GLOSSY

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DALAM RANGKA BULAN BAHASA DAN SASTRA TAHUN 2015 UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN

ISBN 602-73821-0-4

7 786027 382107

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN BEKERJA SAMA DENGAN BALAI BAHASA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2015

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN BEKERJA SAMA DENGAN BALAI BAHASA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2015

ISBN : 978-602-73821-0-7

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL DALAM RANGKA BULAN BAHASA DAN SASTRA TAHUN 2015 UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN ”Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra” Klaten, 15 Oktober 2015

Editor: Dr. D.B. Putut Setiyadi, M.Hum. Dra. Hj. Sri Haryanti, M.Hum. Drs. Luwiyanto, M.Hum. Dra. Sukini, M.Pd. Drs. Erry Pranawa, M.Hum.

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN BEKERJA SAMA DENGAN BALAI BAHASA PROVINSI JAWA TENGAH

DALAM RANGKA BULAN BAHASA DAN SASTRA TAHUN 2015 UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN

Editor: Dr. D.B. Putut Setiyadi, M.Hum. Dra. Hj. Sri Haryanti, M.Hum. Drs. Luwiyanto, M.Hum. Dra. Sukini, M.Pd. Drs. Erry Pranawa, M.Hum.

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL dalam Rangka Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2015 “Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra”

ISBN 978-602-73821-0-7

Editor Dr. D.B. Putut Setiyadi, M.Hum. Dra. Hj. Sri Haryanti, M.Hum. Drs. Luwiyanto, M.Hum. Dra. Sukini, M.Pd. Drs. Erry Pranawa, M.Hum.

Penerbit Program Studi Pendidikan Bahasa Program Pascasarjana Universitas Widya Dharma Jn.Ki Hajar Dewantara, Klaten 57438. Telp 0272-322363, Fax 0272-323288. Email: [email protected] Bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah

Cetakan 1, Desember 2015 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

PRAKATA Panitia mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kita bisa berkumpul dalam acara Seminar Nasional dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2015 di lantai IV Gedung Rektorat Universitas Widya Dharma Klaten dengan sehat walafiat tiada kekurangan. Seminar Nasional ini diselenggarakan oleh Universitas Widya Dharma Klaten bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2015. Adapun tema seminar ini adalah ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖. Tema ini diangkat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas mental bangsa melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Seminar nasional yang diadakan pada Kamis, 15 Oktober 2015 diikuti oleh para guru, mahasiswa S1, S2, S3, dosen, para pemerhati pembelajaran bahasa dan sastra, serta umum. Adapun pembicara dalam seminar ini sebagai berikut. 1. Pembicara Utama a. Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; b. Prof. Dr. KRT. Suwarna Dwijanagara dari Universitas Negeri Yogyakarta; c. Prof. Dr. Riyadi Santosa, M.Hum. dari Universitas Sebelas Maret Surakarta; dan d. Dr. Dwi Atmawati, M.Hum. dari Balai Bahasa Jawa Tengah. 2. Pembicara Pendamping Dosen-dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Pendidikan Bahasa Inggris dari Universitas Widya Dharma Klaten dan dari berbagai perguruan tinggi yang ada di sekitar. Pada kesempatan ini Universitas Widya Dharma Klaten menyampaikan ucapan terima kasih kepada Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah yang telah melaksanakan kerja sama dan memberikan bantuan dana dalam rangka penyelenggaraan Seminar Bahasa dan Sastra Tahun 2015. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Yayasan Pendidikan Indonesia Klaten, para panitia seminar, para mahasiswa serta seluruh sivitas akademika Universitas Widya Dharma Klaten. Kami mewakili panitia menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dan ketidasempurnaan dalam penyelenggaraan seminar bahasa kali ini. Kami berharap mudah-mudahan dalam penyelenggaraan seminar bahasa dan sastra pada tahuntahun mendatang menjadi lebih baik lagi. Klaten, 15 Oktober 2015 Panitia

i

LAPORAN KETUA PANITIA

Salam sejahtera bagi kita semua. Yth. Bapak Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Yth Bapak-bapak Pembicara Utama Yth. Ketua Yayasan Pendidikan Indonesia Yth. Bapak Rektor Universitas Widya Dharma Klaten, Wakil Rektor I, II, III, Direktur, Dekan FKIP dan Bapak-Bapak Pimpinan Struktural Universitas Widya Dharma Klaten Yth. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Tamu Undangan Yth. Para Panitia Seminar Bulan Bahasa dan Sastra 2015, serta Para Peserta seminar yang berbahagia. Pertama, marilah bersama-sama kita senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah kepada kita semua sehingga kita semua bisa berkumpul dalam acara Seminar Nasional dalam rangka Bulan Bahasa dan Sastra tahun 2015 di Auditorium Gedung Rektorat, Unwidha Klaten dengan sehat walafiat tiada kekurangan suatu apa pun. Kami segenap panitia mengucapkan selamat datang dan terima kasih yang tak terhingga atas kehadiran Bapak-bapak dan Ibu-ibu tamu undangan yang telah meluangkan waktunya untuk menghadiri seminar nasional pagi hari ini. Seminar Nasional ini diselenggarakan oleh Universitas Widya Dharma Klaten bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2015. Adapun tema seminar ini adalah ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖. Tema ini mengacu ke Program Presiden Joko Widodo tentang ―Revolusi Mental‖ yang walaupun hal itu sampai sekarang masih belum bergema aktivitasnya dan bahkan situsnya diretas sehari setelah diluncurkan oleh oknum yang tidak menyetujui hal itu. Menurut Presiden, revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti luhur, ramah, dan bergotong royong yang dapat membuat masyarakat sejahtera. Namun, saat ini karakter tersebut mengalami perubahan tanpa disadari yang merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidakdisiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Oleh karena itu, Jokowi menawarkan ada sebuah revolusi mental. Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana dimaksud di atas adalah melalui pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Presidin lebih lanjut mengatakan bahwa kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita. (Kompas.com, 17 Oktober 2014). Di samping itu ada pula pendapat pakar bahasa, yaitu Sudaryanto, yang mengatakan bahwa revolusi mental itu berawal dari bahasa, hal itu dimungkinkan apabila orang menyadari kembali fungsi hakiki bahasa, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Mudah-mudahan tema seminar kali ini bisa membuat pencerahan kepada kita semua tentang Revolusi mental itu. ii

Pada kesempatan ini kami laporkan bahwa peserta seminar nasional kali ini adalah Bapakbapak dan Ibu-ibu guru SD, SMP, SMTA, Dosen, mahasiswa S1, S2, S3, dan pemerhati bahasa dan sastra, serta umum sebanyak kurang lebih 400 peserta. Pada kesempatan ini kami laporkan pula bahwa sebagai 1. Pembicara Utama 1) Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo (Unika Atma Jaya Jakarta) 2) Prof. Dr. K.R.T. Soewarno Dwijanagara, M.Pd (Universitas Negeri Yogyakarta) 3) Prof. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D. (Universitas Sebelas Maret Surakarta) 4) Dr. Dwi Atmawati, M.Hum. (Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah) 2. Pembicara Pendamping Dosen-dosen Program Studi Pendidikan Bahasa, Pascasarjana, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, serta Pendidikan Bahasa Inggris berjumlah kurang lebih 26 makalah pendamping antara lain dari UNS, Unswagati Cirebon, IKIP PGRI Semarang, Universitas Muhammadiyah Purworejo, ISI Surakarta, STKIP Persada Khatulistiwa, Sintang Kalbar, dan Dosen2 PBSI, PBSD, PBI, serta Program Pascasarjana Unwidha, Mahasiswa S3 UNS, UNY, dan UNES, serta beberapa guru. Pada kesempatan ini Universitas Widya Dharma Klaten menyampaikan ucapan terima kasih kepada Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah yang telah melaksanakan kerja sama dan memberikan bantuan dana dalam penyelenggaraan Seminar Nasional Kebahasaan dalam rangka Peringatan Bulan Bahasa dan Sastra 2015 di Universitas Widya Dharma Klaten. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada, Yayasan Pendidikan Indonesia Klaten, Bapak Rektor dan Wakil Rektor I, II, III, Bapak Direktur Program Pascasarjana, Dekan FKIP, dan pejabat struktural Unwidha Klaten, para panitia seminar, para mahasiswa, beserta seluruh sivitas akademika Unwidha yang telah membantu terlaksananya acara ini. Selanjutnya kami mohon Bapak Rektor memberikan sambutan dan Bapak Kepala Balai Bahasa Provinsi Jateng juga memberikan sambutan dan membuka Seminar Nasional pada pagi hari ini. Kami mewakili Panitia apabila di dalam menyelenggarakan acara dan menyambut kehadiran Bapak Ibu tamu undangan ada kekurangannya, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya pribadi apabila ada kekurangan juga mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhirul kalam, Wabillahi Taufiq Walhidayah

Klaten, 15 Oktoboer 2015 Ketua Panitia

Dr. D.B. Putut Setiyadi, M.Hum.

iii

PIDATO SAMBUTAN WAKIL REKTOR I Seminar Nasional pada hari ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2015 yang diselenggarakan oleh empat Program Studi, yaitu Program Studi Magister Pendidikan Bahasa (S2), Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Universitas Widya Dharma Klaten. Adapun tema yang dipilih adalah ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖. Tema ini mengacu ke Program Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo tentang ―Revolusi Mental‖. Apa sebenarnya Revolusi Mental itu? Kata revolusi berasal dari bahasa Latin ―revolutio‖ yang mengandung arti ‗berputar arah‘. Revolusi bermakna perubahan fundamental (mendasar) dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat. Kata kuncinya adalah perubahan dalam waktu singkat. Menurut Aristoteles ada dua jenis revolusi, yaitu (1) perubahan sepenuhnya dari satu aturan ke yang lain, (2) modifikasi terhadap aturan yang ada. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia revolusi diartikan (1) perubahan ketatanegaraan pemerintahan atau keadaan sosial yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); (2) perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. Masih dalam KBBI, mental bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Pendapat lain mengatakan bahwa mental adalah cara berpikir atau kemampuan untuk berpikir, belajar, dan merespons terhadap suatu situasi atau kondisi. Misalnya mental priyayi maksudnya adalah orang yang cara berpikir, bersikap, atau merespons sesuatu seperti priyayi (bangsawan), maunya diladeni, tidak mau kerja keras/ kotor, mintanya selalu dihormati, dan sebagainya. Jika pengertian itu disatukan revolusi mental bisa diartikan perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang, atau cara berpikir, belajar, merespons, terhadap suatu situasi atau kondisi. Apakah perubahan itu cepat atau alamiah tergantung pada para petinggi yang akan menerapkan. Dalam hal ini pelaksananya di bawah arahan Presiden tentunya. Presiden lebih lanjut mengatakan bahwa kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita (Kompas.com, 17 Oktober 2014). Pesan Presiden Jokowi yang lain adalah "Percuma Membangun Fisik Tanpa Membangun Pola Pikir Masyarakat". Revolusi mindset sangat penting untuk membangun kembali Kejayaan Nusantara, dan membangun mindset tidaklah semudah membalik telapak tangan. Perlu penjuangan yang berat dan harus dimulai dari para remaja yang sudah banyak terpengaruh oleh efek negatif dari perkembangan dunia informasi. Dalam Seminar Nasional kali ini bagaimana revolusi mental itu dilaksanakan dan apa yang dimaksud revolusi mental melalui pembelajaran bahasa dan sastra akan dibahas oleh para pakar bahasa dan sastra yang saat ini telah hadir di tengah-tengah kita. Tentu saja cakupannya lebih sempit dibandingkan dengan apa yang dimaksud oleh Presiden Jokowi. Pada kesempatan ini Universitas Widya Dharma Klaten menyampaikan ucapan terima kasih kepada Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah yang telah melaksanakan kerja sama dan memberikan bantuan dana dalam penyelenggaraan Seminar Nasional dalam rangka memperingati Bulan Bahasa dan Sastra 2015 di Universitas Widya Dharma Klaten. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada, Yayasan Pendidikan Indonesia Klaten, Bapak Rektor, Wakil Rektor II dan III, Bapak Direktur Program Pascasarjana, Dekan FKIP, dan pejabat struktural Unwidha Klaten, para panitia seminar, para mahasiswa, beserta seluruh sivitas akademika Unwidha yang telah membantu terlaksananya acara ini. Wakil Rektor I

Drs. H. Purwo Haryono, M.Hum.

iv

DAFTAR ISI PRAKATA ................................................................................................................................. i LAPORAN KETUA PANITIA ............................................................................................... ii PIDATO SAMBUTAN WAKIL REKTOR I ....................................................................... iv

MAKALAH UTAMA REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA Riyadi Santosa ............................................................................................................................ 3 MEMBENTUK MENTAL MELALUI KETELADANAN BERBAHASA Dwi Atmawati ........................................................................................................................... 15 PEMBELAJARAN BAHASA: BERTANYA DAN BERKREASI Bambang Kaswanti Purwo ....................................................................................................... 20 PENGEMBANGAN KULTUR DAN KARAKTER BUDAYA JAWA DI SEKOLAH Suwarno Dwijanagara ............................................................................................................. 25

MAKALAH PENDAMPING REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Dwi Bambang Putut Setiyadi dan Basuki ................................................................................ 33 REVOLUSI MENTAL PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH UNTUK MEMANTAPKAN NASIONALISME DAN JATIDIRI BANGSA Yuli Widiyono, M,Pd. ............................................................................................................... 40 NILAI-NILAI BUDAYA JAWA DALAM WULANG REH DAN WEDHATAMA SEBAGAI MATERI AJAR SASTRA Esti Ismawati ............................................................................................................................ 53 MEMBANGUN REVOLUSI MENTAL PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS Umi Sholihah ............................................................................................................................ 67

v

REVOLUSI MENTAL MELALUI PITUTUR LUHUR DALAM NASKAH WAYANG KULIT PURWA LAKON BAWOR DADI RATU SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN BAHASA JAWA Astiana Ajeng Rahadini ............................................................................................................ 76 SUPPORTING MENTAL REVOLUTION PROGRAM BY DEVELOPING STUDENTS’ SOFT SKILLS IN TEACHING ENGLISH IN HIGHER EDUCATION Fibriani Endah Widyasari ........................................................................................................ 84 PEMBELAJARAN SENI SASTRA SEBAGAI PENDIDIKAN PENANAMAN KARAKTER BANGSA Sri Hesti Heriwati..................................................................................................................... 92 PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS TEKS UNTUK MEMBANGUN MORAL DAN MENTAL YANG HANDAL Sri Budiyono ........................................................................................................................... 102 AJARAN BUDI PEKERTI DALAM SERAT SANA SUNU KARYA YASADIPURA II Rochimansyah ........................................................................................................................ 110 OPTIMALISASI PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEBAGAI PERANGSANG MOMENTUM REVOLUSI MENTAL Wisnu Nugroho Aji ................................................................................................................. 120 PESAN MORAL DALAM CERITA PADA RUBRIK WACAN BOCAH MAJALAH DJAKA LODANG Herlina Setyowati ................................................................................................................... 127 PENDIDIKAN MORAL DAN BUDI PEKERTI MELALUI PITUTUR SIARAN BERBAHASA JAWA PAWARTOS NGAYOGYAKARTA DI JOGJA TV Zuly Qurniawati ..................................................................................................................... 135 INTERNALISASI NILAI MORAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA SEBAGAI PILAR PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN BANGSA Ana Setyandari ....................................................................................................................... 144 FATALISME DAN EKSISTENSIALISME KERETA KENCANA Setia Naka Andrian ................................................................................................................ 153 EXPERIENTIAL LEARNING IN LANGUAGE EDUCATION Ike Anisa ................................................................................................................................. 159

vi

BABAD PACITAN JAGAKARYA PENDIRI DINASTI PENGUASA DI PACITAN Luwiyanto dan Nanik Herawati ............................................................................................. 171 PENGGUNAAN PETA PIKIRAN MELALUI MEDIA GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MENULIS NARASI Hesti Muliawati ...................................................................................................................... 181 AMANAT DALAM CERITA MINTARAGA GANTJARAN KARYA PRIJOHOETOMO Djoko Sulaksono ..................................................................................................................... 190 ANALISIS KEMAMPUAN MENYIMAK PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA (Penelitian Studi Kasus pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang) Tahun Pelajaran 2014/2015 Dwi Cahyadi Wibowo & Yudita Susanti ................................................................................ 195 NGLELURI TRADHISI KENDUREN LAN LAKU JAWI WONTEN ING ERA GLOBALISASI MINANGKA BAHAN PENDIDIKAN MENTAL TUMRAPING GENERASI MUDHA Nanik Herawati ...................................................................................................................... 203 TIPE-TIPE SUBSTITUSI DALAM “EMPRIT ABUNTUT BEDHUG” Bayu Indrayanto ..................................................................................................................... 211 KETIKA PRESIDEN PENYAIR INDONESIA BERBICARA TENTANG CHAIRIL ANWAR (Menguak Isi Pidato Kebudayaan Sutardji Calzoum Bachri dalam Acara “Mengenang Chairil Anwar”) Sukini ...................................................................................................................................... 221

vii

viii

MAKALAH UTAMA

REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA Riyadi Santosa FIB UNS Surakarta

PENDAHULUAN Slogan ‗Revolusi Mental‘ yang didengungkan oleh pemerintahan Jokowi-Kala telah memperoleh sambutan dari rakyat bak gayung bersambut. Sambutan rakyat ada yang bersifat positif, setuju dengan slogan itu dan berharap diimplementasikan ke dalam program-program pemerintah. Sebaliknya, ada pula sambutan yang sinis dan ironis karena menurut mereka hanya berhenti pada slogan saja dan belum diimplementasikan dengan baik ke dalam program pemerintah. Salah satu sambutan yang baik terhadap slogan ‗Revolusi Mental‘ ini berasal dari dunia pendidikan. Salah satu sambutan baik dari dunia pendidikan ialah seminar nasional ini yang diselenggaran UNWIDHA Klaten dengan tema ‗Revolusi Mental melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‘. Menurut saya, agak sedikit berlebihan dengan munculnya kata ‗revolusi‘, yang merupakan kata pinjaman dari Bahasa Inggris „revolution‟ yang salah satu artinya adalah „a sudden, vast change in a situation, discipline, or the way of thinking or behaving‟. Saya kira saya setuju kalau yang dimaksud istilah itu adalah perubahan suatu keadaan, pengetahuan, atau cara berpikir dan bertindak. Akan tetapi, istilah revolusi di dalam definisi itu „a sudden, vast change...‟ mengindikasikan perubahan yang cepat, mendadak dan berimplikasi luas. Dengan demikian, istilah revolusi ini tentu tidak seperti yang kita maksudkan di dalam diskusi kita ini. Apalagi yang ‗direvolusi‘ adalah mental. Tentu saja, hal ini sulit sekali untuk direalisasikan di dalam dunia pendidikan yang memerlukan proses yang terstruktur, intensif dan fokus. Oleh karena itu, pengertian istilah ‗Revolusi Mental‘ di dalam diskusi ini, menurut saya, intinya ialah pendidikan sikap mental anak didik melalui pendidikan terutama melalui pembelajaran bahasa dan sastra. Menurut saya, pendidikan sikap harus dibarengi dengan pemahaman pengetahuan yang baik dan keterampilan yang memadai untuk mengekspresikan pengetahuan beserta sikapnya tersebut. Dengan kata lain, pendidikan sikap tidak dapat diajarkan secara diskrit atau terpisah dari pembelajaran pengetahuan dan keterampilan. Sikap tidak bisa diajarkan secara pasif dan terpisah, layaknya orang tua menasihati anak untuk harus begini dan tidak boleh begitu. Hasil pembelajaran seperti ini hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang sikap yang baik, tetapi anak tidak tahu dalam hal atau kondisi apa dan mengapa mereka harus berbuat dan tidak boleh berbuat. Di samping itu, anak juga tidak mempunyai keterampilan yang tepat dan sesuai dengan hal dan kondisi tersebut. Oleh karena itu, bagi saya, pendidikan sikap harus dikemas di dalam pembelajaran literasi yang holistik yang melibatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

3

„REVOLUSI MENTAL‟ DALAM WADAH PENDIDIKAN LITERASI Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa revolusi mental dalam pembelajaran bahasa dan sastra harus diletakkan di dalam wadah pendidikan literasi. Mengubah mental siswa tidak dapat dilakukan melalui nasehat baik oleh guru secara langsung atau contoh-contoh di dalam pelajaran bahasa dan sastra saja. Akan tetapi mengubah mental siswa harus bersifat holistik dalam bentuk pendidikan literasi yang memuat pengetahuan, sikap dan keterampilan di dalam berperilaku sosial verbal. Untuk memperoleh konsep yang utuh mengenai literasi, perlu kiranya kita melihat kembali perkembangan konsep literasi seutuhnya. Istilah literasi sudah menjalar ke pelbagai sudut kehidupan. Di dunia ilmu pengetahuan, tehnologi, dan seni, istilah literasi dengan kata sifatnya literate digunakan untuk menunjukkan pemahaman orang terhadap pengetahuan, tehnologi, dan seni. Di dalam pembelajaran bahasa, Kern (2000) melihat perjalanan konsep literasi dengan komprehensif. Literasi secara tradisional dipandang sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis. Pandangan ini umumnya masih berfokus pada kemampuan memahami teks. Oleh karena itu, pandangan ini masih sangat bersifat ‗text-centered‟ yang berorientasi pada keakuratan dan konvensi. Topik yang sering digunakan di dalam pembelajaran literasi seperti ini sebetulnnya cukup bervariasi, seperti teks-teks iklan, laporan cuaca, jadwal, menu makanan, teks-teks berita dan lain sebagainya. Sayangnya, yang diajarkan di kelas umumnya sering terperangkap pada pengetahuan mengenai norma standar kebahasaan seperti tatabahasa, ejaan, aturan penggunaan yang sering bersifat mekanik. Dengan demikian, literasi seperti ini sering gagal mengajarkan tujuan komunikasi teks-teks yang dipakai sebagai materi ajar. Setelah itu, literasi meningkat pada pemahaman pada level kultural. Pada konteks ini literasi mengantarkan pengetahuan kultural, perkembangan apresiasi estetis, serta sensitivitas terhadap masalah-maslah sosio-kultural. Oleh karena itu literasi seperti ini sering menggunakan karya sastra kanon untuk memasukkan pengetahuan kultural tersebut. Sering kali, konsep literasi ini dilanjutkan dengan ‗cognitive centered‟ yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan analisis tekstual dan berpikir kritis terhadap masalah sosial dan budaya yang terdapat di dalam karya sastra tersebut. Dengan demikian, perkembangan konsep literasi dari „text-centered, cultural-centered dan cognitive-centered‟ digunakan untuk membedakan tingkat kesulitan di dalam pembelajaran. Akan tetapi, ketiga jenis konsep literasi tersebut masih mempunyai kelemahan. Pertama, konsep literasi seperti ini masih melihat literasi sebagai produk akhir, bukan proses yang mestinya terkait dalam menghasilkan teks tersebut. Oleh karena itu, sering kali, para pendidik berusaha mencari batas yang tepat dan kriteria minimum untuk masing-masing level. Kedua, konsep literasi ini membatasi kita untuk melihat bahwa orang lain menggunakan teks secara berbeda. Hal ini disebabkan karena pendidik sibuk mencari keseragaman yang harus dipelajari siswa. Ketiga, sering kali pendidikan literasi seperti ini sering terjebak pada pengajaran bahasa secara preskriptif dan lupa akan pengajaran bahasa yang berfokus pada ‗appropriateness‘ peggunaan bahasa. Jadi, menurut Kern (ibid) di dalam konsep seperti ini literasi hanya dilihat sebagai proses pembelajaran pengetahuan kepada siswa yang bersifat

4

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

diskrit dan parsial, belum integratif. Mereka masih belum dibekali dengan sikap dan keterampilan yang digunakan untuk berproses soial dengan kelompok lain. Saya setuju dengan pendapat Kern (ibid) bahwa literasi adalah proses pembelajaran proses sosial yang di dalamnya terdapat pengetahuan sekaligus sikap dan keterampilan yang diperlukan di dalam pengetahuan tersebut supaya siswa dapat bersikap dan bertindak dengan tepat dan seseuai tujuan proses sosial tersebut (ligat juga Cook-Gumperz, 1986). Di dalam konsep literasi ini siswa tidak hanya diberi penghetahuan tetapi mereka juga diajak untuk mengungkapkan sikap mereka terhadap realitas sosial dan alam demi perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, di dalam konsep ini siswa juga diajari keterampilan mengenai cara bersikap dan bertindak dengan tepat terhadap realitas sosial dan alam tersebut. Jadi, dalam konsep ini, literasi tidak hanya sekadar pengetahuan mengenai „text, cultural, maupun cognitive centered‟, yang bergelut dengan akurasi, konvensi, pengetahuan kultural, dan berpikir kritis saja. Akan tetapi, konsep ini juga memberikan pengalaman belajar bagaimana bersikap dan bertindak yang tepat dengan cara yang tepat sesuai dengan situasi atau keadaan di dalam suatu proses sosial. Oleh karena itu, yang diajarkan di dalam konsep literasi ini bukan semata-mata bahasa melainkan proses sosial itu sendiri dengan aspek pengetahuan, sikap dan keterampilannya. Pengertian literasi ini pula yang diambil untuk mendasari Kurikulum Bahasa 2013 (K13) yang mengajarkan sikap (attitude) (agama dan sosial) yang dibungkus di dalam pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills) (lihat Mahsun, 2014). Pengertian literasi yang diajukan oleh Cook-Gumperz (1986) ini searah dengan konsep kebahasaan yang dicetuskan oleh Halliday (1985; Halliday & Matthiessen, 2014) yang dilanjutkan oleh Martin (1992); Martin, Matthiessen, & Painter, (2010) dalam pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) bahwa bahasa selalu hadir dalam bentuk teks (lisan maupun tulis) yang merealisasikan konteks situasi (register) dan konteks kultual (genre). Sistem Kepercayaan: nilai dan norma kultural

Konteks Kultural Proses Sosial (Genre) (Genre) Konteks Situasi (Register)

Bahasa Sebagai Teks: Uniti: Struktur Teks dan Tekstur. (Gambar 1: Bahasa dalam Konsep Literasi Konstruksi Sosial )

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

5

Berdasarkan model bahasa dalam konsep literasi konstruksi sosial ini, bahasa tidak berdiri sendiri. Keberadaannya yang berupa simbol selalu di dalam konteks penggunaan untuk merealisasikan konteks situasi (register) dan sekaligus konteks kultural. Di dalam konteks kultural terdapat sistem kepercayaan yang mempercayai adanya sesuatu serta nilai-nilai benar-salah, baik-buruk, serta norma mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Di dalam konteks kultural inilah pengetahuan dan sikap dibangun oleh masyarakat. Sistem kepercayaan tentang sesuatu dengan nilai dan normanya ini menghasilkan prototipe proses sosial yang berorientasi pada tujuan yang dicapai secara bertahap, yang disebut genre (Martin, 1992). Genre masih berupa cetak biru proses sosial, yang berisi tahapan yang harus ditempuh dan tahapan yang bersifat pilihan untuk mencapai tujuan sosial dengan aspek pengetahuan dan sikapnya. Melalui konteks situasi, yang merupakan konfigurasi kontekstual atau konfigurasi makna yang berasal dari pergayutan antara aspek medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode), proses sosial atau genre tersebut direalisasikan ke dalam bahasa dalam bentuk teks. Jadi, jelas sekali bahwa yang diajarkan bukan semata-mata bahasa, melainkan proses sosial itu sendiri. Akan tetapi, sistem kepercayaan, nilai, norma, dan tujuan sosial dan tahapannya tersebut tidak bisa diajarkan tanpa melalui bahasa yang merealisasikannya. Ini disebabkan seluruh sistem semiotika pada tataran kultural dan situasi tersebut seluruhnya direalisasikan di dalam sistem dan fungsi kebahasaan melalui metafungsi bahasa (ideasional, interpersonal, dan tekstual) serta melalui sistem bahasanya itu sendiri (semantik wacana, leksikogramatika, fonologi/grafologi). Setiap titik pertemuan antara tataran sistem dan metafungsi tersebut menghasilkan sistem dan struktur sendiri-sendiri yang merealisasikan pengetahuan dan sikap. Register

FungsiBahasa

SemantikWacana

Tatabahasa

Leksis

Field

Ideasional

Ideasi/CR

Transitiviti/Cl.Comp

Deskriptif

Fonologi/ Grafologi

Urutan tone

Tenor

Mode

Interpersonal

Teksual

Appraisal

Periodisitas

Mood

Atitudinal

Tema/OldNew

Kongruen&Inkongruen

emoticons, warna, tone, voice, dll.

tonaliti tonisiti Tandabaca,dll

(diadaptasidari Martin Mattiiessen, Painter, 2010: 295)

(Gambar 2: Titik potong sistem dan Struktur Dan Metafungsi Bahasa) Metafungsi bahasa ideasional yang merepresentasikan makna pengalaman /pengetahuan dan logika direalisasikan berbeda-beda pada setiap tataran sistemiknya. Makna ideasional ini pada tataran semantik wacana direalisasikan dengan sistem ideasi dan sistem hubungan konjungtif. Di tingkat tatabahasa, makna ideasional direalisasikan melalui transitivitas, klausa kompleks, kelompok kata. Kemudian di tingkat leksis, makna ideasional 6

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

direalisasikan dengan sistem leksis deskriptif sedangkan di tingkat fonologi/grafologi direalisasikan dengan urutan suara. Sementara itu, metafungsi interpersonal yang merepresentasikan realitas sosial dengan segala nilai-nilainya direalisasikan ke dalam sistem appraisal di tingkat semantik wacana. Kemudian, makna interpersonal juga direalisasikan ke dalam sistem dan struktur mood ke dalam tatabahasa, serta ke dalam sistem leksis atitudinal pada tataran leksis. Akhirnya, makna interpersonal ini direalisasikan ke dalam emotikon,warna suara dan lainnya di dalam sistem fonologinya. Makna tekstual yang merepresentasikan sistem simbol direalisasikan ke dalam sistem periodisitas pada semantik wacana, struktur tema dan struktur informasi di dalam tatabahasa, dan sistem kongruensi di dalam sistem leksisnya, serta tonaliti dan tonisiti dan lain-lain di dalam sistem fonologinya. Berdasarkan pendekatan ini, pendidikan literasi juga melibatkan pembelajaran pada tataran tekstual, kultural, kognitif, serta tujuan komunikatif / sosial, yang melibatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. APA DAN BAGAIMANA PROSES PEMBELAJARAN LITERASI Jelas sekali yang diajarkan di dalam pembelajaran literasi ini meliputi pengetahuan (sistem kultural: kepercayaan, tata nilai, norma, tujuan sosial, dan tahapannya), sikap terhadap tata nilai dan norma, serta keterampilan (menginternalisasikan pengetahuan dan sikap menjadi perilaku). Tetapi kemudian pertanyaannya adalah materi apa yang tepat yang dapat mengajarkan ketiga aspek literasi tersebut. LSF menyarankan materi pembelajaran yang berbasis genre. Mengapa pembelajaran berbasis genre? Jawabannya bahwa genre merupakan sistem semiotika yang merepresentasikan prototipe proses sosial yang mampu membawa pengetahuan, sikap dan keterampilan secara integral ke dalam teks. Dengan pembelajaran berbasis genre, pembelajar dapat memperoleh pengetahuan tentang berbagai tipe proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka juga dapat merespons tipe-tipe proses sosial tersebut melalui sikap dan tindakan yang tepat sesuai dengan harapan masyarakat. Dengan demikian pembelajaran sikap dan keterampilan dapat terpenuhi. Akan tetapi, konsep literasi ini memerlukan desain mengenai apa dan bagaimana pengetahuan, sikap, dan keterampilan itu diajarkan.  Genre yang diajarkan Banyak saran dari berbagai linguis pendidik mengenai genre apa yang tepat yang diajarkan kepada siswa. Akan tetapi, K13 sudah memilih materi pengetahuan, sikap, dan keterampilan melalui genre mikro dan genre makro. Genre mikro bersifat generik dan genre makro merupakan genre kompleks, gabungan dari beberapa genre mikro untuk merealisasikan satu tujuan sosial (Santosa, 2010; 2011). Genre mikro umumnya diberikan kepada siswa kelas rendah mulai dari sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas berdasarkan kompleksitas tahapan dan tujuan sosial genrenya. Genre makro umumnya diberikan kepada siswa sekolah menengah atas. Genre mikro dapat dibedakan menjadi dua, faktual dan cerita. Genre faktual dapat dibagi menjadi delapan jenis genre: rekon, laporan, deskripsi, prosedur, eksplanasi, eksposisi, PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

7

diskusi, dan eksplorasi. Masing-masing genre mempunyai fungsi sosial, urutan aktivitasnya, serta nilai-nilai yang melekat pada genre tersebut. Tabel 1: Genre Faktual

aktivitas tak terstruktur aktivitas terstruktur

generalisasi

+generalisasi: dokumen

menjelaskan/ memecahkan

debat

deskripsi

Laporan

eksposisi

diskusi

rekon

Prosedur

eksplanasi

eksplorasi

(Diambil dari Martin 1992 dengan Modifikasi) Genre deskripsi menggambarkan sesuatu, baik itu benda hidup maupun mati. secara unik. Dengan demikian, genre ini tidak digunakan untuk menggeneralisasikan benda sejenis yang lain. Ini berarti bahwa deskripsi tidak hanya menggambarkan fakta tetapi juga dapat melibatkan opini penulis atau pembicara terhadap objek yang dideskripsikan. Dengan demikian, genre ini dapat menyuguhkan pendapat siswa terhadap objek yang dideskripsikannya, misalnya suka-tidak suka, keindahan, dan kualitas objek. Hal ini berbeda dengan genre laporan yang menggambarkan sesuatu baik yang punah atau yang masih hidup yang digunakan untuk menggeneralisasikan sesuatu itu secara umum. Kegiatan di dalam laporan ini utamanya adalah mendokumentasikan keadaan dan peristiwa alam atau sosial. Oleh karena itu, di dalam genre laporan hanya ada fakta, tidak ada opini. Hanya fakta yang dapat digeneralisasikan sementara opini tidak dapat digeneralisasikan. Hasil laporan ini biasanya menjadi dokumen yang bersifat generik. Oleh karena itu, nilai kejujuran dan komitmen akan kebenaran yang menempel lekat pada genre ini dapat digunakan untuk mengajarkan sikap mental siswa. Sementara itu, genre rekon digunakan untuk menceriterakan kejadian yang telah berlalu; kejadian ini bersifat unik. Oleh karena itu, genre ini dapat digali nilai-nilai tentang suka-tidak suka, baik buruk suatu kejadian, dan lain sebagainya. Sebaliknya, genre prosedur digunakan untuk menjelaskan urut-urutan aktivitas yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuannya. Dengan demikian, prosedur merupakan dokumen langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan. Tidak ada opini dalam genre ini, maka kejujuran dan komitmen akan kebenaran yang bersifat generik yang diutamakan. Genre eksplanasi digunakan untuk menjelaskan proses suatu kejadian atau suatu fenomena. Ini sama seperti genre laporan dan prosedur mempunyai nilai generisitas. Hasilnya juga berupa dokumen mengenai penjelasan suatu fenomena alam atau sosial. Sementara itu, genre eksposisi digunakan untuk mengajukan suatu pendapat secara sepihak. Dengan demikian, jelas bahwa genre ini merupakan salah satu genre yang digunakan untuk membangun sikap atau karakter. Karena argumennya hanya satu sisi, maka kekuatan sikap 8

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

atau karakter ditentukan melalui argumennya yang kuat. Artinya, kuat atau lemahnya sikap yang dibangun tergantung pada kuat atau lemahnya argumen. Oleh karena itu, genre eksposisi ini juga dapat digunakan menyelesaikan masalah sosial atau masalah alam. Namun, genre ini sering juga digunakan untuk menunjukkan keberpihakan yang hanya satu sisi. Genre diskusi digunakan untuk membahas suatu isu sosial atau alam yang sedang terjadi dengan dua sisi atau berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, dengan menggunakan genre diskusi ini, siswa diajak untuk melihat fenomena sosial atau alam ini secara proporsional sebelum mereka memutuskan sesuatu untuk berpihak. Dengan melihat kelemahan atau kekurangan di salah satu sisi serta melihat keunggulan atau kelebihan di sisi yang lain, siswa diajak menentukan sikap dan tindakan yang harus diambil. Yang terakhir, eksplorasi berfungsi untuk mencari sesuatu yang masih dalam teoretis oleh karena itu di dalam genre ini harus ada rencana yang matang sebagai hasil diskusi yang kuat sebelum siswa menjelajah untuk mengeksplorasi alam atau masyarakat yang belum diketahui. Demikian halnya genre cerita juga mempunyai keunikan sendiri di dalam menampilkan nilai atau sikap yang kita inginkan untuk diajarkan. Genre cerita adalah genre yang digunakan untuk bercerita baik itu berdasarkan kenyataan maupun benar-benar fiksi. Tabel 2: Genre Cerita Jenis Genre Rekon Anekdot Eksemplum Narasi

Orientasi Orientasi Orientasi Orientasi

Urutan Aktifitas rekaman kejadian krisis reaksi insiden interpretasi komplikasi evaluasi

resolusi

(Diambil dari Martin 1992 dengan Modifikasi) Rekon umunya berupa rekaman kejadian atau suatu fenomena sosial. Bedanya dengan yang lain: anekdot, eksemplum, dan narasi, rekon tidak mempunyai kejadian yang tak lazim di dalam kejadian tersebut. Dengan demikian, rekon sama seperti genre faktual dapat digunakan untuk mengeksplorasi nilai-nilai umum tentang suatu cerita. Sementara itu, genre cerita yang lain mempunyai kejadian yang lazim terjadi. Di dalam anekdot kejadian yang tak lazim tersebut dilihat sebagai suatu krisis yang kemudian diberi reaksi afektif. Reaksi afektif tersebut dapat berupa rasa tidak ada kesesuaian, tidak aman, frustasi, kepuasan, aman, terpenuhi kebutuhannya, rasa simpati, antipati, termasuk di dalamnya reaksi yang menimbulkan humor. Eksemplum melihat sesuatu yang tak lazim tersebut sebagai suatu insiden atau kejadian buruk yang menimpa. Kemudian insiden tersebut diinterpretasi sebagai sesuatu atau kejadian yang mungkin perlu atau tidak perlu terjadi. Sementara itu, narasi melihat kejadian yang tak lazim tersebut sebagai komplikasi yang menimbulkan masalah untuk direnungkan atau dievaluasi sebelum akhirnya dicari jalan keluarnya atau resolusi (Martin, 1992). Secara gamblang Martin menggambarkan makna interpersonal dan sikap diambil dari genre cerita ini dalam Tabel 3 sebagai berikut. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

9

Tabel 3: Makna Interpersonal di dalam Genre Cerita

Rekon Anekdot Eksemplum Narasi

Modalisasi usuality unsuality unsuality unsuality

Modulasi obligasi inklinasi

Sikap afek prosodi variasi afek afek negatif dari afek negatif ke positif

(Diambil dari Martin, 1992 dengan Modifikasi) Sementara itu, genre makro mempunyai tatanan tersendiri. Genre makro dalam dunia jurnalistik, misalnya, mempunyai genre kompleks yang berbeda-beda. Berita, pada dasarnya berupa rekon. Akan tetapi, dalam perkembangannya, berita juga dapat berupa eksposisi dengan mengelompokkan fakta-fakta dalam kelompok argumen satu sisi. Sementara itu, leadnya merepresentasikan sebuah pendapat. Dengan demikian, berita tidak lagi berupa rekaman kejadian, melainkan sebuah argumen dari jurnalisnya (lihat Santosa, 2011; Santosa et al, 2011). Genre makro feature juga merupakan sebuah genre kompleks yang dapat terdiri dari deskripsi, rekon, eksplanasi, dan sering ditambah dengan argumentasi. Oleh karena itu, feature ini juga sangat bagus sebagai materi ajar menggali sikap dan perilaku yang yang diharapkan masyarakat (Santosa, 2011). Masih banyak lagi genre makro yang dapat digunakan untuk menggali sikap dan perilaku siswa untuk menanggapi dan bertindak dengan tepat sesuai dengan harapan masyarakat. Editorial, interview (Santosa, et al 2014), seminar, negosiasi, dan lain sebagainya sangat memungkinkan untuk ‗merevolusi‘ mental anak didik untuk menjadi manusia yang berkarakter kuat, jujur, berkomitmen tinggi, bervisi masa depan, berorientasi pada prestasi, kerjasama, bahkan kewirausahaan, dan lain sebagainya. Namun, yang penting untuk diperhatikan ialah ‗apa yang diajarkan‘ memiliki implikasi terhadap ‗bagaimana cara mengajarkannya‘. Materi ajar berbasis genre tidak mungkin diajarkan dengan cara mengajar yang hanya berorientasi pada pengetahuan ‗text-centered, cultural-centered, atau cognitivecentered‟ saja. Ini hanya memenuhi aspek pengetahuan saja belum termasuk membangun sikap serta mengajarinya dengan bertindak dengan tepat. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis genre ini menyarankan pembelajaran berdasarkan siklus pemodelan, membangun teks bersama, serta membangun teks mandiri (MEDSP, 1989; Rothery, 1996; Rose & Martin, 2012; Martin, 2015).  Proses Pembelajaran berbasis Genre Pembelajaran berbasis seperti ini sering lebih tepat disebut dengan program pengenalan literasi bukan sekadar pembelajaran bahasa biasa. Berdasarkan siklus pemodelan, membangun teks bersama, dan membangun teks mandiri ini, para pendidik menamakan proses scaffolding. 10

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Tabel 4: Proses Scaffolding dalam Pembelajaran Literasi Berbasis Genre

Pemodelan Kegiatan membantu siswa mengenal pengetahuan dan sikap melalui dekonstruksi tekstual (tujuan sosial, struktur teks dan tekstur), dekonstruksi kultural dan kognitif.

Membangun Teks Bersama Kegiatan membantu siswa membangun pengetahuan dan sikap melalui rekonstruksi tekstual, kultural, dan kognitif bersama teman dan guru di kelas maupun observasi di lapangan

Membangun Teks Mandiri Kegiatan membantu siswa membangun ilmu pengetahuan dan melalui rekontruksi tekstual, kultural, dan kognitif secara mandiri berdasarkan observasi di lapangan dan belajar mandiri



Pemodelan Pemodelan adalah proses scaffolding atau membantu siswa mengenal pengetahuan dan sikap seperti yang direpresentasikan secara tekstual, kultural, dan kognitif di dalam bahasa melalui tujuan sosial, struktur teks, dan teksturnya. Pemodelan merupakan tahap awal pengenalan model teks yang diberikan. Biasanya, siswa diperkenalkan model genre atau tipe teks tertentu yang ideal, lengkap dengan tujuan sosial (termasuk nilai dan norma sosialnya), struktur teks, dan teksturnya (ciri-ciri kebahasaan). Di dalam tahap ini pemodelan dilaksanakan dalam sejumlah kegiatan dekonstruksi tujuan sosial, tahapan, dan ciri kebahasaan untuk teks ini. Kegiatan dekonstruktif ini bersifat top-down dari level teks, semantik wacana, gramatika, leksis, dan fonologi/grafologi. Sebagian metode ilmiah dapat diterapkan: mengamati, menanya, menganalisis, menyimpulkan. Metode ilmiah yang dapat diterapkan pada tahap ini termasuk mengamati sikap, pengetahuan, dan bahasa yang digunakan (struktur teks, kohesi, konjungsi, kalimat, kelompok kata, kata) di dalam teks yang diajarkan. Kedua, menanyakan sikap, pengetahuan, dan bahasa yang digunakan di dalam teks yang diajarkan. Ketiga, menganalisis sikap, pengetahuan, dan bahasa yang digunakan di dalam teks yang diajarkan. Keempat, menyimpulkan sikap, pengetahuan, dan bahasa yang digunakan sebagai pengetahuan menyeluruh mengenai teks yang diajarkan. 

Membangun Teks Bersama Tujuan utama tahap membangun teks bersama ialah membantu siswa merangkai elemen-elemen pengetahuan dan sikap yang masih berserakan di dalam pemahaman siswa sehingga membentuk konstruk pengetahuan dan sikap yang utuh. Pada tahap ini siswa diajak merekonstruksi pengetahuan dan sikap melalui teks dengan tujuan sosial, struktur teks, dan ciri-ciri kebahasaan dari level semantik wacana sampai dengan fonologi/grafologi. Yang tidak kalah pentingnya ialah siswa diajak menentukan sikapnya di dalam teks tersebut. Kegiatan ini sangat sulit terutama untuk menangkap struktur teks dan ciri-ciri kebahasaan yang sesuai yang merepresentasikan PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

11

pengetahuan dan sikap. Oleh karena itu, untuk membangun teks bersama ini, siswa perlu dibantu melalui kelompok-kelompok siswa yang disupervisi guru (Christie, 2005). Kegiatan pembelajarannya harus lebih produktif untuk membangun teks secara bersama-sama. Yang paling penting di dalam kegiatan ini adalah proses bagaimana siswa mengalami cara membangun teks secara bersama-sama dengan teman dan gurunya. Di dalam kegiatan ini terdapat kegiatan ‗learning how to learn‟ atau belajar strategi belajar agar siswa nantinya dapat membangun teks secara mandiri. Oleh karena itu, kegiatan membangun teks bersama ini harus dikerjakan secara berulang mencari sumber di perpustakaan, media, internet, observasi lapangan, dan wawancara dengan narasumber secara kelompok. Kegiatan ini akan menghasilkan catatan kepustakaan, catatan lapangan, dan wawancara yang akan ditulis menjadi sebuah teks dengan genre yang utuh serta sikap religius dan sosial di dalamnya. Di dalam tahap ini terjadi apa yang disebut ―discovery learning‖ yang dibangun secara induktif dengan metode ilmiah: observasi (mengamati, menanya, mencoba), mengolah data (menentukan domin, mengklasifikasi), menyajikan (menghubungkan antar ketegori), menyimpulkan dan mencipta teks (membuat laporan) untuk bersikap dan bertindak dengan tepat. 

Membangun Teks Mandiri Membangun teks mandiri ini merupakan puncak dari seluruh kegiatan yang mengakumulasikan antara kegiatan-kegiatan membangun teks dengan segala isinya. Secara prosedural ini merupakan kegiatan yang sama dengan kegiatan membangun teks bersama, hanya kali ini siswa diminta untuk bekerja secara mandiri. Siswa akan bekerja secara mandiri mulai mencari sumber di perpustakaan, media, internet, observasi di lapangan, interview nara sumber untuk memperoleh data yang akurat untuk membangun teks secara mandiri ini. Kemudian, catatan kepustakaan, catatan lapangan, dan hasil interview ditulis menjadi sebuah teks dengan genre yang utuh secara mandiri. Proses belajar dengan metode ilmiah berjalan secara mandiri. Demikian pula, siswa juga diminta untuk mempunyai sikap dan tindakan yang tepat terhadap lingkungan sosial maupun alam sebelum dituangkan ke dalam bentuk teks. Proses scaffolding pemodelan, membangun teks bersama, dan membangun teks mandiri ini memerlukan waktu jauh lebih banyak dari waktu yang umumnya digunakan untuk menyelesaikan satu pelajaran bahasa. Umumnya, untuk menyelesaikan pengenalan satu genre ini membutuhkan 10 sampai dengan 12 jam pelajaran @ 45 menit. Dengan demikian satu tahun kurang lebih hanya menyelesaikan lima sampai enam jenis genre. PENUTUP Yang perlu digarisbawahi dalam diskusi ini ialah perubahan sikap mental siswa yang kita inginkan tidak akan pernah tercapai dengan seketika. Kemudian perubahan sikap mental melalui pembelajaran bahasa dan sastra juga tidak bisa dicapai hanya dengan memberikan saran atau contoh sikap mental yang baik saja, melainkan, perubahan itu harus dicapai secara terencana dan terstruktur di dalam proses pembelajaran mulai dari pemodelan pengetahuan dan sikap, merekonstruksi pengetahuan dan sikap serta keterampilan bersama guru dan murid. 12

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Kemudian, siswa juga diajak untuk merekonstruksi pengetahuan, sikap dan keterampilan secara mandiri. Supaya mereka dapat bersikap dan bertindak dengan tepat dan sesuai seperti harapan kita semua. Dengan demikian, mereka suatu saat nanti akan membangun ‗stance‟ atau sudut pandang dan ‗voice‘ pilihan sikap (Guinda & Hyland, 2012) yang didasari kebenaran dan kesantunan. Jika dapat berjalan seperti yang direncanakan maka rata-rata angka literasi kita di tingkat internasional akan merangkak naik dari sekadar tingkat literasi hafalan dengan nilai 3. ‗Revolusi Mental‘ yang dicita-citakan juga akan tercapai melalui pembelajaran bahasa dan sastra. BIBLIOGRAFI Christie, Francis (2005) Science and Apprenticeship: Pedagogic Discourse, in Martin and Veel (Eds.), Reading Science: Critical and Functional Perspective on Discourse of Science, Taylor & Francis e-Library Cook-Gumperz, J. 1986 the Social Construction of Literacy, Cambridge: Cambridge University Press. Guinda, C.S. & Hyland, K. 2012. Introduction: A Context-Sensitive Approach to Stance and Voice. In Hyland, K. & Guinda, S.C. Stance and Voice in Written Academic Genres. New York: Palgrave McMillan. Halliday, M.A.K. 1985. Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. Halliday, M.A.K & Matthiessen, C.M.M. 2014. Halliday‟s Introduction to Functional Grammar, London and New York: Routledge. Kern, Richard. 2000 Literacy and Language Teaching, Oxford: Oxford University Press. Mahsun. 2014 Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Martin, J.R. 1992. English Text: System and Structure. Amsterdam: John Bejamins Co. Ltd. Martin, J.R. (2015) Modeling and Mentoring:Genre-based Literacy Program and ―The Sydney School‖, power point dipresentasikan di dalam Seminar and Workshop on Genre Based Literacy Program UPI Bandung. MEDSP, (1989). A Brief Introduction to Genre: Example of Six Factual Genres and Their Generic Structure. Sydney. Martin, J.R., Matthiessen, C.M.I.M. 2010. Deploying Functional Grammar. Beijing The Commercial Press. Santosa, Riyadi. 2010. Posisi semiotik genre Mikro dan Makro. Hasil penelitian belum dipublikasikan. Surakarta: Fakultas Sastra dan Senirupa UNS. Santosa, Riyadi. 2011. Logika Wacana: Analisis Hubungan Konjungtif dengan Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional. Surakarta: UNS Press.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

13

Santosa, R., Priyanto, A.D., Nuraeni. 2011. Bahasa Demokratis di Media Masa Indonesia. Lingua, Volume 6, Nomor 3, p.p 227-240. Santosa, R. Priyanto, A.D., Nuraeni, A. 2014. Genre and Register of Antagonist Language in Media: An Appraisal Study of Indonesian Newspapers. Kata Volume 16, Nomor 1, p.p 23- 36. Rose, David & Martin, J.R. (2012) Learning to Write, Reading to Learn, Bristol: Equinox Publishing Ltd. Rothery, Joan (1996) Making Changes: Developing an Educational Linguistics, in Hasan and Williams (Eds.), Literacy in Society, London and New York: Longman.

14

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

MEMBENTUK MENTAL MELALUI KETELADANAN BERBAHASA Dwi Atmawati Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah Abstrak Perubahan akhlak yang mengarah pada kemerosotan moral semakin meningkat. Hal tersebut dapat diketahui, antara lain melalui perilaku ataupun penggunaan bahasa. Fenomena kebahasaan yang terdapat dalam masyarakat, antara lain tulisan pada bak truk, kaos, tempat usaha, dan penamaan makanan cukup beragam, baik yang diungkapkan dengan santun, vulgar, maupun sindiran. Penelitian ini berusaha memaparkan penggunaan bahasa tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tulisan pada bak truk mengandung makna, antara lain: protes sosial, keluhan, kelakar. Tulisan pada kaos mengandung makna, antara lain: ajakan berbuat kebaikan, kelakar, sindiran. Penamaan tempat usaha atau makanan cenderung merebak pada penggunaan bahasa yang kurang santun. Untuk itu, hendaknya pemerintah, pendidik, peserta didik, dan masyarakat berperan membentuk mental semua peserta didik dan masyarakat melalui keteladanan berbahasa. Kata-kata kunci: bahasa, kurang santun, mental, pendidik, peserta didik.

Abstract The change of character which has tendency in declining the morality has been increased. This fact can be seen among the attitude or the use of language. The language phenomenon in society, such as in the body of truck, shirt, trading centre, and naming of the food show some varieties, not only in polite way but also in vulgar and satire way. This research was tried to explore the use of those languages. The result shows that the writing in the body of truck has meaning, such as: social protest, grievance, joke. The writing of shirt has meaning, such as: the stimulus to do the good things, joke, satire. The naming of trading centre or food indicates the use of language in impolite way. For that reason, the government, educators, students, and society have role in developing the mentality all of the students and societies through the good example in using the language. Key words: language, impolite, mentality, educators, students.

PENDAHULUAN Di beberapa belahan dunia gelombang kemerosotan moral makin meningkat. Gaya hidup hedonis, seks bebas dan pengunaan narkoba merupakan hal biasa di sebagian masyarakat. Perkembangan teknologi ikut memicu lajunya gaya hidup tersebut. Perubahan akhlak pun dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, pendidikan formal, dan nonformal. Hal tersebut dapat diketahui melalui perilaku ataupun penggunaan bahasa. Penggunaan bahasa dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor tersebut berpengaruh terhadap pembentukan sistem budaya, baik yang tak terlihat (covert culture), seperti norma, nilai, dan adat-istiadat, maupun yang terlihat (overt culture), seperti gaya berbahasa dan perilaku keseharian (Laksono, 1998:111). Bahasa tidak hanya diajarkan agar manusia dapat mempertahankan kehidupannya, tetapi juga agar manusia memiliki jati diri sesuai dengan budaya masyarakatnya. Dalam suatu PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

15

masyarakat yang anggotanya membentuk kelompok-kelompok, perilaku kebahasaan setiap individu akan menunjukkan kesamaan dalam kelompoknya. Ada hubungan langsung dan timbal balik antara struktur sosial tertentu dan cara masyarakat dalam berbahasa. Hubungan ini berlangsung terus-menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya yang mengarah pada pembentukan perilaku linguistik tertentu dan pada akhirnya akan membentuk struktur sosial tersendiri. Akibatnya ada sebuah siklus pembentukan pola linguistik tertentu oleh pola sosial tertentu atau sebaliknya (Wardhaugh, 1986: 315—317). Bangsa Indonesia terdiri atas beragam suku, bahasa, agama, adat-istiadat, dan ras. Adanya kebhinekaan tersebut menyebabkan bangsa Indonesia memiliki potensi untuk terpecah-pecah. Oleh karena itu, keutuhan bangsa perlu dijaga, antara lain dengan berbahasa secara santun. Brown dan Levinson (1987) mengemukakan bahwa kesantunan berbahasa dapat ditafsirkan sebagai upaya menghindari konflik antarpenutur. Kesantunan berbahasa seseorang akan memperlihatkan kesadaran martabat orang tersebut dalam berbahasa, baik lisan maupun tulis. Kesantunan berbahasa merupakan hal penting yang perlu diperhatikan ketika seseorang melakukan tindak tutur, baik pendidik, peserta didik maupun masyarakat umum. Tuturan ataupun perilaku seseorang merupakan cermin akhlaknya. Akan tetapi, kenyataannya sebagian masyarakat masih belum sepenuhnya memperhatikan norma-norma kesantunan berbahasa. Bahkan, norma-norma kesantunan berbahasa sengaja ditabrak untuk menimbulkan situasi yang berbeda. Menurut Saville-Troike (1982), pengetahuan kebudayaan perlu dimiliki untuk menjaga keharmonisan berkomunikasi sehingga tidak timbul salah paham, tidak ada perasaan tersinggung. Komunikasi dapat menjadi miskomunikasi bila penutur tidak menguasai latar belakang kebudayaan petutur (dalam Gunarwan, 2003:7). Setiap pendidik perlu memiliki kompetensi komunikatif untuk dapat menanamkan kesantunan sejak dini. Saville-Troike (1982) mengemukakan bahwa kompetensi komunikatif adalah kemampuan mengaplikasikan kaidah-kaidah gramatikal untuk menghasilkan kalimatkalimat yang gramatikal dan kemampuan menggunakannya secara tepat, yakni kepada siapa, kapan, di mana kalimat-kalimat tersebut layak diucapkan. Kompetensi komunikatif sekurangkurangnya mencakup kompetensi linguistik, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, kompetensi strategis. Kompetensi linguistik adalah penguasaan aturan-aturan kebahasaan, baik dalam menggunakan bahasa lisan maupun tulis. Kompetensi sosiolinguistik mengacu pada aturan-aturan sosiokultural dan penggunaan aturan kebahasaan yang mencakup pengungkapan dan penafsiran ujaran secara lazim dalam berbagai konteks sosiolinguistik. Kompetensi tindakan adalah kemampuan untuk menyampaikan dan memahami maksud komunikasi. Kompetensi wacana adalah kemampuan memadukan bentuk-bentuk gramatikal dan makna agar tercipta teks lisan ataupun tulis yang utuh dalam berbagai genre. Apabila kompetensi komunikatif tersebut telah dimiliki oleh pendidik dan dipahami oleh peserta didik, serta diterapkan dalam tindak tutur, konflik yang mungkin timbul karena kesalahpahaman ataupun ketersinggungan akan dapat dihindari.

16

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

PEMBAHASAN Dewasa ini relatif sering dijumpai penggunaan bahasa yang menyiratkan makna kekerasan dan vulgar, baik lisan maupun tulis. Bahasa yang mengandung makna kekerasan dan vulgar tersebut dapat ditemukan, antara lain pada ruang publik. Padahal, ketika tulisan tersebut ada di ruang publik, semua komponen masyarakat dari berbagai usia dapat melihatnya dengan mudah. Hal tersebut tentu dapat berpengaruh pada penerimaan yang negatif. Bagi pelajar, misalnya, hal itu dapat menyebabkan terbentuknya pola pikir yang kurang baik. Ketika dia tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lebih dewasa, pola pikir tersebut dapat terbawa hingga berbaur dalam masyarakat. Perhatikan beberapa fenomena kebahasaan yang ada dalam masyarakat sekarang ini. (1) Tulisan pada bak truk Tujuan menulis pada bak truk cukup beragam, misalnya menyindir atau memprotes kondisi sosial politik, menyampaikan pesan moral, dan kelakar. Berikut ini contoh tulisan yang terdapat pada bak truk.  Jangan mengaku cantik kalau belum berani memacari suami orang. Tulisan itu dapat ditafsirkan sebagai tantangan bagi sebagian perempuan. Hal tersebut tentu tidak mendidik masyarakat pada arah yang positif.  Cintamu tak seberat muatanku. Tulisan itu selain bermakna keluhan, juga bermakna kelakar. (2) Tulisan pada kaos Tulisan pada kaos ada yang berupa ajakan pada hal-hal positif, peringatan, sindiran. Perhatikan beberapa contoh tulisan pada kaos berikut ini.  Meneladani akhlak generasi terbaik.  Stop maksiat.  Hari libur semangat kreatif pantang kendur.  Menghijaukan lingkungan menyelamatkan Gunung Kidul.  Perawan hampir punah.  Di balik orang yang sukses di sana ada mantan yang menyesal (Sumber: http://idesainesia.com/tips-mendesain-kaos-distro-bergaya-tipografi-retro). (3) Tempat usaha  Bengkel perut Nama ―Bengkel Perut‖ sebagai tempat usaha dipilih untuk menarik perhatian. Padahal, ―Bengkel Perut‖ sama dengan warung. Pemilik tempat usaha mungkin beranggapan bahwa dengan memberikan nama lain daripada yang lain pada tempat usaha tersebut dapat menarik perhatian.  Sambel janda ngamuk Selain menjadi nama makanan yang berasal dari Bandung, nama "Sambel Janda Ngamuk" dijadikan bagian dari nama tempat usaha ―Ayam Goreng dan Bakar Sambel Janda Ngamuk‖. (www.radencahyobrabowo.kompasiana). Nama tersebut mengandung makna yang kurang enak didengar. Status janda oleh sebagian masyarakat terkadang dilecehkan. Selanjutnya, kata janda digabungkan dengan

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

17

kata ngamuk. Orang yang membaca mungkin penasaran. Akan tetapi, sebagian mungkin menanggapi kurang suka karena menganggap kurang etis. (4) Nama makanan Beberapa tahun terakhir ini merebak nama-nama makanan yang terdengar kurang santun dan mudah ditemukan di tempat-tempat strategis. Berikut ini beberapa contoh nama makanan tersebut.  Sambal iblis  Sambal setan super pedas  Sambal jontor (jontor gendeng)  Ayam rambut setan  Es kolor ijo  Rawon setan  Oseng-oseng mercon  Kerupuk melarat (goreng dengan menggunakan pasir)  Tahu gimbal Dengan menyadari beberapa fenomena tersebut, perlu kiranya semua komponen masyarakat memperhatikan pembentukan mental yang baik sejak dini ataupun melakukan perbaikan mental. Untuk itu, perlu dibentuk atau dikembangkan sikap mental, antara lain: taqwa, jujur, hormat kepada orang lain, santun, percaya diri, tegas, disiplin, toleransi, dan terbuka. Pembentukan mental tersebut dapat dilakukan dengan cara: mengenalkan atau memberikan contoh adab-adab yang baik, seperti memberi salam, bertutur kata santun, bersikap lembut, tidak mudah marah, suka menolong. Muara semua itu bertujuan untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu membentuk peserta didik menjadi insan yang bertaqwa pada Allah, berakhlak baik, berkepribadian matang, berilmu, memiliki jiwa nasionalisme, berwawasan luas. Keberhasilan pendidikan tersebut dapat diraih melalui kerja sama antara pemerintah, pendidik, orang tua, peserta didik, dan masyarakat. PENUTUP Pembentukan atau perbaikan mental perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pembentukan atau perbaikan mental dapat dilakukan, misalnya dengan memberikan keteladanan berbahasa yang santun. Hal tersebut dapat dilakukan, baik di rumah, lingkungan pendidikan, maupun ruang publik. Dengan pembentukan atau perbaikan mental melalui penggunaan bahasa yang santun diharapkan dapat terbentuk akhlak mulia. Dengan demikian, penggunaan bahasa yang tidak santun, vulgar ataupun yang mengandung kekerasan dapat diminimalkan. PUSTAKA ACUAN Brown, Penelope, & Stephen Levinson. 1987. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.

18

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Gunarwan, Asim. 2003. ―Ketirisan Diglosia di dalam Beberapa Situasi Kebahasaan di Indonesia.‖ Makalah Seminar Hari Bahasa-Ibu Internasional, 19 Februari 2003. Jakarta: Pusat Bahasa. http://idesainesia.com/tips-mendesain-kaos-distro-bergaya-tipografi-retro Laksono, H.R. Agung. 2000. ―Sumpah Pemuda dan Jati diri Generasi Muda.‖ Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan Abdul Rozak Zaidan. Penyunting. Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi: Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional. Saville-Troike. 1982. The Ethnography of Communication: An Introduction. Baltimore: University Park Press. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. www.radencahyobrabowo.kompasiana

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

19

PEMBELAJARAN BAHASA: BERTANYA DAN BERKREASI Bambang Kaswanti Purwo

20

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

21

22

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

23

24

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

PENGEMBANGAN KULTUR DAN KARAKTER BUDAYA JAWA DI SEKOLAH Suwarno Dwijanagara

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

25

26

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

27

28

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

29

30

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

MAKALAH PENDAMPING

REVOLUSI MENTAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Dwi Bambang Putut Setiyadi dan Basuki FKIP dan Program Pascasarjana Universitas Widya Dharma Klaten Abstrak Revolusi mental dapat diintegrasikan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pengintegrasian antara materi yang menyangkut mental itu dalam pendidikan karakter, karena keduanya merupakan hal yang memiliki kemiripan. Pendidikan karakter yang mencakup delapan belas nilai yang harus dikembangkan oleh para guru dalam kurikulum terbaru tersebut dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Jadi, apabila revolusi mental itu dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sangat memungkinkan. Semua itu dapat dilakukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks.

A.

PENDAHULUAN Revolusi Mental merupakan salah satu program Presiden Jokowi sejak masa kampanye Pemilu Presiden 2014. Hal itu menjadi salah satu daya tarik dan sekaligus memancing munculnya pertanyaan-pertanyaan masyarakat. Apa sebenarnya yang dimaksud Presiden dengan istilah itu. Lalu bagaimana pelaksanaannya? Dalam sebuah diskusi yang bertempat di Balai Kartini dijelaskan oleh Presiden bahwa revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti luhur, ramah, dan bergotong royong yang dapat membuat masyarakat sejahtera. Namun, saat ini karakter tersebut mengalami perubahan tanpa disadari yang merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidakdisiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahuntahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Oleh karena itu, Jokowi menawarkan ada sebuah revolusi mental. Satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana dimaksud di atas adalah melalui pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Presiden lebih lanjut mengatakan bahwa kita harus mengembalikan karakter warga negara ke apa yang menjadi keaslian kita, orisinalitas kita, identitas kita (Kompas.com, 17 Oktober 2014). Istilah revolusi mental yang mengemuka itu, masih menimbulkan berbagai tanggapan di masyarakat. Ada yang setuju dan mendukung dan ada pula yang tidak setuju, bahkan mengatakan bahwa program itu bersifat omong kosong, ada juga yang mengatakan hanya slogan. Juga ada pula yang mengatakan bahwa istilah revolusi terlalu keras karena revolusi merupakan perubahan yang sangat cepat disertai dengan kekerasan senjata (perang). Terhadap berbagai pendapat tersebut perlu kiranya hal itu tidak diperdebatkan, tetapi bagaimana hal yang baik itu agar bisa dilakukan atau diterapkan. Kalau kita belum mencoba melakukan atau menerapkan, dari mana kita bisa memprediksi hasilnya. Yang penting adalah upaya-upaya yang baik harus didukung dan dicoba dilaksanakan. Hal itu juga untuk menyikapi kondisi

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

33

mental atau karakter bangsa yang sekarang ini menampakkan gejala-gejala kurang baik seperti digambarkan oleh para pakar. Seperti yang telah disampaikan Presiden di atas bahwa satu-satunya jalan untuk revolusi sebagaimana dimaksud di atas adalah melalui pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum yang tanpa pandang bulu. Jika jalur pendidikan yang dipilih, maka hal itu sesuai dengan tujuan pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran. Dalam hal ini, revolusi mental bisa disatukan dengan pendidikan karakter yang diintegrasikan itu. Berdasarkan uraian di atas, revolusi mental kiranya dapat pula diintegrasikan melalui pembelajaran seperti halnya pendidikan karakter. Hal itu sesuai dengan program kurikulum terbaru yang mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran. Karena pada dasarnya pendidikan karakter merupakan dasar pembentukan mental yang dimaksud oleh Presiden di atas, maka revolusi mental bisa disampaikan secara terpadu bersama-sama dengan pendidikan karakter, yaitu diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran. Oleh karena itu, tidaklah mustahil apabila revolusi mental dapat pula dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia (Inggris/ Daerah). Jadi, dalam hal ini pendidikan karakter dan revolusi mental dapat secara terpadu diintegrasikan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dalam makalah ini dibahas mengenai bagaimana revolusi mental itu dilaksanakan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. B.

REVOLUSI MENTAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER Istilah revolusi memiliki arti (1) perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); (2) perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang (Tim Penyusun Kamus, 1997:840). Mental bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga (Tim Penyusun Kamus, 1997:646). Dalam tulisan ini yang dimaksud revolusi bukan mengacu kepada pengertian yang pertama, melainkan mengacu kepada pengertian yang kedua. Jadi, revolusi mental dalam tulisan ini mengandung maksud perubahan yang cukup mendasar dalam hal mental seseorang atau sekelompok orang. Sekelompok orang yang dimaksud jika diartikan lebih luas adalah sebuah bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia seperti yang dimaksud oleh Presiden Jokowi. Revolusi mental yang disampaikan Presiden Jokowi menurut beberapa tulisan merupakan gagasan Presiden RI pertama, yaitu Ir. Sukarno. Hal ini seperti dikatakan oleh Supelli (2014) bahwa Presiden Sukarnolah penggagas ide mengenai ―Revolusi Mental‖ yang disampaikan oleh Preside RI pertama pada Pidato Hari Proklamasi tanggal 17 Agustus tahun 1962 dengan tema ―Tahun Kemenangan‖ yang di dalam teks tersebut terdapat istilah ―revolusi belum selesai‖ dan ―revolusi mental‖. Selanjutnya dikatakan bahwa revolusi mental adalah bentuk lain dari revolusi untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan merupakan kelanjutan dari revolusi fisik. Pembahasan mengenai revolusi mental juga disampaikan oleh Sudaryanto (Kompas.com 23 November 2014), salah satu pakar bahasa atau linguistik, yang mengatakan bahwa revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa,

34

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Selanjutnya dikatakan bahwa manakala akal budi tidak dikembangkan dan kerja sama tidak dipelihara dengan bahasa akibatnya akan terjadi hiruk-pikuk di pentas politik dan peristiwa-peristiwa lain yang membuat meja bergelimpangan, batu-batu beterbangan, dan sebagainya. Apa yang disampaikan Sudaryanto telah ditulis dalam bukunya yang berjudul Fungsi Hakiki Bahasa (1990). Dalam buku itu disebutkan bahwa bahasa merupakan sistem referensial karena pada hakikatnya dia menjadi sistem yang dimanfaatkan akal budi untuk menangkap, mengolah, membentuk, menafsirkan, menerjemah, mengungkapkan, dan membeberbabarkan-pendeknya, dijadikan PENGHADIR-segalanya, si jagat itu, yang dapat diacu oleh manusia. Hubungan ini bersifat vertikal. Hubungan yang bersifat horizontal adalah hubungan bahasa dengan kerja sama antarmanusia yang berakal budi itu. Bahasa menjadi pemelihara kerja sama. Mental memiliki kemiripan makna dengan istilah moral, akhlak, dan budi pekerti. Menurut Imam Ghazali (dalam Jagita, 2014) akhlak adalah keadaan yang bersifat batin di mana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir atau tanpa dihitung risikonya. Lebih lanjut dikatakan bahwa akhlak bisa disejajarkan dengan mental karena keduanya menyangkut kondisi batin, sedangkan moral identik dengan budi pekerti yang sudah masuk ke tataran perilaku yang terlihat. Pengertian mental dan akhlak yang disebutkan sejajar itu, jika dikaitkan dengan karakter maka dapat pula ketiga istilah ini merupakan istilah yang sinonim. Dalam Tim Penyusun Kamus (1997:444) disebutkan bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan demikian revolusi mental sangat mungkin dilaksanakan secara terpadu melalui pendidikan karakter. Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Duncan (1997: 119-131) menyebutkan bahwa pendidikan karakter dapat dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung dengan penekanan utama pada asimilasi budaya dan pentingnya interaksi sosial. Pendapat lain, Benninga (1991: 13) menyebutkan bahwa siswa perlu mengetahui tingkat moral tertentu untuk dapat menjadi pemikir tentang moral dan perlu didorong untuk sering menggunakan cerita, puisi klasik dan tradisional, serta mengerjakan tugas-tugas yang berisi gagasan mengenai moralitas dan hal- hal baik sehingga mereka akan memahami apa yang mereka lakukan, atau mereka hafalkan untuk kemudian akan mereka lihat sebagai sebuah kenyataan dalam kehidupan. Pritchard (1988) menegaskan bahwa pendidikan karakter menawarkan prospek untuk menciptakan berbagai konsekuensi sosial yang sangat bermanfaat. Berbagai kajian PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

35

menunjukkan bahwa peserta didik yang disiplin, dan masih memegang nilai-nilai seperti, religius, kerja keras, dan memiliki pemahaman tentang hakikat belajar menunjukkan prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik lain yang tidak memiliki nilainilai karakter tersebut. Temuan ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter juga sekaligus memberi makna pada peningkatan kualitas keterampilan akademik peserta didik (Etzioni, 1984; Ginsburg dan Hanson, 1986). C.

