Antologi Puisi ( Prima Pustaka, Yogyakarta, 1993)

3.

Pahlawan dan Tikus (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995)

91

4.

Rubaiyat Angin & Rumput (Diterbitkan atas kerjasama Majalah “Humor” dan PT. Matra Multi Media, Jakarta, 1995).

5.

Wekwekwek (Risalah Gusti , Surabaya, 1996)

6.

Gelap Berlapis-Lapis (Fatma Press, Jakarta)

7.

Gandrung, Sajak-Sajak Cinta (Al-Ibriz, Rembang, 2000)

8.

Negeri Daging (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2002) Sedangkan dalam bidang menulis cerpen, Gus Mus, baru

menyelesaikan satu kumpulan cerpen yaitu “Lukisan Kaligrafi” (Penerbit Kompas, Jakarta, 2005).10 B. GAMBARAN KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI Sebagai seorang sastrawan, Gus Mus, telah banyak melahirkan karya sastra berupa puisi. Namun beliau baru memulai membuat cerpen pada pertengahan 2002 lewat cerpen Gus Jakfar yang diterbitkan di Harian Kompas pada tanggal 23 Juni 2002. Kemudian setelah itu barulah ia aktif menulis banyak cerpen yang dipublikasikan di berbagai surat kabar di Indonesia. Kemudian pada tahun 2003, atas jasa Joko Pinurbo, perwakilan dari Kompas, cerpen-cerpen yang telah ditulisnya dijadikan buku dalam satu kumpulan cerpen berjudul Lukisan Kaligrafi.11 Lukisan Kaligrafi merupakan kumpulan cerpen pertama dari KH. Mustofa Bisri. Kumpulan ini berisi 17 cerpen yang sebenarnya telah diterbitkan dalam surat kabar yang berbeda-beda. Judul kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi sendiri diambil dari salah satu judul cerpen yang ada di dalamnya. Sama halnya dengan kebanyakan puisi Gus Mus yang bernuansa Islami dan banyak mengandung nilai-nilai ajaran Islam, pada kebanyakan cerpen Gus Mus selain bernuansa Islam dan mengandung nilai ajaran Islam juga setting sosial yang diceritakan merupakan cerita keseharian yang sering 10 11

Inid. Ibid., hlm. ix.

91

terjadi di kalangan umat Islam. Banyak sebutan tokoh dalam kumpulan cerpen ini menggunakan simbol-simbol yang bernuansa Islami namun tetapi masih mengandung kultur Jawa. Ambil contoh sebutan Gus, Kyai, Ning, dan lainlain merupakan sebutan dalam kultur Islam dan masyarakat jawa. Untuk lebih mengerti isi cerita, secara rinci penulis akan memberikan gambaran cerpen tersebut satu persatu. 1. Gus Jakfar a.

Tema

: Manusia tidak boleh mendahului kehendak Allah.

b.

Tokoh : Gus Jakfar, Kyai Saleh, Mas Bambang (pegawai Pemda), Mas Guru Slamet, Lik Salamun, Pak Carik, Ustadz Kamil dan Mbah Jogo (Kyai Tawakkal).

c.

Gambaran Cerita Gus Jakfar adalah salah seorang putra Kyai Saleh. Dari beberapa putra Kyai Saleh, beliau-lah yang lebih mendapatkan perhatian dari masyarakat. Hal ini dikarenakan kepandaiannya membaca pertanda. Bahkan mengenai kepandaian ini, bapaknya sendiri, Kyai Saleh, mengakui kehebatannya. Pernah beliau membaca pertanda pada salah satu jamaah pengajiannya. Beliau berkata, “Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya ?” Ternyata keesokan harinya jamaah tersebut benar-benar meninggal. Namun seluruh jamaah pengajiannya sontak dibuat kaget. Pasalnya sejak Gus Jakfar menghilang beberapa hari lantas kembali, beliau telah berubah. Beliau tak lagi mau membaca tanda-tanda, baik tanda baik apalagi tanda jelek. Di satu pihak kebiasaan baru Gus ini membuat senang para jamaahnya yang kini tidak perlu takut lagi dibaca pertandanya apabila sewaktu-waktu ingin rawuh ke dalemnya, namun di sisi lain jelas ini membuat satu pertanyaan besar.

91

Hingga suatu hari beberapa dari jamaah tersebut memberanikan diri untuk bertanya kepada Gus Jakfar perihal kebiasaan baru Gus mereka itu. Setelah ngobrol ke sana ke mari, akhirnya Gus Jakfar menjawab. Bahwa ia tak lagi mau membaca pertanda adalah bermula ketika ia bermimpi bertemu dengan ayahnya dan di suruh untuk ke suatu tempat untuk berguru pada Kyai Tawakkal. Setelah bangun Gus Jakfar pergi dan meghilang dari pesantren ayahnya untuk bertemu dan mencari kyai yang tak ia kenal itu. Setelah pencarian yang lama, beliau berhasil menemukan Kyai Tawakkal atau yang oleh masyarakat sekitar dipanggil Mbah Jogo. Namun betapa kagetnya Gus Jakfar ketika melihat tulisan pada kening Mbah Jogo. Di sana tertulis kalimat ‘Ahli Neraka’. Pada mulanya beliau mengira itu hanya halusinasinya sendiri. Namun semakin dilebarkan matanya tulisan itu semakin terlihat jelas. Gus Jakfar menjadi

penasaran dan bertekad mencari

jawaban. Hingga pada suatu malam beliau berkesempatan (tepatnya keberanian) untuk menguntit Kyai Tawakkal dari belakang. Ternyata sang Kyai pergi ke warung dan di sana Kyai memesan kopi layaknya para penduduk biasa. Yang mengherankan Gus Jakfar adalah sang Kyai terlihat biasa bergaul dengan para wanita. Mulai yakinlah Gus Jakfar bahwa pertanda di kening Kyai Tawakkal adalah benar. Namun tiba-tiba Gus Jakfar ketahuan Kyai Tawakkal dan diajak minum bersama di warung tersebut. Setelah tengah malam beliau bersama Kyai Tawakkal pulang. Namun tidak melewati jalan yang semula. Malam itu mereka berdua melewati sebuah sungai besar. Kyai Tawakkal dengan santai berjalan di atas air untuk menyeberangi sungai tersebut. Sedangkan Gus Jakfar terpaksa berenang dengan susah. Sesampainya di pinggir, Kyai Tawakkal atau Mbah Jogo menasehati Gus Jakfar, “ Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat

91

cobaan Allah berupa anugrah. Cobaan berupa anugrah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Selain itu siapa yang bisa memastikan bahwa kita yang dijuluki kyai akan lebih mudah masuk surga ketimbang orang awam yang kurang mengerti agama. Semua itu terserah yang kuasa. Kita hanya berusaha menjalankan perintahnya. Sekali lagi perkara diterima atau tidak, masuk surga atau neraka itu hak Allah semata. Jangan takabbur.” 2. Gus Muslih a. Tema

: Akhlak harus dijalankan terhadap siapa saja.

b. Tokoh : Gus Muslih, Golongan tua, Golongan Muda, Sopir. c. Gambaran Cerita Dia merupakan seorang kyai muda yang cerdas dan kritis, lugas dan tegas dalam menyampaikan dakwahnya. Kalimat yang paling ia suka ialah Qulilhaqqa walau kaana murran. Penggemarnya adalah anak-anak muda karena bagi mereka Gus Muslih ini adalah seorang pembaharu. Banyak kebiasaan yang sudah berjalan lama dihujat dan dipertanyakan keberadaannya. Contohnya kebiasaan keluarga yang mendapat musibah memberi uang salawat kepada kyai atau modin ditentangnya habis-habisan. “Kalau yang mendapat musibah orang berada tidak mengapa, tetapi orang miskin apa tidak malah membuat musibah baru ?” begitu menurutnya. Terhadap sikapnya ini ada yang setuju ada juga yang menolak . mereka yang menolak umumnya golongan tua. Mereka menganggapnya terlalu sok maju. “ Wong itu sudah tradisi ko’ mau diutak-atik !” Terhadap pendapat ini Gus Muslih dengan santai menjawab, “Tradisi yang baik memang perlu dilestarikan, tetapi yang jelek apa harus kita lestarikan? Kalau begitu, apa bedanya kita dengan kaum Jahiliyah yang dulu mengecam Nabi kita yang mereka anggap merusak tradisi yang sudah lama dijalankan nenek moyang mereka ?”

91

Kelompok tua yang cenderung tidak setuju dengan Gus Muslih ini serba salah. Pasalnya Beliau tidak seperti kyai muda lainnya yang asal membasmi tradisi, yang mengecam selamatan dan tahlilan. Gus Muslih mau selamatan juga mau tahlilan. Bahkan ia mau memimpin anak-anak muda ziarah ke makam Walisongo. Beliau juga bisa menjawab pendapat kaum tua dengan argumen yang cukup mematikan. Suatu ketika tersebar berita Gus Muslih memelihara anjing. Kaum muda yang menjadi pengikutnya tidak rela dan menganggap berita ini sebagai fitnah. Kaum tua menjadi keheranan setengah menghantamnya di setiap kesempatan. “Lihat itu, tokoh yang kalian anggap sebagai pembaharu, dia tidak hanya berani menyeleweng dari ajaran-ajaran orang tua tapi juga berani melanggar adat keluarganya sendiri. Kalian kan tahu malaikat tidak akan masuk ke rumah orang yang memelihara anjing. Sekarang ketahuan belangnya.” Karena

cemburu

dan

panas,

anak-anak

muda

pendukungnya berusaha mencari kebenaran dan sumber dari berita ini. Akhirnya ketahuan orang yang mula-mula menyebarkan berita ini adalah seseorang dari kota P. namun sebelum bertemu dengan orang yang mereka cari, mereka bertemu dengan Gus Muslih sendiri dan berniat menanyakan kebenaran berita tersebut. “Mengapa harus dibantah ?” tanya Gus Muslih kalem, membuat semua yang merubungnya jengah. “Aku sekarang memang sedang memelihara anjing.” “Hah!” hampir semuanya kaget. “Mengapa kalian begitu kaget ?” kata Gus Muslih masih dengan nada kalem. Akhirnya Gus Muslih menceritakan awal mula ia memelihara anjing. Suatu malam Gus ini pulang setelah berceramah di kota P dengan diantar oleh seorang panitia

91

menggunakan mobil kijang barunya. Ketika melintasi jalan raya beliau melihat sosok makhluk kecil bergerak-gerak ditengan jalan. Dengan

cepat

Gus

Muslih

menyuruh

sang

panitia

untuk

menghentikan kijang barunya dan kemudian beliau mengambil benda tersebut yang ternyata seekor anjing kecil yang terluka tertabrak mobil sebelumnya. Melihat Gus Muslih masuk membawa anjing ke dalam Kijang barunya, yang punya mobil seperti melihat hantu. “Lho Pak, najis lho, pak!” teriaknya kaget setengah mati. Akhirnya Gus Muslih menyarankan agar si panitia kembali dan Gus Muslih sendiri turun dan memilih jalan kaki. Sejenak Gus Muslih dilanda kesedihan. Sedih bukan karena ditinggal sendirian. Tapi sedih karena ia teringat akan ceramahnya yang baru saja selesai ia sampaikan. Ternyata ceramahnya itu belum juga sampai dan diterima dilubuk hati pendengarnya bahkan oleh panitia sendiri. “Aku sedih, ternyata Ramadhan belum benar-benar berpengaruh ke dalam sanubari kaum muslimin. Padahal pada bulan Ramadhan kita telah mampu menaklukkan setan, namun ternyata setelah Ramadhan selesai kita belum mampu menaklukkan nafsu kebinatangan kita.” Gus Muslih berhenti sejenak. Kemudian menceritakan bahwa anjingnya sudah sembuh dan sudah diminta oleh Babah Ong, tetangganya. “Alhamdulillah!” gumam anak-anak muda yang dari tadi setia mendengarkan. Entah gumam mensyukuri kesembuhan anjing itu atau mensyukuri kini kyainya tidak lagi memelihara anjing seperti yang dituturkan kaum tua.

