Cinta Pertama; Pertama Kali Cinta Oleh: Ahmad Syaifuddin

Cinta itu datang ketika aku telah bersama dengannya. Untuk pertama kali aku merasakan kehangatan, ketulusan dan kebahagiaan akan kedatangannya. Apakah aku terlambat untuk menyadari arti cinta? Tidak, karena cinta itu berbalas. Cinta pertama itu adalah pertama kali cinta dan aku benar-benar mencintainya. *** Minggu ketiga di Bulan Februari 2011, waktu itu patnerku sedang berada di negaranya, Australia. Aku iseng membuka sosial media manjam1 dan mencoba untuk mencari teman karena aku merasa kesepian. Tak sengaja aku bertemu dengan sebuah akun bernama dexterverino. Dia memasang foto profilnya secara samar sehingga aku tidak tahu wajahnya secara pasti. Hanya satu hal yang membuatku tertarik dengannya yaitu deskripsi singkat yang ia tulis tentang dirinya, sederhana dan berkarakter. Kami saling mengirimkan pesan dan bertukar nomor telepon. Beberapa hari setelah obrolan singkat kami di manjam, kami bertemu di depan Platinum, Jalan Kaliurang. Dia terlihat canggung dan sungkan ketika bertemu denganku. Aku mencoba lebih luwes untuk mencairkan suasana. “Hi, namaku Didin.” Aku mengulurkan jabat tangan. “****G …” Dia membalas. Suatu hari nanti aku memangilnya dengan sebutan Panda. “Kita mau ngobrol di mana ya enaknya?” Aku bertanya. “Terserah…” Jawabnya datar. Dia sama sekali belum menatap diriku ketika berbicara. “Kamu mau ke rumahku?” Aku menawarkan sebuah pilihan. 1

Salah satu sosial media gay yang cukup populer di dunia.

Tanpa mengiyakan dia langsung naik ke belakang motorku. Kami langsung pergi menuju rumahku yang berada di Kaliurang Pratama tak jauh dari Platinum. Sesampainya di rumah, matanya menelisik rumahku yang isinya cukup tidak lazim bagi rumah orang Indonesia. Beberapa foto patnerku dan foto mantan patnernya terpajang di atas rak televisi. Kami duduk di sofa hijau tepat di depan televisi yang terletak di ruang tamu. Segelas teh hangat menemani perbincangan kami yang awalnya kaku. “Kamu asli mana?” Tanyaku membuka pembicaraan. “Asli Blitar.” Jawabnya singkat. “Wah..kotanya Bung Karno ya?” Balasku dengan senyum. Dia masih nampak datar padahal aku sudah mencoba ramah. Matanya terus saja menatap televisi. “Kamu sudah lama seperti ini?” Tanyaku lagi. “Maksudnya?” Dia berbalik tanya sambil menatapku tajam. Aku tercekat. “Maksudku kamu sudah lama mencintai laki-laki?” Aku memperjelas pertanyaanku. “Aku baru aja putus dengan pacarku, cewek!” Dia menekankan kata terakhir. “Kami sudah jalan sekitar dua tahun tapi karena aku harus pindah kuliah disini. Terpaksa kami putus.” Dia melanjutkan penjelasannya. “Aku cuma iseng-iseng kok di manjam.” Katanya. Aku cukup kaget dengan penjelasannya. “Suatu saat nanti aku pasti akan membahagiakan orang tuaku, terutama ibuku. Jadi aku nggak bakal selamanya seperti ini.” Paparnya jujur dan mulai terbuka. Aku tersenyum tipis mendengar penjelasannya. Memang dia terkesan masih denial dengan identitas seksualitasnya. Tetapi aku sangat menghargai kejujuran dan kebaikan yang bisa aku rasakan dari kata-katanya.