PEMBAHASAN Pelaksanaan revolusi mental melalui pembelajaran bahasa dan sastra dapat diintegrasikan di dalam mata pelajaran itu dan digabungkan dengan pengintegrasian pendidikan karakter. Hal itu dikarenakan perubahan atau revolusi mental diawali dari pendidikan karakter. Dalam pembahasan selanjutnya pendidikan karakter dapat diidentikkan dengan pendidikan mental, atau ditulis pendidikan karakter (mental), sehingga pendidikan karakter disamakan dengan pendidikan mental. Pendidikan karakter (mental) dalam pembelajaran bahasa dan sastra, menurut penulis dilakukan melalui rincian berikut ini. 1.

Integrasi Pendidikan Mental melalui Pembelajaran Bahasa Pendidikan mental melalui pembelajaran bahasa dapat dilakukan melalui pemilihan materi-materi yang menyangkut pemilihan kosakata, frasa, maupun kalimat yang mengandung kesantunan baik melalui media bahasa lisan maupun tulis. Selain itu, juga pengetahuan tentang komponen tutur yang menyangkut siapa yang berbicara, dengan siapa, kapan, dalam situasi yang bagaimana, bagaimana norma bicara, dan sebagainya dapat juga memperjelas bagaimana ragam atau pilihan bahasa yang digunakan. Selain itu, pembelajaran bahasa juga diarahkan kepada fungsi hakiki bahasa, seperti yang dikemukakan oleh Sudaryanto bahwa revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, yaitu mengembangkan akal budi dan untuk memelihara kerja sama. Model ini kiranya dapat diterapkan pula dengan memadukan pada materi pembelajaran bahasa dan sastra. Kosakata, frasa, kalimat yang bagaimana yang dipakai agar para siswa atau peserta didik dapat mengembangkan akal budinya dengan baik dan dapat memelihara kerja sama dengan sesama para peserta didik atau anggota masyarakat lainnya dalam suatu aktivitas kehidupan sehari-hari menjadi materi yang mendasari pembelajaran yang berdasarkan fungsi hakiki bahasa itu. Materi itu menjadi wajib hukumnya untuk diajarkan kepada para peserta didik. Agar dapat mengembangkan akal budinya siswa diupayakan untuk menguasai bahasa. Agar dapat menguasai bahasa, para peserta didik perlu diberikan materi-materi yang dapat memperkaya penguasaan bahasa siswa. Penguasaan bahasa yang dimiliki para peserta didik itu dapat menjadikannya terampil dalam menjelaskan dunia dan isinya, serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya dengan lebih mudah. Hal itu disebabkan bahasa tidak dapat dipisahkan dari akal budi, dan sebaliknya akal budi tak bisa dipisahkan dengan bahasa, seperti yang disampaikan oleh Sudaryanto. Selanjutnya setelah peserta didik menguasai pemakaian bahasa, secara logika mereka akan dapat memelihara kerja sama. Hubungan ini juga dapat dikatakan sebagai hubungan bahasa dengan kekerjasamaan antarmanusia yang berakal budi.

36

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Bahasa menjadi pemelihara kerja sama antara O1 denga O2, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Penguasaan bahasa diawali dari penguasaan kosakata meningkat sampai kalimat dan teks. Untuk itu, pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 telah dirancang berbasis teks dan menempatkan bahasa Indonesia sebagai wahana pengetahuan (Kemendikbud, 2013). Dalam pembelajaran model ini para siswa diharapkan mampu memproduksi dan menggunakan teks sesuai dengan tujuan dan fungsi sosialnya. Teks menjadi sumber aktualisasi diri penggunanya pada konteks sosial-budaya akademis. Teks dipandang sebagai satuan bahasa yang bermakna secara kontekstual. Dalam pembelajaran berbasis teks dijelaskan berbagai cara pengajaran pengetahuan dengan berbagai jenis teks. Dengan demikian itu memudahkan peserta didik menangkap makna yang tertuang dalam suatu teks. Hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan Sudaryanto tentang fungsi hakiki bahasa, yaitu agar siswa dapat mengembangkan akal budi. Juga memudahkan menyajikan gagasan dalam bentuk teks yang sesuai sehingga memudahkan orang lain memahami gagasan yang ingin disampaikan. Hal ini juga sesuai dengan fungsi hakiki bahasa yang kedua yaitu untuk memelihara kerja sama. Dalam Kurikulum itu juga dipaparkan berbagai jenis teks yang tidak lepas dari kehidupan sehari-hari para peserta didik. Misalnya pembelajaran teks deskripsi pada siswa kelas VII yang bertujuan agar siswa dapat menyusun teks laporan hasil observasi secara kelompok dan mandiri. Sebelum penyusunan berlangsung siswa melakukan wawancara dan observasi terhadap suatu objek yang akan dilaporkan. Dalam kegiatan penyusunan teks deskripsi telah terjadi kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan empat keterampilan berbahasa, yaitu berbicara, menyimak, membaca, dan menulis. Dalam kegiatan ini terintegrasi pula nilai-nilai delapan belas pendidikan karakter yang dapat dikembangkan. Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks di dalamnya telah mencakup berbagai keterampilan berbahasa. Ada keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis di dalamnya. Empat keterampilan berbahasa itu sudah terintegrasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks. Jadi, pada dasarnya tidak menghilangkan esensi dari pembelajaran pada Kurikulum sebelumnya, malahan dalam Kurikulum 2013 itu bisa dimasukkan pembelajarn sastra dalam porsi yang lebih banyak. 2.

Integrasi Pendidikan Mental melalui Pembelajaran Sastra Senada dengan pembelajaran bahasa, pendidikan mental melalui pembelajaran sastra dapat dilakukan pula melalui pemilihan materi-materi yang menyangkut adanya kandungan pendidikan karakter (mental) di dalamnya. Teks sastra mencakup bentuk-bentuk prosa, puisi, dan drama. Prosa, puisi, dan drama lama banyak mengandung nilai-nilai pendidikan di dalamnya. Materi-materi seperti itulah yang sebaiknya diberikan kepada para peserta didik agar dapat diperoleh pendidikan mental dari dalamnya. Jika genre lama itu kurang menarik, hendaklah disusun materi yang sesuai dengan kondisi zaman sehingga lebih menarik para peserta didik untuk membacanya. Pembelajaran bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 yang berbasis teks, sastra bisa diberikan di dalamnya karena sastra termasuk genre teks. Jadi, dalam hal pemilihan materi PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

37

genre sastra yang menyangkut prosa dapat kita pilihkan materi prosa yang berisi pendidikan mental, bgitu pula materi puisi dan drama. Dalam mencapai tujuan adanya revolusi mental hendaklah pemerintah juga menyediakan buku-buku sastra yang memadai, yang bisa dibaca oleh para siswa. Budaya membaca sms, whatsap, bbm, maupun media sosial lainnya dapat kita alihkan kepada budaya membaca tek-teks sastra yang bermanfaat. Apabila pengadaan buku-buku sastra terlalu mahal biayanya, bisa dialihkan pada media elektronik yang sekarang sangat mudah diakses oleh para siswa. Karya-karya puisi khususnya telah banyak bermunculan dalam media sosial, walaupun harus diseleksi untuk diberikan kepada peserta didik. Guru hendaklah berperan besar dalam kegiatan ini karena berjalan atau tidaknya dalam mencapai tujuan pembelajaran terletak padanya. Guru dapat memberikan tugas kepada setiap siswa untuk mewajibkan membaca teks-teks sastra yang telah dipilih oleh guru. Tugas itu ditekankan kepada pemahaman nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam tek-teks sastra itu. Setelah itu, siswa diberi tugas pula untuk mempresentasikan kepada siswa lain tentang temuannya dalam membaca teks sastra. Dalam presentasi ini, telah terintegrasi pembelajaran keterampilan berbahasa (membaca, menulis, berbicara, dan diakhiri menyimak) sekaligus materi yang berhubungan dengan sastra dan pendidikan mental. Seperti halnya dalam pembelajaran bahasa, dalam kegiatan ini juga telah terintegrasi pendidikan karakter sejumlah delapan belas yang harus dikembangkan oleh para guru dalam proses belajar mengajar. D.

SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa revolusi mental dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pengintegrasian antara materi yang menyangkut materi mental itu dalam pendidikan karakter, karena keduanya merupakan hal yang memiliki kemiripan. Pendidikan karakter yang mencakup delapan belas nilai yang harus dikembangkan oleh para guru dalam kurikulum terbaru tersebut telah dapat diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Jadi, apabila revolusi mental itu dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra sangat memungkinkan. Semua itu dapat dilakukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks. DAFTAR PUSTAKA Benninga, J. (1991). Moral, Character, Civic Education in the Elementary School. New York: Teachers College Press. Duncan, Barbara, J. (1997). ―Character Education: Reclaiming The Social‖ Educational Theory. Vol. 47.1.119- 130. Etzioni, Amitai. (1984). Self-Disicipline, Schools, and Business Community. Washington, D.C: National Chamber Foundation, ( ERIC Document no. ED 249-335) Gall M.D, J.P. Gall, dan W. Borg. (2003). Educational Research : An Introduction. Boston : Pearson

38

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Ginsburg, Alan, and Sandra Hanson.(1986). Gaining Ground: Values and High School Success.( Contract no. 300-83-0211) Washington, D.C.: U.S. Department of Edication. Jagita. 2014. ―Revolusi Mental Melalui Pendidikan‖ http:// www.jagita.com/ news/ 2014 Oktober 15 Kemendikbud. 2013. Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pritchard, Ivor. (1988). ―Character Education: Research Prospects and Problems‖. American Journal of Education.Vol. 96.No. 4 (Aug., 1988). Pp. 469-495. Sartono, Frans. 2014. ―Revolusi Mental Berawal dari Bahasa‖. Kompas.com, 23 November 2014. Sudaryanto. 1990. Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Supelly, Karlina. 2014. ―Mengartikan Revolusi Mental‖ dalam Business-center.hapsastudia.com/opini/politik-di-indnesia

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

39

REVOLUSI MENTAL PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH UNTUK MEMANTAPKAN NASIONALISME DAN JATIDIRI BANGSA Yuli Widiyono, M,Pd. Universitas Muhammadiyah Purworejo [email protected] Abstrak Tujuan dari makalah ini adalah untuk mendeskripsikan revolusi mental pembelajaran bahasa daerah untuk memantapkan nasionalisme dan jatidiri bangsa dalam bingkai kebijakan pendidikan bahasa.Bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional memiliki kedudukan yang sangat kuat. Namun, kedudukan bahasa daerah di dalam proses pembelajaran mengalami berbagai perubahan, baik dalam hal kebijakan, maupun dalam proses pembelajaran di sekolah. Pembelajaran bahasa daerah memuat banyak nilai-nilai edukasi yang bisa diilhami dalam kehidupan sehari-hari. Pemantapan proses pembelajaran bahasa daerah, dengan didukung kebijakan bahasa diharapkan mampu membawa perubahan, baik proses mental peserta didik, maupun budi pekerti sehingga mampu memantapkan rasa nasionalis dan jatidiri bangsa melaui kearifan lokal budaya daerah.

A.

PENDAHULUAN Manusia dalam hidupnya memerlukan keberadaan bahasa sebagai alat komunikasi, karena segala macam gagasan, konsep pikiran dan ide-ide dilahirkan dengan bahasa. Manusia berinteraksi dengan sifat yang dinamis. Perkembangan interaksi masyarakat Indonesia menyesuaikan dengan tuntutan peradaban, dalam era global ditandai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian juga, kemudahan untuk memperoleh informasi turut mempengaruhi perkembangan masyarakat Indonesia. Agar bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi, menyampaikan gagasan, ide, pendapat bagi masyarakat Indonesia, maka kebijakan tentang masalah pendidikan bahasa harus terus diupayakan dan dikembangkan untuk menunjukan identitas dan jatidiri bangsa dengan kekayan bahasa yang dimiliki menuju masyarakat yang nasionalis. Nasionalisme dapat didefinisikan rasa kebermilikan terhadap suatu bangsa.. Nasionalisme sebagai suatu gejala historis telah berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial. Nasionalis dipandang sebagai semangat kebangsaan dan loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya, dengan berbagai macam kekayaan yang ada, salah satunya adalah bahasa. Sejarah perkembangan nasionalisme di Indonesia berawal dari rasa ketidakpuasan dan kesamaan penderitaan bangsa akibat perilaku kolonialis, dan keinginan untuk bangkit dan keluar dari penjajah kolonial. Dengan rasa nasionalisme mewujudkan lahirnya sumpah pemuda, salah satunya bunyi butir ke-tiga yaitu ―kami poetra poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean bahasa Indonesia‖. Negara Indonesia sangat beragam suku, bahasa, budaya, dan agama. Peranan bahasa sangat diperlukan untuk mempersatukan bahasa. Melalui dunia pendidikan semua pengetahuan tentang sejarah, perkembangan, dan teknologi diajarkan. Dunia pendidikan sebagai wadah pembentuk karakter dan jatidiri bangsa diharapkan mampu menjaga dan terus melestarikan nilai-nilai moral, budi pekerti, dan karakter bangsa sehingga menghasilkan

40

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

masyarakat-masyarakat yang unggul. Salah satu upaya penanaman nilai karakter atau jatidiri bangsa melalui bahasa. Pemeliharaan dan pengembangan bahasa yang ada di Indonesia, terdapat dalam kebijakan pendidikan bahasa. Kebijakan pendidikan bahasa memiliki peran yang sangat penting demi menjaga kesatuan dan kedaulatan bangsa, karena bangsa Indonesia ,memiliki kekayaan bahasa yang sangat beragam. Kekayaan bahasa Daerah yang beragam sebagai dampak dari historis, geografis, kekayaan suku, adat yang membentuk jatidiri bangsa. Bahasa daerah khususnya bahasa Jawa digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat Jawa baik yang berada di pulau Jawa (DIY, Jateng, Jatim) maupun luar pulau Jawa bahkan di luar negara Indonesia, yaitu Suriname (Sudaryanto, 1992:3). Secara filosofis, bahwa bahasa Jawa memiliki kedudukan yang sangat mendasar karena bahasa Jawa tidak hanya memiliki beragam tingkatan seperti undha usuk, tingkat tutur atau unggah-ungguh. Namun, kedudukan bahasa Jawa dengan keragaman bahasa memiliki kelebihan yaitu bentuk unggah-unggah bahasa yang mengisyaratkan makna bahwa bahasa itu terdapat tingkatantingkatan dengan fungsi yang berbeda beda. Para komunikan yang terlibat komunikasi dengan bahasa Jawa harus mempertimbangkan, memilih serta memilah bahasa yang tepat untuk berkomunikasi. Pemilihan bahasa dalam unggah-unggah tersebut secara tidak langsung akan membentuk kepribadian dan budi pekerti. Bahasa Jawa yang dilindungi dan diatur yang tertuang dalam Undang-Undang, kebijakan pemerintah mulai, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah dalam hal ini SK Gubernur, bukti bahwa bahasa Jawa memiliki kedudukan yang sangat kuat. Namun, melihat kondisi yang ada, banyak fakta yang menunjukkan bahwa bahasa Jawa sekarang ini memiliki kedudukan dan fungsi yang kurang menjanjikan. Kekhawatiran masyarakat terhadap bahasa Jawa mulai terbukti dengan penurunan kualitas penggunaan bahasa Jawa, yaitu banyak generasi muda Jawa yang mulai tidak menguasai unggah-ungguh bahasa Jawa secara baik serta pemahaman terhadap budaya Jawa yang sangat beragam serta prestise bahasa Jawa baik di mata orang Jawa maupun di mata orang lain lambat laun menjadi pudar. Penurunan kualitas tersebut disebabkan banyak pengaruh, salah satunya pengaruh globalisasi dan teknologi. Dengan perubahan zaman yang secara cepat dan perkembangan teknologi memudahkan informasi sangat mudah diterima, tanpa menilai atau menyaring semua informasi yang masuk. Dampaknya yaitu adanya perubahan dalam struktur masyarakat Jawa yang tadinya mengenal tepa slira, rasa handarbeni, ora bisa srawung marang sapadhane, lan ninggal tata luhur Jawa, andhap asor anoraga angon rasa, angon mangsa, lan nguwongake/ngajeni marang liyan. Adapun yang lebih mengkhawatirkan tidak peduli dengan norma-norma yang ada di masyarakat, norma sosial dan norma hukum negara. Mengetahui konteks bahasa Jawa yang demikian, diperlukan suatu solusi atau pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan yang serius. Alternatif pemecahan permasalahan atau upaya-upaya penanggulangan permasalahan di atas, yaitu perlu adanya kepeduliaan masyarakat dan pemerintah untuk memberikan kesempatan atau menyediakan alokasi waktu untuk pendidikan bahasa Jawa dalam pembelajaran di kelas. Namun, hal ini belum cukup tanpa dibarengi dengan proses pembelajaran yang secara akurat bisa menanamkan dan menumbuhkan mental peserta didik maupun pendidik minat terhadap PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

41

pembelajaran bahasa Jawa. Selanjutnya, akan ditawarkan kerangka pikir melalui perubahan mental pendidik dan peserta didik untuk memantapkan nasionalisme dan jatidiri bangsa melalui pembelajaran bahasa daerah. B.

PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan; apakah itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi, atau daerah yang lebih luas. Sedangkan defenisi bahasa daerah dalam hukum Internasional yang termuat dalam rumusan Piagam Eropa untuk Bahasa-Bahasa Regional atau Minoritas diartikan bahwa "bahasa-bahasa daerah atau minoritas" adalah bahasa-bahasa yang secara tradisional digunakan dalam wilayah suatu negara, oleh warga negara dari negara tersebut, yang secara numerik membentuk kelompok yang lebih kecil dari populasi lainnya di negara tersebut dan berbeda dari bahasa resmi (atau bahasa-bahasa resmi) dari negara tersebut (id.wikipedia.org). Bahasa daerah sebagai bentuk kekayaan budaya nasional sejalan dengan dengan UUD 1945, Bab XV, Pasal 36 di dalam penjelasannya, dikatakan: ―Bahasa daerah itu adalah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup; bahasa daerah itu adalah salah satu unsur kebudayaan nasional yang dilindungi oleh negara‖. Perencanaan bahasa nasional tidak bisa dipisahkan dari pengolahan bahasa daerah. Selain itu, bahasa daerah memiliki fungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, dan alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Masalah kedudukan dan fungi bahasa daerah yang tercantum dalam berbagai undang-undang menjadi bukti bahwa bahasa daerah perlu dijaga dan dilestarikan. Brown (2007:7) menyatakan “learning is a acquiring or getting of knowledge of a subject or a skill by study experience, or instruction‖ bahwa pembelajaran (proses) memperoleh atau mendapatkan pengetahuan tentang subjek atau keterampilan yang dipelajari, pengalaman, atau instruksi. Pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang. selanjutnya, Brown (2007:8) menjelaskan tentang karakteristik pembelajaran: 1. Pembelajaran adalah ―mendapatkan atau memperoleh‖ 2. Pembelajaran adalah retensi informasi atau keterampilan. 3. Retensi menggunakan sistem simpanan, memori, organisasi kognitif. 4. Pembelajaran mencakup keaktifan, berfokus pada kesadaran dan reaksi terhadap peristiwa-peristiwa di dalam maupun di luar organisme. 5. Pembelajaran relatif permanen, tetapi pembelajar dapat lupa. 6. Pembelajaran mencakup beberapa jenis praktis, mungkin penguatan secara praktis. 7. Pembelajaran adalah merubah perilaku. Suwarna (2002:21) menjelaskan pembelajaran mengandung makna bahwa subjek belajar harus dibelajarkan, bukan diajarkan. Kegiatan belajar berpusat pada siswa (learner). Pembelajar harus aktif mencari, menemukan, menganalisis, memecahkan masalah, merumuskan dan menyimpulkan suatu masalah. Pembelajaran bahasa dapat dilakukan secara

42

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

induktif dan deduktif. pembelajaran induktif yaitu pembelajaran yang menganggap bahwa pembelajar dibawa ke suasana praktis baru dan kemudian baru diarahkan untuk menemukan kaidah-kaidah bahasa target. Sebaliknya pembelajar diberi eksplanasi tentang kaidah bahasa target dan sekiranya pembelajar telah dianggap memiliki pengetahuan yang cukup, baru diarahkan kepada suasana praktik, ini merupakan pembelaaran dengan deduktif. Pembelajaran bahasa bisa tercapai setidaknya memegang kaidah-kaidah dalam pembelajaran bahasa. Suwarsih Madya (dalam Suwarna, 2002:28) menjelaskan tentang prinsip-prinsip dalam pembelajaran bahasa. kedelapan prinsip tersebut, yaitu: 1. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka diperlakukan sebagai individu dengan kebutuhan dan minatnya sendiri-sendiri. 2. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka diberi kesempatan aktif menggunakan bahasa target untuk berkomunikasi dalam berbagai kegiatan belajar mengajar. 3. Pembelajar akan belajar optimal apabila mereka banyak diaktifkan dengan belajar bahasa target yang digunakan dalam proses komunikasi, baik lisan maupun tertulis, sesuai kemampuan, kebutuhan, dan minat mereka. 4. Pembelajar akan belajar optimal apabila mereka dihadapkan pada aspek struktur verbal bahasa target dan mengkaji makna budaya yang terkandung dalam bahasa target. 5. Pembelajar akan belajar optimal apabila mereka ditunjukkan pada aspek sosial budaya penutur asli bahasa target dan pengalaman langsung dalam budaya bahasa target. 6. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka menyadari peranan dan sifat dasar bahasa dan budayanya. 7. Pembelajar akan belajar secara optimal diberi balikan yang efektif tentang kemajuan belajarnya secara kelanjutan. 8. Pembelajar akan belajar secara optimal apabila mereka diberi kesempatan untuk mengelola belajarnya sendiri. Delapan prinsip pembelajaran bahasa tersebut dapat diimplikasikan dalam pembelajaran di kelas. Masing-masing prinsip tersebut bisa dilaksanakan oleh guru atau pengajar dalam proses pembelajar yang didukung berbagai faktor. Faktor tersebut meliputi faktor eksteren dan interen pembelajar. Faktor ekstern meliputi seluruh pendukung kegiatan pembelajaran misalnya faktor guru, kegiatan suasana pembelajar, lingkungan sosial budaya. Faktor interen meliputi motivasi pembelajar, kemampuan atau kompetensi pembelajar, keaktifan dan lain-lain. Pembelajaran bahasa daerah merupakan proses kegiatan untuk memperoleh dan mendapatkan pengetahuan tentang bahasa, sastra, dan budaya yang ada di daerah-daerah. Pembelajaran bahasa daerah (khususnya Jawa) banyak menyajikan tentang unsur-unsur budaya yang ada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Materi yang ada dalam pembelajaran bahasa Jawa banyak memuat nilai-nilai edukasi, nilai budi pekerti, dan moral yang bisa ditanamkan kepada peserta didik yang bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat, dan bernegara. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

43

C. 1.

NASIONALISME Pengertian Nasionalisme Nasionalisme diartikan sebagai semangat kebangsaan dan loyalitas yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Nasionalisme tidak bisa dilepaskan dari negara. Ada dua macam teori pembentuk negara, yakni teori kebudayaan dan teori negara. Teori kebudayan mengatakan bahwa negara terbentuk atas dasar kesamaan kebudayaan. Sedangkan teori negara mengatakan sekelompok orang yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk bergabung menjadi satu dalam suatu negara yang berdaulat dengan tidak menjadikan kebudayaan tertentu menjadi syaratnya (Suhartono, 2001:7). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:954) definisi tentang nasionalisme yaitu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Nasionalisme merupakan kesadaran keanggotaan di suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa. Nasionalisme yang berdasarkan pandangan kuno menyebutkan adanya penyatuan dari unsur-unsur: (1) rasa kekeluargaan, (2) hubungan yang erat dengan sekelompok orang dengan orang lain atau suatu perasaan asing dari kelompok lain, dan (3) rasa terikat pada suatu kekuasaan (Denny J.A, dalam Darwin Une, 2010: 177). Pengikat dari unsur-unsur tersebut adalah adat, dongeng mitos, dan terpenting adalah bahasa yang sama. Selanjutnya hilang ikatan nasionalisme kuno dikarenakan oleh beberapa sebab misalnya, tumbuhnya peradaban yang menuntut cara hidup baru dari pengembara, dari berburu, menjadi menetap dan bertani, kemudian melakukan organisasi hingga muncul persatuan dengan keluarga atau suku yang lain. Tersebarlah kelompok-kelompok kesukuan secara cepat dan besar-besaran dengan damai, tetapi saat tertentu adanya penaklukan suku yang besar terhadap suku yang kecil, kemudian berdirilah dinasti dan timbul masyarakat feodal. Kesetiaan suku diganti dengan kesetiaan kepada dinasti. Lebih lanjut, nasionalisme modern kemudian berkembang untuk mewujudkan prinsip orang dan bangsa sama-sama memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Menurut Denny J.A (200 dalam Darwin Une (2010:177) nasionalisme modern berarti sepenuhnya bebas dalam hubungannya dengan negara-negara lain, sekaligus bangsa harus memberi kebebasan kepada warganya. Sedangkan Hans, (1984) dalam Darwin Une 2010:177) nasionalisme modern baru nyata dengan kedudukan Inggris memimpin Eropa pada abad ke 17. Berbeda dengan Maarif (1989: 20) yang mengemukakan bahwa munculnya sekelompok negara-negara kuat di Eropa abad ke 16, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, Portugal dan lain sebagainya lebih merupakan ambisi para raja dan bukan menandakan munculnya nasionalisme. Menurut Kartodirdjo (dalam Darwin Une 2010:180) bahwa prinsip nasionalisme adalah kesatuan, maka teknologi sosial diarahkan untuk memicu integrasi. Oleh karena itu nasionalisme menuntut kesetiaan atau penyerahan diri seseorang kepada masyarakatnya dan lebih luas lagi kepada bangsa dan negaranya. Dari pengertian nasionalisme di atas dapat disimpulkan bahwa nasionalisme merupakan suatu paham atau ideologi suatu kelompok yang dilakukan secara sadar dengan

44

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

kemauan untuk menjaga, memelihara, dan bergabung menjadi negara yang berdaulat dengan menjunjung tinggi identitas sejarah, bahasa, dan budayanya. 2.

Identitas Nasional Indonesia Nasionalisme di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kolonialisme Belanda yang sudah beberapa abad lamanya berkuasa di bumi Indonesia. Abdulgani (1964) mengatakan bahwa ―Nasionalisme Indonesia sebagai reaksi terhadap kolonialisme‖, karena apa yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia melalui suatu kebangkitan adalah untuk mau melenyapkan bentuk kekuasaan penjajah (Darwin Une, 2010:180). Nasionalisme Indonesia muncul sebagai reaksi dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi akibat penjajahan yang dilakukan kaum kolonialis. Gerakan nasionalisme Indonesia pada awal abad XX tidak bisa dipisahkan dari praktik kolonialisme sebab keduanya merupakan sebab akibat. Pergerakan nasionalisme timbul akibat adanya sistem pendidikan yang ditanamkan oleh para penjajah. Melalui pendidikan muncul kaum terpelajar yang pada akhirnya menjadi motor atau penggerak nasionalisme. Ide-ode yang muncul pada masa pergerakan nasional terbatas hanya pada golongan bangsawan atau kalangan terpelajar. Beberapa pendapat yang dikutip oleh Kansil (1990) mengatakan bahwa ―nasionalisme mempunyai tujuan untuk melenyapkan tiap-tiap bentuk kekuasaan penjajah dan mencapai suatu keadaan yang memberi tempat untuk perkembangan merdeka bangsa Indonesia‖. Selain itu Bouman mengatakan bahwa ―Nasionalisme Indonesia adalah perasaan menjadi anggota masyarakat besar yaitu bangsa Indonesia, tetapi syarat mutlak untuk mencapai maksud itu ialah dengan melenyapkan sistim kolonialisme yang menekan bangsa Indonesia dalam keadaan buruk‖. Dari beberapa pendapat ini, tampaknya ada persamaan konsep yaitu nasionalisme lebih bersifat sosiopsikologis (Darwin Une, 2010:180). Munculnya pergerakan nasional dipelopori oleh Budi Utomo pada tanggal 2 Mei 1908. Dengan semangat perjuangan yang dipelopori oleh Budi Utomo mampu mendongkrak semangat para pemuda Indonesia. Pendidikan berperan penting dalam menumbuhkan nasionalisme. Sampai pada perjuangan para pemuda Indonesia dengan melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Lahirnya sumpah pemuda melahirkan identitas negara yang beragam dengan memegang semboyan Bhineka Tungal ika. Unsur-unsur identitas nasional Indonesia meliputi perbedaan suku bangsa. Suku bangsa pada dasarnya merupakan golongan sosial yang khusus dan bersifat akritif (ada sejak lahir) yang sama golongannya umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa dan kelompok etnis dengan tidak kurang dari 300 dialek bahasa. Populasi penduduk Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 225 juta dari jumlah tersebutdiperkirakan separ. uhnya beretnis Jawa, sisanya terdiri dari etnis-etnis yang mendiami kepulauan di luar Jawa. Agama dan kepercayaan di Negara Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh ajaran agama. Agama yang bertumbuh kembang di Indonesia meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu. Dari agama dalam kepercayaan tersebut, Islam merupakan agama yang dianut mayoritas oleh bangsa Indonesia. Harus diakui bahwa

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

45

kehidupan agama yang pluralistik pada awalnya dapat hidup serasi dan seimbang dengan lebih menekan pada sifattoleransi dan menghormati. Kekayaan Negara Indonesia yang memberikan ciri atau identitas yaitu kebudayaan. Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat (modal-modal). Pengetahuan secara kolektif digunakan oleh pendukungpendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan.yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan (pedoman) untuk bertindak dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Intinya adalah kebudayaan merupakan patokan nilai-nilai etika dan moral baik yang tergolong sebagai ideal atau yang seharusnya (world view) maupun yang operasional dan aktual di dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa sebagai identitas nasional tercermin bahwa bahasa menunjukan identitas bangsa, pemahaman jatidiri bangsa menggunakan konsep kebudayaan atau kultur masyarakat yang sangat variatif atau perbedaan antar etnis butuh pemahaman tentang faktor sosial budaya. Upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa perlu terus dilakukan dalam berbagai sektor kehidupan dengan mengoptmalkan potensi dan pemanfaatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Pengoptimalan potensi bahasa Indonesia mengandung makna ganda, yaitu pemantapan norma bahasa yang dibarengi pemerkayaan kosakata berikut peristilahannya. Diupayakan melalui pemanfataan sumber-sumber di luar bahasa Indonesia, baik yang terdapat dalam bahasa daerah dan bahasa asing. Bahasa Indonesia tetap digunakan sebagai media yang efektif untuk menjelaskan tata peristilahan bahasa daerah dan asing. Interferensi leksikal daerah sering memberikan pengaruh terhadap pemakaian bahasa nasional, hal tersebut tentunya memberikan ciri atau identitas penutur (Moeliono, 2000) D. JATIDIRI BANGSA DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN BAHASA Jati diri atau yang lazim juga disebut identitas merupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa tersebut. Seperti halnya bangsa lain, bangsa Indonesia juga memiliki jati diri yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia. Jati diri itu sekaligus juga menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Salah satu simbol jati diri bangsa Indonesia itu adalah bahasa, dalam hal ini tentu bahasa Indonesia. Hal itu sejalan dengan semboyan yang selama ini kita kenal, yaitu ―bahasa menunjukkan bangsa‖. Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa Indonesia juga merupakan simbol jati diri bangsa (Mustakim, dalam http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1123). Jati diri bangsa adalah pandangan hidup yang berkembang di dalam masyarakat yang menjadi kesepakatan bersama, berisi konsep, prinsip, dan nilai dasar yang diangkat menjadi dasar negara sebagai landasan statis, ideologi nasional, dan sebagai landasan dinamis bagi bangsa yang bersangkutan dalam menghadapi segala permasalahan menuju cita-citanya (Muammad Hidayatullah,2009). Jatidiri merupakan terjemahan identity adalah suatu kualitas yang menentukan suatu individu atau entitas, sedemikian rupa sehingga diakui sebagai suatu pribadi yang membedakan dengan individu atau entitas yang lain. Kualitas yang menggambarkan suatu

46

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

jatidiri bersifat unik, khas, yang mencerminkan pribadi individu atau entitas dimaksud. Jatidiri akan mempribadi dalam diri individu atau entitas yang akan selalu nampak dengan konsisten dalam sikap dan perilaku individu dalam menghadapi setiap permasalahan (Surya Harahap, 2009). Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa jatidiri bangsa merupakan ciri khas yang melekat pada suatu identitas seorang atau kelompok orang mempunyai ciri pembeda yang melekat mencerminkan identitas atau entitas suatu bangsa. E.

KEBIJAKAN PENDIDIKAN BAHASA Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:190) adalah (1) kepandaian, kemahiran kebijaksanaan; (2) rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dari dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (pemerintahan, organisasi dsb.); pernyataan, cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Kebijakan pendidikan bahasa adalah kebijakan suatu pemerintahan untuk mengatur masalah pendidikan dinegaranya. Perencanaan bahasa adalah satu set yang sangat kompleks yang melibatkan kegiatan persimpangan dua sangat berbeda dan berpotensi bertentangan tema satu bahwa 'yang berarti umum untuk semua kegiatan kami dengan bahasa, dan lainnya semiotika juga, tema lain yang dari 'desain'. Jika kita mulai dari perbedaan luas antara sistem yang dirancang dan sistem berkembang, maka perencanaan bahasa berarti memperkenalkan proses desain dan desain fitur ke dalam sistem (yaitu bahasa) yang secara alami berkembang (Halliday dalam Wright, 2004:1). Lebih lanjut, Kekuatan kebijakan bahasa negara untuk menghasilkan hasil yang diharapkan adalah sangat dibatasi oleh berbagai struktur sosial, politik dan ekonomi yang sosiolinguistik biasanya tidak diperhatikan, meskipun konsekuensi mereka yang mendalam dan jauh lebih penting daripada bahasa kebijakan itu sendiri (Ó Riagáin dalam Wright, 2004:2). Pendidikan merupakan upaya sadar untuk menyiapkan sumber daya manusia sehingga memiliki potensi menghadapi kenyataan di masa datang. Hal itu selaras dengan pernyataan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional nomor 2 tahun 2003 pasal 1 ayat (1) dan (2). Menurut ayat (1) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian dirinya, masyarakat,bangsa dan negara. Sedangkan menurut ayat (2) pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pengertian Kebijakan Pendidikan menurut kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada umumnya. kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus regulasi berkaitan dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta pengaturan perilaku dalam pendidikan. Kebijakan pendidikan (educational policy) merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

47

longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan (Arif Rohman 2009: 108). Kebijakan bahasa (language policy) mengacu pada tujuan yang menyangkut bahasa, politik, dan masyarakat yang mendasari usaha kegiatan para perencana bahasa. Kebijakan bahasa lebih menggambarkan pendapat dan sikap masyarakat tentang bahasa yang hidup di dalamnya. Sikap dan nilai itu didasari oleh sejumlah nilai budaya tertentu. Kebijakan bahasa di Indonesia, Bahasa Indonesia, mengenai bahasa daerah dan Asing digunakan untuk tujuan tertentu. Berdasarkan kedudukannya memiliki fungsi sosial, yakni (1) sebagai bahasa resmi kenegaraan atau resmi kedaerahan, (2) fungsinya bahasa dalam pendidikan, (3) sebagai bahasa antargolongan, (4) sebagai bahasa kebudayaan di bidang ilmu, teknologi, seni. Landasan kebijakan bahasa daerah di Indonesia dapat diurai dari beberapa keputusan yang diambil oleh bangsa Indonesia sebagai berikut. 1. UUD 1945 Bab XIII Pasal 32 (2) dinyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. 3. Kebijakan tentang bahasa juga tercemin dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan tentang bahasa pengantar, khususnya dalam pendidikan. Pada BAB VII mengatur tentang Bahasa Pengantar yaitu Pasal 33 (1) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. 4. Pada pasal 37 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi wajib memuat bahasa. 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah 6. Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor: 64/KEP/2013 tentang Mata Pelajaran Bahasa Jawa sebagai Muatan Lokal Wajib di Sekolah/Madrasah. 7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa , Sastra, dan Aksara Jawa. 8. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 tahun 1992 tentang Pembinaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali 9. Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Timur No. 188/188/KPTS/013/2005 tentang pembelajaran bahasa Jawa di SD, SMP, SMA, dan SMK. F.

HUBUNGAN PEMBELAJARAN BAHASA DAERAH, NASIONALISME, DAN JATIDIRI BANGSA SERTA KEBIJAKAN PENDIDIKAN BAHASA 1. Bahasa daerah sebagai Jatidiri dan Identitas Jatidiri atau yang lazim juga disebut identitas merupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa tersebut. Seperti halnya bangsa

48

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

lain, bangsa Indonesia juga memiliki jati diri yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia. Jati diri itu sekaligus juga menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Salah satu simbol jatidiri masyarakat Jawa adalah bahasa, dalam hal ini tentu bahasa Daerah. Hal itu sejalan dengan semboyan yang selama ini kita kenal, yaitu ―bahasa menunjukkan bangsa‖. Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa daerah juga merupakan kekayaan budaya nasional dan merupakan simbol jati diri bangsa. Oleh karena itu, bahasa daerah harus senantiasa dijaga, kita lestarikan, dan secara terus-menerus harus kita bina dan kita kembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi modern. Melalui kebijakan bahasa, esksisteni bahasa daerah akan tetap terjaga. Lebih-lebih dalam era global seperti sekarang ini, jati diri suatu bangsa menjadi suatu hal yang amat penting untuk dipertahankan agar bangsa kita tetap dapat menunjukkan keberadaannya di antara bangsa lain di dunia. Bahasa merupakan alat komunikasi dalam masyarakat. Bahasa menjadi alat untuk melalukan interaksi komunikasi dalam hal menyampaikan gagasan, ide, atau pendapat dengan pengetahuan bahasa yang dimiliki, dal hal ini masyarakat pemilik bahasa itu sendiri. Jika bahasa dipakai oleh pemilik bahasa maka jelas bahwa bahasa menunjukan atau menandai masyarakat pemakainya (bangsa), dan adanya bahasa karena masyarakat (bangsa) itu memakainya. Jadi, adanya bangsa dan bahasa itu saling berhubungan atau menentukan. Sebagai contoh masyarakat Jawa berbahasa Jawa, masyarakat Batak berbahasa Batak, negara Indonesia berbahasa Indonesia, negara Cina berbahasa Cina, Negara Jepang berbahasa Jepang, Negara Perancis berbahasa Perancis, Rusia berbahasa Rusia. Bangsa Indonesia sangat kaya dengan aneka suku bangsa yang masing-masing memiliki karakter sendiri, termasuk di dalamnya bahasa yang digunakan secara umum setiap suku bangsa terbagi atas dua kelompok yaitu Kelompok pertama; suku bangsa yang memiliki bahasa lisan dan tulis (aksara) misal: suku Jawa, Bali dan Batak. Kelompok kedua; suku bangsa yang hanya memiliki bahasa lisan saja misalnya;suku Dayak, Bajar, dan lain-lain. Bahasa di pakai sebagai sarana berinteraksi antar manusia melalui peristiwa sumpah pemuda, para tokoh pemuda dan berbagai latar belakang suku kebudayaan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia yaitu bahasa yang mempersatukan seluruh elemen masyarakat etnis dan suku bangsa yang hidup di wilayah kepulauan nusantara. Bahasa sebagai nasionalisme dan jatidiri bangsa tercermin bahwa bahasa menunjukan identitas bangsa, pemahaman jatidiri bangsa menggunakan konsep kebudayaan atau kultur masyarakat yang sangat variatif atau perbedaan antar etnis butuh pemahaman tentang faktor sosial budaya. Upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa perlu terus dilakukan dalam berbagai sektor kehidupan dengan mengoptmalkan potensi dan pemanfaatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Pengoptimalan potensi bahasa Indonesia mengandung makna ganda, yaitu pemantapan norma bahasa yang dibarengi pemerkayaan kosakata berikut peristilahanya. Diupayakan melalui pemanfataan sumber-sumber di luar bahasa Indonesia, baik yang terdapat dalam bahasa daerah dan bahasa asing. Bahasa Indonesia tetap digunakan sebagai media yang efektif untuk menjelaskan tata peristilahan bahasa daerah dan asing. Interferensi leksikal

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

49

daerah sering memberikan pengaruh terhadap pemakaian bahasa nasional, hal tersebut tentunya memberikan ciri atau identitas penutur. 2.

Hubungan Penbelajaran Bahasa Daerah, Kebijakan Pendidikan Bahasa dengan Nasionalisme dan Jatidiri Bangsa Pembelajaran bahasa daerah (Jawa) sekarang ini telah mengalami perubahan yang signifikan. Hal tersebut tampak adanya perubahan kebijakan, bahwa bahasa Jawa wajib diajarkan sampai ke sekolah menengah atas. Perubahan tersebut juga tampak pada proses pembelajaran, yaitu melalui strategi atau metode yang modern dan inovatif, pendidik menyampaikan informasi kepada peserta didik. Harapan yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran, nilai-nilai yang terkandung pada materi bahasa Jawa bisa menumbuhkan minat, karakter, budi pekerti, dan rasa nasionalis serta jatidiri sebagai masyarakat Jawa yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Kebijakan bahasa (language policy) mengacu pada tujuan yang menyangkut bahasa, politik, dan masyarakat yang mendasari usaha kegiatan para perencana bahasa. Kebijakan bahasa lebih menggambarkan pendapat dan sikap masyarakat tentang bahasa yang hidup di dalammnya. Sikap dan nilai itu didasari oleh sejumlah nilai budaya tertentu. Kebijakan bahasa di Indonesia, menyangkut bahasa Indonesia, mengenai bahasa Daerah dan Asing digunakan untuk tujuan tertentu. Landasan kebijakan bahasa di Indonesia tercermin dalam ikrar Sumpah Pemuda, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32 ayat 2, pasal 36 tentang bahasa negara adalah bahasa Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Penjelasan rinci mengenai bahasa Negara dalam UU No 24 tahun 2009, menjelaskan bagian umum bahasa, penggunaan bahasa Indonesia, pengembangan pembinaan dan perlindungan bahasa Indonesia, peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional, dan bagian terakhir yaitu lembaga bahasa. Kebijakan tentang bahasa juga tercemin dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan tentang bahasa pengantar, khususnya dalam pendidikan. Peraturan Presiden RI Nomor 16 Tahun 2010, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 tahun 2007, Keputusan Gubernur yang mengatur ketetapan dan pengembangan bahasa daerah. Karakteristik negara Indonesia ditinjau dari historis, bahasa, dan budaya memberikan pengaruh yang besar terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan. Dalam hal kebijakan pendidikan bahasa, mulai dari bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing diatur dalam perundang-undangan berdasarkan pada sejarah, karakteristik bangsa yang mempunyai keanekaragaman bahasa daerah, suku, budaya menunjukkan nasionalisme dan jatidiri bangsa. Hal tersebut menunjukan bahwa di dalam kebijakan bahasa di Indonesia terkandung nilai-nilai nasionalisme dan jatidiri bangsa. G.

SIMPULAN Bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam suatu interaksi. Manusia berinteraksi dengan sifat yang dinamis seiring dengan itu, bahasa harus menyesuaikan

50

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

dengan tuntutan kondisi masyarakat penggunanya. Bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam suatu interaksi. Manusia berinteraksi dengan sifat yang dinamis seiring dengan itu, bahasa harus menyesuaikan dengan tuntutan kondisi masyarakat penggunanya. Bahasa mempersatukan seluruh elemen masyarakat etnis dan suku bangsa yang hidup di wilayah kepulauan nusantara, serta mampu mengungkap nilai-nilai jatidiri bangsa. Bahasa menunjukan jatidiri dan identitas bangsa. Bangsa Indonesia dengan kekayaan bahasa daerah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia dikenal dengan Negara dengan keanekaragaman bahasa. Keanekaraman bahasa tersebut semua telah diatur dalam Undang-undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur. Perubahan mental pembelajaran bahasa daerah (Jawa) bisa dilakukan melalui dukungan kebijakan pemerintah yang menyangkut bahasa. Proses pembelajaran untuk membina peserta didik dapat dilakukan mulai dari membuka pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, evaluasi, dan menutup pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Chaer. 2007. Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta Anton, M. Moeliono,. 2000. ―Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam era globalisasi” (Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan (Ed.). Jakarta: Pusat Bahasa Arif Rohman. (2009). Politik ideologi pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Asep Ahmad Hidayat. 2009. Filsafat bahasa. Bandung: Rosda Brown, H. Douglas. 2007. Prinsiples of language learning ang teaching. United States of America: Pearson Chaedar Alwasilah. 2007. Filsafat bahasa dan pendidikan. Bandung: Rosda Darwin Une. 2010. ―Perkembangan nasionalisme di Indonesia dalam perspektif sejarah‖ dalam Journal Inovasi, volume 7 nomor 1, 2010. Bandung:IMPAG. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Empat. Jakarta: Balai Pustaka Halliday & Hasan R. 1985. Language, context, and text: aspect of language in a socialsemiotic perspective. Victoria: Deakin University Hasan Alwi. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Muhammad Hidayatullah, 2012. ―Pancasila sebagai jatidiri bangsa” dalam http://muringkay.blogspot.com/2012/10/pancasila-sebagai-jati-diri-bangsa.html. diakses tanggal 1 September 2015. Mustakim. Bahasa sebagai identitas bangsa. dalam http: //badanbahasa.kemdikbud.go.id/ lamanbahasa/artikel/1123. Di unduh tanggal 31 Desember 2014.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

51

Suparno. 1993. Dasar-dasar linguistik. Yogyakarta: Mitra Gama Widya Surya Harapa. 2009. “Jatidiri bangsa” dalam http: //lppkb.wordpress.com/2009/03/23/ pancasila-6/. Diunduh tanggal 4 September 2015. Suhartono.2001.Sejarah pergerakan nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Thomas, L. and Wareing, S. 1999. ―Language, Society and Power” (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Wright, Sue. 2004. Language policy and language planning from nationalism to globalisation. New York: Plalgrave Macmillan

52

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

NILAI-NILAI BUDAYA JAWA DALAM WULANG REH DAN WEDHATAMA SEBAGAI MATERI AJAR SASTRA Esti Ismawati1 Abstract This study aims to describe the values of Javanese culture in the book of Wulang Reh and Wedhatama and its relevance in the present life. The method used is inferential descriptive that means to describe the values that exist in the book of Wulang Reh and Wedhatama containing piwulang, identified, and then summed. Cultural values are the values that are reflected in the form of a particular culture either physical or nonphysical cultures (idea, notion, mind), and a form of activity, it also includes the mind and intellect that are worth, strength and awareness of value, which leads to goodness. Cultural values reflected in Javanese literature are concerned with religious, ethics, and social values. Those values can be used as an adjustment to the efforts of the present world civilization and that will come by way of reviewing and contemplating so that people can have a social life, behave ethically, and always be in the spirit of religious life. From the analysis, it can be concluded that the values contained in Wulang Reh and Wedhatama are religious value, exemplary value, nobleness value, balanced, loyal, and alignment values. These values are needed as a guide and a handle in the present and future life. Keywords: Javenese cultural value, Wulang Reh, Wedhatama.

JAVANESE CULTURAL VALUES IN LITERATURE OF WULANG REH AND WEDHATAMA Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai budaya Jawa dalam kitab Wulang Reh dan Wedhatama dan relevansinya dalam kehidupan sekarang. Metode yang digunakan adalah deskriptif inferensial, artinya mendeskripsikan nilai-nilai yang ada dalam kitab Wulang Reh dan Wedhatama yang berisi piwulang, diidentifikasi, lalu disimpulkan. Nilai-nilai budaya merupakan nilai yang tercermin dalam wujud kebudayaan tertentu, bisa kebudayaan fisik, nonfisik (ide, gagasan, pikiran), dan wujud aktivitas, di dalamnya termasuk pikiran dan akal budi yang bernilai, kekuatan dan kesadaran yang bernilai, yang mengarah kepada kebaikan. Nilai budaya yang tercermin dalam sastra Jawa menurut beberapa telaah adalah nilai keagamaan (religious), nilai kesusilaan (etika), dan nilai kesosialan (sosial). Nilai-nilai tersebut dapat digunakan sebagai upaya penyesuaian diri dengan peradaban dunia masa kini dan yang akan datang dengan cara menelaah dan membelajarkan sehingga manusia dapat memiliki jiwa sosial, bersikap etis, dan selalu dilandasi semangat religious dalam menjalani kehidupan. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam Wulang Reh dan Wedhatama adalah nilai religius, nilai keteladanan, nilai keluhuran, nilai keseimbangan, nilai kesetiaan, dan nilai keselarasan. Nilai-nilai tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan sekarang dan mendatang. Kata kunci: nilai-nilai budaya Jawa, Wulang Reh, Wedhatama

PENDAHULUAN Sastra Jawa dikenal sangat banyak jumlah dan macamnya. Berdasarkan isinya, Suwondo (1994) mengklasifikasikan ke dalam enam kelompok, yakni teks piwulang, teks 1

Esti Ismawati adalah dosen PBSI Unwidha Klaten. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

53

suluk, teks jangka, teks babad, teks roman, dan teks pewayangan. Teks piwulang adalah karya sastra Jawa yang berisi ajaran utama; teks suluk adalah karya sastra Jawa yang berisi ajaran sufi; teks jangka adalah karya sastra Jawa yang berisi ramalan; teks babad adalah karya sastra Jawa yang berisi cerita sejarah atau cerita yang sudah terjadi; teks roman adalah karya sastra Jawa yang berisi cerita kehidupan manusia; dan teks pewayangan adalah karya sastra Jawa yang berisi cerita wayang. Penelitian ini akan membahas dua teks piwulang yang amat terkenal dan akrab dengan masyarakat Jawa, yakni Wulang Reh dan Wedhatama. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan yang ada saat ini bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba melainkan sesuatu yang berakar pada kebudayaan yang ada di masa lalu. Dalam periodisasi sastra dikenal sastra lama, sastra pertengahan, dan sastra modern atau sastra sekarang. Di dalam sastra sekarang jika ditelaah secara mendalam akan dijumpai nilainilai yang sebenarnya sudah tumbuh subur di masa lalu. Nilai-nilai budaya itu ada yang positif (baik) dan ada yang negatif (buruk). Nilai-nilai yang positif secara terus-menerus diwariskan oleh nenek moyang kita hingga sekarang sehingga tidak mengherankan jika nilainilai tersebut masih terus hidup dan mengilhami para sastrawan kita. Nilai-nilai yang positif antara lain nilai religius, nilai etika, dan nilai sosial. Nilai religius adalah nilai-nilai yang ada hubungannya dengan ketuhanan. Religius berasal dari kata religi yang berarti sikap khidmat dalam pemujaan, sikap yang ada hubungannya dengan hal yang suci dan supranatural, yang dengan sendirinya menuntut hormat dan khidmad (Shadily, 1984). Peter Salim dalam Suwondo (1994) menyatakan bahwa religius adalah taat pada agama, berkenaan dengan agama. Dan Joyosantosa dalam Suwondo (1994) menyatakan bahwa religious adalah keterikatan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan. Termasuk nilai religious (Suwondo, 1994) antara lain: keimantauhidan, keteringatan manusia terhadap Tuhan, ketaatan manusia terhadap firman Tuhan. Nilai etika adalah nilai-nilai yang ada hubungannya dengan penilaian baik buruk. Etika menurut Suseno (1996) adalah keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya: bagaimana harus membawa diri, sikap-sikap dan tindakantindakan yang harus dikembangkan, agar hidup manusia berhasil di mata Tuhan dan masyarakat. Secara spesifik dikenal istilah etika Jawa, yakni yang pertama, dalam setiap situasi hendaknya manusia Jawa bersikap sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Ini disebut prinsip kerukunan. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu. Dan yang kedua, dalam cara berbicara serta membawakan diri hendaknya manusia Jawa selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya, ini disebut prinsip hormat. Pudjawijatna (1990) menyatakan bahwa etika adalah ukuran baik buruk bagi tingkah laku manusia. Jika dihubungkan dengan nilai religius, baik itu artinya sesuai dengan kehendak Tuhan, buruk itu artinya tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Manusia dinilai oleh manusia lain dari tindakannya. Termasuk nilai etika antara lain: kesahajaan, menerima kenyataan, keseimbangan mental, sembada (Patih Suwanda, Kumbakarna, Adipati Karna).

54

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Nilai sosial berhubungan dengan kehidupan bersama pada manusia sebagai anggota masyarakat. Sosial dari kata socio artinya menjadikan teman, suatu petunjuk ke arah kehidupan bersama dalam masyarakat. Termasuk nilai sosial di antaranya bekti (berbakti), rukun, musyawarah, gotong royong, tidak melanggar tata tertib, bijaksana. Manusia di samping makhluk individu, adalah makhluk sosial. Sedangkan nilai-nilai yang negatif, dibuang jauh setelah dirasakan dampaknya secara empirik. Nilai-nilai negatif yang dimaksud di sini misalnya mangan ora mangan sing penting kumpul, banyak anak banyak rejeki, perempuan sebagai konco wingking, dan sejenisnya. Beberapa tindakan yang bernilai negatif misalnya adigang adigung adiguna, menyombongkan kepandaian dan kekuatan, ewuh aya ing pambudi, ragu-ragu dalam bertindak, kandhane ora kaprah, bicaranya tidak jelas arahnya, ngumbar hawa nepsu, mengumbar hawa nafsu, dan sebagainya. Bangsa Indonesia lebih condong masuk ke dalam bangsa yang beradat ketimuran, yang cenderung mengutamakan rasa ala Timur daripada budaya ala Barat, oleh karena itu sudah selayaknyalah jika kita mempelajari secara lebih mendalam harta warisan nenek moyang kita yang berupa nilai-nilai budaya yang terdapat dalam berbagai kitab lama (sastra Jawa Klasik) yang berisi nilai-nilai luhur yang berupa pemikiran dan refleksi para pendahulu kita mengenai kehidupan ini, khususnya yang ada di dalam teks Wulang Reh dan Wedhatama. Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam teks Wulang Reh dan Wedhatama?; bagaimana bentuk atau wujud pemikiran-pemikiran dan refleksi para sesepuh (pendahulu) kita yang tercermin dalam nilai-nilai budaya Jawa yang tertulis dalam kitab Wulang Reh dan Wedhatama? METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif inferensial. Data diambil dari kitab Wulang Reh dan Wedhatama. Data dialihbahasakan terlebih dahulu, dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diidentifikasi kandungan nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya lalu ditafsirkan maknanya. Kitab Wulang Reh atau sering disebut Serat Wulang Reh atau Wulang Reh saja adalah karya Paku Buwana IV. Wulang Reh digubah dalam tembang Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Dudukwuluh (Megatruh), Durma, Wirangrong, Pucung, Mijil, Asmaradana, Sinom, dan Girisa (Suwondo, 1994). Selesai ditulis hari Ahad Kliwon, tanggal 19 Besar, Tahun Dal, 1735. Sedangkan kitab Wedhatama adalah karya Mangkunagara IV yang diterbitkan tahun 1927. Wedhatama digubah dalam bentuk tembang Pangkur, Sinom, Pucung, dan Gambuh. Wulang Reh dan Wedhatama termasuk karya piwulang, karya yang berisi ajaran utama. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Kitab Wulang Reh Wulang Reh berisi ajaran tentang kawaskithan, kearifan, kesempurnaan hidup. Kawaskithan dari kata waskitha, artinya awas, bisa weruh marang prakara sing sinamar utawa sing ana batining wong, (Sudaryanto, 2001), yang dalam bahasa Indonesia artinya bisa melihat masalah yang tersamar atau apa yang ada di dalam batin orang. Untuk sampai pada PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

55

tataran kesempurnaan atau kawaskithan itu perlu diupayakan secara sungguh-sungguh. Ini tercermin dalam salah satu piwulang yang ada di dalamnya, “Rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripan”. (Wulang Reh, h.65) artinya rasa sejati, hakikat rasa itu, harus dicari agar mencapai kesempurnaan, dalam kehidupanmu. Wulang Reh juga berisi ajaran tentang kepekaan terhadap sasmita. Sasmita adalah ngalamat utawa pratanda, pertanda atau perlambang tentang sesuatu yang akan atau belum terjadi, tentang pertanda di balik sesuatu yang telah terjadi. Wulang Reh juga berisi ajaran tentang nilai-nilai kejujuran dan kesabaran, tentang rasa hormat, tentang keutamaan. Apabila orang ingin menjadi waskitha, arif, sempurna, disarankan untuk mencari guru yang bertabiat baik, tahu tentang hukum, tekun beribadah, guru yang sudah menguasaai isi Quran, karena di dalam Quran berisi ilmu sejati, ilmu kasunyatan, sebagaimana tampak pada uraian di bawah. Beberpa ajaran atau piwulang di dalam Wulang Reh dapat dipaparkan sebagai berikut : 1) Piwulang tentang kawaskithan dan anjuran untuk mengerti isi Quran. Data (1) “Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging pilih ingkang uningana, anyaba lawan tuduhe, nora kena denawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak katalanjukan, temah sasar susur, yen sira ayun waskitha, sampurnane ing badanira puniki, sira anggegurua”. (Wulang Reh, halaman 65). (Dalam Quran tempat rasa sejati, tetapi pilihlah orang yang tahu, kenal dengan petunjuknya, tidak boleh diawur, di akhir tak dapat bertemu, malahan kebablasan, akhirnya tersesat, bila anda ingin jadi waskitha, sempurnanya jati dirimu, maka bergurulah). Artinya orang ingin mencapai kesempurnaan hidup, maka ia harus belajar (berguru) kepada orang yang tahu ilmu Quran). Pada bait di atas ditemukan adanya ajaran bahwa jika seseorang ingin waskitha atau sempurna, maka ia harus memahami isi Quran karena di dalam Quran terdapat petunjuk, dan seyogyanya berguru kepada yang tahu karena jika berguru kepada yang tidak tahu malah tersesat, tidak dapat bertemu dengan tujuan akhir dan bahkan dapat kebablasan. Pada kutipan di atas terdapat nilai religious, yakni nilai-nilai yang berhubungan dengan sikap keagamaan. Disebutnya kitab suci Al Quran dalam kutipan di atas menegaskan bahwa ukuran kesempurnaan hidup manusia itu lebih jelas dengan kriteria nilai-nilai dalam Quran.

56

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Penegasan di atas diulang lagi pada bait di bawah ini. Di sini pesan tentang nilai yang ingin disampaikan itu jauh lebih jelas, yakni jika ingin berguru, maka Anda harus memilih guru yang baik, yang bermartabat, yang tahu hukum, syukur yang pertapa. Data (2) di bawah ini menegaskan adanya nilai keteladanan dan keluhuran: “Lamun sira anggeguru kaki, amiliha manungsa sanyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang ngirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkur, tan mikir pawewehing liyan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana”. (Wulang Reh halaman 65). (Tapi bila kamu berguru, pilihlah orang yang berilmu tinggi, yang baik martabatnya, dan tahu tentang hukum, yang beribadah dengan hati suci, syukur jika dapat pertapa, yang sudah taat betul, tak berpikir pemberian orang, itu pantaslah engkau berguru, serta mengertilah). Artinya, dalam berguru itu bukan kepada sembarang guru melainkan guru yang mengerti hukum dan memiliki martabat. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar manusia itu layak menjadi guru, yang digugu dan ditiru yakni berilmu tinggi, bermartabat, tahu hukum, yang taat beribadah, yang suka menjalani hidup prihatin (kang ngirangi), dan lebih baik lagi seorang pertapa yang sudah membelakangi (amungkur) kehidupan dunia. Di sini tampak bahwa nilai-nilai keteladanan dan keluhuran sangat dipentingkan bagi seorang yang akan menjadi guru. Tanpa keteladanan sebagaimana disebut di atas, seseorang tidak pantas digugu dan ditiru. Nilai-nilai religius, keteladanan, dan keluhuran yang dipaparkan di atas, di samping diambil dari Quran juga terdapat dalam hadis nabi, sebagaimana tampak dalam pembahasan di bawah ini (data 3): 2) Piwulang tentang baik-buruk dan benar-salah sebagai pegangan hidup dalam hadis “pada sira estokna, parentahira Hyang Widdhi, kang dhawuh mring nabiyullah, ing dalil kadis enggone, aja ana ingkang sembrono, rasakno denkarasa, PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

57

dalil kadis rasanipun, dadi padhang ing tyasira”. (Wulang Reh, halaman 84). (Kerjakanlah, segala perintah Ilahi, yang mengutus nabi Allah, di dalam hadis tempatnya, jangan ada yang sembrono, rasakan hingga terasa, dalil hadis dan isinya, jadi jernih pikiranmu). Artinya, setelah mempelajari Quran maka dilanjutkan mempelajari hadis sehingga pikiran jadi jernih. Dari data (3) di atas dijelaskan bahwa untuk mengerjakan perintah Tuhan mengenai perilaku kehidupan, manusia dapat menelaan dalam hadis karena hadis berisi perilaku nabi yang konkrit dalam seluruh aspek kehidupan. Hadis adalah Quran berjalan, artinya nilai-nilai yang manungkin masih terlalu sulit dipahami dalam Quran dapat ditemukan konkritisasinya dalam hadis yang memang berisi seluruh suri teladan kehidupan manusia yakni dari pribadi nabi. Di dalam hadis terdapat dalil-dalil yang jika dirasakan dan diamalkan akan membuat pikiran manusia menjadi jernih, lurus. Seluruh etika kehidupan yang ideal terdapat di dalam hadis. Nilai-nilai selanjutnya adalah nilai keselarasan, keseimbangan, dan kerendah-hatian sebagaimana tampak dalam kutipan di bawah ini : di sini manusia ada yang mengatur, yakni Tuhan. Manusia tidak perlu ragu karena ada yang misesa ing alam kabir, ada yang mengatur di alam dunia. Piwulang tentang kepasrahan kepada Yang Maha Kuasa, ingat akan Tuhan (nilai religius) dan kerendah-hatian ini tercermin dalam kutipan berikut (data 4): “Ing pangawruh lair batin, aja mamang, yen sira wus udani, ing sariranira, yen ana kang amurba, misesa ing alam kabir, dadi sabarang, pakaryanira ugi”. (Wulang Reh, halaman 75). (Dalam ilmu lahir batin, jangan ragu, bila engkau sudah tahu, dalam pribadimu, bila ada yang mengatur, berkuasa di alam kabir, jadi segala, perlakuanmu juga). Artinya ada yang mengatur kehidupan ini (yakni Tuhan) maka hendaklah orang tidak ragu akan segala perilakunya.

Dari data (4) dapat diketahui bahwa penulis kitab Wulang Reh ini yakin bahwa kehidupan ini ada yang mengatur, oleh karena itu manusia tidak perlu ragu menjalaninya. Jika manusia berpegang pada aturan yang nyata (yakni Quran dan hadis di atas) niscaya kehidupan ini akan menemukan keselarasan dan keseimbangan karena di dalam Quran dan hadis termuat pola hidup yang ideal. Yang muda menghormati yang tua, yang tua memberikan kasih sayang kepada yang muda. Tidak perlu ada yang merasa lebih dari yang lain. Bila ada yang merasa lebih dari yang lain akan terjadi ketidakseimbangan dan itu akan mengubah kodrat Tuhan. Perhatikan kutipan di bawah ini (data 5) : “Kang tinitah dadi anom, aja masgul, batin rumangsaa, yen wis titahing Hyang Widhi, yen masgula ngowahi, kodrating suksma”. (Wulang Reh, halaman 80).

58

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

(yang dititahkan jadi anak muda, jangan masgul, batin merasalah, bila sudah dititahkan Ilahi, bila masgul, mengubah kodratnya Tuhan). Artinya, anak muda hendaklah selalu mengasah batin, jangan masgul. Dalam Wulang Reh, realisasi bekti kepada Tuhan itu dapat dilakukan dengan sembah atau bekti kepada kedua orang tua, kedua mertua, saudara tua, guru, dan sesembahan (Tuhan atau raja), sebagaimana tampak dalam kutipan berikut ini (data 6) : “Poma kaki padha dipun eling, lan densami mantep maring becik, lan ta wekas ingong, aja kurang iya panrimane, yen wus tinitah maring Hyang Widhi, ing badan puniki, wus papancenipun. Nuli narima terusing batin, tan mengeng ing katong, tan rumangsa ing kanikmatane, sihing Gusti tekeng anak rabi, wong narima becik, kang mengkono iku”. (Wulang Reh, halaman 81). (Hendaklah kalian selalu ingat, dan mantap pada kebaikan, dan pesan saya, jangan kurang berterima kasih, bahwa telah dititahkan Tuhan, pada diri kita ini, sudah semestinya. Kemudian pasrahlah hingga batin, tak menentang raja, tak merasa kenikmatannya, pemberian Tuhan hingga anak nikah, orang menerima baik yang demikian itu). Artinya, orang harus senantiasa bersyukur kepada Tuhan bahwa ia telah diberi kehidupan, lalu bertawakal kepada Allah. Ajaran di atas mengingatkan kepada manusia bahwa hendaknya kita harus selalu bersyukur kepada Tuhan atas segala titah-Nya. Rasa syukur itu harus diwujudkan dengan senantiasa berbuat baik, tidak menentang perintah Raja, selalu mengingat nikmat Tuhan yang telah diterima hingga dapat membesarkan anak sampai anak mandiri (menikah). Bahwa hidup kita penuh kenikmatan itu dari orang tua kita, karena itu wajib kita menghormatinya. Data (7) : “uripira pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing batin saking Hyang Widhi, mulane wajib disembah, PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

59

pan kinarsaaken ing Hyang kang linuwih, kinarya lantaran, ana ing donya puniki, weruh ing becik lan ala” (Wulang Reh, halaman 72). (Hidupmu pintar dalam segala hal, dari ibu bapak, hakikatnya berasal dari Tuhan, maka wajib disembah, karena kehendak Tuhan Yang Maha Sempurna, sebagai sarana, berada di dunia ini, tahu yang baik dan buruk). Artinya orang wajib menyembah Tuhan dan menghormati ibu bapa karena merekalah perantara kita lahir ke dunia. Dalam budaya Jawa, hormat kepada orang tua itu tidak hanya ketika mereka masih hidup, bahkan ketika mereka sudah meninggalpun kita wajib menghormatinya, dengan cara merawat kuburnya, selalu berziarah minimal setahun sekali di bulan Ruwah. Ini harus dilakukan karena orang tualah perantara kita hadir di dunia. Data (8) :

“kaping lima dununge sembah puniki, mring Gusti kang murba, ing pati kalawan urip, murah sandhang kalawan pangan, wong neng donya wajib manuta ing Gusti, lawan dipun awas, sapratingkah dipun esthi, aja dupeh wus awirya” (Wulang Reh halaman 73). (yang kelima letaknya penghormatan ini, kepada Tuhan yang Maha Kuasa, dalam mati serta hidup, murah sandang serta pangan, orang di dunia wajib menurut, pada Tuhan, serta waspadalah, semua perbuatan ditekuni, jangan sombong karena kaya). Artinya bahwa semua perbuatan manusia di dunia itu harus dilandasi keyakinan bahwa suatu saat akan diminta pertanggungjawabannya oleh Tuhan sehingga diupayakan jangan sombong jika sudah berkecukupan. Setelah menghormati orang tua, manusia juga harus menyembah Tuhan Yang Maha Mencipta. Tuhanlah yang menciptakan mati dan hidup itu, lengkap dengan sandang dan pangan yang melimpah di dunia. Semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya, itu yang harus diyakini sehingga manusia semestinya tidak mungkin berlaku sombong, karena ia pasti akan mati dan pasti tidak dapat mengubur dirinya sendiri

60

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

melainkan minta bantuan orang lain. ajaran ini yang selalu diulang dalam berbagai bait yang ada di Wulang Reh ini.

2.

