BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi keterblakangan umat islam memang nyata di Zaman Modern ini. Kalau umat Islam dahulu, yang menjadi masalah adalah perpecahan internal yang sampai pada soal teologi, maka permasalahan saat ini adalah keterblakangan, kemiskinan, jeratan kapitalisme dan lain-lain. Memang sangat ironis, ditengah gempuran Peradaban Barat yang begitu kuat, tidak diimbangi dengan tradisi yang kreatif dalam merumuskan teologi yang peka terhadap realitas. Realitas yang berupa penjajahan, Ketergantungan dalam bidang Ekonomi, kekayaan alam yang tereksploitasi, maraknya Westernisasi dan sebagainya tidak bisa terbantahkan. serta kurangnya Respon dari para Agamawan, Ilmuan dan Politisi yang lebih mengutamakan kepentingan dan keuntungan pribadi mereka telah mengakibatkan dampak yang sangat fatal, yakni kehancuran suatu Peradaban Bangsa. Padahal pembebasan dari penjajahan itu dimulai dari fikiran, perasaan, ilmu, ideologi, sampai dengan usaha dan perjuangan fisik. Tidak dibenarkan seorang tokoh yang diharapkan melarikan diri dari persoalan rill Masyarakat. Pembahasan tentang Antroposentrisme ini sangat penting supaya masyarakat tidak kehilangan peran dalam sejarah, sebagai akibat dari arus Globalisasi, Modernisasi, westernisasi dan lain sebagainya. Maka yang menjadi jawaban dari problem itu adalah dengan selalu mempertahankan peradaban yang telah dibangun sejak dahulu. Artinya, bahwa setiap bangsa hendaknya mempunyai kebanggaan terhadap tradisi lokal supaya tidak kehilangan sesuatu yang sudah menjadi ciri khasnya. B. Rumusan Masalah Bagaimana Antroposentrisme dalam pemikiran Hassan Hanafi? C. Tujuan Mengetahui Antroposentrisme dalam Pemikiran Hassan Hanafi.

1

BAB II PEMBAHASAN Antroposentrisme Dalam Pemikiran Hassan Hanafi A. Biografi Hassan Hanafi Hassan Hanafi di lahirkan pda tanggal 13 februari di kairo, berasal dari keluarga musisi. Pendidikan nya di awali pada tahun 1948 dengan menamatkan tingkat dasar, dan melanjutkan study madrasah tsanawiyah ―khalil Agha‖ kairo yang di selesaikannya selama empat tahun. Semasa di tsanawiyah dia aktif mengikuti diskusi diskusi kelompok ikhwan al muslimin oleh karena itu sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran pemikiran yang di kembangkan kelompok itu dan aktifitas-aktifitas sosialnya. Hanfi tertarik untuk mempelajri pemikiran pemikiran sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam islam. Sejak saat itu, ia berkonsenterasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial. Dari sekian banyak tulisan atau karya hasan hanafi, kiri islam (al-yasar al-islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak refolusi 1952. Kiri islam meskipun memuat tema tema pokok dari peroyek besar hanafi, tetapi telah mempormulasikan satu kecendrungan pemikiran yang ideal tentang sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia B. Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme Rekonstruksi teologi dari teosentrisme ke antroposentrisme bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi. Memahami kebutuhan akan kemerdekaan, kemajuan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas dan mobilisasi massa. Teologi seperti ini berpusat pada manusia, di mana manusia dengan berbagai permasalahannya menjadi pertimbangan yang di utamakan dalam perumusan teologi tersebut. Jadi teologi tidak lagi bercorak teosentris namun bercorak antroposentris. Hassan Hanafi mengkritik cara pandang Teologi Tradisional yang cendrung menempatkan agama pada wilayah tuhan semata. Dalam pandangan tersebut coraknya masih bersifat Teosentris. Paradigma berfikir seperti ini akan memfokuskan bahwa segala sesuatu