Kami berbincang panjang lebar, kebekuan itu lama-lama cair dengan sendirinya. Ternyata kami memiliki banyak kesamaan. Saat itu dia sedang kuliah di Jurusan Sosial Politik dan aku sangat tertarik dengan isu-isu Sosial Politik. Selain itu dia juga suka backpacking, kegemaran yang baru aku mulai. Dia bercerita pernah menjadi backpacker kulit2 waktu liburan SMK-nya. Dia dan kawankawannya pergi dari Salatiga menuju pantai-pantai di Gunung Kidul dengan berbekal roti dan uang Rp 20.000. Pengalaman yang menurutku luar biasa untuk anak seumurannya karena biasanya anak-anak seumurnya lebih suka pergi ke mall atau nongkrong di kafe-kafe. Malam pun datang tidak terasa, bahkan kami lupa belum makan malam. Entah kenapa kami tidak merasa lapar. Mungkin kami sudah terlarut ke dalam perbincangan hingga lupa akan waktu dan rasa lapar. “Eh…Aku suka rumahmu, apalagi sofa ini.” Katanya. “Kenapa emang?” Tanyaku. “Jadi inget rumah. Ah…. Aku kangen rumah.” Dia menghela nafas panjang. “Boleh nggak malam ini aku tidur disini.” Dia bertanya. “Boleh-boleh aja. Kamu mau tidur di kamar atas?” Aku menawarkan kamar kosong di lantai dua. “Nggak, disini aja. Aku Suka Sofa ini.” Balasnya singkat. Tanpa bertanya lebih jauh lagi aku mempersilahkan dirinya untuk tidur di sofa itu, sebuah Sofa yang mulai ia cintai. Mungkin berkat Sofa itulah kami memulai memupuk benihbenih cinta kami. ***

2

Backpacker yang tidak menggunakan kendaraan ketika pergi travelling. Mengandalkan tumpangan dari orang lain untuk pergi ke suatu tempat.

Masih di Bulan Februari, beberapa hari setelah kami bertemu. Dia mengajakku pergi ke kafe yang menjadi satu dengan toko buku Togamas di Jalan Solo. Katanya dia ingin mengenalkan diriku dengan sahabatnya, seorang perempuan yang katanya punya kecenderungan sebagai seorang Lesbian. Katanya lagi, dia adalah orang pertama yang tahu mengenai identias seksual Panda atau istilahnya coming-out. Aku memarkirkan motor di bawah karena toko buku itu terletak di lantai dua. Dari kejauhan aku melihat sosok perempuan sedang bercanda dengan Panda. Senyumannya sangat manis, parasnya yang elok rupawan. Dari belakang aku memegang pundak Panda. Dia segera sadar akan kedatanganku dan segera memperkenalkan diriku dengan temannya. Namanya adalah Rara, dia adalah teman satu SMK dan waktu itu dia sedang melanjutkan kuliah di Universitas Atmajaya. Berbincang dengannya seperti daun yang terbawa oleh aliran sungai, begitu mengalir. Dia suka membaca buku terutama buku-buku dari Paulo Coelho. Ditambah dia juga menyukai travelling. Perpaduan menarik di antara aku yang suka menulis, Panda yang suka berpetualang dan Rara si penikmat buku. Sejak saat itu kami bertiga menjadi begitu dekat. “Kapan-kapan kita naik gunung Yuk!” Ajak Panda. “Kemana?” Tanya Rara. “Gimana kalo naik Gunung Merbabu, Mas Didin pernah kesana katanya.” Kata Panda. “Iyakah mas?” Mata rara berbinar. “Iya, pernah beberapa kali. Bagus banget tempatnya, ada seven summit3 gitu di atas. Medannya juga cukup menantang karena kita nanti akan lewat jembatan setan.” Paparku. “Iya, aku juga pernah denger. Menarik…menarik..Yuk!” Rara sangat tertarik dengan ide tersebut. 3

Bukan seven summit di Gunung Everest. Hanya julukan puncak-puncak di Gunung Merbabu yang berjumlah tujuh.