Kitab Wedhatama

Wedhatama adalah karya Mangkunagara IV yang diterbitkan tahun 1927. Wedhatama digubah dalam bentuk tembang Pangkur, Sinom, Pucung, dan Gambuh. Wedhatama termasuk karya piwulang, karya yang berisi ajaran utama. Dalam Wedhatama terdapat ajaran tentang etika dan etiket, misalnya orang harus berjiwa bersih, banyak tenggang rasa, suka memaafkan orang, hormat pada yang tua, pandai menyesuaikan diri. Adapun isi ajaran Wedhatama adalah sebagai berikut : 1) Ajaran tentang pentingnya ngelmu luhur dalam kehidupan Data (9) : “Mingkar-mingkuring angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba-sinukarta, mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, kang tumrap neng tanah Jawa, agama ageming aji”. (Wedhatama halaman 5). Terhadap bait di atas, R Soejonoredjo mengatakan bahwa: “Awit dening sengsem paring piwulang dateng para putra, ingkang nganggit serat Wedhatama karsa mengkeraken angkara murka. Panganggitipun mawi kasekaraken, murih saged menarik sengsemipun ingkang maos. Serat Wedhatama punika isi piwulang lahir batos. Pamujinipun ingkang nganggit: paringipun piwulang ingkang sampun rinengga tuwin tinata punika sageda tumanem ing manah sarta angrembaka. Wulang kawruh ingkang luhur punika wonten dayanipun. Piwulang punika laras kaliyan dasaripun tiyang Jawi. Manawi kaudi, saestu nenuntun dhateng watak Kapangeranan”. (R. Soejonoredjo, 1937: 5). Karena senang memberi pelajaran kepada putra-putranya, penulis Wedhatama mau meninggalkan angkara murka. Menulisnya dengan tembang, agar dapat menarik minat yang membaca. Wedhatama ini berisi pelajaran lahir batin. Harapan sang penulis: pemberian pelajaran yang sudah ditata dan dipersiapkan ini bisa tertanam dalam hati serta berakar kuat. Mengajar ilmu luhur itu ada powernya. Pelajaran ini selaras dengan dasar hidupnya orang Jawa. Jika dipelajari, sungguh akan menuntun ke watak ksatria. Dari bait di atas dapat dimengerti bahwa sang penulis kitab (Mangkunagara IV) sangat memperhatikan tujuan dan makna tulisan yang akan diberikan kepada (mula-mula) puteranya. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

61

Ia menggunakan bentuk tembang, artinya digubah dalam bahasa sastra yang indah. Ia (bahkan) sampai bersedia mengekang hawa nafsu, meninggalkan segala tindak angkara murka. Untuk mencapai watak ksatria, harus mau belajar ilmu yang tinggi (ngelmu luhur). Dan ajaran tersebut tertuang dalam kitab Wedhatama. 2) Ajaran tentang pentingnya rasa Data (9) : “Jinejer neng Wedhatama, Mrih tan kemba pakembenganing pambudi, Mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, Yekti sepi asepa lir sepah samun, Samangsa ing pasamuan, Gonyak-ganyuk nglelingsemi.” (Wedhatama halaman 6). R. Soejonoredjo menyatakan bahwa: “Piwulang punika kapacak ing serat Wedhatama. Perlunipun supados tlatos (boten kemba) pangudinipun, mandar sageda ngregem ing raosipun. Ngagesang sanajan sampun sepuh raganipun, menawi dereng saged ngraosaken ing Raos Kasukman, kaupamekaken taksih suwung, jer isinipun naming angen-angen kaliyan hawa nafsu. Manawi kaleres kekempalan sarta lajeng angginem kabatosan, ngatawisi menawi sayektosipun taksih suwung. Kadosta: wor suhipun, laguning suwantenipun, polatanipun, tandang-tandukipun, lsp.amracihnani bilih sayektosipun dereng ngraosaken dateng Raos Kasukman, dados taksih wonten ing pamikir lan pangraos” (R. Soejonoredjo, 1937: 6). (Ajaran berikut ini tertulis di dalam kitab Wedhatama, agar kalian tidak kekurangan akal budi. Sebenarnya bila orang telah tua renta, tak berguna bila ia tidak punya perasaan/kepekaan, karena ia bagaikan ampas atau sampah yang tiada berguna lagi. Apalagi bila di dalam pertemuan sering bertindak keliru dan memalukan). Pada bait di atas dinyatakan bahwa meskipun manusia itu sudah tua renta, bila ia tidak memiliki kepekaan batin maka sebenarnya ia tidak memiliki kegunaan apa pun. Ia diibaratkan seperti sampah atau ampas, bahkan jika di dalam forum-forum terhormat ia sering bertindak yang salah dan memalukan. Oleh karena itu, manusia harus selalu mengasah ketajaman pikiran atau batinnya agar mendapatkan kepekaan, baik terhadap sasmita alam maupun sasmita yang diberikan oleh manusia lain, misalnya mimic, gesture, suara atau kalimat yang diucapkan. Dengan begitu manusia akan mampu menjaga keseimbangan rasa dalam hidup. Bagi orang Jawa, rasa merupakan pertimbangan terpenting sebelum melangkahkan kaki untuk bertindak. Orang Jawa tidak akan melakukan sesuatu tindakan jika tindakan itu

62

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

tidak enak (tidak tepat) di dalam rasa, contoh: mau membeli barang, mau menikah, mau meminta, bahkan mau berkata pun tidak akan terjadi jika tidak enak di-rasa. 3) Ajaran tentang Keteladanan Dalam kitab Wedhatama juga dipaparkan tentang keteladanan, sebagaimana tampak pada larik berikut ini (data 10) : “Nuladha laku utama, tumrap ing wong tanah Jawi, wong agung ing Ngeksi ganda, Panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nafsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amemangun karyenak tyasing sasama” (Wedhatama, halaman 23). “Tumrapipun bangsa kita Jawi, ingkang sayogi katuladha inggih bangsa leluhur Jawi, kados ta Kanjeng Panembahan Senapati ing Metaram. Ingkang prelu kairib-irib inggih punika anggenipun nyirep ubaling hawa nafsu. Awit Kanjeng Panembahan Senapati wau sanget anggenipun marsudi sudaning hawa nafsu. Panjenenganipun tansah ngencengaken tapa brata kanthi amesu budi. Siang dalu tansah enget pamarsudinipun. Kajawi ngegungaken tapa brata, lampahipun Kanjeng Panembahan, ingkang perlu kateladan inggih punika anggenipun karsa damel seneng dateng manahing sanes. Wiji ingkang katanem salebeting galih: namung sumedya ambangun kautamaning galihipun, murih kasinungan panggalih ambeg paramarta, ingkang lajeng nyrambahi (nulari, nuladani, andayani) dateng sadaya ingkang sami nyelaki panjenenganipun. Kajawi saking ngegungaken paramarta, ing kalamangsa asring nyepenaken kamelikanipun dateng kadonyan, nunten olah puja semedi ingkang ancasipun anjumbuhaken karsa. Karsanipun Kanjeng Gusti wau karuntutaken (kalaras) kaliyan Iradating Pangeran, sarana tajem jenjem nuju dateng Kaenengan (neng). Mboten kersa dhahar eca utawi sare sekeca (R. Soejonoredjo, 1937: 24). (Bagi kita orang Jawa, yang harus diteladani adalah para leluhur Jawa, seperti Kanjeng Panembahan Senapati di Mataram. Yang perlu ditiru yaitu cara dia menepis hawa nafsu. Kanjeng Panembahan Senapati sangat berusaha mengurangi hawa nafsu. Beliau selalu mengencangkan bertapa dengan berlatih keras (mesu budi). Siang malam selalu ingat upayanya. Kecuali mengutamakan bertapa, perilaku Kanjeng Panembahan yang perlu diteladani adalah upayanya membuat senang hati orang lain. Biji yang ditanam dalam batin: hanya ingin membangun keutamaan pemikiran, agar mendapatkan pikiran yang ambeg paramarta, yang terus merambah bagi semua yang mendekatinya. Kecuali mengagungkan paramarta, di saat-saat tertentu sering menghindari pamrih keduniaan, lalu bersemadi yang PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

63

tujuannya menumbuhkan karsa. Karsa Kanjeng Gusti Panembahan tadi selaras dengan iradat Allah, sarana menuju ketenangan. Tidak mau makan enak, tidur nyenyak). Manusia tidak dapat meninggalkan kodratnya sebagai makhluk yang mempunyai nafsu. Di antara nafsu itu, yang sering membuat seseorang jatuh ke jurang kesengsaraan adalah nafsu tiga ta, yakni harta, tahta, dan wanita. Harta dapat mengantar manusia ke jeruji besi atau penjara. Tahta bisa mengantar manusia menjadi seorang pembunuh karena berebut dengan cara yang tidak semestinya, dan wanita terkadang dapat menjadi ajang penjerumusan hidup yang sengsara itu ketika wanita tadi tidak memiliki ilmu agama yang cukup. Manusia pasti memiliki nafsu dunia, tetapi yang perlu diupayakan adalah adanya keseimbangan hidup dengan laku utama, karena ada kehidupan lain yang lebih lama dan abadi, yakni kehidupan akhirat. Untuk itu manusia perlu mempersiapkan diri dengan bekal yang cukup, antara lain bekal taqwa kepada Allah swt. Tentang perlunya keseimbangan hidup ini dipaparkan juga di dalam Wedhatama berikut (data 11) : “Saben mendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngingsep sepuhing supena, mrih pana pranaweng kapti, tis-tis tyas merdusi, mardawane budya tulus, mesu reh kasudarman, neng tepining jalanidi, sruning brata kataman wahyu jatmika” (Wedhatama, halaman 23).

―Setiap pergi dari rumah, perjalanan ke tempat sepi, mempelajari hakikat sepi, agar tanggap kehendak, agar hati jadi peka, agar budi jadi halus, merenung dengan bertapa, di tepi sungai, berkat tekun bertapa didapatkan wahyu kebaikan‖. Kontemplasi dan refleksi adalah cara yang mesti dilalui agar manusia tidak terjerumus ke dalam kehidupan yang sia-sia. Kontemplasi adalah cara yang dapat ditempuh untuk mempertanyakan kembali hakikat hidup. Refleksi adalah cara untuk berani melihat apa yang telah dilakukan dan berani merombak atau mengubah jika ternyata jalan hidup yang ditempuh itu keliru. Dalam ungkapan Jawa dikatakan mulat sarira hangrasa wani, artinya berani merefleksi diri sendiri. Kontemplasi dan refleksi berkawan dengan sunyi, jadi apa yang tertulis pada bait di atas sangat tepat. Orang harus pergi ke tempat sunyi untuk melakukan introspeksi diri. Jika setiap saat hal itu dilakukan, niscaya kesalahan fatal dalam kehidupan tidak mungkin terjadi. Merenung, bertapa, tanggap ing sasmita, adalah tiga hal yang perlu dimiliki manusia agar sampai pada kehidupan yang sempurna.

64

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

KESIMPULAN Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam Wulang Reh dan Wedhatama adalah nilai religius, nilai keteladanan, nilai keluhuran, nilai keseimbangan, nilai kesetiaan, dan nilai keselarasan. Menjunjung tinggi etika dan etiket, rendah hati, suka menempuh laku utama, suka merenung, bertapa, dan prihatin, adalah laku yang harus dilalui untuk sampai meraih hakikat nilai-nilai dalam kehidupan yang tertuang dalam kitab Wulang reh dan Wedhatama. Nilai-nilai tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan sekarang dan mendatang. Dari hasil analisis juga dapat disimpulkan bahwa kitab Wulang Reh dan Wedhatama adalah dua karya sastra Jawa yang berisi ajaran-ajaran utama yang dapat diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan, meski kedua kitab tersebut berupa karya sastra, bukan kitab suci suatu agama. Sebagai karya sastra, kedua kitab tersebut dikemas dalam bentuk tembang agar mudah dipelajari kandungan isinya, yakni berupa piwulang atau ajaran utama. Ketika orientasi hidup sudah beralih dari ibadah ke yang lain (wama qolaktul jinna wal insa ila liya‟budun) manusia akan mudah kehilangan pegangan. Akibatnya hidup tanpa arah. Dengan mempelajari nilai-nilai dalam kitab Wulang Reh dan Wedhatama manusia akan mendapat pencerahan, tentang apa hidup itu, bagaimana hidup yang baik itu, dan ke mana tujuan hidup ini hendak diarahkan. Hal ini sangat penting karena kehidupan sekarang penuh dengan tekanan-tekanan, dari yang bersifat material sampai non material, yang membuat manusia mudah stress berat. Banyak kita saksikan mereka yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, saling membunuh, atau nekat. Itu pertanda adanya jiwa yang suwung, jiwa yang kosong. Wulang reh dan Wedhatama menyajikan bahan renungan tentang kehidupan ini. Semua tersaji dalam bentuk tembang sehingga mudah dimengerti dan dapat dilaksanakan dalam praktik kehidupan yang nyata. Berbagai ajaran dalam Wulang Reh dan Wedhatama di atas perlu diwariskan kepada generasi penerus sedini mungkin, agar dapat dijadikan salah satu pegangan dan pedoman dalam menjalani kehidupan sekarang dan yang akan datang. Berbagai ajaran dalam Wulang Reh dan Wedhatama ini belum banyak yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa (khususnya) dan Indonesia pada umumnya sehingga kehidupan yang tata titi tentrem kerta raharja yang kita impikan bersama belum dapat terwujud. Saatnya kita merefleksi kehidupan kita dengan banyak mempelajari nilai-nilai budaya Jawa dalam sastra khususnya Wulang Reh dan Wedhatama. DAFTAR RUJUKAN Darusuprapta. 1982. Serat Wulang Reh Anggitan Dalem Pakubuwana IV. Surabaya: Citra Jaya. Poedjawijatna. 1990. Etika. Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta. Shadily, Hassan (Ed). 1982. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Aksara Baru-van Hoeve. Sudaryanto, Pranowo. 2001. Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

65

Suseno, Franz Magnis. 1996. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suwondo, Tirto, Slamet Riyadi, Dhanu Priyoprabowo, Sukardi. 1994. Nilai-nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. R. Soedjonoredjo. 1937. Wedatama Winardi Katerangan werdinipoen serat Wedatama, jasan dalem KGPAA Mangkoenegara IV ing Soerakarta. Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie.

66

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

MEMBANGUN REVOLUSI MENTAL PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS Umi Sholihah Universitas Widya Dharma Klaten Abstract Recently, mental revolution has become a burning issues. The incumbent president states that mental revolution is necessary to build character of Indonesian people to overcome many problems in this country. This paper describes about a mental revolution from education‟s point of view. There are several things that have been seen as cause of education imbalance in Indonesia that led to the need for mental revolution in education; namely the students‟ achievement in school depends on the students‟ mark, the students‟ fear of the future, the teacher dominated in the learning process, and the passive students in the classroom. Some points that will discuss here are the notion of mental revolution itself, mental revolution in education, and character building in language teaching, espesially in teaching English. This paper also describes some of the character buildings which can be applied in teaching English; those are love to God; love to our nation; be able to work in group; have responsibility, politeness, awareness, and self-confidence; always be autonomous, honest, creative, and innovative. Keywords: mental revolution, character building, teaching English. Abstrak Makalah ini memaparkan tentang revolusi mental dari sudut pandang pendidikan. Di sini dibahas pengertian revolusi mental, revolusi mental di dunia pendidikan, dan pendidikan karakter dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa Inggris. Ada beberapa hal yang selama ini dipandang sebagai penyebab kepincangan pendidikan di Indonesia yang menyebabkan perlunya revolusi mental di dunia pendidikan, di antaranya adalah nilai / ijazah dianggap sebagai penentu masa depan, ketakutan akan masa depan, guru adalah seorang malaikat yang selalu benar, dan siswa pasif dalam pembelajaran di kelas. Makalah ini juga memaparkan beberapa pendidikan karakter yang dapat diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta tanah air, tanggungjawab, mandiri, jujur, kerja sama, sopan santun, kepedulian, percaya diri, kreatif, dan inovatif. Kata kunci: revolusi, mental, karakter, pembelajaran, bahasa Inggris

A.

PENDAHULUAN Pertama kali mendengar kata revolusi mental, pasti akan banyak tanda tanya dalam benak kita. Apa itu revolusi mental? Mendengar kata revolusi saja ngeri rasanya. Kata revolusi mental mengingatkan kita akan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yaitu pada saat awal kemerdekaan, kemudian berakhirnya masa orde baru, dan yang terakhir pada masa kampanye bapak Jokowi yang sekarang menjadi presiden. Mungkin kita masih penasaran apa hubungan revolusi mental dengan dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran bahasa? Sepertinya akan ada banyak perubahan besar tentang mental. Kemudian apa yang salah dengan mental yang ada sebelumnya? Mengapa harus diubah?

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

67

Untuk menjelaskan rasa penasaran tersebut, di sini saya akan mencoba untuk menjelaskan secara lebih sederhana tentang revolusi mental dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa Inggris, sehingga harapan saya tidak ada lagi rasa ngeri bagi siapa saja yang mendengar kata revolusi mental, apalagi terlalu sulit dan tinggi membahasnya. Selain itu, bagi para pendidik (guru/dosen) bahasa, tulisan saya ini semoga bisa menjadi masukan dalam pembelajaran bahasa kepada peserta didiknya. B.

REVOLUSI MENTAL Untuk menjelaskan arti revolusi mental, kita harus tahu terlebih dahulu arti dari masing-masing kata tersebut. Ada dua kata yang membutuhkan penjelasan, yaitu revolusi dan mental. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, revolusi adalah perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang, sedangkan mental adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan dan tenaga. Revolusi mental menyangkut keadaan kejiwaan, roh, spiritual, dan nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang dalam sebuah ruang lingkup kecil atau bahkan sebuah negara. Istilah revolusi mental sebenarnya bukan hal baru, istilah tersebut sudah pernah disampaikan oleh presiden Soekarno. Istilah ini kemudian dikemukakan kembali oleh presiden Jokowi pada awal kepemimpinannya. Hal ini mungkin karena beliau menganggap pembangunan negara selama ini hanya fokus pada pembangunan fisik saja, pemerintah dianggap belum berhasil dalam membangun karakter bangsa. Ada beberapa contoh yang dapat kita lihat sebagai bukti bahwa mental atau karakter masyarakat Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, diantaranya masih menjamurnya praktek KKN dan money politik; semakin banyaknya koruptor-koruptor yang hampir ada di segala bidang; banyaknya aksi kejahatan; serta lemahnya sistem pendidikan yang mungkin menjadi salah satu penyebab maraknya tawuran pelajar dan manipulasi data pendidikan bahkan ijazah. Semua masalah sosial di negara ini dianggap karena kurangnya atau lemahnya karakter masyarakat Indonesia. C.

REVOLUSI MENTAL DI DUNIA PENDIDIKAN MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER Revolusi mental yang diharapkan di sini adalah adanya perubahan pola pikir (mindset) para pendidik dan peserta didik dalam beberapa hal yang selama ini dipandang kurang tepat dan sebagai penyebab kepincangan pendidikan di Indonesia. Hal tersebut di antaranya adalah: 1. Nilai / ijazah dianggap sebagai penentu masa depan. Sistem pendidikan di Indonesia masih menganggap penting hasil akhir berupa nilai dan ijazah sebagai syarat ketercapaian suatu kesempatan, baik untuk melanjutkan pendidikan maupun untuk mendapatkan pekerjaan. Sebagai contoh, dalam syarat penerimaan siswa di sekolah masih menggunakan batas minimal nilai ijazah, sehingga para siswa yang ingin bersekolah di sekolah tertentu melakukan segala cara agar lulus dan mendapatkan nilai yang tinggi walau sebenarnya kemampuannya tidak sesuai dengan nilainya. Sebagai akibatnya ada beberapa pihak sekolah yang memudahkan memberi nilai yang baik agar dipandang sebagai sekolah yang unggul karena dapat meluluskan siswanya 100% dengan nilai yang memuaskan. Hal ini mengakibatkan

68

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

2.

3.

4.

banyaknya pihak yang melakukan segala cara untuk bisa mencapai nilai yang tinggi dalam ujian maupun untuk mendapatkan ijazah tanpa mengikuti atau memenuhi proses belajar yang semestinya. Ketakutan akan masa depan. Selama ini banyak orang tua yang mempunyai pemikiran bahwa pekerjaan yang terbaik adalah sebagai pegawai / PNS. Mereka berharap anak-anaknya setelah lulus sekolah harus menjadi seorang pegawai. Ini yang menyebabkan pemikiran seperti poin 1 tersebut. Para orang tua beranggapan bahwa keterampilan (skill) tidaklah penting dan bisa dikuasai dengan sendirinya setelah mereka bekerja. Orang tua kurang percaya bahwa pekerjaan selain menjadi pegawai bisa membuat sukses. Mereka takut dengan masa depan anak mereka nanti jika mereka tidak menjadi pegawai. Sehingga jarang dari mereka yang membekali anak-anak mereka dengan kemampuan berwiraswasta. Hal tersebut akan mengakibatkan munculnya ketakutan baik oleh orang tua maupun anak itu sendiri jika setelah menyelesaikan pendidikannya mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang dicita–citakan. Guru adalah seorang malaikat yang selalu benar. Guru yang profesional adalah guru yang senantiasa melakukan refleksi atas apa yang telah direncanakan dan dilakukannya serta mengambil tindakan yang tepat berdasarkan hasil refleksi itu. Namun demikian kenyataan di lapangan menunjukkan lain. Dalam kaitan ini, Cochran-Smith dan Lytle (dalam Johnson, 1992: 212) mengatakan bahwa: What is missing from the knowledge base for teaching ... are the voices of the teachers themselves, the questions teachers ask, the ways teachers use writing and intentional talk in their work lives, and the interpretive frames teachers use to understand and improve their own classroom practices. Sampai saat ini dalam kegiatan belajar mengajar, masih banyak dijumpai siswa yang hanya diminta untuk menerima ilmu dan penjelasan dari guru. Sehingga siswa tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat bahkan untuk menyanggah perkataan gurunya yang dianggapnya kurang tepat dalam mengajarkan sesuatu. Bahkan ada beberapa guru yang merasa gengsi untuk mengakui kesalahan dan menerima pendapat siswanya karena merasa takut jika itu dapat menurunkan wibawanya. Siswa takut jika melawan dia akan mendapatkan nilai yang jelek, karena nilai adalah tujuan utama mereka. Hal ini mengakibatkan siswa tidak mempunyai kesempatan dan keberanian untuk mengemukakan pendapat dan bereksplorasi dengan ilmu yang diterimanya. Siswa pasif dalam pembelajaran di kelas. Seperti yang telah disampaikan pada poin nomor 3 bahwa selama ini kegiatan belajar mengajar siswa hanya sebagai penerima ilmu yang pasif. Padahal sebenarnya mengajar merupakan upaya yang dilakukan oleh guru agar siswa belajar. Dalam pengajaran, siswalah yang menjadi subjek, dialah pelaku kegiatan belajar. Agar siswa berperan sebagai pelaku, maka guru hendaklah merencanakan pengajaran yang menuntut siswa banyak melakukan aktifitas belajar. Hal ini tidak berarti siswa PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

69

dibebani banyak tugas. Tetapi siswa didorong untuk mengemukakan pendapat, memberikan ide, dan menghasilkan suatu produk tertentu. Walaupun banyak teori yang telah dipelajari dan dipahami oleh para guru, tetapi kenyataan dilapangan masih banyak guru yang mendominasi kegiatan pembelajaran dan enggan untuk memberikan kesempatan siswa lebih aktif dikelas dengan asumsi bahwa memberi banyak kegiatan yang membuat siswa aktif akan membuang banyak waktu sementara tuntutan materi yang harus diselesaikan masih banyak. Hal pertama dalam revolusi mental di dunia pendidikan yaitu dengan mengubah mindset yang telah membudaya di masyarakat kita. Hal-hal yang perlu diperbaiki dalam pola berpikir seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan revolusi mental di dunia pendidikan di antaranya adalah: 1. Mengutamakan proses dalam pembelajaran. Ini maksudnya adalah mengembalikan hakikat dari pendidikan itu sendiri, yaitu untuk mendapatkan ilmu yang berguna tidak sekadar nilai dan ijazah yang bisa dibuat. Jadi semua pihak, mulai dari pemerintah sampai masyarakat atau peserta didik itu sendiri harus berfikiran dan mendukung bahwa proses belajar sangatlah penting, mereka harus percaya bahwa ilmu yang mereka dapatkan di sekolah akan berguna untuk masa depan mereka nantinya. Jika mereka mendapatkan ijazah dan nilai yang baik itu hanya sebagai bonus dari kerja keras mereka dalam menuntut ilmu. Tetapi tentu saja hal ini juga harus didukung dengan peraturan dari pemerintah yang jangan memberikan syarat kelulusan atau mendapatkan pendidikan atau pekerjaan dari nilai ijazah. Mungkin lebih baik dalam proses penerimaan siswa dan pekerjaan dilakukan dengan tes sehingga kemampuan sesungguhnya akan muncul. Dengan begitu mereka tidak akan berfikiran lagi bahwa nilai / ijazah dianggap sebagai penentu masa depan. 2. Membekali anak-anak kita dengan keterampilan. Para orang tua dan pendidik di sekolah harus membekali anak-anaknya dengan keterampilan sesuai dengan bakat dan minat anak tersebut. Perlu juga ditanamkan pemikiran bahwa pekerjaan apapun itu jika kita bersungguh-sungguh melakukannya bisa menjadi sukses. Hal ini akan membuat anak-anak kita untuk semangat berkreasi membuka peluang kerja baru, sehingga tidak hanya melamar, menunggu, dan frustasi jika belum mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya. Kita para pendidik dan orang tua harus menyiapkan mental generasi kita agar lebih produktif karena di era perdagangan bebas sekarang ini persaingan dengan dari negara lain semakin ketat. Jangan sampai masyarakat kita hanya sebagai konsumen dan ―pekerja‖ dari produkproduk mereka. 3. Jadikan guru sebagai teman berdiskusi ilmu dan sekolah sebagai wadahnya. Guru merupakan ujung tombak pelaksanaan pendidikan karena gurulah yang secara langsung memimpin kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, yang menjadi inti kegiatan pendidikan. Itulah sebabnya guru dituntut memiliki kemampuan profesional yang memadai sebagai bekal untuk melaksanakan tugasnya itu (Whitehead, dalam McNiff, 1992). Guru yang profesional adalah guru yang mampu

70

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

4.

(1) merencanakan program belajar-mengajar, (2) melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar-mengajar, (3) menilai kemajuan kegiatan belajar-mengajar, dan (4) menafsirkan serta memanfaatkan hasil penelitian kemajuan belajar-mengajar dan informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajarmengajar (Soedijarto, 1993). Tidaklah mudah menjadi seorang guru yang ideal dan profesional. Berdasarkan UU No.14 tahun 2005 pasal 20, guru berkewajian untuk: a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu atau latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran, d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru serta nilai-nilai agama dan etika, e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Dibutuhkan komitmen, konsistensi dan ketahanan mental yang betul-betul menjadi motif terpenting untuk menjadi seorang guru, mengingat tugas dan kewajibannya yang luar biasa bobot kerjanya. Mendorong siswa untuk aktif di kelas. Sejalan dengan poin nomor 3 diatas, diharapkan guru dapat memilih kegiatan belajar mengajar sebanyak mungkin melibatkan siswa secara efektif baik fisik maupun mental demi peningkatan mutu hasil belajar.

Untuk membangun karakter seseorang apalagi merubah pola pikirnya tidaklah mudah. Salah satu cara yang dianggap mampu memperbaiki pola pikir dan karakter seseorang yaitu dengan memberikan pendidikan karakter. Akan sulit merubah karakter masyarakat yang sudah terlanjur terbudaya. Sebenarnya karakter merupakan bagian dari keseharian, membentuk karakter harus dimulai dari dini. Jadi yang sangat berperan dalam membangun karakter seseorang adalah keluarga. Akan tetapi kita tidak bisa melakukannya di semua keluarga tanpa kesadaran setiap anggota keluarga tersebut. Salah satu solusi yang tepat adalah memberikan pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Untuk itu pemerintah menggagas untuk menerapkan pendidikan karakter di sekolah dengan tujuan bisa membangun dan memperbaiki karakter bangsa. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa membangun karakter merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Menurut Prof. Notonagoro, perilaku manusia terkait erat dengan kodrat dan eksistensinya sebagai makhluk mono-pluralis, bahwa manusia selain merupakan makhluk individual juga makhluk sosial yang menyadari kodratnya sebagai makhluk Tuhan (Supadjar, 1995: 16). Dengan kata lain, kodrat manusia adalah menyadari hakekat kemanusiaannya.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

71

Oleh karenanya ada tiga pihak yang mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter yaitu, keluarga, sekolah, dan komunitas. Sudikan (Doyin, 2009: 3) menyatakan bahwa pembelajaran sebaik apapun tanpa memasukkan nilai kemanusiaan dengan sendirinya akan mengalami degradasi makna yang luar biasa, sebab bagaimanapun lembaga pendidikan adalah tempat penanaman bibit bagi kekuatan moral dan kehidupan generasi muda di masa mendatang. Dengan pendidikan karakter, diharapkan anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya serta berpenampilan sigap, energik dan berkarakter kuat. Pendidikan karakter yang penting ditanamkan pada anak diantaranya adalah: 1. Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; 2. Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; 3. Kejujuran; 4. Hormat dan santun; 5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama; 6. Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; 7. Keadilan dan kepemimpinan; 8. Baik dan rendah hati; 9. Toleransi, cinta damai, dan persatuan. Adanya pendidikan karakter di sekolah-sekolah telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, yang berbunyi ―Tujuan Pendidikan Nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖. Salah satu program pemerintah dalam mewujudkan pendidikan karakter adalah dengan mencanangkan kurikulum baru, yaitu kurikulum 2013 yang menekankan pada pendidikan karakter. Tema Pengembangan Kurikulum 2013 adalah kurikulum yang dapat menghasilkan insan indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Hal ini sesuai dengan Permendikbud No. 70 tahun 2013, kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. D.

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS. Belajar sesungguhnya merupakan sebuah kegiatan mental yang berlangsung dalam pikiran manusia sehingga terjadi perubahan tingkah laku, dan itu tergantung pada skemata yang telah dimiliki seseorang, bahwa pengetahuan, seperti konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan keterampilan lain itu saling bertautan dan tidak sekedar tersusun secara hierarkis (Yuwono, 2007: 22). Belajar bukan sekedar mengingat, tetapi juga mengembangkan kepekaan afektif. Berdasarkan hal tersebut, belajar bahasa adalah sebuah proses aktif, dinamis, dan

72

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

berkesinambungan, yang tidak lagi menekankan aspek pengetahuan semata, tetapi juga menekankan aspek implementasi dan manfaat. Sebuah pembelajaran yang mengedepankan pendekatan komunikatif yaitu belajar menggunakan bahasa untuk berkomunikasi (Widdowson, 1987: 48). Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan diskusif (discursive knowlegde) ke pengetahuan praktis (practical knowlegde). Artinya, membentuk karakter bukan hanya pembicaraan teori-teori etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut mempengaruhi tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran kebiasaan. Pendidikan mengajarkan keutamaan yang merupakan pengetahuan praktis. Berikut beberapa penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran bahasa, terutama bahasa Inggris: 1. Cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa Wujud cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa bisa dilakukan dengan cara mengajak siswa berdoa terlebih dahulu sebelum memulai pelajaran. Dengan berdoa, siswa diajarkan untuk berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesempatan yang diberikan sehingga dapat belajar. Banyak anak-anak usia sekolah yang tidak bisa bersekolah karena tuntutan biaya. Dengan menyadari bahwa dapat belajar merupakan salah satu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa maka peserta didik akan lebih bersungguh-sungguh dan memanfaatkan waktu belajarnya se-efektif mungkin. Mereka tidak akan bermalas-malasan, dan bersekolah tidak hanya sebagai formalitas, ―datang, duduk, diam, pulang‖. 2. Cinta tanah air Para pendidik, khususnya bahasa Inggris harus menanamkan kepada peserta didiknya tujuan dari pembelajaran bahasa Inggris. Jangan diberi pemahaman dan iming-iming bahkan membandingkan bahwa bahasa Inggris lebih bagus dari bahasa Indonesia. Para pendidik harus memberi pemahaman bahwa belajar bahasa asing, salah satunya adalah bahasa Inggris, penting bukan karena bahasa tersebut lebih baik dari bahasa kita sendiri, tetapi bahasa tersebut dapat digunakan sebagai cara kita untuk lebih tahu ilmu dan teknologi dari negara lain karena bahasa Inggis adalah bahasa internasional dan sebagian besar referensi ilmu hampir disegala bidang disajikan dalam bahasa Inggris. Sehingga ilmu yang kita dapat nantinya dapat kita gunakan untuk membangun dan memajukan negara kita. Untuk itu, dalam pembelajaran bahasa Inggris harus ditanamkan rasa cinta tanah air kepada peserta didiknya. 3. Tanggung-jawab Berikan latihan yang mendorong peserta didik untuk bertanggung-jawab. Misalnya kelas dibagi menjadi beberapa kelompok. Beri tugas masing-masing anggota kelompok untuk membawa atau membuat sesuatu yang akan digunakan untuk pembelajaran pertemuan berikutnya. Tekankan kepada mereka bahwa mereka harus melaksanakan tugas mereka masing-masing karena itu menjadi tanggung jawab mereka. Bila salah satu tidak melaksanakan tugasnya maka pembelajarannya tidak akan berhasil sempurna.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

73

4.

5.

6.

7.

8.

74

Mandiri, jujur Dalam mengerjakan tugas tertulis, ujian atau ulangan harian sampaikan kepada mereka agar mengerjakannya secara mandiri dan jujur. Jangan menyontek, meniru temannya, membuka hp, dll. Beri reward atau pujian kepada mereka jika mereka bisa melaksanakannya. Begitu juga beri sangsi kepada mereka yang curang, misalnya walau nilai bagus tapi menyontek beri nilai kurang atau nol. Sangsi bukan berarti harus dengan memarahi. Dengan memberi sangsi yang tegas maka mereka tidak akan mengulanginya lagi. Kerja sama Memberi kegiatan yang banyak menuntut siswa untuk berinteraksi dengan temantemannya. Misalnya dengan membentuk kelompok diskusi atau tugas. Dengan bekerja kelompok dan membagi tugas akan membangun kerja sama antar siswa untuk menyelesaikan tugasnya. Sopan dan santun Latih peserta didik sikap sopan dan santun dengan cara meneladaninya. Karena teladan sangat efektif daripada sekedar menasehati. Tunjukkan perilaku sopan dan santun kita sebagai pendidik sehingga mereka akan menirukan dan sungkan jika tidak bertindak atau berperilaku yang tidak sopan di depan kita. Pada awalnya mungkin mereka hanya berperilaku di depan kita saja, kemudian dilingkungan sekolah saja, lama-kelamaan mereka akan terbiasa bersikap sopan dan santun di lingkungan manapun mereka berada. Misalnya ajari mereka meminta ijin waktu masuk kelas, ijin meninggalkan kelas, ijin bertanya dan menjawab pertanyaan. Ajari mereka ungkapanungkapan berbahasa Inggris yang tepat yang dapat digunakan untuk meminta ijin. Ajari juga mereka perilaku yang sopan terhadap guru, orang yang lebih tua, dan teman-temannya. Ingatkan bahwa sikap mengejek, mengolok-olok, dan merendahkan orang lain, khususnya temannya yang berkekurangan, baik fisik, ekonomi, atau latar belakang keluarganya itu tidak baik. Kepedulian Ajari siswa untuk lebih peka dan peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Beri tugas-tugas sederhana yang dapat memupuk rasa kepedulian, misalnya minta siswa mengantar temannya yang sakit ke UKS, menjenguk temannya yang sakit usai sekolah, membuang sampah pada tempatnya, atau memberi tugas membuat prakarya dari bahan-bahan bekas sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan. Percaya diri, kreatif dan inovatif Memilih metode atau kegiatan yang dapat membuat siswa percaya diri, kreatif, dan inovatif. Contohnya memberi tugas prakarya, membuat postcard, poster, menulis surat dalam bahasa Inggris, kemudian meminta mereka untuk mempresentasikan karya mereka di depan kelas.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

E.

PENUTUP Walaupun kita percaya bahwa beberapa hal di atas adalah benar tapi masih ada saja di antara lingkungan kita bahkan kita sendiri yang mempercayainya hanya sebatas teori semata, yang dalam kenyataannya kita juga masih kembali pada pemikiran semula. Ya itulah revolusi mental, tidak akan terlihat hanya dalam beberapa hari, bulan, atau tahun. Namanya mengubah mental adalah hal yang sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama dan harus terus menerus, sehingga hasilnya akan dapat terlihat pada beberapa puluh tahun yang akan datang. Kita sebagai pendidik harus terus bersemangat berjuang dalam revolusi mental ini untuk membentuk mental yang lebih baik para peserta didik kita, sehingga nantinya setelah siswasiswa kita telah masuk di dunia kerja bahkan menjadi orang-orang penting di negeri ini mereka akan dapat mengemban amanah dan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat dan negaranya. REFERENSI Depdikbud, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Doyin, Mukh. 2009. Cara (Pengalaman) Saya Mengajarkan Sastra. Semarang: Bandungan Institute. Supadjar, Damardjati. 1995. Filsafat Manusia. Yogyakarta: Fakultas Filsafat. Widdowson, H.G. 1987. “The Teaching of English as Communication”, The Communicative Approach to Language Teaching”. Ed. C.J. Brumfit and K. Johnson. Oxford: Oxford University Press Yowono, Sudikan. 2007. Problematika Pembelajaran Apresiasi Sastra dan Solusinya. Surabaya: Lembaga Penerbit Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

75

REVOLUSI MENTAL MELALUI PITUTUR LUHUR DALAM NASKAH WAYANG KULIT PURWA LAKON BAWOR DADI RATU SEBAGAI MATERI PEMBELAJARAN BAHASA JAWA Astiana Ajeng Rahadini [email protected] Universitas Sebelas Maret Abstrak Pendidikan adalah salah satu cara untuk membangun mental generasi penerus bangsa. Di dalam pendidikan terdapat materi yang bersumber dari nilai luhur budaya bangsa yag tertuang dalam materi bahasa dan sastra. Salah satu materi yang mengandung nilai luhur yaitu wayang kulit. Di dalam pertunjukan wayang kulit terdapat pitutur luhur yang dapat djadikan pedoman oleh generasi muda dalam bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pertunjukan wayang yang dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran bahasa Jawa, yaitu pertunjukan wayang kulit lakon Bawor dadi Ratu. Pembelajaran wayang hendaknya tidak hanya berupa pengetahuan mengenai tokoh wayang tetapi juga pemahaman terhadap pitutur luhur atau pesan moral yang terdapat dalam pertunjukan wayang tersebut. Kata kunci: pitutur luhur, wayang kulit, Bawor dadi Ratu, materi pembelajaran, revolusi mental

Abstract Education is one of the ways to develop the nation next generation. In education there is a teaching material that is taken from the culture values of the nation which is summarized in language and literature material. One of the puppet performance which can be used as Javanese teaching material is puppet show entitled “Bawor dadi Ratu” because this story is full of good values. It is expected that puppet education is not merely about the konwoledge of puppets character but also the understanding about the values of moral message implied in the puppet show itself. Keyword:

pitutur luhur, puppet shadow, Bawor dadi ratu, learning materials, mentals revolution

A.

PENDAHULUAN Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan adalah kurikulum (Mulyasa, 2011:4). Kurikulum menjadi suatu bentuk pedoman formal legal yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai acuan bagi guru dalam menyelenggarakan pembelajaran. Materi pembelajaran yang tertuang dalam kurikulum dirumuskan bukan tanpa analisis, pertimbangan, dan tujuan. Kurikulum dikembangkan beradasarkan analisis kebutuhan masyarakat dalam menghadapi situasi dan kondisi. Kondisi ideal yang belum tercapai menjadi pertimbangan dalam menyusun materi pembelajaran. Kurikulum yang berlaku di Indonesia saat ini, yaitu Kurikulum 2013 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penyusunan kedua kurikulum ini disesuaikan dengan kondisi kondisi kemajuan bangsa yang sedang menghadapi tantangan eksternal berupa globalisasi dan perdagangan bebas serta tantangan internal berupa kondisi nasional yang tidak stabil, tindak KKN (Korupsi, kolusi, Nepotisme) meningkat, dan karakter masyarakat yang

76

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

semakin jauh dari nasionalisme serta persatuan dan kesatuan. Era globalisasi bukan saja suatu era yang berbasis teknologi informasi tetapi juga berbasis transparansi (Mulyasa, 2011: 19). Sementara itu tantangan internal juga merupakan suatu kondisi yang pelik karena masyarakat Indonesia berhadapan dengan dirinya sendiri. Yang artinya, masyarakat harus melakukan introspeksi diri agar dapat melihat kekurangan yang ada pada diri sendiri. Untuk menghadapi tantangan baik eksternal maupun internal, pemerintah menyelengarakan suatu pergerakan nasional berupa revolusi mental yang digalakkan di semua bidang, termasuk bidang pendidikan. Bidang pendidikan adalah wadah utama dalam membentuk generasi penerus. Selain kemampuan kognitif dan kemampuan psikomotorik, peserta didik sebagai generasi penerus bangsa juga hendaknya dibekali dengan kemampuan afektif yang sesuai dengan karakter luhur budaya bangsa agar dapat memfilter pengaruh asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Penanaman karakter luhur ini yang menjadi pertimbangan pemilihan materi pembelajaran dalam system pendidikan nasional. Kurikulum 2013 yang mengusung pendidikan karakter sebagai objek utama pendidikan memberikan pedoman bagaimana mengisi pembelajaran di sekolah dengan nilainilai luhur yang akan ditanamkan pada diri peserta didik (Majid, 2014: 10). Sementara itu pada KTSP, memberikan porsi tersendiri pada materi pelajaran muatan lokal. Materi-materi yang terdapat pada muatan lokal merupakan materi yang mengangkat keunggulan budaya daerah yang diselenggarakan agar tujuan dari pendidikan karakter dapat tercapai, yaitu terbentuknya karakter generasi muda yang sesuai dengan nilai-nilai luhur dalam kearifan lokal yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Salah satu materi muatan lokal untuk wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur, yaitu pembelajaran bahasa dan sastra Jawa. Pada materi bahasa dan sastra Jawa banyak sekali nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat digali dari materi bahasa dan sastra Jawa dalam bentuk pitutur luhur, suri teladan tokoh-tokoh besar Jawa, amanat dalam cerita, maupun makna simbolis dalam berbagai benda-benda hasil kebudayaan Jawa. Ungkapan pitutur luhur terdiri dari dua kata, yaitu pitutur dan luhur. Di dalam kamus Baoesastra Djawa, kata Pitutur bermakna (1) piwulang kabecikan ‗ajaran kebaikan‘; (2) pepeling sarta pamrayoga supaya ora nindakake kang ora pantes ‗sebagai pengingat dan nasihat supaya tidak melakukan hal yang tidak pantas‘ (Poerwadarminta, 1939: 404). Sementara itu, kata luhur bermakna dhuwur, utama ‗tinggi, unggul, utama‘ (Poerwadarminta, 1939: 277). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pitutur luhur bermakna ajaran atau nasihat utama supaya tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas. Hal-hal yang tidak pantas dapat terkaita dengan hal-hal yang bertentangan dengan etika dan moral. B. 1.

PEMBAHASAN Teks Wayang sebagai Materi Pembelajaran Bahasa Jawa Arus globalisasi akan menggeser pola hidup dan budaya masyarakat Jawa. Bila hal ini tidak ditangani secara tepat boleh jadi masyarakat Jawa tinggal nama tanpa kepribadian (Tim Penyusun Kurikulum 2013). Pembelajaran bahasa Jawa sebagai salah satu materi muatan lokal dalam kurikulum, bertujuan untuk membentuk kepribadian peserta didik agar mampu berjiwa, berbahasa, dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

77

mewujudkan hal tersebut pembelajaran bahasa Jawa mengedepeankan materi-materi yang menarik dan sarat akan nilai-nilai luhur, salah satunya adalah materi tentang wayang kulit. Wayang kulit purwa merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia yang sudah ada dan berkembang selama berabad-abad. Wayang kulit juga merupakan suatu karya sastra yang adiluhung dan digemari oleh masyarakat. Wayang kulit pada umumnya berkembang di Jawa. Pertunjukkan wayang kulit di Jawa ada beberapa gagrag atau versi, di antaranya Gagrag Surakarta, Gagrag Ngayogyakarta, Gagrag Banyumasan, Gagrag Cirebonan, dan sebagainya (Sagio dan Samsugi, 1991: 13). Namun, apapun gagrag yang digunakan, cerita wayang kulit selalu menarik untuk dikaji karena di dalam ceritanya mengandung ajaran moral yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia. Ajaran moral disampaikan dalam bentuk pitutur luhur yang diucapkan oleh para tokoh wayang. Karena adanya ajaran moral yang terkandung pada cerita wayang, maka wayang menjadi salah satu materi pembelajaran bahasa Jawa yang termuat dalam kurikulum 2013. Adapun materi tentang wayang yang tertulis pada kurikulum 2013 dari dapat dilihat pada tabel berikut ini. (1) Materi Pembelajaran Bahasa Jawa untuk kelas IX semester II

(2) Materi Pembelajaran Bahasa Jawa untuk kelas XI semester II

2.

Revolusi mental melalui Pitutur Luhur dalam Petikan Teks Wayang Kulit Purwa lakon Bawor dadi Ratu Salah satu cerita wayang yang menarik untuk dikaji, yaitu lakon Bawor dadi Ratu. Dilihat dari nama tokoh dapat disimpulkan bahwa cerita wayang ini menggunakan gagrag

78

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Banyumasan. Bawor adalah nama khas yang digunakan di daerah Banyumas untuk menyebut salah seorang Punakawan. Pada gagrag yang lain, Bawor biasa disebut dengan Bagong. Bawor atau Bagong merupakan salah seorang abdi Pandawa yang termasuk dalam Punakawan (Haryanto, 1988: 302). Bersama Semar, Gareng, dan Petruk, Bawor memiliki tugas untuk momong ‗mengasuh‘ dan melayani para Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang, keempat Punakawan ini seringkali ditunggu kehadirannya pada adegan gara-gara karena kelucuannya. Tetapi sebagai pamong dan pelayan, Punakawan juga seringkali menyuarakan pitutur-pitutur luhur untuk para bendara ‗tuan‘nya. Cerita wayang purwa lakon Bawor dadi Ratu, selain mengandung humor juga sarat dengan pesan moral. Tokoh utamanya, Bawor, yang terkenal karena kepolosan dan kekhasan kata-katanya yang lucu, juga terkadang menyuarakan pitutur-pitutur luhur sebagai pesan moral ketika menghadapi situasi tertentu. Jika diamati dari judul ceritanya saja, sudah tersirat adanya suatu penggambaran fenomena yang langka bagaimana seorang kawula alit yang notabenenya tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan dapat menjadi seorang pemimpin. Di saat sekarang ini, kekuatan dan kekuasaan merupakan backing utama agar seseorang dapat memegang tampuk kepemimpinan. Hanya orang-orang yang disegani baik dari segi kekuatan, kekuasaan, keberanian, maupun kemampuan yang akan dijadikan seorang pimpinan. Beberapa cuplikan dialog dalam pertunjukkan wayang kulit Bawor dadi Ratu menunjukkan adanya pitutur luhur yang dapat dijadikan pedoman hidup. Pitutur luhur ini terdapat pada perkataan yang diucapkan baik oleh tokoh utama maupun tokoh lainnya yang berbentuk paribasan. Contoh pitutur luhur dalam pertunjukkan wayang kulit lakon Bawor dadi Ratu dapat dilihat pada dialog berikut ini. (1) Konteks: Kresna memanggil Samba dalam pisowanan, namun Samba terlihat takut karena tahu benar kekuatan dari Sri Kresna Kresna : ―Samba.‖ Samba : ―Kula nun dhawuh tinimbalan kanjeng dewaji.‖ Kresna : ―Aja kadukane kejeron anggonmu muwus, senajan ta pun rama gadhah wenang ning ora bakal tumindak sawenang-wenang.‖ Arti pitutur luhur dalam kutipan di atas, yaitu orang yang memiliki kekuasaan hendaknya tidak menyalahgunakan kekuasaannya tersebut untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak baik. Nilai luhur inilah yang hendaknya dimiliki oleh seorang pemimpin. Jangan karena dia sedang berkuasa kemudia dia bersikap menakut-nakuti orang lain agar tunduk dan memenuhi keinginannya yang tidak benar. Kekuasaan adalah amanah. Justru kekuasaan hendaknya digunakan untuk melindungi orang-orang yang teraniaya dan menegakkan keadilan sesuai peraturan yang berlaku. (2) Konteks: Kresna memberi nasihat kepada Samba sebagai calon raja Dwarawati berikutnya Kresna : ―Ngene samba, wigati dhawuh timbalane rama ingkang pinungging dening pisowanan puniki amarga sira atmajaingsun, ingkang sun dama-dama, sun kudang-kudang sun gadhang-gadhang, bebasan dak gadhung-gadhung, ning mbenjang ewa sira panjang yuswa bakal wisuda dadi ratune praja ndwarawati PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

79

ingkang iku ulun mumpung sira isih mudha ingkang semampuripta ngudi kautaman, lire wong kang ngudi kautaman nggoleka ilmu kang ora cengkah karo angger-anggere Negara ndwarawati. Golekana ilmu ingkang ora cengkah karo angger-anggere agama. Golekana ilmu kang ora kedunungan watak mandala budhi naser watak angkara murka, Golekana ilmu kang apik kanggo urip bebrayanan agung1 apamaneh mbenjang sira wisuda dadi praja Dwarawati. Mula aja nduwe laku mban cinde mban ciladan, nduwea laku berbudi bawa laksana asih tresna mring puludasih aja pilah-pilah kawula siji lan sijine2.‖ Samba : ―Nuwun inggih kanjeng dewaji, sedaya dhawuh kanjeng dewaji bakal dados jimat kula.‖ Arti pitutur luhur (1), yaitu seorang calon pemimpin hendaknya membekali dirinya dengan ilmu dan pengalaman yang tidak bertentangan dengan agama, aturan negara, ilmu yang menjadikan dirinya bijaksana, tidak sombong, haus kekuasaan, dan dapat bermanfaat bagi sesama manusia. Menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah dan tidak dapat asal-asalan. Seorang pemimpin hendaknya memiliki kematangan dalam ilmu, pengalaman, pandangan hidup, dan akhlak mulia. Semua bekal tersebut diperlukan oleh seorang pemimpin agar dapat bersikap bijaksana, tidak egois, dan dapat merangkul semua kalangan tanpa menimbulkan sakit hati di salah satu pihak. Arti (2). Seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih, lebih mementingkan suatu golongan tertentu. Sikap mban cinde mban ciladan menunjukkan suatu sikap subjektif yang dapat merugikan pihak lain. Sikap ‗berat sebelah‘ atau pilih kasih ini akan menjadikan pemimpin tersebut tidak dapat bersikap adil. Hal ini akan memicu timbulnya kekecewaan yang dapat menimbulkan konflik yang lebih besar. (3) Konteks: Ketika Gathotkaca ikut hadir dalam pisowanan, tiba-tiba datanglah seorang raksasa yang meminta Kembang Cakra Wijayadanu. Kresna : Jagat dewa bathara ya jagat dewata..Kaki prabu Gathutkaca.‖ Gathotkaca: ―Kula nun dhawuh timbalan Uwa prabu pepundhen kula.‖ Kresna : ―Sliramu tindak neng Dwarawati lho kok ana kedadeyan kaya ngene. Aja kaya tamu ya Ngger, kaya neng negarane dhewe wae. Amarga buta ki ngendelake kadigdayane kayadene adigang adigung adiguna. Wataking buta ki ngetutake karepe dhewe ora eling marang wong liya.‖ Gathotkaca: ―Nun Inggih Uwa Prabu.‖ Arti pitutur luhur dalam cuplikan dialog di atas, yaitu orang yang mengandalkan kekuatan, kekuasaan, dan kepintarannya.Sikap ini menunjukkan sikap yang sombong atau takabur, memandang rendah orang lain, dan menjadi tidak waspada. Seseorang yang memiliki sikap ini akan menyepelekan orang-orang di sekitarnya dan ini menjadi awal dari kehancurannya karena tidak akan menyadari bahwa mungkin saja banyak orang yang lebih unggul hanya saja tidak mau menunjukkannya.

80

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

(4) Konteks: Janaka memberi tugas kepada Bawor untuk menjaga Durna. Namun, Bawor yang mengetahui watak licik Durna dan sering membuat susah para Pandawa setengah hati menerima tugas tersebut. Durna : ―Aku arep digawa ngendi Bawor?‖ Bawor : ―Arep takdol sepayu payune.‖ Durna : ―Aja nggleweh aja nggleweh.‖ Bawor : ―Alah meneng bae. Inyong tuli wadhehe ora lumrah kambi Durna nyong.‖ Bawor : ―Luputku apa bawor?‖ Bawor : ―Ora ngilo githok? Nek awake gawe luput pancen gampang kelalene. Bola-bali arep gawe sengsarane gusti-gustiku. Siki arep tek dol masa oraa…‖ Artinya: Seseorang seringkali tidak menyadari keburukan-keburukan yang ada pada dirinya sendiri. Melihat cela dan keburukan pada diri sendiri memang hal yang sulit. Introspeksi diri adalah hal yang penting yang sebaiknya dilakukan oleh seorang pemimpin sebagai salah satu cara untuk merefleksi apakah tindakan yang kita lakukan selama ini bermanfaat atau tidak, menyakiti orang lain atau tidak. Dengan introspeksi diri berarti seseorang mau menerima kritik dari orang lain dan berbenah agar ke depan tindakan yang dilakukan dapat lebih baik. (5) Konteks: Janaka menanyakan keberadaan Durna yang tidak bersama Bawor. Janaka : ―Bapa durna ndi Bawor?‖ Bawor : ―Mpun kula sade.‖ Janaka : ―Didol kepriye Wor?‖ Bawor : ―Lha niki si seket niki.‖ Janaka : ―Kowe sembrono, kowe adol kamiwanen! Bapa Durna ki lak guruku kok dol, supaya dijaga malah didol. Palang mangan tandur. Wiwit saiki kowe ora entuk melu Pandawa! Artinya: Kepercayaan adalah suatu hal yang mahal harganya. Membangun suatu kepercayaan membutuhkan kerja keras. Oleh karena itu, jika diberi suatu amanah hendaknya menjaga dan melaksanakan dengan baik amanah tersebut. Kepercayaan merupakan suatu pondasi dasar dalam membangun suatu kerjasama. Kondisi bangsa Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin dan aparat oemerintahnya. Ini yang perlu disasar dalam revolusi mental. Kesadaran akan pentingnya kepercayaan masyarakat harusnya menjadi tolok ukur dalam memperbaiki kinerja. Masyarakat yang solid akan lebih mudah untuk maju dan berkembang, tidak terpecah-pecah. (6) Konteks: Bawor mendapat murka dari Janaka dan diusir tidak boleh mengabdi lagi pada Pandawa. Bawor : ―Lha nyong si kon maring endi kie? Ndara Janaka koh ora melas temen maring inyong yah? Inyong gole adol dorna anu nyengiti, wis ping pira sing jenenge dorna arep gawe kasengsaran aring ndara-ndarane Nyong. huhh malah inyong ora kena melu pendawa kon minggat, lha nyong si kon nglayab ngendi PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

81

nyong? Ndara janaka ngangkat keris tandhane jengkele banget. Huulaaah melasi temen inyong ya? Siki nyong mung bisa semarah maring sing gawe urip. Huulah. Nasiib...nasib.‖ Artinya manusia hidup harus berserah diri kepada Tuhan. Tugas manusia hanya berusaha, hasil akhir Tuhan yang menentukan. Tidak perlu ngaya dalam bekerja, tetapi tetap harus maksimal. Sikap ngaya atau berlebihan hanya akan merugikan diri sendiri. Manusia hendaknya menyadari adanya kekuasaan yang lebihkuasa di luar dirinya, yaitu kekuasaan Tuhan. (7) Konteks: Setelah diusir oleh Janaka, Bawor beretemu dengan Wisanggeni Wisanggeni: ―Bawor.‖ Bawor : ―Usah War Wor.‖ Wisanggeni: ―Sing luput sing kebangeten ki rama janaka, kowe bener, eyang durna digawa neng Negara parang kembang iki bakal disiksa margane eyang Durna sok kebangeten, neng ngendi-ngendi ngendika yen ibu Srikandi seneng karo eyang Durna, iki rak ngisin-isinake, rama Janaka salah, sing bener kowe. Kowe ora usah was sumelang. Becik ketitik ala ketara.‖ Arti pitutur luhur pada kutipan dialog di atas bermakna perbuatan apapun nantinya akan dapat diketahui baik dan buruknya. Jadi tidak perlu khawatir ketika kita sudah melakukan suatu perbuatan baik namun tetap dianggap buruk oleh orang lain. C.

PENUTUP Pengikutsertaan materi wayang kulit purwa ke dalam materi pembelajaran bahasa Jawa bukanlah tanpa pertimbangan. Wayang sebagai salah satu kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai adiluhung melalui pitutur-pitutur luhur yang terdapat dalam cerita yang disajikan. Pitutur-pitutur luhur ini dapat dijadikan pedoman bagi generasi muda dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pedoman hidup dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan kehidupan ini sesuai dengan karakter adiluhung budaya Jawa yang pada akhirnya akan mengubah atau merevolusi pola pikir generasi muda. Generasi muda yang tidak kehilangan karakternya, tidak terombang-ambing dalam arus globalisasi tanpa pegangan yang jelas. Mengingat pentingnya pembelajaran materi wayang kulit tersebut, maka materi wayang kulit menempati posisi yang penting sebagai penguat jati diri bangsa. Pembelajaran bahasa Jawa dengan materi wayang kulit hendaknya tidak hanya berisi pengenalan tokohtokoh wayang tetapi juga penekanan pada nilai moral yang disampaikan dan karakter para tokohnya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap cerita wayang oleh generasi muda harus ditingkatkan. Materi pemebeljaaran juga hendaknya dikemas dengan bentuk yang menarik, dan ini adalah tugas bagi para guru bahasa Jawa. DAFTAR PUSTAKA Haryanto, S. 1988. Pratiwimba Adhiluhung. Jakarta: Djambatan. Majid, Abdul. 2014. Implementasi Kurikulum 2013 Kajian Teoretis dan Praktis. Bandung: Interes Media.

82

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Mulyasa. 2011. Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan Suatu Panduan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij. Sagio dan Samsugi. 1991. Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta. Jakarta: CV. Haji Masagung.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

83

SUPPORTING MENTAL REVOLUTION PROGRAM BY DEVELOPING STUDENTS‟ SOFT SKILLS IN TEACHING ENGLISH IN HIGHER EDUCATION Fibriani Endah Widyasari UniversitasWidya Dharma Klaten Email: [email protected] Abstract Developing university students‟ soft skills is one of the government mandatories which has been launched by the president of Republic Indonesia, JokoWidodo on his mental revolution program through education system. Soft skills are oriented for youth especially university students to prepare themselves into the real competition. Effective communication and interpersonal skills are crucial to increase job opportunities and to compete in the business environment successfully. This paper aims to give the recommendations based on the literature study as the guided on teaching English by developing students‟ soft skills in higher education regarding to support the mental revolution program. This paper is a literature study that written based on theoretical point of view. Key Words: Soft Skills, Teaching English, Mental Revolution, Higher Education

INTRODUCTION Soft skills are oriented for youth especially university students to prepare themselves into the real competition. Effective communication and interpersonal skills are crucial to increase job opportunities and to compete in the business environment successfully. The real key to the effectiveness of professionals is their ability to put their domain knowledge into effective practice. In this context, soft skills have a crucial role to play to show how one is capable of managing his personality to get along with others on developing his careers. If future leaders know how to deal with people at the emotional level (peers, subordinates, superiors, clients, suppliers, etc.) through emotional intelligence, they can build and sustain effective relationships that will result in mutual gain. Soft skills provide students with a strong conceptual and practical framework to build a mutual personality, develop, and manage teams. They play an important role in the development of the students‘ overall personality, thereby enhancing their career prospects. Soft skills are also prepared for the university students to own good mentality and personality to face the real work challenge and they are demanded to have good relationship with the colleagues. The migration or the changes from the adolescent into adult is considered as the sensitive moment. The education model and their milieu that they receive when they are in university will take main part to form their personality and mentality. It has been proven that people who can stay on the competitive situation with the healthy mind and manner is the person who has good personality and mentality or good soft skills. They have very big responsibility of their selves, their family, their job, their friends surrounding them, their religion and even their country. They are very suitable to be leaders.

84

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

The implementation of the soft skill development for the university students is needed to reconcile personal goals with those of the groups and this is very important for leaders to succeed in getting people to follow them. In addition, it requires an awareness of and focus on those they are leading. A commitment builds their trust and delivers the vision that inspire their enthusiasm. Leaders need to know how to empower people and get everyone from the top on down aligned in the same strategic direction. This is rarely accomplished through simple charisma but rather through persuasion and incentives. In another words, a leader is someone who has a vision and is able to communicate it. Soft skills as the tools for qualified leadership are needed to be applied for university students.They can be good leaders that accord with the nation identity. As it can be seen from the explanation, with good soft skills, someone is able to lead the teams or company well. Developing university students‘ soft skills is one of the government mandatories which has been launched by the president of Republic Indonesia, JokoWidodo on his mental revolution program through education system which stated as ―Karakter yang diharapkan (UURPJPN2005-2025): Tangguh, Kompetitip, berakhlakmulia, bermoral, bertoleran, bergotongroyong, patriot, dinamis,berbudaya,dan berorientasi Iptek berdasarkan Pancasila dan dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang MahaEsa‖(Kemenko PMK, 2015: 9). It covers the integrity, work ethics, and collaboration as the three main points of the mental revolution program through education. It has been known that university students are the nation pillar. That is why, it is necessary for them to have good personality and mentality in order to contribute and involve in the better nation development. University should take role as the facilitator for students‘ soft skill development through the formal and informal students‘ activities which can be done from teaching and learning process and the student activity units programs. There are many informal ways to improvestudents‘soft skills, such as: the soft skill training, seminar, social movements, inter-university student discussion, student organizations. Those kinds of activities are the media to develop and apply soft skills to the real movements as they will be engaged psychologically and emotionally. It makes them think positively and begin to control their manner. They will give a big appreciation for the people surround them and are eager receiving the different among people and have a good problem solving. It is expected when they become leaders, they will be wise persons and as the good decision makers. However, this paper recommends some formal activities inserting soft skill development on teaching English referring to the internalization strategy on implementing the three points of mental revolution program ―Memperkuat kurikulum pendidikan kewargaan pada semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan, untuk membangun integritas, membentuk etos kerja keras dan semangat gotong royong (Kemenko PMK, 2015: 21). Based on the reasons described, the writer wants to serve some recommendations based on the literature study as the guided on teaching English by developing students‘ soft skills in higher education regarding to support the mental revolution program launched by the president of Republic Indonesia, Joko Widodo at the beginning of his leadership.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

85

DISCUSSION A. Soft skills Softskills are personal attributes that enhance an individual's interactions, job performance and career prospects which can be developed and changed along with human growth. The common soft skills required as the reflection of being good personality are strongwork ethic, positive attitude, good communication skills, time management abilities, problem-solving skills, acting as a team player, interpersonal relations, self-confidence, ability to accept and learn from, flexibility/adaptability, and working well under pressure. Commonly referred to as soft skills, interpersonal skills include traits such as leadership, communication, negotiation, expectations management, influencing, problemsolving, and decision-making. Soft skills are largely intangible, not associated with a deliverable or a concrete output, and they are generally employed without the use of tools or templates (Morando, 2012: 4). According to Jain (2009: 1) seven soft skills have been identified and chosen to be implemented in all institutions of higher learning here. They are: 1) communicative skills, 2) thinking skills and problem solving skills, 3) team work force, 4) life-long learning and information Management, 5) entrepreneur skill, 6) ethics, moral and professionalism, and 7) leadership skills. In addition Jain explains for each skill as follows: 1. Communicative Skills The communicative skills involve effective communication in both the national language and English language in different contexts and with different people. Communicative skills are an integral part of any education system either in higher education or lower education. As mentioned earlier, in many countries, basic education or primary education is mandatory and it focuses on reading, writing and ciphering. People learn to read books, write letters, figure accounts and develop skills necessary to fulfill their expected roles in their households and community. At this very level, emphasis has been given to develop the communicative skills of individual so that by the time they leave college, they are able to participate in public and community activities and decision making. The absence of good communicative skills somehow or rather has an influence on the poor presentation of their views and decisions made to gain others‘ confidence and respect. Communicative skills have also been greatly emphasized in the reorientation of basic education for ESD (Education for sustainable development) which is: the ability to communicate effectively (both orally and in writing). The communicative skill seemed to be one important component that lacks in the future human capital. The incompetence of the future graduates to master both languages will be a set-back to a lot of potential development and advancement of the country. Thus, this is a good time to reorientate the curriculum of higher institutions to embed communicative skills. 2. Critical Thinking and Problem Solving Skills This skill includes the ability to think critically, creatively, innovatively and analytically. It also involves the ability to apply knowledge and understanding to new and different problems as well. For ESD to be successful, it must give people practical

86

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

3.

4.

5.

6.

7.

skills that will enable them to continue learning after they leave school, to have a sustainable livelihood and to live sustainable lives. The critical thinking skills, skills to organize and interpret data and information, skills to formulate questions and the ability to analyze issues that confront communities are greatly addressed in the reorientation of basic education in ESD. The Skill of Team Work This is the ability to work with people from different social cultural background to achieve a common goal. Students are encouraged to play their role in the group and to respect opinions and attitudes of others in the group. They are also expected to contribute to the group‘s plan and coordinate the group‘s effort besides being responsible to the group‘s decision. This skill is also part of ESD as stated in the reorientation of basic education: the ability to work cooperatively with other people. If the future human capital can attain these skills, we can be rest assure that the future generation will collaborate ideas and cooperate a taskforce towards the well-being of the nation. Life-Long Learning and Management of Information This skill involves an effort to learn to be independent or self-regulated learning in acquiring skills and new knowledge. The ability to find and manage relevant information from various sources is also a criterion of this soft skill. Besides this, students are also expected to develop an inquiry mind and crave for knowledge. As mentioned earlier, these characteristics are equally important in ESD in order for an individual to be media literate and consumer knowledgeable. Life-long learning will enable individuals to accumulate as much knowledge and skills over the years. The ability to manage information well will allow an individual to distinguish between good and bad, to adopt the best practices and to make sound decisions. Entrepreneurship skill This is the ability to find business opportunity and develop risk awareness. It also involves being creative and innovative in activities related to business and tasks to design and plan business propositions and the ability to be self-employed. This skill can in some ways contribute to the society if the training and practice is done for a good purpose. Ethics, Moral and Professional This is the ability to practice a high moral standard in professional tasks and social interaction. This skill also includes the ability to analyze ethical problems and make problem solving decisions. Having a sense of responsibility towards society is another criterion of this soft skill. Leadership skill This is the ability to lead in various activities and tasks. This is an important criterion in ESD for planning and implementing ideas in a group. This skill is also important to lead in discussion and make decision.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

87

Soft skills are needed for everyday life as much as they are needed for work. They have to do with how people relate and interact to each other: communicating, listening, engaging in dialogue, giving feedback, cooperating as a team member, solving problems, contributing in meetings and resolving conflict. Leaders at all levels rely on soft skills: setting an example, teambuilding, facilitating meetings, encouraging innovation, solving problems, making decisions, planning, delegating, observing, instructing, coaching, encouraging and motivating. B. Soft skills in Teaching English Soft skills can be developed through formal education as the mental revolution program has been declared, furthermore as the mandatory of the government mission that the development of soft skills can be inserted and improved on the education curriculum included on teaching English in higher education. The development of soft skills in teaching English can be designed as the teaching methods and techniques which are implemented side by side in developing four language skills (speaking, listening, reading and writing) at the same time. The University students are expected to be able to acquire seven soft skills at least as the basic competency for being the competitive individuals. The seven soft skills which must be acquired are communicative skills, critical thinking and problem solving skills, team work, life-long learning and management skills, Entrepreneurship skill, Ethics, Moral & Professional skills, and Leadership skill. Lecturers, on teaching English have to plan teaching activities as much as they can that cover up both the seven soft skills and four language skills development. The following table can be used as the reference for lecturers on designing their lesson plan. Table 1. Element of Soft skills should be developed in teaching English No. Soft Skills Must Have Elements (SubGood To Have Elements Skills) (Sub-Skills) Ability to use technology Ability to deliver idea clearly, during presentation. effectively and with confidence Ability to discuss and arrive at 1. Communicative either orally or in writing a consensus. Skills Ability to practice active Ability to communicate with listening skill and respond. individual from a different Ability to present clearly and cultural background. confidently to the audience. Ability to expand one?s own communicative skill. Ability to use non-oral skills. Ability to identify and analyze Ability to think beyond.. Critical Thinking problems in difficult situation Ability to make conclusion 2. and Problem and make justifiable based on valid proof. Solving Skills evaluation. Ability to withstand and give Ability to expand and improve full responsibility.

88

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

No.

3.

4.

5.

6.

7.

Soft Skills

Must Have Elements (SubSkills) thinking skills such as explanation, analysis and evaluate discussion. Ability to find ideas and look for alternative solutions. Ability to build a good rapport , interact and work effectively with others. Team Work Ability to understand and play the role of a leader and follower alternatively. Ability to recognize and respect other?s attitude, behavior and beliefs. Life-Long Ability to find and manage Learning & relevant information from Information various sources. Management Skill Ability to receive new ideas performs autonomy learning.

Entrepreneurship skill

Ethics, Moral & Professional

Leadership skill

Ability to identify job opportunities.

Ability to understand the economy crisis, environment and social cultural aspects professionally. Ability to analyze make problem solving decisions related to ethics. Knowledge of the basic theories of leadership. Ability to lead a project.

Good To Have Elements (Sub-Skills) Ability to understand and accommodate oneself to the varied working environment.

Ability to give contribution to the planning and coordinate group work. Responsible towards group decision.

Ability to develop an inquiry mind and seek knowledge.

Ability to propose business opportunity. Ability to build, explore and seek business opportunities and job. Ability to be self-employed. Ability to practice ethical attitudes besides having the responsibility towards society.

Ability to understand and take turns as a leader and follower alternatively. Ability to supervise members of a group. Source: Vishal Jain: 2009

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

89

The implementation of the soft skills elements requires the appropriate teaching method and it should be done as effectively as it can to encourage students on developing their soft skills and language skills. The teaching method can be provided such as presentation, discussion, project based learning. As the culmination of a unit, presentations can motivate students to creatively synthesize what they have learned. For many students, a carefully crafted final presentation is a memorable moment. Presentations invite students to go beyond a unit's content to ask questions that are essential or questions that go to the heart of a larger issue. Presentations can also be a culmination of group activity. Presenting information as a group teaches students a great deal about collaboration. Discussion used to enhance students‘ soft skills can be described from its advantages: It teaches interpersonal skills such as understanding and communication. It is studentscentered learning that provides an opportunity for them to learn from each other, thus encouraging teamwork. It promotes tolerance and helps students to understand that they are many aspects or opinions to any one topic. It also helps leadership,speaking and listening skills. Project Based Learning is a teaching method which students gain knowledge and skills by working for an extended period of time to investigate and respond to an engaging and complex question, problem, or challenge.The project is focused on student learning goals, including standards-based content and skills such as critical thinking/problem solving, collaboration, and self-management. The following are the advantages of conducting the project based-learning, the project is framed by a meaningful problem to solve or a question to answer, at the appropriate level of challenge. Students engage in a rigorous, extended process of asking questions, finding resources, and applying information. The project features real-world context, tasks and tools, quality standards, or impact or speaks to students‘ personal concerns, interests, and issues in their lives. Students make some decisions about the project, including how they work and what they create. Students and teachers reflect on learning, the effectiveness of their inquiry and project activities, the quality of student work, obstacles and how to overcome them. Students give, receive, and use feedback to improve their process and products. Students make their project work public by explaining, displaying and/or presenting it to people beyond the classroom. CONCLUSION The quality of human personality and mentality are determined from the quality of education they have. The well prepared and designed teaching is considered to be the key and critical point of human development, it means that the more consideration on planning the lesson by developing the students‘ soft skills the more skillful the graduates are. The soft skill achievement depends on how the teaching process can obtain and provide the implementation of soft skill elements in order to support the mental revolution program on enhancing the mentality and personality of the citizen of republic Indonesia.