2

yang dilakukan adalah untuk Tuhan semata, sekaligus mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara itu, kontek soial-politik sekarang sudah berubah.1 Yang menjadi tolak ukur Hasan Hanafi adalah realitas dunia islam saat ini. Menurutnya merupakan keharusan untuk mengakhiri semua

hal yang menghambat

perkembangan dalam dunia islam saat ini. Tradisi sebenarnya hanya mempunyai nilai manakala ia menjalin teori aksi bagi masyarakat sekaligus merekonstruksi hubungan manusia dengan Tuhan. Ketika tradisi telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi kekuatan kekuasaan yang berkedok agama, maka dalam hal ini memberi sinyal bahwa nilai kemanusiaan telah dikorbankan mejadi sebuah ambisi adidiya. Sehingga dengan mengangkat harkat martabat manusia yang tertindas merupakan suatu kewajiban. Salah satu upaya yanag di lakukan Hasan Hanafi adalah menjadikan teologi sebagai senjata perlawanan. Teologi Antroposentris yang digagas oleh Hassan Hanafi sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan pembaharuan/interpretasi terhadap tradisi keilmuan islam dan kemudian dijadikan sebagai ideology yang membela hak-hak kaum tertindas.2 Dalam gagasa teosentris yang konstruktif seperti yang di tawarkan Hanafi , maka ajaran tauhid tidak hanya dipahami sebagai ajaran tentang ke-Esa –an Tuhan. Melainkan juga sebagai ―kesatuan pribadi manusia‖ yang jauh dari prilaku dualistic (munafik) dan prilaku oportunistik. Dengan demikian, tawaran teologi yang konstruktif ini meniscayakan suatu pandangan yang rasional dan revolusioner. Antara pikiran, prasaan, dan perkataan tidaklah bertentangan. Ajaran tauhid bukan hanya seputar penolakan terhadap kemusyrikkan yang berbentuk berhala atau kepercayaan-kepercayaan yang mengingkari ke-Esaan Tuhan, melainkan tauhid juga bermakna ―bersatunya umat manusia yang bernaung dibawah keadilan‖. Karena hanya dengan keadilanlah nilai-nilai ketuhanan dapat terealisir. Mustahil terdapat keadilan ketika masyarakat dunia terbelah menjadi penindas yang ditindas, yang miskin dan kaya, perbedaan antara Negara maju dan Negara berkembang, terjadi eksploetasi oleh yang kuat terhadap yang lemah. Dengan menyimak pemikiran hanafi tentang tradisi tersebut, maka akan nampak jelas bagaimana ia akan melakukan rekonstruksi terhadap ilmu ke-islaman klasik.

1

Abdul Rozak & Rosihan Anwar, Ilmu Kalam edisi revisi (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 274. Happy Susanto, “Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer” dalam www.geocities.com, diakses tanggal 6 nov 2008 2

3

Yang diinginkan oleh hasan hanafi adalah pengalihan perhatian dalam bangunan epistemology. Diaman pada awalnya perhatian tersebut dipusatkan pada pembahasan mengenai Tuhan, pembahasan tentang langit, atau melayani penguasa. Dengan melakukan rekonstruksi maka diharapkan pusat perhatian keilmuan ditujukan untuk membangun manusia, membela rakyat, memperhatikan bumi, dan menuju revolusi. Ibaratnya, jika dalam mukaddimah kalam konfensional selalu dimulai dengan ucapan Bismillah, maka hanafi memulainya dengan ucapan Bismil Ummah.3 Apa yang diucapkan hanafi tersebut sangatlah patut dijadilan pertimbangan bagi siapa saja, khususnya yang memiliki kepedulian kepada nasib umat sekaligus stagnasi pemikirn dalam islam dalam menyikapi keterbelakangan. Salah satu alasan mengapa para ahli kalam klasik membela eksistensi Tuhan adalah karena pada saat itu ketuhanan merupakan suatu yang sering mendapat serangan. Dengan demikian, unsur ―serangan‖ merupakan alasan mengapa para ahli kalam klasik melakukan pembelaan terhadap masalah ketuhanan. Jika memang demikian, maka tepat apabila melakukan pembelaan terhadap eksistensi kemanusiaan dengan teologi sebagai dasar acuan, dan ―mengganti‖ Tuhan dengan manusia. Mengingat masalah kemanusiaan mengalami krisis di era kontemporer. Perubahan orientasi ilmu dari teosentrisme menuju antroposentrisme adalah upaya menyesuaikan wacana keilmuan dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan nyata. Merupakan suatu negativitas yang bersifat kontinyu manakala tradisi yang di kembangkan para pendahulu tersebut tidak mengalami pembaruan dalam tradisi pemikiran kontemporer yang sedang berlangsung. Bagi para pendahulu, tradisi tersebut adalah hal yang positif karena keberadaannya memberikan kesaksisan tentang pelestarian kandungan peradaban. Akan tetapi, jika dihubungkan dengan kondisi saat ini, maka kita tidak akan menemukan sesuatu yang relevan. Munculnya musuh-musuh baru menuntut kita untuk melakukan konsolidasi dan reformasi barisan-barisan.4 Realita kehidupan telah berubah dan tragedi-tragedi zaman sedang berlangsung berupa keterbelakangan, penjajahan, hegomoni. Maka dari itu, logika formal dan penelaran analogis tidak diharapkan memenuhi tuntutan perubahan zaman. Demikian tutur Hanafi. Sebaliknya, yang kita butuhkan adalah logika historis, logika sosial, logika empirik, dan logika faktual-