Kami sepakat untuk bersama-sama pergi mendaki Gunung Merbabu. Kami memang belum menentukan kapan, tetapi sesegera mungkin ketika masa libur datang. Sepertinya aku baru saja menemukan kawan “sejenis”. Aku sangat senang sekali bertemu dengan mereka. Selesai dari Kafe di Togamas, aku dan Panda pergi ke rumahku. Kami sampai di rumah malam hari, entah jam berapa. Panda melirik sebuah botol black label4 yang terpajang di rak televisi. “Eh, apa ini?”Tanyanya. “Mau coba?” Aku menawarkan. “Boleh...” Jawabnya singkat. Aku segera mengambil dua gelas dan es batu dari dalam kulkas. Perlahan aku menuangkan minuman ke gelas kami masing-masing. “Cheers!” Kami bersulang. Satu, dua dan gelas-gelas berikutnya kami tuangkan tanpa henti sembari berbincang. Obrolan kali ini lebih bebas dan lepas. Aku merasakan ekspresinya lebih menggebu-gebu. Dia banyak berbicara mengenai masalah keluarga yang sedang dihadapi. Isu ketidakpercayaan orang tua atas jalan yang dia pilih menjadi materi utama kami. Memang kuliah di Sosial Politik adalah pilihannya, tetapi sayang ketika dia memasuki perkuliahan dia tidak begitu sreg dengan materi-materi yang dipelajari. Katanya dia bermaksud untuk pindah jurusan di Psikologi UGM atau Hukum di Universitas Diponegoro. Sontak, kedua orang tuanya tidak setuju karena dia baru saja masuk kuliah dan tentunya mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Entah berapa gelas yang kami minum hingga botol itu terkuras habis. Kami tak sadar bahwa malam pun telah jatuh ke dini hari. Dia terlihat sudah cukup mabuk hingga cukup susah untuk berdiri tegak. Aku membereskan gelas dan peralatan ke dapur. 4

Merek minuman beralkhohol.

“Kamu mau tidur?” Tanyaku. Perlahan dia beranjak dari tempat duduknya, sempoyongan. Ketika dia berdiri aku segera menyambutnya dengan pelukan. Kehangatan segera menjalar ke dalam tubuhku. Kehangatan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Dia pun menyambut pelukanku dengan mendekapku dengan kedua tangannya. Aku tahu bahwa tindakanku sangat bodoh. Entah kenapa tiba-tiba aku memeluknya, seolah akal pikirku sudah tertelan bersama alkhohol yang aku teguk. Pernah aku merasa sangat menyesal melakukan hal itu, tetapi aku sadar berkat kebodohanku ini aku bisa bertemu dengan jalan yang menuntunku untuk memahami arti cinta yang sesungguhnya. *** Pertengahan Bulan Maret patnerku kembali ke Indonesia setelah cukup lama berada di Australia. Kepulangannya membawaku kembali kepada sebuah realitas bahwa aku telah hidup bersama dengan seseorang yang kukenal lebih dahulu. Seseorang yang mencintaiku dan memintaku menjadi pendamping hidupnya. Bulan ini juga menjadi saat pertama kali Panda bertemu dengan patnerku. Waktu itu dia main ke rumahku. Mimik mukanya berubah ketika dia bertemu dengannya. Dia tiba-tiba gugup dan sungkan, bahkan ketika kami hanya ngobrol berdua saja. Aku merasakan ada hal yang berubah darinya. Dugaanku benar. Sore itu tiba-tiba Rara mengirimkan sms kepadaku, katanya dia dan Panda sedang berada di J-co, Malioboro. Katanya Panda sedang bermasalah, entah apa masalahnya. Tanpa pikir panjang aku segera pergi menuju Malioboro. Sampai disana mereka sedang menikmati kopi dan donat. Tak ada perbincangan seperti biasanya bahkan sapaanku dibalasnya dengan dingin. Ketika aku bertanya kepada Rara, dia pun tak tahu menahu dengan masalah Panda. Dia tetap saja membisu dan berbohong kalau dia baik-baik saja. “Aku mau pulang dulu ya.” Tiba-tiba dia bersuara. “Motormu dimana?” Tanyaku.

