IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW DALAM PERSPEKTIF MUS{T{AFA< S{ABRI< (1869-1954) Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis

Tesis Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Ilmu Agama

Oleh: Muhib Rosyidi NIM: 11.2.00.1.05.09.0003

Pembimbing: Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar, MA

KONSENTRASI HADIS DAN TRADISI KENABIAN SEKOLAH PASCASARJANA (SPS) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/ 2014 M

i

ii

SURAT KETERANGAN PENGESAHAN PENGUJI Tesis dengan judul Ijtihad Nabi Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang ditulis oleh Muhib Rosyidi dengan Nomor Pokok: 11.2.00.1.05.09.0003, telah lulus dalam ujian pendahuluan tesis pada hari Rabu, tanggal 19 Februari 2014 M, dan telah diperbaiki sesuai saran dan komentar Tim Penguji sehingga dapat diajukan ke sidang ujian promosi magister. Tim Penguji:

Dr. Yusuf Rahman, MA (Ketua sidang/merangkap Penguji)

Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA (Penguji 1)

……...…………….… Tanggal

.………………………. Tanggal

Dr. Fuad Jabali, MA (Penguji 2)

……...………………… Tanggal

Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawar, MA …….....……………….. (Pembimbing/merangkap Penguji 1) Tanggal

iii

iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING Setelah diadakan pembimbingan, tesis dengan judul Ijtihad Nabi Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis yang telah ditulis oleh: Nama : Muhib Rosyidi NIM : 11.2.00.1.05.09.0003 Program : Magister (S2) Konsentrasi : Tafsir Hadis Telah melalui work in progress I, II, III dan Ujian Pendahuluan dan serta telah diperiksa dan diperbaiki sebagaimana mestinya. Dengan ini saya menyetujui untuk diajukan pada ujian Promosi.

Ciputat,

Februari 2014

Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Said Agil Husain al-Munawwar, MA

v

vi

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Tempat Tanggal Lahir Nim Jenjang Pendidikan Konsentrasi

: Muhib Rosyidi : Lamongan, 15 Agustus 1987 : 11.2.00.1.05.09.0003 : S2 Studi Islam : Tafsir Hadis

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul “Ijtihad Nabi Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis,” adalah hasil karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Selain itu apabila di dalamnya terdapat plagiasi yang dapat berakibat diberikan sanksi berupa pencabutan gelar oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, maka saya siap menanggung resikonya. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 15 Februari 2014 Yang Membuat Pernyataan

MUHIB ROSYIDI

vii

viii

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat, karunia, dan kesabaran sehingga penulisan tesis ini bisa diselesaikan. Shalawat dan salam penulis sampaikan pada Nabi Muhammad Saw yang dengan segala pengetahuan dan ijtihadnya telah memberikan jalan yang benar pada wahyu Allah Yang Agung. Penulis berterima kasih pada segenap pihak yang turut membantu atas terselesaikannya tesis ini. Pertama penulis sampaikan pada segenap civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidauyatullah Jakarta, Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar MA selaku pembimbing, Prof. Dr. Azyumardi Azra MA, Prof. Dr. Suwito, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA selaku direktur dan pimpinan yang selalu membuka gagasan dan wawasan baru. Juga kepada Kemenag yang telah memberikan beasiswa selama 2 tahun menempuh studi menyelesaikan tulisan ini. Kepada seluruh keluarga, orang tua bapak Murochis dan ibu Muntamah atas segala doa , ridho dan nasehat kehidupannya. kakak Muhammad Muhbib dan Widati Rosyida atas segala dorongan dan bantuannya. Tak lupa pada istri tercinta Ewi Nerni S.Hi, M.H, atas segala dukungan, kesabaran dan pengertiannya sehingga hingga akhirnya terselesaikan tesis ini. Dengan selesainya tulisan ini, harapan besar adalah adanya kedekatan pada sosok Muhammad Saw untuk selalu menemani sisi kehidupan penulis maupun pembaca semua. Perlu difahami bahwa ia adalah manusia biasa, yang bisa salah, lupa, menangis, atau tertawa. Yang beda hanyalah karena ia menerima misi Allah yang tak terkira. Namun justru karena itu, ia telah menjadi model untuk selalu dicermati dan difahami kehidupannya. Sehingga, karena itulah penulis percaya bahwa ia hadir di bumi ini tidak untuk dipuja, dibanggakan, ataupun dimuliakan, namun ia hadir untuk diikuti, ditaati dan ditemani. Jika memang untuk membaca Alquran kita harus bersikap seolah Alquran turun untuk kita, Maka bacalah hadis seolah Nabi Muhammad Saw adalah sahabat karibmu. ix

PEDOMAN TRANSLITERASI Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam tesis ini mengacu kepada pedoman ALA-LC Romanization Tables. A. Daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf latin adalah sebagai berikut: Huruf Arab

Nama Alif

Huruf Latin Tidak dilambangkan

Nama Tidak dilambangkan

Ba>

b

Be

Ta>

T

Te

Tha>

Th

Te dan ha

Ji>m

J

Je

H{a>

h}

Ha (titik bawah)

Kha>

Kh

Ka dan ha

Da>l

D

De

Dha>l

Dh

De dan ha

Ra

R

Er

Zay

Z

Zet

Si>n

S

Es

Shi>n

Sh

Es dan ha

S{ad

s}

Es (titik di bawah)

D{a>d

d}

De (titik di bawah)

T{a>

t}

Te (titik di bawah)

Z{a>

z}

Zet (titik di bawah)

‘Ayn

…‘…

Koma terbalik di atas

Ghayn

Gh

Ge dan ha

Fa>

F

Ef

Qa>f

Q

Qi

x

Ka>f

K

Ka

La>m

L

El

Mi>m

M

Em

Nu>n

N

En

Wa>wu

W

We

Ha, ta> marbut} ah Hamza h Ya>

H

Ha*

….’…

Apostrof

Y

Ye

*Untuk huruf (‫)ة‬, ta> marbu>t}ah dalam kata benda majemuk (mud}af> ) dilambangkan dengan huruf t (te). B. Vokal 1. Vokal Tunggal

2. Vokal Rangkap

▬َ▬ = a ▬ِ▬ = ▬ُ▬ = u 3. Mad atau Vokal Panjang ‫ـا‬ = a> ‫ـﻲ‬ = i> ‫ـو‬ = u> C. Kata Sandang = al-qalam

ْ ‫َـ‬ ‫ﻲ‬ ْ‫ـَو‬

=

al-shams

=

wa al-‘as}r

D. Shaddah atau Tashdi>d = nazzala =

nu’i’ima

=

al-h{ajju

xi

= =

ay aw

ABSTRAK Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang “Ijtihad Nabi Muhammad Saw dalam Perspektif Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954): Studi Analisis atas Relasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis,” pada tesis ini menyimpulkan bahwa otoritas hadis yang beraviliasi terhadap Ijtihad Nabi tidak memiliki otoritas yang cukup sebagai sumber hukum Islam, meskipun dalam beberapa hal hadis tersebut menyampaikan sebuah kebenaran informasi. Tesis ini memperkuat pendapat ‘Abd al-Jali>l ‘Isa> ‘Abd al-Nasr (2001), Muhammad Sayid T{ant{awi (2009) dan Yu>suf al-Qarad{a>wi> (2002) bahwa keberadaan ijtihad Nabi Muhammad adalah benar adanya dan menjadi bagian dari sisi kemanusiaan Nabi Muhammad yang tidak jauh berbeda dengan manusia lainnya. Tesis ini juga melemahkan para penulis biografi Muhammad kontemporer seperti Muh{ammad H{usain Haekal (2000) yang sangat terpengaruh dengan perkembangan sains modern dengan mengesampingkan sisi kenabian, kemukjizatan dan ketuhanan dalam hidup Nabi. Berkaitan dengan kajian hadis Nabi, dalam hal respon Sahabat terhadap hadis Nabi terutama yang memiliki afiliasi terhadai ijtihad menjadi point tersendiri dalam metode kritik matan. Respon ini menjadi metode yang sangat penting untuk mengetahui kapan Nabi Muhammad tampil sebagai serang Nabi ataukah sebagai manusia biasa. Dengan kata lain, dalam memahami hadis seorang muslim harus seolah menjadi Sahabat yang mengerti tentang pemilahan sisi kenabian, ijtihad dan kemanusiaan Nabi Muhammad. Pengumpulan data dalam karya tulis ini menggunakan library research. Penelitian ini merupakan studi naskah atau content analysis dengan menggunakan metode interpretatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah sosiologis-teologis dan filosofis yuridis. Sosiologis-teologis untuk mengkaji makna kenabian Muhammad saw yang terikat dengan aspek sosialogis kemanusiaanya. Sedangkan filosofis-yuridis digunakan untuk menggambarkan dampak ada atau tidaknya ijtihad Nabi terhadap pemikiran dan hukum Islam.

xii

Abstract The research on The Ijtihad of Prophet Muhammad saw in the Perspective of Must}afa> S{abri> (1869-1954); Analysis Study of the Ijtihad of the Prophet and the Authority of the Hadith concludes that the authority of the hadith which is affiliated to the Ijtihad of the prophet does not have sufficient authority as a source of Islamic law, although in some respects this hadith convey a truth information. This thesis reinforces the opinion of ‘Abd al-Jali>l Isa>, ‘Abd alNasr (2001), Muhammad Sayyid T{ant}awi> (2009), and Yusuf alQarad{aw > i> about the Ijtihad of Muhammad. They argue that the existence of Ijtihad of Prophet Muhammad was true and it’s part arguments of his humanity. It also weakens the contemporary biographers of Muhammad such as Muhammad H{usein Haikal (2000) who is highly affected by the development of modern science and takes aside the prophetic aspect, miracle, and divinity in the life of the prophet. In this study, The Companions response to hadiths related to Ijtihad, has been a separated point in the critical method of matn hadith. Their response is an important method to know whether Muhammad appeared as a prophet or he acted as an ordinary man. In other words, moslem must act according to Companions who understood the prophetic, Ijtihad, and humanitarian side of Muhammad. This is a content analysis study by using interpretative method. Data in this thesis was collected trough library research. It used theological-sociological approach to examine the meaning of prophetic of Muhammad related to humanity sociological aspects and philosophical-sociological approach to describe whether there is an impact of Ijtihad of prophet in the Islamic legal thought or not.

xiii

xiv

DAFTAR ISI Halaman Judul ................................................................................. i Surat Keterangan Pengesahan Penguji ........................................... iii Surat Persetujuan Pembimbing ........................................................ v Surat Keterangan .......................................................................... vii Pengantar....................................................................................... ix Pedoman Transliterasi .....................................................................x Abstrak ......................................................................................... xii Daftar Isi ....................................................................................... xv Bab I A. B.

C. D. E.

F. Bab II

Pendahuluan ................................................................... 1 Latar Belakang Masalah ................................................... 1 Perumusan dan Pembatasan Masalah ............................ 11 1. Identifikasi Masalah ................................................. 11 2. Batasan Masalah....................................................... 12 3. Rumusan Masalah .................................................... 13 Studi Terdahulu .............................................................. 13 Tujuan dan Signifikansi Penelitian ................................ 17 Metodologi Penelitian .................................................... 19 1. Jenis Penelitian ......................................................... 19 2. Sumber Data ............................................................. 20 3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data .................. 21 Sistematika Penulisan .................................................... 21

Kenabian: Antara Rahmat Allas Swt dan Kecerdasan Akal Manusia ............................................................... 23 A. Kedudukan Nabi dalam Alquran dan Sunah .................. 24 1. Nabi dalam Alquran ................................................. 25 2. Nabi dalam Hadis ..................................................... 28 B. Pandangan Ulama Tentang Kenabian ............................ 30 1. Mukjizat ................................................................... 33 2. Sifat Maksum ........................................................... 34

xv

C. Hadis Menjadi Bagian dari Mukjizat Kenabian ............ 37 1. Fenomena Alam dan Sains ....................................... 39 2. Nasehat Nabi pada Para Sahabat ............................. 41 3. Tindakan Kemanusiaan Nabi ................................... 43 4. Kekeliruan Nabi ....................................................... 45 D. Hadis Nabi Muhammad sebelum Menerima Wahyu Alquran ........................................................................... 46 1. Kecerdasan Rahmat Pra-Kenabian........................... 46 2. Kecerdasan Akal Pra-Kenabian................................ 50 Bab III A.

B.

C.

D. E. F. Bab IV

Mus}t}afa> S{abri> dan Problematika Ijtihad Nabi............... 53 Alam Pemikiran Mus{t{afa< S{abri< (1869-1954) ................. 53 1. Biografi Singkat ....................................................... 53 2. Karya dan Alam Pikiran ........................................... 56 3. Kritik Terhadap Sarjana Modern ............................. 58 Makna Ijtihad dalam Kepribadian Nabi ......................... 60 1. Pengertian Ijtihad dalam Islam ................................. 61 2. Antara yang Setuju dan Tidak akan Adanya Ijtihad Nabi ........................................................................... 63 Hadis-Hadis bernuansa Ijtihad Nabi Muhammad Saw. . 68 1. Ijtihad yang Disalahkan atau Dibenarkan oleh wahyu ....................................................................... 70 2. Ijtihad Nabi sebagai Respon atas Ijtihad Sahabat ... 72 3. Ijtihad Nabi yang Salah namun tidak Dibenarkan dengan Wahyu ...................................... 74 Keberadaan Wahyu Allah Dalam Hadis Nabi................ 76 Posisi Hadis antara Wahyu dan Ijtihad .......................... 82 Respon Sahabat atas Ijtihad Nabi .................................. 87

Implikasi Ijtihad Nabi dan Otoritas Hadis .................... 93 A. Interrelasi Ijtihad Nabi dan Hadis sebagai sumber hukum ............................................................................ 93 1. Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan non Tashri>’iyyah...................................................... 96

xvi

2. Kerancuan Perdebatan Sunnah Tashri’i>yyah dan non Tashri’i>yyah ............................................. 100 3. Dari Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan non Tashri>’iyyah ke Sunnah Ijtiha>diyah dan Wah{yiyyah ............................................................. 103 B. Universalitas Hadis dan Ijtihad yang LokalTemporal...................................................................... 108 1. Universalitas hadis Nabi Muhammad Saw. .......... 109 2. Ijtihad Nabi sebagai Hadis yang Universal dan Lokal Temporal ..................................................... 111 3. Menyikapi Semangat dan Hasil Ijtihad Nabi ........ 112 a. Ijtihad Nabi yang Dibenarkan Wahyu............. 112 b. Ijtihad Nabi Terhadap Kasus Duniawi ............ 113 c. Ijtihad Nabi Terhadap Hukum Agama ............ 115 d. Ijtihad Nabi sebagai Nasehat dan Model Kesempurnaan Ijtihad Manusia....................... 117 C. Respon Sahabat Sebagai Metode Kritik Matan Hadis ............................................................................ 118 1. Kemanusiaan Sahabat dalam Melihat Nabi .......... 119 2. Respon Sahabat terhadap Ijtihad Nabi.................. 121 a. Menjadikan Nabi Model Kehidupan ............... 121 b. Mengubah Ijtihad Nabi demi ‘Illah ................. 122 c. Merespon Hal yang Dikhususkan bagi Nabi .. 124 d. Nabi yang Paling Tahu Soal Agama ............... 126 3. Respon Sahabat Terhadap Matan Hadis sebagai Model Kritik Matan Kontemporer ........................ 127 Bab V

Penutup ....................................................................... 131 A. Kesimpulan ................................................................... 131 B. Saran ............................................................................. 132

Daftar Pustaka ............................................................................. 133 Glosarium .................................................................................... 143 Indeks .......................................................................................... 145

xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Muhammad Saw menuai banyak perdebatan dan kritik karena menyebut dirinya sebagai utusan Tuhan kepada manusia namun justru berbentuk manusia. Kritik pertama bahkan datang dari orang kafir yang tak rela jika seorang nabi ternyata mempunyai tingkah-laku yang sama seperti manusia lainnya.1 Namun, hal ini secara umum tidaklah menjadi perdebatan di kalangan muslim. Tindakan kemanusiaan, atau al-af’a>l al-jibliyyah, dalam istilah Sulaima>n al-Ashqa>r ternyata banyak yang memang tidak ada kaitannya dengan misi kenabian.2 Tindakan seperti makan, minum, tidur, benci, marah dan sebagainya adalah sifat manusia yang secara umum tidak terkait dengan ajaran agama.3 Ciri kemanusiaan tertinggi adalah akal. Pemikiran akal inilah yang kemudian disebut sebagai ijtihad.4 Namun, yang perlu dipertanyakan berikutnya adalah benarkah bahwa Muhammad pernah berijtihad? Jika benar, apakah ijtihad Nabi menjadi bagian dari ajaran agama? Dua pertanyaan di atas memerlukan jawaban yang cukup panjang karena akan berimbas bukan hanya dari segi teologi Islam, namun juga yuridis dan filosofis. Untuk itu, kenabian memang bukan hal yang mudah untuk dijelaskan. Ibn Khaldu>n (1332-1406) misalnya 1

QS. Al-Furqa>n [25]: 7. Muh{ammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala alAh}ka>m al-Shar‘iyah (Kuwait: Maktabah al-Mana>r al-Islamy, 1976), 219. 3 Walaupun, jika kemudian dianggap itu datang dari sosok yang memiliki kenabian ia tetap akan menjadi panutan seperti tindak-tanduk dalam keluarga yang muncul sebagaimana manusia pada umumnya. Lihat, Fah{d Tala>l Sali>m al-Khalidy “Al-Manhaj al-Nabawy fi> al-Ta‘a>mul al-Usra>.” College of Basisc Education Researches 4 (2007) : 79-92. 4 Karena bagaimanapun ijtihad tidak bisa lepas dari ra’y atau pertimbangan akal manusia yang memungkinkan kesalahan dan kebenaran. Lihat, Mohammad Nazami, “Ijtihad: Takhti’ah or Tas}wi>b.” Message of Thaqalayn, A Quarterly Journal of Islamic Studies 10, no. 2 (2009) : 74-75; Saim Kayadibi, “Ijtihad by Ra’y: The Main Source Inspiration Behind Istihsan.” Islamic Social Science 24, no. 1 (2007) : 76. 2

1

menilai bahwa nabi adalah mereka yang memiliki jiwa di luar kemanusiaan pada umumnya dan mendekati malaikat. Bahkan mereka kemudian berinteraksi dengan malaikat dan kemudian menjadi lebih tinggi derajatnya dan mampu berkomunikasi dengan Tuhan.5 Pada sisi tertentu nabi adalah manusia biasa. Namun, pada sisi lain tentu ia lebih dari sekedar manusia biasa. Karena itulah Fazlur Rahman menyebut nabi adalah sebagai extraordinary-man yang memiliki kelebihan luar biasa di hadapan manusia ketika berbicara tentang Tuhan. Merekalah yang bisa menunjukkan secara pasti bahwa Tuhan adalah Tuhan dan setan adalah setan.6 Terlebih John L. Esposito menyampaikan bahwa Muhammad adalah intrumen manusia-Tuhan dalam menyampaikan fiman-Nya sekaligus menjadi model teladan yang harus diikuti orang beriman.7 Oleh karena itu, memahami dan mengikuti Nabi Muhammad adalah penting sebagai keimanan dan tindakan keseharian orang Islam yang sebenarnya. Setidaknya terminologi yang bisa membedakan antara manusia dan nabi yakni sifat maksum. Etimologi maksum diambil dari kata dalam kalimat .8 Yakni, maksud dari maksum adalah keterjagaan Nabi dari gangguan manusia. Namun, terminologi ini berubah menjadi keterjagaan Nabi dari kesalahan dan dosa.9 Sebagai utusan Tuhan tentu nabi harus terhindar dari kesalahan dalam 5

‘Abd al-Rahma>n ibn Muhammad ibn Khaldu>n, Al-Muqaddimah (Maroko: Dar al-Baidha’, 2005), 146-149; Abdul Kabir Husain Solihu, “Revelation and Prophethood in The Islamic Worldview.” Journal of Islam in Asia 6, no. 1 (2009) : 170 ; Malak Muh{ammad Thabit ‘Abd al-H{ami>d, “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-I’ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” Jurnal of The Iraqi University 25, no. 1 (2010) : 117 ; Hakim ‘Abd Na>s}ir, “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-Nubuwah.” Ada>b al-Kufa 1, (2011) : 229. 6 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994), 80. 7 John L. Esposito, Terj. Arif maftuhi, Islam Warna-warni (Jakarta: Paramadina, 2004), 10; Adis Duderija, “Toward a Methodology of Understanding the Nature and Scope of the Concept of Sunnah.” Arab Law Quarterly 21 (2007) : 4. 8 QS. Al-Ma>idah [5]: 67. 9 Namun demikian, adanya kemaksuman pada diri Nabi justru meniadakan proses ketaatan padanya karena tiadanya balasan dan hukuman. Lihat, Al-‘Any, Asma>‘ ‘Abd al-Qa>dir ‘Abdulla>h. “Bara>’atu al-Anbiya>’ minma> nasaba Ilaihim min Akhta>’.” Journal of Research Diyala University 52 (2011) : 37-91.

2

menyampaikan misi dari Allah Swt. Oleh karena itu nabi tidak mungkin menyembunyikan suatu hal tentang perintah Tuhan kepada manusia.10 Bahkan, ancaman kesalahan Nabi tidaklah muncul dari logika belaka, namun Allah pun mengancam Nabi dalam firman-Nya sendiri bahwa andaikata Nabi mengada-ada tentang misi Allah, maka Dia sendiri yang akan menghukumnya.11 Namun, Qad}i ‘Iyad} (w. 544 H) menyatakan bahwa sepanjang urusan dunia para Nabi tidak diisyaratkan jaminan atas kemaksuman. Kekurang-pahaman para nabi tentang masalah tersebut tidak menodai kenabiaannya, karena perhatian umat adalah kepada urusan akhirat dan syariat keagamaan.12 Sedangkan, Muhammad al-‘Aru>siy ‘Abd al-Qa>dir mengungkapkan bahwa kemaksuman nabi menyisakan dua kelompok. Pertama, adalah mereka yang mengatakan bahwa nabi tidak pernah melakukan dosa. Dan kedua mereka yang menyatakan nabi pernah melakukan dosa. Keduanya pun memiliki antitesis mendasar. Kelompok pertama dianggap menyalahi Alquran dan sunnah yang banyak menyatakan tentang pertaubatan para nabi. Artinya, nabi pernah melakukan dosa. Kelompok kedua juga akan menemukan bahwa Nabi tidaklah berdosa karena yang dilakukan para nabi hanyalah kekeliruan yang kemudian Allah membersihkan jiwa mereka dan menjamin kesucian mereka.13 Satu alasan yang membuat perdebatan ini muncul adalah kerena sosok Nabi adalah orang yang harus diikuti.14 Kemudian, bagaimanakah jika yang diikuti itu salah atau pernah melakukan kesalahan apalagi dosa? 10

QS. Al-Takwi>r [81]: 24. Karnanya, dalam hal ketuhanan, Nabi tidak mungkin mengarangnya ataupun berijtihad tentangnya. Lihat, Salih Kesgin, “A Critical Analysis of the Schacht’s Argument and Contemporary Debates on Legal Reasoning Throughout The History of Islamic Jurisprudence.” The Journal of International Social research 4 (2011) : 158. 11 QS. Al-H{a>qqah [69]: 44-47. 12 Abu> al-Fad}l ‘Iyad} Ibn Mu>sa>, al-Shifa> bi Ta’rif H{uqu>q al-Mus}t}afa> (Kairo: Da>r al-H{adith, 2004), juz 2, 115-116. 13 Muh{ammad al-Aru>sy ‘Abd al-Qa>dir, Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> alAh}ka>m (Jedah: Da>r al-Mujtama’, tth), 23. 14 Bahkan segala hal yang menjadi ciri khas kenabian seperti isra’ mi’raj Nabi tetap menjadi perhatian terhadap sumber ajaran Islam. Lihat, ‘Abd alH{a>fid’Abd Muhammad al-Kabisy “Khus}u>s}iat al-Nabi> Salla Alla>hu ‘Alaihi wa

3

Ittiba>‘ kepada Nabi adalah suatu kewajiban bagi orang muslim. Konsekuensi teolog kenabian adalah tuntunan tentang kebertuhanan. Sedang mengenai bentuk kebertuhanan, Nabi adalah orang yang paling otoritatif untuk menjelaskannya. Oleh karena itu, wajar jika apapun yang dilakukan Nabi menuntut keberlakuan juga pada umatnya. Sebagaimana dikisahkan bahwa al-H{umaidi (w. 219 H) pernah bercerita bahwa ketika sedang bersama Imam Sha>fi’i> (w. 204 H) datang seorang laki-laki dan bertanya tentang suatu hal. Imam Sha>fi’i> pun menjawab, “tentang hal ini Rasulullah mengatakan demikian dan demikian.” Orang itu pun bertanya kembali, “Lalu bagaimana menurut anda sendiri?” Sha>fi’i pun berkata, “Subhanallah, apa kau kira aku

berada di gereja atau di tempat lain? Aku mengatakan bahwa Rasulullah mengatakan demikian, lalu kau tanya pendapatku?”15 Inilah bentuk ittiba>‘ para ulama terhadap Nabi. Bagaimanapun kedekatan manusia kepada Allah dalam bentuk cinta sekalipun hanya satu jalannya, yakni mengikuti Nabi-Nya.16 Meskipun mengikuti Nabi adalah suatu keharusan, setidaknya secara umum muncul dua permasalahan. Pertama, perbedaan ruang dan waktu Nabi dengan hari ini yang juga memunculkan perbedaan situasi sosial dan peralatan.17 Kedua, visi kebertuhanan Nabi sebagai utusan Tuhan dan tindakan keseharian kadang kala tidak nampak sebagai bagian dari visi tersebut. Hal ini tentu karena Muhammad Saw. tidak hanya muncul sebagai pengajar agama semata namun beliau juga seorang ayah, hakim, pimpinan18 dan sebagainya.19 Dari masalah yang sallama wa Dala>latuha> fi> al-Tashri>’.” Journal of The Iraqi University 1 (2010) : 166167. 15 Abu> ‘Abdilla>h Shamsu al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-Dhahabi> (673748 H), Siyaru A‘la>m al-Nubala> (Riyadh: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004), 3279. 16 QS. Ali Imran [3]: 31. 17 Pembahasan ini kemudian menjadikan perdebatan anyata perbedaan tekstual dan kontekstual dari Nabi. Lebih lengkap lihat, Muh}ammad al-Ghaza>li>, alSunnah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-H{adith (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1989). 18 Setidaknya kenabian dalam realitas kemanusiaan juga memunculkan sifat sebagai panutan atas kepemimpinan. Lihat, Abed el-Rahman Tayyara, “Prophethood and Kingship in Early Islamic Historical tought.” Der Islam 84 (2007) : 76-77. 19 Tentang hal ini salah satunya bisa dilihat pada, Muh}ammad Sa’id Ramad}a>n al-Bu>ti>, Fiqh Sirah (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), 18.

4

pertama muncullah konsep bahwa jika aspek sosial dan peralatan itu tidak terkait dengan agama maka diperbolehkan untuk adanya perubahan.20 Sedangkan dari masalah kedua, para ulama kemudian membagi tindakan Nabi kepada dua hal yakni yang membawa implikasi syari’at dan yang tidak membawa implikasi syariat.21 Di sinilah kemudian, posisi ijtihad Nabi sebagai manusia diperdebatkan. Mengenai ijtihad Nabi para ulama memiliki beberapa pendapat yang berbeda. Ada di antara mereka yang mendukung adanya ijtihad yang dilakukan Nabi sebagai seorang manusia. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa Nabi tidak mungkin berijtihad karena beliau adalah seorang pembawa wahyu, yang jika ia memilikinya maka tidaklah ada gunanya ijtihad. Selain itu, ada pula di antara mereka yang mendiamkan permasalahan ini.22 Walaupun, Sayyid T{ant}a>wi> (w. 2010) mengatakan bahwa secara umum sebenarnya para ulama bersepakat dengan adanya pembolehan untuk ijtihad dalam diri Nabi mengenai hal duniawi, namun jika terkait dengan masalah agama maka hal tersebut dilarang.23 Sebenarnya Alquran telah menyatakan: Ayat di atas hampir dan selalu menjadi perdebatan dalam kaitan ada dan tidaknya ijtihad Nabi. Secara eksplisit ayat tersebut berarti, “Tidaklah apa yang ia ucapkan berasal dari hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain adalah wahyu.” (QS. Al-Najm [53]: 3-4). Artinya Nabi memang tidak melakukan ijtihad dan hanya mengungkapkan wahyu. Terlebih, dibuktikan banyaknya catatan yang mengatakan bahwa jika ditanyakan kepada Nabi suatu hal, maka beliau akan 20

Muh{ammad Abu> Zahrah, Us}u>l Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr, 1958),114. Secara lengkap bisa dibaca di, Yu>suf Qard}awi>, al-Sunnah Masdaran Li Ma‘rifah wa al-H{ad{a>rah (Kairo: Dar al-Shuruq, cet. 3, 2002) 22 Ada dan tidaknya ijtihad secara langsung akan bersinggungan dengan apakah pendapat Nabi itu disejajarkan dengan wahyu atau tidak. Lihat, Zainuddin MZ, “Kontroversi al-Hadi>th al-Syari>f Wahyu Ilahi atau Ijtihad Nabi?” Sunan Ampel, Jurnal Profetika 9, no. 1, (2007) : 4-5. 23 M. Sayyid T{ant}awi>, Konsep Ijtihad dalam Hukum Syarak. Terj. Safri Mahayedin, (Kuala Lumpur: Institute Terjemahan Negara Malaysia, Cet. 2 2009), 44. 21

5

menunggu wahyu terlebih dahulu.24 Namun, tidak semua mufasir sebenarnya sepakat dengan hal ini. Al-Qurtu>bi> (w. 671 H) misalnya, mengatakan bahwa yang dimaksud sebagai dhamir pada ayat tersebut bukanlah perkataan nabi atau hadis melainkan Alquran. Al-Qurtu>bi> mengambil dari penafsiran Qata>dah yang mengatakan bahwa ayat tersebut menghendaki bahwa tidak ada dalam Alquran yang berasal dari hawa nafsu Nabi, melainkan semua adalah wahyu Allah.25 Dalam masalah ini ‘Abd al-Lat}if Kasa>b setidaknya memberikan tiga persoalan yang patut menjadi wacana khusus dalam memahami posisi ijtihad nabi dalam tradisi Islam. Pertama rasionalisasi adanya ijtihad dalam diri Nabi, kedua Ijtihad Nabi terkait syariat dan nonsyariat dan ketiga kemungkinan adanya kesalahan ijtihad Nabi.26 Lain halnya, Na>diyah Shari>f al-‘Umri memberikan bahasan secara khusus pada bukunya Ijtiha>d al-Rasu>l dengan memberikan enam bahasan antara lain: pertama, ijtihad rasul dalam pandangan ulama ushul. Kedua, persepsi ijtihad yang terjadi pada zaman Nabi dan keterkaitannya dengan ijtihad Nabi. Ketiga, metode ijtihad Nabi. Keempat, metode ijtihad pada masa sahabat. Kelima, perbandingan ijtihad Nabi dan ijtihad yang terjadi pada yang lain.27 Ijtihad memang tidak bisa dihindarkan dari sosok manusia, bahkan Nabi sekalipun. Alasan ini secara jelas sebenarnya menjadi perintah Allah kepada Nabi.28 Bahwa perintah memang ditujukan kepada Nabi. Walaupun, ‘Abd al-Lat}i>f Kasa>b 24

M. Sayyid T{ant}awi>, Konsep Ijtihad dalam Hukum Syarak, 44. Ayat ini juga dianggap membuktikan bahwa baik Alquran dan sunnah adalah sama-sama wahyu dari Allah Swt. Lihat, Rihaizan bin Baru dan Rosmalizawati Abd al-Rashid. “The Receonciliation Approach in Resolving Contradictory Prophetic Tradition.” International Journal of Business and Social Science 2, no. 3 (2011) : 228. 25 Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Ah}mad Shamshu al-Di>n al-Qurtubi> (w. 671 H), al-Ja>mi’ al-Ah}ka>m al-Qura>n (Kairo: Da>r al-Kutu>b al-Misriyah, 1980), 241-242. 26 Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa>’u h}aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah al-Isla>miyah (Saudi: Da>r al-Taufi>q, 1984), 43. 27 Lihat selengkapnya pada, Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985), buku ini secara umum sebenarnya lebih banyak mengacu dan mengarahkan pada pembacaan metode ijtihad yang dilakukan Nabi dan bukan kepada perdebatan kedudukan ijtihad itu sendiri. 28 QS. Al-H{ayr [59]: 2.

6

mencoba mereduksi bahwa pembolehan ijtihad nabi itu secara umum hanya pada masalah duniawi dan bukan masalah agama. Karena memang ia masih banyak merujuk pada para ulama salaf yang masih memperdebatkannya.29 Terlebih masalah adanya respon sahabat yang menganggap bahwa pendapat atau ijtihad nabi itu salah atau perlu pertimbangan. Adapun di antara kalimat yang dilontarkan sebagian sahabat Nabi seperti Sa’d ibn Mu’a>z dan Sa’d ibn ‘Uba>dah kepada Nabi dalam suatu persoalan, atau bahkan H{abbab ibn Munzir pernah menyatakan kepada Nabi, . Yang pada hasilnya kemudian nabi menyatakan bahwa beliau berijtihad dan bahkan kemudian Nabi mengikuti ijtihad Sahabat tersebut.31 Pernyataan Sahabat kepada Nabi di atas juga membuktikan ketidakbenaran rasionalitas Muktazilah seperti al-Jubba>’i> (w. 915) bahwa Nabi tidak mungkin melakukan ijtihad. Al-Jubba>’i> beralasan bahwa ijtihad hanya akan berujung pada prasangka, sedangkan wahyu berujung pada kebenaran. Tidak mungkin seorang Nabi mengajarkan dengan prasangkanya dan bukan wahyu.32 Alasan al-Jubba>’i> memang logis ketika menyamakan ijtihad Nabi dengan ijtihad yang dilakukan para ulama. Namun, ‘Abd al-Lat}i>f Kasa>b memberikan perbedaan mendasar bahwa ijtihad yang dilakukan selain Nabi memiliki unsur 29

Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa’u h}aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah al-Isla>miyah (Saudi: Dar al-Taufiq, 1984), 45-47. 30 ‘Abdul ‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhari, Kashfu Al-Ashra>r ‘An Us{u>l Al-Fah}r Al-Islamy Al-Bazdawy (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1308 H), Juz 3, 210. Pada penelitian ini, hadis-hadis seperti inilah yang akan penulis lacak lebih dalam lagi guna mendapatkan gambaran yang komprehensif terhadap inti penulisan tesis ini. 31 Terlebih Nabi juga memang sering bermusyawarah dengan para Sahabat seperti pada masa peperangan. Lihat Ahmad Mat}ar Khadhir. “Musha>wara>t al-Rasu>l Saw Li As}habihi fi> al-Ghazawa>t.” Journal of Research Diyala Unversity (2009) : 7486. 32 Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Adhwa’u h{aul: Qadhiyat al-Ijtiha>d fi> alShari>ah al-Isla>miyah (Saudi: Dar al-Taufiq, 1984), 48; Muhammad Sayyid T{ant}a>wi, Terj. Safri Mahayedin, Konsep Ijtihad Dalam Hukum Syarak , 46 ; Na>diyat Sharif al‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985), 55-56; lihat pula Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” Islamiyyat 32 (2010) : 68.

7

kesalahan dan pengulangan. Berbeda dengan ijtihad Nabi yang secara umum ulama mengatakan tidak memiliki implikasi kesalahan, dan adapun jika terjadi kesalahan maka wahyu Allah akan mengkoreksinya sehingga mengarah kepada kebenaran dan tidak mengakhibatkan pengulangan kesalahan sebagaimana manusia biasa.33 Persoalan ijtihad Nabi terkait masalah agama, ‘Abd al-Lat}i>f Kasa>b membaginya dalam tiga kelompok34 yakni; pertama, mereka yang setuju dengan adanya ijtihad tersebut seperti Ibn H{ibba>n (270354 H), Imam Ma>lik (93-178 H), dan juga Imam Sha>fi’i> (150-204 H). Adapun golongan H{anafiyah memberikan syarat kebolehan ijtihad Nabi hanya terkait dengan yang belum ada dalam nas atau wahyu. itupun, harus dengan cara menunggu wahyu tersebut terlebih dahulu, yang jika wahyu tersebut belum juga ada baru hal ini menjadi tanda pembolehan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi. Kedua, mereka yang tidak sepakat dengan adanya ijtihad Nabi tentang agama seperti pengikut al-Ash’a>ri> (260-324 H), Ibn H{azm (384-456 H), sebagian pengikut Imam Sha>fi’i> (150-204 H) dan juga Imam H{anbali (164-241 H).35 Ketiga, mereka yang ber-tawaquf terkait hal ini seperti alGhaza>li> (450-505 H), Abu H{asan al-Bashri> (21-110 H), dan juga alQad}i ‘Abd al-Jabba>r (w. 400 H).

33

Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa’u h{aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah

al-Isla>miyah, 49. 34

Sayyid ‘Abd al-Lat}if Kasa>b, Ad{wa’u h{aul: Qad{iyat al-Ijtiha>d fi> al-Shar‘i>ah al-Isla>miyah, 50-51. Bahkan penafsiran Nabi terhadap Alquran pun tidak dapat dipungkiri. Lihat, ‘Ali Ramadan al-Ausy “al-Tafsi>r al-Nabawi> li al-Qura>n al-Kari>m wa Atha>rihi fi al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r.” al-Turath al-‘Ilmy al-‘Araby 1 (2012) : 197. 35 Alasan yang paling patut jadi pertimbangan dalam pendapat ini adalah bahwa Nabi tidak dibenarkan untuk mengikuti pendapatnya sendiri segala yang terkait dengan kewahyuan (QS. Yunus [10]:15). Bagi Ibn H{azm ayat ini menunjukkan bahwa Nabi tidak mungkin mengutarakan sesuatu yang selain Alquran tentang Islam. lihat, ‘Ali> ibn H{azm al-Andalu>si>, al-Ih}ka>m fi> Us}ul al-Ah}ka>m (Beirut: Da>r al-Ifa>q al-Jadi>dah, 1979), juz 5, 698. Bahkan, Nadi>r al-Jaisy mengungkapkan bahwa Hadis tidaklah muncul dari Nabi melainkan melalui pertimbangan Nabi terhadap Alquran. Lihat, Hasyim Taha Yasin dan Manna ‘Abd al-Ghafu>r Dah{m, “Manhaj Nadi>r al-Jaisy (w. 778 H) fi al-Istidla>l bi al-H{adi>th al-Nabawi al-Syari>f fi Kita>bihi Tamhi>d al-Qawa>id.” Journal of al-Anbar University for Language and Literrature 8, (2012) : 79.

8

Ijtihad Nabi secara normatif pasti bersisian dengan otoritas hadis Nabi sebagai bagian dari ajaran Islam. Karenanya, ijtihad Nabi secara filosofis menjadi ukuran terhadap arti kenabian itu sendiri. Hal ini tak lepas dari pembahasan seorang muhaddis seperti Mus}t}afa> S{abri>. Baginya, Nabi tetap harus diikuti baik dalam urusan Agama maupun dunia karena Nabi memang tidak mengajarkan hanya soal agama tapi juga dunia.36 Mus}t}afa> S{abri> (1869-1954)37 adalah seorang ulama yang menjabat sebagai syaikh al-isla>m38 pada masa akhir kerajaan Ottoman, Turki. Ia adalah seorang intelektual yang sejak usia 22 tahun telah mengajar berbagai macam ilmu seperti tafsir, hadis, usul fikih dan juga ilmu bayan di berbagai madrasah dan juga universitas seperti Ja>mi’ Sult}a>n al-Fa>tih{ –sebuah universitas sekelas Al-Azhar Mesir kala itu–, Da>r al-H{ikmah al-Isla>miyyah, Madrasah al-Wa>’izi>n dan sebagainya.39 Hingga akhirnya jabatan shaikh al-Isla>m –sebuah jabatan petinggi mufti– diberikan pada tahun 1919 sebagai penghargaan atas keilmuannya oleh Kepala Dewan Kerajaan.40 Namun demikian, sebagaimana diketahui bahwa pada masa kehidupannya Turki 36

Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa Sabri’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48, no. 1 (2009) : 25. 37 Meskipun ia lahir di Turki, namun ia meninggal karena stroke dalam pengasingannya di Mesir. Lihat. Mehmet Kadri karabela, “One of The last Ottoman Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution.” (Tesis di Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, 2003), 50. 38 Adapun dalam bahasa Turki ditulis “Şeyhülislam” 39 Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa Sabri’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48, no. 1 (2009) : 7. Setidaknya ada dua karya tulis yang penulis temui yang membicarakan biografi Mustafa Sabri yakni, pertama Mehmet Kadri karabela, “One of The last Ottoman Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution.” (Tesis di Institute of Islamic Studies Mc Gill University, Montreal, 2003). Kedua, Mufarrih} Sulaiman al-Qawsi>, as-Shaikh Mus}t}afa> S{abri> wa Mawqifuh min al-Fikr al-Wafi>d (Riyad: Markaz al-Malik faishal, 1997). 40 Mehmet Kadri karabela, “One of The last Ottoman Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution”, 46.

9

mengalami gejolak politik luar biasa yang tentunya ikut mempengaruhi sisi kehidupannya, termasuk tentang pemahaman agama. Keunikan Mus}t}afa> S{abri> dalam membahas posisi kenabian dimulai ketika memberikan kritikan terhadap Muh{ammad ‘Abduh (1849-1905). Saat itu Muh{ammad ‘Abduh melontarkan sebuah definisi tentang Nabi. Bahwa nabi adalah manusia yang diberikan wahyu kebenaran baik secara teoritis maupun praktis, ia tidak mengetahui sesuatu selain kebenaran dan melakukan sesuatu selain kebenaran. Di mana kebenaran itu bukan dari kecerdasannya, bukan pula hasil penalarannya. Ajarannya adalah murni dari Tuhan.41 Hal yang terkesan sederhana di atas, bagi S{abri> memiliki implikasi tersendiri terhadap posisi kemanusiaan Nabi, tentunya tak terlepas dari ijtihad sebagai bagian dari sifat manusia. Titik poin dalam hal ini, bagi S{abri>, kenabian adalah pada kemampuan manusian untuk berkomunikasi kepada Tuhan dan bukan sekedar diberi wahyu tanpa ada komunikasi timbal-balik.42 Artinya, komunikasi ini memungkinkan adanya kemampuan Nabi untuk berijtihad terhadap permasalahan yang ia hadapi dengan cara berkomunikasi dengan Tuhan jika memang Nabi menganggap bahwa komunikasi itu dibutuhkan. Selain berbagai permasalahan kenabian di atas, Mus}t}afa> S{abri> juga memiliki catatan yang cukup komprehensif terhadap berbagai gagasan modern terhadap pendefinisian Nabi. S{abri> pun banyak memberi kritikan kepada tokoh-tokoh masa itu seperti Ra>shid Rid{a> (1865-1935), Fari>d Wajdi> (1875-1954), Zaki> Muba>rak, Muh{ammad H{usain Haikal (1888-1956), hingga Mah{mu>d Shaltu>t (1893-1963) baik mengenai mukjizat, kenabian maupun kerasulan yang pada akhirnya berimplikasi erat terhadap keberadaan dan posisi ijtihad dalam diri Nabi Muhammad. Selain itu, kedalamannya terhadap kajian kenabian 41

Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa Sabri’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48, no. 1 (2009) : 11. 42 Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Da>r al-Ih{ya’ al-Turath, 1981), Juz 4, 152.

10

juga menjadi bahasan dalam ilmu kalam yang S{abri> geluti. Karena itu, ia juga ikut membahas masalah mazhab seperti pada al-Maturi>di> (w. 333 H), Ibn ‘Arabi (w. 638 H) dan al-Baqillani> (w. 403 H). Hal ini tentu menjadi kajian yang cukup komprehensif dalam mengkaji pemikiran kalam sabri lebih dalam tentang kenabian, terutama ijtihad. Namun demikian, karya-karya S{abri> tentang kenabian terutama terkait ijtihad Nabi ini masih berserakan minimal pada tiga karyanya yakni: pertama Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981), kedua Al-Qawl Al-Fas{l Bayna al-ladhi>na Yu’minu>n bi’l-Ghayb Wa-Allad{i>na La> Yu’minu>n (ttp: Dar al-Salam, 1905) dan ketiga Mawqif al-Bashar Tah}ta Sult}a>n al-Qadar (Kairo: Matba’ah alSalafiyah, 1352 H). Dengan demikian, penelitian mengenai gagasan Ijtihad Nabi Muhammad Saw dalam perpektif Mus}t}afa> S{abri> dalam rangka analisis relasi akal dalam bentuk ijtihad Nabi dan Naqd al-Matn ini menjadi penting adanya sebagai tolak ukur atas otoritas hadis Nabi. Selain menjadi bacaan tersendiri dalam studi ilmu kalam tentang kenabian, sebenarnya membahas tentang ijtihad Nabi tidak akan lepas dari dua konteks yang berbeda. Pertama, adalah hadis sebagai bagian dari Nabi selain Alquran yang menjadi pedoman bagi umat Islam. Kedua, adalah fikih karena memang ijtihad Nabi berimplikasi baik langsung maupun tidak terhadap keberagamaan umat Islam secara menyeluruh. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dari apa yang dipaparkan sebelumnya terdapat beberapa masalah krusial yang terkait dengan posisi ijtihad Nabi dalam pemikiran Islam. Pertama, berkaitan dengan interfensi wahyu dalam ijtihad Nabi sebagai bagian dari sifat kemaksuman Nabi. Dengan kemaksumannya, bagaimanapun Nabi tidak mungkin berbohong atas suatu tindakan baik yang berkaitan dengan agama tak terkecuali juga yang berkaitan dengan dunia. Memisahkan adanya ijtihad yang diterima sebagai bagian dari ajaran agama dan menolak sebagian lain tentu perlu batasan-batasan yang jelas agar tidak disalahgunakan.

