Prosiding Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn menuju Warsaw dan Progres di dalam Negeri Workshop/Dialogues On Policy and Technical Issues on REDD+ Post Durban and Doha Jakarta, 2 Juli 2013

Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn menuju Warsaw dan Progres di dalam Negeri PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN (Standardisasi, Lingkungan dan Perubahan Iklim) Gedung Manggala Wanabakti Jalan Gatot Subroto Blok VII Lt. 8 Jakarta 10270 Telp/Fax: 021-5733433 E-mail: [email protected] atau [email protected]

REDD+ READINESS - FOREST CARBON PARTNERSHIP FACILITIES (FCPF) PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN, KEMENTERIAN KEHUTANAN TAHUN 2013

Prosiding Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn menuju Warsaw dan Progres di dalam Negeri Workshop/Dialogues on Policy and Technical Issues on REDD+ Post Durban and Doha

Jakarta, 2 Juli 2013

PUSAT STANDARDISASI DAN LINGKUNGAN, KEMENTERIAN KEHUTANAN DAN FOREST CARBON PARTNERSHIP FACILITY - WORLD BANK 2013

Penyusun: Tim Bidang Perubahan Iklim Pusat Standardisasi dan Lingkungan Novia Widyaningtyas, S.Hut, M.Sc Ir. Andi Andriadi, MM. Radian Bagiyono, S.Hut, M.For Haryo Pambudi, S.Hut, M.Sc Lia Kartikasari, S.Hut, M.Eng. Dinik Indrihastuti, S.Hut Windyo Laksono, S.Hut Erna Rosita, S.Hut Andreas Budi Rahutomo, S.Hut Editor: Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc Desain Sampul: Ismunandar ISBN: Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang menggunakan isi maupun memperbanyak Prosiding ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotocopy, cetak, mikrofilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau non-komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya sebagai berikut: Pusat Standardisasi dan Lingkungan (2013). Workshop / Dialogues on Policy and Technical Issues on REDD+ Post Durban and Doha, REDD+ dan LULUCF, dari Bonn menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri. Kementerian Kehutanan Diterbitkan oleh: Pusat Standardisasi dan Lingkungan – Kementerian Kehutanan Jl. Jend. Gatot Subroto, Gd. Manggala Wanabakti Blok VII Lt.8 Jakarta 10270, Indonesia Telp/Fax : 021 5733433 E-mail : [email protected] [email protected] WebSite : www.staneclime.org

Kata Pengantar Hasil negosiasi perubahan iklim di tingkat global perlu diinterpretasikan dalam implementasi di tingkat nasional dan sub-nasional. Dalam perjalanannya terdapat progres serta kendala di dalam negeri terkait hal tersebut. Konsistensi dan inkonsistensi antara proses internasional dan nasional telah terjadi dan ditangani oleh berbagai pihak. Dalam rangka menyampaikan update kepada stakeholders tentang perkembangan negosiasi sampai Bonn Juni 2013 dan persiapan menuju Warsawa serta mengetahui progres implementasi di dalam negeri, maka Pusat Standardisasi dan Lingkungan melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) telah menyelenggarakan workshop yang membahas REDD+ dan LULUCF dalam konteks yang lebih luas. Prosiding ini merupakan dokumentasi pelaksanaan Workshop/Dialogues on Policy and Technical Issues on REDD+ Post Durban and Doha, REDD+ dan LULUCF dari Bonn menuju Warsaw dan Progres di dalam Negeri di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013. Atas terselenggaranya workshop dan tersusunnya prosiding ini, kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah memberikan kontribusinya. Semoga prosiding ini bemanfaat. Jakarta, Juli 2013 Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan,

Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc.

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

iii

Daftar Isi Kata Pengantar ..................................................................................... iii Daftar Isi ..............................................................................................

v

Daftar Singkatan dan Istilah .................................................................. vii BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................

1

BAB II. PENGANTAR ............................................................................... 3 BAB III. PRESENTASI DAN DISKUSI .......................................................... 5 BAB VI. RUMUSAN FOCUS GROUP DISCUSSION .......................................... 17 LAMPIRAN ............................................................................................ 21

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

v

Daftar

Singkatan dan Istilah

AFOLU A/R-CDM ADP BAPPENAS BAU CDM CER CMP COP DA DNPI DPR-RI FCPF FREDDI FVA GRK IPCC JAM JCM KP LoI LSM LULUCF MRV NAMAs NFMS NGO NMM

: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

Agriculture, Forestry, and Other Land Uses Afforestation/Reforestation – Clean Development Mechanism Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Actions Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bussiness as Usual Clean Development Mechanism Certified Emission Reductions Conference of the Parties Serving as the Meeting of the Parties Conference of the Parties Demonstration Activities Dewan Nasional Perubahan Iklim Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Forest Carbon Partnership Facility Financing REDD+ in Indonesia Framework on Various Approaches Gas Rumah Kaca Intergovernmental Panel on Climate Change Joint Adaptation and Mitigation Joint Crediting Mechanism Kyoto Protocol Letter of Intent Lembaga Swadaya Masyarakat Land Use, Land Use Change, and Forestry Monitoring, Reporting, and Verification Nationally Appropriate Mitigation Actions National Forest Monitoring System Non Governmental Organization New Market Mechanism PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

vii

RAD-GRK REDD+

: Rencana Aksi Daerah – Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca : Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, Role of Conservation, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest Carbon Stocks REL/RL : Reference Emission Level/ Reference Level RPJM : Rencana Pembangunan Jangka Menengah SBI : Subsidiary Body for Implementation SBSTA : Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice SIS : Sistem Informasi Safeguards : Strategi dan Rencana Aksi Provinsi SRAP STRADA : Strategi Daerah STRANAS : Strategi Nasional TACCC : Transparency, Accuracy, Completeness, Consistency and Comparability UKP-PPI : Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change : Voluntary Carbon Standard VCS

viii

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

Bab I

Pendahuluan

Sidang Badan Bawahan UNFCCC di Bonn tanggal 3-14 Juni 2013 menempatkan isu kehutanan (REDD+ dan LULUCF) sebagai salah satu agenda yang memperoleh alokasi waktu signifikan. Dari empat alur utama negosiasi (SBSTA-38, SBI-38, ADP II-2, dan COP-Work Programme 2013), isu kehutanan secara khusus masuk ke dalam ketiga alur utama negosiasi (SBSTA, Joint SBSTA-SBI, dan COP-Work Programme 2013). Dengan tidak dapat diselenggarakannya SBI di Bonn, maka isu kehutanan dibahas intensif di bawah SBSTA dan COP-Work Programme 2013. Isu krusial negosiasi REDD+ adalah keterkaitan erat antara methodological requirement yang dapat dipenuhi dan kejelasan financing terutama untuk resultbased actions. Disamping itu keterkaitan dengan agenda lain yang semakin nampak, seperti kaitan dengan monitoring dan pelaporan nasional (National Communication dan Biennial Update Report) serta Framework for various approaches, non-market approach, serta new-market mechanism. Sedangkan untuk LULUCF, setelah sekian tahun keikutsertaan negara berkembang dalam negosiasi isu ini lebih sebagai pengamanan atas integritas lingkungan dan memahami implikasi dari setiap isu yang akan disepakati, maka sejak CMP-7 dan lahirnya Durban Platform for Enhanced Actions, maka dalam negosiasi ini tidak bisa lagi hanya memikirkan mana kepentingan negara berkembang dan mana kepentingan negara maju tetapi sudah perlu melihat kepentingan bersama dalam pengaturan baru di bawah rezim Pasca 2020. Melalui pertemuan intensif, selama sesi sidang SBSTA-38 telah dilakukan pembahasan ketujuh isu yang menjadi mandat dari ketiga COP sebelumnya (NFMS, MRV, REL/RL, safeguards, drivers-DD, non-carbon benefits, dan joint adaptation and mitigation/JAM). Dari REDD+ telah dihasilkan draft Keputusan COP-19 tentang: (i) Modalities untuk PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