“Aku mau pulang Blitar.” Jawabnya singkat. Sontak aku dan Rara terkejut dengan keputusannya. Beberapa kali kami mencoba menilisik masalah yang dihadapinya dan membujuknya untuk tetap tinggal di Jogja. Namun dia sama sekali tidak bergeming sedikit pun. Mau tak mau Aku dan Rara terpaksa mengantarnya ke Stasiun Tugu dan memastikan kepulangannya ke Blitar baik-baik saja. Sekali lagi aku bertanya mengenai masalahnya ketika kami tiba di Stasiun Tugu. Namun dia masih membisu. Panda segera masuk ke Peron kereta dan kami segera berpisah dengannya. Sebenarnya kami ingin menemaninya menunggu kereta yang baru sampai di Jogja malam harinya, tetapi dia sepertinya sedang ingin sendiri. Aku pun segera berpamitan dengan Rara dan kembali ke rumah. Ketika aku sampai di rumah Rara mengirimkan sms lagi. Katanya dia sedang bersama Panda dan keadaannya lebih membaik. Aku tersenyum membaca sms itu, seketika pikiranku menjadi tenang kembali. Namun masih ada tanda tanya yang belum terpecahkan bagiku. Ada apa dengan Panda? *** Mengenal Panda seperti menemukan sebuah oase di tengah padang pasir. Bukan seperti fatamorgana yang memberikan euforia sesaat tapi hanya kepalsuan belaka. Dia adalah tempatku beristirahat dari semua pekerjaan dan kuliah yang membelengguku sehari-hari. Memang kami tidak banyak berbicara mengenai hati atau masalah pribadi. Bagiku bertemu dengannya sudah cukup untuk meluruhkan semua beban hidupku. Ada satu hal yang membuatku sangat tertarik dengan anak muda ini. Dia sangat spontan dan sederhana. Bersama Rara dan sahabatku bernama Tono kami sering melakukan hal-hal nekat. Sebut saja petualangan tanpa bekal dan rencana pasti. Memang hal-hal yang kami lakukan terdengar bodoh. Tetapi sekali lagi anak muda ini mampu menunjukkan bahwa hidup itu bisa lebih sederhana dan hidup.

Suatu hari kami berkumpul di Perpustakaan Kota Yogyakarta, letaknya di belakang Gramedia. Hari itu kami berkumpul untuk membahas rencana kami pergi mendaki Gunung Merbabu. Petualangan kali ini membutuhkan sebuah perencanaan matang mengingat medan yang cukup berat, terbatasnya waktu, cuaca gunung yang tidak bisa ditebak dan hal-hal lain yang belum kami bisa perkirakan. Kami bersama-sama mencari data mengenai jalur pendakian, pos pendakian dan hal-hal menarik di Gunung Merbabu. “Menurutku jalur pendakian New Selo cukup landai dan menarik karena nanti kita akan melewati padang sabana.” Panda memberikan usul. “Tetapi kalau kita lewat jalur ini kita butuh sekitar 8 jam daripada lewat jalur lain.” Kata Rara membandingkan. “Iya ini ada jalur Thekelan dan Wekas, pendakian dari jalur barat. Katanya bisa ditempuh sekitar 6 jam saja.” Tono menambahkan. “Iya bener, kalau lewat Jalur Selo jalannya lebih landai dan bagus karena lewat padang sabana. Tapi, kita harus berjalan lebih lama. Kalau kalian tipe pendaki yang lebih suka jalan yang landai tapi lama. It’s oke.” Aku turut berpendapat. “Nah, kalau lewat Thekelan kita bisa lewat desa desa gimbal.” Aku menambahkan. “Maksudnya desa gimbal?” Rara bertanya. “Itu lho desa yang terkenal dengan akulturasi Hindu, Islam dan Kejawen. Disana ada semacam vihara tapi penduduk sekitar melakukan ritual Islam Kejawen dan bahkan Hindu. Uniknya lagi banyak anak disana yang berambut gimbal. Kita bisa mampir sebentar untuk ngobrol dengan penduduk sekitar kalau kalian mau.” Aku menjelaskan. “Sepertinya saya tipe orang yang lebih memilih medan landai walau jalurnya lebih panjang, Din.” Kata Eko. “Iya mas, aku juga pengen lihat padang sabana.” Rara menambahkan.