3

Hassan Hanafi, Dari Aqidah ke Revolusi, terj. Asep Usman Ismail (dkk). (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm, 14. Hassan Hanafi, Islamologi 2; Dari Rasionalisme ke Empirisme terj. Miftah Faqih (Yogyakarta: LkiS, 2007), hlm. 35. 4

4

realitas. Sebab, apabila yang digunakan sebagai dasar pijakan adalah logika formal, maka segala hal dapat dibenarkan. Dan penalaran seperti itu akan menjadi pembenaran terselubung. Contoh, dikatakan bahwa jika tidak ada pemerintahan maka masyarakat akan kacau. Maka dari itu pemerintahan harus diselenggarakan. Konsekuensinya, segala tindakan yang tidak mendukung penyelenggaraan adalah dilarang atau haram. Sehingga muncul fatwa bahwa golput itu haram. Jika disimpulkan, logika formalnya adalah: penyelenggaraan pemerintahan adalah wajib. Pemilu adalah salah satu penopang terbentuknya pemerintahan. Maka, berpartisipasi (memilih capres/cawapres) adalah wajib. Demikianlah kiranya bagaimana logika formal digunakan. Tepat apabila Hanafi menegaskan pentingnya memberikan prioritas pada realitas dalam melakukan penyimpulan maupun aktifitas berfikir. Hanafi menjelaskan bahwa yang pertama kali harus dilakukan adalah upaya keluar jeratan ortodoksi. Fundamentalisme dalam arti tertutup terhadap hal-hal baru dan fanatisme sehingga berpandangan sempit terhadap ide-ide populer dalam kosa kata kontemporer. Sikap seperti ini hendaknya dihindari agar dapat keluar dari belenggu yang kita ciptakan sendiri. Hal seperti ini menunjukan bahwa tujuan Hanafi melakukan reorientasi keilmuan klasik adalah untuk kemaslahatan umat yang saat ini terabaikan. Dan ironisnya pengabaian tersebut dijalankan dengan sangat bangga oleh para agamawan yang sesat dan menyesatkan. Mereka bersekutu dengan kekuasaan dan tidak melihat dampak yang ada dari fatwa-fatwa mereka terhadap nasionalitas bangsa maupun Islam itu sendiri. C. Oksidentalisme Dalam menghadapi Hegemoni Barat, Hanafi merumuskan paradigma berfikir yang disebut Oksidentalisme-cara memandang barat—sebagai antitesa dan perlawanan terhadap Orientalisme barat. Untuk ini, ia menulis buku khusus berjudul Muqaddimah Fi „Ilmi Istighrab, yang telah di Indonesiakan dengan judul: Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi barat. Ia mengajak umat Islam mengkritisi hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang dikemas di balik kajian orientalisme. Proyek Hanafi yang disebut ―Tradisi & Pembaruan‖ terdiri dari Tiga Agenda, Ketiga agenda tersebut diantaranya: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, dan Sikap Kita Terhadap Realitas.5Apabila di uraikan maka pembahasan ketiga dari 5

Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi barat, terj. M. Naji Bukhori (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 1.