1

national forest monitoring system (NFMS); (ii) Tata waktu penyampaian informasi pelaksanaan safeguards, dan (iii) Penanganan penyebab deforestasi dan degradasi hutan; serta draf untuk negosiasi lanjutan pada SBSTA-39/COP-19 di Warsawa tentang: (i) Modalities untuk MRV; dan (ii) guidance dan prosedur untuk evaluasi teknis REL/ RL. Untuk REDD+ di bawah COP-Work Programme 2013, yang membahas aspek finance melanjutkan eksplorasi tentang arsitektur kelembagaan internasional, sumber dan bentuk financing, serta akses oleh negara pihak dll. Dari LULUCF telah dihasilkan draft kesimpulan untuk ditindak-lanjuti oleh negara pihak sebagai bahan negosiasi di SBSTA-39/COP-19, dengan bahan negosiasi antara lain submisi negara pihak tentang kegiatan tambahan spesifik untuk CDM kehutanan dan pendekatan spesifik penanganan isu non-permanence, serta workshop menjelang COP-19. Kepentingan Indonesia sebagaimana dituangkan dalam submisi bulan Maret 2013 (REDD+ dan LULUCF) telah terakomodir/teramankan dalam draft keputusan COP-19 maupun draf kesimpulan SBSTA-38 yang akan menjadi bahan negosiasi selanjutnya di Warsawa.

2

PENDAHULUAN

Bab II Pengantar

Sambutan dan Arahan Oleh: Bapak Dr. Ir. Hadi Daryanto, D.E.A. (Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan) Dalam negosiasi perubahan iklim di tingkat global, progres yang lambat terjadi pada negosiasi SBI, sedangkan SBSTA telah memberikan banyak kemajuan terutama terkait isu kehutanan seperti REDD+. Beberapa isu terkait kehutanan yang dibahas diantaranya perkembangan National Forest Monitoring System (NFMS), pelaksanaan MRV, Safeguards terutama yang menyangkut faktor pendorong deforestasi dan degradasi hutan, serta pedoman dalam evaluasi REL/RL. Hal lain yang harus dicermati lebih lanjut adalah negosiasi terkait pendanaan REDD+ dan CDM LULUCF, serta New Market Mechanism dan Non Market-based Approach. Pertemuan ini diharapkan dapat membangun suatu komitmen dan strategi negosiasi untuk COP19/ CMP9 di Warsawa, Polandia. Selain strategi negosiasi, diperlukan juga strategi implementasi dalam negeri, seperti mendorong para pihak untuk mendukung kebijakan-kebijakan kehutanan yang berlaku, mendorong penggunaan satu peta (one map policy), pemantapan kawasan hutan melalui pembangunan KPH, serta pelaksanaan SFM oleh para pemegang ijin kehutanan. Kementerian Kehutanan, yang dibantu juga oleh berbagai pihak, bertugas membangun kapasitas daerah untuk mendukung pelaksanaan REDD+. Oleh karena itu partisipasi aktif para peserta dan sumbangsih pengalaman dari para pihak sangat diharapkan untuk dapat membantu suksesnya perundingan COP19 di Warsawa. Terkait isu drivers of deforestation and forest degradation, yang dalam hal ini adalah illegal logging, Kementerian Kehutanan telah membentuk kesepakatan dengan Komisi IV DRP-RI terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Pencegahan PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

3

dan Pemberantasan Perambahan Hutan. Sebagai tindak lanjutnya, lembaga khusus akan dibentuk selama 2 tahun setelah undang-undang tersebut disahkan untuk menangani seluruh kejahatan di sektor kehutanan. Kendala yang dihadapi Indonesia adalah dengan dilaksanakannya otonomi daerah, maka cenderung terjadi pembiaran terhadap perusakan hutan. Oleh karena itu peraturan ini sangat penting agar semua pihak tidak lalai dan bertanggung jawab terhadap keamanan hutan. Terkait isu kebakaran hutan, meskipun tidak termasuk dalam Rancangan UndangUndang ini, namun isu tersebut telah terdapat di Undang Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa dalam LoI antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia juga terdapat klausul mengenai penghentian sementara konversi hutan, penyiapan database kerusakan hutan, serta aksi melawan illegal logging. Meskipun demikian, inisiatif RUU ini adalah murni inisiatif Pemerintah Indonesia yang telah diusahakan semenjak kepemipinan Menteri-Menteri sebelumnya, sehingga ini sama sekali tidak terkait dengan LoI Indonesia – Norwegia.

4

PENGANTAR

Bab III Presentasi dan Diskusi

1.1. Indonesia Menuju COP 19/CMP 9 di Warsawa Oleh: Ibu Moekti H. Soejachmoen – Kantor UKP-PPI UNFCCC COP 18 di Doha pada tahun 2012 telah menghasilkan Doha Climate Gateway, yang menyangkut: • Amandemen Protokol Kyoto melalui Second Commitment Period (KP-CP2) dan berakhirnya kerja serta mandat dari AWG-KP. • Berakhirnya kerja dan mandat dari AWG-LCA (berdasarkan Bali Action Plan). • Melanjutkan kerja dari ADP untuk menghasilkan kesepakatan legal guna mengatur pengendalian perubahan iklim global paska tahun 2020. Setelah UNFCCC COP 18 di Doha terdapat pertemuan pada periode April – Mei 2013 yang berfokus pada isu di bawah ADP. Pertemuan tersebut kemudian dilanjutkan dengan UNFCCC Bonn Intersession pada 3 – 14 Juni 2013 yang mencakup: - 38th Session of the Subsidiary Body for Implementation (SBI-38) - 38th Session of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advices (SBSTA-38) - Part 2 of the second session on the Adhoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP2-2) Pada pertemuan SBI-38 tidak terdapat pembahasan dan persidangan yang berjalan, dikarenakan pleno pembukaan harus di skors akibat ketidaksepahaman terkait usulan baru dalam provisional agenda dari beberapa Parties, yaitu Rusia, Belarusia, dan Ukraina, yang ditolak oleh negara lain. Dampak positif dari terjadinya kekosongan aktivitas pada SBI-38, maka kemajuan yang cukup pesat terjadi pada sesi lain, yaitu SBSTA-38, yang mencakup isu: PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

5

• • • • • • • • • • • • •

adaptasi, kehutanan, pengembangan dan alih teknologi, research and systematic observation, dampak dari response measures, pertanian, metodologi di bawah UNFCCC, metodologi di bawah Protokol Kyoto, mekanisme pasar dan non-pasar di bawah UNFCCC, review periode 2013-2015, klarifikasi target negara maju, aspek ilmiah, teknis dan sosio-ekonomi dari mitigasi kerjasama dengan organisasi internasional lain

