AL-BALAD DALAM AL-QUR'AN

(Studi Komparatif Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân dengan Tafsir al-Mishbâh)

TESIS Diajukan kepada Program Pascasarjana Untuk Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam

Oleh: Benny Hifdul Fawaid NIM. 02.2.00.1.05.01.0093

PROGRAM PASCASARJANA KONSENTRASI TAFSIR-HADITS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2006 M / 1427 H

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul : AL-BALAD DALAM AL-QUR'AN (Studi Komparatif Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân dengan Tafsir al-Mishbâh),

yang

ditulis oleh Benny Hifdul Fawaid program studi Tafsir-Hadits telah disetujui untuk dibawa ke dalam ujian tesis.

Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA Tanggal : 6 November 2006

Dr. Yusuf Rahman, MA Tanggal : 6 November 2006

ii

PENGESAHAN PENGUJI Tesis dengan judul : AL-BALAD DALAM AL-QUR'AN (Studi Komparatif Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân dengan Tafsir al-Mishbâh),

yang

ditulis oleh : Nama

: Benny Hifdul Fawaid

No. Pokok

: 02.2.00.1.05.01.0093

Program Studi

: Tafsir Hadits

Telah diujikan (Munaqosah) di hadapan dewan Penguji pada 1 Desember 2006, dan telah diperbaiki sesuai dengan saran dan bimbingan penguji, selanjutnya tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Dewan Penguji

1. Ketua Sidang dan Penguji Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA

…………………………………

2. Penguji Dr. Mukhlis M. Hanafi, MA

…………………………………

3. Pembimbing I/ Penguji Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA

…………………………………

4. Pembimbing II/ Penguji Dr. Yusuf Rahman, MA

…………………………………

iii

KATA PENGANTAR ‫ﺒﺴﻡ ﺍﷲ ﺍﻟﺭﺤﻤﻥ ﺍﻟﺭﺤﻴﻡ‬ Alhamdulillah, Puji syukur kuabadikan hanya bagi sang Raja Manusia, Allah swt., Engkau yang patut untuk disembah dan tempat kembali perwujudan terima kasihku. Salam takdhimku untuk pembaharu moralitas manusia, Sang Nabi, Muhammad saw., sosok manusia sempurna pembawa lentera perubahan, suri tauladan bagi manusia dari zaman ke zaman. Selanjutnya, penulis menyadari bahwa tidak ada satu karya pun di dunia ini yang sempurna dan mutlak kebenarannya. Demikian juga dengan tugas akhir akademik ini (tesis). Selesainya karya tulis ini bukanlah sebuah prestasi gemilang yang dapat dijadikan standar nilai yang sempurna. Oleh karena itu, penulis menganjurkan kepada siapa pun untuk ‘opèn’ berkomentar secara konstruktif dan kritis substantive pada tulisan ini lembar demi lembarnya. Sebab penulis sadar diri atas kelemahan dan keterbatasan dalam menuangkan ‘rekayasa’ pikiran dan perasaan, yang dominan dengan ketidakkonstanan. Hal yang sangat berarti dalam riwayat pendidikan penulis dan ini tidak patut untuk dilupakan sampai kapan pun adalah bimbingan, arahan, dorongan, semangat, koreksi serta diskusi intens yang dicurahkan Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA kepada penulis. Kepada beliau berdua penulis ucapkan terima kasih yang sebenar-benarnya, semoga Allah swt., membalas kebaikan itu dengan balasan berlipat ganda. Ucapan terima kasih penulis selanjutnya adalah kepada mereka para figur ‘special’ yang ikut terlibat dalam pembentukan kesadaran pribadi penulis, antara lain : 1. Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta dan Bapak Prof. Komarudin Hidayat, MA selaku iv

direktur pascasarjana, serta Bapak Prof Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku ketua konsentrasi Tafsir-Hadits yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengenyam pendidikan di program pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekaligus ketua sidang munaqasah dan penguji. 2. Bapak Dr. Mukhlis M. Hanafi, MA yang telah bersedia menguji dan memberikan tambahan bagi kesempurnaan tulisan ini. 3. Para dosen pengasuh dan staf karyawan yang bersama-sama mengembangkan Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dalam mencetak intelektualintelektual muslim, generasi semua harapan bagi pembebasan. Semoga Allah memberikan keberkahan atas ilmu dan jasa yang telah disumbangkan guna pencerahan berpikir, bersikap dan bertindak. 4. Kawan-kawan belajar dan berdiskusi, utamanya kawan-kawan konsentrasi Tafsir-Hadits angkatan 2002 yang telah turut mengisi sejarah pendidikan penulis yang tak bisa disebutkan satu persatu. Thanks for you All. 5. Ayahanda, Hi. Syarifoeddin L Amien dan Umi Hj. Mujahiddah Bukhari yang telah memanifestasikan cinta dan kasih sayangnya dengan

lahirnya

penulis,

usaha

membesarkan,

mendidik,

membimbing serta memberikan ketulusan cinta dan kasih sayangnya pada penulis, merupakan ‘perjuangan dan pengorbanan’ yang tidak bisa dinilai secara material semata. Kemudian Emak Hj. Rodiah (Alm) dan Ibu Dra. Yulinar Ulfah yang juga berperan banyak dalam memotivasi dan pembentukan kepribadian penulis. Hormat dan ta’dhim penulis tercurah dari hati sanubari ini untuk semuanya yang tetap menyatu utuh lahir dan bathin.

v

6. Madam Ruwaida, KH Drs. Khairuddin Tahmid, MH., Drs. Munzir A. Syukri dan KH Ach. Sujjadi Saddad, yang telah membantu penulis dalam banyak hal dan begitu besar maknanya bagi pendidikan penulis. 7. Kakak-kakakku (Ce’ Imas, A’ Aceng, A’ Cecep, Teh Neng, A’ Hendri, A’ Deden) dan adik-adikku (Cice ‘lulu’, Helen, Fang-Fang, Fikri dan Zahara) serta seluruh keluarga besar di Lampung dan di Jawa Barat, “Dari dan untuk semua aku ada dan berada”, 8. Keluarga harianku eks kost Bungur, sahabat-sahabat seperjuangan di PB-PMII dan PMII Lampung, teman-teman Alumnus TH `97 IAIN Raden Intan. 9. My Close Friend, Rihlah Nurul Muriyah, SEI yang dengan penuh ketabahan dan kesabaran terus memberikan semangat dalam penyelesaian penulisan tesis ini, semoga ini bukan menjadi karya terakhir. Juga kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini yang tak dapat disebutkan satu persatu di sini, untuk semuanya terimakasih. Tesis ini penulis persembahkan buat mereka semua, semoga bermanfaat bagi penulis. Akhirnya penulis hanya bisa bermohon kepada Allah Swt. Semoga seluruh kebaikan yang telah diberikan dicatat sebagai amal shaleh dan mendapat balasan yang terbaik di sisi-Nya. Amiien. Ciputat, April 2006 Penulis

Benny Hifdul Fawaid

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI Konsonan Arab ‫ﺍ‬ ‫ﺏ‬

‫ﺕ‬ ‫ﺙ‬ ‫ﺝ‬

‫ﺡ‬

Latin A

Arab ‫ﻅ‬ ‫ﻉ‬

B

‫ﻍ‬

T

‫ﻑ‬

TS

‫ﻕ‬

J

‫ﻙ‬

H

Latin ZH ’ GH F Q K

‫ﺥ‬

KH

‫ل‬

L

‫ﺩ‬

D

‫ﻡ‬

M

‫ﺫ‬

‫ﺭ‬

‫ﺯ‬

‫ﺱ‬

‫ﺵ‬

‫ﺹ‬

‫ﻥ‬

DZ

‫ﻭ‬

R

‫ﻫـ‬

Z

‫ﻱ‬

S

‫ﺓ‬

SY

‫ﺍل‬

SH

‫ﺽ‬

DL

‫ﻁ‬

TH

‫ﺀ‬

Vokal Panjang َ‫ﺍ ـ‬

N W H Y AH, AT AL ‘

Vokal Pendek َ‫ـ‬

Â

A

ِ‫ﻱ ـ‬

Î

ِ‫ـ‬

I

ُ‫ﻭ ـ‬

Û

ُ‫ـ‬

U

Diftong َ‫ﻭ ـ‬

AW

َ‫ﻱ ـ‬

AY

‫ـﻲ‬

IYY

‫ـﻭ‬

UWW

vii

Kata Sandang Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan dengan menggunakan huruf al (‫ )ﺍﻝ‬misalnya kata, ‫ ﺍﻟﺸﻤﺲ‬ditulis al-Syamsu, kata ‫ ﺍﻟﺴﻴﺪﺓ‬ditulis al-Sayyidah dan lainnya. Sedangkan

kata

sandang

yang

diikuti

huruf

Qomariyah

ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Misalnya kata ‫ ﺍﻟﻘﻠﻢ‬ditulis al-Qalam, kata ‫ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬ditulis al-Baqarah dan lainnya. Singkatan-singkatan swt saw Qs Ra as HR H M SM w tt t.tp s.d

= = = = = = = = = = = = =

Subhânahu wata’âla Salla Allâhu ’Alaihi wa Sallam al-Qur’an Surat Radhiya Allâhu ’Anhu ’Alaihi al-Salâm Hadits Riwayat Hijriyah Masehi Sebelum Masehi Wafat Tanpa tahun Tanpa tempat penerbitan Sampai Dengan

viii

DAFTAR ISI Halaman Judul ............................................................................................. Persetujuan Pembimbing ............................................................................. Pengesahan Penguji ..................................................................................... Kata Pengantar.............................................................................................. Pedoman Trasliterasi ................................................................................... Daftar Isi ....................................................................................................... Abstraksi ....................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................................... B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................. C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian.................................................. D. Metode Penelitian yang Digunakan ................................................ E. Pendekatan yang Digunakan........................................................... F. Kajian Pustaka ................................................................................... G. Sistematika Penulisan ....................................................................... BAB II DISKURSUS AL-BALAD : TINJAUAN TERMINOLOGI DAN REDAKSIONAL AL-QUR'AN A. Pengertian al-Balad ............................................................................ B. Istilah al-Balad dan Derivasinya dalam al-Qur'an. ......................... C. Kata-kata padanan al-Balad dalam al-Qur'an ................................ 1. Al-Dâr ........................................................................................... 2. Al-Qaryah...................................................................................... 3. Al-Madînah ................................................................................... 4. Al-Wathan ..................................................................................... 5. Al-Ardh ......................................................................................... BAB III PENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-BALAD DALAM FÎ ZHILÂL AL-QUR'ÂN DAN AL-MISHBÂH A. Penafsiran Sayyid Quthb ................................................................. 1. Perjalanan Hidup ........................................................................ 2. Penafsiran Sayyid Quthb ........................................................... B. Penafsiran M. Quraish Shihab ......................................................... 1. Perjalanan hidup ........................................................................ 2. Penafsiran M. Quraish Shihab ................................................... BAB IV ANALISA PERBANDINGAN A. Al-Balad dengan tema wilayah atau negeri yang bersifat umum. B. Al-Balad dengan tema Kota atau Negeri Kota yang Tertentu ...... C. Al-Balad dengan tema Kota atau Negeri kota Makkah ................. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan........................................................................................ B. Saran dan Rekomendasi .................................................................. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

ix

i ii iii iv vii ix x 1 11 13 14 19 20 24 26 28 35 35 38 39 40 41 42 42 51 77 77 86 121 132 144 157 161 164

ABSTRAKSI Oleh : Benny Hifdul Fawaid Tulisan ini merupakan sebuah penelusuran atas makna balad dan derivasinya yang terdapat dalam al-Qur’an. Penelusuran ini dilakukan melalui pengertian dalam kamus-kamus kebahasaan. Dari pengertianpengertian balad dalam kamus, kemudian penulis melakukan sebuah perbandingan (comparative) penafsiran kata-kata balad dan derivasinya antara penafsiran yang dilakukan oleh dua Mufasir kontemporer, yaitu Sayyid Quthb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân dan M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh. Dari hasil penelusuran itu kemudian penulis menemukan bahwa kata balad dan derivasinya, yaitu balad atau al-Balad (dengan tambahan al), bilâd atau al-Bilâd, dan baldah, mengandung makna yang bermacam-macam, namun secara garis besar semuanya mengarah kepada tempat, baik berupa tanah tempat tumbuhnya tanaman dan buah-buahan, daerah atau kawasan tertentu, kota, negeri maupun negara. Dalam hal pemaknaan maupun penafsiran, dua mufassir kontemporer yaitu Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab pun memberikan makna pada balad dan derivasinya dengan tempat, daerah, tanah, kota hingga negeri. Ayat-ayat al-Balad dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan tanah, tempat, wilayah, kota maupun negeri. Akan tetapi disisi lain alQur’an juga menggunakan kata selain al-Balad untuk menyatakan tanah, tempat, wilayah, kota maupun negeri, yaitu dengan menggunakan kata-kata Dâr, Qaryah, Madînah, atau Ardh. Hal ini menandakan bahwa dalam al-Balad terdapat maksud lain yang membedakan dengan sinonim-sinonimnya itu. Dalam penjelasan ayat balad, yang kemudian penulis namakan dengan peristilahan ayat-ayat al-Balad, terdapat tiga bahasan utama yang terkandung di dalamnya, yaitu, pertama : Penjelasan tentang wilayah atau negeri yang bersifat umum. Kedua ; Penjelasan tentang kota atau negeri kota tertentu. Dan ketiga ; Penjelasan tentang kota atau negeri kota Makkah. Kalau ditelaah lebih cermat, dari deskripsi masing-masing pengertian ayat al-balad di atas, penulis menemukan bahwa makna al-Balad sangat vareatif, kevareatifan itu ternyata tidak hanya sekedar hadir apa adanya, tetapi merupakan proses dalam pencarian bentuk sebuah tempat, kota, negeri. Apalagi jika disusun secara sistematik, maka konklusi kota Makkah sebagai bentuk pilihan merupakan konklusi yang sangat tepat, dan ini merupakan gambaran bagi manusia untuk menteladaninya. Dilihat dari aspek kebahasaan, makna al-Balad dan derivasinya memiliki benang merah yang jelas, dan ini merupakan satu kesatuan makna

x

yang tidak dapat dipisahkan, satu menguatkan yang lain, sehingga kesimpulan-kesimpulan ini merupakan hasil yang mengalir dari ramuan berbagai makna al-balad dan derivasinya. Benang merah yang menyatukan satu dengan yang lainnya adalah semuanya menunjukkan tempat, Sehingga jika diakumulasikan akan berbentuk : Tanah, daerah, kota, dan negeri. Ini menandakan bahwa dimana pun manusia tinggal atau berdomisili, besar kecil wilayah administarsinya maka tugas utamanya adalah menciptakan tempat itu menjadi tempat yang penuh dengan keberkahan dan keteraturan. Keberkahan dan keteraturan hidup, Islam telah dengan jelas menggambarakan bentuk sebuah keteraturan yang akan mendatangkan keberkahan, walaupun secara teknik oprasionalnya satu dengan yang lainnya berbeda, tetapi ini jangan dilihat secara hitam putih, salah dan benar, tetapi semua itu merupakan khazanah Islam yang harus dilestarikan, asalkan tidak menyimpang dari substansi pokoknya. Oleh karena itu bentuk, warna, format dan sistem kota, negeri atau negara bukanlah sesuatu yang penting dalam Islam. Tidak salah jika para pemikir Islam terdahulu memiliki pandangan-pandangan yang terbaik untuk membentuk konsep sebuah sistem bagi terciptanya keteraturan hidup di masyarakat. Urgensi yang dapat diambil dari penelusuran atas ayat-ayat al-Balad ini adalah siapa dan di mana pun manusia berada, maka ia wajib mencipatakan negeri di mana ia menetap dan berdomisili menjadi baik, dengan apakah ia memiliki kebijakan sebagai publik figur maupun tidak. Dalam kaitan bentuk dan sistem suatu kota, negeri atau negara, ternyata tidak ada standar baku atas bentuk dan formasinya menurut al-Qur’an, tetapi al-Qur’an lebih melihat prilaku baik manusia dalam ber-negeri dan ber-negara-lah yang menjadi patokan. Sebab baik dan buruknya suatu negeri akan dikembalikan pada prilaku anak negerinya sendiri. Sayyid Quthb maupun M. Quraish Shihab dalam menyampaikan penafsiran atas ayat-ayat al-Balad dan derivasinya tidak banyak berbeda dalam substansi ayat. Perbedaan antara keduanya terletak pada cara mengungkapkan penafsirannya. Sayyid Quthb menafsirkan dengan menggunakan ungkapan yang mengajak dan membangkitkan emosi dan semangat pembaca untuk melakukan apa yang terkandung dalam tafsiran ayat-ayat. Sedangkan M. Quraish Shihab dalam mengungkapkan ayat-ayat al-Balad, tidak menekankan pada aspek emosional pembaca untuk berbuat, tetapi tafsirannya lebih membawa pembaca menjadi tenang dan merasa aman, karena informasi yang ia tampilkan dalam mengupas ayat demikian gamblang, relevan dengan ilmu pengetahuan, sejarah dan mampu menenangkan hati.

xi

Berdasarkan hasil pemahaman atas tafsir al-Balad dan derivasinya yang memberikan kata akhir bahwa dalam ber-negeri dan ber-negara merupakan sesuatu yang sangat fitrah bagi manusia, format, bentuk maupun tipe ber-negeri dan ber-negara bukanlah merupakan soal yang urgen, yang lebih urgen adalah bagaimana kehadiran kota, negeri dan negara itu mampu memberikan jaminan kepastian kepada masyarakatnya untuk hidup lebih baik dan terhindar dari berbagai marabahaya dan penderitaan. Berkaitan dengan hal inilah maka penulis menyarankan kepada siapa pun untuk mampu berbuat yang terbaik bagi proses kehidupan di dunia ini, khususnya ketika berada dalam lingkungan yang serba plural. Terlebih lagi bagi pemangku kebijakan di seluruh sektor maka berikanlah kontribusi yang paling bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat yang lebih banyak. Jangan sampai dengan posisi dan jabatan yang di sandang justru membuat orang lain lebih menderita dan sengsara.

xii

‫ﺑﺴــﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴــﻢ‬ BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur'an adalah sumber utama ajaran Islam yang di dalamnya terkandung ajaran dan petunjuk tentang akidah, hukum, ibadah dan akhlak. Al-Qur'an mengandung petunjuk tentang jalan hidup manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Karenanya banyak pembahasan dalam berbagai bidang kehidupan terdapat dalam al-Qur'an, salah satunya pembahasan sekitar negeri yang sering dilambangkan dalam bahasa al-Qur'an dengan kata al-Balad. Kata al-Balad menjadi pilihan dalam penelitian setelah kata al-Balad ditemukan di berbagai surat dan ayat al-Qur'an, yaitu sebanyak 19 kali.1 Kata al-Balad juga telah menjadi nama salah satu surah dalam al-Qur’an, yaitu surah al-Balad yang merupakan surah Makiyyah,2 turun sebelum hijrah Nabi saw ke Madinah. Surah ini merupakan surah ke 90 dalam Mushaf Utsmani, dilihat

1

. Husain Muhammad Fahmi al-Syâfi'î, al-Dalîl al-Mufahras li alfâzh al-Qur’an al-Karîm, Kairo : Dâr al-Salâm, 1422 H/ 2002, cet-2. hal 288. 2 . Jalaluddin al-Suyûthi, Asrâr Tartîb al-Qur’an, Dâr al-I’Tishâm, cet-3, 1978, hal 27. 1

dari urutan turunnya, surah ini turun setelah surah Qaf,3 ayat-ayatnya berjumlah 20 ayat.4 Al-Balad

yang

merupakan

nama

satu

surah

dalam al-Qur’an,

penamaannya bersifat tauqifi. Artinya Nabi Muhammad saw yang memberikan nama-nama terhadap surah-surah al-Qur’an tersebut. Terutama pada 74 surah yang hanya memiliki satu nama, salah satunya surah al-Balad. Sementara pada 40 surah yang memiliki lebih dari satu nama sebagian dari nama-nama surah itu bersifat tauqifi dan yang lainnya dinamai oleh para sahabat atau para Tabi’in.5 Ayat-ayat al-Balad dalam al-Qur’an dipakai untuk menunjukkan tanah, tempat, wilayah, kota maupun negeri. Akan tetapi di sisi lain al-Qur’an juga menggunakan kata selain al-Balad untuk menyatakan tanah, tempat, wilayah, kota maupun negeri, yaitu dengan menggunakan kata-kata Dâr, Qaryah, Madînah, atau Ardh. Hal ini menandakan bahwa dalam al-Balad terdapat maksud lain yang membedakan dengan sinonim-sinonimnya itu. Makna-makna al-Balad diatas merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia yaitu negeri atau tempat. S 3

. Muhammad bin Ahmad bin Jiziy al-Kilbî, Kitâb al-Tashîl Li Ulûm al-Tanzîl, Dâr al-Fikr, Juz 3, hal 199. 4 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2005, cet-3, Vol 15 hal 262. 5 . Hasanuddin. AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam alQur’an, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, November 1995, cet-1, Hal 74. 2

Beberapa ayat al-Qur'an yang mencantumkan kata-kata al-Balad di dalamnya antara lain :

Artinya : Aku tidak bersumpah dengan kota ini (Mekah) (Qs al-Balad 90 : 1)

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata : "Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. (Qs Ibrahim 14 : 35)

Artinya : Yang belum pernah diciptakan (suatu kota) sepertinya, di negeri-negeri lain. (Qs al-Fajr 89 : 8)

Artinya : Sesungguhnya bagi kaum saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri (kepada mereka dikatakan) : "Makanlah dari rezeki Tuhan kamu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang maha pengampun. (Qs Saba' 34 : 15)

3

Artinya : Untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (kami), dan kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati. Seperti itulah kebangkitan. (Qs Qaf 50 : 11) Secara kebahasaan al-Balad maknanya mengarah kepada tempat. Jika dilihat secara sederhana maka tidak ada yang perlu dipertanyakan di sini. Tetapi ketika kata ini dimasukkan sebagai kata dalam al-Qur’an, disebutkan lebih dari tiga kali, dijadikan nama sebuah surah, dan bersinonim, ini menjadi tidak sesederhana makna asalnya. Padahal satu huruf saja dalam al-Qur’an punya makna penting apalagi kata al-Balad terdiri dari banyak huruf, terletak pada banyak ayat dan surah. Ayat-ayat al-Balad dalam al-Qur’an selalu menggambarkan fenomena dalam suatu negeri, baik secara umum maupun khusus dengan karakteristik lingkungan dan masyarakatnya. Salah satunya seperti negeri Saba yang megah dan jaya karena kualitas manusianya, kemudian hancur berkepingkeping karena ulah penghuninya.6 Sepanjang

sejarah

manusia,

karakter

sebuah

negeri

selalu

menggambarkan situasi dan kondisi masyarakatnya yang variatif dan berubah-ubah, tidak pernah ada yang tetap pada kondisi mapan. Karakter negeri

yang

seperti

itu

terkait

dengan

persoalan-persoalan

kemasyarakatannya. Persoalan yang selalu muncul dalam masyarakat itu timbul akibat perubahan zaman. Setiap masyarakat sebuah negeri tentu harus 6

. Philip K. Hitti, History of the Arabs : From the Earliest Times to The Present. terj. Jakarta : Serambi, 2005, cet 1, hal 80. 4

memecahkan masalah-masalah terutama masalah yang baru, masalah-masalah yang timbul akibat perubahan zaman dimaksud, terutama pada zaman modern seperti diungkapkan oleh M. Dawam Rahardjo antara lain : Masalah negara dan demokrasi, masalah hak-hak asasi manusia, soal kekerasan, isu jender dan liberasi kaum perempuan dari penindasan, pergaulan antar pemeluk agama dalam masyarakat yang makin pluralistis, atau masalah lingkungan hidup yang sudah menjadi isu-isu global.7 Persoalan-persoalan itu pada masa Nabi Muhammad saw belum menjadi masalah yang aktual. Namun saat ini persoalan-persoalan itu telah menjadi persoalan aktual yang membutuhkan pemecahan. Karena itu umat Islam sebagai kaum yang menganut agama Islam yang berlaku universal, dituntut

untuk

memecahkannya.

Pemecahan

yang

dilakukan

adalah

pemecahan yang merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Upaya refleksi nilai-nilai yang terkandung dalam alQur’an memerlukan penafsiran baru yang mampu menjawab persoalanpersoalan aktual itu. Sehingga problem solving hasil dari penafsiran baru alQur’an dapat menjadi pedoman bagi pembentukan karakter masyarakat suatu negeri.

7

. M. Dawam Rahardjo, Paradigma al-Qur’an : Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial, Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005, cet-1, Hal 4. 5

Karakter suatu negeri adalah ciri khas dari kehidupan umat manusia pada wilayah tertentu. Al-Qur'an secara historis banyak berkisah tentang kehidupan negeri-negeri terdahulu. Beberapa negeri sebelum Islam, juga telah disebutkan secara langsung dalam al-Qur'an, seperti negeri Madyan,8 Saba',9 Babilon10 dan Mesir.11 Ini menandakan betapa pentingnya negeri bagi umat manusia, sehingga kajian tentang negeri dan karakter-karakter masyarakatnya perlu dilakukan. Ayat-ayat al-Balad dalam pembahasannya memiliki tiga pokok bahasan. Dalam ensiklopedi al-Qur’an dijelaskan bahwa pembahasan tentang balad dapat dikembangkan menjadi tiga pembahasan, pertama, berkaitan dengan wilayah atau negeri yang bersifat umum. Kedua, berkaitan dengan pengertian kota atau negeri kota yang bersifat khusus atau tertentu, seperti negeri Saba’. Ketiga, berkaitan dengan pengertian kota atau negeri kota yang bersifat khusus, yakni Makkah.12 Urgensi pembahasan ayat-ayat al-Balad adalah adanya fenomena yang mirip dari karakter-karakter masyarakat masa lalu yang mendiami suatu

8

. Madyan lihat pada surat Hûd 11 : 83, 96; al-A'raf 7 : 84; al-Ankabut 29 : 36; Thaha 20 : 40; Qashshas 28 : 22, 45; al-Taubah 9 : 71; al-Hajj 22 : 44. 9 . Saba' lihat pada surat al-Naml 16 : 22. 10 . Babilon lihat pada surat al-Baqarah 2 : 102. 11 . Mesir, lihat pada surat Yunus 10 : 87, Yusuf 12 : 21, 99; al-Zukhruf 43 : 51; al-Baqarah 2 : 61. 12 . Ensiklopedi al-Qur’an : Dunia Islam Modern, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Primayasa, cet-1, Agustus 2003. hal 282. 6

wilayah, kota, negeri atau negara dengan karakter masyarakat modern sekarang. Miripnya fenomena masyarakat masa lalu dengan sekarang dapat menjadi bahan i’tibar yang baik bagi siapa pun untuk mencontoh atau pun tidak mencontoh sikap dan perbuatan masa lalu itu. Karakter-karakter yang ditunjukkan oleh ayat-ayat al-Balad dalam masyarakat masa lalu itu antara lain ; taat, kerjasama, religius. Karakter ini telah mengangkat harkat derajat mereka ketingkat yang sangat tinggi, yaitu tingkat kesejahteraan, kemakmuran, ketaatan pada penciptanya, sehingga negeri di mana mereka tinggal sangat terkenal dengan kemajuan yang luarbiasa dan mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama. Dalam perjalanan berikutnya karakter di atas berubah menjadi sikap pembangkangan terhadap tuhannya, berlebihan dalam sesuatu perkara, sombong. Sehingga timbul huruhara di mana-mana, akhirnya kemelaratan, kesengsaraan bahkan kehancuran menjadi balasan atas perbuatannya itu. Negeri yang tadinya agung dan menjadi pujian banyak orang menjadi puing-puing, tanda hancurnya peradaban yang besar dan maju di zamannya. Karakter-karakter itulah yang kini masih hidup dan terus mengalir dalam aliran darah setiap manusia. Karakter yang potensinya lebih tinggi dalam aliran darah setiap manusia, hingga dapat membentuk karakter masyarakat satu wilayah, kota maupun negara, maka itu yang akan

7

mempengaruhi tampilan wilayah, kota maupun negeri atau negaranya. Jika potensi kebaikan lebih mendominasi maka output-nya menjadi baik, sebaliknya jika dominasinya adalah potensi kejelekan maka akibatnya jelek, dan kehancuran menjadi jawaban yang tidak dapat dihindari. Baik dan buruk kembali pada karakter yang ditampilkan individuindividu masyarakat suatu tempat. Kehancuran -imbas dari buruknya karakter masyarakat- adalah sesuatu yang ditakuti, pada hakekatnya terjadi karena ulahnya sendiri. Tetapi terkadang individu-ivdividu dalam masyarakat tidak menyadarinya. Karena itu, agar tidak mengalami kehancuran, potensi baik pada manusia perannya dapat dioptimalkan, sehingga mampu menjaga stabilitas kehidupan dan terhindar dari proses kehancuran. Optimalisasi potensi baik dalam suatu wilayah, kota, negeri atau negara dapat diwujudkan dengan banyak hal. Dalam masalah pengaturan kewilayahan, misalnya perlu dicari pemimpin yang cakap, pandai, taat beragama, di samping masyarakatnya juga cakap, pandai dan taat beragama. Dalam pemeliharaan lingkungan hidup, adanya kesadaran bersama untuk saling menjaga lingkungan di mana pun mereka tinggal. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, adanya kerja-keras untuk meneliti, membahas dan mengembangkannya

8

kedalam karya yang positif dan bermanfaat bagi kelestarian hidup manusia yang terbaik. Karakter-karekter di atas perlu kajian lebih mendalam dalam penelusuran dan pembahasan suatu wilayah, kota atau negeri dalam ayat-ayat al-Balad. Sebab karakter merupakan hal yang hidup dan bergerak secara dinamis, ia mampu memberikan ciri khas dan warna bagi wilayah, kota atau negeri, yang menjadi sarana bagi tumbuh berkembangnya karakter itu. Karakter ini merupakan ruh bagi sebuah peradaban manusia. Untuk memahami karakter-karakter yang terkandung dalam ayat-ayat al-Balad secara utuh, diperlukan pemahaman yang komprehensif atas ayat-ayat itu. Solusi untuk mencari pemahaman yang utuh adalah dengan merujuk pada kitab-kitab tafsir, khususnya pada penafsiran ayat-ayat al-Balad. Tafsir Fî Zhilal al-Qur’an dan Tafsir al-Mishbâh sangat representatif untuk dijadikan rujukan dalam menjawab pemahaman yang komprehensif. Tafsir Fî Zhilal al-Qur’an merupakan karya seorang organisatoris yang banyak malang melintang dalam dunia gerakan, sehingga dapat dipastikan berpengaruh dalam gaya penafsirannya. Dan lebih penting lagi adalah ia seorang mufassir yang menjelaskan penafsirannya dalam kontek-kontek sosial. Sedangkan Tafsir al-Mishbâh murni karya seorang intelektual yang sangat luas wawasan keilmuannya dalam bidang tafsir, sehingga pengertiannya terhadap 9

maksud ayat-ayat al-Qur’an lebih dapat dipercaya keotientikannya. Dan ia pun seorang mufassir yang memiliki tujuan pada pembumian penafsiran ayat-ayat dalam tataran sosial, sehingga kajiannya juga banyak mengarah pada kontekkontek sosial. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karyanya seperti membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an, dan kumpulan tulisan dalam buku Menabur Pesan Ilahi : al-Qur’an dan dinamika kehidupan masyarakat. Kedua tafsir itu dalam melakukan penafsirannya sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini, sehingga sangat tepat jika tafsir kontemporer ini dijadikan

rujukan

dalam

mengangkat

problematika

di

atas.

Selain

penafsirannya dilakukan secara tahlili (terperinci), dan terkadang maudhu’i (tematik), corak penafsirannya adalah al-Adab al-Ijtima’i (kajian kebahasaan dan sosial kemasyarakatan), bahkan tafsir Fî Zhilâl dikatakan bercorak haraki (pergerakan), sangat kental dengan kehidupan sosial dan politik. Dengan demikian berdasarkan paparan di atas, karakter sebuah negeri yang teramat penting bagi kehidupan manusia, telah al-Qur’an rekam dalam ayat-ayatnya, khususnya dalam ayat-ayat al-Balad. Karenanya studi komparatif dengan menggunakan pendekatan tafsir corak al-Adab al-Ijtima'i adalah langkah yang lebih tepat untuk mengakomodir semua kepentingan di atas. Studi komparatif dalam ilmu tafsir merupakan sebuah metode penafsiran yang kemudian dikenal dengan metode Muqarin. Metode Muqarin

10

adalah metode tafsir yang menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Qur’an. Penafsiran yang menggunakan metode ini pertama sekali menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat-ayat tersebut dalam karya mereka.13 Metode Muqarin juga digunakan dalam membahas ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kesamaan redaksi namun berbicara tentang topik yang berbeda. Atau sebaliknya, topik yang sama dengan redaksi yang berbeda.14 Al-Adab al-Ijtima'i menurut Muhammad Husain al-Dzahabi adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur'an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.15 Dengan metode ini penulis berharap mampu menangkap kandungan maksud ayat-ayat al-Balad dalam al-Qur'an. Lalu bagaimana ayat-ayat al-Balad ini merespon karakteristik suatu negeri dalam kehidupan manusia sepanjang sejarah peradabannya. 13

. ‘Abd al-Hay al-Farmawi, Muqaddimah Fi Tafsir al-Maudhu’i, Kairo : al-Hadhârah al‘Arabiyah, 1997, hal 45. 14 . Abd. Muin Salim, Metodologi ilmu Tafsir, Yogyakarta : Teras, cet-1, 2005, hal 47. 15 . Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, jilid 2, 1976, hal 342. 11

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Negeri merupakan satu kata bahasa Indonesia yang memiliki arti tanah tempat tinggal suatu bangsa, kampung halaman, negara atau pemerintah, nagari.16 Negeri dengan pengertian di atas adalah makna yang penulis pilih untuk melangkah lebih jauh dalam menginterpretasikan kata-kata al-Balad dalam al-Qur'an, sehingga fokus penelitian ayat-ayatnya menjadi jelas. Dalam tulisan ini, penulis akan memfokuskan pada uraian ayat-ayat alBalad dalam al-Qur'an. Tetapi tidak dengan ayat-ayat yang mengandung sinonim dengan al-Balad seperti al-Dar, al-Qaryah, Madinah, al-Wathan dan alArdh. Ayat-ayat yang mengandung sinonim al-Balad ini hanya dibahas secukupnya saja, sesuai dengan kebutuhan penjelasan ayat-ayat al-Balad yang sifatnya menunjang dalam penafsiran. Berdasarkan pengamatan dan kajian sementara penulis (Preliminery Research) ayat-ayat al-Balad dalam al-Qur'an merupakan petunjuk bagi kehidupan umat Islam, mengingat al-Qur'an sebagai sumber dan pedoman Islam. Apalagi negeri sebagai salah satu bahasan dalam ayat al-Balad, pada saat ini memiliki posisi strategis dalam kehidupan manusia ditinjau dari berbagai aspek. Oleh sebab itu, berangkat dari permasalahan di atas, maka pertanyaan umum penelitian ini (Major Research Question) adalah bagaimana memahami 16

.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta-Balai Pustaka, 1988, Cet-1, Hal 611. 12

ayat-ayat al-Balad secara komparatif dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân dan Tafsîr al-Mishbâh? Dengan

metode

komparatif

yang

bercorak

al-Adab

al-Ijtima’i

pemahaman atas ayat-ayat al-Balad akan lebih tepat sasaran pada substansi permasalahan al-Balad, sebab al-Adab al-Ijtima'i mampu menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur'an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat. Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan minor penelitian ini (Minor Research Question) dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa makna al-Balad dalam al-Qur'an, dan persoalan apakah yang diangkat oleh ayat-ayat al-Balad ? 2. Bagaimana penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab atas ayatayat al-Balad ? 3. Apakah penafsiran ayat-ayat al-Balad antara Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab terdapat persamaan dan perbedaan? Di manakah letak persamaan atau perbedaannya?