90

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

REFERENCES Jain, Vishal. 2009. Importance of Soft Skills Development in Education. Word Press. Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. 2015. Sosialisai Gerakan Nasional Revolusi Mental. Jakarta. Marsndo, Anne. 2012. Balancing Project Management Hard Skills and Soft Skills. Brandeis University Press.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

91

PEMBELAJARAN SENI SASTRA SEBAGAI PENDIDIKAN PENANAMAN KARAKTER BANGSA Sri Hesti Heriwati21 ISI Surakarta Abstrak Wayang adalah salah satu produk budaya bangsa Indonesia dan telah mendarah daging di masyarakat pendukungnya sehingga dapat memengaruhi ekspresi masyarakat. Selain itu, di dalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai sarana pembentukan karakter dan penguatan jati diri bangsa. Pertunjukan wayang sampai sekarang tetap hidup karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat pendukung wayang dalam menjalankan kehidupan. Dalam pertunjukan wayang kulit, terkandung makna yang bersentuhan dengan perasaan, pikiran, dan tindakan manusia, baik pada tataran realitas personal maupun realitas sosiokultural. Setiap sajian wayang kulit yang menampilkan lakon tertentu tidak jarang menyampaikan pula nilai-nilai, seperti nilai kemanusiaan, kepahlawanan, kesetiaan, religius, dan sebagainya. Ajaran kepemimpinan yang tertuang dalam karya teks dapat digunakan sebagai tabahan wawasan bagi para pembaca atau penikmat karya sastra. Hal ini terkait dengan adanya kearifan lokal yang sering ditampilkan dalam ceritera wayang pada adegan pandita dengan seorang kesatria yaitu mengenai panca pratama (lima hal yang terbaik bagi seorang pemimpin) yaitu: mulat, amilala, miladarma dan parimarma. Ajaran kepemimpinan yang lain yaitu tentang konsep olah praja dan tata praja artinya seorang pemimpin harus memiliki pandangan yang jauh ke depan serta arif dan bijaksana. Seni sastra khususnya sastra wayang yang dipergelarkan memiliki multifungsi, tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, pendidikan, penerangan, propaganda, penghayatan estetis dan fungsi sosial, tetapi juga difungsikan sebagai referensi nilai-nilai kebijaksanaan hidup yang berasal dari budaya Jawa. Melalui pembelajaran sastra wayang pada gilirannya akan memberikan akar kuat ke dalam jiwa manusia sekaligus memberikan konstribusi pembentukan karakter bangsa. Kata kunci: sastra wayang, teks, karakter

PENDAHULUAN Seni sastra yang dimaksud adalah sastra yang terdapat dalam naskah wayang. Salah satunya adalah Serat Bimasuci. Karya tersebut dalam pakeliran disebut lakon Dewaruci merupakan cerita kias yang sangat popular dan meresap di hati sanubari para pendukung pewayangan. Lakon Bimasuci menceriterakan Bima setelah berguru kepada Durna dan berhasil mendapatkan ilmu kesempurnaan hidup. Lakon ini sangat menarik oleh karena isinya tentang pencarian kebenaran atau pencarian kenyataan. Di samping itu cerita ini pada hakikatnya hanya merupakan alat, untuk menggambarkan perjuangan umat manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup, baik lahir maupun batin, serta menggambarkan perjalanan manusia yang menemukan pribadi dalam dirinya sendiri. Pada waktu Bima masuk ke gua garba Dewaruci. Ia melihat bermacam-macam peristiwa, dan ia sadar akan hakikat manusia dan hubungannya dengan alam, hubungannya dengan Tuhan, dan hubungannya dengan sesama manusia. Usaha Bima untuk mencari kesempurnaan hidup, mengandung beberapa

21

92

Dosen ISI Surakarta PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

aspek filsafati, antara lain aspek metafisika / ontologi, aspek antropologi, aspek epistimologi, dan aspek etika/ estetika. Serat Bimasuci, Serat Rama dan Serat Wahyu Makutharama, terdapat hubungan baik secara tidak langsung maupun secara langsung. Lakon Bimasuci yang menjadi tokoh sentral adalah Bima, sedangkan dalam lakon Wahyu Makutharama tokoh dalam cerita Mahabarata bertemu dengan tokoh dalam cerita Ramayana, hal itu dapat dicermati munculnya tokoh Wibisana, Kumbakarna, Arjuna, Kresna, Bima. Dalam perjalanan Wibisana mendengar suara yang meraung-raung ternyata suara Kumbakarna yang sedang dalam kebingungan. Wibisana mengetahui bahwa itu suara kakaknya yaitu Kumbakarna dalam alam penasaran. Keduanya bertemu dan minta pertolongan kepada Wibisana agar dapat memperoleh kesempurnaan. Oleh Wibisana diberikan jalan agar hidup kembali ke dunia/ mayapada dan menebus dosa-dosanya dengan cara menitis atau menyatu kepada Bima satriya Pandawa, karena Bima adalah seorang kesatriya yang telah mendapatkan kesempurnaan hidup/ mengetahui asal dan tujuan hidup (pana sangkan paraning dumadi). Setelah mendapatkan petunjuk dari Wibisana, maka segera Kumbakarna berangkat ke hutan Duryapura mencari Bima. Adegan berikutnya, perjalanan Bima untuk mencari Arjuna telah sampai di hutan Duryapura, dan tiba-tiba langkahnya terhenti oleh bayangan hitam yang menghadang di depannya. Bayangan hitam itu adalah suksma Kumbakarna yang mengembara, dan oleh Bima bayangan tersebut ditendang, dan seketika itu bayangan menghilang dan masuk atau menyatu ke dalam tubuh Bima serta bersemayam di betisnya sebelah kanan. Pada masa Orde Baru, ajaran hastha brata itu menjadi acuan dalam memanajemen di lembaga-lembaga pemerintahan maupun sebagai pedoman dalam menggerakkan masyarakat. Ajaran hastha brata dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Hambeging surya (sifat matahari). Matahari memancarkan sinar panas sebagai sumber kehidupan yang membuat semua makhluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin harus dapat menumbuh kembangkan daya hidup rakyatnya, dan memberikan kehidupan serta memberikan semangat terus menerus kepada yang dipimpin. 2. Hambeging candra (sifat bulan). Bulan memancarkan cahaya di kegelapan malam. Artinya seorang pemimpin harus menyenangkan, mampu menumbuhkan semangat dan harapan indah diwaktu duka dan suka, serta memberikan penerangan dikala gelap. 3. Hambeging kartika (sifat bintang). Bintang memancarkan cahaya indah kemilauan dan berada di langit hingga dapat dijadikan pedoman arah. Seorang pemimpin harus memberi keteladanan yang dipimpin dengan berbuat kebajikan sehingga dapat menjadi panutan atau keblat yang dipimpin. 4. Hambeging hima ( sifat awan). Awan yang tebal menyebabkan hujan. Artinya seorang pemimpin harus berwibawa dan tindakannya harus dapat memberikan kesejahteraan bagi anak buahnya. 5. Hambeging samirana (sifat angin). Angin selalu dapat kemana-mana tanpa membedakan tempat serta mengisi ruang yang kosong. Artinya seorang pemimpin harus dekat dengan rakyatnya dan semua kebijakannya harus pro dengan rakyat, sehingga kepemimpinannya dapat dirasakan sampai tingkat bawah atau akar rumput. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

93

6.

7.

8.

Hambeging samodra (sifat laut atau air). Laut adalah sangat luas dan memiliki daya muat yang tak terhingga. Seorang pemimpin harus visioner, jujur, menerima kritik, berlaku adil, dan mampu memberi solusi kesulitan yang dihadapi. Hambeging dahana (sifat api). Api mempunyai kemampuan untuk membakar habis dan menghanguskan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin harus berani menegakan keadilan dan kebenaran tanpa pandang bulu, serta segala permasalahan dapat diselesaikan dengan tuntas. Hambeging bantala (sifat tanah). Tanah memiliki sifat yang kuat dan murah hati. Artinya seorang pemimpin harus rendah hati, tepa salira, jujur, tanpa pamrih dan mau memberi penghargaan bagi yang berjasa.

Karya-karya sastra lama juga di dalamnya terkandung kearifan lokal mengenai ajaran kepemimpinan yang mengambil dari sumber karya sastra seperti : Wulangreh, Wedhatama, Tripama, dan sebagainya. Salah satu ajaran kepemimpinan dalam Serat Wulangreh karya Paku Buwana IV adalah sebagai berikut. ―1. Aja nedya katempelan,ing wewatek kang tan pantes ing budi, Watek rusuh nora urus, tunggal lawan manungsa, dipun sami karya labuhan kanga patut, darapon dadi tinuta ing wuri-wuri. 2. Aja lonyo lemer genjah, angrong pasanakan nyumur gumuling, ambuntut arit puniku, watekan tan raharja, pan wong lonyo nora kena dipun etut, monyar-manyir tan antepan dene lemeran puniki. 3. Para penginan tegesnya, genjah iku cecegan barang kardi, angrong pasanakan liripin, remen salah miruda, mring rabine sadulur miwah ing batur, miwah sanak myang pasanakan, sok senenga den ramuhi. 4. Nyumur gumuling tegesnya, ambelawah datan duwe wewadi nora kena rubungrubung, wewadine kang wutah, buntut arit punika precekanipun abener ing pangrepe nanging garathel ing wuri”. Ajaran kepemimpinan yang tertuang dalam pupuh Pangkur di atas intinya bahwa seorang pemimpin harus menghindari enam hal yaitu: aja lonyo, aja lemeran, aja genjah, aja angrong pasanakan, aja nyumur gumuling dan ambuntut arit. Artinya aja lonyo, bahwa seorang pemimpin jangan ragu-ragu dalam mengambil keputusan; aja lemeran, bahwa seorang pemimpin tidak mudah tenggelam terhadap keinginan-keinginan yang menuju ke pemborosan ; aja genjah, bahwa seorang pemimpin harus menekuni pekerjaan yang dibebankan dan harus tanggung jawab terhadap pekerjaannya; aja angrong pasanakan, bahwa seorang pemimpin tidak boleh mengganggu istri orang lain, atau memiliki wanita simpanan; aja nyumur gumuling, bahwa seorang pemimpin harus dapat menyimpan rahasia; dan ambuntut arit bahwa seorang pemimpin harus bersikap kesatria. Kearifan lokal yang lain sering ditampilkan dalam ceritera wayang pada adegan pandita dengan seorang kesatria yaitu mengenai panca pratama ( lima hal yang terbaik bagi seorang pemimpin) yaitu: mulat, amilala, miladarma dan parimarma. Panca pratama diambil dari Serat Witaradya yang ditulis Ranggawarsita pujangga keraton Surakarta pada zaman

94

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Paku Buwana VII s.d Paku Buwana IX . Makna panca pratama yaitu: (1) mulat ( awas, hatihati), artinya seorang pemimpin harus memahami kemampuan anak buahnya serta waspada terhadap anak buah yang baik dan yang jahat. (2) Amilala (memelihara, memanjakan), artinya seorang pemimpin harus dapat memberikan penghargaan terhadap anak buah yang berprestasi ; (3) amiluta (membujuk, membelai), artinya seorang pemimpin harus dapat mendekati anak buahnya dengan kata-kata yang menyenangkan, membangkitkan kecintaan terhadap atasannya dan negara; (4) miladarma ( menghendaki, kebijakan), artinya seorang pemimpin harus dapat memberikan pencerahan serta mengajarkan hal-hal yang menuju kepada kesejahteraan batin dan memuliakan manusia; (5) parimarma (belas kasihan), seorang pemimpin harus memiliki rasa kemanusiaan yang besar serta memaafkan. Ajaran kepemimpinan yang lain yaitu tentang konsep olah praja dan tata praja terdapat dalam Serat Narapati Tama, ditulis oleh Paku Alam I, dinyatakan bahwa seorang pemimpin yang baik berperilaku: wikan-wasitha, wicaksanengnaya, mengku ning uga ngayomi, wening nguri budaya, wenang ngluberi, waskitha prana. Nilai-nilai karya sastra seperti yang terdapat dalam Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV (1853-1881) di Surakarta berbunyi sebagai berikut. Bonggan kang tan mrelokena, mungguh ugering ngaurip, uripe lan tri prakara, wirya, arta, tri winasis, kalamun kongsi sepi, saka wilangan tetelu, telas-telasing janma, aji godhong jati aking, temah papa papariman ngulandara. (Bila orang tidak memperhatikan, yang menjadi dasar kehidupan, bekal hidup ada tiga hal, pekerjaan(pangkat), modal uang, dan kepandaian, ketiganya bila tidak dimiliki, hilang kedudukannya sebagai manusia, lebih berharga daun jati kering dari pada orang itu). Kearifan lokal seperti ‖ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (seorang pemimpin di depan memberikan tauladan, memberikan motivasi serta dibelakang memberikan dukungan moril maupun materiil). Ajaran tersebut diambil dari tokoh budayawan yaitu R.M.Sasrakartana, dan ajaran Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan Indonesia. Demikian pula ajaran Tri Dharma yaitu : melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sarira angrasa wani” (ikut memiliki, ikut menjaga dan selalu mawas diri atau introspeksi), merupakan nilai nasionalisme yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Karya sastra yang menjadi sumber ceritera teater rakyat di tengah masyarakat Jawa mempunyai fungsi yang bermacam-macam, hal ini sesuai dengan sifat seni. R.Firth dalam bukunya Man and Culture menyatakan bahwa seni pertunjukan mempunyai delapan fungsi yaitu: (1) sebagai sarana kepuasan batin; (2) sebagai sarana bersantai atau hiburan; (3) sebagai PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

95

sarana ungkapan jati diri; (4) sebagai sarana integratif dan pemersatu; (5) sebagai penyembuhan ;(6) sebagai sarana pendidikan ; (7) sebagai integrasi pada masa kacau ; dan (8) sebagai lambang yang penuh makna dan mengandung kekuatan.. Soetarno menyatakan bahwa dalam era globalisasi pertunjukan wayang paling tidak mempunyai empat fungsi, yakni: (1) sebagai sarana pendidikan dan penerangan; (2) sebagi refleksi nilai-nilai estetis atau sebagai aktivitas estetis itu sendiri; (3) merupakan refleksi dari pola-pola ekonomi sebagai sarana untuk mencari nafkah; dan (4) sebagai hiburan sosial (Soetarno,2002). a). Teater wayang yang mengambil cerita Kumbakarna Gugur memiliki fungsi sebagai refleksi nilai-nilai etis dan estetis. Hal ini dapat dicermati pada dialog Rahwana dan Togog pada sebagai berikut. Rahwana : Mara age dumuken endi dosaku, endi luputku Gog. (Rahwana: silahkan dijelaskan dimana dosa saya Gogog). Togog : Mangke nek kula dumuk gek kaget. (Togog : Nanti bila saya tunjuk jangan terkejut). Rahwana : Rak, rak, mara mara tudingana luputku Gog. (Rahwana: Tidak, silahkan dimana letak kesalahan saya). Togog : La genah dika ngrusak pager ayu ngaten kok ndadak dangu. Ngrusak pager ayu niku tegese ngrusuhi ojone liyan, sampun genah paduka nyidra Dewi Sinta garwane Sri Rama ngaten kok. Mila peranga nggih boten menang , lawong ndika ngrusuhi bojoning liyan kok. (Togog: jelas bahwa paduka merusak rumah tangga orang lain, menyenangi istri orang lain, yaitu menculik Dewi Sinta istri Rama. Maka dalam peperangan tidak akan menang, karena paduka merusak rumah tangga orang). Dialog di atas mengisyaratkan bahwa hukum karma atau sebab akibat dalam kehidupan manusia yang harus dipahami. Demikian pula dalam ceritera wayang bahwa hukum sebab akibat tetap berlaku, hal ini dapat diartikan sebagai karma dalam filsafat Hindu. Apa yang dilakukan oleh Rahwana akan menanggung akibatnya dalam perang melawan Rama. Hal itu terbukti bahwa para senapati andalan Alengka semua mati terbunuh oleh bala tentara Ramawijaya. Refleksi etis dan estetis juga terdapat dalam dialog Indrajit dengan Kiswani istri Kumbakarna sebagai berikut. Indrajit :

Wadhuh Bibi Kiswani, mawantu-wantu dhawuhipun kanjeng rama, hari menika ugi Paman Kumbakarna kedah saged kula dherekaken ngabyantara kanjeng rama Bibi. (Indrajit : Bibi Kiswani, Raja Rahwana sangat mengharapkan kedatangan Paman Kumbakarna pada hari ini juga). Kiswanni : Yen nganti tok wungu, wurung tan wurung aku bakal nampa duka ngger Megananda. (Bila anda membangunkan tidurnya, pasti saya akan dimarahi Megananda). Indrajit : Nanging kosok wangsulipun, menawi kula mboten saged boyong Paman Kumbakarna dinten munika, wangsul kula tumenten dipun gantung gulu kula dhumateng Kanjeng Dewaji, kados pundi Bibi. Menapa Kanjeng Bibi mentala mirsani kuwandha kula ingkang gumantung wonten ing wit gurdha Bibi.

96

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

(Sebaliknya, bilamana saya tidak dapat kembali bersama Paman Kumbakarna hari ini pasti leher saya akan dipenggal oleh Prabu Rahwana, bagaimana ini Bibi. Apakah Bibi tidak belas kasihan terhadap saya, bilamana jasad saya tergantung di pohon yang besar, Bibi). Kutipan di atas merupakan gambaran konflik internal yang dihadapi oleh seseorang dengan pilihan yang serba sulit, konflik batin yang dihadapi Kiswani adalah antara kesetiaan dengan kewajiban. Tetapi di lain pihak adalah merupakan kewajiban sebagai hambanya Rahwana, ia hidup di Alengka di bawah kekuasaan Rahwana, maka semua perintahnya raja harus dilaksanakan. Melaksanakan perintah raja adalah merupakan kewajiban sebagai hamba. b). Teater wayang berfungsi sebagai hiburan yang bersifat hedonistik. Era sekarang sejak tahun 1990 sampai sekarang pertunjukan wayang di Jawa nampaknya lebih mengarah pada porsi hiburan yang menonjol, terutama pada adegan Limbuk Cangik dan adegan gara-gara. Adegan tersebut dijadikan acara seperti pilihan pendengar dan permintaan lagu-lagu atau sumbangan lagu-lagu dari para penonton. yaitu pada adegan Limbuk Cangik seperti di bawah ini. Cangik : Eh rasane kaya ngapa ya, nane nano. Mangga Mas Sanjaya kula kangen kalih swarane asli Medura. Ning luwih njawani Mas Sanjaya. Asli made in Medura, ha saiki Jawane wis hebat. (Cangik : Bagaimana rasanya . Mari Mas Sanjaya saya sudah lama tidak mendengarkan suara yang asli dari Madura, lebih bersifat Jawa, padahal orangnya dari Madura, sekarang sudah menyesuaikan diri dengan budaya Jawa). Keterangan: Pak Sanjaya melantunkan bawa gendhing dolanan Ngimpi mengambil dari tembang Asmaradana. Cangik : Wah gregele ki ya Ndhuk, kaya wong bakul salak. Bawa gendhing dolanan Ngimpi, menika kula kunjukaken dhumateng Ibu Sukoco ingkang sakmenika rawuh. (Cangik : Wah lagunya seperti orang jualan salak. Bawa gending Ngimpi, ini saya tujukan kepada Ibu Sukoco yang sekarang hadir). Cangik : Wah jan tepuk tangan para Bapak-bapak Ibu-ibu. Mas Sanjaya aweh paring sasmita, candhakane Bu Dewi, mangga Bu Dewi langgamipun Bu. Keparengipun langgam Ngimpi Bu, yasanipun Bapak Mujoko Jakaraharjo. (Cangik : Mari kta beri apresiasi Bapak-bapak Ibu-ibu, Mas Sanjaya memberikan isyarat yang melanjutkan Bu Dewi, Mari Ibu Dewi untuk melagukan Ngimpi karya Bapak Mujoko Jokoraharjo). Fungsi hiburan yang bersifat hedonistik sangat digemari oleh penonton wayang kulit dewasa ini. Hal itu dapat dicermati pada setiap pertunjukan wayang kulit di Jawa. Pada adegan Limbuk Cangik dan adegan gara-gara selalu dipenuhi penonton, karena mereka ingin mendengarkan lagu-lagu dolanan atau permintaan lagu yang kadang-kadang diselingi dengan humor yang agak berbau porno atau sindiran terhadap pesinden atau para tamu/ penonton yang sedang hadir. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

97

c). Teater wayang berfungsi sebagai media pendidikan atau edukasi terhadap para penonton. Hal itu dapat dicermati dalam adegan gara-gara Petruk dan Gareng dalam lakon Kumbakarna Gugur sebagai berikut. Petruk : Iyoh, jenenge wae zaman RETU Kang Gareng. (Ya namanya saja zaman RETU Kang Gareng). Gareng : Kuwi karepe piye ta Le. (Itu maksudnya apa Nang). Petruk : Ana priyagung kang merdekake tembung retu kuwi saka rong wanda , yaiku Re karo TU. ( Ada orang yang memberikan penjelasan kata retu itu dari dua kata RE dan TU) Bagong : Re karo Tu ki karepe priye Truk. (Re dan Tu itu maksudnya apa Truk). Petruk : Wektu iki kahanane para kawula akeh sing padha, RE: rekasa, TU: tumindake; RE: rebut menang, TU: tumandange ; RE: rerasan, TU: tumuju marang karusakan ; RE: remuk ajur, TU: tatu tumrap sing jujur. (Sekarang ini keadannya rakyat pada umumnya sulit untuk mencari rejeki, perilakunya hanya ingin memaksakan kehendak. Pikirannya tertuju pada kerusakan moral sehingga orang jujur malah tersingkir). Gareng : Wah kok nganti kedadeyan sing kaya ngene ya Truk, kuwi apa sebabe ta Le. (Wah terjadi keadaan seperti ini apa yang menjadi sebabnya Truk). Petruk : Sebabe ana sak perangangane R : reged pikirane, A : peteng atine , E : emoh pepadhang lan emoh tuntunan; T : tukar padu saben wektu marga seje panemu, U : Uripe kawasesa dening nafsu angkara Kang Gareng. (Yang menjadi sebab karena kotor pikirannya, jelek hatinya, tidak mau mendengarkan petuah atau ajaran yang baik; Cekcok kapan saja dan dimana saja oleh karena beda pendapat, dan hidupnya hanya menuruti nafsu-nafsu jahat saja, itu Kang Gareng). Dialog kedua panakawan itu memberikan pesan kepada penonton bahwa dalam situasi yang serba kacau dan sulit , krisis ekonomi dan krisis moral yang terjadi di negara ini, bahkan dapat dikatakan terjadi krisis multidimensi . Untuk mengatasi situasi yang seperti ini orang harus mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan harus jujur serta berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut. d). Teater wayang berfungsi sebagai kontinuitas kebudayaan, atau berfungsi sebagai pelestari kesenian. Hal itu dapat disimak dalam adegan gara-gara banyak digali gending-gending tradisi yang disajikan dalam peristiwa tersebut seperti pada dialog panakawan sebgai berikut. Petruk : Mara coba aku arep nyuwun gungan karo mbak Puji sing saka Solo dhisik. (Coba saya akan minta tolong kepada Bu Puji dari Solo). Gareng : Arep ngresakake apa Truk. (Truk akan minta gending apa) Petruk : Nyuwun dipun paringi bawa Sinom cengkok Grandhel, Sinom Cengkok Grandhel. (saya minta dilagukan Sinom Grandhel).

98

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Gareng : Petruk :

Ditibakake apa. (Lagu itu dilanjutkan apa ). Ditibakake Dhendhang Semarang. (Dilanjutkan gending Dhendhang Semarang). Bagong : Trus Bengawan Solo. (Selanjutnya Bengawan Solo). Petruk : Wadhuh kuwi jenenge metelake Gong. (Wah itu namanya memaksa Gong). Keterangan: Bawa Sinom Grandhel dilanjutkan Lagu Dhendhang Semarang diteruskan Lagu Bengawan Solo. Kinclong. Kinclong, kinclong guwayane, sopir montor mabur mung koruptor sing wis makmur. E, E mang mriki kula kandhani, niku jebulane pentholane sing korupsi. Ngetan bali ngulon, yen ra edan ora kelakon. (Bersinar raut mukanya, pilot pesawat terbang, hanya koruptor yang sudah makmur. E.e. kemarilah saya beritahu bahwa orang itu adalah otaknya korupsi. Ke timur dan ke barat, bila tidak gila tidak akan tercapai yang diinginkan). Syair di atas berisi pesan pesan yang bermacam-macam seperti pesan kautaman atau keutamaan (patut lamun linulutan ing sasama); kritik sosial, bahwa orang yang tidak memilki pekerjaan itu tidak baik (sae-sae, sae saene nganggur). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seni pertunjukan wayang di tengah arus globalisasi masih tetap bertahan oleh karena pertunjukan wayang merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Jawa, serta memiliki multifungsi dan sumber pencarian nilai-nilai kehidupan . Nilai yang terkandung tidak jarang dijadikan pedoman dalam menjalankan hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. KESIMPULAN Berdasarkan uraian tersebut di atas bahwa seni sastra khususnya sastra wayang yang dipergelarkan memiliki multifungsi, tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, pendidikan, penerangan, propaganda, penghayatan estetis dan fungsi sosial, tetapi juga difungsikan sebagai referensi nilai-nilai kebijaksanaan hidup yang berasal dari budaya Jawa. Itulah sebabnya ceritera wayang tetap bertahan di tengah arus globalisasi dan era kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi. Dengan demikian pesan-pesan dan nilai –nilai yang terkandung dalam setiap ceritera wayang kulit purwa Jawa, bilamana dapat dihayati oleh pembaca/ penonton, maka akan mempunyai andil yang besar dalam pembentukan watak dan karakter bangsa. Kearifan lokal yang tersirat dan tersurat dalam setiap tokoh ceritera wayang , tidak jarang dipakai sebagai pedoman dalam menjalankan hidup dan kehidupan yang lebih baik. KEPUSTAKAAN Alisjahbana, S.Takdir. 1985. Seni dan Sastra di Tengah-tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan, Jakarta : Dian Rakyat Anderson, B.R.G., 1965, Mythology and The Tolerance of Javanese. University Press.

Ithaca: Cornell

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

99

Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, 1992, Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kani Ariani, Iva, 2009 .‖ Etika dalam Lakon Kumbakarna Gugur Oleh Anom Suroto Relevasinya Bagi Pengembqngan Bela Negara di Insonesia‖ Disertasi Doktor, Prodi Filsafat UGM Yogyakarta. Brandon, James R., 1970, On Thrones of Gold Three Javanese Shadow Plays. Cambridge, Massachusets: Harvard University Press. Clara van Groenendael, Victoria Maria. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987. Geertz, Clifford, 1983, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Terjemahan: Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya. Gronendael, Victoria M. Clara van, 1983, The Dalang Behind The Wayang: The Role of The Surakarta and Yogyakarta Dalang In Indonesia Javanese Society. Dordrecht: Foris Publications. Hazeu, G.A.J. , 1979, Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agama Ing Jaman Kina. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Humardani, S.D., 1973, ―Beberapa Pikiran Dasar Seni Tradisi Latar Belakang Pengembangan Seni Tradisi Pertunjukan‖. Surakarta: PKJT. Kasidi,2009. ― Estetika Suluk Wayang Gaya Yogyakarta: Relevansinya Bagi Etika Moralitas Bangsa‖ Disertasi Doktor Prodi Filsafat UGM, Yogyakarta. Kusumadilaga, K.P.A, 1981, Serat Sastramiruda. Dialihbahasakan oleh Kamajaya dan alihaksarakan oleh Sudibyo Z. Hadisutjipto. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah De Mangkunegoro III, 1986, K.G.P.A.A. Serat Centhini (Suluk Tambangraras), jilid II. Kalatinaken Miturut Aslinipun dening Kamajaya. Yogyakarta: Yayasan Centhini. Mangkunegoro VII, K.G.P.A.A, 1957, On the Wajang Kulit (Poerwa) and its symbolic and Mistical Element. Translated from Butch byh Claire Holt. New York: Cornell University Press. Jakarta: Gramedia. Sartono Kartodirdjo, et al. , 1987, Perkembangan Peradaban Priyayi, Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Senawangi. 2000. Ensiklopedia Wayang Indonesia. Jakarta: Sekretarian Nasional Pewayangan Indonesia. Soemadi B, 2008. ‖ Nilai Moral Lakon Karna Tanding ; Relevansinya Bagi Pembinaan Aparatur Negara‖. Disertasi Doktor Prodi Filsafat UGM, Yogyalarta. Soetarno. 2010 . Teater Wayang Asia. Surakarta : ISI Press Solo

100

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Suyanto, 2008. ― Metafisika dalam Lakon Wahyu Makutharama: Relevansinya Bagi Kepemimpinan ―. Disertasi Doktor Prodi Filsafat UGM, Yogyakarta. Slamet Sutrisno, Joko Siswanto, Purwadi, Kasidi Hadiprayitno, Mikka Wildha N, Iva Ariani, 2009 . Filsafat Wayang . Jakarta : SENA WANGI

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

101

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS TEKS UNTUK MEMBANGUN MORAL DAN MENTAL YANG HANDAL13 Sri Budiyono Prodi PBSI Universitas Widya Dharma [email protected] Abstrak Pembelajaran berbasis teks adalah suatu upaya untuk membelajarkan siswa dengan menggunakan teks sebagai wahana utama. Akan tetapi, dalam kenyataannya untuk melakukan proses pembelajaran yang handal tidaklah mudah karena bentuk aktivitas pembelajaran memiliki hakikat perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Realisasi faktual dalam belajar, siswa tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi satu hal yang tidak kalah penting adalah berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang mungkin dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Oleh karena itu, pembelajaran menaruh perhatian pada ―bagaimanakah membelajarkan siswa?‖ dan bukan sekadar ―apa yang dipelajari siswa?‖ Salah satu sarana untuk mencetak siswa yang sukses dalam belajar adalah wahana atau bahan bacaan yang dipakai dalam proses pembelajaran dengan pemilihan dan pemilahan teks yang menarik, memukau, dan menantang, para pembelajar untuk terus mempelajarinya hingga ke tingkat aplikasi sejati. Apabila guru menyajikan bahan ajar dengan menarik, didukung media, sarana, pendekatan, dan lingkungan yang kondusif, hal itu akan memotivasi siswa dalam belajar sehingga daya simpati, empati, dan motivasi mereka akan tumbuh. Kata kunci: pembelajaran, pendekatan, bahan ajar,berbasis teks, kondusif.

Abstract Text based learning is an effort to increase the student‟s study by using text as a main tools. In fact, to get a good learning process is not easy because the learning activity must have a certain planning of learning or design to their study. In their study, student does not only communicate with their teacher as a main source of study, but there are some important things to get the plan of learning successful. So, learning pays attention to, “How to make a student learn, not what student learned? One of ways to make student successful in their study is choosing a material of learning. The material of learning must be attractive, interesting, and challenge student to apply the text‟s content in their life. If the teacher can give a good material of learning, supported by complete facilities and conducive surrounding mental factor, so students will have a high motivation, sympathy, and empathy. Their motivation will increase more and more. Word keys: learning, approach, material of learning, text based learning, conducive

31

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional di Universitas Widya Dharma Klaten bekerjasama dengan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah

102

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

A.

PENDAHULUAN Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiwi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran (Hamalik, 2012: 57). Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan Uno (2010: 4) yang menyatakan,‖ Pembelajaran adalah proses membelajarkan siswa‖. Lebih lanjut Uno menyatakan bahwa pembelajaran memiliki hakikat perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam proses belajar, siswa tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi juga sekaligus berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang mungkin dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Oleh karena itu, pembelajaran menaruh perhatian pada ―bagaimanakah membelajarkan siswa?‖ dan bukan pada ―apa yang dipelajari siswa?‖ (Uno: 2010: 5). Dalam menyikapi hal di atas, salah satu langkah dan arah yang harus dipersiapkan dalam proses pembelajaran adalah adanya pemantapan pengajaran yang mempergunakan bahan ajar yang berbasis pada teks.Tentunya teks yang dianjurkan atau yang layak dipakai adalah teks yang sesuai dengan kurikulum, yang bisa memberikan dorongan moral, mental, keberanian, dan intelektual sesuai dengan anjuran dalam Standar Kompetensi Lususan. Berkaitan dengan pernyataan di atas, Wong (2002: iv) mengatakan bahwa: The explicit teaching of genre/ text types is relatively new in Singapore. My search for a course book on this topic and with our context built in proves to be futile. Pearson then suggested that I write one for the Sprintprint. I thought it is a good idea because I can slant the book specifically towards the Singapore primary. School, and offer tie-ins with the 2001 English Syllabus. This makes is not only relevant for our teachers, but also convenient as the pertinent information on genre/ texts types and the requirement of the syllabus are now contained in one publication. Ia mengatakan bahwa pembelajaran dengan berbasis teks merupakan ide yang bagus dan sangat berhubungan dengan silabus bahasa Inggris 2001. Pengajaran dengan menggunakan aneka bentuk teks ini tidak hanya sesuai dengan pengajar, tetapi juga merupakan bagian dari kebutuhan informasi tentang bentuk teks dan sekaligus ada kebutuhan silabus yang berisi tentang publikasi yang diperlukan. Berpijak pada pernyataan di atas, hal-hal yang menjadikan masalah adalah sebagai berikut. 1) Apakah bahan ajar dari berbagai sumber pegangan guru dan siswa selama ini sudah mengarah pada aturan kurikulum yang dibutuhkan? (baca: tidak sekadar sesuai dengan kurikulum 2013 atau fleksibel sesuai kebutuhan); 2) Apakah tema yang terpapar sudah sesuai dengan kebutuhan siswa dan tuntutan kurikulum 2013, yang menyarankan untuk mengangkat dan menekankan tiga ranah utama, yakni a) ranah sikap (afective) yang berisi tentang: menerima, menghargai, menghayati, menjalankan, dan mengamalkan, b) ranah pengetahuan (cognitive yang berisi tentang: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, menghubungPROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

103

hubungkan, dan mengevalusi, serta c) ranah keterampilan (psikomotoric) yang meliputi: mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta); 3) Apakah perilaku tokoh yang ada dalam teks yang tersaji dapat dijadikan suriteladan, memberi contoh moral atau perilaku yang baik, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain; 4) Apakah kegiatan siswa dalam buku ajar sudah banyak memberikan inspirasi moral, mental, dan intelektual? B. 1.

PEMBAHASAN Hakikat Bahan Ajar yang Availabel Hal-hal yang berkaitan dengan hakikat bahan ajar yang available meliputi: pengertian bahan ajar, jenis-jenis bahan ajar, kriteria bahan ajar yang baik, pengembangan bahan ajar, dan bahan ajar pendamping belajar. Adapun mengenai uraian secara rinci akan dijabarkan sebagai berikut. 1) Pengertian Bahan Ajar Bahan ajar merupakan unit yang lengkap yang berdiri sendiri dalam suatu rangkaian kegiatan belajar. Bahan ajar ini disusun oleh seorang pakar untuk membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas (Sholahuddin, 2011: 168). Pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar adalah seperangkat materi pelajaran yang dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran, yang materinya disusun secara sistematis sehingga dapat menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, memudahkan siswa/ mahasiswa dalam belajar, dan bahkan guru/ dosen dalam menyampaikan materinya. 2) Jenis-jenis Bahan ajar Jenis bahan ajar yang dikemukakan oleh Richard (2001: 252) dapat dibedakan menjadi tiga, yakni: (1) bahan cetak (printed materials), yang bisa berupa buku teks, buku kerja atau buku latihan, dan lembar kerja yang dilengkapi dengan kumpulan bacaan, (2) bahan ajar autentik (authentic and created working materials), yaitu bahan ajar yang berupa sumber-sumber yang berkaitan dengan kehidupan yang senyatanya, baik dalam bentuk cetakan maupun noncetakan, misalnya bahan-bahan yang diakses oleh guru ataupun siswa dari majalah, surat kabar, brosur, dan sumber dari internet, dan (3) bahan ajar yang bukan berupa cetakan (nonprinted materials), seperti kaset (audio materials), video atau bahan ajar berbasis komputer. Merujuk pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan ajar dapat dipilih dan dipilah sesuai kebutuhan. Karena ketidakcocokan dalam lingkungan mengajar, tingkat usia siswa, tingkat pemahaman, kemampuan dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran, dan sebagainya, seorang guru boleh memakai salah satu acuan bahan ajar untuk penerapan di kelasnya.

104

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

3) Kriteria Bahan Ajar yang Baik Bahan ajar yang baik sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran karena dengan bahan ajar yang baik proses pembelajaran dapat tersusun, terarah, dan terfokus. Ada beberapa pendapat tentang kriteria bahan ajar yang ideal, yang diharapkan oleh semua pihak, baik dari guru, siswa, maupun instansi penanggung jawab jalannya proses pendidikan. Hakikat bahan ajar adalah instrumen pembelajaran yang merupakan komponen kunci program bahasa, baik materi yang disiapkan khusus untuk lembaga, maupun materi buatan guru/ dosen (Richard, 2001: 257). Bagi dosen yang belum berpengalaman, Bahan ajar dapat digunakan sarana untuk mengembangkan perencanaan pengajaran atau pun dapat dijadikan sebagai format pengajarannya. Bahan ajar merupakan salah satu dimensi sistem pembelajaran. Lebih lanjut Richard mengatakan (2001: 273) bahwa bahan ajar yang berkualitas harus memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut: (1) dapat membangkitkan minat belajar siswa; (2) mengingatkan siswa pada pembelajaran sebelumnya; (3) menginformasikan materi yang akan dibahas sebelumnya; (4) menjelaskan isi pembelajaran baru; (5) mengaitkan ide dengan pemahaman siswa sebelumnya; (6) mendorong siswa untuk berpikir tentang yang baru; (7) membantu siswa untuk memperoleh materi yang baru; (8) mendorong siswa untuk mempraktikkan isi pembelajaran (menggunakan bahasanya); (10) memungkinkan siswa untuk mengecek kemajuan belajarnya; (11) membantu mereka untuk melakukan kegiatan yang lebih baik dari sebelumnya. Sejalan dengan pernyataan di atas Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2003: 4-5) menyatakan bahwa standar penulisan bahan ajar seharusnya mengacu pada kurikulum, tujuan pendidikan, kebenaran materi ditinjau dari segi keilmuan, kesesuaian materi pokok, sesuai dengan perkembangan kognitif mahasiswa/ siswa. Lebih lanjut dikatakan bahwa terkait dengan ukuran kebenaran isi ini, dapat ditinjau dari; (1) kesesuaian dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar; (2) kesesuaian dengan perkembangan mahasiswa; (3) kesesuaian dengan kebutuhan bahan ajar; (4) kebenaran substansi materi; (5) kebermanfaatan menambah wawasaan; dan (6) memuat nilai moral, sosial, dan lain-lain. Pernyataan di atas sangat erat kaitannya dengan substansi isi yang ada pada kurikulm 2013 (Depdikbud, 2013: 3). Yang menyatakan bahwa materi ajar yang dijadikan pegangan belajar haruslah dapat memehui tiga kriteria dasar yang menyangkut ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar yang baik setidaktidaknya harus relevan dan menunjang pelaksanaan kurikulum, mudah dipahami mahasis/ siswa, mempunyai kejelasan konsep, dapat memotivasi dan menginspirasi siswa/ mahasiswa, bahasanya komunikatif, menunjang pelajaran yang lain, serta dapat menambah nilai moral, mental, intelektual, dan spiritual. Dari pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan ajar yang baik dapat setidak-tidaknya memenuhi memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) didasarkan PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

105

pada analisis kebutuhan siswa; (2) sumber kegiatan siswa untuk dapat melatih komunikasi secara interaktif; (3) dapat dipakai sebagai rujukan informasi kebahasaan; (4) sumber motivasi; (5) penysusnan materi yang disinergikan dengan kegiatankegiatan di kelas; (6) sesuai dengan RPP/ silabus; (7) sebagai pegangan guru, khususnya guru yang belum berpengalaman muntuk menunbuhkembangkan kepercayaan diri; (8) bahan ajar yang baik idealnya juga melibatkan prosedur pengetesan dan sekaligus memantau perkembangannya. 4) Pengembangan Bahan Ajar Proses pengembangan kurikulum mencakup kegiatan penentuan kebutuhan tentang apa yang harus dipelajari, tujuan pembelajaran, silabus, metode, bahan ajar, dan evaluasi. Kegiatan kurikulum tersebut dikenal dengan model sistematis desain pengembangan kurikulum (Brown, 1995:i7). Dari hasil pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, interview dengan beberapa guru pengampu bidang studi, dan hasil angket yang diperoleh, menyarankan bahwa bahan ajar yang dituangkan ke dalam bentuk buku sebaiknya mengandung unsur: (1) menyatukan kegiatan membaca ke dalam kurikulum; (2) mengorganisasikan kegiatan membaca dalam silabus; (3) mengadakan diskusi kelas; (4) menilai kegiatan membaca; dan (5) memberikan kriteria penilaian; (6) teks dalam bacaan yang ada diupayakan yang bisa menumbuhkan motivasi siswa; (7) kalimat yang disusun efektif dan komunikatif; (8) bentuk latihan-latihan soal yang ada dalam teks terstruktur; (9) bahan ajar yang disusun untuk dikembangkan ke dalam bentuk buku teks diupayakan relevan dengan kebutuhan siswa sehingga dapat membuat siswa menjadi aktif, kreatif, inovatif, dan produktif.; serta (10) untuk menghilangkan kesan jenuh perlu selingan teks yang berisi cerita-cerita yang lucu atau humor untuk menghidupkan dan menyegarkan suasana, sehingga kesan kaku dan jemu bisa hilang atau setidak-tidaknya terkurangi. 5) Bahan Ajar Pendamping Belajar Hamalik mengatakan (2012: 51) bahwa bahan ajar (yang disebutnya dengan bahan belajar) merupakan suatu salah satu media yang sangat penting baik bagi guru maupun siswa karena dengan salah satu media itu para siswa dapat mempelajari hal-hal yang diperlukan dalam upaya mencapai tujuan belajar. Sejalan dengan pernyataan di atas Sanjaya mengatakan (2006: 170-171) bahwa media pembelajaran memiliki fungsi dan berperan khusus sebagai: (a) menangkap suatu objek atau peristiwa-peristiwa tertentu; (b) memanipulasi keadaan, peristiwa, atau objek tertentu; (c) serta menambah gairah dan memotivasi siswa. Dari segi sikap harapannya para siswa tersebut memiliki perilaku yang mencerminkan sikap beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya (Depdikbud: 2013: 2) Dari pernyataan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa bahan ajar sebagai pendamping belajar siswa haruslah memuat pengembangan pola-pola instruksional antara guru dan siswa sehingga bahan ajar yang tepat dan baik, haruslah sesuai

106

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

dengan kurikulum yang berlaku. Peran bahan ajar sebagai pendamping belajar sangat penting karena selain sebagai pegangan dasar guru sekaligus juga berperan sebagai pencerah dan pencahaya dalam suatu rencana, serta sekaligus dapat memberikan motivasi dan inspirasi bagi guru dan siswa sebagai sasarannya. 2. Hakikat Pembelajaran Berbasis Teks 1) Hakikat Teks Kridalaksana mengatakan bahwa teks adalah 1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak; 2) deretan kalimat, kata, dan sebagainya yang membentuk ujaran; 3) bentuk bahasa tertulis, naskah; 4) ujaran yang dihasilkan dalam interaksi manusia (2008: 238). Sejalan dengan pernyataan di atas Zaidan, Rustapa, dan Hania‘ah mengatakan bahwa 1) teks adalah kandungan naskah atau sesuatu yang abstrak hanya dapat dibayangkan; 2) semua isi karangan baik yang fiksi maun yang nonfiksi (2007: 203). Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa teks adalah kandungan naskah yang bersifat abstrak, bisa berbentuk fiksi maupun nonfiksi, terdiri dari deretan kata atau kalimat. 2) Hakikat Pembelajaran Berbasis Teks Pembelajaran berbasis teks idealnya berawal dari memahami teks, mengolah teks, mendiskusikan teks, mengubah teks, dan diakhiri memproduksi teks. Pembelajaran berbasis teks, siswa menggunakan bahasa tidak hanya dijadikan sebagai sarana komunikasi, tetapi sebagai sarana mengembangkan kemampuan berpikir. Sebagai proses pembelajaran, teks harus dipandang sebagai proses negosiasi antara aspek register medan, pelibat dan sarana sehingga menghasilkan bahasa yang digunakan untuk mencapai tujuan sosialnya. Sebagai produk, teks merupakan hasil dari konfigurasi kontekstual antara media, pelibat, dan sarana sehingga menghasilkan teks yang dapat direkam dan didekonstruk. Berdasarkan konsep pembelajaran berbasis teks tersebut di atas, anak didik belajar memahami konsep (kognitif), berlatih secara tepat (keterampilan) serta menentukan sikapnya terhadap lingkungannya secara simultan melalui berbagai jenis teks (proses sosial atau genre) yang dipelajari. Melalui kegiatan membaca buku, seseorang dapat memperoleh pengalaman tak langsung yang banyak sekali (Suryaman dan Utorodewo, 2006). Memang, dalam pendidikan merupakan hal yang berharga jika siswa dapat mengalami sesuatu secara langsung. Akan tetapi, banyak bagian dalam pelajaran yang tidak dapat diperoleh dengan pengalaman langsung. Karena itu, dalam belajar di sekolah, dan sesungguhnya juga, dalam kehidupan di luar sekolah, mendapatkan pengalaman tidak langsung itu sangat penting. Menurut Rusyana dan Suryaman (2004) kemajuan peradaban masa sekarang banyak mendapat dukungan dari kegiatan membaca buku. Karena itulah, penyiapan buku teks pelajaran patut dilakukan dengan sebaik-baiknya. Di sisi lain, Wiratno (2014) mengatakan bahwa pembelajaran bahasa berbasis teks tidak akan lepas dari empat hal, antara lain: PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

107

a. Bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata atau kaidah-kaidah kebahasaan; b. Penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk bahasa untuk mengungkapkan makna; c. Bahasa bersifat fungsional, yaitu tidak akan pernah dapat dilepaskan dari konteks karena bentuk bahasa yang digunakan itu mencerminkan ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya; d. Bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia, dan cara berpikir seperti itu direalisasikan melalui struktur teks. Berkaitan dengan pernyataan di atas, Rose dan Martin (2012) menyatakan bahwa metode pembelajaran pada pendekatan berbasis teks dilaksanakan dengan empat tahap yang berlangsung secara siklus, yaitu: a. Pembangunan Konteks b. Pemodelan c. Pembangunan Teks Secara Bersama (Kelompok) d. Pembangunan Teks Secara Mandiri. Dari pernyataan di ats dapat disimpulkan bahwa dalam pengembangan bahan ajar keterampilan membaca dengan pendekatan pembelajaran berbasis teks adalah suatu bentuk pengembangan pembelajaran yang menggunakan teks sebagai picuan dan acuan dalam proses berlangsungnya pembelajaran. Bentuk aktivitas pembelajarannya tidak akan lepas dari empat ranah yang meliputi: pembangunan konsep, pemodelan, pembangunan teks secara berkelompok dan pembangunan teks secara mandiri. DAFTAR PUSTAKA Azwar, Arikunto. 2011. Pengantar Psikologi Intgelegensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Battistich, Victor. 2010.‖Character Education, Prevention, and Positive Youth Development‖. http://www.rucharacter.org/file/battistich%20paper.pdf B. Uno, Bambang, Nina Lamatengga, dan Satria Koni. Desain Pembelajaran. Bandung: MQS Publising. Hamalik, Oemar. 2012. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. J. Stein, Steven dan Howard E Book. 2004. Ledakan EQ 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kerjasama Primagama dan Kaifa (Diterjemahkan oleh: Trinanda Rani Januarsari dan Yudhi Murtanto). Lubis, Hamid Hasan. 1994. Glosarium Bahasa dan Sastra. Bandung: Angkasa. Martin, J.R. and David Rose. 2012. Genre Relation. Australia: Sydney: School. Muslich, Masnur. 2010. Text Book: Dasar-dasar Pemahaman, Penulisan, dan Pemakaian Buku Teks. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

108

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

_________. 2010. ―Hakikat dan Fungsi buku Teks‖ (on line) dalam http://masnurmuslich.blogspot.com/2008/10hakikat-dan-fungsi-buku-teks-html. Diunduh 28 Oktober 2010. Nation, L.S.P. and Macalister, John. 2010. Language Currieculum Design. New York: Routledge Taylor & Francis Group. Sanjaya, Wina. 2012. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sitepu B.P. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Suwandi, Sarwiji. 2012. ―Pendidikan Budi Pekerti Sebagai Pilar Penting dalam Pencerdasan dan Pembangunan Karakter Bangsa‖ Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, 24 Mei. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Telaah Kurikulum dan Buku Teks. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 2009. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa. Wiratno, Tri. 2014. Pembelajaran Bahasa dan Jenis-Jenis Teks. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa Wong, Ryth Y.L. 2002. Teaching Text Types in the Singapore Primary Classroom.Singapore: Sprintprint.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

109

AJARAN BUDI PEKERTI DALAM SERAT SANA SUNU KARYA YASADIPURA II Rochimansyah Universitas Muhammadiyah Purworejo [email protected] Abstrak Produk masyarakat budaya Jawa salah satunya adalah naskah klasik yang berbentuk serat . Serat dibuat oleh pengarangnya berdasarkan pengalaman dan atau kondisi masyarakat itu. Kandungan isi atau pesan yang ada dalam serat yang relevan dengan kondisi saat ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Serat Sana Sunu adalah karya sastra yang disajikan dalam bentuk tembang macapat. Isi yang terkandung dalam serat tersebut merupakan pesan nasihat kepada seorang anak (remaja) untuk meraih sukses dalam hidup. Kata kunci: Budi Pekerti, Serat Sana Sunu

A.

KONSEP AJARAN BUDI PEKERTI Ajaran adalah sesuatu konsep yang diajarkan. Ajaran dalam masyarakat Jawa sejajar dengan istilah piwulang. Menurut Purwadi (2007: iii) piwulang adalah tulisan yang berisi tentang suatu ajaran. Ajaran tersebut tentunya mengandung nilai-nilai keluhuran moral yang di dalamnya memuat pemikiran-pemikiran tentang pengajaran moral secara baik menurut ukuran suatu bangsa. Budi pekerti merupakan bagian dari etika (filsafat) yang berkaitan dengan pembentukan pribadi yang baik. Secara etimologi diungkapkan oleh Sudiyatmana (2005: 32) bahwa tembung budi saka basa Sansekerta ”budh” sing tegese: nglilir, tangi, gumregah, sadhar ing babagan kajiwan. Sabanjure tembung pekerti sing nguweni teges: tumindak, tumandang, makarya, makarti ing babagan karagan. Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa kata ‗budi‘ berarti bangun atau sadar. Bangun atau sadar artinya bahwa seseorang sadar dengan dirinya apa pun yang dilakukan karena perintah dari dirinya sendiri, bukan paksakan dari siapa pun. Kata ‗pekerti‘ berarti melakukan sesuatu pekerjaan (gerak fisik). Pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan yang baik. Budi pekerti dimaknai sebagai wujud perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena sadar atas apa yang dilakukan. Perbuatan baik dilakukan karena dia mengetahui apa esensi yang dilakukan baik buruk, untung rugi, dan sebab akibatnya. Perbuatan baik yang dilakukan atas kemauan yang timbul dari dalam diri (jiwanya). Begitu juga sebaliknya perbuatan buruk seseorang karena secara sadar dari dalam dirinya dan mengetahui dampak atau akibat perbuatannya itu. Budi perkerti yang sekarang ini terkenal dengan istilah pendidikan karakter. Budi pekerti dan pendidikan karakter semuanya merupakan ajaran moral mengenai norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Suwandi (2012) menegaskan terdapat sejumlah kata yang dalam pemakaiannya sering dipertukarkan, yakni kata budi pekerti, moral, karakter, dan akhlak. Konsep definisi kata-kata tersebut sebenarnya kata secara umum memiliki arti yang sama. Pendidikan budi pekerti mengacu pada pengertian pendidikan akhlak atau watak (karakter). Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral. Pendidikan moral merupakan norma-norma hidup manusia secara keseluruhan.

110

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Nurgiantoro (2013: 323) ajaran moral itu sendiri dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan,serta yang mencakup harkat dan martabat manusia. Persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungan dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Jadi, sudah dijelaskan bahwa budi pekerti mengacu kepada pendidikan moral yang menyangkut tidak hanya terkait dengan keduniawian melainkan juga menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. B.

SERAT SANA SUNU Serat merupakan produk karya sastra Jawa kuna. Subalidinata (1994: 52) berpendapat bahwa karya sastra Jawa yang dikarang dengan bahasa Jawa kuna tengahan dan Jawa baru, rangkaian sastra itu disebut pustaka yang sekarang disebut buku, tetapi orang sering menyebut dengan menggunakan istilah layang atau serat. Pendapat tersebut dipertegas oleh Wintala (2012: 13), serat merupakan salah satu jenis karya sastra Jawa kuno berupa naskah-naskah tembang macapat baik berisi kisah (babad, legenda) maupun nasihat-nasihat. Serat Sana Sunu dibuat oleh seorang pujangga dari Surakarta yang bernama Kyai Yasadipura II. Isi Serat Sana Sunu berbentuk tembang macapat. Isi serat merupakan nasihat untuk anak (remaja) dalam menjalankan kehidupannya. Serat Sana Sunu merupakan produk karya sastra yang dibuat tahun 1819 Masehi. Pupuh pada Serat Sana Sunu: pupuh dhandhanggula, pupuh megatruh, pupuh sinom, pupuh kinanthi, pupuh mijil, pupuh asmarandana, dan pupuh Pocung. Karya-karya R. Ng. Yasadipura II antara lain: Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama Jarwa, Darmasunya Jarwa, Serat Arjuna Sastra atau Lokapala, dan Serat Wicara Keras. C. AJARAN BUDI PEKERTI DALAM SERAT SANA SUNU 1. Bertaqwa kepada Allah Swt. Sebagai mahluk yang difitrahkan di dunia ini sebagai manusia. Sudah sepatutnya kita hanya menyembah kepada-Nya. Sebagai manusia kita juga tidak diperbolehkan sombong atas fitrah kita sebagai manusia. Berguru hanya kepada Allah tidak dengan mempercayai kekuatan selain Allah. Bertaqwa dengan cara menjauhi segala larangan dan menjalankan segala perintahNya. Dengan kita bertaqwa maka kita akan dekat dengan yang Maha Kuasa sehingga kita akan selamat dunia akhirat. Kandel kumandel marang Hyang Widhi, teteg teguh ing tyas tan anedya, kira-kira sasmitane, mung anedya rahayu, kira-kira haywana prapti, ajagang pasrah ing Hyang, baluwartinipun, kumandel marang Hyang suksma, ineb-inebing pintu kuthanireki, tetep madhep ing Suksma. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

111

‗Kepercayaan terhadap Tuhan telah tebal, hatinya teguh tak akan ragu-ragu lagi. Bila hanya menginginkan selamat, jangan sampai ada bala menimpa, dengan persiapan, sebagai berikut: Paritnya ialah pennyerahan diri pada Allah. Bentengnya yaitu tetap percaya terhadap yang Maha Kuasa. Sedangkan pintu kotanya ialah tetap mantap terhadap Hyang Suksma. Adapun rumahnya berada dalam kota tadi, demikian itulah makna kesatuan manusia dengan Allah‘. Tentu saja untuk mencapai ketaqwaan itu tidak semudah yang diucapkan. Banyak godaan yang selalu menyertai kita godaan itu adalah setan. Yang selalu mendampaingi kita. Kita lengah sedikit, setan segera mengoda kita dengan segala tipu dayanya. Ciri orang yang di bawah pengaruh setan antara lain sombong, takabur, tamak, dan penuh nafsu berbagai hal. Maka sebagai manusia kita harus selalu waspada. 2. Bergaul yang baik Ketika kita bergaul haruslah memilih teman yang baik. Teman kita adalah cerminan diri kita. Bisa saja seperti itu, memilih teman tentu saja teman yang membawa kita untuk berperilaku positif. Pikirkanlah baik burungnya jika kita berteman dengan orang lain. Bukan berarti kita menghitung untung rugi atau bahkan kita memanfaatkan teman kita. Memilih teman haruslah teman yang tidak memberi pengaruh buruk kepada kita. Ana satengahing manungseki, olih bilahi saking kakancan, myang saking pawong sanake, iku sira den emut, singgahana saking bilahi, aja apawong sanak, lan wong tan rahayu, tanwun katularan sira, upamane wong lara weteng kapengin, rujak kecut pinangan. ‗Harus diingat bahwa di tengah masyarakat dapat terjadi orang mendapat celaka yang berasal dari teman atau sahabat karibnya. Hal-hal semacam itu harus dihindari. Kita dilarang bersahabat dengan orang yang berkelakuan jahat, sebab kita dapat terseret seperti sahabat kita itu. Seperti orang sakit perut tetapi ingin makan rujak kecut‘. Sekuatnya-kuatnya kita, bila kita tidak mawas diri kita akan terbawa perilaku teman kita. Suatu contoh teman kita mabuk maka suatu saat kita akan tertular suka mabuk atau paling tidak kita akan dicap sebagai pemabuk. Juga dinajurkan kita memilih teman yang mengetahui ajaran baik dan buruk, tidak kasar, gegabah serta mengetahui sopan santun. Karena suatu saat bisa mengingatkan kita, jika kita berbuat hal

112

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

melanggar aturan norma. Teman yang seperti itu akan membawa kita ke jalan yang selamat. Lawan haywa pawong sanak malih, lan wong ingkang tan bisa ing sastra, wong kang mangkana wateke, karepe sok amberung, pangrasane bener sayekti, kurang ing pamicara, nadyan dhawul-dhawul, jalebut sok tumindaka, ngiris-iris nyebit ing ngatata-titi, tangeh manggih raharja. ‗Tidak boleh berkawan dengan orang yang tak mengerti sastra. Orang demikian tentu sering nekad, merasa benar sendiri, dalam pembicaraan justru tidak pandai. Malahan secara kasar, tetap gegabah bertindak. Ini jelas merusak sopan-santun, dan mustahil akan selamat‘. Kita juga dinajurkan memilih teman yang beragama. Karena semua agama mengajarkan kebaikan. Orang yang beragama diharapkan mengetahui tentang ajaran mencapai kesempurnaan hidup. Orang yang beragama tidak hanya di KTP saja atau mengaku secara lisan saja, melainkan perilakunya mencerminkan orang yang beragama. Lawan haywa pawong sanak kaki, lan wong pasek pan wong pasek ika, nora wedi ing siksane, ing Hyang kang Maha Agung, murang sarak angorak-arik, atekad calawenthah, lawan haywa ayun, lan wong drengki pawong sanak, sring karyala ing sasami tyase jahil, den wruh sireng tengeran. ‗Dilarang pula senang berkawan dengan orang yang tak beragama, sebab orang itu tentu tidak takut akan siksa Tuhan. Berarti memporak-porandakan peraturan agama, dan bertekad ugal-ugalan. Orang berhati dengki dilarang pula untuk dijadikan teman. Dia itu suka menyalahi orang lain dan juga senang memfitnah. Jadi orang harus mengetahui tanda-tanda orang semacam itu‘. Perilaku orang beragama tidak mecampuradukan aturan agama dan aturan yang dibuat manusia. Orang yang beragama biasanya tidak bersifat dengki, suka memfitnah, dan PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

113

menyalahi orang lain. Disebutkan juga ciri orang beragama dapat dilihat dari tingkah lakunya, ketelitiannya, cara bentindaknya, sopan santunya, pembicaraanya, dan dapat dipercaya. Anjuran untuk menghargai teman yang tidak baikpun dianjurkan. Jika kita merasa tidak mau berteman dengan seseorang yang kurang baik jangan diungkapkan secara langsung karena itu akan menyakiti orang tersebut. Kita dapat bersikap diam dan menghindar secara halus. Masih banyak lagi cara mencari teman yang baik yang tidak bisa penuliskan satu persatu dalam Serat Sana Sunu seperti mencari teman yang tidak berdusta, orang pandai, dan orang berbudi. 3. Tata cara makan yang baik Serat Sana Sunu mengajarkan tata cara makan yang baik yang tersirat dalam pupuh megatruh. Secara ringkas dijelaskan cara makan yang baik sebagai berikut. a. Membaca do‘a terlebih dahulu sebelum makan minimal bacaan basmalah (Islam); b. Makan tidak berlebihan; c. Sikap badan; tidak jegang, kepala menunduk dan jangan berbicara sambil makan (menguyah); d. Ketika makan belum selesai dan ingin minum, berhentilah sejenak dan minum air tiga tegukan. Setiap tegukan dengan membaca Hamdalah (Islam); dan e. Ketika sedang makan jangan tengak-tengok. Jika ketika kita sedang makan tiba-tiba ada tamu yang datang, maka persilakan tamu tersebut ikut makan yaitu dengan adab sebagai berikut. a. Menemai tamu makan dengan senang hati; b. Berpura-pura menikmati makanan tersebut seolah-olah makanan itu lezat sekali; c. Tidak mengajak berbicara tamu kecuali tamu mengajak bicara terlebih dahulu; d. Makan dengan pelan-pelan menunggu tamu selesai makan terlebih dahulu; dan e. Dilarang mengomentari makanan yang membuat selera makan tamu menjadi menurun apalagi makan dengan orang dengan jumlah banyak berikut kutipannya. Saenggone miwah sira yen martamu, pan hiya mengkono ugi, haywa sembrana ing kalbu, momoyok sajroning galih, sega iwak kurang kaot. ‗Demikian pula jika seseorang bersama-sama makan dengan banyak orang, dan apabila ia sedang bertamu, dalam hati ia tidak boleh bersambalewa dan mencela akan adanya nasi dan ikan yang tak baik‘ Terkait dengan mencela makanan yang merupakan pemberian Tuhan, dikisahkan Serat Sana Sunu kisah Nabi Musa yang sedang berperang. Ketika anak buah Nabi Musa berperang di sebuah padang yang luas mereka merasa lapar. Mereka berdo‘a kepada Tuhan supaya diturunkan makanan. Seketika turun makanan dari angkasa. Begitu lahabnya mereka makan. Ketika sedang asyik makan salah satu anak buah Nabi

114

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Musa ada yang merasa kurang dan disampaikan kepada semua orang yang ada di situ. seketika itu juga makanan kembali ke angkasa. Kisah tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa apa pun rejeki (makanan) yang diberikan kepada kita oleh siapa pun dilarang mencela karena itu memungkinkan sakit hati pemberi makanan. Maka mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan wajib hukumnya. Karena siapa yang pandai bersyukur akan ditambah nikmatNya. 4. Adab Tidur dan Shalat Malam Adab tidur dan shalat malam diungkapkan dalam Serat Sana Sunu pada pupuh sinom. Ketika kita tidur malam diutamakan untuk bangun mengerjakan shalat malam (tahajud). Berikut secara ringkas adab tidur: a. Tidur dianjurkan selam 8 jam atau 1/3 dari 24 jam waktu kita; b. Tidur dianjurkan membujur ke utama dan menghadap kiblat karena sebenarnya orang tidur itu mirip dengan orang mati tentu saja sebelum tidur harus berdo‘a terlebih dahulu; Yen abanget arip sira, tengadur narajang kedhik, rumeksa lungkrahing badan, yen tan mangkana tan becik, lan yen nendra ing wengi, yen mengalor ujuripun, miring ngulon sira, madheping keblat sayekti, kadya ujuring wong mati neng kaluwat. ‗Selanjutnya apabila seseorang tidur di malam hari, baik membujur ke arah utara, badan miring menghadap kiblat, seperti letak orang yang meninggal di dalam kalwat (alam kubur). Sebab orang tidur itu, sebenarnya hamper seperti orang meninggal‘. Ketika kita tidur malam diutamakan bangun di sepertiga terakhir untuk melaksanakan shalat malam. Shalat malam dilaksanakan di sepertiga akhir malam karena di sepertiga akhir malam akan dilihat oleh Allah Swt. Setelah itu berdo‘alah sampai waktu shubuh tiba. c. Sebelum shalat shubuh diutamakan mandi terlebih dahulu supaya tidak mengantuk. d. Tidur siang sebaiknya bangun sebelum waktu ashar. Tidur merupakan ibadah dan bentuk kepasrahan kita kepada Allah Swt. Ketika kita tidur harus dipersiapkan seolah-olah kita akan menghadap Yang Maha Esa. Mungkin saja kita dipanggil pada saat tidur. Kesiapan kita perlu diperhatikan ketika tidur.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

115

5. Berlaku bijak sesuai dengan porsinya Diceritakan dalam Serat Sana Sunu seorang pejabat (priyanyi) ketika akan membeli sebuah barang kepada pembeli. Jika sudah berjanji membelinya maka harus dibeli walaupun seorang pejabat jangan mengingkinkan gratis atau membeli dengan harga penjualnya kulakan. Jika hal tersebut dilakukan maka akan menurunkan martabat pembelinya. Selain itu akan merugikan orang lain bahkan memotong rejeki orang lain. Yen tuku rada keladuk, sawatara yen wus janji, yen wurunga karya esak, ing sama-sameng dumadi, emanen sudaning drajat, haywa kongsi gempil lirip. ‗Lebih-lebih bila sudah berjanji, maka bila gagal membeli, hal itu dapat menyakitkan hati, oleh sebab itu tindakannya harus dijaga baik-baik sayang kalau martabatnya menjadi rusak‘. 6. Amanah Menjaga kepercayaan memang tidak gampang. Baik kepercayaan yang diberikan Allah Swt. Kepercayaan yang diberikan oleh sesama manusia. Tentu saja tauladan kita sebagai umat muslim adalah Nabi Muhammad Saw. Beliau dengan amanahnya menjaga kepercayaan wahyu yang diberikan kepadanya berupa Al Qur‘an. Gedhe ndi lan Kangjeng Rasul, lawan ingkang para wali, ya marmengsun kongsi panjang, anjejereng ing pangirib, sapata kang guguyuwa, dadya awakingsung iki. ‗Kanjeng Nabi yang jelas sah mengemban perintah Allah, menjadi contoh di dunia bagi mereka yang menganut beliau. Oleh sebab itulah beliau ini mendapat sebutan Nabi Panutan yang berarti dapat ditiru semua perbuatan beliau‘. Banyak kisah-kisah lain yang tidak bisa penulis jabarkan semua apa yang tersurat dalam Serat Sana Sunu menjaga kepercayaan dengan berlaku amanah dengan apa yang diamanahkan kepada kita. Jika perbuatan yang tidak amanah dilakukan lamakelamaan akan menimbulkan sifat serakah dan takabur. Akhirnya yang menguasai diri kita adalah nafsu jahat. 7. Berguru dengan yang berilmu Belajarlah dengan ilmu ajarannya jangan orangnya. Orang yang berilmu akan menunjukkan perilaku yang berilmu. Tidak hanya di lahir saja melainkan setiap tingkah lakunya mencerminkan keilmuannya. Banyak orang mengaku berilmu padahal

116

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

itu hanya di lisan saja. Orang seperti itu perlu diwaspadai. Jangan langsung percaya perlu dipertimbangkan sikap dan tingkah lakunya. Jaman mangkya akathah kalesik, sok dora angrandon, pira warta tan ana jebule, nadyan wus mijil saking priyayi, prandene tan dadi, lire nora jebul. ‗Sebab sekarang ini banyak kabar angin, kabar bohong, banyak berita yang tak ada kenyataannya, walaupun kabar itu berasal dari priyayi (orang yang dapat dipercaya), tetapi tidak ada hasilnya juga‘. Jika ajaran orang yang tidak berilmu itu sampai menyebarkan bahkan didengar (diajarkan) anak kita maka hasilnya adalah bahaya yang menghampiri kita. Jadi belajarlah dengan orang yang tepat. Belajar tidak harus dari seseorang akan tetapi belajar bisa dari pengalaman, buku (kitab), sastra dan tinggalan-tinggalan yang terbukti memberikan pengaruh dan masih relevan dengan kehidupan sekarang. Jika kamu berguru kepada orang hormati beliau sebagaimana kamu memahami ajarannya. 8. Bersikap sederhana Kesederhanaan seseorang selain dilihat dari tingkah laku dan ucapan juga dilihat dari cara berpakaian. Ajining raga saka busana diajarkan dalam serat ini. Berpakaian yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya dalam dirinya. Bahaya lapis pertama yang berkaitan dengan psikis. Diri akan menjadi sombong. Rasa sombong akan menimbulkan gengsi selanjutnya akan mengarah ke perbuatan tercela. Apa pun dilakukan untuk memenuhi kesombongannya tersebut. Lapis kedua adalah sombong secara fisik. Mulai cara berjalan sikap badan akan mencerminkan apa yang dipakainya. Kang besus anrusing batin, lali apesing sarira, anarik marang tyas lonyok, anutupi lawang begja, ambuka lawang tuna, ngedohken sagung rahayu, merakken sagung kiyanat. ‗Adapun orang yang benar-benar suka bersolek, itu mengakibatkan lupa akan kelemahan dirinya, hatinya sudah tergiur, pintu keberuntungan terhalang yang terbuka hanyalah pintu kejahatan, segala yang baik menjauh, sedangkan yang jahat mendekat,‘.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

117

Selain pakaian, hal yang dapat membuat kita menjadi sombong adalah perhiasan. Perhiasan melekat dalam fisik kita dan memberikan keindahan tertentu. Tanpa kita sadari keindahan tersebut akan dinikmati oleh orang lain dengan cara memandang. Seperti pakian yang kurang sopan, perhiasan pun menjadi kita lebih hina. Pakaian ketat (tidak senonoh) yang dipakai di tubuh kita akan menimbulkan pikiran negatif bagi yang memandang. Perhiasan juga pemakaian yang tidak pada tempatnya dan berlebihan membuat kita dipandang lebih hina, misalnya menindik di lidah, di pusar atau menindik telinga dengan lubang yang banyak. Sederhana, rapi dan indah tidak berlebihan. Harta benda dan semua kekayaan duniawi adalah semu. Gunakan duniamu untuk menggapai surgamu. 9. Menghargai sesama Sebagai mahluk sosial tentu kita hidup berkelompok sebagai fitrah manusia. Manusia tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup bermasyarakat kita harus saling menghormati baik dengan anggota keluarga, tetangga, dan masyarakat lebih luas. Orang yang terdekat setelah keluarga adalah tetangga. Tetangga menjadi penting untuk kita perhatikan. Dengan salah satu cara menghormati tetangga adalah dengan silaturahmi. Kita sering berkunjung dan saling mengunjungi merupakan bentuk menjaga silaturahmi. Orang yang berkunjung dan dikunjungi harus mengedepankan lungguh, gupuh, dan suguh. Apabila kita bertindak sebagai tuan rumah, ketika ada orang berkunjung maka sudah sepantasnya dipersilakan masuk dan disilakan duduk. Gupuh menyenangkan tamu dengan sikap yang ramah tentu saja menggunakan bahasa yang baik. Nanging lamun, ana asaling tatamu, saking katebihan, macapat lan liyan nagri, yeku perlokena lawan kurmatana. ‗Tetapi apabila tamu itu datang dari luar lingkungan, wajib disambut secara hormat dan sopan santun sepertin kita bertamu pada orang lain disambut dengan cara hormat‘. Bentuk penghormatan lainnyan adalah suguh. Menghormati tamu dengan cara memberi hidangan. Hidangan tidak usah yang berlebihan semampunya. Jika tidak ada sama sekali minimal air minum (wedang kendel). Sungga tamu, ywa kurang mring tamu iku, yen tan darbe sira, utang selanga tumuli, nadyan gadhekake wedhung lakonana.