91

3. Amplop- Amplop Abu-Abu a. Tema

: Orang tidaklah sempurna dan harus mau menerima

nasehat orang lain. b. Tokoh

: Aku (Mubaligh), Istri, Orang Misterius (Nabi Khidir).

c. Gambaran Cerita Kejadian ini mulanya aku anggap kejadian biasa. Namun setelah terjadi lima sampai enam kali aku menjadi kepikiran, pasti bukan suatu kebetulan. Pada bulan-bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus keliling daerah memenuhi undangan mengisi pengajian. Hampir setiap bulan aku keliling daerah yang berbeda untuk memenuhi undangan ini. Capek juga rasanya. Ingin sekali sebenarnya aku menghentikan kegiatan seperti ini. Selain karena harus menempuh jarak yang cukup melelahkan, praktis waktu dengan keluarga berkurang. Pasalnya setiap aku pulang, hampir istri dan semua anakku sudah tidur. Kalau pengajian ini jelas pengaruhnya pada jamaah sih tidak jadi masalah. Ini tidak. Pengajian yang begitu intens dan begitu tinggi volumenya itu seperti tidak ada hikmahnya. Tak membekas. Yang bakhil ya tetap bakhil, yang jahat ya tetap jahat, pendeknya seolah tidak ada korelasi antara pengajian dengan mereka yang di beri pengajian. Tapi biarlah, aku ceritakan saja pengalamanku. Biasanya selesai memberi pengajian selalu aku melayani para jamaah yang ingin bersalaman kepadaku. Pada saat itu, ada seorang jamaah yang memberi salam tempel kepadaku, bersalaman sambil memberi amplop. Mulanya aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap orang itu salah seorang panitia. Tapi setelah terjadi lagi pada pengajian berikutnya yang bertempat jauh dari pengajian pertama, barulah aku mulai memperhatikan wajah orang yang memberi salam tempel. Pada

91

waktu-waktu lain yang tempatnya berjauhan, kulihat memang yang memberi salam tempel orang-orang itu juga. Orang yang selalu berpakaian hitam-hitam, wajahnya bersih dan memiliki senyum yang misterius. Tanpa berkata sepatah katapun, ia selalu menyelipkan amplop yang merupakan buatan sendiri dan berwarna abu-abu. Jenis warna kertas yang sangat jarang berada di desa-desa. Sampai akhirnya aku suruh istriku untuk membuka kembali seluruh amplop yang aku terima dari panitia- panitia pengajian yang pernah kupenuhi undangannya. Memang aku hampir sama sekali tidak pernah langsung membuka amplop-amplop tersebut. Semua kuberikan pada istriku. Sampai akhirnya aku temukan lima buah amplop abu-abu. Aku mencoba mengurutkan tanggal-tanggal di lima amplop tersebut. Kemudian membaca apa yang tertulis di masingmasing amplop secara berurutan sesuai urutan tanggalnya. Aku kaget. Semuanya justru nasehat untukku sebagai muballig. Amplop pertama tertulis: “Ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’idzatil khasanah ….(ajaklah orang- orang kepada Tuhanmu dengan jalan bijaksana dan nasehat yang baik…). Genuk, Semarang, 8 Juli 2001.” Amplop kedua: “Sebelum anda menasehati orang banyak, sudahkah anda menasehati diri anda sendiri ? Cilegon, 11 Juli 2001” Amplop ketiga: “amar ma’ruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan cara yang ma’ruf juga. Beji, Tuban, 10 September 2001.” Amplop keempat: ”Yassiruu wala tu’asiru ! (Berikan yang mudah-mudah dan jangan mempersulit !) Duduk, Gresik, 4 Januari 2002.” Amplop kelima: “Yaa ayyuhalladzina aamanuu lima taquuluuna malaa taf’aluun ? Kabura maqtan indallahi antaquulu malaa taf’alun ! (Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu

91

mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak melakukannya ? Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak melakukannya !) Batanghari, Lampung, 29 April 2002.” Aku masih bingung, seingatku ada enam amplop abu-abu yang pernah aku terima. Berarti masih kurang satu. “Bu, benar hanya ini, amplop abu-abu itu ?” tanyaku. “Benar, pak ! aku tidak lupa. Semua isinya sama, dua ratus ribu.” Jawab istriku. Aku masih mengingat-ingat jumlah yang pasti. “Pak, lihat ini !” teriak istriku tiba-tiba. Masya Allah. Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya berhampuran uang ratusan ribu rupiah yang masih baru-baru. Di antaranya kulihat terdapat amplop abu-abu. Berarti ini amplop keenam itu. Segera kubuka amplop itu dan kubaca isinya. Isinya: ”Wamal hayatud dunya illaa mata’ul ghurur! (Kehidupan duniawi itu tidak lain hanya kesenangan yang memperdayakan !). Arafah, 9 Dhulhijah, 1418.” Tidak seperti amplop-amplop yang lainnya, yang satu ini juga terdapat tanda tangan dan nama sang pengirim, “Hamba Allah, Khidir !” Subhanallah. 4. Bidadari Itu Dibawa Jibril a. Tema

: Amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara

yang bijaksana agar mengena pada sasaran. b. Tokoh

: Hindun. Mas Danu, Aku.

c. Gambaran Cerita Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Hindun seorang muslimah yang taat kepada agama yang selalu jihad menegakkan amar ma’ruf nahi munkar walau dimana saja. Kemudian sampai Hindun menikah

91

dengan Mas Danu, walau ia sudah berkeluarga, Hindun masih bersemangat untuk mengikuti grup-grup pengajian yang ada di daerahnya. Sebagai seorang jamaah yang baik, Hindun selalu mengikuti semua yang diperintahkan oleh Imamnya. Menurut Hindun, semua yang dikatakan oleh Imamnya selalu benar. Sampai sampai dia jarang pulang

dan banyak perubahan darinya, yang

mulanya dia membenci orang yang memelihara anjing tapi sekarang sebaliknya dia malah pulang membawa anjing. Dan yang sangat menyedihkan lagi Hindun keluar dari agama. 5. Ning Ummi a. Tema

: Kenikmatan di dunia tidaklah abadi

b. Tokoh

: Ning Ummi, Ning Saudah, Nunik, Sri, Monah dan Mbak

Tiah. c. Gambaran Cerita Nama lengkapnya Ummi Salamah. Kawan-kawannya di pesantren Tarbiyatut Mu’allimin (bagian putera) wal mua’llimat (bagian puteri) memanggilnya Ning Ummi. Ning adalah panggilan untuk anak perempuan kiai, seperti Gus untuk anak laki-laki. Ning Ummi merupakan wujud yang sempurna dari ciptaan Allah. Orang akan bingung dan sulit mengatakan apa yang paling istimewa pada Ning Ummi, karena hampir semua yang ada pada dirinya istimewa. Karena kesempurnaan tubuhnya dan kecerdasannya serta aktivitasnya dalam berbagai kegiatan intern maupun ekstern pesantren , maka tidak heran bila Ning Ummi Salamah binti Kiai Abdur Rozzaq menjadi kembang dan sekaligus kebanggaan pesantren. Di kalangan santri-santri putera, Ning Ummi bagaikan superstar, mengalahkan bintang-bintang film yang menjadi idola saat itu. Banyak tulisan seputar Ning Ummi, dengan ungkapanungkapan yang menggelitik, sengaja dipajang di gotakan-gotakan tempat tinggal santri atau bahkan di dinding-dindinng kamar mandi

91

umum. Sebagian malah diberi gambar perempuan. Ada yang singkat-singkat saja seperti : “O, Ummiku…….”, “Ummi+ Dullah”. Ada yang seperti memo buat Ning Ummi : “I love you , Ummi, ana bahibbik !”. Ada juga yang lebih “Konstruktif “, misalnya: “Kau mau Ning Ummi, belajar sungguh-sungguh “? atau “mana mungkin Ning Ummi mau dengan pemuda yang bodoh?!”. Memang belum jelas benar, apakah coretan-coretan itu ungkapan sebenarnya dari mereka untuk menyatakan perasaannya pada Ning Ummi, ataukah itu semua hanya keisengan anak muda. Namun hal itu cukup menjadi bukti bahwa Ning Ummi memang menjadi pujaan pesantren, minimal di Tarbiyatul Mu’allimin-nya. Sikap santri-santri puteri sendiri yang setiap hari bergaul langsung dengan Ning Ummi yang kebetulan menjadi ketua pengurus pondok puteri, ternyata tidak sama persis dengan santri putera. Memang tidak sedikit yang mengagumi Ning Ummi terutama kecantikan dan kepandaiannya. Namun ada juga yang kurang menyukai puteri Saudah, yang

kiai Abdur Rozzaq ini. Seperti Ning

mengatakan kepada teman-temannya yang sama

mencuci di plataran sumur pondok. Bahwa Ning Ummi ini anak yang sombong dan suka merendahkan orang lain. Nunik mengatakan kalau dia

mendengar sendiri Ning

Ummi pernah berkata, “Pokoknya lebih baik tidak kawin bila calon pelamarku hanya orang biasa-biasa

saja. Percuma dong

belajar jauh-jauh, terus sepeti si Asiyah itu, Cuma kawin sama carik, kasihan !. “katanya dia hanya mau kawin dengan lelaki muda yang gagah dan ganteng, syukur punya kumis seperti Raj Kapoor, aktor India yang terkenal itu. ” Tidak hanya muda, gagah dan ganteng . Katanya calon suaminya itu juga mesti pinter tidak hanya dibidang agama saja intelek plus atau kiai plus. Ia tidak suka lelaki pas-pasan, apalagi minus. Kalau tidak percaya apa yang aku katakan ini kamu semua boleh tanya kepada Fuah, Nur

91

dan Ning Iyah yang waktu itu bersama-sama saya mendengarkan Ning

Ummi

berbicara

tentang

masa

depannya!.(

Setelah

mendengarkan cerita Nunik Ning Saudah bertambah yakin kalau Ning Ummi ini anak yang sombong.) “Tiba-tiba Mbak Tiah ,santri senior itu ikut komentar. “Ning Ummi memang pantas mengidamkan suami yang demikian, jarang ada santri

perempuan yang seperti dia. Pikirannya maju,

Maaf, Ning Saudah ya ! melihat orang itu tidak boleh dengan kaca mata negatif dan hanya sekilas. Saya tidak setuju jika Ning Ummi dibilang sombong, saya kenal betul dengan dia. Dia itu selalu berpikir bagaimana agar perempuan tidak selalu dicitrakan sebagai makhluk yang lemah. Menurut dia, kaum perempuan tidak seharusnya kalah

dengan

program

dibuat

yang

kaum

laki-laki. Lihatlah program-

Ning Ummi. Seperti kursus-kursus,

pelatihan-pelatihan, seminar dan lain sebagainya, itu semua menunjukkan obsesinya yang begitu besar untuk memajukan kita para santri perempuan ini, dan lebih jauh lagi: meningkatkan martabat kaum perempuan .Kalau kadang-kadang dia terkesan sombong menurut hemat saya, lantaran harga dirinya sebagai perempuan memang begitu besar. Dengan berakhirnya komentar Mbak Tiah, ternyata berakhir juga pergosipan dipelataran sumur hari itu. Setelah selang waktu yang cukup lama mereka baru ketemu lagi di acara Haul. Haul pendiri Pesantren Tarbiyatul Mu’alimin wal Mu’alimat, Almarhum kiai Fadoli Umar, kali ini benar-benar meriah. Soalnya haul kali ini dibarengi dengan HUT ke 50 berdirinya pondok pesantren.