13

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Tujuan Akademis Untuk meneliti maksud implisit dan eksplisit ayat-ayat al-Balad dalam alQur'an, sehingga ini diharapkan dapat memperkaya khazanah kepustakaan dan intelektual Islam terutama dalam bidang tafsir, dan yang lebih dasar lagi adalah bertambah keyakinan umat Islam dalam mengimplementasikan nilainilai yang terkandung dalam al-Qur'an, terutama atas reaktualisasi maknamakna ayat-ayat al-Balad sesuai dengan kondisi saat ini. b. Tujuan Praktis Untuk memberikan warna lain dalam wacana sekitar karakteristik negeri, terutama dalam penataan kebiasaan dalam suatu negeri. Sehingga rumusan konsep-konsep idealitas suatu negeri yang terlahir dari tafsir ayatayat al-Balad dalam tulisan ini mampu memberikan makna positif bagi anak negeri di mana pun berada.

2. Signifikansi Penelitian a. Signifikansi Akademik

14

Hasil penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi bagi kajian dan pengembangan pemahaman al-Qur'an, khususnya ayat-ayat al-Balad. Sehingga bagi mahasiswa dan kalangan politisi Islam yang membutuhkan dalam berbagai penelitian ilmiah seputar karakteristik sebuah negeri, tulisan ini dapat dipergunakan untuk dikritisi dan diperluas. b. Signifikansi Praktis Bagi anak negeri sebagai pihak pengambil kebijakan untuk kepentingan penataan sebuah negeri, dapat mengambil hasil penelitian atas ayat-ayat alBalad dalam al-Qur'an yang tercantum dalam tesis ini, sebagai bahan pertimbangan

untuk

melakukan

pengembangan,

perbaikan

dan

penyempurnaan dalam kehidupan di negeri mana pun. D. Metode Penelitian yang digunakan 1. Jenis Penelitian Penelitian dalam rangka tesis ini, ditinjau dari segi sifat-sifat data 17 termasuk dalam penelitian kualitatif (Qualitatif Research). Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengadakan analisa data secara induktif,

17

. Data berasal dari bahasa latin, yang merupakan bentuk jamak dari kata ‘datum’, yang berarti keterangan-keterangan suatu fakta, Talizuduhu Ndarha, Research, teori, metodologi, administrasi, Jakarta : Bina Aksara, 1981, hal-76. 15

bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi secara fokus.18 2. Sumber Data Penelitian Memperhatikan jenis penelitian tersebut, maka sumber data primer dalam penelitian ini adalah al-Qur’an dan tafsir-tafsir al-Qur'an, khususnya Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid Quthb dan Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab yang keduanya bercorak al-Adab al-Ijtima'i. Pemilihan sumber data ini berdasarkan asumsi bahwa untuk menemukan data yang valid dan orisinil maka langkah yang terbaik adalah kembali ke sumber asal. Al-Adab al-Ijtima’i sebagai corak penafsiran pada kedua tafsir di atas adalah corak penafsiran al-Qur’an yang menitikberatkan pada persoalanpersoalan kemasyarakatan dan kebahasaan. Para mufasir yang menggunakan metode ini antara lain seperti Rasyid Ridha dengan Tafsîr al-Manâr, al-Maraghi dengan Tafsîr al-Marâghî dan Muhammad Syalthut dengan Tafsîr al-Qur’ân alAdhîm.19 Corak tafsir ini berupaya menyingkap keindahan bahasa al-Qur’an dan mukjizat-mukzijatnya, menjelaskan makna dan maksudnya, memperlihatkan aturan-aturan al-Qur’an tentang kemasyarakatan, dan mengatasi persoalan 18

. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999, cet-X., hal.27. 19 . M Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Teras, Februari 2005, cet-1, Hal 151. 16

yang dihadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum. Semua itu diuraikan dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang menuntun jalan bagi kebahagiaan di dunia dan di akherat. Corak tafsir ini pun berupaya mengkompromikan antara al-Qur’an dengan teori-teori pengetahuan yang valid. Corak ini mengingatkan manusia bahwa al-Qur’an merupakan kitab Allah abadi yang sanggup menyetir perkembangan zaman dan kemanusiaan. Tafsir dengan corak ini pun berupaya menjawab keragu-raguan yang dilemparkan musuh menyangkut al-Qur’an, juga menghilangkan keraguan mengenai al-Qur’an dengan mengemukakan berbagai argumentasi yang kuat. Siapa pun yang membaca karya Tafsir corak al-Adab al-Ijtima’i akan merasakan puas dan terdorong untuk merenungi alQur’an. 20 Al-Adab al-Ijtima’i merupakan salah satu corak penafsiran dari empat metode penafsiran yang dikenal selama ini yaitu analisis, komparatif, global dan tematik. Corak al-Adab al-Ijtima’i menitikberatkan penjelasan ayat-ayat alQur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk alQur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan

20

hukum-hukum

alam

yang

berlaku

dalam

masyarakat

. Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2005, cet-III, Hal 174. 17

dan

pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan.21 Sumber data primer penulisan ini adalah al-Qur’an dan kitab-kitab tafsirnya, khususnya Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid Quthb dan Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku ulum al-Qur'an yang membahas sekitar ilmuilmu al-Qur'an, buku-buku pemikiran, sejarah maupun politik, dan sumbersumber lainnya yang mengandung wawasan tentang negeri dan berkaitan dengan penelitian ini. Selain itu dalam hal metodologi penelitian tafsir penulis menggunakan buku-buku rujukan seperti al-Tafsîr wa al-Mufassirûn karya Muhammad Husain al-Dzahabi, Mabâhits fî Ulûm al-Qur'ân karya Mannâ al-Qaththân, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir al-Qur'an dan Metode Penelitian Tafsir karya Abd. Muin Salim, dan buku lainnya yang menunjang metodologi penelitian tafsir dalam tulisan ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

21

. M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, Jakarta : Lentera Hati, 2006, Cet-1; Edisi baru, Hal 24-25. 18

Data penelitian akan dikumpulkan melalui penelitian perpustakaan22 dengan teknik menelusuri data pada sumber-sumber primer dan sekunder di perpustakaan-perpustakaan melalui tafsir-tafsir al-Qur'an, buku-buku umum dan Internet. 4. Analisa Data dan Keabsahan Data Penelitian ini menggunakan metode Muqarin (Komparatif) dengan corak al-Adab al-Ijtima’i dan langkah-langkah yang digunakan adalah deskriptif analitik. 23 Yaitu analisa data dilakukan melalui beberapa tahapan pertama, mengumpulkan kitab primer dan sekunder, kedua mengkaji isi kitab. Setelah itu mencari substansi data yang saling terkait, keempat mengkonstruksi teori yang ditemukan dalam penulisan ayat-ayat al-Balad dalam al-Qur'an dan kelima menganalisa ketepatan atau kemencengannya dari studi ayat-ayat tersebut.

22

. Penelitian Perpustakaan adalah penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan, seperti : buku-buku, majalah, dokumen, catatan dan kisah-kisah sejarah dan lain-lainnya. Pada hakekatnya data yang diperoleh dengan penelitian perpustakaan ini dapat dijadikan landasan dasar dan alat utama bagi pelaksanaan penelitian lapangan. Penelitian ini dikatakan juga sebagai penelitian yang membahas datadata sekunder. Mardalis, Metode Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta : PT Bumi Aksara, Juli 2003, Cet-6, Hal 28. 23 . Tujuan Deskriptif Analitik (kritis) adalah untuk mengkaji gagasan maupun fakta primer mengenai suatu ruang lingkup permasalahan (objek penelitian), yang terfokus untuk mendeskripsikan, membahas (analitik) dan mengkritisi gagasan primer yang dikonfrontasikan dengan gagasan primer lain dalam upaya melakukan studi yang berupa perbandingan hubungan atau pengaruh dan pengembangan suatu model. Jujun S. Suriasumantri, ‘Penelitian Ilmiah Kefilsafatan dan Keagamaan Mencari Paradigma Kebersamaan”. Dalam tradisi baru dalam penelitian Agama Islam Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Mastuhu dan Deden Ridwan, ed., Bandung : Pusjarlit dan Nuansa, 1999, h. 45. 19

E. Pendekatan yang Digunakan Dalam menentukan suatu pendekatan dan metode yang relevan digunakan terhadap suatu penelitian, hendaklah terlebih dahulu diketahui tentang objek penelitian itu sendiri. Dalam kajian ini, penulis memakai pendekatan disipliner yang Sosio-Historis,24 sebab al-Qur'an itu sendiri sebagai data doktrinal agama mengandung data-data sejarah. Penelusuran sejarah dipakai untuk mengungkapkan kebenaran waktu turunnya ayat-ayat (Asbâb alNuzûl). Karena datanya kualitatif, pengolahannya dilakukan dengan analisis kritis, komparasi serta interpretasi atas kategorisasi-kategorisasi data sesuai dengan pedoman penelitian dan hasil penelusuran sumber-sumber primer dan sekunder. Dengan demikian pendekatan data penelitian ini substansinya adalah kualitatif dan korelasi jaringan variablenya juga kualitatif.

24

. Pendekatan Disipliner merupakan pendekatan yang mengkaji objek dari sisi sebuah disiplin ilmu. Pendekatan disipliner ini mengandung makna menggunakan konsep-konsep, asas-asas disiplin terkait untuk membahas masalah. Sosio-historis sendiri merupakan salah satu macamnya yang menekankan pentingnya memahami kondisi-kondisi aktual ketika al-Qur’an diturunkan, dalam rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosio-ekonomisnya. Atau dengan kata lain, memahami alQur’an dalam konteks kesejarahan dan harfiyah, lalu memproyeksikannya kepada situasi masa kini kemudian membawa fenomena-fenomena social ke dalam naungan tujuan-tujuan al-qur’an. M Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, …, hal 141-142. 20

F. Kajian Pustaka Kitab-kitab

tafsir

yang

akan

menjadi

rujukan

utama

dalam

mengkomparasi ayat-ayat al-Balad adalah tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân karya Sayyid Quthb, dan Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab. Sepengetahuan penulis, ada beberapa penulis yang sudah mengkaji Sayyid Quthb dengan Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân dan M. Quraish Shihab dengan Tafsir al-Mishbâh-nya, diantaranya yaitu : Achmad Sudja’i, menulis disertasi dengan judul konsep khilafah dalam tafsir Sayyid Quthb dan tafsir Hamka. Disertasi, PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2000. Disertasi yang mengupas konsep khilafah dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân dan Tafsir al-Azhar, menerangkan persamaan sekaligus perbedaannya, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta menjelaskan hubungan yang terjadi antara kedua tafsir itu dan bentuk hubungannya. Dalam disertasi ini juga diterangkan selintas tasfir Sayyid Quthb yang terdiri dari riwayat hidup dan penulisan Sayyid Quthb serta Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’an. Afif Muhammad menulis disertasi berjudul Studi tentang corak pemikiran teologis Sayyid Quthb. Disertasi, PPS IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 1995/ 1996. Disertasi ini mengupas tentang pandanganpandangan teologis Sayyid Quthb dalam upaya menemukan akar-akar pandangannya, hubungannya dengan faham-faham yang berkembang pada 21

zamannya, tokoh-tokoh yang berpengaruh terhadap dirinya, dan hal-hal baru yang dikemukakannya. Pada bab berikutnya Afif Muhammad menulis tentang biografi Sayyid Quthb dalam hal kondisi sosial politik di Mesir pada masa Sayyid Quthb, pendidikan dan karya Sayyid Quthb, perjuangan dan pengaruh Sayyid Quthb di dunia Islam. Aunur Rofiq, menulis tesis dengan judul konsep universalisme alQur’an menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân. Tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2005. Tesis ini mengupas universalisme alQur’an dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân, seperti pandangan Sayyid Quthb dalam nilai-nilai keimanan kepada Tuhan, nilai-nilai tali silaturrahmi dan persaudaraan, nilai-nilai keadilan, perdamaian dan peri kamanusiaan. Tidak lupa pula dalam tesis ini diungkapkan biografi Sayyid Quthb dan profil tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân. Abdul Bari, menulis tesis dengan judul Jahiliyyah dalam al-Qur’an : Kajian atas penafsiran Sayyid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân, tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2005. Tesis ini menerangkan penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliyyah dalam al-Qur’an, khususnya dalam hal Hukm Jahiliyyah, Zhann Jahiliyyah, Tabarruj Jahiliyyah, dan Hamiyyah Jahiliyyah serta analisa kritis penulisnya terhadap penafsiran itu. Dalam tesis ini diterangkan Biografi Sayyid Quthb berupa hidup dan perjuangannya, karya dan

22

pengaruhnya. Juga diterangkan tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân seputar penulisan, metode dan coraknya. Abd Muid N, menulis tesis dengan judul Teologi Pembebasan Islam Sayyid Quthb, tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2005. Dalam tesis ini diterangkan sketsa biografi Sayyid Quthb, karya-karyanya, situasi sosial politik Mesir pada masa Sayyid Quthb, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya. Istianah, menulis tesis dengan judul metodologi M. Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Qur’an, tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2002. Dalam tesis ini diungkapkan metodologi M. Quraish Shihab dalam menafsirkan

al-Qur’an,

membahas

thariqah

dan

lawn

(corak)

yang

dibangunnya, serta mazhab/ ittijah yang digunakan. Tesis ini juga membahas biografi M. Quraish Shihab atas latar belakang pendidikan dan dinamika intelektualnya, karir akademik dan karya-karya ilmiahnya. Selain Disertasi dan tesis di atas, juga terdapat karya skripsi yang membahas kedua tokoh ini, diantaranya adalah skripsi A. Syarifuddin, dengan judul studi komparatif Sayyid Quthb dan Quraish Shihab pada ayat al-Kursi. Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2003. Dalam tulisan ini diterangkan tentang deskripsi umum Sayyid Quthb dan Quraish Shihab, yang

23

terdiri dari Biografi keduanya, metode dan corak penafsiran keduanya, karya ilmiah dan pemikiran Sayyid Quthb serta karya-karya Quraish Shihab. Abd Basit menulis skripsi dengan judul studi komparatif penafsiran Quraish Shihab dan Sayyid Quthb tentang fitrah. Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2005. Dalam skripsi ini diterangkan sekilas riwayat hidup Quraish Shihab dan Sayyid Quthb, metode dan corak penafsiran keduanya. Muh. Arham Mursidin, menulis skripsi dengan judul konsep pluralisme agama M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh. Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2004. Dalam tulisan ini diterangkan tentang riwayat hidup M. Quraish Shihab, karya-karyanya, dan mengenal tafsir alMishbâh dari aspek pilihan nama dan motivasi penulisannya, sumber rujukan, corak, metode dan sistematikanya. Dari karya-karya disertasi, tesis dan skripsi di atas, serta karya-karya yang

ada

di

perpustakaan-perpustakaan,

khususnya

pada

program

Pascasarjana UIN Jakarta, belum ditemukan buku-buku yang secara khusus membahas ayat-ayat al-Balad dalam al-Qur'an secara komparatif, apalagi secara detail membahas karakteristik sebuah negeri. Demikian juga di Perpustakaan IAIN Raden Intan Lampung, penulis juga belum menemukan karya tulis yang secara spesifik membahas tentang ayat-ayat al-Balad dalam al-Qur’an. Tulisan

24

tentang al-Balad baru ditemukan dalam sebuah ensiklopedi al-Qur’an yaitu Ensiklopedi al-Qur’an : Dunia Islam Modern yang diterbitkan di Yogyakarta oleh PT.Dana Bhakti Prima. Dalam ensiklopedi itu hanya menjelaskan maksud kata baldah, balad, al-Balad dan Bilâd dalam ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan tata bahasanya. Berdasarkan kondisi diatas, maka tesis ini akan membahas ayat-ayat alBalad tersebut dalam perbandingan antara tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân dengan Tafsîr al-Mishbâh. G. Sistematika Penulisan Agar penelitian ini terpapar secara terarah, sistematis sesuai dengan tujuan dan kegunaannya, maka sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut : Bab pertama berisi tentang rancangan penelitian yang mencakup : latar belakang

masalah,

permasalahan,

pengertian

istilah

dan

pembatasan

permasalahan, tujuan dan signifikansi penelitian, analisis teori dan kerangka konseptual, metode penelitian yang digunakan, pendekatan yang digunakan, kajian pustaka, dan sistematika penulisan. Bab kedua merupakan landasan teoritis, maka dalam bab ini akan dibahas al-Balad dengan ditinjau secara terminologis berdasarkan redaksional

25

al-Qur'an. Paparannya pertama, pengertian al-Balad. Kedua istilah al-Balad dan derivasinya dalam al-Qur’an dan kata-kata padanan al-Balad dalam al-Qur’an seperti al-Dâr, al-Qaryah, Madinah, al-Wathan maupun al-Ardh. Bab ketiga adalah penafsiran ayat-ayat al-Balad dalam Fî Zhilâl al-Qur'ân dan al-Mishbâh yang terdiri dari Penafsiran Sayyid Quthb pada ayat-ayat alBalad dengan pembahasan perjalanan hidup Sayyid Quthb dan penafsiran Sayyid Quthb atas ayat-ayat al-Balad dalam Fî Zhilâl al-Qur’ân. Kemudian penafsiran M. Quraish Shihab atas ayat-ayat al-Balad yang terdiri dari perjalanan hidup M. Quraish Shihab dan penafsirannya atas ayat-ayat al-Balad dalam al-Mishbâh. Bab keempat adalah analisa perbandingan penafsiran Sayyid Quthb dengan M. Quraish Shihab pada ayat-ayat al-Balad dalam tafsir Fî Zhilâl alQur'ân dengan tafsir al-Mishbâh. Terdiri dari tiga bahasan yang disandarkan pada tema-tema yang terkandung dalam ayat-ayat al-Balad. Bab kelima penutup, berisi : kesimpulan dari seluruh bahasan sebelumnya, saran dan rekomendasi penulis.

26

BAB II DISKURSUS AL-BALAD : TINJAUAN TERMINOLOGI DAN REDAKSIONAL AL-QUR'AN

A. Pengertian al-Balad secara umum Sebelum membahas lebih jauh mengenai al-Balad menurut perspektif alQur'an, maka esensi al-Balad sebagai tema sentral dalam kajian ini perlu diungkapkan lebih dahulu. Hal ini penting, mengingat bahwa pemahaman terhadap esensi al-Balad akan membantu memahami pembahasan selanjutnya. Dalam Lisân al-Arab makna balad dijelaskan dengan : al-Baldah dan alBalad maknanya adalah setiap tempat atau bagian yang terhampar, ramai penghuninya atau pun tidak. Menurut al-Azhari1 : al-Balad adalah setiap tempat yang terhampar di bumi, ramai penghuninya maupun tidak, kosong maupun berisi, ini makna Balad, dan bagian darinya disebut Baldah. Dalam sebuah hadis disebutkan : 2 ‫ ﺃﻋﻮﺫﺑﻚ ﻣﻦ ﺳﺎﻛﲎ ﺍﻟﺒﻠﺪ‬. Al-Balad adalah bagian dari bumi,

1

. Beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin al-Azharî bin Thalhah bin Nûh bin al-Azhar bin Nûh bin Hâtim al-Azharî, ahli dalam tata bahasa dan bahasa. Lahir di Hirrah- Khurasan tahun 282 H dan wafat di Bahrah bulan Rabî al-Akhîr tahun 370 H. Karya-karyanya : Tahzhîb al-Lughah, al-Zâhir fî Gharâib al-Alfâzh. Umar Ridha Kahhâlah, Mu’jam al-Muallifîn, Beirut-Libanon : Dâr Ihya al-Turats al-Arabi, ttp., juz 8, hal 230. 2 . Hadits ini berasal dari ‘Abdullah bin ‘Umar yang diriwayatkan oleh Sunan Abi Dâwud. Hadits ini tidak diriwayatkan selain darinya. Hadits ini dalam Sunan Abi Dâwud disebutkan dalam Bab Mâ yaqûlu al-Rajul izhâ Najal al-Munjil. Abi Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Indonesia : Maktabah Dahlan, ttp. Juz 3, hal 35. hadits ini tercantum dalam kitab al-Nihâyah fî Gharîb al-hadits wa al-Atsar, karena itu hadits ini termasuk hadits Gharib (Aneh). Lihat Imam Mujid al-Dîn al-Mubârak bin 27

jamak al-Balad adalah Bilâd dan Buldân. Dan al-Buldân merupakan nama untuk kampung kecil. Sebagian orang mengatakan : al-Balad adalah jenis tempat seperti Irak dan Syam, dan al-Baldah adalah bagian yang lebih khusus lagi darinya seperti Bashrah dan Damaskus. 3 Kata al-Baldah yang jamaknya Bilâd dan Buldân mengandung makna setiap tempat di bumi yang dihuni maupun tidak, bagian dari satu negeri seperti Damaskus bagian dari Syam, dan Bashrah bagian dari Irak. Di antaranya ditetapkan untuk tempat para rasul seperti ‫ ﰲ ﺍﻟﺒﻠـﺪﺓ‬artinya di kota yang kamu tinggal di sana, yaitu di tengah kota yang sangat luas. Kata al-Bilâd dengan mufradnya balad dan Baldah digunakan dengan makna daerah atau negeri yang satu. Maka dikatakan ‫ ﺑﻼﺩ ﺍﻟﻌﺎﱂ‬artinya semua negeri dengan masingmasing bagiannya. ‫( ﺍﻟﺪﻓﺎﻉ ﻋﻦ ﺍﻟﺒﻼﺩ‬bela negara), ‫( ﻣﺼﺎﱀ ﺍﻟﺒﻼﺩ‬kemaslahatan negeri), ‫ﻳـﺎ‬ ‫ ﺑﻼﺩﻱ‬atau ‫( ﻳﺎ ﻭﻃـﲏ‬wahai negeriku). Kata al-Buldân dengan mufradnya balad dan baldah digunakan dengan makna kumpulan daerah atau negeri-negeri. 4 Al-Balad juga bermakna Makkah yang merupakan kemulian baginya seperti satu bintang untuk gugusannya. Al-Balad dan al-Baldah artinya tanah. Dan al-Balad adalah tanah yang belum digali dari bumi dan belum dijadikan Muhammad al-Jazarî Ibn al-Atsîr, Al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadits wa al-Atsar, Dâr al-Fikr: BeirutLibanon, tt., juz 1, hal 151. 3 . Ibn Manzhur, Lisân al-Arab, Beirut : Dâr Shâdr, 1990 Cet-1, vol 3 hal 94. 4 . Ibid, Hal 40. 28

tempat menyalakan api. Al-Baldah artinya ‫( ﺍﻻﺭﺽ‬bumi), seperti dikatakan ‫ﻫﺬﻩ ﺑﻠﺪﺗﻨﺎ‬ (ini bumi atau negeri kami) seperti dikatakan ‫( ﲝﺮﺗﻨﺎ‬ini laut kami). Al-Balad juga berarti al-Dâr (Rumah) dengan harapan-harapannya.5 Secara etimologi kata al-Balad berasal dari kata kerja (‫ﺍ‬‫ﻠﹸـﻮﺩ‬‫ﺑ‬-‫ﻠﹸـﺪ‬‫ﻳﺒ‬-‫ﻠﹶﺪ‬‫ )ﺑ‬yang terdiri atas huruf-huruf Ba'-Lam-Dal (‫ﺩ‬-‫ﻝ‬-‫)ﺏ‬, yang memiliki arti diam pada suatu negeri. Kata Baladun adalah kata benda dengan bentuk jamaknya al-Bilad dan Buldan memiliki makna negeri. Kata baldatun dengan tambahan ta Marbuthah juga memiliki makna kota atau negeri.6 Dalam kamus Munjid huruf ba'-lam-dal (‫ﺩ‬-‫ﻝ‬-‫)ﺏ‬7 diterangkan sebagai berikut : ‫ﺍ ﺑﺎﳌﻜـﺎﻥ‬‫ﻠﹸـﻮﺩ‬‫ ﺑ‬-‫ﻠﹶـﺪ‬‫ ﺑ‬artinya ‫( ﺍﻗـﺎﻡ ﺑـﻪ‬Tinggal diam pada suatu tempat) atau Ittakhadahu baladan maka makna Bâlid adalah orang yang diam di satu tempat. B. Istilah al-Balad dan derivasinya dalam al-Qur'an Al-Balad dengan berbagai derivasi dan kata jadinya disebut dalam alQur'an sebanyak 19 kali yang tersebar pada 19 ayat dan terliput dalam 15

5

. Ibid. hal 94. . Kamus al-Munawwar Arab–Indonesia Terlengkap, ditela’ah oleh KH. Ali Ma’shum dan KH. Zainal Abidin, Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997, Cet-14, hal 104. lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1990, Cet-8, hal 71. 7 . Al-Munjid Fî al-Lughah wa al-A'lâm, Beirut-Libanon : Dâr al-Masyriq, 2003, cet-40, hal 47. 6

29

surat.8 Dalam al-Qur'an kata al-Balad mempunyai beberapa bentuk. Ada dalam bentuk mufrad (Tunggal) maupun jama' (banyak). Kata al-Balad dalam alQur'an ditulis dengan Balad, Baladan, al-Balad, al-Bilâd, Baldatun dan al-Baldah. Adapun bila dilihat dari tempat turunnya, maka kata al-Balad beserta derivasinya terbagi menjadi dua, yakni surah-surah Makiyyah : al-A'raf, alNahl, al-Furqan, al-Naml, Ibrâhîm, Saba', Fathir, Ghafir, al-Zukhruf, Qâf, alFajr, al-Balad dan al-Tîn dan surah-surah Madaniyyah : al-Baqârah dan Ali Imrân a. Bentuk Mufrad (tunggal) Bentuk mufrad ini terdapat dalam 13 tempat, yaitu : 1. Surah al-Baqaroh 2 : 126

Artinya : Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo'a : "Ya tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dan buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah 8

. Muhammad Fuad Abd al-Bâqî, Mu'jam al-Mufa ras li Alfâzh al-Qur'ân, Maktabah Dahlan Indonesia, tth. Lihat juga ‘Alami Zâdah Faidh Allah al-Husni, Fath al-Rahmân LiThâlibi Âyâh alQur'ân, Indonesia : CV Diponogoro, tt., hal 59-60. Jika diporsentasekan 19 ayat al-Balad dalam alQur’an adalah sebagai berikut : 10,417 % dari 114 surat dan 0,304683 % dari 6236 ayat mencatat kata al-Balad sebagai ungkapan Allah swt. 30

berfirman : "Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Qs al-Baqarah 2 :126)

2. Surah al-A'raf 7 : 57

Artinya : Dan Dialah yang mengutus aneka angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila ia telah memikul awan yang berat, kami halau ke suatu daerah yang mati, lalu kami turunkan hujan di sana, maka kami keluarkan dengan sebabnya pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. (Qs al-A'raf 7 : 57) 3. Surah al-Nahl 16 : 7

Artinya : Dan ia memikul beban-beban kamu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya melainkan dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhan kamu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Qs al-Nahl 16 : 7) 4. Surah Ibrahim 14 : 35

31

Artinya : Dan ketika Ibrahim berkata : "Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. (Qs Ibrahim 14 : 35) 5. Surah al-Furqan : 25 : 49

Artinya : Agar kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan kami memberi minum dengannya sebagian dari apa yang kami ciptakan yaitu binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak. (Qs al-Furqan 25 : 49) 6. Surah al-Naml 27 : 91

Artinya : Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negri ini (makkah) yang telah diharamkannya dan milik-Nya segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri. (Qs al-Naml 27 : 91). 7. Surah Saba' 34 : 15

32

Artinya : Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di kanan dan di kiri (kepada mereka dikatakan): "Makanlah dari rezeki Tuhan kamu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang maha pengampun. (Qs Saba' 34 : 15) 8. Surah al-Fathir 35 : 9

Artinya : Dan Allah yang mengirimkan angin, lalu ia menggerakkan awan, maka kami menghalaunya ke suatu negeri yang mati lalu kami hidupkan dengannya bumi setelah matinya. demikianlah kebangkitan. (Qs Fathir 35 : 9) 9. Surah al-Zukhruf 43 : 11

Artinya : Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan dengannya negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan. (Qs al-Zukhruf 43 : 11) 10. Surah Qâf 50 : 11

33

Artinya : Untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (kami), dan kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan. (Qs Qaf 50 : 11)

11. Surah al-Balad 90 : 1

Artinya : Aku tidak bersumpah dengan kota ini (Mekkah) (Qs al-Balad 90 : 1) 12. Surah al-Balad 90 : 2

Artinya : Dan engkau (Muhammad) bertempat di kota ini. (Qs al-Balad 90 : 2) 13. Surah al-Tin 95 : 3

Artinya : Dan demi kota (Mekah) yang aman ini. (Qs al-Tin 95 : 3) b. Bentuk Jama' (Banyak) Bentuk jama' ini terdapat dalam 5 tempat, yaitu : 1. Surah Ali Imran 3 : 196

34

Artinya : Janganlah sekali-kali engkau terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di negeri-negeri. (Qs ali Imran 3 : 196)

2. Surah al-Mu'min/ Ghafir 40 : 4

Artinya : Tidak ada yang mendebat tentang ayat-ayat Allah, kecuali orangorang yang kafir. Karena itu janganlah engkau diperdaya oleh pulang balik mereka di kota-kota. (Qs al-Mu'min/Ghafir 40 : 4) 3. Surah Qâf 50 : 36

Artinya : Dan berapa banyaknya yang kami binasakan sebelum mereka dari generasi (lalu) yang mereka (itu) lebih besar kekuatannya dari mereka, maka mereka telah menggali di beberapa negeri. Adakah tempat lari? (Qs Qâf 50 : 36) 4. Surah al-Fajr 89 : 8

35

Artinya : Yang belum pernah diciptakan sepertinya, di negeri-negeri lain. (Qs al-Fajr 89 : 8). 5. Surah al-Fajr 89 : 11

Artinya : yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri (Qs al-Fajr 89 : 11) C. Kata-kata padanan al-Balad dalam al-Qur'an 1. al-Dâr al-Dâr artinya tempat terhimpunnya bangunan yang sangat luas/ lebar.9 Al-Dâr adalah tempat berkumpulnya bangunan rumah dan halaman. Ia berasal dari dâra –yadûru ‫ ﻳـﺪﻭﺭ‬- ‫ ﺩﺍﺭ‬karena banyaknya manusia yang bergerak disana. Jamaknya adwurun ‫ ﺍﺩﻭﺭ‬dan ad'ûrun ‫ﺍﺩﺅﺭ‬.10 Kata dâr merupakan isim jâmi’ untuk halaman, bangunan dan tempat. setiap tempat yang ditempati oleh suatu kaum, maka itu adalah rumah/ tempatnya. Seperti dunia tempat yang tidak kekal, akhirat adalah tempat yang kekal dan tempat keselamatan.11

9

. Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut-Libanon, Dâr Ihya’ al-Turats al-Arabî, tt. juz 4, hal 440. . Ibn Manzhur, Lisân al-Arab…, hal 440. 11 . Ibid. 10

36

Al-Dâr jamak dari Dâr artinya tempat yang didiami dan ditempati oleh suatu kelompok atau Kabilah. Al-Dâr artinya negeri. Al-Dâr adalah nama untuk kota sayyidina Rasulullah saw.12 Secara etimologis kata ini memiliki beberapa arti. Pertama, dâr berarti tempat tinggal, rumah, daerah atau negeri dan Negara. Penggunaan kata dâr dengan makna rumah karena ia merupakan bangunan yang memiliki halaman dan lapangan yang luas. Ia dipakai untuk menunjukkan tempat menetap suatu kelompok masyarakat atau kabilah. Selain itu, kata ini digunakan untuk menunjukkan daerah atau wilayah tertentu yang ada di belahan bumi ini, seperti Mekkah, Jakarta, Bandung dan seterusnya. Lebih luas lagi, kata dâr juga dipakai untuk menunjukkan suatu Negara tertentu yang memiliki beberapa daerah dengan jumlah penduduk yang menetap di dalamnya.13 Kedua, kata dâr dapat berarti rumah yang ditempati, dan dapat pula berarti kabilah. Ketiga, kata dâr dipakai untuk makna-makna tertentu. Kata ini khusus dipakai menunjukkan kota Madinah sebagai kota Rasulullah saw. Di samping itu kata dâr dipakai pula dalam arti khusus, yaitu kubur. Kata dâr

12

. Ibid., Hal 440-441. . Ensiklopedi al-Qur’an : Dunia Islam Modern, Yogyakarta : PT Dhana Bhakti Prima Yasa, 2003, Cet-1, hal 408. 13

37

dengan pengertian pekuburan adalah dalam bentuk tasybîh (penyerupaan) bagi tempat tinggal orang-orang hidup.14 Dari sekian banyak pengertian kata dâr di atas, secara umum sebagian ulama mengartikannya dengan pengertian yang pertama. Dengan demikian, yang dimaksud dengan dâr ialah tempat tinggal, daerah, wilayah, atau Negara yang di dalamnya menetap sejumlah manusia di bawah pimpinan atau kekuasaan tertentu.15 Dalam hadits syafa'ah disebutkan :16 ‫ ﻓﺄﺳﺘﺄﺫﻥﹸ ﻋﻠـﻲ ﺭﰊ ﰲ ﺩﺍﺭﻩ‬kata dârihi di sini artinya di tempat kesucian, atau di surganya.17 Karena itu surga dinamakan dâr al-Salam (rumah keselamatan), dan Allah 'Azza wa Jalla sendiri adalah penyelamat. Kata al-Dârah secara kebahasaan berasal dari al-Dâra. Adapun alDâr adalah nama untuk seluruh halaman bangunan dan tempat. Setiap tempat bernaungnya kaum, maka itu juga adalah rumahnya. Dan dunia ini adalah Dâr al-Fana dan akhirat itu adalah Dâr al-Qarâr dan Dâr al-Salâm. 18

14

. Ensiklopedi al-Qur’an…, hal 409. . Ensiklopedi al-Qur’an…, hal 409. 16 . Hadits ini berasal dari Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahîh al-Bukhârî, Kitâb Tauhîd, bab Qaul Allah Ta’âla Wujûh Yaumaizhin Nâdhirah Ilâ Rabbihâ, hadits ke 6886. hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan Dharimi. 17 . Ibn Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bâri bi Syarhi Shahîh al-Bukhâri, Bait al-Afkar al-Dauliyah, tt., juz 3, hal 3328. 18 . Ibid, Hal 298. 15

38

Kata Dâr dalam al-Qur'an ditulis dengan Dâr, al-Dâr, Dâruhu, Dârikum, Dârihim, al-Diyâr, Diyârinâ, Diyârikum, Diyârihim, Diyâran, Dâiratun, dan alDawâir. Dalam konteks al-Qur'an kata-kata ini disebutkan sebanyak 48 kali yang tersebar pada 48 ayat dan terliput dalam 25 surat.19 31 kali diantaranya dalam bentuk tunggal dan 17 kali dalam bentuk jamak.20 Dari penggunaan tersebut, selain bermakna negeri juga bermakna surga, kampung, tempat kediaman atau rumah. Dalam al-Qur’an kata Dâr dapat berarti tempat tinggal satu keluarga, negeri atau perkembangan satu masyarakat.

Dapat

juga

berarti

tempat

kesudahan

seseorang,

atau

masyarakat.21 2. al-Qaryah Dalam Lisan al-Arab kata al-Qaryah dijelaskan secara panjang lebar, yaitu al-Qaryah itu sangat dikenal, jamaknya adalah Qurâ, tanpa ada kiasan.

19

. Alami Zâdah Faidh Allah al-Husni, Fath al-Rahmân Li Thâlibi …, hal 155-156. . Susunan lebih lengkapnya adalah sebagai berikut : kata ‫ﺍﻟﺪﺍﺭ‬. ‫ ﺩﺍﺭ‬terdapat dalam surah alBaqarah 2 : 94, al-An'am 6 : 32, 127, 135, al-A'raf 7 : 144, 168, Yunus 10 : 25, Yusuf 12 : 109, al-Nahl 16 : 30, al-Mu'min 40 : 39, 52, Hamim Sajadah/Fushilat 41 : 28, Ibrahim 14 : 28, Fathir 35 : 35, alQashash 28 : 37, 77, 83, al-Ra'ad 13 : 24, 26, 27, 44, Shâd 38 : 46, al-Ankabut 29 : 64, Al-Ahzab 33 : 29, al-Hasyr 59 : 9. Kata-kata ‫ ﺩﺍﺭﻩ ﺩﺍﺭﻛﻢ ﺩﺍﺭﻫﻢ‬terdapat dalam al-Qashash 28 : 81, Hud 11 : 65, al-A'raf 7 : 77, 20

90, al-An'kabut 29 : 37, Ra'ad 13 : 33. Kata-kata ‫ ﺍﻟﺪﻳﺎﺭ ﺩﻳﺎﺭﻧﺎ‬terdapat dalam Isra 17 : 5, al-Baqarah 2 : 246.