11

Kedua, masalah yang cukup terkait dengan masalah pertama adalah kedudukan otoritas hadis sebagai bagian dari ajaran Islam yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Karena yang paling tahu tentang perintah Allah tentu adalah rasul-Nya, dan dengan demikian apakah ijtihad rasul dalam hadis merupakan bagian dari apa ajaran Allah? Ketiga, respon sahabat terhadap ijtihad yang dilakukan Nabi. Hal ini menjadi penting bukan hanya karena Sahabat yang pertama langsung berkomunikasi dengan Rasul, namun respon ini juga bisa menunjukkan apakah sahabat serta-merta mengikuti segala apa yang diungkapkan Nabi ataukah memilih antara yang memang wahyu dan gagasan Nabi pribadi.43 Keempat, masalah posisi Nabi yang hanya mengantar agama Allah tanpa melakukan melakukan intervensi terhadap isi agama itu, ataukah ia adalah mediator yang membahasakan perintah Tuhan kepada manusia. Karenanya, ijtihad pun dilakukan guna memudahkan manusia untuk mengetahui perintah Tuhannya. Kelima, adalah tentang hikmah di balik perdebatan tentang ada dan tidaknya ijtihad dalam diri seorang Nabi. Hikmah ini memungkinkan untuk menemukan adanya titik temu antar pemahaman yang menolak akan adanya ijtihad dalam diri Nabi dan mereka yang membolehkan adanya ijtihad dalam diri Nabi. Terakhir, keenam adalah sosok Mus}t}afa> S{abri> (1869-1954), baik sebagai seorang muhaddis,44 maupun sarjana yang menulis banyak kajian dan kritikan terkait masalah kenabian, mukjizat dan akal dalam pandangan sarjana modern. 2. Batasan Masalah Dari identifikasi masalah di atas tentunya tidak semua masalah akan dikaji dalam tesis ini. Penulis harus melakukan pembatasan. 43

Di sinilah pentingnya untuk mengetahui asbab wurud sebuah hadis terlebih perlu tidaknya ungkapan Nabi itu dicatat atau tidak oleh para Sahabat. Lihat, ‘Amar bin ‘Abdullah Nasir ‘Ulwan, “Tahli>l Asba>b Ihmal Wuru>d al-H{adi>th wa Ahammiyatu Ma’rifatih fi> Fahmi Maqa>sid al-Tashri>‘.” Al-Bayan, Journal of Quran and Hadith Studies 7 (2009) : 4. 44 Ia telah menjadi Profesor bidang hadis pada 25 Desember 1918. Lihat, Mehmet Kadri Karabela, “One of The last Ottoman Syaikhulislam, Mus}t}afa> S{abri> Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution”, 40.

12

Terlebih, tulisan ini akan memotret bagaimana pemahaman Mus}t}afa> S{abri> (1869-1954). Untuk itu pembatasan yang mungkin dilakukan tentang keberadaan ijtihad Nabi dalam Mus}t}afa> S{abri> serta implikasinta terhadap otoritas hadis sebagai bagian dari ajaran Agama. Namun, pastinya tidak menutup kemungkinan permasalah lain di atas juga akan tetap disinggung karena memang saling berkaitan dan memang diperlukan pembacaan yang komprehensif untuk menemukan jawaban yang lebih argumentatif. 3. Rumusan Masalah Sebagaimana diketahui bahwa perdebatan tentang ijtihad Nabi pasti memiliki implikasi yang besar terhadap ajaran Islam. Oleh karena itu, sosok Mus}t}afa> S{abri> yang ikut serta membincangkan dalam masalah ini perlu dikaji dan ditelaah untuk menemukan sebuah konsep ijtihad yang lebih bisa diterima. Untuk itu, sekurang-kurangnya dua pertanyaan penting yang bisa diajukan. Pertama, bagaimana sebenarnya titik temu perdebatan keberadaan ijtihad Nabi Muhammad Saw., terutama yang dilakukan oleh Mus}t}afa> S{abri>? Kedua, implikasi terhadap ada dan tidaknya ijtihad Nabi terhadap otoritas hadis sebagai ajaran Islam baik secara yuridis, teologis, maupun filosofis? C. Studi Terdahulu Kajian tentang posisi ijtihad Nabi dalam pemikiran Islam telah dilakukan oleh para pakar cukup banyak antara lain: Pertama, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallama, karya ‘Abd al-Jali>l Il al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah}ka>m alShar‘i>yah karya Muh}ammad Sulaiman al-Ashqar (Kuwait: Maktabah al-Manar, 1976). Ketiga Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah}ka>m karya Muh}ammad Arush ‘Abd al-Qadi>r (Jedah: Dar al-Mujtama’, tth). Keempat, Prophethood from the Perspective of The Qur’an karya J.W. Fiegenbaum, (Thesis di McGill University, 1973). Kelima, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}a>rah karya Yusuf al-Qard{a>wi> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, cet. 3, 2002). Dan keenam, Prophecy in Islam:

13

Philosophy and Orthodoxy karya Fazlur Rahman (London: Allen and Ulwin, 1958) ‘Abd al-Jali>l Isa> memberikan karya yang cukup ringkas namun cukup komprehensif membahas tentang ijtihad Nabi. Buku setebal 180 halaman ini tidak hanya membahas tentang ijtihad yang dilakukan oleh Nabi Muhammad semata namun juga membahas tentang ijtihad yang dilakukan oleh para nabi dan rasul yang lain. Mengawali kepentingan pembahasan ijtihad sebelum memberikan pengantar ‘Abd Jali>l Isa> memberikan secara khusus penghargaan kepada ‘Uma>r ibn alKhatta>b yang menjadi inspirasi terhadap pentingnya ijtihad dalam Islam.45 Bagi ‘Abd al-Jali>l Isa> ijtihad adalah merupakan ciri dari sifat kemanusiaan yang hal itu ada pula dalam diri para nabi dan rasul, tentu tak terkecuali nabi Muhammad.46 Dalam karya ini ‘Abd al-Jali>l nampaknya ingin mempertentangkan antara yang sepakat tentang adanya keberadaan ijtihad dalan diri para Nabi seperti Ibn Taimiyyah (w. 728 H), Qad}i> ‘Iya>d{ (w. 544 H)), dan Ibn Khaldu>n (w. 808 H) dengan yang tidak sepakat terhadap adanya ijtihad dalam diri para Nabi seperti al-Jubba’i> (w. 303 H). Namun kesimpulan akhir dari ‘Abd al-Jali>l Isa> tetap mengungkapkan bahwa ijtihad tetaplah ada dalam diri seorang rasul karena bagaimanapun hal ini adalah suatu yang dibolehkan dari nas Islam sendiri yakni Alquran dan sunah.47 Muh}ammad Sulaima>n al-Ashqa>r memberikan deskripsi terhadap berbagai tindakan dan keseharian Nabi. Tindakan-tindakan tersebut tidak hanya yang menggambarkan terhadap sosok Nabi sebagai utusan dan pengajar agama dari Allah, namun juga sebagai sosok manusia biasa yang bertingkah sebagaimana umumnya manusia. Secara umum Sulaima>n al-Ashqa>r menilai bahwa tindakan Nabi apapun itu adalah bagian dari ajaran kehidupan manusia. Bagi alAshqa>r agama bukan hanya bentuk peribadatan namun juga keseharian 45

‘Abd al-Jalil Isa> Abu al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam (Kairo: Dar al-Ihya’ al-‘Arabi, 1950), 3. 46 ‘Abd al-Jalil Isa> Abu al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam, 19. 47 ‘Abd al-Jalil Isa> Abu al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam, 167.

14

manusia. Karena itu perbuatan Nabi baik itu berupa ijtihad dari Nabi ataupun wahyu Allah adalah bagian yang harus diikuti karena bagaimanapun, menurut al-Ashqa>r, bahwa yang paling tahu dengan hukum Allah bagi manusia adalah Nabi itu sendiri.48 Namun demikian bukan berarti segala tindakan nabi menjadi keharusan untuk diikuti, hal ini karena memang karena Nabi sendiri memberitakan tentang hal yang wajib, sunah, mubah hingga yang haram dilakukan.49 Artinya, bagi Sulaima>n al-Ashqa>r, kewajiban seorang muslim adalah dengan mengikuti perintahnya dan bukan secara buta mengikuti tindakan Nabi tanpa tahu Nabi menyuruh untuk mengikuti atau tidak.50 Muh}ammad al-‘Aru>siy ‘Abd al-Qad>ir hampir sama dengan Sulaiman al-Ashqa>r telah mengurai tentang tidakan fi‘liyah Nabi. Bagi al-Aru>siy ‘Abd al-Qa>dir menilai bahwa kemaksuman Nabi mengindikasikan adanya penjagaan terhadap kesalahan tindakan, namun Nabi sebagai manusia tetap memiliki hak atas nafsu dan lupa. Artinya, maksum bukanlah berarti tidak pernah ingin atau pernah berbuat kesalahan, namun maksum berarti dijaga untuk tidak melakukan kesalahan, walaupun pada saat tertentu Nabi ingin dan pernah melakukannya. Tentunya, juga terkait dengan ijtihad Nabi yang dimungkinkan adanya kesalahan namun sebelum kesalahan itu berlanjut maka Allah –sebagai sifat kemaksuman Nabi– akan mengingatkan beliau.51 Karya J.W. Fiegenbaum merupakan disertasi pada tahun 1973 di McGill University. Kajiannya terhadap konsep kenabian yang terdapat dalam Alquran menunjukkan bahwa kenabian adalah wujud 48

Muhammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af‘a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> alAh{ka>m al-Shar’iyah (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamy, 1976), 202. 49

Berbagai pendapat Nabi itulah yang kemudian dimaknai ijtihad Nabi. Karenanya, dalam hal Ijtihad agama secara umum Nabi telah melakannya lebih dulu dari pada ulama. Lihat, Al-Jami>ly, Kha>lid Rashid, “al-Ijtiha>d min ‘Asri al-Rasu>l Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam Ila> Dhuhu>ri al-Maz{a>hib al-Fiqhiyyah.” Research and Islamic Studies (2006) : 40. 50 Berbagai contoh bisa dilihat di Muhammad Sulaima>n al-Ashqar, Af‘a>l alRasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m al-Shar‘iyah, 385-402. 51 Muhammad ‘Aru>siy ‘Abd al-Qa>dir, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> alAh{ka>m (Jeddah: Da>r al-Mujtama’, tth), 25.

15

eksistensi keberadaan Tuhan dan perintah-Nya.52 Namun, bagi Fiegenbaum, kenabian dalam Alquran hanya bisa dinilai dengan adanya Alquran itu sendiri sedang pendapat Nabi dalam hadis adalah interpretasi di luar Alquran dan di luar sisi kenabian atau wahyu.53 Karena itu, ijtihad nabi merupakan respon pribadi Nabi terhadap keadaan sekitar yang bisa saja keliru karena memang tidak adanya acuan wahyu yang mendampinginya atau berkenaan dengan keadaan tersebut. Karya Yusuf al-Qarad{a>wi> dalam bagian pertama dari karya setebal 312 ini mengetengahkan cukup panjang perdebatan tentang kedudukan kenabian dalam diri Muhammad Saw. Dalam sisi tertentu Nabi adalah seorang manusia biasa yang munkin bisa marah, benci, maupun salah. Hal ini dibuktikan sendiri tentang adanya hadis nabi yang mengingatkan bahwa beliau adalah selain sebagai nabi juga sebagai manusia biasa.54 Adapun tentang ijtihad Nabi, pada bab yang sama al-Qard{a>wi> juga menyampaikan bahwa perdebatan tentang ada dan tidaknya ijtihad yang dilakukan oleh Nabi menunjukkan bahwa Nabi bisa saja melakukan ijtihad dalam hal permasalah dunia, namun tidak dalam masalah agama.55 Karya Fazlur Rahman memang tidak cukup tebal, namun bagi para peminat kajian kenabian buku ini cukup otoritatif dalam pembahasan tersebut. Rahman, menulis dalam buku ini bukan hanya dari sisi makna kenabian dalam Islam semata, namun ia juga melakukan eksplorasi terhadap pemahaman filsafat Islam tentang kenabian. Karenanya, buku ini kemudian menjadi catatan penting tentang salah satu perbedaan inti dari filsafat barat dan Islam yakni tentang kenabian. Di sisi lain, dalam buku tersebut Rahman juga membeberkan kedudukan akal dalam tradisi filsafat Islam yakni al52

J.W. Fiegenbaum, “Prophethood From The Perspective of The Qur’an.” (Montreal: McGill University, 1973), iii. 53 J.W. Fiegenbaum, “Prophethood From The Perspective of The Qur’an,” 241-243. 54 Yu>suf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah (Kairo: Dar al-Suru>q, cet. 3, 2002), 74. 55 Yu>suf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64.

16

Fara>bi> (w. 339 H) dan Ibn Si>na> (w. 428 H). Terkait dengan ijtihad Nabi, Rahman mengakui bahwa akal nabi berada pada posisi di atas akal manusia, yang disebut dengan akal aktif. Karenanya, dengan mengutip dari Ibn Si>na>, Rahman mengatakan bahwa nabi telah dianugerahi akal intelektual yang luar biasa. Dengan akal tersebut Nabi mampu mengetahui hal ghaib dengan dirinya sediri tanpa bantuan dari sumber eksternal.56 Meskipun hal ini terkesan hampir sama dengan kedudukan para filosof, Rahman memberikan catatan bahwa perbedaan nabi dan filosof yang paling inti adalah kekuatan imajinatif. Imanijanif ini bukanlah hayalan, namun imajinatif murni tentang Ilahi, yakni wahyu.57 Dengan demikian ijtihad Nabi tidaklah mungkin terlepas dari akal aktif (wahyu) itu sendiri. Sedangkan tesis yang penulis teliti menghendaki adanya bangunan dasar terhadap ijtihad dan keterkaitannya dengan kenabian Muhammad terkhusus otoritas hadis. Ijtihad tentu adalah bagian dari olah logika manusia, namun apakah kemudian olah logika Nabi sama dengan olah logika yang dilakukan oleh manusia biasa. Hal ini menjadi titik tolak keharusan untuk mengikuti atau tidaknya ijtihad yang diberikan oleh Nabi baik itu terkait dengan agama maupun tidak. Yang nantinya tidak kemudian lari kepada adagium awal yang selalu mempertanyakan dan mengatakan apakah kebenaran dari Nabi adalah selalu wujud ketuhanan atau wahyu sedang kesalahan yang ada dan pernah dilakukan dalam berbagai ijtihadnya adalah selalu wujud dari kemanusiaan beliau? D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian Tujuan penilitian ini dibagi menjadi dua bagian, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

56

Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortidoksi. Terj. Ahsin Muhammad. (Bandung: Mizan, 2003), 49; Idris Zakaria, “Ketuhanan, Kenabian dan kebahagiaan Menurut Ibn Sina.” Islamiyyat 32 (2010) : 46 dan 49. 57 Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, 56.

17

1. Tujuan umum Penelitian ini memiliki beberapa tujuan umum, antara lain: a. Memberikan gambaran sosok Mus}t}afa> S{abri> (w. 1954) sebagai seorang pemikir Muslim modern. b. Mengelaborasi gambaran tentang ijtihad Nabi dalam perpektif Mus}t}afa> S{abri>. c. Menelaah secara seksama dampak keberadaan ijtihad Nabi terhadap otoritas hadis sebagai sumber ajaran Islam. 2. Tujuan Khusus Sebagaimana tergambar dalam latar belakang masalah, penulisan ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut: a. Memformat gagasan dan konsep Mus}t}afa> S{abri> tentang wahyu dalam ijtihad Nabi dan segala anti-tesis terhadap pemikiran modern tentangnya. Secara mendalam penulis akan menelaah karya monumental Mus}t}afa> S{abri> yakni Mawqif al-‘Aql wa al‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, (Beirut: Da>r al-Ih}ya’ al-Tura>th, 1981) terutama pada bab tiga dalam buku tersebut yang menggambarkan kedudukan akal dalam kenabian Muhammad Saw. b. Menemukan benang merah dalam perdebatan kedudukan ijtihad Nabi sebagai wahyu ataukah kecerdasan seorang manusia. c. Menelaah kapan dan dalam hal apakah nabi mengharuskan atau melakukan ijtihad. d. Mengkaji dampak keberadaan ijtihad Nabi terhadap otoritas hadis yang berkonsekuensi pada pemikiran dan hukum Islam. Hal ini terlihat dari yang tergambar dalam respon Sahabat terhadap ijtihad Nabi hingga ijtihad ulama kontemporer. Mengenai signifikansi atau manfaat penelitian ini memiliki signifikansi secara teoritis dan praktis. Secara teoritis penelitian ini akan memberikan khazanah ilmiah terhadap ilmu pengetahuan dan memberikan kontribusi ilmiah dalam bentuk deskripsi analisis mengenai pemikiran Mus}t}hafa> S{abri> sebagai pemikir Islam modern.

18

Secara praktis, tentunya penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan terhadap penelitian lebih lanjut terutama tentang kedudukan ijtihad dalam diri seorang Nabi Muhammad dengan berbagai dampaknya dalam tradisi keilmuan Islam baik tafsir, hadis, maupun fikih. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan studi naskah (content analysis) menyangkut kajian tentang pemikiran Shaikhul Islam Mus}t}afa> S{abri> baik yang berasal dari sumber primer maupun sekunder. Sumber primer yang dimaksud adalah karya Mus}t}afa> S{abri>, sedang sekunder adalah karya orang lain baik mengenai Mus}t}afa> S{abri> maupun tentang permasalah ijtihad Nabi yang dikaji dalam penelitian ini. Peneliti juga menggunakan metode deskriptif-analitik karena penelitian ini merupakan analisis dan kritik terhadap pemikiran Mus}t}afa> S{abri>. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode interpretativ yakni metode yang memberikan kebebasan yang luas bagi peneliti dalam menafsirkan teks. Selain itu, metode inilah yang dianggap cocok dengan keseluruhan kajian dalam penelitian ini yang memang bersifat analitik, terkhusus masalah hadis. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah sosiologis-teologis dan filosofis-yuridis. Hal ini karena yang dikaji adalah ijtihad Nabi dalam kajian Mus}t}afa> S{abri> yang tidak lepas dari aspek sosilogis dan doktriner agama. Pendekatan sosiologis-teologis digunakan untuk mengkaji makna kenabian Muhammad Saw yang terikat dengan aspek sosiologis kemanusiaannya. Adapun pendekatan filosofis-yuridis digunakan untuk menggambarkan dampak ada ataupun tiadanya ijtihad Nabi dalam pemikiran dan hukum Islam.58

58

Bagaimanapun pendekatan studi hadis tidak akan lepas dari konteks hukum Islam sebagai dampak dari sebuah ajaran, karenanya studi hadis besar kemungkinannya untuk bersentuhan kepada fiqih. Lihat, Duderija, Adis. “A Pradigm Shift in Assesing/Evaluating the Value and Significance oh Hadith in Islamic Tought: From ‘Ulum al-Isnad to ‘Usul al-Fiqh.” Arab Law Quarterly 23 (2009) : 4.

19

Selanjutnya, penelitian ini tidak meninggalkan kajian kritik hadis sebagai disiplin ilmu dalam tesis ini. Hal ini diutamakan terkaiat kritik matan hadis yang banyak dibahas pada muh{addith kontemporer. 2. Sumber Data Sumber primer dalam penulisan ini adalah karya Mus}t}afa> S{abri> yang mengkaji baik secara langsung maupun tidak tentang ijtihad Nabi Muhammad Saw dan tentunya juga karya tentang biografi seorang Mus}t}afa> S{abri> itu sendiri. Karya-karya Shaikhul Islam Mus}t}afa> S{abri> yang dibahas dalam tulisan ini antara lain adalah: Pertama, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981). Buku ini memberikan gambaran secara komprehensif tentang kedudukan akal, ilmu pengetahuan, dan dunia dalam doktrin Islam yang tergambar dari firman Allah Saw.dan para nabi-Nya. Kedua, Al-

Qawl al-Fas{l baina al-Ladhi>na Yu’minu>n bi’l-Ghaib wa-Alladhi>na La> Yu’minu>n (ttp: Da>r al-Sala>m, 1905). Buku ini berisi kritik terhadap pandangan Muh{ammad ‘Abduh (1849-1905), Rashid Rid{a (18651935), Farid Wajdi> (1875-1954), Zaki> Muba>rak, Muh}ammad H}usain Haika>l (1888-1956) dalam hal mukjizat, kenabian dan kerasulan. Dalam karya ini S{abri> juga mengkoreksi pendapat Mahmud Shaltu>t (1893-1963) tentang pendapatnya dalam hal pengangkatan Isa as ke langit. Ketiga, Mawqif al-Bashar Tah}ta Sult}a>n al-Qadar (Kairo: Matba’ah al-Salafiyah, 1352 H). Buku ini adalah sebuah analisis komparasi terhadap berbagai mazhab kalam dalam Islam. Mazhab tersebut dirinci mulai dari yang paling awal seperti Mu’tazilah, alAsh’a>ri (w. 324 H), al-Maturidi> (w. 333 H), Ibn ‘Arabi (w. 638 H), alBaqillani> (w. 403 H), hingga Muh{ammad ‘Abduh (w. 1323 H) dan juga beberapa pemahaman Barat tentang keyakinan, ketuhanan dan takdir manusia. Untuk biografi dari Mus}t}afa> S{abri> penulis mengambilnya dari beberapa tulisan diantaranya: petama, Mehmet Kadri Karabela, One of

The last Ottoman Syaikhulislam, Mus{t{afa> Sabri> Efendi> (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution (Thesis on Institute of

20

Islamic Studies McGill University, Montreal, 2003). Kedua, Mufarrih} Sulaima>n al-Qawsi>, as-Shaikh Mus}t}afa> S{abri> wa Mawqifuh min alFikr al-Wafi>d (Riyad: Markaz al-Ma>lik Fais}a>l, 1997). Ketiga, tulisan dalam jurnal oleh Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa Sabri’s response.” Journal of Islamic Studies 48, no. 1 (2009). Sumber sekunder dari penulisan ini didapat dari karya atau penelitian terdahulu yang membahas ijtihad Nabi Saw. dan Kenabian dalam tradisi Islam. Baik yang menyepakati adanya ijtihad pada diri Nabi maupun yang mengkritisi pendapat bahwa nabi pernah berijtihad tanpa tuntunan wahyu. 3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Seluruh data yang ada baik dari sumber primer maupun sekunder kemudian dikumpulkan secara seksama untuk kemudian dianalisis konteks maupun peranannya dalam memberikan penjelasan terhadap ada dan tidaknya ijtihad dari Nabi Muhammad Saw. Dari data yang diperoleh kemudian akan dilakukan pengkajian terhadap dampak dan respon dari umas Islam secara keseluruhan. F. Sistematika Penulisan Untuk menberikan gambaran apa yang dibahas dalam tesis ini, penulis perlu mengetengahkan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I adalah bab pendahuan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan, studi terdahulu yang relevan, tujuan dan signifiikansi penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab II ditulis sebagai landasan teoritis penelitian yang membahas tentang problematika makna kenabian dalam diri Nabi Muhammad dengan berbagai kaitannya terhadap pemikiran Islam. Bab ini juga membahas tentang kaitan hadis sebagai bagian dari mukjizat Nabi. Hingga, membahas tentang kedudukan hadis Nabi sebelum menerima wahyu Alquran. Bab III merupakan bab inti pertama yang memberikan gambaran sosok Mus}t}afa> S{abri> dengan berbagai alam pikirannya dan

21

Bab V

Bab V

gagasannya mengenai ijtihad Nabi Muhammad Saw. Dalam bab ini akan menunjukkan hadis-hadis yang bernuansa ijtihad serta berbagai respon yang dilakukan sahabat terhadap penerimaan ijtihad tersebut. Di sisi lain, dalam bab ini juga akan mengetengahkan posisi wahyu dalam hadis Nabi sebagai konsekuensi terhadap ada dan tidaknya ijtihad. adalah bab inti kedua yang membahas tentang implikasi keberadaan ijtihad Nabi Muhammad terhadap otoritas hadis sebagai sumber ajaran Islam. Dalam bab ini terbagi menjadi tiga bagian; pertama, interrelasi perbuatan Nabi dan hadis sebagai sumber hukum. Kedua, universalitas hadis dan ijtihad yang lokal-temporal. Dan ketiga, gagasan terhadap adanya respon sahabat dalam penerimaan ijtihad Nabi sebagai metode kritik matan hadis. merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang peneliti ajukan dalam upaya pengembangan penelitian dan keilmuan.

22

BAB II KENABIAN: ANTARA RAHMAT ALLAH SWT DAN KECERDASAN AKAL MANUSIA Membahas ijtihad nabi memerlukan fondasi awal tentang makna kenabian itu sendiri. Karena hal paling mendasar dalam kajian Islam terutama ilmu kalam mencakup tiga hal yakni ila>hiyyat, sam‘iyyat dan nubuwwat.1 Yang terakhir itulah yang menjadi pokok pembahasan terhadap kedudukan ijtihad pada diri seorang nabi. Secara etimologi nabi berasal dari kata atau yang secara umum terambil dari kata yang berarti (berita atau kabar).2 Maka adalah yakni yang diberikan kabar tentang Allah Swt. Ada pula yang memaknainya dengan kata yakni menaikkan dan memunculkan. Artinya, bahwa nabi adalah orang yang dinaikkan derajatnya dibandingkan manusia yang lain.3 Adapun dari segi terminologi nabi diartikan sebagai manusia yang diutus oleh Allah Ta’ala kepada makhlukNya untuk menyampaikan apa yang diwahyukan padanya bagi mereka. Sebagai kemudahan Allah kepada hambanya, maka seorang nabi diutus dari jenis manusia itu sendiri agar mudah ditiru dan diikuti segala perintah dalan larangannya.4 Jika diperintahkan untuk menyampaikan wahyu 1

Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.” Islamic Studies 48, No. 1 (2009) : 10. Menurut Mus}t}af>a S{abri> tema kenabian dalam ilmu kalam biasanya diikuti dengan wujud eksistensi tuhan dan berujung pada adanya hari kebangkitan. Karena itu Nabi adalah sosok kunci ajaran sebuah agama. Lihat Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Da>r al-Ih{ya’ al-Turath, 1981) Juz 3, 160. 2 H{aki>m‘Abd Na>s}ir. “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-Nubuwah.” Ada>b al-Ku>fa 1, (2011) : 215. 3 Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami>d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-I’ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” Journal of The Iraqi University 25, no. 1 (2010) : 112; Baik Nabi maupun rasul adalah perwujudan dari otoritas agama terhadap diri manusia. Karena, mereka adalah yang membawa wahyu Tuhan kepada manusia untuk mengajarkan nama dan peranan Tuhan. Lihat, Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muh{ammad ‘Abduh and Rashid Rid{a.” Islamic Studies 24, no. 2 (1985) : 139. 4 QS. Al-Furqa>n [25] : 7-8.

23

tersebut maka ia disebut rasul, namun jika tidak ada perintah untuk menyampaikan maka ia disebut nabi.5 Adapun kapan dimulainya Muhammad Saw sebagai Nabi, Ibn Hisha>m (w. 213 H) menyebut dalam kitabnya bahwa kenabian Muhammad Saw dimulai sejak pertama kali ia mengalami mimpi yang benar atau Mimpi inilah yang menurut cerita ‘Aisyah bahwa Nabi tidak pernah berimpi sebagaimana mimpi itu yang sungguh terang seperti terangnya fajar pagi. Sehingga, Allah kemudian menjadikan Muhammad Saw orang yang suka menyendiri.6 Sebagai bagian dari keimanan ajaran Islam, Nabi mempunyai posisi sentral untuk menghubungkan manusia dengan segala perintah Allah Swt. Nabi yang muncul di tengah masyarakat kadang tidak sekedar diyakini sebagai bagian dari kepercayaan agama atau keyakinan teologi namun juga dilihat dari sisi kecerdasan akalnya sebagai manusia biasa. Untuk itu dalam bab ini akan mengetengahkan empat bagian yang fokus membahas persoalan tersebut. Pertama, kedudukan Nabi dalam Alquran dan sunah. Kedua, historiografi pandangan ulama tentang kenabian. Ketiga, hadis menjadi bagian dari mukjizat kenabian. Keempat, hadis Nabi sebelum menerima wahyu Alquran. A. Kedudukan Nabi dalam Alquran dan Sunah Secara umum nabi adalah media yang menghubungkan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, memahami kenabian dalam perpektif Alquran setidaknya memiliki dua alasan penting yakni keyakinan terhadap adannya Allah sebagai Tuhan dan kedua keyakinan sebagai ciptaan Tuhan.7 Sebagai makhluk ciptaanNya sudah seharusnya memahami apa yang diinginkan Allah sebagai titah sang Khalik kepada makhlukNya. Sedang manusia sebagai makhluk terbatas tidak mungkin langsung berkomunikasi dengan Tuhan, tanpa 5

H{aki>m ‘Abd Na>s}ir. “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min al-Nubuwah,” 215. ‘Abd al-Ma>lik ibn Hisham, al-Si>rah al-Nabawiyah (Beirut: Dar ibn Hazm, 2009) 216. 7 J.W. Fiegenbaum, “Prophethood from the Perspective of the Qur’an.” (Tesis di McGill University, Montreal, 1973), 196. 6

24

kehendak Tuhan itu sendiri. Sehingga, Nabi diyakini sebagai kehendak Tuhan untuk memediasi persoalan ini. 1. Nabi dalam Alquran Meskipun seringkali diperdebatkan tentang perbedaan antara nabi dan rasul,8 namun harus difahami bahwa dalam Alquran keduanya tidaklah memiliki banyak perbedaan. Bahkan, Alquran menyebut pula dengan sebutan lain seperti shah> id, mubasshir, nad{i>r, da>‘i, dan sira>j muni>r 9. Sebutan itu tak lain adalah bentuk fungsi dari kenabian itu sendiri. Al-Kha>zin menjelaskan dalam tafsirnya bahwa makna sha>hid berarti bahwa nabi berkewajiban menyampaikan apa yang diberikan Allah, ada pula yang mengartikan sebagai saksi terhadap semua makhluk di akhirat kelak. Mubasshir yakni pemberi kabar gembira terhadap orang-orang yang percaya akan adanya surga. Nad}i>r berarti memberi peringkatan kepada mereka yang tidak percaya akan adanya neraka. Da>‘i artinya sebagai penyeru terhadap ketauhidan Allah dan mentaati segala perintahNya. Sedang sira>j muni>r adalah sebagai penjelas terhadap segala kejahilan, kesyirikan10 dan kegelapan kepada cahaya petunjuk dan kebenaran Allah.11 Untuk tugas yang tidak sederhana itulah para nabi kemudian diberikan wahyu berupa Injil, Taurat, Alquran dan sebagainya. Sehingga, dalam hal ini posisi wahyu menjadi penting terhadap ada dan tidaknya kenabian pada diri seseorang. Bahkan, Allah 8

Fazlur Rahman memahami bahwa secara umum Nabi adalah mereka yang diberikan wahyu oleh Allah sedang rasul adalah mereka yang diperintahkan menyebarkan ajaran Tuhan kepada manusia. Atau, ada pula yang memahami bahwa Nabi adalah mereka yang tidak membawa shariah sedang rasul adalah yang membawa shariah. Lihat, Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Blibiotheca Islamica, 1994), 82; Lihat pula perbedaan ini pembahasan panjang pada J.W. Fiegenbaum, Prophethood From The Perspective of The Qur’an 55-113. 9 QS. Al-Ahzab [33]: 45-46, 55

54 10

Kesyirikan juga menjadi pokok tersendiri dalam perintah Nabi, lihat QS. AlIsra’ [17]: 23. 11 ‘Ala>‘u al-Di>n ibn Muh{ammad al-Kha>zin, Luba>b al-Ta‘wi>l fi> Ma‘a>ni alTanji>l (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyah, 1515 H) Juz 3, 530.

25

menegaskan bahwa nabi hanyalah seorang manusia dan yang membedakan dengan yang lainnya adalah wahyu yang diberikan kepadanya.12 Bagi Fiegenbaum, alasan ini membuktikan bahwa kenabian bukanlah hal yang dihasilkan dari kerja intelektual intuitif manusia sehingga bisa dilakukan siapapun. Bahkan, nabi dalam Alquran bukanlah orang yang dengan kebijaksanaanya sendiri menyandarkan setiap hal tentang wawasan keagamaan.13 Hal ini menjadi logis karena jika kenabian adalah hasil kerja akal manusia maka sangat mungkin ditemukan kesalahan dan perbedaan. Dengan demikian, tidaklah mungkin terjadi perdebatan dan bantahan terhadap kebenaran yang dibawanya.14 Konsekuensi terhadap kebenaran yang dibawa nabi adalah dengan mengikuti segala apa yang diperintahkannya.15 Bahkan, Alquran menyebutkan bahwa kebertuhanan tidaklah ada manfaatnya tanpa adanya ittiba‘ kepada nabi.16 Tentunya, mengikuti nabi bukanlah menyembah nabi, karena seorang nabi tidak mungkin memerintahkan untuk menyembah dirinya melainkan menyembah Tuhan.17 Adanya kenabian memungkinkan manusia mencontoh sosok yang sempurna dalam kebertuhanan. Maka pantaslah jika nabi seperti Muhammad Saw diberikan mandat sebagai tauladan atau contoh dalam setiap sisi kehidupan.18 Tentu tidak hanya prosesi ibadah saja yang dicontohkan dan diperintahkan kepada Nabi namun juga 12

QS. Al-Kahfi [18]: 110. J.W. Fiegenbaum, “Prophethood from the Perspective of the Qur’an.” 200. 14 QS. Al-Nisa>’ [5]: 145, “Kami (Allah) utus rasul-rasul itu sebagai pembawa 13

berita dan pemberi peringatan agar tak ada alasan membantah Allah sesudah diutus para rasul tersebut….” 15 QS. Al-Nisa’ [5]: 80, “Barang siapa mentaati rasul berarti ia telah mentaati Allah…” 16 QS. A
  • n [3]: 31, “Katakanlah (Muhammad): “Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa kalian…” 17 QS. A
  • n [3]: 79, “Tidak mungkin seorang yang Kami (Allah) beri hikmah dan kenabian akan mengatakan kepada manusia, ‘hendaklah kalian menyembahku dan bukan menyembah Allah….” 18

    QS. Al-Qalam [68]: 4; Al-Taubah [9]: 128; dan Ali Imran [3]: 159.

    26

    berbagai hal tentang akhlak, etika terhadap siapapun seperti orang tua,19 saudara dan bahkan dalam hal bersuku bangsa.20 Malak Muh}ammad Tha>bit21 mencatat bahwa dalam Alquran Allah memberikan ciri yang melekat pada diri seorang selain dalam posisi menerima wahyu. Pertama adalah berjenis kelamin laki-laki atau . Hal ini tercermin dari kata yang ada pada Alquran 22 yakni pada surat Yu>suf [12] ayat 109 dan al-An’a>m [4] ayat 9.23 Kedua adalah terlepas dari kekurangan atau , baik dalam bentuk kekurangan fisik maupun mental termasuk terhindar dari kemaksiatan. Hal ini tercermin dalam Alquran Surat Ta>ha> [20] ayat 25-28 dan 3624 dan surat al-Anbiya>’ [21] ayat 83-84. Ketiga adalah kebenaran atau . Maka, apapun yang disampaikan oleh nabi dari Allah Swt. pasti benar adanya baik dalam bentuk perkataan ataupun tindakan. Hal ini didasari pada surat alNajm [53] 3-4.25 Keempat adalah menyampaikan atau . Bahwa nabi memiliki kewajiban menyampaikan risalah yang diberikan Tuhan kepadanya tanpa mengurangi ataupun menambahinya.26 Hal ini

    19

    QS. Al-Isra>’ [17]: 22. QS. Al-H{ujura>t [49]: 13. 21 Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami>d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa alI‘ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” 118-121 20

    22

    “Kami (Allah) tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepadanya..” 23 “Dan andaikata Kami (Allah) jadikan rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan ia seorang laki-laki…” 24 Ayat ini memperlihatkan bagaimana doa Musa kepada Allah, “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkan untukku urusanku, lepaskanlah kekakuan di lidahku supaya mereka mengerti perkataanku.” Hingga Allah pun mengabulkannya dengan berfiman, “Sungguh telah diperkenankan permintaanmu hai Musa.” 25 “Dan tidaklah yang ia (Muhammad) ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu melainkan hanya wahyu yang diberikan padanya.” 26

    Kewajiban ini tidak bisa disangkal karena memang pemyampiakan risalah inilah tujuan utama seorang manusia disebut sebagai Nabi. lihat ‘Ali> al-S{abu>ni>, alNubuwwah wa al-Anbiya>’ (Beirut: Ali>m al-Kutu>b, 1405 H), 42.

    27

    tercermin dalam Alquran pada surat al-Baqarah [2] ayat 159.27 Kelima adalah maksum atau , yakni terhindar dari kesalahan dan dosa. Hal ini didasari pada ayat Alquran surat Yu>suf [12] ayat 32 dan surat Hu>d [11] ayat 43. Terakhir keenam adalah cerdas atau . Bagaimanapun seorang nabi tidak mungkin memiliki sifat kebodohan karena mereka adalah orang-orang yang akan menyelesaikan persoalan dalam msyarakat. Untuk itu kecerdasan dalam menghadapi masalah dan menampilkan hu{ jjah atau pendapat adalah sebuah kewajiban adanya. Sehingga, hal ini pasti didasari dengan kecerdasan.28 2. Nabi dalam Hadis Sebagaimana difahami bahwa kenabian adalah miniatur perintah Allah dan Muhammad adalah miniatur Islam. Dalam maksud yang lebih panjang, mengimani kenabian adalah wujud awal mengenai sosok Tuhan Allah dengan segala kekuasanNya. Sedang memahami Muhammad dalam setiap gerak-geriknya adalah memahami ajaran Islam dalam kehidupan. Karenanya, memahami Islam tidak hanya sekedar dari Alquran semata karena memang nabi tidak sekedar mengajarkan apa yang ada dalam Alquran, namun juga tampil sebagai model Alquran.29 Model ini tentunya dengan berbagai aplikatif kehidupan keagamaan tidak sekedar cara ibadah, namun juga pakaian, tingkah laku, tutur kata dan sebagainya. Kaharusan taat kepada Nabi tidak hanya dijelaskan dalam Alquran melainkan juga ditegaskan oleh Nabi sendiri:

    27

    “Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang Kami (Allah) turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh semua makhluk..” 28

    QS. Al-An’am [4]: 83. Abu> Abd al-Rah{ma>n al-Nasa>’i>, Suna>n al-Kubra> (Beirut: Muassasah alRisalah, 2001) juz 10, 193. Hadis ini meriwayatkan ketika ‘Aisyah ditanya mengenai akhlak Nabi, yang kemudian ia jawab, dengan kalimat, . 29

    28

    30

    Nabi dalan hadis disebutkan berjumlah 313 dan rasul 124.000.31 Karena itu tidak ada manusia yang tidak lepas dari hidayah Allah. Di sisi lain Alquran sendiri menegaskan setiap kaum pasti ada yang dipilih menjadi utusan Allah.32 Namun Muhammad Saw dalam hadisnya menyebutkan bahwa dirinyalah nabi yang terakhir dengan analogi sebuah bangunan.33 Artinya, tidak patut mengakui adanya nabi setelah Muhammad Saw. Fungsi nabi dalam hadispun relatif sama dengan apa yang tergambar Alquran. Bedanya, terletak ada sisi aplikatif sosok nabi dalam kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari perilaku dan sejarah Nabi sendiri di masyarakat. Di antara aplikatif yang paling mencolok adanya adanya pembedaan terhadap kelebihan yang ada pada diri Muhammad Saw yakni berupa mukjizat. Di antara mukjizat itu adalah seperti mengelurkan air dari jari,34 membagikan makanan sedikit kepada banyak orang dan sebagainya35 dan sebagainya. Inilah yang memungkinkan untuk kemudian setiap orang sadar bahwa memang Nabi Muhammad Saw bukanlah sosok menusia biasa.

    30

    Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{ (Kairo: Da>r al-Tauq al-Najah, 1422 H) juz 9, 92. 31 Ah{mad ibn H{usain ibn ‘Ali> al-Baihaqi>, al-Suna>n al-Kubra> (Beirut: Da>r alKutu>b al-‘Ilmi, 2003) juz 9, 7. 32 QS. Al-Nah{l [16]: 36; Fathir [35]: 24 dan al-Ra’d [13]: 7. 33 Muh}ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 4, 186; Muslim ibn H{ajjaj al-Nisa>bu>ri, Sah{i>h{ Muslim (Beirut: Da>r al-Ih{ya’ al-Tutath, Tth) juz 9, 1790. 34 Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{,juz 5, 122 35 Muslim ibn al-H{ajja>j al-Nisa>bu>ri>, al-Musnad al-S{ah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’, tth) Juz 3, 1624.

    29

    B. Pandangan Ulama tentang Kenabian Sebagai manusia yang berfikir, selalu ada pertanyaanpertanyaan yang sulit untuk dijawab lewat akal semata.36 Pertanyaan seperti kehidupan sebelum manusia lahir, kehidupan sesudah mati dan sebagainya memerlukan jawaban yang kadang tidak bisa dijawab lewat rasional manusia dan hanya bisa dijawab melalui ajaran agama. Sehingga, kedudukan wahyu menjadi penting adanya dan kenabian adalah konsekuensinya. Karena itu, secara general Muh}ammad ‘Abduh (1849-1905) mengartikan nubuwwat atau kenabian sebagai sesuatu yang memungkinkan manusia mengenal Allah dan memahami perintahNya. Hal ini ditujukan agar manusia menggapai kebahagiaan dalam hidupnya baik di dunia maupun akhirat.37 Bagi ‘Abduh nabi adalah manusia yang menempatkan diri untuk menjelaskan tentang kebenaran baik teoritis maupun praktis. Ia tidak mengatakan sesuatu kecuali kebenaran dan tidak melakukan sesuatu kecuali kebenaran. Hal ini terjadi secara alami bukan dari hasil olah pikiran ataupun pembelajaran, murni lebih kepada perintah Tuhan atau al-ta‘li>m al-Ila>hi.38 Abu> Bakar al-Baqilani>39 (w. 403 H) mencatat bahwa akal tidak bisa menggapai kebenaran sesuatu atau mengetahui sebuah akhibat dari sesuatu, karena itu untuk mengetahui tentang sebuah hukum tata kehidupan tidak ada jalan lain selain wahyu.40 Adapun al-Ash’a>ry41 36

    Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 152-143. Pertanyaan mendasar tentang akidah inilah yang kemudian memunculkan pembahasan tentang kenabian pada mayoritas ulama kalam baik tentang nubuwwah, risalah atau semacamnya yang bersangkutan terhadap kenabian. Lihat, Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles…” 11 37 Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i>d (Kairo: Da>r al-Nasr, 1969) 81-82. 38 Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles...” 11; Muhammad ‘Abduh, Ta’liqat Shaikh Muh}ammad ‘Abduh ‘ala> Sharh{i al-Dawwani li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyah (Cairo: al-Matba’ah al-Khairiyyah, 1292 H) 152. 39 Dia adalah Abu> bakr al-T{ib ibn Muh{ammad ibn Ja’far. Lahir di Basrah tahun 38 H. Seorang hakim dari para ulama kalam. Ia meninggal pada tahun 103 H. 40 Al-Baqila>ni>, Kita>b al-Tamhi>d, (Beirut: maktabah al-Syariqah, 1957) 324. 41 Dia adalah Abu> H{asan ‘Ali> ibn Isma>’il ibn abi> Basyar ibn Mu>sa> al-Ash’ary. Lahir di Bashrah tahun 60 H dan wafat pada 124 H di Baghdad. Dia sempat belajar mazhab Muktazilah sebelum memberikan gagasan kalam tersendiri.