“Oke, kita naik lewat jalur Selo ya!” Panda membuat konklusi. “Kumpul Sabtu pagi di rumahku, kita berangkat sekitar pukul delapan pagi. Nanti aku siapkan tenda, nesting dan parafin. Untuk bekal makan kita bagi rata ya!” Kataku. Kali ini rencana tersusun dengan cukup rapi dan matang. Kawan-kawan terlihat puas dengan rencana yang telah disusun. Entah seperti apa ekspektasi mereka saat itu. Bagiku untuk saat ini cukup melihat senyum Panda yang lebar dan lepas. Seperti ada semacam rindu dengan senyumannya itu. Aku menceritakan rencana mendaki kepada patnerku. Dia cukup khawatir dengan rencana pendakianku walau sebenarnya dia tahu bahwa aku sering melakukan pendakian di Gunung Merbabu. Sebenarnya tujuanku menceritakan rencanaku adalah untuk membagi waktu bermainku dengan waktu bersamanya. Aku sadar akhir-akhir itu aku jarang bersama dengannya. Jadi aku berpikir sebelum aku berangkat mendaki aku ingin mengajaknya nonton film di XXI atau hanya makan malam di Amplaz. Entah kenapa, perasaan bersalah kadang muncul ketika aku menghabiskan banyak waktu untuk bermain bersama keempat kawanku atau hanya dengan Panda. Mungkin karena waktu itu aku memiliki seorang patner dan seharusnya banyak menghabiskan waktu dengannya. Tetapi aku juga tidak bisa berbohong bahwa bersama Panda adalah momen yang benar-benar membahagiakan dan aku bisa menjadi diriku sendiri. Sepertinya aku terhimpit oleh rasa yang tidak bisa aku pastikan apa itu sebenarnya. Sabtu pagi aku sudah bersiap-siap di depan rumah dengan tas carrier 15 Liter. Tenda, Parafin dan Nesting sudah aku tata dengan baik. Tono adalah orang yang pertama datang ke rumah, seperti biasa dia sangat tepat waktu. Jam sudah menunjukkan sekitar pukul 8 lebih tetapi Rara dan Panda belum juga datang. Baru sekitar pukul 9 pagi akhirnya mereka datang. Jam Indonesia, jam karet, seharusnya aku terbiasa dengan hal itu. “Yuk kita segera berangkat, kita lewat Klaten atau Keteb?” Tanya Rara. “Kita mendaki lewat Wekas aja.” Balasku singkat.

“Hah!” Semua kaget. “Tuh kan mesti, kamu itu unpredictable kok mas. Ngapain kita kemarin kumpul-kumpul segala kalau jadinya rencana kita nggak kepake” Panda protes. “Trust me! Aku yang di depan kan?” Aku meyakinkan mereka. Tak ada satu patah kata pun keluar dari mulut mereka. Sepertinya mereka pasrah atau benar-benar percaya denganku, entah. Kami pun segera melaju ke Kota Magelang dengan kecepatan tinggi untuk menebus keterlambatan kami. Semoga cuaca berbaik hati dengan kami karena aku melihat Gunung Merbabu di selemuti oleh awan pagi ini. Jarak Kota Yogyakarta ke Wekas dapat kami tempuh dalam waktu sekitar 1 jam dengan kebut-kebutan. Hawa dingin dan kabut menyambut kedatangan kami di gerbang masuk Desa Wekas. Pemandangan desa ini cukup indah karena samping kanan-kiri adalah area ladang sayur. Jalanan yang tersusun dari batuan membuat kami harus berkendara ekstra hati-hati. Sempat motorku mogok gara-gara mesinnya terlalu panas. Jadi mau nggak mau harus mendorong motor di jalanan yang cukup terjal. Berat! Akhirnya kami sampai di basecamp pendakian di Desa Wekas. Kami segera mendaftarkan pendakian kami dan mempersiapkan peralatan dan bekal. Tak lupa kami melakukan pemanasan sebelum melakukan pendakian. Sekitar pukul 11 siang kami mulai mendaki Gunung Merbabu, melewati jalan setapak di ladang sayuran. Dalam perjalanan aku melihat peluh mengucur deras dari wajah Panda, nafasnya tersengal-sengal. Aku cukup khawatir dengannya, jadi aku berjalan bersamanya di barisan paling belakang. Berkali-kali aku menyuruhnya untuk beristirahat sejenak tetapi tekatnya cukup kuat. Sekitar pukul 4 sore kami sampai di pos 2 pendakian Gunung Merbabu. Area ini sangat ideal untuk mendirikan tenda karena cukup luas dan memiliki mata air yang melimpah ruah. Kami beristirahat sejenak di tempat ini sembari makan bekal yang kami bawa. Selesai