Kata-kata ‫ ﺩﻳﺎﺭﻛﻢ ﺩﻳﺎﺭﻫﻢ‬terdapat dalam al-Baqarah 2 : 84, 85, 243, al-Nisa 4 : 65, al-Mumtahanah 60 : 8, 9, Ali Imran 3 : 195, al-Anfal 8 : 48, Ra'ad 13 : 67, al-Hajj 22 : 40, Hasyr 59 : 2, 8, al-Ahzab 33 : 27. Dan kata-kata ‫ ﺍﻟﺪﻭﺍﺋﺮ‬. ‫ ﺩﺍﺀﺭﺓ‬. ‫ ﺩﻳﺎﺭﺍ‬terdapat dalam Nuh 71 : 26, al-Maidah 5 : 55, al-Taubah 9 : 99, al-Fath 48 : 6. 21 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2002, cet-4, vol 5 hal 245. 39

Dalam hadits disebutkan :

٢٢

‫ ﺃﻥ ﻧﺒﻴﺎ ﻣﻦ ﺍﻻﻧﺒﻴﺎﺀ ﺃﻣﺮ ﺑﻘﺮﻳـﺔ ﺍﻟﻨﻤـﻞ ﻓﺄﺣﺮﻗـﺖ‬kata Qaryah di sini

merupakan tempat tinggal dan rumahnya. Jamaknya Qura'. Qaryah itu merupakan tempat tinggal, bangunan, maupun bumi yang mendatangkan hasil, dan terkadang kata ini disebutkan untuk al-Mudun (Kota). 23 Kata Qaryah ini dalam al-Qur'an ditulis dengan Qaryah, al-Qaryah, alQaryatain, al-Qurâ, Qurâ, Qaryatuka, Qaryatuna, dan Qaryatukum. Kata Qaryah dalam al-Qur'an disebutkan sebanyak 55 kali yang tersebar pada 53 ayat dan terliput dalam 25 surat.24 37 kali diantaranya dalam bentuk tunggal, 1 dalam bentuk mutsanna dan 17 kali dalam bentuk jamak.25 3. al-Madînah Lisan al-Arab menjelaskan kata Madinah merupakan kuatnya suatu bangunan di tengah atau pusat bumi. Setiap bumi yang berdiri bangunan secara kokoh di tengah-tengahnya maka ia merupakan madinah (kota). Nisbah 22

. Hadits ini berasal dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Jihâd wa al-Sîr, bab Izhâ Haraka al-Musyrik al-Muslim Hal Yuharriq, hadits ke 2796. hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-Nasa’i, Abi Dawud, Ibn Majah dan Ahmad. 23 . Ibn Manzhur, Lisan al-Arab…,Vol 15, hal. 177. 24 . Alami Zâdah Faidh Allah al-Husni, Fath al-Rahmân…, hal 362-363. 25 . Susunan lebih lengkapnya adalah sebagai berikut, berawal dari kata ‫ ﻗﺮﻱ‬kemudian

menjadi kata ‫ ﻗﺮﻳﺔ – ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ‬yaitu terdapat pada : Yunus 10 : 98, al-Baqarah 2 : 58, 259, al-An'am 6 : 123, alA'raf 7 : 4, 94, 161, 163, al-Hijr 15 : 4, al-Syu'ara 26 : 208, Isra 17 : 16, 58, al-Kahfi 18 : 77, al-Anbiya 21 : 6, 11, 74, 95, al-Hajj 22 : 45, 48, al-Furqan 25 : 40, 51, al-Qashash 28 : 58, Saba 34 : 34, al-Zukhruf 43 : 23, Muhammad 47 : 13, al-Thalaq 65 : 8, al-Nahl 16 : 112, al-Naml 27 : 34, al-Nisa 4 : 75, al-Ankabut 29 : 31, Yasin 36 : 13, Yusuf 12 : 82. Kata-kata ‫ ﺍﻟﻘﺮﻱ‬. ‫ ﻗﺮﻱ‬. ‫ ﺍﻟﻘﺮﻳﺘﲔ‬terdapat pada : al-Zukhruf 43 : 31, Saba 34 : 18, al-Hasyr 59 : 14, al-An'am 6 : 92, al-Syura 42 : 7, al-An'am 6 : 131, al-Qashash 28 : 59, al-A'raf 7 : 94, 96, 97, 101, Hud 11 : 100, 102, 117, Yusuf 12 : 109, al-Kahfi 18 : 59, al-Ahqaf 46 : 27, al-Hasyr 59 : 7. Kata-kata ‫ ﻗﺮﻳﺘﻜﻢ‬. ‫ ﻗﺮﻳﺘﻨﺎ‬. ‫ ﻗﺮﻳﺘﻚ‬terdapat pada Muhammad 47 : 13, al-A'raf 7 : 88, 82, al-Naml 27 : 56. 40

kepadanya disebut madiniyyi (Orang kota), jamaknya adalah madain dan mudun. 26 Kata Madinah dalam al-Qur'an disebutkan sebanyak 15 kali yang tersebar pada 15 ayat dan terliput dalam 10 surat.27 ١٢ kali diantaranya dalam bentuk tunggal dan ٣ kali dalam bentuk jamak.28 Kata Madinah dalam alQur'an ditulis dengan al-Madinah dan al-Madâin. Selain Madinah itu sendiri sebagai nama kota.29 Kota atau negara-kota, dalam bahasa Arab memang disebut sebagai madînah, jamaknya mudun atau madâ’in. Di zaman lalu dan di negara-negara yang sedang berkembang, kota merupakan gelaja yang sangat menonjol dari lingkungan sekitarnya. Kota adalah tempat penduduk berdagang. Sebuah kota bisa dimulai dari sebuah pasar atau sebuah tempat persinggahan. Di tempat persinggahan itulah orang menyediakan pelayanan jasa. Karena itu maka kota adalah pusat pelayanan jasa.30 4. al-Wathan

26

. Ibn Manzhur, Lisan al-Arab ... , vol 13 hal 402. . Alami Zâdah Faidh Allah al-Husni, Fath al-Rahman…, hal 408 28 . Susunan lebih lengkapnya adalah sebagai berikut, kata-kata ‫ ﺍﳌﺪﺍﺋﻦ‬. ‫ ﺍﳌﺪﻳﻨﺔ‬terdapat pada alA'raf 7 : 110, 122, Yusuf 12 : 30, al-Hijr 15 : 67, al-Kahfi 18 : 19, 83, al-Naml 27 : 48, al-Qashash 28 : 15, 18, 20, Yasin 36 : 20, al-Ahzab 33 : 60, al-Munafiqun 63 : 8, al-Syu'ara 26 : 36, 54. 29 . M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an, …. Hal 326. 30 . M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Hal 336. 27

41

Wathan artinya tempat yang didiami, yaitu dihuni oleh manusia dan menjadi tempatnya, jamaknya adalah Authân.31 kata Authanahu artinya mengambil tempat, dikatakan ‫ ﺃﻭﻃﻦ ﻓﻼﻥ ﺃﺭﺽ ﻛـﺬﺍ ﻭﻛـﺬﺍ‬artinya ia mengambil bumi sebagai tempat tinggalnya untuk menetap.32 Kata Mauthin adalah Maf’ilun dari Wathan. Mauthin adalah tempat terjadinya peperangan. Jamaknya adalah Mawâthin.33 Kata Mawâthin dalam alQur'an disebutkan hanya satu kali saja, yaitu pada surat al-Taubah ayat 25 sebagai berikut :

Artinya : Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di medan peperangan yang banyak, dan saat (peperangan) Hunain, di waktu kamu menjadi bangga karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kamu sedikit pun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit oleh kamu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. (Qs al-Taubah 9 : 25) 5. al-Ardh

31

. Ibn Manzhur, Lisan al-Arab …., Juz 15, hal 338. . Ibid. 33 . Ibid. 32

42

Kamus Lisan al-Arab menjelaskan ‫ ﺍﻻﺭﺽ‬adalah bumi yang ada manusia, asalnya berbentuk Muannats, yaitu Ardhatun, tetapi tidak populer. dalam alTanzil (al-Qur'an) al-Ardh disebutkan dalam ayat ‫ ﻭﺍﱄ ﺍﻻﺭﺽ ﻛﻴﻒ ﺳﻄﺤﺖ‬٣٤ Kata al-Ardh dalam al-Qur'an disebutkan sebanyak 461 kali yang tersebar pada 461 ayat dan terliput dalam 80 surat, sebagai bentuk mufrad (tunggal) dan tidak pernah muncul dalam bentuk jamak. Kata ’Ardh berarti bumi.35 Kata al-Ardh dalam al-Qur'an ditulis dengan al-Ardhu sebanyak 34 ayat. al-Ardha sebanyak 86 ayat, al-Ardhi sebanyak 331 ayat, ardhan sebanyak 2 ayat, Ardhikum sebanyak 3 ayat, ardhina 3 ayat, Ardhahum 1 ayat dan Ardhî 1 ayat. 36 Dari paparan padanan kata-kata al-Balad di atas, penulis melihat dan menyimpulkan bahwa ada benang merah yang menyambungkan makna satu kata dengan kata lainnya, yaitu semuanya menunjukkan tempat, sehingga dapat dikatakan menetap tetap pada suatu tempat.

34

. Ibn Manzhur, Lisan al-Arab... juz 1, hal 117. . Ensiklopedi al-Qur’an..., hal 73. 36 . Muhammad Fu'ad 'Abd al-Baqi', al-Mu'jam al-Mufahras Li al-Fâzh ..., Hal 26-33. 35

43

BAB III PENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-BALAD DALAM FÎ ZHILÂL AL-QUR'ÂN DAN AL-MISHBÂH A. Penafsiran Sayyid Quthb 1. Perjalanan Hidup Sebelum menerangkan penafsiran Sayyid Quthb pada ayat-ayat al-Balad, terlebih dahulu penulis sajikan sepintas kilas peristiwa penting dan perjalanan hidup Sayyid Quthb. Penulis tidak menyajikan secara panjang lebar sejarah kehidupan Sayyid Quthb karena sudah banyak yang mendokumentasikannya. Sayyid Quthb bernama lengkap Sayyid bin Quthb bin Ibrâhîm lahir dari keluarga petani di desa Musya, Provinsi Asyut, atau juga dikenal dengan nama Balad al-Syaikh Abd al-Fattah pada tanggal 9 Oktober 1906.1 Pendidikan Sayyid Quthb dimulai pada usia enam tahun ketika orang tuanya memilih mengirim dia ke sekolah dasar modern (madrasah) selain ke sekolah al-Qur’an tradisional (Kuttab) dan selesai pada tahun 1918. Pada usia 10 tahun ia berhasil menghafal al-Qur’an. Pada tahun 1929, oleh pamannya Sayyid Quthb dimasukkan ke Darul Ulum. Di sini ia bersentuhan dengan kepustakaan Barat dan mengakrabinya. Pada institusi ini Sayyid Quthb berkenalan dengan Abbas Mahmud al-‘Aqqad,

1

. Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi: Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb, Bandung : Pena Merah, 2004, hal 47. lihat David Sagiv, Islam Otentitas Liberalisme, Yogyakarta : LKiS, 1997, hal 39. 44

Thaha Husain dan Ahmad Zayyat yang berhaluan Barat. Mereka sangat berpengaruh pada pemikiran Sayyid Quthb di kemudian hari.2 Setamatnya dari Darul Ulum pada 1933 dengan gelar B.A. bidang pendidikan, Sayyid Quthb ditunjuk sebagai guru bahasa Arab pada sekolah pemerintah. Dalam kapasitas itu, ia mengajar setahun di Bani Sweif, setahun di Dumyat, dua tahun di Kairo, dan dua tahun di Hulwan. Di akhir 1930-an, Sayyid Quthb terdaftar pada bagian administrasi dan teknis pada Kementrian Pendidikan Kairo, di mana ia tinggal sampai 1952 atau 1953. Aktivitas-aktivitas Sayyid Quthb membuatnya disejajarkan dengan para pemuka Mesir seperti al‘Aqqad, Thaha Husain, Musthafa Sadiq al-Rafi’i, Ahmad Amin dan Ibrahim Abd al-Qadir al-Mazini. 3 Tahun 1948, Sayyid Quthb ‘dikirim’4 ke Amerika Serikat untuk belajar administrasi pendidikan di Washington D.C. dan California. Tepatnya ia belajar di Wilson’s Teacher’s College (kini bernama Universitas Distrik Columbia), di lingkungan Universitas Northern Colorado, tempat ia memperoleh gelar M.A. dalam bidang pendidikan, dan Universitas Stanford.5

2

. Adnan A. Musallam, Prelude to Islamic Commitmen ; Sayyid Quthb’s Literaty and Spiritual Orientation, 1932-1938, dalam The Muslim World. hal 179. 3 . Adnan A. Musallam, Prelude to Islamic Commitment…, hal 183. 4 . Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin, Jakarta : Serambi, 2002, hal 117-118. 5 . John L. Esposito (ed.), Enskilopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung : Mizan, 2001, jilid 5, hal 70. 45

Pada tahun 1950-an Sayyid Quthb kembali ke Mesir, dan ia menolak kembali ke kementriannya sekaligus manampik tawaran promosi menjadi penasehat di Kementrian Pendidikan.6 Pada tahun 1955 ia dituduh melakukan subversif dalam bentuk agitasi anti pemerintah dan divonis 15 tahun kerja paksa.7 Sayyid Quthb baru dibebaskan pada tahun 1964 di rumah sakit penjara, itu pun berdasarkan intervensi Presiden Irak, Abdussalam Arif. Selama dalam tahanan,

Sayyid

Quthb

melahirkan

karya-karya

yang

membuatnya

termasyhur. Di penjaralah lahir dan berkembang gagasan tentang perlunya revolusi total, bukan semata-mata pada sikap individu, namun juga dalam struktur negara. Hasil dari segala perenungan yang dituangkannya dalam tulisan adalah lahirnya Fî Zhilâl al-Qur’ân dan karya finalnya, Ma’âlim fî alTharîq (1964). Kurang dari setahun kemudian, Sayyid Quthb kembali dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan yang lebih serius; bersekongkol hendak menumbangkan rezim. Sebagai bukti adalah buku-buku karya tulisnya. Akhirnya Sayyid Quthb divonis hukum gantung. Pada 29 Agustus 1966 Sayyid Quthb syahid di tiang gantungan dan dikuburkan dalam makam tanpa nisan.8 Saat itu, Sayyid Quthb berusia 60 tahun. Syahid dalam eksekusi menjadikan

6

. Sayyid Quthb, Mengapa Saya Dihukum Mati?, Bandung : Mizan, 1993, Hal 15. . Dikutip oleh Mahdi Fadhulullah, Titik Temu Agama dan Politik : Analisa Pemikiran Sayyid Quthb, Solo : Ramadhani, 1991, hal 29. 8 . Chales Tripp, Sayyid Quthb : Visi Politik…, hal 165. 7

46

sejarah kehidupan Sayyid Quthb rambu yang kuat dengan tambahan kekuatan dan daya tarik, yang nantinya meningkat sehingga mampu menjangkau khalayak internasional.9 Situasi sosial-politik pada masa Sayyid Quthb terkait erat dengan situasi Mesir saat itu yang berada dibawah bayang-bayang Inggris. Selama abad ke19, peruntungan politik dan ekonomi Mesir sangat erat dengan Eropa, pada awal 1800-an, Mesir mengekspor kapas ke Eropa dalam jumlah besar.10 Pada tahun 1922, diproklamirkanlah kemerdekaan Mesir. Namun demikian, tancapan kuku kekuasaan Inggris dalam politik masih begitu terasa.11 Bagi masyarakat Mesir, meskipun Deklarasi 1922 merupakan sebuah pencapaian nyata, kontrol administrasi sebagian besar masih di luar kekuasaan mereka.12 Dominasi Inggris tidak hanya di bidang politik tapi juga ekonomi. Dominasi ekonomi Inggris membuatnya akrab dengan golongan elit Mesir (Basy) yang berada di satu jalur kepentingan. Hal ini melahirkan sebuah lapisan tersendiri pada masyarakat Mesir yang hanya berisi orang-orang yang sangat kaya di tengah berjuta-juta penduduk Mesir yang justru berada di bawah garis kemiskinan. Kelompok miskin ini adalah petani yang tidak punya

9

. Roxanne L. Euben, Musuh dalam Cermin…, hal 121. . David Commins, Hasan al-Banna, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Jalan Baru Islam, Bandung : Mizan, 1998, hal 126-127. 11 . Hamdan M. Basyar, Bagaimana Militer Menguasai Mesir? hal 85. 12 . M.W. Daly (ed.), the Cambridge History of Egypt, vol 2. New York : Cambridge University Press, 1998, hal 251. 10

47

tanah dan bermigrasi ke kota. Akumulasi penduduk yang tidak berimbang di kota

membuat peta

kependudukan berubah dan persoalan semakin

kompleks.13 Di tengah kondisi carut-marut Mesir, muncul Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim), sebuah organisasi kemasyarakatan yang didirikan oleh Hasan al-Banna pada tahun 1928. Organisasi ini bertujuan menjadikan negara Islam sebagai sumber inspirasi kehidupan masyarakat Mesir, termasuk kehidupan berpolitik. Di bawah pimpinan Hasan al-Banna yang terkenal kejujuran, kebijaksanaan, dan kemasyhurannya Ikhwanul Muslimin semakin berkembang. Sayyid Quthb adalah salah seorang anggotanya. Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’an yang ditulis dalam rentang waktu antara tahun 1952 sampai 1965 tidak ditulis untuk mengisi waktu luang dan penulisnya juga tidak mengasingkan diri dari masyarakat ketika menulis, tetapi ia menulis disela-sela kesibukannya dalam aktivitas dakwah di masyarakat. Tentunya, aktivitas yang dijalani penulisnya memberikan pengaruh atas isi tafsirnya. Pergulatannya bersama Ikhwanul Muslimin menghadapi rezim yang berkuasa di Mesir membuat isi tafsir ini penuh dengan seruan perjuangan dan pergerakan. Pada masa penahanan, Sayyid Quthb mendapatkan berbagai siksaan hinggga ia dipindahkan ke rumah sakit penjara. Di situlah ia mendapatkan 13

. David Commins, Hasan al-Banna, hal 127. 48

sarana tulis menulis yang kemudian dapat meneruskan penulisan tafsir Fî Zhilâl al-Qur’an. Ketika Sayyid Quthb melihat kembali juz-juz pertama dari Fî Zhilâl al-Qur’an yang ia tulis dengan Manhaj Fikri Islami (Metode Pemikiran Islami) dan melihat kurang adanya pembekalan dari sisi pergerakan tarbiyah yang dibutuhkan dalam kehidupan, timbul keinginan pada dirinya untuk merevisi dan membenahi juz-juz sebelumnya. Ia pun mulai melakukan revisi atas tafsirnya itu. Namun, keinginannya untuk melakukan revisi hingga juz 27 tidak terlaksana karena ketika revisi itu baru sampai juz 13 pemerintah telah menjatuhkan hukuman mati kepadanya.14 Pemilihan judul tafsir oleh Sayyid Quthb dengan nama Fî Zhilâl alQur’ân yang secara literal berarti dalam naungan al-Qur’an, tentu dengan penuh pertimbangan. Dalam muqaddimah edisi pertama, Sayyid Quthb menyatakan bahwa judul ini tidak dibuat-buat, judul ini mencerminkan suatu hakikat yang dialaminya bersama al-Qur’an dan memberikan kedamaian pada dirinya.15 Baginya hidup di dalam naungan al-Qur’an merupakan suatu kenikmatan

yang

akan

mengangkat

umur,

memberkatinya

dan

mensucikannya; suatu kenikmatan yang tidak akan diketahui kecuali oleh

14 15

. Shalah ‘Abdul Fattah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, hal 69. . Dikutip dari al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, hal 60. 49

orang yang telah merasaknnya.16 Dengan judul ini, menurut al-Khalidi, Sayyid Quthb hendak menyatakan bahwa sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an itu mempunyai naungan yang rindang di balik makna-maknanya; di dalam naungan ini banyak terdapat ispirasi, petunjuk dan bimbingan yang harus diperhatikan. Inspirasi, petunjuk dan bimbingan ini tidak dapat diketahui dengan masuk dan berada dalam naungan itu dan hidup di dalamnya.17 Dengan keadaan dan perasaan seperti itulah Sayyid Quthb menafsirkan al-Qur’an. Keadaan dan perasaan seperti ini hanya dapat dicapai setelah interaksi yang lama dan mendalam dengan al-Qur’an. Sayyid Quthb sendiri telah menjalaninya sepanjang hidup sebagaimana yang digambarkan oleh Muhammad Quthb ketika menyatakan tentang tafsir ini sebagai kitab yang dialami sendiri oleh penulisnya dengan jiwa, pikiran, perasaan dan eksistensinya.18 Sebagaimana kebanyakan kitab tafsir, Sayyid Quthb menafsirkan alQur’an ayat demi ayat, surat demi surat dari juz pertama hingga juz terakhir yang dimulai dari Surat al-Fâtihah hingga surat al-Nâs. Tafsir yag disusun dengan cara ini disebut tafsir tahlili. Tentang corak penafsirannya, beberapa penulis mengkategorikannya ke dalam

tafsir

al-Adab

al-Ijtima’i

(Tafsir

16

yang

berorientasi

sastra

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’an, Beirut : Dâr al-Arabiyah, 1952, Juz 1, hal 11. . Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, hal 116. 18 . Muhammd Quthb, kata pengantar dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân, hal. w 17

50

dan

kemasyarakatan). Corak tafsir yang demikian menitik-beratkan penjelasan alQur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayatayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dan menonjolkan tujuan utama al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan manusia serta mengkaitkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam

masyarakat

dan

perkembangan

dunia.19

Namun,

al-Khalidi

mengkategorikan corak penafsiran Fî Zhilâl al-Qur’ân dengan corak baru yang diistilahkan manhaj haraki (Pendekatan Pergerakan). Suatu pendekatan yang menitiberatkan penjelasan al-Qur’an dari sisi pergerakan, tarbiyah dan dakwah.20 Mengenai sistematikan penulisan, Sayyid Quthb menyusun tafsirnya dengan sistematika sebagai berikut : Pertama, pengenalan dan pengantar terhadap surat. Sebelum masuk pada penafsiran surat, Sayyid Quthb memaparkan pengantar dan pengenalan terhadap surat, memberikan ilustrasi kepada pembaca mengenai surat yang akan dibahas secara global, menyeluruh dan singkat. Dalam pengantar ini diterangkan status surat (Makiyyah atau Madaniyyah), korelasi (Munasabah) dengan surat sebelumnya, menjelaskan objek pokok surat, suasana ketika diturunkan, kondisi umum umat Islam saat itu, maksud dan tujuan surat serta metode penjelasan materinya. Pengenalan 19

. Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr al-Mufassirûn, Kairo : Maktabah Wahbah, 1995, vol II, hal 588. 20 . Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan, hal 24. 51

dan pengantar ini dapat disebut sebagai sebuah tafsir tematik yang ringkas dan menyeluruh pada suatu surat.21 Kedua, pembagian surat-surat panjang menjadi beberapa sub tema. Setelah memaparkan pengantar dan pengenalan surat, ayat-ayat dalam surat yang akan dibahas dikelompokkan menjadi beberapa bagian secara tematik. Seperti dalam surat al-Baqarah, Sayyid Quthb membaginya menjadi sub tema seperti ; pertama, mulai ayat 1-29, kedua, ayat 30-39, ketiga, ayat 40-74; dan seterusnya. Ketiga, penafsiran secara Ijmâli (global) terhadap sub tema. Penafsiran ini menuturkan secara ringkas tentang kandungan yang terdapat dalam sub tema tersebut. Keempat, penafsiran ayat demi ayat secara rinci. Penafsiran secara rinci ini bertujuan mengajak pembaca untuk berinteraksi langsung dengan alQur’an dan hidup dalam suasana ketika al-Qur’an diturunkan serta mengambil pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.22 Dalam menulis tafsir, Sayyid Quthb tidak semata-mata mendasarkannya pada pikiran sendiri tanpa menggunakan referensi. Akan tetapi referensi yang digunakan Sayyid Quthb bersifat Sekunder. Artinya, referensi tersebut digunakan untuk menguatkan penafsirannya atas suatu ayat. Referensi ini 21

. Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidi, al-Tafsîr al-Maudhû’I bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, Jordan : Dâ al-Nafâ’is, 1997, hal 1. 22 . Shalah ‘Abdul Fattah Al-Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan, hal 55. 52

mencakup : materi tafsir,23 materi sîrah (sejarah),24 materi hadits,25 sejarah kaum muslim dan dunia Islam masa kini,26 dan materi ilmiah.27 Dengan adanya referensi ini, cukup kiranya untuk membuktikan bahwa tafsir yang ditulis oleh Sayyid Quthb tidak seperti yang dituduhkan Tripp bahwa penulisan tafsir ini tidak merujuk kepada otoritas lain yang sudah mapan dan hanya sekedar reaksi dan refleksi pemikiran Sayyid Quthb semata28 atau seperti yang dikatakan Jansen bahwa tafsir ini hanya sekedar kumpulan khutbah.29 2. Penafsiran Sayyid Quthb Ayat-ayat al-Balad dilihat dari kandungan makna dan maksudnya, secara umum penafsiran atas ayat-ayat itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : Kelompok pertama dengan tema wilayah atau negeri yang bersifat umum terdiri dari 6 Ayat, yaitu Qs Qâf 50 : 11; Qs al-Furqan 25 : 49; Qs al-Fathir 35 : 9; Qs al-Zukhruf 43 : 11; dan Qs al-A’raf 7 : 57-58. Kelompok kedua 23

. Kitab Tafsir yang dijadikan Referensi diantaranya adalah Tafsir al-Thabâri, Tafsir Ibn Katsîr, Tafsir al-Baghâwi, Tafsîr al-Qurthubi, Tafsir al-Kasysyâf, dan Tafsir al-Manâr. Lihat al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, hal 178-215. 24 . Seperti Sîrah Ibn Hisyâm dan Jawâmi’ al-Sîrah, lihat dalam Ibid, hal 214-220. 25 . Seperti al-Kutub al-Sittah, Muwaththa’ Mâlik, Musnad Ahmad, lihat dalam Ibid, hal 223-224. 26 . Diantaranya Târîkh al-Umam wa al-Mulûk karya al-thabari, al-Bidâyah wa al-Nihâyah karangan Ibn Katsir, dan Hadlârah al-‘Arab karya Gustave Lebonn. Lihat dalam Ibid, hal 228-229. 27 . Seperti Allah Yatajallâ fî ‘Ashr al-‘Ilm yang disusun oleh ilmuwan Amerika dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh al-Damardas ‘Abdul Majid Sarhan. Lihat dalam Ibid, hal 233. 28 . Menurutnya, penulis yang dijadikan rujukan oleh Sayyid Quthb adalah tokoh abad kedua puluh seperti Abu al-A’la al-Maudhudi dan ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad dan tidak mengutip pendapat ulama klasik. Lihat Tripp, Sayyid Quthb, hal 160. 29 . JJG. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Yogya : Tiara Wicara, 1997, hal 128. 53

dengan tema kota atau negeri kota yang tertentu, terdiri dari 7 ayat, yaitu Qs al-Fajr 89 : 8, 11; Qs Qâf 50 : 36; Qs Saba’ 34 : 15; Qs al-Mu’min 40 : 4; Qs al-Nahl 16 : 7; dan Qs Ali Imran 3 : 196. Dan kelompok ketiga dengan tema kota atau negeri kota yang bersifat khusus, terdiri dari 6 ayat, yaitu Qs al-Tin 95 : 3; Qs al-Balad 90 : 1-2; Qs al-Naml 27 : 91; Qs Ibrahim 14 : 35; dan Qs al-Baqarah 2 : 126. a. Tafsir pada ayat-ayat bertema wilayah atau negeri yang bersifat umum. Kata-kata yang dipergunakan dalam enam ayat tema ini adalah baldah, balad dan al-Balad. Kata baldah terdapat pada Qs Qâf 50 : 11; Qs al-Furqan 25 : 49; Qs al-Zukhruf 43 : 11. Kata balad terdapat pada Qs al-Fathir 35 : 9 dan Qs alA’raf 7 : 57. Sedangkan kata al-Balad terdapat pada Qs al-A’raf 7 : 58. Kata ( ‫ ) ﺒﻠـﺩﺓ‬baldah ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâl alQur’ân dengan ( ‫ ) ﺍﻻﺭﺽ‬bumi. Bumi di sini maksudnya adalah tanah, sebab bumi menurutnya itu merupakan tempat tumbuhnya biji buah, benih dan pohon kurma.30 Tanah di sini oleh Sayyid Quthb kemudian dianggap sebagai simbol dari hati.31 Karena tanah dengan aneka karakter, jenis dan proses yang menimpanya sama dengan karakter, jenis dan proses yang menimpa hati. Penyimbolan tanah dengan hati ini ditujukan untuk memberikan pemahaman

30 31

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, ... juz 6, hal 3361. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, …Juz 3, Hal 1300. 54

dan sentuhan pada hati manusia, karena hati dianggap Sayyid Quthb sebagai penggerak dan ruh dalam kehidupan manusia. Penafsiran Sayyid Quthb ini dapat terlihat pada tafsir ayat-ayat berikut, diantaranya tafsir pada ayat-ayat yang mengandung kata baldah ini, seperti Qs Qâf 50 : 11 berikut :

Artinya : Untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (kami), dan kami menghidupkan dengannya tanah yang mati. Seperti itulah kebangkitan. (Qs Qâf 50 : 11) Secara garis besar, ayat-ayat itu oleh Sayyid Quthb dihubungkan dengan alam. Alam dalam hal ini langit, bumi (tanah), gunung-gunung, air yang

turun

dari

langit,

diungkapkan

sebagai

perumpamaan,

yaitu

perumpamaan bagi orang-orang musyrik yang ingkar, dengan cara menyentuh qalbu (hati) mereka atas fenomena alam yang terjadi. Walau pun alam merupakan perumpamaan, tetapi penjelasannya didasarkan pada peristiwa yang sebenarnya. Sayyid Quthb menerangkan bahwa berawal dari keingkaran kaum musyrikin atas ba’ats dan keheranan akan cerita dan pembahasan tentangnya, namun al-Qur’an tidak menghadapi keingkaran mereka, lalu dilakukan satu penanganan. Tetapi, al-Qur’an menghadapi qalbu (hati) mereka yang menyimpang supaya kembali kepada kebenaran, meluruskan hal-hal yang bengkok, dan berupaya sejak dini untuk membangunkan qalbu dan

55

menggetarkannya agar terbuka untuk menerima aneka hakikat yang besar di dalam sulbi alam nyata ini.32 Hal yang mampu menyentuh hati semua manusia itu antara lain ia nyatakan : Maka pandangan mereka diarahkan ke langit, ke bumi, gununggunung, air yang turun dari langit, pohon kurma yang tinggi, dan kebun serta tanam-tanaman yang disampaikan dengan ungkapan yang sejalan dengan karakteristik kebenaran yang kukuh, menghujam, dan indah. Keindahan ciptaan, hikmah, dan keteraturan yang ada di balik semua itu merupakan pelajaran yang dapat dimanfaatkan oleh setiap hamba yang kembali, yaitu hamba yang pulang kepada Tuhannya dengan segera. 33 Point-point sentuhan diambil dari sesuatu yang sederhana, yaitu melalui alam semesta sebagai kitab kebenaran yang terbuka, yang dapat dibaca oleh setiap bahasa, dan dapat dipahami oleh segala sarana. Dalam kitab makrokosmos itu Allah menggelar lembaran-lembaran kebenaran tentang menghidupkan dan membangkitkan manusia. Kebenaran yang dapat diambil dari alam semesta itu adalah air yang turun dari langit merupakan tanda bagi penghidupan qalbu yang mati, sebelum ia menghidupkan bumi yang mati. Karena hujan tidak hanya menyenangkan anak-anak dan membuat hatinya berbunga-bunga. Tetapi, hati orang dewasa yang peka pun merasa senang

32 33

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz 6, hal 3360. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz 6, hal 3361. 56

dengan pemandangan itu dan hatinya bertepuk tangan seperti halnya qalbu anak-anak yang masih bebas dan fitrahnya relatif baru. Allah mensifati air dengan keberkahan. Air berada di tangan Allah dan sebagai sarana untuk menumbuhkan aneka biji buah, benih, dan pohon kurma. Allah telah menyentuh qalbu dengan menyajikan rangkaian proses yang terjadi disekitar manusia secara terus menerus dan berulang-ulang serta akrab bagi manusia sebagai gambaran dan pembelajaran yang sangat popular dan mudah.34 Air dan karakteristiknya sebagai bagian dari alam dijelaskan oleh Sayyid Quthb, yaitu : kehidupan di muka bumi ini seluruhnya berasal dari air hujan, secara langsung, atau melalui kanal dan sungai yang mengalir di muka bumi. Juga dari sumber air, mata air dan sumur yang mengalirkan air dari dalam tanah yang pada dasarnya berasal dari air yang merembes ke perut bumi dari hujan tersebut. Air menjadi rahmat dari Allah untuk manusia. Manusia di mana pun mengharap-harap turunnya hujan sambil merasakan bahwa kehidupan mereka seluruhnya tergantung pada hujan tersebut. Mereka juga menunggununggu angin yang mereka ketahui membawa awan. Mereka bergembira dengan adanya angin yang menandakan akan turunnya hujan itu, dan

34

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân ..., Juz 6, hal 3360-3361. 57

padanya mereka merasakan rahmat Allah –jika mereka adalah orang-orang yang hatinya dibukakan untuk beriman oleh Allah-.35 Air hujan yang diturunkan bersifat bersih dan suci. Hal ini memberikan nuansa tersendiri dalam kehidupan. Nuansa kebersihan dan kesucian, karena Allah menghendaki kehidupan yang bersih dan suci. Dia mensucikan permukaan bumi (tanah) dengan air hujan yang suci sehingga membangkitkan kehidupan yang bersih dan suci dari kematian, yaitu memberi minum manusia dan hewan ternak yang banyak. 36 Selanjutnya Sayyid Quthb menyatakan bahwa air yang diturunkan dari langit itu diketahui dan dilihat oleh semua manusia. Namun kebanyakan manusia melihat kejadian yang menakjubkan itu tanpa terbangkitkan hatinya dan tanpa tergetar batinnya, karena ia sudah terbiasa dan berulang-ulang melihat hal itu. Sedangkan Nabi Muhammad saw menerima butiran-butiran hujan itu dengan penuh cinta, penyambutan dan penerimaan, dan kegembiraan. Karena air hujan datang kepada Nabi Muhammad dari Allah. Hal ini mengingatkan bahwa hatinya yang hidup itu memahami ciptaan Allah yang maha hidup dalam butir-butir hujan ini, dan melihat tangan-Nya yang

35 36

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân …, juz 5, hal 2570. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân …, juz 5, hal 2570. 58

maha pencipta. Seperti itulah seharusnya hati yang bersambung dengan Allah.37 Air yang diturunkan telah ditetapkan kadarnya dengan teliti, sehingga tidak berlebihan yang bisa menyebabkan bumi ini menjadi tenggelam, juga tak kekurangan sehingga membuat bumi mengering dan kehidupan menjadi binasa. Semua itu sangat menakjubkan sehingga urgensinya dapat diketahui bagi kehidupan ini, dan menjaga kehidupan ini seperti yang dikehendaki Allah. Allah menghidupkan dengan air negeri yang mati, yaitu menghidupkan dari ketiadaan. Dan kehidupan itu mengikuti air, karena dari air-lah semua kehidupan itu berasal.38 Ini menunjukkan bahwa pada manusia untuk hidup sesuai dengan kadar kemampuannya, mengikuti aturan main, seimbang, sehingga mampu menciptakan keserasian hidup. Jika tidak melewati garisgaris ini, atau berlebihan maka konsekwensinya adalah ketidak-seimbangan yang akan menimbulkan kehancuran. Di sini Sayyid Quthb menyajikan ayat diatas sebagai rangkaian dari penggambaran alam semesta yang dapat dijadikan penyentuh qalbu, agar manusia yang ingkar kepada Allah dapat kembali sadar. Tanah yang mati simbol bagi hati yang mati, tanah yang mati tidak dapat menumbuhkan tanaman dan buah-buahan. Demikian juga dengan hati yang mati, ia tidak

37 38

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…, juz 5, Hal 3179. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…,Juz 5, Hal 3179. 59

dapat memberikan manfaat sedikit pun, bahkan keburukan yang ditimbulkan. Dengan perantaraan air hujan, tanah yang mati dapat hidup dan subur, sehingga dapat menumbuhkan berbagai tanaman yang bermanfaat bagi kehidupan. Demikian juga hati yang mati, dengan gambaran kitab alam semesta yang salah satunya adalah turunnya air hujan dari langit, diharapkan dapat memberi kesadaran sehingga hatinya menjadi hidup, kembali kepada aturan

Tuhan

yang

menciptakannya.