    30

    (w. 324 H) menilai bahwa akal hanya bisa menilai sesuatu yang tampak oleh indra, namun untuk mengetahui tentang agama dan Tuhan tidak ada jalan lain kecuali wahyu. Karena itu, akal tidak bisa mengetahui baik dan buruk suatu yang menjadi kewajiban kepada Tuhan dan untuk mencapainya hanya dengan lewat wahyu yang dibawa oleh para nabi.42 Namun demikian, Mus{t}afa> S{abri> (1869-1954) menilai bahwa yang dimaksud dengan nabi adalah sosok manusia yang memiliki hubungan khusus kepada Tuhan. Hubungan ini digunakan untuk menjawab segala rasionalitas manusia terhadap kebesaran Tuhan dan segala ciptaanNya. Nabi menerima wahyu dariNya, di mana wahyu itu lebih besar dari segala penemuan akal manusia. Kedudukan manusia seperti ini bukanlah hasil dari pencapaian usaha manusia, melainkan keutamaan dari Allah yang diberikan kepada hambanya yang Ia pilih.43 Dalam hal ini S{abri> mengkritik keyakinan orang barat yang banyak menyakini keberadaan Tuhan namun tidak terhadap keberadaan Nabi. Terlebih bagi kaum Nasrani, Isa bukan sekedar nabi namun Tuhan.44 Artinya, kenabian dalam Islam bertujuan menunjukkan jalan manusia kepada Tuhan sedang dalam Nasrani, kenabian dinilai sebagai perwujudan Tuhan kepada manusia.45 Rasionalitas adanya kenabian yang selama ini diperdebatkan lewat ilmu kalam dinilai S{abri> kurang tepat. Hal ini karena masalah kenabian –bagi S{abri>– dimasukkan dalam kategori sam‘iyya>t dan bukan tersendiri dalam kategori nubuwwa>t.46 Sam‘iyyat berarti segala 42

    Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami>d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa alI‘ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” 115. 43 Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, Juz 4, 152. 44 Lihat Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 1, 114-115 juga pada Rashid Rid}a>, al-Wah}yu alMuh}ammadi. 99. 45 Faruk Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.” 15. 46 Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 1, 24-25.

    31

    informasi Tuhan yang hanya bisa diambil dari wahyunya dan tidak perlu dibuktikan kebenaran dan keberadaannya. Artinya, kenabian adalah suatu yang tidak bisa dijelaskan secara nalar melainkan dari Alquran dan hadis itu sendiri.47 Meskipun Nabi tidak terlepas dari konteks budaya masyarakat pada masanya, setidaknya S{abri> (w. 1954) memberikan enam alasan kenapa kemudian kenabian adalah Rahmat Allan dan bukan hasil kecerdasan akalnya sendiri. Pertama, jika kenabian adalah hasil kecerdasan akal, maka Nabi Muhammad pasti bukanlah yang terakhir karena kecerdasan sangat bergantung pada kondisi suatu peradaban. Kedua, jika Nabi Muhammad menganggap bahwa kenabiannya adalah hasil dari kecerdasannya, maka ia tidak mungkin mengatakan bahwa Alquran adalah wahyu melainkan hasil dari kecerdasannya sendiri. Ketiga, kecerdasan Nabi Saw tidak menghendaki menyembah kepadanya melainkan kepada Allah Swt. Keempat, tidak ada satupun orang yang bisa mengupayakan untuk menjadi seorang nabi dengan kecerdasannya melainkan pembenaran yang langsung datang dari wahyu ataupun mukjizat. Kelima, Nabi tidak pernah melakukan kesalahan terhadap apa yang diwahyukan kepada mereka karena langsung didikte oleh Allah Swt. Dan keenam, hanya para nabi yang bisa menentukan dan menggambarkan tentang ketuhanan dan cara peribadatan.48 Karenanya, kecerdasan intelektual saja tidak cukup tanpa adanya wahyu sebagai bagian tak terpisahkan dari kenabian. Selain wahyu yang dibawa para nabi dari Allah, ada dua hal yang menjadi perhatian dalam tema kenabian yakni mukjizat dan kemaksuman. Mukjizat dianggap sebagai kelebihan yang membedakan manusia biasa dengan nabi sebagai manusia pilihan Tuhan yang penuh kekuasaan. Sedangkan, kemaksuman adalah wujud kebenaran nabi yang tidak akan dan tidak mungkin melakukan kesalahan dalam menyampaikan pesan Tuhan. 47

    Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mustafa Sabri’s Response.” 15. 48 Lihat lebih lengkap pembahasan ini pada, Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, Juz 4, 152-155.

    32

    1. Mukjizat Mukjizat berasal dari kata ) ( secara etimologi diartikan yakni ketidakmampuan. berarti kelemahan dalam melakukan sesuatu atau kebalikan dari mampu dalam berbuat. Karnanya, mukjizat kemudian diartikan sebagai bukti kebenaran nabi Muhammad Saw. terhadap risalahnya dengan cara menjadikan ketidakmampuan orang Arab pada masa itu.49 Namun, yang menjadi catatan adalah bahwa mukjizat bukan kemampuan nabi, melainkan sekedar bukti. Karena itu, Muh{ammad ‘Abduh (w. 1905) menilai bahwa yang dimaksud mukjizat adalah sesuatu yang rasional dan tidak memunculkan kontradiktif dari hukum Allah. Sedangkan, mukjizat adalah tindakan Allah yang muncul pada diri Nabi.50 Dengan kata lain, mukjizat adalah penampakan kekuasaan Allah pada diri mereka yang Dia kehendaki.51 Setidaknya ada dua alasan mengapa mukjizat dianggap sebagai tindakan Allah dan bukan tindakan Nabi. Pertama adalah karena nabi tidak bisa melakukan pengulangan terhadap mukjizat yang pernah dilakukannya.52 Kedua segala tindakan keluarbiasaan itu tidak dipelajari oleh nabi dari siapapun bahkan dari Allah sekalipun, sehingga pengetahuan tentang keluarbiasaan ) ( adalah pengetahuan di luar diri Nabi. Bahkan pada faktanya mukjizat itu sering dimunculkan hanya pada saat-saat kritis semata seperti nabi

    49

    Malak Muh}ammad Tha>bit ‘Abd al-H{ami>d. “Mafhu>m al-Nubuwah wa alI‘ja>z ‘Inda al-Muslimi>n,” 120. 50 Muh{ammad Rashid Rid}a> (1865-1935), Tafsi>r Alqura>n al-H{aki>m aw Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1947) juz 1, 314-315. 51 Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i>d, 79. 52 Hal inilah yang membedakannya dengan sihir, ataupun bahkan kelebihan lain dalam diri para ulama yang dalam hal ini baik ‘Abduh maupun Rashid Rid}a> membedakan antara mukjizat bagi Nabi dan karamah bagi seorang ulama. Lihat, Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 150.

    33

    Musa as. membelah lautan,53 nabi Muhammad Saw. membelah bulan,54 ataupun nabi Isa yang bisa bicara selagi bayi.55 Mus}t}afa> S{abri> juga menilai bahwa keberadaan mukjizat penting bagi seorang Nabi adalah karena memang pengalaman melakukan sebuah kemukjizatan juga merupakan sebuah bukti eksistensi manusia sebagai seorang Nabi.56 Keberadaan mukjizat menjadi penting sebagai syarat penerimaan pesan yang disampaikan para nabi. Karena itu seorang nabi pasti memiliki mukjizat sebagai sesuatu yang di luar kemampuan manusia sebagai bentuk kekuasaan Tuhan. ‘Abduh menilai bahwa keluarbiasaan para nabi, kebenaran setiap ucapannnya, atau bahkan tindakan mereka kepada manusia menihilkan kemungkinan manusia untuk ragu dan menganggap mereka melakukan kesalahan.57 Mukjizat tertinggi nabi Muhammad adalah Alquran. Hampir dipastikan tidak ada orang Islam yang tidak menyepakatinya. Di sisi lain memang Alquran sendiri yang menyatakan bahwa ia adalah kalam Allah yang tidak tertandingi oleh jin dan manusia sekalipun.58 2. Sifat Maksum Maksum berasal dari kata yang berarti penjagaan atau perlindungan. Nabi diyakini sebagai orang yang maksum berarti bahwa nabi adalah orang yang terlindungi dari kesalahan dan dosa. Dalam arti lebih panjang maksum memiliki dua sisi yakni intelektual dan moral. Intelektual maksum berarti ia tidak mungkin melakukan kesalahan terhadap apa yang ia sampaikan. Sedang moral yang maksum berarti ia nabi tidak pernah melakukan sesuatu yang amoral atau dosa.59 53

    QS. Al-Syuara> [26]: 63. QS. Al-Qamar [54]: 1. 55 QS. Al-Maryam [19]: 31-33. 56 Mus}ta} fa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 4, 25-26 57 Muh{ammad ‘Abduh, Risa>lah al-Tauh{i>d, 86. 58 QS. Al-Baqarah [2]: 23. 59 Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 146. 54

    34

    Walaupun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa Alquran telah menyebutkan bahwa para nabi pun tidak lepas dari kesalahan dan dosa. Hal ini dilihat dari ungkapan para nabi itu sendiri seperti nabi Adam as. dalam Surat al-Baqarah [2] ayat 35-36, nabi Musa as. pada surat al-Qas}a>s} [25] ayat 15 juga nabi Sulaiman as. pada surat S{a>d [38] ayat 30-34. Bahkan nabi Muhammad pun tidak lepas dari tindakantindakan ini seperti pada surat al-Fath{ [48] ayat 2 dan surat Muh{ammad [47] ayat 19.60 Yusuf H.R. Seferta mencatat bahwa gagasan maksum sebenarnya tidak disebutkan baik dalam Alquran maupun hadis.61 Namun perintah terhadap ketaatan kepada nabi sebagai contoh dan tauladan dalam Alquran seperti pada surat al-An’am [4] ayat 91, surat al-Anbiya>’ [21] ayat 73 dan paling jelas pada al-Ah}za>b [33] ayat 21 semua itu memberikan konsekuensi terhadap keberadaan gagasan maksum itu sendiri. Dalam al-Wah{yu al-Muh{ammadi> Rashid Rid{a> mencatat bahwa nabi dibebaskan dari kesalahan yang disengaja yang menyalahi hukum Tuhan. Hal ini karena nabi adalah yang membawa hukum Tuhan itu sendiri.62 Karena itu, Rid{a> menganalogikan bahwa nabi adalah perumpamaan yang jelas dalam bentuk manusia kepada manusia agar mudah dicontoh dan diikuti. Terlebih ketaatan kepada nabi adalah sebuah keharusan yang disampaikan Tuhan.63 Namun demikian, Seferta menyebutkan bahwa Rid{a> memberikan penjelasan lanjutan dalam tafsirnya bahwa meskipun kemaksuman nabi itu sesuai dengan apa yang ada pala nalar dan teks 60

    Akan tetapi Alquran sendiri telah menyebutkan bahwa Nabi adalah para pemimpin dalam memberikan pengajaran terhadap wahyu dan kebaikan dalam tindalakan. Sehingga kesalahan itu tidak mengganggu ataupun mengecilkan nilai kenabian itu sendiri. Lihat, Surat al-Anbiya [21] : 72 61 Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 157. 62 Maksud dibebaskan disini bukan berarti tidak melakukan kesalahan, namun segala kesalahan yang dilakukan oleh Nabi dikoreksi dan diperbaiki oleh Allah. Karenanya, Nabi kemudian bertaubat dan diampunilah taubatnya. Lihat, Muhammad Rashid Rid}a>, Al-Wah{yu al-Muh{ammadi> (Beirut: Muassasah ‘Izzuddin, Cet. Ke 3, 1406 H) 37. 63 Muhammad Rashid Rid}a>, Al-Wah{yu al-Muh{ammadi> , 32.

    35

    agama, namun kemaksuman nabi berbeda dengan kemaksuman malaikat. Artinya, selama nabi berbentuk manusia dan terikat pada hukum dunia, seperti lapar, sakit, dan sebagainya maka nabi pun masih mungkin untuk melakukan kesalahan yang tidak disengaja. Namun, sebagai manusia yang menerima wahyu Allah, tidak mungkin Nabi kemudian salah dalam menyampaikan wahyu itu sendiri baik disengaja maupun tidak.64 Terlebih hal ini pernah pula disampaikan sendiri oleh Nabi Muhammad dalam riwayat Ibn H{ibba>n (w. 354 H/965 M) sebagaimana berikut, 65

    “Bahwa sungguh aku (Muhammad) hanyalah manusia

    biasa. Jika aku mengatakan sesuatu pada kalian tentang agama kalian maka ambillah. Namun jika aku mengatakan sesuatu tentang dunia kalian (tidak terkait dengan agama), maka sungguh aku hanya manusia biasa.” Dengan demikian, maka kemaksuman nabi hanya bisa dikaitkan dengan kebenaran yang dibawanya terkait dengan masalah agama dan bukan masalah keduniaan. Dengan kata lain, masalah keduniaan yang diketahui oleh Nabi Muhammad tidaklah selamanya sebaik apa yang diketahui oleh manusia lainnya. Hal ini tergambar ketika dalam sebuah periwayatan hadis tentang pembenihan kurma hingga nabi harus mengatakan, “Antum a’lamu bi umu>ri dunya>kum.”66 Adapun mengenai kemaksuman Nabi Saw sebelum, meskipun sudah penulis sampaikan pada bab sebelumnya mengenai kecerdasan Nabi sebelum menerima wahyu, namun agaknya kemaksuman ini 64

    Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad ‘Abduh and Rasyid Rida.” 149. 65 Muh}ammad ibn H{ibba>n ibn Ah{mad ibn H{ibba>n al-Tami>mi>, Sah{ih{ ibn H{ibbba>n bi Tarti>bi ibn Balba>n (Beirut: Mausu>’ah Risalah, 1993) Juz 1, 202. 66 Muslim ibn al-H{ajja>j al-Nisa>bu>ri, al-Musnad al-S{ah}ih} (Beirut: Da>r al-Ih{ya>‘ al-Tura>th, tth) juz 4, 1836.

    36

    belum terlihat sepenuhnya sebagaimana keinginan Nabi dalam berbuat kenakalan waktu mudanya.67 Sejalan dengan hal ini, Qad{i> ‘Iya>d{ (w. 544 H ) menyatakan bahwa kemaksuman Nabi Saw sebelum menerima risalah cukuplah ditangguhkan. Hal ini karena larangan atau hukum Allah belum pula datang kepada Nabi Saw. Sehingga, andaikata pun itu pernah terjadi, maka Allah pasti mengampuninya karena ketiadaan perintah maupun larangan sebelumnya.68 C. Hadis Menjadi Bagian dari Mukjizat Kenabian Mukjizat adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari posisi kenabian. Bukan hanya karena memang para nabi memiliki kelebihan disbanding manusia pada umumnya yang kemudian itu disebuat sebagai mukjizat, namun karena memang manusia –umat para Nabi– dalam sejarah selalu menuntut kelebihan atau mukjizat itu sebagai bentuk bukti kenabian. Nabi Muhammad sebagai fokus kajian penelitian ini tentu memiliki banyak mukjizat dan yang utama adalah Alquran. Tentunya, karena Alquranlah yang menjadi pedoman umat manusia pada akhir zaman ini. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan hadis? Yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah mengkaji tentang hadis-hadis yang berkenaan dengan mukjizat Nabi, namun lebih kepada apakah hadis itu sendiri bisa dikatakan sebagai kelebihan atau mukjizat Nabi Muhammad? Mengingat bahwa sisi kemukjizatan hadis (ungkapan dan tindakan Nabi) tentu memiliki implikasi yang berbeda dengan Alquran. Jika hadis terdiri dari sanad dan matan, maka kajian ini hanya berfokus pada kajian matan. Karena memang yang dibahas adalah apakah isi dari sebuah hadis itu bisa menjadi bagian dari mukjizat nabi ataukah tidak? Di sisi lain dalam kaidah ushul hadis mengatakan bahwa tidak semua hadis yang sahih sanadnya sahih pula matannya, karena jika ditemukan sebuah hadis yang sahih sanandnya namun 67

    Lihat pada materi kecerdasan Nabi sebelum menerima risalah pada akhir bab

    ini.

    68

    Lihat pada catatan Z{a>fir ‘Abd al-Na>fi’ ‘Abd al-H{akim, “H{ayat al-Rasu>l alTa’abudiyah qabla al-Bi’thah” Jurnal al-Tarbiyah wa al-‘Ilm 17, no. 1 (2010) : 34

    37

    tidak dengan matannya berarti ia tidak qat‘i>, dan sesungguhnya Alquran harus lebih didahulukan dari pada hadis.69 Perlu disadari bahwa Muhammad selain sebagai seorang Nabi atau utusan Allah tentu ia juga adalah seorang manusia biasa. Manusia yang juga berjalan, bisa marah, menangis, sakit dan sebagainya. Jika dilihat dalam persepektif hadis sebagai ungkapan dan tindakan Nabi, tentu pula hadis memiliki dua area tersebut yakni hadis dalam posisi Muhammad Saw sebagai Nabi dan hadis dalam posisi Muhammad sebagai manusia. Hal ini tergambar jelas sebagaimana hadis riwayat Ibn H{ibba>n di atas.70 Misalnya hadis tentang penjelasan Nabi terkait iman, islam dan ihsan. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa ketika Nabi mengajarkan agama Islam kepada para Sahabat kemudian Jibril hadir dan ikut serta mengajarkan apa itu iman, islam dan ihsan.71 Nabi kemudian menjelaskan dengan gamblang tentang apa yang ditanyakan oleh Jibril. Penjelasan itupun kemudian menjadi dasar agama Islam hingga hari ini. Terkait dengan posisi informasi Nabi tersebut, tentu Muhammad muncul sebagai sosok seorang Nabi dan bukan manusia biasa. Hadis-hadis semisal atau dalam cakupan ibadah dan akidah secara umum memang tidak mungkin muncul dari sosok kemanusiaan Nabi Muhammad melainkan muncul sebagai bagian dari risalah Allah Swt yang ia bawa. Karenanya dalam hal ini tak banyak yang mempersoalkannya sebagai bagian dari sunnah tasyri>‘iyyah. Yang dalam hal ini penulis bisa memasukkanya dalam kategori sunnah yang menjadi bagian dari mukjizat kenabian Muhammad Saw. Kenapa demikian? Setidaknya ada alasan tersendiri yang mendasari terkait dengan definisi mukjizat itu sendiri sebagaimana penjelasan berikut. 69

    Abdul Jali>l I abu> al-Nasr, Ijtiha>d al-Rasu>l Saw (Kairo: Da>r al-Ih{ya>‘ alKutub al-‘Arabi, 1950), 162. 70 Dalam hal ini al-Qarafi memperkenalkan dengan adanya istilah sunnah tasyri’iyyah dan sunnah ghairu tasyri’iyyah. Lihat, al-Qara>fi>, al-Furu>q (Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt) juz 1, 206-209. 71 Muslim ibn Hajja>j al-Nisa>bu>ri>, Musnad al-S{ah}ih} (Beirut: Da>r al-Ih{ya>‘, tt), juz 1, 36.

    38

    Ibadah sebagai metode interaksi antara manusia dan Allah tentu adalah hak prerogatif Allah. Sehingga, tidak sembarang manusia bisa mengarang bagaimana cara beribadah kepada-Nya. Untuk itulah penjelasan Nabi dalam hal ini muncul sebagai kelebihan yang dibawa sebagai tanda kenabian dan inilah yang dimaksud pula sebagai mukjizat. Kemudian tentang akidah tidak ada satu manusiapun yang mengetahui tentang hal yang ghaib kecuali manusia itu mendapatkan pengetahuan dari Sang pemilik keghaiban itu yakni Allah Swt.72 Tentunya hal ini juga yang menjadi kelebihan dari tanda kenabian Muhammad Saw. Dengan demikian materi agama yang terdapat dalam hadis Nabi terutama adalah masalah ibadah dan akidah tidaklah menjadi perhatian dan perdebatan karena memang itulah risalah yang dibawa oleh Nabi. Pernyataan yang perlu didiskusikan berikutnya adalah bagaimana hadis baik ungkapam maupun tindakan Nabi yang terkait dengan keduniaan? Apakah itu bisa menjadi bagian dari mukjizat kenabian ataukah hal itu sama seperti yang dimiliki atau dilakukan oleh manusia kebanyakan? Untuk melakukan pembahasan ini setidaknya bisa dilihat dari 4 aspek materi hadis di luar materi yang terkait dengan agama: pertama, mukjizat Nabi terkait dengan fenomena alam atau sains; kedua, nasehat Nabi kepada para Sahabat; ketiga, tindakan kemanusiaan seperti makan, dan pakaian; keempat, hadis tentang kekeliruan Nabi. 1. Mukjizat Nabi tentang Fenomena Alam atau Sains Berbagai fenomena alam yang terjadi ataupun dijelaskan dalam hadis banyak yang kemduain menjadi kajian tersendiri oleh para sarjana muslim. Zaghlul al-Najjar (l. 1933) misalnya memberikan dasar tentang pentingnya mengkaji tentang fenomena alam dan sains yang terkandung dalam hadis. Dasar itu setidaknya ada dua hal; pertama untuk meng-caunter siapapun yang meragukan al-sunnah atau hadis Nabi. Meskipun terdapat hadis dhaif atau lemah bahkan maudhu’ atau palsu tidak kemudian membuat siapapun enggan untuk 72

    Lihat Surat Hud [11] ayat 31 dan Surat al-An‘am [6] ayat 50.

    39

    meyakini adanya otentitas dan kebenaran agama. Kedua, memunculkan fakta ilmiah tentang materi hadis Nabi.73 Di antara sekian banyak mukjizat nabi Muhammad Saw yang diingat para muslim di antaranya adalah terkait dengan fenomena alam seperti kisah Nabi membelah bulan,74 kisah Nabi mengeluarkan air dari sela jari-jarinya,75 ataupun penjelasan Nabi terkait fenomena alam itu sendiri. Untuk dua contoh awal secara nalar sudah pasti menjadi bagian dari mukjizat karena memang yang terjadi adalah tindakan di luar batas kemampuan manusia biasa dan itulah disebut sebagai mukjizat. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Musa ketika menjadikan tongkat sebagai ular ataupun membelah lautan dan juga mukjizat Nabi yang lain. Namun tentang bagaimana dengan penjelasan nabi terkait fenomena alam dapat dilihat sebagaimana contoh hadis berikut;

    76

    Hadis dari Anas ibn Malik ini menceritakan bahwa nabi pernah bersabda, “Ketika Allah menciptakan langit dan bumi,

    bumi berguncang. Maka Allah memancangkannya dengan gunung. Malaikat pun tercangang dengan kehebatan gunung. Meskipun secara sederhana hadis ini menjelaskan kedudukan dan fungsi gunung sebagai penyangga agar bumi tidak mudah bergoncang, namun dari sisi sains bagaimana Nabi bisa menjelaskan 73

    Zaghlul Raghib Muhammad al-Najjar, Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadis (Jakarta: Mizan, 2010), 32. 74 Muhammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}ih} (Kairo: Da>r al-Thauq, 1422 H) juz 6, 142 75 Muhammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah}ih}, juz 4, 192. Dalam hadis tersebut menjelaskan ada 300 orang yang berwudhu dari tangan Nabi. 76 Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmizi pada no. 3369. Menurutnya, hadis ini adalah hadis gharib, dan dari jalur Anas inilah satu-satunya ia marfu’. Lihat Abu> Isa> al-Tirmizi>, Jami’ al-Sahih (Beirut: Dar al-Ihya>’ al-Tura>th, tt) juz 5, 454. Abu> Bakar al-Baihaqi, Su‘ab al-Ima>n (Beirut: Dar al-Kutu>b, 1410 H) juz 3, 244. Namun, Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa sanad hadis ini dhaif, lihat Ah{mad ibn H{anbal, Musnad Ah{mad (Kairo: Mausu>’ah Qurtubah, tt) juz 3, 125.

    40

    ini sedangkan masa itu tentu ilmu geologi belum ada? Inilah yang kemudian menjadi mukjizat tersendiri di mana kemudian hadis menjadi inspirasi sains sebagaimana pula Alquran. Meskipun, sebagaimana Alquran, hadis adalah ucapan Nabi dan bukan sumber sains.77 Sehingga, Zaghlul al-Najjar sebagai seorang ahli geologi dan bukan ahli ilmu hadis mencoba menjelaskan bagaimana fenomena ini terjadi dan kesesuaiannya dengan fakta sains yang ada. Bahwa memang gunung adalah peredam rotasi gerak bumi yang jika tidak dipancangkan gunung, maka getaran rotasi bisa membuat alam tidak normal.78 Dengan demikian, hadis yang tentang mukjizat Nabi terkait fenomena alam dan sains baik itu yang murni dilakukan oleh Nabi sendiri ataupun yang dijelaskan dalam hadisnya termasuk dalam mukjizat kenabian. Karena, selain memang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa, hal ini juga menjadi petunjuk keagungan dan kebenaran risalah Muhammad Saw. 2. Nasehat Nabi Kepada Para Sahabat Pembahasan nasehat ini menjadi bagian tersendiri setidaknya karena dua alasan. Pertama, masalah ini muncul adalah respon Nabi terhadap problem yang dihadapi oleh Sahabat dan bukan karena perintah Allah atau wahyu. Dan kedua, masalah yang dialami oleh Sahabat bukanlah terkait dengan wahyu. Sebagai seorang Nabi utusan Allah, tentu Muhammad adalah tempat bertanya bagi para Sahabat. Pertanyaan kadang tidak serta

    77

    Hal ini pernah pula diungkapkan oleh Mus}t}afa> S{abri>. Lihat, Mehmet Kadri Karable, “One of the Last Ottoman Seyhulislam Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works and Intellectual Contributions.” (Tesis di McGill University, Montreal, 2003) 66. 78 Lihat, Zaghlul Raghib Muhammad al-Najjar, Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadis, 69; Dalam bab ini juga menjelaskan bahwa otoritas penafsiran hadis tidak serta merta miliki para ahli hadis, namun juga akan lebih menarik jika materi hadis terkait dengan sain maka dijelaskan oleh mereka yang ahli dibidangnya. Lihat komentar penulis dalam, Muhib Rosyidi, “Metodologi Kritik Matan hadis Berbasis Sains; Telaah Atas pemikiran Zaghlul Raghib al-Najjar”, Moderatio Diskursus Islam dan Peradaban I, no 3 : (2012), 80-81.

    41

    merta masalah agama tapi juga masalah kehidupan sehari-hari para Sahabat itu sendiri. Sebagaimana beberapa hadis berikut: 79

    Dari Abu> Hurairah ra berkata bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi dan berkata, “Berilah aku nasehat.” Nabi menjawab, “Jangan marah.” Lalu Nabi mengulanginya berkali-kali, “Jangan marah.”80 Singkatnya Nabi dalam hadis di atas selain karena Nabi memang memiliki ciri jawa>mi’ al-kala>m atau berbicara singkat dan padat. Namun ada pula riwayat yang mengatakan bahwa seseorang yang meminta nasehat itu sebelumnya berkata, “Ya Rasulullah, ajari

    aku sebuah perkara yang bisa memudahkanku dalam hidup, tapi jangan terlalu banyak karena nanti aku mudah lupa.” Karena itulah kemudian Nabi hanya memberikan nasehat singkat untuk tidak marah.81 Ada pula nasehat Nabi yang diberikan kepada ‘Abdurrahman ibn Samurah (w. 50 H) yang ingin meminta jabatan:

    82

    79

    Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih} (Kairo: Da>r al-Tauq alNaja>h, 1422 H), juz 8, 28. 80 Imam Nawani memasukkan hadis ini sebagai salah satu 40 hadis yang ia agungkan. Hal ini karena marah ternayat imbasnya sangat besar dan marah adalah salah satu sumber kesalahan dan dosa. Lihat, Mustafa Muhyidin Mitsu, Al-Wafi Syarah Kitab Arbain al-Nawawi, Terj. Muhil Dhofir (Jakarta: al-I’itisham, 2010) 110-113. 81 Ibn ‘Abd al-Bar (w. 463 H), al-Istizka>r (Beirut: Da>r al-Kutub, 2000) juz 8, 286. 82 Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 8, 127.

    42

    Tentunya siapapun berhak untuk memberikan nasehat, namun harus disadari bahwa orang tidak akan meminta nasehat kepada mereka yang dianggap tidak memiliki nilai kebijaksanaan. Dua hadis di atas menggambarkan bahwa memang kebijaksanaan menjadi tolok ukur mengapa Nabi menjadi tempat Sahabat meminta nasehat. Sedang mengenai keterkaitannya dengan mukjizat secara umum hadis ini tidak memiliki sisi kelebihan tersendiri. Kecuali ada anggapan bahwa Nabi memiliki kemampuan untuk memahami masalah yang dimiliki oleh penanya. Sehingga, sebagaimana hadis pertama seolah Nabi mengetahui bahwa masalah yang dimiliki Sahabat tersebut adalah mudah marah. Hal ini sebenarnya tidak berdasar mengingat ada pula nasehat Nabi yang dianggap tidak sesuai sebagai solusi bagi para Sahabat sebagaimana yang dijelaskan nanti. Dengan demikian, hadis yang berisikan materi nasehat kepada Sahabat tidak lebih dari sekedar saran sepengetahuan Nabi yang tentu sangat terkait dengan pengalaman dan praktek kehidupan Nabi sendiri. 3. Tindakan Kemanusiaan Nabi Muhammad Yang dimaksud dengan tindakan kemanusiaan adalah segala tindakah yang memang biasa dilakukan oleh manusia pada umumnya dan tidak memiliki keterkaitan terhadap wahyu Tuhan. Seperti sikap terhadap makanan maupun pakaian sebagaimana contoh berikut.

    83

    Dari Abu> Hurairah berkata, “Rasulullah tidak pernah mencela

    makanan sekalipun. Jika ia suka maka ia makan, dan jika tidak maka ia tinggalkan.”

    83

    Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 74.

    43

    84

    Dari Sali>m ibn ‘Abdillah, dari ayahnya ra. bahwa Nabi Saw pernah berkata, “Barang siapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat,” Lalu Abu> Bakr berkata, “Ya Rasulullah, salah satu pakaianku akan melorot kecuali aku ikat dengan benar.” Rasul kemudian berkata, “Engkau bukanlah orang yang melakukan hal itu karena sombong.” Dari hadis pertama didapati bagaimana kebiasaan Nabi terkait dengan makanan. Bahwa, selain makanan antara yang halal dan haram, tentu manusia memiliki selera yang berbeda dalam hal makanan. Dan poin penting yang lain adalah tidak sepatutnya mencela makanan yang tidak disukai. Hal ini adalah sebuah fitrah manusia yang sehari-hari menjadi kebiasaan manusia pada umumnya. Sehingga, dalam hal ini, tidak semua makanan yang pernah dimakan oleh Nabi menjadi sunnah dalam arti memiliki pahala tersendiri disamping makanan yang tidak pernah dimakan oleh Nabi seperti kurma dan durian tentu adalah hal yang berbeda. Adapun dalam hadis yang kedua menjelaskan tentang adab berpakaian, kadang menjadi perdebatan pada sebagaian kaum muslim. Hal ini terjadi karena pemahaman pada titik poin pelarangan, yakni apakah pada penjuluran pakaian ataukah pada tindakan kesombongan? Bagi mereka yang menganggap bahwa penjuluran menjadi titik poin maka mereka tidak akan menjulurkan pakainnya. Sedang bagi mereka yang menekankan pada kesombongan, maka jika penjuluran itu tidak berlebihan dan tidak disertai dengan kesombongan maka hal itu diperbolehkan sebagaimana yang dilakukan Abu> Bakar. Namun demikian, tulisan ini tidak akan mencoba mendebatkan keduanya melainkan mendiskusikan apakah tindakan kemanusiaan seperti makanan dan pakaian menjadi bagian dari mukjizat Nabi. Jawabannya tentu tidak. Hal ini karena dua hal yakni; pertama bahwa makanan dan pakaian semua diperbolehkan kecuali yang memang jelas 84

    Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 141.

    44

    adanya pelarangan baik dalam Alquran dan hadis. Kedua, makanan dan pakaian sangat terikat dengan waktu dan tempat. Sehingga, tidak bisa dikatakan gamis ataupun surban itu sunnah karena memang itu adalah pakaian Arab yang baik orang Islam ataupun non muslim pada zaman itu seperti Abu> Lahab dan Abu> Jahal juga memakai hal yang sama. Demikian pula dengan makanan seperti roti, kurma dan sebagainya. Dengan kata lain, sisi kemanusiaan Nabi adalah sama sebagaimana sisi kemanusiaan pada umumnya. 4. Kekeliruan Nabi Salah satu riwayat tentang kesalahan Nabi dalam memberikan yang paling sering disinggung ulama adalah tentang penyerbukan kurma secara manual sebagaimana hadis berikut.

    85

    Pengutipan hadis di atas bukan tanpa sebab. Hal ini, karena hampir setiap ulama yang membahas tentang kekeliruan Nabi maka hadis ini menjadi contoh umumnya. Seperti yang sudah dibahas di atas bahwa kekeliruan Nabi dalam memberikan saran terkait masalah keduniaan adalah hal yang wajar dan tidak mengurangi makna kenabian sedikitpun. Hal ini justru memperlihatkan sisi kemanusiaan Nabi yang memiliki kekurangan dan kelebihan pada sisi yang berbeda. Sebagaimana yang disampaikan Qad{i> ‘Iyad{ (476-544 H) berikut:

    Sepanjang berkaitan dengan urusan dunia, para nabi tidak diisyaratkan adanya jaminan dari kesalahan (‘ismah). Ketidaktahuan para nabi terhadap sebagian urusan atau kesalahan persepsi mereka terhadap persoalan dunia dari yang 85

    Muslim ibn Hajjaj al-Nisa>bu>ri>, al-Musnad al-S{ah}ih} (Beirut: Da>r al-Ihya>’ alTura>th al-‘Arabi>, tt) juz 5, 1735.

    45

    sebenarnya, itu tidak menodai citra mereka. Karena, perhatian utama mereka terkait dengan akhirat dan hal-ihwalnya serta persoalan syariat dan aturan-aturannya.86 Dengan demikian jelaslah bahwa adanya kesalahan dan kekeliruan Nabi tidak mungkin muncul menjadi bagian dari mukjizat Nabi. Namun, justru menunjukkan sisi fitrah kemanusiaan Muhammad Saw. Namun, yang menjadi pembeda antara kesalahan Nabi Saw dan manusia pada umumnya adalah bahwa manusia hampir pasti mengulang kesalahannya sedang Nabi Saw tidak pernah mengulang kesalahan tersebut.87 D. Hadis Nabi Muhammad sebelum Menerima Wahyu Alquran Kembali kepada persoalan pertama tentang makna kenabian baik sebagai rahmat Allah Swt ataupun kecerdasan akal manusia. Dalam hal ini perlu juga membahas bagaimana Muhammad sebelum mendapatkan risalah pertamanya di gua Hira. Untuk itu pembahasan terkahir pada bab ini akan difokuskan kepada dua hal yakni sisi kecerdasan teologis dalam bentuk rahmat Allah Swt pada Muhammad Saw sebelum menerima risalahnya dan sisi kecerdasan akal yang terlihat dari perkembangan psikologis dan intelektual Muhammad Saw itu sendiri. 1. Kecerdasan Rahmat Muhammad Pra-Kenabian Maksud dari kecerdasan rahmat disini adalah kelebihan dalam bentuk given yang langsung diberikan Allah. Kecerdasan atau kelebihan ini tidak melalui proses pembelajaran yang panjang. Selain itu, kecerdasan ini muncul sebagai bagian dari tanda risalah kenabian Muhammad Saw. Berikut ini adalah tiga contoh dari kecerdasan dalam bentuk rahmat Allah Ta’ala sebagai tanda kenabian Muhammad sebelum menerima risalahnya.

    86

    Al-Qad}i ‘Iyadh, al-Syifa> bi Ta’rif Huqu>q al-Mus}t}afa> (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyyah, tt), juz 2, 115-116. dalam Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah NonTasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 21. 87 Muh{ammad al-‘Aru>sy ‘Abd al-Qa>dir, Af’a>l al-Rasu>l Saw wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m (Jeddah: Da>r al-Mujtama’, tth) 24.

    46

    Pertama, adalah kisah pembelahan dada Muhammad sewaktu kecil. Muhammad H{usain Haekal mengisahkan bahwa pada masa itu usia Muhammad sekitar 3 tahun. Ia dibawah pengasuhan Halimah Sa’diyah. Saat di luar pengawasan, tiba-tiba teman seasuhan Muhammad lari menghampiri Halimah dan berkata, “Saudaraku dari

    Quraish itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Di dibaringkan, perutnya dibedah, diambil dan dibolik-balikkan.”88 Kemudian Halimah beserta suaminya pergi menemui Muhammad. Mereka menjumpai Muhammad sedang berdiri dengan wajah pucat, kemudian kami tanyakan, “Kenapa kau, nak?” Muhammad menjawab, “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki

    berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya, sedang aku tak tahu apa yang mereka cari.”89 Kisah sederhana ini sebenarnya sejalan dengan apa yang dimaksud dalam Alquran, “Bukankah sudah kami (Allah) lapangkan

    dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban darimu? Yang telah memberati punggungmu.”90 Namun demikian, kehadiran kisah ini menegaskan bahwa memang Muhammad telah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Allah untuk membawa risalah-Nya kepada manusia. Hal ini pula yang yang menjadi cikal bakal perbedaan sikap yang diberikan baik dari keluarga Halimah maupun keluarga Muhammad nantinya. Kedua, kisah ramalan rahib yang mengungkapkan adanya tanda kenabian yang dibawa Muhammad. Dalam usianya sekitar 12 tahun, Muhammad diajak oleh pamannya Abu> T{al> ib untuk melakukan perdagangan ke Syam. Saat perjalanan itulah Abu> T{al> ib bertemu dengan Buh{aira dan bertanya kepada Abu> T{al> ib, “Apa hubunganmu dengan anak ini?” Abu> T{al> ib menjawab, “Dia adalah anakku.” 88

    Muhammad Husain Haekal, Terj. Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Lentera Natra Nusa, 2000), 51. 89 Kisah lebih panjang dari riwayat Halimah lihat, Muh}ammad ibn H{ibba>n, S{ah}ih} ibn H{ibba>n (Beirut: Mausu>’ah al-Risa>lah, 1993), juz 14, 244. Dalam riwayat lain Ibn H{ibba>n juga meriwayatkan tentang bagaimana proses pencucian hati Muhammad dengan air zamzam; Shaki>r Mah{mu>d Isma>’il, “Al-Ah{dath al-Ma’thurah fi> Haya>t al-Rasu>l.” Majallah Ja>mi’ah al-Anba>r 1, no. 4 (2011) : 125. 90 QS. Al-Insyirah [94] : 1-3.

    47

    Mendengar hal itu Buh{aira nampaknya tidak percaya dan berkata, “Tidak, dia pasti bukan anakmu. Ayah anak ini pasti sudah meninggal.” “Sebenarnya dia keponakanku,” kata Abu> T{a>lib. Mendengar hal itu Buh{aira meminta Abu> T{al> ib menceritakan bagaimana nasib ayahnya dahulu. Akhinya Buh{aira berkata pada Abu> T{al> ib, “Sekarang segeralah pulang ke negerimu. Jagalah anak ini baik-

    baik dari orang Yahudi. Demi Allah, kalau saja orang-orang Yahudi melihat anak ini, mereka pasti menimpakan hal yang sangat buruk kepadanya. Sungguh, keponakanmu ini kelak akan mengemban sebuah perkara yang sangat besar.”91 Sebagaimana kisah sebelumnya, hal ini tentu membuat Abu> T{al> ib makin besar perhatian dan penjagaanya kepada Muhammad. Di sisi lain perhatian dan ramalan Muhammad membuat rahib seperti Buhaira menjadi sadar dan mengetahui akan datangnya sebuah peristiwa besar, yakni diangkatnya seorang Nabi baru. Yang terakhir adalah kisah yang disampaikan sendiri oleh Nabi Muhammad sebagaimana bahwa ia tidak pernah berniat melakukan sesuatu yang biasa dilakukan oleh orang-orang pada masa jahiliyyah, kecuali hanya dua kali. Akan tetapi, pada kedua kesempatan itu pula Allah Swt. menghindarkan diri Nabi dari hal buruk. Selanjutnya, Nabi tidak pernah berniat melakukan hal buruk itu lagi sampai Allah Swt memuliakan dirinya dengan misi kerasulan. Pada suatu malam, Nabi berkata kepada seorang anak muda yang menggembala domba bersamaku di dataran tinggi kota Mekah, “Bagaimana jika kau menjaga dombaku agar aku dapat memasuki kota

    Mekah untuk mengobrol sebagaimana layaknya yang dilakukan para pemuda lainnya?” Temannya menjawab, “Baik, akan aku lakukan.” Muhammad muda pun pergi. Setibanya di rumah pertama yang ia lewati di Mekah, ia mendengar suara riuh. Nabi pun bertanya, “Apakah yang terjadi?” Orang-orang menjawab, “Ada pesta pernikahan.” Nabi pun ikut duduk mendengar tetabuhan itu. Sesaat kemudian, rupanya Allah menutup telinganya sehingga tertidur. Lalu Nabi terbangun 91

    Said Ramadha>n al-Bu>ty, Fiqh al-Si>rah al-Nabawiyah (Damaskus: Da>r alFikr, 1991), 48.

    48

    setelah tertimpa sinar mata hari yang terbit keesokan harinya. Nabi segera kembali menemui temannya. Kemudian teman Nabi menanyakan tentang perjalanannya. Maka, Nabi ceritakan yang ia alami. Di malam yang lain, Nabi kembali meminta temannya menjaga dombanya lagi. Kembali Nabi mengalami hal serupa, seperti yang terjadi malam sebelumnya. Setelah itu, Nabi tidak pernah lagi berniat melakukan hal buruk yang sama.92 Dalam kisah yang disampaikan oleh Nabi di atas menunjukkan bahwa memang sebelum menerima risalah kenabian Muhammad sama seperti anak muda pada umumnya. Pada usia itu Muhammad masih memiliki sifat canda gurau, bermain dan mungkin sifat kenakalan. Namun demikian, sifat kecerdasan rahmat dalam bentuk penjagaan dari sifat buruk manusia telah dimiliki oleh Nabi Muhammad sejak muda. Karena itu, sifat maksum dalam bentuk penjagaan dari dosa sebenarnya telah dimiliki jauh sebelum menerima wahyu. Sebaliknya, kebaikan akhlak yang dimiliki Nabi memang langsung mendapatkan ajaran dari Allah sebagaimana perkataan Nabi berikut, 93

    Bahwa sungguh kebaikan akhlak Nabi tidaklah datang dengan sendirinya melainkan Allah yang langsung memperbaiki dan mengajarkannya. Dengan demikian Nabi Muhammad memang telah jauh hari dipersiapkan sebagai Nabi sebelum pertama kali ia menerima wahyu. Kebaikan perangai ini tentu tidak bisa serta merta dipisahkan dari sisi kenabian dan kemanusiaan yang menyatu dalam diri Muhammad. Karenanya, meskipun Nabi berijtihad, namun sangat mungkin Allah akan meluruskan jika terjadi kesalahan fatal pada Nabi yang mungkin bisa merubah kesucian misi risalah Muhammad Saw.

    92

    Said Ramadhan al-Buty, Fiqh al-Si>rah al-Nabawiyah, 45 Fais}al ibn ‘Abd al-‘Azi>z ibn Fais}al, Tatriz Riya>d} al-S{alih}i>n (Riyad: Da>r al‘Asimah, 2002), 408. 93

    49

    2. Kecerdasan Akal Muhammad Pra-Kenabian Selain kecerdasan rahmat yang bersifat given dari Allah tanpa melalui proses pembelajaran, Muhammad hidup sebagaimana manusia biasa yang berproses dengan lingkungan dan pengalaman hidupnya. Kecerdasan akal intelektual yang ia miliki memang dimulai sejak kecil. Dari sisi bahasa misalnya, Rasul pernah mengatakan, “Aku yang

    paling fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraish tapi diasuh di tengah-tengah keluarga Sa’d ibn Bakr.”94 Sehingga, hal ini yang menjadikan pola bicara Muhammad begitu fasih dan memiliki tutur kata yang baik di mata masyarakat, selain kemudian menjadi kemampuan sebagai orator yang luar biasa. Namun, disamping masalah bahasa ada hal lain yang membibit Muhammad menjadi sosok yang memiliki psikologi yang kuat, dan tidak mudah bergantung pada manusia yakni kehidupan masa kecilnya. Sejak bayi ia telah menjadi yatim ditinggal ayah, belum genap 7 tahun ibunya pun meninggal, hingga kakeknya yang sangat dihormati kaum Quraish pun meninggal saat mengasuh Muhammad. Dalam perkembangan intelektualnya tentu hal ini yang membuat Muhammad menjadi manusia yang mandiri, tidak mudah menyerah dan kuat dalam kepribadiannya. Inilah modal besar kecerdasan akal yang ia miliki. Dari segi pandangan masyarakat Muhammad pun tak kalah cerdasnya. Kebaikan akhlaknya yang baik itu muncul dari didikan Allah Swt sebagaimana di atas maupun karena lingkungan keluarga yang terpandang telah membawa Muhammad sebagai sosok yang cerdas dan mudah dipercaya siapapun. Hingga tak heran ia kemudian memiliki julukan al-ami>n yang berarti bisa dipercaya. Sebuah kisah turunnya Surat al-Lahab pun menjadi saksi tentang hal ini. Pada waktu itu perintah berdakwah sudah mulai turun kepada Muhammad. akhirnya Muhammad kemudian mengumpulkan seluruh keluarganya serta suku-suku di sana dan berkata, “Hai

    manusia, andaikata aku berkata bahwa ada pasukan yang akan menyerangmu di balik bukit, apakah kalian mempercayaiku?” Maka

    94

    Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 53.