Selain isu tersebut, pertemuan di Bonn juga membahas mengenai ADP 2-2 Workstream 1 yang berfokus pada distribusi substantif mengenai prinsip “applicable to all parties”, ruang lingkup, struktur serta desain dari kesepakatan legal 2015 yang ditargetkan pada tahun 2013. Pada tahun 2015 ditargetkan agar kesepakatan legal sudah dapat diadopsi. Selain itu terdapat beberapa kesepakatan di Bonn mengenai langkah lebih lanjut termasuk adanya sesi tambahan di tahun 2014. Pada COP 19 di Warsawa diperlukan adanya kekuatan hukum untuk menjamin implementasi penanganan perubahan iklim secara global. Karena amandemen Protokol Kyoto baru diratifikasi oleh UAE saja, maka target ke depan adalah memastikan bagaimana agar ratifikasi dari seluruh parties dapat dipastikan dan mitigasi perubahan iklim dapat berjalan. Adapun tantangan yang akan dunia hadapi paska tahun 2020 adalah mengubah paradigma terkait upaya global untuk mengendalikan perubahan iklim. Selama ini selalu terjadi dikotomi antara negara maju dan berkembang, maka perlu ada suatu pendekatan baru bahwa semua pihak wajib melakukan upaya secara kolaboratif. Posisi Indonesia sendiri hingga tahun 2012 adalah sebagai negara non-annex I, namun demikian Indonesia telah menyatakan komitmen sukarela penurunan emisi sebesar 26% (dengan upaya sendiri) dan 41% (dengan bantuan internasional) dari BAU tahun 2020. Indonesia juga berpartisipasi dalam skema CDM dan pada periode 2013-2020 berkomitmen untuk mengimplementasi NAMAs sebagai sebuah kontribusi, bukan kewajiban. Merujuk pada fakta tersebut, maka posisi yang diperlukan Indonesia paska

6

PRESENTASI DAN DISKUSI

tahun 2020 antara lain, pentingnya perubahan paradigma dalam mengendalikan perubahan iklim di tingkat global, diperlukan pula definisi mengenai applicable to all Parties tanpa menghilangkan prinsip dasar UNFCCC yaitu common but differentiated responsibilities, equity, respective capabilities, equity, dan lain-lain. Maka, diperlukan rumusan bagaimana Indonesia dapat berperan dan menunjukkan kepemimpinannya dalam membentuk skema paska 2020. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kepastian terkait keberlanjutan kebijakan dan aksi pengendalian perubahan iklim, integrasi dan koordinasi antar sektor dan level baik dari sisi mitigasi, adaptasi, dukungan pendanaan, pengembangan alih teknologi dan peningkatan kapasitas. Karena isu perubahan iklim tidaklah hanya mengenai lingkungan, namun juga pembangunan, maka hal paling fundamental adalah keberadaan peraturan perundangan yang secara khusus mengatur pengedalian perubahan iklim untuk memastikan upaya tersebut berjalan dengan semestinya. Hal ini juga dapat berperan untuk mengetahui kondisi aktual negara dan peluang komitmen ke depan dengan memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi. 2. Update Isu Kehutanan Pasca Sesi Negosiasi UNFCCC di Bonn, Juni 2013 Oleh: Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc. (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan) Salah satu karakteristik negosiasi internasional adalah selesainya negosiasi di satu aspek, maka akan muncul negosiasi baru di aspek lain. Proses nasional dan internasional terkait perubahan iklim terdiri dari aspek ilmiah melalui proses oleh IPCC atas mandat COP dan aspek negosiasi oleh UNFCCC, serta aspek hubungan antara pemerintah lokal ke nasional. Peran para akademisi/scientist akan sangat dibutuhkan sejalan dengan diberlakukannya persyaratan adanya technical assessment terhadap pelaksanaan REDD+ dan NAMAs. Dinamika negosiasi perubahan iklim yang terjadi dari COP 11 di Montreal sampai dengan COP 18 di Doha sudah sangat tinggi. Salah satu keputusan penting pertama kali diambil pada COP 13 di Bali yaitu panduan metodologi REDD+ termasuk panduan indikatif untuk pelaksanaan Demonstration Activities (DA) REDD+. Sampai sekarang, masih belum diketahui terkait seberapa banyak DA yang telah mengikuti panduan tersebut. Selain itu, metode untuk penghitungan karbon juga perlu memadukan ground based approach dan penggunaan remote sensing. Beberapa keputusan yang ada telah mengandung guidance dari COP, yang penting adalah seberapa jauh keputusan tersebut diterjemahkan ke dalam peraturan nasional untuk diimplementasikan. PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

7

Sidang UNFCCC di Bonn 3 – 14 Juni 2013 dilakukan di bawah agenda negosiasi, yaitu:  Subsidiary Body on Scientific and Technological Advise (SBSTA) ke-38 membahas aspek ilmiah dan technologi,  Subsidiary Body on Implementation (SBI) ke-38 membahas implementasi Keputusan COP dan aspek kebijakan lainnya,  COP Work-Programme 2013 untuk REDD+, menindaklanjuti Keputusan COP-18 tentang tindak-lanjut Bali Action Plan, terutama terkait result-based finance for full implementation of REDD+,  ADP II-2 yang membahas komitmen pasca 2020, menindaklanjuti pertemuan ADP II-1 di Bonn, 29 April – 3 Mei 2013.  Isu kehutanan dibahas di bawah SBSTA, Joint SBSTA/SBI workshop tentang peningkatan koordinasi REDD+, COP Work-Programme 2013 untuk REDD+.

Work-Programme 2013 untuk REDD+ bertujuan mendukung upaya-upaya scalingup dan meningkatkan efektivitas finance untuk REDD+ serta mempertimbangkan pendekatan pasar dan non-pasar, dengan melihat berbagai sumber (publik, swasta, melalui bilateral dan multilateral, serta alternatif lain yang memungkinkan). Program kerja yang akan dilakukan termasuk melalui penyelenggaraan dua insession workshops sampai akhir Work Programme pada COP-19 di Warsawa, November 2013 yang mencakup pembayaran result based actions, insentif terhadap non-carbon benefit, serta peningkatan koordinasi dari result based finance). Harus disadari bahwa beban negosiasi ke depan akan semakin bertambah, salah satunya yang terkait isu finance dan ADP. Di lain pihak, isu REDD+ di bawah SBSTA telah mengalami kemajuan yang pesat dengan sudah adanya jalan keluar dari deadlock yang terjadi di COP18 Doha, namun isu yang masih perlu dinegosiasikan lebih lanjut adalah yang terkait dengan MRV. Isu terkait non carbon benefits masih dalam pembahasan awal, namun dapat berpedoman pada hasil-hasil penelitian yang sudah ada. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan di Bonn, terdapat 3 submisi di bawah REDD+ dengan batas waktu 28 September 2014 yang terkait dengan SIS REDD+, serta 26 Maret 2014 terkait non-carbon benefits dan mekanisme non-pasar untuk Joint Adaptation and Mitigation (JAM). Dapat dikatakan bahwa secara umum posisi Indonesia yang diperjuangkan pada pertemuan di Bonn telah terakomodir dalam draft keputusan maupun SBSTA conclusions.