Santri

lama

dari

berbagai periode, baik putera maupun puteri, banyak yang hadir. Suasana betul-betul istimewa, khususnya bagi santri lama itu. Ini benar-benar merupakan yang

sejak

reuni akbar. Diantara mereka banyak

meninggalkan

pesantren

baru

saling

berjumpa

91

kembali saat itu. Tak heran bila mereka begitu asyik menikmati perjumpaan mereka. Saling melepas rindu dan bernostalgia. Di pondok puteri suasana tampak lebih semarak lagi karena banyak santri lama yang dating dengan membawa anakanak mereka. “Geng-geng” yang dulu sering

ngumpul di

plataran sumur pondok atau di aula kini pindah di ruang-ruang tamu.

Di setiap

seperiode.

ruang

Disitulah

tamu, mereka

berkumpul saling

sesama

kawan

bercerita tentang

kehidupannya

masing-masing

selama

meninggalkan

Kebanyakan

dari

mereka

sudah

berkeluarga dan punya

momongan,

hanya

Monah

dan

momongan , Kalau yu Monah

Sri

yang

katanya

tidak

belum

pondok.

punya

mempunyai

keturunan mungkin gabuk, sedangkan Sri baru kawin tiga bulan sudah ditinggal kabur suaminya. “Setelah mereka saling menanyakan kabar dan sudah bercerita kesana-kesini tiba-tiba mereka menanyakan kabar Ning Ummi yang dari tadi belum datang, dan mereka semua tidak pernah melihat Ning Ummi setiap acara haul selama ini. Diantara mereka yang tahu tentang kabar Ning Ummi hanyalah Mbak Tiah, itupun dari saudara Mbak Tiah yang tinggal di S, katanya sepulang dari sini, Ning Ummi sempat aktif

diorganisasi

kewanitaan dan bahkan menjadi ketua wilayah. Tapi kemudian dia

mengundurkan

diri sebagai pengurus dengan alasan akan

pindah ke propinsi lain. Memang Ning Ummi pindah dari S ke M”. “Kata saudara saya, Ning Ummi dikawin oleh seorang Kiai tua terkenal di M, dijadikan istri yang keempat.” “He ! ” serentak semua yang mendengar terhenyak. 6. Iseng a. Tema

: Kehidupan dunia tidaklah kekal.

b. Tokoh

: aku, Syahrazad Nurul Jannah.

91

c. Gambaran Cerita Aku mendapat undangan berceramah di Jakarta. Panitia menyediakan penginapan di sebuah hotel berbintang. Dari Gambir aku langsung ke hotel. Di hotel aku sempat subuhan sebelum kembali tidur, meneruskan tidurku yang kurang nyenyak di kereta api. Siang hari baru aku bangun, sedangkan acara yang harus aku hadiri baru nanti malam. Aku segera pesan makanan seteleh terlebih dahulu kucari menu yang tepat melalui buku menu. Harganya memang gila-gilaan, mahal. Tapi tak apa, semua ditanggung oleh panitia. Habis pesan makanan, iseng kuraih buku telepon yang tebalnya

sebantal.

Kubolak-balik.

Tiba-tiba

terbaca

olehku

sebuah nama yang sangat kukenal. Nama yang tak lazim dipakai di negeri ini, kecuali di negeri dongeng. Syahrazad Nurul Jannah, begitu namanya. Tak mungkin ada yang bernama sama. Tak mungkin ada nama seperti itu kecuali dia. Terbayang olehku sosok wanita yang anggun dan penuh perhatian. Alim dan rendah hati tapi berwibawa. Wanita yang benar-benar wanita. Dia sendiri bagiku memang istimewa. Mulai dari namanya, wajahnya,

bentuk

tubuhnya,

bicaranya,

hingga

sikapnya dimataku memang lain dari yang lain. Aku sendiri seperti kawan-kawan lelaki lain, merasa diperhatikan olehnya. Jadi

aku

tidak

berani

menyimpulkan

dia

menganggapku

istimewa. Tapi hari ini dia memilihku untuk mengantarnya dalam perjalanan yang

jauh.

Jangan-jangan

aku

memang

istimewa baginya. Pagi-pagi

benar

aku sampai di asrama putri. Bel

kupencet, pintu terbuka dan hatiku berbunga-bunga. Dia sendiri yang membuka

pintu,

seolah-olah

dia

telah

menungguku.

91

Kawan-kawannya

seolah

membiarkan

kami

duduk

berdua

menikmati kopi yang telah dia bikin khusus untukku. Setelah pamitan kepada kawan-kawannya, kami-pun berangkat. Di stasiun kereta kami benar-benar seperti sepasang kekasih yang akan berpiknik. Dalam hati aku bersyukur pada Tuhan yang telah mengabulkan keinginanku berduaan dengan orang yang diam- diam sangat aku cintai. “Udaranya

enak ya ?” tiba-tiba ia memecahkan

kesunyian. “Ya enak, ” kataku terbata-bata. Diam lagi. Aku memandanginya begitu lama. Aku yakin dia tahu aku perhatikan. “Aku bawa roti, ” katanya saat mata kami bertemu. “mau / atau mau minum ?” “Nanti saja !” jawabku sambil terus memandanginya. Diam lagi. “Kau menyukaiku, ya ?” tiba-tiba suaranya yang biasa menyambarku. Aku kaget. “ya, sejak lama.” Dan hampir aku tidak percaya, dia mengulurkan tangannya yang lembut dan menggenggam tanganku, sementara bibirnya tersenyum manis sekali. “terima kasih ya, Mus !” katanya. Aku memejamkan mata, merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Tiba-tiba bel berbunyi. Aku kaget

dan meloncat

membuka pintu. Ternyata petugas hotel memabawa makanan yang aku pesan. Membuyarkan lamunan indahku. Sambil makan akau mencoba mengahadirkan kembali masa laluku dengan Sahrazad Nurul Jannah. Gadis yang sampai aku pulang dari Mesir dan berpisah dengannya, tak pernah aku ketahui perasaan sebenarnya. Sehabis shalat Maghrib, kawanku dan beberapa panitia datang menjemputku. Ternyata pengajian di Ibukota tidak kalah

91

ramainya dengan pengajian di desa-desa. Bahkan yang mengisi pengajian tidak hanya satu orang. Malam ini selain aku masih ada tiga pembicara dari Jakarta sendiri. Satu diantaranya seorang mubalighah yang menurutnya sangat terkenal di Ibukota. Sebelum

mubaligh kedua selesai bicara, hadirin agak

ribut sebentar ada rombongan

ibu-ibu

paling depan seorang wanita

tua

mencolok

pakaian tokoh

seperti

umumnya

yang

gemuk

datang.

Tampak

dengan

pakaian

penceraah

yang

tampil di tv-tv. Ibu-ibu panitia pun tergopoh-gopoh menyambut dan menempatkannya di tempat khusus yang sudah disediakan. Beberapa

saat

setelah

pembicara

kedua

pembawa acara mengumumka: “pembicara ketiga, yang kita nanti-natikan Ustazdah Jannah,

MA.

Kepada

beliau,

Dra.

Hj.

waktu

turun,

mubalighah

Srahrazad

Nurul

dan tempat kami

persilahkan.” Aku terkejut setengah mati mendengarnya. Lebih terkejut lagi ketika wanita tua gemuk itu bangkit naik ke mimbar. Dari tempat dudukku di depan

mimbar

aku

memperhatikan mubalighah itu tanpa berkedip. Benarkah dia ? Aku mencoba-coba mencari-cari di wajahnya yang bergelambir, barangkali masih ada sesuatu yang dapat mengingatkanku kepada Srahrazadku yang dulu, tapi sia-sia. Aku justru tersadar bahwa kami sudah berpisah dan tak saling bertemu selama tiga puluh tahun lebih. Subhanallah ! 7. Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi a. Tema

: Doa istri sholihah merupakan doa yang makbul.

b. Tokoh

: Siti, Mat Sholeh, Polisi.

c. Gambaran Cerita Saat pamit dua minggu yang lalu, suaminya berjanji akan pulang sebelum lebaran. Kini lebaran tinggal satu hari lagi dan belum ada kabar berita dari suaminyaitu. Sebagai seorang istritentunya hatinya tidak tenang

dan

gelisah

atas

91

keadaan suaminya yang jauh darinya tanpa ada kabar apapun, mungkin karena ini menjelang lebaran, dan biasanya mereka selalu berlebaran bersama. Mungkin juga berita-brita yang selalu didengarnya turut mempengaruhi batinnya. Setelah ledakan bom di Bali tampaknya semua orang bias dicurigai atau diciduk oleh aparat, dan setiap rumahpun bisa digeledah oleh polisi. Karena tidak pernah mengetahui apa yang dikerjakan suaminya di luaran, yang ia ketahui hanyalah suaminya berbisnis dan bisnisnya apa-pun dia kurang paham. Karena menuurutnya, sebagai seorang istri yang

berasal dari

desa tidak pantas menanyai macam- macam terhadap suaminya. Tapi sekarang ini ia sangat gelisah dan was-was, jangan-jangan bisnis suaminya merupakan kegiatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang dicurigai polisi. Tapi ia tidak yakin kalau suaminya seperti itu, karena menurutnya suaminya orang yang

lemah

kebanyakan

lembut, orang-orang

sabar, yang

dan

tidak

ditangkap

neko-neko. Tapi polisi

juga

tidak

nampak sangar dan neko-neko. Ia jadi bingung dengan keadaan seperti itu. Setelah sembahyang membaca

menidurkan

Isya doa

dan

sangat

tidak

anak

semata

seperti

panjang.

wayangnya

biasanya

Semua

kali

Siti

ini

ia

doa yang ia hafal

dibacanya, dan ditambah dengan doa bahasa ibunya. Demi untuk

keselematan suaminya.