    50

    jawaban yang sungguh sulit diberikan kepada orang lain, “Benar, tidak sekalipun kami mendapatimu kecuali selalu berkata benar.”95 Selanjutnya kecerdasan Muhammad dalam meyelesaikan sebuah persoalan terlihat dalam peristiwa pembangunan Ka’bah. Akhibat dari sebuah bencana banjir Ka’bah mengalami kerusakan cukup berat karenanya para kabilah Quraish mengusulkan adanya pembangunan kembali. Namun masalah muncul diakhir pembangunan Ka’bah itu. Yakni, kabilah mana yang berhak menempatkan Hajar Aswad yang disucikan para kabilah itu? Pertengkaran mulut terjadi antar kabilah dan akhirnya Abu> Umayyah ibn al-Mughi>ra dari Bani Maktum sebagai orang tertua diantara pemimpin kabilah itu berkata, “Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama kali memasuki pintu Shafa ini.” Kala mereka melihat ternyata Muhammad orang pertama yang memasuki tempat itu, mereka pun berteriak, “Inilah al-Amin, kami dapat menerima keputusanmu.” Akhirnya mereka menceritakan masalah ini kepada Muhammad. Dan sungguh yang menjadi perhatian kemudian, bukanlah Muhammad yang mengangkatnya sendiri namun ia meminta sehelai kain. Kemudian dengan kain itu dibentangkan dan diletakkan batu ditengahnya kemudian meminta para pimpinan kabilah untuk mengangkatnya mendekati tempat dimana batu itu harus diletakkan. Setelah dekat barulah Muhammad meletakkan batu itu ketempat semula.96 Inilah bentuk kecerdasan akal Muhammad yang tidak banyak dimiliki orang lain masa itu. Mengenai keagamaan Muhammad Saw sebelum menerima kenabian selain karena faham yang diwariskan oleh keluarganya, Nabi sendiri tidaklah pernah menyembah berhala. Hal ini beliau sampaikan, “Demi Allah aku tidak pernah menyembah Lata selamanya dan tidak pula ‘Uzza.”97 Dengan demikian terlihatlah bahwa sosok Nabi Muhammad Saw tidak serta merta menjadi Nabi tanpa melewati proses pembibitan 95

    Muh}ammad ibn Isma>il al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-Musnad, juz 6, 111. Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 68-69 97 Ah{mad Ibn H{ambal, Musnad al-Ima>m Ahmad (Riyadh: Muassasah Risalah, 2001) juz 38, 166 96

    51

    kecerdasan. Baik pembibitan yang ia peroleh secara teologis maupun dari pengalaman hidupnya. Secara umum nampak bahwa memang Muhammad sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk membawa risalah kenabian. Kecerdasan akal dan kecerdasan teologis meliputi segala perilaku kehidupannya dalam menyelesaikan persoalan.

    52

    BAB III MUS{T{AFA< S{ABRI< DAN PROBLEMATIKA IJTIHAD NABI

    A. Alam Pemikiran Mus{t{afa> S{abri> (1869-1954) Pembiacaraan tentang sosok Mus}t}afa> S{abri> tidak akan berkepanjangan dalam penelitian ini. Karenanya dalam menggambarkan sosok Mus}t}afa> S{abri> setidaknya bisa dirangkum dalam tiga aspek berikut: pertama, sekilas tentang kehidupan dan latar belakang yang membawai sosok pelaku dalam bentuk biografi singkat. Kedua, karya dan alam pikiran yang membawainya sebagai seorang tokoh intelektual Islam pada zamannya. Ketiga, kritik terhadap sarjana modern sebagai bentuk bukti bahwa memang ia ikut serta dalam perdebatan para sarjana Islam pada masa hidupnya. 1. Biografi Singkat Mus}t}afa> S{abri>, ia adalah anak dari Ah}mad ibn Muh}ammad alQazabadi> yang lahir pada 12 Rabiul Awwal 1286 H atau sekitar tahun 1869 M di kota Tokat ( ), Turki.1 Ia telah hafal Alquran pada umur 9 tahun, karenanya ia dikenal sebagai al-h}afiz}. Kemudian ia melanjutkan studinya di kota Keyseri ( ). Yakni, sebuah pusat pendidikan Islam pada masa Ottoman Turki. Di sana ia belajar berbagai ilmu seperti mantiq dan ilmu jada>l wa al-muna>zarah.2 Setelah dari Keyseri, S{abri> berpindah ke Istanbul untuk belajar ilmu al-‘aqa>id dan us}u>l al-fiqh. Di sana S{abri> belajar kepada seorang intelektual Turki Ahmed Asim Effendi (1836-1911). Di Istanbul ini S{abri> juga menikahi Ulviye Hanim pada tahun 1892 M. Dari 1

    ‘Umar Jaida>l, “Ra>id al-Fakr al-Isla>mi al-Hadi>th: Shaikh al-Isla>m Mus{t{afa> S{abri>”, Hira’ 5 (2006) : 58. 2 Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.” Islamic Studies 48, No. 1 (2009) : 5.

    53

    perkawinan ini S{abri> dikaruniai dua anak perempuan Sabiha dan Nezahet serta seorang anak laki-laki bernama Ibrahim.3 Setelah mencapai pendidikan sebagai Ru’u>s Tadri>s pada tahun 1890 S{abri> kemudian ditunjuk sebagai pengajar di Ja>mi’ Sult}a>n alFa>tih. Di sana ia mengajar Tafsir, Hadis, Usul al-Fiqh dan Ilmu alBayan.4 Tahun 1896 S{abri> ditunjuk sebagai Imam di masjid Besiktas Asariye. Setahun kemudian 1897 di ditunjuk sebagai salah satu mukha>t}ab (komentator) terhadap Huzur Dersleri, yakni yang bertugas memberikan komentar terhadap tanya jawab Alquran dan hadis.5 Pada masa inilah kemudian Sultan ‘Abd al-H{amid II (1842-1918) memberikan perhatian kepada S{abri>, bahkan ia sempat berkomentar, “Sarjana muda ini memiliki sisi lain yang berbeda dan kecerdasan yang harus terus dibangkitkan.”6 Karena itulah kemudian Sultan ‘Abd alH{amid II menujuk S{abri> sebagai pimpinan perpustakaan milik Sultan sejak 1900 hingga 1904. Pada tahun 1904 S{abri> kembali ditunjuk sebagai pengajar di Ja>mi’ Sult}a>n al-Fa>tih dan di sanalah kemudian ia mendapat penghargaan berupa medali Ottoman. Lalu pada 1905 S{abri> dipilih sebagai anggota komite sarjana dan peneliti studi Islam (Tadqiqa>t wa Ta’lifa>t Isla>miyyah hay’ati Ilmiyyasi).7 Di sanalah ia kemudian bergelut dengan perdebatan dan studi para sarjana Islam modern. S{abri> juga pernah ditunjuk untuk mengajar tafsir Alquran di Madrasat alWa>’izi>n dan Da>r al-Funu>n.8 Pada November 1918 S{abri> ditunjuk sebagai anggota Academy for Islamic Philosophy. Lalu sebulah kemudian, tepatnya 25 Desember 1918 S{abri> ditunjuk sebagai profesor 3

    Mehmet Kadri Karabela, One of The last Ottoman Suyaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution (Tesis di Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, 2003), 37. 4 Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.” 7 ; Mehmet Kadri karabela, Mustafa Sabri Efendi, 37. 5 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 38. 6 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 38. 7 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 39; Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.” 7. 8 Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.”, 8.

    54

    dalam bidang hadis di perguruan Sulemaniye Darul Hadis. Ini adalah posisi tertinggi dalam hirarki keulamaan pada masa itu.9 Penunjukan sebagai Syaikh al-Islam Setelah berakhirnya perang dunia I (1914-1918) Turki telah banyak dikuasai pihak Sekutu. Ini adalah masa yang sulit bagi kerajaan Ottoman Turki. Saat inilah kemudian Sabri ditunjuk sebagai Syaikh al-Islam pada masa kekuasaan Damat Ferit pada Meret 1919. Saat itu S{abri> memimpin mazhab Hanafi yang dulunya dipegang oleh Muhammed Zahid Kevseri (1879-1952).10 Sayangnya penunjukan S{abri> sebagai Syaikh al-Islam tidak berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian S{abri> tidak setuju dengan kebijakan kabinet Damat Ferit yang menganggap bahwa Ferit tidak pantas menduduki perdana menteri. Karena masalah ini, akhirnya S{abri> melepaskan jabatannya sebagai Syaikh al-Islam pada September 1919. Namun demikian sultan Mehmet VI Vahdettin memberikan beberapa posisi kepada S{abri> agar tidak keluar dari pemerintahan. Pada Oktober 1919 S{abri> ditunjuk sebagai anggota Senat seumur hidup. Bahkan kemudian ia pun diangkat kembali sebagai Syaikh alIslam dan menjadi Ketua Dewan Negara pada Juli 1920. Namun demikian S{abri> pun nampaknya banyak tidak menyetujui kebijakan para menteri di kabinet ini dan akhirnya ia pun kembali melepaskan jabatannya sebagai Syaikh al-Islam pada 25 Sebtember 1920. Jadi, secara keseluruhan ia menduduki jabatan Syaikh al-Islam selama 8 bulan dan 21 hari.11 Setelah bergantinya kekuasaan Turki Usmani kepada Mus}t}afa> Kemal Ataturk (w. 1357/1938), kerajaan Ottoman mengalami kekacauan yang cukup drastis. Hal ini membuat S{abri> meninggalkan negaranya guna mendapatkan keselamatan bagi keluarganya.12 Selama 10 tahun sejak 1340/1922 hingga 1351/1932 S{abri> berpindah-pindah 9

    Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 40. Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 45. 11 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 45-46. 12 Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.”, 8. 10

    55

    negara seperti Mesir, Hijaz, Libanon, Romania dan Yunani. 13 Pada saat-saat itu S{abri> menjadi salah seorang dari 150 tokoh terkenal yang diawasi ketat oleh pemerintahan Turki hingga tahun 1342/1924.14 Namun pada akhirnya pada 1351/1932 S{abri> kembali ke Kairo dan ia memperoleh ampunan dari Mus}t}afa> Kemal pada 1357/1938. S{abri> pun menolak pemberian maaf dari Mus}t}afa> Kemal dan berkata, “Dia telah memaafkanku, tapi aku tidak akan pernah memaafkannya.”15 Akhirnya iapun tetap dalam pengasingannya di Kairo, Mesir dan meninggal di sana pada 12 Maret 1954.16 2. Karya dan Alam Pikiran Seorang Mus}t}afa> S{abri> sebagai tokoh intelektual tidak akan lepas dari karya yang ia berikan kepada peradabannya. Setidaknya ia telah menulis 40an buku termasuk artikel baik yang berbahasa Turki maupun bahasa Arab. Hal yang menarik pada setiap tulisannya adalah S{abri> selalu memulai dengan pendahuluan, kemudian memberikan penjelasan tentang pendekatan tulisan dan metodologi yang pada saat itu masih jarang dipakai para penulis pada umumnya.17 Dalam setiap gaya tulisannya, cukup sulit untuk menerka keahlian seorang S{abri> karena memang sering kali ia memasukkan berbagai bidang studi ilmu seperti logika, studi Islam, filsafat baik klasik, pertengahan maupun modern, literatur Arab, dan juga hukum.18 Berikut ini adalah beberapa buku karya Mus}tafa> S{abri>: 1. Islam’da Muna>kasaya hedef Olan Mes’eleler (Isu-isu Kontroversi dalam Islam), Istanbul, 1908-1912, setebal 208 halaman.

    13

    Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.” 8; Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 47-48. 14 Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.”, 8. 15 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi 50. 16 Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.”, 9; Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 50. 17 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 54. 18 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 55; Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.”, 9.

    56

    2. Yeni Isla>m Muctehidlerinin Kiymet-I Ilmiyyesi (Gagasan-gagasan Intelektual Muslim Reformis Kontemporer), Istambul, 1919. 164 halaman. 3. Dini> Mucedditler, Yahud, Turkiye Icin Necat ve I’tila Yollarinda Bir Rehbeh (Para pembaharu Agama, Sebuah Panduan untuk keselamatan dan Kemajuan Turki), Istanbul, 1922. 365 halaman. 4. Qawli> fi> al-Mar’ah wa Muqa>ranatuhu bi-Aqwa>l Muqallidah alGharb (Pendapatku tentang Perempuan dan Perbandingan dengan Mereka yang Terpengaruh barat), kairo, 1935. 92 halaman. 5. Al-Qawl al-Fas}l Baina allad{i>na Yu’minu>n bi’l-Ghayb wa allad{i>na La> Yu’minu>n (Persoalan Utama antara mereka yang beriman dan Tidak Beriman), Kairo, 1942. 244 halaman. 6. Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘Ala>m min Rabb al-An wa Iba>dihi al-Mursali>n (Kedudukan akal, Pengetahuan dan Dunia dalam Memandangan Tuhan dan Utusan-Nya), kairo, 1950. 4 volume, 2018 halaman.19 Selain keenam di atas tentu masih banyak karya lain dari Mus}t}afa> S{abri>. Terlebih dalam catatan Karabela, S{abri> selain menulis buku dia juga aktif menulis artikel baik berbahasa Turki maupun Arab, berbagai mansukrip yang tidak sempat diterbitkan, terjemahan dan juga buku-buku sastra seperti musik dan puisi.20 Dari pembacaan sekilas tentang berbagai karyanya dan juga kehidupannya sangat terikat dengan masalah agama dan juga masalah sosial yang dihadapi semasa hidupnya. Terkait masalah agama, S{abri> menjelaskan bahwa agama adalah hal dasar yang paling prinsipil dan pendapat yang sudah baku. Jadi, agama tidak bisa dirubah oleh siapapun.21 S{abri> secara jelas membedakan iman dari amal dan menjelaskan bahwa Islam lebih cenderung kepada agama iman dari pada amal semata. Hal ini dikarenakan iman seseoranglah yang menentukan amal itu diterima atau tidak dalam agama.22 19

    Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 54-59. Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 50-64. 21 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 65. 22 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 66. 20

    57

    S{abri> juga memiliki gagasan tersendiri mengenai tasawuf. Tasawuf bagi S{abri> telah menempatkan dirinya sendiri terhadap reaksi yang irrasional dan emosional melawan mazhab filsafat positifis dan rasional yang berkembang pada abad 19 dan 20. Tentunya hal ini memiliki kelemahan tersendiri bagi dunia modern. Bahkan, S{abri> menilai bahwa di bawah bimbingan al-Ghaza>li> (w. 505 H), Islam telah menjadi kepercayaan mistis dari pada agama yang rasional.23 Padahal ilmu pengetahuan Islam seperti fiqh, tafsir dan hadis telah mencukupi apa yang ada dalam beragama.24 Terkait dengan tasawuf dan filsafat Islam, S{abri> memberikan pendapat berbeda terkait dengan sumber ilmu pengetahuan. S{abri> menilai bahwa sumber pengetahuan ada tiga; pertama kelima indra, kedua khaba>r al-s}a>diq seperti quran dan hadis, ketiga adalah akal. Sedang ilham sebagaimana yang dipegang para sarjana muslim lain bagi S{abri> tidak bisa menjadi dasar sumber ilmu pengetahuan. Ilham bukanlah bagian tersendiri dalam ilmu pengetahuan, namun ia adalah pergumulan dari akal yang bersentuhan dengan pengalaman dan analisis. Karena itu, akallah yang pada akhirnya memastikan kebenaran dalam proses berfikir.25 3. Kritik Terhadap Sarjana Modern Sebagai seorang sarjana muslim dalam masa transisi Islam yang luar biasa pada masa itu, S{abri> cukup intens memberikan kritikan dan argumen terhadap sarjama muslim lain. Hal ini karena memang perdebatan intelektual muslim pada masa itu cukup masif. Berikut ini akan penulis berikan beberapa contoh sarjana muslim yang sempat menjadi bahan kritikan oleh Mus}t}afa> S{abri> yakni; Muh{ammad ‘Abduh (w. 1905), dan Muh{ammad H{usain Haikal ( w. 1956), Farid Wajdi> (w. 1954), dan juga Rashid Rid{a> (w. 1935). Perdebatan ini setidaknya 23

    Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘An wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 270 dan juz 2, 102-113 24 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 68. 25 Mehmet Kadri Karabela, Mustafa Sabri Efendi, 69-70; Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘An wa ‘Iba>duhu alMursali>n, juz 1, 236.

    58

    menggambarkan posisi S{abri> sebagai seorang tokoh intelektual muslim pada zamannya. Pertama tentang definisi kenabian yang dibawa oleh Muh{ammad ‘Abduh. Definisi ini dinilai oleh S{abri> sebagai definisi yang ambigu, tidak jelas dan banyak memunculkan kekeliruan. Adapun ‘Abduh berpendapat bahwa Nabi adalah:

    Seorang manusia yang selalu mengungkapkan kebenaran baik secara teori maupun praktis. Yakni, ia tidak mengetahui sesuatu selain kebenaran dan tidak melakukan sesuatu selain kebenaran yang selalu memunculkan hikmah dan kebijaksanaan. Semua ini terjadi secara natural, tidak dengan upaya intelektual atau pembelajaran namun lebih kepada petunjuk ketuhanan.26 Bagi S{abri> definisi tersebut tidak cukup karena hanya memfokuskan pada sosok kemanusiaan yang itu bisa lahir secara natural dan bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan, S{abri> menganggap bahwa definisi Muh{ammad ‘Abduh tentang karakteristik kemanusiaan dalam kenabian telah mengesampingkan makna agama, wahyu, mukjizat dan tentunya adalah makna Ketuhanan.27 Agama tidak terpisahkan dengan kenabian, karenanya bisa saja seseorang berbuat kebenaran dan mengungkapkan kebenaran, namun jika ia tidak menjelaskan tentang agama tentu ia tidak dianggap sebagai nabi dan mungkin hanya sebagai ahli hikmah semata. Demikian pula tentang wahyu, mukjizat dan juga ketuhanan. Kedua tentang kecerdasan seorang Nabi. S{abri> banyak menelaah perkembangan buku sejarah kehidupan nabi Muhammad yang ditulis oleh para sarjana muslim saat itu. Dari sejumlah buku yang ditelaah S{abri> seperti H{aya>t Muh}ammad karya Muh{ammad 26

    Muh}ammad ‘Abduh, Ta’liqa>t al-Syaikh Muhammad ‘Abduh ‘ala> Sharh alDawwani> li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyyah (Kairo: al-Matba’ah al-Khairiyyah, 1291 H), 152; Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘An wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 4, 40-41. 27

    Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.”, 12; Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘An wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 4, 40-41.

    59

    H{asain Haekal, al-Si>rah al-Muh{ammadiyah tah{ta D{aw al-Ilm wa alFalsafah karya Muhammad Farid Wajdi> dan beberapa lainnya, S{abri> menyimpulkan bahwa buku-buku tersebut lebih banyak menampilkan sosok kejeniusan seorang nabi dari pada pemberian Tuhan dalam bentuk kenabian pada manusia.28 Bagi S{abri> kecerdasan dalam diri dan bentuk kenabian adalah dua sisi yang berbeda. Meskipun yang tampak kadang kejeniusan itu lebih unggul dari pada kenabian, namun kenabian pasti lebih memiliki kelebihan dan kebenaran dari pada hanya kejeniusan sosok manusia.29 Dalam posisi inilah sejarah nabi menjelaskan bahwa memang kejeniusan nabi kadang ketika berujung pada kesalahan atau ketidaktahuan Nabi, wahyu sebagai bagian dari kenabian itu lebih banyak memberikan jawabannya. Sehingga, kejeniusan –yang dalam bahasa lain karya dari kejeniusan ini adalah ijtihad– bisa pula memiliki unsur kesalahan sebagaimana manusia biasa. Namun demikian, S{abri> memahami bahwa penekanan terhadap penulisan kecerdasan sosok nabi ini adalah karena berkembangnya fenomena yang memunculkan apresiasi terhadap kejeniusan akal lebih besar dari pada sosok kenabian. Hal ini kemudian menekan para Sarjana Modern untuk memberikan bahasan yang sama sebagai bentuk “menyerah” terhadap perdebatan logika dan teknologi modern.30 B. Makna Ijtihad dalam Kepribadian Nabi Kepribadian Nabi yang yang masih mengandung unsur kemanusiaan penting dalam kaitannya dengan ijtihad. Untuk itu pembahasan tema ini akan menjabarkan apa kedudukan ijtihad dalam kajian baik filosofis sebagai bagian dari hasil pikiran manusia maupun pada sisi yuridis dalam perdebatan ada dan tidaknya pada diri seorang Nabi yang muncul sebagai sumber hukum. 28

    Faruc Terzic, “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}t}afa> S{abri>’s Response.”, 16. 29 Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘An wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 4, 9. 30 Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘An wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 113.

    60

    1. Pengertian Ijtihad dalam Islam Ijtihad bermula dari kata yakni “ja ha da” yang berarti kesulitan atau kesusahan. Kata ijtihad berasal dari kata yang berarti kemauan dan kesulitan ( ), kata ini memiliki derivasi yang sama dengan kata . Misalnya pada yang berarti mencurahkan kemampuan dan daya untuk menghilangkan segala kelemahan demi mencapai suatu tujuan tertentu.31 Dengan demikian, respon terhadap kesulitan maupun keinginan manusia terhadap sesuatu bisa dikatakan sebagai ijtihad. Dalam Islam kata ijtihad selalu dikaitkan dengan penentuan sebuah hukum tertentu. Al-Ghaza>li> (w. 505 H) misalnya mengatakan bahwa ijtihad adalah, 32

    Yakni “mencurahkan segala kemampuan seorang mujtahid dalam mencari sebuah ilmu dengan hukum syariat.” Sejalan dengan hal tersebut al-Baid{awi (w. 685 H) juga mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan dalam mencari hukum-hukum syariat.33 Penjelasan-penjelasan di atas menggambarkan bahwa kata ijtihad sering dikaitkan dengan masalah sumber hukum Islam. Alquran dan hadis adalah sumber hukum Islam yang pasti dan diakui oleh seluruh umat Islam. Namun demikian, jika suatu masalah tidak ditemukan solusinya pada kedua nash tersebut disinilah fungsi ijtihad itu bermain. Abu> Zahrah (w. 1394 H) mengatakan bahwa ijtihad dalam hal ini adalah qiyas. Ia mengutip Imam Sha>fi’i> (w. 204 H) yang mengatakan bahwa,

    31

    Wahbah Zuh{aili, Us}u>l al-Fiqh al-Islami> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986), 1037; lihat pula Ibn Munz}ir, Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Sin al-‘Arab, tth) juz 2, 133-134. 32 ‘Abd al-Wahhab Khallaf, Mas{a>dir al-Tashri’ al-Islam (Kuwait: Da>r alQalami>, 1972) 7: Saim Kayadibi, “Ijtihad by Ra’y: The Main Source of Inspiration behind Istihsan”, The American Journal of Islamic Social Science 24, no 1, (2007) 75. 33 Al-Baidhawi, Minha>jul Wus{u>l, (Beirut: Muassasah Risalah, 2006) 7.

    61

    Setiap persoalan pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dilakukan pendekatan yang pasti maka harus dicarikan pendekatan yang sah, yakni dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.34 Pendapat Imam Sha>fi’i> (w. 204 H) tersebut menggambarkan peran akal dalam diri manusia untuk menentukan sebuah hukum. Manusia tidak mungkin terlepas dari daya nalar akalnya, bahkan dalam beragama sekalipun. Secara sederhana hal ini juga tergambar dalam hadis Mu’az ibn Jabal berikut,

    35

    Kata ra’y di atas menunjukkan bagaimana akal menjadi pondasi kuat sebagai sumber dalam menentukan sebuah hukum kala wahyu dalam hal ini Alquran dan hadis tidak mampu menjawab sebuah persoalan. Namun demikian, pembahasan dalam tesis ini tidak terpaku dalam soal bagaimana seorang manusia biasa berijtihad, tapi pada seorang Nabi utusan Allah Swt. Agaknya, pentingnya akal ini menjadi sisi utama kemanusiaan dalam melakukan tindakan. S{abri> menilai bahwa ijtihad adalah hasil dari penafsiran atau penalaran terhadap sebuah pengalaman dan percobaan. Sehingga, tak mungkin Nabi berijtihad tanpa sebab.

    34

    Muh{ammad Abu> Zahrah, Ushul Fiqih, Terj. Hamdan rasyid dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), 336. 35 Abu> Dau>d Sulaima>n al-Sijista>ni> (w. 275 H), Sunan Abu> Dau>d (Beirut: Maktabah al-‘Asriyah, Tth) juz 2, 303.

    62

    Bahkan S{abri> mengatakan pengalaman tanpa adanya penalaran adalah tuli dan tindakan tanpa penalaran adalah buta.36 Dengan demikian, sebagaimana pembahasan pada bab kedua bahwa Nabi adalah manusia biasa sebagaimana manusia umumnya tanpa ada perbedaan.37 Sedang makna kenabian itu muncul pada penerimaan risalah atau pesan Allah kepada Nabi untuk manusia umumnya. Namun demikian, kemanusiaan Nabi juga menuntut adanya ijtihad yang dilakukan oleh Nabi dalam menghadapi persoalan baik masalah agama maupun yang lainnya. 2. Antara yang Setuju dan Tidak Akan Adanya Ijtihad Terkait masalah ijtihad dalam diri Nabi para ulama menjadi dua kelompok yakni mereka yang setuju akan adanya ijtihad dan mereka yang tidak setuju terhadap adanya ijtihad pada diri Nabi.38 Selain itu ada pula sekelompok lain yang mendiamkan masalah ini. Perbedaan ini tentu menjadi konsekuensi langsung terhadap pertanyaan apakah ijtihad Nabi itu sejajar dengan wahyu atau tidak.39 Di sisi lain, karena alasan rasional dan akal manusia, keharusan adanya ijtihad Nabi menjadi penting apalagi terkait dengan masalah keduniaan bahkan peperangan. Namun demikian sebelum membagi antara yang setuju dan tidak, Sayyid T{ant}a>wi> (w. 2010 M/ 1431 H) memberikan penjelasan bahwa sebenarnya secara umum para ulama setuju dengan adanya ijtihad yang dilakukan Nabi mengenai hal duniawi, namun malasah agama hal tersebutlah yang diperdebatkan bahkan dilarang.40 Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘An wa ‘Iba>duhu al-Mursali>n, juz 1, 235-236.. 36

    37

    Al-‘Umri mencatat kemanusiaan Nabi bahkan menunjukkan bahwa Nabi juga tidak mengetahui hal ghaib kecuali yang memang telah ditunjukkan Allah kepadanya. Lihat Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985), 19-20 lihat juga surat Hud [11]: 31 dan al-An’am [4]: 50. 38 Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” Islamiyyat 32 (2010): 65. 39 Zainuddin MZ, “Kontroversi al-Hadi>th al-Syari>f Wahyu Ilahi Atau Ijtihad Nabi?” Sunan Ampel, Jurnal Profetika 9, no. 1, (2007): 4-5. 40 M. Sayyid T{ant}awi>, Konsep Ijtihad Dalam Hukum Syarak. Terj. Safri Mahayedin, (Kuala Lumpur: Institute Terjemahan Negara Malaysia, Cet. 2 2009), 44.

    63

    Berkaitan dengan adanya ijtihad pada diri Nabi, Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid setidaknya memberikan 4 gambaran. Pertama, dari sudut realitas Nabi diperbolehkan melakukan ijtihad secara mutlak karena haru menyelesaikan persoalan baru tanpa harus menunggu wahyu. kedua, ijtihad secara umum hanya berlaku pada urusan keduniaan semata dan bukan pada urusan syariat. Ketiga, meskipun dalam realitasnya Nabi berijtihad, namun dalam catatan alGhaza>li> (w. 505 H)41, tidak ada nash yang menunjukkan keharusan ijtihad itu sendiri. Keempat, secara umum keberadaan ijtihad hanya berlaku setelah Nabi menunggu wahyu terlebih dahulu.42 Alasan pembolehan ijtihad yang dilakukan oleh Nabi bisa dilihat dari dua aspek, pertama aspek nash baik Alquran maupun hadis dan kedua adalah alasan rasional. Dalam kaitan nash Alquran, Allah menyebutkan dalam surat al-An’am,

    76 76 Ayat di atas berikaitan dengan masalah tawanan perang yang disepakati Nabi setelah bermusyawarah dengan para Sahabat.43 Teguran yang disampaikan Allah Swt kepada Rasulullah nampak jelas menjadi pedoman akan adanya ijtihad yang dilakukan oleh Nabi. Namun demikian, Nadiyah Shari>f al-‘Umri menyatakan bahwa adanya kesalahan dalam ijtihad Nabi adalah isyarat yang jelas akan adanya pemikiran manusia yang dalam kecerdasan apapun bisa menimbulkan kesalahan dan inilah bedanya dengan wahyu.44

    41

    Abu> Hami>d Muh{ammad al-Ghaza>li>, al-Mushtashfa> min ‘Ilmi al-‘Us{u>l (Kairo: Muassasah al-Halabi, Tth), 355. 42 Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” Islamiyyat 32 (2010): 66. 43 Persoalan terkait musyawarah Nabi dengan Sahabat dalam hal peperangan lihat lebih lanjut, Ah{mad Mat}ar Khad{ir, “Musha>wara>t al-Rasu>l Saw Li As}h}a>bihi fi> al-Ghazawa>t.” Jurnal Research Diyala Unversity (2009): 74-86. 44 Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 4748.

    64

    Dalam kajian ‘ulum Alquran tentang teguran sebagaimana di atas biasa disebut dengan yang secara bahasa berarti ayatayat dalam Alquran yang menjelaskan teguran dan peringatan untuk memperbaiki atau mengoreksi sebuah persoalan yang dihadapi atau dilakukan oleh para nabi dan rasul. Peringatan ini secara tidak langsung juga mengindikasikan bahwa nabi dan rasul telah melakukan ijtihad.45 Harus pula difahami bahwa dalam hal permusyawaratan adalah pula perintah Allah dan bukan sekedar keinginan Nabi. Perintah pada surat Ali Imran ayat 139 juga mengisyaratkan adanya permusyawaratan terhadap persoalan yang dihadapi Nabi. Dengan demikian, Nabi diperbolehkan bahkan diperintahkan untuk berijtihad dalam sebuah persoalan yang memang tidak dijelaskan oleh wahyu.46 Adapun dalam hadis Nabi, Qad{i ‘Iyad{ (w. 544 H) memberikan penjelasan dalam kitabnya al-Shifa’ tentang beberapa riwayat terkait kesalahan Nabi dalam memberikan saran terhadap para petani kurma.47 Nabi mengatakan, 48 juga maka baik kata ra’y maupun dhan mengindikasikan perilaku ijtihad Nabi. Dalam argumentasi rasional jelas bahwa manusia tidak diciptakan seperti robot namun ia memiliki akal untuk menentukan pilihan dan menyelesaikan persoalan. Hal ini berlaku bagi setiap manusia tak terkecuali Nabi sekalipun. Bahkan al-Amidi (w. 631 H) mengatakan bahwa andai Nabi tidak melakukan ijtihad sedang 45

    Lebih jelas lihat pada tulisan Ami>n Muh{ammad Salla>m al-Muna>siyah, “Nadrah fi> At al-‘Ita>b” Jurnal Ja>mi’ah Dimasq Li al-‘Ulu>m al-Iqtis{a>diyah wa alQanu>niyah 23, no 1 (2007) : 322-325. 46 Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 5556. 47 Al-Qad}i> ‘Iyad, al-Shifa’ (Kairo: al-Matba’ah al-Azhariyah, 1327 H), juz 4, 265: Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 41-43. 48 Muslim ibn Hajja>j al-Nisaburi, S{ah{ih{ Muslim (Beirut: Dar al-Ihya’ al-turath, Tth) juz 4, 1835.

    65

    umatnya diperbolehkan, hal ini malah menggambarkan betapa Nabi tidak lebih cerdas dari umatnya.49 Mengapa demikian? Karena ijtihad diperlukan kecerdasan akal sedang mereka yang tidak pernah melakukan ijtihad berarti tidak memiliki kecerdasan akal. Namun demikian adanya teguran terhadap kesalahan Nabi dalam berijtihad menunjukkan bahwa posisi ijtihad tidak bisa disamakan dengan wahyu. ijtihad hanya menunjukkan bahwa kedudukan Nabi tidaklah berbeda dengan manusia biasa dalam berfikir sedang perbedaan terletak pada wahyu yang diberikan sebagai pembetulah Allah kepada kesalahan Nabi. Terjadinya ijtihad Nabi Saw dalam catatan Muh{ammad Shaki>b Qa>simi> terbagi menjadi tiga kelompok ulama; pertama, mereka yang mengatakan bahwa Nabi Saw melakukan ijtihad tanpa menunggu wahyu. Kedua, Nabi Saw melakukan ijtihad setelah menunggu wahyu. Dan ketiga, mereka yang mengguhkan masalah ini karena tiadanya kejelasan dari Nabi Saw sendiri.50 Di samping adanya persetujuan ulama terhadap ijtihad yang dilakukan Nabi, ada pula ulama yang tidak sepakat dengan adanya ijtihad tersebut. Mereka adalah Ibn H{azm (w. 456 H), al-Maturi>di> (w. 333 H) dari golongan al-Ash‘ariyah dan al-Jubbai> (w. 303 H) dari golongan Muktazilah yang mengatakan bahwa ijtihad tidak diperbolehkan bagi para Nabi bahkan jika tidak ada nas sekalipun.51 Hal ini dilandaskan pada ayat berikut, 52

    Bahwa memang tidak patut bagi nabi untuk mengikuti sesuatu selain wahyu yang diberikan kepadanya. Sehingga ayat ini 49

    ‘Ali> Shaifuddin al-Amidi>, al-Ih{kam fi> ‘Us{u>l al-Ah{ka>m (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah), 157. 50 Adapun kelompok ketiga ini menganggap babwa yang tahu bahwa Nabi menunggu wahyu dan tidak tentu ada Nabi sendiri. Adapun contoh ijtihad akan dijelaskan pada pembahasan beriktnya. Lihat, Muhammad Shaki>b Qa>simi>, “Ijtiha>da>t Nabi Salla> Allah ‘alaihi wa Sallama; Qira’atan Tahliliyatan ‘Usuliyatan” Jurnal alDa’i> 36, no. 7 (2012) : 7. 51 Latifah Abdul Majid dan Mohd Nasir Abdul Majid, “Perkaitan Antara Ayat al-Kitab dengan ijtihad Rasulullah Saw,” 71-72 52 Yu>nus [10]: 15.

    66

    menegasikan adanya ijtihad bagi seorang Nabi. Adapun ayat 67-68 Surat al-Anfal di atas, Ibn H{azm (w. 456 H) menjelaskan bahwa pada hakekatnya Rasulullah pun memiliki pilihan yang sama seperti Sahabat. Dalam hal ini Rasulullah lebih memilih pendapat Sahabat, karena itulah Rasul ditegur bukan karena pendapatnya melainkan karena kecenderungannya untuk mengikuti Sahabatnya itu.53 Namun demikian, Mus}t}afa> S{abri> menilai bahwa Ijtihad tetaplah pernah dilakukan oleh Nabi. Hal ini terlihat baik dalam nash Alquran maupun ungkapan Nabi sendiri. Mengenai ayat 15 dari surat Yunus di atas S{abri> sebenarnya jelas bahwa ayat itu terkait dengan penjelasan Nabi tentang Alquran.54 Sehingga memang tidak mungkin Nabi mengungkapkan sesuatu yang lain mengenai pendapatnya pribadi tentang Alquran kecuali wahyu yang diberikan kepadanya. Adapun pendapat Mus}t}afa> S{abri> dalam hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek; pertama, bahwa kecerdasan yang dimiliki oleh Nabi Muhammad bersambungan langsung dengan wahyu yang disampaikan kepadanya. Artinya ijtihad yang dilakukan Nabi meskipun kadang memunculkan kesalahan namun tentu telah dipertimbangkan dengan segala perintah dan wahyu Allah yang diberikan kepadanya.55 Kedua, 53

    Abu> Muh{ammad ibn H{azm al-Andalu>si> al-Zahiri, al-Ih{ka>m fi Us{u>l al-Ah{ka>m (Kairo: Sa’adah, Tth), 498-699. 54 Adapun secara lengkap ayat tersebut berarti, “Dan apabila dibacakan

    kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: ‘Datangkanlah Alquran yang lain dari ini atau gantilah dia.’ Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)." Dengan demikian S{abri> menilai bahwa Nabi tidak mungkin salah dalam menyampaikan wahyu Allah, Lihat lebih lanjut, Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ali>m min Rab al-‘An wa Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981) Juz 4, 162-163. 55 Kenabian akan selalu menyisakan personalisasi manusia dan kekuasaan Tuhan didalamnya. Untuk itulah kenabian tidak bisa sembarang dimiliki seseorang melainkan khusus Allah yang memilihnya. Lihat lebih lanjut, Mus{t}afa> S{abri>, al-Qawl al-Fas}l Bayna al-ladhi>na Yu’minu>n bi al-Ghayb wa al-Ladhi>na la Yu’minu>n (Ttp: Da>r al-Sala>m, 1905) 123-126: Mehmet Kadri Karabela, “One of the Last Ottoman Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution.” Tesis, Institute of Islamic Studies Mac Gill University , Montreal, 2003. 89-93.

    67

    Nabi adalah manusia yang maksum dan terlepas dari kesalahan karena tertutupi oleh wahyu dan mukjizat yang melekat pada kenabiannya. Karenanya, ijtihad yang dilakukan Nabi jika memang menimbukan kesalahan maka akan ditutupi atau ditegur dengan adanya wahyu yang disampaikan Allah kepadanya.56 Ketiga, kepribadian Muhammad Saw sebagai Nabi lebih banyak mendapat perhatian daripada kepribadian Muhammad Saw sebagai manusia. Artinya, meskipun Nabi melakukan ijtihad sebagaimana manusia biasa, namun karena perhatian umat terfokus pada kenabian, maka sifat ittiba’ terhadap ijtihad tersebut masih menjadi perhatian atas kenabian itu sendiri.57 C. Hadis-Hadis Bernuansa Ijtihad Nabi Muhammad Saw. Kemanusiaan Nabi yang berbentuk ijtihad memunculkan banyak varian yang tergambar dalam perilaku hidupnya. Nadiyah Sharif Al-‘Umri mencatat setidaknya ada lima bentuk ijtihad yang dilakukan Nabi, yakni dalam bentuk prasangka, larangan, keinginan, perintah dan doa.58 Namun demikian, tidak pula menutup adanya bentuk ijtihad yang lain karena memang Nabi makan sebagaimana manusia lainnya, tidur sebagaimana manusia lainnya bahkan lupa sebagaimana manusia lainnya.59 Gambaran ijtihad Nabi setidaknya menjawab beberapa pertanyaan berikut: a. Tentang keberadaan ijtihad. Mulai keberadaan ijtihad Nabi apakah kemudian memungkinkan Nabi untuk melakukan sesuatu tanpa ijin kepda Allah. Lalu tentang materi ijtihad,

    56

    Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ali>m min Rab al-‘An wa Iba>dihi al-Mursalin, juz 4, 155-156. 57 Mufrih{ Sulaima>n al-Qawsi, al-Shaikh Mus{t{afa> S{abri> wa Mawqifuhu min alFikri al-Wafid, (Riyadh: Markaz al-Malik Faisal, 1997), 384-385. 58 Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 57. 59

    Dalam riwayat Muslim Nabi pernah berkata, . Lihat, Muslim ibn al-H{ajjaj, Musnad al-Sah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’,

    Tth), juz 1, 400.

    68

    apakah hanya terkait persoalah dunia ataukah ibadah, apakah terkait pula masalah hal ghaib ataukah tidak. b. Tentang benar tidaknya ijtihad. Apakah ijtihad Nabi selalu benar atau tidak, kemudian jika memang salah apakah pernah ijtihad Nabi salah dalam hal agama. c. Tentang pembetulan. Apakah setiap kesalahan Nabi selalu dibenarkan lewat wahyu Allah atau adakah yang tidak. Dan jika tidak, apakah yang tidak terdapat pembenaran lewat wahyu itu terkait dengan agama atau dunia semata?60 d. Tentang respon Sahabat. Apakah Sahabat selalu melaksanakan setiap ijtihad yang diajukan Nabi ataukah mempertimbangkannya atau bahkan menolaknya? Adapun ketiga pertama terfokus pada keberadaan dan keadaan Ijtihad Nabi itu sendiri, sedang mengenai respon Sahabat ini menjadi penting karena respon ini setidaknya mampu menggambarkan pola dan metode penerimaan hadis Nabi oleh para Sahabat. Di samping itu, bisa pula menggambarkan bagaimana para Sahabat memilah kapan perkataan Nabi harus diikuti tanpa pertimbangan dan kapan dibutuhkan pertimbangan sebagai wujud dari pertanyaan –atau hadis– pada masa itu. Namun demikian penulis tidak akan memberikan seluruh gambaran ijtihad dalam tulisan ini melainkan terfokus pada beberapa hal saja yakni: pertama, ijtihad Nabi yang dibenarkan dan disalahkan oleh wahyu, kedua, ijtihad Nabi dan respon Sahabat, yakni ijtihad yang diterima, dipertimbangkan dan ditolak oleh Sahabat, dan ketiga, ijtihad Nabi yang salah namun tidak dibenarkan dengan wahyu. Ketiga pembagian ini penulis berikan karena adanya beberapan pandangan. Pertama, kemaksuman Nabi memungkinkan Nabi tidak melakukan kesalahan dan jika salah akan ada teguran. Kedua, tindakan adalah respon terhadap adanya suatu persoalan yang dalam hal ini 60

    Dalam penggambaran ijtihad Nabi al-‘Umry tidak menyebut tentang respon Sahabat sebagai bagian dari wawasan yang bisa didapat. Menurut penulis hal ini mungkin karena memang al-‘Umri terfokus para perilaku Nabi. lihat, Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l S{alla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 57-59.

    69

    Sahabat adalah lawan bicara Nabi. Ketiga, fakta harus diterima bahwa ada pula kesalahan ijtihad Nabi namun tidak dibenarkan oleh wahyu. 1. Ijtihad Nabi yang Dibenarkan dan Disalahkan oleh Wahyu Ijtihad Nabi yang dibenarkan oleh wahyu di antaranya adalah adanya keinginan Nabi untuk memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah sebagaimana riwayat berikut:

    61

    411

    “Rasulullah shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama

    16/17 bulan. Namun, Nabi lebih menyukai untuk mengahadap ke ka’bah. Karenanya turunlah ayat, “Sungguh kami (Allah) sering melihatmu (Muhammad) menengadahkan wajahmu ke langit.62’ Maka setelah itu Rasul shalat mengahadap ka’bah.” Hadis di atas menggambarkan bagaimana ijtihad Nabi yang telah lama meninginkan untuk menghadap kiblat ke Ka’bah kemudian mendapat jawaban dari Allah berupa perintah untuk memindahkan kiblat. Nadiyah Sharif Al-‘Umri memasukkan ijtihad ini ke dalam ijtihad berbentuk harapan atau keinginan.63 Hal ini menjelaskan bahwa ijtihad yang dilakukan Nabi dalam hal agama tidak berbentuk tindakan atau perintah Nabi sendiri karena agama memang murni perintah dan bukan pendapat Muhammad pribadi sebagaimana dijelaskan dalam surat Yunus ayat 50 sebelumnya. Selain itu pembenaran atas ijtihad Nabi memang bagian dari pemikiran Nabi yang menganggap bahwa Ka’bah lebih cocok dari Baitul Maqdis. Peristiwa ini juga menggambarkan bagaimana pembelajaran Islam kepada Nabi dan para

    61

    Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Musnad al-Sah{ih{, (Kairo: Dar al-Tauq alNajah, 1422 H) juz 1, 88. 62 Maksudnya yakni menunggu wahyu. 63 Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla> Alla>h ‘Alaihi wa Sallam, 7178.

    70

    Sahabat kala itu untuk menyingkirkan kesalahan agama Yahudi dari Islam.64 Ijtihad Nabi yang disalahkan atau ditegur oleh wahyu di antaranya adalah ketika Nabi dan para Sahabat bemusyawarah tentang tawanan perang Badar. Nabi kemudian menanyakan kepada Abu Bakar tentang pendapatnya mengenai tawanan itu. Abu Bakar menjawab, “Ya Rasulullah, mereka dulu adalah bagian dari kita dan keluarga kita.

    Apakah tidak lebih baik kita mengambil uang tebusan agar kita menjadi kuat terhadap kaum kafir. Maka, semoga allah pun memberikan hidayah kepada mereka untuk masuk Islam.” Nabi pun bertanya hal yang sama kepada ‘Umar, lalu ‘Umar menjawab, “Tidak ya Rasulullah, aku tidak sepakat dengan pendapat Abu Bakar, mereka (tawanan) itu adalah pimpinan kaum kafir, maka hendaklah mereka dibunuh.” Saat itu Nabi Saw agaknya lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Namun tiba-tiba Nabi dan Abu Bakar menangis, lalu ‘Umar pun bertanya, “Ya Rasul apa yang membuatmu dan sahabatmu menangis?” Nabi menjawab, “Aku menangis karena aku setuju untuk meminta tebusan dari tawanan ini.” Kemudian turunlah ayat Alquran, “Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat

    melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)….”65 Akhirnya tawanan itupun dibunuh sebagaimana perintah Allah. 66 Dengan demikian dari hadis di atas secara sederhana memperlihatkan bagaimana ijtihad Nabi Saw yang jika keliru tentu akan ditegur atau dibenarkan oleh Allah lewat wahyu. Namun, demikian tentu tidak semua wahyu disampaikan kepada Nabi untuk memberikan teguran buat beliau melainkan pula untuk para Sahabat yang ikut menjadi pertimbangan Nabi.67 64

    Abu ‘Abdullah al-Qurtubi (w. 671), al-Jami>’ al-Ah{ka>m al-Qura>n, (Kairo: Dar al-Kutub, 1964 M), juz 2, 161. 65 Al-Anfa>l [8]: 67-68. 66 Hadis lebih lengkap lihat. Sah{ih{ Muslim, juz 3, 1383. 67 Bisa pula lihat kisah lain tentang turunnya awal surah al-Naba.