8

PRESENTASI DAN DISKUSI

Pada pertemuan di Bonn juga dibahas mengenai agenda terkait various approaches, dan non market mechanisms. Framework on Various Approaches (FVA), New Market-based Mechanism (NMM), dan Non Market-based Approaches (NMA) mulai dirundingkan secara terpisah pada sesi pertemuan SBSTA ke 38 di Bonn. Sesuai dengan mandat Bali Action Plan bahwa aksi mitigasi yang dilakukan dapat menggunakan berbagai pendekatan yang berbasis pasar maupun non pasar dengan mengedepankan pemilihan pada aksi mitigasi yang berbiaya lebih rendah dan efisien. Oleh karena itu SBSTA mengundang negara para pihak dan organisasi observer untuk mengumpulkan submisi ke sekertariat UNFCCC dengan batas waktu tanggal 2 September 2013 untuk isu FVA, NMA, dan NMM. Negosiasi dengan implementasi REDD+ sudah semestinya berjalan paralel antara nasional, daerah, dan tapak, hal tersebut sejalan dengan guidance COP untuk pelaksanaan di tingkat nasional dan internasional. Untuk menjamin sinergi pelaksanaan REDD+, maka perlu koordinasi dan penilaian kondisi aktual terhadap dokumen SRAP dan STRANAS. Sinergi juga perlu dibangun dengan inisiatif lain seperti RAN/RAD GRK yang dibangun oleh Bappenas yang saat ini juga sudah memulai proses penyusunan NAMAs sesuai dengan amanat Perpres No. 61/2011. Pelakanaan di tiap daerah juga akan berbeda satu dengan yang lainnya, maka perlu jaminan keberlanjutan REDD+ agar tidak hanya berperan sebagai proyek, namun juga program pembangunan. Saat ini mulai banyak bantuan internasional yang tidak spesifik mengarah kepada REDD+, namun dapat mendukung pelaksanaan REDD+, demikian juga program nasional seperti MP3EI dan pembentukan KPH. Inisiatif tersebut akan dilakukan pada lahan yang sama, maka perlu penelaahan lebih lanjut agar sinergi tetap terjaga dan tidak terjadi trade off. Terkait dengan kegiatan A/R CDM LULUCF, Indonesia mengirimkan submisi yang terdiri dari kegiatan potensial untuk diusulkan Indonesia sebagai kegiatan tambahan CDM LULUCF (di luar A/R CDM). Submisi tersebut konsisten dengan submisi sebelumnya, termasuk identifikasi kegiatan-kegiatan serupa yang telah masuk dalam kegiatan di bawah Article 3.4 Kyoto Protocol untuk negara maju (revegetation, cropland management, grazing land management, and wetland drainage and rewetting), serta penanganan isu non permanence.

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

9

3. Membawa Konsep ke Praktik: Hutan dalam Sustainable Landscape Management Oleh: Prof. Hermansah (Universitas Andalas) Dalam mencapai pembangunan berkelanjutan terdapat 2 pilar utama yang harus dijamin keberadaannya, yaitu pengembangan kualitas hidup manusia dan pengembangan kemampuan dan keragaman sumberdaya di bumi. Kemampuan dan keragaman sumberdaya alam dapat dijaga dengan konservasi terhadap sistem penyangga kehidupan dan keanekaragaman hayati, memastikan bahwa seluruh penggunaan sumberdaya alam yang dapat diperbarui berlangsung secara lestari, meminimalisasi penurunan stok sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, serta menjaga agar proses kehidupan manusia tetap berada dalam daya dukung lingkungan. Terkait dengan sumber daya alam berbasis lahan, harus disadari bahwa setiap unit tata guna lahan, seperti hutan, kebun, tanaman pertanian dan sawah saling berhubungan satu dan lainnya toposequent landscape. Oleh karena itu, produksi pertanian berkelanjutan juga membutuhkan pengelolaan lahan secara berkelanjutan. Konsep teras sawah yang telah dilakukan secara turun temurun merupakan contoh nyata pemanfaatan hara berkelanjutan dengan mengendalikan laju erosi. Hutan dalam hal ini berperan sebagai pengendali pelepasan unsur hara dan air serta melindungi pertumbuhan tanaman. Terkait dengan hal itu, telah dilakukan penelitian oleh Kyushu University tentang siklus dan potensi hara di hutan hujan tropis super basah Padang. Penelitian dilakukan dengan pembuatan sampel plot yang dapat mengukur laju erosi di satuan lahan tersebut. Mengingat pentingnya aspek ilmiah dalam negosiasi internasional, maka ke depan diperlukan pembuatan plot permanen yang dapat berperan sebagai long term ecological plot. Selain itu, metodologi yang diterapkan harus sama di tiap daerah, maka dari itu diperlukan standar dan panduan dalam skala nasional. Untuk mengelola atau mengontrol landscape based resources dalam hubungannya dengan produksi tanaman secara berkelanjutan diperlukan pendekatan pada unsurunsur berikut: • Unsur hara : Harus seimbang antara input and output : Harus digunakan secara efisien guna mempertahankan kualitas • Air dan kuantitas • Hutan : Harus dijaga sebagai area reservoir • Lahan : Harus digunakan secara efisien baik dari segi tata guna dan tata waktu

10

PRESENTASI DAN DISKUSI

• Sungai • Tanah • Tanaman

: Harus dikelola untuk penggunaan air yang efisien : Harus dijaga dan dipertahankan kualitasnya baik secara fisik maupun kimia : Harus diatur pola tanamnya baik dari segi tata guna dan tata waktu

Namun demikian, pendekatan tersebut akan sangat tergantung pada kondisi iklim, geologi, topografi dan politik dari wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu, peraturan perundangan yang baku sangat penting dalam menjamin pelaksanaan konsep kelestarian ke lapangan. Dengan dilakukannya berbagai penelitian, maka akan diketahui jenis pengelolaan lanskap mana saja yang dapat direkomendasikan. Kemudian, harus diadakan evaluasi secara berkelanjutan dari beberapa jenis manajemen lanskap tersebut. Untuk keperluan jangka panjang maka dapat dilakukan pembangunan model pengelolaan lanskap yang dapat direkomendasikan tergantung pada kondisi alam and sosial dari lanskap tersebut. Hal tersebut akan mendukung pelaksanaan REDD+ ke depan dengan mengakomodasi kepentingan berbagai sektor yang terkait dengan sumberdaya lahan. Meskipun demikian masih terdapat gap antara kebijakan di tingkat nasional dan aktivitas di tingkat lokal. Hal ini akan menjadi masalah saat implementasi REDD+ secara penuh. Pemerintah daerah dengan kondisi politik seperti ini juga akan bebas dalam melakukan pergantian pimpinan, hal tersebut akan memberikan masalah pada komitmen pembangunan. Oleh karena itu diharapkan adanya sinergi antar pemangku kepentingan, termasuk dalam hal ini pihak swasta, dalam mengelola sumberdaya alam berbasis lahan agar dapat tercipta keberlanjutan baik dari segi hasil maupun lingkungan. 4. Dialog Informal Internasional Sektor Lahan dan Kehutanan Oleh: Prof. Rizaldi Boer – (Centre for Climate Risk and Opportunity Management (CCROM) in South-East Asia and Pacific of Bogor Agricultural University) Dialog informal di tingkat internasional untuk sektor lahan membahas dua hal terkait dengan masalah sistem klasifikasi dan kelengkapan (Comprehensiveness and classification systems) dan sistem Inventarisasi GRK untuk Agriculture, Forestry, and Other Land Uses (AFOLU). Terkait sistem klasifikasi dan kelengkapan dibahas mengenai ruang lingkup pelaporan dan perhitungan dari sektor lahan, Protokol Kyoto periode 2 terkait REL/RL dan kredit bagi produk permanen kayu, serta kemungkinan perlakukan terhadap sektor lahan sama dengan sektor lain. Terkait PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