Karena begitu baiknya suami,

Siti tidak henti-henti meminta kepada Allah untuk keselamatan suaminya tersebutnya. Ketika kemudian siti merebahkan badan di samping anaknya, yang tertidur pulas,

Siti

masih

terus

berdzikir. Tiba-tiba terdengar suara orang yang menggedor-gedor pintu. Ia agak lega karena mengira suaminyalah yang pulang. Dengan buru-buru ia bukakan pintu, akan tetapi betapa kagetnya,

91

ketika pintu baru dibuka beberapa orang berhamburan masuk, semua berwajah angker. Salah satu

diantaranya

menjelaskan

bahwa mereka ditugaskan untuk mencari suaminya, Mat Soleh. Pikiran menyebar

Siti

tak

karuan

ketika

melihat

orang-orang

itu

ke seluruh ruang rumahnya, yang terpikir olehnya

hanyaklah anak kecilnya yang sedang tidur. Siti meminta agar tidak terlalu berisik. Tapi tak ada gunanya, anaknya yang baru berumur lima tahun itu sudah keluar kamar dan menangis memanggilnya. Dia merasa ketakutan. Siti segera memeluk buah hatinya sambil berusaha menenangkan. Ia juga menjelaskan kepada anaknya bahwa orang-orang tersebut mencari sesuatu. Tak

ada

satupun

benda

yang

selamat

dari

pemeriksaan. Sampai tempat makanan-pun mereka udal-udal. Setelah serentetan pertanyaan mengenai suaminya telah terjawab, seorang diantara mereka meberi isyarat untuk pergi. Namun sebelum pergi, mereka sempat memberi pesan kepada Siti akan kembali lagi. Besok

paginya koran-koran memuat berita tentang

temuan baru polisi dengan huruf besar dihalaman depan. “polisi menemukan tokoh Intelektual

Pengeboman

di Bali”,

dengan

inisial MS. Polisi sedang mencari Mat Soleh, otak pengeboman di Bali: Berdasarkan penyelidikan terhadap para tersangka, telah diketemukan tokoh Intelekpengeboman di Bali yang selama ini di cari. Juga dilaporkan bahwa rumah tersangka telah di geledah, namun polisi tidak menemukan apa-apa. Siti tidak

bias

menbendung

tangisnya,

sambil

mengelus-elus anaknya , dia terus mengucap doa, “Ya Tuhan, selamatkan suamiku ! selamatkan suamiku!” Tiba-tiba dirasanya dari belakang ada seseorang yang memeluknya.

91

“Hei,

ada

apa ini ?” terdengar suara lirih, “ada apa

dengan suamimu? Ini suamimu telah datang, sayang. Kenapa pintunya tidak di kunci, sengaja menungguku ya? Lihat, seperti janjiku aku datang sebelum lebaran.” Siti kaget. Dibaliknya tubuhnya dan masya allah dilihatnya

suaminya

tersenyum

dengan

lembut.

Dipagutnya

suaminya dan diciuminya kedua pipinya habis-habisan. Meski bingung, suaminya yang

tidak

tertawa-tawa

saja melihat kelakuan istrinya

seperti biasanya. Mungkin rindu, pikirnya. Atau

mungkin ia bahagia bahwa suaminya menepati janji. Setelah melepaskan suaminya , Siti tersenyum-senyum sendiri dan merasa lega hatinya, kali ini sambil mendesiskan Syukur: Allahu Akbar, walillahil Hamdu ! 8. Lukisan Kaligrafi a. Tema

: Berani berusaha dan tidak putus asa.

b. Tokoh

:

Ustadz Bachri,

Hardi,

anak-anak,

Istri,

kolektor

lukisan. c. Gambaran Cerita Ustadz Bachri sama sekali tidak manyangka. Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya, Hardi, seorang pelukis. Kedatangan tamunya itu selain bersilaturohmi ia juga membicarakan soal kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit banyak

mengerti

soal

kaligrafi Arab, segera menanggapinya

dengan antusias. Tapi ternyata

tamunya

itu

lebih

banyak

berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalisme, surealisme, dadaisme dan lain sebagainya, yang Ustadz Bachri sendiri pun tidak paham apa arti semua itu. Apalagi tentang tehnik melukis, tentang komposisi, perspektif, dan istilah lain , yang baru mendengar sekali itu. Yang membuat Ustadz Bachri agak kaget, ternyata meskipun sudah sering ikut pameran kaligrafi, Hardi sama

91

sekali tidak mengetahui aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu

bedanya

Naskh,

Tsuluts, Riq’ah dan Kufi. Apalagi

falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertuliskan Arab lainnya.Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang dia ketahui

lewat terjemahan

Quran Depertemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu dalam kertas atau kanvas. Atau dia tulis ayat yang dipilihnya dalam bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat itu. Ringkas cerita, begitu si tamu berpamitan, seperti biasa Ustadz Bachri selalu mengantarkan tamunya sampai didepan pintu, sebelum keluar melintasi pintu rumahnya tiba-tina si tamu berhenti seperti terkejut. Matanya memandang kertas yang bertulisan Arab yang tertempel diatas pintu, lalu dia menanyakan siapa yang menulis itu. Ustadz Bachri tersenyum dan menjawab. “Itu rajah, untuk penangkal jin, saya yang menulisnya sendiri.” “Itu kok warnanya aneh, sampean menulisnya pakai apa ?,” tamunya kagum dengan tulisan itu. “Pakai kalam biasa dan tinta cina dicampur dengan minyak za’faran, katanya minyak itu termasuk syarat menulis rajah.” “Wah,” kata tamunya masih belum melepas pandanganya ke tulisan diatas pintu, “sampean mesti menulis kaligrafi.” “Saya ? Saya menulis kaligrafi ?” katanya sambil ketawa spontan. Hardi terus mendesak agar Ustadz Bachri ikut melukis kaligrafi yang tiga bulan lagi akan ada pameran, dan lukisannya akan diikut sertakan. Ustadz Bachri-pun merasa tertantang, kenapa tidak pikirnya. Orang yang tidak tahu khat saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak ?. Namun ketika didesak tamunya dia hanya mengangguk asal mengangguk.

91

Setelah tamunya pulang Ustadz Bachri benar-benar merasa tertantang dan sering kali memikirkan permintaan tamunya itu. Kemudian Ustadz Bachripun mencoba corat-coret diatas kertas, dan dia buka kitab-kitab tentang khat dan sejarah perkembangan tulisan Arab, diapun menyempatkan datang ke kota hanya untuk melihat lukisan–lukisan yang dipajang di toko-toko. Anak-anak dan istrinya agak bingung juga melihat dia datang dari kota membawa oleh-oleh peralatan melukis, lebih heran lagi ketika dia mengatakan bahwa dia sendiri yang akan melukis. Meski mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati. Dan akhirnya Ustadz Bachri memulai melukis kaligrafi yang bertempat di gudang. Mungkin karena malu atau tidak mau diganggu, gudanglah yang dia pilih untuk melukis. Di situlah Ustadz Bachri memulai melukis dan sesekali lukisan yang hampir jadi, dia tindas begitu saja dengan cat, karena menurutnya kurang srek. Kadang-kadang sampai subuh dia baru keluar dari gudang, sampai beberapa kali dia mencoba melukis, akhirnya dia sadar bahwa melukis itu sulit. Hampir saja Ustadz Bachri putus asa,. Tapi istri dan anak-anaknya selalu melempar pertanyaan atau komentarkomentar yang yang terdengar di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka diapun bertekat, apa pun yang terjadi harus ada lukisan yang jadi untuk diikutkan dalam pameran. Sampai akhirnya datang seorang kurir yang dikirin oleh Hardi, datang mengambil lukisannya untuk diikut sertakan dalam pameran,

dia

hanya

–atau,

alhamdulillah,

sudah

berhasil-

menyerahkan sebuah “lukisan.” Ketika kurir itu menanyakan judul dan harga lukisan itu ,dia merasa di ejeknya. Ustadz Bachri bingung dan mengatakan terserah saja pada mas Hardi.

91

Dengan rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran itu, karena pameran itu diselenggarakan di hotel berbintang, Ustadz Bachri menjadi kurang percaya diri, dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap diantara pengunjung. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya diantara lukisanlukisan yang dipajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona. Sampai akhirnya, ketika acara pidato dan sambutan usai para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri diantara jejalan pengunjung yang belum juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbetik dikepalanya : “jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan pameran karena tidak memenuhi standar.” Mendapat pikiran begitu, dia tiba-tiba justru menjadi tenang dan tidak menyembunyikan diri dari punggung para pengunjung. Bahkan dia sengaja mendekati Hardi yang tampak sibuk menerangkan sebuah lukisan kepada para pengunjung. Lukisan itu hampir tak tampak olehnya, tertutup banyak kepala pengunjung yang sedang memperhatikannya. “Lha, ini dia !” tiba-tiba Hardi berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah dilihat oleh banyak orang. “Ini pelukisnya !” ujar Hardi lagi. Hardipun menanyakan keberadaannya yang dari tadi dicari tidak kelihatan. Kemudian Hardi memperkenalkan seorang kolektor dari Jakarta, yang ingin membeli lukisannya.Seketika itu jiga Ustadz Bachri terkejut ternyata lukisan yang dikerumuni banyak pengunjung itu adalah lukisannya. Sambil melirik kearah lukisannya dia mengagumi Hardi yang ternyata tidak hanya pandai melukis tapi pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Lebih kaget lagi ketika Ustadz Bachri mrmbaca angka dalam keterangan harga, dan hampir tidak mempercanyai matanya. $ 10.000. Sepuluh ribu US dollar ! Gila !

91

Tiba-tiba si bapak kolektor menyatakan tertarik dengan lukisannya

itu,

sambil

menepuk

bahunya.

Apalagi

setelah

mengetahui makna dan falsafah lukisan itu, dari Hardi. Dia tersipu-sipu Hardipun mengucapkan selamat atas terbelinya lukisannya itu oleh kolektor tersebut. Bapak kolektor itu berkata:”Teruskan melukis dari dalam seperti ini,” (Melukis dari dalam ? apa pula ini ? pikirnya ). Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri disamping lukisan Alifnya dan diambil gambarnya. Dia benar-benar salah tingkah, dan pertanyaan-pertanyaan para wartawanpun dijawab sekenanya. Besoknya hampir semua media massa membuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang dirrinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik koran ibukota maupun daerah melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya, sayang dalam semua foto itu tidak nampak lukisan Alif-nya. Yang terlihat hanya dia yang berdiri disamping kanvas kosong !. Ketika makan siang

anak-anak dan istrinyapun ikut-

ikutan bertanya macam-macam tentang lukisannya. Ustadz Bachri menjadi kesal. Mereka ikut-ikutan seperti wartawan yang menjejali berbagai pertanyaan yang membuat dia bingung sendiri. Ustadz Bachri geleng-geleng kepala mendengar anak-anak dan istrinya terus menjejali berbagai pertanyaan kepadanya. Kepada wartawan dan orang lain dia bisa tidak terus terang, tapi kepada keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia menyembunyikan sesuatu. Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan di rumah ? Kemudian akhirnya Ustadz Bachri menjelaskan kepada anak-anak dan isterinya itu tentang lukisannya. Semula karena merasa tertantang, kemudian saya mencoba melukis, kalian tahu sendiri, saya baru kali ini melukis, dan setelah mencoba dan

91

mencoba sampai akhirnya saya hampir putus asa. Dengan keadaan seperti itu kalian masih memberiku semangat, dan Hardipun ngotot mendorong-dorong saya untuk mengikuti pameran itu. “Lalu ketika cat-cat itu hampir habis, saya baru teringat pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang

pelukis

besar

memamerkan

kaligrafinya

yang

menggambarkan dirinya sedang sembahyang yang diatas kepalanya ada lafal Allah. Sayapun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja ?” Ketika saya sudah siap melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih dan silver. Karena tekad saya sudah bulat dengan dua warna itu saya memulai melukis Alif, saya merasa huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaly. Namun ketika saya pandang-pandang letak tulisan Alif saya pas ditengah-tengah kanvas, kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya wagu, dan saya memutuskan cukup Alif itu lah yang akan saya ikutkan dalam pameran. Dan mengenai mengapa lukisan Alif itu tidak nampak di foto mungkin karena warna silver diatas putih. Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi, tapi Ustadz Bachri tak tahu apakah mereka percaya penjelasannya atau tidak. 9. Kang Amin a. Tema