    71

    Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ayat-ayat teguran ayat al-‘ita>b hal yang lumrah dialami oleh Nabi dan menjadi bagian dari sisi kemanusiaannya. Namun harus difahami bahwa kesalahan yang dilakukan Nabi bukanlah tindakan maksiat atau melawan Allah Swt. Amin Muhammad Salla>m68 mengatakan bahwa kesalahan itu memang ada, namun bukan berarti menjadi maksiat atau bahkan menurunkan derajat kenabian itu sendiri. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, adalah bahwa nabi memiliki sifat maksum, karenanya segala kesalahan akan dimaafkan dan diampuni sehingga tiada dosa dariNya. Kedua, makna ijtihad adalah adalah mencari ilmu atau kesimpulan atas sebuah persoalan. Karenanya, tidak ada dosa di dalamnya. Bahkan, kesalahannya pun akan menuai pahala dari Allah sebagaimana ungkapan Nabi sendiri. “Jika seorang hakim

    menentukan persoalan kemudian berijtihad dan ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala, sedang jika ijtihadnya salah ia masih mendapatkan satu pahala.”69 2. Ijtihad Nabi sebagai Respon atas Sahabat Ada pula riwayat tentang siasat perang yang disampaikan Nabi kepada para Sahabat namun ternyata ada Sahabat yang menganggap bahwa siasat itu salah dan ia pun menawarkan siasat baru bagi Nabi. Kejadian ini terjadi pada saat perang Badar. Pada waktu perang Badar, Nabi Muhammad Saw mendahului orang Quraish menuju mata air. Kemudian H{abbab ibn Munz}ir menemui Nabi Saw dan berkata, “Ya Rasulullah, apakah anda sengaja

    memilih posisi ini? Ataukah posisi ini telah dipilihkan Allah sehingga kita tidak berpindah? Ataukah ini hanya tipu daya dalam peperangan?” Nabi menjawab, “Hal ini hanyalah taktik dan tipu daya peperangan.” Selanjutnya H{abbab menyarankan, “Ya Rasul, posisi ini menurutku kurang strategis. Lebih baik kita menyuruh beberapa orang untuk menjaga sumber air dan kita buat telaga yang mengalir dari air ini.

    68

    Ami>n Muh{ammad Salla>m al-Muna>siyah, “Nadrah fi> At al-‘Ita>b,” 326-327. Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Musnad al-Sah{ih{, juz 9, 108.

    69

    72

    Sehingga, kita bisa berperang tanpa kehausan, sedangkan musuh pasti kehausan.” Akhirnya hal ini pun disetujui oleh Nabi.70 Hadis di atas mengisyaratkan sebuah respon Sahabat kepada Nabi yang ternyata jika ada sebuah saran Nabi dan pada saat yang sama Sahabat memiliki saran lain yang berbeda maka ia pun mengutarakannya pada Nabi. Adapula isyarat yang menunjukkan bahwa tidak selamanya perintah Nabi itu dilakukan dengan serta merta oleh Sahabat. Namun, jika Nabi jelaskan bahwa perintah tersebut berasal dari Allah, maka pasti Sahabat langsung mengerjakannya. Adapun kisah lainnya pada nasehat Nabi kepada anak angkatnya Zaid ibn Harithah yang ingin menceraikan istrinya Zainab bint Jahsh. Akan tetapi, Nabi dengan ijtihadnya menyuruh Zaid untuk tidak menceraikan Zainab dengan mengatakan, “Tetaplah pegang istrimu (jangan ceraikan), dan bertakwalah kepada Allah.” Namun ternyata Allah justru meperingatkan Nabi bahwa apa yang ia katakan pada Zaid, “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” tidaklah benar adanya. Meskipun, nasehat ini adalah suatu kebijakan yang luar biasa dari Nabi agar kekhawatiran terhadap buruknya hubungan dengan Zaid dan istrinya tidak terjadi dan bisa tetap harmonis. Akan tetapi Allah justru menggambarkan bahwa Ia mengetahui bahwa apa yang ada di dalamnya adalah kekeliruan. Keinginan Nabi untuk menikahi Zaenab harus dilanjutkan agar tidak ada lagi rasa keberatan bagi siapapun nantinya untuk menikahi isteri anak angkat mereka sendiri. Dengan catatan, tentu ia telah resmi bercerai dengan anak angkatnya tersebut.71 Awal kasus ini sebenarnya karena keinginan Nabi untuk menikahkan Zaid ibn Harithah dengan Zainab bint Jahsy. Namun, saat Nabi melamar Zainab untuk Zaid ternyata Zainab enggan untuk menerimanya. Karena itu turunlah sebuah ayat yang menegaskan bahwa tidak pantas seorang mukmin baik laki-laki maupun perempuan 70

    Abdul Jalil Isa Abu al-Nasr, Ijtihad Rasulullah Saw. terj. Wawan Djunaedi. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001) 190-192 71 Al-Ahzab [33]: 37

    73

    yang jika Rasul sudah menetapkan sesuatu untuknya namun ia enggan melakukannya.72 Akhirnya, setelah ayat ini turun berkenaan dengan Zainab maka ia pun akhirnya menyetujui perintah Nabi tersebut. Perlu diketahui bahwa dari kisah ini perintah Nabi bukanlah ijtihad yang ia lakukan sendiri melainkan perintah yang datang dari Allah. Karena itu, wahyu pun ikut serta di dalam penunjukan pernikahan ini.73 Itulah kenapa Nabi agak memaksa adanya pernikahan ini. Meskipun pada akhirnya terjadi perceraian di dalamnya. Adapun pesan sebenarnya peristiwa ini adalah sebagaimana yang dijelaskan Allah pada ayat di atas. Yakni, pembolehan dengan menikahi istri anak angkat. Yang pada awalnya tindakan ini dianggap tabu dan menyalahi kebiasaan masyarakat Arab kala itu. 3. Ijtihad Nabi yang Salah namun Tidak Dibenarkan dengan Wahyu Terkait masalah ijtihad Nabi yang keliru namun tidak dibenarkan dengan adanya wahyu Allah adalah tentang saran Nabi kepada para petani kurma di Madinah. Diriwayatkan dalam S{ah{ih{ Muslim bahwa suatu ketika Nabi pernah pergi ke Madinah dan melihat para petani sedang melakukan penyerbukan kurma. Lalu Nabi berkata, “Apa yang kalian lakukan itu?” Mereka menjawab, “Kami telah terbiasa melakukannya.” Nabi pun memberi saran, “Jika kalian tidak melakukan itu, mungkin akan lebih baik.” Akhirnya para petani kurma pun tidak lagi melakukannya, namun ternyata panennya berkurang. Akhirnya mereka pun lapor ke Nabi dan kemudian Nabi berkata, “Sungguh aku hanya manusia biasa. Jika aku perintahkan kalian

    tentang agama kalian maka taatilah, namun jika aku perintahkan tentang suatu hal dari pendapatku, maka sungguh aku pun hanya manusia biasa.”74

    72

    Al-Ahzab [33]:36 Abdul Jalil Isa Abu al-Nasr, Ijtihad Rasulullah Saw. (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), 129. Lihat pula tafsir Sihabuddin Mah{mud al-Alu>si, Ru>h{ al-Ma’a>ni. (Beirut: Dar al-Kutub, 1415 H) juz 11, 204. 74 Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim, juz 3, 1745. 73

    74

    Dalam riwayat lain Nabi mengatakan, “Jika hal itu bermanfaat

    maka lakukanlah, sungguh aku hanya memberikan saran dengan prasangkaku, maka janganlah ikuti prasangkaku. Namun, jika aku ajarkan kalian sesuatu tentang Allah, maka terimalah. Karena sungguh aku tidak akan pernah berbohong tentang Allah Swt.”75 al-‘Umri juga memberikan riwayat lain tentang jawaban Nabi yakni, “Sungguh jika ada suatu hal terkait dengan agama kalian maka akulah yang lebih tau. Namun jika terkait masalah dunia kalian maka kalianlah yang lebih tahu.”76 Dan juga, “Sungguh kalian lebih mengetahui tentang dunia kalian.”77 Peristiwa di atas banyak menyita perhatian para pengkaji hadis terkait dengan ijtihad Nabi yang keliru. Sebagaimana pada bab sebelumnya bahwa Muhammad adalah manusia biasa yang sama sebagaimana manusia lainnya. sebenarnya kesalahan ini adalah hal wajar yang biasa saja. Namun, jika dilihat sebagai kepribadian kenabian yang ada pada diri Muhammad tentu menjadi problem tersendiri. Al-Nawawi (w. 676 H) mengatakan bahwa pendapat Nabi yang terkait dengan masalah kehidupan dunia sebagaimana di atas bukanlah tanggung jawab dan materi dari kenabian Muhammad Saw.78 Selain itu Nabi dalam sejarahnya memang tidak pernah belajar tentang pertanian. Sehingga, ketidaktahuan Nabi terahadap penyerbukan pohon kurma adalah menjadi sebuah kewajaran. Selain itu Ibn Khaldu>n (w. 808 H) mengatakan bahwa adapun perkataan Nabi terkait dengan kehidupan dunia seperti pertanian dan pengobatan adalah berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang sehari-hari ia lakukan, tentunya tanpa adanya wahyu di sana.79 Menutup pada poin berbagai model ijtihad dan dampaknya di atas dapat diambil beberapa benang merah menarik sebagai berikut. Pertama, bahwa Nabi memang manusia biasa yang tidak terlepas dari 75

    Muslim ibn Hajjaj, Sahih Muslim. Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 107. 77 Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 108. 78 Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 109. 79 Na>diyat Sharif al-‘Umri, Ijtiha>d al-Rasu>l, 109-110. 76

    75

    sisi kemanusia seperti ijtihad, kesalahan dan juga kritik. Sebaliknya, hal ini juga menunjukkan bahwa Nabi bukanlah wujud Tuhan dalam bentuk manusia suci tanpa kesalahan. Kedua, proses penerimaan hadis dari Sahabat tidak sekedar wujud ketaatan buta, namun juga diproses lewat logika yang memungkinkan interfensi Sahabat di dalam pendapat Nabi dalam hadis itu sendiri. Ketiga, kemaksuman Nabi bukanlah pada kesucian Nabi dari kesalahan, namun penjagaan terhadap kesalahan Nabi yang jika itu terjadi dan berimbas dalam misi kenabiannya, maka Wahyu Allah pun ikut interfensi dalam pembetulan ijtihad tersebut. Untuk masalah ketiga di atas, maka pembahasan wahyu dalam kaitannya dengan hadis menjadi perlu didudukkan dengan jelas. Hal ini agar kemudian dapat dipahami manakah yang kemudian ijtihad Nabi dan manakah hadis Nabi yang sebenarnya bagian dari wahyu Allah itu sendiri. D. Keberadaan Wahyu Allah dalam Hadis Nabi Saw Wahyu berasal dari kata yang berasal dari kosa kata – – . Ibn Munzir (w. 316 H) berpendapat bahwa wahyu berarti pengetahuan yang tersembunyi.80 Karena itu ilham juga disamakan dengan wahyu. Sejalan dengan hal tersebut al-Raghib alIshfahani (w. 502 H) juga menyampaikan bahwa wahyu adalah isyarat yang cepat.81 Dalam Islam wahyu ini kemudian memiliki setidaknya beberapa istilah. Pertama, wahyu adalah pemberitahuan atau informasi dari Allah Swt yang diberikan kepada hamba-Nya yang terpilih untuk menjadi sebuah petunjuk ataupun ilmu dengan jalan yang cepat dan tidak biasa dilakukan oleh manusia.82 Kedua, wahyu adalah informasi yang diberikan Allah Swt kepada para nabiNya yang 80

    892.

    Ibn Manz{u>r (w. 740), Lisa>n al-‘Arab (Beirut: Da>r al-Sin al-‘Arab, Tth) juz 3,

    81

    Al-Raghib al-Isfaha>ni, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qura>n (Mesir: Matba’ah alMaimuniyah, 1324 H) 515. 82 Muh{ammad al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Ifra>n fi> ‘Ulu>m al-Qura>n (Beirut: Da>r alFikr, Tth) juz 1, 56.

    76

    berbentuk berita ghaib, ajaran agama maupun hukum tertentu. Di antara mereka ada yang sudah terbukukan dan juga ada yang tidak.83 Ketiga, wahyu adalah segala bentuk perkataan Allah Swt dan yang semakna yang disampaikan para rasul.84 Dengan demikian wahyu adalah berita dari para Nabi yang dalam berita itu mereka mengungkapkan bahwa Allahlah sumbernya perkataannya. Mengenai wahyu dalam Alquran tidak memiliki perdebatan. Disamping karena periwayatan Alquran yang dilakukan secara mutawatir oleh para Sahabat, di dalam Alquran sendiri menyebutkan ungkapan-ungkapan perkataan Allah Swt kepada para hamba pilihanNya. Misalnya, percakapan Allah kepada Adam,85 perintah kepada Nuh,86 Musa87 as. dan sebagainya. Karena itulah Alquran tetap dipegang sebagai pedoman yang memang diyakini Allahlah sumber satu-satunya. Hadis yang paling mungkin dianggap sebagai wahyu adalah hadis qudsi. Hadis jenis ini hampir tidak akan pernah disebut sebagai ijtihad nabi. Karena memang hadis jenis ini memiliki indikasi bahwa yang berkepentingan dalam isi atau objek matan hadisnya adalah Allah sebagai sumber wahyu itu sendiri. Makna hadis qudsi sendiri diambil dari kata al-quds yang berarti suci, di mana yang dimaksud tentu adalah Allah Swt. Untuk itu, hadis qudsi adalah jenis hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah adalah yang memiliki otoritas dalam pemilihan kata sedang isi atau materi dari hadis tersebut memiliki korelasi terhadap kesucian Allah. Atau, segala sesuatu yang dikabarkan Allah kepada para nabi-Nya, maka kemudian kabar itu pun disampaikan kepada manusia dengan ungkapan dari nabi sendiri. Hal

    83

    Muh}ammad Rashid Rid{a, al-Wah{yu al-Muh{ammadi (Kairo: Da>r al-Mana>r, 1935) 41. 84 H{asan Dhiya’ al-Di>n ‘Itr, Nubuwwatu Muh{ammad fi> al-Qura>n (Suriah: Da>r al-Nasr, 1973) 145; Lihat juga Minhad Muhammad S{alih{ ‘A alQura>n wa Mauqifu al-Musyriqi>na Minhu”, Majallah Kuliyah al-Tarbiyyah alAsasiyah 66 (2010) 177. 85 QS. Al-Baqarah [2]:32. 86 QS. Nu>h [71]: 1. 87 QS. Ta>ha> [20]:9-13.

    77

    ini tentu tidak sama dengan Alquran yang lafadnya pun diyakini dari Allah.88 Setidaknya sisi kesucian dari hadis qudsi memiliki dua model berbeda. Pertama adalah berisi tentang segala kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh Allah dan kedua adalah tentang segala yang dilakukan oleh Allah. Untuk yang pertama bisa terlihat dari beberapa 89 kalimat yang sering digunakan oleh nabi seperti: , 90 atau 91 . Hadis-hadis tersebut mengindikasikan tindakan Allah dengan ungkapan nabi bahwa Allah melakukan ini dan itu. Karena tindakan ini adalah tindakan yang dilakukan oleh Allah Yang Maha Suci, hadis jenis ini pun digolongkan pada hadis qudsi.92 Sedangkan untuk hadis yang menyatakan ungkapan atau perkataan Allah bisa dilihat dalam beberapa hadis seperti: 93

    juga 95 Atau dengan kata lain makna al-quds dalam hadis-hadis tersebut adalah isi dari ungkapan atau perkataan Allah didalamnya yang memuat bahwa Allah mengatakan ini dan itu. Tentunya, baik hadis qudsi yang mengungkapkan perkerjaan maupun perkataan Allah ini tidak bisa dianggap sebagai ijtihad Nabi. Namun, sebagaimana difahami awal bahwa hadis qudsi adalah isinya dari Allah atau mengenai tindakan Allah namun lafadnya muncul dari 94

    ,

    88

    Ima>n Khalifah H{ami>d, “Al-Mandu>ma>t al-Khit{a>biyah fi> al-Ah{a>dith alQudsiyah.” Al-Tarbiyah wa al-‘Ilm 13, no. 4 (2006), 229. 89 Muh{ammad ibn H{ibba>n (w. 354), S{ah{ih{ ibn H{ibba>n, (Beirut: Muassasah Risa>lah, 1993), juz 2, 67. 90 Muslim ibn Hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 1, 162; Lihat juga Muhammad ibn Hibban, S{ah{ih{ Ibn H{ibba>n, juz 1. 499. 91 Abu> Sa’id ibn al-‘Araby, Mu’jam ibn al-‘Araby (Saudi: Da>r ibn Jauzi, 1997) juz 3, 1040 92 Ima>n Khalifah H{ami>d, “Al-Mandu>ma>t al-Khit{a>biyah fi> al-Ah{a>dith alQudsiyah.” 231-232. 93 Muslim ibn hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 1, 351. 94 Abu> Muhammad Abdullah al-Dari>mi>, Musnad al-Dari>mi>, (Saudi: Da>r alMughni, 2000) juz 3, 1814. 95 Abu> Bakr Ah{mad ibn Ibrahim al-Isma’ili>, al-Mu’jam fi> Asa>mi Shaikh Abi Bakr al-Isma>’ily, (Madinah: Maktabah al-‘Ulu>m wa al-Hukm, 1410 H) juz 3, 792.

    78

    Nabi. Untuk itu, sisi kemanusaan atau ijtihad Muhammad dalam hal ini pun tetap berlaku yakni pada pola pemilihan kalimat atau lafaz agar mudah difahami oleh manusia pada umumnya.96 Jika kemudian hadis dimaknai sebagai segala yang datang dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya, lalu apakah ia juga dianggap sebagai wahyu? Hal ini tentu memerlukan untuk kembali melihat bagaimana penafsiran para ulama terhadap surat alNajm ayat 3 dan 4. Penafsiran ini setidaknya menentukan apakah segala yang disampaikan Nabi sebagai wahyu ataukah ijtihad Nabi sendiri. Ibn Kathi>r (w. 774 H) dalam tafsirnya mengatakan bahwa maksud “Nabi tidak pernah berbicara menurut hawa nafsunya” adalah bahwa memang Nabi memang menyampaikan segala yang diperintahkan tanpa ada pengurangan dan ada tambahan di dalamnya. Pendapat ini mengindikasikan bahwa memang segala informasi dari Nabi bukanlah ijtihad melainkan wahyu. Ibn Kathi>r setidaknya menyampaikan beberapa riwayat berikut: ‘Abdullah ibn ‘Umar pernah bercerita, “Dulu aku mencatat

    segala yang aku dengar dari Nabi Saw. karena aku ingin menghafalnya. Namun, orang Quraish melarangku dan berkata, ‘Kenapa kau mencatat segala yang datang dari Nabi padahal ia adalah manusia biasa yang kadang berkata dengan emosionalnya!’ Maka aku laporkan hal tersebut kepada Nabi dan beliau berkata, ‘Catatlah, demi Allah yang nyawaku ada dalam genggamannya. Tidaklah datang dariku kecuali kebenaran.’”97 Adapun dalam riwayat lain Nabi juga mengungkapkan bahwa, “Sungguh segala yang aku beritahukan kepadamu adalah dari Allah semata dan tidak ada keraguan di dalamnya.”98 96

    Dalam hal ini Nabi memiliki otoritas untuk menetukan bagaimana pola kalimat agar mudah dan sesuai dengan lawan bicara Nabi sendiri. Sehingga, kemampuan Nabi dalam berbahasa pun menjadi penentunya. Lihat kesimpulan tesis Marwah Ibrahim Sya’ban, “al-Ah{a>dith al-Qudsiyah: Dira>sah Balaghiyah.” 2007, Fakultas Adab, Universitas Ghaza, 194-195. 97 Ibn Kathir (w. 774 H), Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az{i>m (Kairo: Dar al-Tayiibah, 1999) juz 7, 443. 98 Ibn Kathir, Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az{i>m, juz 7, 443.

    79

    Penyataan di atas mengindikasikan bahwa ucapan Nabi Saw adalah memang kebenaran. Persoalannya adalah apakah kebenaran itu bagian dari wahyu? Ataukah segala yang dari Nabi namun terkait dengan agama semata? Setidaknya dapat difahami bahwa yang dialami oleh Ibn ‘Umar di atas adalah penentangan dari seorang Quraish yang pada saat yang sama Nabi ingin menunjukan bahwa apa yang datang darinya pastilah kebenaran. Namun apakah makna haq di atas berarti Alquran atau hadis juga?\ Setidaknya Abu> H{afs} (w. 775 H) ketika menafsirkan surat alNajm ayat 3-4 menyatakan bahwa kata pada surat al-Najm tersebut memang memiliki dua dhamir yang berbeda. Pertama, pertama secara z}ahir tentu dhamirnya adalah Nabi Muhammad Saw. Kedua, namun harus difahami bahwa objek dari pembicaraan ini adalah Alquran. Hal ini sejalan dengan kata haq yang ada pada hadis di atas dan juga diulang perkataan tersebut dalam Alquran yakni .99 Jadi, z}amir dari kata tersebut bukanlah Nabi sendiri melainkan adalah Alquran.100 Sejalan dengan hal ini sebenarnya sudah disampaikan pada pembahasan sebelumnya bahwa adalah jika Nabi menyampaikan hal terkait dengan Allah maka pastilah hal itu benar. Namun, jika yang disampaikan adalah hal lain selain Allah atau ajarannya maka hal itu bisa jadi datang dari ijtihad Nabi sendiri. Setidaknya Imam Taba>ri> (w. 310 H) memberikan alasan sebuah riwayat dari Sahabat yang juga memiliki pendapat ini yakni dari Qata>dah. Dalam hal ini Qata>dah memberikan pernyataan bahwa ayat 3 dan 4 dari Surat al-Najm tersebut bermakna bahwa Allah memberikan wahyu kepada Jibril dan Jibril memberikannya kepada Muhammad Saw. atau dengan kata lain

    99

    Al-Ja>siyah [45]: 29. Abu Hafz Siraj al-Di>n al-Dimasqy (w. 775 H), al-Luba>b fi> ‘Ulu>m al-Kita>b (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Imiyyah, 1997) juz 18, 107. Adapun mengenai kapan beliau wafat penulis menemukan pula dalam terbitan Dar al-Kutub di Beirut tertulis wafat pada 880 H. 100

    80

    ‘tidaklah Alquran itu perkataan dari hawa nafsu Muhammad Saw melainkan ia adalah wahyu dari Allah yang diberikan kepadanya.’101 Dengan demikian kesimpulan dari penafsiran para ulama tentang makna dari pembacaraan Nabi berupa wahyu dalam surat alNajm tersebut adalah Alquran. Sehingga, mengenai hadis maka hal ini bisa saja ia menjadi wahyu jika memang terkait dengan ketuhanan dan segala ajarannya. Namun jika terkait soal keduniaan dan kehidupan sehari-hari sebagaimana kebutuhan manusia biasa maka hal itu bisa berarti ijtihad Nabi Saw. Dari berbagai pembahasan tentang ijtihad Nabi Saw di atas nampak kemudian bisa disimpulkan beberapa hal mengenai ciri yang bisa diperoleh dari ijtihad Nabi Saw yang terkandung di dalam hadis. Pertama, tentu adalah ketiadaan kabar dari Nabi Saw bahwa yang ia ucapkan adalah wahyu Allah ataupun hal yang berkait dengan Allah sebagai hadis qudsi. Kedua, bukan terkait tentang hal ketuhanan dan kebertuhanan. Yakni, yang terkait dengan hal ghaib karena tentu Nabi Saw sendiri pun tidak mengetahuinya tanpa diberitahu oleh Allah ataupun diberi kemampuan untuk mengetahuinya. Sedang kebertuhanan adalah hal yang terkait dengan cara bertuhan atau peribadatan. Bahwa Allahlah yang paling tahu dan satu-satunya yang mengetahui bagaimana cara beribadah kepadaNya. Karenanya, pengetahuan Nabi tidaklah sampai kepada kehendak ataupun ijtihad untuk membentuk sebuah peribadatan sendiri. Di sisi lain, hadis mengenai pemindahan arah kiblat di atas menggambarkan bagaimana Nabi Saw sendiri hanya pasrah pada Allah dalam hal ini. Namun demikian, perlu menjadi catatan bahwa dalam hal kedua ini Nabi kadang tidak menyampaikan kabar ini seolah dari Allah melainkan dari dirinya pribadi. Ketiga, adalah hal-hal yang sudah dijadikan hukumnya atau halal-haramnya dalam Alquran seperti hukum waris, makanan yang haram dan sebagainya. Dalam hal ini tidak ditemukan dan tidaklah 101

    Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wil al-Qura>n (Riyadh: Muassasah al-Risalah, 2000) juz 22, 497-498. Dalam hal ini al-Tabari menyebut dengan ungkapan

    81

    mungkin Nabi menyalahi wahyu Allah. Meskipun, secara umum bahwa isi kandungan dalam Alquran tidaklah hanya sekitar hal ketuhanan dan kebertuhanan semata melainkan di sana banyak terkait soal sosial kemasyarakatan. E. Posisi Hadis antara Wahyu dan Ijtihad Dari berbagai polemik ijtihad Nabi di atas beserta pembahasan tentang posisi hadis qudsi sebagai bagian dari wahyu Allah yang include di dalam hadis, Maka tiba saatnya memetakan bagaimana sesungguhnya posisi hadis sebagai wahyu ataupun ijtihad itu sendiri. Nabi Muhammad sebagaimana difahami oleh Mus}tafa> S{abri> bukan hanya manusia biasa yang tampil sebagai model bagi manusia lain ataupun sekedar manusia yang menerima wahyu dari Allah lalu kemudian disampaikan kepada manusia. Nabi adalah orang yang memiliki kekhususan dalam hal pewahyuan tidak hanya soal menerima namun pula bagaimana mengolahnya untuk disampaikan kepada manusia. Kekhususan ini adalah tentang pemahaman itu sendiri yang muncul sekaligus baik sebagai ciri kemanusiaan dan juga keilahian yang muncul pada Nabi. Di sinilah difahami bahwa kenabian adalah kemampuan manusia untuk berkomunikasi kepada Tuhan dan bukan sekedar menerima wahyu namun juga ikut berkomunikasi timbal balik antar keduanya.102 Artinya, komunikasi ini memungkinkan adanya kemampuan Nabi untuk berijtihad terhadap permasalahan yang ia hadapi dengan cara berkomunikasi dengan Tuhan jika memang Nabi menganggap bahwa kemunikasi itu dibutuhkan.103 Keberadaan ijtihad dalam hadis memang tidak bisa dipungkiri adanya sebagai bagian dari kemanusiaan Nabi. Kemanusiaan ini 102

    Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981) Juz 4, 152. 103

    Salah satu contoh adalah pada perintiwa perintah kewajiban shalat yang berkenaan dengan jumlahnya. Dalam hal hadis ini menggambarkan bagaimana sosok Muhammad berijtihad dengan nalarnya untuk menyesuaikan perintah Tuhan terhadap kemampuan manusia yakni pengikutnya nanti. Lihat pada kisah Isra’ Mi’raj Nabi pada Muh{ammad ibn Isma’i>l al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 1, 78.

    82

    memang ada namun tentu dengan adanya pengetahuan terhadap yang ghaib seperti wahyu dan kedekatannya kepada Allah tentu memiliki entri poin yang berbeda dibandingkan dengan manusia lainnya. Karena ijtihad adalah hasil pertimbangan pemikiran terhadap persoalan dalam wawasan akal fikiran manusia. Sedangkan Nabi dengan segala keimanan dan hidayah Tuhan memiliki wawasan yang berbeda sebagaimana pada umumnya. Mus}tafa> S{abri> juga memahami bahwa memang menunjukkan sisi kemanusiaan Nabi kadang sering dianggap sebagai bentuk ingkar terhadap kenabian Muhammad. Padahal, sifat kemanusiaan yang bercampur dengan pengetahuan hidayah dan keilahian ini justru menunjukkan pada kelebihan Muhammad itu sendiri dibanding manusia pada umumnya.104 Dari uraian di atas setidaknya ada beberapa yang mampu menunjukkan garis pembatas antara wahyu dan ijtihad Nabi dalam hadis. Garis pembatas ini setidaknya adalah gambaran tentang ciri khas dari hadis-hadis yang memiliki korelasi terhadap wahyu Allah dan hadis-hadis yang memiliki korelasi terhadap ijtihad nabi sendiri. Adapun ciri khas tersebut antara lain: Pertama, pada sandaran hadis yang diungkapkan Nabi Saw. Jika Nabi Saw menyandarkannya kepada Allah baik perkataan maupun perbuatan Allah Ta’ala maka sudah pasti hadis tersebut bukanlah ijtihad melainkan wahyu. Sebaliknya, jika Nabi tidak menyebutkannya maka sangat dimungkinkan bahwa ungkapan atau hadis tersebut adalah ijtihad beliau. Dalam hal ini biasanya dikenal dengan istilah hadis qudsi. Sebagaimana penjabaran di atas, hadis qudsi secara materinya diyakini adalah dari Allah hal ini karena memang Nabi sendiri yang menyandarkannya. Artinya Nabi dalam hal ini menjadi periwayat dan bukan sumber ungkapan. Namun demikian Nabi dengan

    104

    Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 4, 7-8.

    83

    kecerdasannya dalam penggunaan bahasa Arab105 menjadi piawai dalam menyampaikan apa yang dipesankan Allah dengan bahasanya sendiri. Sehingga, di sinilah letak perbedaan hadis dengan Alquran yang lafaznya pun dari Allah Swt sendiri. Dengan demikian posisi ijtihad Nabi dalam hadis qudsi terletak pada bagaimana cara Nabi dalam menyampaikan kabar tersebut. Selain keagungan bahsa Arab Nabi, hal ini pun menjadi sarana yang memudahkan Sahabat dalam menerima kabar, perintah maupun larangan Nabi secara langsung.106 Kedua, pada materi atau isi hadis yang diungkapkan oleh Nabi Saw. Hadis Nabi Saw yang mengungkapkan materi tentang ketuhanan, hal ghaib dan tata cara peribadatan tentu bukanlah wilayah ijtihad Nabi. Karena, Nabi tidak memiliki sedikit andil dalam menentukannya. Sebagaimana yang digambarkan Muhammad Sahrur bahwa Nabi Muhammad sama sekali tidak melakukan interfensi dan ijtihad karena pengetahuan ini adalah murni dari Allah.107 Adapun tentang perintah peribadatan yang dianggap sulit jika dilakukan oleh manusia, Nabi kemudian memberikan tanggapan berupa konfirmasi timbal balik sebagaimana pada kasus perintah awal shalat sehari 50 kali pada peristiwa Isra’ Mi’raj.108 Karena itu, ijtihad Nabi dalam masalah ini adalah tentang bagaimana penerapannya baik dalam tindakan ataupun pemahaman manusia. Sehingga, dengan ijtihad Nabi inilah dimungkinkan adanya kemudahan bagi kehidupan manusia dalam berketuhanan. Begitu pula hadis yang berkenaan dengan hal yang ghaib seperti surga, neraka, malaikat, jin dan yang lainnya, Nabi memang tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan selain yang memang 105

    Hal ini sesuai dengan pernyataan Nabi bahwa beliaulah orang yang paling fasih berbahasa Arab dan pernah belajar Arab di suku pedalaman Bani Sa’ad. Lihat, Abu Muhammad al-Baghawi, Sharh{u Sunnah (Beirut: Maktabah Islamiyah, 1973) juz 4, 202. 106 Marwah Ibrahim Sya’ban, “al-Ah{adis al-Qudsiyah: Dira>sah Balaghiyah.” 195. 107 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Yogjakarta: eLSAQ Press, 2004) 194-196. 108 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer , 194-196.

    84

    dipaparkan petunjukya oleh Allah. Namun demikian, karena hal ini adalah ghaib tentu tidak mudah menjelaskannya kepada manusia. Di sinilah Nabi dituntut untuk menjelaskan sejelas dan senyata mungkin. Bahkan, Marwah Ibrahim ketika menelaah gaya bahasa Nabi dalam menjelaskan hal yang ghaib ini mengatakan bahwa penjelasan Nabi adalah penjelasan yang sangat mudah dan sempurna bagi penerima kabar tersebut seolah-olah Nabi memang benar-benar mengetahuinya dan pernah disana.109 Sebaliknya, jika Nabi mengungkapkan materi hadis tentang keduniaan di luar penjelasan wahyu dan tidak terkait dengan masalah hal ghaib maupun masalah ketuhanan dan kebertuhanan sebagaimana kasus penyerbukan kurma di atas tentu difahami sebagai ijtihad Nabi sendiri. Ketiga, pada cakupan lawan biacara hadis apakah itu umum ataukah khusus. Maksud dari keumuman hadis disini adalah tentang ucapan Nabi yang menyebutkan makna keumuman perintah. Salah satu contoh pada Informasi ini tentu bisa dimaknai sebagai wahyu. Selain karena materi hadis ini berisi tentang anjuran tata cara beibadah, panggilan terhadap keseluruhan mengindikasikan pada ketaatan pada seluruh manusia pula. Tidak jauh berbeda dengan Alquran yang juga memberikan indikasi khusus dan umum terutama yang khusus pada Nabi, hadis Nabi Saw juga kadang hanya bisa difungsikan pada lawan biacara Nabi saat itu saja, atau mungkin pada mereka yang memiliki ‘illah yang sama. Salah satu contohnya adalah apa yang diberikan pada Abu Bakar tentang pembolehannya memanjangkan kain dibawah mata kaki.111 Tentu ini bisa dimaknai sebagai ijtihad Nabi, sehingga khusus bagi Abu Bakar dan siapapun yang sama kondisinya diperbolehkan untuk melakukannya. Sebaliknya inti persoalan adalah siapapun tidak boleh sombong. Adapun contoh lain yang sama bisa dilihat pada kasus 109

    195.

    Marwah Ibrahim Sya’ban, “al-Ahadis al-Qudsiyah: Dirasah balaghiyah.”

    110 111

    Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 2, 623. Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 74.

    85

    Zubair ibn Awwam dan Abdurrahma>n ibn ‘Auf yang diperbolehkan oleh nabi memakai pakaian dari sutera karena alasan penyakit yang mereka derita.112 Keempat, terletak pada materi hadis yang tetap dan berubah ubah. Muhammas Shahrur dalam hal ini berpendapat bahwa ijtihad Nabi mengenai hal keduniaan dan ilmu pengetahuan adalah dengan cara memberikan batasan-batasan kepada hal-hal yang memang telah dihalalkan oleh wahyu113. Contoh yang paling sederhana adalah tentang perubahan sikap nabi terhadap mereka yang berziarah kubur.114 Pada awalnya Nabi tidak menyetujui hal ini karena banyaknya orang yang berziarah justru masuk dalam kesyirikan dengan meminta kepada mereka yang meninggal. Lambat laun dengan berkembangnya pemahaman masyarakat maka Nabi pun membolehkannya karena memang ziarah tidak diharamkan dan bisa dijadikan sarana mengingat kematian. Dengan demikian diketahui bahwa pembatasan yang dilakukan oleh Nabi tidak masuk dalam hal yang haram melainkan hal yang dihalalkan semata. Selain empat hal di atas perlu juga difahami bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan sisi kemanusiaan pada umumnya seperti berjalan, makan, pakaian, ataupun cara tidur adalah sebuah kewajaran manusia yang timbul dari pengalaman dan pembelajaran terhadap lingkungan. Artinya dalam hal ini ijtihad Nabi hampir pasti mendominasi dan menjadi pilihan Nabi tanpa harus menunggu wahyu. Namun demikian, Mus}tafa> S{abri> memahami bahwa pengetahuan keilahian tidak juga dilepaskan begitu saja ketika ijtihad dilakukan

    112

    Lihat Muslim Ibh Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’ alTurath, tt) juz 3, 1636. 113 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 194-196., 223 114 Muhammad ibn H{ibba>n, S{ah{ih{ Ibn H{ibba>n, Juz 12, 212; Dalam hadis ini Nabi tidak hanya merubah pendapatnya tentang ziarah melainkan juga tentang makan daging kurban lebih dari tiga hari dan juga minum dari tempat bekas darah. Hal ini disadari bahwa Nabi hanya melakukan pembatasan pada hal yang dihalalkan, namun jika ada pengharaman atas sesuatu Nabi pun memberitahunya sebagaimana pada hadis ini dimana Nabi memberikan peringatan bahwa minum dari tempat apapun boleh asal tidak menyebabkan mabuk.

    86

    oleh Nabi.115 Hal ini terlihat dari adanya beberapa makanan yang kemudian diharamkan, ataupun batasan aurat116 yang kemudian dijelaskan baik dalam Alquran maupun hadis itu sendiri. Hal ini mengindikasikan adanya keterbatasan pengetahuan Nabi yang jika hanya berdasarkan pada pengalaman Arab masa itu saja tidak cukup untuk menjadi jawaban umat Islam hingga akhir zaman. Sebagai contoh adalah pelarangan daging babi117 yang tentunya keberadaan penyakit seperti cacing Pita masa masa modern tidak pernah dijelaskan oleh Nabi sebelumnya. F. Respon Para Sahabat Setelah membahas posisi ijtihad Nabi dalam hadis di atas, perlu kemudian melihat bagaimana pola ijtihad Nabi tersebut dipandang oleh para Sahabat. Hal ini akan berfungsi maka kala seorang muslim harus pula melihat ijtihad Nabi dalam hadis itu. Pemantauan ini pula akan membuat seseorang yang hendak melakukan studi hadis memiliki pola pikir dan cara pandang yang sama sebagaimana Sahabat. Sehingga, hadis Nabi pada akhirnya akan difahami secara baik dan benar sebagaimana para Sahabat memahaminya. Setiap umat muslim akan memahami bahwa pemahaman dan pengetahuan Sahabat tentang hadis adalah yang paling baik. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari 3 hal. Pertama, Sahabat adalah orang yang paling dekat hidupnya dengan Nabi. Kedua, Sahabat adalah lawan bicara Nabi. Ketiga, selain masalah agama yang disampaikan oleh Nabi, hadis merupakan solusi dari berbagai persoalan kehidupan Sahabat. Karenanya, memahami ijtihad Nabi yang lebih relevan tentu melihat bagaimana pandangan dan respon Sahabat terhadap kenabian Muhammad dan pendapat (ijtihad) beliau di dalamnya. 115

    Mus}t}afa> S{abri>, Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, juz 4, 10 116 117

    An-Nu>r [24]: 31. Al-Maidah [5]: 3.

    87

    Sebagaimana difahami Sahabat adalah mereka yang dekat dengan Nabi. Kedekatan ini memiliki persepsi berbeda pada beberapa ulama. Ah{mad Ibn H{ambal (w. 241 H), sebagaimana catatan Khatib al-Bagda>di> (w. 463 H) menyampaikan bahwa Sahabat adalah, 118

    Yakni bahwa sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Saw., baik sebulan, sehari ataupun satu waktu saja. AlBagdady menyampaikan pula bahwa Imam Bukhari menambahkan dengan syarat bahwa mereka adalah kaum muslim.119 Kondisi Sahabat secara umum digambarkan oleh Nabi sebagai generasi terbaik dalam Islam. Sebagaimana ungkapan hadis berikut.

    Bahwa Nabi Saw., mengatakan sebaik-baik zaman adalah zaman Nabi kemudian berikutnya dan berikutnya. Pernyataan ini tentu membuktikan bagaimana sifat para Sahabat dihadapan Nabi. Di mana, para Sahabat sangat dipercaya Nabi sebagai kaum yang terbaik yang Nabi lihat. Terlebih Nuruddin ‘Itr menyatakan bahwa Nabi Muhammad menerima dan mempercayai pernyataan siapapun yang datang kepada beliau selama ia beriman kepada Allah dan rasulNya.120 Padangan Sahabat terhadap kenabian Muhammad Saw bisa pula dilihat dari cara para Sahabat mendapatkan hadis. ‘Umar pernah mengungkapkan bahwa ia dan salah seorang Sahabat dari Bani 118

    Khatib al-Bagdady, Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah (Beirut: Da>r alKutub, 1988), 51; lihat juga Ibn Atsir, Asa>d al-Gha>bah fi> Ma’rifat al-Sah{a>bah (Kairo: Da>r Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 1995) 14. 119 Khatib al-Bagda>dy, Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah, 15. 120 Nuruddin ‘Itr, ‘Ulu>m al-H{adis, 107-108. Hal ini juga dicontohkan Nabi ketika dalam peristiwa penerimaan Nabi terhadap kabar dari orang Arab Badui yang mengaku melihat hilal bulan Ramadhan sedang Sahabat yang lain tidak. Lihat, Abu Abdurrahman al-Nasa’i (w. 303), Sunan al-Nasa’i (Beirut: Muassasah Risalah, 2001) juz 3, 97.

    88

    Umayyah ibn Yazid bergiliran dalam mendapatkan informasi dari Nabi. Kegiatan ini dilakukan ‘Umar dengan cara jika sahabatnya tadi pergi ke Nabi maka ‘Umar cukup mendengar dari Sahabatnya tersebut, namun pada lain hari ‘Umarlah yang datang dan kemudian ia memberitahukan informasi baik wahyu maupun yang lain kepada temannya tersebut.121 Pandangan Sahabat terhadap kenabian juga terlihat bagaimana ketaatan Sahabat pada Nabi Muhammad. Ketaatan ini kadang tidak sekedar pada hal yang diperintahkan bahkan juga pada hal yang sekedar pernah dilakukan oleh Nabi. Terlebih keikutsertaan ini bahkan tidak disertai pengetahuan oleh Sahabat tentang manfaat keikutsertaan tersebut. Hal ini pernah terjadi pula pada ‘Umar ketika ia akan mencium Hajar Aswad. Ia berkata, “Sungguh, seandainya aku

    tidak melihat Muhammad menciummu dan menyentuhmu nisacaya aku tidak akan melakukannya.”122 Selain itu ada pula riwayat Ibn ‘Umar yang menceritakan tentang cincin emas yang dipakai Nabi. Suatu hari Nabi pernah memakai cincin emas, maka semua orang pun mengikutinya. Akan tetapi Nabi kemudian hari mengungkapkan, “Aku telah memakai cincin emas, kemudian aku pun melepaskannya.” Maka Ibn ‘Umar berkata, “Sungguh aku tidak akan pernah lagi memakai cincin emas dan seluruh manusia pun melepasnya.”123 Ada pula pernyataan dari ‘Ali bahwa ketika lewat jenazah di depan Nabi, beliau pun berdiri dan semua orang pun akhirnya ikut berdiri. Kemudian Nabi pun duduk dan yang lain pun demikian.124 Beberapa riwayat di atas menyebutkan bagaimana ketaatan para Sahabat yang begitu tinggi meskipun tanpa adanya perintah untuk mengikutinya. Namun demikian secara rasional al-Amidi (w. 631 H) memberikan pendapat setidaknya ada 4 alasan mengapa Nabi 121

    Lihat Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sah{ih{ al-Bukhari (Riyadh: Da>r alTauq al-Najjah, 1422 H) juz 1, 39. 122 Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sah{ih{ Bukhari, juz 2, 151. 123 Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sah{ih{ Bukhari, juz 9, 96 124 Ibn Ma>jah, Suna>n Ibn Ma>jah (Riyadh: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Araby, tth) juz 1, 493

    89

    menjadi model bagi para Sahabat. Pertama, perbuatan Nabi mengandung hal yang wajib dan yang tidak dalam mengikutinya, namun mengikuti yang tidak wajib itu dianggap lebih menentramkan hati dari pada meninggalkannya. Kedua, kenabian adalah kedudukan yang mulia. Dalam arti, mengikutinya pun berarti mengagungkan dan menghormatinya. Ketiga, perbuatan Nabi dianggap sebagai penjelasan terhadap segala ucapan Nabi, maka mengikutinya berarti pula mengikuti ucapannya. Keempat, perbuatan Nabi pasti mengandung kebenaran, maka mengikutinya berarti mengikuti kebenaran.125 Selintas pandangan di atas memang mengindikasikan bagaimana para Sahabat menganggap Muhammad sebagai nabi yang memang layak diikuti segala perilakunya. Namun demikian, jika dilihat lebih lanjut pandangan Nabi terkait persoalan kehidupan pribadi yang bersentuhan dengan sisi kemanusiaan kadang tidak menjadi perhatian tersendiri bagi para Sahabat. Karenanya kadang pula dalam hal ini Sahabat tidak kemudian mengikuti saran Nabi bahkan terkesan tidak menganggapnya sebagai perintah umum kepada para Sahabat. Salah satu contohnya adalah yang terkait saran Nabi terhadap Bari>rah untuk ruju’ dengan suaminya, Mughi>th.