11

sistem inventarisasi GRK untuk AFOLU dilakukan sharing pengalaman dalam menyusun inventarisasi GRK menggunakan pedoman yang disusun oleh IPCC dan pembelajaran yang diperoleh untuk bisa memberikan masukan bagi negosiasi. Selama ini memang sektor LULUCF diperlakukan secara berbeda dengan sektor lain terkait peranannya dalam menurunkan emisi. Hal itu dikarenakan hal sebagai berikut: – masalah permanence dan kebocoran, – pengaruh gangguan alami dan yang tidak langsung yang mungkin juga masuk ke dalam perhitungan – perhitungan atau pendugaan emisi dan removal dari sektor ini masih memiliki uncertainty yang tinggi – ketersediaan data yang masih sangat terbatas Hingga saat ini perbaikan metodologi pendugaan dan penghitungan dari IPCC dan pengalaman banyak negara telah memberikan perbaikan yang signifikan sejalan dengan diberlakukannya prinsip inventarisasi GRK. Pemahaman tentang pengaruh alami juga sudah semakin baik sehingga kita dapat secara lebih baik menduga besaran emisi anthropogenic, merujuk fakta tersebut terdapat pertanyaan masih perlukah LULUCF diperlakukan berbeda dari sektor lainnya. Terdapat tiga proses dalam UNFCCC dan Kyoto Protokol yang perlu dipahami dengan baik, yaitu pendugaan, pelaporan, dan penghitungan. Pendugaan (estimation) merupakan perhitungan perubahan stok karbon dan emisi serta serapan GRK menggunakan pedoman IPCC tentang inventarisasi GRK, pelaporan (reporting) merupakan pelaporan hasil pendugaan dan informasi lainnya menggunakan format dan pedoman yang disepakati oleh para pihak, sedangkan penghitungan (accounting) adalah penggunaan nilai pendugaan yang dilaporkan (nilai, paramater dan informasi lainnya untuk tujuan menentukan kemajuan yang dicapai dalam menurunkan emisi atau mengukur pencapaian target atau tingkat pencapaian komitmen. Dalam dialog tersebut land based dan activity based sudah diasosiasikan dengan kerangka pelaporan untuk UNFCCC dan Protokol Kyoto. Perbedaan mendasar dari kedua kerangka pelaporan tersebut adalah emisi dan removal yang dilaporkan dalam Protokol Kyoto juga sudah termasuk dalam emisi yang dilaporkan dalam inventarisasi GRK di bawah UNFCCC, dugaan emisi di bawah UNFCCC sudah memasukkan semua emisi dan removal, sedangkan dugaan emisi/serapan Protokol Kyoto hanya untuk penghitungan pencapaian target penurunan emisi. Berikut merupakan keuntungan dan kerugian pendekatan activity based dan land-based.

12

PRESENTASI DAN DISKUSI

Keuntungan

Kerugian

Activity-Based: dibangun berdasarkan kerangka pelaporan KP dan aturan penghitungan serta pengalaman pelaksanaannya

Activity-based: • Membutuhkan daftar spesifik kegiatan – aktivitas yang mana dan kenapa? • Kerangka pelaporan berbeda dengan inventarisasi UNFCCC –masalah transparansi • Tidak menjamin bahwa semua emisi dan removal dari berbagai lahan terhitung • Aturan KP hanya berlaku pada beberapa negara saja

Land-based: berdasarkan kategori inventarisasi GRK di bawah UNFCCC yang diberlakukan di semua negara dan konsisten dengan pelaporan inventarisasi GRK UNFCCC

• Memasukkan suatu kategori lahan tidak menjamin bahwa semua emisi dan removal antropogenic dihitung dan dilaporkan • Membutuhkan pertimbangan bagaimana konsep kunci peghitungan bisa diterapkan untuk setiap kategori lahan (e.g. net-net, reference levels, mengeluarkan gangguan alami)

Terkait dengan perbedaan kedua pendekatan di atas, diskusi dalam dialog tersebut bertujuan untuk mengembangkan sistem perhitungan yang lebih komprehensif yang bergantung pada kelengkapan pendugaan emisi/removal dan mekanisme pelaporannya. Selain itu disepakati juga bahwa prinsip dalam inventarisasi GRK, dalam hal ini Transparency, Accuracy, Completeness, Consistency and Comparability (TACCC), menjadi basis yang baik untuk penghitungan emisi dan removal GRK. Upaya untuk perbaikan metode inventarisasi oleh setiap pihak dan dengan adanya proses review di bawah UNFCCC seyogyanya dapat mempercepat pencapaian sistem perhitungan yang komprehensif. Disepakati juga bahwa penggunaan satu pendekatan untuk semua negara memungkinkan, asalkan pendekatan tersebut mengakomodasi ketersediaan data, kemampuan dan kesediaan tenaga ahli khususnya bagi negara berkembang. Dengan demikian tedapat 3 kemungkinan pilihan, yaitu tetap menggunakan dua sistem pelaporan (land and activity base system) dengan menggunakan activity-based accounting, pelaporan dengan landbased system dan penggunaan land-based accounting, atau campuran antara sistem pelaporan dan perhitungan activity based dan land based. Terkait dengan penanganan isu non permanence terdapat beberapa usulan seperti, penghitungan berbasis ton/tahun, adanya cadangan dana untuk buffer dan kredit, adanya mekanisme asuransi yang melibatkan pihak ke-3, jaminan dari negara host, PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