: Takdir manusia telah ditentukan oleh Allah.

b. Tokoh

: Kang Amin, Kyai Nur, Ning Romlah, Ning Ummi, Ning

Laila,, Nyai Jamilah. c. Gambaran Cerita Setiap kali Kiai Nur punya gawe untuk perhelatan, kali inipun, jauh-jauh hari orang-orang kampung sudah sibuk. Paling tidak, sibuk membicarakannya. Soalnya belum pernah kiai pengasuh pesantren Tanwirul ‘ Uquul itu mengadakan perhelatan tak gede-

91

gedean. Selalu meriah. Apalagi ini Walimatu ‘Urusy, resepsi pernikahan puterinya yang terakhir, tutup punjen, istilah jawanya. Kabarnya hiburan yang akan ikut memeriahkan acara ini adalah grup Rebana Ria yang sering tampil di TV, dan Qorinya saja dari Jakarta, juara MTQ Internasional. “Wah pasti ramai sekali, ya ?” Malam hari dikamarnya, Kang Amin tidak bisa tidur, bukan karena capek dan udara panas akan tetapi karena pikirannya kalut. Peristiwa demi peristiwa sejak dia ikut dengan Kiai Nur sebagai khadam, melayani beliau dan keluarganya, muncul bagai gambar hidup. Kang Amin memang keluarga ndalem paling senior dan kepercayaan Kiai Nur. Mendiang ibunya menitipkannya kepada kiai sejak ia masih kecil. Dia tidak tinggal di gotakan-gotakan bersama santri yang lainnya. Kang Amin ditempatkan oleh Kiai Nur dikamar khusus disamping ndalem, sendirian. Sehingga apabila tenaganya diperlukan tidak susah-susah mencarinya. Kiai Nur dan Ibu Nyai sudah menganggapnya sebagai anak sendiri Dia besar bersama Ning Romlah, puteri sulung kiai Nur, karena saking seringnya mereka bersama-sama, dari sekolah Madrasah mulai Ibtidaiyah hingga tamat Aliyah-pun sekelas terus, Kang Amin menjadi dekat dengannya. Meski dekat, meski seperti saudara sendiri, kang Amin tetap tahu diri. Tak pernah nglunjak, besar kepala, misalnya bersikap seperti Gus. Dia menyadari bahwa dia hanyalah khadam, pembantu. Inilah yang menyebabkan seisi ndalem, khususnya Ning Romlah, menyukainya. Kang Aminpun sebenarnya mempunyai perasaan tertentu kepada ning Romlah, gadis yang manis dan tidak sombong itu. Kadang-kadang Kang Amin kalau menjumpai Ning Romlah sendirian, hatinya tergoda sesekali ingin

menyatakan

perasaannya,

tapi

mengurungkan niatnya itu karena melihat Romlah

kang

Amin

selalu

ketulusan hati Ning

yang menganggapnya sebagai saudara sendiri. Sampai

91

akhirnya Ning Romlah kawin dengan Gus Ali.Kang Amin sempat kecewa dan uring-uringan sendiri. Tapi melihat kebaikan Gus Ali akhirnya hati kang Amin menjadi luluh juga. Seperti biasa, dengan iklas, kang Amin mnjadi “seksi sibuk” dalam perhelatan pujaan hatinya itu. Setelah Ning Romlah diboyong Gus Ali, hati kang amin serasa kosong, namun kekosongan hati kang Amin tidak begitu lama, sekarang Ning Ummi, adik Ning Romlah, tidak menjaga jarak lagi dengan kang Amin. Lama kelamaan kang Aminpun jadi tertarik dengan Ning Ummi, malah kang Amin mempunyai perasaan yang lebih kepada Ning Ummi ketimbang dengan Ning Romlah dulu. Akan tetapi apakah sudah menjadi nasib kang Amin atau takdir memang sudah mengaturnya sedemikian rupa. Ning Ummipun tak jadi miliknya, dia dipersunting oleh putra Kiai Makmun dari Jawa Barat. Hatinya kecewa kembali. Ditinggalkan Ning Ummi, hanya beberapa lama dia seperti linglung. Setelah itu dia kembali seperti sebelumnya. Dia kembali bersemangat seperti mendapat obat kuat, kali ini obat kuatnya adalah Ning Laila, puteri bungsu Kiai. Ning Laila yang lincah dan menggemaskan ini tidak hanya mampu mengisi kekosongan hati kang Amin, tapi sudah membuat tekadnya bulat, karena sudah dua kali dia kecewa. Kali ini dia ingin nekad matur kepada Kiai untuk meminang Ning Laila. Tapi seperti pepatah kuno, untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak. Belum sempat matur kepada Kiai, lagi-lagi gledek menyambar di siang bolong, kali ini lebih parah lagi, karena gledek itu muncul langsung dari mulut Ning Laila sendiri, yang tiba-tiba memintanya mengarangkan undangan pernikahannya dengan Gus Zaim, sepupunya sendiri. Mendengar itu hati kang Amin benar-benar hancur dan tak bisa berbuat apa-apa. Sejak perningkahan Ning Laila dengan Gus Zaim, tak banyak yang bisa diceritakan dari keluarga ndalem, kecuali tentang

91

kewafatan Kiai Nur, beberapa saat setelah itu. Tapi setengah tahun kewafatan Kiai Nur, ada peristiwa besar yang benar-benar mengejutkan dan menggegerkan. Karena kang Amin kawin dengan Nyai Jamilah, janda Kiai Nur. 10. Kang Kasanun a. Tema

: Kelebihan yang diberikan oleh Allah jangan disalah

gunakan. b. Tokoh

: Kang Kasanun, Kyai Mabrur, Ayah, Aku, orang Cina tua.

c. Gambaran Cerita Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku ceritakan ini, baik dari Ayah atau kawan-kawannya seangkatan di pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan seringkali aku membayangkan seperti Supermen, Spidermen, atau si pesulap Mandrake. Wah, seandainya aku sempat pertemu dengannya dan dapat satu ilmu saja, lamunanku selalu. Ayah maupun kawankawannya selalu menyebutnya Kang Kasanun. Tidak ada yang menyebut namanya saja. Boleh jadi karena faktor keseniorannya atau karena ilmunya. Kata Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang kawan Ayah di pesantren, bahwa Kang Kasanun itu pendekar yang ilmu silatnya komplit, dia itu bahkan mempunyai ilmu cicak. Bila sedang bersilat , bisa nempel dan merayap di dinding. Ayah sendiri sering juga bercerita tentang Kang Kasanun. “Nggak tahu, dia itu ilmunya dari mana,” kata Ayah suatu hari ketika sedang bercerita tentang kawanya yang disebutnya jadug itu. Disamping menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya aneh-aneh. Hanya dengan merapalkan bacan aneh - campuran bahasa Arab dan Jawa dia bisa membuat tidur seisi mushalla. Pernah ia menjadi tontonan orang sepasar karena dia dihinna penjual lombok, lalu lombok satu pikul ia makan semua dan ia tak apa-apa malah yang murus penjual

91

lomboknya itu. Kata kawan-kawannya ia juga bisa memanggil burung yang terbang dan ikan di sungai. Pada suatu hari Kang Kasanun mengajak kawan-kawannya yang ikut mempelajari ilmu halimunanya itu untuk dipraktikkan. Hari itu kami ramai – ramai mendatangi toko milik orang cina yang terkenal galak dikota. Kang Kasanun berpesan, siapapun di antara kami yang masih melihat orang lengkap dengan kepalanya, kami tidak boleh mengambil sesuatu yang ada di toko itu. Karena, tanda bahwa kami sudah benar-benar hilang , tidak terlihat orang, ialah apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Kang Kasanun, kita tidak berniat untuk mencuri, hanya mengamalkan ilmu saja . jadi ambil barang-barang yang harganya murah saja. Dari sekian orang yang ikut “program halimunan” itu, hanya ayah yang gagal. “Karena saya masih melihat kepala semua orang yang ada disitu. Jadi sesuai dengan pesan Kang Kasanun saya tidak berani mengambil apa-apa. Kata kang Kasanun saya kurang mantap. Memang terus terang, waktu itu sebelum menyaksikan sendiri adegan di toko itu tidak percaya ada ilmu halimunan, ada orang bisa menghilang.” Dan suatu ketika di rumahku ada tamu kawan lama Ayahku, dan Ibuku bilang bahwa tamu Ayah itu adalah Kang Kasanun yang tiggal di luar Jawa. Mendengar itu aku sangat terkejut dan ingin sekali bertemu dengannya. Tapi setelah saya lihat dari gorden aku jadi ragu–ragu, tamu Ayah tidak seperti apa yang aku bayangkan, tidak gagah, malah kelihatan kecil di depan Ayahku. Tapi setelah nguping, mendengar pembicaraan Ayah dan tamunya itu, aku menjadi yakin memang itulah Sang Apalagi tak lama kemudian

Superman, Kang Kasanun.

Kiai Mabrur datang dan saling

berpelukan dengan si tamu. Kebetulan sekali , malam ketika Ayah akan mengajar ngaji, aku dipanggil, katanya, “Kenalkan, ini kawan Ayah di pesantren,

91

Kang Kasanun yang sering Ayah ceritakan itu! Kawani dulu beliau sementara Ayah mengaji.” Setelah bercerita panjang lebar aku menyempatkan untuk diajari ilmunya itu. “Bapak Kasanun,” sengaja saya mengganti sebutan Kiai dengan Bapak, “sekarang mumpung ketemu, saya mohon sudilah kiranya Bapak memberikan ijazah kepada saya : barang satu atau dua dari ilmu Bapak.” Mendengar permohonanku, tiba-tiba tamu yang sejak lama aku harapkan itu menangis. Benar-benar menangis sambil kedua tangannya menggapai-gapai. “Jangan, jangan, Gus ! Gus jangan terperdaya oleh cerita-cerita tentang Bapak, apalagi kepingin yang macam-macam seperti yang pernah Bapak lakukan. Biarlah yang menyesal Bapak sendiri. Jadilah seperti Ayahanda Gus saja. Belajar. Ngaji yang giat. Dulu Ayahandamu tak serius belajar ilmu yang aku beri, Bapak rasa karena Ayahandamu hanya serius dalam urusan belajar dan mengaji. Dan, sekarang Ayahandamu menjadi Kiai besar, sementara Bapak lontang-lantung seperti ini. Kawan-kawan bapak yang dulu ikut Bapak mendalami ilmu-ilmu kanuragan seperti ini rata-rata kini hanya menjadi dukun. Itu masih mendingan , ada yang malah menggunakan untuk menipu masyarakat dengan mengakungaku sebagai wali dan sebagainya. Orang awam mana bisa membedakan antara karomah dengan ilmu sulapan seperti itu. “Pernah suatu ketika dalam perjalanan Bapak kehabisan sangu, kemudian Bapak rapalkan aji halimunan Bapak ditoko milik singkek yang sudah tua sekali. Semua pelayan dan pelanggan tidak melihat Bapak. Kemudian Bapak mendekati meja si singkek tua yang terlihat tekantuk-kantuk di kursinya. Pelan-pelan aku menbuka laji mejanya, tempat ia menyimpan uang. Bapak mengambil semua uang yang ada. Si singkek tua tidak bergerak. Namun ketika tangan Bapak akan Bapak tarik dari laci, tiba-tiba tangan keriput si singkek itu memegangnya dan langsung seluruh tubuh Bapak lemas tak berdaya.