5

agenda Hasan Hanafi adalah: agenda ―Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama‖ mancakup; Dari Teologi Ke Revolusi, Dari Transferensi Ke Inovasi, Dati Teks Ke Realita, Dari Kefanaan Menuju Keabadian, Dari Teks Ke Rasio, Akal Dan Alam, Dan Manusia Dan Sejarah. Kemudian untuk agenda ―Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat‖ pembahasannya adalah; Sumber Peradaban Eropa, Permulaan Kesadaran Eropa, Dan Akhir Kesadaran Eropa. Dan yang terakhir, ―Sikap Kita Terhadap Realitas‖ mencakup; Metodologi, Perjanjian Baru Dan Perjanjian Lama.6 Istilah oksidentalisme belum banyak dimengerti oleh banyak kalangan. Penyebabnya adalah karena tema tersebut masih tergolong baru. Secara etimologi istilah oksidentalisme berasal dari bahasa Inggris Occidentalism yang berarti hal-hal yang berhubungan dengan Barat, baik budaya, ilmu, dan aspek sosial lainnya. Secara terminologis, oksidentalisme diartikan sebagai suatu bidang kajian yang secara spesipik mengkaji Barat dengan sudut pandang atau Kerangka Timur. Kajian ini meliputi banyak hal seperti peradaban, filsafat, seni, agama dan sejarahnya. Hanafi Yakin Orientalisme sama dengan Imperialisme, seperti kepopuleran imperialisme kultural yang digelar barat melalui media informasi dengan mempropagandakan barat sebagai pusat kebudayaan kosmopolitan. Bahkan Orientalisme dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme barat (Eropa) Terhadap dunia Timur (Islam). Tanpa banyak disadri, kehidupan kita (Timur) telah dijadikan hidangan dan santapan yang empuk oleh barat dengan Orientalisme-nya. Seolah tak ada peradaban lain yang berhak untuk hidup, Barat dengan kepercayaan dirinya telah mendeklarasikan bahwa ujung dari peradaban manusia adalah barat. Konsepsi senada dapat dibuktikan dengan teorinya Auguste Comte dalam hukum tiga tahap, dalam teori tersebut dijelaskan bahwa ada tiga fase peradaban manusia, yang pertama yakni fase metafisika, kemudian teologi, dan yang ketiga adalah fase positif. Yang terakhir ini merupakan penempatan Eropa sebagai ujung dari kemajuan umat manusia. Inilah mitos peradaban. Mitos semacam ini telah masuk ke dalam kesadaran kita sehingga eropa mengambil posisi tinggi dalam sejarah panjang kehidupan Timur. Tugas Oksidentalisme ialah mematahkan mitos tersebut sehingga tidak ada klaim kebudayaan universal yang ―memaksa‖ kebudayaan lain untuk mengadopsinya. 6

Ibid., hlm. 3.