118

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

‗Sepantasnya tamu tadi disuguhi, biarpun tidak mempunyai sesuatu di rumah, harus diusahakan dengan cara bagaimana yang penting dapat menjamu tamu tersebut agar tidak kecewa yang bertamu‘. Simbol betapa pentingnya menghargai tamu bahkan jika tidak ada boleh hutang terlebih dahulu. Begitu juga sebaliknya jika kita bertindak sebagai tamu, kita harus memperhatikan tuan rumah. Dalam menyambut tamu dijelaskan adabnya sebagai berikut; a. Tamu dipersilakan duduk; b. Setelah tamu duduk, tuan rumah ikut tangan sambil ngapurancang; c. Tamu diberi suguhan, dan mempersilakan untuk menikmatinya; d. Setelah tamu mengutarakan maksudnya dan tamu ingin pulang kita wajib menghantarkannya sampai ke tempat kita menjemput pada saat tamu datang.

D.

PENUTUP Telah dipaparkan tentang berbagai ajaran yang dikemas sederhana. Harapannya dapat dijadikan kekayaan bacaan bagi pembacanya. Khususnya anak-anak remaja mudah-mudahan dapat dipahami. Mungkin masih banyak nilai budi pekerti dalam Serat Sana Sunu yang penulis belum bisa sampaikan mohon maaf. DAFTAR PUSTAKA Achmad, Sri Wintala. 2012.Wisdom Van Java; Mendedah Nilai-nilai Kearifan Jawa. Bantul: In Azna Book. Jumeiri, Siti Rumidjah (Alih Bahasa). (2008). Serat Sana Sunu.Yogyakarta. Kepel Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Purwadi. 2007. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka Yogyakarta. Subalidinata R.S, 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama. Suwandi, Sarwiji. 2012. ―Pendidikan Budi Pekerti Sebagai Pilar Penting Dalam Pencerdasan dan Pembangunan Karakter Bangsa‖, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, 24 Mei 2012 Sutadi, Yatmana, Sudi. 2001. Blencong 45. Semarang: Aneka Ilmu.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

119

OPTIMALISASI PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SEBAGAI PERANGSANG MOMENTUM REVOLUSI MENTAL Wisnu Nugroho Aji Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Widya Dharma Klaten Abstrak Peran bahasa sebagai tonggak revolusi mental sangatlah mutlak. Salah satu wujud optimalisasi nyatanya adalah dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pembelajaran dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat dioptimalisasi dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan karakter bangsa, yaitu pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik adalah pendekatan pembelajaran yang memunyai ciri penanda sebagai proses pembelajaran yang dapat dipadankan dengan suatu proses penemuan secara ilmiah. Pendekatan saintifik dilandasi dengan lima proses yaitu mengamati, menanya, eksperimen/mengumpulkan informasi, menalar/menganalisis, serta membuat jejaring/ mengkomunikasi. Dalam lima proses tersebut, setiap siswa dituntut agar mampu menerapkan sikap ilmiah seperti jujur, objektif, dan akuntabel selama proses pembelajaran. Kata kunci : pendekatan pembejalaran, pendekatan saintifik, pengajaran bahasa, revolusi mental Abstract Language as a milestone in a mental revolution was absolute. One form of optimization in fact is done through learning Indonesian language and literature ranging from primary school to university. Learning and teaching Indonesian language and literature can be optimized by using an approach consistent with the character of the nation, the scientific approach. The scientific approach is a learning approach that memunyai characteristic marker as a learning process that can be paired with a process of scientific discovery. The scientific approach is based on the five processes: to observe, ask, experimental / collect information, reasoning / analyze, and create networking / communicate. In five of the process, each student is required to be able to apply a scientific attitude as an honest, objective, and accountable for the learning process. Keywords: pembejalaran approach, scientific approach, language teaching, mental revolution

A.

120

PENDAHULUAN Kemauan politik untuk merevolusi mental bangsa sesungguhnya cukup gamblang disuratkan dalam Kurikulum 2013 dengan mengususng pendekatan saintifik di dalamnya. Dengan menempatkan bahasa (Indonesia) sebagai penghela pelajaran, revolusi mental sudah dicanangkan untuk berproses melalui pendidikan yang lebih baik. Dari mana mental akan terbentuk kalau tidak berawal dari bahasa? Fungsi bahasa yang paling dasar (tidak bisa digantikan oleh sarana komunikasi yang lain) adalah untuk mengembangkan akal budi. Berdasarkan uraian di atas, secara objektif dapat kita evaluasi bahwa peran bahasa sebagai tonggak revolusi mental sangatlah mutlak. Salah satu wujud optimalisasi nyatanya adalah dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Indonesia mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bahasa Indonesia dalam pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi awalnya disajikan dalam paradigma struktural. Dengan paradigma ini, umumnya yang menjadi bahan dalam pembelajaran adalah masalah struktur atau kaidah bahasa. Saat ini pembelajaran bahasa Indonesia bergeser ke arah paradigma komunikatif. Dengan rancangan atau pendekatan ini, siswa diharapkan mampu menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan konteks atau situasi. Jadi tekanannannya bahasa Indonesia yang baik atau bahasa yang sesuai dengan situasi. Peruahan ini tentu mengubah bentuk-bentuk pendekatan, model, strategi, dan teknik pembelajaran sesuai dengan paradigma yang digunakan untuk melakukan motivasi. Perubahan inilah yang menjadikan prolema yang selama ini disoroti pelbagai pihak terhadap bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran di lembaga pendidikan pelagai jenjang. Keutuhan akan inovasi model dan pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk mengatasi problema pengajaran tersebut tampaknya sudah tidak dapat ditunda lagi. Adalah pendekatan saintifik sebagai tonggak kurikulum paling mutakhir yaitu kurikulum 2013. Mentalitas yang ingin dicapai kabinet kerja sebagai ide pembangunan moral sebenarnya memiliki ritme yang sama dengan ide pembelajaran pada Kurikulum 2013. Dalam Kurikulum 2013, pembelajaran ditekankan kepada pendekatan saintifik yang terlembaga kepada lima proses yaitu mengamati, menanya, eksperimen/mengumpulkan informasi, menalar/menganalisis, serta membuat jejaring/mengkomunikasi. Dalam lima proses tersebut, setiap siswa dituntut agar mampu menerapkan sikap ilmiah seperti jujur, objektif, dan akuntabel selama proses pembelajaran. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya akan mengangkat optimalisi pendekatan saintifik dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, sebagai perangsang momentum revolusi mental di Indonesia. B.

HAKIKAT PENDEKATAN SAINTIFIK Pendekatan saintifik lahir dengan mengadaptasi scientific learning. Istilah scientific learning diindonesiakan menjadi pembelajaran saintifik, atau disebut juga pembelajaran ilmiah. Dalam pengertian ini, pendekatan saintifik memunyai ciri penanda sebagai proses pembelajaran yang dapat dipadankan dengan suatu proses penemuan secara ilmiah. Kelahiran pendekatan saintifik di Indonesia bersamaan dengan lahirnya kurikulum 2013. Berkaitan dengan hal ini, kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pembelajaran saintifik. Pendekatan saintifik diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan siswa. Dikatakan demikian karena pendekatan saintifik menjadi proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan. Para ilmuan lebih mengedepankan penalaran induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

121

kesimpulan secara keseluruhan. Penalaran induktif juga menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Pendekatan saintifik merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengkoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang didapat dari pengamatan, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip pengamatan yang spesifik. Karena itu , metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui pengamatan atau eksperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasikan, dan menguji hipotesis. Pembelajaran berbasis pendekatan itu lebih efektif hasilnya dibanding dengan pembelajaran konvensional. Sebagaimana disampaikan oleh Andayani (2014): ―Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran konvensional, retensi informasi dari guru sebesar 10 % setelah 15 menit dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25% . Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90% setelah dua hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70%.‖ Pendekatan saintifik ini dinilai lebih efektif karena mengajak peserta didik untuk berpikir secara ilmiah. Pembelajaran ditekankan kepada pendekatan saintifik yang terlembaga kepada lima proses yaitu mengamati, menanya, eksperimen/mengumpulkan informasi, menalar/menganalisis, serta membuat jejaring/mengkomunikasi. Dalam lima proses tersebut, setiap siswa dituntut agar mampu menerapkan sikap ilmiah seperti jujur, objektif, dan akuntabel selama proses pembelajaran C.

PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 1. Pengajaran Keterampilan Menyimak dengan Pendekatan Saintifik Guru pada dasarnya wajib untuk memahami skenario pembelajaran keterampilan menyimak dengan menggunakan pendekatan saintifik seperti yang diamanatkan dalam kurikulum 2013. Dalam pembelajaran saintifik guru mendorong dan menginspirasi siswa berpikir kritis, analisis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. Guru mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lainnya dari substansi menyimak. Sebagai contoh perencanaan pengajaran menyimak dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut: (a) guru menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa; (b) pada langkah mengamati, guru mempersiapkan media pembelajaran (tape recorder) untuk memutar kaset yang berisi dongeng rakyat, (c) para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, kemudian diminta untuk mencatat bagian penting dari cerita tersebut, (d) pada langkah menanya, siswa diminta untuk mengemukakan hasil temuan dari isi cerita tersebut untuk dikritisi oleh kelompok lainnya, (e) pada langkah menalar, siswa yang sudah mendapatkan jawaban dari

122

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

pertanyaan siswa lainnya kemudian mengolah dan merevisi hasil temuannya, (f) pada langkah mencoba, berdasarkan hasil penyempurnaan dan olahan tersebut kemudian siswa dengan berkelompok mentanformasikan menjadi sebuah dongeng rakyat yang komperhensif, (g) pada langkah membentuk jejaring, setiap kelompok siswa mempresentasikan hasil tulisan tersebut dihadapan kelompok lainnya. (h) guru memberikan simpulan, penguatan, refleksi, dan tindak lanjut. Dengan pendekatan saintifik tersebut tujuan pembelajaran tercapai, siswa aktif, dan peran guru sebagai fasilitator dapat berjalan secara maksimal. Semua perencanaan tersebut harus sudah dituangkan ke dalam RPP yang sudah disiapkan oleh guru. 2. Pengajaran Keterampilan Berbicara dengan Pendekatan Saintifik Guru pada dasarnya wajib untuk memahami skenario pembelajaran keterampilan berbicara dengan menggunakan pendekatan saintifik seperti yang diamanatkan dalam kurikulum 2013. Dalam pembelajaran saintifik guru mendorong dan menginspirasi siswa berpikir kritis, analisis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. Guru mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lainnya dari substansi menyimak. Sebagai contoh perencanaan pengajaran menyimak dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut: (a) guru menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa; (b) pada langkah mengamati, guru menyiapkan media pembelajaran (visual/audiovisual) dengan mengambil topik mengenai hal yang bersifat asing di mata siswa, sehingga akan merangsang minat siswa untuk bertanya, (c) pada langkah menanya, siswa yang telah dihadapkan pada hal yang asing akan timbul banyak pertanyaan yang kemudian disampaikan kepada guru, (d) pada langkah menalar, siswa yang sudah mendapatkan jawaban memuaskan dan dapat dipertanggung jawabkan oleh guru, kemudian mengolah atau mengasosiasiakan menjadi sebuah kepaduan, (e) pada langkah mencoba, dari apa yang telah didapatkan melalui media yang telah ditayangkan guru maupun hasil olahan kegiatan menanya, siswa secara bergiliran menceritakan kembali di depan kelas. (f) pada langkah membuat jejaring, siswa menkritisi untuk mengomentari dan menanggapi temannya. (g) guru memberikan simpulan, penguatan, refleksi, dan tindak lanjut. Dengan pendekatan saintifik tersebut tujuan pembelajaran tercapai, siswa aktif, dan peran guru sebagai fasilitator dapat berjalan secara maksimal. Semua perencanaan tersebut harus sudah dituangkan ke dalam RPP yang sudah disiapkan. 3. Pengajaran Keterampilan Membaca dengan Pendekatan Saintifik Pengajaran keterampilan membaca perlu dirancang dengan menggunakan pendekatan saintifik. Dalam pembelajaran saintifik guru mendorong dan menginspirasi siswa berpikir kritis, analisis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. Guru mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lainnya dari substansi menyimak. Dengan perencanaan yang sistematis maka akan diperoleh hasil pembelajaran aktif yang optimal dan inspiratif.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

123

Sebagai contoh perencanaan pengajaran membaca dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut: (a) guru menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa; (b) guru menyiapkan media pembelajaran (topik-topik) yang akan digunakan sebagai bahan berlatih keterampilan membaca para siswa, (c) pada langkah mengamati, kemudian masing-masing kelompok diberikan topik untuk dibaca dan diidentifikasi hal-hal pokok yang terdapat di dalam materi bacaan tersebut, (d) pada langkah menanya, siswa diminta untuk membuat sebuah forum diskusi kecil di setiap kelompok,hal ini bertujuan untuk, memantapkan dan menyamakan perspektif siswa terhadap topik yang telah dibaca, (e) pada langkah menalar, siswa yang sudah mendapatkan jawaban melalui kegiatan diskusi, kemudian dikumpulkan (f) pada langkah mencoba, dari jawaban yang telah terkumpul kemudian diolah atau disosiasiakan menjadi sebuah kepaduan, (g) pada langkah membuat jejaring, siswa secara berkelompok mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas, sementara siswa lain menkritisi untuk mengomentari dan menanggapi temannya. (h) guru memberikan simpulan, penguatan, refleksi, dan tindak lanjut. Dengan pendekatan saintifik tersebut tujuan pembelajaran tercapai, siswa aktif, dan peran guru sebagai fasilitator dapat berjalan secara maksimal. Semua perencanaan tersebut harus sudah dituangkan ke dalam RPP yang sudah disiapkan. 4. Pengajaran Keterampilan Menulis dengan Pendekatan Saintifik Pengajaran keterampilan menulis perlu dirancang dengan menggunakan pendekatan saintifik. Dalam pembelajaran saintifik guru mendorong dan menginspirasi siswa berpikir kritis, analisis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran. Guru mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lainnya dari substansi menyimak. Dengan perencanaan yang sistematis maka akan diperoleh hasil pembelajaran aktif yang optimal dan inspiratif. Sebagai contoh perencanaan pengajaran membaca dengan pendekatan saintifik adalah sebagai berikut: (a) guru menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa; (b) guru menampilkan contoh teks (anekdot/berita/eksplanasi sesuai dengan KD) kepada siswa. (c) pada langkah mengamati, siswa mengidentifikasi struktur dan ciri teks yang telah divisualisaikan oleh guru, (c) pada langkah menanya, guru beserta siswa lainnya bertanya jawab tentang struktur dan ciri teks yang telah ditayangkan, (d) pada langkah menalar, siswa mengumpulkan dan menyimpulkan hasil tanya jawab, kemudian mengerti mengenai struktur dan ciri teks yang dimaksud, (e) pada kegiatan mencoba, siswa menuliskan sebuah teks dengan berpedoman pada struktur dan ciri yang sudah ditemukannya, (f) pada langkah membuat jejaring, siswa mempresentasikan hasil tulisannya di depan kelas, sementara siswa lain menkritisi untuk mengomentari dan menanggapi temannya. (g) guru memberikan simpulan, penguatan, refleksi, Dengan pendekatan saintifik tersebut tujuan pembelajaran tercapai, siswa aktif, dan peran guru sebagai fasilitator dapat berjalan secara maksimal. Semua perencanaan tersebut harus sudah dituangkan ke dalam RPP yang sudah disiapkan.

124

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

5. Pengajaran Keterampilan Bersastra dengan Pendekatan Saintifik Pengajaran keterampilan bersastra pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan penerapan pembelajaran empat keterampilan berbahasa lainnya. Yang menjadi pembeda adalah materi atau topik bahasan dalam pembelajaran bersastra tersebut. Pembelajaran bersastra perlu dilatih secara terus menerus dan dirancang dengan pendekatan saintifik sehingga tercapai tujuan pembelajaran yang inovatif agar siswa mampu mengapresiasi sastra secara efektif dan efisien. Pengajaran bersastra perlu dimulai dengan gambaran atau penjelasan mengenai ruang lingkup bersastra itu sendiri sehingga siswa tahu arah dan tujuan pembelajaran tersebut. Sebagai contoh perencanaan pengajaran bersasrtra dengan pendekatan saintifik dapat diaplikasikan sebagai berikut: (a) guru menjelaskan tujuan pembelajaran keterampilan bersastra kepada siswa; (b) guru mempersiapkan media pembelajaran (topik-topik) yang akan digunakan dalam keterampilan bersastra bagi para siswa, (c) pada langkah mengamati, para siswa diminta untuk berpasangan membentuk kelompok 4-5 siswa kemudia diberi nama kelompok, kemudian masing-masing kelompok diberikan topik untuk dibaca, disimak/ditulis (disesuaiakan dengan KD), (d) pada langkah menanya, siswa diminta untuk mengidentifikasi dan memaparkan hasil identifikasinya di dalam forum kelompoknya, (e) pada langkah menalar, masing-masing kelompok mengasumsikan kemudian mengolah jawaban dari masing-masing anggotanya, (f) pada langkah mencoba, setiap kelompok diminta untuk menulis/membaca (sesuai KD), (g) pada langkah membuat jejaring, siswa mempresentasikan hasil tulisannya di depan kelas, sementara siswa lain menkritisi untuk mengomentari dan menanggapi temannya. (h) guru memberikan simpulan, penguatan, refleksi, Dengan pendekatan saintifik tersebut tujuan pembelajaran tercapai, siswa aktif, dan peran guru sebagai fasilitator dapat berjalan secara maksimal. Semua perencanaan tersebut harus sudah dituangkan ke dalam RPP yang sudah disiapkan. D.

PENDEKATAN SAINTIFIK DAN REVOLUSI MENTAL Revolusi mental menjadi hal yang sangat genting di negara kita. Ketika mental dimaknai begitu luas maka revolusi mental harus mampu membongkar budaya budaya yang selama ini sudah tertanam kuat dan kini sudah sebagian memudar bahkan hilang.Salah satu upanya nyatanya adalah melalui pengajaran bahasa (Indonesia), sebagai embrio pembentuk mental bangsa. Kegiatan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak cukup dipandang hanya untuk berkomunikasi lisan dan tulisan. Sesuai dengan fungsi dasarnya, bahasa Indonesia mestinya dipelajari untuk mengenali jati diri atau akal budi orang Indonesia. Orang yang tidak patuh berbahasa Indonesia jelas-jelas menodai jati diri atau akal budi sendiri. Hasil pembelajaran bahasa Indonesia saat ini belum mencapai derajat penghormatan atas jati diri atau akal budi. Pendekatan saintifik sebagai tonggak kurikulum 2013 sebagai solusi penghubung berbagai fungsi dan keterampilan berbahasa serta mengitegrasikannya menjadi sebuah kesatuan yang tangguh. Kurikulum 2013 melalui pendekatan saintifik sudah menyuratkan ikhtiar nyata dalam pembentukan mental bangsa dengan perubahan kebijakan untuk mengintegrasikan mata pelajaran di sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi. Bagi anak, PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

125

kepentingannya sangat sederhana: tidak membawa beban (secara fisik dan psikis) yang melebihi jangkauan kemampuannya. Satu pelajaran bahasa Indonesia mampu menghela pelajaran (ilmu) pengetahuan sosial dan alam. E.

PENUTUP Peran bahasa sebagai tonggak revolusi mental sangatlah mutlak. Salah satu wujud optimalisasi nyatanya adalah dilakukan melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pembelajaran dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat dioptimalisasi dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan karakter bangsa, yaitu pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik yang terlembaga kepada lima proses yaitu mengamati, menanya, eksperimen/mengumpulkan informasi, menalar/menganalisis, serta membuat jejaring/mengkomunikasi. Dalam lima proses tersebut, setiap siswa dituntut agar mampu menerapkan sikap ilmiah seperti jujur, objektif, dan akuntabel selama proses pembelajaran. Upaya pengembangan dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia secara berkesinambungan akan memberikan inspirasi bagi masyarakat Indonesia untuk bangga kepada bahasa Indonesia sebagai wujud revolusi mental. Pendekatan saintifik sebagai perangsang momentun revolusi mental di Indonesia Melalui sistematika dan prosedur pendekatan saintifik dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di tinggkat dasar sampai perguruan tinggi, mampu membentuk karakter dan mental bangsa yang tangguh, yang mampu untuk berpikir dan berperilaku ilmiah. Membentuk karakter bangsa yang mampu untuk berpikir dan berperilaku berdasarkan fakta dan bukti empirik, tidak tergiring oleh opini publik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian akan terbentuk insan-insan cendikia yang memiliki karakter dan mental yang kuat serta santun dalam berbahasa. DAFTAR PUSTAKA Andayani.2014. Pendekatan Saintifik dan Metodologi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Surakarta :Yuma Pustaka. Brown & Wragg.1977.Micro-Teaching a Programme of Teaching Skills. New York: Methuen & Co Kemendikbud. 2013. Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Patton, Michael Quinn. 1998. Qualitative Research & Evaluation Methods. London: Sage Publisher. Rohmadi, Muhammad. 2009. Model-model Pembelajaran Bahasa, Sastra, dan Seni. Surakarta:Yuma Pustaka

126

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

PESAN MORAL DALAM CERITA PADA RUBRIK WACAN BOCAH MAJALAH DJAKA LODANG Herlina Setyowati [email protected] Abstrak Karya sastra selain dapat dinikmati unsur hiburannya juga dapat diambil pesan moral yang terkandung di dalamnya sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Melalui sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh di dalam cerita, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan. Pesan moral ini kadang tersirat di dalam cerita sehingga pembaca perlu menggali lebih dalam di dalam setiap larik-larik cerita. Kata kunci : pesan moral

PENDAHULUAN Karya sastra sebagai salah satu hasil kebudayaan manusia tentunya sangat menarik untuk dikaji dan dibicarakan. Pengkajian dan pembicaraan itu dapat dilakukan dari sudut nilainya, seperti nilai seni, nilai ajaran hidup, maupun nilai-nilai yang lain. Nilai seni berkaitan dengan keindahan (estetis), sedangkan nilai ajaran hidup berhubungan dengan amanat atau pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Perumusan dari semua itu dapat tersurat maupun tersirat. Dengan demikian sesuai dengan pernyataan Horace dulce et utile atau sweet and useful, yakni menyenangkan dan berguna (Wellek dan Warren, 1995: 25). Menyenangkan dan berguna dalam hal ini berhubungan dengan bahasa dan isi atau kandungan makna dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, baik makna tersurat maupun makna tersirat. Tokoh sebagai pembawa cerita adalah orang-orang yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penyebutan tentang tokoh biasanya sekaligus memberikan isyarat mengenai perwatakan yang dimiliki oleh masing-masing pribadi dalam cerita itu. Dalam penelitian ini, peneliti mencatat tokoh yang terlibat di dalam cerita serta karakternya. Setelah itu akan dijelaskan pesan moral yang terkandung di dalam cerita. Pembahasan pesan moral akan disertai indikator yang menunjukkan kualitas moral tokoh yang dikutip dari cerita pada rubrik Wacan Bocah, majalah Djaka Lodang. KAJIAN TEORI Sastra sesungguhnya menyajikan berbagai macam hiburan. Jenis atau macam hiburan yang ada dalam karya sastra sesungguhnya juga sangat bergantung pada kepekaan dan ketajaman intuisi pembaca. Pembaca yang peka dan tajam intuisinya akan dapat menangkap hal-hal yang bersifat menghibur yang terdapat dalam karya sastra. Karya sastra selain dapat dinikmati unsur hiburannya juga dapat diambil unsur amanat yang terkandung di dalamnya sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra atau pesan yang ingin disampaikan

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

127

pengarang kepada pembaca atau pendengar (Sudjiman, 1986: 5). Pesan biasanya berupa nasihat-nasihat ajaran moral yang dapat dijadikan contoh bagi kehidupan dalam masyarakat. Cerita pendek mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan (Nurgiyantoro, 2007: 321). Amanat dalam suatu karya sastra dapat berupa ajaran moral atau pesan yang disampaikan oleh pengarang dan dapat juga berupa jalan keluar dari permasalahan yang diajukan dalam cerita. Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra ada yang dituangkan secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku menjelang cerita berakhir dan secara eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1986: 57-58). Menurut Muchson (2012: 2) moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu. Moral yang berasal dari kata mores artinya mengungkapkan dapat atau tidaknya suatu perbuatan atau tindakan yang diterima oleh sesama manusia dalam hidup kemasyarakatan (Darmadi, 2009: 53). Dalam kenyataannya pandangan baik buruknya tingkah laku tidaklah sama pemikiran dengan yang lain. Pengertian moral secara umum mengacu pada ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban akhlak, budi pekerti, susila (KBI, 2008: 1041). Pengertian moral dalam karya sastra itu sendiri tidak berbeda dengan moral secara umum, yaitu yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan (baik, buruk) serta penerapan moral dalam bersikap dan bertingkah laku. Moral dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai petunjuk dan pedoman yang bersifat praktis untuk pembaca dalam kehidupan sehari-hari. Moral dalam cerita menurut Kenny dalam Nurgiyantoro (2007: 321) biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil atau ditafsirkan lewat cerita, sehingga pembaca dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan. Perkembangan moral manusia ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam merespon lingkungan dimana mereka melakoninya sehingga akan terbentuk kembali pengetahuan yang baru menyangkut moral dan kematangannya (Darmadi, 2009: 124). Melihat kenyataan tersebut fungsi moral dalam suatu masyarakat memegang peranan yang sangat penting dalam mewujudkan proses budi pekerti yang terarah pada kemampuan berfikir rasional, berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas perilakunya berdasarkan hak dan kewajiban. Gazalba dalam Lubis (2008: 11) mendefinisikan moral sebagai suatu ajaran-ajaran, patokan-patokan, kumpulan peraturan, dan ketepatan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Dengan demikian berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa moral merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran atau patokan baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, dan budi pekerti seseorang, sehingga

128

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

dapat terbentuk pribadi-pribadi yang memiliki sikap positif dan kesadaran moral yang dapat membedakan baik dan buruk, hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta dapat berfikir secara rasional. Karya sastra pada hakikatnya merupakan media komunikasi pengarang dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan penilaiannya terhadap sesuatu kepada pembaca. Sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca berupa pesan moral yang dikemas dalam sebuah cerita. Sastra dapat berfungsi sebagai media penyampaian pendidikan budi pekerti yang mampu memberikan pengaruh positif terhadap cara berpikir mengenai baik dan buruk, mengenai benar dan salah sikap atau perbuatan seseorang. Hal ini mengingat setiap individu dalam bersikap, bertingkah laku, dan bergaul haruslah memperhatikan normanorma atau aturan yang berlaku dalam masyarakat. PEMBAHASAN Pada artikel ini, penulis akan menyajikan tiga judul cerita Wacan Bocah, yang diambil dari majalah berbahasa Jawa Djaka Lodang. Cerita pertama berjudul Maong Ngangsa (tidak disebutkan nama pengarangnya) yang dimuat pada edisi nomor 44 tahun 2014, kedua berjudul Tikus kang Rakus karya A. Sardi yang dimuat pada edisi nomor 45 tahun 2014, dan ketiga Cidra Janji karya Akhiyadi yang dimuat pada edisi nomor 47 tahun 2014. Mula-mula penulis akan menuliskan judul, tema, tokoh dan karakternya, kemudian pesan moral yang terkandung di dalam cerita. Berikut ini pembahasannya. 1. Judul: Maong Ngangsa Tema: belum menjadi rezeki Tokoh dan wataknya: a. Cecak Cecak mempunyai watak sabar. Berikut ini bukti kutipannya. “Cecak tetep sabar, sinambi golek reka daya supaya bisa uwal saka panggegeme Maong.” (Cecak tetap bersabar sembari mengatur siasat agar bisa melepaskan diri dari cengkeraman Maong.) b. Maong Maong mempunyai watak tidak sabar. Berikut bukti kutipannya. “Sabar, tak nata ambegan sedhela”, celathune Cecak karo nguntir-untir awake ngulet.” (Sabar, saya bernapas sebentar, kata Cecak sembari merilekskan tubuhnya.) c. Wirok Wirok mempunyai perilaku gesit. Berikut bukti kutipannya. “Tan kocapa, panubruking Maong bebarengan karo panloronge Ula Sawa. Bruk! Maong, Ula Sawa tubrukan, dene Wirok kang meruhi kahanan njranthal golek papan panonopan.” (Tiba-tiba, Maong menerkam bersamaan dengan Ular Sawa yang meloncat ke arah Wirok. Keduanya bertubrukan. Wirok segera mencari tempat sembunyi.)

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

129

d. Ula Sawa Ular Sawa mempunyai perilaku menerima kenyataan. Berikut bukti kutipannya. “Ula Sawa tansah nedha nrima, “Pancen kabeh durung dadi mangsaku.” ujare sareh karo ndlosor ngerong.” (Ula Sawa menerima kenyataan, ―Memang belum menjadi mangsa saya.‖ katanya sabar sembari merayap ke lubang.) Pesan Moral Pada cerita Maong Ngangsa, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Maong yang memaksakan diri, mengandung ajaran baik yang ditunjukkan tokoh Cecak yaitu harus sabar dalam situasi apa pun. Dalam keadaan genting, antara hidup dan matinya, Cecak sabar sembari mengatur siasat sehingga dapat melepaskan diri dari cengkeraman Maong dengan tipu dayanya. Dengan demikian dapat diambil pelajaran bahwa dalam kondisi segenting apa pun kita harus tetap bersabar. Apalagi menyangkut hidup dan mati kita. Setiap langkah kita harus dipikir masak-masak agar kita dapat selamat dari bencana. Selanjutnya, peristiwa yang dialami Maong yang mempunyai dua pilihan. Pilihan pertama memakan Cecak yang saat itu sudah ada dalam cengkeramannya atau memangsa Wirok yang bertubuh lebih besar dari Cecak. Dari peristiwa yang dialami Maong tersebut dapat diambil pelajaran bahwa kesempatan yang sama tidak akan pernah datang untuk kedua kali. Karena Maong serakah menginginkan makanan yang lebih besar, ia memilih untuk melepaskan makanan sudah ada di hadapannya padahal makanan yang lebih besar itu belum tentu ia dapatkan. Akhirnya, Maong bukannya mendapatkan makanan justru naas digigit Ular Sawa. Demikian gambaran bagi orang yang serakah. Rezeki yang sedikit tidak disyukuri sehingga rezeki itu hilang sama sekali. Sinopsis: Alkisah ada Cecak yang sedang dalam cengkeraman Maong. Cecak berusaha melepaskan diri, namun Maong semakin erat mencengkeram. Cecak merayu Maong, dia memberi iming-iming ada makanan yang lebih besar dan mengenyangkan daripada Cecak. Maong percaya pada Cecak sehingga ia melepaskannya. Selanjutnya, Cecak mengantarkan Maong ke rumah Wirok. Pada saat yang sama, Ular Sawa juga sedang mengintai Wirok. Saat Wirok keluar secara bersamaan Maong dan Ular Sawa berusaha memangsa. Malang, keduanya gagal memangsa Wirok. Akhirnya, Ular Sawa marah pada Maong dan menggigitnya. 2. Judul: Tikus kang Rakus Tema: kerakusan yang hampir membuat celaka Tokoh dan wataknya: 1) Miki Miki mempunyai watak tidak sabaran dan rakus. Berikut bukti kutipannya. “Wadhuh wetengku wis ora kuwat ngempet ngelih!” ujare Miki. (Aduh perutku tidak kuat menahan lapar.)

130

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

“Ditahan dhisik. Sedhela maneh, lampu mesthi bakal dipateni!” panglipure Miko. (Ditahan dulu. Sebentar lagi lampu pasti akan dipadamkan.) “Apa aku tak menyang meja makan dhewe dhisik?” pamintane Miki. (Atau aku pergi ke meja makan dulu?) Perbuatan rakus ditunjukkan pada kutipan berikut ini. “Ki, amarga wis wareg, ayo luwih becik awake dhewe enggal lunga saka kene!” (Ki, sudah kenyang ayo lebih baik kita segera pergi dari sini.) “Ngko sik, ta, Ko. Aku isih kepengin mangan daging iki!” wangsulane Miki karo isih kethamel-kethamel mangan daging sing dikarepake. (Sebentar Ko, aku masih ingin makan daging ini. Jawaban Miki sembari asyik makan daging.) “Uwis aja akeh-akeh. Mengko kowe bisa kemlakaren.” pamintane Miko maneh. (Sudah jangan terlalu banyak. Nanti kamu bisa kekenyangan. Permintaan Miko sekali lagi.) 2) Miko Miko mempunyai watak sabar dan suka menolong. Berikut bukti kutipannya. “Miko ngerti yen Miki kelaran. Kanthi sabar Miko paweh pitulungan marang Miki supaya ndhelik luwih primpen maneh.” (Miko tahu Miki kesakitan. Dengan sabar Miko memberi pertolongan kepada Miki supaya bersembunyi.) Pesan Moral Pada cerita Tikus kang Rakus yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tikus yang rakus, mengandung ajaran baik yang ditunjukkan tokoh Miko. Miko sabar memberi pertolongan pada temannya yang sedang kesakitan. Miko juga sabar menanti lampu dapur dipadamkan. Sebaliknya tokoh Miki tidak sabar ingin segera makan padahal kalau Miki nekat dia akan celaka. Akhirnya mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dengan demikian, orang yang sabar akan mendapatkan apa yang diharapkan. Selanjutnya, ajaran yang baik dapat ditafsirkan lewat peristiwa yang dialami Miki yaitu terlalu banyak makan yang menyebabkan Miki sulit beraktivitas. Dari peristiwa itu memberikan contoh bagi pembaca bahwa terlalu banyak makan tidak baik untuk tubuh. Dengan demikian, ajarannya yaitu jangan makan terlalu banyak agar dapat bebas beraktivitas. Sinopsis: Alkisah ada dua ekor tikus yang bernama Miki dan Miko. Saat itu Miki merasa lapar dan mengajak Miko untuk mendekati meja makan. Namun, Miko melarang karena lampu ruang makan masih menyala. Sesaat kemudian, lampu dipadamkan. Miki dan Miko mendekati meja makan dan memakan makanan yang ada di situ. Miki sangat menikmati makanannya sehingga tidak mau beranjak dari meja, sedangkan Miko sudah cukup. Tidak sengaja Miki menjatuhkan sendok sehingga menimbulkan suara. Pemilik rumah menyalakan lampu kemudian mendapati Miki di atas meja. Miki kekenyangan sehingga sulit bergerak. Miki PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

131

dipukul. Dia lari dan bersembunyi di bawah lemari. Miko berusaha menolong temannya yang kesakitan. Miko juga memberi nasihat pada Miki agar tidak makan berlebihan. 3. Judul: Cidra Janji Tema: Celaka karena ingkar janji Tokoh dan wataknya: 1) Wit Eporbi Wit Eporbi mempunyai perilaku ingkar janji. Berikut bukti kutipannya. “Eporbi, Thangklung wis kasil takpateni. Saiki aku tak takon, endi pangan sing arep kowenehake marang aku lan wadyabalaku saanak bojone?” Rangreng nagih janji. (Eporbi, Thangklung sudah berhasil saya bunuh. Sekarang, mana makanan yang akan kamu berikan kepadaku dan teman-temanku sekeluarga? Rangreng menagih janji.) “Suk emben, Rangreng,” wangsulane Wit Eporbi cidra janji. (Besok Rangreng. Jawab Wit Eporbi ingkar janji.) “Ya wis, yen pancen kowe cidra janji.” ujare Rangreng. (Ya sudah kalau memang kamu ingkar janji.) 2) Singa Singa mempunyai perilaku sigap. Berikut bukti kutipannya. “Meruhi tekane kewan mau, Singa Maruto nuli ancang-ancang, makjranthal playune methukake jerapah. (Melihat kedatangan hewan tadi, Singa Maruto segera mengambil ancang-ancang menerkam Jerapah) 3) Rangreng Rangreng mempunyai perilaku kompak dengan koloninya. Berikut bukti kutipannya. “Nalika Jerapah Thangklung teka lan mangani gegodhongan serta pucuke pang-pang, semut ireng padha budhal saka susuhe lan ngrambati sirahe jerapah, mudhun nggulu, lan sekujur awake dirubung semut. Ora mung kuwi wae, sawenehe semut ana kang mlebu kuping, mlebu bolongan irung karo nyokot sarosane. (Ketika Jerapah Thangklung datang dan memakan daun serta pucuk ranting, semut hitam merayap di kepala Jerapah, ke leher, dan sekujur tubuh dikerubuti semut. Tidak hanya itu, beberapa semut masuk ke telinga, lubang hidung menggigit sekuat tenaga.) 4) Jerapah Thangklung Jerapah Thangklung mempunyai perilaku hati-hati. Berikut bukti kutipannya. ” …arep nubruk jebul thangklung ora ilang kaprayitnane.” (… akan menerkam ternyata Thangklung waspada.) Pesan Moral Pada cerita Cidra Janji yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ingkar janji, mengandung ajaran baik yang ditunjukkan tokoh Rangrang. Rangrang hidup

132

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

berkoloni. Pada cerita Cidra Janji ini Rangrang bekerja sama mengerubuti Jerapah Thangklung. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kita harus kompak dalam mengerjakan sesuatu supaya hasilnya lebih baik, seperti yang ditunjukkan oleh koloni Rangrang. Selanjutnya, ajaran yang baik dapat ditafsirkan lewat peristiwa yang dialami Wit Eporbi. Wit Eporbi meminta tolong pada Rangrang agar membunuh Jerapah Thangklung. Setelah Jerapah Thangklung berhasil dibunuh. Wit Eporbi ingkar janji. Kemudian Rangrang menuruni Wit Eporbi dan membuat rumah di bawah Wit Eporbi. Saat angin topan datang, Wit Eporbi yang kini rapuh karena tanah tempat berdirinya menjadi rumah Rangreng, terhempas. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kita tidak boleh ingkar janji. Setiap janji harus ditepati supaya tidak mengalami celaka, seperti yang dialami oleh Wit Eporbi yang celaka akibat perbuatannya. Sinopsis: Alkisah ada seekor jerapah yang suka makan daun eporbi. Hal ini membuat pohon eporbi tidak suka sehingga pohon eporbi meminta tolong pada singa agar membunuh jerapah. Permintaan pohon eporbi diterima oleh singa. Singa bersiap menyergap jerapah. Sayangnya, jerapah waspada sehingga dengan sigap jerapah menghentakkan kakinya pada tubuh singa. Oleh karena usaha singa tidak membawa hasil, pohon eporbi kemudian meminta tolong pada semut dengan janji akan memenuhi kebutuhan makan semut apabila berhasil. Semut bersedia menolong. Koloni semut berhasil membuat jerapah kesakitan dan jatuh ke jurang. Semut menagih janji pada pohon eporbi, tetapi pohon eporbi ingkar. Akhirnya semut membuat rumah di dalam tanah di bawah pohon eporbi. Saat angin besar menerjang, pohon eporbi kehilangan kekuatan sehingga terhempas angin. PENUTUP Ketiga cerita pendek Wacan Bocah di atas apabila dilihat dari judulnya memberi kesan negatif. Namun, apabila pembaca mau menafsirkan pesan moral yang disampaikan melalui peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya akan pelajaran positif. Tokoh-tokoh dalam cerita di atas memang bukan manusia tetapi pesan moral yang disampaikan oleh pengarang ditujukan pada manusia. Pesan moral ini hendaknya menjadi pedoman bertingkah laku dalam hidup manusia. Manusia yang baik tingkah lakunya akan menuai sesuai dengan perbuatannya. Sebaliknya, manusia yang tidak baik tingkah lakunya juga akan menanggung akibat dari perbuatannya. DAFTAR REFERENSI Darmadi, Hamid. 2009. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta. Lubis, Mawardi. 2008. Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muchson, Samsuri. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan Moral Basis Pengembangan Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ombak Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

133

Sudjiman, Panuti. 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia. Tim. 2008. Kamus Bahasa Indonesia (KBI off line). Jakarta: Pusat Bahasa. Wellek, Rene dan Austin Warren, 1995. Teori Kesusastraan (Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

134

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

PENDIDIKAN MORAL DAN BUDI PEKERTI MELALUI PITUTUR SIARAN BERBAHASA JAWA PAWARTOS NGAYOGYAKARTA DI JOGJA TV Zuly Qurniawati Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo Abstrak Pendidikan moral dapat disebut sebagai pendidikan nilai atau pendidikan afektif. Dalam hal ini hal-hal yang ingin disampaikan dalam pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk domain afektif. Nilai-nilai afektif tersebut antara lain, meliputi: perasaan, sikap, emosi, kemauan, keyakinan, dan kesadaran. Sejak usia dini hingga dewasa anak manusia sebaiknya telah memiliki modal budi pekerti, sehingga kita dapat membangun hari depannya menjadikannya sebagai manusia seutuhnya.pendidikan budi pekerti ditanam oleh orang tua dan keluerga di rumah, kemudian sekolah, dan tentu saja dimasyarakat secara langsung. Dalam menyampaikan pendidikan moral dan budi pekerti kepada anak muda pembelajaran melalui media, dalam hal ini media televisi. Jogja TV sebagai media televisi lokal dapat menjembatani sikap dan perilaku generasi muda, dalam hal ini pendidikan modal dan budi pekerti melalui tayangan pitutur siaran berita berbahasa Jawa di Jogja TV. Media ini sebagai tayangan alternatif yang berwujud visual dalam penyampaiannya menggunakan bahasa Jawa Ragam Krama sehingga menumbuhkan kecintaannya terhadap budaya Jawa khususnya serta meningkatkan kearifan lokal budaya. Dalam tayangan berita tersebut berisi tentang tradisi, petuah atau pitutur. Media sebagai tempat untuk menjadikan sajian menarik bagi generasi muda sekaligus sebagai pembalajaran pendidikan moral dan budi, pekerti dan unggah-ungguh/tata krama.

I.

PENDAHULUAN Pendidikan moral dan budi pekerti di sekolah, banyak kembali diperbincangkan dalam pembentukan kembali moral bangsa, sehingga seolah-olah budi pekerti merupakan solusi baru bagi pendidikan bangsa yang mulai terdegradasi secara moral. Padahal pendidikan budi pekerti merupakan barang lama yang diselenggarakan sampai tahun 1970-an pada masa orde lama. Akhirnya dari penghilangan pelajaran budi pekerti ini maka timbullah berbagai kasus yang menggambarkan degredasi moral, seperti; korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejak usia dini hingga dewasa anak manusia sebaiknya telah memiliki modal budi pekerti, sehingga kita dapat membangun hari depannya menjadikannya sebagai manusia seutuhnya.pendidikan budi pekerti ditanam oleh orang tua dan keluerga di rumah, kemudian sekolah, dan tentu saja dimasyarakat secara langsung. Moral merupakan nilai tentang baik buruknya kelakuan manusia. Oleh karena itu moral berkaitan dengan nilai terutama nilai afektif. Akar dari semua tindakan yang jahat dan buruk, tindakan kejahatan, terletak pada hilangnya karakter. Karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebijakan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak bermoral. Dengan memasukkan media kedalam pembelajaran modral dan budi pekerti akan membuat menarik generasi muda melalui pitutur dalam siaran

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

135

berita berbahasa Jawa di JogjaTV. Media memberi peran penting dalam perubahan geberasi muda. Selama ini media kurang memperhatikan norma-norma yang seharusnya menjadi pegangan generasi muda dalam penayangannya. Rusaknya Moral dan budi pekerti adalah melalui perkembangan globalisasi yang begitu pesat. Melalui media on line dan media elektonik khususnya televisi sangat mempengaruhi dampak negative bagi perkembangan moral dan budi pekerti generasi muda sekarang. Untuk itu, Jogja TV sebagai televisi lokal yang mampu Televisi lokal cenderung memberikan informasi yang bersifat lokal. Oleh karena itu, keberadaan stasiun televisi lokal dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi yang berasal dari sekitar mereka. Ini dapat menjadi nilai lebih dari televisi lokal. Di samping itu, televisi lokal juga dapat menjadi sarana bagi pengembangan budaya dan bahasa daerah karena hampir semua televisi lokal, meskipun masih menggunakan bahasa Indonesia, namun tetap memasukkan acara-acara dengan bahasa daerah. Hal itu dikarenakan televisi lokal adalah media yang dekat dengan masyarakat sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa yang akrab dengan masyarakat setempat. Salah satu televisi lokal yang menayangkan program berbahasa Jawa adalah Jogja TV. Jogja TV sebagai salah satu stasiun penyiaran televisi lokal di Indonesia dan yang pertama berdiri di D.I. Yogyakarta pada tanggal 17 September 2004. Jogja TV diresmikan sebagai televisi lokal oleh Gubernur DIY Sri Sultan HB X di Kraton Yogyakarta. Jogja TV telah diakui konsistennya sebagai salah satu stasiun televisi lokal yang berupaya menjadikan seni budaya Jawa khususnya Yogyakarta sebagai konsep dasar dalam menjalankan aktivitas penyiarannya dengan slogan ―Tradisi Tiada Henti‖. Jogja TV mempunyai 3 pilar utama yaitu pendidikan, budaya, dan pariwisata sehingga mampu memberikan informasi, hiburan, dan kontrol sosial terhadap masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Jangkauan siaran mencakupi wilayah Yogyakarta, Gunung Kidul, Magelang, Sleman, Bantul, Kulonprogo, Wonosari, Solo, Purworejo, dan Kutoarjo. Jogja TV menyelenggarakan sebuah acara yang menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi sesuai dengan UU No 32 Tahun 2002 tentang penyiaran serta menunjukkan bahwa Jogja TV telah berperan dalam melestarikan Bahasa Jawa dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sebagai institusi sosial, Jogja TV berperan dalam proses transmisi budaya. Jogja TV berperan sebagai jembatan yang menghubungkan antar generasi, serta berperan langsung dalam mensosialisasikan Bahasa Jawa melalui program siarannya. Salah satu program tersebut adalah siaran berita berbahasa Jawa Pawartos Ngayogyakarta. Pawartos Ngayogyakarta ditayangkan setiap hari selama 30 menit pada jam 19.30 WIB. Pada setiap kali siaran ada 8 topik berita yang disajikan dan pada akhir siaran diisi dengan pitutur. Seluruh berita disampaikan dalam Bahasa Jawa ragam krama inggil. Dengan demikian, generasi muda diharapkan memperoleh contoh tentang bagaimana berbahasa Jawa yang baik dan benar sesuai dengan kaidah tingkat tutur Bahasa Jawa. Dalam siaran Pawartos Ngayogyakarta di Jogja TV dibawakan oleh pembaca berita atau disebut juga presenter.

136

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan Moral? 2. Apa yang dimaksud dengan pendidikan budi pekerti? 3. Apakah peran media melalui siaran berita dapat membentuk karakter generasi muda dan implementasinya? TUJUAN 1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan budi pekerti. 2. Untuk mengetahui pengertian pendidikan moral. 3. Untuk mengetahui peran media dalam membentuk karakter generasi muda dan penerapannya. II. PEMBAHASAN A. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti Budi Pekerti terdiri dari budi dan pekerti. Budi adalah alat batin sebagai panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Berbudi berarti mempunyai kebijaksanaan berkelakuan baik. Pekerti adalah perilaku, perangai, tabiat, watak, akhlak dan perbuatan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesi (1989) istilah budi pekerti diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak, watak. Budi pekerti dalam Bahasa Arab disebut akhlak dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam Bahasa Inggris disebut ethics. Senada dengan itu, Balltbang Dikbud (1995) menjelaskan bahwa budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat, bangsa, dan Negara. Budi pekerti ialah perilaku kehidupan sehari-hari dalam bergaul, berkomunikasi, maupun berinteraksi antar sesama manusia maupun dengan penciptanya. Budi pekerti yang kita miliki terdiri dari kebiasaan atau perangai, tabiat dan tingkah laku yang lahir disengaja tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan. Budi pekerti adalah kehendak jiwa seseorang yang telah menjadi kebiasaan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu yakni perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran jiwa, bukan dengan paksaan jiwa, budi Pekerti juga bisa dikatakan sebagai kualitas tingkah laku, ucapan, dan sikap seseorang yang mempunyai nilai utama dalam pandangan seseorang bagaimana ia bertutur kata dan sikap yang baik terhadap seseorang. Pengertian lain dari budi pekerti yaitu kehendak yang biasa dilakukan atas segala sifat yang tertanam di dalam hati yang menimbulkan kegiatan dengan ringan dan mudah tanpa memerlukan pemikiran sebagai pertimbangan. Dengan demikian budi pekerti berpangkal dengan hati jiwa atau kehendak kemudian diwujudkan dalam bentuk perbuatan sebagai kegiatan. Secara umum budi pekerti bearti moral dan kelakuan yang baik dalam menjalani kehidupan ini. Ini adalah tuntutan moral yang paling penting dalam menjalani kehidupan manusia.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

137

Budi pekerti adalah induk dari segala etika, dan tata kerama, tat susila, prilaku baik dalam pergaulan, pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidkan budi pekerti ditaanam oleh orang tua dan keluarga di rumah, kemudian di sekolah, dan tentu saja dimasyarakat secara langsung. Dengan banyaknya pengertian budi pekerti yang telah disebut maka kita dalam menjalani kehidupan ini dengan mudah dan arif dalam menerima tuntutan budi pekerti. Budi pekerti untuk melakukan hal-hal yang patut, baik, dan benar.kalu kita berbudi pekerti maka jalan kehidupan kita paling tidak tentu selamat sehingga kita perlu berkiprah menuju kesuksesan hidup, kerukuna antar sesama dan berada dalam koridor perilaku yang baik. Sebaliknya kalau kita melanggar prinsip-prinsip budi pekerti maka kita akan mengalami hal yang tidak nyaman,dari sifatnya ringan, seperti tidak disenangi atau dihormati orang lain, sampai kepada hal yang berat sehingga melanggar hukum dan terpidana. Budi pekerti secara operasional meupakn suatu perilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa, dan menghormati orang lain, cara berikap menghadap tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah dan sebagainya. Pendidikan budi pekerti sering juga diasosiasikan dengan tata krama yang berisiskan kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Tata kramaterdiri atas tata dan krama. Tata berarti adat, norma, aturan. Krama berarti sopan santun, kelakuan, tindakan perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti adat sopan santun, menjadi bagian dari kehidupan manusia. Sedangkan menurut Haldar (2004) pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral kedalam sikap dan prilaku peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (berakhlakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari, baik berinteraksi kepada Tuhan, dengan sesama manusia, binatang, maupaun dengan alam dan lingkungan. Dalam pendidikan budi pekerti yang bisa dilakukan adalah mengubah, mengarahkan perilaku peserta didik dan perilakuperilaku ini secara spesifik dapat dilihat inikator-indikatornya. Oleh karena itu, dalam membangun karakter bangsa yang perlu dididik kepada peserta didik, adalah mendidik budi pekerti dengan cara menanamkan, mengarahkan, mengubah untuk menjadi kan perilakuperilaku peserta didik yang lebih positif atau lebih baik. Dalam pedoman pendidikan budi pekerti ini yang diajarkan secara nyata kepada peserta didik berkaitan dengan enem pilar. Keenam pilar tersebut adalah pilar dapat dipercaya, tanggung jawab, sikap hormat, peduli, sportif, dan warga negara yang baik. Dari pilar-pilar dasar tersebut diturunkan menjadi sejumlah dimensi perilaku dan dari dimensidimensi perilaku yang ada dipilah lagi menjadi sejumlah indikator-indikator perilaku yang dapt diukur. Jadi, pengertian Budi Pekerti adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang

138

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

dan masa yang akan datang atau upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi pribadiseutuhnya yang bebudi pekerti luhur melalui kegiatan bimbingan, pembiasaan, pengajaran, dan latihan serta keteladanan. Dalam menerapkan nilai-nilai budi pekerti dalam kehidupan sering terjadi benturanbenturan nilai dan norma-norma yang kita rasakan. Apa yang dahulu kita anggap benar mungkin sekarang sudah menjdi salah. Apa yang dulu kita anggap tabu dibicarakan sekarang sudah menjadi suatu yang lumrah. Misalnya berbicara masalah seks, hubungan pacaran, masalah politik, masalah hak azazi manusia, dan sebagainya. B. Pengertian Pendidikan Moral Pendidikan moral dapat disebut sebagai pendidikan nilai atau pendidikan afektif. Dalam hal ini hal-hal yang ingin disampaikan dalam pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk domain afektif. Nilai-nilai afektif tersebut antara lain, meliputi: perasaan, sikap, emosi, kemauan, keyakinan, dan kesadaran. Moral merupakan nilai tentang baik buruknya kelakuan manusia. Oleh karena itu moral berkaitan dengan nilai terutama nilai afektif. Ajaran dalam pendidikan moral adalah ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup dan berbuat agar menjadi manusia yang baik. Moral merupakan sistem nilai atau konsensus sosial tentang motivasi, perilaku dan perbuatan tertentu dinilai baik atau buruk. Falsafah moral: falsafah atau penalaran moral yang menjelaskan mengapa perbuatan tertentu dinilai baik, sedangkan perbuatan lain buruk. Falsafah moral menghasilkan teori-teori etika. Teori-teori etika: kerangka untuk berpikir tentang apakah suatu pebuatan dapat diterima dinilai dari pendekatan moral. Dua teori etika klasik yang paling terkenal yaitu teori utilitiarisme dan deontologi. C. Teori Utilitiarisme Teori Utilitiarisme yaitu menilai baik buruknya suatu tindakan dari hasil atau dampak tindakan itu. Jika hasilnya baik (the greatest good for the greates number) secara moral tindakan ini adalh baik. D. Teori Deontologi Teori deontologi ini mengatakan; lakukan kewajiban (Deon= kewajiban), jangan lihat hasil atau dampaknya. Merupakan asas-asas etika: penerapan teori-teori etika dalam praktek. Dua asas etika klasik adalah beneficence (kewajiban untuk berbuat baik) dan norma leficence (kewajiban untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain). Dua asas etika kontemporer adalah menghormati manusia (respect for reason) dan keadilan (justice) Memotret wajah pendidikan islam dalam dimensi moral menjadi hal yang sangat signifikan. Ini karena moral merupakan landasan fundamental bagi seseorang untuk bersikap, bertindak, dan berbuat sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama. Nilainilai disini dapat berupa kejujuran dan tanggung jawab yang merupakan nilai mutlak dan secara niscaya dimiliki setiap orang. Tak heran kalau Muhammad SAW dan Ibrahim S.a, memandang bahwa hakikat pendidikan islam adalah sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

139

mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita islam sehingga ia dengan mudah dapat membentuk hidupnya dalam kerangka keislaman. Maka dari itu sistem penilaian tidak hanya mengutamakan sisi kognitif saja, tetapi ranah psikomotor maupun afektif sangat menentukan dalam setiap proses pembelajaran. E. Pengertian Pendidikan Karakter Akar dari semua tindakan yang jahat dan buruk, tindakan kejahatan, terletak pada hilangnya karakter. Karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebajikan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan yang tidak bermoral. Karakter dimaknai dengan cara berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama baik dalm lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai prilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasrkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika. Karakter adalah prilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam berindak. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia(2008) karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai-nilai yang unik baik yang terpatri dalam diri dan terejawantahkan dalm perilaku (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010). Nilai-nilai yang unik, baik itu kemudian dalam Disain Induk Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 dimaknai sebagai tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, dan nyata berkehidupan baik. Scerenco (1997) mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk atau membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok atau bangsa, sementara itu The Free Dictionary dalam dalam situs onlinenya mendefinisikan karakter sebagai suatu kombinasi kualitas atau ciri- ciri yang membedakan seseorang atau kelompok atau suatu benda dengan yang lain. Karakter juga didefinisikan sebagai suatu deskripasi dari atribut, ciri-ciri, atau kemampuan seseorang. Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nila dasar prilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal bebagai karakter dirumuskan sabagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian, menghargai, kerja sama, kebebasan, kebahagiaan, kejujuran, kerendahan hati, kasih sayang, tanggung jawab, kesederhanaan, toleransi, dan persatuan. Karakter dipengaruhi oleh hereditas. Perilaku seorang anak sering kali tidak jauh dari perilakuayah ibunya. Dalam Bahasa Jawa dikenal istilah ―kacang ora ninggal lanjaran‖ (pohon kacang panjang tidak pernah meninggalkan kayu atau bambu tempatnya melilit dan menjalar).kecuali itu lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam ikut membentuk karakter.

140

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakter di atas maka karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakan dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian yang sedehana pendidikan karakter adalah hal positip apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarkannya. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilainilai kepada para siswanya (Winton, 2010). Pendidikan karakter telah menjadi sbuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. Merupakan suatu upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilainilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, keuletan, dan ketabahan,tanggung jawb, menghargai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter menurut Burke (2001) semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik. Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikkan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungannya dengan Tuhannya. Definisi ini dikembangkan dari definisi yang dimuat dalam fundestanding (2006). Departemen Pendidikan Amerika Serikat mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut: ―pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan berpikir dan kebiasaan berbuat yang dapat membantu orang-orang hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, sahabat tetangga, masyarakat, dan bangsa.‖ Menjelaskan pengertian tersebut dalam brosur pendidikan karakter dinyatakan bahwa : ―pendidikan karakter adalah suatu proses pembelajaran yang memberdayakan siswa dan orang dewasa di dalam komunitas sekolah untuk memahami, peduli tentang, dan berbuat berlandaskan nilai-nilai etik seperti respek, keadilan, kebajikan warga (civic virtue) dan kewarganegaraan, dan bertanggung jawab kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Lickona (1991) mendefenisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguhsungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis. Secara sederhana lickona (2004) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang dirancang secara sengaja untuk memperbaiki karakter para siswa. Menurut Scerenko (1997) pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya yang sungguh-sungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif dikembangkan, didorong, dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian (sejarah, dan biografi para bijak dan pemikir besar), serta praaktik emulasi (usaha yang maksimal untuk mewujudkan hikmah dari apa-apa yang diamati dan dipelajari). Sementara itu Arthur dalam makalahnya bejudul Traditional Approaches to Character Education in Britain and America (Nucci and Narvaez, 2008), mengutip Anne Lockwood (1997)mendefinisikan pendidikan karakter sebagai aktivitas berbasis sekolah yang mengungkap secara sistematis bentuk perilaku dari siswa seperti ternyata dalam perkataannya: pendidikan karakter didefinisikan sebagai setiap rencana sekolah, yang PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

141

dirancang bersama lembaga masyarakat yang lain, untuk membentuk secara langsung dan sistematis perilaku orang muda dengan mempengaaruhi secra eksplisit nilai-nilai kepercayaan non-relativistik (diterima luas) yang dilakukan secara langsung menerapkan nilai-nilai tersebut. Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberi keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan seharhari dengan sepenuh hati Dalam perkembangannya, bahasa Jawa ragam ini sudah mulai terkikis pada genarasi sekarang. Padahal banyak nilai manfaat yang dipetik ketika sebuah keluarga menerapkan pola komunikasi dan sekaligus menerapkan pola tingkah laku kepada anak-anaknya dengan menggunakan tradisi Jawa. Menyikapi angka perceraian yang sangat tinggi, semakin prihatinnya kita terhadap kondisi generasi kita sekarang ini dengan sangat sedikit mengetahui adab sopan santun, bertingkah laku, berbicara dengan orang yang lebih tua, bahkan sebagian besar generasi kita seringkali memaknai adat Jawa dengan ―tidak gaul‖. Disadari atau tidak penerapan bahasa, sastra, dan budaya Jawa di dalam kehidupan rumah tangga akan memberikan daya dukung luar biasa terhadap keharmonisan rumah tangga. Anak pun juga akan menirukan apa yang dilakukan orang tuanya. Kita bisa memberikan sedikit analisis bahwa ketika komunikasi yang dibangun antara suami istri menggunakan krama inggil, tentu hal ini akan meminimkan tingkat kekurangharmonisan (pertengkaran) dalam kehidupan rumah tangga seperti pertengkaran yang menggunakan kata-kata jorok berupa pisuhan, seperti matamu ‗mata kamu‘, ndhasmu ‗kepalamu‘ yang dalam konteks bahasa Jawa hal tersebut sangat kasar. Namun, ketika bahasa Jawa utamanya krama inggil diterapkan dalam kehidupan rumah tangga, maka yang terjadi konteks matamu mau tidak mau harus diganti dengan soca panjenengen ‗mata kamu, matamu‘, dan ndhasmu ‗kepalamu, kepala kamu‘ menjadi mustaka panjenengan. Berdasarkan contoh tersebut, yang terjadi adalah kelucuan, karena bentuk seperti itu tidak pernah didengar ketika adu pendapat. Dengan demikian yang terjadi keharmonisan bukan pertengkaran. Selain itu, penerapan bahasa Jawa ragam krama inggil dalam kehidupan rumah tangga tentu akan diiringi dengan penerapan budaya Jawa seperti membungkuk ketika berjalan di depan orang yang lebih tua, memberikan sesuatu dengan menggunakan tangan kanan, dan lain sebaginya. Pola tingkah laku yang diterapkan di dalam rumah tangga tentu akan menjadi teladan bagi generasi muda.

142

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

III. PENUTUP A. Kesimpulan Budi Pekerti terdiri dari budi dan pekerti. Budi adalah alat batin sebagai panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Berbudi berarti mempunyai kebijaksanaan berkelakuan baik. Pekerti adalah perilaku, perangai, tabiat, watak, akhlak dan perbuatan. Budi pekerti ialah perilaku kehidupan sehari-hari dalam bergaul, berkomunikasi, maupun berinteraksi anatar sesama manusia maupun dengan penciptanya. Budi pekerti yang kita miliki terdiri dari kebiasaan atau perangai,tabiat dan tingkah laku yang lahir disengaja tidak dibuat-buat dan telah menjadi kebiasaan. Pendidikan moral dapat disebut sebagai pendidikan nilai atau pendidikan afektif. Dalam hal ini hal-hal yang ingin disampaikan dalam pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk domain afektif. Nilai-nilai afektif tersebut antara lain, meliputi: perasaan, sikap, emosi, kemauan, keyakinan, dan kesadaran pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberi keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehar-hari dengan sepenuh hati DAFTAR PUSTAKA A.Thabrani Rusyan,dkk, Pendidikan Budi Pekerti, PT. Intemedia Cipta Nusantar, Jakarta. Hasan oetomo, 2012, Jakarta.

Pedoman Dasar Pendidikan Budi Pekerti, Prestasi Pustakaraya,

Muchlas Samani dan Hariyanto, 2011, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Remaja Rosdakarya, Bandung Nurul Zuriah, 2007, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif, Bumi Aksara, Jakarta.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

143

INTERNALISASI NILAI MORAL MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA SEBAGAI PILAR PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN BANGSA Ana Setyandari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Universitas Widya Dharma Klaten Abstrak Pendidikan adalah tonggak terjadinya perubahan pola pikir masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan diyakini sebagai langkah awal perubahan positif pada diri siswa. Nilai-nilai dalam pendidikan merupakan sebuah entitas yang harus diaplikasikan pada diri anak semenjak dini dalam keseluruhan kehidupannya sehari-hari baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Hal ini sejalan dengan salah satu misi pendidikan kita yaitu "transfer of values" (penyampaian nilai-nilai). Melalui pendidikan, anak mampu berinteraksi dengan lingkungan, menjaga dan memelihara tata kelola kehidupan dalam masyarakat. Gaung Pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan mengembangkan kemampuan moral yang mengakar sehingga nilai-nilai yang bertumbuh mampu merubah pola pikir ke arah yang lebih positif hingga terbentuk menjadi pribadi yang berkarakter. Kata Kunci: Pendidikan, internalisasi nilai-nilai moral, perubahan pola pikir.

PENDAHULUAN Remaja adalah generasi penerus bangsa yang memiliki peran dan posisi yang strategis. Masa depan bangsa kita berada di pundak mereka. Tiap-tiap individu memiliki potensi yang wajib dikembangkan dan diolah hingga terbentuk kecerdasan intelektual. Potensi ini akan berkembang dengan baik apabila diimbangi dengan nilai-nilai moral yang seyogiyanya sudah ditanamkan sejak dini. Tidak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan IPTEKS memiliki kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan kehidupan. Bagi kawula muda yang tidak bisa menahan arus negatif, maka akan terjerumuslah mereka ke dalam situasi yang tidak diinginkan. Berbeda halnya bagi mereka yang tetap kokoh dan memegang teguh nilai-nilai moral yang sudah terpatri dari dalam diri pribadi, maka akan berhasil memikul tugas serta tanggung jawabnya sebagai pilar bangsa. Namun yang kita temui di era informasi saat ini, kemajuan teknologi banyak dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang ingin meraup keuntungan pribadi tanpa menyadari bahwa mereka telah berpartisipasi dalam merusak generasi muda kita. Oleh karena itu, penanaman nilai moral yang di antaranya adalah pendidikan budi pekerti atau ahklak mulia diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan diri generasi muda. Daryanto, dkk. (2013) mengemukakan bahwa masa-masa sekolah adalah sebuah formative years yaitu masa pembentukan karakter yang sangat menentukan pondasi moral intelektual seseorang seumur hidupnya. Namun, Kondisi faktual yang biasa kita jumpai di lapangan seperti yang muncul di berbagai media baik cetak maupun elektronik, kenyataannya remaja sebagai generasi penerus terjebak dalam perilaku amoral yang sudah melebihi ambang batas normal yang seharusnya belum boleh dilakukan sehingga hal tersebut meresahkan masyarakat.

144

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Setiap masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan-perubahan. Berdasarkan sifatnya, perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga menuju ke arah kemunduran. Berbagai pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari dapat kita jumpai dari waktu ke waktu. Perubahan-perubahan tersebut seakan sudah menjadi hal biasa dan menjadi bagian dari kehidupan yang harus kita hadapi. Pergeseran dan perubahan ini terjadi pula dalam unggah-ungguh yang amat berkaitan dengan etika moral. Hal lain yang dapat kita lihat berkaitan dengan kedisiplinan yang tertuang dalam tata tertib sekolah. Begitu banyaknya pergeseran-pergeseran nilai yang terjadi memaksa pemerintah menerapkan kebijakankebijakan baru yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran di sekolah, yaitu menetapkan pendidikan budi pekerti sebagai mata pelajaran wajib di sekolah. Mengapa pendidikan budi pekerti? Nilai-nilai kehidupan yang baik tidak mudah diterapkan secara instan yang memiliki perbedaan pola pikir di dalam bermasyarakat. Berbagai upaya dilakukan oleh orang tua sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam pembentukan pribadi anak. Menurut Alwasilah (2004) pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam sikap dan perilaku peserta didik agar memiliki sikap dan perilaku yang luhur (berakhlakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan alam/lingkungan. Selanjutnya, Alwasilah (2004) menambahkan bahwa tujuan pendidikan budi pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan perilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa dalam pendidikan budi pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya nilainilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam tingkah lakunya. Pendidikan budi pekerti sebagai proses pembentukan kepribadian yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang bertumpu pada akhlak mulia. Hal pokok yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama (bukan hanya pemerintah melainkan seluruh anggota keluarga dan masyarakat) adalah Bagaimana cara menginternalisasi nilai moral untuk membentuk kepribadian bangsa? Beberapa hal yang berkaitan dengan masalah ini akan digali lebih jauh sebagai berikut: PENANAMAN NILAI Nilai adalah sesuatu yang abstrak, ideal, dan menyangkut persoalan keyakinan seseorang terhadap apa yang dikehendaki, dan memberikan corak pada pola pikiran, perasaan, dan perilaku. Definisi lanjut tentang nilai dikemukakan oleh Richard Merril dalam Daryanto,dkk (2013) menurutnya nilai adalah patokan atau standar pola-pola pilihan yang dapat membimbing seseorang atau kelompok ke arah satisfaction, fulfillment, and meaning. Patokan atau kriteria tersebut memberi dasar pertimbangan kritis tentang pengertian religius, estetika, dan kewajiban moral. Dalam penyelenggaraan pendidikan, penanaman nilai merupakan hal teramat penting yang harus disampaikan oleh pendidik, di dalamnya berisi pengembangan terhadap nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kebajikan, kearifan dan kasih sayang sebagai nilai-nilai universal yang PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

145

tentu saja diajarkan oleh semua agama. Hal ini sangat bertentangan dengan pendidikan di dunia barat yang menganut aliran liberalism serta menjunjung tinggi nilai-nilai individualism. Penanaman nilai-nilai kepada siswa diyakini menjadi pondasi yang kuat untuk mengarah pada terbentuknya pribadi yang yang berkarakter. Nilai-nilai yang bisa digali dalam pengertian karakter dalam proses pembelajaran di sekolah adalah : religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan dan cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. Keteladanan adalah salah satu metode penanaman nilai pada siswa. Hal yang disampaikan pada siswa hendaknya telah dahulu dilaksanakan oleh bapak/ibu guru di sekolah. Sebagai contoh kecil: siswa dilarang merokok di lingkungan sekolah, namun kenyataannya, kita masih menjumpai bapak guru yang merokok di lingkungan sekolah bahkan di depan siswa-siswanya. Pepatah jawa mengatakan bahwa ‗guru iku digugu lan ditiru‟. Hal tersebut pula yang dilakukan para siswanya. Keteladanan bisa dimulai dari lingkungan yang terdekat dengan siswa yaitu keteladanan orangtua. Pola pikir serta pola asuh orang tua menjadi cerminan bagi anak sehingga faktor keteladanan orangtua juga sangat mendukung terbentuknya pribadi yang mantap. Keteladanan menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan, sehingga keteladanan dapat dijadikan sebagai metode yang ampuh untuk pembinaan perkembangan anak didik. Keteladanan dapat menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figur pendidik yang dapat dijadikan panutan. PENGEMBANGAN MORAL KEPRIBADIAN Tujuan Pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan bangsa Indonesia. Undang Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah: ―…mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa …mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.‖ (Bab II, Pasal 3). Terciptanya siswa yang cerdas sebagai siswa yang memiliki integritas dan berkarakter kuat adalah orientasi dari pengembangan kemampuan moral. Siswa yang berkepribadian yang mantap dalam nuansa yang bermoral, tentunya tidak begitu saja terbentuk dengan mudah. Upaya penanaman nilai dan pembentukan watak kepribadian tersebut hendaknya berjalan beriringan, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Hal tersebut sangatlah tidak mudah dilakukan hanya oleh satu pihak saja melainkan dibutuhkan dukungan banyak pihak. Siswa melaksanakan hampir seluruh waktunya di sekolah bersama guru/pendidik, sehngga komunikasi yang baik antara pihak sekolah dan keluarga dapat menjembatani terciptanya situasi yang kondusif. Dunia pendidikan tentu mengalami banyak kendala dalam melaksanakan tugas mulia tersebut. Berbagai perbedaan akan muncul seperti perbedaan pola pikir serta pola pengasuhan dari masing-masing orangtua menjadi tantangan terbesar.