13

dan pengecualian untuk aktivitas-aktivitas yang berisiko rendah, di mana kredit yang dihasilkan dari aktivitas tersebut dianggap permanen. Dalam konteks pelaksanaan REDD+, salah satu komponen dari safeguard ialah bagaimana meng-address isu ini. Maka perlu strategi jitu Indonesia baik dalam hal kebijakan maupun metodologi. Dalam prakteknya Indonesia sudah memiliki komitmen penurunan emisi sebesar 2641% dalam RAN/RAD GRK dan NAMAs, maka harus dilakukan MRV yang baik. Metode penghitungan yang akan dilakukan dapat dengan land-based atau activity based accounting, maka perlu dirumuskan terkait pengumpulan data yang sudah ada di level daerah. Untuk menjaga sinergi perlu juga dilakukan inventarisasi aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan dalam RAD GRK, maka baseline yang dibangun oleh daerah sangat penting. Jika Indonesia sudah masuk dalam sebuah skema internasional maka tidak dapat keluar lagi, sehingga akan dihitung dan dimonitor terus menerus sesuai guidance yang ada. Oleh karena itu perlu adanya quality control terhadap data dan penghitungan yang dilakukan. Kementerian Keuangan memberikan grant bagi aktivitas yang dapat terukur, maka sangat penting bagaimana pemerintah daerah memasukkan strategi penurunan emisi GRK dalam pembangunan dan mengukurnya, sementara pemerintah pusat bertugas untuk bernegosiasi di COP maupun dilevel bilateral. 5. REDD+ Work Program Oleh: Dr. Agus Sari (Working Group on Funding Instruments Task Force on REDD+) Sektor kehutanan berkontribusi sekitar 15-20% dari total emisi global. Berdasarkan angka tersebut, diketahui bahwa sebagian besar emisi dunia bukan dari land-based sector, namun demikian bagi Indonesia land-based sector sangatlah penting karena sebagian besar emisi Indonesia berasal dari land-based sector yang diperkirakan akan mencapai sekitar 1 miliar ton CO2 pada tahun 2020 dengan BAU. Pada level global untuk menurunkan setengah dari emisi dibutuhkan dana sekitar 17 miliar USD, yang pada tahun 2020 ditargetkan sekitar 20 miliar USD. Oleh karena itu dilakukan diskusi REDD+ Work Program untuk membahas kepastian pendanaan. Work Program ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pelaksanaan REDD+ terutama terkait isu pendanaan secara global. Work program yang diketuai oleh Indonesia dan Norwegia ini secara teknis dimandatkan untuk membuat 2 workshop tentang REDD+ financing, di mana satu workshop sudah dilaksanakan di Bonn pada bulan Juni 2013 dan satu lagi akan dilaksanakan pada akhir Agustus 2013. Hasil dari workshop tersebut akan menjadi masukan untuk perundingan COP19 di Warsawa, namun perlu diingat juga bahwa diperlukan jeda waktu antara workshop terakhir dan pelaksanaan COP karena

14

PRESENTASI DAN DISKUSI

diperlukan penerjemahan. Workshop ini juga berfungsi mengkoordinasi kegiatan work program dikarenakan banyaknya kegiatan di bawah UNFCCC yang terkait dengan REDD+, seperti FVA, NMA, dan NMM. Dalam work program terdapat 3 agenda besar, yaitu: 1. Ways and means for results-based payments 2. Ways to incentivize non carbon benefits 3. Ways to improve coordination of result based finance

Workshop pertama difokuskan pada ways and means for results-based payments, sedangkan workshop kedua lebih difokuskan pada non carbon benefit dan coordination of support. Isu yang mencuat pada workshop pertama adalah arsitektur dan struktur yang meliputi disbursement dan scaling up dana, modalitas yang dapat dilalui dengan pendekatan market dan non market, serta metode untuk mengukur dan menentukan kinerja. Selain itu juga terdapat isu governance terkait pengelolaan dana di level nasional dan internasional. Sumber pendanaan juga menjadi isu yang dibahas karena banyak negara yang mulai skeptik terhadap pelaksanaan REDD+ secara penuh. Selain itu pada workshop tersebut dibahas juga mengenai peran dan pelibatan swasta, agar REDD+ dapat menjadi salah satu alternatif investasi. Isu scaling up termasuk munculnya pertanyaan terkait keberlanjutan dan kepastian pendanaan REDD+ serta peran dan penggunaan mekanisme pasar yang banyak menuai pro dan kontra tak luput dari diskusi dalam workshop. Workshop kedua akan dilakukan pada akhir Agustus 2013, di mana workshop dua hari ini dilakukan jauh lebih panjang dari workshop pertama. Fokus dalam workshop ini adalah untuk menjawab 2 topik agenda, yakni non carbon benefit dan coordination of support, namun juga masih menjawab topik-topik pada workshop pertama. Terkait dengan COP 19 di Warsawa, perlu dibentuk contact group untuk menegosiasikan keputusan COP mengenai REDD+ financing guna memastikan ada atau tidaknya keputusan mengenai isu ini. Perlu disadari bahwa metodologi sangatlah penting meskipun rumit. Metodologi resmi harus diikuti jika ingin memperoleh insentif, oleh karena itu harus terus dipelajari agar pelaporan dapat dilakukan dengan format yang sudah distandarkan, seperti Voluntary Carbon Standard (VCS). Jika diasumsikan bahwa metodologi sudah siap, maka diperlukan sekitar 10 miliar USD pada tahun 2020 untuk mencapai target di penurunan emisi melalui skema REDD+. Satgas REDD+ sedang dalam proses

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

15

membentuk funding instrument untuk REDD+, yaitu FREDDI, dengan modalitas pembiayaan yang dapat berupa grant yang output based yaitu setelah kegiatan dilakukan, outcome based setelah diketahui dampak yang dihasilkan (diperlukan indikator kinerja untuk pembayaran), trade melalui perdagangan karbon, dan investasi. Terkait komitmen penurunan emisi 26-41%, tidak harus semuanya dilakukan oleh negara, melainkan pihak swasta juga dapat dilibatkan. KPH juga dapat terlibat dengan melakukan penurunan emisi sesuai dengan guidance, dan pemerintah dapat membeli penurunan emisinya dengan skema FREDDI. Keberadaan FREDDI akan menguntungkan Indonesia, antara lain: - Minimalisasi resiko proyek, sebagai contoh adalah terjadinya kebakaran hutan, maka proyek akan terancam gagal. Dalam hal ini FREDDI dapat mengagregasi seluruh proyek di Indonesia dan dijual dalam satu paket dengan harga jual yang lebih tinggi, sehingga harga beli oleh FREDDI kepada pelaku proyek juga akan lebih tinggi. - Pengadaan kompetisi antar distrik/KPH untuk menurunkan emisi hingga di bawah target penurunan. Jika suatu distrik dapat mencapai level emisi di bawah alokasi, maka distrik tersebut dapat menjual surplus alokasi emisinya kepada distrik lain, namun jika emisi tidak di bawah alokasi maka distrik tersebut harus membeli penurunan emisi dari distrik lain.

16

PRESENTASI DAN DISKUSI

Bab IV Rumusan Focus Group Discussion

Dalam FGD peserta dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, di mana kelompok I membahas isu mengenai REDD+ dan kelompok II mengenai LULUCF. Ringkasan hasil diskusi tercantum dalam tabel berikut: Kelompok I: REDD+ No. Pertanyaan 1 Seberapa jauh penyusunan dan implementasi STRANAS /SRAP REDD+ (termasuk di dalamnya penetapan/ pembangunan REL/RL, NFMS-MRV, SIS) menggunakan COP guidance? Apa kendala yang dihadapi dalam pemenuhan guidance COP tersebut di atas dan apa langkah-langkah yang diperlukan untuk perbaikan ke depan?

Kelompok I Compliance STRANAS dengan COP Guidance: • Secara parsial STRANAS REDD+ sudah mencakup guidance terkait governance (kecuali REL, SIS, NFMS). • Untuk Provinsi Jambi penyusunan SRAP sudah sesuai dengan COP Guidance à saat ini fokus pada upaya teknis penurunan emisi. Kendala • Ketidaktahuan terhadap COP guidance. • Proses yang paralel, berisiko tidak sinkron. Langkah yang diperlukan • Pengarusutamaan (komunikasi, sosialisasi) COP Guidance. • Tata waktu yang sistematis dalam penyusunan SRAP PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

17

• Alur komunikasi dan panduan yang jelas antara nasional dan sub nasional. • Technical assistance bagi level sub nasional. • Perlu penerjemahan COP Guidance ke dalam juknis (termasuk pengertian berbagai istilah internasional). • Penetapan STRANAS disesuaikan dengan kondisi nasional. 2

Seberapa jauh konsistensi dijaga antara penetapan REL/RL dalam STRANAS/ SRAP REDD+ dan BAU dalam RAN/RAD-GRK? Apa langkahlangkah yang diperlukan untuk perbaikan ke depan?