6

Perihal ini Edward W. Said mengatakan bahwa ada penciptaan pembedaan epistemologis dan ontologis yang diciptakan dalam kajian mengenai Timur dan Barat, perbedaan tersebut berupa stereotype-stereotype seperti maju/barbar, berkembang/primitive, unggul/rendah, rasional/menyimpang dan seterusnya. Penggunaan stereotype-stereotype semacam ini akan membenarkan tindakan biadab kolonialisme untuk mengeksploitasi kaum pribumi. Berangkat dari permasalahan dalam peradaban kontemporer sekarang ini, maka Oksidentalisme lahir sebagai jawaban atas superioritas barat yang telah lama mendominasi Timur melalui Orientalisme. Dengan orientalisme, barat mempunyai alat yang bisa digunakan untuk melihat timur dengan menggunakan kaca mata mereka. Seolah tak ada peradaban lain yang mampu mendefinisikan dirinya sendiri, maka tugas barat-lah untuk mendefinisikannya. Dengan konstruksi pemikiran seperti inilah, akan terpetakan mana wilayah Barat dan mana wilayah Timur. Artinya, bahwa setiap bangsa mempunyai sejarah dan kebudayaan sendiri. Begitu juga dengan Barat. Tidak ada istilah ibu kebudayaan atau anak kebudayaan. Kalau mitos tersebut tidak ditandingi maka karakter bangsa lain akan terabaikan sekaligus terjadi monopoli kebudayaan.7 Selanjutnya, orientalisme menjadikan Barat sebagai sentral kebudayaan. Tentu saja, yang mananya pusat tentu cenderung menggilas yang berada di wilayah pinggiran. Demikianlah, identitas cultural masyarakat Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung. Padahal, kalau dilihat dari segi geografis maupun sejarahnya, pada zaman generasi terdahulu, tradisi Islam kuno memiliki akar yang cukup kuat dan lebih tua, diantaranya; Timur Kuno di Mesir, Kan’an, Syuria, Babilonia, Persia, India dan Cina. Sementara itu, Barat dalam hal ini diwakili oleh Yunani dan Romawi. Dipandang dari segi inilah maka dapat dikatakan bahwa akar oksidentalisme sebenarnya dimulai puluhan abad yang lalu. Setiap hal yang berkaitan dengan pembentukan kesadaran eropa ia merupakan akar dari oksidentalisme. Begitu juga relasi antara peradaban islam dengan yunani merupakan bisa disebut sebagai bagian dari akar dari oksidentalisme itu sendiri. C.1. Oksidentalisme Sebagai Sebuah Upaya Pembebasan

7

Ibid., hlm. 34.

7

Tujuan

dirumuskannya

oksidentalisme

adalah

untuk

menghadapi

pengaruh

westernisasi yang telah memiliki pengaruh yang cukup luas. Banyak Negara-negara yang telah terseret oleh arus westernisasi. Jika kita ambil contoh di Indonesia misalnya, baik itu dari kalangan intelektual maupun dari budaya para remaja pada umumnya. Para intelektual yang ―terbaratkan‖ selalu bangga ketika merujuk ke barat meskipun harus melupakan akar budaya dan sejarahnya sendiri. Meskipun hal itu jelas merupakan suatu reduksi yang luar biasa. Barat adalah pusat peradaban, untuk kita harus senantiasa ―menyembahnya‖ meskipun itu berakibat pada hilangnya tradisi intelektual yang mencerminkan buadaya kita. Contoh lain yang lebih real misalnya, ketika ditanya kita hidup dizaman apa maka kita menjawabnya bahwa kita hidup dizaman Modern. Tanpa melakukan analisis terhadap arti Modernitas itu sendiri. Begitu juga rasa bangga yang berlebihan ketika mendengar kata ―Globalisasi‖ yang seolah memberi tantangan setiap insan untuk bersaing dan sebagai simbol kemajuan. Ironisnya hal tersebut terjadi hampir

di segala segi kehidupan, termasuk

pendidikan. Realitas seperti ini justru tidak mendapatkan kritik dari dunia islam, kalaupun ada maka itu hanya dalam batas-batas yang sangat sempit. Tidak ada kritik yang komprehensif dan disertai dengan logika Demonstrative serta Empiris. Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat timur akan peradabannya sendiri masih sangat dangkal. Kesadaran seperti ini yang belum ada pada mayoritas intelektual kita. Ketika berbicara keragaman, kerukunan atau saling memahami antar pemeluk agama, kita selalu merujuk pada kepentingan. Selain itu Edward W. Said menegaskan bahwa hal ini juga disebabkan oleh para Ilmuan yang duduk di Pemerintahan dan yang menjadi Akademisi, lebih memikirkan kepentingan diri dan keuntungannya dengan membandingkan Peradaban yang mereka sukai dengan Drama Peradaban yang tidak beradab dan Barbarian.8 Sebagai reaksi atas orientalisme, maka tugas ilmu baru ini, menurut Hanafi, adalah mengembalikan barat ke batas alamiahnya, keinginan seperti ini lahir atas dasar kesadaran bahwa kejayaan imperialisme menyebar melalui penguasaan informasi, kantor-kantor berita, peran penerbitan besar, pusat penelitian ilmiah dan lain-lain.