91

Pendek kata habislah Bapak dinasihati. Setelah itu Bapak diberi uang dan disuruh pergi. Sejak itulah Bapak tidak mengamalkan ilmu-ilmu itu. Sebenarnya semua itu hanyalah memantapkan apa yang lama Bapak renungkan, tapi Bapak ragu . Pak Kasanun memegang kedua tanganku penuh sayang, dan katanya kemudian, “sekarang Bapak sudah mantap. Jalan yang Bapak tempuh kemarin memang salah , mestinya sejak awal Bapak mengikuti jejak Ayahanda Gus.” Kemudian akupun disuruh untuk mengikuti jejak Ayahku dan tidak boleh mengikuti jejaknya yang salah. Aku disuruh pula mencari ilmu yang bermanfaat bagi diriku dan bagi sesama. Aku tidak sempat memberi komentar apa-apa karena keburu Kiai Mabrur dan kawan-kawannya datang. Tapi aku masih mempunyai banyak waktu merenungi nasihatnya. 11. Ndara Mat Amit a. Tema

: Kelebihan yang diberikan oleh Allah bukanlah untuk

dipamerkan. b. Tokoh

: Ndara Mat Amit, Anak Desa, Ayah, Pak Min.

c. Gambaran Cerita Anak-anak kecil takut dengan lelaki ini. Bukan saja karena tubuhnya yang tinggi besar, mukanya yang sangar, tapi terutama karena kebiasaan yang aneh. Suka mencaci dengan berteriak keras terhadap siapa saja. Tak ada seorangpun yang tahu dimana Ndara Mat Amit tinggal. Orang hanya tahu dia bukan penduduk asli tapi punya banyak kenalan di kota kami. Ada yang bilang dia dipanggil ndara karena masih keturunan Nabi. Hampir tiga kali dalam sebulan ia datang ke kota kami. Anehnya setiap anak yang mengetahui kehadirannya akan segera lari ketakutan. Di antara yang sering dikunjungi Ndara Mat Amit adalah rumah kami. Kalau datang ia tak lupa mampir ke rumah. Mungkin

91

karena ia menyukai ayahku yang selalu ramah terhadap siapa saja yang datang. Ayah sendiri pernah menasehatiku untuk selalu menghormati setiap tamu. “itu kan anjuran Rasulullah,” begitu jelas ayah. Entah karena sudah terbiasa atau karena nasehat ayah, aku – tidak seperti banyak kawanku – tidak lagi takut pada Ndara Mat Amit. Memang aku dulu pernah dibentak hingga gemetaran. “Hei kamu bajingan kecil ke sini !” Aku terpaku, “setan kecil ! punya telinga, tidak?” lanjutnya. Aku pun ragu mendekat. Dengan hati-hati dan siap-siap melarikan diri apabila beliau hendak memukul. Ternyata dia memberiku beberapa uang receh yang ia ambil dari saku jasnya yang kumal. “Goblok, terima !” hardiknya. Ragu-ragu aku menerimanya. “Lho apalagi ? kurang ? kalau tidak kurang sana lekas minggat, monyet kecil !” lanjutnya.aku membatin, ada baiknya juga orang sangar ini. Pada bulan Maulud sudah menjadi kebiasaan ayah mengadakan berzanjen di aula pondoknya. Dan biasa pula Ndara Mat Amit hadir pada acara itu. Dia kelihatan paling semangat menyahuti syair-syair yang dilagukannya dengan suara sumbang, sember dan keras. Sampai pada suatu ketika, pada saat mauludan sampai pada acara assyraqalan, ketika semua orang berdiri, Ndara Mat Amit nampak tertunduk sambil menangis meraung-raung. Di sudut lain, Pak Min, kusir dokar yang sering mengantar Ndara Mat Amit, juga melakukan hal yang sama, menangis dan meraung-raung. Setelah acara berzanjen selesai kulihat ayah mennyai Pak Min. “Lho, apa Kyai tidak pirso tadi Kenjeng Nabi rawuh ?” jawab Pak Min sambil setengah berbisik.

91

“Kusir samber gelap, begitu saja ente pamer-pamerkan !” suara Ndara Mat Amit menyambar. “Kusir tak tahu malu !” lanjutnya. “Kau ini, Yik, yang tak tahu malu ! Dari dulu nggak capekcapeknya pakai topeng. Sudahlah yang wajar-wajar saja, ente kira dengan memakai topeng bisa menyembunyikan diri ? Kusir dokar saja tahu siapa diri ente sebenarnya !” balas Pak Min dengan keras pula membuat semua orang terheran-heran. Orang-orang mengira Ndara Mat Amit akan meradang dan menerkam Pak Min. ternyata tidak. “Assalamu’alaikum !” katanya memberi salam pada kami sambil meninggalkan majlis begitu saja. Tak lama kemudian Pak Min minta pamit pula. Sampai sekarang keduanya tak lagi pernah kelihatan di kota kami. “Dua orang itu,” kata ayah menjelaskan kepadaku, ”adalah Sayyid Muhammad Hamid – yang dipanggil Ndara Mat Amit – dan Kyai Mukmin – yang dipanggil Pak Min – sama-sama memakai topeng. Artinya mereka sama-sama menyembunyikan diri mereka agar tidak diketahui siapa sebenarnya diri mereka. Keduanya ingin nampak awam bahkan hina di depan umum. Yang satu dengan berlagak kasar, yang satu lagi menyembunyikan diri dengan pekerjaanya sebagai kusir. Dulu banyak orang saleh yang menyembunyikan diri mereka karena tak ingin didekati penguasa. Bahkan ada yang pura-pura gila. Mereka adalah Wali Mastur yang menyembunyikan kesalehannya dan menghilang bila ketahuan umum.” 12. Mbah Sidiq a. Tema

: Cinta kepada manusia tidak boleh berlebihan.

b. Tokoh

: Mbah Sidiq, Nasrul, Pak Manaf, Mas Slamet, Wak

Rukiban, Haji Husen. c. Gambaran Cerita

91

Ketenaran Mbah Sidiq telah sampai ke daerah kami. Tidak jelas siapa yang pertama kali menyebar-luaskannya. Yang jelas kini penduduk sudah seperti mengenal Mbah Sidiq, meskipun belum pernah bertemu. Memang ada beberapa orang yang mengaku pernah bertemu dengan beliau, bahkan mengaku sebagai orang dekatnya. Yang jelas nama Mbah Sidiq sudah melegenda di daerah kami. Nasrul adalah salah satu orang yang mengaku seperti itu. Dia paling pandai kalau menceritakan tentang Mbah Sidiq. Dasar pinter omong, membuat orang lupa akan acaranya sendiri. “Percaya tidak, saya pernah diajak beliau ke makam Sunan Ampel di Surabaya, kata Nasrul suatu hari di warung Wak Rukiban. “Saya pikir di sana ia berdoa, ternyata beliau berdiskusi dengan Sunan,” jelas Nasrul. “Darimana kamu tahu kalau dia berdiskusi ?” tanya Pak Manaf, guru SD yang tertarik dengan tokoh yang menjadi buah bibir itu. “Ya dari pembicaraan dan sikap Mbah Sidiq, jelas dia berdiskusi.” Jawab Nasrul. “Tapi katanya Mbah Sidiq suka menggigit kuping orang ?” tanya Wak Rukiban tiba-tiba. “Ah, ya nggak mesti, Wak. Lihat-lihat tamunya. Biasanya, Mbah menggigit telinga orang yang wataknya bandel. Seperti Parman yang suka membuat jengkel ibunya. ‘Telinga kan gunanya untuk mendengar’ begitu kata Mbah Sidiq sehabis menggigit kuping Parman, tapi ada juga tamu beliau cium atau beliau kasih duit.” Jelas Nasrul pada Wak Rukiban. Begitulah kisah Mbah Sidiq yang menjadi legenda bagi kebanyakan penduduk dan menjadi kehorhamatan bagi Nasrul yang merasa menjadi orang dekatnya. Hingga suatu saat terjadi kehebohan di warung Wak Rukiban. Nasrul tak pernah lagi kelihatan. Banyak yang mengatakan

91

Nasrul menyusul istrinya yang terlebih dahulu pergi ke luar kota. Ada juga yang mengatakan Nasrul sedang sakit. Ketika banyak orang membicarakannya, tiba-tiba Nasrul datang dengan wajah dan tubuh yang nampak lesu. “Kopi, Wak,” Nasrul memesan pada Wak Rukiban. Tentu saja kawan-kawannya heran. Tak seperti biasanya yang selalu bersemangat, apalagi jika menceritakan tentang Mbah Sidiqnya itu. Tapi semua diam, seolah-olah menunggu Nasrul menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Tiba-tiba terdengar suara Nasrul seperti bukan dari mulutnya. “Sidiq bajingan,” lirih tapi terdengar sangat keras dan tajam bagai sembilu. Hampir semua mulut kawan-kawannya ternganga seperti merekalah yang terkena tikam umpatan Nasrul. “Wali macam apa itu ? Seperti tahi termakan. Aku menyesal ikut membesar-besarkan namanya. Bangsat, penipu !” semakin serak suara Nasrul, kemudian pecahlah tangisnya. “Sabar, Srul. Apa yang terjadi ? Ceritakanlah pada kami, teman-temanmu ! tumpahkanlah semua isi dadamu biar lega !” Pak Manaf mencoba menenangkan. Tangannya menepuk-nepuk pundak Nasrul. “Maaf, Kang !” Nasrul mencoba mengangkat kepalanya kembali. “Aku kurang sabar bagaiman ? Semua yang diminta sudah aku berikan. Sawah dan sapiku kuserahkan kepadanya, sepeda motorku kujual untuk menyenangkannya. Lho kok tega-teganya membawa kabur istriku ! Masya Allah ! Manusia laknat macam apa itu ?” dipukulkannya tangannya ke meja hingga beberapa cangkir dan gelas terguling, pecah. 13. Mubalig Kondang a. Tema

: Semua di bawah takdir Allah.

b. Tokoh

: Aku, Istriku, Sudin.

91

c. Gambaran Cerita Aku tak memperhatikan isteriku ketika jauh hari dia mengingatkan kota ini bakal kedatangan seorang mubaligh kondang. Hari ini dia mengingatkan lagi. “Ustadz Makin bikin rombongan menyewa kolt. Ibu-ibu juga bikin rombongan sendiri. Bu Lurah menyiapkan bus mini dan truk. Tadi saya sudah daftarkan dua orang. Kalau sampeyan tidak berangkat, biarlah nanti saya sama simbok. Ini pengajian akbar, mubalighnya dari Jakarta. Kita mesti datang gasik supaya dapet tempat duduk.” Begitu kata isteriku mengingatkan. Isteriku, seperti kebanyakan warga kampung yang lain, mungkin maniak pengajian. Di mana saja ada pengajian ia mesti mendengar dan menghadirinya. Aku tak tahu apa yang ia peroleh dari pengajian yang sering ia ikuti. Nyatanya kelakuannya sama saja. Kesukaannya menggunjing orang masih berjalan. Hobinya bohong tidak berkurang. Kesukaannya pada duit juga malah semakin bertambah. Juga seperti Haji Mardud yang menjadi panitia pengajian kali ini, masih juga merenten uang dan menyengsarakan orang kecil. Lalu apa gunanya pengajian-pengajian jika tak merubah apa-apa dari perilaku masyarakat pengajian ? Menjelang Isya rupanya isteriku dan simbok sudah berdandan. Begitu selesai sembahyang, langsung rukuh mereka copot

dan

memperbaiki

dandanannya

sebentar.