Sehingga

kehidupannya

dapat

memberikan manfaat bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Kata (‫ ) ﺒﻠـﺩ‬balad ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dengan tempat atau daerah, bahkan dicontohkan dengan padang pasir.39 Kata baladin Mayyitin oleh Sayyid Quthb ditafsirkan dengan Shahrâ’ (padang sahara) dan Jadbân (Tempat/ tanah yang tandus).40 Tempat di sini merupakan hal yang sebenarnya, yaitu daerah tempat terjadinya kehidupan –baik untuk tumbuhan, hewan dan manusia- yang terjadi dengan proses-proses alam. Terjadinya kehidupan di tempat ini oleh Sayyid Quthb ditujukan untuk menyentuh hati setiap manusia. Ayat-ayat yang mengandung kata balad ini, seperti Qs Fathir 35 : 9 berikut :

39 40

. Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al-Qur’ân …,Juz 5, hal 2929. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, …Juz 3, Hal 1299. 60

Artinya : Dan Allah yang mengirimkan angin, lalu ia menggerakkan awan, maka kami menghalaunya ke suatu negeri yang mati lalu kami hidupkan dengannya bumi setelah matinya, demikianlah kebangkitan. (Qs Fathir 35 : 9) Ayat-ayat dengan kata balad di sini konteksnya oleh Sayyid Quthb masih dihubungkan dengan fenomena alam. Bahkan keterangan proses terjadinya fenomena alam lebih diperjelas lagi, yaitu pemandangan angin yang menggerakkan awan dari lautan, awan panas yang merangsang terlahirnya uap. Sementara angin dingin yang membuat uap itu menjadi tebal hingga menjadi awan. Kemudian Allah menggerakkan awan itu dengan aliran udara di lapisan-lapisan udara yang berbeda. Sehingga ia bergerak ke kanan dan ke kiri sesuai yang dikehendaki Allah, dan kemana yang dia kehendaki untuk bergerak, beserta angin dan aliran udara itu, hingga akhirnya sampai ke tempat yang Dia kehendaki. Ke daerah yang mati, yang di takdirkan dalam ilmu Allah bahwa padanya akan lahir kehidupan dengan awan ini. Semua ini menandakan sebuah siklus kehidupan sebagai wujud kekuasaan Allah dalam fenomena alam. Air adalah pangkal kehidupan segala sesuatu di muka bumi. ‘lalu kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu’ dan terjadilah keanehan, yang

61

terjadi setiap saat namun manusia tak mengacuhkannya, berupa hal aneh yang menakjubkan. Tapi meski pun kejadian aneh itu terjadi setiap saat, namun mereka menafikan pembangkitan pada hari akhirat. Padahal, penghidupan itu terjadi di depan mata mereka di dunia. ‘Demikianlah kebangkitan itu’ dalam bentuk sederhana dan mudah. Tanpa komplikasi, dan debat yang jauh.41 Sifat manusia yang berlebihan, acuh dan tidak menghiraukan, adalah karakter yang dimaksudkan di sini. Walaupun pemandangan ini hadir dalam pembentangan dalil-dalil keimanan alam semesta dalam al-Qur’an. Karena ia adalah dalil yang realistis dan inderawi, yang tak dapat diingkari. Juga karena ia –dari segi lain- menggetarkan hati secara nyata, ketika hati itu mendengarkan sambil terjaga. Ia juga menyentuh perasaan dengan sentuhan yang memberi sugesti ketika perasaan itu merenunginya. Sayyid Quthb lebih banyak mengajak manusia untuk membuka hati dan pikirannya, dengan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam secara sederhana namun sangat rasional, sehingga ini menjadi argumentasi untuk beriman pada sang penciptanya. Di sini point keimanan merupakan intisari yang diinginkan oleh Sayyid Quthb dari setiap manusia, karena keimanan itu merupakan senjata dalam kehidupan. Dan keimanan ini menjadi

41

. Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al-Qur’ân …,Juz 5, hal 2929. 62

faktor bagi pembentukan karakteristik manusia di mana pun berada. Keimanan bagaikan air yang dapat menghidupkan negeri yang mati. Proses angin yang membawa awan berjalan sesuai dengan hukum Allah pada alam semesta, tetapi ia berjalan dengan hukum yang khusus. Kemudian Allah menghalau awan dengan kadar tertentu ke ‘daerah yang mati’ (Padang atau tanah tandus) kemudian Dia menurunkan air dari awan itu dengan kadar tertentu pula. Setelah itu mengeluarkan bermacam-macam buah-buahan dengan kadar tertentu yang semua itu terjadi sesuai dengan undang-undang yang diciptakan Allah dan sesuai dengan tabiat alam serta tabiat kehidupan.42 Dari penjelasan ini, karakter yang dapat diambil adalah kehidupan syarat dengan aturan dan undang-undang, karena hidup harus teratur dan serasi. Kata ( ‫ ) ﺍﻟﺒﻠـﺩ‬al-Balad yang terdapat dalam Qs al-A'raf 7 : 58 ditafsirkan dengan bumi atau tanah. Seperti ‫( ﺍﻟﺒﻠﺩ ﺍﻟﻁﻴﺏ‬tanah atau daerah yang baik) dan ‫ﺍﻟﺒﻠﺩ‬ ‫( ﺍﻟﺨﺒﺙ‬tanah atau daerah yang buruk). Al-Balad al-Thayyib (‫ )ﺍﻟﺒﻠﺩ ﺍﻟﻁﻴﺏ‬ditafsirkan dengan al-Qalb al-Thayyib.43 Hal ini didasarkan pada hadits Rasul saw yang menyerupakan al-Qalb dengan al-Ardhu (bumi) dan al-Turbah (tanah).44 Al-Balad

42

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, …Juz 3, Hal 1299. . Ibid, juz 3, hal 1300. 44 . Hadits Nabi Saw yang menggambarkan hal ini seperti hadits ‫ ﻓﻰ ﻗﻠﺒﮫ ﻣﺜﻘﺎل ﺣﺒﺔ ﺧﺮدل ﻣﻦ‬... ‫إﯾﻤﺎن‬hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Iman, Imam al-Tirmidzi dalam Kitab Fitan dan Ibn Majah dalam Kitab Fitan. 43

63

al-Khabits (‫ )ﺍﻟﺒﻠﺩ ﺍﻟﺨﺒـﺙ‬ditafsirkan dengan hati yang buruk diserupakan dengan bumi atau tanah yang tandus. Keduanya, hati dan tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman dan penghasil buah. Hati menumbuhkan niat dan perasaan, kesan dan tanggapan, arah dan tekad. Sesudah itu menimbulkan perbuatan dan bekas (ekses) dalam kehidupan nyata.45 Dan bumi tempat tumbuhnya

tanam-tanaman

yang

menghasilkan

buah-buahan

dengan

bermacam-macam rasa, warna, dan jenisnya. Petunjuk, ayat-ayat Allah, pelajaran, nasehat turun pada hati seperti turunnya air pada tanah. Jika hatinya baik ia seperti tanah yang subur, niscaya ia akan terbuka dan menerima, tumbuh dan berkembanglah kebaikan di dalamnya. Jika hati itu rusak dan buruk seperti tanah yang tandus, maka ia tertutup dan keras. Ia hanya berisi keburukan, kemungkaran, kerusakan, dan bencana. Ia menumbuhkan duri dan pohon-pohon yang mengganggu, sebagaimana halnya tanah yang tandus.46 Tanah dan hati dalam kondisi seperti ini menjadi sarana bagi kehidupan, sebab dalam hidup sarana dan prasarana menjadi prasyarat bagi keseimbangan hidup, yang dicita-citakan semua manusia. b. Tafsir pada ayat-ayat yang bertema kota atau negeri kota yang tertentu.

45 46

. Ibid, hal 1300. . Ibid, hal 1300. 64

Pada tema ini terdapat tujuh ayat, kata-kata yang dipergunakan dalam tema ini adalah al-Bilâd, baldah, dan balad. Kata al-Bilâd terdapat pada Qs al-Fajr 89 : 8, 11; Qs Qâf 50 : 36; Qs al-Mu’min 40 : 4; dan Qs Ali Imran 3 : 196. kata baldah terdapat pada Qs Saba’ 34 : 15. Dan kata balad terdapat pada Qs al-Nahl 16 : 7. Kata ( ‫ ) ﺍﻟـﺒﻼﺩ‬al-Bilâd ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâl alQur’ân dengan negeri. Negeri di sini adalah negerinya kaum tertentu, sebab dalam keterangan tafsirnya Negeri Saba’, Iram, Tsamud, ‘Âd, Fir’aun dan negeri kaum Luth menjadi contohnya. Negeri yang dijadikan contoh ini merupakan negeri yang secara lahiriah pernah ada di permukaan bumi, namun dihancurkan. Negeri-negeri itu seperti halnya negeri-negeri yang ada di zaman sekarang, keberadaannya sama dengan keberadaan negeri-negeri saat ini. Negeri-negeri itu ditampilkan oleh kata al-Bilâd dalam ayat-ayat alQur’an, menurut Sayyid Quthb hal itu untuk menjadi pelajaran bagi tiap manusia untuk dilihat dan direnungkan, sehingga dapat mendatangkan ketenangan, kesenangan dan kegembiraan pada hati. Ayat-ayat yang mengandung kata al-Bilâd ini, seperti Qs al-Fajr 89 : 8 dan 11 berikut :

Artinya : Yang belum pernah diciptakan di negeri-negeri lain. yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri. (Qs al-Fajr 89 : 8,11) 65

Ayat-ayat dengan kata ( ‫ ) ﺍﻟـﺒﻼﺩ‬al-Bilâd oleh Sayyid Quthb, secara garis besar menerangkan tentang karakter-karakter masyarakat terdahulu yang mendiami suatu negeri. Negeri-negeri ini kemudian dihancurkan karena kesewenang-wenangan mereka hingga menjadi runtuhan puing-puing. Karakter itu diungkapkan untuk menjadi Ibrah (pelajaran) bagi masyarakat berikutnya untuk dilihat dan direnungkan sehingga mampu menenangkan, menyenangkan dan menggembirakan hati, khususnya bagi orang-orang muslim. Sayyid

Quthb

menyatakan

bahwa

kesewenang-wenangan

yang

diterangkan itu untuk menenangkan, menyenangkan dan menggembirakan hati orang-orang yang beriman. Khususnya, mereka yang berada di Mekkah yang menghadapi kekejaman orang-orang yang zalim dan kekerasan para penguasa musyrik yang menentang dakwah Islam dan mengawasi para pelakunya.47 Dalam ayat dengan kata al-Bilâd ini, Allah mengumpulkan puing-puing kekuatan para diktator yang sudah dikenal oleh sejarah masa lalu, seperti puing-puing kaum Âd, yaitu kaum Iram. Mereka merupakan bangsa Arab pedalaman, yang berdiam di bukit-bukit pasir, di sebelah selatan jazirah Arab,

47

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…, juz 6, hal 3903. 66

di antara Hadramaut dan Yaman. Mereka adalah kaum Badui yang bertempat di tenda-tenda yang dipasang di atas tiang-tiang. Mereka adalah bangsa yang kuat dan keras. Juga kaum Tsamud, kaum yang berdiam di daerah bebatuan di sebelah utara Jazirah Arab di antara Madinah dan Syam. Mereka memotongmotong batu besar dan membangun gedung-gedung megah dengannya. Sebagaimana mereka juga membuat benteng-benteng dan gua-gua di gununggunung. Dan Fir’aun, yaitu Fir’aun yang zalim dan diktator pada zaman Nabi Musa.48 Mereka semua berbuat sewenang-wenang di dalam negeri, lalu mereka berbuat kerusakan di dalam negeri itu. Di belakang kesewenang-wenangan, tidak ada lagi sesuatu selain kerusakan. Maka, kesewenang-wenangan itu merusak orang yang berbuat sewenang-wenang. Hal ini sebagaimana ia juga merusak sesuatu yang berhubungan dan berkaitan dengannya dalam semua sisi kehidupan. Kesewenag-wenangan dan kerusakan ini akan menghalangi kehidupan

untuk

mendapatkan

kesejahteraan

dan

keselamatan

serta

kemakmuran pembangunan. Dengan demikian kekhalifahan manusia sama sekali tidak dapat ditegakkan di muka bumi.49 Karenanya Allah mengumpulkan puing-puing kekuatan para diktator yang sudah dikenal oleh sejarah masa lalu itu, kediktatoran para kaum itu 48 49

. Ibid. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân …, juz 6, hal 3904. 67

sudah melampaui batas, mereka telah menjadikan masyarakat sebagai budakbudak yang hina, yang selalu menjadi sasaran kemurkaan dan kemarahan yang keterlaluan. Sehingga, sirnalah rasa harga diri mereka sebagai manusia, dan rasa kebebasan mereka sudah tidak lagi dapat tumbuh dengan leluasa. Hilang kenormalan, cita-cita, harapan dan keinginannya untuk mencapai derajat yang tinggi. Kediktatoran mereka telah menghancurkan norma-norma, tata nilai, serta pola pikir dan pola pandang yang lurus. Karena, semua ini dianggap membahayakan bagi para diktator dan kediktatorannya. Maka, dibuatlah pemalsuan terhadap tata nilai, penyimpangan terhadap norma-norma, dan penyelewengan

terhadap

pola

pikir

supaya

mau

menerima

bentuk

kezalimannya yang amat busuk, dan mau melihatnya sebagai sesuatu yang dapat diterima dan ditolerir. Kehancuran para diktator itu merupakan ibrah (pelajaran) untuk dilihat dan direnungkan sehingga mampu menenangkan, menyenangkan dan menggembirakan hati orang-orang yang beriman.50 Ayat-ayat ini bagaikan nada akhir dari sebuah lagu yang mengulang alunan nada terkuat dengan sentuhan yang cepat, yaitu sentuhan sejarah dan puing-puing umat yang telah punah. Sentuhan ini mampu memberikan citra rasa bagi diri yang berbeda dengan cita rasa sebelumnya yang dibentangkan

50

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…, juz 6, hal 3903-3904. 68

dan dirinci pada surat-surat lainnya, ini merupakan salah satu keistimewaan al-Qur’an yang menakjubkan. Kebenaran yang diisyaratkan oleh surat-surat adalah kebenaran yang sama, tetapi kebenaran itu ditampilkan dalam sosok yang baru, yang berbeda dengan sosok yang pertama. Gambaran baru ini ditambah dengan dinamika umat terdahulu yang beraktivitas di berbagai Negara dalam rangka mencari penghidupan. Umat tersebut dipegang dalam genggaman, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan diri dan kabur dari genggaman itu. 51 Pada puing-puing umat terdahulu terdapat pelajaran, yaitu pelajaran bagi orang yang memiliki qalbu. Barang siapa yang tidak memperoleh pelajaran dari sentuhan ini, berarti qalbu-nya telah mati, atau dia sama sekali tidak dianugerahi qalbu. Tidak perlu qalbu, tetapi pelajaran dan nasehat itu cukup diraih dengan pendengaran yang menyimak kisah dengan seksama dan penuh kesadaran. Lalu kisah itu bereaksi di dalam diri seseorang. Begitulah adanya, karena jiwa manusia itu sangat peka terhadap puing-puing umat yang telah punah. Kesadaran dan pembukaan mata yang sedikit saja sudah memadai untuk menggelorakan ingatan dan gambaran inspiratif pada situasi yang menyentuh dan berpengaruh ini. 52

51 52

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân …, juz 6, hal 3366. . Ibid, Hal 3366. 69

Sayyid Quthb menyatakan bahwa hanya orang-orang kafirlah yang membantah ayat-ayat Allah. Dari sekian makhluk yang besar dan ada di alam, mereka yang berpaling. Jika mereka dibandingkan dengan keseluruhan wujud, keadaan mereka lebih lemah dan kecil dari pada seekor semut yang ada di bumi ini. Tatkala berdiri pada satu baris, mereka mendebat ayat-ayat Allah. Sementara itu, wujud lain yang lebih besar berdiri pada satu baris seraya mengakui pencipta alam semesta sambil bersandar kepada kekuatan yang Maha Perkasa dan Maha Menguasai. Dalam posisi ini, tempat mereka sudah dapat dipastikan dan persoalannya telah diputuskan, berapa pun kekuatan mereka, betapa pun sarana kekayaan, kemegahan dan kekuasaan telah mereka siapkan. Meskipun mereka pulang balik, berdinamika, memiliki kekayaan

dan

menikmati

kesenangan,

sebenarnya

mereka

menuju

kehancuran, kebinasaan, dan kerusakan. Akhir pergulatan sudah diketahui, yaitu pergulatan yang berlangsung antara kekuatan maujud dan penciptanya dengan kekuatan mereka yang lemah lagi miskin. 53 Telah berlalu sejumlah kaum dan golongan yang setipe dengan mereka. Kesudahan mereka memberikan inspirasi bagi setiap orang yang berdiri

53

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…, juz 5, hal 3069. 70

menantang kekuatan yang menggerus dan melumat setiap orang yang memanjakan dirinya ke dalam kemurkaan Allah.54 Sayyid Quthb menyatakan kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri adalah salah satu lambang kenikmatan dan kesenangan, lambang kedudukan dan kekuasaan, dan lambang sesuatu yang meresap dalam hati, yang dapat juga meresap dalam hati orang-orang mukmin, hanya saja mereka terhalang dan terintangi, bahkan mereka menghadapi gangguan dan pengorbanan, dan mereka harus berjuang menghadapai pengusiran. Semua yang dialami kaum mukminin itu merupakan penderitaan dan kesulitan, sementara para pemeluk kebatilan bernikmat-nikmat dan bersenang-senang. Terserap juga kesenangan dan kenikmatan itu dalam hati mayoritas manusia yang lalai, yang melihat kebenaran dan ahlinya selalu menderita, sedangkan kebatilan dan ahlinya dalam keselamatan dan kesenangan. Hal ini juga meresap dalam hati orang-orang yang sesat dan ahli kebatilan itu sendiri. Sehingga, mereka bertambah sesat, sombong, dan semakin menjadi-jadi dalam berbuat keburukan dan kerusakan. Ayat diatas datang sebagai sentuhan untuk kondisi-kondisi tersebut. 55 Kata ( ‫ ) ﺒﻠـﺩﺓ‬baldah ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dengan negeri yang berbentuk kerajaan, sebab Sayyid Quthb menerangkan Saba’ sebagai bangsa 54 55

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…, juz 5, hal 3069. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…,Juz 1, hal 549. 71

yang berdomisili di Selatan Yaman, yang memiliki tanah subur, dan dinyatakan sebagai kerajaan. Ayat yang mengandung kata Baldah sebagai negeri adalah Qs Saba’ 34 : 15 berikut :

Artinya : Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda di tempat kediaman mereka yaitu dua kebun di kanan dan di kiri: "Makanlah dari rezeki Tuhan kamu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun". ( QS Saba' 15). Sayyid Quthb menerangkan bahwa Saba’ adalah nama bangsa yang berdomisili di Selatan Yaman, yang memiliki tanah subur, dan kerajaan itu masih ada bekasnya hingga saat ini. Mereka telah mencapai kemajuan peradaban sehingga mereka mampu memanfaatkan air hujan yang deras yang datang dari arah laut di Selatan dan Timur. Yaitu, dengan membuat penampungan air alami yang terdiri dari dua gunung yang bersebelahan. Kemudian mereka membuat di mulut lembah di antara dua gunung itu sebuah dam yang mempunyai saluran-saluran air yang dapat dibuka dan ditutup. Dengan cara seperti itu, mereka dapat menampung air dalam jumlah besar di belakang dam tersebut. Selanjutnya mereka mengatur jalannya air dan

72

volumenya sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan itu mereka mempunyai sumber air yang besar. Dam itu dinamakan dengan Sadd Ma’rab.56 Kebun-kebun yang terletak di kanan dan di kiri itu merupakan simbol bagi kesuburan, kecukupan, kemakmuran dan kenikmatan yang indah. Karenanya, ia menjadi tanda yang mengingatkan akan Sang Pemberi Nikmat. Mereka telah diperintahkan untuk menikmati rezeki Allah sambil bersyukur, tapi mereka malah tidak bersyukur dan tidak mengingat nikmat Allah.57 Kata ( ‫ ) ﺒﻠﺩ‬balad ditafsirkan dengan negeri. Negeri yang dimaksud di sini adalah wilayah yang relatif luas dan berkonotasi geografis. Sebab penjelasan Sayyid Quthb melalui pernyataan di balik penciptaan binatang ternak terdapat nikmat yang besar, yaitu adanya kemampuan binatang ternak memikul beban ke suatu negeri yang tidak sanggup manusia lakukan kecuali dengan susah payah. Rasa nikmat ini akhirnya menimbulkan rasa kasih sayang manusia kepada binatang.58 Negeri di sini sangat umum dan relatif, hanya saja ia merupakan wilayah dengan jarak tertentu yang jika ditempuh manusia dengan jalan kaki sangat jauh dan mengakibatkan kelelahan dan kesusahan. Dengan demikian penafsiran Sayyid Quthb pada kata al-Bilâd, baldah dan balad yang terdapat dalam ayat-ayat tema ini adalah negeri yang meliputi

56

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…, Juz 5, hal 2900. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…, Juz 5, hal 2900-2901. 58 . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…, juz 4, hal 2161. 57

73

kawasan secara geografis dengan ukuran keluasannya, masyarakat dengan karakter-karakter individu maupun sistem pemerintahan dalam lingkungan sosial mereka. Penafsiran atas kata al-Bilâd, baldah dan balad ini ditujukan untuk menjadi sarana penyentuh qalbu (hati) manusia. c. Tafsir pada ayat-ayat yang bertema kota atau negeri kota Makkah. Pada tema ini terdapat enam ayat. Kata-kata yang dipergunakan dalam tema ini adalah al-Balad, al-Baldah dan balad. Kata al-Balad terdapat pada Qs alTin 95 : 3; Qs al-Balad 90 : 1-2 dan Qs Ibrahim 14 : 35. Kata al-Baldah terdapat pada Qs al-Naml 27 : 91 dan kata balad terdapat pada Qs al-Baqarah 2 : 126. Kata al-Balad, al-Baldah dan balad ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâl al-Qur’ân semuanya dengan kota atau negeri Makkah, baitullah al-Haram. Salah satu ayatnya adalah Qs al-Tîn 95 : 3 berikut :

Artinya : Dan demi kota (Mekah) ini yang aman. (Qs al-Tin 95 :3) Menurut Sayyid Quthb ( ‫ ) ﺍﻟﺒﻠـﺩ ﺍﻻﻤـﻴﻥ‬al-Balad al-Amin adalah Makkah Baitullah al-Haram.59 Makkah sebagai sebuah kota dijadikan sebagai sumpah, sumpah yang agung terhadap hakikat yang tetap dalam kehidupan manusia, Makkah merupakan rumah peribadatan yang pertama kali dibangun untuk 59

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân..., juz 6 hal 3932. 74

manusia, untuk menjadi tempat berkumpul manusia dan tempat yang aman. Di rumah ini, mereka meletakkan senjata mereka, serta melepaskan pertengkaran dan permusuhan mereka. Di sana mereka bertemu dan berdamai. Haram atas sebagian mereka berbuat aniaya terhadap sebagian yang lain, sebagaimana rumah itu sendiri, pohonnya, burungnya, dan segala makhluk yang hidup di dalamnya adalah haram diburu. Kemudian ia adalah rumah Ibrahim, Ayah Ismail, bapak bangsa Arab dan seluruh kaum muslimin.60 Allah memuliakan Nabi-Nya, Muhammad saw. Karena itu, disebutnya dan disebut tempat tinggalnya serta berdomisilinya, dengan memberikan sifat yang menambah kemuliaan, keagungan, dan kebesaran kota Mekkah. Ini adalah isyarat yang mengandung petunjuk yang dalam terhadap kedudukan itu. Sedangkan, orang-orang musyrik juga menempati daerah Baitul-Haram ini, namun mereka menyakiti Nabi dan kaum muslimin di sana. Padahal, rumah itu mulia dan bertambah mulia lagi dengan berdomisilinya Nabi saw di sana. Ketika Allah swt bersumpah dengan kota ini dan Nabi saw yang berdomisili di sana, maka lepaslah semua bentuk keagungan dan penghormatan selain yang diberikan Allah itu. Tampaklah kedudukan orang-orang musyrik yang mengaku pemangku Baitul-Haram dan putra-putra Ismail serta sebagai

60

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân..., juz 6, hal 3908. 75

pemeluk agama Ibrahim itu sebagai sesuatu yang mungkar dan buruk dilihat dari semua segi.61 Nabi Ibrahim digambarkan dengan pagelaran yang penuh kekhusyuan, zikir dan rasa syukur, untuk membalikkan orang-orang yang membantah menjadi mengakui, orang-orang kafir menjadi bersyukur, dan orang-orang yang lalai menjadi ingat. Juga untuk mengembalikan orang-orang sesat dari anak turunannya kepada sirah (perjalanan hidup) bapak mereka, Ibrahim. Mudah-mudahan mereka mau menjadikan sirah itu sebagai anutan dan semoga mereka mendapat petunjuk. Ibrahim berdoa : Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (makkah), negeri yang aman. Nikmat keamanan adalah kenikmatan yang menyentuh manusia, memiliki daya tekan yang besar dalam perasaan, dan berhubungan dengan semangat hidup dalam diri. 62 Orang-orang kafir Quraisy sendiri meyakini kemuliaan tanah haram dan Baitul Haram. Mereka melandasi kemuliaan mereka atas seluruh kabilah Arab dari keyakinan terhadap kemuliaan Ka’bah. Walaupun anehnya mereka tidak mengesakan Allah yang telah memuliakan Ka’bah, dan telah mendirikan asas kehidupan mereka diatasnya. Karena itu, Rasulullah saw meluruskan akidah sesuai dengan tabiat akidah yang lurus itu. Maka, Rasulullah pun menyebarkan dakwahnya bahwa merupakan kewajiban dan perintah untuk 61 62

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân..., juz 6, hal 3909. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân..., juz 4, hal 2108-2109. 76

menyembah

Tuhan

yang

memiliki

tanah

Haram

itu

yang

telah

memuliakannya dan mengharamkannya. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Pandangan Islam menyempurnakan keesaan Tuhan itu, dengan menyatakan bahwa Tuhan tanah haram itu merupakan Tuhan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. 63 Oleh sebab itu Rasulullah diperintahkan untuk mempermaklumkan dirinya bahwa beliau termasuk orang-orang yang berserah dirinya, segala sesuatu yang ada berserah diri secara total kepada-Nya. Mereka tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Merekalah orang-orang yang unggul dan berkembang biak dalam zaman yang panjang di antara orang-orang yang mengesakan Tuhan dan menyerahkan diri kepada-Nya.64 Do’a Nabi Ibrahim menjadi sorotan dalam penafsiran Sayyid Quthb, karena do’a itu menegaskan sifat bagi rumah Allah (baitullah) itu. Pada kali lain ditegaskan lagi makna kewarisan terhadap keutamaan dan kebaikan. Sesungguhnya Nabi Ibrahim telah mengerti nasehat Tuhannya sejak pertama kali, dia telah memahaminya sejak Tuhan berfirman kepadanya. Maka di sini, di dalam do’anya agar Allah memberikan rezeki dari buah-buahan kepada penduduk negeri itu, Ibrahim sangat berhati-hati, mengecualikan, dan membatasi orang-orang yang dimaksudkannya itu. 63 64

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân..., juz 5, hal 2669. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân..., juz 5, hal 2670. 77

Itulah Ibrahim yang lemah-lembut hati dan penyantun, yang taat dan Istiqamah. Dia beradab dengan adab yang diajarkan Tuhan kepadanya, maka dipergunakanlah adab itu di dalam memohon dan berdo’a kepada-Nya. Pada saat itu, Tuhan memberikan jawaban untuk memenuhinya sambil menjelaskan kelompok manusia lain yang tak disebutkan dalam do’a Ibrahim. Yaitu golongan orang-orang yang tidak beriman, yang tempat kembalinya adalah azab yang pedih.65 Kata balad dan derivasinya yang dimaknai dengan Makkah, yaitu Makkah sebagai sebuah tempat, tempat dengan sifat dan karakternya. Namun demikian sifat dan karakter ini tidak dapat dipisahkan dari penduduknya, sebab yang dapat membentuk image sebuah tempat adalah penduduk atau masyarakat di tempat itu, bukan tempat itu sendiri. Demikian juga dengan kota Makkah yang image-nya dibentuk langsung oleh Allah swt melalui para Nabi-Nya yaitu Ibrahim as dan Muhammad saw. Inilah yang ditampilkan Sayyid Quthb dalam tema ini. Dengan memfokuskan bahasan Makkah pada Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad saw, Sayyid Quthb berupaya untuk menyatakan bahwa ini adalah nikmat yang besar pada kota Makkah, merupakan daya yang besar dalam menekan

65

. Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an..., juz 1, hal 113-114. 78

perasaan manusia, agar manusia tersentuh (hatinya), dan menjadi semangat hidup dalam diri manusia. B. Penafsiran M. Quraish Shihab 1. Perjalanan hidup Muhammad M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Menyelesaikan pendidikan dasar di Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikan menengah di Malang, sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Fiqhiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dalam usia 23 tahun, setelah 11 tahun lamanya, dia meraih gelar Lc (Licence, Sarjana Strata satu) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas AlAzhar. Kemudian melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar M.A. untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul Al-I'jaz Al-Tasyri'iy li Al-Qur’an Al-Karim.66 Kembali ke Ujung Pandang, M. Quraish Shihab dipercayakan menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan

66

. M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan, Cet. 13, 1996, hal 14. 79

Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema ‘Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur’ (1975) dan ‘Masalah Wakaf Sulawesi Selatan’ (1978).67 Pada 1980, M. Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (Mumtâz ma'a Martabât alSyarâf al-'Ulâ / dengan pujian tingkat pertama).68 Beliau merupakan orang pertama di Indonesia yang meraih gelar doctor di bidang ilmu Tafsir.69 Sementara dalam lingkup keluarganya, beliau merupakan doctor keempat dari anak-anak Shihab yang berjumlah 12, terdiri dari enam putra dan enam putri.70 Sejak 1984, M. Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Setelah 9 tahun

67

. Zainun Kamal, Pemikiran Prof Dr. HM. Quraish Shihab MA dalam bidang Tafsir dan Teolog, Seminar Sehari Pemikiran Prof Dr. HM. Quraish Shihab MA, Jakarta : Ikatan Muhammadiyah Jakarta, 1996, hal 6. 68 . M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an…, hal 6. 69 . Selama ini beliau dikenal sebagai doctor pertama di Asia Tenggara dalam bidang Tafsir, padahal dalam kesaksian Dr. Muklis A. Hanif, MA (Alumnus al-Azhar, Kairo) bahwa di al-Azhar terdapat 70 . Wawancara, Kompas, Jakarta : 18 Februari 1996, hal 2 80

bertugas, pada tahun 1993, ia diangkat menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.71 Situasi dan kondisi sosial masyarakat Indonesia, di mana M. Quraish Shihab tinggal, ditandai dengan perjuangan masyarakat Indonesia dalam meraih kemerdekaan dan mendeklarasikannya. Saat itu usia M. Quraish Shihab satu tahun enam bulan. Kemerdekaan ini merupakan catatan penting dalam Sejarah Republik Indonesia. Kemerdekaan ini dilatar belakangi dengan dijatuhkannnya 2 bom atom di dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, pada 6 Agustus 1945.72 Pada perkembangan berikutnya masyarakat Indonesia mengalami berbagai peristiwa sosial dan politik. Hingga pergantian kepemimpinan negara terjadi pada masa kehidupan M. Quraish Shihab. Namun demikian, situasi dan kondisi apa pun yang terjadi di masyarakat Indonesia, tidak banyak mempengaruhi kefokusan M. Quraish Shihab dalam menuntut ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah kehidupannya yang tidak tercatat sebagai aktivis gerakan, maupun partai politik. Namun demikian ada pengecualiannya, yaitu beliau pernah tercatat sebagai Menteri Agama RI

Kabinet Pembangunan VII (1998). Walau pun

jabatan ini tidak lama beliau emban seiring dengan bergantinya tampuk 71

. M. Qurasih Shihab, Membumikan al-Qur’an…., hal 6. . M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj., Jakarta ; PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005, Cet-1, hal 424. 72

81

kepemimpinan bangsa Indonesia dari pemerintahan orde baru ke pemerintah orde reformasi. Lalu pada tahun 1999, melalui kebijakan pemerintah transisional Habibie, beliau mendapatkan jabatan baru sebagai duta besar Negara Republik Indonesia untuk Republik Arab Mesir, yang berkedudukan di Kairo. Tugas ini dilaksanakan dengan baik sejak masa Habibi hingga era Gus Dur, yaitu tahun 2002.73 Ini menandakan kemampuan seorang ilmuan murni, yang tidak menutup kemungkinan mampu terlibat dalam urusanurusan praktis. M. Quraish Shihab sebenarnya lebih dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Dengan latar belakang keilmuan yang ditempuh secara formal (by Training), dan kemampuan menyampaikan pendapat dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, dan rasional, serta kecenderungan pemikirannya yang moderat, beliau tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima disemua lapisan masyarakat. M. Quraish Shihab juga termasuk seorang tokoh Muslim kontemporer Indonesia yang produktif. Dalam waktu yang relatif singkat beliau mampu menghasilkan karya yang sangat banyak dan cukup bercorak. Sesuatu yang luar biasa, karyanya itu

73

. Hamdani Anwar, Telaah Kritis terhadap Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab, dalam jurnal Mimbar Agama dan Budaya, vol XIX, no.2, 2002, hal 172. 82

sangat popular dan bisa diterima di berbagai kalangan, bahkan sangat dinantinantikan oleh masyarakat.74 Deskripsi singkat yang terjadi semasa dengan kehidupan M. Quraish Shihab, sedikit banyak telah menjadi bagian dari memory kehidupannya dan memiliki danpak pada tulisan-tulisannya, khususnya dalam Tafsir al-Mishbâh. Tafsir al-Mishbâh adalah karya yang dilakukan dengan menggunakan metode Urai (Tahlili), yaitu menulis tafsir al-Qur’an sesuai dengan urutan ayatperayat atau persurah, menurut kriteria turunnya ayat atau menurut tertib Mushaf Utsmani. Tafsir al-Mishbâh sebagai karya tafsir al-Qur’an, pada akhir dari ‘sekapur sirih’ M. Quraish Shihab yang terdapat pada volume I, tercantum keterangan bahwa awal penulisan Tafsir al-Mishbâh ini bertempat di Kairo, Mesir pada hari Jum’at, 4 Rabi’ul Awal 1420 H. bertepatan dengan tanggal 18 Juni 1999 M. dan kemudian diterbitkan untuk pertama kalinya pada bulan sya’ban 1421 H. bertepatan dengan bulan November 2000 M. oleh penerbit Lentera Hati di Jakarta. Latar belakang penulisan Tafsir al-Mishbâh ini didasarkan pada keinginan M. Quraish Shihab melayani semua masyarakat pembacanya yang ingin memahami al-Qur’an. Sebagaimana tulisan-tulisannya yang lain, beliau ingin bahwa al-Qur’an menjadi hudan (petunjuk), yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh semua kalangan masyarakat Islam. Di samping karena 74