    126

    Ibn ‘Abbas bercerita, “Adalah suami Bari>rah adalah seorang

    budak bernama Mughi>th. Aku melihatnya mengitari Bari>rah sambil menangis, hingga air matanya mengalir ke jenggotnya.” Kemudian Nabi berkata kepada ‘Abbas, “Hai ‘Abbas apakah engkau tidak heran betapa cintanya Mughits kepada Bari>rah dan betapa bencinya Bari>rah kepada Mughi>th.” Lalu Nabi pun menyarankan pada Bari>rah, 125

    Shaif al-Di>n Abu> H{asan al-Amidy, al-Ih{kam fi> Us{u>l al-Ah{ka>m (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983) 255-255 126 Muhamad ibn Isma’il al-Bukhari, Musnad al-Bukhari, juz 7, 48.

    90

    “Bagaimana menurutmu jika kau kembali pada Mughi>th?” Bari>rah menjawab, “Ya Rasulullah, apakah ini perintah?” Nabi menjawab, “Ini hanyalah saran.” Bari>rah menjawab, “Tidak, aku tidak lagi tertarik kepadanya.” Secara jelas hadis di atas terlihat bagaimana seorang Sahabat juga menimbang perintah Nabi apakah perlu dilakukan atau tidak. Respon tersebut juga dapat difahami bahwa memang jika berkenaan dengan hal pribadi yang kadang tidak terkait agama seperti soal sikap suka dan tidak pada seseorang, tentu tidak ada kewajiban untuk mengikuti perintah tersebut. Selain hal pribadi, ternyata Sahabat juga memberikan sebuah pertimbangan tentang sikap dan perintah Nabi, yakni apakah perintah tersebut dari Allah atau hasil ijtihad pribadi Nabi. Tentunya ijtihad ini pasti terkait dengan hal keduniaan selain akidah dan ibadah yang memang Sahabat bahkan Nabi sekalipun tidak mungkin mengarangnya. Salah satu contohnya adalah sikap Sahabat Sa’ad ibn Mu’az dan Sa’ad ibn ‘Ubadah kepada Nabi saat beliau menyampaikan sebuah taktik peperangan, keduanya malah berkata 127 . Hingga akhirnya Nabi pun mengungkapkan bahwa pendapatnya bukanlah wahyu melainkan taktik perang belaka. Disinilah kemudian Nabi mengikuti pendapat kedua Sahabat tersebut dan meninggalkan pendapatnya sendiri. Meskipun terdapat perbedaan apakah peperangan menjadi bagian dari ajaran agama atau tidak, namun disadari bahwa taktik perang adalah masalah pengalaman dan pengetahuan. Hal ini tentu berbeda dengan masalah ibadah dan akidah yang sahabat hanya menerima tanpa mempertimbangkanya kepada Nabi. Dengan demikian bisa dilihat bagaimana kemudian ketaatan Sahabat kepada Nabi tidaklah buta melainkan dengan daya nalar yang sangat rasional. Setidaknya contoh di atas bisa memberikan gambaran 127

    ‘Abdul Malik ibn ‘Abdullah al-Juwaini (w. 478), Niha>yat al-Matlab fi> Niha>yat al-Mazhab (Riyadh: Da>r al-Manhaj, 2007) juz 18, 98; lihat juga ‘Abdul ‘Aziz ibn Ahmad al-Bukhari, Kashfu Al-Asra>r ‘An Us{u>l Al-Fah}r Al-Islamy AlBazdawy (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1308 H), Juz 3, 210

    91

    sebagaimana berikut. Pertama, pokok persoalan kenabian adalah bagi Sahabat adalah wahyu. Karenanya, dalam berijtihad Nabi di depan Sahabat memiliki standar yang sama dengan Sahabat lainnya. Kedua, Jika ijtihad Nabi tersebut terkait soal privasi Sahabat dalam hal yang diperbolehkan, maka Sahabat akan memilih sebagaimana yang mereka anggap baik. Ketiga, namun demikian, wahyu sebagai keistimewaan Nabi dalam berkomunikasi kepada Tuhan dianggap mampu menjembatani segala kesalahan, artinya mengikuti Nabi dalam hal apapun hampir tidak mungkin jatuh pada tindakan dosa. Karenanya sebagian orang menganggap bahwa mengikuti Nabi dalam segala hal adalah baik, meskipun tidak ada janji pahala di dalamnya.

    92

    BAB IV IMPLIKASI IJTIHAD NABI DAN OTORITAS HADIS Setelah membahas tentang ijtihad Nabi dari berbagai sisi maka perlu pula melihat bagaimana implikasi dari kedudukan ijtihad Nabi pada ajaran Islam. Implikasi ijtihad ini pada fungsinya akan melihat bagaimana ijtihad Nabi sebagai bagian dari kemanusiaan dan otoritas ijtihad tersebut sebagai hadis Nabi, yang tak lain adalah sumber ajaran Islam. Setidaknya pembahasan implikasi ijtihad ini bisa ditelaah melalui 3 hal berikut. Pertama, interrelasi perbuatan Nabi dan hadis sebagai sumber hukum. Hal ini ditujukan untuk mengetahui posisi ijtihad Nabi sebagai hadis yang berfungsi sebagai sumber hukum Islam. Kedua, universalitas hadis dan ijtihad yang lokal-temporal. Bahwa hadis bernilai universal sebagai sumber ajaran Islam tentu akan berbeda dengan ijtihad yang terikat pada waktu dan kondisi tertentu. Untuk itu, pembahasan ini perlu dipaparkan agar ijtihad tetap bisa menjadi bagian dari hadis yang universal tersebut. Ketiga, respon Sahabat sebagai metode kritik matan hadis. Sebagai poin akhir dari penelitian ini akan mencoba mendesain bagaimana respon Sahabat terhadap hadis terutama yang beraviliasi dengan ijtihad Nabi sebagai metode kritik matan. Karena sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa manusia yang memiliki pemahaman paling baik terhadap hadis tentu adalah Sahabat. A. Interrelasi Ijtihad Nabi dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Secara jelas ketaatan kepada Nabi tidak hanya dijelaskan oleh Nabi sendiri melainkan juga didasarkan pada Alquran sebagai bagian dari firman Allah.1 Selain sebagai model atau tauladan hamba sempurna Tuhan,2 Nabi Muhammad ternyata juga diberikan

    1

    Lihat QS. al-Anfal [8]: 20; al-Nisa [4]: 69 dan 80. QS. al-Ahzab [33]: 21

    2

    93

    wewenang untuk menentukan sebuah aturan.3 Maka, aturan Nabi Muhammad Saw yang tergambar dalam hadis merupakan ajaran Islam yang benar. Mengikuti Nabi adalah jawaban atas tuntutan Alquran di atas.4 ‘Ata>’ ibn Khalil menegaskan bahwa mengikuti Nabi jika dihubungkan dengan berbagai jenis perbuatan terbagi menjadi empat cara pandang. Pertama, dalam masalah keseharian Nabi yang sama seperti manusia biasa atau al-af’a>l al-Jibliyyah maka dipandangan mubah baik bagi Rasul maupun umatnya. Kedua, perbuatan yang merupakan kekhususan bagi Nabi maka ia dipandangan haram untuk dilakukan oleh umatnya. Ketiga, perbuatan yang ditujukan secara jelas dari Nabi untuk dilakukan oleh umat Islam, maka ia dipandangan wajib untuk diikuti. Dan keempat, perbuatan selain dari tiga yang pertama yang nantinya harus dicarikan dalil lain (qari>nah) atas keharusan untuk mengikutinya ataupun meninggalkannya.5 Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dalam cacatan Muhammad al-‘Aru>sy mengenalkan tiga aspek yang harus difahami terkait masalah ketaatan pada tindakan Nabi. Pertama, bahwa tindakan yang dilakukan umat Muhammad Saw adalah pula tindakan yang dilakukan olehnya baik mengenai masalah haram, halal, wajib, sunnah dan sebagainya, kecuali yang memang dijelaskan kekhususannya. Hal ini tentu, karena Nabi Saw adalah model ajaran Islam itu sendiri. Kedua, segala tindakan Nabi Saw adalah dalil dari hukum sebuah tindakan itu sendiri baik haram, halal, mudah dan sebagainya. Ketiga, adanya tindakan yang berkaitan dengan sebuah konteks status, maka tidak bisa dilakukan secara umum kecuali mereka yang berperan dalam

    3

    QS. al-A’raf [7]: 157-158. Azami menilai bahwa ayat ini memberikan indikasi bahwa konsekuensi keimanan kepada Allah adalah pula dengan cara mentaati dan mengikuti ajaran atau aturan yang dibuat atau dilakukan oleh Nabi Muhammad. Lihat, M.M. Azami. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 31. 4 QS. Ali Imran [3]: 31. 5 ‘Ata ibn Khalil, Taysir al-Wus}u>l ila> al-Us}ul: Dira>sat fi> Us}ul al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Ummah, 2000). 102-103.

    94

    status tersebut. Misalkan; tindakan imam berbeda dengan makmum atau tindakan pemimpin berbeda dengan rakyatnya.6 Selain cara pandang dalam penerimaan hadis di atas perlu juga difahami apa sajakah inti atau isi dari risalah kenabian itu. Muhammad Shahrur setidaknya meletakkan tiga pembagian dalam isi risalah ini. Pertama, adalah hal-hal yang berkenaan dengan ritual keimanan seperit shalat, zakat, puasa dan sebagainya. Kedua, akhlak. Dan ketiga, tentang perundang-undangan.7 Artinya selain dari ketiga hal tersebut Nabi Muhammad adalah sama perbuatannya, persepsinya dan tentu ijtihadnya sebagaimana manusia biasa. Tentang ketiga tema ini Shahrur menilai bahwa masalah pertama dan kedua tiada ijtihad di dalamnya. Sedang masalah ketiga yakni tentang syariat atau perundang-undangan menjadi wilayah pokok ijtihad bagi seluruh umat Islam. Dalam hal ini posisi Nabi dalam risalahnya hanya bertumpu pada batas maksimal atau minimalnya atau h{udu>diyyah. Sedang pertengahan dari itu ijtihad berperan untuk menyesuaikan sebagaimana situasi dan konteksnya.8 Ijtihad ini tentu tidak saja dilakukan oleh umat Islam saja namun juga oleh Nabi sendiri. Untuk itu, hal seperti pembentukan masyarakat Arab zaman Nabi, keseharian beliau ataupun ketentuan atas tindakan masyarakat adalah bentuk dari ijtihad Nabi dalam hadis tanpa harus menunggu wahyu. Dengan kata lain, ia tidak bersifat abadi baik dalam hukum mapun pelaksanaanya.9 Meskipun pandangan ini terkesan ekstrim, namun sebenarnya para ulama hadis kontemporer telah mendiskusikan isi hadis dengan 6

    Contoh riil pada masalah ini adalah bahwa seorang makmum tidak membaca dhahir sebagaimana imam atau pada kasus perintah perang hanya bisa dilakukan oleh pemimpin. Lihat pada Muh{ammad al-‘Aru>sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala> al-Ah{ka>m, 190-191. 7 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogjakarta: ElsaQ Press, 2004), 193 8 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, 212-213 9 Shahrur memberikan penambahan dalam hal ini, bahkan jika didatangkan ratusan hadis sahih sekalipun namun ternhyata kondisi itu hanya sesuai pada konteks zaman Nabi tidak kemudian menjadi hal yang seharusnya dilakukan. Lihat, Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, 223

    95

    memisahkannya ke dalam dua tema besar. Yakni, hadis yang memiliki implikasi syariat dengan segala kewajiban untuk mentaatinya dan hadis yang tidak memiliki implikasi syariat dengan ijtihad manusia sebagai alat perabanya. 1. Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan non-Tashri>’iyyah Orang yang pertama kali membagi Nabi menurut statusnya dalam menyampaikan hadis yakni Shiha>b al-Di>n al-Qara>fi> (684 H). setidaknya ada empat pembagian yang ia lakukan.10 Pertama, bahwa sebagian ini hadis adalah berisi tabligh atau fatwa yang dengannya maka siapapun yang menerimanya harus melaksanakannya termasuk uamt muslim hingga akhir zaman. Kedua, sebagian hadis lain adalah keputusan Nabi dengan status hakim. Karenanya, dalam hal ini siapapun tidak boleh melakukannya kecuali dalam posisi sebagai hakim.11 Ketiga, adalah posisi Nabi sebagai kepala negara. Sebagaimana yang kedua, bagi siapapun tidak dibenarkan melakukan hal yang sama selama ia tidak berkedudukan sebagai kepala negara. Sebagaimana pembolehan Nabi atas kepemilikan tanah bagi mereka yang menghidupkannya.12 Pemisahan di atas memiliki implikasi terhadap fungsi hadis itu sendiri. Karenanya, kemudian Mah{mud Shaltu>t (w. 1963 H) menjelaskan bahwa sunnah secara umum dapat dibagi dua yakni sunnah tasyri>’iyyah dan non tasyri>’iyyah. Shaltu>t dalam memberikan gambaran sunnah non tasyri>’iyyah dalam tiga kategori yakni; pertama, sunnah dalam konteks kebutuhan hidup manusia sepeti makan, minum, berdiri, jalan, tidur dan sebagainya. Kedua adalah sunnah yang terkait dengan respon terhadap problem sosial masyarakat seperti pertanian, kedokteran dan panjang pendeknya baju. Ketiga, sunnah yang terkait dengan pengaturan manusia dalam 10

    Pembahasan panjangnya bisa dilihat pada Shiahab al-Din al-Qarafi, al-

    Furu>q (Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt) juz 1, 105-208. atas.

    11

    Seperti pada hadis pembolehan pemakaian sutera oleh beberapa Sahabat di

    12

    Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud (Beirut: maktabah Asriyah, tt) juz 3,

    178.

    96

    peperangan seperti strategi perang, mengatur barisan dan sebagianya.13 Artinya, semua riwayat yang berkaitan dengan hal tersebut bukan merupakan syariat yang berkaitan dengan tntutan berbeuat ataupun meninggalkannya. Lain dari pada itu, ‘Abdul Wahab Khalaf (w. 1955) memberikan pandangan lain bawa sunnah yang tidak menuntut terhadap adanya kewajiban untuk diikuti terbagi dengan tiga katergori lain yakni: pertama, berasal dari tabiat kemanusiaan Nabi. Kedua, apa yang datang dari Nabi berupa padangan ilmu pengetahuan dan ketiga, apa yang berasal dari Nabi dan ada dalil syariat yang menunjukkan bahwa itu khusus bagi Nabi dan bukan perintah secara umum.14 Selain istilah sunnah non tashri>’iyyah yang digunakan oleh dua ulama di atas ada pula istilah lain. Al-Shaukani (w. 1250) misalnya menggunakan tiga istilah sekaligus yakni sunnah laisa fi>hi uswah (bukan untuk dicontoh), sunnah laisa fi>hi ta’assin (bukan untuk dijadikan dasar) dan sunnah la> bihi iqtida’ (tidak untuk diikuti).15 AlJuwaini (w. 478 H) mengatakan sebagai sunnah la> istimsaka (tidak untuk jadi pegangan),16 bahkan al-Ghaza>li> (w. 505 H) memberikan istilah la h{ukma lahu aslan (tidak mengandung hukum sama sekali).17 Dalam kajian ilmu hadis setidaknya Ibn Qutaibah (w. 276 H) bisa menjadi titik awal pembahasan ini. Dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadith, Ibn Qutaibah menyampaikan bahwa sunnah terbagi menjadi 3 macam.18 Pertama, sunnah yang diberikan Allah melalui perantara jibril baik berbentuk hadis qudsi mapun hal yang berikaitan hukum penjelas terhadap Alquran seperti hadis berikut. 13

    Mahmut Shaltut, al-Isla>m: ‘Aqi>dah wa Shari’ah (t.tp.: Dar al-Qalam, 1966), 509. 14 Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilm Us}ul al-Fiqh (Kuwait : Dar al-Qalam, 1978) 43-33. 15 Al-Shaukani, Irsha>d al-Fuh}ul ila> Tahqi>q al-H}aq min ‘Ilm al-‘Ushul (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999) juz 1, 165. 16 Al-Juwaini, Al-Burha>n fi> Us}ul al-Fiqh (Mesir: al-Wafa’, 1518 H) 321. 17 Al-Ghazali, Al-Mankul min Ta’liqa>t al-‘Us}ul (Damaskus: Dar al-Fikr, 1400 H) 255. 18 Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, 1995) 181184.

    97

    19

    “haramnya (dinikahi) saudara sepersusuan sama dengan haramnya (dinikahi) saudara satu nasab.” Kedua, adalah ketika Nabi Saw diizinkan oleh Allah untuk menetapkan sesuatu dengan menggunakan ijtihadnya untuk memberikan keringanan sesuai dengan alasan hukum yang ada. Seperti yang terjadi pada Zubair ibn Awwam dan Abdurrahma>n ibn ‘Auf yang diperbolehkan oleh nabi memakai pakaian dari sutera karena alasan penyakit yang mereka derita.20 Ketiga adalah sunnah yang ditetapkan Nabi sebagai pelajaran akhlak. Jika diikuti ia akan mendapat keutamaan dan jika tidak ia tidak akan berakhibat dosa. Hal ini seperti makan binatang ternak yang memakan kotoran.21 Adapun dalam tafsir al-Mana>r, Rashid Rid{a> (w. 1935) ketika menjelaskan Surat al-A’raf ayat 158 mengatakan bahwa mengikuti atau ittiba’ kepada Nabi adalah pada hal yang berkenaan dengan syariat yang dibawanya yakni Alquran maupun sesuatu yang ia jelaskan darinya.22 Tentu, tidak termasuk di dalamnya kebiasaan yang dilakukan Nabi.23 disamping itu, lebih lanjut Ibn ‘Ashur (w. 1393 H) menjelaskan bahwa memang kadang perbuatan Nabi seolah mengandung sebuah shariat tertentu namun ternyata hal tersebut 19

    Hadis ini berkenaan dengan anak perempuan Hamzah, lihat Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{ (Riyadh: Dar Tahauq, 1422 H) juz 3, 170. 20 Lihat Muslim Ibh Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{ (Beirut: Dar al-Ihya’ alTurath, tt) juz 3, 1636. 21 Dalam hal ini istilah yang dipakai biasanya adalah al-jalla>lah. Lihat, Ah{mad ibn al-H{usain al-Baihaqi, Ma’rifat Sunan wa al-Athar (Beirut: dar alQutbiyyah, 1991) juz 14, 106. 22 Muhammad Rashid Rid{a, Tafsi>r Al-Mana>r (Kairo: Dar al-Manar, 1947) juz 3, 303. Namun demikian, Ridha menyadari bahwa banyak ulama yang masih menganggap bahwa apapun yang dilakukan Nabi adalah sunnah. Hal inilah yang harus dikoreksi. Meskipun, bagi mereka yang melakukan perbuatan Nabi namun sekedar untuk mengingat dan sebagai bukti cinta tanpa ada keyakinan bahwa hal itu perintah agama dan tidak membahayakan akidah maka tentu hal ini juga dianggap positif. Lihat, Rashid Rid{a, Tafsi>r Al-Manar>, juz 3,305. 23 Lihat sebagimana yang dikutip oleh Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah non-Tashri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi (Yogjakarta: Arruz Media, 2011) 178-179.

    98

    justru untuk menjelaskan sesuatu yang lain. Seperti hajinya Nabi menggunakan unta. Tentu ini bukanlah perintah Nabi bahwa haji harus menggunakan unta, melainkan pada saat itu agar mudah difahami oleh banyak Sahabat maka Nabi pun menggunakan unta.24 Selain berbagai pandangan di atas, Al-Qarad{a>wi> menjelaskan sebagaimana yang dikutib oleh Tarmizi M. Jakfar bahwa sunnah non tashri>’iyyah memiliki dua posisi; pertama adalah pada perbuatan nabi yang tidak ada perintah dan larangan didalamnya, maka hal ini menjadi mubah dan kedua perbuatan Nabi yang terdapat di dalamnya perintah dan larangan, maka hal ini masuk dalam kategori irsyad atau anjuran semata.25 Pendapat ini sebenarnya sejalan dengan istilah yang dipakai oleh Sulaima>n al-Ashqa>r dengan kata iba>h{ah atau pembolehan. Al-Ashqa>r memberikan dua istilah iba>h{ah dengan istilah iba>h{ah aqliyyah dan iba>h{ah shar’iyyah. Iba>h{ah aqliyyah adalah kebolehan terhadap apa yang dilakukan Nabi berdasarkan argumentasi rasional cara makan, minum, tidur, pengobatan dan sebagainya. Sedang, ibah{ah syar’iyyah adalah kebolehan yang didasarkan pada shari’at seperti menikahi istri anak angkat dan yang lainnya yang diperbolehkan oleh syariat.26 Adapun bagi Muh{ammad al-‘Aru>sy27 sebagaimana yang ia kutib dari Ibn H{azm (w. 456 H) bahwa isyarat mubah ini muncul dari apa yang diungkapkan Nabi dalam sebuah hadis, “Tinggalkanlah/biarkanlah apa-apa yang aku biarkan untuk kalian.

    Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena pertanyaan dan perselisihan mereka pada para Nabinya. Jika aku larang kalian sesuatu maka jauhilah, dan jika aku perintah kalian sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” 24

    Al-T{ahir ibn ‘Ashur, Maqa>si{ d al-Shari’ah al-Isla>miyyah (Kairo: Dar alSalam, 2005) 27. 25 Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah non Tashri’iyyah menurut Yusuf alQaradhawi, 128-129 26 Muhammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala alAh}ka>m al-Syar’iyyah (Kuwait: Maktabah al-Mana>r al-Islamy, 1976), 195 dan 395. 27 Muh{ammad al-‘Aru>sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha ‘ala> al-Ah{ka>m, 202.

    99

    Perintah untuk mendiamkan apa yang dibiarkan Rasul dan mengerjakan perintah semampunya inilah yang kemudian menjadi alasan bahwa seseorang harus melakukan semampunya saja. Artinya, jika ia tidak mampu maka tidak ada dosa baginya. Selain itu Ibn H{azm (w. 456 H) melanjutkan, adanya penjelasan dalam Alquran 28 bukan menggunakan . Sehingga, siapapun yang memahami bahasa Arab pasti akan mengatakan bahwa ungkapan pertama adalah menujukkan anjukan dan bukan kewajiban. Maka, siapapun boleh mengikutinya ataupun meninggalkannya. Istilah-istilah tersebut muncul tentu bukan tanpa alasan. Melainkan, memang banyak ditemukan hadis-hadis yang pada akhirnya tidak bisa digunakan pada masa kekinian karena perbedaan ruang, waktu dan peralatan. Sedang konsekuensi adanya hadis ini terkait penggunaanya sebagai sumber hukum Islam tidak dimasukkan dalam golongan tasyri’ atau tidak ada kewajiban untuk mentaatinya.29 Pandangan ini yang kemudian bagi Sulaima>n al-Ashqa>r menegaskan bahwa perbuatan Nabi akan dipandang sebagai sunnah hanya apabila terletak di dalamnya otoritas, sedang kalau tidak ada kepastian otoritasnya ia bukan sunnah tetapi sama seperti perbuatan manusia pada umumnya.30 2. Kerancuan

    Perdebatan

    Sunnah

    Tashri>’iyyah

    dan

    non-

    Tashri>’iyyah Meskipun penjelasan antara sunnah tashri>’iyyah dan nontashri>’iyyah ini cukup banyak diperdebatkan ternyata hal ini masih menyisakan beberapa persolan. Pertama, adalah tentang garis pembeda yang manakah tashri>’iyyah dan mana yang tidak. Hal ini nampaknya sama seperti perbedaan apakah Nabi hanya sebagai penjelas soal ketuhanan dan kebertuhanan semata ataukah soal keduniaan juga? 28

    QS. al-Ah{zab [33] : 21. Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah. cet. 3, (Kairo: Dar al-Suru>q, 2002) 48. 30 Muhammad Sulaima>n al-Ashqa>r, Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala alAh}ka>m al-Syar’iyyah, 189. 29

    100

    Kedua, adalah tentang status hukum dari sunnah non-tashri>’iyyah itu sendiri. Apakah semua hadis yang dimaksud sebagai sunnah tashri>’iyyah itu akan dibuang begitu saja atau haruskah bagaimana? Orang yang cukup keras terhadap pembagian sunnah ini adalah Sulaima>n ibn Sha>lih{ al-Khurasy. Al-Khurasy bahkan mengatakan bahwa hal ini adalah bid’ah karena memang tidak pernah disebutkan oleh ulama salaf.31 Akan tetapi, jika ditelusuri lebih lanjut Tarmizi M. Jakfar menyatakan bahwa sejak zaman Nabi sebenarnya kasus pemilahan terhadap perbuatan Nabi sudah dilakukan oleh Sahabat. Hal ini bisa dilihat pada hadis-hadis yang sudah dijelaskan sebelumnya seperti: pernyataan H{abab ibn Munzir tentang strategi perang yang diusulkan Nabi namun H{abab ternyata memiliki ide yang lain32 atau tentang Bara>rah yang menolah rujuk dengan suaminya padahal sudah diberikan saran oleh Rasulullah.33 Untuk itu, pemahaman tentang tiadanya pertimbangan perintah Nabi yang berimplikasi terhadap tindakan umat atau tashri’ sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi sekalipun. Akan tetapi perlu pula disadari bahwa tidak pernah kemudian Sahabat membaginya sebagai tashri>’iyyah maupun non-tashri>’iyyah. Persoalan berikutnya yang diungkapkan oleh al-Khurasy adalah tentang kriteria yang bisa membagi keduanya. Hal ini cukup rumit dilakukan bahkan bisa jadi setiap orang akan berpendapat berbeda sebagaimana pembahasan sebelumnya. Terlebih yang paling tahu perbedaan keduanya tentu adalah Nabi sendiri. Dalam pandangan lain al-Maudu>di (w. 1979) mencoba mendudukkan masalah ini terhadap bahasa teoritis dan praktis. Dalam pandangan teoritis, kata al-Maudu>di, perbedaan antara kapasitas serta fungsi menusia dan kenabian Rasulullah Saw tidaklah bisa ditolak 31

    Sulaiman ibn Shalih al-Khurasy, Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dalam Timbangan (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafii, 2003) 187 32

    Lihat penjelasan pada bab 3 sebelumnya atau lihat ‘Abd al-Jalil Isa Abu> al-Nas}r, Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam (Kairo: Da>r al-Ih{ya’ al‘Arabi, 1950) 190-192. 33 Lihat hadis dalam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad S{ah{ih{, juz 7, 48.

    101

    begitu saja. Rasulullah datang untuk mengajarkan manusia agar taat kepada Allah dan bukan mengikuti kehendak pribadinya. Kewenangan yang ia miliki bukanlah berdasarkan kualitas kemanusiaan yang ia miliki namun berdasarkan peranan yang ia dapatkan dari Allah sebagai utusan yang menjelaskan perintah Allah sebagai Tuhan kepada manusia.34 Problem sebenarnya menurut al-Maudu>di terletak dalam pandangan praktis. Dalam hal ini persoalan lebih rumit karena kapasitas kenabian dan kapasitas kemanusiaan menyatu dalam diri Muhammad. Karenanya perbedaan tidak terlihat begitu jelas. Terlebih segala perbuatan yang Nabi lakukan juga pasti dengan mempertimbangkan pengetahuan akan wahyu Alquran yang langsung ia terima. Untuk itu, al-Maudu>di menyatakan bahwa bagi umat Islam tidak selayaknya memutuskan sendiri bahwa sebagian sunnah hanya merupakan tindakan manusiawi dan tidak mengikat. Terlebih pertanyaan Sahabat seperti H{abab ibn Munzir dalam riwayat perang Badar sebelumnya menunjukkan bahwa Sahabat sekalipun akan hampir selalu melakukan apa yang dilakukan Nabi kecuali hal itu memang benar-benar dianggap bisa ditawar ataupun diinterpretasikan dengan perbuatan lain. Al-Maududi kemudian menawarkan dua cara untuk mengetahui bagian dari sunnah itu yang tidak mengikat yakni dengan cara: pertama, dengan alat informasi khusus dari Alquran atau hadis yang membuat suatu hal menjadi jelas. Kedua, dengan menerapkan prinsipprinsip penafsiran yang mapan. Misalnya, masalah makanan35 dan minuman yang mendetail yang dilakukan oleh Nabi memang tidak mengikat, namun ada batasan umum yang dijelaskan oleh Alquran maupun suatu hadis yang mengikat. Membedakan sisi sunnah dalam sisi kenabian dan kemanusiaan memang bukan hal yang mudah. Namun menurut al-Maududi, yang 34

    Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-

    Qardhawi. 134-135 35

    Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Thought (Cambridge: Cambridge Univeristy Press, tth) 78; lihat pula Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi, 135-136.

    102

    bisa dilakukan adalah dengan memungkinkan adanya penafsiran terhadap apa yang dilakukan Nabi meskipun tindakan itu adalah tindakan manusiawi belaka.36 Akan tetapi, jika memang jelas bahwa sunnah itu berkaitan dengan Allah atau perintah dariNya maka sudah selayaknya dan semestinya tidak ada lagi perdebatan. Dengan demikian, perdebatan tentang sunnah tashri>’iyyah ini bisa diambil dari tiga sisi yang berbeda. Pertama, adalah sisi keniscayaan adanya sunnah non-tashri>’iyyah. Hal ini siapapun dan bahkan para Sahabat pun terlihat bahwa mereka kadang memandang perbuatan Nabi tidak selamanya berimplikasi terhadap ketaatan atau tashri’. Sehingga kepastian akan adanya sunnah non tashri>’iyyah sudahlah jelas. Kedua, tentang otoritas penentu kriteria tashri>’iyyah dan non tashri>’iyyah. Hal ini sangtalah sulit diambil titik-temunya selain perkataan al-Khurasy bahwa yang paling mengetahui tentu adalah Nabi sendiri yang berbuat. Bahkan, kekeliruan Sahabat dalam sistem pertanian kurma yang ditawarkan Nabi pun terlihat dalam masalah ini. Bahwa, Sahabat sendiri tidak mengetahui apakah ini sunnah yang tashri>’iyyah atau tidak. Ketiga, mengenai ruang lingkup antara sunnah tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah. Hal ini akan selalu menuai perdebatan yang sama seperti perdebatan apakah Nabi hanya menyampaikan pada masalah keduniaan ataukah hanya terkait keagamaan belaka. Karenanya, pembedaan seperti al-Qara>fi> akan banyak lagi macamnya jika dilihat dari status seperti guru, suami, ayah, penasehat, pimpinan perang, imam, pedagang, dan sebagainya yang menyatu dalam kepribadian Nabi. 3. Dari Problematika Sunnah Tashri>’iyyah dan non-Tashri>’iyyah ke Sunnah Ijtihadiyah dan Wahyiyyah Dari problematika yang berkepanjangan di atas tentu tidak lagi penulis kemudian ikut serta memperdebatkannya ataupun mencarikan ruang lingkup yang memang saling terkait antara tashri>’iyyah dan non tashri>’iyyah. Sebagaimana penjelasan pada bab sebelumnya dan 36

    Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Thought, 79.

    103

    beberapa tema di atas, pokok persoalan antara sisi kemanusiaan dan kenabian Muhammad yang ada dalam hadis bukanlah terletak pada perdebatan tashri>’iyyah dan non tashri>’iyyah. Mengapa demikian? Setidaknya dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, bahwa urusan tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah adalah urusan praktis yang terikat dengan aplikasi lansung yang dilakukan oleh umat Islam, sedang hadis adalah sebagaimana dasarnya adalah berkaitan dengan tindakan Nabi. Karenanya, jika keduanya dipertemukan tentu akan menuai banyak kesulitan dalam mengkategorikannya karena memang beda medannya. Kedua. Wujud dari sisi kemanusiaan adalah akal, dan hasil dari akal adalah ijtihad. Sedangkan, wujud dari kenabian adalah risalah Tuhan, dan hasil dari risalah Tuhan adalah wahyu yang disampaikan oleh Nabi. Karenanya, membahas sisi kenabian dan kemanusiaan Nabi dalam hadis yang paling tepat bukan pada sisi tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah melainkan pada sunnah ijtiha>diyah dan sunnah wah{yiyyah. Sunnah ijtiha>diyah adalah segala sunnah yang dihasilkan oleh Nabi melalui ijtihadnya sediri. Tentunya, hal ini sangat erat dengan sisi kemanusiaannya. Meskipun tidak dipungkiri bahwa ijtihad Nabi tentu akan pula didasari dengan pengetahuannya terhadap Alquran yang telah diterimanya, terkecuali hal-hal yang memang belum diterimanya waktu itu. Sedang sunnah wah{yiyyah adalah segala sunnah Nabi yang berkaitan langsung dengan penjelasan Allah Swt kepada Nabi. Adapun contoh dari hal ini bisa dilihat dari apa yang disampaikan Nabi berkaitan dengan ketuhanan, berketuhanan, atau segala sesuatu di mana Nabi menyandarkannya kepada Allah sebagai sumbernya. Salah satu contoh sederhana adalah apa yang disampaikan nabi tentang bawang putih. Suatu ketika banyak Sahabat setelah makan bawang kemudian masuk masjid lalu Nabi mencium bau tersebut dan berkata,

    104

    37

    “Sungguh siapa yang memakan pohon yang bau (bawang putih) ini, maka jangan mendekati masjid.” Lalu orang-orang mengira bahwa Nabi mengharamkannya, hingga terdengarlah kabar itu pada Nabi, lalu Nabi berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya tidak ada hak

    bagiku mengharamkan apa yang dihalalkan Allah untukku, hanya saja pohon itu (bawang putih) termasuk jenis tanaman yang tidak aku sukai aromanya.” Secara jelas Nabi sendiri mengatakan bahwa terkait tentang halal dan haramnya sesuatu pasti Nabi tidak akan sembarangan menggunakan ijtihadnya melainkan akan menunggu wahyu atau perintah Allah secara langsung. Namun demikian, ada pula ijtihad yang dimiliki oleh Nabi yang didasarkan pada sisi kemanusiaannya pribadi tentang suka dan tidaknya pada sesuatu. Tentu hal ini adalah manusiawi belaka selama tidak melanggar perintah atau wahyu yang baku.38 Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam H{ujjatul Ba>lighah-nya telah menyinggung hal ini. Meskipun ia memisahkan sunnah terhadap sunnah dalam konteks penyampaian risalah dan yang bukan dalam konteks penyampaian risalah. Al-Dahlawi juga menyinggung soal ijtihad.39 Dalam konteks kedua sudah dipastikan akan berisi ijtihad Nabi dengan segala pertimbangannya baik pengalaman, kebiasaan maupun wahyu yang ia terima. Namun dalam konteks yang pertama, ternyata ijtihad Nabi juga masih berpengaruh di dalamnya. Dalam kategori konteks risalah, al-Dahlawi membaginya menjadi empat hal 37

    Muslim ibn Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 1, 395. Berbeda dengan penulis, Tarmizi dalam penelitiannya menanggap bahwa hal inilah yang mengindikasikan adanya pemisahan Sahabat antara tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah, namun penulis menganggap bahwa inilah pemisah antara sunnah ijtihadiyah dan sunnah wahyiyyah. Lihat Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah NonTasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi. 161. 39 Syah Waliyullah al-Dahlawi, H{ujjatul al-Ba>lighah (Beirut: Da>r alMa’rifah, tth) 128-129. 38

    105

    yakni tentang keghaiban, syariat, kebijaksanaan dan kemaslahatan umum dan amal utama. Di sini, dua hal yang terakhir, menurut alDahlawi, Nabi masih pula menggunakan ijtihadnya. Dalam arti Allah hanya mengajarkan kaidah-kaidahnya, kemudian Nabi yang mengeluarkan hukumnya.40 Dengan demikian tidak lagi perlu memperdebatkan mana yang tashri>’iyyah dan non tashri>’iyyah karena memang dalam diri Nabi sisi kemanusiaan dan kenabian tidak bisa dipisahkan. Bahkan, dengan adanya sisi kemanusiaan yakni ijtihad ini justru shari’ah kemudian mudah dilakukan oleh manusia. Lihat misalnya pada perintah Allah kepada Nabi tentang perintah shalat 50 kali.41 Andaikata sisi kemanusiaan atau ijtihad tersebut tidak digunakan Nabi tentu akan memberatkan manusia dalam melakukan perintah Allah tersebut. Adapun tentang berita dalam sunnah Nabi, Ibn Qayyim (w. 751 H) telah memiliki dua kriteria. Pertama, berita yang bersumber dari wahyu. berita jenis ini sudah pasti telah disepakati kebenarannya kaena Nabi tidak mungkin berbohong mengenainya. Berita kedua adalah dugaan Nabi mengenai persoalan dunia. Hal ini tergambar jelas dalam riwayat tentang penyerbukan kurma. Dimana, Nabi mengatakan bahwa jika yang disampaikan adalah wahyu maka pastilah kebenarannya, namun jika tidak tentu ijtihadnya bisa jadi sama baik benar maupun salahnya sebagaimana ijtihad manusia biasa42 Sehingga, jelaslah bahwa manksud dari Ibn Qayyim dalam menjelaskan isi berita dari sunnah itu terbagi menjadi dua yakni sunnah wah{yiyyah dan sunnah ijtiha>diyah. Al-Qarad{a>wi> juga sempat berkomentar tentang ijtihad Nabi, meskipun ia lebih memfokuskan perdebatan antara tashri>’iyyah dan non-tashri>’iyyah dari Sunnah. Bagi al-Qarad{a>wi>, Nabi tetaplah

    40

    Lihat penjelasan lengkap pada Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-

    Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi, 174-175. 41

    Lihat para riwayat kisah Isra’ Mi’raj. Lihat penjelasan pada bab 3. Lihat pula pada Musim ibn H{ajjaj, S{ah{ih} Muslim, juz 1, 145. 42 Ibn Qayyim, Mifta>h Da>r al-Sa’adah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993) juz 2, 590-591.

    106

    manusia biasa yang berijtihad, bahkan dalam sebuah persoalan agama sekalipun. Ia contohkan dalam sebuah riwayat,

    43

    Suatu ketika datang seorang perempuan dari Junainah kepada Nabi dan berkata, “Ibuku telah bernazar untuk melaksanakan haji,

    namun ia telah meninggal sebelum bisa melaksanakan haji, maka bolehkan aku haji untuknya?” Rasul kemudian menjawab, “Ya, berhajilah untuknya. Bukankah jika ibumu memounyai hutang kau akan membayarkannya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.” Hadis di atas mengindikasikan bagaimana Nabi memberikan analogi nazar dengan hutang yang harus dibayar. Tentu, ini dianggap sebagai upaya ijtihad Nabi dalam menjawab persoalan Sahabat. Sehingga ijtihad Nabi adalah hal yang sangat manusiawi. Namun demikian, al-Qarad{aw > i> mengungkapkan bahwa terkadang ijtihad Nabi bisa saja salah namun wahyu segera turun untuk memperbaiki kesalahannya. Inilah keistimewaan Nabi Saw dibanding dengan ijtihad pada ulama pada umumnya.44 Ungkapan al-Qarad{aw > i> di atas memang tidak sepenuhnya salah, namun ada hal yang harus dikoreksi bahwa ada kalanya Nabi memang berijtihad dan salah namun tidak dibenarkan oleh wahyu. Hal ini terjadi pada contoh yang sering diungkapkan yakni soal penyerbukan kurma. Namun demikian, al-Qarad{a>wi> memiliki argumen bahwa masalah penyerbukan kurma adalah wilayah non-tashri>’iyyah dan Ijtihad Nabi hanya berlaku pada masalah peperangan dan keduniaan.45 Tentunya hal ini menjadi aneh, karena contoh yang diberikan sendiri adalah ijtihad Nabi masalah haji, apakah bagian dari masalah

    43

    Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 3, 18. Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64. 45 Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64. 44

    107

    keduaniaan? Tentu tidak, artinya bahwa memang sisi kemanusiaan Nabi juga ikut serta dalam menjelaskan syariat. B. Universalitas Hadis dan Ijtihad yang Lokal-Temporal Persoalan berikutnya tentang ijtihad Nabi ini adalah bagaimana kita bersikap terhadap ijtihad tersebut. Sebagaimana difahami pada bab sebelumnya bahwa memang Nabi telah berijtihad dan tidak hanya masalah keduniaan semata namun juga berkaitan dengan masalah agama. Sebelum sampai pada bagaimana kita berisikap terhadap adanya ijtihad Nabi ini ada baiknya kita lihat terlebih dahulu sumber ijtihad Nabi. Nabi Muhammad Saw secara pribadi memang tidak bisa dipisahkan dari sisi kemanusiaan dan kenabiannya. Karenanya pengetahuan yang ia peroleh pun melalui kedua alat itu. Pertama, tentu adalah wahyu baik Alquran maupun lainnya (yang akhirnya berbentuk hadis) yang selalu menyertainya ketika menyelesaikan sebuah persoalan. Kedua, adalah faktor sosial masyarakat Arab yang terikat dengan zaman baik dari segi budaya, peralatan, makanan, peperangan dan sebagainya. Hal inilah yang kemudian membuat kesempurnaan Nabi dalam berijtihad yang hampir sulit ditemukan kesalahannya karena kecerdasannya itu. Sebenarnya al-Qarad{aw > i> pernah mengungkit sedikit mengenai hal ini ketika ijtihad Nabi ia kaitkan dengan sunnah tashri’iyyah dan non tashri’iyyah. Baginya, ijtihad hanya berlaku pada sisi sunnah nontashri’iyyah karenanya dalam masalah ini kita, kata al-Qarad{aw > i> boleh menolak ataupun sependapat dengan dengan Nabi. Ia mencontohkan bahwa keputusan Barirah yang enggan rujuk kepada suaminya adalah contoh yang jelas dalam hal ini.46 Persoalan yang bersisa dari gagasan al-Qarad{a>wi> di atas adalah apakah semua hadis yang beriafiliasi terhadap ijtihad Nabi dalam hal keduniaan boleh ditolak begitu saja? Ataukah justru ada hal yang membolehkan kita untuk mempertimbangkan dan juga menafsirkan kepada hal yang lain? Agaknya pendapat al-Maududi dalam hal ini 46

    Yusuf al-Qarad}a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah, 64.

    108

    lebih bisa diterima ketika mengatakan bahwa sunnah yang terkait dengan hal keduniaan bukanlah berarti sunnah kemanusiaan semata (hal ini karena memang sisi kenabian dan kemanusiaan tidak bisa dipisahkan), melainkan semata-mata bahwa sunnah ini dimaksudkan untuk tujuan berbeda. Oleh sebab itu, harus ditafsirkan dengan cara yang berbeda pula.47 Salah satu contohnya adalah cara makan Nabi dengan tiga 48 jari.

    “Rasulullah biasa makan dengan tiga jari, dan menjilatinya sebelum mencuci tangannya.” Hal ini tentu selain kita mengingat bahwa pada masa Nabi makanan yang sering adanya adalah kurma dan roti, tentu tidak membutuhkan banyak jari terlebih peralatan modern seperti sendok, garpu dan sebagainya. Namun, bukanlah alat itu yang menjadi pelajarannya, melainkan bahwa kita dalam makan sesuatu hendaknya tidak berlebihan. Inilah yang kemudian kita tafsirkan dengan adanya semangat Alquran yang menyebutkan untuk makan dan minum namun tidak berlebih-lebihan. “Makan dan minumlah, namun jangan

    berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”49 1. Universalitas Hadis Nabi Muhammad Saw. Kembali pada pokok persoalan awal bahwa hadis bagaimanapun telah menjadi sumber ajaran Islam. Karena, sebagimana ungkapan al-Sha>tibi, yang dicatat oleh Abu Zahrah50 memang Alquran lebih banyak menjelaskan sesuatu yang bersifat general dan Nabi kemudian diberi tanggung jawab untuk 47

    Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Thought, 79. Muslim ibn Hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 3, 1605. 49 QS. al-A’raf [7]: 31. 50 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Terj. Hamdan Rasyid dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005) 151. 48

    109

    menjelaskannya seperti cara shalat, haji, puasa dan sebagainya. Karena itu ketaatan kepada Allah takkan berarti tanpa ketaatan kepada Nabi sebagi pembawa firman Allah sendiri.51 Ketatan ini harus bersifat universal dan tidak berubah sampai kapanpun. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa ketaatan kepada Allah yang harus dilakukan seumur hidup harus pula disertai dengan ketaatan kepada Rasul, dan hadislah yang menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Selain karena Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama terakhir dari Allah kepada manusia setidaknya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan keharusan universalitas hadis itu.52 Pertama, jumlah umat Islam yang begitu banyak tersebar dengan berbagai budaya, wilayah geografis, dan kondisi sosial berbeda tentu tidak sama dengan apa yang dialami Nabi. artinya, Islam bukanlah agara orang Arab melainkan agama seluruh manusia. Kedua, kenyataan bahwa saat ini umat Islam tidak menyatu dalam satu daulah isla>miyah, maka konsekuensi kelanjutan hadis sebagai bagian dari sumber ajaran Islam pun tak selamanya bisa terlaksana dengan sama. Terlebih pada negara yang jumlah umat Islam minoritas. Ketiga, dalam keputusannya, Nabi telah memberikan contoh agar menyesuaikan Islam sebagaimana kondisi masyarakat. Hal ini tergambar pada perubahan yang dibuat Nabi dalam hukum ziarah kubur bagi umat Islam.53 Dimana kekhawatiran Nabi terhadap akidah Sahabat yang belum matang dan sangat rentan terhadap kekufuran dan kemusyrikan membuat Nabi melarangnya, namun tatkala pemahaman itu cukup maka Nabipun kemudian membolehkannya.54 51

    QS. An-Nisa [40] : 80. Sebenarnya banyak hal yang membahas hal ini, namun penulis mencoba menyederhanakan dari apa yang penulsi anggap perlu. Lihat misalnya pada, Suryadi, Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis, atau Hanim Ilyas, Kontekstualisasi Hadis dalam Studi Agama, yang terkumpul dalam Bunga Rampai Wacana Hadis Kontemporer (Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2002) 138-180. 53 Muslim ibn Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 672. 54 Lihat Fais{al ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Najdi, Tatri>z Riya>d{ al-S}a>lihi>n (Riyadh: Da>r al-‘Asimah, 2002) 386. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa jika hari ini di 52

    110

    Kempat, adanya peran Sahabat sebagai orang yang dekat dengan Nabi namun mecoba menafsirkan perintah Nabi dengan menyesuikan zamannya. Hal ini pernah dilakukan oleh Umar ibn Khattab saat menjadi khalifah namun tidak menghukum orang yang mencuri karena pada masa itu terjadi kekeringan. Kelima, Islam adalah agama rah{matan lil ‘a>lami>n. Karenanya ia harus selalu bisa terlaksana dan difahami agar selalau s}a>lih{ li kulli zama>n wa maka>n. 2. Ijtihad Nabi Sebagai Hadis yang Universal dan Lokal Temporal Kelima hal sebelumnya memang akan menjadi pembahasan terus menerus agar hadis mudah difahami dan diaplikasikan oleh umat Islam. Namun, agaknya ada usaha yang berbeda jika kemudian yang digunakan adalah ijtihad Nabi. Ijtihad sebagai upaya nalar manusia tak terkecuali Nabi tentu sangat tergantung pada pengetahuan internal dan eksternalnya. Yang dalam hal ini pengtahuan internal Nabi adalah sisi kehidupan sosial yang mempengaruhi cara berfikir dan pengetahuannya sedang sisi eksternalnya adalah wahyu yang kapan saja bisa datang baik sekedar menginformasikan hal baru, ataupun mengingatkan ketika terjadi kesalahan. Contoh ijtihad Nabi yang lokal temporal namun berisi pesan universal adalah berikut,

    55

    Bahwa Rasulullah pernah melarang tiga hal dan kemudian membolehkannya. Yakni, tentang ziarah kubur, menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, minum dari wadah kulit. Tentunya perbahan ini harus melihat konteks sebab perubahan itu terjadi. suatu daerah masih terdapat umat Islam yang melakukan ziarah namun masih tercampur di dalamnya unsur kekufuran dan kesyirikan maka hal itu seharusnya dilarang hingga mereka mengetahui fungi ziarah yang sebenarnya. 55 Muslim ibn H{ajjah, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 3, 672.