beristirahat kami segera melanjutkan pendakian karena hari masih terang. Jika memungkinkan kami akan membuat tenda di puncak gunung. Sayang langit sudah menjadi gelap ketika kami mendaki di jalur menuju Pos Triangulasi. Tak jauh dari pos tersebut ada sepetak lahan sempit yang bisa kami gunakan untuk mendirikan tenda. Malam itu kami berkemah di tempat itu. Dari atas sana terlihat kerlap-kerlip lampu Kota Magelang. Sangat romantis. Pukul 2 pagi aku terbangun oleh hawa dingin Gunung Merbabu yang menusuk tulang. Aku segera membangunkan kawan-kawanku, mengajak mereka untuk pergi ke puncak untuk melihat sunrise. “Eh kita ke puncak sekarang yuk. Mau lihat sunrise kan?” Ajakku. “Dingin banget mas.” Kata Rara sambil menarik lagi sleeping bag nya kembali. “Gimana Ton, kita naik ke puncak sekarang.” Ajakku pada Tono. “Ane ikut antum aja.” Gaya bicara rohisnya mulai kelihatan. Aku dan Tono segera keluar tenda untuk mempersiapkan pendakian kami ke puncak. Suhu dingin benar-benar ampuh melemahkan niat kami untuk melihat sunrise di puncak. Tibatiba Panda keluar dari tenda. “Eh aku ikut juga dong.” Panda keluar dari tenda. “Lho aku ditinggal sendiri?” Rara kaget. “Yaudah semua ikut ke puncak aja.” Kataku. Pelan-pelan kami mulai mendaki lagi di pagi buta. Bongkahan batu-batu besar berasa seperti es, dinginnya mampu menembus sarung tangan yang kami kenakan. Kami sampai di Pos Triangulasi dan melanjutkan pendakian melalui jembatan setan. Suasana sekitar masih sangat gelap sehingga kami tidak bisa melihat medan dengan baik. Raungan angin gunung menderu-

deru membuat adrenalin kami semakin memuncak karena kami tidak tahu apa yang akan kami hadapai nanti. Semburit cahaya pagi terlihat dari ufuk timur ketika kami berada di persimpangan Puncak Syarief dan Kenteng Songo. Cahaya timur itu memberikan energi baru bagi kami, tidak mau melewatkan momen, kami segera mempercepat langkah kami menuju puncak tertinggi di Gunung Merbabu, Puncak Kenteng Songo. Nafasku tersengal-sengal. Aku melihat sekitar puncak yang masih terselubungi oleh gelap. Kami berempat akhirnya sampai di puncak tertinggi gunung ini. Aku duduk di pinggir puncak menatap ke arah timur mananti sang fajar datang. Panda datang menghampiriku dan duduk di sampingku. Kami tidak banyak berbicara dan hanya menanti datangnya cahaya timur. Ingin sekali kupegang erat tangannya, tapi kuurungkan niatku. Aku takut salah atau merasa bersalah lagi. Cahaya jingga memancar membelah langit, memisahkan terang dan gelap. Cahaya hangat dan menenangkan, itu adalah momen yang terbaik bagiku. Riang! Kami berfoto-foto kegirangan. Tiba saatnya ketika aku berfoto dengan Panda dan Tono. The boys group! Tidak kusangka mereka berdua memelukku erat, terutama Panda yang bahkan menyandarkan kepalanya kepundakku. Aku luluh, inilah kebahagiaan. Kebahagiaan bersama orang yang aku sayangi, Panda dan sahabatku. Aku rela menukarkan apapun untuk momen ini. *** Beberapa bulan pasca pendakian Gunung Merbabu, kami berempat disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Aku, Tono dan Rara sibuk dengan perkuliahan kami menjelang ujian akhir semester. Sementara Panda sibuk mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Waktu itu dia menyasar tiga perguruan tinggi yaitu UGM, Undip dan Unpad. Panda telah mengikuti ujian masuk UGM namun sayang, dia tak lulus dari tiga jurusan yang dipilihnya. Aku, Rara dan Panda sempat mengantarkannya pergi ke Semarang untuk mengikuti ujian masuk Undip. Puji syukur dia diterima di Fakultas Hukum. Begitu juga dengan