Kemudian

berangkatlah mereka ke kota bersama rombngan. Tak lama kemudian suasana menjadi sepi. Rombonganrombongan sudah berangkat. Setelah makan aku rebahkan badanku di balai-balai, berharap bisa tertidur. Tapi mataku tak mau terpejam. Aku menyesal juga tadi tidak ikut rombongan. Terpikir begitu, akhirnya aku bangkit. Kukenakan baju, kuambil sepeda pusakaku, dan kututup pintu rumahku.

91

Kukayuh sepeda pelan-pelan menuju kota. Toh aku tak sedang mengejar apa-apa. Hampir tak kujumpai manusia dan yang kudengar hanyalah lenguh sapi dan suara jangkerik. Untung listrik sudah masuk desaku. Meskipun lampu yang terpasang di jalan tidak terlalu terang dan hanya jarang-jarang. Bersepa malam-malam begini aku jadi teringat akan Sudin, kawanku di pesantren dulu. Di mana kira-kira si anak badung itu sekarang ? Sudin anak orang kaya. Sering dulu aku ditraktirnya nonton film India kesukaannya dan tidak jarang pulang ke pesantren sudah larut malam. Karena sudah sering ditakzir, dihukum, sebab nonton, aku-pun lalu menolak jika di ajak Sudin nonton. Aku malu pada santri-santri yang lain. Sudin sendiri tetap dengan kebiasaannya. Masih saja nonton film India, meski dihukum berkali-kali. Takzir baginya sudah dianggap biasa dan tidak perlu ditakuti. Dia sendiri tidak hanya ditakzir karena nonton, tapi juga karena melanggar banyak larangan dan menyalahi banyak peraturan pesantren, seperti berkelahi, membolos, mengintip santri putri, dan lain sebagainya. Berbagai macam bentuk takzir sudah dicobanya, mulai dari membersihkan kakus, membayar denda, mengisi kolah mesjid, dll. Rambutnya tak sempat tumbuh karena sering kena hukuman gundul. Terakhir Sudin diusir dari pesantren karena kedapatan mencuri kas pesantren. “Eit,” hampir saja aku terjatuh. Akar pohon asam di tepi jalan membuat sepedakuku oleng. Untung aku segera bisa menguasainya. Lamunanku buyar. Sesampai di alun-alun dua orang berambut gondrong segera menarik sepedaku ke arah lapangan yang sepertinya sudah dipersiapkan. Kubaca pada secarik kertas yang terpampang bertuliskan: TTTIPAN SEPEDA Rp. 1000,-. Untung di sakuku masih ada uang seribu persis, sehingga kuberikan uang satu-satunya milikku itu.

91

Dari kejauhan mubaligh itu sudah kelihatan, karena panggungnya yang tinggi dan lampu yang luar biasa terangnya. Hanya beberapa pengunjung paling depan yang duduk di kursi, lainnya lesehan di rerumputan. Tapi aku tak juga melihat istriku dan simbok. Aku terus menerobos agar bisa lebih dekat dengan panggung. Semakin dekat, semakin jelas sosok mubaligh kondang yang dari kejauhan suaranya menggelegar itu. Ternyata tubuhnya sedang-sedang saja. Yang membuatnya gagah justru pakaiannya. Penampilan mubaligh kondang memang berbeda dengan mubaligh lokal. Bicaranya lantang dan mantap. Gerakan tubuh dan tangannya sesuai dengan isi ceramahnya. Dan wajahnya…… Dan wajahnya……nanti dulu. Sepertinya sudah aku kenal. Tapi tak mungkin. Masak dia ? Tapi persis sekali. Dahinya yang sempit, matanya yang agak sipit dengan sorot yang nakal itu, hidungnya yang bulat, mulutnya yang lebar dan seperti terus mengejek, dan telinganya yang lebar. Ah, tak mungkin lain. Aku tak salah lagi, pastilah dia. Sudin !. Aku tiba-tiba kepingin mendengarkannya. “Jadi sekali lagi, saudara-saudara, maksiat yang sudah merajalela itu harus kita perangi. Juga kenakalan remaja sekarang ini sudah sangat mengkhawatirkan. Apa jadinya generasi kita yang akan datang bila kenakalan remaja itu tidak segera kita tanggulangi. Kalau di waktu muda malas, apa jadinya bila sudah tua ? Kere, saudarasaudara ! kere, betul nggak ?” “Kalau di waktu muda sudah suka jambret, apa jadinya bila sudah tua ? apa saudara- saudara ? ko,…ko….!” “Korupsiii !!!” teriak hadirin serempak disusul tepuk tangan sorak gegap gempita. Memang ajaib. Sudin yang nakal. Sudin yang di pesantern langganan takzir. Sudin yang dulu diusir dari pesantren karena

91

mencuri uang kas pesantren. Ah, siapa mengira kini menjadi mubaligh kondang seperti itu. Bagaimana ceritanya Sudin sampai mempunyai karomah begitu besar ? bagiku itu sungguh musykil. 14. Ngelmu Sigar Raga a. Tema

: Semua ilmu datangnya dari Allah

b. Tokoh

: Aku (Mus), Mbah Jonet, Ibuku, Haji Muin.

c. Gambaran Cerita Aku beruntung bisa bertemu dengan Mbah Joned. Karena tidak setiap orang bisa bertemu atau ditemui kyai sepuh yang melegenda itu. Menurut kepercayaan orang-orang yang mengenalnya, Mbah Joned memang tidak selalu bersedia ditemui. Ada seorang jenderal yang sudah menunggu seharian, gagal bertemu dengan beliau. Tapi seorang kusir dokar malah disambut di depan pintu rumah beliau dengan penuh penghormatan. Kabarnya Mbah Jonet tahu tujuan setiap orang yang akan sowan. Dan berdasarkan tujuan si tamu itulah, Mbah Joned bersedia menemui atau tidak. Wallahu’alam. Yang penting, alhamdulillah aku ditemui beliau. Aku dan beberapa tamu yang lain ditemui Mbah Joned di “ruang tamu”-nya, sebuah kamar yang pengap. Hanya ada sebuah kursi besar yang beliau duduki. Sedang kami dipersilakan duduk di dipan bambu tempat tidur beliau. Kami di suguhi minuman yang berbeda-beda dengan cangkir yang berbeda-beda pula. Ada yang mendapat teh dalam cangkir porselin, ada yang kopi dalam cangkir kaleng, ada yang wedang jahe dalam cangkir tanpa pegangan; dsb. Konon semua itu ada maknanya tapi entah, aku sendiri tidak begitu mengerti. Aku sendiri dapat minuman legen, nira yang baru disadap, dalam gelas bamboo. Makanannya, semua rebusan: jagung, ketela, kacang, pisang, dan gendoyo (semangka muda). Aku sengaja menunggu mereka semua pergi dan agaknya Mbah Joned sendiri arif tentang hal ini. Beliau tidak menanyaiku apaapa sebelum semua tamu yang lain pergi. ”Nah,sekarang tinggal kita

91

bertiga. Silahkan sampaikan keperluan sampeyan !” kata Mbah Joned ramah. Hampir saja aku bertanya : kok bertiga? Siapa yang lain? Untung aku segara menyadari bahwa yang di maksud tentu kami berdua dan Allah. Maka aku langsung memberanikan diri menyampaikan masudku, ingin memohon ijazah dari beliau. Kebetulan pada hari itu Mbah Joned sedang murah hati, kata beliau aku akan diberi ijazah yang jarang dimiliki orang zaman sekarang dan belum pernah diberikan pada orang lain, selain aku. Kemudian aku disuruh merapalkan bacaan yang terdiri dari lafal-lafal Arab campur jawa, setelah beliau membacanya. Mendengar sekali aku masih bingung, dan akhirnya Mbah Jonet mengulanginya. Bacaan yang kedua ini lebih cepat dari yang pertama tadi, kemudian beliau menyuruhku mengulangi apa yang baru beliau baca. Dengan memeras ingatan, Alhamdulillah, aku berhasil. Mbah Joned langsung menangkap tanganku, disalaminya. “Selamat! Jodoh ! Sampeyan berhasil!” Kemudian diterangkan tatacaranya mengamalkan ngilmu yang beliau sebut Sigar Raga itu. Setelah aku memahami semua penjelasannya, akupun pamit sambil berkali-kali menyampaikan terima kasih. Setelah aku melaksanakan puasa mutih selama tujuh hari, pada malam hari kedelapan, aku praktikkan ilmu yang diajarkan Mbah Joned. Aku berpakaian serba putih dan tidur telentang di atas tanah sendirian ditengah malam, lalu aku rapalkan bacaannya dan aku bayangkan diriku keluar dari tubuhku yang telentang. Ajaib, aku tibatiba bisa membayangkan sangat jelas diriku keluar dari tubuhku. Dan sesuai wejangan Mbah Joned, aku kemudian berkata pada diriku yang telentang mengawasiku. “Mus, ingsun arep lungo, siro kario nang ngomah !” ( Mus, aku pergi ya, kamu tinggal saja dirumah !) Kulihat diriku mengangguk dan melambaikan tangan. Akupun pergi meninggalkan diriku.

91

Aku termasuk aktivis termuda dalam partaiku. Setelah sekian lama aku berjuang keras di partaiku, sekarang aku menuai jerih payahku itu. Akhirnya aku terpilih menjadi salah satu ketua partai di tingkat pusat. Dalam pencalonan aku termasuk urutan jadi di DPR. Semua orang menghormatiku, honorku cukup besar dan kadang-kadang masih mendapat tambahan dari orang-orang yang membutuhkan jasaku. Jumlah simpanan dalam rekeningku di berbagai bank terus bertambah, dan mobilku tergolong mobil yang mewah, sekarang aku sudah makmur, selamat tinggal hidup sulit ! Kini bicaraku dan sikapku selalu dibenarkan oleh semua orang yang ada disekelilingku. Juga ketika aku membisikkan keinginanku “menyimpan “ artis cantik favoritku kepada orang kepercayaanku, spontan dia mendukung dan bahkan dia bersedia memfasilitasi. Aku tinggal tahu beres. Ketika reses panjang, semua anggota DPR dari partaiku mendapat tugas pembinaan ke daerah. Atas usulku, disetujui bahwa tugas semua anggota adalah melakukan pembinaan ke daerah masingmasing. Alhamdulillah. Sebenarnya latar belakang usulku itu bersifat pribadi. Aku ingin mejenguk rumah yang cukup lama aku tinggalkan. Dalam perjalanan ini aku hanya membawa tas kecil dan sekedar oleholeh yang di belikan stafku ketika di airport; “untuk Ibunda, madu Sumbawa” katanya. Magrib taksiku sampai tujuan, kampung halamanku ternyata masih seperti dulu. Memasuki halaman rumahku, aku agak gembira. Tampak lebih bersih, dan pagar hidup dari tanaman di depan rumahku kelihatan terawat baik. Ini pasti kerja Lik Tukin, adik Ibu yang selama ini mengawani dan membantunya. Aku masuk rumah. Ternyata keadaan di dalam rumah juga bersih, meski tidak ada perubahan. Meja-kursi masih yang dulu. Baru saja aku meletakkan tasku, kudengar suara lirih dari dalam salah satu kamar, kamar ibuku. “Mus ya ? “Ah, itu dia suara ibuku. Aku merasa