    111

    Pertama tentang ziarah yang menjadi problematika sebenarnya adalah bukan ziarah melainkan adalah masalah kesyirikan dan kekufuran sebagiman dijelaskan sebelumnya. Kedua, adalah jaminan masyarakat untuk mendapatkan daging kurban dan ketiga adalah dilarangnya mabuk. Di sinilah sebenarnya secara langusng Nabi telah mengajrakan bahwa ada sisi lokal temporal pada apa yang ia sampaikan dan ada sisi universal yang sampai kapanpun harus terlaksana. Dengan demikian, kesimpulan universal dari hadis di atas adalah sampai kapanpun kesyirikan dan mabuk adalah hal yang dilarang dalam agama karena jelasnya dalam wahyu Alquran dan menjamin ketiadaan lapar dalam diri umat Islam adalah kewajiban yang tidak boleh dilupakan. 3. Menyikapi Semangat dan Hasil Ijtihad Nabi Setelah perbincangan mengenai Ijtihad telah benar adanya dan berbagai kaitan dan contohnya telah disebutkan, maka saatnya kita mediskusikan bagaiman menyikapi adanya ijtihad Nabi itu. Setidaknya ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya perbedaan sikap kita terhadap ijtihad Nabi dalam hadis yang berbeda dengan sikap kita terhadap Nabi yang disertai dengan adanya perintah Alquran. Setidaknya ada 4 ruang lingkup yang harus difahami secara berbeda dalam ijtihad Nabi. antara lain: a. Ijtihad Nabi yang dibenarkan Wahyu Untuk masalah ijtihad model pertama ini sikap kita jelas akan menerimanya karena alasan wahyu. Alasan ini tentu tidak perlu diperdebatkan karena Nabi bertugas menyampaikan wahyu Tuhan, oleh karenanya wahyulah yang kemudian menjadi alasan utama ijtihad Nabi wajib diterima. Contoh seperti ijtihad Nabi tentang keinginannya merubah kiblat, meringankan jumlah shalat dalam sehari bagi umat Islam, keharusan Nabi menikahi anak angkatnya, ataupun kesalahan Nabi dalam mengikuti pendapat Abu Bakar dalam menerima tawanan perang dan sebagainya adalah model ijtihad Nabi yang kemudian dibenarkan wahyu.

    112

    Masalah ini membuktikan gambaran sebenarnya kemanusiaan Nabi yang tidaklah jauh berbeda dengan manusia yang sangat tergantung pada wahyu, terlebih pada hal-hal terkait masalah yang ghaib dan ketuhanan. b. Ijtihad Nabi Terhadap Kasus Duniawi Untuk kasus kedua ini memang yang cukup banyak diperdebatkan. Terlebih dalam kajian sunnah tashri>’iyyah dan nontashri>’iyyah ijtihad ini menjadi hal yang kadang tak lagi diperhatikan. Namun, hadis tetaplah ungkapan Nabi yang bisa salah dan benar terlebih menyangkut dunia. Hal ini karena memang disadari bahwa sumber ijtihad Nabi adalah wawasan Alquran yang ia dapatkan dari Allah secara langsung dan pengalaman kehidupannya yang mungkin berbeda dengan pengalaman kehidupan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, hadis seperti kesalahan dalam penyerbukan kurma, ketidakmauan Bara>rah untuk rujuk dengan suaminya, ataupun masalah H{abab ibn Munzir tentang siasat perang tentu memiliki cara pandang dan perpektif lain. Adapun jika terjadi kesalahan dalam hal ini, maka sumber kesalahan itu pun dari dua hal. Pertama, adalah ketiadaan informasi dari wahyu Allah Swt. Kedua, pengalaman kehidupan Nabi dalam hidup bermasyarakat maupun berprofesi. Misalnya kesalahan Nabi dalam mengusulkan model menyerbukan kurma, tentu disadari bahwa memang Nabi tidak pernah bekerja sebagai petani, sehingga mau tidak mau pengetahuan Nabi tentang hal ini tidak lebih baik dari para petani itu. Kedekatan Nabi kepada Allah membuatnya sangat mungin untuk dituntun sebagai model kehidupan atau uswah,56 terlebih masalah akhlak. Untuk itu dalam menyikap sisi kehidupan Nabi yang perlu dilakukan ada beberapa hal. Pertama, adalah kemudian mencari semangat dari Ijtihad Nabi itu sendiri. Hal ini menjadi penting untuk difahami bahwa pemahaman Nabi tentang kehidupan sedikit banyak ia juga dapatkan dari pemahamannya dalam Alquran. Misalnya masalah 56

    QS. Al-Qalam [68]: 3; Lihat pula riwayat Abu> Hurairah dalam Ah{mad ibn H{usain al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra> (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmi, 2002) juz 10, 323.

    113

    seperti makan tiga jari57 di atas bukan keikutsertaan melakukan hal yang sama yang menjadi persoalan, selain karena berbeda objek makanan dan budaya, tentu sikap Nabi adalah cerminan dari keharusan untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan. Begitu pun, hal ini terjadi pada kasus memanjangkan pakaian hingga bawah mata kaki yang dilarang Nabi. Ketika, Abu Bakar bertanya tentang pakaiannya, jawab Nabi ia bukan termasuk yang didalamnya karena poin pentingnya adalah kesombongan bagi pemakainya.58 Al-Qarad{a>wi> dalam hal ini bahkan lebih keras ketika menganggapnya bid’ah, yakni tentang memegang tongkat sebagai hal yang pernah dilakukan Nabi. Tentu al-Qarad{a>wi> tidak sepenuhnya salah, karena yang ia maksud bid’ah adalah mereka yang menganggap bahwa membawa tongkat adalah sunnah yang diperintahkan Nabi dan bernilai pahala.59 Tindakan seperti itu ada mengada-ada, karena Nabi menggunakannya untuk suatu tujuan seperti bersandar atau mengusir binatang. Karenanya semangat yang harus diambil dari hadis ini adalah seseorang harus kuat dan terhindar dari hal yang membahayakan diri. Inilah yang memang bisa kita fahami dari apa yang diungkapkan wahyu60 bahwa kita tidak boleh membahayakan diri dan apa yang dilakukan Nabi tersebut. Kedua, melakukan kontekstualisasi sebagaimana karakter sosial masyarakat yang ada. Hal ini tentu sangat berkaitan dengan segala peralatan dan teknologi yang ada pada masa Nabi dan hari ini. Misalkan masalah Nabi haji naik unta, tentu siapapun bahkan orang Arab sendiri tidak akan melakukan hal yang sama. Ataupun hal yang berkaitan dengan ibadah, namun ia bukan masalah ibadahnya. Seperti menentukan arah kiblat yang dulu harus mengira dan bahkan sebagian cukup hanya dengan sikap yakin saja maka hari ini harus dirubah dengan adanya berbagai teknologi yang ada. Atau, masalah

    57

    Muslim ibn Hajjaj, S{ah{ih{ Muslim, juz 3, 1605. Muh{ammad ibn Isma>‘il al-Bukha>ri, Musnad al-S{ah}ih}, juz 7, 74. 59 Yusuf Al-Qaradawi, terj. Abdul Hayyie al-Kattani. al-Sunnah wa alBid’ah (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) 25-30 60 QS. Al-Baqarah {2} : 195. 58

    114

    menentukan awal bulan Hijriyah.61 Dulu, tentu sistem perhitungan tidak se-moderen hari ini, sehingga mata kepala menjadi dasar utama. Namun ketika ilmu astronomi hari ini telah maju, maka selayaknya kita mengikuti zaman yang ada. Ketiga, kepada sebuah informasi yang tidak perlu pelaksanaan seperti masalah sains, ramalan masa depan dan sebagianya. Maka yang harus dilakukan adalah menelaah kebenarannya dan menujukkannya sebagai bagian dari keutamaan Nabi dalam memberikan informasi. Bisa jadi informasi tersebut menjadi hal yang mutlak adanya sebagaimana apa yang diungkapkan Nabi, bisa pula itu kiasan terhadap penemuan sains modern.62 Keempat, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak hal dari Nabi yang bisa tetap dilakukan sampai hari ini, terlebih masalah etika, pengobatan, karakter sosial, ungkapan doa dan sebagainya. Tentu patut kita contoh kebiasaan Nabi yang selalu ramah hingga Sahabat seperti Jari>r tang mengatakan bahwa sejak masuk Islam ia tidak pernah melihat Rasulullah kecuali tersenyum selalu wajahnya.63 Atau soal khasiat madu, jintan hitam, bekam dan sebagainya yang menjadi tradisi pengobatan masa Nabi.64 Berbagai pengobatan itu masih bisa dilakukan hingga saat ini. Untuk kondisi penyakit terntentu, karena memang jenis penyakit pun berkembang seiring zaman, maka sudah selayaknya pengobatan pun berubah. c. Ijtihad Nabi Terhadap Hukum Agama Salah satu ijtihad Nabi yang ia lakukan dalam hal ini adalah masalah menghajikan orang yang sudah meninggal sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam hal ini, Nabi berijtihad dengan mengqiyaskan nazar dengan hutang yang harus dibayar.

    61

    Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 762. Lihat salah satu contohnya pada Bab II tentang Mukjizat Nabi tentang Fenomena Alam dan Sains. 63 Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 7, 24 64 Bahkan dalam hal ini Bukhari membuat bab tersendiri dalam al-Musnad al-Sahihnya tentang kedokterah. Lihat pada, Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, alMusnad al-S{ah{ih{, juz 7, 122. 62

    115

    Pada awalnya mungkin kita berprasangka beribadah untuk orang lain tidak ada dasarnya telebih wahyu Alquran sendiri mengatakan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala dari orang lain.65 Karena itu pandangan kita terhadap riwayat tentang mengganti haji itu menjadi pindah poinnya yakni kepada qiyas Nabi tentang nazar dan hutang. Oleh karena itu, jika seseorang yang meninggal masih punya hutang hendaklah dibayar, karena ada qiyas inilah dibolehkannya mengganti haji. Untuk itu, tidak sembarangan bisa mengganti haji, kecuali orang yang meninggal telah bernazar pada masa hidupnya. Sungguh qiyas inilah yang kemudian menjadi sandaran dan bukan pada perintah Nabi untuk mengganti haji. Contoh riwayat lain terdapat pada hadis tentang Nabi yang mencium ‘Aisyah saat sedang berpuasa. Peristiwa tersebut pun dilaporkan ‘Umar pada Nabi apakah ia batal atau tidak dalam berpuasa. Nabi pun menjawab dengan bertanya kepada Umar, “Bagaimana menurutmu jika kamu berkumur-kumur saat sedang puasa?” Umar menjawab, “Tidak mengapa Ya Rasul.” Nabi pun menambahkan, “Demikianlan pula pada apa yang kamu lakukan itu.”66 Dari dua contoh di atas, menunjukkan bahwa memang sandaran hukum tetaplah pada wahyu yang didapat oleh Nabi baik dalam Alquran maupun hadsi Nabi sendiri yang ia jelaskan pada Sahabat. Karenanya, dalam masalah ini ada dua hal yang harus diambil. Pertama, adalah pada hasil ijtihad Nabi itu sendiri, yakni bahwa Nabi adalah orang yang paling faham terhadap Alquran dan wahyu, karenanya ialah yang paling berhak melakukan qiyas. Hasil ijtihad ini harus ditaati dan dilaksanakan. Kedua, adalah model ijtihad berbentuk qiyas itu kemudian menjadi dasar ulama fikih dalam berijtihad.

    65

    Al-An’am [4] :145. Ayat ini berkenaan dengan tangisan bagi mayit, lihat pada Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 79. 66 Abu al-‘Ala> memperdepatkan siapa yang dicium oleh Nabi apakah ‘Aisyah atau Ummu Salamah. Namun, adapun tentang ‘Aisyah Abu Daud dan Nasa’i menganggap hadis ini munkar, namun di sahihkan oleh Ibn H{uzaimah, Ibn H{ibba>n dan H{a>kim. Lihat, Abu al-‘Ala>. Mubarakfuri>, Tuh{fat al-Ah{wa>zi (Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmi, tt) juz 3, 359.

    116

    d. Ijtihad Nabi Sebagai Nasehat dan Model Kesempurnaan Ijtihad Manusia Model ijtihad lain yang sering dilakukan Nabi adalah tentang nasehat. Tentu bisa difahami bahwa Nabi adalah orang yang paling dekat dengan Allah, karenanya patut kemudian para Sahabat menjadikannya sandaran untuk bertanya bukan hanya masalah ibadah dan akidah melainkan juga nasehat hidup. Karena memang masalah yang dihadapi Sahabat bukan hanya terfokus pada ibadah dan akidah melainkan juga masalah kehidupan dunia. Misalkan pada pilihan menikah yang ditanyakan oleh Ma’qil ibn Yasar kepada Nabi bahwa ia ingin menikah dengan salah seorang perempuan namun ia mandul. Nabi pun melarang Ma’qil untuk menikahinya. Bahkan Ia datang berkali-kali dan akhrinya Nabi mengungkapkan bahwa, “Nikahilah orang yang penyayang dan subur (banyak anak), sungguh aku bangga dengan banyaknya umatku.”67 Ada pula riwayat lain dari ‘Abdullah ibn ‘Umar yang bertanya Islam seperti apakah yang paling baik. Nabi menjawab, “Engkau

    memberi makan kepada yang lain, dan mengucapkan salam kepada siapapun yang kau temui, baik kau kenal maupun tidak.” Namun demikian pertanyaan ini juga ditanyakan oleh ‘Amru ibn ‘As namun dengan ungkapan sedikit berbebda, yakni orang Islam seperti apakah yang paling baik? Nabi menjawab, “Yakni orang yang bisa menjamin keselamatan orang lain dari lidah dan tangannya.”68 Ungkapan nabi yang pertama memberikan pandangan memang pernikahan bukan hanya bertujuan menyatukan dua individu melainkan pula mendapatkan keturunan. Hal ini tentu bisa difahami sebagu tujuan orang melakukan hubungan suami-istri. Meskipun tidak didapatkan informasi dari wahyu bahwa bangga dan tidaknya Nabi dengan banyaknya umat adalah perintah Allah. Sedang tentang riwayat kedua meskipun didapati jawaban berbeda, hal ini tentu tidak kemudian dianggap bahwa Nabi tidak 67

    Abu Dau>d Sulaima>n al-Sijista>ni>, Sunan Abu> Dau>d (Beirut: Maktabah al’Ashriyah, tt) juz 8, 20. 68 Muslim ibn H{ajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 1, 65.

    117

    konsisten dalam menjawab. Namun titik poin masalah Islam disini memang masalah akhlak. Karenanya jawaban bisa berfariasi oleh Nabi, namun pemaknaannya tetap bahwa akhlak adalah sombol Islam yang paling utama. Dengan demikian, untuk masalah nasehat ini yang menjadi sikap seorang muslim adalah dengan melakukannya sedapat mungkin atau sebisa mungkin. Hal ini tentu karna kadar seseorang mungkin saja berbeda dalam melaksanakaannya, misalnya orang yang terlanjur menikah namun baru ketahuan mandul atau orang bisu yang tidak bisa mengucapkan salam tentu hal ini tidak menjadi beban dan dosa bagi mereka. Di sisi lain, perintah ini hanyalah wujud dari keutamaan ajaran Islam semata. Bahwa kemudian Nabi memberikan jawaban yang berbeda adalah bentuk yang paling baik agar jalan keutamaan terlebih masalah akhlak tidak hanya satu namun banyak jalannya. Adapun masalah menyikap adanya riwayat tentang kesalahan Nabi, hal ini sungguh tidak sama sekali mengurangi keutamaannya dalam kenabian. Karena secara umum kesalahan itu jika tidak terkait masalah agama dan etika maka hal itu memang bukan menjadi fokus pandangan soal kenabian. Namun, jika nabi melakukan kesalahan dalam masalah agama dan etika secara umum pasti wahyu akan memperbaikinya untuk menjaga kesempurnaan agama dan akhlak Nabi. C. Respon Sahabat sebagai Metode Kritik Matan Hadis Sebagai pembahasan terakhir dalam tulisan ini, penulis akan ungkapkan bagaimana respon Sahabat terhadap Nabi terkhusus yang menjadi ijtihad beliau. Ketika Rasulullah mengatakan bahwa Sahabat sezamannyalah sebagai kaum yang baik baik, maka sudah seharusnya umat Islam juga melihat bagaimana sikap dan respon Sahabat tersebut kepada Nabinya. Hal ini kemudian bisa menjadi pandangan awal model kritik matan terbaik. Alasan utamanya, kritik matan yang dilakukan Sahabat sebagai orang yang paling dekat dengan Nabi akan dianggap pula sebagai orang yang paling faham tentang Nabi. meskipun tidak dipungkiri bahwa kekeliruan petani kurma Madinah terhadap pendapat Nabi adalah bagian lain dari kesalahfahaman sikap

    118

    Sahabat terhadap ijtihad Nabi. Untuk itu, setidaknya ada tiga hal yang harus difahami. Pertama, sisi kemanusiaan Sahabat dalam melihat Nabi. Kedua, berbagai model respon Sahabat terhadap ijtihad dan tingkah-laku Nabi. Ketiga, bagaimana respon ini menjadi model kritik matan hadis sebagai bagian dari kajian ilmu hadis. 1. Kemanusiaan Sahabat dalam Melihat Nabi Keutamaan Sahabat cukup besar dihadapan Nabi Saw. karenanya Nabi menyebut mereka sebagai generasi terbaik umat. Namun demikian, Sahabat tetaplah murni manusia biasa yang tidak mengetahui soal wahyu sebagaimana Nabi Saw. Karenanya prasangka Sahabat tentu berbeda dengan Nabi Saw yang langsung dibimbing oleh Allah dalam menentukan sebuah keputusan. Setidaknya kemanusiaan ini terlihat dari dua hal bahwa sebagian Sahabat menganggap bahwa segala apa yang dikatakan Nabi adalah perintah dan larangan yang bersifat wajib atau haram. Sehingga saran seperti untuk tidak melakukan penyerbukan kurma dianggap adalah larangan yang bersifat haram. Inilah yang justru memunculkan kekeliruan.69 Dalam hal ini Al-Qarad{a>wi> menjelaskan bahwa Islam menjanjikan pahala yang besar bagi petani, namun memang tidak mungkin agama menjelaskan keharusan bagaimana cara bertanam, tentang jenin tanaman yang ditanam atau hal lain yang lebih mendetail yang mungkin tiap daerah bisa saja berbeda.70 Namun demikian, ketaatan Sahabat ini tidak kemudian dianggap sebagai bagian dari kebodohan dalam menyikapi Nabi melainkan inilah sisi kemanusiaan Sahabat yang sangat hormat dan cinta pada Nabi. Sehingga, apapun yang disarankan beliau akan selalu dilakukan. Hal lain yang bisa memperlihatkan sisi kemanusiaan Sahabat adalah apa yang diungkapkan Abu Bakar dalam pendapatnya terhadap tawanan perang. Ketika Nabi bertanya kepada Abu bakar tentang 69

    Dalam hal ini al-Qarad{a>wi> memahami bahwa hadis ini sebagai bagian dari sunnah non tashri’iyyah. Lihat Tarmizi M. Jakfar, Otoritas Sunnah Non-Tashri’iyyah menurut Yusuf al-Qaradhawi, 277 70 Yusuf al-Qarad{awi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-had{a>rah, 16.

    119

    nasib tawanan Badar. Abu Bakar menjawab, “Ya Rasulullah, mereka

    dulu adalah bagian dari kita dan keluarga kita. Apakah tidak lebih baik kita mengambil uang tebusan agar kita menjadi kuat terhadap kaum kafir. Maka, semoga allah pun memberikan hidayah kepada mereka untuk masuk Islam.” Nabi pun bertanya hal yang sama kepada ‘Umar, lalu ‘Umar menjawab, “Tidak ya Rasulullah, aku tidak sepakat dengan pendapat Abu Bakar, mereka (tawanan) itu adalah pimpinan kaum kafir, maka hendaklah mereka dibunuh.” Saat itu Nabi agaknya lebih cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Namun tiba-tiba Nabi dan Abu Bakar menangis, lalu Umar pun bertanya, “Ya Rasul apa yang membuatmu dan sahabatmu menangis?” Nabi menjawab, “Aku menangis karena aku setuju untuk meminta tebusan dari tawanan ini.” Kemudian turunlah ayat Alquran, “Tidak

    patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)….”71 Akhirnya tawanan itupun dibunuh sebagaimana perintah Allah.72 Jawaban Abu Bakar tentu menjadi pertimbangan siapapun yang dalam kondisi yang sama lalu ditanyakan oleh Nabi tentang hal itu. Namun, sebagaimana kisah di atas bahwa baik Nabi maupun Abu Bakar dengan sifat kasih sayangnya ternyata salah dalam menentukan hukuman bagi tawanan tersebut. Dengan demikian kemanusiaan para Sahabat adalah hal yang sangat normal mengingat mereka adalah manusia biasa. Namun, karena mereka adalah orang terdekat Nabi maka cara mereka menerima hadsi pun patut menjadi pelajaran penting. Bahkan, Ra’fat Liay Husain73 menyatakan dalam tulisannya bahwa mereka adalah ahli ushul yang sebenarnya. Mereka yang mengetahui bagaimana Nabi menerima wahyu dan bagaimana Nabi menjelaskannya. Dalam hal ini Ibnu Rushd (w. 595 H) juga berpendapat bahwa mereka tidak membutuhkan ilmu usul fiqh dalam 71

    Al-Anfa>l [8]: 67-68. Hadis lebih lengkap lihat. Sah{ih{ Muslim, juz 3, 1383. 73 Ra’fat Luay H{usain, “al-Isha>rat al-Us{uliyyah ‘Inda al-S{ah{abah,” Jurnal Kulliyah al-‘Ulum al-Islami 5, no. 10 (2010) : 157 72

    120

    membahas ini sebagaimana orang Arab yang tak perlu melatih diri untuk berbicara sebagaimana mereka berbicara. Karena itu dalam hipotesis sementara dapat dipastikan bahwa fatwa mereka dan pendapat mereka terhadap Nabi pastilah benar ketika membahas sebuah permasalahan.74 2. Respon Sahabat Terhadap Ijtihad Nabi Untuk memahami lebih lanjut tentang bagaimana cara Sahabat dalam memahami hadis ijtihad ini, ada baiknya melihat bagaimana model respon Sahabat dalam beberapa persoalan berikut. a. Menjadikan Nabi Model Kehidupan Siapapun ketika memahami ayat 31 dari Surat A

  • lagi selamanya.”75 Selain masalah cincin ada pula tentang jenggot dan tongkat sebagaimana sebelumnya dikisahkan dan sebagainya. Semua ini adalah bentuk umum penerimaan Sahabat terhadap apa yang dilakukan oleh Nabi. Namun demikian, Nabi pun tidak sembarangan segala yang dilakukan oleh Sahabat meskipun niatnya untuk kebaikan itu harus dibiarkan saja. Hal ini adalah terkait tindakan Sahabat yang berlebihan dalam beragama. Terkhusus biasanya pada kisah ‘Abdullah ibn ‘Amr 74

    Abu Walid Muhammad Ibn Rusd, al-D{aru>ry fi ‘Us{u>l al-Fiqh (Beirut: Da>r al-Ghurub al-Islami, 1994), 35. 75 Muhammad Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 7, 156.

    121

    ibn al-‘Ash yang berkata, “Aku pernah berpuasa setiap hari dan

    menghatamkan Alquran tiap malam, namun ketika berita itu sampai pada Nabi maka ia pun mendatangiku,” Lalu Nabi berkata, “Benarkah kamu melakukan yang demikian itu?” ‘Abdullah menjawab, “Benar ya Rasul, sungguh aku tidaklah melakukannya kecuali mengharap kebaikan.” Dan ternyata Nabi pun melarangnya dan menjelaskan tentang bagaiman cara shalat malam, puasa Daud dan cara menghatamkan Alquran yang benar.76 Mengenai hal ini bahkan ada riwayat lain dari Anas r.a yang menunjukkan ketidaksukaan Nabi terhadap cara Sahabat tersebut dengan mengatakan, “Demi Allah, sungguh akulah orang yang paling

    takut kepada Allah dan paling bertakwa kepadaNya. Tetapi kadang aku berpuasa kadang berbuka, kadang juga shalat (tahajjud) kdang juga tidur, aku juga menikah. Siapa yang tidak suka sunnahku maka ia bukan golonganku.”77 Dari kisah di atas menunjukkan bahwa mengikuti Nabi pun ada aturannya dan tidak dibenarkan berlebih-lebihan. Namun demikian semua itu kita sadari bukan dengan niatan buruk melainkan kebaikanlah yang ingin diperoleh Sahabat. b. Mengubah Ijtihad Nabi Demi ‘Illah Sahabat Nabi sebenarnya tidak hanya meniru secara buta segala apa yang dilakukan Nabi, melainkan dengan melihat pula apa yang menjadi pertimbangan Nabi saat melakukannya. Karena itu, sebagian Sahabat terutama yang cukup dekat dengan Nabi mengetahui kapan Nabi Saw berijtihad dan kapan ia tidak berijtihad. Untuk itu, sebagaimana cara menyikapi ijtihad Nabi di atas dengan mengambil semangatnya dan mengaplikasikannya secara berbeda pernah dilakukan pula oleh ‘Umar ibn Khattab saat memimpin umat Islam. Setelah menaklukan Irak, ‘Umar tidak lantas membagikan tanahnya kepada umat Islam begitu saja melainkan mewakafkannya untuk penduduk setempat yang menjadi muslim. ‘Umar mengatakan, “Aku 76 77

    Muslim ibn Hajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih}, 2, 813. Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-Musnad, juz 7, 2.

    122

    menginginkan suatu keputusan yang bermanfaat untuk generasi sekarang dan yang akan datang.”78 Mengenai hal di atas, Ibn Qudamah (w. 629 H) sebagaimana yang dikutip oleh al-Qarad{a>wi> mengatakan perbedaan keputusan Nabi dan ‘Umar adalah karena kebutuhan pada waktu itu memang berbeda. Pada masa Nabi umat Islam masik kecil dan sangat membutuhkan perniagaan, namun pada masa ‘Umar umat Islam telah menyebar dan kesejahteraan umum jauh lebih utama.79 Contoh lain adalah apa yang dilakukan oleh Mujahid. Kisah ini diceritakan oleh al-Shaukani (w. 1250) dalam kitabnya Nail al-At}>ar bahwa Ibn Abi Nujaih pernah berkata, “Aku bertanya pada Mujahid,

    mengapa penduduk Syiria wajib membayar paka 4 dinar, sedang penduduk Yaman hanya 2 dinar? Lalu Mujahid menjawab bahwa kebijakan itu menyesuaikan kemampuan mereka.” Al-Shaukani menjelaskan bahwa hal itu tentu bukan berarti Sahabat tidak mengetahui apa yang dilakukan Nabi, namun mereka memahaminya dari apa yang diinginkan Nabi dalam menarik pajak tersebut.80 Bahkan, al-Qarad{a>wi> menjelaskan bahwa bisa jadi urusan menarik pajak adalah urusan politik yang di dalamnya tidak terkait soal ketaatan secara mutlak namun menyesuaikan kebutuhan masyarakat yang ada.81 Dengan demikian, perubahan sikap Sahabat dalam menjalankan sunnah Nabi tidak hanya terpaku pada hasil ijtihad Nabi semata melainkan pada semangat atau pesan yang ada dalam hasil ijtihad tersebut. Tentunya, hal ini akan lebih mudah dilakukan dan diaplikasikan pada setiap ruang dan waktu yang memiliki kondisi berbeda.

    78

    Yusuf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas{daran li Ma’rifah wa al-Had{a>rah, 99. Yusuf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-Had{a>rah, 99-

    79

    100.

    80

    al-Shaukani, Nailul Aut}ar (Beirut: Dar al-Kutub, 1995) juz 8, 217-219 Yusuf al-Qarad{a>wi>, al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-Had{a>rah, 101.

    81

    123

    c. Merespon Hal yang Dikhususkan bagi Nabi Saw Yang dimaksud dengan hal yang dikhususkan bagi Nabi Saw adalah segala perkara baik yang mubah, wajib maupun haram bagi Rasulullah Saw yang tidak untuk dilakukan oleh umat Islam.82 Perlu difahami bahwa tidak semua yang dilakukan oleh Nabi Saw boleh dilakukan oleh Sahabat. Pelarangan ini ada yang memang muncul dengan penjelasannya dari wahyu Alquran secara langsung namun ada pula yang muncul dari Nabi Saw. Bagi Muhammad al-‘Aru>sy dalam Alquran pengkhususan ini cukup jelas jika dilihat dari mukhatab atau lawan bicara Alquran. Jika Alquran menyebut secara umum seperti atau tentu difahami sebagai perintah kepada manusia secara umum. Namun jika panggilan itu berupa atau tentu difahami 83 sebagai pengkhususan terhadapa nabi. Salah satu hal yang langsung diutarakan oleh Alquran adalah kekhususan istri Nabi yang tidak boleh menikah sepeninggal Nabi. Untuk alasan ini Alquran telah menjelaskan sendiri bahwa istri Nabi adalah orang diutamakan sebaga ibu orang mukmin,84 dan mereka akan selalu dijaga kehormatannya. Karena itu, Nabi pun tidak mungkin menceraikan mereka. Karena jika Nabi menceraikan mereka tentu mereka akan dibenci oleh keluarga dan suku mereka.85 Namun demikian, ada pula hal yang kemudian hanya boleh dilakukan Nabi karena nabi khawatir hal itu pasti memberatkan umatnya. Contohnya yakni tentang puasa terus-menerus atau wis{al. Dari Ibn ‘Umar menceritakan bahwa Rasulullah melakukan wishal di awal Ramadhan, maka semua orang pun melakukannya. Namun, ternyata Nabi melarangnya dan berkata, “Kalian tidaklah sama dengan 82

    ‘Abd al-Ha>fiz ‘Abd Muhammad, “Khus{us{iya>t al-Nabi> Saw wa Dala>latuha> fi> Tashri>’” Jurnal al-Jami’ah al-‘Iraqiyah 25, no. 1 (2010) : 167; Dalam tulisan ini ‘Abd al-Ha>fiz memberikan tiga model kekhususan Nabi yakni: pertama, terkait soal pernikahan. Kedua, masalah thaharah dan ibadah. Ketiga masalah jihad, warisan dan tabarruk (kemuliaan). 83 Lihat lebih lengkap pada Muh{ammad al-‘Aru>sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l alRasu>l Saw wa Dala>latuha> ‘ala al-Ah{ka>m, 170-171 84 Al-Ah{zab [33]: 6. 85 Al-Ah{zab [33]: 53.

    124

    ku, sebab Allah yang memberiku makan dan minum.”86 Sehingga, disadari bahwa apa yang dilakukan Nabi ada yang menjadi kekhususan baginya yang tidak selayaknya dilakukan oleh Nabi, tentunya karena alasan yang berbeda pula. Bahwa jika ini dilakukan oleh umat Islam tentu akan sangat berat baginya. Adapun apa yang diungkapkan Nabi di atas, menurut penulis adalah kiasan bahwa hal itu sangat berat dan agar umatnya mau meninggalkan tindakan itu. Hal ini karena memang Nabi hanyalah manusia yang sama seperti yang lain, bedanya ia menerima wahyu dan yang lain tidak.87 Misalnya yang kadang diperdebatkan adalah jumlah istri Nabi yang lebih dari empat. Padahal, dalam riwayat Ibn ‘Umar bahwa Ghailan ibn Salamah ketika masuk Islam ia memiliki istri 10 orang namun Nabi menyuruhnya untuk menceraikan yang enam dan mengambil 4 saja.88 Tentunya hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan Nabi, namun apakah pembatasan ini ijtihad atau wahyu. secara umum tidak ada ungkapan Nabi yang menyatakan bahwa penetapan ini adalah wahyu selain ulama kemudian menetapkannya sebagaimana yang ada dalam Surat al-Nisa ayat 4. Namun, urusan poligami ini bukan masalah batasan yang harus difahami, namun tujuan pernikahanlah yang harusnya menjadi titik poinnya. Masalah ini, sebenarnya telah selesai ketika memang turun ayat yang mengkhususkan Nabi dalam masalah pernikahan sebagaimana pada ungkapan

    Bahwa kekhususan ini hanya

    bagi Nabi dan hukan orang mukmin yang lain. Meskipun wahyu membenarkan ini, namun akal manusia mungkin sebagian akan menentangnya. Akan tetapi, jika dilihat bagaimana kondisi status perempuan masa Nabi Saw tersebut, tentu akan disadari bahwa hal ini adalah untuk mengangkat derajat perempuan dan hanya Nabi lah yang bisa melakukannya pada masa itu. 86

    Muslim ibn H{ajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 776 Al-Kahfi [18]: 110 88 Abu> Isa> Al-Tirmizi, Sunan Tirmizi (Mesir: Shirkah Maktabah Mus{t{afa> alBa>bi>, 1975) juz 3, 427. 89 Lihat lebih lengkap pada surat al-Ahzab [33] : 50 87

    125

    Poligami bukanlah masalah yang mudah. Bahkan, Nabi mengatakan siapa yang punya istri dua namun tidak adil ia akan berjalan miring pada hari kiamat.90 Bukankah ini yang seharusnya menjadi catatan! Bukan pula orang berpendapat bahwa poligami adalah sunnah hukumnya. Bahwa tindakan tersebut sunnah Nabi adalah benar adanya. Namun, dari catatan ini menunjukkan bahwa Nabi bukan menganjurkan atau menyuruh poligami, namun hanya membolehkan poligami. Alasan lain bahwa Nabi menikahi lebih dari empat adalah guna melindungi perempuan lemah bukan urusah sahwat belaka. Tentunya, inilah semangat adanya poligami itu dan bukan urusan sahwat. d. Nabi yang Paling Tahu Soal Agama Masalah yang terakhir ini adalah segala yang dari Nabi sesuai petunjuk Allah, yakni masalah hal yang ketuhanan dan kebertuhanan atau masalah ibadah dan akidah. Dalam masalah ini hampir tidak pernah seorang Sahabat pun menanyakan alasannya melainkan selalu melakukan dan mempercayainya tanpa mempersoalkannya. Salah satu contohnya adalah apa yang diungkapkan oleh Umar saat mencium Hajar Aswad ketika haji bahwa, “Sungguh aku tahu kau

    hanyalah sebuah batu yang tidak memberi manfaat atau madharat. Andai aku tidak melihat Nabi menyentuh dan menciummu maka aku tidak akan pernah menyentuh dan menciummu pula.”91 Contoh lain adalah segala tindakan Allah yang disampaikan oleh Nabi seperti hal yang dicintai olehNya ataupun yang dibenci olehnya. Salah satunya adalah ungkapan Nabi bahwa, “Siapa yang

    senang bertemu Allah, maka Allah pun akan senang bertemu dengannya, dan siapa yang benci bertemu dengan Allah Allah pun akan membencinya." Lalu ‘Aisyah bertanya, “Bagaimana dengan membeci kematian?” “Bukankah kita semua membenci kematian” Jawab Nabi. Kemudian Nabi menjelaskan, “Orang beriman akan senang jika dikabarkan padanya nikmat Allah, karena itu orang 90 91

    Abu Daud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abu> Dau>d, juz 2, 242. Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Musnad al-S{ah{ih}, juz 2, 149.

    126

    mukmin akan senang bertemu denganNya dan Allah pun demikian. Sedang orang kafir akan benci dikabarkan tentang azabNya, karena mereka punbenci bertemu dengannya, begitu pula dengan Allah.”92 Seperti pula laknat Allah kepada kaum Yahudi dan Nasari yang membuat kuburan Nabinya sebagai tempat ibadah.93 Tentu, dalam hal ini Nabi tidak mungkin berijtihad dengan menyandarkannya pada Allah, melainkan Allahlah yang pasti memberi tahu Muhammad tentang hal ini. Karena itu, masalah yang terkait dengan kebertuhanan ataupun yang disandarkan pada tindakan Allah adalah hal yang mutlak harus dilakukan dan dipercaya. Tentunya, setelah sanad dari riwayat itu sudah bisa diyakinkan kebenarannya. 3. Respon Sahabat Terhadap Matan Hadis sebagai Model Kritik Matan Kontemporer Sebagai akhir pembahasan dalam tesis ini setidaknya ada hal yang harus kemudian menjadi kelanjutan terhadap pemahaman hadis Nabi. Al-Adlabi mengungkapkan bahwa kajian hadis hari ini memang telah mulai bergeser dari naqli kepada aqli. Dimana yang maksud dari kajian naqli hadis adalah kajian yang mengupayakan kebenaran periwayatan hadis. Studi hadis ini terfokus lebih banyak kepada sanad hadis, dan bukan isi hadis yang justru menjadi objek pembicaraan Nabi atau yang sering disebut dengan kritik sanad. Sedang aqli adalah kajian matan hadis yakni isi yang disampaikan oleh Nabi, atau yang sering disebut dengan kritik matan.94 Penulis menilai kritik setidaknya ada dua alasan kenapa kritik matan hari ini menjadi fokus para ulam hadis. Pertama, kajian kritik sanad yang sudah lebih dulu dikaji oleh para ulama hadis masa awal telah lebih mudah dilacak pada masa kini sehingga perdebatan mengenai hal ini tidak lagi banyak menjadi fokus. Namun, bukan berarti menyepelekan kajian kritik sanad, melainkan sudah banyak 92

    Muslim ibn H{ajjaj, al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 4, 2065. Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, al-Ja>mi’ al-Musnad al-S{ah{ih{, juz 2, 88. 94 Lihat Salah{uddin ibn Ah{mad al-Adlabi>, Terj. Qodirun Nur. Metode Kritik Matan Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) 3-7. 93

    127

    bacaan yang memudahkan untuk melakukan kajian ini. Kedua, hadis yang telah ada 15 abad itu, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan peradaban yang berbeda. Karenanya, tidak mungkin ia dilakuakan secara tekstual, melainkan upaya kontekstual menjadi penting. Berbeda dengan upaya yang pertama, bahwa upaya yang kedua sisi rasionalitas lebih dominan dari pada tekstual hadis itu sendiri. Berbagai pandangan Sahabat di atas terhadap ijtihad Nabi adalah sisi penting dari kritik matan sendiri. Sekaligus hal ini membuktikan bahwa kirtik matan ternyata sudah dilakukan oleh Sahabat langsung kepada Nabi. Yakni terhadap ungkapan Nabi yang beraviliasi terhadap ijtihad beliau. Meskipun riwayat ini tidak banyak, namun setidaknya menggambarkan apa dan bagaimana pertimbangan Sahabat dalam menerima dan metaati ungkapan dan tindakan Nabi. Al-Adla>bi> sebenarnya sudah menyinggung tentang krtik matan yang dilakukan oleh Sahabat dalam kitabnya. Namun, karena beliau tidak terfokus dalam kajian ijtihad Nabi maka contoh yang berikan adalah upaya kritik matan yang dilakukan oleh Sahabat kepada Sahabat lain dan bukan kepada Nabi.95 Sehingga, contoh yang diberikan oleh al-Adla>bi> masih seputar hadis yang berkaitan dengan hal ghaib dan kebertuhanan seperti ritual ibadah. Di mana, menurut penulis masalah ini lebih membutuhkan kritik sanad dari pada matan karena tidak adanya ijtihad Nabi di dalamnya kecuali beberapa saja. Ijtihad sebagai bagian dari kemanusiaan Nabi tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam kajian hadis. ijtihad sebagai hasil usaha rasional kepada problematika yang terikat ruang dan waktu tertentu hanya bisa dikaji dengan sisi rasionalitas pula dan bukan pada kajian sanad. Meskipun sebelum mengkaji sebuah matan hadis, selayaknya sanad sudah tidak lagi diperdebatkan. Mengapa demikian, karena kritik yang dilakukan oleh Sahabat terhadap ijtihad Nabi tidak memerlukan kajian sanad karena langsung diungkapkan kepada Nabi. 95

    Contohnya pada kritik ‘Aisyah terhadap Abu Hurairah tentang tangisan kepada mayit. Lihat Salah{uddin ibn Ah{mad al-Adlabi>, Terj. Qodirun Nur. Metode Kritik Matan Hadis 86-96

    128

    Selain itu, Sahabat pun perlu mengetahui apakah ungkapan Nabi itu adalah bagian dari wahyu atau yang menjelaskan wahyu, ataukah ia hanya respon lain atau ijtihad diluar tema wahyu yang ada. Mengikuti Nabi di luar perintah wahyu sebagaimana yang dilakukan Sahabat, secara umum Muhammad al-‘Aru>sy menilai bisa dilihat dari dua dalil baik aqli maupun naqli. Dalil aqli mengatakan bahwa tindakan Nabi pasti bernilai wajib atau sunnah, namun ketiadaan perintah lebih mendekatkan pada sunnah dari pada wajib. Sedang dalil naqli dalam ayat karena menggunakan kata lakum dan bukan ‘alaikum, maka hukum sunnah lebih dekat dari pada wajib.96 Dari berbagai gambaran ijtihad Nabi di atas dan berbagai pula respon Sahabat terhadapnya setidaknya ada empat tahapan yang bisa dilakukan untuk melanjutkan kritik Sahabat terhadap ijtihad Nabi dalam hadis agar bisa tetap terlaksana hingga saat ini. Pertama, dengan memilah tema-tema yang ungkapkan atau diperbuat oleh Nabi berdasarkan pada wahyu dan Ijtihad. Kedua, jika memang hal itu adalah ijtihad Nabi dan bukan bersumber dari wahyu, maka harus dikroscek kondisi sosial atau sekitar Nabi saat mengungkapkan hal tersebut atau asbab wurudnya. Ketiga, setelah itu dimungkinkan untuk mencari legal specific atau pesan moral yang jelas di dalamnya. Hal inilah sebenarnya yang dianggap sebagai sisi rasionalitas yang ada dibalik ijtihad Nabi. Keempat, memahami lingkungan baru dimana hadis ijtihad tersebut akan digunakan sekaligus membandingkan dengan lingkungan awal saat hadis itu dimunculkan. Kelima, jika terajdi persamaan yang lebih dominan maka bisa jadi ijtihad Nabi dilakukan sebagaimana mestinya yang juag dilakukan oleh Nabi. Namun jika terjadi perbedaan yang dominan maka dilakukanlah penyesuain legal specific tersebut dengan lingkungan yang baru tanpa menghilangkan legal spesific yang pernah

    96

    Muh{ammad al-‘Aru>sy ‘Abd al-Qa>dir, al-Af’a>l al-Rasu>l Saw wa Dala>latuha>

    ‘ala> al-Ah{ka>m, 201

    129

    ada.97 Keenam, adanya keyakinan sebagaimana di atas bahwa sumber ijtihad Nabi selain dari pada rasionalitas yang ia miliki, namun juga Alquran yang sudah menyatu dalam segala tindakannya. Dengan demikian harus juga dimengerti alasan rasional Sahabat untuk menerima ataupun menolak apa yang disampaikan Nabi. Adapun ungkapan yang lebih jelas tentang hal ini adalah sama seperti yang diungkapkan bahwa memahami Alquran harus seolah bahwa untuk dialah Alquran itu diturunkan. Sama halnya dengan hadis, bahwa mereka yang ingin mengungkapkan hadis, maka ia pun harus tampil sebagai Sahabat yang langsung ikut merespon –dengan segala rasionalitasnya– apa yang pernah diungkapkan Nabi.