Konsistensi • Belum sepenuhnya konsisten à maka perlu standardisasi metode. • Beberapa kabupaten di Sumatera Barat, meskipun memiliki animo tinggi dalam REDD+, mengalami kebingungan terkait posisi kabupaten dalam desain REDD+. Langkah yang diperlukan • Koordinasi dan komunikasi diperbaiki. • Standardisasi metode à perlu lembaga yang memiliki otoritas dalam metode dan data. • Menjaga transparansi. • Mencegah overlap kegiatan, contoh: penentuan REL sektor kehutanan pada RAN-GRK dapat menggunakan data REL dari REDD+.

3

18

Bagaimana REDD+ dan mitigasi di bawah RAN/RAD-GRK diintegrasikan dalam Low emission and climate resilient development strategy ?

RUMUSAN FOCUSED GROUP DISCUSSION

• REDD+ dan RAD-GRK diintegrasikan dalam RPJMD, Renstra sektoral, dan MP3EI. • Perlu peningkatan pemahaman dan kapasitas teknis di daerah. • REDD+ dan RAD-GRK menjadi bagian dari KLHS.

Kelompok II: LULUCF No

Pertanyaan

Kelompok II

1

Kegiatan apa saja yang potensial untuk diusulkan Indonesia sebagai kegiatan tambahan untuk CDM LULUCF (di luar A/R CDM) ? Catatan : konsisten dengan submisi sebelumnya, termasuk identifikasi kegiatan-kegiatan serupa yang telah masuk dalam kegiatan di bawah Article 3.4 Kyoto Protocol untuk negara maju (revegetation, cropland management, grazing land management, and wetland drainage and rewetting),

2

Bagaimana cara penanganan isu non- • Selesaikan isu tata ruang permanen dari kegiatan tambahan • Forest harvest product (wajib untuk CDM LULUCF dimaksud? dihitung) Catatan : pada A/R CDM penanganan • Pengawasan dan penegakan non-permanen dilakukan dengan hukum (law enforcement) memperlakukan CER-A/R CDM sebagai “Temporary CER” yang membuat A/R CDM kurang atraktif dibanding CDM lainnya,

3

Isu lain yang terkait untuk masuk dalam “submisi” ke Sekretariat UNFCCC?

• Sustainable Forest Management (HA/HTI) – Rumusan Sistem Silvikultur • Pembangunan Hutan Tanaman untuk Energi; • Peat Management & Integrated Farming; • Ecotourism; • Konservasi Biodiversity; • Reklamasi (bekas tambang, dsb); • Restorasi (ekologi); • Agroforestry; dan • Integrated disease and pest management.

• Transaction cost CDM di Indonesia terlalu mahal (biaya untuk registrasi, validasi dan verifikasi). Maka perlu membuat lembaga verifikasi/validasi sendiri (dalam negeri) • Rumit/panjangnya proses penyiapan sebuah proyek A/R CDM. • A/R CDM sebelumnya berdasarkan “project base”, apakah dimungkinkan diubah berdasarkan “jurisdiction base”?

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

19

Lampiran

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

21

Lampiran 1. Agenda Waktu

Kegiatan

Penanggung Jawab/Pembicara/ Moderator

08.30 – 09.00 Registrasi Peserta

Panitia

09.00 – 09.30 Sambutan

Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan

09.30 – 10.00

Visi Indonesia menuju Warsaw

Ibu Moekti Handajani Soejachmoen (Asisten Khusus Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim)

10.00 – 10.15

Coffee Break

10.15 – 12.30

Sesi Presentasi dan Diskusi (Panel)

Prof. Deddy Hadriyanto

1. Update Hasil Bonn di bidang kehutanan

Dr. Nur Masripatin (Pusat Standardisasi dan Lingkungan, Kementerian Kehutanan)

2. Membawa konsep ke praktik: hutan dalam sustainable landscape management

Prof. Hermansah (Univ. Andalas)

3. Update Hasil International Dialogue on Land Sector

Prof. Rizaldi Boer (CCROM-IPB)

4. Pemikiran tentang arsitektur result-based finance untuk REDD+ di bawah UNFCCC

Dr. Agus Sari (Satgas REDD+)

12.30 – 13.30

Ishoma

13.30 – 16.30

Focus Group Discussion (FGD)

Fasilitator - Grup I: Bp. Iwan Wibisono (Satgas REDD+) - Grup II: Prof. Dr. Hendrik Segah (Universitas Palangkaraya)

Topik FGD: I. REDD+: Linking antara proses negosiasi dengan implementasi (fokus: STRANAS/ SRAP, REL/RL, NFMS-MRV, SIS dan safeguards) II. LULUCF: Kegiatan tambahan untuk CDM kehutanan di luar A/R CDM dan penanganan isu non-permanen (fokus: identifikasi kegiatan apa saja yang potensial yang dapat masuk dalam CDM ini, serta cara penanganan isu non-permanen di masing-masing kegiatan potensial dimaksud) 16.30 – 16.45

Presentasi hasil FGD

Perwakilan kelompok

Penutupan

Kepala Pustanling

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

23

Lampiran 2. Bahan Presentasi 1. Indonesia Menuju COP 19/CMP 9 di Warsawa Oleh: Ibu Moekti H. Soejachmoen – Kantor UKP-PPI

24

LAMPIRAN

UNFCCC Bonn, 3-14 Juni 2013

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

25

26

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

27

28

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

29

2. Update Isu Kehutanan Pasca Sesi Negosiasi UNFCCC di Bonn, Juni 2013 Oleh: Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc. (Kepala Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan)

30

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

31

32

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

33

34

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

35

36

LAMPIRAN

3. Membawa Konsep ke Praktik: Hutan dalam Sustainable Landscape Management Oleh: Prof. Hermansah (Universitas Andalas)

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

37

38

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

39

40

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

41

42

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

43

44

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

45

46

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

47

48

LAMPIRAN

4. Dialog Informal Internasional Sektor Lahan dan Kehutanan Oleh: Prof. Rizaldi Boer – (Centre for Climate Risk & Opportunity Management in South-East Asia and Pacific of Bogor Agricultural University)

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

49

50

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

51

52

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

53

54

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

55

56

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

57

5. REDD+ Work Program Oleh: Dr. Agus Sari (Working Group on Funding Instruments Task Force on REDD+)

58

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

59

60

LAMPIRAN

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

61

Lampiran 3. Dokumentasi

Arahan Bapak Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan

Presentasi para narasumber

62

LAMPIRAN

Peserta workshop

Peserta workshop

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

63

Diskusi

Diskusi

64

LAMPIRAN

Diskusi

Diskusi

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

65

Focus Group Discussion

Focus Group Discussion

66

LAMPIRAN

Lampiran 4. Daftar Peserta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Nama A. Rauf Agus Kastanya Agus Sari Agus Suratno Agus Susatya Andi Andriadi Andreas Budi Rahutomo Anwar Saleh Apriwan Apriyanto Ari W. Adipratomo Arief Budi S. Bambang P Bambang S. Bambang Wiranto Chairiah Darmawan Listanto Deddy Hadriyanto Delon Marthinus Dinik Indrihastuti Dyah Elvina Effendy S. Endah Nurhidajati Enggar Aprianto Erna Rosita Erni H Purnomosari Esti Darmaningsih Gun Mardiatmoko Haruni Krisnawati Haryo Pambudi Hendrik Segah Hermansah Holidi