. Ibid. 83

memang usaha menafsirkan al-Qur’an adalah usaha yang sangat mulia sekaligus merupakan kewajiban para ulama yang punya kemampuan di bidang itu untuk menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung dalam alQur’an sesuai dengan harapan dan kebutuhan. Pemilihan nama al-Mishbâh pada kitab tafsir M. Quraish Shihab tentunya tidaklah tanpa alasan. Paling tidak pemilihan nama al-Mishbâh mencakup dua hal, yaitu : Pertama, pemilihan nama itu didasarkan pada fungsinya. Al-Misbâh artinya lampu yang fungsinya untuk menerangi kegelapan. Dengan memilih nama ini, penulisnya berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pedoman hidup. AlQur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Di sinilah manfaat Tafsir al-Mishbâh diharapkan, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu ilahi tersebut. Kedua, pemilihan nama ini didasarkan pada awal kegiatan M. Quraish Shihab dalam hal tulis menulis di Jakarta. Sebelum beliau bermukim di Jakarta pun, memang sudah aktif menulis tetapi produktifitasnya sebagai penulis dapat dinilai mulai mendapat momentumnya setelah bermukin di Jakarta. Pada 1980-an, beliau mengasuh rubrik ‘Pelita Hati’ pada harian Pelita. Pada 1994, kumpulan tulisannya

84

diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati. Dari sinilah tampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal, yaitu bila dilihat dari maknanya. Kumpulan tulisan pada rubrik ‘Pelita Hati’ diterbitkan dengan judul Lentera Hati. Lentera merupakan padanan kata dari pelita yang arti dan fungsinya sama. Dalam bahasa Arab, lentera, pelita, atau lampu itu disebut misbâh, dan inilah yang kemudian dipakai oleh M. Quraish Shihab untuk dijadikan nama karyanya itu. Penerbitnya pun menggunakan nama yang serupa yaitu Lentera Hati.75 Dalam hal metode penafsiran, Tafsir al-Mishbâh menggunakan metode Tahlili,76 karena dalam pemaparan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an M. Quraish Shihab berusaha untuk menafsirkan ayat demi ayat, surah demi surah, dari berbagai seginya, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam Mushâf. Walau demikian, sebenarnya beliau juga tidak secara otomatis meninggalkan metode-metode yang lain. Karena pada banyak tempat metode tahlili dipadukan dengan tiga metode lainnya, khususnya metode maudhu’i. Bentuk pemaduan ini dapat dilihat dalam uraian seluruh ayat sesuai dengan urutan mushaf tersebut. M. Quraish Shihab juga pertama-tama menafsirkannya secara

75

. Hamdani Anwar, Telaah…, hal 176-177. . Metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya, dengan mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf, dengan mengemukakan arti kosa kata dan penjelasan arti global ayat. Dan mengemukakan munasabah ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat tersebut satu sama lain, Asbâb al-Nuzûl ayat serta dalail-dalil yang berasal dari rasul, atau sahabat, atau tabi’in. ‘Abd al-Hayyî’ al-Farmâwî, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû’î, Dirâsah Manhajiyyah Maudhû’iyyah, t.tp.:T.p, 1976 hal 17. 76

85

global, kemudian mengelompokkan ayat-ayat yang sesuai dengan temanya, agar kandungan ayat-ayat tersebut dapat dijelaskan sesuai dengan topiknya, lalu pada saat-saat tertentu, beliau menyuguhkan perbandingan pendapatpendapat ulama berkaitan dengan ayat yang sekaligus dikupas. Untuk corak penafsiran pada Tafsir al-Mishbâh, dapat dikatakan bahwa Tafsir al-Mishbâh termasuk tafsir yang bercorak al-Adab al-Ijtimâ’iy (sastra budaya kemasyarakatan), yakni satu corak tafsir yang sangat menitiberatkan pada penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya. Dalam upaya menjelaskan al-Qur’an pertama-tama M. Quraish Shihab berusaha menampilkan penjelasan global setiap surah, yang dinamainya tujuan surah atau tema pokok surah. Kemudian beliau menguraikan keterangan tentang identitas surah, yang meliputi sejarah turunnya suatu surah, kemudian memberi penjelasan tentang nama surah serta tema atau tujuan surah, dan jumlah-jumlah ayatnya (pada beberapa tempat). Beliau menjelaskan masa turunnya sebuah surah berikut penjelasan yang lebih lengkap tentang makna nama surah.77 Menjelaskan nama-nama lain –kalau ada—dari sebuah surah, dan sebagainya. M. Quraish Shihab sangat memberi penekanan penjelasan pada Munâsabah (keserasian) antara ayat-ayat dan surah dalam al-Qur’an. Maka, dalam memulai bahasan sebuah surah, M. Quraish Shihab tidak lupa menyertakan keserasian antara surah yang sedang dibahas dengan surah 77

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, vol I, hal 81-83. 86

sebelumnya. Pada munasabah ayat (keserasian ayat) ini, M. Quraish Shihab sangat terpengaruh oleh Ibrâhîm Ibn ‘Umar al-Biqâ’iy (809-889 H.) dalam bukunya Nazm al-Durâr fî Tanâsub al-Âyat wa Suwar, seorang tokoh ahli tafsir yang pernah dikajinya saat beliau menulis desertasi.78 Kemudian M. Quraish Shihab mengelompokkan ayat-ayat berdasarkan tema tanpa ada batasan yang tertentu jumlah ayat yang ditempatkan pada kelompok yang sama.79 Sebelum menjelaskan ayat demi ayat, beliau kembali menjelaskan keserasian antara kelompok ayat yang sedang dibahas. Kadangkadang keserasian itu ditempatkan pada awal pembahasan kelompok ayat,80 kadang-kadang juga keserasian itu ditempatkan di akhir pembahasan kelompok ayat,81 selain bentuk keserasian di atas, beliau juga memaparkan keserasian antar ayat ketika menjelaskan ayat demi ayat. Ketika

menafsirkan

ayat

demi

ayat,

beliau

terlebih

dahulu

mencantumkan ayat-ayatnya (dengan bahasa Arab) dan mengalih-bahasakan (menterjemahkan)82 ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan pemahamannya 78

. Al-Biqâ’iy nama lengkapnya adalah Ibrâhîm ibn ‘Umar bin Hasan al-Ribat bin Ali bin Abi Bakar al-Syafi’i, dilahirkan di desa Kharbah, sebuah desa yang terletak di lembah Biqa’ dekat Damaskus (Syiria) pada awal abad ke-9 H. tepatnya pada tahun 809 H/ 1406 M. Lihat Umar Kahalah, Mu’jam al-Muallifîn, Beirut : Dâr al-Ihyâ al-Turâts al-Arabi, tt, vol I, hal 71. 79 . Misalnya surah al-Baqarah dibagi menjadi dua puluh tiga kelompok, dan masing-masing kelompok jumlah ayatnya tidak seragam, seperti kelompok pertama (ayat 1-20), kelompok kedua (2129), dan seterusnya. 80 . M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, vol I, hal 138. 81 . M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, vol I, hal. 372. 82 . Pada mukaddimah yang dituangkan pada setiap volume, istilah ‘terjemahan al-Qur’an’ digunakan oleh M. Quraish Shihab hanya untuk mendekatkan pemahaman pembaca, oleh sebab itu, beliau sendiri tidak setuju dengan ‘alih bahasa’ ke bahasa lain, yang disebut sebagai ‘terjemahan al87

sendiri. Artinya beliau tidak berpedoman pada salah satu versi terjemahan alQur’an (seperti terjemahan versi Depag). Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan terjemahan al-Qur’an di dalam tafsirnya, berbeda dengan terjemahan yang tersebar luas di masyarakat.83 2. Penafsiran M. Quraish Shihab atas ayat-ayat al-Balad Tiga

tema

yang

terdapat

pada

penafsiran

ayat-ayat al-Balad,

sebagaimana pada penafsiran Sayyid Quthb sebelumnya, merupakan arah dalam penafsiran ayat-ayat al-Balad dalam Tafsir al-Mishbâh. a. Tafsir pada ayat-ayat yang bertemakan wilayah atau negeri yang bersifat umum. Kata-kata yang dipergunakan dalam enam ayat tema ini adalah baldah, balad dan al-Balad. Kata baldah terdapat pada Qs Qâf 50 : 11; Qs al-Furqan 25 : 49; Qs al-Zukhruf 43 : 11. Kata balad terdapat pada Qs al-Fathir 35 : 9 dan Qs alA’raf 7 : 57. Sedangkan kata al-Balad terdapat pada Qs al-A’raf 7 : 58.

Qur’an’ apalagi ‘al-Qur’an dan terjemahannya’. Menurut M. Quraish Shihab, hal itu lebih tepat disebut atau dipahami sebagai terjemahan makna-makna al-Qur’an. Lihat ‘sekapur sirih’ M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh…, vol I hal. X. 83 . Kadang-kadang M. Quraish Shihab melakukan kritik atas salah satu bentuk terjemahan dan sekaligus mengutarakan bentuk terjemahan (terjemahan makan-makna al-Qur’an dalam istilah Quraish Shihab) yang lain. Contohnya ketika beliau menterjemahkan kalimat ‘Aqîmu al-Salâh’ yang biasa diterjemahkan dengan ‘dirikanlah shalat’, beliau katakana bahwa terjemahan itu keliru, karena kata aqîm bukan terambil dari akar kata qâma yang berarti ‘berdiri’, tetapi dari kata qawama yang berarti ‘melaksanakan sesuatu dengan sempurna dan berkesinambungan berdasarkan hak-haknya’. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, vol I, hal 90. 88

Kata ( ‫ ) ﺒﻠـﺩﺓ‬baldah ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dalam al-Mishbâh dengan bumi, negeri atau tanah yang dapat ditumbuhi sesuatu sehingga hidup. Tanah atau tempat dalam ayat diatas sifatnya sangat umum, artinya ia dapat ditafsirkan pada setiap wilayah yang ada dipermukaan bumi. Tidak terikat dengan wilayah tertentu atau wilayah yang khusus. Pada penafsiran ayat-ayat dengan kata baldah dalam redaksional ayatnya, M. Quraish Shihab secara umum menerangkan aspek ketauhidan, kultur kehidupan, dan hukum alam berupa siklus kehidupan. Beliau menyatakan bahwa Kekuasaan Allah merupakan sumber kehidupan. Menurutnya QS Qâf 50 : 11 merupakan lanjutan dari paparan bukti-bukti kuasa Allah swt. Kali ini yang diuraikannya adalah beberapa dampak yang diperoleh dari penciptaan langit dan bumi. Dampak pertama yang disebutkan adalah apa yang dihasilkan bersama oleh langit dan bumi yakni air hujan yang bersumber dari laut dan sungai yang terhampar di bumi, lalu air itu menguap ke angkasa akibat panas yang memancar dari matahari yang berada di langit. Di sini Allah menyebutkan karunia-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya dengan menurunkan air yang merupakan sumber kehidupan mereka di pentas bumi, yang tadinya berupa tanah yang mati karena kering dan gersang menjadi hidup karena air hujan yang diturunkan.84

84

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh...,Vol 13, Hal 286. 89

Terdapat pesan dari tafsiran ayat baldah yang penting yaitu : Tauhid, kultur kehidupan, dan saling membutuhkan dalam siklus kehidupan. Pesan tauhid terlihat dari kekuasaan Allah mengirim angin guna menggiring awam, menurunkan hujan, air yang sangat suci, amat bersih dan dapat digunakan untuk mensucikan agar dengan air itu negeri yang gersang yang mati karena tanpa ditumbuhi sesuatu dapat hidup, dengan air itu juga binatang-binatang ternak, manusia yang banyak dapat minum. Merupakan bukti bahwa Allah wajar untuk disembah. 85 Kultur kehidupan dapat diambil dari penjelasan kata ( ‫ ) ﻜﺜﻴـﺭﺍ‬katsîran yang dikaitkan dengan manusia yang mengisyaratkan bahwa tidak semua manusia minum dari air hujan. Situasi dan kondisi membentuk pola hidup manusia, seperti kebiasaan Masyarakat Arab –apalagi di jazirah Arab- dikenal dengan nama ‘putra langit’ dalam arti mereka sangat mengandalkan air hujan, antara lain untuk minuman mereka. Berbeda dengan penduduk Mesir yang mengandalkan sungai Nil. Dengan demikian, ayat ini secara tidak langsung mengingatkan kaum musyrikin Mekkah tentang nikmat Allah kepada mereka.86 Perurutan penyebutan makhluk di atas dari segi kebutuhan kepada air, sungguh sangat serasi. Ayat-ayat di atas memulai menyebutkan turunnya air

85 86

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 9, Hal 491. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 9, Hal 492. 90

ke bumi, lalu pemberian minum binatang, selanjutnya manusia. Ini karena tanah sangat membutuhkan air agar tumbuhan dapat muncul dan hidup. Tumbuh-tumbuhan amat dibutuhkan oleh binatang di samping kebutuhannya kepada air, karena itu binatang disebutkan sesudahnya. Terakhir adalah manusia yang membutuhkan air, tumbuhan dan binatang.87 Itulah siklus kehidupan yang saling membutuhkan satu sama lain. Kata ( ‫ ) ﻓﺎﻨـﺸﺭﻨﺎ‬fa ansyarnâ /kami hidupkan dengannya. dalam surah alZukhruf 43 : 11 mengisyaratkan bahwa penumbuhan tumbuhan dan menghidupkan yang mati sungguh jauh lebih hebat daripada menurunkan hujan, dan bahwa hal itu hendaknya menjadi perhatian dan renungan setiap orang.88 Penegasan ayat diatas bahwa Allah menurunkan hujan secara bertahap dan dengan kadar tertentu, mengisyaratkan bahwa turunnya hujan bukanlah secara otomatis tanpa pengaturan Allah swt. Tetapi dia yang mengatur turunnya dan dengan kadar yang ditetapkan-Nya. Ini melalui hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya, dan juga atas dasar do’a dan shalat Istisqâ’ yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Ayat diatas juga menguraikan kuasa-Nya mencipta kembali dan membangkitkan manusia sesudah kematiannya. Hal ini dijelaskan melalui uraian tentang hujan, yang bermula dari laut dan sungai, lalu menguap ke

87 88

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 9, Hal 492. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 11, Hal 544. 91

udara dan kembali lagi ke bumi. Dengan air yang turun itu juga Allah menghidupkan tanah yang tadinya tandus.89 Kata (‫ ) ﺒﻠـﺩ‬balad ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dengan negeri yang artinya tanah. Dalam ayat-ayat dengan kata balad dalam redaksionalnya, M. Quraish Shihab menerangkan hukum alam dalam siklus kehidupan secara detail, dengan diungkapkannya partikel-partikel alam yang menyusun sebuah siklus. Realitas yang nyata ini kemudian dianggap sebagai sebuah perumpamaan bagi kebangkitan manusia. M. Quraish Shihab menjelaskan surah Fathir 35 : 11 dengan menyatakan bahwa janji Allah pasti benar, karena Dia Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana dan hanya Allah yang kuasa mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan yang terbentuk dari sekumpulan uap air, kemudian menghalau awan itu ke suatu negeri yang gersang dan mati. Lalu dengan air itu dihidupkan bumi setelah matinya yakni tanah yang gersang itu. Demikianlah kebangkitan, yakni adanya tumbuh-tumbuhan di tanah yang mati dan gersang itu merupakan tamsil bagi kebangkitan manusia dari tanah.90 Ayat di atas menggunakan bentuk kerja masa lampau ketika menguraikan pengiriman angin, tetapi kata kerja masa kini dan datang ketika membicarakan 89 90

penggerakan

awan.

Bentuk

terakhir

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 11, Hal 544. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 11, hal 435-436. 92

ini

bertujuan

menggambarkan peristiwa itu dalam benak mitra bicara, bagaikan dia sedang melihatnya dengan segala kehebatan dan keajaibannya yang menunjukkan kuasa Allah swt. Memang salah satu fungsi penggunaan bentuk mudhâri’ (kata kerja masa kini dan datang) adalah menghadirkan ke benak mitra bicara/ pendengar keindahan dan kehebatan atau keburukan peristiwa yang dibicarakan. Sisi lain dari persamaan penggerakan awan dengan hari kebangkitan, adalah bahwa pada penggerakan awan itu terjadi penghimpunan partikelpartikel air yang kemudian menjadi hujan, pada hari kebangkitan nanti pun terjadi penghimpunan manusia dan Allah menggiring dan menggerakkan manusia menuju padang mahsyar, untuk kemudian masing-masing di tempatkan di surga atau di neraka. Tidak ubahnya dengan penghimpunan partikel-partikel air itu yang disusul dengan turunnya hujan di lokasi yang ditetapkan Allah swt.91 Ini menandakan bahwa ada kesamaan proses dalam turunnya hujan dan kehidupan dari kematian. Yaitu tersusunnya partikelpartikel hingga munculnya kehidupan. Demikian juga dalam kehidupan ini, supaya dapat hidup dengan baik maka berbagai partiklel harus dapat dikumpulkan menjadi satu kesatuan yang sistemik, sehingga tercipta kehidupan yang ideal.

91

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, Juz 11, hal 436. 93

M. Quraish Shihab menafsirkan kata balad dalam Qs al-A’raf 7 : 57 dengan tanah, kata baladin mayyitin ditafsirkan dengan tanah yang tandus.92 Pesan yang penting dari ayat ini terlihat dari penjelasan kata al-Riyâh. Kata (‫ )ﺍﻟﺭﻴــﺎﺡ‬al-Riyâh dalam ayat diatas berbentuk jamak, M. Quraish Shihab menterjemahkannya dengan aneka angin. Memang angin bermacam-macam, bukan saja arah datangnya, tetapi juga waktu-waktunya. Biasanya, jika alQur’an menggunakan bentuk jamak, maka angin yang dimaksud adalah angin yang membawa rahmat, dalam pengertian umum, baik hujan, maupun kesegaran. Tetapi bila menggunakan bentuk tunggal ( ‫ ) ﺭﻴـﺢ‬Rîh, maka ia mengandung makna bencana. Ini agaknya, karena bila angin beragam dan banyak lalu menyatu, maka tentu saja kekuatannya akan sangat besar sehingga dapat menimbulkan kerusakan. Ayat di atas mengisyaratkan, bahwa sebelum hujan turun, angin beraneka ragam atau banyak. Namun sedikit demi sedikit Allah mengarak dengan perlahan partikel-partikel awan, kemudian digabungkan-Nya partikelpartikel itu, sehingga ia tindih menindih dan menyatu, lalu turunlah hujan. Ayat diatas mulanya menggunakan kata angin dalam bentuk jamak, tetapi setelah ia terhimpun dan menyatu menjadi satu kesatuan, bentuk yang dipilih bukan lagi bentuk jamak, tetapi tunggal, karena itu kata yang digunakan

92

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, hal 127. 94

adalah ( ‫ ) ﺴـﻘﻨﺎﻩ‬Suqnâhu/kami halau ia, yakni dalam bentuk mudzakkar, padahal sebelumnya kata ( ‫ ) ﺍﻗﻠﹼﺕ‬aqallat dalam bentuk mu’annas. Bentuk mu’annas antara lain menunjukkan kepada makna jamak, sedang bentuk mudzakkar kepada makna tunggal. Sungguh amat teliti redaksi ayat-ayat al-Qur’an yang sejalan dengan hakikat ilmiah.93 Di sisi lain, ketika aneka angin itu belum mengandung partikel-partikel air, kata yang digunakan adalah kami mengutus, untuk menggambarkan bahwa angin ketika itu masih ringan dan seakan-akan dapat berjalan sendiri tanpa diarak atau didorong, tetapi ketika ia telah menyatu maka keadaannya menjadi berat, sehingga gerakannya menjadi lambat, maka untuk itu digunakan kata ( ‫ ) ﺴـﻘﻨﺎﻩ‬suqnâhu/ kami halau ia, sekaligus untuk menunjukkan bahwa Allah swt. yang menentukan di mana arah turunnya hujan itu.94 Pada ayat berikutnya yaitu Qs al-A’raf 7 : 58, kata balad mendapat tambahan al ( ‫) ﺍل‬. Tanah sebagai makna yang dimaksudkan dalam ayat ini, dengan tambahan al penjelasannya menjadi lebih spesifik. M. Quraish Shihab menerangkan bahwa sebagaimana ada perbedaan antara tanah dengan tanah, demikian juga ada perbedaan antara kecenderungan dan potensi jiwa manusia dengan jiwa manusia lain. Tanah yang baik ditafsirkan dengan tanah yang subur dan selalu dipelihara, sehingga tanaman-tanamannya tumbuh dengan 93 94

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, Hal 127. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, Hal 128. 95

subur. Tanah yang buruk ditafsirkan dengan tanah yang tidak subur, sehingga tidak ada potensi untuk menumbuhkan buah yang baik, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana, hasilnya sedikit dan kualitasnya rendah.95 Kata ( ‫ـﻪ‬‫ ) ﺒﺈﺫﻥ ﺭﺒ‬bi idzni rabbihi/ dengan seizin Allah dapat juga dipahami dalam arti, tanaman itu tumbuh dengan sangat mengagumkan, karena mendapat anugerah khusus dari Allah serta diizinkan untuk meraih yang terbaik. Berbeda dengan yang lain, hanya diperlakukan dengan perlakuan umum yang berkaitan dengan hukum-hukum alam yang menyeluruh. Kalau makna ini dialihkan kepada perlakuan Allah terhadap manusia, maka dapat dikatakan bahwa ada manusia-manusia istimewa di sisi Allah yang mendapat perlakuan khusus, yaitu mereka yang hatinya bersih, berusaha mendekatkan diri kepada Allah melalui kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya, mereka mendapat perlakuan khusus, sehingga seperti bunyi sebuah hadits qudsi ; Telinga yang digunakannya mendengar adalah “pendengaran” Allah, mata yang digunakannya melihat adalah “penglihatan” Allah, tangan yang digunakannya menggenggam adalah “Tangan” Allah. (HR Bukhâri melalui Abû Hurairah). Ini berarti, bahwa yang bersangkutan telah mendapat izin Allah untuk menggunakan sekelumit dari sifat-sifat Allah itu.96 b. Tafsir pada ayat-ayat yang bertema kota atau negeri kota yang tertentu. 95 96

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, Hal 128. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 5, Hal 128-129. 96

Kata-kata yang dipergunakan dalam tema ini adalah al-Bilâd, baldah, dan balad. Kata al-Bilâd terdapat pada Qs al-Fajr 89 : 8, 11; Qs Qâf 50 : 36; Qs alMu’min 40 : 4; dan Qs Ali Imran 3 : 196. kata baldah terdapat pada Qs Saba’ 34 : 15. Dan kata balad terdapat pada Qs al-Nahl 16 : 7. Kata ( ‫ ) ﺍﻟـﺒﻼﺩ‬al-Bilâd ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dengan negerinegeri atau kota-kota. Negeri di sini adalah negerinya kaum tertentu, yaitu umat-umat terdahulu seperti kaum Nuh, penduduk Rass,97 yaitu kaum Nabi Syu’aib yang dihancurkan dengan gempa bumi sehingga tertimbun dalam sumur mereka, Tsamud umat Nabi Shalih yang dibinaskan setelah menyembelih unta yang dianugerahkan kepada mereka sebagai bukti kebenaran rasul. Kemudian kaum Tsamud, kaum ‘Âd kaumnya Nabi Hud, Fir’aun tirannnya yang terbesar di kalangan umat Nabi Musa, kaum Luth yaitu saudara-saudara sebangsa Nabi Luth yang dijungkirbalikan pemukimannya

97

. Kata (‫ ) ﺍﻟﺭﺱ‬al-Rass ada yang memahaminya dalam arti lembah atau sumur yang besar. Sementara ulama yang memahami Ashab ar Rass (Penduduk ar-Rass) yang disebutkan ayat diatas adalah sisa-sisa kaum Tsamud. Mereka berada di And, Yaman. Lalu Allah mengutus kepada mereka rasul bernama Hanzhalah Ibn Shafwan. Ada juga yang menduga mereka adalah penduduk satu lembah di Azerbeijan. Ada lagi yang menyatakan mereka adalah penduduk Antakia. Namun banyak ulama yang menduga bahwa mereka adalah kaum NaBi Syu’aib as. Di dalam al-qur’an, kaum Syu’aib terkadang disebut sebagai penduduk Aikah yang berarti tempat yang dipenuhi pepohonan rindang. Terkadang disebut dengan penduduk ar Rass. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 13, hal 288. 97

karena perbuatan homoseksual di kalangan mereka, penduduk Aikah serta kaum Tubba.98 Ayat-ayat dengan kata ( ‫ ) ﺍﻟــﺒﻼﺩ‬al-Bilâd oleh M. Quraish Shihab ditafsirkan dengan mengungkapkan sejarah negeri-negeri itu, berdasarkan bukti-bukti ilmiah hasil penelitian arkeologis. Sifat-sifat dan karakter bangsanya, serta akhir dari perjalanan kehidupan mereka juga beliau rinci. M. Quraish Shihab menerangkan : Kata Iram dipahami juga dalam arti perkampungan. Kaum Âd dinamai Dzat al-Imad karena mereka memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, atau karena mereka adalah kelompok nomaden yang selalu berpindah-pindah dan memasang tenda-tenda untuk kediaman mereka. Bisa juga kata ini dipahami dalam arti majazi yang berarti kekuatan atau yang diandalkan karena kaum Âd sangat kuat lagi merupakan andalan99. Memang kaum Âd pada masa itu telah mencapai satu tingkat kemajuan dan kekuasaan yang sangat mengagumkan daerah sekitarnya, sehingga mereka angkuh dan bergelimang dalam pemenuhan sisi material semata-mata. Bangunan-bangunan di tempat tinggi yang dimaksud adalah rambu-rambu perjalanan. Mereka juga membuat kolam-kolam tempat penampungan air 98

. Tubba adalah Himyar yaitu penduduk Yaman tepatnya Hadramaut dan Saba. Dalam satu riwayat dinyatakan bahwa Nabi bersabda : “Jangan mencerca Tubba karena dia telah memeluk Islam”. (HR Ahmad). M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 13, hal 288. 99 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 247. 98

hujan. Semua itu untuk kepentingan para musafir atau siapa pun yang membutuhkan air, khususnya pada musim kemarau, di samping itu mereka juga membangun istana-istana dan benteng-benteng, yang sebenarnya dapat dinilai bertujuan baik dan bermanfaat. Tetapi mereka berbangga-bangga, mengabaikan petunjuk agama sehingga sirna tujuan utama pembangunan sarana-sarana itu dan karena itulah ia dinilai oleh Nabi Hud as sia-sia dan tidak bermanfaat.100 Nabi Hud as tidak melarang mereka membangun bangunan tinggi dan besar, beliau hanya mengecam perlombaan yang bertujuan berbangga-bangga. Bangunan yang dibuat untuk memenuhi kepentingan umum, yang tidak mengakibatkan pemborosan, tidak juga untuk tujuan maksiat, tidak akan pernah dikecam agama. Bahkan membangun yang baik dan indah untuk kepentingan pribadi dan keluarga pun tidak terlarang selama tidak melengahkan seseorang dari nilai-nilai agama. 101 Dalam buku Mukjizat al-Qur’an dikemukakan pendapat arkeolog tentang informasi yang berhubungan dengan informasi diatas. Pada tahun 1834 ditemukan di dalam tanah yang berlokasi di Hishn al-Ghurhab dekat kota ‘Adn di Yaman, sebuah Naskah bertuliskan aksara Arab lama (Himyar) yang menyebut nama Nabi Hud as. dalam naskah itu antara lain tertulis : “Kami 100 101

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 102. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 102. 99

memerintah dengan menggunakan hukum Hud”. Selanjutnya pada tahun 1964-1969 dilakukan penggalian arkeologis dan dari hasil-hasil analisis pada tahun 1980 ditemukan informasi dari salah satu lempeng tentang adanya kota yang bernama Shamutu, Âd dan Iram. Prof Pettinanto mengidentifikasikan nama-nama tersebut dengan apa yang disebut oleh surah al-Fajr ini. Dalam konteks ini wajar pula untuk dikutip pendapat Father Dahood yang mengatakan bahwa antara Ebla (2.500 SM) dan al-Qur’an (625 M) tidak ada referensi lain mengenai kota-kota tersebut.102 Bukti arkeologis lain tentang kota Iram adalah hasil ekspedisi Nicholas Clapp di gurun Arabia Selatan. Nicholas menemukan bukti dari seorang penjelajah tentang jalan kuno ke kota Iram, kota yang juga dikenal dengan nama Ubhur. Atas bantuan dua orang ahli lainnya, yaitu penjelajah Inggris, Sir Ranulph Fiennes, mereka berusaha mencari kota yang hilang itu bersama ahli hukum Geoge Hedges. Mereka menggunakan jasa pesawat ulang alik Challengger dengan sistem Satellite Imaging Radar (SIR) untuk mengintip bagian bawah gurun Arabia yang diduga sebagai tempat tenggelamnya kota yang terkena longsor itu. Untuk lebih meyakinkan, mereka meminta bantuan jasa satelit Perancis yang menggunakan sistem pengindraan optik. Akhirnya mereka menemukan citra digital berupa garis putih pucat yang menandai 102

. M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, ditinjau dari aspek kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung : Mizan, 2006, cet-XV, hal 198. 100

beratus-ratus kilometer rute kafilah yang ditinggalkan. Sebagian berada di bawah tumpukan pasir yang telah menimbun selama berabad-abad hingga mencapai ketinggian seratus delapan puluh tiga meter. Berdasarkan data ini, Nicholas Clapp dan rekan-rekan meneliti tanah tersebut dan melakukan pencarian pada akhir tahun 1991. pada bulan Februari 1992, mereka menemukan bangunan segi delapan dengan dinding-dinding dan menaramenara yang tinggi mencapai sekitar sembilan meter. Agaknya itulah yang dimaksud dengan Iram ; mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi.103 Tsamud juga merupakan salah satu suku bangsa Arab terbesar yang telah punah. Mereka adalah keturunan Tsamud Ibn Jatsar, Ibn Iram, Ibn Sam, Ibn Nuh. Dengan demikian silsilah keturunan mereka bertemu dengan Âd pada kakek yang sama yaitu Iram. Mereka bermukim disatu wilayah bernama al-Hijr yaitu satu daerah di Hijaz (Saudi Arabia sekarang). Ia juga dikenal sampai sekarang dengan nama Madain Shalih. Disana hingga kini terdapat banyak peninggalan, antara lain berupa reruntuhan bangunan kota lama, yang merupakan sisa-sisa dari kaum Tsamud itu. Ditemukan juga pahatan-pahatan indah serta kuburan-kuburan, dan aneka tulisan dengan berbagai aksara Arab, Aramiya, Yunani dan Romawi.

103

. Ibid, hal 199. lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 247-248. 101

Kaum Tsamud umat Nabi Hûd as. pada mulanya menarik pelajaran berharga dari pengalaman buruk kaum Âd, karena itu mereka beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa itulah mereka pun berhasil membangun peradaban yang cukup megah, dengan memotong batu-batu besar di lembah guna menjadikannya istana-istana tempat tinggal dan memahatnya sehingga menghasilkan relief-relief di dinding-dinding istana kediaman mereka,104 tetapi keberhasilan itu menjadikan mereka lengah sehingga mereka kembali menyembah berhala serupa dengan berhala yang disembah kaum Âd. Ketika itulah Allah swt. mengutus Nabi Shalih as mengingatkan mereka agar tidak mempersekutukan Allah swt. Tetapi tuntunan dan peringatan beliau tidak disambut baik oleh mayoritas kaum Tsamud. 105 Kaum Fir’aun yang mempunyai pasak-pasak yakni piramid-piramid yang terdiri dari batu-batu yang tersusun rapi dan kokoh tertancap di bumi, atau tentara-tentara yang dijadikannya bagaikan pasak guna mengukuhkan kekuasaannya. Mereka melampaui batas dalam penganiyaan dan berlaku sewenang-wenang dalam negeri tempat tinggal mereka. Ini berarti bahwa para penguasa dan orang-orang kuat menindas masyarakat dan kaum lemah, dan

104 105

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 249. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 6, hal 284. 102

ini pada gilirannya menghasilkan aneka kerusakan dan kebejatan serta pengabaian nilai-nilai agama dan moral.106 Dari satu sisi tokoh-tokoh itu memberi contoh buruk sehingga diteladani oleh yang lain, dan dari sisi lain penganiyayaan itu melahirkan kebencian dalam hati dan pikiran masyarakat sehingga mereka tidak menaruh simpati pada penguasa. Ini pun pada gilirannya menimbulkan kecurigaan penguasa dan rezimnya, kecurigaan memperlemah sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan tidak menimbulkan kecuali

kerusakan kerusakan dan

kebejatan. Kerusakan itu tidak hanya menyentuh sasaran kesewenangan, tetapi juga pelaku kesewenangan. Para pelaku semakin dijungkirbalikan nilai-nilai luhur karena ingin memepertahankan diri dan kekuasaan, dan ini semakin memperkejam penganiyaan yang menimbulkan semakin dalamnya dendam pada anggota masyarakat yang teraniyaya sehingga akhirnya meledak. Bila itu terjadi, akan lahir aneka kegiatan yang memporak-porandakan negeri dengan nilai-nilai kemanusiaan. Memang revolusi sosial sering kali menghasilkan pengrusakan dan kekejaman yang berada di luar nilai-nilai kemanusian dan

106

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 249-250. 103

menghancur-leburkan hasil pembangunan bahkan meruntuhkan peradaban suatu bangsa. Kenyataan sejarah selalu membuktikan hal tersebut.107 Kata ( ‫ ) ﻓﻨﻘﺒﻭﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻼﺩ‬yang terdapat pada Qs Qâf 50 : 36 diartikan dengan menggali yang ditafsirkannya dengan menjelajah, melakukan penelitian dan pencarian di beberapa negeri.108 Pada Qs al-Mu’min 40 : 4 M. Quraish Shihab menafsirkan kata Bilâd dengan kota-kota. Ayat ini mengecam siapapun yang menolak sifat-sifat Allah yang sempurna dan ayat-ayat-Nya yang sangat mengagumkan. Setelah dengan jelas disebutkan sifat-sifat-Nya yang mengundang kekaguman dan rasa takut. Pulang baliknya kaum musyrikin secara giat dari satu kota ke kota lain baik untuk berdagang, berperang maupun untuk bertetirah yang kesemuanya berdampak menyenangkan mereka. Atau perpindahan mereka dari satu keadaan yang menyenangkan ke keadaan lain yang menyenangkan pula.109 Ayat ini mengingatkan Nabi dan semua kaum muslimin untuk tidak terperdaya oleh kemampuan kaum musyrikin atau kesenangan hidup yang mereka

alami,

sehingga

menduga

mereka

dalam

kebenaran

akibat

kemampuan dan kesenangan itu, atau karena mereka belum dijatuhi 107

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 250. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 13, Hal 312. 109 . M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 12, hal 286. 108

104

hukuman, atau bahwa itu menunjukkan adanya kekuatan yang membela mereka. Yakinlah bahwa pada waktunya mereka akan mendapat balasan, dan pada waktunya akan terbukti bahwa apa yang mereka alami sebenarnya adalah pangkal bencana. 110 Kondisi diatas bukanlah sebuah himbauan semata, tetapi memang peristiwa yang juga terjadi pada masa Nabi. Kemampuan kaum musyrikin yang jauh dari keimanan ternyata mampu mengarungi kehidupan dengan penuh kesenangan sedangkan kaum muslimin yang beriman justru jauh dari kesenangan, sehingga kondisi ini membuat kaum muslimin bertanya, mengapa kaum yang dekat dengan Allah harus jauh dari kesenangan berupa kemampuan untuk pulang dan pergi dari satu kota ke kota lain? Tetapi justru kaum musyrikin yang jauh dari Allah yang mampu melakukan hal itu? Ini dipertanyakan bukan sebatas bahwa aktivitas pulang dan perginya dari satu daerah ke daerah lain, tetapi aktivitas itu juga menyiratkan kemampuan secara finasial juga. Tanpa finansial yang cukup sangatlah sulit untuk melakukan aktivitas ini, tidak bedanya dengan hari ini, siapa pun tidak akan mampu pulang dan pergi ke luar negeri tanpa punya dana yang banyak. Dalam Qs Ali Imrân 3 : 196 M. Quraish Shihab mengartikan Bilâd dengan negeri-negeri, bukan dengan kota-kota sebagaimana pada surah al110