8

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 74.

8

Singkatnya, tugas oksidentalisme adalah menghapus arogansi budaya yang telah lama menjadi pendatang sekaligus tolak ukur bagi kemajuan. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan dalam kehidupan umat manusia yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Disamping mempelajari barat sebagai sebuah peradaban, Oksidentalisme juga bertujuan untuk membangun kemandirian ego sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu dalam melakukan dialektika dengan Yunani. Selama keseimbangan belum tercapai, maka yang kuatlah yang akan selalu meraih kemenangan dan keuntungan. Sebaliknya, yang lemah akan selalu berposisi dalam menanggung resiko berupa kekalahan yang tidak manusiawi. C.2. Polemik Oksidentalisme vs Orientalisme Orientalisme sebagai sebuah disiplin, adalah salah satu bentuk imperialisme barat terhadap timur. Sementara oksidentalisme sebagai rumusan keilmuan yang masih baru adalah reaksi terhadap orientalisme. Jika dilihat dari segi istilah, maka Orientalisme adalah kajian mengenai Dunia Timur, baik yang berkaitan dengan bahasa, kultur dan masyarakatnya. Sedangkan oksidentalisme juga dapat diartika serupa, yaitu pengetahuan akademik tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa barat. Perbedaan lainnya adalah bahwa kemunculan Orientalisme bersamaan dengan kebangkitan barat sebagai pendirinya. Sedangkan kemunculan Oksidentalisme diawali dengan keterpurukan kondisi yang merupakan tempat dimana ia lahir. Jika Orientalisme lahir sebagai penjajah, maka oksidentalisme lahir sebagai pembebas dari penjajah.

9

BAB III PENUTUP Kesimpulan Hassan Hanafi merupakan tokoh penggagas teologi revolusioner. Pemikirannya yang ideal selalu di fokuskan dalam memberi sumbangan agama bagi kesejahteraan Umat manusia. Hassan Hanafi mengkritik cara pandang Teologi Tradisional yang cendrung menempatkan agama pada wilayah tuhan semata. Dalam pandangan tersebut coraknya masih bersifat Teosentris. Rekonstruksi teologi dari teosentrisme ke antroposentrisme bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi. Memahami kebutuhan akan kemerdekaan, kemajuan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas dan mobilisasi massa. Teologi seperti ini berpusat pada manusia, di mana manusia dengan berbagai permasalahannya menjadi pertimbangan yang di utamakan dalam perumusan teologi tersebut. Ajaran tauhid bukan hanya seputar penolakan terhadap kemusyrikkan yang berbentuk berhala atau kepercayaan-kepercayaan yang mengingkari ke-Esaan Tuhan, melainkan tauhid juga bermakna ―bersatunya umat manusia yang bernaung dibawah keadilan‖. Sebab Realita kehidupan

telah

berubah

dan

tragedi-tragedi

zaman

sedang

berlangsung

berupa

keterbelakangan, penjajahan, hegomoni. oleh Karena itu, hanya dengan keadilanlah nilai-nilai ketuhanan dapat terealisir. Dalam menghadapi Hegemoni Barat, Hanafi merumuskan paradigma berfikir yang disebut Oksidentalisme-cara memandang barat—sebagai antitesa dan perlawanan terhadap Orientalisme barat. Tanpa banyak disadri, kehidupan kita (Timur) telah dijajah oleh barat dengan Orientalisme-nya. Seolah tak ada peradaban lain dan ujung dari peradaban manusia adalah barat. Tujuan

dirumuskannya

oksidentalisme

adalah

untuk

menghadapi

pengaruh

westernisasi yang telah memiliki pengaruh yang cukup luas. Sebagai reaksi atas orientalisme, maka tugas ilmu baru ini adalah untuk mengembalikan barat ke batas alamiahnya.