146

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Dalam kegiatan pembelajaran di kelas, pengembangan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach) sehingga upaya penanaman nilai dan pembentukan watak kepribadian yang mantap bukan hanya dimasukkan melalui pembelajaran bahasa, namun juga melalui pembelajaran yang lain baik dalam pembelajaran maupun kegiatan-kegiatan ekstra kurukuler. Proses pembudayaan serta pemberdayaan nilai-nilai harus di dukung oleh semua pihak (semua warga sekolah). Apabila semua pihak memiliki rasa tanggung jawab yang sama serta melaksanakan apa yang semestinya dilaksanakan, maka upaya-upaya pembentukan kepribadian akan serasa lebih ringan. Pendidikan karakter merupakan wahana sosialisasi karakter-karakter yang patut dimiliki oleh seorang anak sebagai sarana pembentukan generasi yang banyak memberikan manfaat untuk lingkungan sekitarnya. Kemdikbud (2013) menyatakan tujuan pendidikan karakter ini bagi anak antara lain adalah (1) mengetahui berbagai karakter baik manusia, (2) mengartikan dan menjelaskan berbagai karakter dalam kehidupan, (3) menunjukkan contoh-contoh perilaku berkarakter dalam kehidupan sehari- hari, (4) memahami sisi baik perilaku berkarakter, (5) memahami dampak buruk manusia karena tidak menjalankan karakter baik, dan (6) melaksanakan perilaku berkarakter dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran di kelas, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terciptanya karakter dalam diri siswa. Beberapa faktor itu di antaranya adalah guru, lingkungan belajar, metode pembelajaran, sumber pembelajaran untuk penumbuhan karakter juga dipengaruhi oleh penggunaan sumber belajar dan media pembelajaran. Memilih karya sastra yang akan digunakan untuk pembelajaran sastra di Sekolah Dasar adalah salah satu contoh yang akan dibahas pada subbab berikutnya. Tidak kalah penting dari faktor-faktor tersebut adalah faktor lingkungan belajar. Karakter akan optimal ditumbuhkan di lingkungan yang kondusif. Sementara, Goleman (1997:406-407) dalam Hamruni (2012) menyebutkan beberapa karakter yang harus muncul terkait dengan kecerdasan emosi. Pertama, pengendalian diri yang melahirkan disiplin diri dan kehidupan yang penuh keutamaan. Kedua, kemampuan memotivasi dan membimbing diri sendiri, baik dalam melakukan pekerjaan rumah maupun pekerjaan-pekerjaan lainnya. Ketiga, kemampuan menunda pemuasan serta mengendalikan dan menyalurkan dorongan untuk bertindak. Berikut beberapa kutipan pengertian pendidikan karakter (Daryanto, dkk 2012). 1. “According to the Declaration, effective character education is based on core ethical values rooted in democratic society, in particular, respect, responsibility, trustworthiness, justice and fairness, caring, and civic virtue and citizenship‖ (Murphy, 1998:22). 2. “Character education is an umbrella term loosely used to describe the teaching of children in a manner that will help them develop variously as moral, civic, good, mannered, behaved, non-bullying, healthy, critical, successful, traditional, compliant and/ or socially-acceptable beings. Concepts that now and in the past have fallen under this term include social and emotional learning, moral PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

147

3.

4.

5.

6.

reasoning/cognitive development, life skills education, health education, violence prevention, critical thinking, ethical reasoning, and conflict resolution and mediation. Many of these are now considered failed programs i.e., "religious education", "moral education", "values clarification" (D‘Alessandro & Power, 2005: 110-115). “Character includes the emotional, intellectual and moral qualities of a person or group as the demonstration of these qualities in prosocial behavior. Character education is an inclusive term encompassing all aspects of how schools, related social institutions and parents can support the positive character development of children and adults. Character education teaches the habits ofthought and deed that help people live and work together as families, friends, neighbors, communities and nations‖ (US Department of Education). “Good character consists of understanding, caring about, and acting upon core ethical values. The task of character education therefore is to help students and all other members of the learning community know "the good," value it, and act upon it‖ (Lickona, 2005:1). “Character is a complex system of habits that support or impede the development of a person‟s unique potential for excellence― (Cunningham, 2007:5) “Character education seeks to develop virtue—human excellence— as the foundation of a purposeful, productive, and fulfilling life and a just, compassionate, and flourishing society” (Center of 4th & 5th RS, 2009:1).

Namun pada kenyataannya, nilai-nilai moral mulai memudar ( kedisiplinan yang sudah semakin langka ditemui di sekolah, hal ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya siswa yang datang terlambat, sikap siswa yang kurang menghormati guru, tawuran antar sekolah). Namun, siapa yang patut dipersalahkan? Semua pihak harus turut bertanggung jawab dan introspeksi dan mulai bangkit untuk membenahi keadaan tersebut. Upaya perbaikan dapat disampaikan melalui pembelajaran bahasa yang komunikatif dengan menginternalisasi nilai-nilai moral pada tiap-tiap individu demi menghasilkan generasi yang beradab. PEMBELAJARAN BAHASA SEBAGAI WAHANA PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN Integrasi pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran dilaksanakan melalui berbagai tahap. Yang pertama adalah perencanaan yang dilanjutkan dengan pelaksanaan dan diakhiri dengan evaluasi pembelajaran terhadap semua mata pelajaran. Dalam pembelajaran bahasa ada empat aspek yang harus dikuasai oleh siswa yaitu listening (mendengarkan), speaking (berbicara), reading (membaca), writing (menulis). Keempat aspek tersebut saling berkaitan dan sesuai yang diamanatkan dalam kurikulum 2013, guru mendorong dan menginspirasi siswa berpikir kritis, analisis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.

148

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

1. Pembelajaran Listening (mendengarkan) Dalam pembelajaran listening langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (a) guru menjelaskan tujuan pembelajaran sebelum memulai pembelajaran, (b) langkah selanjutnya adalah mengamati, guru menyiapkan media pembelajaran yang dapat berupa visual/audiovisual dengan menyajikan materi baru, sehingga akan merangsang minat siswa untuk bertanya, (c) pada langkah menanya, diharapkan siswa yang telah mempersiapkan banyak pertanyaan disampaikan kepada guru, (d) pada langkah menalar, siswa dapat mengolah atau mengasosiasiakan menjadi sebuah kepaduan, (e) pada langkah mencoba, dari apa yang telah didapatkan melalui media yang telah ditayangkan guru maupun hasil olahan kegiatan menanya, siswa secara bergiliran menceritakan kembali di depan kelas. (f) pada langkah membuat jejaring, siswa mengkritisi untuk mengomentari dan menanggapi temannya. (g) guru memberikan simpulan, penguatan, refleksi, dan tindak lanjut. 2. Pembelajaran speaking (berbicara) Pada prinsipnya langkah-langkah pembelajaran speaking sama dengan pembelajaran listening. Disisipkannya prinsip 5 M dalam proses pembelajaran akan sangat membantu siswa menggali kemampuannya. Hal yang sangat menarik dalam pembelajaran ini adalah siswa dituntut untuk memahami suatu percakapan untuk kemudian meresponnya dengan baik sehingga terjadi komunikasi dengan menggunakan ragam bahasa lisan sederhana. Siswa diharapkan mampu mengekspresikan atau mengungkapkan ide/pendapat atau bahkan perasaannya pada saat komunikasi sedang berlangsung dengan bahasa lisan yang akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari. 3. Pembelajaran writing (menulis) Langkah-langkah pembelajaran writing juga tidak jauh berbeda dengan pembelajaran listening dan juga speaking. Guru telah terlebih dahulu mennyampaikan tujuan pembelajaran. Guru bisa memberikan topik yang menarik sehingga merangsang minat siswa untuk menggali kemampuannya. Berbagai macam ide/pendapat serta perasaan siswa dapat dituangkan melalui tulisan. Langkah-langkah selanjutnya dengan mengedepankan 5 M yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring bisa diterapkan dalam semua mata pelajaran. 4. Pembelajaran reading(membaca) Dalam pembelajaran reading langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (a) guru menjelaskan tujuan pembelajaran sebelum memulai pembelajaran, (b) langkah selanjutnya adalah mengamati, guru menyiapkan media pembelajaran yang dapat berupa visual/audiovisual dengan menyajikan materi baru, sehingga akan merangsang minat siswa untuk bertanya, (c) pada langkah menanya, diharapkan siswa yang telah mempersiapkan banyak pertanyaan yang bisa disampaikan kepada guru, (d) pada langkah menalar, siswa dapat mengolah atau mengasosiasiakan menjadi sebuah PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

149

kepaduan, (e) pada langkah mencoba, dari apa yang telah didapatkan melalui media yang telah ditayangkan guru maupun hasil olahan kegiatan menanya, siswa secara bergiliran menceritakan kembali di depan kelas. (f) pada langkah membuat jejaring, siswa mengkritisi untuk mengomentari dan menanggapi temannya. (g) guru memberikan simpulan, penguatan, refleksi, dan tindak lanjut. BEBERAPA ALASAN PERLUNYA PENDIDIKAN KARAKTER Menurut Lickona dalam Daryanto, dkk (2013) ada tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus disampaikan: 1. Merupakan cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya. 2. Merupakan cara untuk meningkatkan prestasi akademiknya. 3. Sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain. 4. Mempersiapkan siswa untuk untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam. 5. Berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatana seksual dan etos kerja (belajar) yang rendah. 6. Merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja. 7. Mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari kerja peradaban. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah dan dilakukan secara bersama-sama dengan orangtua serta anggota masyarakat untuk membantu anak-anak, remaja agar memiliki sifat peduli, berpendirian, berkarakter dan bertanggung jawab. PENERAPAN NILAI MORAL DI SEKOLAH Dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN), disebutkan bahwa peningkatan mutu pendidkan merupakan salah satu prioritas pembangunan. Penanaman nilai-nilai moral sudah selayaknya direncanakan, disusun dan dimasukkan dalam penyusunan silabus, pembuatan RPP, serta dimasukkan ke dalam bahan ajar pada setiap mata pelajaran. Dalam pelaksanaannya, hal tersebut tidak terlepas dari campur tangan berbagai perangkat pendukung yang meliputi berbagai kebijakan sekolah, sumber daya manusia, lingkungan, sarana dan prasarana, semangat kebersamaan serta komitmen dari pemangku kepentingan. Penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran dapat dilaksanakan dengan berbagai metode pembelajaran, salah satunya adalah melalui Contextual Teaching and Learning (CTL). Selanjutnya Hamruni (2012) menjabarkan tiga konsep pembelajaran kontektual. Pertama, pembelajaran kontekstual menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Kedua, pembelajaran kontekstual mendorong siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajarai dengan situasi nyata. Ketiga, pembelajaran kontekstual mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan artinya siswa

150

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

tidak hanya diharapkan dapat memahami materi, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai kehidupannya. Dalam kegiatan pembelajaran, pendekatan scientific meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring bisa diterapkan dalam semua mata pelajaran. Pendidik dapat menyampaikan materi berdasarkan fakta yang ada sehingga dapat di sampaikan dengan penalaran yang pada akhirnya mampu mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara logis. Perfoma guru adalah faktor terpenting dalam pendidikan karakter. Guru yang tidak memiliki moral dan karakter yang baik, tidak mungkin mampu membentuk siswanya memiliki moral dan karakter yang diharapkan dapat menjadi suri tauladan. HAMBATAN DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DI SEKOLAH Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan guru kepada peserta didik di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah, sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai.Untuk itu agar proses pendidikan budi pekerti di sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif, pihak sekolah perlu membangun komunikasi dan kerjasama dengan orang tua murid berkenaan dengan berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan atau direncanakan oleh sekolah. Tujuannya ialah agar terjadi singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang diajarkan di sekolah dengan apa yang diajarkan orang tua di rumah.Selain itu, agar pendidikan budi pekerti di sekolah dan di rumah dapat berjalan searah, sebaiknya bila memungkinkan orang tua murid hendaknya juga dilibatkan dalam proses identifikasi kebutuhan program pendidikan budi pekerti di sekolah. Dengan pelibatan orang tua murid dalam proses perencanaan program pendidikan budi pekerti di sekolah, diharapkan orang tua murid tidak hanya menyerahkan proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka kepada pihak sekolah, tetapi juga dapat ikut serta mengambil tanggung jawab dalam proses pendidikan budi pekerti anak-anak mereka di keluarga. SIMPULAN Dari penjelasan yang telah disampaikan, dapat diketahui bahwa untuk membentuk generasi muda yang berkualitas sangat diperlukan pendidikan yang bertumpu pendidikan karakter atau character building. Pembentukan karakter ini bisa dimulai sejak masa sekolah melalui berbagai cara, yang salah satunya adalah melalui pembelajaran bahasa. Karakter yang baik akan terbentuk jika sejak awal sudah dibiasakan mulai dari lingkungan yang paling dekat dengan anak, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat serta lingkungan yang lebih luas lagi yaitu negara. Inti dari revolusi mental adalah perubahan pola pikir masyarakat ke arah yang positif sehingga akan tercipta suasana yang kondusif dan dinamis. Begitu pentingnya pendidikan karakter di negeri ini, untuk itu sangat penting bagi guru maupun orangtua hendaknya senantiasa menanamkan pendidikan karakter pada siswa maupun anak sehingga hal ini akan membawa akibat yang positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari betapa pentingnya proses pembentukan karakter tersebut, kita semua mempunyai tanggungjawab untuk menyampaikan pendidikan karakter tersebut demi menuju Indonesia Emas 2025. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

151

DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2010. Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Dididik). Jakarta: PT Bumi Aksara. Alwasilah, Chaedar. 2004. Pengajaran Berbasis Sastra. Diakses dari http://www.pikiranrakyat.com pada 4 Februari 2009. Center for the 4th and 5th Rs (Respect and Responsibility). 2009. What Is Character Education? http://www2.cortland.edu/centers/character/ Daryanto, dkk. 2013. Pendidikan Karakter di Sekolah.Yogyakarta: Gava media. Hamruni. 2012. Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif dan Menyenangkan. Yogyakarta: Investidaya. Kemdikbud. 2013. Kurikulum2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sjarkawi. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: PT Bumi Aksara. Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas, Ditjen Dikdasmen.

152

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

FATALISME DAN EKSISTENSIALISME KERETA KENCANA Setia Naka Andrian Surel: [email protected] Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang Abstract Indonesian literature is not enough and certainly will not develop well without the strength of the criticism. Assessment of the literature was not enough if only mengacungi thumb. It is necessary to direct the investigation to analyze literary works, which is not simply to give judgment on the merits of literary works, as well as whether or not worth it. Nor only want the meaning of a literary work, not merely record the creative process alone, but more than all that. In this study, using qualitative descriptive analysis study literature as hermeneutic approach to the study of psychology. This research is expected to note the beginning and then be little to contribute material appreciation of literature, especially to the learners/students, so much loved literature that leads to the formation of attitudes and social personalities of society, as a healthy human being is a human being who will think and think, thinking to win and think that others do not lose. Keywords: Fatalism, Existentialism, Drama Script

Abstrak Gelimang kesusastraan Indonesia tidak cukup dan pasti tidak akan berkembang baik tanpa kekuatan kritik. Penilaian terhadap karya sastra pun tidak cukup jika hanya mengacungi jempol. Maka perlu dilakukan penyelidikan karya sastra dengan langsung menganalisis, yang tidak sekadar memberi pertimbangan baik-buruknya karya sastra, serta bernilai atau tidaknya saja, tidak pula hanya menginginkan arti dari karya sastra, bukan sebatas catatan proses kreatif saja, namun lebih dari semua itu. Penelitian ini menganalisis fatalisme dan eksistensialisme dalam naskah drama Kereta Kencana. Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif deskriptif dengan kajian analisis kepustakaan sebagai kajian hermeneutika dengan pendekatan psikologi. Penelitian ini diharapkan memberi catatan awal dan atau selanjutnya dapat sedikit memberi sumbangan bahan apresiasi sastra, khususnya kepada peserta didik/mahasiswa sehingga siswa/mahasiswa lebih mencintai sastra yang bermuara pada pembentukan sikap dan kepribadian sosial bermasyarakat karena manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan, berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. Kata Kunci: Fatalisme, Eksistensialisme, Naskah Drama

PENDAHULUAN Dalam penelitian ini diteliti naskah drama, yang merupakan bagian dari ragam sastra. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren (1993:300), bahwa Aristoteles dan Horace memberikan dasar klasik untuk pengembangan teori genre. Dari mereka kita mendapat penggolongan dua jenis utama sastra, yaitu tragedi dan epik. Tapi paling tidak Aristoteles juga sadar akan adanya perbedaan mendasar lain antara drama, epik dan lirik. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

153

Kebanyakan teori modern cenderung mengesampingkan perbedaan prosa-puisi, lalu membagi sastra-rekaan (Dichthung) menjadi fiksi (novel, cerpen, epik), drama (drama dalam prosa maupun puisi), dan puisi (puisi dalam arti yang sama dengan konsep klasik tentang ―puisilirik‖). Dalam penelitian ini objek yang diteliti adalah drama berjudul Kereta Kencana karya Eugene Ionesco, terjemahan W.S. Rendra. Objek ini dipilih karena drama merupakan salah satu ragam sastra yang ditulis dalam bentuk percakapan, dan hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi kejiwaan/ psikologis pada tiap-tiap tokoh yang berperan dalam drama yang diteliti. Sesuai yang diungkapkan oleh Wellek dan Warren (1993:309), drama merupakan ragam sastra yang ditulis dalam persajakan iambik/ persajakan yang paling dekat dengan percakapan. Dalam drama ini tokoh-tokohnya menganut paham fatalisme dan eksistensialisme. Fatalisme terlihat ketika dalam diri tokoh tersebut tertanam anggapan bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berserah kepada Tuhan. Tokoh-tokohnya beranggapan bahwa mereka sudah dikuasai nasib dan mereka tidak dapat mengubahnya. Eksistensalisme terlihat ketika tokoh-tokoh tersebut berpandangan diri pribadinya bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan salah. Fatalisme dan eksistensialisme dalam drama ini akan diungkap melalui pendekatan psikologis. HASIL PENELITIAN Fatalisme dalam naskah drama Kereta Kencana karya Eugene Ionesco. Fatalisme merupakan suatu pemikiran manusia yang beranggapan bahwa hidup adalah sepenuhnya milik Tuhan, manusia sudah tergariskan dalam nasib dan tidak dapat berbuat apaapa kecuali berserah kepada Tuhan. Sesuai dengan yang diungkapkan dalam Depdiknas (2008:291), fatalisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa manusia itu tidak dapat berbuat apa-apa karena sudah dikuasai nasib. Segala masalah duniawi diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Orang yang menganut paham fatalisme disebut fatalis. Fatalisme dari kata dasar fatal, adalah sebuah sikap seseorang dalam menghadapi permasalahan atau hidup. Apabila paham seseorang dianggap sangat pasrah dalam segala hal, maka inilah disebut fatalisme. Dalam paham fatalisme, seseorang sudah dikuasai oleh nasib dan tidak bisa mengubahnya. Kata sifat dari fatalisme adalah fatalistis (Wikipedia,2010). Yudiatmoko menambahkan (2006:1) bahwa seseorang bisa mendapatkan tempat di sisi Tuhan; mutlak hak tunggal Tuhan tanpa dipengaruhi oleh perbuatan seseorang tersebut, di dunia fatalisme hanya melihat segala sesuatu dari sejarah selama hidup individu dan dunia kecil individu tersebut. Dalam drama ini fatalisme terungkap oleh tokoh-tokohnya yang beranggapan bahwa hidup adalah sepenuhnya milik Tuhan, mereka yakin bahwa hidup sudah tergariskan dalam nasib dan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berserah kepada Tuhan. Hal tersebut kentara dalam drama ini pada penggambaran kehidupan dua orang manusia yang telah berumur dua abad. Dua orang tua yang meyakini bahwa mereka akan segera mati. Mereka berserah kepada Tuhan dan telah menunggu dijemput kereta kencana, menunggu kematian. Berikut kutipannya. ―Wahai, Wahai! Dengarlah engkau dua orang tua yang selalu bergandengan, dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya. Wahai, wahai dengarlah! Aku

154

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

memanggilmu. Datanglah berdua bagai dua ekor burung dara. Akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Bila bulan telah luput dari mata angin, musim gugur menampari pepohonan dan daun-daun yang rebah berpusingan. Wahai, wahai! Di tengah malam di hari ini akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Kereta kencana, 10 kuda 1 warna.‖ (Ionesco, 2004:1). Dua orang tua yang telah berusia dua puluh abad tersebut terbisiki suara aneh yang menghantui pikiran mereka, bahwa mereka berdua akan dijemput kereta kencana dan akan mati bersama. Mereka berserah dan meyakini hal tersebut, akan mati bersama ketika bulan telah luput dari mata angin. Musim gugur menampari pepohonan dan daun-daunan yang berpusing. Mereka beranggapan kelak pada tengah malam, mereka akan dijemput dengan kereta kencana, sepuluh kuda satu warna. Sesuai dengan berbagai kataa yang selalu membisiki mereka berdua. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut. ―Jadi kau dengar suaranya? Sementara mendengar itu semua.‖ ―Jantungku berkeridutan, penyakit yang lama kembali lagi.‖ ―Aku juga, penyakitku kembali lagi, tubuhku berkeringat dan nafasku sesak.‖ ―Tahukah kau artinya semua ini?‖ ―Ya! Malam ini kita akan mati bersama.‖ (Ionesco, 2004:4). Kedua orang tua tersebut merasa telah terlalu lama menjalani hidup dan terlalu lama memeras tenaga untuk mengisi umur mereka yang panjang. Mereka sangat yakin bila hari kematian akan segera menjemput. Namun mereka berdua tidak merasa takut akan hal itu. Berikut kutipannya. ―Kita terlalu hidup, dan terlalu lama memeras tenaga untuk mengisi umur kita yang panjang ini. Berapa kali sajakah kita mengharap mati? Tiap datang ketukan pintu, kita berpikir, inikah saatnya? Tapi kita selalu salah duga.‖ (Ionesco, 2004:5). Dari beberapa kutipan di atas menunjukkan penggambaran kehidupan dua orang manusia yang telah berumur dua abad. Mereka beranggapan bahwa hidup adalah sepenuhnya milik Tuhan, mereka yakin bahwa hidup sudah tergariskan dalam nasib dan tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berserah kepada Tuhan. Fatalisme kentara dalam drama ini. Dua orang tua yang meyakini bahwa mereka akan segera mati. Mereka berserah kepada Tuhan dan telah menunggu dijemput kereta kencana, menunggu kematian. Eksistensialisme dalam naskah drama Kereta Kencana karya Eugene Ionesco. Eksistensialisme merupakan suatu pemikiran manusia yang beranggapan bahwa hidup manusia adalah tanggung jawab dari dirinya sendiri, tantang hal yang benar atau salah. Sesuai yang terungkap dalam Depdiknas (2008:271), eksistensialisme merupakan paham atau pandangan yang berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan salah. Ditambahkan oleh Tafsir (2005:218), eksistensialisme berasal dari kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari kata Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein. Da berarti sana, sein berarti berada. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

155

Berada bagi manusia selalu berarti di sana, di tempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, bersatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi manusia tidaklah sama dengan bertempat bagi batu atau pohon. Manusia selalu sadar akan tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati. Ini berarti suatu kesibukan, kegiatan, melibatkan diri. Dengan demikian, manusia sadar akan dirinya sendiri. Jadi, dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Dalam Kereta Kencana terdapat tokoh-tokoh yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan salah. Mereka sadar sebagai manusia, sadar akan dirinya sendiri sebagai aku atau pribadi. Dua orang tua yang telah berusia dua abad tetap bertahan dengan kehidupannya sebagai sepasang suami-istri, terdapat dalam kutipan berikut. ―Dua orang tua yang dua abad usianya, siapa lagi kalau bukan kita? Baru dua hari yang lalu aku merayakan ulang tahun yang ke 200.‖ (Ionesco, 2004:4). Kedua orang tua yang telah berusia dua abad tersebut tetap bertahan walaupun usianya yang sudah terlampau renta. Mereka tetap selalu bercinta. Hal itu terdapat dalam kutipan berikut. ―Dengarlah engkau dua orang tua yang selalu bergandengan, dan bercinta, sementara siang dan malam berkejaran dua abad lamanya. Wahai, wahai dengarlah!‖ (Ionesco, 2004:1). Namun kedua orang tua yang telah berusia dua abad tersebut merasa terlalu lama hidup, terlalu lama memeras tenaga untuk mengisi umur mereka yang terlampau panjang. Mereka siap untuk mati, namun mereka tak pernah merasa takut atas kematian yang akan menjemput, terdapat dalam kutipan berikut. ―Kita terlalu hidup, dan terlalu lama memeras tenaga untuk mengisi umur kita yang panjang ini. Berapa kali sajakah kita mengharap mati? Tiap datang ketukan pintu, kita berpikir, inikah saatnya? Tapi kita selalu salah duga.‖ ―Tapi kali ini kita tidak akan salah duga.‖ ―Pasti, pasti tidak akan salah lagi. Setelah akan datang sungguh saat ini, beginilah rasanya.‖ (Ionesco, 2004:5). Keberadaan mereka dalam hidup terlampau agung hingga mereka sangat menikmati dan berbangga tentang keberadaan yang didapatkannya. Ketika banyak orang besar yang mengunjunginya, mereka berbangga karena orang-orang tersebut merupakan murid dari Kakek/ Henry. Mereka sangat dihormati oleh orang-orang besar di dunia, terdapat dalam kutipan berikut. (KEPADA YANG MULIA) ―Bagaimana? Ya, ya….. Kalau paduka marah boleh saja. Oh…….begitu, syukurlah kalau paduka tidak marah. Paduka seorang yang baik, memang kalau begitu paduka tidak suka bolos kuliah, bukan? (TERSENYUM). Paduka memang seorang yang baik, dan juga paduka tidak pernah melupakan gurunya. Itu bagus, baiklah…….. sekarang harap diberi tahu, apakah perlunya paduka berkunjung kemari? (Ionesco, 2004:15-16).

156

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Disamping semua itu, mereka sesungguhnya sangat bersedih, karena mereka merupakan sepasang suami-istri yang tidak memiliki keturunan. Segala sesuatu yang telah didapatkannya dalam hidup tak berarti apa-apa ketika mereka tak memiliki keturunan. Kakek/Henry beranggapan bahwa dirinya hanyalah seorang profesor yang dilupakan, hanya sampah, walaupun sebenarnya dia adalah orang yang hebat. Ia merupakan seorang pejuang Perancis, pernah berperang untuk Perancis, hingga ia pernah mendapatkan sebuah penghargaan Legion d‘honour, terdapat dalam kutipan berikut. ―Aku bukan jendral. Aku hanyalah profesor yang dilupakan, aku sampah di buang.‖ (Ionesco, 2004:10). Dua orang tua berusia dua abad tersebut tetap mampu bertahan dan bertanggung jawab atas keberadaan dalam hidupnya. Walaupun kehidupan yang dijalani dua orang tua yang telah renta tersebut terlampau rumit. Mereka tetap saling mencintai dan menjalani hidup sebagai sepasang suami-istri dengan semestinya. Mereka masih tetap saling memadu cinta, saling mengungkap kasih sayang dan tetap setia diantara keduanya. Terdapat dalamkutipan berikut. ―Terima kasih, hebat sekali, engkau sangat pandai, engkau mestinya jadi jendral, kalau engkau punya kemauan mestinya kau sudah jadi jendral sekarang.‖ ―Aku bukanlah jendral, aku hanya seorang profesor yang dilupakan.‖ ―Tapi dulu kau pernah bergerilya, berjuang untuk Perancis. Engkaulah adalah pahlawan Perancis, putra Jeanne d‘arc. Pahlawanku, apakah kau mencintai aku?‖ ―Aku mencintaimu dengan semangat musim semi yang abadi.‖ ―Cantikkah aku pahlawanku?‖ ―Engkau gilang-gemilang bagai putri Zeba!‖ (Ionesco, 2004: 7). Dari beberapa kutipan di atas menunjukkan penggambaran kehidupan dua orang manusia berumur dua abad yang bertanggung jawab atas kemauannya untuk hidup bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan salah. Mereka sadar sebagai manusia, sadar akan dirinya sendiri sebagai aku atau pribadi. Mereka tetap bertahan dengan kehidupannya sebagai sepasang suami-istri, walaupun usia mereka yang sudah terlampau renta, namun tetap selalu bercinta. Terkadang mereka merasa terlalu lama hidup, terlalu lama memeras tenaga untuk mengisi umur mereka yang terlampau panjang, hingga mereka siap untuk mati, tetapi mereka tak pernah merasa takut atas kematian yang akan menjemput, karena keberadaan mereka dalam hidup terlampau agung, hingga mereka sangat menikmati dan berbangga tentang keberadaan yang didapatkannya. Ketika banyak orang besar yang mengunjunginya, mereka berbangga karena orang-orang tersebut merupakan murid dari Kakek/Henry. Mereka sangat dihormati oleh orang-orang besar di dunia. Disamping semua itu, mereka sesungguhnya sangat bersedih, karena merupakan sepasang suami-istri yang tidak memiliki keturunan. Segala sesuatu yang telah didapatkannya dalam hidup tak berarti apa-apa ketika mereka tak memiliki keturunan. Hingga Kakek/ Henry beranggapan bahwa dirinya hanyalah seorang profesor yang dilupakan, hanya sampah, walaupun sebenarnya dia adalah orang yang hebat. Ia merupakan seorang pejuang Perancis, pernah berperang untuk Perancis hingga ia pernah mendapatkan sebuah penghargaan Legion d‘honour. Mereka tetap bertahan dan bertanggung

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

157

jawab atas keberadaan dalam hidupnya. Walaupun kehidupan yang dijalani terlampau rumit, mereka tetap saling mencintai dengan setia. PENUTUP Drama ini bercerita tentang kehidupan dua orang manusia yang telah berumur dua abad. Namun dua orang tua tersebut masih tetap bertahan dalam menjalani hidupnya, mereka masih selalu bergandengan dan bercinta, walaupun sesungguhnya dua orang tua itu telah menunggu kereta kencana untuk menjemput mereka, menunggu kematian. Kedua orang tua tersebut merasa telah terlalu lama menjalani hidup dan terlalu lama memeras tenaga untuk mengisi umur mereka yang panjang. Mereka sangat yakin bila hari kematian akan segera menjemput, namun mereka berdua tidak merasa takut akan hal itu. DAFTAR PUSTAKA Baribin, Raminah. 1985. Teori dan Apresisi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP Semarang Press. Card, Orson Scott dan Yuliani Liputo (Ed). 2005. Mencipta Sosok Fiktif. Terjemahan Femmy Syahrani. Bandung: Mizan Learning Center. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Ionesco, Eugene. 2004. Kereta Kencana. Terjemahan W.S. Rendra. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Kesenian Keraf, Gorys. 2007. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT. Gramedia. Novakovic, Josip dan Sofia Mansoor (Ed). 2003. Berguru Kepada Sastrawan Dunia. Terjemahan Fahmy Yammani Bandung: Kaifa. Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. Wellek, Rena; Austin Werren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

158

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

EXPERIENTIAL LEARNING IN LANGUAGE EDUCATION Ike Anisa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Unwidha Abstrak Bahasa adalah alat yang utama di kehidupan kita. Bahasa merupakan media untuk berkomunikasi menyampaikan pesan ataupun untuk mengungkapkan ide/gagasan. Saat kita berbicara ataupun menyampaikan informasi dengan orang lain, kita tidak bisa mengungkapkannya tanpa menggunakan bahasa. Manusia tidak dapat berkomuniasi, berhubungan, dan mengungkapkan ide tanpa bahasa. Dalam kehidupan setiap individu pastilah berkomunikasi dengan individu yang lain dengan menggunakan bahasa. Bahkan bahasa tidak hanya sebagai alat untuk berkomunikasi tetapi juga membuat orang menjadi bersahabat dan besahaja. Dalam pengajaran Bahasa Inggris, metode yang digunakan haruslah komunikatif dan sesuai dengan karakteristik siswa. Hal ini bertujuan untuk menciptakan proses pembelajaran yang menarik dan mendidik bagi siswa agar mereka bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Dari alasan di atas, metode pembelajaran pengalaman bisa menjadi solusi. Metode pembelajaran pengalaman dapat digunakan dalam pengajaran Bahasa Inggris dengan tujuan agar pengajaran Bahasa Inggris menjadi semakin menarik dan mendidik. Pengunaan metode ini dapat meningkatkan ketertarikan siswa dan mendidik karakter dalam proses belajar mengajar di ruang kelas, karena adanya kondisi yang menyenangkan. Hal ini sangat cocok dengan siswa yang aktif, jadi pembelajaran pengalaman dapat membantu dalam pengajaran bahasa Inggris. Ada beberapa pembelajaran pengalaman yang terbukti efektif digunakan untuk siswa, seperti ―bermain peran‖, di sini siswa tergabung dalam beberapa grup, dan setiap grup harus mengambil kertas topik yang telah disiapkan oleh guru, dan mereka bermain peran dengan anggota grupnya berdasarkan situasi dari kertas topik yang mereka pilih. Kata kunci: Pembelajaran pengalaman, mendidik, bermain peran. Abstract Language is basically an important tool in our life. Language is a medium of communication to deliver the information or to express an idea. It means that when we want to speak or to deliver the information with the other people, we cannot do it without language. Human cannot communicate, make a relationship, and express their idea without language. In human life individuals must be able to communicate to the other by language. Even language is not only as a communication tool but it also makes people become friendly and noble person. In teaching English, the teacher should use the method, which is communicative and suited to the students‟ characteristics. It aims to create the teaching learning process which is interesting and educating to the students so that they can reach the learning goal and English becomes a more attractive subject for them. From the reason above, experiential learning method can be as the solution. Experiential learning method can be used in teaching English to make the teaching learning process much interesting and also educating. It will increase students‟ interest and good character in learning process in the classroom, because the circumstances become more interesting. It is suitable with the students who like to be active so experiential learning can be helpful in teaching English. There is some experiential learning that can be proven effective to apply for the students as “Role Play”, here the students are in groups, and each group must take the topic/problem paper which is prepared by the teacher, and then they do role play with their groups based on the situation from the topic/problem paper they have chosen. Keyword: Experiential learning, educating, role play. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

159

INTRODUCTION A. Background of the Study Language is a human and non instinctive method of communication, ideas, feeling, and desire by means of system of sounds and system of symbol (Hornby, 1995: 475). Language is basically an important tool in our life. Language is a medium of communication to deliver the information or to express an idea. It means that when we want to speak or to deliver the information with the other people, we cannot do it without language. Human cannot communicate, make a relationship, and express their idea without language. In human life individuals must be able to communicate to the other by language. Even language is not only as a communication tool but it also makes people become friendly and noble person. Language is a complex, specialized skill, which develops in the students spontaneously, without conscious effort or formal instruction, is deployed without awareness of its underlying logic, is qualitatively the same in every individual, and is distinct from more general abilities to process information or behave intelligently. As everybody knows, all countries in the world use English as an international language. It plays an important role in every aspect of human life such as communication, education, science, and technology. English is mostly used in scientific fields such as science and technology. In teaching English teachers will face some problems during the teaching learning process. Even though, teachers have their own priority to manage their classroom, as Richards‘s states ―teachers have primary responsibility for how they teach; they may assume very different roles within their own classroom (1994: p. 97).‖ So, teachers should make their classroom more comfortable and interesting. Here, problems always occur when teaching English is applied in School students. This can be proven from the interview with the students and the teacher. From the interview, researcher found that the students which are from urban especially still have difficulty in communicating and expressing something properly. They talked roughly and did not feel like to say in good manner. It is because the students get difficulties in mastering the language properly. Furthermore, by conducting observation and interview, the researcher found some psychological barriers from the students. They feel shy and afraid to ask the teacher if they find a difficulty. These problems may give a great influence to their learning process. In teaching English in School the method which is used should be communicative and suited to the students‘ characteristics. It aims to create the teaching learning process which is interesting and comforting to the students so that they can reach the learning goal and English becomes a more attractive subject for them. From the reason above, the researcher suggests experiential learning method as the solution. Experiential learning method can be used in teaching English to make the teaching learning process much interesting and fun. It will increase students‘ interest in learning process in the classroom, because the circumstances become more interesting. It is suitable with the characteristics of learners who like socializing and talking about ‗here and now‘ so experiential learning can be helpful in teaching English. Brown states that experiential

160

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

learning is an especially useful concept for teaching children, whose abstract intellectual processing abilities are not yet mature (2001: p. 238). There is some experiential learning that can be proven effective to apply for the students, one of them is ―Role Play‖, here the students are in groups, and each group must take the topic/problem paper which is prepared by the teacher, and then they do role play with their groups based on the situation from the topic/problem paper they have chosen. From the explanation above, it is not doubtful that the researcher chooses experiential learning because it has some strengths as follows: a. Helping learners involve actively in the learning process. b. Providing a challenge which encourages learners to stretch themselves (in order to answer the question). c. Helping learners to forget they are studying: they lose themselves in the fun activity of the learning process. d. Encouraging collaborative learning: By having active interaction among members of a group, learners are demanded to involve in real communication and could be friendly with the surroundings. Based on the reasons above, the researcher wants to use experiential learning as the method to educating students and increasing the courage of the students become active and characterized. B. The Problem Statement Based on the background of the study above, the researcher focuses on a certain problem related to the efforts to overcome students‘ difficulties or problems in learning English. In this case, the problem can be formulated as follows: What happens in class when the teacher applies the experiential learning method? C. The Objective of the Study This research aims to improve students‘ vocabulary mastery. In details, this research has the objective to know what happens in class when the teacher applies the experiential learning method. D. The Benefits of the Study The study result is expected to be able to give some benefits for the teachers, students, and the other researcher. For the students, the students‘ with high level of English it is expected that they will be able to grasp the meaning of words easily and also improve their reading, speaking, and writing skills. Furthermore, the students will be motivated to learn English. For the teachers, it is hoped that the result of the study will be one of the considerations taken by teachers in teaching English. For the school, it is expected that this new method of teaching English will enrich teaching techniques.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

161

For the other researcher, this research is expected to be able to give practical contributions to the other researcher on how to teaching English using experiential learning. DISCUSSION A. The Principles in Experiential Learning Brown (2000: p. 238) highlights for us that experiential learning is giving the students concrete experiences through which they ―discover‖ language principles by trial and error, by processing feedback, by building hypotheses about language and by revising these assumptions in order to become fluent. Using Experiential learning in teaching English can be fitted to the real situation in the classroom. To be said knowing vocabulary, students have to know the meaning, the spelling, the pronunciation, and the use of the words in order to equip the students in those four aspects. In experiential learning, immediate personal experience is seen as the focal point for learning, giving ‗life, texture, and subjective personal meaning to abstract concepts and at the same time providing a concrete, publicly shared reference point for testing the implications and validity of ideas created during the learning process ( Kolb in Nunan, 1993: p. 14). Here, in grasping experience some of us perceive new information through experiencing the concrete, tangible, felt qualities of the world, relying in our senses and immersing ourselves in concrete reality. Others tend to perceive, grasp or take hold of new information through symbolic representation or abstract conceptualization-thinking about, analyzing, or systematically planning, rather than using sensation as a guide. Similarly, in transforming or processing experience some of us tend to carefully watch others who are involved in the experience and reflect on what happens, while others choose to jump right in and start doing things. The watchers favor reflective observation, while the doers favor active experimentation. Here, Kolb (in Nunan, 1993: p. 16) figures the general theoretical model of experience into four stages of orientation to learning: concrete experience, abstract conceptualization, reflective observation, and active experimentation. 1. Concrete experience with an involvement in personal experiences and an emphasis on feeling of over thinking. This is an ‗artistic‘ orientation relying on intuitive decision-making. 2. Abstract conceptualization using logic and a systematic approach to problem-solving, with an emphasis on thinking, manipulation of abstract symbols and a tendency to neat and precise conceptual system. 3. Reflective observation focusing on understanding the meanings of ideas and situations by careful observation, being concerned with how things happen by attempting to see them from different perspective and relying on one‘s own thoughts, feeling and judgment.

162

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

4. Active experimentation with an emphasis on practical applications and getting things done, influencing people and changing situations, and taking risk in order to accomplish things. According to the model above, experiential learning is seen as four basic stages. Thus, simple everyday experience is not sufficient for learning. It must be observed and analyzed consciously. It can be argued, that theoretical concepts will not become part of the individual‘s frame of reference until they have been experienced meaningfully on a subjective emotional level. Reflection plays an important role in this process by providing a bridge between experience and theoretical conceptualization. The process of learning is seen as the recycling of experience at deeper levels of understanding and interpretation. This view entails the idea of lifelong learning. In conclusion, experiential learning will give a significant contribution to the success of teaching learning process. They have a great power in motivating and stimulating the students. The teacher, therefore, is encouraged to use experiential learning in teaching the students, especially to young learners to teach vocabulary. B. Steps in Teaching English Using Experiential Learning in the Classroom In the classroom the teacher and students take on roles similar to that of the parent and child respectively. Teacher introduces the learners to the topic and covering basic material that the learner must know beforehand. The activity may be a simple game, simulation or may involve more complex grammar and more detailed scenarios. Experiential learning can be used to practice and teach various things. It is well suited to teaching classroom language. It can be used to teach imperatives aspects. It is also useful for role plays. (http://projects.coe.uga.edu/epltt/index. php?title= Experiential Learning#Weaknesses. 2FCriticisms). Experiential learning is largely about movement. By introducing the learners‘ knowledge to the topic, they learn verbs and many kinds of nouns, learning increases and stress decreases. However, it is recognized that experiential learning is most useful for beginners, though it can be used at higher levels where preparation becomes an issue for the teacher. It does not give students the opportunity to express their own thoughts in a creative way. The following are some steps to integrate experiential learning in the classroom: 1. Aspect of meaning a. Teacher explains in native language about the rule of experiential learning by introducing the topic, that is the students just listen and need not to speak at first. They have to act out the commands from the teacher. b. Teacher asks some students to come to the front of the room and sit with her/him in chairs that are lined up facing the other students. Other students listen and watch. c. Teacher gives some nouns and various commands beginning with verbs while doing them together with some students. d. Teacher allows the students to mention the words and to do the instructions. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

163

e. Then, teacher asks one of the students to mention and perform the instructions alone. f. Teacher approaches the other students who have been sitting observing her/him and the volunteers and gives the same commands. g. The students follow the teacher‘s action. h. After the students master the instructions and some nouns, the teacher gives the new ones as the steps above. i. Teacher turns to the rest of the class and gives the commands randomly to the students. j. The last step, teacher writes the new commands on the blackboard. Each time she/he writes a command, she acts it out. k. The students copy the sentences from the blackboard into the notebooks. 2. Aspect of spelling a. The teacher asks the students to write the words and the instructions on the board. b. The teacher asks students to spell the words along with her. c. The teacher asks the students randomly to spell the words alone. 3. Aspect of pronunciation a. The teacher asks a student to play the game and practice the dialogue. b. Then, the students play the games and practice the dialogue. c. From the first student, teacher can check the pronunciation, and from the second student, teacher can check whether the meaning is correct. 4. Aspect of using word a. The teacher asks the students to make new imperative sentences spoken or written using the same words on the board. b. The teacher asks the students to practice using their sentences. C. Strengths Kolb in Nunan (1993: p. 24-25 proposes that there are some strengths of experiential learning which enable students to improve their achievement. The strengths are as follows: 1. Helping learners involve actively in the learning process. 2. Providing a challenge which encourages learners to stretch themselves (in order to answer the question). 3. Helping learners to forget they are studying: they lose themselves in the fun activity of the learning process. 4. Encouraging collaborative learning: By having active interaction among members of a group, learners are demanded to involve in real communication.

164

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

D. Weaknesses Despite having the strengths, experiential learning also has weaknesses when it is applied in teaching vocabulary. There are some weaknesses as stated by Kolb in Nunan (1993: p. 34-37). 1. The concrete experience part of the learning cycle is not appropriately explained in the theory and remains largely unexplored. 2. The idea of immediate and concrete experience is problematic and unrealistic. 3. The ELT concepts are too ill-defined and open to various interpretations. 4. ELT model is only an attempt to explain the societal benefit. 5. The experience is the starting point of knowledge acquisition and disregards the observations concerning the subjective reality of the learner. 6. The ELT learning model focused on the learning process for a single learner and failed to mention how the individual fit into a social group during this process and what role this group may play. Also, there was no discussion on how a social group may gain knowledge through a common experience. RESEARCH METHODOLOGY This research was conducted in SDN Banaran 01 which is located in Banaran, Grogol, Sukoharjo. It is one of the state elementary schools in Grogol subdistrict, Sukoharjo regency. The subjects of the research are the sixth grade students of SDN Banaran 01. There are 14 students in this class consisting of 7 girls and 7 boys. In doing this research, the researcher actively participates in the teaching learning process. She acts both as a teacher and the observer. She also does collaboration with other observers. They are: the sixth grade teacher and the other English teacher. In this research, the researcher uses a Classroom Action Research (CAR). This classroom action research is done in collaboration. It is done by the researcher and an English teacher of SD Negeri Banaran 01 Grogol as the collaborator. This research is intended to improve the English mastery of the sixth grade students in SD Negeri Banaran 01 Grogol by using experiential learning. Action research in this classroom action research uses the model based on Hopkins views (1993: p. 48).

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

165

Action research occurs through a dynamic and complementary process consisting of four essential steps of planning, action, observation and reflection. Each step will be explained as follows: (a) planning; (b) action; (c) observation; (d) reflection. The procedures of the action research covers 6 basic activities as described in each cycle of Lewin‘s model of Action Research. Those activities are as follows: 1. Identifying the problems The teacher identifies the problems first before planning the action. The problems refer to the factors making the students difficult to master English during the lesson before. Here the researcher uses 2 techniques, namely: a. Using test b. Observation and interviews 2.

Planning the action The researcher prepares everything related to the action as follows: a. Preparing materials, making lesson plan, and designing the steps in doing action. b. Preparing sheets for classroom observation c. Preparing teaching activity d. Preparing a test.

3.

Implementing the action The researcher implements the teaching learning activity of English using experiential learning.

166

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

4.

Observing / monitoring the action The researcher observes all activities in the teaching learning process while the homeroom teacher helps to create a conducive atmosphere in a class. The researcher also makes collaborative efforts with a collaborator to explore teaching possibilities. 5.

Reflecting the result of the observation The researcher makes an evaluation on all she has observed to find the weaknesses of the activities that have been carried out in using experiential learning as the technique in teaching English. 6.

Revising the plan Based on the weakness of the activities that have been carried out in using experiential learning as the method in teaching English, the researcher revises the plan for the next cycle. In this research, the researcher uses both quantitative and qualitative data. The quantitative data are in the form of the students‘ scores on vocabulary mastery. The qualitative data are in the form of information about the implementation of experiential learning and students‘ reaction to the method that is used by the researcher as the teacher. Those data are taken from 3 sources, namely: 1. Events which happen in teaching learning process that uses experiential learning method. The events are recorded in the researcher‘s and collaborator‘s field notes. 2. Informants. There are three informants in this research, they are: the headmaster, the experienced English teacher, and also the students who join in the class. 3. Document or artifacts. The 2004 National Curriculum for English for Elementary School, syllabus, and lesson plan used by the previous teachers in teaching learning process. The quantitative data are the result of vocabulary mastery test, consisting of pre-test and post-test. Every post-test is given after some teaching learning process at the end of a cycle. Meanwhile, for getting the qualitative data the researcher used the following techniques: (1) observation; (2) interview; (3) questionnaire. The qualitative data are analyzed using Constant Comparative Method which is proposed by Glaser and Corbin (1967, in Lincoln and Guba (1984: p. 339-340) which consists of four stages as follows: a. Comparing incident applicable to each category, b. Integrating categories and their properties, c. Delimiting the theory, d. Writing the theory.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

167

RATIONALE Problems always occur when teaching English is applied. The researcher found that the students don‘t have courage to be active in classroom. So the teacher should have extra power to teach the students in teaching English because students have their own specific characteristics. There are some psychological barriers from the students. They feel shy and afraid to ask the teacher if they find a difficulty. They are afraid of being humiliated by their friends and their teacher if they cannot answer well. They also do not have self-confidence in answering the questions. These problems may give a great influence to their learning process. Students are unique and they have their own characteristics. The characteristics cover their ways of thinking, their attitude, their aptitude, etc. To give the best quality of teaching English, the teacher should know and understand them. Furthermore, The teacher should not only explain the topics, but also activate their three domains (cognitive, affective, and psychomotor) through activities which are suitable to their characteristics. In teaching English, the teacher should make the students understand and memorize new words and their meaning not only in a short period of time or at the moment when the vocabulary is given, but also in a long period of time. To make the students memorize the meaning, spell, pronounce, and use the words, the teacher should use a suitable method to teaching children. Here experiential learning is as a method that could improve the students‘ English mastery and also improve the activeness of the students. Experiential learning is a great way to present, and practice English, because experiential learning is an active learning which is highly motivating for the students. Then, it will be advantageous if the teacher uses the experiential learning method to improve the students‘ English mastery. The success of applying this method can be seen through indicators, they are: (1) students know the meaning of English words. One of activities is playing the game. By doing so, it is easy for the students to memorize the meaning of the words. In finding the meaning of words, students need not open a dictionary because it has already been clear through the instructions they have practiced before; (2) Students are able to pronounce words correctly. The teacher gives the commands several times in a correct pronunciation in order to give examples to the students. The teacher asks the students to pronounce the words and corrects the students‘ pronunciation; (3) Students are able to spell or write words. The teacher gives some words and asks the students to spell and write the words after the teacher has given students the correct spelling of words and writes them on the white board; (4) students are able to use words in a sentence. Teacher asks the students to make new commands or sentences based on the words given; and (5) students are more active and have a highly courage to be active in the classroom and also in the society. So, it can be assumed that by using the experiential learning method in teaching learning process the teacher can improve the students‘ English mastery.

168

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

CONCLUSION Experiential learning is a great way to present, and practice English, because experiential learning is an active learning which is highly motivating for the students. Then, it will be advantageous if the teacher uses the experiential learning method to improve the students‘ English mastery. BIBLIOGRAPHY ____________. 1993. Collaborative Language Learning and Teaching. Cambridge University Press. Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. Longman. Burns, Anne. 1999. Collaborative Action Research for English Language Teacher. United Kingdom : Cambridge Univ. Press. Cross, David. 1991. A Practical Handbook of Language Teaching. Bath : The Bath Press. Depdikbud Propinsi Jawa Tengah.1995. GBPP Muatan Lokal SD Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Semarang. Elliot, Stephen N, et al. 1999. Reflective Teaching Educational. McGraw-Hill Singapore. Endang Fauziati. 2005. Teaching English as a Foreign Language (TEFL). Surakarta: Muhamadiyah University Press. Halliwell, Susan. 1992. Teaching English in the Primary Classroom. Longman. Hatch, Evelyn and Cheryl Brown. 1992. Vocabulary, Semantics, and Language Education. New York: Cambridge University Press. Hopkins, David. 1993. A Teacher‟s guide to Classroom Research. Buckingham Open University Press. House, Susan. 1997. An Introduction to Teaching English to Children. London: Richmond Publishing. Huebener, Theodore. 1965. How to Teach Foreign Language Effectively. New York; New York University Press. Lincoln, Yvonna S; Guba, Egon G. 1984. Naturalistic Inquiry. Baverly Hills: Sage Publication. Mills, Geofrey, E. 2000. Action Research: A Guide for the Teacher. United States of America: Prentice Hall. Nunan, David. 1992. Research Methods in Language Teaching. New York : Cambridge University Press. Richards, Jack; Rodgers, Theodore. S. 2003. Approaches and Methods in Language Teaching Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

169

Schmit, Norbert and Michael McCarthy. 1976. Vocabulary Description, Acquisition and Pedagogy. Cambridge: Cambridge University Press. Sprinthal, Richard C. et al. 1998. Educational Psychology: A Developmental Approach, Seventh Edition. Boston: McGraw Hill. Thornburry, Scott. 1994. How to teach Vocabulary. Longman, Kanisius. Kesainc Blanc. Tuckman, Bruce W. 1978. Conducting educational research. Harcourt Brace Jovanovich. Inc. USA. Ur, Penny. 1996. A Course in Language Teaching Practice and Theory. Cambridge: Cambridge University Press. W. John Best. 1988. Research in Education. New Delhi: Prentice Hall of India Private Limited.

170

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

BABAD PACITAN JAGAKARYA PENDIRI DINASTI PENGUASA DI PACITAN Luwiyanto1 dan Nanik Herawati2 FKIP Universitas Widya Dharma Klaten 1 [email protected] 2 [email protected] Abstrak Salah satu bentuk historiografi tradisional Jawa adalah babad.Babad disebut juga sastra sejarah, artinya teks sastra yang mengandung unsur sejarah.Babad Pacitan adalah satu di antara sekian banyak teks babad yang ditemukan di Jawa.Dalam teks Babad Pacitan, ketokohan Jagakarya menjadi sentral cerita, Jagakarya dipandang sebagai pendiri dinasti penguasa di Pacitan. Legitimasi terhadap Jagakarya dikukuhkan melalui motif cerita yaitu motif tetruka, ―kawin angkat anak‖, ramalan, dan kutukan. Jagakarya adalah tokoh sejarah, bukan tokoh fiktif.Melalui penelusuran terhadap arsip sejarah dapat ditemukan keterangan bahwa Jagakarya adalah tokoh sejarah yang memang pernah ada dan pernah memerintah di Pacitan. Kata kunci: Babad Pacitan, Jagakarya, legitimasi, dan tokoh sejarah

PENDAHULUAN Babad adalah jenis sastra Jawa yang pernah digandrungi oleh para penulis Jawa pada masa lalu. Naskah babad banyak jumlahnya, baik yang tersimpan di museum-museum, instansi, maupun yang masih disimpan secara perorangan oleh masyarakat. Membicarakan babad erat kaitannya dengan fungsinya yaitu untuk melegitimasi penguasa suatu daerah tertentu. Begitu juga salah satu teks babad yang akan dibicarakan dalam tulisan ini, yaitu Babad Pacitan (selanjutnya disingkat BPc). Naskah BPc dideskripsikan sebagai berikut. Judul : Babad Pacitan Tempat penyimpanan: Museum Sanabudaya Yogyakarya, Kode naskah : PBC 169 Ukuran : 16 x 21,5 Cm, tebal 93 halaman Tulisan : Huruf Jawa Bahasa : Bahasa Jawa Bentuk : Tembang macapat, 15 pupuh, 596 bait Penulis : Raden Ngabei Prawirawinata, seorang pensiunan Patih di Ngawi Waktu penulisan : 10 November 1908 M Di dalam BPc terdapat pola naratif yang berpusat pada tokoh-tokoh, ada tokoh pusat dan ada tokoh sampingan. Tokoh pusat di dalam BPc ini adalah Jagakarya, sedangkan tokohtokoh sampingan ada dua macam, yaitu pertama adalah tokoh-tokoh pribumi, misalnya Ki Ampok Baya, Ki Petung, Molana Maghribi, Menak Sopal, Setrawijaya, Samadiwirya, Karyadipura, dan lain-lainnya. Kedua adalah tokoh-tokoh Belanda, misalnya Tuan Inger, Tuan Momer, Tuan Plisingan, Tuan Sembri, dan lainnya. Tokoh pusat ini dikelilingi oleh tokoh-tokoh sampingan, sedangkan tokoh sampingan itu dikelilingi oleh peristiwa-peristiwa. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

171

Segala gerak dan tingkah laku tokoh pusat selalu didukung oleh tokoh sampingan beserta peristiwa-peristiwa yang mengelilinginya. Dalam segala situasi dan dalam seluruh situasi tokoh pusat selalu menonjol, baik dalam kemenangan maupun kekalahannya.Tokoh pusat yaitu Jagakarya berperan baik secara langsung maupun tidak langsung. Berperan secara langsung artinya Jagakarya ini benar-benar hidup ketika satu peristiwa itu terjadi. Hal itu nampak pada episode pemerintahan Setrawijaya, episode pemerintahan Samadiwirya, dan episode pemerintahan Karyadipura. Berperan secara tidak langsung artinya bahwa Jagakarya tidak hidup dan tidak mengalami ketika peristiwa itu terjadi, tetapi peristiwa mendukung peranan Jagakarya. Hal itu nampak pada episode pemerintahan Bathara Katong. Pada episode ini Jagakarya belum hidup, yang hidup adalah Ki Ampok Baya, Ki Petung, Molana Magribi, Menak Sopal, dan Ki Bana Keling. Berasal dari tokoh-tokoh itulah Jagakarya ada dan memungkinkan ia menjadi penguasa di Pacitan. Dari peranan Jagakarya itu dibentuk sejarah Pacitan di dalam sebuah teks babad yang bulat dan utuh. Dalam teks BPc sering menampilkan ketokohan Jagakarya dan keturunannya. Jagakarya ditampilkan sebagai tokoh yang mempunyai kelebihan, kehebatan, misalnya bentuk fisiknya, pemikirannya, strategi perang, kekuatan melobi, dan sebagainya, bahkan kemampuannya membangun dinasti penguasa di daerah Pacitan. Masalah penyuntingan teks dan terjemahan tidak dibicarakan di tulisan ini.Akan tetapi pembicaraan difokuskan pada ketokohan Jagakarya.,Sejauh mana pengarang menggambarkan tokoh Jagakarya sehingga mampu menguasai dan membangun dinasti penguasa di Pacitan. Mengingat BPc adalah teks sastra-sejarah akan disinggung juga tentang eksistensi Jagakarya, apakah merupakan tokoh fiktif atau tokoh sejarah. TINJAUAN PUSTAKA Teks BPc yang menjadi objek penelitian ini pernah diteliti oleh Manu dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1982 dengan judul: ―Babad Pacitan: Penelitian Historiografi, Tipe, Motif, dan Fungsinya‖ (Manu, 1982). Penelitian tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi prasyarat memperoleh gelar Sarjana Muda, program studi Sastra Nusantara. Penelitian tersebut lebih difokuskan pada pendekatan ekspresif, yang menekankan pada proses penciptaan teks BPc hingga fungsi teks tersebut ditulis. Analisisnya lebih banyak diarahkan pada penelusuran fakta-fakta sejarah yang ikut serta membangun teks BPc. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan unsur seni sastra yang memberi ciri pada teks BPc belum banyak diperhatikan.Bagaimana wujud jalinan unsur-unsur narasinya dalam membentuk keutuhan teks BPc, terutama unsur penokohan.Jagakarya merupakan tokoh sentral yang mewarnai jalinan teks BPc sehingga menarik dilakukan kajian. METODE PENELITIAN Teori struktural merupakan salah satu teori sastra yang sudah lama berkembang. Teori ini meninjau karya sastra sebagai kesatuan yang utuh dan bulat. Setiap karya sastra tersusun dari bagian-bagian teks nyang mempunyai peranan penting dalam pembentukan makna keseluruhan teks karya sastra itu, dan sebaliknya bagian-bagian itu baru dan hanya mendapat

172

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

makna yang sepenuhnya dari keseluruhan teks (Luxemburg, 1984:38). Proses penafsiran bagian-bagian teks tertentu baru dan hanya mendapat makna yang sebenarnya dengan mengandaikan terlebih dahulu pemahaman keseluruhan karya itu, sedangkan karya seluruhnya dibina maknanya atas dasar makna-makna bagian (Teeuw, 1984:123). Tiap kajian struktur keseluruhan atau keutuhan karya itulah yang dinomersatukan.Titik tolaknya adalah keseluruhan. Dalam keseluruhan bagian-bagian atau unsur tidak dapat dipisah-pisahkan atau dibeda-bedakan yang satu dari yang lain. Dengan demikian penghargaan atau penilaian terhadap satu bagian atau satu unsur saya dari teks itu sama sekali tidak tepat. Tiap bagian atau tiap unsur harus disoroti dalam konteks cerita itu. Cara kerja atau praktek penafsiran sastra, lingkaran itu dipecahkan secara dialektik, bertangga dan lingkarannya bersifat spiral, mulai interpretasi menyeluruh yang bersifat sementara kemudian diusahakan untuk menafsirkan anasir-anasir sebaik mungkin; penafsiran bagian-bagian pada gilirannya dihadapkan untuk memahami bagian-bagiannya secara lebih tepat dan sempurna dan seterusnya; sampai pada akhirnya dicapai taraf penafsiran yang memperoleh makna total dan makna bagian yang optimal (Teeuw, 1984:123-124). Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, seterperinci dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasis dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Dalam hal ini yang dimaksudkan kebulatan tidak berupa penjumlahan unsur karya sastra, misalnya tema, alur, latar dan sebagainya, tetapi yang penting justru keterlibatan dan keterkaitan unsur itu di dalam keseluruhan makna karya sastra tersebut. Analisis struktural ini hanya menekankan pada objek karya sastra secara otomatis. Karya sastra dipandang sebagai objek yang nyata, kongkrit dan berstruktur secara mandiri yang lepas dari kerangka sejarah sastra dan latar belakang sosial budayanya (Teeuw, 1984:61). Di sisi lain sastra tidak lahir dari kekosongan tetapi merupakan produk seseorang yang tidak dapat dipisahkan dengan lingkungan budayanya. Oleh karena itu, hasil analisis teks akan lebih bermanfaat bila selanjutnya dikaitkan dengan proses penciptaannya. HASIL PEMBAHASAN A. Jagakarya dalam Teks BPc 1. Tokoh Jagakarya Tumenggung Jagakarya adalah orang asli Pacitan, akan tetapi leluhurnya tidak banyak diketahui oleh masyarakat hingga keturunan yang ke dua belas: Mas Tumenggung Jagakarya, tyang asli Pacitan tulen, leluhur bana kasrepan, ing kathah ping dwi welas, pinetang wit saking luhur,(BPc, v:32) ‗Tumenggung Jagakaryaadalah orang asli Pacitan.Leluhurnya tidak diketahui banyak orang hingga keturunan yang ke-12terhitung dari yang teratas‘ PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

173

Bila dilihat dari garis keturunan istrinya, bahwa Nyi Jagakarya (istri Jagakarya) itu adalah keturunan Ki Ampok Baya. Ki Ampok Baya ini merupakan tokoh cikal bakal yang membuka hutan di daerah Posong sehingga menjadi sebuah desa (BPc, i:12-13). Dalam teks BPc dijelaskan bahwa Jagakarya sebelum menjadi penguasa di Pacitan bernama Jayaniman.Ia adalah seorang abdi dalem yang diambil menjadi anak angkat oleh Setrawijaya. Ia diberi tugas mengajar para santri dan juga merangkap menjadi modin. Hal itu dapat dilihat dalam BPc pada pupuh iv bait 29-30, sebagai berikut. Ki Jayaniman ingangkat, suta jalu mring Setrawijaya siki, sinung karya memulang. santri-santri ngiras dadya modin (BPc, iv:29-30). ‗Ki Jayaniman diangkat menjadi putra Setrawijaya diberi pekerjaan mengajarpara mantri dan juga sebagai modin,‘ Pada waktu orang Inggris datang pertama kali di Pacitan, Jayaniman ini diangkat menjadi ngabei dengan nama Mas Ngabei Pancagama atas jasanya kepada orang Inggris. Hal ini dapat dilihat pada pupuh v bait 2 yang berbunyi sebagai berikut. Sira sun kula wisudha, dadya ngabei ana, ing kampung Harjawinangun, jenenga Mas Pancagama (BPc, v:2). ‗Kamu saya wisuda menjadi ngabei di kampung Harjawinangun,bernamalah Mas Pancagama‘ Orang Inggris merasa tertarik atas kepiawaian Jayaniman dalam menanggapi semua pertanyaan yang dilontarkan olehnya. Di samping itu, Jayaniman dipandang mempunyai kemampuan dan keterampilan kerja yang oleh orang Inggris dapat diajak bekerja sama, Banget trima kasih ingwang. Sagunging pitakon mami, sira tanggap limpat pagat, patitis tan ana cecer,

174

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

sira sun kula wisudha, dadya ngabei ana, ing kampong Harjawinangun, jenengaMas Pancagama (BPc, v:1-2) ―Saya (mengucapkan) sangat berterima kasih.Semua pertanyaanku kau tanggapi dengan cepat dan tuntas,rinci tanpa ada yang ketinggalan.Kamu saya wisudamenjadi ngabei didesa Harjawinangundengan nama Mas Pancagama‖ Ketika orang Inggris datang untuk kedua kalinya, Mas Ngabei Pancagama ini diangkat menjadi bupati di Pacitan, sedangkan Setrawijaya dipecat dari kedudukannya. Hal itu dapat dilihat dalam teks BPc pupuh v bait 16-17, sebagai berikut. Setrawijaya Tumenggung, kaping kalih linerehan. Pancagama winisudha, samengko dadi bupatos, aneng ing kutha Pacitan, sinung ran Jagakarya (BPc, v:16-17). ‗Setrawijaya Tumenggung yang kedua diberhentikan. Pancagama diwisuda di Pacitan dengan nama Jagakarya.‘ Tokoh Jagakarya oleh pengarang BPc dijadikan tokoh sentral dalam teks.Ia digambarkan sebagai tokoh yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan tokoh-tokoh lainnya, baik kelebihan dalam hal fisik maupun gagasan-gagasannya. Dalam teks BPc pupuh v bait 34-36 dijelaskan sebagai berikut. Mas Tumenggung Jagakarya, Lelawungira winarni, Mas Tumenggung Jagakarya, balengah kuning dedege, sembada alus kulitnya, wulune amarkata, pasmon kereng dadi patut, lantip pasang panggraita. Karem dheteng olah ngelmi, banter kasutapanira, PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

175

mandi sacipta sapdane, kaprawirane ngaguna, ajijaya sampurna, wus kinarilan Hyang Ngagung, tan pae oliya Allah (BPc, v:35-36). ‗Bahwa Tumenggung Jagakaryaberperawakan kuning, tinggi besar serasi serta halus kulitnya,bulu matanya jumerut, berwatak berwibawa serta cerdas pikirannya.Suka menuntut ilmu,kuat bertapanya, manjur semua yang dikatakannya, sangat pemberani,sempurna kesaktiannya,sudah diberkahi oleh Hyang Agung, tak bedanya sebagai kekasih Allah.‘ Selanjutnya dijelaskan bahwa sisi lain kelebihan Jagakarya tersebut juga mempunyai kekurangan, terutama dalam hal karkter atau watak. Ia mempunyai watak yang temperamen, mudah marah, labil pikirannya sehingga terasa kurang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, lihat pupuh v bait 37, berikut ini. Nanging getas ing panggalih, tan memper dennira tapa, asring kebrongot galihe, katen tan wedharing sabda (BPc, v:37). ‗Tetapi hatinya labil, tak sesuai dengan kemampuan bertapanya, hatinya sering mudah terbakar (amarah).‗ 2. Motif cerita yang mendukung kisah Jagakarya Motif dapat dijelaskan sebagai kesatuan struktural yang paling kecil dan fungsi utamanya ―menghubungkan‖, yaitu menghubungkan unsur-unsur tertentu yang mendukung struktur cerita. Motif cerita ini mempunyai fungsi menggerakkan dan mendorong cerita lebih lanjut (Sutrisno, 1983:246).Beberapa motif cerita yang dipandang mendukung cerita ketokohan Jagakarya adalah sebagai berikut. a. Tetruka Motif tetruka berupa cerita Ki Ampok Baya setelah mendapat ijin dari Bathara Katong di Panaraga untuk membuka hutan, hasil pembukaan hutan itu lalu dijadilan tempat tinggal yang baru yang diberi nama desa Posong. Ki Ampok Baya inilah yang nantinya menurunkan Nyi Jagakarya, istri Ki Jagakarya. Dengan begitu sebenarnya tidak berlebihan bila Jagakarya mempunyai hak mewarisi apa yang telah dirintis oleh leluhurnya dahulu. b. ―Kawin ambil anak‖ Motif ini dalam kisah bahwa Ki Ampok Baya mempunyai seorang anak angkat yang bernama Menak Sopal, yang sebenarnya ia adalah anak Menak Sopal pendiri desa Trenggalek. Di kisah lain bahwa Ki Petung mempunyai seorang

176

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

putri yang bernama Ken Katimah yang sebenarnya adalah putri Ki Ampok Baya. Mereka berdua bersepakat untuk menjodohkan putra-putrinya.Setelah Ki Ampok Baya tidak berkuasa lagi di Posong Menak Sopallah yang menggantikan kedudukannya (BPc, iii18-30).Motif tersebut telah memberi gambaran bahwa Menak Sopal adalah sorang yang berhak menerima warisan berupa kedudukan Ki Ampok Baya.Kaitannya dengan Jagakarya bahwa sebagai keturunan Menak Sopal dengan Ken Katimah maka Jagakarya menjadi orang yang sah menjadi pewaris kedudukan leluhurnya yaitu mewarisi kedudukan Ki Ampok Baya. c. Ramalan Ramalan terhadap Jagakarya yang kelak menjadi seorang penguasa di Pacitan telah diungkapkan dalam BPc pupuh v bait 38, sebagai berikut. wecane nujum turunmu, dadi bupati Pacitan (BPc, v:38) ‗Menurut ramalan nujum kelak keturunanmu,akan menjadi bupati Pacitan‘ Jagakarya yang akhirnya menjadi seorang penguasa Pacitan adalah keturunan Ki Banakeling yang gugur ketika hendak diislamkan.Walaupun Ki Banakeling ini meninggal dunia, tetapi keturunannya itu berhasil menjadi penguasa di Pacitan. d. Kutukan Motif kutukan terjadi dari Jagakarya yakni ketika terjadi pemberontakan Kyai Bagor Kramat yang mengakibatkan Samadiwirya tewas terbunuh. Ketika Samadiwirya berhasil menipu Danureja, ia lalu diangkat menjadi penguasa di Pacitan menggantikan Jagakarya. Jagakarya sangat marah karena sebenarnya ia menginginkan kelak yang menggantikan kedudukannya adalah Karyadipura. Samadiwirya lalu dikutuk oleh Jagakarya, seperti berikut ini. Becik timen Samadiwirya tinemu, nadyan dadia bupati, namung saumuring jagung, ‗Apakah yang akan kau temui Samadiwirya, walaupun kamu menjadi bupati akan tetapi (lamanya) hanya seumur jagung‘ Motif tersebut telah memberi gambaran bahwa ternyata Jagakarya mempunyai pengaruh yang besar di Pacitan.Ia mempunyai peran yang penting di dalam menentukan orang-orang yang akan menduduki jabatan sebagai penguasa di Pacitan. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

177

3. Legitimasi Jagakarya Legitimasi Jagakarya sebagai pendiri dinasti penguasa di Pacitan disahkan secara historiografi tradisional yaitu melalui ramalan dan berdasarkan keturunan. Pada pupuh v bait ke-38 disebutkan bahwa keturunan Ki Banakeling yang gugur dalam pertempuran penyebaran agama Islam akan menjadi penguasa di Pacitan. Pada waktu garis keturunan sampai pada Jagakarya ternyata ramalan itu bnar-benar terwujud.Jagakarya sungguh-sungguh menjadi penguasa Pacitan. Hal itu juga diperkuat lagi pada pernyataan disebutkan bahwa orang menjadi cikal bakal darah Pacitan adalah Ki Ampok Baya.Pada bagian itu pula diterangkan bahwa seorang cikal bakal seperti halnya Ki Ampok Baya mendapat kedudukan yang istimewa di kalangan masyarakat dan berhak menerma upeti dari orang-orang yang datang lebih kemudian. Ki Ampok Baya ini adalah nenek moyang yang menurunkan Nyi Jagakarya, berarti Nyi Jagakarya ini juga berhak mendapat kedudukan yang istimewa dan berhak pula menerima upeti.Ketika Nyi Jagakarya ini diperistri oleh Ki Jagakarya, semakin kuatlah kedudukan Ki Jagakarya sebagai penguasa Pacitan. Sementara itu di lain pihak secara historis, legitimasi Jagakarya ini disahkan dengan diangkatnya Jagakarya menjadi penguasa Pacitan oleh Pemerintah Inggris. Pada waktu orang Inggris dating ke Pacitan, Jagakarya inilah yang berhasil menarik perhatian orang Inggris yaitu dengan mengatakan tentang kemampuan seseorang di dalam hal menanam pohon kopi.Jagakarya mengatakan bahwa seseorang mampu menanam 200 batang pohon opi, sedangkan penguasa Pacitan yang pada waktu itu memerintah adalah Setrawijaya.Ia mengatakan bahwa seseorang hanya mampu menanam 25 pohon kopi. Hal inilah yang menyebabkan Jayaniman (namaJagakarya sebelum berkuasa di Pacitan) diangkat oleh Pemerintah Inggris menjadi Bupati Pacitan dengan gelar Tumenggung Jagakarya. B. Jagakarya dalam Data Sejarah Berdasarkan penjelasan di atas muncullah pertanyaan, tokoh Jagakarya di atas merupakan tokoh fiktif, rekayasa pengarang BPc, atau tokoh yang benar-benar ada dalam sejarah. Untuk mengupas persoalan tersebut maka diperlukan sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya, misalnya arsip ataupun referensi sejarah lain. Di dalam kumpulan arsip The Archive of Yogyakarta disebutkan nama Jagakarya. Nama tersebut dapat dilihat pada surat Setrawijaya kepada John Crawfurd yang berbunyi sebagai berikut. …sareng dinten Senen Jagakarya kalempakan Bekelipun sadaya, kalih atusan kalih opas, anacahaken tiyang, anacahaken sabin, sareng ing di(n)ten Selasa kalempakan malih, kalih Bekelipun sadaya, sakanak-kepenakanipun, pun Jagakarya lajeng parentah,… (Carey, 980:24).