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 12, hal 286-287. 105

Ghafir 40 : 4. Ayat ini menyampaikan larangannya kepada Rasul saw. dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin umat, untuk disampaikan kepada seluruh umat. Ia bukan ditujukan kepada Rasul saw., karena tidak mungkin beliau yang sangat memahami hakikat hidup ini, akan terperdaya oleh keadaan orang-orang kafir itu. Bisa juga, kita berkata bahwa yang dituju oleh larangan ini adalah siapapun tanpa harus menetapkan seseorang.111 Kebebasan bergerak mengharuskan adanya kemampuan fisik dan materi, lebih-lebih kalau kebebasan bergerak itu berupa perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota atau negeri ke kota atau negeri yang lain. Karena itu ayat ini juga dapat berarti jangan terperdaya oleh kekuatan dan kekuasaan harta benda dan kesenangan duniawi yang diperoleh orang-orang kafir, karena semua itu hanya bersifat sementara dan melengahkan mereka. Dunia dan hiasannya, walau telah berumur jutaan tahun dan boleh jadi masih akan bertahan jutaan tahun lagi, tetapi dunia bagi setiap individu terbatas pada usianya.112 Kata ( ‫ ) ﺒﻠـﺩﺓ‬baldah ditafsirkan M. Quraish Shihab dengan negeri, yaitu Negeri Saba. Saba’ adalah satu kerajaan di Yaman, Arab Selatan pada abad VIII SM. Terkenal dengan peradabannya yang tinggi. Salah satu penguasanya

111 112

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 2, Hal 318. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 2, hal 318-319. 106

adalah Ratu Balqis yang semasa dengan Nabi Sulaiman as. Di Yaman Saba dikenal juga dengan nama al-Arab as-Sa’idah (Negeri Arab yang Bahagia). AlQur’an melukiskannya sebagai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Lokasinya yang strategis menghubungkan negeri ini dengan dataran India, Ethiopia, Somalia, Suriah dan Irak. Kerajaan ini dipunahkan Allah, bendungan Ma’rib yang mengairi kebun-kebun mereka, jeblos sehinggga penduduknya terpencar ke mana-mana dan mereka menjadi buah bibir masyarakat lain.113 Kata ( ‫ ) ﻁﻴﺒﺔ‬Thayyibah dalam surah Saba diatas terambil dari kata (‫) ﻁـﺎﺏ‬ Thaba yaitu sesuatu yang sesuai, baik dan menyenangkan bagi subjeknya. Negeri yang baik antara lain adalah yang aman sentosa, melimpah rezekinya dapat diperoleh secara mudah oleh penduduknya serta terjalin pula hubungan harmonis kesatuan dan persatuan antara anggota masyarakatnya. 114 Kendati Allah selalu melimpahkan aneka anugerah kepada mereka, dan senantiasa pula membuka pintu taubat, namun mereka tidak acuh lalu mereka berpaling mendurhakai Allah dan tidak mensyukuri nikmat-Nya itu, maka kami datangkan kepada mereka banjir yang besar yang merobohkan bendungan dan memusnahkan perkebunan mereka dan kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi pepohonan yang berbuah

113 114

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 211. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 11, hal 363. 107

pahit, pohon Atsl yakni yang tidak berbuah atau penuh duri dan sedikit dari pohon Sidr semacam seroja yang sedikit kegunaannya. Kaum Saba pada waktu itu membuat banyak bendungan untuk menampung curah hujan, yang kemudian di musim kering bendungan itu mengairi lahan pertanian mereka. Kemudian datang banjir yang besar melanda negeri Saba sehingga mengakibatkan musnahnya pertanian dan berpencarnya suku yang besar itu ke berbagai negeri. Bendungan yang dimaksud itu adalah bendungan Ma’rib, yang merupakan salah satu bendungan terbesar di Yaman saat itu. Kota Ma’rib terletak antara San’a dan Hadhramaut. Berkat bendungan ini kawasan seluas 300 mil persegi yang kering dan tandus dapat berubah menjadi lahan subur dan produktif. Kemakmuran dan kesuburan negeri Yaman waktu inilah yang dilukiskan oleh ayat di atas dengan dua kebun yang berada di sebelah kanan dan kiri dalam arti mengelilingi kota mereka. Sangat disayangkan, bahwa para ahli sejarah tidak memiliki pendapat

yang sama menyangkut siapa yang

membangun bendungan itu dan faktor apa yang menjadi penyebab kehancurannya. Semua ini menunjukkan bahwa pembangunan jalan dan penyediaan sarana transportasi, serta penciptaan rasa aman merupakan syarat-syarat bagi kesejahteraan satu masyarakat. Disisi lain ia juga menunjukkan petingnya 108

memelihara hasil pembangunan yang dalam konteks ini adalah menjaga bendungan

Ma’rib,

masyarakat yang

tidak

membangun,

atau gagal

memelihara hasil pembangunannya, akan runtuh dan warganya akan terpaksa mencari wilayah lain guna menyambung hidupnya.115 Al-Qur'an menceritakan kepada kita bahwa Ratu Saba dan kaumnya ’menyembah matahari selain menyembah Allah’ sebelum ia mengikuti Sulaiman. Informasi yang didapat dari prasasti membenarkan kenyataan ini dan menunjukkan bahwa mereka menyembah matahari dan rembulan dalam kuil-kuil mereka. Kata balad diartikan dengan negeri tertentu. Hal ini dapat dipahami dari kata penafsiran M. Quraish Shihab tentang nikmat yang diperoleh dari penciptaan binatang ternak, ketika binatang ternak itu mampu memikul beban yang berat ke suatu negeri-negeri, -tidak ada penjelasan rincinya, tetapi maksudnya adalah wilayah tertentu yang berkonotasi geografis- yang akan dikunjungi dengan jarak yang begitu jauh. Arah yang jauh itu tidak dapat dicapai kecuali dengan menggunakan unta sebagai binatang ternak dan mampu menjadi alat transportasi darat. Unta sangat cepat dan mampu mengarungi padang pasir berhari-hari tanpa harus menyiapkan untuknya

115

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 11, hal 364-368. 109

minuman, karena unta sendiri telah memiliki dalam tubuhnya persediaan minuman untuk waktu yang relatif lama.116 c. Tafsir pada ayat-ayat yang bertema kota atau negeri kota Makkah. Kata-kata yang dipergunakan dalam tema ini adalah al-Balad, al-Baldah dan balad. Kata al-Balad terdapat pada Qs al-Tin 95 : 3; Qs al-Balad 90 : 1-2 dan Qs Ibrahim 14 : 35. Kata al-Baldah terdapat pada Qs al-Naml 27 : 91 dan kata balad terdapat pada Qs al-Baqarah 2 : 126. Kata al-Balad, al-Baldah dan balad ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dalam al-Mishbâh semuanya dengan negeri yang maksudnya adalah kota Makkah, baitullah al-Haram. Kata itu bergandeng dengan kata ( ‫ ) ﻫـﺬﺍ‬hadza / ini yang jika demikian selalu yang dimaksud adalah kota Mekah. Al-Balad adalah Mekkah, Baitullah al-Haram, rumah pertama di bumi yang dibangun untuk manusia, supaya manusia merasa nyaman dan aman. Kata ( ‫ ) ﻫ ـﺬﺍ‬hadza digunakan untuk menunjuk sesuatu yang dekat. Kedekatan itu baik dari segi jarak maupun kedekatan hati. Akibat adanya faktor-faktor yang menjadikan hati cenderung kepada-Nya. 117

116 117

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 7, hal 188-189. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 264. 110

Kata ( ‫ ) ﺍﻟﺒﻠـﺪﻩ‬al-Baldah yang biasa diartikan negeri adalah kota Mekkah dan sekitarnya. Kata ( ‫ ) ﻫـﺬﻩ‬Hadzihi yang digunakan menunjuk negeri itu, disamping menghadirkan kota suci tersebut dalam benak mitra bicara, juga mengandung makna kedekatan dan penghormatan kepadanya, apalagi disertai dengan penyebutan kalimat Tuhan negeri ini serta menyifatinya sebagai yang telah diharamkan Allah yang disucikan oleh-Nya. Kata ( ‫ﻡ‬‫) ﺣـﺮ‬ Harrama terambil dari kata ( ‫ )ﺣـﺮﺍﻡ‬haram yang pada mulanya berarti terlarang. Kata hormat lahir dari akar kata serupa dengan haram.118 Penggunaan

kata

Hadza

yang

menunjuk

Mekah,

bertujuan

menggambarkan bahwa kota tersebut selalu dekat di hati kaum muslimin, sehingga betapa pun seseorang telah berkali-kali berkunjung ke sana. Hatinya masih selalu dekat dan berpaut dengan kota itu. Betapa pun seseorang mengalami kesulitan dan penderitaan fisik dalam kunjungannya ke sana, namun itu tidak menjadikannya jera, bahkan selalu ingin datang berkali-kali ke sana. Mengapa demikian? Karena hatinya terpaut dengan kota itu, jiwanya merasakan ketentraman di sana. Bukankah ia dinamai Allah al-Balad al-Amin

118

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 293. 111

(QS. At-Tin 95 : 3), dan bukankah Nabi Ibrahim as. telah pernah berdo’a agar hati manusia terpaut dengan kota itu dan penduduknya?119 M. Quraish Shihab menafsirkan kata al-balad al-amin dalam Qs al-Tin 95 : 3 sebagai salah satu kata yang dijadikan sumpah oleh Allah di antara tiga kata yang lainnya, yaitu Tin, Zaitun dan Thur Sinin. Menurutnya, kata-kata tersebut dipakai sumpah oleh Allah karena di sanalah Allah pernah menurunkan wahyunya. Dalam memahami maksud kata al-Balad, nabi Muhammad saw. menjelaskan arti aman dan sejahteranya kota ini dengan sabda : “Sesungguhnya kota ini telah diharamkan (dalam ilmu) Allah sejak diciptakannya langit dan bumi, karenanya ia haram (terhormat, suci) dengan ketetapan Allah itu sampai hari Kiamat. Tidak dibenarkan bagi orang sebelumku untuk melakukan peperangan di sana, tidak dibenarkan bagiku kecuali beberapa saat pada suatu siang hari” (HR. Muslim dari sahabat Nabi saw., Ibn Abbas ra.).120 Pada Qs al-Balad 90 : 2 kata ( ‫ ) ﺣﻞ‬hill berakar dari makna melepas ikatan dan dari makna ini berkembang makna-makna lain, seperti bermukim di satu tempat, karena yang bersangkutan ketika bermukim itu melepaskan ikatan-ikatan yang selama dalam perjalanannya mengikat barang-barang bawaannya. Kata

119 120

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 264. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 376-377. 112

halal yang merupakan antonim dari kata haram juga berakar dari makna itu, karena dengan kehalalan sesuatu atau izin melakukannya, yang bersangkutan tidak terikat lagi, sebagaimana keterikatannya katika hal tersebut haram. Kata itu apabila dirangkaikan dengan suatu tempat, maka ia akan bermakna bertempat tinggal di sana dan apabila tidak dirangkaikan dengan tempat, maka maknanya dapat beraneka ragam, seperti menghalalkan atau terbebaskan dari sesuatu, dan juga dapat berarti tidak dalam keadaan berihram .121 Ada tiga pendapat menyangkut kata (‫ )ﺣـﻞ‬hill pertama berarti halal (tidak haram). Maksudnya penduduk kota Mekah telah menghalalkan atau membolehkan untuk melakukan penganiayaan terhadap Rasul saw. mereka telah melecehkan kehormatan beliau dan tidak lagi menghormati kota ini. Namun demikian kota Mekah tetap agung disisi Allah. Allah dalam ayat ini seakan-akan berfirman: “Aku benar-benar bersumpah dengan kota Mekah, walaupun engkau wahai Nabi Muhammad dalam keadaan diperlakukan tidak wajar. Kaum musyrikin menghalalkan kepadamu segala bentuk pelanggaran dan aniaya. Perlakuan tidak wajar itu tidak mengurangi kebesaran dan keagungan kota ini disisi-Ku.” Huruf wauw yang mendahului kata hill

121

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 265. 113

dipahami

sebagai

berfungsi

menggambarkan

keadaan.

Pendapat

ini

menekankan tentang agungnya kota Mekah di sisi Allah swt. 122 Pendapat kedua, memahami kata hill juga dalam arti halal, hanya saja kehalalan dan kebolehan yang dimaksud bukan tertuju kepada kaum musyrikin sebagaimana pendapat pertama, tetapi tertuju kepada nabi Muhammad saw. Allah seakan-akan berfirman: “Saya benar-benar bersumpah dengan kota Mekah, yang akan halal bagimu –hai Muhammad- untuk melakukan apa saja yang engkau ingini.123” Atau menurut al-Biqa’i juga bermakna : Yang halal bagimu wahai Nabi Muhammad, apa yang tidak bagi selainmu, sehingga engkau dapat menghalalkan seseorang yang wajar dibunuh di sana –seperti Ibbn Khathal– walau dia bergantung pada selubung Ka’bah, dan boleh juga engkau mengharamkan pembunuhan siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan – pada hari penaklukan kota Mekah. Ayat ini turun ketika Rasul saw. masih berada di kota Mekah dalam keadaan teraniaya, sehingga ayat-ayat di atas menurut penganut pendapat ini, menjanjikan bahwa suatu ketika kota Mekah yang agung itu, akan dikuasai oleh nabi Muhammad saw.124

122

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 265. . Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayyi al-Qur’an…, juz 30, hal 212. 124 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 266. 123

114

Pendapat ketiga, memahami kata (‫ )ﺣﻞ‬hill dalam arti bertempat tinggal, sambil memahami huruf wauw yang mendahuluinya sebagai kata penghubung yang berarti dan sehingga menurut mereka, Allah bersumpah dengan nama kota Mekah yang mulia itu, dan Allah bersumpah juga dengan kehadiran Nabi Muhammad di sana. Dalam al-Qur’an kata (‫ )ﺤـــل‬hill terulang sebanyak empat kali, kesemuanya berarti menghalalkan atau membolehkan. Perhatikan misalnya Qs. al-Ma’idah 5 : 5 atau Qs. al-Mumtahanah 60 : 10 dan Qs. ali-Imran 3 : 93, demikian pula pada ayat kedua surah ini. Atas dasar itu, agaknya tidaklah keliru bila kita menetapkan bahwa kata hill pada ayat yang ditafsirkan ini pun berarti halal, dalam arti memperbolehkan yakni kaum musyrikin di Mekah telah membolehkan untuk memperlakukan Nabi Muhammad saw. dengan perlakukan tidak wajar. Dan karena itulah maka ayat-ayat tersebut mengecam mereka. Dengan demikian ayat pertama dan kedua di atas bermaksud menjelaskan betapa agung dan mulia kota Mekah di sisi Allah dan bahwa apapun yang terjadi di sana –walaupun terjadi pelanggaran dan penganiayaan atas Nabi Nya yang agung itu– namun kota Mekah tetap mulia, sehingga setiap orang yang berkunjung atau berada di sana berkewajiban untuk menghormatinya.125

125

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 266. 115

Memang terkadang perlakukan tidak wajar yang diterima oleh seseorang dari satu penduduk kota atau negara, menjadikan ia enggan berkunjung lagi ke negara itu bahkan mungkin meremehkan kota dan negara itu. Seharusnya tidak demikian sikap terhadap kota Mekah, walaupun penghinaan telah mencapai puncakanya seperti penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. Kota Mekah tetap harus dihormati, karena kota Mekah telah dijadikan Allah sebagai kota Haram, satu kota suci dan agung. Keberadaan Ka’bah di sana menjadikan kota Mekah lebih mulia lagi.126 Kata harrama merupakan larangan, yaitu larangan terhadap sesuatu yang boleh jadi lahir karena kekotoran, kenajisan dan kekejiannya. Seperti terlarangnya meminum khamar, berzina dan lain-lain. Dapat juga karena kehormatan, keistimewaan atau kesuciannya. Bukankah anda terlarang melakukan sesuatu misalnya berpakaian sembarangan ketika menghadap Kepala Negara? Ini karena kedudukan kepala negera sangat istimewa. Kota Mekkah sangat istimewa, disana terdapat rumah peribadatan pertama yang dibangun umat manusia, dan yang dinamai Baitullah/ Rumah Allah. Wilayah Mekkah adalah wilayah suci. Sekian banyak hal yang anda tidak boleh lakukan disana, walau boleh anda lakukan di mana saja selainnya. Ada

126

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 15, hal 264-266. 116

pakaian khusus yang harus dipakai oleh yang berkunjung ke Mekkah, sampai dia selesai melaksanakan umrah, dan masih banyak ketentuan yang lain. 127 M. Quraish Shihab menyatakan Nabi Ibrahim sebagai bapak para Nabi, kepribadiannya menandai uraian surah Ibrahim 14 : 35, ia memohon keamanan kota Mekkah, di mana anak dan istrinya bertempat tinggal serta kesejahteraan penduduknya dan keterhindaran dari penyembahan berhala. Selain ayat 35 diatas, terdapat juga doa yang diabadikan dalam QS. al-Baqarah 2 : 126 yang berbunyi : Tuhanku, jadikanlah negeri ini (negeri yang) aman sentosa, dan berikanlah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka, kepada Allah dan hari kemudian. Agaknya doa sebelumnya dipanjatkan pada waktu yang berbeda dengan doa ini. Disana beliau berdoa kiranya lokasi di mana beliau meninggalkan anak dan istri beliau (Isma’il dan Hajar) dijadikan satu kota yang aman dan sejahtera. Selanjutnya setelah beberapa tahun, beliau berdoa sekali lagi tetapi kali ini lokasi tersebut telah ramai dikunjungi –khususnya setelah ditemukan sumur zam-zam-. Karena itu ayat al-Baqarah menggunakan kata (‫ )ﺒﻠـﺩ‬balada dalam bentuk nakirah/indifinit sedang pada ayat ini digunakan bentuk ma’rifah/ difinit (‫ )ﺍﻟﺒﻠﺩ‬al-Balad.128

127 128

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 10, hal 293-294. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 7, hal 66. 117

Do’a Nabi Ibrahim as. untuk menjadikan kota Mekkah dan sekitarnya sebagai kota yang aman adalah doa untuk menjadikan keamanan yang ada di sana berkesinambungan hinggga akhir masa, atau menganuggerahkan kepada penduduk dan pengunjungnya kemampuan untuk menjadikannya aman dan tentram.

Permohonan

ini

menurut

banyak

ulama

bukan

berarti

menjadikannya aman secara terus menerus tanpa peranan manusia. Allah mengabulkan doa beliau tetapi sekali lagi harus diingat bahwa yang Maha Kuasa tidak menjadikan Kota Mekkah aman dalam arti diciptakan dalam keadaan aman terus menerus serupa dengan penciptaan matahari yang terus menerus

serupa

dengan

penciptaan

matahari

yang

terus

menerus

memancarkan cahaya, atau cairan yang diciptakan terus menerus mencari tempat yang rendah. Manusia

pada

umumnya

sejak

dahulu

hingga

kini

memang

menghormati kota Makkah baik secara tulus dan didorong oleh ketaatan beragama, maupun melalui adat kebiasaan yang berlaku pada penduduknya atau peraturan yang ditetapkan oleh penguasanya yang melarang non muslim melakukannya. Ayat ini bukan saja mengajarkan agar berdoa untuk keamanan dan kesejahteraan kota Mekkah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya setiap muslim berdoa untuk keselamatan dan keamanan wilayah

118

tempat tinggalnya, dan agar penduduknya memperoleh rezeki yang berlimpah. 129 Dalam tafsir M. Quraish Shihab dijelaskan bahwa ayat ini masih merupakan lanjutan dari uraian tentang keutamaan yang dianugrahkan Allah kepada Nabi Ibrahim as. kali ini perintah untuk mengingat dan merenungkan masih dilanjutkan ; “Dan disamping yang lalu yang hendaknya engkau ingat, ingatlah pula ketika Ibrahim

berdoa:

Tuhanku,

demikian beliau tidak

menggunakan panggilan ya’/wahai sebagaimana layaknya orang-orang yang dekat kepada Allah. Jadikanlah negeri ini di mana Ka’bah berada dan di mana aku dan keluargaku tinggal, jadikanlah ia negeri yang aman sentosa, yakni penduduknya hidup damai dan harmonis dan berikanlah rezeki berupa buahbuahan kepada penduduknya yang beriman saja di antara mereka kepada Allah dan hari Kemudian. Allah berfirman meluruskan doa Nabi Ibrahim sekaligus mengabulkan bahwa “kepada yang beriman akan kuberikan rezeki dan juga kepada siapa yang kafir Dia Kesenangan sedikit yakni sebentar dalam kehidupan dunia saja bahkan boleh jadi lebih senang dari yang beriman, kemudian Aku paksa ia menuju ke yakni menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali.”

129

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 7, hal 66-67. 119

Doa Nabi Ibrahim as. untuk menjadikan kota Mekkah dan sekitarnya sebagai kota yang aman, do’a ini merupakan penegasan sifat aman bagi rumah Allah (baitullah).130 Do’a ini juga untuk menjadikan keamanan yang ada di sana berkesinambungan hingga akhir massa, atau menganugrahkan kepada penduduk dan pengunjungnya kemampuan untuk menjadikannya aman dan tentram. Bukankah dalam ayat yang lalu, ketika berbicara tentang Ka’bah sebagai amnan, telah diuraikan bahwa itu adalah perintah Allah untuk menjadikannya aman dan tentram dalam bentuk sesempurna mungkin, sehingga Ka’bah sendiri dilukiskan sebagai “aman”, bukan sekedar tempat yang aman? 131 Ayat ini bukan saja mengajarkan agar berdoa untuk keamanan dan kesejahteraan kota Makah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya setiap muslim berdoa untuk keselamatan dan keamanan wilayah tempat tinggalnya, dan agar penduduknya memperoleh rezeki yang melimpah. Dua hal diatas, rasa aman dari segala yang menggelisahkan, dan limpahan rezeki, merupakan syarat utama bagi suatu kota atau wilayah. Bahkan, stabilitas keamanan dan kecukupan ekonomi, merupakan nikmat

130 131

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz 1, hal 113 . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 1, hal 322. 120

yang

menjadikan

seseorang

berkewajiban

mengabdi

kepada

Allah,

sebagaimana ditegaskan dalam QS. Quraisy 106 : 3-4. 132 Ayat diatas juga memerintahkan untuk mengingat dan merenungkan bagaimana Nabi Ibrahim as. mencamkan firman Allah pada ayat 124 lalu. Di mana ketika itu Nabi Ibrahim bermohon agar kepemimpinan dianugrahkan pula kepada keturunannya, tetapi Allah menjawab bahwa kepemimpinan tidak akan menyentuh orang-orang yang berlaku aniaya. Menghayati jawaban Allah itu, ketika berdoa kali ini, beliau hanya mendoakan penduduk Mekah yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, “Berikanlah rezeki berupa buahbuahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari Kemudian.” Ingatlah doa beliau itu sambil merenungkan bagaimana doa tersebut disambut Allah dengan berfirman, Siapa yang kafir akan Ku-senangkan sedikit dan sifatnya sementara, kemudian dihari Kemudian nanti Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali.” Bukan hanya yang beriman, tetapi kafir pun akan Dia berikan walau hanya sedikit; sedikit dalam waktu dan kuantitasnya jika dibanding dengan apa yang kelak akan dianugrahkan-Nya kepada yang beriman kepada-Nya dan hari kemudian. 133

132 133

. Ibid, hal 322-323. . Ibid, hal 323. 121

Memang, Allah tidak membeda-bedakan. Udara, air, kehangatan dan cahaya matahari, serta masih banyak yang lain, diberikan-Nya untuk semua, baik yang muslim maupun yang kafir. Hukum-hukum-Nya berlaku sama. Dalam kehidupan di dunia menyangkut rezeki, semua diberi sesuai dengan hukum-hukum duniawi. Ganjaran ketaatan beragama, bukan di dunia tetapi di akhirat. Perolehan rezeki di dunia tidak berkaitan dengan kuat dan lemahnya iman seseorang. Orang-orang kafir pun wajar diberi kesenangan, bila mereka menyesuaikan diri dengan hukum-hukum duniawi yang ditetapkan-Nya. Namun, kesenangan yang diperolehnya itu, betapa pun banyak dan lamanya, hanya sedikit kadar dan waktunya dibanding dengan keadaanya kelak. Karena itu akherat nanti mereka akan mendapat siksa yang pedih. Jangan diduga dia dapat mengelak, karena sebagaimana firman-Nya di atas, Aku paksa ia setelah dia hidup di dunia. Ini memberi isyarat, bahwa semua orang di dunia termasuk orang kafir, diberi pilihan dan kebebasan. Tetapi di akhirat nanti orang-orang kafir itu tidak lagi memiliki kebebasan. Mereka dipaksa oleh Allah untuk menerima ketetapan-Nya, yaitu menjalani siksa neraka, dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali.134

134

. Ibid, hal 323. 122

BAB IV ANALISA PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTHB DENGAN M. QURAISH SHIHAB PADA AYAT-AYAT AL-BALAD Termaktubnya ayat-ayat al-Balad dan sinonim-sinonimnya dalam alQur'an telah memberikan isyarat bahwa ayat-ayat al-Balad merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia di bumi. Pentingnya ayat-ayat al-Balad dan sinonimnya terlihat dari kandungan maksud ayat-ayatnya dalam penafsiran yang dilakukan oleh dua mufassir kontemporer, yaitu penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân dan penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh. Dua mufassir yang berbeda karakter ini, menjadi sumber untuk menemukan orientasi penafsiran dari ayat-ayat al-Balad. Dari hasil penafsiran keduanya pada bab sebelumnya, maka apakah keduanya menafsirkan ayatayat al-Balad dengan tafsiran yang sama, ataukah berbeda. Jika sama di manakah letak kesamaannya serta mengapa sama, dan ketika berbeda seperti apakah perbedaannya serta mengapa berbeda. Untuk menganalisis penafsiran ayat-ayat al-Balad oleh kedua mufassir, terlebih dahulu ayat-ayat al-Balad diletakkan pada tema yang sama, sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, tema-tema pada ayat-ayat al-Balad terbagi menjadi tiga, yaitu ; Tema pertama tentang wilayah atau negeri yang

122

bersifat umum terdiri dari 6 Ayat. Tema kedua tentang kota atau negeri kota yang tertentu, terdiri dari 7 ayat. Dan tema ketiga tentang kota atau negeri kota yang bersifat khusus, terdiri dari 6 ayat. Pada analisis perbandingan kedua mufassir kontemporer ini, terdapat persamaan dan perbedaan. Untuk melihat sisi persamaan dan perbedaan, penulis susun analisisnya berdasarkan tema dari ayat-ayat al-Balad. Hal ini sebagai proses untuk menyusun berbagai elemen yang terkandung dalam penafsiran ayat-ayat al-Balad. Sehingga dapat terlihat mengapa ada kesamaan di antara keduanya dan mengapa keduanya memiliki perbedaan dalam penafsiran. A. Al-Balad dengan tema wilayah atau negeri yang bersifat umum. Pada penafsiran ayat-ayat al-Balad yang penulis kategorikan pada tema wilayah atau negeri yang bersifat umum, secara umum ayat-ayatnya termasuk dalam ayat-ayat Makiyyah. Kata-kata yang dipergunakan pada tema ini adalah balad, al-Balad, dan baldah. Kata ( ‫ ) ﺒﻠـﺩﺓ‬baldah ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâl alQur’ân dengan ( ‫ ) ﺍﻻﺭﺽ‬bumi, sebagaimana Al-Hâfizh Ibn Katsîr menafsirkan Baldatan Mayyitan dengan Bumi (tanah) yang diam/padam ( ‫) ﻫﺎﻤـﺩﺓ‬.1 Disebutnya

1

. Abî al-Fidâ’ Ismâ’il bin ‘Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, Riyadh : Dâr alThayyibah, 1999, cet2, juz 7, Hal 396. 123

kata mayyitan karena adanya al-Baldah yang berarti negeri atau tempat.2 Bumi di sini maksudnya adalah tanah, sebab bumi menurut Sayyid Quthb merupakan tempat tumbuhnya biji buah, benih dan pohon kurma.3 Seperti ketika para Mufassir terdahulu manafsirkan kata baldah pada kalimat ‫ﻭﺍﺤﻴﻴﻨﺎ ﺒﻪ‬ ‫ ﺒﻠـﺩﺓ ﻤﻴﺘـﺎ‬ditafsirkan dengan kami (Allah) hidupkan dengan air yang kami turunkan dari langit (air hujan) negeri yang mati karena kering dan kemarau (‫) ﺍﺠﺩﺒﺕ ﻭﻗﺤﻁﺕ‬, sehingga tidak ada tanaman dan tumbuhan.4 Kata (‫ ) ﺒﻠـﺩ‬balad ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dengan tempat atau daerah, bahkan dicontohkan dengan padang pasir.5 Kata baladin Mayyitin oleh Sayyid Quthb ditafsirkan dengan Shahrâ’ (padang sahara) dan Jadbân (Tempat/ tanah yang tandus).6 Dan Kata ( ‫ ) ﺍﻟﺒﻠـﺩ‬al-Balad ditafsirkan dengan bumi atau tanah. Seperti ‫( ﺍﻟﺒﻠﺩ ﺍﻟﻁﻴﺏ‬tanah atau daerah yang baik) dan ‫( ﺍﻟﺒﻠﺩ ﺍﻟﺨﺒﺙ‬tanah atau daerah yang buruk).7 Dari penafsiran Sayyid Quthb ini terlihat kesatuan makna satu sama lain, yang pada dasarnya kata balad, al-Balad, dan baldah

2

. Abi al-Su’ûd Muhammad bin Muhammad al-‘Ammâdî, Tafsîr Abî al-Su’ûd al-Musamma Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’an al-Karîm, Beirut : Dâr al-Ahyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1990, cet 2, Juz 8, Hal 127. 3 . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, ... juz 6, hal 3361. 4 . Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân, Beirut : Dâr alFikr, 2001, cet-1, Juz 26, Hal 7955. lihat juga Muhammah al-Syaukanî, Fath al-Qadîr: AlJâmi’ Bain Fannî al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr,Beirut : al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999, cet-3, juz 5, hal 89. lihat juga al-Qasimi kata Baldatan Mayyitan ditafsirkan dengan Ardhan Jadbah ( Bumi yang kering) Muhammad Jamâluddin al-Qâsimî, Tafsîr al-Qâsim al-Musamma Mahâsin al-Ta’wîl, Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997, cet-1, juz 9, hal 7 5 . Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al-Qur’ân …,Juz 5, hal 2929. 6 . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, …Juz 3, Hal 1299. 7 . Ibid, juz 3, hal 1300. 124

mengandung makna sama, yaitu menunjukkan pada tempat, khususnya tanah tempat tumbuhnya tanaman. Kata ( ‫ ) ﺒﻠـﺩﺓ‬baldah ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dalam al-Mishbâh dengan bumi, negeri atau tanah yang dapat ditumbuhi sesuatu sehingga hidup. Tanah atau tempat dalam ayat diatas sifatnya sangat umum, artinya ia dapat ditafsirkan pada setiap wilayah yang ada dipermukaan bumi. Tidak terikat dengan wilayah tertentu atau wilayah yang khusus. Hal ini sesuai dengan makna yang disebutkan oleh ensiklopedi al-Qur’an bahwa kata baldah meliputi wilayah yang relatif luas, juga menunjuk kepada wilayah tertentu walaupun tidak dapat ditafsirkan secara pasti di wilayah mana ia berada.8 Kata baldah lebih condong digunakan untuk menyebut suatu wilayah yang relatif lebih sempit.9 Penafsiran M. Quraish Shihab pada kata baldah dengan bumi, negeri atau tanah yang ketiga-tiganya ini merupakan istilah untuk menyebutkan sebuah

tempat,

sejalan

dengan

penafsiran

mufassir

terdahulu

yang

menafsirkan kata baldah pada kalimat ‫ ﻟﻨﺤﺊ ﺒﻪ ﺒﻠﺩﺓ ﻤﻴﺘﺎ‬dengan ‫ﺍﺭﻀﺎ ﻗﺤﻁﺔ ﻋﺫﻴﺔ ﻻﺘﻨﺒﺕ‬ (bumi yang kemarau, jauh dari air, tidak sehat karena banyak penyakit dan wabah menular sehingga tidak dapat menumbuhkan), kata baldatan mayyitan tidak dengan kata mayyitatun ( ‫ ) ﻤﻴﺘـﺔ‬karena itu dimaksudkan untuk menghidupkan tempat 8

. Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an : Dunia Islam Modern, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003, cet-I, Hal 280-282. 9 . Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an…, Hal 282. 125

yang mati.10 Imam al-Qurthubî menafsirkan ( ‫ ) ﺒﻠﺩﺓ ﻤﻴﺘﺎ‬dengan ( ‫ﺒﺎﻟﺠﺩﻭﺒﺔ ﻭﺍﻟﻤﺤـل‬ ‫ )ﻭﻋﺩﻡ ﺍﻟﻨﺒـﺎﺕ‬tempat yang kering, tidak subur dan tidak ada tumbuh-tumbuhan. Karena itu air hujan adalah ruhnya bumi, dengan air itu Allah menghidupkan bumi. Kata mayitan (‫ )ﻤﻴﺘﺎ‬tidak ditulis dengan mayitatun ( ‫ ) ﻤﻴﺘﺔ‬karena makna alBaldah adalah al-Balad, dan maksud al-Balad di sini adalah al-Makan (‫)ﺍﻟﻤﻜـﺎﻥ‬ tempat.11 Tempat dalam ayat ini disimbolkan dengan kata baldah ( ‫ ) ﺒﻠـﺩﺓ‬yang memiliki makna wilayah yang relatif lebih sempit.12 Kata baldah mayyitah dalam ayat ini ditafsirkan dengan bumi/tanah yang mati.13 Atau tempat yang sunyi dari tumbuh-tumbuhan ( ‫) ﻤﻘﻔﺭﺓ ﻤﻥ ﺍﻟﻨﺒﺎﺕ‬.14 Kata (‫ ) ﺒﻠـﺩ‬balad ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab dengan negeri yang artinya tanah. Kata al-balad dengan tambahan al ( ‫ ) ﺍل‬ditafsirkan dengan tanah. tambahan al disini penjelasannya menjadi lebih spesifik. Penafsiran itu sesuai dengan penafsiran Imam Zamakhsyari yang menafsirkan kata al-Balad pada

10

6505.

. Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân, Juz 19, Hal

11

. Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirut : Dâr al-Kitâb al-‘Ârabî, 2000, cet 3, Juz13, Hal 57. 12 . Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an…, Hal 282. 13 . Abî al-Fidâ’ Ismâ’il bin ‘Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, Juz 7, Hal 220. 14 . Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz 16, Hal 58.

126

surah al-A’raf ayat 58 dengan (‫ )ﺍﻟﺘﺭﺒـﺔ‬tanah,15 kata ( ‫ ) ﺍﻟﺒﻠـﺩ ﺍﻟﻁﻴـﺏ‬lebih lengkap ditafsirkan dengan (‫) ﺍﻻﺭﺽ ﺍﻟﻜﺭﻴﻤﺔ ﺍﻟﺘﺭﺒﺔ‬.16 Makna-makna yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb, M. Quraish Shihab dan para mufassir terdahulu di atas, pada dasarnya adalah sama, yaitu tempat dengan spesifikasi tanah sebagai media tumbuhnya berbagai tanaman. Ayat-ayat di atas adalah ayat-ayat yang mengandung redaksi baldah, balad dan al-Balad di dalamnya. Dalam al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat lain dengan kandungan makna sama tetapi menggunakan kata selain itu tetapi dengan kata al-Ardhu (yang maknanya bumi/tanah) dengan redaksional yang berbeda-beda, yaitu pertama ‫ـﺎ‬‫ﺘِﻬ‬‫ﻭ‬‫ ﺒﻌـﺩ ﻤ‬‫ﺽ‬‫ﻴﺎﹶﺒِـﻪِ ﺍﻻﹶﺭ‬‫( ﻓﺄﺤ‬Lalu dengan air itu Allah hidupkan (suburkan) bumi (tanah) sesudah mati (kering)-nya). Redaksional ini terdapat pada surah al-Baqarah 2 : 164, al-Nahl 16 : 65, al-Ankabut 29 : 63. Kedua ‫ـﺎ‬‫ﺘِﻬ‬‫ﻭ‬‫ ﺒﻌـﺩ ﻤ‬‫ﺽ‬‫ـﻰ ﺍﻻﺭ‬‫ﺤ‬‫( ﻴ‬Dan menghidupkan bumi (tanah) sesudah matinya), redaksional ini terdapat pada surah Rûm 30 : 19, 24, 50 dan al-Hadid 57: 17. Ketiga ‫ـﺎ‬‫ﻴﻨﻬ‬‫ﻴ‬‫ﺘﹶـﺔ ُﺃَﺤ‬‫ﻴ‬‫ ﺍﻟﻤ‬‫( ﺍﻻﺭﺽ‬Bumi (tanah) yang mati, kami yang menghidupkannya) terdapat pada surah Yasin 36 : 33. Keempat ‫ﺽ‬‫ـﺎ ﺘﹸﻨﹾﺒِـﺕﹸ ﺍﻻﺭ‬‫( ﻤِﻤ‬Baik dari apa yang ditumbuhkan oleh Bumi /tanah) yang terdapat pada surah Yasin 36 : 36.