10

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Hassan. 2003. Dari Aqidah ke Revolus. terj. Asep Usman Ismail (dkk). Jakarta: Paramadina. Hanafi, Hassan. 2007. Islamologi 2; Dari Rasionalisme ke Empirisme. terj. Miftah Faqih. Yogyakarta: LkiS. Hanafi, Hassan. 2000. Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi barat. terj. M. Naji Bukhori. Jakarta: Paramadina. Engineer, Asghar Ali. 2009. Islam dan Teologi Pembebasan. terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rozak, Abdul, dan Rosihan Anwar. 2013. Ilmu Kalam edisi revisi. Bandung: Pustaka Setia. Susanto, Happy. “Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer”. dalam www.geocities.com, diakses tanggal 6 nov 2008.

11

Theologi Hasan Hanafi.pdf

Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Theologi Hasan Hanafi.pdf. Theologi Hasan Hanafi.pdf. Open.

402KB Sizes 4 Downloads 188 Views

Recommend Documents

Hasan CANI .pdf
Page 1 of 134. “STUDIM. MBI SILVIKULTURËN E LLOJEVE TË DUSHQEVE GJETHERËNËSE. NË BREZIN E ZONËS FITOKLIMATIKE TË DUSHQEVE TË. RRETHEVE KUKËS, DIBËR, BULQIZË DHE MAT”. DOKTORANTI UDHEHEQËS SHKENCOR. Msc. Hasan CANI Prof. Dr. Vath TABAKU. TIRANE 2014.

2013.ar.salah hasan ahmad.PDF
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 2013.ar.salah ...

syed shabih hasan
SYED SHABIH HASAN. Department of Computer Science. University of Iowa. Iowa City, IA 52242. Phone: (319) 333-9468. Email: [email protected] ... Human Computer Interaction, Machine Learning, Data Science, IoT Based Healthcare, Signal Pro- ces

2010.ar.bushra hasan marwf.pdf
to work in the research lab and in the animal house of the college. I would. like to thank the staff of Pharmacology Department-College of Medicine in. particular ...

Mariwan Hasan Book - cutted.pdf
Page 1 of 1. The Image of Modern Man in T. S. Eliot's Poetry. Image. The. Of Modern Man in. T. S. Eliot's Poetry. Mariwan Nasradeen Hasan Barzinji. Mariwan Nasradeen Hasan Barzinji. A Synopsis of “Th e Image of Modern Man in T. S. Eliot's Poetry”

Major Mahmud Hasan Tariq.pdf
forms equation of line. ft only on their gradient. (ii) x y = → = += 0.5 ln 4 3 3 9.928. y = 20 500. M1. A1. correct expression for lny. (iii) Substitutes y and rearrange for 3x. Solve 3x. = 1.150. x = 0.127. M1. M1. A1. Page 3 of 10. Major Mahmud

Automatic Control System S Hasan Saeed.pdf
Whoops! There was a problem loading this page. Retrying... Whoops! There was a problem loading this page. Retrying... Automatic Control System S Hasan Saeed.pdf. Automatic Control System S Hasan Saeed.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu

Umar Tilmisani - Hasan Al Banna Al Mulham Al Mauhub.pdf ...
Umar Tilmisani - Hasan Al Banna Al Mulham Al Mauhub.pdf. Umar Tilmisani - Hasan Al Banna Al Mulham Al Mauhub.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In.

Ahmad Mas'ari_Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif Hasan al-Turabi ...
Fikih yang ditawarkan oleh cendikiawan asal Sudan ini, H{asan al- Tura>bi>. ... PDF. Ahmad Mas'ari_Rekonstruksi Ushul Fikih Perspektif Hasan al-Turabi.PDF.

Asbab Nazool e Quran By Abu Al Hasan Ali Bin Ahmad Al Wahdi Al ...
Asbab Nazool e Quran By Abu Al Hasan Ali Bin Ahmad Al Wahdi Al Neshapuri.pdf. Asbab Nazool e Quran By Abu Al Hasan Ali Bin Ahmad Al Wahdi Al ...

HC WP C NO. 5540 OF 2017 AREEBA HASAN VS. CBSE DASTI ...
HC WP C NO. 5540 OF 2017 AREEBA HASAN VS. CBSE DASTI ORDER.pdf. HC WP C NO. 5540 OF 2017 AREEBA HASAN VS. CBSE DASTI ORDER.pdf.