178

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

‗…., maka pada hari Senin Jagakarya berkumpul bersama bekel yang jumlahnya dua ratus orang bersama upasnya, ia menghitung jumlah orang dan jumlah sawah. Pada hari Selasa ia berkumpul lagi dengan bekel dan semua anak kemenakannya, Jagakarya lalu memerintahkan,…‘ Surat-surat yang ditulis oleh Setrawijaya tersebut menyebutkan bahwa penguasa Pacitan itu bernama Jagakarya. Berdasarkan pengertian bahwa surat itu adalah sumber primer, berarti bahwaSetrawijaya melihat, mengetahui dan mengenal secara langsung orang yang menjadi penguasa Pacitan yaitu Jagakarya. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa orang yang memerintah di Pacitan itu bernama Jagakarya. Di tempat lain, nama Jagakarya ini kadang-kadang disebut Jayakarya. Di dalam buku tulisan Sagimun yang berjudul Pahlawan Dipanegara Berjuang (1956) juga disebut nama tokoh Jagakarya ini menjadi Jayakarya. Hal itu dapat dilihat dalam keterangan sebagai berikut. …seorang utusan Pahlawan Dipanagarajang bernamaAmat Aris dapat menginsjafkan bupati Patjitan Kjai Djajakarja untuk berpihak kepada pahlawan Dipanagara…(Sagimun, 1956:114). Berdasarkan data di atas dapat diperoleh keterangan bahwa tokoh Jagakarya atau ada yang menyebut juga Jayakarya, adalah tokoh sejarah yang memang pernah ada dan pernah memerintah di Pacitan. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil simpulan bahwa penulisan teks BPc erat kaitannya dengan legitimasi kekuasaan Jagakarya di Pacitan.Dalam teks BPc, Jagakarya ditempatkan sebagai tokoh sentral, yang oleh pengarang diberi karakter lebih daripada tokohtokoh lainnya.Jagakarya digambarkan sebagai tokoh yang hebat, baik secara fisik maupun nonfisik.Hal itulah yang membuat penguasa Inggris di Pacitan tertarik terhadap Jagakarya. Bentuk balas budi dan kerjasamanya dengan penguasa Inggris, akhirnya ia dinobatkan sebagai bupati di Pacitan. Jagakarya merupakan tokoh sejarah yang pernah ada di Pacitan.Hal itu dapat ditelusuri melalui arsip sejarah, terutama arsip surat-surat yang ditulis oleh Setrawijaya. REFERENSI Bratakesawa, Raden. 1952. Katrangan Tjandrasengkala. Djakarta:Balai Pustaka. Carey, P.B.R. 1980. The Archive of Yogyakarta, Volume I, Document Relating to Politics an Internal Court Affairs, The Oxford UniversityPress. Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko.Jakarta: PT Gramedia. Manu. 1982. ―Babad Pacitan, Penelitian Historiografi, Tipe, Motif, dan Fungsinya‖. Skripsi Sarjana Muda Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

179

Poerwadarminta. 1952. Baoesastra Djawa. Batavia, J.B. Wolters‘uitgevers: Maatshappij n.v.Groningen. Prawirawinata, Raden Ngabei. 1908. ―Babad Pacitan‖. Naskah tersimpan di Museum Sanabudaya Yogyakarta. Sagimun, M.D. 1956.Pahlawan Dipanagara Berjuang. Djakarta: Gunung Agung. Sutrisno, Sulastin. 1983. Hikayat Hang Tuah: Analisis Struktural dan Fungsinya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Teeuw, Andreas. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

180

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

PENGGUNAAN PETA PIKIRAN MELALUI MEDIA GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MENULIS NARASI Hesti Muliawati FKIP UNSWAGATI, Jl Perjuangan No 2 Cirebon. Pos-el: [email protected] Abstrak Latar belakang permasalahan ini adalah pelajaran menulis narasi yang dirasakan kurang menarik dan membebani siswa. Adanya kesulitan dalam ketepatan kata, ketepatan kalimat, ejaan, dan tulisan yang kurang tepat. Tulisan siswa pada dasarnya belum menggambarkan gagasan, perasaanm dan pemikiran yang utuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kegiatan siswa di kelas dengan penggunakan peta pikiran melalui media gambar dalam meningkatkan kemampuan siswa menulis narasi. Model peta pikiran menggunakan kemampuan otak akan pengenalan visual untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya. Dengan kombinasi warna, gambar, dan cabang-cabang melengkung, peta pikiran lebih merangsang secara visual daripada model pencatatan tradisional, yang cenderung linear dan satu warna. Ini akan memudahkan siswa mengingat informasi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu. Teknik pengambilan data yang penulis gunakan adalah teknik tes berupa tes tertulis. Tes tulis digunakan untuk mengetahui keefektifan setelah menggunakan model pembelajaran kontekstual melalui media gambar dalam pembelajaran. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 1 Tengahtani Kabupaten Cirebon tahun pelajaran 2014/2015. Dengan demikian dapat diketahui bahwa penggunaan model peta pikiran efektif dalam pembelajaran menulis narasi pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ciwaringin Kabupaten Cirebon tahun ajaran 2014/2015. Kata Kunci: Penggunaan model peta pikiran, media gambar, menulis narasi. Abstract The background of this problem is the writing lessons naasi felt less attractive and burdening students. The difficulty in word accuracy, the precision of sentences, spelling, and writing are less precise. Posts students basically not describe ideas and thoughts perasaanm intact. The purpose of this study was to observe the activities of students in the classroom with the use of mind maps through images in the media increase students' ability to write narrative. Models mind maps using visual recognition ability of the brain to get the maximum. With a combination of colors, images, and branches arched, mind maps more visually stimulating than traditional recording models, which tend to be linear and one color. This will allow students to recall information. The method used in this study is a quasiexperimental method. Data collection techniques that I use is the testing techniques in the form of a written test. Written test is used to determine the effectiveness after using contextual learning model through images in the media of learning. The population in this study were all students of class VIII SMPN 1 Tengahtani Cirebon in the academic year 2014/2015. Thus it can be seen that the use of mind maps to be effective in models of learning narrative writing of the seventh grade students of SMP Negeri 1 Cirebon Ciwaringin academic year2014/2015. Keywords: Using a mind map models, media images, narrative writing.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

181

1.

PENDAHULUAN Ada empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Empat keterampilan berbahasa itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, saling menunjang, dan saling mendukung. Menulis sebagai salah satu aspek berbahasa berfungsi untuk mengasah keterampilan dan kreativitas siswa melalui bentuk tulisan. Menulis mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia di antaranya dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Pelajaran menulis bermanfaat bagi semua orang, di antaranya gagasan yang kita miliki dapat disalurkan dengan baik. Salah satu jenis kegiatan menulis di antaranya menulis narasi. Narasi bertujuan mengisahkan atau menceritakan (Nasucha, dkk, 2009:49). Narasi adalah karangan yang menyajikan serangkaian peristiwa (Suparno dan Yunus, 2008:4.54). Salah satu ciri khas narasi adalah mengisahkan salah satu tokoh cerita bergerak dalam suatu rangkaian perbuatan atau mengisahkan tokoh cerita terlibat dalam suatu peristiwa dan kejadian. Pelajaran menulis teks narasi penting untuk diajarkan agar siswa dapat menjelaskan peristiwa alam dan peristiwa sosial yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, berdasarkan tuntutan kurikulum 2013 SMP bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia kelas VII, terdapat kompetensi inti mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori. Kompetensi dasar, menyusun teks hasil observasi, tanggapan deskriptif, eksposisi, eksplanasi, dan cerita pendek sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat baik secara lisan maupun tulisan. Oleh karena itu, materi tersebut penting diajarkan pada siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa dan guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMP kelas VII diperoleh fakta bahwa kemampuan siswa dalam menulis teks eksplanasi masih di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) karena masih banyak siswa yang belum bisa menulis teks narasi dan belum memahami materi teks narasi sehingga siswa merasa kesulitan dalam mengembangkan kalimat menjadi teks narasi. Hal ini disebabkan karena siswa jarang membaca sehingga pengetahuan yang dimiliki kurang berkembang. Selain itu, guru sering menggunakan metode ceramah pada saat proses pembelajaran. Permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran menulis teks narasi memerlukan penyegaran, di antaranya penggunaan metode yang bervariasi. Ada bermacam-macam metode pembelajaran, salah satunya metode peta pikiran. Menurut Buzan (2013: 5), peta pikiran merupakan peta rute hebat bagi ingatan, memungkinkan kita menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Ini berarti mengingat informasi akan lebih mudah dan lebih bisa diandalkan daripada menggunakan teknik pencatatan tradisional. Dalam metode peta pikiran, gagasan-gagasan yang akan kita tuangkan menjadi teks eksplanasi dipetakan terlebih dahulu. Keunggulan metode peta pikiran dilakukan agar siswa dapat menuangkan ide-ide atau gagasan dalam bentuk teks eksplanasi.

182

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Oleh karena itu, penulis ingin mengujicobakan penggunaan peta pikian melalui media gambar dalam pembelajaran menulis narasi dengan judul penelitian―Penggunaan Peta Pikiran Melalui Media Gambar untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Teks Narasi pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Lemahabang Tahun Pelajaran 2014/2015‖. 1.1 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini, yakni: 1) penggunaan peta pikiran melalui media gambar untuk meningkatkan kemampuan menulis narasi pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lemahabang tahun pelajaran 2014/2015 efektif?, 2) dan bagaimanakah aktivitas siswa dalam penggunaan peta pikiran melalui media gambar untuk meningkatkan kemampuan menulis narasi pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lemahabang tahun pelajaran 2014/2015 efektif? 1.2 Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui keefektifan dan aktivitas siswa dengan penggunaan peta pikiran melalui media gambar untuk meningkatkan kemampuan menulis narasi pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lemahabang tahun pelajaran 2014/2015. 1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan tentang menulis karangan narasi. Selain itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pemilihan model pembelajaran menulis karangan narasi dan dapat mengembangkan keterampilan guru bahasa dan sastra Indonesia, khususnya dalam menerapkan penggunaan peta pikiran melalui media gambar untuk meningkatkan kemampuan menulis narasi. 2. KAJIAN TEORI 2.1 Menulis Narasi Aspek kemampuan berbahasa meliputi menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Menulis adalah aktivitas mengemukakan gagasan melalui media bahasa (Nurgiyantoro, 1995:296). Keterampilan menulis merupakan keterampilan bahasa yang paling akhir setelah kemampuan mendengarkan, berbicara dan membaca. Kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsur di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi tulisan sehingga menjadi tulisan yang runtut dan padu (Iskandarwassid dan Sunendar, 2008:248). Berdasarkan tujuan umum yang tersirat ada lima jenis tulisan yaitu: deskripsi, narasi, eksposisi, argumentasi dan persuasi (Suparno dan Yunus, 2008:1.11). Mengenai ragam tulisan, penulis menggunakan ragam tulisan yang lazim digunakan dalam pembelajaran menulis di Indonesia yaitu: ragam narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi dan persuasi. Berkaitan dengan uraian tersebut, yang dikaji dalam penelitian ini adalah tulisan narasi siswa, maka pembahasan selanjutnya akan difokuskan pada tulisan narasi. Istilah narasi berasal dari kata narration (Bahasa Inggris) yang berarti ―cerita‖ dan narrative yang berarti ―yang menceritakan‖ (Ahmadi, 1990:122). PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

183

Paragraf narasi bertujuan mengisahkan atau menceritakan (Nasucha, dkk, 2009:49). Narasi adalah karangan yang menyajikan serangkaian peristiwa (Suparno dan Yunus, 2008:4.54). Salah satu ciri khas narasi adalah mengisahkan salah satu tokoh cerita bergerak dalam suatu rangkaian perbuatan atau mengisahkan tokoh cerita terlibat dalam suatu peristiwa dan kejadian (Suparno dan Yunus, 2008:4.41). Tujuan utama narasi adalah untuk menguraikan suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang saling berhubungan sehingga maknanya muncul atau berkembang di dalamnya. Menulis narasi tidak dapat berbuat objektif secara lengkap atau sempurna, dan dalam suatu derajad tertentu maknanya akan selalu memantulkan interpretasinya terhadap dunia atau peristiwa. 2.2 Metode Peta Pikiran Peta pikiran merupakan salah satu metode yang digunakan dalam proses pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam menuangkan ide atau gagasan. Dengan menggunakan peta pikiran, siswa dapat menggambarkan konsep materi pelajaran dengan kreativitasnya sendiri. Peta pikiran adalah teknik mencatat untuk memudahkan mengingat informasi melalui pemetaan dengan menggunakan gambar, simbol, dan warna. Seperti yang dikemukakan Buzan (2013: 5) bahwa peta pikiran merupakan peta rute yang hebat bagi ingatan, memungkinkan kita menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Dengan peta pikiran kita akan mengingat informasi lebih mudah. Windura (2013: 16), menyatakan bahwa peta pikiran adalah berbentuk visual alias gambar, sehingga mudah untuk dilihat, dibayangkan, ditelusuri, dibagikan kepada orang lain, dipresentasikan, didiskusikan bersama, dan sebagainya. Dengan peta pikiran kita akan mengingat informasi lebih mudah karena konsep peta pikiran berupa gambar sehingga lebih mudah untuk dilihat. Pendapat di atas mengungkapkan persamaan persepsi terkait konsep peta pikiran yaitu memandang peta pikiran dari segi kemudahan dalam mengingat informasi dan mudah untuk dilihat secara keseluruhan melalui pemetaan. Dengan demikian peta pikiran adalah teknik yang berhubungan erat dengan otak karena dalam peta pikiran menuangkan ide atau gagasan itu melalui pemetaan sehingga melibatkan otak untuk berpikir secara aktif. Peta pikiran juga memiliki konsep berupa gambar, simbol, dan warna sehingga dapat lebih mudah dalam mengingat informasi. Sebelum menerapkan metode peta pikiran dalam proses pembelajaran terlebih dahulu guru harus memahami langkah-langkah metode peta pikiran. Seperti yang dikemukakan Buzan (2013: 15), langkah-langkah metode peta pikiran yaitu mulai dari bagian tengah kertas kosong, gunakan gambar atau foto untuk ide sentral, gunakan cabang, gunakan warna, hubungkan setiap cabang, gunakan satu kata kunci. 2.3 Media Gambar Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar. Kurikulum 2013 adalah sistem baru upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu

184

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

bentuk perubahan implementasi pada kurikulum tersebut adalah adanya media dalam setiap pembelajaran. Media pembelajaran adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan lebih baik dan sempurna (Kustandi dkk, 2011: 8). Sejalan dengan itu, media gambar adalah media yang paling umum dipakai. Gambar merupakan bahasa yang umum, yang dapat dimengerti dan dinikmati di mana-mana. Pepatah Cina mengatakan bahwa sebuah gambar berbicara lebih banyak dari seribu kata (Sadiman dkk, 2012: 28). Setiawan dkk. (2009: 1) mengungkapkan bahwa gambar merupakan simbol komunikasi tertua. Dari zaman batu hingga sekarang, manusia menggunakan gambar sebagai alat komunikasi. Hal ini menunjukan bahwa gambar adalah media komunikasi yang efektif untuk digunakan dalam proses pembelajaran, karena terbukti dari zaman dahulu pun sudah dipakai sebagai alat komunikasi. Penggunaan media pembelajaran diharapkan dapat memberikan suatu warna yang baru dalam belajar sehingga media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baik terhadap siswa. Levie dan Lentz (Kustandi, 2013: 19-20) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, yaitu 1) fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi terhadap isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran; 2) fungsi afektif media visual dapat dilihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar; 3) fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar; 4) fungsi kompensatoris media visual pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dalam proses pembelajaran diperlukan media untuk menarik perhatian siswa sehingga belajar akan lebih bermakna. Dalam setiap penggunaan media pembelajaran banyak manfaat dan kemudahan yang didapat pada prosesnya, tetapi masih ditemukan adanya kekurangan dalam penggunaan media termasuk pada pembelajaran menggunakan media gambar. Berikut kelebihan dan kekurangan media gambar. Kustandi, dkk. (2011: 41-42) dan Sanjaya (2012: 166-168) mengelompokkan beberapa kelebihan serta kekurangan dalam pembelajaran menggunakan media gambar.Kelebihan:1) sifatnya kongkret, lebih realistis dibandingkan dengan media verbal; 2) dapat memperjelas suatu masalah dalam bidang apa saja, baik untuk usia muda maupun tua; dan 3) murah harganya dan tidak memerlukan peralatan khusus dalam penyampainnya. Adapun kelemahannya, yakni: 1) gambar hanya menekankan persepsi indera mata; 2) ukurannya sangat terbatas.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

185

3.

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode eksperimen semu karena penulis ingin melihat pengaruh perlakuan terhadap hasil kegiatan pembelajaran menulis teks eksplanasi. Menurut Arikunto (2010: 160), metode eksperimen semu adalah kegiatan untuk meneliti suatu peristiwa yang diamati secermat mungkin dan hanya dilakukan satu kali perlakuan langsung dilihat hasilnya. Pada penelitian ini penulis menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk mengetahui akibat dari perlakuan yang diterapkan pada kelas eksperimen dan sebagai pembandingnya adalah kelas kontrol. Perlakuan yang diterapkan di kelas eksperimen yaitu menggunakan metode peta pikiran, sedangkan kelas kontrol tidak mendapat perlakuan. Desain penelitian pada metode eksperimen yang digunakan adalah desain kontrol (group pretest-postes control design). Menurut Arikunto (2010:125), desain kontrol (group pretest-postes control design) adalah suatu desain yang melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dua kelompok ini masing-masing diberi tes awal untuk mengetahui kemampuan awal. Kemudian, diberi perlakuan berupa metode peta pikiran pada kelompok eksperimen, sedangkan kelompok kontrol tidak diberi perlakuan. Oleh karena itu, untuk mengetahui perbedaan antara dua kelompok tersebut perlu dilakukan tes akhir. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Efektivitas Metode Peta Pikiran Tujuan penilaian hasil belajar siswa dengan menggunakan instrumen tes yaitu untuk mengetahui efektif atau tidaknya penggunaan peta pikiran melalui media gambar. Berdasarkan hasil tes terdapat perbedaan antara siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil nilai tes awal siswa kelas eksperimen diperoleh dengan jumlah 1932 dengan nilai rata-rata 53. Jumlah nilai tes awal tersebut menunjukkan hasil yang belum memuaskan. Adapun rincian nilai siswa selengkapnya sebagai berikut. Siswa yang memeroleh nilai 33 sebanyak 2 siswa, yang memeroleh nilai 40 sebanyak 7 siswa, yang memeroleh nilai 47 sebanyak 3 siswa, yang memeroleh nilai 53 sebanyak 9 siswa, yang memeroleh nilai 60 sebanyak 7 siswa, yang memeroleh nilai 67 sebanyak 6 siswa, dan yang memeroleh nilai 73 sebanyak 2 siswa. Setelah dilakukan tes awal, penulis selanjutnya memberikan perlakuan pada kelas eksperimen yaitu dengan menggunakan metode peta pikiran. Kemudian, penulis melakukan tes akhir pada siswa kelas eksperimen dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan metode peta pikiran dalam pembelajaran menulis teks eksplanasi. Hasil tes akhir menunjukkan bahwa jumlah nilai tes akhir lebih besar dari jumlah nilai tes awal. Jumlah nilai tes akhir kelas eksperimen mencapai 2885 dengan nilai rata-rata 80. Adapun rincian selengkapnya sebagai berikut. Siswa yang memeroleh nilai 67 sebanyak 1 siswa, yang memeroleh nilai 73 sebanyak 10 siswa, yang memeroleh nilai 80 sebanyak 15 siswa, yang memeroleh nilai 87 sebanyak 7 siswa, dan yang memeroleh nilai 93 sebanyak 3 siswa. Sementara itu, hasil nilai tes awal siswa kelas kontrol diperoleh dengan jumlah 1899 dengan nilai rata-rata 52. Jumlah nilai tes awal kelas kontrol tersebut menunjukkan hasil yang

186

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

belum memuaskan. Adapun rincian nilai selengkapnya sebagai berikut. Siswa yang memeroleh nilai 33 sebanyak sebanyak 2 siswa, yang memeroleh nilai 40 sebanyak 7 siswa, yang memeroleh nilai 47 sebanyak 4 siswa, yang memeroleh nilai 53 sebanyak 10 siswa, yang memeroleh nilai 60 sebanyak 6 siswa, yang memeroleh nilai 67 sebanyak 6 siswa, dan yang memeroleh nilai 73 sebanyak 1 siswa. Jumlah nilai tes akhir kelas kontrol mencapai 2547 dengan nilai rata-rata 70. Hal ini menunjukkan bahwa hasil tes akhir lebih besar dari hasil tes awal. Adapun rincian selengkapnya sebagai berikut. Siswa yang memeroleh nilai 60 sebanyak 3 siswa, yang memeroleh nilai 67 sebanyak 14 siswa, yang memeroleh nilai 73 sebanyak 14 siswa, yang memeroleh nilai 80 sebanyak 4 siswa, dan yang memeroleh nilai 87 sebanyak 1 siswa. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata tes akhir pembelajaran menulis teks eksplanasi di kelas eksperimen lebih besar dibandingkan nilai rata-rata kelas kontrol. Hal tersebut dikarenakan pengaruh dari metode yang penulis gunakan yaitu metode peta pikiran. Ketika belajar menggunakan metode peta pikiran siswa merasa lebih nyaman dan lebih mudah untuk berimajinasi karena didukung oleh gambar, warna, cabang, dan kata kunci. Selain itu, hasil perhitungan statistik t-tes diperoleh thitung sebesar 4,38 pada taraf signifikan 5% dengan ttabel sebesar 1,99. Dengan demikian thitung lebih besar dari ttabel yaitu 4,38 > 1,99 hal ini menandakan bahwa (Ho) ditolak dan (H1) diterima. Berdasarkan uji hipotesis di atas, penggunaan peta pikiran melalui media gambar efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis teks narasi pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lemahabang tahun pelajaran 2014/2015. 4.2 Aktivitas Pembelajaran Pada pembelajaran menulis teks eksplanasi dengan penggunaan peta pikiran melalui media gambar, aktivitas siswa terlihat baik. Hal ini dibuktikan melalui rincian sebagai berikut. Siswa yang menyimak penjelasan guru mengenai kompetensi yang akan diajarkan dengan sungguh-sungguh berjumlah 32 siswa (88,89%) termasuk kategori sangat baik dan 11,11% siswa tidak menyimak penjelasan mengenai kompetensi yang akan diajarkan. Hal ini disebabkan karena siswa tersebut mengobrol dengan temannya. Pada kegiatan menjelaskan materi terdapat 34 siswa (94,44%) menyimak penjelasan guru tentang materi teks eksplanasi dengan menggunakan metode peta pikiran berjumlah termasuk kategori sangat baik dan 5,55% siswa terlihat mengantuk sehingga tidak sungguh-sungguh dalam menyimak materi yang dijelaskan guru. Pada kegiatan tanya jawab terdapat 15 siswa (41,61%) berperan aktif mengajukan beberapa pertanyaan berkaitan dengan penjelasan materi menulis teks eksplanasi dengan menggunakan metode peta pikiran termasuk kategori cukup baik dan 58,33% siswa hanya menyimak penjelasan guru dan temannya dan ada juga yang mengobrol dengan temannya. Pada kegiatan menentukan tema peta pikiran terdapat 34 siswa (94,44%) yang menentukan tema peta pikiran termasuk kategori sangat baik dan 5,55% siswa tidak menentukan tema peta pikiran, melainkan masih menyiapkan perlengkapan alat tulisnya. Pada kegiatan membuat kerangka karangan terdapat 30 siswa (83,33%) yang membuat peta pikiran dengan membuat cabang-cabang dengan garis hubung melengkung serta menggunakan pensil PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

187

warna/spidol yang berbeda sebagai kerangka karangan termasuk kategori baik dan 22,22%. Hal ini disebabkan karena ada beberapa siswa yang membuat cabang dengan garis lurus dan tidak menggunakan warna/spidol yang berbeda. Pada kegiatan menentukan kata kunci terdapat 30 siswa (83,33%) yang menentukan kata kunci yang berisi informasi-informasi berkaitan dengan tema peta pikiran dari setiap cabang yang dibuat termasuk kategori sangat baik dan 16,67% siswa tidak menentukan kata kunci. Hal ini disebabkan karena ada beberapa siswa yang masih membuat cabang-cabang dengan garis hubung melengkung. Pada kegiatan mengembangkan cabang terdapat 31 siswa (86,11%) yang mengembangkan cabang-cabang yang telah dibuatnya dengan menggambarkan cabangcabang lanjutan atau ranting-ranting yang memancar dari setiap kata kunci cabang tersebut termasuk kategori sangat baik dan 8,33% siswa masih kesulitan dalam mengembangkan cabang-cabang. Pada kegiatan mengembangkan kerangka karangan, terdapat 34 siswa (94,44%) yang mengembangkan kerangka karangan menjadi teks eksplanasi termasuk kategori sangat baik dan 5,56% siswa belum bisa mengembangkan kerangka karangan menjadi teks eksplanasi. Hal ini disebabkan karena siswa tersebut tidak bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugasnya. Pada kegiatan memaparkan hasil tugas, terdapat 8 siswa (22,22%) yang memaparkan hasil tugasnya di depan kelas termasuk kategori kurang baik dan 77,78% siswa menyimak pemaparan hasil tugas temannya. Pada kegiatan memberikan komentar, terdapat 10 siswa (27,78%) yang memaparkan hasil tugasnya di depan kelas termasuk kategori kurang baik dan 72,22% siswa menyimak komentar atau tanggapan temannya. Pada kegiatan penutup, terdapat 30 siswa (83,33%) menyimak kesimpulan yang disampaikan guru termasuk kategori sangat baik dan 16,67% siswa tidak menyimak simpulan guru, melainkan mengobrol dengan temannya. Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan peta pikiran melalui media gambar dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa dengan kategori 80%. 5.

SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan siswa kelas eksperimen dengan menggunakan metode peta pikiran dan siswa kelas kontrol yang tidak menggunakan peta pikiran melalui media gambar. Nilai ratarata kelas eksperimen yang semula 53 meningkat menjadi 80 dengan selisih peningkatan sebesar 27. Sementara itu, nilai rata-rata kelas kontrol yang semula 52 meningkat menjadi 70 dengan selisih peningkatan 18. Peningkatan nilai rata-rata siswa kelas eksperimen lebih besar daripada kelas kontrol. Berdasarkan hasil perhitungan uji t (t-tes) membuktikan bahwa thitung > ttabel atau 4,38 > 1,99 pada taraf signifikasi 5% artinya Ho ditolak dan Hi diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan peta pikiran melalui media gambar untuk meningkatkan kemampuan siswa menulis narasi pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Lemahabang tahun pelajaran 2014/2015 efektif. Aktivitas siswa dapat dilihat dari hasil observasi pada kelas eksperimen mencapai 80% yang dikategorikan sangat baik.

188

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Citra. Buzan, T. 2013. Buku Pintar Mind Map.Jakarta: PT GramediaPustakaUtama. Buzan, T. 2000. Gunakan Kepala Anda (Teknik Berpikir, Belajar, dan Membangun Otak). Jakarta: Pustaka Delapratasa. Kustandi, Sutjipto. (2011). Media Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Semi, A. 2007.Dasar-DasarKeterampilanMenulis.Bandung: Angkasa. Setiawan D. 2009. ModulKomputer dan Media Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka. Tarigan, H.G. 2013. Menulis sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung. Angkasa. Windura, S. 2013. Mind Map unuk Siswa, Guru, dan Orang Tua. Jakarta: PT Elek Media Komputindo.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

189

AMANAT DALAM CERITA MINTARAGA GANTJARAN KARYA PRIJOHOETOMO Djoko Sulaksono Pendidikan Bahasa Jawa, FKIP UNS [email protected] Abstrak Cerita wayang merupakan salah satu cerita yang dapat dijadikan sebagai tontonan, tuntunan, dan tatanan. Cerita Mintaraga Gancaran merupakan gubahan dari cerita Arjuna Wiwaha. Berdasarkan penelitian, terdapat empat amanat dalam cerita tersebut, yaitu (1) Siapa yang bersungguh-sungguh dalam berusaha dan berdoa pasti akan berhasil; (2) Segala sesuatu akan mempunyai akibat (hukum sebab akibat); (3) Jangan merasa takut sebelum mencoba; dan (4) Berhati-hati dalam melaksanakan kewajiban (waspada). Kata kunci: wayang, cerita, mintaraga gancaran

LATAR BELAKANG Salah satu bentuk karya sastra yang membicarakan berbagai masalah kehidupan manusia dan kemanusiaan, dan dapat dipakai sebagai sumber pencarian nilai–nilai adalah cerita wayang kulit Jawa, karena di dalamnya terdapat berbagai macam ajaran dan nilai etis yang bersumber dari berbagai agama serta sistem filsafat dan etika (Hazim Amir, 1997: 16). Cerita wayang merupakan bentuk kesenian tradisional yang paling disukai masyarakat Indonesia, Jawa pada khususnya. Khusus bagi masyarakat Jawa, cerita wayang telah menjadi salah satu sumber tontonan, tuntunan, dan tatanan. Nilai–nilai filosofis dan ajaran–ajaran yang terkandung di dalamnya adalah nilai–nilai luhur yang telah mampu melewati ujian dari waktu ke waktu. Sejak dari zaman dahulu sampai sekarang, pertunjukan wayang tidak pernah berhenti, padahal wayang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Hal ini terbukti dengan masih adanya pertunjukan wayang sampai sekarang. Walaupun sudah banyak perubahan jalan ceritanya, tetapi hal itu tidak mengurangi isi yang terkandung di dalamnya. Cerita Mintaraga Gancaran adalah cerita gubahan berbentuk prosa dari Serat Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa yang sekarang lebih dikenal dengan judul Begawan Ciptaning yang dibangun pada zaman Surakarta awal, yang merupakan jarwan ‘terjemahan‘ dari epos Kakawin Arjuna Wiwaha. Serat Arjuna Wiwaha punika ingkang andamel Empu Kanwa, nalika salebeting djumenengipun Prabu Airlanggha, ratu ing tanah Djawi wetan wiwit kiwatengenipun taun 941 dumugi 964 Caka (1019 dumugi 1042 taun Masehi).‟Serat Arjuna Wiwaha yang membuat Empu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Erlangga di Jawa Timur sekitar tahun 941 sampai 964 Caka (1019 sampai 1042 M) (Poerbatjaraka, 1954: 17). Cerita Arjuna Wiwaha merupakan bagian ketiga kitab Mahabarata, yaitu bagian Wanaparwa yang mengisahkan sewaktu Pandawa mengalami pembuangan di hutan Kamyaka selama dua belas tahun.

190

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

LANDASAN TEORI Terdapat beberapa teori yang akan dijadikan dasar dalam penulisan ini. Adapun teoriteori tersebut sebagai berikut. 1. Amanat Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Suharianto (1983: 71-72), menyatakan bahwa ada dua cara yang bisa ditempuh oleh pengarang untuk menyampaikan amanat tersebut yaitu secara tersurat dan tersirat. a. Amanat Tersurat Pesan yang disampaikan pengarang secara langsung. Pembaca dapat dengan mudah memahami dan menangkap amanat tersebut. Tiga bentuk yang digunakan pengarang untuk menyampaikan amanat secara langsung yaitu melalui mulut pengarang, dengan teknik renungan yakni pengarang menyampaikan amanatnya melalui pelaku cerita, dan dengan teknik dialog antara pelaku yakni pengarang menyampaikan amanat melalui dialog para pelaku ceritanya. b. Amanat Tersirat Amanat yang disampaikan secara tidak langsung. Pengarang menyampaikan amanat ceritanya melalui kalimat-kalimat atau dialog pelaku cerita, tetapi amanat disampaikan melalui jalan nasib atau perikehidupan pelaku cerita. Misal pelaku cerita yang pada awal ceritanya berbuat jahat akan mengalami nasib menyedihkan pada akhir cerita. Pelaku cerita yang pada awal ceritanya mengalami kesedihan sekalipun bertindak jujur dan benar, pada akhir ceritanya mendapatkan kebahagiaan. 2.

Sastra Wayang Sastra wayang adalah jenis sastra Jawa Kuna yang menampilkan kisah tokoh-tokoh wayang yang bersumber dari Ramayana, Mahabarata, dan Pustaka Raja Purwa. Jumlah sastra wayang sangat banyak. Sebagian gubahanya dalam bentuk tembang macapat dan selebihnya dalam bentuk (prosa). Selain kedua bentuk itu, naskah sastra wayang juga digubah dalam bentuk pakem pedhalangan yang berisi teks pedalangan lengkap yang terdiri atas narasi dalang, dialog tokoh wayang, sulukan, dan gendhing-gendhing pengiring yang disertai dengan sasmita-sasmita gendhing. Fungsi pakem pedalangan (pakem pedhalangan jangkep) sesungguhnya tidak untuk dinikmati sebagai bahan bacaan tetapi sebagai tuntunan teknis bagi para dalang dan terutama bagi para calon dalang. Pakem pedhalangan jangkep Dewasa ini juga dihasilkan dengan cara mentranskripsi seutuhnya rekaman pergelaran wayang. Transkripsi itu kemudian disunting dan diterbitkan. Naskah hasil transkripsi dapat dinilai sebagai bentuk transformasi sastra lisan (Dhanu Priyo Prabowo. dkk, 2007:275). Berbagai macam jenis wayang yang ada di Indonesia, yaitu wayang kulit, wayang golek Sunda, wayang Betawi, wayang sasak, wayang timplong, wayang krucil, wayang thengul, wayang jemblung, wayang cepak, wayang kancil, wayang beber, wayang orang, wayang topeng, wayang suluh, wayang wahyu dan lain-lain. Dari sekian banyak jenis wayang, yang paling populer dan mempunyai usia ribuan tahun adalah adalah wayang kulit. Cerita-cerita pokoknya bersumberkan kitab Mahabharata dan Ramayana yang PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

191

bernafaskan kebudayaan dari filsafat Hindu, India, tetapi telah diserap ke dalam kebudayaan setempat (Kanti Walujo, 2000: xi). PEMBAHASAN Amanat adalah pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat bisa secara tersurat ataupun tersirat. Adapun Amanat dalam cerita Mintaraga Gancaran antara lain sebagai berikut 1. Siapa yang bersungguh-sungguh dalam berusaha dan berdoa pasti akan berhasil. “Kaentepanipun Raden Arjuna pantes sinudarsana. Bebasanipun sing sapa temen tinemenan. Dene manungsa ingkang kasekten, kasugihan utawi kawirjan, mangka boten dipunsaranani tapabrata, tuwin memuja dhateng dewa ingkang kawelas, sampun pisan-pisan gadhah pangajeng-ajeng badhe kasembadan panyuwunipun. Awit boten wonten dewa ingkang paring kanugrahan dhateng tijang ingkang tansah gesang sarwi ngeca-eca, boten cegah tedha tuwin tilem, temah angubungi ardaning pancadriya. Tiyang ingkang kados makaten punika tindakipun boten sande winilet ing prihatos, saha dhumawah ing sangsara” (MG: 37). Terjemahan: ‗Kemantapan raden Arjuna pantas dicontoh. Peribahasa siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan menuai hasilnya. Manusia yang sakti, kaya tapi tidak diikuti sarana tapa brata dan memuja kepada Tuhan yang maha Penyayang, jangan sekali-kali berharap akan tercapai tujuannya. Karena Tuhan tidak akan memberikan kanugrahan kepada orang yang hidupnya hanya bersenang-senang, tidak mengurangi makan dan tidur dan hanya mengikuti keinginan panca indra. Orang yang seperti itu jalannya tidak pernah prihatin dan nanti akan menemui sengsara‘. Dari kutipan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa siapa yang bersungguhsungguh akan berhasil, dalam bahasa Jawa ungkapan seperti itu berbunyi sing sapa temen bakal tinemu yang artinya segala usaha dan perjuangan bagaimanapun beratnya suatu saat pasti akan mendatangkan hasil asal kita mau terus berusaha. 2. Segala sesuatu akan mempunyai akibat (hukum sebab akibat) Hidup ini adalah proses sebab akibat. Apa yang kita kerjakan sekarang suatu saat kita akan menuai hasilnya. Berikut kutipan yang merupakan proses sebab akibat. “Sedaya ingkang gumelar ing jagat raya punika gegayutan kaliyan sebarang tindak ingkang sampun kepengker. Sinten ingkang ulah rahayu badhe manggih karahayon. Para sujana saha sarjana kados boten kekilapan dhateng pituwasipun kasetyan, inggih punika kabingahanipun manah ingkang langgeng” (MG: 37).

192

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Terjemahan: ‗Segala yang ada di jagad raya ini berhubungan dengan segala perbuatan yang pernah dilakukan dulu. Siapa yang berbuat baik akan selamat. Para cerdik pandai dan sarjana sepertinya tidak ragu manfaat kesetiaan, yaitu rasa suka dalam hati yang abadi‘. Data di atas menjelaskan bahwa manusia akan menerima akibat dari segala perbuatannya. Seperti ungkapan yang berbunyi seperti ungkapan yang berbunyi becik ketitik ala , sapa nandur bakal ngundhuh, nandur becik thukul becik, nandur ala thukul ala, ‗yang baik akan kelihatan tang buruk akan ketahuan, siapa yang menanam pasti akan menuai hasilnya, menanam baik hasilnya baik, menanam buruk hasilnyapun akan buruk‘. 3. Jangan merasa takut sebelum mencoba Manusia biasanya merasa kurang PD (percaya diri) dan kurang percaya dengan kemampuan diri sendiri. Maka banyak orang yang merasa rendah diri. Berikut kutipan yang menyatakan rasa kurang percaya diri. “Wekasan wicantenipun Dewi Supraba sarwi nangis mingseg-mingseg kamisesegen kawelasasih. Raden Pamade lajeng mangsuli sarwi tembung manuara: ,,Mangke ta Sang dewi, kula badhe nyela atur. Punapa Sang dewi rumaos wirang dhateng Batara Endra? lan malih punapa sebabipun badhe mopo ingutus marak dhateng Sang Raja Niwatakawaca? mila Sang dewi sampun pisan-pisan ewa dhateng Sang ditya ! saupami sampeyan kuwatos, gek punapa ingkang badhe dipunajrihi? Awit kula ingkang badhe dados saksi, anguningani sapari polah sampeyan. Manawi sampeyan dipun gepok dhateng ratu denawa, inggih dipunbetahbetahaken kemawon, mangsa boronga Batara Endra. Mila samangke Sang dewi sampun ketingal rengu. Langkung prayogi nglelejar panggalih, tuwin memanis ulat” (MG: 49). Terjemahan: ‗Akhirnya Dewi Supraba berkata sambil menangis tersedu-sedu, kata-kata membuat sedih. Raden Arjuna lalu menjawab dengan suara yang lembut. Sebentar Sang Dewi, saya mau berbicara. Apakah Sang Dewi merasa malu kepada Batara Endra, dan lagi apa sebabnya tidak mau menemui Prabu Niwatakawaca. Maka Sang Dewi jangan sekali-kali takut kepada Sang raksasa. Seandainya anda khawatir, apa yang ditakuti? Karena saya yang menjadi saksi, mengetahui segala perbuatan anda. Jika anda disentuh raja raksasa ya ditahan saja dulu, terserah Batara Endra. Maka nanti Sang Dewi jangan merasa ragu. Lebih baik menenangkan hati dan menceriakan wajah‘. Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa kita jangan merasa khawatir atau takut sebelum mencoba. Seperti ungkapan yang berbunyi kalah cacak menang cacak yang berarti segala sesuatu sulit atau mudah, berhasil atau tidak baru bisa diketahui setelah kita mencobanya. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

193

4. Berhati-hati dalam melaksanakan kewajiban (waspada) Dalam berbuat atau melakukan sesuatu harus berhati-hati agar hasilnya baik. Tumindak nganggo waton, aja waton tumindak. ‗melakukan sesuatu dengan cara, jangan asal melakukan‘. Berikut kutipan yang menyatakan kita harus berhati-hati dalam bertindak. “Nanging diawas, kulup ! Prabu Niwatakawaca iku punjul ing apapak, mrojol ing akerep, mumpuni salwiring kasekten. Sanajan ketiban gegaman kongsi mati ping satus sadina, iya bisa urip maneh. Kasekten wus ora ana sing madhani. Mung bae bakal kalah sarana weriting sandiupaya. Mulane ing mengko kudu weruh ing ngendi panggonane pati uripe ratu buta iku. Yen mung ngawur bae, ora bakal bisa nguwisi gawe” (MG: 42). Terjemahan: ‗Tapi berhati-hati kulup, Prabu Niwatakawaca itu Sangat sakti. Walaupun dijatuhi senyatasampai mati seratus kali maka akan bisa hidup lagi. Kesaktianya sudah tidak ada yang menyamai. Hanya saja akan kalah jika ada yang tau kelemahannya. Maka nanti kamu harus tahu dimana tempat kelemahan raja raksasa itu. Jika hanya asalasalan tidak akan bisa menyelesaikan masalah ‘. Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan segala sesuatu kita harus berhati-hati karena apabila peperangan, jika tidak berhati-hati maka nyawa yang menjadi taruhanny SIMPULAN Berdasarkan beberapa temuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam cerita Mintaraga Gancaran karya Prijohoetomo, secara garis besar terdapat empat pesan/amanat yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Adapun empat amanat tersebut yaitu (1) Siapa yang bersungguh-sungguh dalam berusaha dan berdoa pasti akan berhasil; (2) Segala sesuatu akan mempunyai akibat (hukum sebab akibat); (3) Jangan merasa takut sebelum mencoba; dan (4) Berhati-hati dalam melaksanakan kewajiban (waspada). DAFTAR PUSTAKA Dhanu Priyo Prabowo, dkk. 2007. Glosarium Istilah Sastra Jawa. Yogyakarta: Narasi. Hazim Amir. 1997. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Poerbatjaraka. 1954. Kapustakan Djawi. Djakarta: Djambatan. Prijohoetomo. M. 1953. Mintaraga Gancaran. Djakarta: Balai Pustaka. Suharianto.S.S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta Widya Duta.

194

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

ANALISIS KEMAMPUAN MENYIMAK PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA (Penelitian Studi Kasus pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang) Tahun Pelajaran 2014/2015 Dwi Cahyadi Wibowo & Yudita Susanti STKIP Persada Khatulistiwa Sintang, Jl. Pertamina-Sengkuang- Sintang Kalimantan Barat [email protected] Abstract The general objective of this study '' Listening Capabilities Analyzing Learning Indonesian Students In Class IV at State Elementary School 04 Sintang academic year 2014/2015. The variable in this study is the ability to listen on learning Indonesian. The research method is descriptive method, the form of research is a case study. IV class research subjects with a total of 45 students, the data collection techniques using observation techniques, direct communication engineering, technical documentation and data collection tools are observation, interview, and documentation. Results of the study as follows: 1) the implementation of learning to listen in class IV run well and smoothly in accordance with the design of learning scenarios designed. In addition, the students follow the learning process very well, learning to respond, asking if the lack of understanding of the material presented by the teacher. 2) The level of listening skills in learning Indonesian students have factors of obstacles and constraints which lead to poor listening skills of students. Such factors may include the lack of student interest, not paying attention to the teacher when the teacher explains, it resulted in uninterrupted listening process and the learning process can not be run properly. 3) ways teachers to improve students' listening skills to listen to students overcome difficulties through an effective learning process, increase the concentration of students in learning, improve student learning spirit to be able to listen well. 4) factors inhibiting the listening skills of students in the fourth grade that include aspects of the physiological and psychological aspects. Based on the results of research in general on the analysis of listening skills in learning Indonesian (case studies in class IV Sintang State Primary School 04 in the school year 2014/2015) can run well and smoothly as expected. Keywords: Listening Capabilities Abstrak Tujuan umum penelitian ini ‗‘Menganalisis Kemampuan Menyimak Siswa Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang Tahun Pelajaran 2014/2015. Variabel dalam penelitian ini adalah kemampuan menyimak pada pembelajaran Bahasa Indonesia. Metode penelitian adalah metode deskriptif, bentuk penelitian adalah studi kasus. Subjek penelitian kelas IV dengan jumlah keseluruhan 45 siswa, teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, teknik komunikasi langsung, teknik dokumentasi dan alat pengumpulan data adalah observasi, panduan wawancara, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian sebagai berikut: 1) pelaksanaan pembelajaran menyimak di kelas IV berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rancangan skenario pembelajaran yang dirancang. Selain itu juga siswa mengikuti proses pembelajaran dengan baik, merespon pembelajaran, bertanya jika kurang memahami materi yang disampaikan oleh guru. 2) Tingkat kemampuan menyimak pada pembelajaran Bahasa Indonesia siswa memiliki faktor-faktor hambatan dan kendala yang mengakibatkan kemampuan menyimak siswa kurang baik. Faktor tersebut dapat berupa kurangnya minat belajar siswa, tidak memperhatikan guru saat guru menjelaskan, hal tersebut mengakibatkan proses menyimak terganggu dan proses belajar tidak dapat PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

195

berjalan dengan baik. 3) cara guru untuk meningkatkan kemampuan menyimak siswa mengatasi kesulitan menyimak siswa baik melalui proses pembelajaran yang efektif, meningkatkan daya konsentrasi siswa pada pembelajaran, meningkatkan semangat belajar siswa agar bisa menyimak dengan baik. 4) faktor penghambat dalam kemampuan menyimak siswa di kelas IV yakni meliputi aspek fisiologis dan aspek psikologis. Berdasarkan hasil penelitian secara umum tentang analisis kemampuan menyimak pada pembelajaran Bahasa Indonesia (studi kasus di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang Tahun Pelajaran 2014/2015) dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan yang diharapkan. Kata kunci: Kemampuan Menyimak

PENDAHULUAN Pada zaman globalisasi ini teknologi informasi menjadi modal utama pembangunan di semua negara, baik itu negara maju maupun negara berkembang. Teknologi informasi menjadi tolak ukur dalam maju mundurnya suatu negara dalam menyampaikan informasi yang ada dalam pikiran, baik berupa ide, gagasan, inspirasi, budaya dan teknologi hasil penemuan. Sarana yang digunakan menjadi faktor terpenting dalam menyampaikan informasi yang dinamakan bahasa. Menurut Marisa (2011: 24), bahasa adalah (i) sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran, (ii) perkataanperkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah), dan (iii) percakapan (perkataan) yang baik, sopan santun, dalam bertingkah laku yang baik‘‘. Untuk mencapai keberhasilan-keberhasilan belajar, siswa harus memahami sepenuhnya materi yang diajarkan, guru juga harus dituntut untuk mengetahui secara tepat posisi pengetahuan siswa dalam menerima yang diajarkan. Faktor lain yang dapat menjadi penghalang keberhasilan suatu proses pembelajaran yaitu siswa kurang memperhatikan materi yang diajarkan oleh guru sehingga akan menimbulkan keterampilan menyimak yang kurang baik. Suatu kemampuan berbahasa yang saling terkait dengan salah satu syarat untuk dapat berkomunikasi dengan baik adalah dengan terampil dalam berbahasa. Keterampilan berbahasa ini digunakan untuk melakukan kegiatan sosialisasi dengan syarat bahasa tersebut harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat tersebut. Keterampilan berbahasa itu selalu ada dan menjadi bagian dari pendidikan baik di tingkat Sekolah Dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi yang diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan sebuah pelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan sikap dan perilaku positif dalam berbahasa. Di dalam KTSP, keterampilan berbahasa yang diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup empat aspek keterampilan yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Meskipun demikian, dalam kenyataannya pembelajaran menyimak kurang mendapat perhatian yang lebih dalam pembelajaran di sekolah-sekolah, terutama dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor di antaranya: 1) siswa kurang memahami pentingnya menyimak dalam kehidupan sehari-hari, 2) masih ada siswa yang suka berbicara dengan teman sebangkunya, 3) masih ada siswa yang mengganggu

196

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

temannya dengan melempar kertas, 4) pandangan siswa kosong, 5) suara bising dari luar kelas sehingga siswa tidak bisa menyimak dengan baik. Sebagian besar waktu manusia digunakan untuk menyimak. Tarigan (2008: 129), menyatakan bahwa ‗‘Waktu yang digunakan untuk berkomunikasi adalah 9% untuk menulis, 16% untuk membaca, 30% untuk berbicara, dan 45% untuk menyimak‘‘. Dari pernyataan tersebut disimpulkan bahwa aspek menyimak sangat diperlukan dalam berkomunikasi termasuk juga dalam kegiatan belajar karena proses belajar yang baik adalah dengan menyimak sebaik-baiknya. Siswa yang menyimak penjelasan guru dengan baik, maka akan dengan mudah memahami materi yang diberikan oleh guru. Sebaliknya, apabila siswa kurang menyimak penjelasan dari guru, maka akan sulit dalam memahami dan menafsirkan informasi yang telah diberikan oleh guru. Dalam kaitan dengan kemampuan menyimak ini, Chamdiah (2010: 3) menyatakan, ‗‘Siswa harus mampu mengingat fakta-fakta sederhana, mampu menghubungkan serangkaian fakta yang didengarkannya, dan menaksirkan makna yang terkandung dalam pesan lisan yang didengarkan‘‘. Dalam menyimak bukan hanya sebatas mendengarkan (hearing), tetapi memerlukan kegiatan lain yakni memahami (understanding) isi pembicaraan yang disampaikan oleh pembicara. Lebih jauh lagi diharapkan dapat menaksirkan (interpreting) butir-butir pendapat yang disimaknya baik tersurat maupun tersirat. Kegiatan selanjutnya dalam proses menyimak adalah kegiatan mengevaluasi (evaluating) yakni si penyimak menilai gagasan baik dari segi keunggulan maupun segi kelemahan, menyerap serta menerima gagasan yang dikemukakan oleh si pembicara. Sehubungan dengan hal tersebut kesuksesan siswa dalam belajar tergantung terhadap kemampuan yang dimiliki oleh siswa dan faktor yang ada di lingkungannya, serta pada proses pembelajaran guru yang memberikan hal menarik dalam pembelajaran membuat siswa menjadi lebih tertarik belajar dan dapat mempengaruhi hasil belajar siswa lebih baik. Berdasarkan hasil observasi, ternyata kelas IV pada saat belajar siswa masih banyak sibuk sendiri tanpa memperhatikan guru di depan, sehingga mengakibatkan kurang konsentrasi dalam belajar. Adapun yang menjadi penyebab kurang mampunya siswa menyimak dengan baik adalah: 1) masih ada siswa yang suka bicara sendiri dengan teman sebangku, 2) masih ada siswa yang mengganggu temannya dengan melempar kertas, 3) pandangan yang kosong, 4) suara bising dari luar kelas sehingga menimbulkan perhatian, 5) masih ada siswa yang meminta izin ke belakang pada saat guru menjelaskan materi pembelajaran. Berdasarkan permasalahan di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ‗‘Analisis Kemampuan Menyimak Siswa Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang Tahun Pelajaran 2014/2015‘‘. Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk ‗‘Menganalisis Kemampuan Menyimak Siswa pada pelajaran Bahasa Indonesia di Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang Tahun Pelajaran 2014/2015‘‘. Adapun manfaat dari tujuan ini adalah: (1) Untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran menyimak di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang pada tahun pelajaran 2014/2015; (2) Untuk mendeskripsikan kemampuan menyimak siswa di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang pada tahun pelajaran 2014/2015; (3) Untuk mendeskripsikan cara yang dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan menyimak siswa di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

197

Sintang tahun pelajaran 2014/2015; (4) Untuk mendeskripsikan faktor-faktor penghambat dalam kemampuan menyimak siswa di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang tahun pelajaran 2014/2015. METODE Dalam melakukan penelitian, tentunya diperlukan sebuah metode yang hendak digunakan. Menurut Mardalis (2005 : 25) bahwa ‗‘Metode diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang digunakan dalam proses penelitian‘‘. Hal yang sama dikatakan oleh Surachmad (2005: 131 ) bahwa metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, dalam upaya memecahkaan suatu masalah penelitian yang tepat dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengenali berbagai cara pemecahan masalah yang kurang objektif, yang pengaruhnya kurang menguntungkan. Dikemukakan oleh Nawawi ( 2012: 65) penggunaan metode yang tepat dalam penelitian adalah sebagai berikut : (a) Menghindari cara pemecahan masalah dan cara berpikir yang spekulatif dalam mencari kebenaran ilmu, terutama dalam bidang ilmu sosial yang variabelnya sangat dipengaruhi oleh sikap subjektivitas manusia yang mengungkapkannya; (b) Menghindari cara pemecahan masalah atau cara bekerja yang bersifat trial and error sebagai cara yang tidak meguntungkan bagi perkembangan ilmu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern; (c) Meningkatkan sifat objektivitas dalam menggali kebenaran pengetahuan, yang tidak saja penting artinya secara teoretis tetapi juga sangat besar pengaruhnya terhadap kegunaan praktis di dalam kehidupan manusia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Menurut Nawawi (2012: 67), ‗‘Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan/ melukiskan keadaan subjek/ objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang pada siswa kelas IV semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Peneliti dibantu oleh guru wali kelas IV. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IVA dan Siswa kelas IVB yang jumlah keseluruhannya 45 siswa. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu kemampuan menyimak siswa. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah (a) lembar observasi, (b) panduan wawancara, dan (c) dokumentasi. TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada umumnya proses pelaksanan kegiatan pembelajaran yang dilakukan tidak terlepas dari dua unsur komponen pembelajaran seefektif mungkin kepada siswa untuk menyampaikan seluruh materi pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan berbagai metode atau media pembelajaran sehingga pelaksanaan dapat efektif dan efisien. Selain itu juga siswa memiliki kewajiban mengikuti proses pembelajaran dengan baik, merespons pembelajaran, bertanya jika kurang memahami materi yang disampaikan oleh guru dan guru menanyakan materi yang telah dijelaskannya. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa, mengetahui apakah siswa menyimak penjelasan guru atau tidak pada saat guru menjelaskan di depan kelas. Namun di dalam kegiatan belajar terkadang masih ada siswa yang sibuk bercerita dengan teman sebangkunya, masih ada siswa yang asyik bermain sendiri,

198

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

dan ada siswa yang memiliki minat belajar yang tinggi tidak berkonsentrasi menyimak karena gangguan temannya. Hal tersebut membuat kegiatan belajar terganggu dan hasil belajarnya kurang baik. Kesulitan menyimak adalah suatu kondisi di mana kompentensi atau prestasi yang dicapai tidak sesuai dengan kriteria standar yang telah ditetapkan. Kondisi yang demikian umumnya disebabkan oleh faktor biologis atau fisiologis, terutama pada kelainan fungsi otak yang lazim disebut sebagai kesulitan dalam menyimak, serta faktor psikologis yaitu kesulitan menyimak berkaitan dengan rendahnya motivasi dan minat dalam belajar. Secara umum hasil wawancara dengan guru wali kelas dapat disimpulkan bahwa faktor penghambat dalam kesulitan menyimak yang dialami oleh siswa sangat beragam ada yang sulit konsentrasi, ada yang sibuk bermain, ada yang minat belajarnya rendah, dan ada yang suka berbicara sendiri sehingga tidak memperhatikan guru di depan kelas yang sedang menjelaskan. Guru berusaha menjelaskan pentingnya menyimak dalam belajar kepada siswa dan sudah sesuai dengan silabus dan RPP yang harus disampaikan jika terdapat siswa yang belum jelas, maka guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Adapun upaya yang guru lakukan dengan cara membangkitkan semangat dalam menyimak pembelajaran, pada saat guru menyampaikan materi siswa harus siap menerima materi pembelajaran, berkonsentrasi, memperhatikan guru di depan kelas, selain itu juga guru memberikan remidial terhadap siswa yang sulit dalam menyimak. Selain itu upaya yang dilakukan yakni melakukan pendekatan kepada siswa yang mengalami sulit dalam menyimak, menumbuhkan minat belajar siswa, mengadakan penilaian atau evaluasi secara keseluruhan terhadap kemampuan menyimak pembelajaran. Siswa merupakan subjek yang terlihat dalam proses belajar. Kegiatan belajar di sekolah mempunyai tujuan tetap yaitu membantu memperoleh perubahan tingkah laku bagi setiap siswa agar mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan dapat menyesuaikan diri dalam lingkungannya. Berbagai faktor yang menghambat dalam menyimak siswa yakni meliputi aspek fisiologis dan aspek psikologis. Menurut Syah (2010: 130) yang termasuk aspek fisiologis antara lain daya tahun tubuh, intelengensi yang dapat mempengaruhi belajar siswa, sedangkan yang termasuk aspek psikologis antara lain, sikap siswa, bakat, minat, motivasi, serta tingkat kecerdasan. Kesulitan-kesulitan tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus dari guru pembimbing sehingga siswa dapat belajar dengan baik tanpa adanya hambatan. Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa dalam proses belajar guru telah melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan silabus dan RPP yang telah dibuat, pembelajaran dengan menggunakan media, sarana pembelajaran yang cukup memadai, antusias dari siswa mengikuti pembelajaran, memberikan penilaian, dan guru mengadakan evaluassi pembelajaran secara berkelanjutan serta membantu siswa dalam menghadapi kesulitan belajar khususnya dalam menyimak pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan guru senantiasa dapat memberikan pengajaran sebaik mungkin dengan memaksimalkan proses pembelajaran efektif dan efisien serta mencapai standar kriteria minimal.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

199

SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian secara umum tentang analisis kemampuan menyimak siswa pada pembelajaran Bahasa Indonesia (studi kasus di kelas IV Sekolah Menengah Pertama Negeri 04 Sintang tahun pelajaran 2014/2015) dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan yang diharapkan.Adapun secara khusus hasil penelitan dapat dipaparkan sebagai berikut: (1) Pelaksanaan pembelajaran menyimak di kelas IV Sekolah Dasar Negeri 04 Sintang tahun pelajaran 2014/2015 yang dilakukan oleh guru sudah berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari aktivitas guru selama proses mengajar. Tetapi dari pihak siswa pada saat pembelajaran masih ada yang ribut, tidak memperhatikan guru di depan saat menjelaskan sehingga sulit untuk guru mengkondisikan kelas dengan baik. (2) Tingkat kemampuan menyimak pada pembelajaran Bahasa Indonesia tergolong rendah. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil yang menunjukkan kemampuan menyimak siswa tergolong rendah. Dari 45 orang siswa ada lima siswa yang tergolong rendah sesuai dengan hasil yang didapat oleh siswa. Penyebab rendahnya nilai yang diperoleh siswa tentunya sangat beragam berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. (3) Upaya guru untuk mengatasi kemampuan menyimak siswa pada pembelajaran Bahasa Indonesia dengan cara membangkitkan semangat dalam menyimak pembelajaran, pada saat guru menyampaikan materi siswa harus siap menerima materi pembelajaran, berkonsentrasi, memperhatikan guru di depan kelas, selain itu juga guru memberikan remidial terhadap siswa yang sulit dalam menyimak. Selain itu upaya yang dilakukan yakni melakukan pendekatan kepada siswa yang mengalami sulit dalam menyimak, menumbuhkan minat belajar siswa, mengadakan penelitian atau evaluasi secara keseluruhan terhadap kemampuan menyimak pembelajaran. (4)Faktor penghambat dalam kemampuan menyimak dapat berupa kurangnya minat belajar siswa, kurangnya konsentrasi siswa saat belajar, tidak mendengarkan penjelasan guru, sering bermain bercanda-canda dengan teman lainnya, waktu belajar yang kurang, sulit memahami materi yang disampaikan, dan siswa jarang mau bertanya kepada guru jika ia tidak memahami materi yang disampaikan. Saran peneliti kepada siswa disarankan agar lebih memperhatikan setiap penjelasan guru agar dapat menyimak pembelajaran dengan baik, saat belajar, belajarlah dengan baik dan penuh konsentrasi agar apa yang dipelajari dapat berhasil dengan baik juga. Keterbatasan siswa dalam menyimak sebaiknya ditingkatkan dengan latihan mendengarkan berbagai hal seperti mendengarkan penjelasan dan cerita sejak dini dan biasakan setelah mendengarkan atau menyimak latihlah siswa dengan pertanyaan agar siswa memiliki tujuan untuk menyimak sehingga siswa lama kelamaan terbiasa untuk meyimak pembelajaran dengan baik. Bagi guru harus dapat melakukan pendekatan yang lebih intensif pada siswa yang belum mampu mengembangkan diri atau melakukan perubahan yang positif melalui berbagai metode. Bagi sekolah hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa khususnya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan menyimak siswa agar menjadi lebih baik. Bagi peneliti diharapkan mampu memuncukan ide-ide baru yang lebih kreatif sesuai dengan kapasitas sehingga dalam pembelajaran dapat disenangi serta dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

200

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

DAFTAR PUSTAKA Abdulah. (2013). Inovasi Pembelajaran. Jakarta. Bumi Aksara Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Bina Angkasa -----------. (2010). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Bina Angkasa. -----------. (2013). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Bina Angkasa Emzir. (2013). Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif. Jakarta. Rajawali Pers Furqon. (2005). Konsep Dan Aplikasi Bimbingan Konseling Untuk Sekolah Dasar. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Mukhtar. (2013). Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta Selatan: Referensi. Nainggolan. Sari. J.P. (2013). Studi Kasus Kesulitan Menulis Cerpen Pada Siswa Kelas IXA Sekolah Menengah Pertama Nusantara Indah Sintang Tahun Pelajaran 2012/2013. Sintang: STKIP Persada Khatulistiwa Sintang. Nawawi, H. (2012). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Ridwan. (2006). Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: Erlangga Robet. (2013). Studi Kasus Desain & Metode. Jakarta: Rajawali Pers. Sentoso, S. (2012). Materi Dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Tangerang selatan; Universitas Terbuka Singarimbun,M. (2008). Metode Penelitian Survei. Jakarta. Pustaka LP3ES Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta -----------. (2013). Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta -----------. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif , Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Sukardi. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Kompentensi dan Praktiknya. Yogyakarta: Bumi Angkas Suprijono. (2009). Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Tarigan, Henry G. (2008). Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: PT. Bina angkasa Winataputra. (2012). Pembaruan Dalam Pembelajaran di SD. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

201

Yati Mulyati. (2012). Keterampilan Berbahasa Indonesia di SD. Tangerang Selatan. Universitas Terbuka

202

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

NGLELURI TRADHISI KENDUREN LAN LAKU JAWI WONTEN ING ERA GLOBALISASI MINANGKA BAHAN PENDIDIKAN MENTAL TUMRAPING GENERASI MUDHA Nanik Herawati PBSD, FKIP, UNWIDHA KLATEN

A.