15

. Zamakhsyari, al-Kasysyâf an Haqâiq al-Tanjil wa Uyûn al-Aqâwil, Dâr al-Fikr, 1983, cet.2, Juz.2, hal 84. 16 . Abi al-Su’ûd Muhammad bin Muhammad al-‘Ammâdî, Tafsîr Abî al-Su’ûd …, Juz 3, Hal 234. 127

Sayyid Quthb maupun M. Quraish Shihab tidak berbeda pendapat dengan tafsiran pada tema ini, bahkan ini seiring dengan penafsir-penafsir sebelumnya. Kesamaan ini terjadi karena tata bahasa yang sama, tetapi dalam pengembangan makna Sayyid Quthb menjelaskan kawasan atau tanah dengan mencontohkannya pada padang sahara, berbeda dengan M. Quraish Shihab yang tidak memberikan contohnya. Sayyid Quthb melakukan itu dalam rangka mempertegas maksud ayat, contoh yang diambil sesuai dengan situasi lingkungannya yang banyak dikelilingi padang sahara. Berbeda dengan M. Quraish Shihab yang jauh dari kehidupan gurun atau padang sahara. Dalam penafsiran Sayyid Quthb atas ayat-ayat ini, pada dasarnya beliau memfokuskan pada dua pokok bahasan, yaitu pembahasan pada pengetahuan alam dan pemahaman tauhid. Pengetahuan alam ini beliau jelaskan dalam bentuk fenomena alam. Fenomena alam yang diungkapkan bukanlah sebuah kiasan, tetapi sesuatu yang nyata dan tanpak di hadapan pandangan manusia. Dalam penjelasannya, beliau ungkapkan sifat-sifat alam, walaupun dengan penjelasan yang sangat sederhana. Sifat-sifat alam ini kemudian dihubungkan dengan nilai-nilai ketauhidan, dengan tujuan utama manusia menyadari hakekat dirinya.17 Lebih jauh lagi, dapat saja Sayyid Quthb mengharapkan, jika

17

. Hal ini dapat terlihat pada substansi penafsiran Sayyid Quthb pada ayat-ayat al-Balad, khususnya ayat-ayat pada tema wilayah atau negeri yang bersifat umum, salah satunya dapat dilihat dari penafsiran pada Qs Qâf 50 : 11 pada tesis ini. 128

tiap individu menyadari akan hakekat dirinya, maka individu itu diharapkan akan menjadi manusia pada derajat kesempurnaan (insan kamil). Dengan demikian al-Qur’an di sini menjadi sarana bagi manusia untuk mencapai pada manusia yang sempurna itu. Hal yang menonjol dari penafsiran Sayyid Quthb dalam ayat-ayat alBalad adalah beliau selalu menyertai keterangan penafsiran al-Balad dengan Qalb (hati), bahkan kata balad sendiri ditafsirkan dengan Qalb (hati) sebagai sebuah perumpamaan.18 M. Quraish Shihab dalam penafsiran atas ayat-ayat yang sama memfokuskan penafsirannya pada penjelasan tugas, fungsi, sifat dan karakteristik dari masing-masing subjek dan objek dalam peristiwa alam. Hal itu dinyatakan atas penjelasan beliau pada tanah, air hujan, angin, jiwa, manusia yang banyak dan kultur dari sebuah daerah.19 Aneka penjelasan itu semuanya ditujukan agar pembaca paham, bahwa semua itu merupakan kuasa Allah. Manusia diharuskan sadar dan kembali kepada alur yang diciptakan Allah. Sehingga diharapkan manusia di bumi ini menjadi perwujudan Allah, nilai ketauhidan ini menjadi point yang menonjol dalam ayat ini.

18

. Lihat pada penafsiran beliau pada Qs al-A’raf 7 : 58 . Lihat pada penafsiran M. Quraish Shihab pada Qs Qâf 50 : 11; Qs al-Zukhruf 43 : 11 ; Qs al-Fathir 35 : 9 dan Qs al-A’raf 7 : 57-58 pada bab III tesis ini. 19

129

Dengan demikian penafsiran antara Sayyid Quthb dan Quraish Shihab pada

ayat-ayat

di

atas

tidaklah

berbeda

secara

substantif,

yang

membedakannya adalah gaya penyampaiannya saja. Dari penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab pada bab III tesis ini, ayat-ayat di atas berkisah tentang proses kehidupan yang terjadi di bumi. Sepintas kilas tidak ada yang istimewa dalam proses-proses itu, tetapi bagi umat yang mau merenungi proses-proses itu, terdapat keistimewaan dan kandungan nilai yang banyak. Semua kehidupan di muka bumi berasal dari air (air hujan), ia menjadi benda yang sangat penting peranannya sebagai sumber kehidupan. Tanah atau daerah yang subur, hidup dan suci menjadi satu faktor dari rahmat Allah kepada makhluk hidup, khususnya bagi umat manusia. Tanpa adanya tanah yang subur dalam satu daerah, maka daerah itu tidak akan banyak memberikan manfaat, sebab tidak ada tumbuh-tumbuhan yang akan hidup dan menghasilkan di atasnya. Karenanya tanah atau daerah yang subur, hidup dan suci merupakan embrio bagi kehidupan di bumi. Oleh sebab itu kehidupan, kesuburan dan kesucian suatu tanah atau daerah perlu dijaga, dipelihara dan dilestarikan, supaya komunitas kehidupan yang ada di atasnya dapat hidup dan berkembang dari manfaat yang dihasilkan darinya dengan nuansa yang penuh dengan rasa syukur dan keberkahan. Sebaliknya jika tanah atau daerah tidak dijaga, dipelihara dan dilestarikan maka bumi akan rusak,

130

tanah akan menjadi tandus dan mati. Seperti penggundulan hutan yang banyak dilakukan manusia yang telah menimbulkan kebanjiran, rusaknya ozon, bumi menjadi panas, tanah tandus dan timbulnya tanah longsor. Dalam posisi ini manusia merupakan faktor penentu, apakah ia akan berbuat baik atau sebaliknya, jika manusia mau belajar dan merenungi semua peristiwa alam tersebut sehingga ia menyadarinya dan bersyukur pada Allah sang pencipta, maka tidak ada lagi penderitaan dan kerusakan di atas bumi. Bumi dalam genggaman manusia yang mau mengambil pelajaran dan mau bersyukur akan menjadi bumi dengan kualitas tanahnya yang baik, sehingga kesuburannya dapat terpelihara dan akhirnya mampu mendatangkan berbagai macam tumbuhan yang dapat bermanfaat bagi makhluk hidup. Selain menjaga kesuburannya manusia juga secara tidak langsung diperintahkan untuk menjaga, mengatur kandungan yang ada di dalamnya seperti alam, lingkungan hutan, sumber energi maupun barang tambangnya seperti minyak bumi, gas, batu bara, emas, timah, dan lain-lain. Jika ini tidak diperhatikan dan diatur sedemikian rupa akan menimbulkan dampak yang tidak kecil bagi manusia. Apa yang ditumbuhkan oleh bumi berupa segala tumbuhan dan menumbuhkan buah-buahan tercipta karena unsur keberpasangan. Dalam ayat ini juga kita dapat membuktikan bahwa makna al-Ardh sebagaimana 131

makna balad, baldah dan al-Balad dengan arah pembicaraan adalah tempat lebih khususnya lagi tanah. Makna balad, baldah dan al-balad dalam ayat-ayat di atas menunjukkan dasar sebuah kehidupan, berawal dari daerah yang tandus, mati dan tak berpenghuni menuju daerah yang subur, hidup dan berpenghuni, sangat alamiah sekali. Itulah yang direfresentasikan dengan jelas oleh kata balad, baldah dan al-Balad. Jika ditinjau dari aspek sebuah negeri yang berdiri menjadi sebuah negara dengan pemerintahan yang modern, maka kondisi alamiah di atas adalah prasyarat awal dan pasti akan dilewati oleh negara semodern apapun negara itu. Karakter-karakter yang dapat diambil dari penafsiran ayat-ayat di atas, dan merupakan karakter yang tidak dapat dilepaskan dari tempat, tanah, daerah, padang sahara, bumi, maupun negeri sebagai sarananya. Karakterkarakter itu antara lain : Tidak ingkar, al-Qur’an sebagai terapi pengobatan, tamsil sebagai sebuah metode pendidikan, suci dan bersih dalam kehidupan, keterkaitan satu sama lain dalam menjalankan kehidupan, kehidupan dilalui dengan; beraturan dalam pola hidup, syukur dalam kehidupan. Semua karakter itu merupakan fondasi utama dalam menjalankan kehidupan di masyarakat. Dari penjelasan penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab pada ayat-ayat al-Balad dalam tema ini, penulis menangkap satu garis pemahaman 132

yang sama antara keduanya, yaitu fenomena alam, walau terlihat sederhana dan dianggap sebagai sebuah perumpamaan dalam ayat al-Qur’an, namun penulis melihat fenomena alam itu keberadaannya tidak dapat dinafikan begitu saja, sebab fenomena alam merupakan sesuatu yang nyata adanya dan keberadannya begitu besar bagi manusia. Karena fenomena alam dapat menjadi pelajaran bagi manusia untuk dijadikan mitra dalam kehidupan, yaitu dengan memahami karakteristik alam, manusia mampu bertahan dan memanfaatkannya untuk keberlangsungan hidup manusia. Alam yang terjadi karena fenomena alam maupun hasil andil tangan manusia, merupakan embrio bagi kehidupan manusia untuk mencapai posisi manusia yang sadar dan menyadari keberadaan dirinya, untuk mampu mencapai derajat manusia sempurna. Yaitu dengan memulai pada alam lingkungan tempat tinggalnya, karena dari lingkungan yang kecil itulah kemudian lahir kehidupan yang lebih besar lagi, yaitu kehidupan negeri dan negara. Dengan demikian dalam kehidupan bermasyarakat dalam satu negeri atau negara, manusia dengan fenomena alam yang terjadi setiap saat dalam kehidupan itu, hendaklah mampu menjaga dan mengembangkan alam sekitar menjadi bermanfaat bagi sesamanya, sebagai proses awal bahwa ia paham dan mengerti hakekat keberadaannya di sana. Kemampuan mengelola lingkungan 133

sekitar untuk kemanfaatan bersama itulah, menurut penulis point penting dari penafsiran kedua mufassir kontemporer itu. Sebab tujuan ketaqwaan, memahami

siapa

sang

penciptanya,

proses-proses

kebangkitan

yang

dicontohkan melalui peristiwa alam, kesadaran bahwa manusia akan dibangkitkan dari kematiannya adalah supaya manusia sadar akan tugas dan fungsinya di dunia, sehingga dengan kesadaran ini, dunia yang nyata dan sedang dihadapinya itu menjadi sarana pertama yang harus diselesaikan dan diformat untuk kebaikan bersama sesuai dengan kapasitas dirinya sebagai hamba Allah. Jika manusia tidak mampu menyelesaikan tugas pertamanya itu, seakan-akan keberadaannya di dunia menjadi sia-sia. B. Al-Balad dengan tema Kota atau Negeri Kota yang Tertentu Ayat-ayat yang masuk dalam tema ini adalah Qs al-Fajr 89 : 8, 11; Qs Qâf 50 : 36; Qs Saba’ 34 : 15; Qs al-Mu’min 40 : 4; Qs al-Nahl 16 : 7; dan Qs Ali Imran 3 : 196. Ayat-ayat ini disusun berdasarkan urutan turunnya wahyu, semuanya masuk dalam ayat-ayat Makiyyah kecuali surah Ali Imran yang merupakan ayat Madaniyah. Ayat-ayat di atas mengandung kata-kata balad, baldah dan al-bilâd,. Kata (‫ ) ﺍﻟـﺒﻼﺩ‬al-Bilâd ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâl al-Qur’ân dengan negeri. Negeri di sini adalah negerinya kaum tertentu, sebab dalam keterangan

134

tafsirnya Negeri Saba’, Iram, Tsamud, ‘Âd, Fir’aun dan negeri kaum Luth menjadi contohnya. Sedangkan M. Quraish Shihab menafsirkan kata ( ‫ ) ﺍﻟﺒﻼﺩ‬alBilâd dengan negeri-negeri atau kota-kota. Negeri di sini adalah negerinya kaum tertentu, yaitu umat-umat terdahulu seperti kaum Nuh, penduduk Rass, yaitu kaum Nabi Syu’aib yang dihancurkan dengan gempa bumi sehingga tertimbun dalam sumur mereka, Tsamud umat Nabi Shalih as yang dibinaskan setelah menyembelih unta yang dianugerahkan kepada mereka sebagai bukti kebenaran rasul. Kemudian kaum Tsamud, kaum ‘Âd kaumnya Nabi Hud as, Fir’aun tirannya yang terbesar di kalangan umat Nabi Musa as, kaum Luth yaitu saudara-saudara sebangsa Nabi Luth as yang dijungkirbalikan pemukimannya

karena

perbuatan

homoseksual

di

kalangan

mereka,

penduduk Aikah serta kaum Tubba. Penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab dalam tema ini adalah sama, hal ini sejalan dengan pengertian Ensiklopedi al-Qur’an atas kata al-Bilâd dalam surah al-Fajr 89 : 8, 11, Qâf 50 : 36, dan al-Mu’min 40 : 4 yang dipakai untuk menunjuk negara tertentu dalam sejarah sebelum Islam lahir.20 Sedangkan kata al-Bilâd yang terdapat dalam surah Ali Imran 3 : 196 sebagai pengecualiannya.

20

. Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an ..., Hal 282. 135

Para Mufassir terdahulu juga menerangkan hal yang sama, seperti pada surah al-Fajr ayat 8 yang menceritakan tentang kaum Âd, yang tinggi, keras dan kuat, tinggal di daerah Iram.21 Iram itu adalah umat terdahulu, yaitu Âd yang pertama. Iram juga adalah bait (rumah-ibukota) kerajaan Âd. Iram diartikan juga sebagai kabilah atau negeri (baldah) tempat tinggalnya Âd.22 Iram sebagai kotanya kaum Âd, menurut Ibn al-Arabî adalah Damaskus, karena tidak ada negeri seperti Iram kecuali Damaskus, kemudian ia sebutkan sifat-sifatnya dengan banyaknya pedang dengan sepuhan emas dan berbagai kebaikan lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa Iram itu adalah Iskandariah, sebab Iskandariah sangat ajaib dengan adanya menara di sana, menara merupakan bangunan yang jelas dan merupakan contoh pilar, –ciri khas kaum Âd- sedangkan di Damaskus tidak ada contoh seperti ini.23 Dalam kajian kebahasaan kata al-Bilâd pada ayat 11 surah al-Fajar diatas berkonotasi pada negeri masa lalu sebelum Islam datang. Negeri-negeri yang dibicarakan dalam konteks ini adalah negeri kaum Âd, Tsamud dan Fir’aun.24 Mereka berbuat sewenang-wenang di negerinya sendiri, mereka durhaka,

21

. Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr…, juz 5,Hal 550. . Abî al-Fidâ’ Ismâ’il bin ‘Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm Juz 8, Hal 395-396. 23 . Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz 20, hal 22

43.

24

. Jamal al-Din al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi, Beirut-Libanon : Dâr al-kutub al-Ilmiyyah, 1997, cet-1, jilid 9, hal 468. 136

sombong, dan kesewenangannya melampaui batas,25 dalam kesesatan dan permusuhan.26 Tsamud adalah kaumnya Nabi Shaleh, ia adalah kaum yang pertama kali memahat gunung, membentuknya -menjadi rumah- dengan batu pualam. Mereka membangun rumah tempat tinggalnya dari kayu-kayu.27 Kaum Âd adalah sekelompok masyarakat Arab yang terdiri dari sepuluh atau tiga belas suku, kesemuanya telah punah. Moyang mereka yang bernama Âd, merupakan generasi kedua dari putra Nabi Nuh as. yang bernama Sam. Mayoritas sejarawan menyatakan bahwa Âd adalah putra Iram, putra Sam, Putra Nuh as. suku Âd bermukim di satu daerah yang bernama asy Syihr, atau al-Ahqaf di Yaman28 yang terletak antara Aden dan Hadhramaut. Kuburan Nabi Hud as yang merupakan salah seorang keturunan kaum Âd terdapat di sana dan hingga kini masih merupakan tempat yang diziarahi, khususnya pada bulan Sya’ban. Iram adalah nama kakek dari suku Âd yang pertama dan diabadikan menjadi nama dari suku yang memiliki garis keturunan yang bersumber dari sang kakek itu.29

25 26

45.

. Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr…, juz 5,Hal 551. . Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz 20, hal

27

. Cerita ini berasal dari Ahlul Kitab yang diriwayatkan oleh Syahr bin Hausyab dari Abu Hurairah, Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz 20, hal 44. 28 . Al-Qasimi mengutip Ibn Khaldun menyatakan bahwa tempatnya diperkirakan terletak di Yaman Tengah, sebab tempat itu tidak nampak lagi di permukaan bumi. Jamal al-Din al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi, jilid 9, Hal 467. 29 . Ibid, hal 467. 137

Kata al-Bilâd diartikan dengan ( ‫ )ﻀــﺭﺒﻭﺍﻓﻲ ﺍﻻﺭﺽ‬Dharbû Fî al-Ardh bagian-bagian dari bumi, seperti dikatakan berjalanlah di negeri-negeri, yaitu perjalanan dalam rangka mencari rezeki, seperti pedagang, pengusaha yang banyak berkeliling di setiap negeri.30 Makna ( ‫ ) ﻓﻨﻘﺒﻭﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻼﺩ‬Fanaqqabû fî al-Bilâd adalah berjalan di atas negeri-negeri, atau bergerak dan berkeliling.31 Dalam penafsiran kata al-Bilâd pada ayat-ayat di atas, Sayyid Quthb menerangkan penafsirannya secara sederhana dan tidak panjang lebar dalam mengungkapkan kisah-kisahnya. Berbeda dengan M. Quraish Shihab yang menerangkan sifat dan karakter dari masing-masing penduduk dari negerinegeri itu secara lebih luas. Bahkan beliau menyertakan data-data dari hasilhasil penemuan ilmiah di masa kontemporer. Walaupun pada dasarnya kisah yang ditampilkan keduanya sebagaimana kisah yang diungkapkan oleh mufassir terdahulu. Kata ( ‫ ) ﺒﻠـﺩﺓ‬baldah ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dengan negeri yang berbentuk kerajaan, sebab Sayyid Quthb menerangkan Saba’ sebagai bangsa yang berdomisili di Selatan Yaman, yang memiliki tanah subur, dan dinyatakan sebagai kerajaan. Sedangkan M. Quraish Shihab menafsirkannya dengan negeri, yaitu Negeri Saba.

30 31

23.

. Abî al-Fidâ’ Ismâ’il bin ‘Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm Juz 7, Hal 408. . Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz 17, Hal

138

Dalam Ensiklopedi al-Qur’an kata baldah dalam surah Saba’ 34 : 15 di atas lebih condong digunakan untuk menyebut suatu wilayah yang relatif lebih sempit dan berkonotasi birokratis, yakni kota atau negeri kota.32 Saba’ sendiri adalah kabilah yang berasal dari anak-anak Saba’, yaitu Saba’ bin Yusyjab bin Ya’rib bin Qahthân bin Hûd. Makna ( ‫ ) ﺒﻠـﺩﺓ ﻁﻴﺒـﺔ‬adalah negerinya bagus karena banyak pepohonan dan buahnya baik-baik.33 Kaum Saba adalah satu diantara empat peradaban besar yang hidup di Arabia Selatan. Kaum ini diperkirakan hidup sekitar sekitar 1000-750 SM dan hancur sekitar 550 M setelah melalui penyerangan selama dua abad dari Persia dan Arab. 34 Dari penjelasan ayat diatas baldah merupakan kota atau negeri yang tertentu, karena di dalamnya hanya menceritakan kota atau negeri secara spesifik yaitu negeri atau kota Saba saja. Penjelasan dari Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab serta fakta sejarah atas negeri Saba di atas, menunjukkan bahwa semuanya memiliki kesepemahaman atas penafsiran ayat-ayat al-Balad tersebut. Namun demikian terdapat ciri khas yang tidak dapat dilupakan dari sosok Sayyid Quthb, yaitu beliau selalu mengkaitkan penafsirannya dengan

32

. Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an …, Hal 282. . Muhammah al-Syaukanî, Fath al-Qadîr..,: Juz 4, Hal 395-396. 34 . www.bangsamusnah.com/peoplesaba.html - 34k 33

139

qalb (hati). Berbeda dengan M. Quraish Shihab yang dalam penjelasan kisah masa lalu selalu disertai dengan data-data temuan ilmiah. Kata ( ‫ ) ﺒﻠﺩ‬balad ditafsirkan dengan negeri. Negeri yang dimaksud di sini adalah wilayah yang relatif luas dan berkonotasi geografis. Sebab penjelasan Sayyid Quthb melalui pernyataan di balik penciptaan binatang ternak terdapat nikmat yang besar, yaitu adanya kemampuan binatang ternak memikul beban ke suatu negeri yang tidak sanggup manusia lakukan kecuali dengan susah payah.35 M. Quraish Shihab menafsirkan Kata balad dengan negeri tertentu. Hal ini dapat dipahami dari kata penafsiran M. Quraish Shihab tentang nikmat yang diperoleh dari penciptaan binatang ternak, ketika binatang ternak itu mampu memikul beban yang berat ke suatu negeri-negeri, -tidak ada penjelasan rincinya, tetapi maksudnya adalah wilayah tertentu yang berkonotasi geografis- yang akan dikunjungi dengan jarak yang begitu jauh. Kata balad dalam surah al-Nahl 16 : 7 mengandung arti suatu tempat yang meliputi wilayah yang relatif luas dan berkonotasi geografis.36 Ayat ini merupakan ayat yang diturunkan berkenaan dengan kaum musyrikin Makkah, disebabkan mereka suka hidup dengan serba senang. Mereka pemberani dan hidup dengan senang. Sebagai orang mukmin berkata :

35 36

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân…, juz 4, hal 2161. . Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an ..., Hal 282. 140

sesungguhnya azab Allah itu terlihat dalam bentuk kebaikan, dan sungguh kita celaka dalam kelaparan dan kepayahan. Maka turunlah ayat ini.37 Menurut Ibn Abbas yang dimaksud dengan orang-orang kafir adalah orangorang Makkah, atau kaum Yahudi di Madinah yang kehidupannya sangat senang, kehidupan yang mudah, tumbuhan yang banyak, tanah yang luas.38 Ini merupakan gambaran dari situasi di negeri mana pun, akan selalu ada manusia kafir di samping orang-orang yang mukmin. Keadaan negeri yang memberikan akses kenikmatan seluas-luasnya untuk manusia berbuat, ternyata dapat menjadi faktor ujian bagi semua manusia. Apakah kenikmatan itu membuat lalai atau semakin mempertebal keimanannya pada yang Maha Kuasa. Selain ayat-ayat balad, baldah dan al-Bilâd dengan masing-masing maknanya, juga terdapat ayat-ayat lain yang menggunakan kata selain Balad, baldah dan alBilâd yaitu dengan kata al-Dâr 3 ayat ; al-A'raf 7 : 145, al-Mumtahanah 60 : 8-9, kata al-Madinah 15 ayat dan dengan kata al-Qoryah 56 ayat. Ayat-ayat itu diantaranya adalah : Ayat dengan kata al-Dâr yaitu :

37

. Syeikh Hasanain Muhammad Makhlûf, Tafsîr wa Bayân kalimât al-Qur'an al-Karîm, Maktabah 'Abd al-Wahhâb mirzâ, Makkah al-Mukarramah. Tth, Hal 119-120. 38 . Zamakhsyari, Al-Kasysyâf ‘An Haqâiq al-Tanzil …, juz 1, hal 490. 141

Artinya : Dan telah kami tuliskan untuknya pada lauh-lauh segala sesuatu, sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu, maka ambillah ia dengan teguh dan suruhlah kaummu mengambil yang terbaik darinya, nanti akan Aku perlihatkan kepada kamu negeri orang-orang yang fasik. (Qs al-A’raf 7 : 145) Ayat dengan kata al-Madinah diantaranya yaitu :

Artinya : Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di Bumi, dan tidak mengadakan perbaikan. (Qs al-Naml 27 : 48) Ayat dengan kata al-Qoryah diantaranya yaitu :

Artinya :Padahal betapa banyaknya negeri yang telah kami binasakan, maka datanglah siksaan kami menimpanya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka berbaring di tengah hari. (Qs al-A’raf 7 : 4) Kota-kota maupun negeri-negeri yang diceritakan oleh al-Qur'an diatas merupakan kota-kota dan negeri-negeri yang tertentu dalam sebuah wilayah yang relatif luas, berkonotasi geografis.

142

Dalam penafsiran Sayyid Quthb pada tema ini, beliau menekankan penjelasannya pada karakter bangsa yang berada pada sebuah negeri hingga menyebabkan kehancuran, hal ini ditujukan agar manusia tergerak Qalb (hati)nya untuk tidak meniru karakter-karakter yang dilakukan oleh bangsa yang dimusnahkan itu. Berbeda dengan M. Quraish Shihab yang menerangkan pada tema ini secara luas dan gamblang, beliau menjelaskan sifat-sifat kaum yang dimusnahkan itu, menceritakan gambaran umumnya berdasarkan fakta sejarah secara ilmiah, kemudian beliau ungkapkan statemen atas peristiwa yang terjadi pada kaum-kaum itu. Statemen itu diungkapkan, sepertinya merupakan penggambaran atas situasi dan kondisi yang menimpa negerinya. Walaupun beliau bukan seorang politisi, namun beliau sangat peka atas fenomena yang terjadi disekitarnya.39 Bukti kepekaan M. Quraish Shihab lainnya adalah respon beliau terhadap

kondisi

sosial

politik

yang

terjadi

di

negerinya

dengan

menyampaikan pesan yang dinamai pesan untuk kepala negara, pesan ini disampaikan menjelang pemilihan putaran kedua Presiden Republik Indonesia

39

. Lihat pernyataan beliau pada penafsiran surat al-Fajr 89 : 11. dan lihat juga penafsiran beliau dalam menerangkan kisah negeri saba’. 143

untuk periode 2004-2009 yang diikuti oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri.40 Dalam penafsiran M. Quraish Shihab ini, tidak terlihat secara nyata, maksud, tujuan dan arah tafsirnya. Seakan-akan tafsirannya merupakan khabar dan informasi belaka, padahal dari penggambaran ini, pembaca dapat mengambil ibrah sesuai dengan pemahaman masing-masing. Dari penjelasan mufassir klasik, Sayyid Quthb, M. Quraish Shihab dan data sejarah masa lalu, dapat dinyatakan bahwa setelah peristiwa nature (alami) terjadi yaitu menghidupkan tanah yang mati menjadi subur, al-Qur’an kemudian memahami makna Balad, baldah dan al-Bilâd sebagai perangkat dasar sebuah kehidupan masyarakat dalam bentuk daerah secara umum, kemudian mengarah pada istilah kota atau negeri yang umum dan tertentu. Ini menandakan bahwa Balad, baldah dan al-Bilâd memiliki makna yang berkembang, dan secara inflisit hal ini menyatakan bahwa al-Qur’an telah merinci embrio bagi tumbuhnya sebuah komunitas kehidupan. Dari paparan Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab pada tema ini, point-point yang menjadi catatan di sini adalah : pemakaian istilah negeri,

40

. Pesan ini kemudian dimuat bersama pesan 19 pakar dari berbagai bidang dan disiplin ilmu, dan diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta (2004), dengan judul Pesan untuk Presiden periode 20042009. oleh M. Quraish Shihab, pesan ini dimasukkan dalam buku dengan judul Menabur Pesan Ilahi : Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta : Lentera Hati, 2006, cet 1, hal 422. 144

kerajaan, kota dan negara, dengan standar geografisnya luas; lebih sempit, berada di bagian bumi sebagai istilah dalam pemerintahan. Istilah istana, kerajaan, gedung-gedung, benteng, pilar, bendungan, relif merupakan bangunan yang ada dalam sebuah kehidupan dengan peradaban yang tinggi. Membayar pajak, mengatur jalur perdagangan, angkatan bersenjata, perluasan wilayah (ekspansi) dan itu dapat terwujud jika masyarakatnya sudah memiliki sistem pemerintahan. Dari kehidupan masyarakat masa lalu dengan berbagai sistem pemerintahannya saat itu, terdapat karakter-karekter masyarakatnya yang dapat dijadikan ibrah bagi kehidupan masyarakat berikutnya, karakterkarakter itu adalah : 1. Kemampuan dan peradaban masyarakat : Memahat gunung hingga menjadi rumah, memotong batu untuk dibuat bangunan, bangunan terbuat dari batu pualam. Membangun 1700 kota yang rumahrumahnya terbuat dari kayu-kayu. Membuat istana-istana, bentengbenteng,

gua-gua,

Bangunan-bangunan

tinggi,

kolam-kolam

penampungan air, bendungan, aneka tulisan beraksara Arab, Aramiya, Yunani dan Romawi, berdinamika mencari penghidupan antar kota dan negara (berdagang), penjelajahan, penelitian dan pencarian di berbagai

145

negeri, tentara yang kuat, ekspansi wilayah, letak kota yang dekat dengan sungai sebagai sumber air, 2. Kondisi kehidupan masyarakatnya : Makmur, bergelimang dengan materi, kebun yang subur, punya kedudukan, kekuasaan, jalan, sarana transportasi, binatang ternak sebagai transportasi antar kota dan negeri. 3. Sifat-sifat yang berkembang dalam masyarakatnya : Melampaui batas, sewenang-wenang, mengabaikan petunjuk agama ; homoseksual, menyembah berhala, menyembah matahari, tidak bersyukur, dan sesat. Membantah

kebenaran,

durhaka,

angkuh,

sombong,

diktator

;

mengekang kebebasan, menghancurkan norma-norma, nilai-nilai, pola pikir,

dan

pemalsuan

tata

nilai.

Penyelewengan,

zhalim,

penganiyayaan,. 4. Akibat sifat-sifat yang menyimpang : Mereka memperoleh kehancuran, pemukiman dijungkir-balikan, terjadi gempa bumi, dan banjir besar. Dengan demikian, pada tema ini dapat dinyatakan bahwa ayat-ayat diatas merupakan gambaran beberapa pola dan prilaku, yang baik maupun yang buruk dari penghuni suatu negeri atau negara. C. Al-Balad dengan tema Kota atau Negeri Kota Makkah Ayat-ayat yang masuk dalam tema ini adalah Qs al-Tin 95 : 3; Qs alBalad 90 : 1-2; Qs al-Naml 27 : 91; Qs Ibrahim 14 : 35; dan Qs al-Baqarah 2 : 126. 146

Ayat-ayat ini disusun berdasarkan urutan turunnya wahyu, semuanya masuk dalam ayat-ayat Makiyyah kecuali surah al-Baqarah yang merupakan ayat Madaniyah. Ayat-ayat diatas mengandung kata-kata al-Balad dengan ( ‫ ) ﺍل‬al Ma’rifah dan didahului dengan isim isyarah Hâdzâ dan Hâdzihî. Kecuali pada surah alBaqarah 2 : 126 tanpa menggunakan al hanya balad saja. Kata al-Balad, al-Baldah dan balad ditafsirkan oleh Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâl al-Qur’ân semuanya dengan kota atau negeri Makkah, baitullah al-Haram. Demikian juga M. Quraish Shihab dalam al-Mishbâh menafsirkan dengan negeri yang maksudnya adalah kota Makkah, baitullah al-Haram. Tidak ada perbedaan penafsiran antara keduanya. Penafsiran tersebut juga sejalan dengan makna yang diungkapkan Ensiklopedi al-Qur’an atas kata al-balad dan balad pada semua surah di atas dengan menunjuk pada wilayah luas tertentu yaitu menunjuk kepada wilayah Makkah dan sekitarnya.41 Kata al-Balad dan balad dengan makna Makkah ini, diterangkan oleh ‘Aisyah ‘Abdurrahman secara rinci, yaitu ketika kata Hâdzâ al-Balad (Negeri ini) tertera dalam al-Qur’an al-Karim dalam bentuk tunggal (mufrad) dan dima’rifat-kan dengan al serta diisyaratkan dengan hâdzâ, maka itu menunjukkan 41

. Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an …, Hal 282. 147

bahwa al adalah untuk al-‘Ahd (suatu hal yang sudah diketahui); dan negeri yang dimaksudkan adalah negeri Makkah. Adapun balad dalam bentuk mufrad (tunggal) dan nakirah (tersamar), hanya terdapat satu kali yang mengarah pada Makkah. Hal ini menunjukkan bahwa pengkhususan kata al-Balad dengan Makkah di dalam al-Qur’an tidaklah pada ma’rifat-nya tetapi dengan al ‘Ahdiyah (al untuk sesuatu hal yang sudah diketahui) dan isim isyarah (kata tunjuk) yang menunjukkan ketentuan, pengkhususan dan penghadiran. 42 Sebagaimana pada penafsiran Sayyid Quthb maupun M. Quraish Shihab atas ayat-ayat di atas, semua penafsiran atas kata balad dan derivasinya mengarah pada kota Makkah, atau negeri Harâm.43 Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Ankabut 29 : 67 yang berbunyi44 : ‫ ﺃﻨﺎ ﺠﻌﻠﻨـﺎ ﺤﺭﻤـﺎ ﺃﻤﻨـﺎ‬, Makkah dinamai ( ‫ ) ﺃﻤﻴﻨـﺎ‬amînan karena kota itu aman.45 Kota itu menjaga siapa yang memasukinya seperti orang yang dipercaya menjaga apa yang dipercayakan kepadanya. Sehingga kedua-duanya saling menjaga.46 Al-Balad dalam ayat diatas adalah Makkah, al-Harâm atau negeri Makkah.47

42

. ‘Aisyah ‘Abdurrahman, al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, Kairo : Dâr al-Ma’ârif, Cet-5, hal 169. 43 . Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân..., Juz 15, hal 265-266. 44 . Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân ...,Juz 20, Hal 105. 45 . Muhammah al-Syaukanî, Fath al-Qadîr: AlJâmi’ Bain Fannî al-Riwâyah…, Juz 5, hal 588. 46 . Abi al-Su’ûd Muhammad bin Muhammad al-‘Ammâdî, Tafsîr Abî al-Su’ûd al-Musamma Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’an al-Karîm …, Juz 9, hal 175. 47 . Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân..., juz 15, hal 212. Abi al-Su’ûd Muhammad bin Muhammad al-‘Ammâdî, Tafsîr Abî al-Su’ûd al-Musamma Irsyâd al148

Hâdzihi al-Baldah di sini adalah Makkah,48 merupakan pengkhususan dari berbagai tempat untuk dijadikan rumah Allah al-Harâm, menjadikannya negeri yang dicintai rasulnya, negeri yang aman tidak ada pertumpahan darah, tidak seorang pun yang berbuat zhalim, tidak boleh memotong hewan,49 pohonnya tidak boleh ditebang.50 Hâzhâ al-Balad adalah Makkah yang dimuliakan oleh Allah dengan menjadikannya aman.51 Negeri yang aman penduduknya.52 Ibrahim telah berdo’a kepada Tuhannya untuk menjadikannya aman, yaitu memberikan keamanan.53 Balad di sini adalah lembah dari satu negeri yaitu Makkah.54 Ibrahim telah berdo’a, mendo’akan keluarganya dan orang lain untuk aman dan hidup secara nyaman.55

‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’an al-Karîm ..., Juz 9, hal 160. Muhammad bin Ahmad al-Anshârî alQurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân …, juz 20, hal 54-55. 48 . Muhammad Jamâluddin al-Qâsimî, Tafsîr al-Qâsim al-Musamma Mahâsin …, Juz 7, Hal 511. 49 . Muhammah al-Syaukanî, Fath al-Qadîr: AlJâmi’ Bain Fannî al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr …, Juz 4, Hal 193. Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi ..., juz 11, hal 28. 50 . Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân …, Juz 13, Hal 220. 51 . Abi al-Su’ûd Muhammad bin Muhammad al-‘Ammâdî, Tafsîr Abî al-Su’ûd al-Musamma Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’an al-Karîm …, Juz 5, Hal 50, lihat Muhammad bin Ahmad alAnshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân …, juz 9, hal 313. 52 . Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân..., Juz 8, Hal 264. 53 . Muhammah al-Syaukanî, Fath al-Qadîr: AlJâmi’ Bain Fannî al-Riwâyah wa …, Juz 3, Hal 138. 54 . Abi al-Su’ûd Muhammad bin Muhammad al-‘Ammâdî, Tafsîr Abî al-Su’ûd al-Musamma Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’an al-Karîm …, Juz 1, Hal 158. 149

Selain ayat dengan kandungan makna di atas, terdapat ayat-ayat lain dengan menggunakan kata-kata selain al-Balad, yaitu dengan kata qoryah pada 3 ayat, yaitu Qs al-Nisa 4 : 75, al-An’am 6 : 92 dan al-Syura 42 : 7. Serta kata Makkah pada Qs al-Fath 48 : 24 dan Bakkah pada Qs Ali Imran 3 : 96. Ayat-ayat itu adalah : a. al-An’am 6 : 92

Artinya : Dan ini (al-Qur'an) adalah kitab yang telah kami turunkan yang diberkahi, membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) ummul Qura (mekkah) dan orang-orang yang diluar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (al-Qur'an) dan mereka selalu memelihara shalatnya) (Qs al-An'am 6 : 92) Ummu al-Qurâ adalah Makkah,56 tempat yang agung, rumah yang pertama kali dibangun untuk manusia, merupakan kiblat seluruh umat,

55

. Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân …, Juz 1, Hal 118. Muhammah al-Syaukanî, Fath al-Qadîr: AlJâmi’ Bain Fannî al-Riwâyah wa al-Dirâyah min…, juz 1, hal 181. 56 . Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân …, Juz 7, Hal 36. 150

tempat manusia berhaji.57 Makkah dan sekitarnya baik dari arah timur maupun barat.58 Sayyid Quthb menyatakan bahwa Mekkah dinamakan Ummul Qura, karena di sana berdiri Baitullah yang merupakan bangunan pertama yang didirikan untuk digunakan manusia menyembah Allah semata tanpa sekutu. Dijadikan sebagai tempat keamanan bagi manusia dan seluruh makhluk hidup. Darinya kemudian keluarlah dakwah umum kepada seluruh umat manusia di segenap penjuru bumi. Sementara sebelumnya tidak pernah ada dakwah yang ditujukan untuk seluruh manusia secara umum seperti itu. Kepadanya kaum beriman berhaji dengan dakwah ini, untuk kembali kepada baitullah yang darinya keluar dakwah Islam itu. 59 Dalam tafsir al-Mishbâh, M. Quraish Shihab menyatakan, kata yang dimaksud dengan ( ‫ ﺍﻟﻘﺭﺍﺀ‬‫ ) ﺍﻡ‬Ummul Qura yang secara harpiah berarti ibu desadesa adalah Mekkah. Penamaan ini disebabkan karena Mekkah merupakan kota tertua dan paling terkenal di kawasan itu. Sebelumnya masyarakat kawasan Hijaz dan sekitarnya masih menetap di kemah-kemah serta berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Boleh jadi juga kota Makkah dinamai demikian karena arah yang dituju oleh masyarakat Arab, bahkan umat Islam

174.