    97

    Pada lima hal dari langkah kritik matan yang dilakukan Nabi penulis elaborasi dari tulisan M. Sa’ad Ibrahim, “Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam” al-Tahrir 4, no. (2004): 168.

    130

    BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pembahasan tesis ini difokuskan pada hadis sebagai bagian dari dua sisi yakni kenabian dan kemanusiaan. Dari penelusuran terhadap perdebatan ulama hadis dan kitab hadis ditemukan bahwa Nabi mengeluarkan sebuah pernyataan berbentuk hadis tidak hanya ia peroleh dari wahyu melainkan juga hasi ijtihad pribadinya. Sehingga hadis kemudian terbagi menjadi hadis sebagai wahyu Allah dan hadis sebagai ijtihad Nabi. Dari beberapa pembahasan terdahulu menunjukkan hadis yang beraviliasi terhadap ijtihad Nabi tidak memiliki otoritas yang cukup sebagai sumber hukum Islam, meskipun dalam beberapa hal hadis tersebut menyampaikan sebuah kebenaran informasi. Sisi kemanusiaan yang ada dalam ijtihad Nabi masih memungkinkan terjadi kesalahan, meskipun tidak sebanding dengan kebenaran yang ia sampaikan. Namun demikian ijtihad Nabi meskipun muncul dari olah logika, sumber ijtihad tersebut tidak hanya akal semata melainkan juga wahyu yang ia peroleh. Untuk itu, mencari semangat wahyu dibalik ijtihad Nabi adalah sebuah keharusan dalam memahami hadis selain memahami konteks yang dihadapi Nabi saat hadis itu diungkapkan. Tesis ini pada akhirnya mendukung pendapat ‘Abd al-Jali>l ‘Isa> ‘Abd al-Nasr, Muh{ammad Sayyid T}ant}a>wi> dan Yu>suf Qara>d{awi> yang menyatakan bahwa keberadaan ijtihad Nabi Muhammad adalah benar adanya dan menjadi bagian dari sisi kemanusiaan yang tidak jauh berbeda dengan manusia lainnya yang bisa salah, bisa benar, dan bisa dipertimbangkan. Namun, tesis ini agaknya melemahkan gagasan Muh{ammad H{usain Haikal yang menuliskan bahwa kemanusiaan dan ijtihad Nabi tidak ada kaitannya dengan sisi kenabian dan wahyu yang didapatkannya dari Allah, terlebih mukjizat yang didapatkannya. Implikasi dari adanya ijtihad Nabi memungkinkan untuk memahami hadis dengan kesadaran bahwa wahyu adalah pertimbangan utama. Wahyu tidak akan berubah pada setai zamannya. Berbeda

    131

    dengan ijtihad yang karena ia adalah pertimbangan yang sangat terikat dengan ruang dan waktu, maka mempertimbangan dan mencari semangat ijtihad adalah sebuah kewajiban. Ijtihad tidak kemudian ditinggalkan begitu saja namun ia bisa diaplikasikan baik dalam bentuk yang sama dengan semangat yang sama, maupun bentuk yang berbeda dengan semangat yang sama. Berkaitan dengan upaya pemahaman ijtihad Nabi tentu Sahabat sebagai lawan bicara Nabi adalah yang paling otoritas dalam emahamin hal ini. Untuk itu, pemahaman dan respon Sahabat ini menjadi sangat penting dalam mengetahui kapan Nabi Muhammad tampil sebagai seorang Nabi dan kapan sebagai manusia biasa. Dengan kata lain, dalam memahami hadis seseorang haruslah tampil menjadi seorang Sahabat Nabi yang mengerti tentang pemilahan sisi kenabian, ijtihad dan kemanusiaan Nabi Muhammad Saw. B. Saran Hasil penelitian ini menunjukkan tidak semestinya memahami bahwa semua Nabi Muhammad adalah wahyu yang harus ditaati dan diikuti sebagaimana yang terucap. Sebaliknya, harus mengetahui apakah ucapan Nabi itu wahyu ataukah ijtihad beliau terhadap suatu persoalan. Sehingga, rasionalitas menjadi penting dalam memahami apa yang diungkapkan dalam sebuah hadis karena memang hadis yang muncul dari ijtihad Nabi sanagt pula terikatdengan rasionalitas Nabi dalam menghadapi sebuah persoalan. Sebagai kelanjutan penelitian ini perlu setidaknya dua hal yang harus dikembangan. Pertama, adalah upaya kontekstualisasi ijtihad Nabi terhadap porblematika kekinian yang rasional, komprehensif dan didasari dengan semangat wahyu. Kedua, jika seseorang membaca Alquran ia harus seoalah menjadi yang menerimanya, maka kritik matan ala Sahabat pun menjadi wajib bagi mereka yang ingin memahami hadis. Sehingga, siapapun yang hendak memahami hadis maka ia harus faham dua sisi rasional yang saling berhadapan yakni rasionalitas Nabi dalam berijtihad dan rasionalitas Sahabat dalam menerima Ijtihad tersebut.

    132

    DAFTAR PUSTAKA Buku, Disertasi dan Tesis ‘Abduh, Muh{ammad. Risa>lah al-Tauh{i>d. Kairo: Da>r al-Nasr, 1969. _______. Ta’liqa>t al-Syaikh Muhammad ‘Abduh ‘ala> Sharh alDawwani> li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyyah. Kairo: al-Matba’ah alKhairiyyah, 1291 H. ‘Abd al-‘Aziz al-Najdi, Fais{al ibn. Tatri>z Riya>d{ al-S}a>lihi>n. Riyadh: Da>r al-‘Asimah, 2002. ‘Abd Al-Qa>dir, Muhammad al-‘Arusiy. Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘ala al-Ah}ka>m. Jeddah: Dar al-Mujtama’, tth. Abu> Dau>d Sulaima>n al-Sijista>ni> (w. 275 H), Sunan Abu> Dau>d. Beirut: Maktabah al-‘Asriyah, Tth. Abu> Zahrah, Muh{ammad. Ushul Fiqih, Terj. Hamdan rasyid dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. Abu> Al-Nas}r, ‘Abd al-Jalil Isa. Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallam. Kairo: Da>r al-Ih{ya’ al-‘Arabi, 1950. Al-Alu>si, Sihabuddin Mah{mud. Ru>h{ al-Ma’a>ni. Beirut: Dar al-Kutub, 1415 H. Al-Amidy, Shaif al-Di>n Abu> H{asan. al-Ih{kam fi> Us{ul> al-Ah{ka>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983. Al-Andalu>si>, ‘Ali ibn H{azm. Al-Ih}ka>m fi> Us}ul al-Ah}kam. Beirut: Dar al-Ifa>q al-Jadi>dah, 1979. Al-Ashqa>r, Muhammad Sulaima>n. Af’a>l al-Rasu>l wa Dala>latuha> ‘Ala al-Ah}ka>m al-Syar’iyyah. Kuwait: Maktabah al-Mana>r al-Islamy, 1976. Al-Adlabi>, Salah{uddin ibn Ah{mad. Terj. Qodirun Nur. Metode Kritik Matan Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004. Azami, M.M. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Al-Bagdady, Khatib. Kita>b al-Kifa>yah fi> ‘Ilm al-Riwa>yah. Beirut: Da>r al-Kutub, 1988. Al-Baghawi, Abu Muhammad. Sharh{u Sunnah. Beirut: Maktabah Islamiyah, 1973. Al-Baidhawi, Minha>jul Wus{u>l. Beirut: Muassasah Risalah, 2006. Al-Baihaqi, Abu> Bakar. Su’ab al-Ima>n. Beirut: Dar al-Kutu>b, 1410 H.

    133

    Al-Baihaqi, Ahmad ibn Husain ibn ‘Ali. al-Suna>n al-Kubra>. Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmi, 2003. _______. Ma’rifat Sunan wa al-Athar. Beirut: Dar al-Qutbiyyah, 1991. Al-Baqila>ni>. Kita>b al-Tamhi>d. Beirut: Maktabah al-Syariqah, 1957. Al-Bukha>ri, Muh}ammad ibn Ismail. Sah{i>h{ al-Bukha>ri, Kairo: Dar alTauq al-Najah, 1422 H. Al-Bukhari, ‘Abdul ‘Aziz ibn Ahmad. Kashfu Al-Ashra>r ‘An Us{ul AlFah}r Al-Islamy Al-Bazdawy. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1308 H. Al-Bu>ti>, Muhammad Sa’id Ramad}an. Fiqh Sirah. Beirut: Da>r al-Fikr, 1980. Brown, Daniel W. Rethinking Tradition in Modern Thought. Cambridge: Cambridge Univeristy Press, tth. Al-Dari>mi>, Abu> Muhammad Abdullah. Musnad al-Dari>mi>. Saudi: Da>r al-Mughni, 2000. Al-Dhahabi>, Abu> ‘Abdilla>h Shamshu al-Di>n Muhammad ibn Ah}mad. Siyaru A’la>m al-Nubala>. Riyadh: Bait al-Afka>r al-Dauliyah, 2004. Al-Dahlawi, Syah Waliyullah. H{ujjatul al-Ba>lighah. Beirut: Da>r alMa’rifah, tth. Esposito, John L. Islam Warna-warni. Terj. Arif maftuhi, Jakarta: Paramadina, 2004. Fiegenbaum, “J.W. Prophethood from the Perspective of the Qur’an.” Tesis di Mc Gill University, Montreal, 1973. Al-Ghaza>li>, Al-Mankul min Ta’liqa>t al-Us}ul. Damaskus: Dar al-Fikr, 1400 H. Al-Ghaza>li>, Abu> Hami>d Muh{ammad. al-Mushtashfa> min ‘Ilmi al‘Us{u>l. Kairo: Muassasah al-Halabi, Tth. Al-Ghaza>li>, Muh{ammad. al-Sunnah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl alH{adith. Kairo: Dar al-Syuru>q, 1989. Al-Ghaza>li>, Muh{ammad. Studi Kritis atas Sunnah Nabi antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Terj. Muhammad alBaqir, Bandung: Mizan, 1996. Haekal, Muhammad Husain. Terj. Ali Audah, Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Lentera Antar Nusa, 2000.

    134

    Ibn al-‘Araby, Abu> Sa’id. Mu’jam ibn al-‘Araby. Saudi: Da>r ibn Jauzi, 1997. Ibn ‘Ashur, Al-T{ahir. Maqa>s{id al-Shari’ah al-Isla>miyyah. Kairo: Dar al-Salam, 2005. Ibn Atsir, Asa>d al-Gha>bah fi> Ma’rifat al-Sah{a>bah. Kairo: Da>r Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994. Ibn Fais}al, Fais}al ibn ‘Abd al-‘Azi>z. Tatriz Riya>d} al-S{alih}i>n. Riyad: Da>r al-‘Asimah, 2002. Ibn H{anbal, Ah{mad. Musnad Ah{mad. Kairo: Mausu>’ah Qurtubah, tt. Ibn H{ibba>n (w. 354), Muh{ammad. S{ah{ih{ ibn H{ibba>n, Beirut: Muassasah Risa>lah, 1993. Ibn H{azm, Abu> Muh{ammad al-Andalu>si> al-Zahiri. al-Ih{ka>m fi Us{ul> alAh{ka>m. Kairo: Sa’adah, Tth. Ibn Kathi>r (w. 774 H), Tafsi>r al-Qura>n al-‘Az{i>m. Kairo: Dar alTayiibah, 1999. Ibn Khaldu>n, Abd al-Rah{ma>n ibn Muh{ammad. Al-Muqaddimah. Maroko: Da>r al-Baidha’, 2005. Ibn Khalil, ‘Ata’. Taysir al-Wus}u>l ila> al-Us}ul: Dira>sat fi> Us}ul al-Fiqh. Beirut: Da>r al-Ummah, 2000. Ibn Ma>jah, Suna>n Ibn Ma>jah. Riyadh: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Araby, tth. Ibn Manz{u>r (w. 740), Lisa>n al-‘Arab. Beirut: Da>r al-Sin al-‘Arab, Tth. Ibn Mu>sa>, Abu> al-Fad}l ‘Iyad}. al-Shifa> bi Ta’rif H{uqu>q al-Mus}t}afa. Kairo: Dar al-Hadith, 2004. Ibn Rusd, Abu Walid Muhammad. al-D{aru>ry fi ‘Us{ul> al-Fiqh. Beirut: Da>r al-Ghurub al-Islami, 1994. Ibn Qatadah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadith. Beirut: Dar al-Fikr, 1995. Ibn Qayyim, Mifta>h Da>r al-Sa’adah. Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1993. Ibrahim al-Isma’ili>, Abu> Bakr Ah{mad ibn. al-Mu’jam fi> Asa>mi Shaikh Abi Bakr al-Isma>’ily. Madinah: Maktabah al-‘Ulu>m wa alHukm, 1410 H. Al-Isfaha>ni, al-Raghib. al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qura>n. Mesir: Matba’ah al-Maimuniyah, 1324 H. ‘Itr, H{asan Dhiya’ al-Di>n. Nubuwwatu Muh{ammad fi> al-Qura>n\. Suriah: Da>r al-Nasr, 1973.

    135

    ‘Iyadh, Al-Qad}i. al-Shifa> bi Ta’rif Huqu>q al-Musht}afa>. Beirut: Da>r alKutu>b al-‘Ilmiyyah, tt. Jakfar,Tarmizi M. Otoritas Sunnah Non-Tasyri’iyyah Menurut Yusuf al-Qardhawi. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011. Al-Juwaini, Al-Burha>n fi> Us}ul al-Fiqh. Mesir: al-Wafa’, 1518 H. Al-Juwaini (w. 578), ‘Abdul Malik ibn ‘Abdullah. Niha>yat al-Matlab fi> Niha>yat al-Mazhab. Riyadh: Da>r al-Manhaj, 2007. Karabela, Mehmet Kadri. “One of The last Ottoman Syaikhulislam, Mustafa Sabri Efendi (1869-1954): His Life, Works, and Intellectual Contribution.” Tesis di Institute of Islamic Studies Mc Gill University, Montreal, 2003. Kasa>b, ‘Abd al-Lat}i>f. Adhwa’u h{aul: Qadhiyat al-Ijtiha>d fi> al-Shari>ah al-Isla>miyah. Saudi: Dar al-Taufi>q, 1984. Khallaf, ‘Abd al-Wahab. Mas{a>dir al-Tashri’ al-Islam. Kuwait: Da>r alQalami>, 1972. _______. ‘Ilm Us}ul al-Fiqh. Kuwait : Dar al-Qalam, 1978. Al-Kha>zin, ‘Ala>‘u al-Di>n ibn Muh{ammad. Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni al-Tanji>l. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1515 H. Al-Khurasy, Sulaiman ibn Shalih. terj. Abdul Ghaffar. Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dalam Timbangan. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafii, 2003. Mubarakfuri>, Abu al-‘Ala>.Tuh{fat al-Ah{wa>zi. Beirut: dar al-Kutub al‘Ilmi, tt. Al-Najjar, Zaghlul Raghib Muhammad. Buku Induk Mukjizat Ilmiah Hadis. Jakarta: Mizan, 2010. Al-Nasa’i (w. 303), Abu Abdurrahman. Sunan al-Nasa’i. Beirut: Muassasah Risalah, 2001. Al-Nasr, Abdul Jalil Isa Abu. Ijtihad Rasulullah Saw. Jakarta: Pustaka Azam, 2001. Al-Nisa>bu>ri, Muslim ibn H{ajjaj. Sah{i>h{ Muslim. Beirut: Da>r al-Ih{ya’ alTurath, tt. Al-Qarafi. al-Furuq. Beirut: ‘Alam al-Kutub, tt. Al-Qarad}a>wi>, Yusuf. al-Sunnah Mas}daran li Ma’rifah wa al-H{ad}arah. cet. 3, Kairo: Dar al-Suru>q, 2002.

    136

    _______. terj. Abdul Hayyie al-Kattani. al-Sunnah wa al-Bid’ah. Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Al-Qawsi, Mufrih{ Sulaima>n. al-Shaikh Mus{t{afa> S{abri> wa Mawqifuhu min al-Fikri al-Wafid. Riyadh: Markaz al-Malik Faisal, 1997. Al-Qurtubi>, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn Ah}mad Shamshu al-Di>n (w. 671 H). al-Ja>mi’ al-Ah}ka>m al-Qura>n. Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyah, 1980. Rahman, Fazlur. Kontroversi Kenabian Dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi. Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan, 2003. _______. Major Themes of The Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994. Rid{a, Muh}ammad Rashid. al-Wah{yu al-Muh{ammadi. Kairo: Da>r alMana>r, 1935. _______. Tafsi>r Alqura>n al-H{aki>m aw Tafsi>r al-Mana>r. Kairo: Dar alManar, 1947. S{abri>, Mus{t}afa>. al-Qawl al-Fas}l Bayna al-ladhi>na Yu’minu>n bi alGhayb wa al-Ladhi>na la Yu’minu>n. Ttp: Da>r al-Sala>m, 1905. _______. Mawqif al-‘Aql wa al-‘Ilmu wa al-‘An wa ‘Iba>dihi al-Mursali>n, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath, 1981. _______. Al-Qawl al-Fas{l Bayna al-ladhina Yu’minu>n bi al-Ghayb Wa-al-ladhi>na la> Yu’minu>n. Ttp: Dar al-Salam, 1905. _______. Mawqif al-Bashar Tah}ta Sult}a>n al-Qadar. Kairo: Matba’ah al-Salafiyah, 1352 H. Al-Shaukani, Irsha>d al-Fuh}ul ila> Tahqi>q al-H}aq min ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999. Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogjakarta: eLSAQ Press, 2004. Shaltut, Mahmut. al-Isla>m: ‘Aqi>dah wa Shari’ah. t.tp.: Dar al-Qalam, 1966. Siraj al-Di>n al-Dimasqy (w. 775 H), Abu Hafz. al-Luba>b fi> ‘Ulu>m alKita>b. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Imiyyah, 1997. Suryadi, dkk. Bunga Rampai Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2002. Sya’ban, Marwah Ibrahim. “al-Ahadis al-Qudsiyah: Dirasah balaghiyah.” Fakultas Adab. Universitas Ghaza, 2007. Al-S{abu>ni>, ‘Ali.> al-Nubuwwah wa al-Anbiya>’. Beirut: Ali>m al-Kutu>b, 1405 H.

    137

    Al-Tabari, Muhammad ibn Jarir. Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wil al-Qura>n. Riyadh: Muassasah al-Risalah, 2000. T{ant}awi>, M. Sayyid. Konsep Ijtihad Dalam Hukum Syarak. Terj. Safri Mahayedin, Cet. 2, Kuala Lumpur: Institute Terjemahan Negara Malaysia, 2009. Al-Tirmizi, Abu> Isa>. Sunan Tirmizi. Mesir: Shirkah Maktabah Mus{t{afa> al-Ba>bi>, 1975. Al-‘Umri, Na>diyat Sharif. Ijtiha>d al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1985. Zuh{aili, Wahbah. Us}ul> al-Fiqh al-Islami>. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986. Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Terj. Hamdan Rasyid dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005. Al-Zarqa>ni, Muh{ammad, Mana>hil al-‘Ifra>n fi> ‘Ulu>m al-Qura>n. Beirut: Da>r al-Fikr, Tth. Jurnal Ilmiah ‘A al-Qura>n wa Mauqifu al-Musyriqi>na Minhu”, Majallaj Kuliyah al-Tarbiyyah al-Asasiyah 66 (2010) : 166-179. ‘Abd al-H{ami>d, Malak Muh}ammad Tha>bit. “Mafhu>m al-Nubuwah wa al-I’ja>z ‘Inda al-Muslimi>n.” Journal of The Iraqi University 25, no. 1 (2010) : 111-134. ‘Abd Na>s}ir, H{aki>m. “Mawqif al-Falsafah al-Muslimi>n min alNubuwah.” Adab al-Kufa 1, (2011) : 213-237. Al-‘Any, Asma>’ ‘Abd al-Qa>dir ‘Abdulla>h. “Bara>’atu al-Anbiya>’ minma> nasaba Ilaihim min Akhta>’.” Journal of Research Diyala University 52 (2011) : 37-91. Al-Ausy, ‘Ali Ramadan. “al-Tafsi>r al-Nabawi> li al-Qura>n al-Kari>m wa Atha>rihi fi al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r.” al-Turath al-‘Ilmy al-‘Araby 1 (2012) : 197-218. Bin Baru, Rihaizan , dan Rosmalizawati ‘Abd Rashid. “The Reconciliation Approach in Resolving Contradictory Prophetic Tradition.” International Journal of Business and Social Science 2, no. 3 (2011) : 227-232.

    138

    Duderija, Adis. “A Pradigm Shift in Assesing/Evaluating the Value and Significance oh Hadith in Islamic Tought: From ‘Ulum alIsnad to ‘Usul al-Fiqh.” Arab Law Quarterly 23 (2009) : 1-12. Duderija, Adis. “Toward a Methodology of Understanding the Nature and Scope of the Concept of Sunnah.” Arab Law Quarterly 21 (2007) : 1-12. H{ami>d, Ima>n Khalifah. “Al-Mandu>ma>t al-Khit{a>biyah fi> al-Ah{a>dith alQudsiyah.” Al-Tarbiyah wa al-‘Ilm 13, no. 4 (2006) : 225-244 H{usain, Ra’fat Luay. “al-Isha>rat al-Us{uliyyah ‘Inda al-S{ah{abah,” Jurnal Kulliyah al-‘Ulum al-Islami 5, no. 10 (2010) : 157-214. Hamudi, Ibrahim Taha. “Al-Iqra>r al-Nabawy, Siya>ghuhu wa Anwa>’uhu wa Mara>t}ibuhu fi al-Hadi>th al-Shari>f.” Research Diyala University 33 (2009) : 81-109. Ibrahim, M. Sa’ad. “Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam” al-Tahrir 4, no. (2004): 162-169. Al-Jami>ly, Kha>lid Rashid, “al-Ijtiha>d min ‘Asri al-Rasu>l Salla Alla>h ‘Alaihi wa Sallam Ila> Dhuhu>ri al-Maz{a>hib al-Fiqhiyyah.” Research and Islamic Studies (2006) : 37-71. Jaida>l, ‘Umar. “Ra>id al-Fakr al-Isla>mi al-Hadi>th: Shaikh al-Isla>m Mus{t{afa> S{abri>”, Hira’ 5 (2006) : 32-51. Kayadibi, Saim. “Ijtihad by Ra’y: The Main Saource Inspiration behind Istihsan.” Jurnal Islamic Social Science 24, no. 1 (2007) : 73-95. Al-Kabsy, ‘Abd al-H{a>fiz} ‘Abd Muh}ammad. “Khus}us}iat al-Nabi Salla Allah ‘Alaihi wa Sallam wa Dala>latuha> fi> al-Tashri>’.” Journal of The Iraqi University 1 (2010) : 159-188. Al-Khalidy, Fah{d Tala>l Sali>m. “Al-Manhaj al-Nabawy fi> al-Ta’a>mul al-Usray.” College of Basic Education Researches 4 (2007) : 7992. Kesgin, Salih. “A critical Analysis of The Schacht’s Argument and Contemporary Debates on Legal Reasoning throughout the History of Islamic Jurisprudence.” The Journal of International Sosial Research 4 (2011) : 157-166. Khadhir, Ah{mad Mat}ar. “Musha>wara>t al-Rasu>l Saw Li As}h}a>bihi fi> alGhazawa>t.” Jurnal Research Diyala Unversity (2009) : 75-86.

    139

    Majid, Latifah Abdul. dan Mohd Nasir Abdul Majid. “Perkaitan Antara Ayat al-Kitab dengan Ijtihad Rasulullah Saw.” Jurnal Islamiyyat 32, (2010) : 63-87. al-Muna>siyah, Ami>n Muh{ammad Salla>m, “Nadrah fi> At al-‘Ita>b”

    Jurnal Ja>mi’ah Dimasq Li al-‘Ulu>m al-Iqtis{a>diyah wa alQanu>niyah 23, no 1 (2007) : 321-361. MZ, Zainuddin. “Kontroversi al-Hadi>th al-Syari>f Wah{yu Ilahi Atau Ijtihad Nabi?” Sunan Ampel, Jurnal Profetika 9, no. 1, (2007) : 1-17. Nazami, Mohammad. “Ijtihad: Takhti’ah or Taswib.” Message of Thaqalayn, A Quarterly Journal of Islamic Studies 10, no. 2 (2009) : 71-86. Rosyidi, Muhib. “Metodologi Kritik Matan hadis Berbasis Sains; Telaah Atas pemikiran Zaghlul Raghib al-Najjar”, Moderatio Diskursus Islam dan Peradaban I, no 3, (2012) : 61-82. S}a>lih, S}a>diq Khali>l. “Khit}a>b al-Nabi> Salla Alla>hu ‘Alaihi wa Sallama wa Atha>ruha> fi> al-Mufassiri>n.” Journal Research and Islamic Studies (2009) : 75-106. Shaki>r Mah{mu>d Isma>’il, “Al-Ah{dath al-Ma’thurah fi> Haya>t al-Rasu>l Qabla Bi’t}ah” Majallah Ja>mi’ah al-Anba>r 1, no. 4 (2011) :122137. Solihu, Abdul Kabir Husain. “Revelation and Prophethood in the Islamic Worldview.” International Islamic University Malaysia, Islam in Asia 6, no. 1 (2009) : 167-189. Tayyara, Abed el-Rahman. “Prophethood and Kingship in Early Islamic Historical Thought.” Der Islam 84 (2007) : 73-102. Terzic, Faruk. “The Problematic of Prophethood and Miracles: Mus}tafa> S{abri>’s response.” Islamabad, International Islamic University, Islamic Studies 48, no. 1, ( 2009) : 5-33. ‘Ulwan, ‘Amar bin ‘Abdullah Nasir. “Tah{li>l Asba>b Ihmal Wuru>d alH{adi>th wa Ahammiyatu Ma’rifatih fi> Fahmi Maqa>sid alTashri>’.” Al-Bayan, Journal of Quran and Hadith Studies 7 (2009) : 1-9.

    140

    Yasin, Hasyim Taha, Manna ‘Abd al-Ghafu>r Dah{m, “Manhaj Nadi>r alJaisy (w. 778 H) fi al-Istidla>l bi al-Hadi>th al-Nabawi al-Shari>f fi Kita>bihi Tamhi>d al-Qawa>id.” Journal of al-Anbar University for Language and Literature 8, (2012) : 71-89. Yusuf H.R. Seferta, “The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muh{ammad ‘Abduh and Rashid Rid{a.” Islamic Studies 24, no. 2 (1985) : 139-165. Zakaria, Idris. “Ketuhanan, Kenabian, dan Kebahagiaan Menurut Ibn Sina.” Jurnal Islamiyyat 32, (2010) : 135-156.

    141

    142

    GLOSARIUM

    Ijtihad

    :

    Hadis

    :

    Wahyu

    :

    Maksum

    :

    Mukjizat

    :

    Nubuwwah

    :

    Al-af’a>l al-Jibliyyah

    :

    Daulah Islamiyyah

    :

    Ialah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, bisa dilaksanakan siapa saja untuk memutuskan suatu perkara atau persoalan tertentu dengan menggunakan akal yang sehat atau pertimbangan yang matang, atau hasil dari olah logika Ialah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapannya Ialah pengetahuan atau informasi yang disampaikan Allah kepada makhluknya baik melalui perantara maupun tidak Ialah terpeliharanya seseorang dari kesalahan yang disengaja yang menyalahi hukum Tuhan Ialah seuatu kejadian diluar adat kebiasaan, melemahkan manusia atau makhluk lain, baik sendiri-sendiri atau kelompok untuk membuat tandingannya yang serupa Ialah peran yang ada pada diri manusia yang diutus oleh Allah Swt. untuk menyampaikan pesan kepada makhlukNya Ialah segala tindakan atau kebiasaa yang sama yang dimiliki oleh semua manusia atau difahami sebagai sisi kemanusiaan Ialah sebuah tatanan negara atau politik yang berdasarkan akidah Islam dan menerapkan syariat Islam atas manusia yang hidup di wilayah-wilayah yang ada dalam cakupan hukum tersebut.

    143

    Legal Specific

    :

    Sunnah

    :

    Sunnah tashri>’iyyah

    :

    Sunnah nontashri’> iyyah

    :

    Sunnah wah{yiyyah

    :

    Sunnah Ijtihadiyyah

    :

    Ibah{ah Aqliyyah

    :

    Ibah{ah Shar’iyyah

    :

    Asbab wurud

    :

    Ialah sebuah pesan moral atau inti persoalan yang terdapat dalam sebuah kejadian atau ungkapan Segala sesuatu yang menjadi kebiasaan atau pernah dilakukan oleh seseorang, atau ajaran Nabi yang tidak muncul dalam Alquran Ialah sunnah yang bersandarkan pada diri Nabi dan memiliki implikasi syariat di dalamnya, atau segala perbuatan Nabi yang mengharuskan atau mewajibkan umat Islam untuk mengikutinya Ialah sunnah yang didasarkan pada diri Nabi namun tidak memiliki implikasi syariat di dalamnya, atau segala perbuatan Nabi yang tidak mengharuskan atau mewajibkan bagi umat Islam untuk mengikutinya Ialah sunnah Nabi dalam sebuah tindakan atau persoalan yang didasarkan informasi atau pengetahuan yang didapat Nabi dari Allah atau wahyu Ialah sunnah Nabi dalam sebuah tindakan atau persoalan yang didasarkan pada hasil pembacaan sebuah persoalan atau ijtihad Kebolehan terhadap sesuatu berdasarkan pada pertimbangan akal atau rasional Kebolehan terhadap sesuatu berbadaskan pada syariat atau ketentuan agama Ialah suatu kejadian yang mengitari saat sebuah hadis diucapkan oleh Nabi atau yang menjadi sebab munculnya hadis tersebut

    144

    INDEKS

    A

    B

    ‘Abd al-Jali>l If Kasa>b -------------------- 6, 7, 8 ‘Abdurrahman ibn Samurah --------------- 42 ‘Ata>’ ibn Khalil ------------------------------ 94 Abdul Wahab Khalaf------------------------ 97 Abdurrahma>n ibn ‘Auf ---------------- 86, 98 Abu H{asan al-Bashri -------------------------- 8 Abu> Bakar al-Baqilani ---------------------- 30 Abu> H{afs --------------------------------------- 80 Abu> Hurairah----------------------- 42, 43, 113 Abu> T{a>lib --------------------------------- 47, 48 Abu> Umayya ibn al-Mughi>ra ------------- 51 Ah{mad Ibn H{ambal ------------------ 8, 51, 88 Al-Adlabi ------------------------------ 127, 128 al-af’a>l al-Jibliyyah ----------------------- 1, 94 al-Amidi ----------------------------------- 65, 66 al-Ash’a>ri ------------------------------ 8, 20, 30 Al-Azhar ----------------------------------------- 9 al-Baid{awi ------------------------------------- 61 al-Baqillani ------------------------------- 11, 20 al-Fara>bi> ---------------------------------------- 17 al-Ghaza>li ---------------------- 4, 8, 58, 64, 97 al-H{umaidi --------------------------------------- 4 al-Jubba’i ----------------------------------- 7, 14 Al-Juwaini -------------------------------97, 136 al-Khurasy ----------------------------- 101, 103 al-Maturi>di -------------------------- 11, 20, 66 al-Maududi --------------------- 101, 102, 108 Al-Nawawi ------------------------------------ 75 al-Qad}i ‘Abd al-Jabba>r ----------------------- 8 al-Qara>fi> ----------------------------- 38, 96, 103 al-Qarad{awi 13, 16, 99, 106, 108, 114, 119 Al-Qurtu>bi> --------------------------------------- 6 al-Raghib al-Ishfahani ---------------------- 76 Al-Shaukani ---------------------- 97, 123, 137 al-Syatibi------------------------------------- 109 Amin Muhammad Salla>m------------------ 72 aqliyyah ---------------------------------------- 99

    Buh{aira ----------------------------------------- 47

    D Da>r al-Funu>n ---------------------------------- 54 Da>r al-H{ikmah al-Isla>miyyah --------------- 9 Damat Ferit ----------------------------------- 55

    F Fari>d Wajdi ------------------------------------ 10 Faruk Terzic----------------- 9, 10, 21, 30, 31 Fazlur Rahman ------------- 2, 14, 16, 17, 25 Fiegenbaum ------------------------ 16, 26, 134

    H H{abab ibn Munzir ------------------7, 72, 102 Halimah Sa’diyah ---------------------------- 47

    I iba>h{ah ------------------------------------------- 99 Ibn ‘Arabi --------------------------------- 11, 20 Ibn ‘Ashur ------------------------------- 98, 135 Ibn H{anbal ------------------------------------- 88 Ibn H{azm-------------------- 8, 66, 67, 99, 100 Ibn H{ibba>n --8, 36, 38, 47, 78, 86, 116, 135 Ibn Hisha>m ------------------------------------ 24 Ibn Kathir -------------------------------------- 79 Ibn Khaldu>n ------------------ 1, 2,14, 75, 135 Ibn Qayyim ---------------------------- 106, 135 Ibn Qudamah---------------------------------123 Ibn Qutaibah ---------------------------------- 97 Ibn Si>na ---------------------------------------- 17

    145

    Ibn Taimiyyah --------------------------- 14, 94 ijtiha>diyah------------------------------------ 104 Imam H{anbali -----------------------------------8 Imam Ma>lik -------------------------------------8 Imam Sha>fi’i -------------------------------- 4, 8 Imam Taba>ri> ----------------------------------- 80

    57, 58, 59, 60, 62, 63, 67, 68, 82, 83, 86, 87, 137, 139, 140

    N Na>diyah Shari>f al-‘Umri ------ 6, 64, 68, 70 Nuruddin ‘Itr ---------------------------------- 88

    J

    Q

    J.W. Fiegenbaum -----13, 15, 16, 24, 25, 26 Ja>mi’ Sult}a>n al-Fa>tih --------------------- 9, 54 John L. Esposito --------------------------------2

    Qad{i ‘Iyad ------------------- 3, 14, 37, 45, 65 Qata>dah -------------------------------- 6, 80, 97 Quraish ----------------- 47, 50, 51, 72, 79, 80

    K Khatib al-Bagda>di --------------------------- 88

    R

    M

    Ra’fat Liay Husain ------------------------ 120 Rahman -------------------- 4, 16, 25, 137, 140 Rashid Rid{a 10, 20, 23, 35, 58, 77, 98, 141

    Ma’qil ibn Yasar --------------------------- 117 Madrasah al-Wa>’izi>n --------------------- 9, 54 Mah{mu>d Shaltu>t ------------------- 20, 96, 10 Malak Muh}ammad Tha>bit - 23, 27, 31, 33, 138 Mehmet Kadri Karabela 12, 20, 54, 55, 56, 57, 58, 67 Mu’az ibn Jabal ------------------------------- 62 Mu’tazilah ------------------------------------- 20 Mufarrih} Sulaima>n al-Qawsi -------------- 21 Muh{ammad ‘Abduh 10, 20, 23, 30, 33, 34, 58, 59, 141 Muh{ammad al-‘Aru>sy 46, 95, 99, 124, 129 Muh{ammad H{usain H{aikal -----10, 58, 131 Muh{ammad Shaki>b Qa>simi ---------------- 66 Muh}ammad ‘Abduh -------------------- 30, 59 Muh}ammad Sulaiman al-Ashqar 13, 14, 15 Muhammad al-‘Aru>sy -- 3, 15, 94, 124, 129 Muhammad Shahrur --------------- 84, 86, 95 Mus}t}afa> Kemal Ataturk -------------------- 55 Mus}t}afa> S{abri 9, 10, 11, 12, 13, 18, 19, 20, 21, 23, 31, 32, 34, 41, 53, 54, 55, 56,

    S S{abri-10, 11, 13, 18, 19, 20, 21, 23, 31, 32, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 62, 67, 68, 82, 83, 86, 137, 139, 140 Sa’d ibn ‘Uba>dah ------------------------------ 7 Sa’d ibn Mu’a>z --------------------------------- 7 Sali>m ibn ‘Abdillah-------------------------- 44 Sayyid T{ant}a>wi>---------------------------- 5, 63 shar’iyyah -------------------------------------- 99 Sulaima>n al-Ashqa>r ------ 1, 14, 15, 99, 100 Sulaima>n ibn Sha>lih{ al-Khurasy-------- 101 Sultan ‘Abd al-H{amid ---------------------- 54 syaikh al-isla>m ---------------------------------- 9

    T Tarmizi M. Jakfar ---- 46, 98, 99, 101, 102, 105, 106, 119

    146

    tasyri>‘iyyah ------------------------------- 38, 96

    Y

    Turki -------------------------- 9, 53, 55, 56, 57

    Yusuf H.R. Seferta - 23, 30, 33, 34, 35, 36, 141

    W wah{yiyyah ----------------------------------- 104

    Z

    Waliyullah al-Dahlawi -------------------- 105

    Zaghlul al-Najjar ------------------------ 39, 41 Zaid ibn Harithah ---------------------------- 73 Zaki> Muba>rak ---------------------------- 10, 20 Zubair ibn Awwam --------------------- 86, 98

    147

    TENTANG PENULIS

    Nama TTL Jenis Kelamin Agama Nama Orang Tua Nama Istri Pekerjaan Alamat Asal No. Telp/Hp E-mail

    : Muhib Rosyidi : Lamongan, 15 Agustus 1987 : Laki-laki : Islam : Ayah : Murochis Ibu : Muntamah : Ewi Nerni, S.Hi, M.H : Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA : Jl. Kelapa Sawit II, Rt. 005/010 Kel. Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta Timur : 08568538518 : [email protected]

    Pendidikan Formal o TK Aisiyah Lamongan, 1991 – 1993 o MI Muhammadiyah 04 Blimbing Lamongan, 1993 – 2000 o SMP Muhammadiyah 12 Sendang Lamongan, 2000 – 2003 o MTS Al-Ishlah Lamongan, 2000 – 2003 o MA Al-Ishlah Lamongan, 2003 – 2006 o Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Tafsir-Hadis Jakarta, 2006 – 2010 o Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Hadis dan Kenabian Jakarta, 2011 – 2014 Pendidikan Non Formal  Pelatihan ESQ Profesional Angkatan 4, Jakarta 2008  Pelatihan Leadership Skill Training di Forum Indonesia Muda FIM (Forum Indonesia Muda) angkatan 8, Padang-Sumatra Barat 2009  Pelatihan Tamyiz (Terjemah al-Quran Mandiri 24 Jam), Bogor 2013

    148



    Pelatihan Pembelajaran Bahasan Arab BKS-PTIS dengan Al‘Arabiyah li al-Jami>’ Saudi Arabia, Univeristas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur 2014

    Pengalaman Organisasi  Bendahara Umum OSIS SMP 12 Sendang 2002 - 2003  Ketua Bidang Keagamaan BESMA (Badan Eksekutif MA AlIslah) 2005 -2006  Ketua Umum OPPI (Organsasi Pondok Pesantren Al-Ishlah) 2005 2006  Ketua Asrama IMM Cabang Ciputat 2007 – 2008  Ketua Komisariat Ushuluddin dan Filsafat 2008 -2009  Sekertaris Menteri Kemahasiswaan BEM UIN Jakarta 2007-2008  Ketua Bidang I (Keorganisasian) IMM Cabang Ciputat 2009 – 2010  Anggota FIM Forum Indonesia Muda (Youth Indonesian Forum) 2010 - 2011 Karya Tulis  Kontekstualisasi Hadis-Hadis Korupsi (Sebuah Kajian Hadis Maudu{ ‘i>) (2010), Skripsi-tidak diterbitkan  Editor buku, Dahsyatnya Energi Listrik Manusia, RM Book (Rakyat Merdeka Group), 2011  Pelestarian Lingkungan Hidup dalam Perspektif Sunnag. Jurnal Tajdid 2, no. 1 (2011),FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA  Membumikan Agama ala Nahdlatul Ulama. Jurnal Qur’a>n and H{adi>th Studies 2, no. 1 (2012) Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  Editor Buku Ajar, Kemuhammadiyahan Untuk Perguruan Tinggi, UHAMKA Press, 2013  Metodologi Kritik Matan Hadis Berbasis Sains; Telaah Pemikiran Zaghlul Raghib al-Najjar. Jurnal Moderatio 2 (2013) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.

    149

  • Muhib Rosyidi_IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW.pdf

    Whoops! There was a problem loading more pages. Retrying... Muhib Rosyidi_IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW.pdf. Muhib Rosyidi_IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Muhib Rosyidi_IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW.pdf.

    3MB Sizes 49 Downloads 376 Views

    Recommend Documents

    Sirah Nabi Muhammad SAW.pdf
    ... Sejarah 36. Pengajaran dan Pedoman 36. Siri Tarbiyyah. Page 1 of 113 ... yang sahih. Page 3 of 113. Main menu. Displaying Sirah Nabi Muhammad SAW.pdf.

    sejarah-hidup-nabi-muhammad-saw.pdf
    There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. sejarah-hidup-nabi-muhammad-saw.pdf. sejarah-hidup-nabi-muhammad-saw.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In.

    TAI SAO NABI MUHAMMAD KET HON VOI BA AISHA.pdf
    There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. TAI SAO NABI ...

    NABI KEMBAR.pdf
    KEDUANYA NAMPAK BENAR2 OKEY. Ketua : KAU BOLEH PERGI. (Jurusita pergi kepintu kiri panggung) JANGAN BENTAK. SIAPA-SIAPA TENTANG INI. Jurusita : SAYA AKAN TUTUP MULUT, BOS. (Ia maju beberapa langkh menuju pintu). OH, HAMPIR LUPA, KETIGA ORANG BIJAKSAN

    NABI KEMBAR.pdf
    Kepala : Apa artinya ini ? Jurusita : Saya tidak tahu, ... Ketua : APA YANG DAPAT SAYA PERBUAT ? Balthazar : PASTI ... NABI KEMBAR.pdf. NABI KEMBAR.pdf.

    NABI Scientist Recruitment [email protected]
    Whoops! There was a problem loading more pages. Retrying... NABI Scientist Recruitment [email protected]. NABI Scientist Recruitment ...

    Muhammad Bilal.pdf
    ... was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Muhammad Bilal.pdf.

    NABI Scientist Recruitment [email protected]
    telephone, e-mail, qualifications, experience, status of reservation, analysis of research. publications with respect to Impact Factor, Citations & h-index (based on ...

    NABI Recruitment 2017.pdf
    Technology from Queensland University of Technology (QUT), Australia to India for Bio-fortification. and Disease Resistance in Banana”. Project duration is up to ...

    NABI Scientist Recruitment [email protected]
    “National Agri- www.govnokri.in. Page 3 of 5. NABI Scientist Recruitment [email protected]. NABI Scientist Recruitment [email protected]. Open.

    NABI Recruitment 2017 (1).pdf
    M.Sc/B.Tech in biological sciences or agri-business with MBA from. a recognized institute/University with 5 years' relevant experience. By Deputation : Officials ...

    Muhammad Sony Maulana.pdf
    terjadi dengan mudah. Konferensi melalui. telepon genggam maupun video conference. menjadi salah satu alternative dalam. melakukan koordinasi virtual tim.

    Life of Muhammad
    followed the following system adopted by the ...... hiding, the tracker said that Muhammadsa was either in the cave ... according to the plan, two fleet camels were.

    Muhammad Ali's Speeches.pdf
    Cassius had won a golden medal at. the Olympics in 1960, but threw it in. the Ohio River after being refused. service in a whites only restaurant. He claimed that ...

    sang nabi kahlil gibran pdf
    Download now. Click here if your download doesn't start automatically. Page 1 of 1. sang nabi kahlil gibran pdf. sang nabi kahlil gibran pdf. Open. Extract.

    Muhammad Ali's Speeches.pdf
    Page 2 of 5. ○ In 1984, Muhammad Ali was. diagnosed with Parkinson's. Diseased, which affected his speech. ○ He earned the Presidential Medal of. Freedom, the highest U.S. civilian honor. in 2005. ○ Muhammad officially retires in 1981. with a r

    Muhammad the Greatest
    and rates them in order of their excellence from No. .... overwhelming number of his customers will be from the 250 million Christians and the ... Of course he did.

    NABI Scientist Recruitment 2017 Application Form.pdf
    NABI Scientist Recruitment 2017 Application Form.pdf. NABI Scientist Recruitment 2017 Application Form.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.

    NABI, Mohali, Punjab Recruitment 2017 for Finance Officer.pdf ...
    Desirable: Knowledge of Govt. rules & Regulations , Computer Application /. Management Information System. 5 Finance Officer. [01 Post (UR)]. Job Description:.

    NABI Scientist Recruitment 2017 Application Form.pdf
    Name and address of 03 references (Confidential evaluation may be arranged to be sent to. [email protected]). 1. 2. 3. 16. Pl. give 1000 words of your ...

    79 MUHAMMAD MIFTAHUL KHOIRI.pdf
    Please enter this document's password to view it. Password incorrect. Please try again. Submit. 79 MUHAMMAD MIFTAHUL KHOIRI.pdf. 79 MUHAMMAD ...

    Chro Muhammad Fatah Amin.pdf
    There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item.