Instansi UNTAD UNPATTI Satgas REDD+ GIZ UNIB Pustanling - Kemenhut Pustanling - Kemenhut Dishut Prov. Kaltim UNAND UNIB DNPI Menko Perekonomian APHI PHKA UNEJ Pusdal II FFI UNMUL TNC Pustanling - Kemenhut KPP-PA PT. REKI Sekretaris Badan Litbang Kehutanan UNIB Pustanling - Kemenhut Perum Perhutani APHI UNPATTI FORDA Pustanling - Kemenhut Unversitas Palangkaraya UNAND UNMURA

PROSIDING Workshop REDD+ dan LULUCF dari Bonn Menuju Warsaw dan Progres di Dalam Negeri

67

No 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66

68

Nama

Instansi

Ilham Aldelmo Indri Irwan Mahakam L.A Iwan Wibisono I. Wayan Kasa Julmansyah Lia Kartikasari M. Farid Nefretarisari Neni S Niken Noeroso Novia Widyaningtyas Nurudin Priyo Suprayogi Radian Bagiyono Rizaldi Boer Slamet Riyadi Silver Hutabarat Sonny B. Patampang Sonny M Sri Mulyati Sri Oktavia Suhardi Suzanty Sitorus Triliana W Udiansyah Wahjudi Wardojo Wahyu Widodo Whidas P Windyo Laksono Woro Supartinah Zulfira Warta

UNAND PHKA UNRAM UKP4 Universitas Udayana KPH Batulanteh Pustanling - Kemenhut DNPI Pusat KLN - Kemenhut Kemenhut Planologi BKF Kemenkeu Pustanling - Kemenhut Dishut Prov. Sulteng Pusdal III Pustanling - Kemenhut CCROM IPB Dishut Sijunjung INCAS Dishut Prov. Maluku RCCC UI Pusdal II BPK RI Kemenko Perekonomian DNPI BPK RI UNLAM TNC Dishut Prov. Jambi BPK RI Pustanling - Kemenhut JIKALAHARI WWF

LAMPIRAN

29. Prosiding REDD+ and LULUCF dari Bonn menuju Warsaw ...

There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 29. Prosiding REDD+ and LULUCF dari Bonn menuju Warsaw, 2013.pdf. 29. Prosiding REDD+ and LULUCF dari Bonn menuju Warsaw, 2013.pdf. Open. Extract. Open with.

4MB Sizes 2 Downloads 258 Views

Recommend Documents

ZEF Bonn - AgEcon Search
population without a telecommunications network due to the ineffective demand. .... addition to voice telephony, the public phone has capacity for fax and data ... addition, the service package also includes one point of public access to the Internet

Artikel Prosiding Prihono.pdf
Page 1 of 11. Page 1 of 11. Page 2 of 11. Proseding Seminar Nasional Teknik Industri. 3 November 2016. Copyright@2016 TI-UPN JATIM. 15. PENGEMBANGAN MODEL QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT. BERBASIS FUZZY KANO UNTUK JASA LAYANAN. TRANSPORTASI UMUM BAGI PEN

quran in dari translation pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. quran in dari ...

Milea(Suara-Dari-Dilan)-ebookindonesia.id.pdf
Page 3 of 355. Page 3 of 355. Milea(Suara-Dari-Dilan)-ebookindonesia.id.pdf. Milea(Suara-Dari-Dilan)-ebookindonesia.id.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In.

warsaw of night.pdf
ofskyscrapers page 2 skyscrapercity. Whoops! There was a problem loading this page. Whoops! There was a problem loading this page. warsaw of night.pdf.

Warsaw Ghetto Webquest.pdf
What happened in the Warsaw Uprising of 1943? Warsaw Ghetto Webquest. Page 2 of 2. Warsaw Ghetto Webquest.pdf. Warsaw Ghetto Webquest.pdf. Open.

Warsaw EUDC 2016 Speaker Scale.pdf
Please use the full range of the scale. Speaker marks determine many of the breaking teams, and tab finishes can be big. achievements, so please give them the ...

ZEF Bonn - Center for Development Research (ZEF)
4.2 Village Pay Phone Program Under The Business-NGO Partnership ... The two mechanisms that are examined here are considered as two best .... innovative use of markets in attaining universal access for rural households, the ...... Under the VPP prog

tan-malaka-menuju-republik-indonesia.pdf
Page 3 of 58. Naar de "Republiek Indonesia" Naar de "Republiek Indonesia". Tan Malaka. 1924. Page 3 of 58. tan-malaka-menuju-republik-indonesia.pdf. tan-malaka-menuju-republik-indonesia.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying ta

Redd Ranches calving ease.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Redd Ranches ...

PROSIDING TING IV.pdf
Loading… Page 1. Whoops! There was a problem loading more pages. Retrying... PROSIDING TING IV.pdf. PROSIDING TING IV.pdf. Open. Extract. Open with.

seeing redd frank beddor pdf
Page 1 of 1. File: Seeing redd frank beddor pdf. Download now. Click here if your download doesn't start automatically. Page 1 of 1. seeing redd frank beddor ...

ZEF Bonn - Center for Development Research (ZEF)
3.1 Private Provision of Universal Service Through Auction. 11 ... Table 5: Cost of Village Pay Phone (VPP) Package in Local Currency. 21 ..... per subscriber, and the dotted line is the marginal cost of telecom provider which is assumed ... populati

Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf
Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf. Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Prosiding SNASTIKOM ...

Prosiding Semirata-14 Bogor.pdf
Prosiding Semirata-14 Bogor.pdf. Prosiding Semirata-14 Bogor.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Prosiding Semirata-14 Bogor.pdf.

Prosiding Semnas Unwidha 2015.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Prosiding Semnas Unwidha 2015.pdf. Prosiding Semnas Unwidha 2015.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Mai

EU letter LULUCF 25 sept 2017.pdf
3 days ago - climate via biophysical processes, such as albedo, evapotranspiration, forest structure and cloud-formation, which. depend on the diversity of ...

Polonia - Warsaw Pact I booklet.pdf
east germany. czechoslovakia. bulgaria. THE WARSAW PACT 1955 - 1991. 2 | the warsaw pact - Treaty of friendship, cooperation and mutual assistance. Page 2 of 44. Page 3 of 44. Polonia - Warsaw Pact I booklet.pdf. Polonia - Warsaw Pact I booklet.pdf.

Warsaw EUDC 2016 Speaker Scale.pdf
Page 1 of 1. SPEAKER SCALE. The mark bands below are rough and general descriptions; speeches need not have every feature described to fit in a. particular band. Throughout this scale, 'arguments' refers both to constructive material and responses. P

Permen LH No.3 th 2006 Program Menuju Indonesia Hijau.pdf ...
Pengesahan United Nations Framework. Convention on Climate Change (Konvensi. Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa. Mengenai perubahan Iklim) ...

Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf
Page 1 of 5. Page 1 of 5. Page 2 of 5. Page 2 of 5. Page 3 of 5. Page 3 of 5. Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf. Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf. Open.