57

. Muhammah al-Syaukanî, Fath al-Qadîr: AlJâmi’ Bain Fannî al-Riwâyah wa …, Juz 2, Hal

58

. Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân..., Juz 5, Hal 316. . Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz 2, hal 1148.

59

151

hingga dewasa ini adalah ke kota tersebut, baik dalam shalat maupun haji. Ini seperti halnya anak yang selalu mengarah kepada ibunya. Mengarah dan berkunjung ke sana karena di sana terdapat ka’bah yang menjadi pusat kegiatan. Dia juga ummul Qura karena Allah swt. Menjadikan ka’bah sebagai (‫ ) ﻤﺜﺎﺒﺔ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻭﺍﻤﻨﻰ‬matsabatan li an-nas wa amna / tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman sama dengan anak-anak yang berkumpul di sekeliling ibunya dan merasa aman berdekatan dengannya. Ada pendapat lain tentang mengapa Mekkah dinamai ummul Qura, yaitu karena kota Mekkah adalah pusat planet bumi dan pusat penetapan waktu.60 b. al-Syura 42 : 7

Artinya : Demikianlah kami wahyukan kepadamu al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada ummul Qura (penduduk Mekkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk syurga dan segolongan masuk neraka. (Qs al-Syura 42 : 7)

60

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 4, hal 196-198. 152

Ummul Qura ialah Mekkah al-Mukarramah, tempat terletaknya rumah Allah yang kuno. Allah telah memilih Mekkah dan negeri sekitarnya sebagai tempat risalah terakhir. Jika dicermati dari aneka peristiwa melalui berbagai situasi dan problematika realitas kehidupan manusia, terdapat sisi hikmah Allah dari pemilihan wilayah bumi ini pada masa itu untuk menjadi tempat risalah terakhir yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia yang nampak jelas keuniversalannya sejak awal kelahirannya.61 Penamaan Makkah dengan Ummul Qura dalam ayat-ayat di atas adalah bukan berarti bahwa ajaran Islam hanya terbatas untuk penduduk kota Mekkah dan sekitarnya, atau bahwa pada mulanya Rasul saw hanya bermaksud menyampaikan risalah beliau terbatas untuk penduduk Mekkah dan sekitarnya, tidak kepada seluruh manusia. Ini tidak dapat dibenarkan karena sejak dini pada periode Mekkah ayat-ayat al-Qur’an sudah secara tegas dan gamblang menyatakan bahwa Allah tidak mengutus Muhammad saw kecuali membawa rahmat untuk seluruh alam. M. Quraish Shihab merujuk kepada Syekh Mutawalli al-Sya’rawi62 yang mengemukakan uraian lain yaitu ayat ini menggunakan kata (‫ ) ﻭﻤﻥ ﺤﻭﻟﻬﺎ‬waman 61

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz 5, hal 3142. . Syekh Mutawalli al-Sya’rawi lahir di Mesir tahun 1912. Meninggal dunia pada usia 87 tahun. Ulama yang menyenangi ilmu tasawuf, berjiwa besar, dan revolusioner ini adalah Alumni Universitas Al-Azhar, fakultas bahasa Arab, Kairo-Mesir. Lulus dengan predikat Cum Laude (Mumtaz). karyanya yang monumental adalah kitab Tafsir Asy-Sya'rawi. http: //www.qultummedia.com/ kabar_qultum 62

153

haulaha / dan siapa yang berada di sekelilingnya. Kata (‫ )ﺤﻭل‬haula menurutnya adalah “sekeliling sesuatu”. Ia adalah yang melingkari suatu titik, titik kecil atau besar. Setiap titik atau pusat dilingkari oleh suatu lingkaran yang boleh jadi lingkaran itu kecil katakanlah dua puluh kilometer, dan boleh jadi lebih besar, seratus kilometer, bahkan lebih. Betapa pun luas dan besarnya, atau sempit dan kecilnya, ia tetap merupakan dan dinamai lingkaran. Ini berarti kata di sekelilingnya atau yang mencakup seluruh tempat. Memang satu lingkaran betapa pun kecil atau besarnya selalu bernilai tiga ratus enam puluh derajat. Pendapat ini sejalan dengan pendapat al-Baghawi yang menafsirkan ayat di atas dengan penduduk bumi seluruhnya dan pendapat al-Qusyairi yang menyatakan bahwa Bumi mengelilingi Ka’bah, sedang Mekkah adalah pusat bumi.63 c. al-Fath 48 : 24

Artinya : Dan dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Qs al-Fath 48 : 24).

63

. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 12, hal 459-460. 154

Terdapat dua pendapat tentang ( ‫ ) ﺒـﺒﻁﻥ‬bi Bathni Makkah, yaitu pertama maksudnya Makkah, kedua maksudnya Hudaibiyah. Sebab kedua-duanya disandarkan pada harâm.64 Menurut Sayyid Quthb ayat ini menyatakan bahwa Allah memberikan anugerah kepada mereka (kaum muslimin) dengan menahan tangan segolongan musuh yang hendak menyulitkan mereka dan memberitahukan musuh yang menghalang-halangi mereka untuk memasuki Masjidil Haram : menghalang-halangi sampainya hidayah ke tempatnya. Allah membelai mereka (kaum muslimin) dengan mengungkapkan hikmah yang ada di balik urungnya kunjungan ke Baitullah pada tahun ini, keutamaan yang terdapat dalam kerelaan mereka menerima kajadian itu, dan penurunan ketentraman ke dalam hati mereka. Semua itu dilakukan demi sesuatu yang menurut-Nya lebih besar daripada yang mereka lihat. Yaitu penaklukan Mekkah dan kemenangan agama ini atas seluruh agama lain atas ketetapan Allah dan pengaturan-Nya.65 M. Quraish Shihab memasukkan ayat ini ke dalam kelompok IV pembahasan surah al-Fath, kelompok IV ini terdiri dari ayat 18 s.d 29.66 Kata

Hal 239.

64

. Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân …, Juz 16,

65

. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, juz 5, hal 3328. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 13, hal 198.

66

155

Makka ( ‫ ) ﻤـﻙ‬menunjuk ke kota yang berada di Saudi Arabia di mana Ka’bah yang merupakan kiblat kaum muslimin berlokasi di sana.

Kata Makkah

terambil dari kata ( ‫ ) ﻤﻜﹼـﺔ ﺍﻟﻔـﺼﻴل ﺍﻟـﻀﺭ‬Makka al-Fashîl al-Dhar’ yakni anak unta mengisap semua air susu (induknya). Ini berarti bahwa ia sangat lapar. Nama tersebut mengisyaratkan bahwa kota itu pada mulanya –sebelum zam zam ditemukan- tidak terdapat sumber air, sehingga penghuninya bagaikan menghisap dan menghabiskan air yang ditemukan di sana.67 Kota mekkah bukan hanya menunjuk areal di mana terdapat Masjid alHarâm, tetapi mencakup seluruh wilayah haram. Atas dasar itu sementara ulama memahami kalimat ( ‫ ) ﺒﺒﻁﻥ ﻤﻜﹼﺔ‬bi bathn Makkah dalam arti di Hudaibiyah. Ada juga yang memahami dalam arti pusat kota Mekkah.68 Dalam surah Ali Imran 3 : 96 kata ( ‫ ) ﺒﻜﹼـﺔ‬Bakkah maksud sebenarnya adalah Makkah. Ini karena tempat keluar dan pengucapan huruf bâ’ dan mîm dapat dikatakan sama. Memang banyak kosa kata bahasa Arab yang huruf mîm dan bâ’-nya saling menempati tempatnya, seperti ( ‫ ) ﻻﺯﺏ‬lâzib dan ( ‫) ﻻﺯﻡ‬ lâzim, atau ( ‫ ) ﺃﺭﺒـﺩ‬arbad dan ( ‫ ) ﺃﺭﻤـﺩ‬armad serta lain-lain. Ada juga yang memahami kata bakkah terambil dari bahasa orang Kaldani yaitu bahasa yang

67 68

. Ibid, hal 206. . M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh…, juz 13, hal 207. 156

digunakan oleh Nabi Ibrâhîm as. Kata ini bermakna kota, seperti ba’la bakka di Libanon yang maknanya kota Dewa Ba’al.69 Dari penafsiran pada tema kota dan negeri kota secara khusus, kata alBalad memiliki arti kota atau negeri Makkah al-Mukarramah. Hal ini diketahui berdasarkan tafsiran para mufassir pada ayat-ayat di atas. Kota atau negeri Makkah sebagai hasil penafsiran dari ayat-ayat al-Balad di atas, juga dipahami karena redaksional ayat yang menunjukkan pada kota atau negeri Makkah. Redaksional itu adalah al-‘Ahdiyah (al untuk sesuatu hal yang sudah diketahui) dan isim isyarah (kata tunjuk) yang menunjukkan ketentuan, pengkhususan dan penghadiran. Dalam tema ini, penjelasan M. Quraish Shihab lebih panjang dan dilengkapi dengan berbagai data dan penjelasan ilmiah. Walaupun secara substantif Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab sepakat dengan makna balad dan derivasinya dalam ayat-ayat pada tema ini adalah Makkah. Namun penjelasan dari keduanya yang membuat tafsiran keduanya berbeda. Perbedaan itu bukanlah perbedaan yang prinsifil, sebab hanya berbeda dalam gaya penyampaiannya saja. hal ini juga dapat dilihat dari penafsiran keduanya atas ayat-ayat sinonim al-Balad, seperti ummul Qurâ, Makkah dan Bakkah yang

69

. Ibid., hal 207. 157

maksudnya juga Makkah al-Mukarramah. Bagi penulis itu adalah khazanah dan merupakan pengetahuan yang saling melengkapi. Berdasarkan penafsiran atas ayat-ayat pada tema ini, karakter-karakter yang dapat diambil dari penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab adalah : 1. Sikap penyayang, penyabar, taat dari sosok Ibrahim as sebagai bapak para Nabi. 2. Do’a seorang pemimpin bagi masyarakat dan negerinya untuk sebuah kebaikan dan kehidupan masa depannya. 3. Sifat aman dan mengamankan dari kota, negeri dan penduduknya, menjadi syarat bagi kebaikan dan kemajuan suatu negeri dan bangsanya. 4. Kemakmuran dan kesejahteraan suatu kota dan negeri merupakan cita-cita setiap tempat dan penduduknya. 5. Makkah sebagai sebuah tempat, dengan peradaban tinggi seakan-akan menjadi sebuah isyarat bagi semua kota dan negeri di dunia untuk menciptakan karakter-karakter yang berkembang dan berlaku di kota atau negeri Makkah ini, sehingga jika karakter yang berkembang di kota Makkah ini berlaku di kota dan negeri seluruh dunia, maka tidak ada 158

kejahatan dan kezhaliman yang akan membawa kehancuran sebuah peradaban manusia. 6. Kota atau negeri Makkah dengan karakternya yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi penghuni dan pengunjungnya, sangat tepat dijadikan teladan, sebab ia merupakan induk dari seluruh negeri yang sejak awal di bangun belum pernah mengalami kehancuran hingga saat ini.

159

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan dari beberapa penjelasan pada bab-bab terdahulu, khususnya dari penjelasan penafsiran Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab atas ayat-ayat al-Balad dan derivasinya, maka penulis memberikan kesimpulan pada penulisan ini, yaitu : Makna balad yang dalam redaksionalnya terbagi menjadi tiga, yaitu balad atau al-Balad (dengan tambahan al), bilâd atau al-Bilâd, dan baldah. Semuanya mengandung makna yang bermacam-macam, namun secara garis besar semuanya mengarah kepada tempat. Termasuk kedua mufassir kontemporer yaitu Sayyid Quthb dan M. Quraish Shihab memberikan makna pada balad dan derivasinya dengan tempat, daerah, tanah, kota hingga negeri. Dalam penjelasan ayat-ayat al-Balad, terdapat tiga bahasan utama yang terkandung di dalam ayat-ayatnya, yaitu : Pertama : Penjelasan tentang wilayah atau negeri yang bersifat umum. Wilayah pada makna ini merupakan wilayah tandus atau negeri yang mati karena tanahnya tidak tersirami dengan air (hujan). Kemudian wilayah tandus itu tersirami dengan air hujan hingga mampu menumbuhkan berbagai 159

tumbuhan. Wilayah yang tadinya tandus, gersang atau mati selanjutnya menjadi subur dan hidup, sehingga mampu memberikan kehidupan bagi penghuninya. Kehidupan yang terjadi di suatu kawasan menunjukkan kepada manusia bahwa wilayah atau daerah yang subur dan hidup merupakan hal penting dalam kehidupan. Subur dan hidupnya suatu kawasan juga tidak dapat dipisahkan dari unsur manusia, sebab melalui tangan-tangan manusia kesuburan suatu kawasan dapat terjaga dan dikelola dengan baik. Daerah atau kawasan wilayah yang subur dan hidup, merupakan tempat yang disenangi seluruh makhluk hidup, khususnya manusia. Di tempat atau kawasan yang hidup ini akhirnya manusia mampu membentuk kota atau negeri. Dengan demikian daerah atau kawasan yang subur telah menjadi prasyarat untuk eksisnya sebuah negeri, tanpa adanya daerah atau kawasan itu mustahil satu negeri dapat didirikan. Dan ini merupakan embrio bagi terbentuknya kehidupan sebuah kota, negeri dan negara. Kedua ; Penjelasan tentang kota atau negeri kota secara umum dan tertentu. Ini menunjukkan kepada manusia bahwa kehidupan di dunia ini berdasarkan proses, dari tanah yang mati timbul menjadi lahan yang subur, dihuni oleh manusia yang satu demi satu berkumpul membentuk komunitas kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya menjadi sebuah negeri. Kini tanah, daerah, kota, negeri maupun negara merupakan sebutan untuk satu

160

wilayah tertentu, saat ini sebuah wilayah telah menjadi sesuatu yang sangat penting, bahkan dunia sudah habis terkapling-kapling, jika ada satu kaplingan saja yang diambil maka resikonya akan timbul peperangan. Adapun kota atau negeri yang tertentu tercermin pada kisah kota atau negeri-negeri yang telah diberitakan dalam al-Qur’an dan peninggalannya dapat dilacak berdasarkan penemuan-penemuan Arkeologis. Negeri-negeri itu seperti Saba, Âd, Tsamud, dan Mesir. Dari kisah kota dan negeri itu, terdapat penjelasan penting yang dapat dijadikan pelajaran bagi kehidupan berikutnya, yaitu : Kota atau negeri yang makmur, subur, indah dan menyenangkan sehingga mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakatnya tercipta karena keimanan dan syukur pada Sang Pencipta, Allah swt. Selama sikap ini terjaga, situasi dan kondisi kota dan negeri yang makmur dan sejahtera itu tetap terjaga, tetapi sebaliknya ketika sikap, prilaku dan budaya masyarakatnya berubah, tidak lagi memperhatikan norma-norma agama, jauh dari rasa syukur, bahkan berbuat sewenang-wenang dengan melakukan kezhaliman dan kejahatan, maka kota atau negeri yang tadinya makmur dan sejahtera dalam waktu sesaat menjadi hancur berantakan sehingga membuat kota atau negeri menjadi mati dan jauh dari unsur kehidupan. Dengan demikian point penting pada makna ini adalah terdapat beberapa gambaran pola dan prilaku penghuni sebuah negeri atau negara.

161

Ketiga ; Penjelasan tentang kota atau negeri kota Makkah dan sekitarnya. Makkah adalah tempat yang dipilih oleh Allah. Menjadikannya sebagai tanah haram yang di dalamnya tidak ditumpahkan darah. Barangbarang temuannya tidak diambil untuk dimiliki. Bahkan, lebih jauh dari itu, harus diumumkan jika didapatkan barang temuan. Makkah telah Allah jadikan sebagai tempat yang istimewa di muka bumi. Kota Makkah Allah sebutkan dalam al-Qur'an dengan secara langsung dan tidak langsung. Makna akhir dari kata al-Balad ini menunjukkan kepada umat manusia agar manusia di mana pun berada mampu menciptakan kondisi yang kondusif sebagaimana kota Makkah yang mampu memberikan rasa aman, tentram, damai bagi penghuni

dan

pengunjungnya.

Hal

itu

tercipta

dengan

kesadaran

penghuninya untuk hidup secara teratur. Ini merupakan gambaran prilaku yang terbaik untuk penghuni sebuah kota, negeri atau negara. Sayyid Quthb maupun M. Quraish Shihab dalam menyampaikan penafsiran atas ayat-ayat al-Balad dan derivasinya tidak banyak berbeda, bahkan relatif sama secara substantif. Perbedaan antara keduanya terletak pada cara mengungkapkan penafsirannya. Sayyid Quthb menafsirkan dengan menggunakan ungkapan yang mengajak dan membangkitkan emosi dan semangat pembaca untuk melakukan apa yang terkandung dalam tafsiran

162

ayat-ayat. Hal ini karena kondisi kehidupannya yang banyak berkecimpung dalam dunia politik dan kondisi sosial Mesir yang berkecamuk. Sedangkan M. Quraish Shihab walau pun hidup dalam nuansa yang tidak berbeda dengan Sayyid Quthb, dalam mengungkapkan ayat-ayat alBalad, tidak menekankan pada aspek emosional pembaca untuk berbuat, tetapi tafsirannya lebih membawa pembaca tenang dan aman, karena informasi yang ia tampilkan dalam mengupas ayat demikian gamblang, relevan dengan ilmu pengetahuan, sejarah dan mampu menenangkan hati. Hal ini di dasarkan pada kondisi sosial yang relatif stabil, ketika beliau menuliskan tafsirnya, walau pun ada saja pernyataannya yang merupakan gambaran dari kondisi sosial politik yang terjadi di negerinya. B. Saran Dan Rekomendasi 1. Saran Berdasarkan hasil pemahaman atas tafsir al-Balad dan derivasinya yang memberikan kata akhir bahwa dalam ber-negeri dan ber-negara merupakan sesuatu yang sangat fitrah bagi manusia, format, bentuk maupun tipe bernegeridan ber-negara bukanlah merupakan soal yang urgen, yang lebih urgen adalah bagaimana kehadiran kota, negeri dan negara itu mampu memberikan jaminan kepastian kepada masyarakatnya untuk hidup lebih baik dan terhindar dari berbagai marabahaya dan penderitaan. 163

Berkaitan dengan hal inilah maka penulis menyarankan kepada siapapun untuk mampu berbuat yang terbaik bagi proses kehidupan di dunia ini, khususnya ketika berada dalam lingkungan yang serba plural. Terlebih lagi bagi pemangku kebijakan diseluruh sektor maka berikanlah kontribusi yang paling bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat yang lebih banyak. Jangan sampai dengan posisi dan jabatan yang disandang justru membuat orang lain lebih menderita dan sengsara. 2. Rekomendasi Dengan akhir tesis ini, secara singkat saya sampaikan rekomendasi penting bagi kehidupan manusia dalam melakukan interaksi kemanusiaan di dunia adalah sebagai berikut : a). Dunia adalah milik Allah yang dititipkan untuk semua manusia bukan perseorangan, maka tak boleh ada yang secara arogan berbuat menguasai secara

sepenuhnya

sumber-sumber

kehidupan

diluar

batas-batas

kewajaran, seperti menumpuk harta kekayaan untuk kemewahan pribadi, berbuat

korupsi,

dan

menghalalkan

segala

cara

dalam

semua

kehidupannya. b). Sebagai warga sebuah negeri maupun negara, kita semua punya hak dan kewajiban untuk hidup secara layak, lepas dari intimidasi dan tekanan dari siapa pun dengan tidak melakukan hal-hal yang membuat orang lain 164

merasa tertekan, terintimidasi dan masuk dalam kehidupan yang jauh dari kelayakan. c). Sebagai manusia yang diberi akal sehat, maka sepatutnya-lah manusia menjadi pemimpin dalam kehidupan dipermukaan bumi ini, dengan cara mengayomi semua kehidupan makhluk-makhluk lainnya dan tidak melakukan kerusakan-kerusakan atas kehidupan komunitas makhluk lain.

165

DAFTAR PUSTAKA ‘Abdurrahman, ‘Aisyah, al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, Kairo : Dâr alMa’ârif, Cet-5. al-‘Ammâdî, Abi al-Su’ûd Muhammad bin Muhammad, Tafsîr Abî al-Su’ûd alMusamma Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur’an al-Karîm, Beirut : Dâr al-Ahyâ al-Turâts al-‘Arabî, 1990, cet 2. Abi Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Indonesia : Maktabah Dahlan, ttp. Juz 3. Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2005, cet-III. Anwar, Hamdani, Telaah Kritis terhadap Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab, dalam jurnal Mimbar Agama dan Budaya, vol XIX, no.2, 2002. al-Atsîr, Imam Mujid al-Dîn al-Mubârak bin Muhammad al-Jazarî Ibn, AlNihâyah fî Gharîb al-Hadits wa al-Atsar, Dâr al-Fikr: Beirut-Libanon, tt., Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet-1, Nov, 1998. Commins, David, Hasan al-Banna, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Jalan Baru Islam, Bandung : Mizan, 1998. Daly, M.W. (ed.), the Cambridge History of Egypt, vol 2. New York : Cambridge University Press, 1998. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta-Balai Pustaka, 1988, Cet-1. al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsîr al-Mufassirûn, Kairo : Maktabah Wahbah, 1995. Ensiklopedi al-Qur’an : Dunia Islam Modern, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Primayasa, cet-1, Agustus 2003. Esposito, John L. (ed.), Enskilopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung : Mizan, 2001. Euben, Roxanne L., Musuh dalam Cermin, Jakarta : Serambi, 2002. Fadhulullah, Mahdi, Titik Temu Agama dan Politik : Analisa Pemikiran Sayyid Quthb, Solo : Ramadhani, 1991. al-Farmâwî, ‘Abd al-Hayyî’, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû’î, Dirâsah Manhajiyyah Maudhû’iyyah, t.tp., T.p, 1976.

١٦٦

Hasanuddin. AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, November 1995, c-1. Hitti, Philip K., History of the Arabs : From the Earliest Times to The Present. terj. Jakarta : Serambi, 2005, cet 1. Ibn Katsîr, Abî al-Fidâ’ Ismâ’il bin ‘Umar, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhîm, Riyadh : Dâr al-Thayyibah, 1999, cet-2. Ibn Manzhur, Lisân al-Arab, Beirut : Dâr Shâdr, 1990 Cet-1, vol 3. Imam al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb Tauhîd, bab Qaul Allah Ta’âla Wujûh Yaumaizhin Nâdhirah Ilâ Rabbihâ, hadits ke 6886. Jansen, JJG., Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, Yogya : Tiara Wicara, 1997. Kahhâlah, Umar Ridha, Mu’jam al-Muallifîn, Beirut-Libanon : Dâr Ihya al-Turats al-Arabi, ttp., Kamal, Zainun, Pemikiran Prof Dr. HM. Quraish Shihab MA dalam bidang Tafsir dan Teolog, Seminar Sehari Pemikiran Prof Dr. HM. Quraish Shihab MA, Jakarta : Ikatan Muhammadiyah Jakarta, 1996. Kamus al-Munawwar Arab–Indonesia Terlengkap, ditela’ah oleh KH. Ali Ma’shum dan KH. Zainal Abidin, Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1997, Cet-14. al-Khâlidi, Shalâh ‘Abd al-Fattâh, al-Tafsîr al-Maudhû’I bain al-Nazhariyyah wa alTathbîq, Jordan : Dâ al-Nafâ’is, 1997. al-Kilbî, Muhammad bin Ahmad bin Jiziy, Kitâb al-Tashîl Li Ulûm al-Tanzîl, Dâr al-Fikr. Kompas, Jakarta : 18 Februari 1996. Al-Munjid Fî al-Lughah wa al-A'lâm, Beirut-Libanon : Dâr al-Masyriq, 2003, cet40. Makhlûf, Syeikh Hunain Muhammad, Tafsîr wa Bayân kalimât al-Qur'an al-Karîm, Maktabah 'Abd al-Wahhâb mirzâ, Makkah al-Mukarramah. Tth. Mardalis, Metode Penelitian : Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta : PT Bumi Aksara, Juli 2003, Cet-6. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999, cet-X. Muhammad, Afif, Dari Teologi ke Ideologi: Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb, Bandung : Pena Merah, 2004.

١٦٧

Musallam, Adnan A., Prelude to Islamic Commitmen ; Sayyid Quthb’s Literaty and Spiritual Orientation, 1932-1938, dalam The Muslim World. Ndarha, Talizuduhu, Research, teori, metodologi, administrasi, Jakarta : Bina Aksara, 1981. Penyusun Ensiklopedi al-Qur’an, Ensiklopedi al-Qur’an : Dunia Islam Modern, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2003, cet-I. al-Qâsimî, Muhammad Jamâluddin, Tafsîr al-Qâsim al-Musamma Mahâsin alTa’wîl, Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997, cet-1. al-Qurthûbî, Muhammad bin Ahmad al-Anshârî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirut : Dâr al-Kitâb al-‘Ârabî, 2000, cet 3. Quthb, Sayyid, Mengapa Saya Dihukum Mati?, Bandung : Mizan, 1993. -------------------, Fî Zhilâl al-Qur’an, Beirut : Dâr al-Arabiyah, 1952. Rahardjo, M. Dawam, Paradigma al-Qur’an : Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial, Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005, cet-1. Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj., Jakarta ; PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005, Cet-1. Sagiv,David, Islam Otentitas Liberalisme, Yogyakarta : LKiS, 1997. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2002, cet-4. ----------------------------, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan, Cet. 13, 1996. ----------------------------, Tafsir al-Mishbâh : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2005, cet-3, Vol 15. ----------------------------, Mukjizat al-Qur’an, ditinjau dari aspek kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung : Mizan, 2006, cet-XV. ----------------------------, Menabur Pesan Ilahi : Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta : Lentera Hati, 2006, cet 1. ----------------------------, Rasionalitas al-Qur’an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, Jakarta : Lentera Hati, 2006, Cet-1; Edisi baru. Suryadilaga, M Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Teras, Februari 2005, cet-1. Suriasumantri, Jujun S., ‘Penelitian Ilmiah Kefilsafatan dan Keagamaan Mencari Paradigma Kebersamaan”. Dalam tradisi baru dalam penelitian Agama

١٦٨

Islam Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Mastuhu dan Deden Ridwan, ed., Bandung : Pusjarlit dan Nuansa, 1999. al-Suyûthi, Jalaluddin, Asrâr Tartîb al-Qur’an, Dâr al-I’Tishâm, cet-3, 1978, hal 27. al-Syaukanî, Muhammad, Fath al-Qadîr: AlJâmi’ Bain Fannî al-Riwâyah wa alDirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr,Beirut : al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1999, cet-3. al-Syâfi'î, Husain Muhammad Fahmi, al-Dalîl al-Mufahras li alfâzh al-Qur’an alKarîm, Kairo : Dâr al-Salâm, 1422 H/ 2002, cet-2. al-Thabarî, Muhammad bin Jarîr, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân, Beirut : Dâr al-Fikr, 2001, cet-1. www.qultummedia.com/kabar_qultum Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1990, Cet-8. Zamakhsyari, al-Kasysyâf an Haqâiq al-Tanjil wa Uyûn al-Aqâwil, Dâr al-Fikr, 1983, cet.2.

١٦٩

TENTANG PENULIS

Nama Tempat/ Tanggal Lahir Nomor Pokok

: : :

Benny Hifdul Fawaid Air Bakoman, 19 November 1978 02.2.00.1.05.01.0093

Riwayat Pendidikan 1. SDN 2 Air Bakoman, 1985-1987. 2. SDN 2 Talang Padang, 1987-1991. 3. Mts Nurul Islam Air Bakoman, 1991-1994. 4. MAN 1 Bandar Lampung, program MAK, 1994-1997. 5. Program Strata Satu (s1) IAIN Raden Intan Bandar Lampung, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir-Hadits, 1997-2002. 6. Program Strata Dua (s2) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi TafsirHadits, 2002-2006. Pengalaman Organisasi A. Intra Kampus 1. Sekretaris II, Majelis Mahasiswa Institut (MMI) IAIN Raden Intan Bandar Lampung, 1999-2001 B. Ekstra Kampus 1. Ketua Rayon PMII Ushuluddin 1998-1999. 2. Ketua Komisariat PMII Raden Intan Bandar Lampung, 1999-2000. 3. Ketua II PMII Cabang Bandar Lampung 2000-2001. 4. Sekretaris Umum PKC PMII Lampung, 2003-2005. 5. Koordinator Kebijakan Publik PB PMII, 2005-2007. C. Organisasi Kepemudaan 1. Sekretaris II Persatuan Mahasiswa Tanggamus (Permata), 1999-2001. 2. Sekretaris Lembaga Kreatifitas Remaja Griya Pamulang 2 (Laker GP 2) 2006-2009. Pengalaman Kerja 1. Asisten Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Lampung 2004-2009. 2. Sekretaris Koperasi Laker GP 2, 2007-2010.

Benny Hifdul Fawaid_al-Balad Dalam al-Quran.pdf

Benny Hifdul Fawaid_al-Balad Dalam al-Quran.pdf. Benny Hifdul Fawaid_al-Balad Dalam al-Quran.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.

783KB Sizes 7 Downloads 387 Views

Recommend Documents

Benny Subianto.pdf
Cambridge, tengah mendengarkan orasi politik mengecam keputusan perdana menteri. anthony Eden yang mendukung prancis dan Israel dalam invasi ke ...

DALAM KOTA.pdf
16 31470036 ALVITA SAFFA HADIAN SMP NASIONAL 1. 17 31101067 DIMAS ARYAPUTRA SMP ISLAM AL-FAJAR. 18 31430125 HADID AHMAD GHIFARI ...

Smil, benny andersen.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Smil, benny ...

Smil, benny andersen.pdf
Der skal. afregnes Copydan-vederlag af print. fra "Den indre bowlerhat", Borgen. Page 2 of 2. Smil, benny andersen.pdf. Smil, benny andersen.pdf. Open.

Muhammad Rusydi Sahabuddin_Hijrah dalam Perspektif al-Quran.pdf ...
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Muhammad ...

Menjadi-Kaya-Dalam-40-Hari.pdf
Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Menjadi-Kaya-Dalam-40-Hari.pdf. Menjadi-Kaya-Dalam-40-Hari.pdf. Open.

teknik-permainan-dalam-bimbingan-kelompok-untuk-meningkatkan ...
Try one of the apps below to open or edit this item. teknik-permainan-dalam-bimbingan-kelompok-untuk-meningkatkan-percaya-diri-siswa.pdf.

DALAM PERSEKITARAN KATA-KATA.pdf
(e) Penggunaan kata ganda. Buktinya, Engkau beri kami kata-kata. menjelajah pulau-pulau, dan berlabuh. di pantai-pantai semenanjung. Kata-kata yang ...

ICT DALAM PDP.pdf
Lampiran. Kandungan. Page 3 of 39. ICT DALAM PDP.pdf. ICT DALAM PDP.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying ICT DALAM PDP.pdf.

Me and my baby (benny green).pdf
j. œ. œ. bn. n œ. œ. œ. œ. #. #. # œ. œ. #. ‰. œ. bœ. n. j. œ. nœ. # œ. nœ ‰ œ. œ. J œ. bœ. b œ. nœ. œ. œ. œ. œ.. #œ. j. œ. œ. n œ. j. œ. œ. œ. œ. #. Œ ‰ œ.

Bab-3-Ilmu-Gerak-Dan-Ilmu-Pendukung-Dalam-Pendidikan-Jasmani ...
... jarak, kecepatan, serta aliran. gerak. Page 3 of 51. Bab-3-Ilmu-Gerak-Dan-Ilmu-Pendukung-Dalam-Pendidikan-Jasmani-Olahraga-Dan-Kesehatan.pdf.

percepatan-rezeki-dalam-40-hari-dengan-otak-kanan.pdf
percepatan-rezeki-dalam-40-hari-dengan-otak-kanan.pdf. percepatan-rezeki-dalam-40-hari-dengan-otak-kanan.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In.

122. Roh Dalam Keraton.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 122. Roh Dalam ...

File 42 Ran Dalam Bahaya.pdf
Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. File 42 Ran Dalam Bahaya.pdf. File 42 Ran Dalam Bahaya.pdf.

Faidatin_Sumpah Allah dalam al-Quran.pdf
Jakarta, 14 April 2007. ( Faidatin Askan ). Page 3 of 173. Faidatin_Sumpah Allah dalam al-Quran.pdf. Faidatin_Sumpah Allah dalam al-Quran.pdf. Open. Extract.

DALAM PERSEKITARAN KATA-KATA.pdf
menggunakannya dalam pertuturan di mana-mana sahaja dan pada bila-bila masa. RANGKAP 3. Penulis berkata bahawa bahasa menjadikan sesuatu bangsa ...