PENDAHULUAN Masyarakat Jawi wekdal sapunika sampun lumebet ing era globalisasi. Sedaya seserepan, kawruh, saha ilmu saking negari manca saged kanthi gampil mlebet ing Indonesia mliginipun masyarakat Jawi. Dene budaya saged dados tameng lan saged dados payung kangge ngayomi sedaya kawruh lan seserepan saking manca kala wau. Kawruh saking manca boten sedaya awon ananging ugi boten sedaya sae tumraping masyarakat Jawi. Budaya Jawi pinangka tameng ing era globalisasi estu-estu kula lan panjenengan sedaya kedah saget ngleluri lan ngrembakakaken saengga sedaya tumindak para mudha lan sedaya masyarakat Jawi saged trep kaliyan kawontenan gesang ing sapunika. Piyantun Jawi ingkang berbudi bawa leksana boten badhe kengguh kaliyan owah gingsiring jaman. Kanthi nggladhi budaya Jawi diajab samangke dados piyantun ingkang agung bawa laksana, kebak suba sita, saha urip prasaja. Wonten unen-unen ingkang jumbuh inggih punika Aja gumunan lan Aja Kagetan, maknanipun menawi wonten samubarang kawis ingkang enggal utawi seserepan enggal boten perlu kaget lan boten perlu gumun, sedaya panggesangan dipunladosi kanthi prasaja, boten nggege mangsa saengga sedaya kawruh manca ingkang boten trep enggal dipunbucal. Sadaya dipuntampi kanthi waspada lan premana, saengga samangke boten getun ing tembe wingkingipun. Basa Jawi, adat istiadat Jawi, kesenian Jawi, lan sedaya kawruh Jawi punika pinangka kearifan lokal ingkang saged ngrembakakaken lan nggrensengaken budaya nasional. Butir – butir kearifan lokal pinangka saka ingkang mandhemi pamanggih filsafat Jawi. Dene filsafat punika kawruh ingkang hanggadhahi ancas saged nggayuh sari rasa jati utawi sarira sajati lan sari rasa tunggal utawi sarira satunggal. Sedaya seserepan lan kawruh saking pundi kemawon saged dipuntampi kanthi bener lan pener. Kajawi saking punika sedaya ingkang pun sebat kalawau ugi saget kangge ndhidhik mentalipun para generasi mudha awit tradisi-tradisi kalawau nggadhahi ancas ingkang sae. Dene perangan-perangan kawruh kejawen inggih punika cipta, rasa, lan karsa. Babagan punika jumbuh kaliyan pamanggihipun Koentjaraningrat wonten ing buku Kebudayaan Jawa. Budaya Jawi saged ngrembaka sesarengan sesambungan kanthi rumaket kaliyan ajaran agama Islam ingkang kasebat akulturasi. Akulturasi budaya Jawi sampun kawiwitan nalika wali sanga anggenipun nggiyaraken agama Islam ing Tanah Jawi kanthi nyalarasaken lan njumbuhaken ajaran Hindu, Budha, lan Islam. Koentjaraningrat (Kebudayaan, Mentalitas, lan Pembangunan, 1990), ngandaraken perangan kabudayan Jawi wonten pitu , inggih punika: (1) sistem religi, (2) sistem organisasi

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

203

dan kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) sistem bahasa, (5) sistem kesenian, (6) sistem mata pencaharian, lan sistem teknologi dan peralatan. Kabudayan Jawi asipat dinamis, tansah nyundhukaken kaliyan arus globalisasi nut kawontenanipun jaman. Jati diri bangsa ingkang adiluhung sangsaya kukuh kanthi akumulasi budaya Jawi kaliyan budaya manca, temtu kemawon kedah saget milah lan milih pundi ingkang jumbuh kaliyan kapribaden Jawi lan pundi ingkang kedah dipunbucal. Salah setunggaling adat masyarakat Jawi ingkang dumugi sapunika tasih kathah ingkang nindakaken inggih punika kenduren lan laku Jawi utawi kawastanan nglakoni. Pinangka pandonga lan srana kangge nggayuh gesang ingkang rahayu. Punapa budaya kenduren lan laku Jawi kang asring tinindakaken dening masyarakat Jawi tasih jumbuh kaliyan kawontenan ing sapunika? B. PANGONCEKING PRAKAWIS 1. Budaya Kenduren a. Budaya Kenduren ing Satengahing Era Global Era globalisasi kalebet era ingkang kaping tiga. Alvin Toffler nyebataken bilih wonten ewah ewahan ingkang ngedab-edabi. Tigang era ing jaman modheren inggih punika: (1) Ingkang sapisan gelombang pertanian; (2) kaping kalih gelombang industri, (3) dene ingkang kaping tiga gelombang era globalisasi. Wonten ing era globalisasi punika masyarakat Jawi badhe ngalami kathah ewah ewahan ingkang nggegiirisi. Ewah ewahan kala wau kadosta babagan struktur ekonomi, struktur kabudayan, lan sruktur panguwaos. Wontenipun era globalisasi kedah saged dipunpahami kanthi arif lan wicaksana. Menawi kula lan penjenengan sedaya boten aged nyikapi kanthi arif mila budaya Jawi badhe kegiles budaya global. Komuikasi sapunika sanget gampil lan lancar, babagan punika sanget maringi pengaruh tumraping roda ekonomi masyarakat Jawi. Wates panggonan lan pisik boten saged nyandhet ngrembakanipun ekonomi dunia. Kanthi sarana teknologi ingkang canggih samubarang kawis ingkang gayut kaliyan ekonomi utawi punapa kemawon saged dipun wartakaken kanthi cepet lan lancar. Era globalisasi kawruh lan seserepan boten saged dipunbendung, ugi kalebet budaya manca boten aged dipunalangi lan dipuntutupi pramila masyarakat berbudaya Jawi kedah saged nyaring lan nintingi budaya manca kala wau. Dene tradisi local pinangka salah satunggaling benteng lan tameng sedaya pengaruh manca ingkang boten trep kaliyan kapribaden Jawi. Salah satunggaling tradisi budaya Jawi inggih punika tradisi kenduren. Sayektosipun punapa ingkang dipunwastani kenduren? Kenduren pinangka salah satunggaling adat istiadat Jawi ingkang dipunleksanakaken dening ingkang kagungan kersa utawi hajat tartamtu kanthi ngundang tangga teparo amrih ndonga sesarengan kangge kaslametan lan kawilujengan ingkang kagungan kersa. Kenduren pinangka salah satunggaling adat istiadat Jawi dumugi sapunika tasih dipunlampahi lan dipuntindakaken denin masyarakat Jawi. Acara kenduren punika saged kalampahan kanthi pribadi utawi sesarengan kaliyan tangga teparo. Kenduren pribadi kadosta bancakan bayen. Bancakan bayen punika saged arupi brokohan, sepasaran bayi, selapan,

204

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

tigang lapan, lsp. Kenduren pribadi ugi saged nalika mengeti pendhakan anggota kulawarga inkang seda, kadosta telung dinan, piyung, pendhakan patangpuluh dina, satus dina, pendhak pisan utawa pengetan kasedan jati setaun, pendhak pindho utawa pengetan kasedan jati rong taun, lan pendhak telu utawa nyewu pengetan telung taun. Dene kenduren kang katindakake kanthi bebarengan kayata rasulan, sadranan, merti desa, bersih desa, kenduren Suronan, kenduren punggahan, selikuran, kenduren bakdan, lsp.Wekdal punika tasih kathah masyarakat ingkang nindakaken kunduren kala wau. Kenduren kang arupi syukuran lan kenduren weton dipunwastani bancakan. Dados kenduren bancakan benten ubarampenipun kaliyan kenduren pendhakan utawi selikuran, suronan, lsp. Bancakan ngangge sekul gudhang, gereh pethek, bubuk dele, tigan, lan jajanan pasar awujud woh-wohan kadosta pisang, bengkoang, jeruk, salak, manggis. Dene jajan pasar wujudipun brondong, jadah, wajik,lsp. Kenduren bancakan padatanipun dipunpasaken kaliyan weton. Tuladhanipun menawi ingkang dipunbancaki wetonipun Jemuah Legi mila bancakaipun ugi Jemuah Legi. Undangan kagem bancakan lan kenduren pendhakan benten. Menawi bancakan weton utawi syukuran ingkang dipunundang lare lare alit. Dene menawi kenduren pendhakan, selikuran, lebaran ingkang dipunaturi kepala rumah tangga alias Bapak. Punapa bentenipun kenduren kaliyan kenduren bancakan utawi kathah ingkang mastani bancakan ? Bentenipun kenduren kaliyan kenduren bancakan, inggih punika: 1) Ingkang dipunundang utawi dipunaturi benten, inggih punika menawi kondangan ingkang diaturi kepala rumah tangga utawi bapak. Dene bancakan lan syukuran ingkang dipunundang lare lare. 2) Wujudipun benten. Kenduren ngagem sekul golong, ingkung, sambel goreng krecek, peyek, lan bubuk dele. Dene uba rampe bancakan inggih punika sekul, gudhangan, tigan, bubuk, jajan pasar kadosta: woh wohan kang arupi pisang, salak, jeram, manggis, bengkoang. Ugi jajan pasar utawi dhaharan tradisional kadosta jenang, wajik, jadah, brondong , lsp. 3) Wekdalipun ugi benten. Bancakan padatanipun wanci siang utawi sonten. Dene kenduren wanci dalu. 4) Etangan dinten ugi benten. Bancakan adhedasar dinten kelairan lan weton. Dene kenduren adedasar etangan telung dina, pitung dina, patang puluh dina, satus dina, pendhak pisan, pendhak pindho, nyewu, haul. Dene kenduren dipuntindakaken wekdal tartamtu, kadosta kenduren sadranan, selikuran, kenduren bakdan, kenduren bersih desa, lsp dipun wontenaken setaun sepisan pas tanggalipun. Menawi selikuran inggih malem selikur Ramadhan, kenduren bakdan inggih ngepasi bakda. b. Ancasipun Kenduren lan Bancakan Kenduren hanggadhahi ancas inggih punika : 1) Kanthi ngaturi tangga teparo diajab saget paring pandonga dumateng kulawarga. Menawi pendhakan piyantun seda, sageda ingkang seda dipunampuni sedaya kalepatanipun nalika tasih gesang. Dene kenduren syukuran, dipunajab kulawarga tansih pinaringan sih rahayu lan sedaya sedya jinagkung Gusti. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

205

2) Kangge srana silaturahim antar warga, saengga para warga saged gesang ayem tentrem lan guyup rukun. 3) Kangge srana paring suka dana dumateng tangga tepalih. 4) Kangge srana rembagan para warga ing samubarang kawis, kadosta babagan pertanian, peternakan, kasarasan, lsp. 5) Kangge njaga kastuan lan persatuan antar warga. Ancasipun bancakan inggih punika: 1) Kanthi ngundang lare lare diajab saged paring pandonga ingkang tumuju dateng kerabat ingkang pun bancaki amrih diparingi kasarasan, rahayu, lan tentrem ing panggesanganipun. 2) Kangge ngraketaken lare-lare lan maringi tuladha gesang kanthi guyup rukun 3) Kangge maringi tuladha bilih gesang punika kedah saling paring pinaring antar sesama. 4) Kangge ngleluri budaya Jawi. Acara kenduren jaman rumiyin katindakaken wanci dalu udakara bibar shalat Isya‘, ananging wekdal sapunika kenduren dipun jumbuhaken kaliyam keperluan. Wonten ingkang ngaturi kenduren jam 5 sonten utawi bibar magrib lan wonten ingkang ngaturi bibar Isya‘. Wujud kenduren jaman rumiyin kaliyan sapunika ugi wonten bentenipun. Kenduren jaman rumiyin ngangge sekul golong, ingkung, sambel goreng krecek, dele sangan, rempeyek. Dene wekdal punika saget ugi wujudipun kados ing nginggil ananging kathah ingkang sampun dipun jumbuhaken kaliyan kamajuwaning jaman. Para undangan ndonga lajeng dhaharkonduripun dipuncaosi dhaharan sekul komplit kaliyan lawuhipun ingkang dipunwastani berkat, saged ugi ingkang pun asta kondur para undangan arupi bahan mentah kadosta uwos, gendhis, teh, tigan, mie, lan kabetahan sanesipun. Berkat punika saking tetembungan berkah, dados dhaharan ingkang dipunasta kondur sampun dipundongani sesarengan amrih para tamu undangan pikantuk berkah. Dene wujud kenduren ingkang dipunltindakaken kanthi sesarengan inggih punika bersih desa. Kenduren bersih desa dipunadani setaun sepisan. Bersih desa pinangka tanda syukur dene sampun pinaringan rejeki ingkang mberkati. Saderenge acara bersih desa dipunadani, para warga reresik lingkungan kadosta mergi, makam, lan panggenan sanes ingkang pantes dipunresiki. Kenduren bersih desa saged katindakaken ing mesjid, makam, utawi pendhapa lan panggenan ingkang wiar, kangge kenduren sesarengan. Kenging punapa ing era globalisasi punika kondangan tasih dipunwontenaken saperangan masyarakat Jawi? Saperangan masyarakat jawi dumugi sapunika kathah ingkang tasih ngugemi budaya kenduren lan bancakan. Bab punika panci estu saking prentuling batos, boten saged masyarakat dipunpenging ngawontenaken kenduren lan bancakan. Kanthi ngawontenaken kenduren lan bancakan, masyarakat rumaos ayem tentrem, guyup rukun, lan rahayu slamet. Kanthi manah ingkang ayem guyup dipunajap saged hanjunjung budaya Jawi ingkang adiluhung lan dipun ajabsaged mbentengi pengaruh saking budaya manca ingkang boten trep kaliyan kapribaden bangsa Indonesia mliginipun masyarakat Jawi. Tangga tepalih

206

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

ingkang dipunaturi kenduren utawi bancakan padatanipun rawuh, kajawi wonten acara ingkang boten saged dipuntilar utawi nembe nandang gerah. 2. Tradisi Laku Jawi a. Tradisi Laku Pinangka Srana Nggayuh Sedya Tradisi laku tumraping masyarakat Jawi boten babagan kang nganeh- nganehi. Kanggeh nggayuh gesang ingkang rahayu wilujeng, tentrem ayem, lan mulya, saperangan masyarakat Indonesia mliginipun masyarakat Jawi hanggadhahi cara lan srana supados sedaya sedya, sedaya karsa saged pun kabulaken dening Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. Laku ing mriki ateges cara utawi kegiyatan srana kangge nggayuh sedaya sedya. Laku hanggadhahi teges kang sajalur kaliyan nglakoni ananging benten kaliyan lelaku. Kangge nggayuh sedaya karsa, sedaya jinangka, masyarakat Jawi hanggadhahi cara piyambakpiyambak trep kaliyan neting ati. Antawis setunggal lan setunggalipun boten sami laku nipun. Laku pinangka cara kangge nggayuh sedaya pepinginan kang utama. Laku kang hanggadhahi gegayutan kaliyan nglakoni wujudipun maneka warni, kadosta; (1) Siam, (2) kungkum, (3) tapa, lan. (4) lek-lekan. Laku, nglakoni pinangka laku batin kanthi nyuda punapa kemawon kang dados karemenanipun lan prihatin pinangka srana kangge nggayuh rahayu lan minulya. Laku ingkang gayut kaliyan nglakoni punika pinangka laku batin supados pinaringan sih nugraha, minulya, lan sedaya karsa saged pun sedyani dening Gusti ingkang Murbeng Dumadi. Wonten unen unen Jawai inggih punika cegah dhahar lawan guling ateges ngirangi dhahar lan sare. Laku Jawi ingkang awujud siam tuladhanipun, siam mutih, ngrowot, ngebleng, nganyep, Senin Kamis, lsp. Siam Mutih utawi pasa Mutih, inggih punika siam kanthi nilaraken sedaya dhedhaharan kajawi sekul putih lan unjukan pethak. Pasa Mutih kaltindakaken tigang dalu tigang dinten, utawi pitung dinten pitung wengi. Kanthi cara ngirangi sedaya klangenan kala wau indra kanem saged kaasah kanthi sae. Kanthi nindakaken pasa mutih para para ingkang nindakaken laku kala wau rumangsa ayem tentrem lan menep ing panggesanganipun. Siam ngrowot utawi pasa ngrowot, piyantun Jawi ingkang nindakaken siam ngrowot namung dhahar pala kependhem kadosta, pohung, tela, kenthang, talles, kimpul, anggenipun dhahar ugi dipun watesi semanten nugi anggenipun ngunjuk. Kanthi siam ngrowot sajatosipun kajawi kangge njagi kasarasan ugi kangge nyidhem hawa utawi saged nyidhem pepinginan lan hawa nepsu. Pasa ngrowot saged katindakaken sedinten, tigang dnten, pitung dinten lsp, manut kasanggupan pisik lan batin piyambak-piyambak. Siam nganyep utawi pasa nganyep gayut kaliyan dhedhaharan ingkang anyep, boten wonten raosipun. Raos anyep boten wonten raos asin, manis, utawi pedes. Pasa nganyep kaliyan pasa mutih kados sami, ananging dhaharan pasa nganyep langkung maneka warna. Tata cara pasa nganyep kados siam padatanipun inggih punika sahur ing wekdal enjang lan buka wekdal surup. Anggenipun dhahar tetedhan ingkang raos anyep ugi dipunwatesi, kadosta menawi enjing dhahar setunggal potong pohung utawi telo lajeng ngunjuk toya pethak sacekapipun. Dene surup ugi makaten. Kanthi pasa nganyep dipunajap saged pinaringan raos ayem tentrem boten gampil kenging panggodha amrih saged gesang kanthi PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

207

wilujeng lan minulya. Kanthi nindakaken siam nganyep dipunajap sedaya gegayuhan lan karsa sagedipun sidhem boten ngambra-ambra kang saged dados sesakit jiwa. Siam Senin Kamis utawi pasa Senin Kamis, katindakaken ing dinten Senin lan Kamis. Dhahar kaping kalih enjing lan surup. Kanthi nindakaken siam Senin Kamis dipunajap sedaya gegayuhan saged jinangkung Gusti. Dhedhaharan piyantun ingkang nindakaken siam Senin Kamis langkung maneka warni, sedaya dhedhaharan ingkang halal dipunparengaken namung dipun watesiwekdalipun, inggih punika enjing lan wanci surup. Kanthi siam Senin Kamis pencernaanipun saged istirahat saengga kasarasanipun saged dipunjagi. b. Kungkum Minangka Salah Setunggaling Laku Jawi Tradisi kungkum dumugi sapunika tasih kathah ingkang nindakaken. Panggenan kangge kungkum padatanipun wonten ing umbul kadosta umbul Pengging, sendhang, saged ugi ing lepen utaminipun lepen tempuran, kadosta Ndlepih, Bengawan Solo, utawi ing gisiking samudra. Tradisi kungkum dipuntindakaken ing wayah dalu. Piyantun ingkang nindakaken kungkum hanggadahi kagunan tumrap kasarasan lair lan batin. Kagunan kungkum tumrap kasarasan lair inggih punika kanthi kungkum wonten umbul ingkang nggadhahi kandungan mineral ingkang inggil saged dipunserep energi positif kala wau. Energi saking toya umbul utawi lepen tempuran saged dipunginakaken kangge ningkataken kasarasan pribadi ugi saged kangge srana pengobatan tumrap piyantun sanes. Kagunan kungkum ingkang angka kalih inggih punika kagem kasarasan batin, kanthi kungkum ing wanci dalu, asrep, sepi gung liwang liwung para- para ingkang nindakaken kungkum pasrah sumarah dumateng Gusti Ingkang Maha Agung, ndonga kanthi manther ing panggenan kang nyenyet sepi dumateng Gusti ingkang Murbeng Dumadi, saged manggihaken jati diri, rumaos alit ing sangajenging Gusti Allah, saengga tambah waspada lan waskita sasampunipun nindakaken sedaya laku Jawi punika. c. Tradhisi Lek-lekan Tumrap Tiyang Jawi Tradisi lek-lekan ateges nyegah guling, kathah acara lek-lekan kadosta kulawarga ingkang hanggadhahi bayi dereng puput, mila kulawarga inti ngawontenaken lek-lekan ngantos selikur dinten, bab punika saged ugi kangge njagi bayi ingkang dereng puput puseripun. Jalaran bayi ingkang dereng puput sanget rentan dumateng sesakit. Ing malem Sura ugi wonten acara lek-lekan. Wonten sing nindakaken lek-lekan dikantheni mubeng dusun srana tapa bisu. Salebeting ngubengi dusun kala wau kanthi boten gunem babar blas, pasa swanten namung donga ingkang kasuwunaken dumateng Gusti supados warga tansah pinaringan karahayon. Salebeting lek-lekan ing wanci Suro ugi kangge instropeksi diri . Lek-lekan sewengi mruput malah wonten ingkang melek telung dina telung wengi, sedaya kala wau katindakaken jalaran nggadhahi gegayuhan lan panuwun dumateng Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. Ing sajroning lek-lekan kala wau boten ngumbar swanten ugi mboten ngumbar karemenan kadosta dhahar ingkang eca.

208

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Lek-lekan malem pitulasan dipunwontenaken kangge mengeti lan mahargya dinten kamardikan negari Republik Indonesia. Lek-lekan ing malem pitulasan swasananipun benten kaliyan lek-lekan malem setunggal Sura. Padatanipun menawi lek-lekan malem setunggal Sura swasana religius lan kathah ndonga. Dene lek-lekan malem pitulasan dipuntindakaken para mudha lan bapa ibunipun kanthi swasana ingkang rame lan kathah acara kadosta pengumuman asil lomba, kembul sareng sekul kuning. Dados boten donga khusuk kadosta acara lek-lekan sanesipun. Sedaya tradisi ing inggil ngemot babagan-babagan ingkang sinambetan kaliyan mental tiyang gesang ingkang sae. Amargi saking punika, mboten tangeh menawi sedaya kalawau saget kangge bahan mbentuk mental para generasi mudha wonten ing era globalisasi sakmenika. Amargi wonten ing wekdal punika kathah sanget pengaruh-pengaruh ingkang asifat negatif saking sakwenehipun medhia massa kadosta koran, tabloid, majalah, televisi, saha medhia-medhia sosial ingkang wonten ing internet. Tradisi-tradisi ingkang dipunjlentrehaken wonten ing inggil ugi saget dipunajaraken wonten ing pelajaran minangka cara kangge nguri-uri kabudayan Jawi. C.

DUDUTAN Sedaya laku kang dipuntindakaken dening saperangan masyarakat Jawi punika pinangka laku batin kangge nyuwun sihnugraha saking Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. Kanthi nindakaken siam, kungkum, lek-lekan, kenduri dipunajab gesangipun tansah ayom ayem, rahayu wilujeng nir sambekala, lan gesang kang minulya. Piyantun Jawi menawi sampun saged manggihaken jati diri, saged nintingi, saged milah-milih pundi ingkang sae lan trep, hanjunjung inggil kasaenan, lan mangertos trapsila mila piyantun Jawi kasebat saget kawastanan piyantun Jawa kang njawani. Ing wekdal era globalisasi punika pranyata tumraping masyarakat Indonesia mliginipun Masyarakat Jawi tradisi kenduren lan laku Jawa kang arupi, pasa ngrowot, pasa nganyep, pasa Senin Kamis, pasa ngebleng , lek-lekan tetep lestari jalaran sadaya laku Jawi, kenduri lan tradisi sanesipun saged ndadosaken gesang kang ayom ayem, rahayu wilujeng, lan minulya. Sanadyan teknologi informatika sampun lumebet ing sadhengah panggenan lan wujudipun maneka warni, ananging masyarakat Jawi tansah ngleluri budaya Jawi, tansah ngrembakakaken budaya Jawi. Bab punika saged dipunpirsani saperangan masyarakat Jawi tasih ngawontenaken tradisi kenduren, lek-lekan, maneka warni siam, lan kungkum. Sedaya kala wau kantindakaken amrih pinaringan sihrahayu wilujeng saking Gusti ingkang Murbeng Dumadi. Sedaya tradisi kalawau saget kangge dhasar ndhidhik mentalipun para generasi mudha lan kangge nguri-uri kabudayan Jawi. DAFTAR PUSTAKA Achmad, Sri Wintala. 2014. Ensiklopedia Kearifan Jawa. Araska, cetakan ke-1. Any, Andjar, 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita, dan Sabdopalon. Semarang: Aneka Ilmu.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

209

Gesta Bayuadhy, 2015. Laku dan Tirakat. Berbagai Upaya Masyarakat Jawa untuk menggapai Kebahagiaan. Yogyakarta : Dipta. Mandali , Ki sondhong, 2010. Ngelmu Urip, Bawa Rasa Kawruh. Yayasan Sekar DDrajad. Marsiwarsito, L. 1990. Kamus Jawa kuno- Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah

210

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

TIPE-TIPE SUBSTITUSI DALAM “EMPRIT ABUNTUT BEDHUG” Bayu Indrayanto [email protected] FKIP-Universitas Widya Dharma Klaten Abstract This research is a descriptive qualitative research attempting at describing the types of substitution of “Emprit Abuntut Bedhug.” The research findings and conclusion are to reveal the types of substitution written in EAB which focus on nominal substitution, phrase, and verb. The nominal substitution of EAB novel involves categories: word and word, word and phrase, nominal phrase and nominal phrase; the substitution of definite lingual unit with the other lingual units in EAB function as (a) representing form variation, (b) dismissing monotonousness, (c) obtaining deviation aspect, and (d) creating narrative dynamics. Key Words : Substitution, substituted constituent, substitutor Abstrak Studi ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan mendeskripsikan tipe-tipe sunstitusi dalam “Emprit Abuntut Bedhug.‖ Simpulan dan hasilnya adalah tipe-tipe substitusi yang terdapat dalam EAB dengan fokus pada penyulihan nominal, frasal, verbal. Substitusi nominal dalam novel EAB berkategori : kata dengan kata, kata dengan frasa, frasa dengan kata, frasa nominal dengan frasa: penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam EAB berfungsi untuk (a) menghadirkan variasi bentuk, (b) menghilangkan kemonotonan, (c) memperoleh unsur pembeda, dan (d) menciptakan dinamisasi narasi. Key Words : Penyulihan,konstituen tersulih, penyulih

PENGANTAR Emprit Abuntut Bedhug (EAB) diambil sebagai sumber data penelitian karena novel tersebut merupakan novel yang apik. Keapikan novel EAB didukung oleh adanya penghargaan yang diberikan kepada pengarang novel itu. Penghargaan itu diberikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Indonesia dan dipilih menerima hadiah The S.E.A Write Award dari Kerajaan Thailand. Nama pengarang Suparto Brata juga sudah tercatat di buku Five Thousand Personalities of the World 1998 yang diterbikan oleh The American Biographical Institute, Raleight, North Carolina 27622 USA. Selain itu, cerita novel EAB sangat terkenal di tahun 1960-1990-an di kalangan sastrawan Jawa modern. Novel ini merupakan cerita berseri detektif Handaka yang muncul pada tahun 1963. Di samping merupakan novel yang apik, novel EAB dipandang merupakan novel yang dapat mewakili pemakaian bahasa Jawa pada saat ini. Telaah penyulihan merupakan telaah kohesi, telaah pertautan antarkalimat dalam wacana. Telaah kohesi sebagian dinyatakan melalui tata bahasa, disebut kohesi gramatikal, dan sebagian dinyatakan melalui kosakata yang disebut kohesi leksikal. Kohesi gramatikal meliputi pengacuan, elipsis dan penyulihan, sedangkan kohesi leksikal meliputi penyebutan

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

211

ulang, sinonimi dan kolokasi. Konjungsi berada di garis antara kohesi gramatikal dan kohesi leksikal (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1976 : 6). Dengan perkataan lain kohesi itu dapat diwujudkan secara tata bahasa, yaitu pelesapan, pemakaian pronomina, penyulihan, penyebutan ulang, dan pemakaian konjungsi. Masalah kohesi dapat mengacu pada konstituen klausa, seperti subjek, predikat, pelengkap atau keterangan. PENYULIHAN Kohesi substitusi atau disebut penggantian atau penyulihan (Ramlan, 1984 : 9). Penyulihan ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda (Sumarlam, 2008 : 28 dan Kridalaksana, 2011). Penyulihan adalah penggantian suatu bentuk dengan bentuk lain yang mempunyai referen yang sama dengan bentuk yang digantikannya sehingga menjadikan suatu tuturan menjadi kohesif (padu). Penyulihan terlibat dua unsur, yaitu konstituen tersulih dan konstituen penyulih. Konstituen tersulih yaitu konstituen yang digantikan oleh konstituen lain, sedangkan konstituen penyulih merupakan konstituen yang menggantikan konstituen lain dalam rangka memelihara kekohesian suatu wacana (Suhebah, Ebah, 1996 : 18). PEMBAHASAN Bentuk konstituen penyulih itu dapat berupa kata, frasa, tetapi juga dapat berupa satuan lingual yang lain. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada contoh berikut ini. (1) Jarot kelingan dina iki malem Jumat, surup-surup malem Jumat. Bubar nglengek nyetitekake jam banjur saya sengka anggone mancal sepedhahe. Dheweke ora gelem kecekel pulisi maneh mung merga bengi-bengi numpak sepedhah tanpa lampu. ‗Jarot teringat hari ini malam Jumat, petang hari pada malam Jumat. Selesai melihat untuk memastikan arloji kemudian semakin bertambah semangat dalam mengayun sepedanya. Dia tidak mau tertangkap polisi lagi hanya karena malam-malam menaiki sepeda tanpa lampu.‘ (EAB/SB/2007/15) Data (1) tersebut terdiri atas tiga kalimat. Kalimat-kalimat itu adalah sebagai berikut. (1a) Jarot kelingan dina iki malem Jumat, surup-surup malem Jumat. ‗Jarot teringat hari ini malam Jumat, petang hari pada malam Jumat.‘ (1b) Bubar nglengek nyetitekake jam banjur saya sengka anggone mancal sepedhahe. ‗Selesai melihat untuk memastikan arloji kemudian semakin bertambah semangat dalam mengayun sepedanya..‘ (1c) Dheweke ora gelem kecekel pulisi maneh mung merga bengi-bengi numpak sepedhah tanpa lampu. ‗Dia tidak mau tertangkap polisi lagi hanya karena malam-malam menaiki sepeda tanpa lampu.'

212

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Data (1) terbagi atas tiga kalimat yaitu (1a), (1b), dan (1c). Tampak adanya penyulihan satuan lingual yang berbentuk kata, yaitu kata Jarot dan kata dheweke ‗dia‘. Konstituen tersulih yaitu Jarot pada kalimat (1a) digantikan konstituen penyulih yang berupa pronomina persona III tunggal bentuk bebas yaitu dheweke ‗dia‘ pada kalimat (1c). Data (1) ini merupakan penyulihan nominal berkategori kata dengan kata, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penggantian satuan lingual yang berkategori nominal (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nominal. Konstituen tersulih Jarot pada kalimat (1a) apabila tidak digantikan oleh konstituen penyulih dheweke ‗dia‘ pada kalimat (1c), maka data menjadi sebagai berikut. (1d) Jarot kelingan dina iki malem Jumat, surup-surup malem Jumat. Bubar nglengek nyetitekake jam banjur saya sengka anggone mancal sepedhahe. Jarot ora gelem kecekel pulisi maneh mung merga bengi-bengi numpak sepedhah tanpa lampu. Penyebutan ulang kata Jarot pada data (1d) menjadikan wacana tersebut terasa monoton, sehingga kalimatnya kurang kohesif dan tidak tampak adanya variasi bentuk. Oleh karena itu, fungsi penyulihan atau substitusi untuk menciptakan dinamisasi narasi, memperoleh unsur pembeda, dan menghilangkan kemonotonan tidak tampak di dalam wacana (1d). (2) Tanpa mikir dawa maneh, Jarot ngetog kategelan, ngilangke rasa gigune, mbungkus tangan mau bali kaya maune, terus dilebokake kanthong peni maneh. Jarot dhewe enggal dandan, nganggo clana, sepaton, terus nyangking kanthong iku marani sepedhahe. ‗Tanpa berpikir panjang lagi, Jarot mengeluarkan keberanian, menghilangkan rasa jijiknya, membungkus tangan tadi kembali seperti sedia kala, lalu dimasukkan kantong bagus lagi. Jarot sendiri segera merapikan diri, memakai celana, bersepatu, lalu membawa kantong itu mendekati sepedanya.‘ (EAB/SB/2007/26) Data (20) tersebut terdiri atas dua kalimat. Kalimat-kalimat itu adalah sebagai berikut. (2a) Tanpa mikir dawa maneh, Jarot ngetog kategelan, ngilangke rasa gigune, mbungkus tangan mau bali kaya maune, terus dilebokake kanthong peni maneh. ‗Tanpa berpikir panjang lagi, Jarot mengeluarkan keberanian, menghilangkan rasa jijiknya, membungkus tangan tadi kembali seperti sedia kala, lalu dimasukkan kantong bagus lagi.‘ (2b) Jarot dhewe enggal dandan, nganggo clana, sepaton, terus nyangking kanthong iku marani sepedhahe. ‗Jarot sendiri segera merapikan diri, memakai celana, bersepatu, lalu membawa kantong itu mendekati sepedanya.‘

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

213

Data (2) terbagi atas dua kalimat yaitu (2a), dan (2b). Tampak adanya penyulihan kata dengan frasa yaitu kata Jarot dan frasa nominal Jarot dhewe ‗Jarot sendiri‘. Konstituen tersulih yaitu Jarot pada kalimat (2a) yang digantikan konstituen penyulih yang berupa frasa nominal yaitu Jarot dhewe ‗Jarot sendiri‘ pada kalimat (2b). Data (20) tersebut menunjukkan adanya penyulihan nominal berkategori kata dengan frasa, hal ini dapat dibuktikan adanya satuan lingual yang berupa kata atau frasa itu digantikan dengan satuan lingual lain yang berupa frasa. Apabila data (2) konstituen tersulih Jarot pada kalimat (2a) tidak digantikan oleh konstituen penyulih Jarot dhewe ‗Jarot sendiri‘ pada kalimat (2b) maka data (2) menjadi (2c) sebagai berikut. (2c) Tanpa mikir dawa maneh, Jarot ngetog kategelan, ngilangke rasa gigune, mbungkus tangan mau bali kaya maune, terus dilebokake kanthong peni maneh. Jarot enggal dandan, nganggo clana, sepaton, terus nyangking kanthong iku marani sepedhahe. Penyebutan ulang kata Jarot pada data (2c) menjadikan wacana tersebut terasa monoton, sehingga kalimatnya kurang kohesif dan tidak tampak adanya variasi bentuk. Oleh karena itu, fungsi penyulihan atau substitusi untuk menciptakan dinamisasi narasi, memperoleh unsur pembeda, dan menghilangkan kemonotonan tidak tampak di dalam wacana (2c). (3) Bu Guru nyetitekake lotre sing ditawakake. Nanging tan kocapa, durung kanti setiti milih nomer, ndadak mak bedhengus, ana rai bagus ngetok ana ing sangarepe. Erawati kaget banget! ‗Bu Guru memperhatikan undian yang ditawarkan. Tetapi tidak dinyana, belum sampai memilih nomer, tiba-tiba muncul wajah tampan didepannya. Erawati sangat kaget!‘ (EAB/SB/2007/58) Data (3) tersebut terdiri atas tiga kalimat. Kalimat-kalimat itu adalah sebagai berikut. (3a) Bu Guru nyetitekake lotre sing ditawakake. ‗Bu Guru memperhatikan undian yang ditawarkan.‘ (3b) Nanging tan kocapa, durung kanti setiti milih nomer, ndadak mak bedhengus, ana rai bagus ngetok ana ing sangarepe. ‗Tetapi tidak dinyana, belum sampai memilih nomer, tiba-tiba muncul wajah tampan didepannya.‘ (3c) Erawati kaget banget! ‗Erawati sangat kaget!‘ Data (3) terbagi atas tiga kalimat yaitu (3a), (3b), dan (3c). Tampak adanya penyulihan nominal berkategori frasa dengan kata yaitu frasa nominal Bu Guru dan kata Erawati.

214

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Konstituen tersulih yaitu frasa nominal Bu Guru pada kalimat (3a) yang digantikan konstituen penyulih yang berupa kata yaitu Erawati pada kalimat (30c). Data (30) tersebut terdapat penyulihan nominal berkategori frasa dengan kata, hal ini dapat dibuktikan dengan penggantian satuan lingual yang berkategori frasa nominal dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina. Apabila data (3) di atas konstituen tersulih frasa nominal Bu Guru pada kalimat (3a) tidak digantikan oleh konstituen penyulih Erawati pada kalimat (3c), maka data (3) menjadi data (3d) sebagai berikut. (3d) Bu Guru nyetitekake lotre sing ditawakake. Nanging tan kocapa, durung kanti setiti milih nomer, ndadak mak bedhengus, ana rai bagus ngetok ana ing sangarepe. Bu Guru kaget banget! Penyebutan ulang frasa nominal Bu Guru pada data (3d) menjadikan wacana tersebut terasa monoton, sehingga kalimatnya kurang kohesif dan tidak tampak adanya variasi. Selain itu, fungsi penyulihan atau substitusi untuk menciptakan dinamisasi narasi, menghadirkan variasi bentuk, memperoleh unsur pembeda dan menghilangkan kemonotonan kurang tampak di dalam wacana (3d). (4) Wong wadon mau ora nganti tiba, mung sepedhahe uga ambruk. Rujine kecanthol pedhale Jarot. Kanthong gawane kontal saka sepeda. Nanging wong wadon rok kuning iku trengginas bali nyandhak sepedhahe. ‗Wanita tadi tidak sampai jatuh, hanya sepedanya jatuh. Jerujinya tersangkut kayuhnya Jarot. Kantong bawaannya terpendal dari sepeda. Tetapi wanita rok kuning itu bertindak cepat kembali memegang sepedanya.‘ (EAB/SB/2007/16) Data (4) tersebut terdiri atas empat kalimat. Kalimat-kalimat itu adalah sebagai berikut. (4a) Wong wadon mau ora nganti tiba, mung sepedhahe uga ambruk. ‗Wanita tadi tidak sampai jatuh, hanya sepedanya jatuh.‘ (4b) Rujine kecanthol pedhale Jarot. ‗Jerujinya tersangkut kayuhnya Jarot.‘ (4c) Kanthong gawane kontal saka sepeda. ‗Kantong bawaannya terpendal dari sepeda.‘ (4d) Nanging wong wadon rok kuning iku trengginas bali nyandhak sepedhahe. ‗Tetapi wanita rok kuning itu bertindak cepat kembali memegang sepedanya.‘ Data (4) terbagi atas empat kalimat yaitu (4a), (4b), (4c), dan (4d). Tampak adanya penyulihan nominal berkategori frasa dengan frasa yaitu frasa nominal wong wadon mau ‗wanita tadi‘, dengan frasa nominal wong wadon rok kuning iku ‗wanita rok kuning itu.‘ PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

215

Konstituen tersulih pada kalimat (4a) berupa frasa nominal wong wadon mau ‗wanita tadi.‘ Sedangkan konstituen penyulihnya berbentuk frasa nominal wong wadon rok kuning iku ‗wanita rok kuning itu‘ pada kalimat (4d). Data (4) ini mengandung penyulihan nominal berkategori frasa nominal dengan frasa nominal, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penggantian satuan lingual yang berkategori frasa nominal dengan satuan lingual lain yang juga berkategori frasa nominal. Apabila data (4) di atas konstituen tersulih frasa nominal wong wadon mau ‗wanita tadi‘ pada kalimat (4a) tidak digantikan oleh konstituen penyulih frasa nominal wong wadon rok kuning iku ‗wanita rok kuning itu‘ pada kalimat (4d), maka menjadi (4e) sebagai berikut. (4e) Wong wadon mau ora nganti tiba, mung sepedhahe uga ambruk. Rujine kecanthol pedhale Jarot. Kanthong gawane kontal saka sepeda. Nanging wong wadon mau trengginas bali nyandhak sepedhahe. Setelah dicermati, apabila konstituen tersulih frasa nominal wong wadon mau ‗wanita tadi‘ tidak digantikan konstituen penyulih frasa nominal wong wadon rok kuning iku ‗wanita rok kuning itu‘ dalam wacana tersebut menjadi kurang kohesif, sehingga kurang variatif. Selain itu, fungsi penyulihan atau substitusi untuk menciptakan dinamisasi narasi, menghadirkan variasi bentuk, memperoleh unsur pembeda dan menghilangkan kemonotonan kurang tampak di dalam wacana (4e). (5) Jeng Era genah ngajak kowe blanja. Jeng Era menyang Toko Mardi Busana. ‗Non Era jelas mengajak kamu belanja. Non Era menuju Toko Mardi Busana.‘ (EAB/SB/2007/109) Data (5) tersebut terdiri atas dua kalimat. Kalimat-kalimat itu adalah sebagai berikut. (5a) Jeng Era genah ngajak kowe blanja. ‗Non Era jelas mengajak kamu belanja.‘ (5b) Jeng Era menyang Toko Mardi Busana. ‗Non Era menuju Toko Mardi Busana.‘ Pada data (5) tanpak adanya penggantian satuan lingual berkategori verba yaitu verba ngajak ‗mengajak‘ pada kalimat (5a) sebagai konstituen tersulih yang digantikan oleh konstituen penyulih menyang ‗menuju‘ pada kalimat (5b). Dengan demikian pada data (5) tersebut termasuk penyulihan verbal. Selanjutnya, keunikan dan kekhasan pemakaian bahasa khususnya mengenai substitusi dalam bahasa Jawa dilatarbelakangi oleh faktor sosiokultural baik pada data tulis maupun data lisan. Selain itu latar belakang penutur turut berperan serta dalam mewujudkan berbagai keunikan dan kekhasan dalam penggantian satuan lingual yang diungkapkan melalui wacana bahasa Jawa.

216

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Tabel 1. Bentuk Penyulihan Nominal Kategori Kata dengan Kata KONSTITUEN TERSULIH

KONSTITUEN PENYULIH

Jarot

dheweke

Jarot

dheweke

Apip kancamu

dheweke dheweke

Handaka

dheweke

Jarot

dheweke

Tabel 2. Bentuk Penyulihan Nominal Kategori Kata dengan Frasa KONSTITUEN TERSULIH

KONSTITUEN PENYULIH

Jarot

Jarot dhewe

Jarot Handaka Apip Erawati Erawati

Wong iki Dhik Handaka Dhik Apip Wong ayu Erawati Jeng Era

Jarot Erawati Jarot

Wong sentosa anyar Cah ayu iku Wong gothot sentosa

Erawati Erawati

Ratu luews iku Bu Guru Reawati

Handaka

Nom-noman kuru mau Wong kuru iku

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

217

Tabel 3. Bentuk Penyulihan Nominal Kategori Frasa dengan Kata

KONSTITUEN TERSULIH

KONSTITUEN PENYULIH

Bu Guru

Erawati

Putri Luwes iki Wong nom-noman gothot pideksa Detektip Handaka Cah ayu iku Detektip kuru iku Wong ayu iku Wong wadon rok kuning rupane ayu Inspektur Indra

Erawati Jarot Handaka Erawati Handaka Dhewe dheweke Erawati dheweke

Tiyang kuru niku

dheweke

Wong gedhe sentosa

Jarot

Tabel 4. Bentuk Penyulihan Nominal Kategori Frasa dengan Frasa

218

KONSTITUEN TERSULIH

KONSTITUEN PENYULIH

wong wadon mau

wong wadon rok kuning iku

wong klambi abang iku

wong bagus klambi abang lorek-lorek kuwi

Inspektur sing seneng umuk iku Pak Indra cah ayu

Inspektur Indra Inspektur Indra cah ayu klambi kuning iku

wong ayu Erawati Bu Guru klambi biru laut

Jeng Era Bu Guru

wong wadon iku nom-noman kuru

Putri Luwes wong kuru iku

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

Tabel 5. Bentuk Penyulihan Verba KONSTITUEN TERSULIH

KONSTITUEN PENYULIH

ngajak ‗mengajak‘

menyang ‗menuju‘

ngrubung ‗merubung‘

ngpengi ‗mengelilingi‘

titik ‗tebak‘

nitik ‗melihat‘

rogoh-rogoh ‗meraba-raba‘

nggeret ‗menarik‘

mbeda ‗menggoda‘

uthik-uthik ‗memain-mainkan‘

Tokoh Jarot, Handaka, Erawati, Nusyirwan dalam bahasa Jawa merupakan tokoh utama, sehingga menjadi dasar acuan dalam penyulihan, dan variasi bentuk penyulihan didominasi dari pergantian tokoh-tokoh tersebut. Kemudian hadirlah berbagai bentuk penyulihan dalam bahasa Jawa yaitu penyulihan nominal berkategori kata dengan kata, penyulihan nominal berkategori kata dengan frasa, penyulihan nominal berkategori frasa dengan kata, penyulihan nominal berkategori frasa nominal dengan frasa nominal, dan penyulihan verba dapat disimpulkan dalam tabel 2, tabel 3, tabel 4, tabel 5, Maka penyulihan tersebut selain mendukung kepaduan wacana juga mempunyai fungsi lain yang sangat penting. Dalam hal ini, penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam bahasa Jawa berfungsi untuk (1) menghadirkan variasi bentuk, (2) menghilangkan kemonotonan, (3) memperoleh unsur pembeda, dan (4) menciptakan dinamisasi narasi. ciri fisik, pakaian yang dikenakan, watak yang diperlihatkan dalam cerita Kata ganti pronominal persona (I, II, III)

KONSTITUEN TERSULIH

Nama orang, nama panggilan

Bagan 1. Konstituen Substitusi

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

219

Konstituen substitusi yang banyak ditemukan dalam bahasa Jawa berupa kata ganti orang (pronomina persona baik bentuk I, II, dan III) yang menggantikan konstituen tersulih berupa nama orang dan nama panggilan. Bahwa konstituen substitusi kata ganti orang (pronomina persona baik bentuk I, II, dan III) mempunyai jarak dekat dengan konstituen tersulih berupa nama orang dan nama panggilan. Konstituen substitusi ciri fisik, pakaian yang dikenakan, watak yang diperlihatkan dalam cerita memiliki jarak yang jauh/relatif jauh dengan konstituen tersulih, sebab hanya ditemukan sedikit penggunaannya di EAB. Munculnya substitusi di dalam suatu tindak komunikasi dapat ditentukan oleh berbagai faktor yang erat berkaitan dengan penutur, lawan bicara, dan situasi penuturan. Faktor-faktor itu adalah situasi (resmi dan tidak resmi), kekerabatan (berkerabat dan tidak berkerabat), keintiman (intim dan tidak intim), status (lebih tinggi, sederajat dan lebih rendah), umur (lebih tua, sebaya dan lebih muda), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), status perkawinan (kawin dan tidak kawin), dan asal (kota dan desa). E.

SIMPULAN Hadirlah berbagai bentuk penyulihan dalam novel ―Emprit Abuntut Bedhug‖ karya Suparto Brata yaitu penyulihan nominal berkategori kata dengan kata, penyulihan nominal berkategori kata dengan frasa, penyulihan nominal berkategori frasa dengan kata, penyulihan nominal berkategori frasa nominal dengan frasa nominal. Maka penyulihan tersebut selain mendukung kepaduan wacana juga mempunyai fungsi lain yang sangat penting. Dalam hal ini, penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam novel ―Emprit Abuntut Bedhug‖ karya Suparto Brata berfungsi untuk (1) menghadirkan variasi bentuk, (2) menghilangkan kemonotonan, (3) memperoleh unsur pembeda, dan (4) menciptakan dinamisasi narasi. Hal ini menunjukkan bahwa Suparto Brata sebagai seorang penulis novel Emprit Abuntut Bedhug berbahasa Jawa sangat menjiwai karakter karyanya dengan adanya variasivariasi penyulihan yang ada dalam novel tersebut tetapi masih dapat ditangkap dengan jelas maksudnya oleh pembaca. Lebih menarik lagi, pembaca dibuat semakin terpesona dengan kelihaian Suparto Brata mengkombinasikan kata-kata dalam bahasa Jawa yang mendukung kepaduan wacana tersebut khususnya mengenai penyulihan. DAFTAR PUSTAKA Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1976. Cohesion in English. London : Logman Limited. Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta : PT Gramedia. Ramlan, M. 1984. ”Berbagai Pertalian Semantik Antarkalimat dalam Satuan Wacana Bahasa Indonesia”. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Suhaebah, Ebah., dkk. 1996. Penyulihan Sebagai Alat Kohesi dalam Wacana. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sumarlam. 2008. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta : Pustaka Cakra.

220

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

KETIKA PRESIDEN PENYAIR INDONESIA BERBICARA TENTANG CHAIRIL ANWAR (Menguak Isi Pidato Kebudayaan Sutardji Calzoum Bachri dalam Acara “Mengenang Chairil Anwar”) Sukini PBSI, FKIP, Universitas Widya Dharma Klaten Abstrak Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan isi pidato kebudayaan Sutardji Calzoum Bachri dalam acara ―Mengenang Chairil Anwar‖ yang diadakan pada Kamis malam, 23 Mei 2013 di Teater Kecil, TIM, Jakarta. Data bersumber dari transkrip pidato Sutardji Calzoum Bachri dalam acara tersebut. Pidato Sutardji Calzoum Bachri berisikan perubahan dan pembaharuan perpuisian Indonesia dari zaman Pujangga Baru sampai Angkatan 45, dan angkatan berikutnya, 1970-an. Dua konsep penting disampaikan SCB, yaitu (1) perubahan dalam rangka pembaharuan; dan (2) Chairil Anwar ‗penyair pesanan‘. Abstract This paper aims at describing the content of Sutardji Calzoum Bachri‟s culture speech during “Remembering Chairil Anwar” event which was held on Thursday night, 23rd May 2013 at Teater Kecil, TIM, Jakarta. Data source is from Sutardji Calzoum Bachri‟s speech transcript in the event. Sutardji Calzoum Bachri‟s speech contained the change and renewal of Indonesia‟s poetries from Pujanggan Baru until the Angkatan 45 and the next generation, 1970‟s. Two important concepts which were presented by Sutardji Calzoum Bachri are: (1) the change in the context of renewal; and (2) Anwar as an 'order poet‟.

A.

PENDAHULUAN Dalam rangka mengenang Chairil Anwar, penyair Indonesia yang terkenal dengan kredo puisinya, Sutardji Calzoum Bachri (selanjutnya disingkat SCB), menyampaikan pidato kebudayaan. Kiranya sangatlah tepat jika pihak panitia mendaulat SCB untuk berpidato pada momentum bersejarah itu karena semua orang mengakui, SCB seorang penyair besar. Ia dikenal sebagai maestro perpuisian Indonesia, bahkan Dami N. Toda menempatkannya sebagai ―mata kiri‖ untuk menyandingkannya dengan Chairil Anwar sebagai ―mata kanan‖ kesusasteraan Indonesia (Waluyo, 2008:333). Pria kelahiran Rengat, Indragiri Hulu (Riau), 24 Juni 1941 ini digelari juga ‗Presiden Penyair Indonesia‘. Pendidikan terakhirnya adalah Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial dan Politik Universitas Padjajaran Bandung sampai tingkat doktoral. Ia pernah mengikuti International writing Program di Universitas Iowa (1974-1975), dan pernah mengikuti festival penyair internasional di Rotterdam pada tahun 1975. Sejak September 1979 ia menjadi redaktur majalah horizon. Presiden penyair Indonesia itu telah meraih sejumlah penghargaan atas karya-karyanya, antara lain, Hadiah Sastra ASEAN (1979), Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007). Karya kumpulan puisinya yang terkenal, yaitu O (1973), Amuk (1977), dan Kapak (1979). PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

221

Kumpulan puisinya Amuk (1977) mendapat hadiah puisi dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1978 (http://www.tokohindonesia.com; Waluyo, 2008:333). Pidato kebudayaan yang disampaikan SCB di Teater Kecil, TIM, Jakarta pada Kamis malam, 23 Mei 2013 berjudul ―Mengenang Chairil Anwar‖ dengan subjudul ―Chairil Anwar sebagai Penyair Pesanan‖. Ketika SCB menyampaikan judul itu, spontan hadirin tertawa. Rupanya, cap Chairil Anwar sebagai ‗penyair pesanan‘ menimbulkan kesan ‗lucu‘ bagi mereka. Bagaimana isi pidato SCB dan konsep penting apa yang disampaikan SCB dalam pidatonya? B.

ISI PIDATO SCB Secara garis besar ada dua hal penting yang disampaikan SCB melalui pidato kebudayaannya, yaitu (1) masalah perubahan dalam rangka pembaharuan, dan (2) masalah kepenyairan Chairil Anwar yang dikatakannya sebagai ‗penyair pesanan‘. 1. Perubahan dalam Rangka Pembaharuan Mengawali pidatonya, SCB menganalogikan semangat pembaharuan dalam kehidupan perpuisian Indonesia dengan perasaan change, perasaan ingin berubah yang terjadi pada sejarah perjuangan bangsa sejak politik etis tahun 1900 yang kemudian memunculkan organisasi-organisasi yang membangkitkan semangat nasionalisme, seperti Syarikat Dagang Islam, Syariat Islam, dan Boedi Utomo. Dengan perasaan ingin berubah yang penuh semangat, organisasi-organisasi itu kemudian mengantarkan bangsa Indonesia kepada Republik Indonesia merdeka. Perubahan, perubahan, dan perubahan. Itulah yang menghasilkan pembaharuan. Menurut SCB di dalam kehidupan perpuisian Indonesia, semangat pembaharuan tercermin melalui upaya para penyair Angkatan Pujangga Baru yang melakukan perubahan terhadap puisi tradisional agar dapat mengakomodasi perkembangan zaman, baik di bidang bentuk maupun di bidang tema yang bernapaskan kesatuan bangsa. Dalam melakukan perubahan menuju pembaharuan, para penyair atau sastrawan tetap berpijak pada budaya dan tradisi kita sebelumnya dan melihat kemungkinan dari kebudayaan dan nilai-nilai Barat. Mereka menulis di atas pantun, di atas syair, di atas talibun, di atas seloka, tetapi mereka juga mengambil perpuisian Italia, yaitu bentuk soneta. Menurutnya, tidak mudah melakukan pembaharuan terhadap tradisi perpuisian tradisional. Rustam Effendi yang berupaya mengadakan pembaharuan terhadap pantun dan syair dinilai gagal melakukan hal itu. Dari sejumlah penyair Angkatan Pujangga Baru, Amir Hamzah dinilai berhasil mengadakan pembaharuan dan berhasil mengekspresikan diri secara segar sesuai dengan keadaan zaman bahkan sampai sekarang pun sajak-sajak Amir Hamzah yang terbaik masih tetap segar. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa dalam pembaharuan, unsur tradisi tetap bisa menyuarakan kehendak zaman, tergantung cara mengolahnya. Berikut kutipan isi pidato SCB yang menunjukkan keberhasilan Amir Hamzah dalam melakukan pembaharuan terhadap pantun dan syair.

222

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

…. Tidak mudah kiranya melakukan pembaharuan terhadap tradisi perpuisian tradisional, sehingga ihwalnya kita lihat bagaimana gagalnya penyair Roestam Effendi, yang kurang berhasil dalam melakukan perubahan-perubahan terhadap syair ataupun pantun. Namun, bagi para penyair kuat-bakat seperti Amir Hamzah, meskipun masih dalam kawasan suasana syair atau pantun, ia tidak terhalang dan bahkan berhasil mengekspresikan diri secara segar sesuai dengan zaman. Bahkan sampai sekarang pun, sajak-sajaknya yang terbaik tetap terasa segar (Transkrip Pidato SCB). …. Seiring dengan perjalanan waktu, semangat pembaharuan perpuisian Indonesia semakin kental hingga pada tahun 1935 muncul polemik kebudayaan, polemik antara pandangan dan sikap Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dengan Sanusi Pane dkk. STA berpandangan bahwa dalam melakukan perubahan, penyair dan sastrawan hendaknya mengambil kebudayaan Barat dan meninggalkan tradisi kedaerahan, sementara itu Sanusi Pane dkk. mengingatkan agar penyair jangan sama sekali memutuskan hubungan kebudayaan daerah, justru yang harus diupayakan dalam semangat pembaharuan adalah memadukan budaya barat (materialisme, intelektualisme, individualisme) dengan budaya timur (spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme). Adanya polemik tersebut bisa diketahui melalui kutipan di bawah ini. …. Timbullah di tahun 1935 di suatu majalah, ada suatu polemik kebudayaan, yakni polemik antara pandangan dan sikap dari Sutan Takdir Alisjahbana yang menyarankan agar mengambil kebudayaan Barat dan meninggalkan tradisi kedaerahan, provinsianism, kalau bangsa ini ingin maju dan melakukan perubahan sesuai kehendak zaman. Di sisi lain, pendapat tadi mendapat bantahan dari Sanusi Pane, dari Poerbatjaraka, yang mengingatkan agar jangan sama sekali memutuskan hubungan kebudayaan daerah. (Transkrip Pidato SCB). Polemik itu berlangsung selama bertahun-tahun dan hanya merupakan mimpi dan harapan karena kedua belak pihak yang berpolemik gigih mempertahankan argumentasi masing-masing dan hanya sibuk menyiapkan resep kultural untuk kebudayaan nasional Indonesia, tanpa ada karya kreatif yang mampu memberikan pembenaran atas argumen mereka. Sampai akhirnya pada tahun 1940-an muncullah sajak-sajak Chairil Anwar yang menunjukkan semangat dinamika Barat, menerjang bagai ombak, menandai kemenangan STA. Perjuangan STA bertahun-tahun sejak Pujangga Baru, dimenangkannya lewat generasi berikutnya, generasi Angkatan 45, melalui sajak-sajak Chairil Anwar. Dari isi pidato di atas, jelas bahwa semangat perubahan menjadi roh yang menggerakkan penyair untuk menghasilkan pembaharuan dalam sajak-sajaknya. Semangat perubahan dari para penyair Pujangga Baru mewujud melalui sajak-sajak Chairil Anwar yang mampu mendobrak tradisi perpuisian periode sebelumnya. Sajak-sajak Chairil Anwar yang fenomenal itulah yang mengantar Chairil Anwar tampil dan dinobatkan sebagai tokoh Angkatan 45 dalam kehidupan perpuisian Indonesia. PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

223

Chairil Anwar “Penyair Pesanan” Sajak-sajak Chairil Anwar menggelorakan semangat dinamika Barat, menganut energi, vitalitas, serta sikap individualisme Barat dan membuktikan pohon budaya Barat yang diidamkan STA bisa sukses ditanamkan di Indonesia. Sajak-sajak Chairil Anwar menjadi makanan jiwa yang senantiasa ditunggu-tunggu oleh bangsa. Itulah sebabnya, SCB memberi subjudul pidatonya, ―Chairil Anwar Penyair Pesanan‖. Kata ―pesanan‖ secara harfiah bermakna ‗barang (dalam hal ini puisi) yang dipesan‘ dan ketika dikatakan Chairil Anwar penyair pesanan, turunlah gengsi si penyair karena menulis (puisi) hanya untuk memenuhi pesanan sehingga menjadi wajar jika hadirin tertawa ketika kata itu diucapkan oleh SCB. Akan tetapi, SCB memberi makna lain terhadap kata tersebut. Dalam konteks ini, kata ―pesanan‖ diberi makna tambahan sehingga berkonotasi tinggi dan bergengsi karena yang memesan bukan orang per orang, melainkan zaman dan bangsanya. Sebaliknya, Chairil Anwar menjadi pahlawan; pahlawan dalam melakukan pembaharuan di bidang perpuisian Indonesia untuk generasi angkatan tahun 1945, sekaligus memberi jawaban atas polemik berkepanjangan antara STA dengan Sanusi Pane dkk. Berikut kutipan isi pidato SCB yang menjelaskan makna frase ‗penyair pesanan‘. 2.

…. ―Chairil Anwar penyair Pesanan‖. Kiranya penyair pesanan bukanlah julukan yang bergengsi. Tapi jika yang memesan zaman dan bangsanya, cerita menjadi lain. (hadirin bertepuk tangan) Sebagai penyair yang dipesan dan ditunggu-tunggu semangat zaman dan bangsanya, Chairil bukan hanya bergengsi, tetapi dia juga pahlawan. Ia pahlawan yang proses pembentukan semangat puisinya, puisi kepahlawanannya sama dengan proses dan semangat kelahiran kemerdekaan bangsa ini. Suatu proses yang bermula sekitar Pujangga Baru dengan ―ayahnya‖ Takdir Alisyahbana dan sampai zaman revolusi fisik. …. Chairil Anwar adalah pahlawan yang menurut SCB proses pembentukannya, semangat puisinya sama dengan proses dan semangat kelahiran kemerdekaan bangsa Indonesia. Selain pahlawan, Chairil Anwar telah menjadi ikon, lambang atau tanda bahasa. Chairil menjadi bahasa untuk mempermudah kita mengkomunikasikan puisi ke masyarakat luas, kepada pejabat, kepada kaum terdidik, dan kepada siapa saja sehingga Chairil Anwar adalah bahasa politik, yaitu politik kepenyairan. Ketika nama Chairil Anwar disebut, bukan latar belakang keluarga atau pendidikannya, bukan pula tekad dan semangat juangnya yang diketahui orang, namun sajak-sajaknya. Chairil Anwar meninggal dunia tahun 1949. Sekitar 20 tahun setelah meninggalnya Chairil, para penyair kembali pada nilai-nilai lokal, pada kedaerahan, nilai-nilai timur, tanpa melecehkan Barat, menggali dan memanfaatkan akar tradisi masing-masing untuk menciptakan puisi. Nilai-nilai tradisional kedaerahan yang dahulu di zaman polemik kebudayaan dikhawatirkan bisa mengikis semangat persatuan nasional ternyata malah memperkaya warna-warni dan irama kesatuan bangsa. Resep kultural Sanusi Pane dan

224

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

kawan-kawan yang menganjurkan perpaduan nilai-nilai timur dan barat telah dilaksanakan secara kreatif oleh penyair-penyair kita sejak tahun 1970 hingga sekarang. Itulah sebabnya dikatakan bahwa perjalanan perpuisian Indonesia berada dalam dua sisi, dalam dua sayap atau sepasang mata. Sayap kiri dan kanan saling melengkapi, terbang menjelajah dalam rangka menemukan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Kedua sayap ini berasal dari ―kredo budaya‖; dua kredo budaya dari zaman Pujangga Baru, yakni dari STA dan Sanusi Pane. C.

TANGGAPAN ATAS ISI PIDATO SCB Di dalam melakukan pembaharuan di bidang perpuisian (dan dalam bidang sastra pada umumnya), penyair dan sastrawan tidak menulis di atas kertas kosong, mereka menulis di atas tulisan. Semua orang menulis di atas tulisan. Artinya, sastrawan/penyair menulis berdasarkan budaya dan tradisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini sesuai dengan prinsip intertekstualitas bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, dan kerangka (Teuuw, 1984:145). Karya sastra (puisi) merupakan serapan atau hasil transformasi dari teks lain (Hutomo, 1993:13). Karya sastra meneruskan konvensi yang sudah ada atau menyimpanginya (meskipun tidak seluruhnya) karena karya sastra merupakan karya kreatif yang menghendaki adanya kebaruan. Mengenai konvensi sastra yang disimpangi atau diteruskan, dapat berupa konvensi bentuk formalnya atau isi pikiran, masalah, dan tema yang terkandung di dalamnya (Pradopo, 1999:223). Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Levin menyatakan, sastra dan seni selalu berada dalam tegangan antara aturan dan kebebasan, antara mimesis dan kreasi (Teeuw, 1983:101). Sastra berada antara konvensi dan inovasi (Budianta, 2002:13). Dalam menulis sastra, misalnya menulis puisi, penyair mau tidak mau harus mematuhi konvensi penulisan puisi agar karya yang dihasilkan mendapatkan pengakuan sebagai karya bergenre puisi. Kaitannya dengan prinsip tersebut, ketika sastrawan/penyair berusaha mengadakan pembaharuan, teks-teks yang sudah ada memainkan peran yang penting karena sebuah teks hanya dapat dibaca dalam kaitan atau pertentangan dengan teks-teks lain,yang merupakan semacam kisi, lewat kisi itu teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri yang menonjol dan memberikannya sebuah struktur (Culler dalam Teuuw, 1984:146). Tokoh pelopor/pembaharu di bidang perpuisian Indonesia, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Taufik Ismail, dan SCB membuat kebaruan dari konvensi puisi-puisi sebelumnya dan kebaruan hasil kreasi mereka mampu menunjukkan kekhasan yang mencolok (jika dibandingkan dengan puisi periode-periode sebelumnya) sehingga mereka masing-masing dinobatkan sebagai tokoh pelopor pembaharu mewakili angkatan masing-masing. Amir Hamzah yang dikenal sebagai raja penyair Angkatan Pujangga Baru, dalam karya-karyanya masih menganut konvensi puisi periode sebelumnya, misalnya: (1) bentuk /struktur larik-lariknya simetris, tiap larik terdiri atas dua periode, (2) rima/persajakan masih dijadikan sarana kepuitisan, (3) pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata yang indah, PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

225

seperti: dewangga, nan, kelam, mentari, nian, kandil, nirmala, pualam, dan juwita. Namun demikian,di balik kesamaan tersebut terdapat sejumlah kebaruan yang bisa dilihat pada: (1) bentuk dan strukturnya mengikuti bentuk dan struktur puisi baru, seperti soneta, distikon, tersina, oktaf, dll; (2) banyak menggunakan gaya bahasa perbandingan; dan (3) gaya puisinya diafan dan polos (Waluyo, 2008:65). Melalui kajian intertekstualitas, Pradopo (1999: 223-253) juga menunjukkan adanya konvensi yang dipatuhi dan disimpangi dari sajak-sajak Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan 45 jika dibandingkan dengan sajak-sajak periode yang sebelumnya. Dari sajak Pujangga Baru bisa dicontohkan sajak Rustam Effendi ―Bukan Beta Bijak Berperi‖ yang telah menyimpangi aturan dan konvensi pantun dan syair setelah penyairnya mengenal puisi Eropa. Teeuw yang melihat intertekstualitas antara sajak Chairil Anwar ―Senja di Pelabuhan Kecil‖ dengan sajak Amir Hamzah ―Berdiri Aku‖ mengatakan, sajak ―Berdiri Aku‖ ditransformasikan Chairil Anwar dengan sikapnya yang berbeda dalam menanggapi senja di pantai. Amir Hamzah menggunakan pandangan yang romantis, berdiri terpesona di tengah alam yang indah dan tenteram, sedangkan Chairil Anwar menanggapi dengan pandangan realistis, dengan gambaran keadaan yang muram, penuh kegelisahan (Pradopo, 1999:230). Selain Chairil Anwar, pahlawan di dunia perpuisian Indonesia yang menonjol adalah SCB yang terkenal dengan kredonya. Dia adalah satu-satunya penyair Indonesia yang membuat kredo puisi. Melalui kredo -puisinya, SCB berusaha membebaskan kata dari beban makna sehingga SCB bebas mengolah kata-kata, membolak-balikkan suku kata dan menyusunnya menjadi kata baru dan diberi makna sendiri hingga menghasilkan puisi-puisi mantra. Ketika membacakan puisi-puisinya, SCB pun keluar dari konvensi pembacaan puisi, ia selalu ―ngedan‖. Dengan suara seraknya, ia membaca puisi sambil jumpalitan, terlentang, tiduran, tengkurap dan gaya-gaya tersebut akhirnya menjadi trade mark-nya. Walau demikian, SCB selalu berusaha tampil apa adanya, santai namun memiliki arti. Ia juga berupaya tak berjarak dengan penontonnya. Itulah SCB, yang sering dijuluki Presiden Penyair Indonesia. D.

PENUTUP Dari paparan di atas dketahui, pembaharuan dalam kehidupan perpuisian Indonesia terjadi karena ada rasa change, perubahan. Di dalam pembaharuan ada konvensi yang dipatuhi, ada pula yang disimpangi. Chairil Anwar merupakan tokoh pahlawan perpuisian Indonesia Angkatan 45 yang mampu memberi jawaban kreatif atas polemik kebudayaan tahun 1935 dengan STA sebagai ―ayahnya‖. Namun, tahun 1970-an para penyair kembali pada nilai-nilai lokal, pada kedaerahan (tanpa melecehkan Barat), memberi wujud pada resep kultural Sanesi Pane. Hal ini memberi bukti, perjalanan perkembangan perpuisian Indonesia berada dalam dua sayap yang saling melengkapi, terbang menjelajah dalam upaya menemukan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan.

226

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

DAFTAR PUSTAKA Budianta, Melani, et.al. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera. Hutomo, Saripan Sadi. 1993.Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa. Pradopo, Rahmat Djoko. 1999. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. -------. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Waluyo, H.J. 2008. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press. http://www.tokohindonesia.com (Diunduh pada 17-11-2013) http://mastertranskrip.blogspot.com/2013/10/pidato-kebudayaan-sutardji-calzoum-2.html (Diunduh pada 16-11-2013).

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

227

JADWAL SEMINAR NASIONAL BULAN BAHASA 2015 Kamis, 15 Oktober 2015 PUKUL 07.30-08.30

KEGIATAN Heregrestrasi Peserta dan Pentas Seni

TEMPAT Auditorium

PETUGAS SEMUA PANITIA & BALAI BAHASA

08.30-09.45

1. Upacara Pembukaan (Menyanyikan Lagu Indonesia Raya dilanjutkan Doa) 2. Laporan Ketua Panitia 3. Sambutan Rektor Unwidha 4. Sambutan Kepala Balai Bahasa Provinsi Jateng dilanjutkan Pembukaan 5. Penutup

Auditorium

1. SEMUA PANITIA 2. Balai Bahasa 3. Dirigent 4. MC 5. Peserta

09.45-12.00

SIDANG PLENO I 1. Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo (Universitas Atma Jaya Jakarta) 2. Prof. Dr. Suwarno, M.Pd. (Universitas Negeri Yogyakarta)

Auditorium

Moderator: Dr. Hersulastuti, M.Hum. Penambat: Eric Kunto A., S.S., M.A.

12.00-12.45

ISOMA

Auditorium

PANITIA

12.45-15.00

SIDANG PLENO II 1. Prof. Dr. Riyadi Santosa, M.Hum. (FIB, Universitas Sebelas Maret Surakarta) 2. Dr. Dwi Atmawati, M.Hum. (Balai Bahasa Provinsi Jateng)

Auditorium

Moderator: Dr. D.B. Putut Setiyadi, M.Hum. Penambat: Drs. Erry Pranawa, M.Hum.

15.00-15.15

ISO

Auditorium

PANITIA

15.15-16.45

SIDANG KOMISI A

Auditorium

SIDANG KOMISI B

Lantai III A

SIDANG KOMISI C

Lantai III B

SIDANG KOMISI D

Lantai III C

UPACARA PENUTUPAN

Auditorium

Moderator: Dra. Sukini, M.Pd. Penambat: Krisna Febriawan, M.Pd. Moderator: Drs. Luwiyanto, M.Hum. Penambat: Bayu Indrayanto, M.Hum. Moderator: Dra. Hj. Sri Haryanti, M.Hum. Penambat: Ana Setyandari, S.Pd.,M.Pd. Moderator: Dra. Hj. Nanik Herawati, M.Hum. Penambat: Ike Anisa, S.Pd.,M.Pd. SEMUA PANITIA

16.45-17.00

228

PROSIDING SEMINAR NASIONAL ‖Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra‖

GLOSSY

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DALAM RANGKA BULAN BAHASA DAN SASTRA TAHUN 2015 UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN

ISBN 602-73821-0-4

7 786027 382107

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN BEKERJA SAMA DENGAN BALAI BAHASA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2015

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN BEKERJA SAMA DENGAN BALAI BAHASA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2015

ISBN : 978-602-73821-0-7

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL DALAM RANGKA BULAN BAHASA DAN SASTRA TAHUN 2015 UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN ”Revolusi Mental Melalui Pembelajaran Bahasa dan Sastra” Klaten, 15 Oktober 2015

Editor: Dr. D.B. Putut Setiyadi, M.Hum. Dra. Hj. Sri Haryanti, M.Hum. Drs. Luwiyanto, M.Hum. Dra. Sukini, M.Pd. Drs. Erry Pranawa, M.Hum.

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN BEKERJA SAMA DENGAN BALAI BAHASA PROVINSI JAWA TENGAH

Prosiding Semnas Unwidha 2015.pdf

There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Prosiding Semnas Unwidha 2015.pdf. Prosiding Semnas Unwidha 2015.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.
Missing:

6MB Sizes 104 Downloads 1441 Views

Recommend Documents

Prosiding Semnas IPA V tahun 2014.pdf
SWADAYA MANUNGGAL. Jl. Kelud Raya No. 78, Semarang. Telp. (024) 8411006 / Fax. (024) 8505723. Email. [email protected]. Page 3 of 525 ...

Prosiding Semnas IPA tahun 2011.pdf
sebagai strategi. pembelajaran,. kemampuan, dan ide. yang dipelajari. Dalam bidang inkuiri kecenderunga. perubahan pendidikan sains dapat dilihat pada.

undangan semnas unes.pdf
FLipMAS Minangkabau dan Universitas Ekasakti. Sekretariat: LPPM UNES Jln.Veteran Dalam No.26 B, Padang. Sumbar. HP. 081374536383, 08126623930 ...

Artikel Prosiding Prihono.pdf
Page 1 of 11. Page 1 of 11. Page 2 of 11. Proseding Seminar Nasional Teknik Industri. 3 November 2016. Copyright@2016 TI-UPN JATIM. 15. PENGEMBANGAN MODEL QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT. BERBASIS FUZZY KANO UNTUK JASA LAYANAN. TRANSPORTASI UMUM BAGI PEN

PROSIDING TING IV.pdf
Loading… Page 1. Whoops! There was a problem loading more pages. Retrying... PROSIDING TING IV.pdf. PROSIDING TING IV.pdf. Open. Extract. Open with.

Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf
Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf. Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Prosiding SNASTIKOM ...

Prosiding Semirata-14 Bogor.pdf
Prosiding Semirata-14 Bogor.pdf. Prosiding Semirata-14 Bogor.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Prosiding Semirata-14 Bogor.pdf.

Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf
Page 1 of 5. Page 1 of 5. Page 2 of 5. Page 2 of 5. Page 3 of 5. Page 3 of 5. Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf. Prosiding SNASTIKOM 2014 ALL.pdf. Open.

29. Prosiding REDD+ and LULUCF dari Bonn menuju Warsaw ...
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 29. Prosiding REDD+ and LULUCF dari Bonn menuju Warsaw, 2013.pdf. 29. Prosiding REDD+ and LULUCF dari Bonn m

Buku Prosiding 2015 Final-ilovepdf-compressed-min.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Buku Prosiding ...