91

lega dan sekaligus heran. Bagaiman beliau tahu aku datang, “Likmu Tukin sudah datang ? Aku tak menjawab, tapi langsung masuk kamar sambil menjinjing bungkusan oleh-oleh madu Sumbawa. Ibu sedang bersujud, mencopot rukuhnya. Dan kelihatannya ibu sudah tahu kalau aku datang membawa madu Sunbawa. Dalam kebingunganku aku hampiri beliau dan aku ciun tangannya. Tapi aneh, seperti geli, Ibu menarik tangannya. “Hei, Mus, kesambet dimana kau ini?” Aku sungguh tak mengerti. Tak ada satu patah katapun yang diucapkan ibu aku pahami. Sampai masuk seorang lakilaki berpakaian putih-putih sambil menjinjing bungkusan persis seperti bungkusan oleh-oleh yang dibelikan stafku. Madu Sumbawa. Aku berdiri mematung mengawasinya. Demikian pula dia. Setelah berjamaah maghrib di mesjid, bersama haji Muin aku mampir ke tokonya, mengambil madu Sumbawa titipan ibu. Ternyata aku ditahan untuk makan malam. Setelah cukup lama aku ingatkan tentang ibuku yang sendirian di rumah, dia memaklumi dan membiarkan aku pulang. Sampai di rumah, tanpa menoleh, aku langsung menuju ke kamar Ibu. Aku kaget, kulihat seorang lelaki di kamar ibuku. Orang itu

memandangku

seperti

melihat

hantu.

Aku

terpaku

memandanginya. Demikian pula dia. Perempuan itu terus tertawa melihat anaknya tiba-tiba menjadi seperti patung. Ketika beranjak ke dapur sambil membawa bungkusan madu Sunbawapun , masih terdengar derai tawanya. “Mus, Mus aneh-aneh saja kau! Katanya di sela-sela tawanya yang semakin geli. 15. Mbok Yem a. Tema

: Segala kebaikan akan mendapatkan balasan yang

setimpal. b. Tokoh

: Mbok Yem, Ibu, Mbah Joyo, ketua rombongan, adikku.

91

c. Gambaran Cerita Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah, aku bisa bertemu dengan ibu dan adikku di pondokan mereka di Makkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit bersama empat pasang suami istri. Di antara mereka itu ada dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis. Yang kemudian menarik perhatianku adalah kemesraan kedua sejoli itu. Mereka seperti pengantin baru saja. Seperti tidak memperhatikan yang lain, Mbok Yem menggelendot manja di pundak Mbah Joyo. “Pak, kita beruntung. Nak Mus ini kan kuliah di Mesir, dia bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita. Bukan begitu nak Mus ?” katanya sambil mengelus rambut suaminya yang putih. Aku mengangguk saja sambil tersenyum. Alhamdulillah, sejak di Arafah aku bisa ikut dengan rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang seperti menjadi lautan tenda itu. beberapa orang nampak letih, justru Mbok Yem dan Mbah Joyo, anggota kami yang paling tua sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Kudengar isak tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun terdiam. Sampai datang petugas kloter menyuruh semuanya bersiapsiap untuk sholat bersama. Aku perhatikan, sejak selesai sholat dan berdoa bersama, Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulangulang Astaghfirullah, Astaghfirullah. Mereka memohon ampun

91

kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli itu berdzikir dan berdoa yang lain. Malam ketika arus kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami hanya mendengar suara talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut Mbah Joyo dan Mbok Yem yang terus beristighfar. Menjelang dini hari, kami sampai di wilayah Muzdalifah. Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan keluar dalam gelap, mencari batu-batu kerikil untuk melempar jumrah. Tapi setelah waktu dinyatakan habis, aku berusaha membantu petugas meneriaki para jamaah agar segera naik bis dan bersiap menuju Mina. Tiba-tiba ketika ketua rombongan mengabsen dan menghitung jamaah, terdengar suara Mbok Yem histeris, “Mbah Joyo ! mana Mbah Joyoku ?” Seketika semua sadar Mbah Joyo belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus dan menjeritjerit memanggil suaminya. Hampir seisi bus pun ikut turun dan membantu mencari Mbah Joyo. Ibuku membujuk Mbok Yem sambil merangkul perempuan tua itu supaya tenang. “Mbah Joyo tidak akan kemana-mana, pasti kita akan menemukannya.” Setelah dicari sampai ke luar area dan tidak juga ditemukan, akhirnya kami sepakat untuk naik bus dan melanjutkan perjalanan. Mbok Yem sesekali masih menoleh ke arah gelapnya Muzdalifah. Ibu menemani dan merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu. Subuh, kami baru sampai di Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih Mbok Yem. Dan begitu masuk kemah, bukan main terkejutnya kami. Mbah Joyo tengah duduk sambil menikmati anggur. Mbok Yem langsung menjerit dan berhambur memeluk Mbah Joyo. Semua lantas merubung Mbah Joyo yang masih dipeluk, dielus dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.

91

“Ke mana saja sampeyan semalam, Mbah Joyo, kok tahutahu sudah ada di sini ?” tanya ketua rombongan. “Mbah Joyo sudah melempar jumrah Aqabah?” tanya yang lain. Mbah Joyo hanya mengangguk sambil tersenyum sambil memperlihatkan kini dia telah menggunakan piyama yang berarti telah selesai menjalankan jumrah. Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng. “Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan anak muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan akan bertemu lagi dengan robongan di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut. Sampai di Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya dibangunkan dan diajak melempar Jumrah Aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia benar.” “Dia itu siapa, Mbah ? Orang Mana ?” “Wah, iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia langsung akrab. Jadi saya sungkan dan akhirnya , sampai pergi, saya lupa menanyakan nama dan alamatnya.” “Ajaib.” Rupanya bagi Mbok Yem apa yang dialami suaminya merupakan anugrah Allah yang ada kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah Joyo menghilang. Mbok Yem ternyata dulu adalah WTS sedangkan Mbah Joyo adalah “langganan”-nya yang dengan sabar membuatnya sadar, mengentaskannya dari kehidupan mesum.

91

Setelah mereka berdua nikah, mereka menjalankan usaha warung kecil-kecilan hingga akhirnya menjadi besar dan memiliki tabungan untuk naik haji, sesuatu yang menjadi cita-cita keduanya. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosanya hanya bisa benar-benar diampuni apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. seperti kata kyai di kampung, haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. “Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang, sehingga kami berdua masih berkesampatan menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini.” Mbok Yem mengusap airmatanya, air mata bahagia, baru kemudian dibaringkannya tubuhnya di sisi tubuh ibuku. Cerita ini merupakan kisah nyata yang terjadi dan dialami oleh Gus Mus pada tahun 1970 ketika masih kuliah di Kairo dan berkerja sebagai tenaga musiman di Kedubes RI di Jedah.12

Demikianlah gambaran cerpen-cerpen yang terdapat di dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” karya K.H. Ahmad Mustofa Bisri.13

12

A. Mustofa Bisri, Saya Merasa Diwelwhke Tuhan, dalam Mustofa W. Hasyim dan Ahmad Munif, Sebuah Perjalanan Air Mata, Pengalaman Beribadah Haji 30 Tokoh, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997), hlm. 157. 13 Disarikan dari A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, op. cit., hlm. 1-130.

Biografi Mustafa Bisri Gus Mus.pdf

Page 1 of 49. 91. BAB III. KH. MUSTOFA BISRI. DAN KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI. A. RIWAYAT HIDUP KH. A. MUSTOFA BISRI. 1.

156KB Sizes 5 Downloads 343 Views

Recommend Documents

Biografi Mustafa Bisri Gus Mus.pdf
Loading… Page 1. Whoops! There was a problem loading more pages. Retrying... Biografi Mustafa Bisri Gus Mus.pdf. Biografi Mustafa Bisri Gus Mus.pdf. Open.

Biografi RA Kartini.pdf
Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School). Disinilah. Kartini kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana ...

2011.ar.sham mustafa qader.pdf
الحالة الدراسية: أمثلة منتخبة من مدينة السليمانية. رسالة تقدمت بها.. الى. مجلس كلية الهندسة في جامعة السليمانية. وهي جزء من متطلبات نيل درج

master thesis PDF - mustafa abdullah.pdf
Page 1 of 167. CLINICOPATHOLOGICAL ANALYSIS OF. ORAL LESIONS IN PATIENTS ATTENDING. ORAL DIAGNOSIS CLINIC IN COLLEGE OF. DENTISTRY ...

Mustafa Ata-CV.pdf
o Electron Microscopy A. +. o Magnetic Materials A. Master of Applied Science (MASc), Materials Science and Engineering, McMaster University,. Hamilton ...

Gus the Plus Anchor Chart.pdf
Gus the Plus Anchor Chart.pdf. Gus the Plus Anchor Chart.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Whoops! There was a problem previewing Gus the ...

SUMAYA KHALID MUSTAFA Thesis.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. SUMAYA ...

Sirah Nabawiyah- Mustafa As-Sibaie.pdf
Membincangkan sumber sirah dan rujukannya yang sahih. Page 3 of 113. Sirah Nabawiyah- Mustafa As-Sibaie.pdf. Sirah Nabawiyah- Mustafa As-Sibaie.pdf.

2014.en.Diman Mustafa Mohammed.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 2014.en.Diman ...

Plenary Session - Gus Jaspert.pdf
... on the basis of good evidence and are now. seeing better outcomes than ever before. But this is not an either / or of treatment or. a criminal justice response.

Gus Weiss award.2016.pdf
Page 1. Whoops! There was a problem loading more pages. Gus Weiss award.2016.pdf. Gus Weiss award.2016.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Details.

THEO-S-13-00279-REV Gus Jordi Ines.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item.

SUMAYA KHALID MUSTAFA Thesis.pdf
the University of Sulaimani as a partial requirement for the degree of Master of. Arts in English Language and Linguistics. Signature: Supervisor: Rauf Kareem Mahmood (PhD). Date: In view of the available recommendations, I forward this thesis for de

2013.en.Lanja Hiwa Mustafa Khal.pdf
Sequence analysis tools. were established to compare and differentiate Fritillaria local isolates from. the other species of Fritillaria. This method provides an ...

Rahmije Mustafa-Topxhiu .pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Rahmije ...

Sirah Nabawiyah- Mustafa As-Sibaie.pdf
Try one of the apps below to open or edit this item. Sirah Nabawiyah- Mustafa As-Sibaie.pdf. Sirah Nabawiyah- Mustafa As-Sibaie.pdf. Open. Extract. Open with.

THEO-S-13-00279-REV Gus Jordi Ines.pdf
THEO-S-13-00279-REV Gus Jordi Ines.pdf. THEO-S-13-00279-REV Gus Jordi Ines.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.

Viaje Monte Cristi (Gus Dive Center).pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Viaje Monte ...

Rzgar Mustafa mohammed amin-MSc - Karzan Tahir Kareem.pdf ...
University of Sulaimany. College of Humanities. Geography Department. Page 3 of 224. Rzgar Mustafa mohammed amin-MSc - Karzan Tahir Kareem.pdf.