Unpad, Panda lolos seleksi masuk perguruan tinggi dan diterima di fakultas yang sama, Fakultas Hukum. Setelah dia diterima di kedua perguruan tinggi masalah lain timbul. Meninggalkan kota yang dia cintai, Jogja, adalah hal yang cukup berat. Apalagi dia baru saja menemukan temanteman dekatnya disini. Sore itu aku bermain di kosnya di daerah Pogung. Aku memberikan selamat atas keberhasilannya masuk di Undip dan Unpad. Aku merasa bangga sekaligus resah. Bangga karena dia telah membuktikan kerja keras dan kualitas dirinya dalam bidang intelektual, sebaliknya resah karena aku yakin ujungnya adalah perpisahan. “Jadi rencananya kamu mau kuliah dimana?” Tanyaku. “Masih bingung mas.” Jawabnya singkat. “Kenapa bingung, dulu waktu mau ujian masuk bingung kalau nggak diterima di UGM, Undip atau Unpad. Nah, sekarang kan jelas udah diterima di Unpad dan Undip. Masih mikirin apa lagi?” Aku menatap mukanya yang resah. “Kalau kuliah di Undip dekat, jadi bisa ke Jogja tiap akhir pekan. Tapi Fakultas Hukumnya kalah sama Unpad. Kalau kuliah di Bandung jauh, tapi kualitasnya jauh lebih baik. Biayanya memang lebih mahal juga sih. Hmm…..” Panda terlihat semakin resah. “Menurutku sih, pilihlah yang terbaik untuk cita-citamu.” Kataku meyakinkan. “Mbuh lah. Pikir nanti saja.” Panda acuh. “Kalau kamu kuliah di Bandung, aku akan kesana sebulan sekali.” Kataku asal. Tiba-tiba dia memandangku penuh arti. Aku tidak tahu kenapa aku mengatakan hal itu. Pergi ke Bandung? Baru sekali aku ke kota itu, jaraknya jauh sekali. Jika naik kereta api ekonomi bisa ditempuh sekitar 8 jam. Rasa takut tiba-tiba muncul kalau-kalau aku mengkhianati kata-kataku sendiri. Aku sudah menggantungkan harapan kepadanya.

Mungkin ini adalah jalan bagiku dan dia. Belum genap setahun, tetapi perpisahan harus kami hadapi. Aku tidak mau menggunakan egoku. Masa depannya lebih penting daripada halhal seperti ini (romantisme). *** Stasiun Tugu pukul tujuh malam. Panda menenteng tas ransel penuh barang-barangnya. Semua barang di kos sudah dikirim ke Bandung bahkan sudah menanti kedatangannya disana. Ini adalah saat perpisahan itu terjadi. Bagaimana aku bisa melepasnya begitu saja? Tidak! Aku mengurung egoku kembali dalam-dalam. Semua ini untuknya. Pintu Peron berada tepat di hadapan kami. Teralis besi terpaku menjulang menembus langit-langit. Pintu itu adalah pintu yang sebentar lagi akan memisahkan kami. “Kalau aku di Bandung, nanti kita bagaimana ya?” Panda bertanya. Dia masih merasa berat meninggalkan Jogja. “Everythings gonna be okay.” Jawabku meyakinkan. Kami tidak banyak berbicara hanya saling pandang. Matanya berkaca-kaca, aku tidak sanggup untuk menatapnya lagi. Suara petugas kereta mengumumkan kedatangan kereta dari arah timur. Dari kejauhan aku mendengar deru kereta api mendekat. Ketika kereta berhenti, petugas kereta menyambut dengan tiupan peluit yang sangat keras. Itu saatnya Panda harus pergi masuk ke Peron dan meninggalkan jogja. “Mas…” Dia memanggil. Aku menatapnya. “Don’t leave me.” Katanya sedih. “I won’t.” Jawabku. Janjiku. Dia memelukku erat sebelum pergi menuju keretanya. Dia pun berlalu, melaju menuju Kota Bandung untuk menggapai mimpinya. Rasanya sedih sekali, namun aku meyakinkan

kepada diriku bahwa ini untuk meraih cita-citanya. Seperti yang sering aku katakan kepadanya. Kelak dia akan menjadi manusia besar! *** Kota bermandikan cahaya lampu kekuningan, oh begitu sendu. Aku tidak pernah bisa berbohong akan rasa ini. Sekuat aku menahan hanyalah akan menumpuk rasa itu dan menunggu hingga meledak. Mungkin inilah rasanya jatuh cinta. Dia datang kapan pun tanpa kita pinta. Datang kepada siapapun dari siapapun. Tak mengenal kasta atau gender. Datang entah ketika kau sendiri atau sedang bersama yang lain. Tiba-tiba saja membuka hati kita dengan ketulusan tanpa ekspektasi dan intervensi. Dia tidak membelenggu justru membebaskan kita menuju kebahagiaan. Aku dan Panda memang bukan siapa-siapa. Bukan sejoli dengan pengakuan masa. Kami hanyalah orang yang saling mencintai. Pun, kami tidak saling memiliki satu sama lain. Mungkin bagi kami, cinta tidak memiliki apapun kecuali cinta itu sendiri. Biarlah cinta itu cukup dengan cinta.

cinta pertama.pdf

Dia sama sekali belum menatap diriku ketika berbicara. “Kamu mau ke rumahku?” Aku menawarkan sebuah pilihan. 1. Salah satu sosial media gay yang cukup ...

494KB Sizes 4 Downloads 187 Views

Recommend Documents

LA CINTA BLANCA.pdf
Danielle Auteuil y Juliette Binoche en "Caché". Nuevamente esgrimiendo un catálogo portentoso de sutilezas, un. magisterio de la sugestión al alcance de casi ...

CuRi-CURI CINTA SITI ROSMIZAH.pdf
Sebab saya akan pastikan, sampai saya mati pun awak tak akan jadi isteri. saya!" Itu kata Daniel pada Intan. Namun perancangan Tuhan tiada siapa boleh ...

025. Cinta Orang-Orang Gagah.pdf
yang tengah tertidur nyenyak dalam pelukan udara dingin, tetapi juga menggetarkan. tanah pada tempat-tempat yang dilajuinya. Begitu cepat manusia ini ...

CINTA KE 2 ZIHASRA AZIZ.pdf
... anknya .. nk tau apa yg berlaku seterusnya? .. beli lah ya...mmg best.. SUMBER : http://coratdotcoret.blogspot.com/2013/12/novel-cinta-ke-2-zihasra-aziz.html.

Descargar pdf la cinta mc andrews
Page 3 of 20. Descargar pdf la cinta mc andrews. Descargar pdf la cinta mc andrews. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Descargar pdf la ...

Watch Petualangan cinta nyi blorong (1986) Full Movie Online Free ...
Whoops! There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Watch Petualangan cinta nyi blorong (1986) Full Movie Online Free .MP4.pdf. Watch Petualangan cinta

maut-dan-cinta-by-mochtar-lubis.pdf
Aktif sebagai penerbit dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Jakarta. Memperoleh. Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusasteraan; Golden Pen ...

Watch Manisnya Cinta Di Cappadocia (2014) Full Movie Online ...
Watch Manisnya Cinta Di Cappadocia (2014) Full Movie Online Free .MP4_.pdf. Watch Manisnya Cinta Di Cappadocia (2014) Full Movie Online Free .MP4_.pdf.

guia cinta honor league of legends.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. guia cinta honor ...

MAJELIS CINTA AL-QURAN 40.pdf
Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. MAJELIS CINTA AL-QURAN 40.pdf. MAJELIS CINTA AL-QURAN 40.pdf. Open. Extract.

Watch Cinta Brontosaurus (2013) Full Movie Online Free ...
Watch Cinta Brontosaurus (2013) Full Movie Online Free .Mp4___________.pdf. Watch Cinta Brontosaurus (2013) Full Movie Online Free .Mp4___________.

Lyric & Chord - Munajat Cinta - Indonesia Song.pdf
Pupus. C G Am E F C Dm G C G. http://katongds.blogspot.com. Page 1 of 1. Lyric & Chord - Munajat Cinta - Indonesia Song.pdf. Lyric & Chord - Munajat Cinta ...

854840241 - Descargar en pdf la cinta de mc andrews
Page 1 of 1. Page 1 of 1. 854840241 - Descargar en pdf la cinta de mc andrews. 854840241 - Descargar en pdf la cinta de mc andrews. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying 854840241 - Descargar en pdf la cinta de mc andrews. Page 1 o