KOLOKASI DALAM AL-QUR`AN TESIS

Dimajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama dalam Bidang Pendidikan Bahasa Arab Oleh: Irfan Sidqon NIM: 07.2.00.1.13.08.0045 Pembimbing,

Dr. Ahmad Dardiri, MA Penguji: Prof. Dr. Suwito, MA Prof. Dr.H D. Hidayat, MA Dr. Sukron Kamil, MA

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 LEMBAR PERNYATAAN

1

Bahwa saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

: Irfan Sidqon

Nim

: 07. 02.00.1.13.08.0045

Pekerjaan

: Mahasiswa

Sekolah

Pascasarjana

UIN

Syarif

Hidayatullah Jakarta Agama

: Islam Menyatakan bahwa tesis yang berjudul Aplikasi Kolokasi Dalam al-

Qur`an merupakan hasil karya asli saya yang digunakan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 2 (Magister) di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jika di kemudian hari

terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 8 Juli 2009

Irfan Sidqon

2

PERSETUJUAN PEMBIMBING Setelah memeriksa dan mengadakan perbaikan seperlunya atas tesis yang berjudul Aplikasi Kolokasi Dalam al-Qur`an oleh saudara Irfan Sidqon NIM: 07. 02.00.1.13.08.0045, Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, maka kami dapat menyetujuinya untuk diajukan dalam ujian tesis.

Jakarta,

Juli 2009

Pembimbing,

Dr. Ahmad Dardiri, MA

3

PERSETUJUAN TIM PENGUJI Tesis

Irfan

Sidqon

(NIM.

07.2.00.1.13.08.0045)

yang

berjudul

KOLOKASI DALAM AL-QUR`AN telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada hari Kamis, tanggal 20 Agustus 2009, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.

TIM PENGUJI

Ketua Sidang / Penguji,

Pembimbing / Penguji,

Prof. Dr. Suwito, MA Tanggal: ... Agustus 2009

Dr. Ahmad Dardiri, MA Tanggal: ... Agustus 2009

Penguji,

Penguji,

Prof. Dr.H.D. Hidayat, MA Tanggal: ... Agustus 2009

Dr. Sukron Kamil, MA Tanggal: ... Agustus 2009

4

Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perdebatan tentang kolokasi. Sebagian ahli bahasa mengatakan bahwa kolokasi merupakan relasi kata, sedangkan sebagian yang lainnya mengatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar konstituen struktur kalimat. Kedua kolokasi ini mempunyai peran dalam melahirkan makna. Makna kolokasi kata lahir karena adanya kesesuain dalam relasi antar kata. kesesuaian relasi tersebut karena adanya polisemi, sinonim dan antonim kata. Makna kolokasi struktur kalimat lahir karena adanya runtutan dan fungsi kata dalam sebuah kalimat. Oleh karena itu penelitian ini berusaha mengkombinasikan kedua teori kolokasi tersebut dengan menggunakan metode penelitian teks. Teks yang menjadi objek kajiannya adalah al-Qur`an. Teknik yang ditempuh dalam penelitian ini dengan cara mengakomodasi berbagai teori kolokasi. Baik teori kolokasi yang terjadi pada tataran kata maupun teori kolokasi yang terjadi pada tataran struktur kalimat. Kesimpulan dari akomodasi teori kolokasi dari berbagai tokoh linguistik difungsikan sebagai potret untuk menganalisis kata dan bentuk struktur kalimat yang masuk kedalam teori-teori kolokasi. Potret teori kolokasi dapat menghasilkan empat klasifikasi kolokasi pada tataran kata dan tiga klasifikasi kolokasi pada tataran struktur kalimat yang terdapat dalam al-Qur`an. Empat klasifikasi kolokasi pada tataran kata adalah: kolokasi bebas, kolokasi terbatas, kolokasi sinonim dan kolokasi antonim. Kolokasi bebas memberikan pengertian tentang relasi kata tanpa dibatasi oleh rumpun kata tertentu. Dalam al-Qur`an dapat ditemukan pada surat alBaqarah ayat 85 tentang relasi kata ِ َ َِ ْ ‫ َ ْ َم ا‬. Pada relasi kata tersebut yang menjadi kata kuncinya adalah ‫ َ ْ َم‬. Kata tersebut bisa secara bebas berkombinasi dengan kata apaun termasuk kata yang tidak serumpun dengan kata ِ َ َِ ْ ‫ا‬. Kolokasi terbatas merupakan kombinasi dua kata atau lebih yang pada umumnya ketersandingannya merupakan suatu kelaziman dan dibatasi oleh rumpun kata tertentu. Ungkapan ‫ ر ر‬yang tercantum pada surat al-Baqarah ayat 16 merupakan kolokasi terbatas karena relasi antara kata ‫ ر‬yang berfungsi sebagai fi`l terbatas hanya bisa berpasangan dengan kata ‫ رة‬sebagai fâ`ilnya ataupun dengan kata yang lain yang memiliki sifat perdagangan. Kolokasi sinonim mempunyai pengertian bahwa kata yang mempunyai makna yang sama akan melahirkan kolokasi, seperti kata ‫ أة‬dan kata ‫وة‬. Perbedaan antara kata ‫وة‬ dengan kata ‫ أة‬inilah yang akan memunculkan kolokasi terbatas karena kata pada ungkapan ِ‫ﺡ  َِ َو‬ َ ُ #َ ُ$ْ  tidak bisa diganti menjadi ‫ﺡ  أ‬ َ ُ #‫أ‬. Kolokasi antonim mempunyai pengertian bahwa kelaziman munculnya kata yang berlawanan dalam suatu kalimat. Dalam surat al-Baqarah ayat 16 contohnya terdapat kolokasi negatif yang terdiri dari kata  % ‫ ا‬dengan kata ‫ا 'ي‬. Penelitian ini juga menghasilalkan temuan Tiga klasifikasi kolokasi pada tataran struktur kalimat yaitu: kolokasi gramatika lengkap, kolokasi reduksi konstituen struktur kalimat, dan kolokasi afiks konstituen struktur kalimat. Kolokasi gramatika lengkap terbagi dalam 2 macam yaitu: kolokasi invesi struktur kalimat dan kolokasi anastrop struktur kalimat. Kolokasi invesi struktur kalimat mengandung pengertian permutasian konstituen struktur kalimat, contohnya pada

5

ayat 2 surat al-’A`râf yang berbunyi: ‫*ر‬+$ + ‫'رك ﺡج‬. /0 12 0 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬ pada ayat tersebut secara normal runtutan konstituen struktur kalimatnya adalah kata  ‫*ر‬+$ terletak setelah ungkapan 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬, namun kenyataannya kata ‫*ر‬+$ mendapatkan permutasian dan diletakan pada akhir ayat. Kolokasi anastrop struktur kalimat mempunyai pengertian mendahulukan konstituen struktur kalimat yang akhir dan mengakhirkan konstituen struktur kalimat yang awal contoh: ‫م‬7 /‫ ه‬ungkapan ini mengandung makna ‫م‬7 /‫ه‬. Kolokasi reduksi konstituen struktur kalimat mempunyai pengertian membuang salah satu konstituen struktur kalimat contoh: 9:ْ ‫ ن ; ا‬9+ ‫ذا‬, kata

9:ْ ‫ ا‬dibaca rafa` karena kata tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan ‫ذا‬ ‫ ن‬9+ yang dibuang mubtadanya yang diperkirakan (ditakdirkan) berupa dhamir

‫ه‬. Kolokasi afiks konstituen struktur kalimat mempunyai pengertian adanya penambahan konstituen struktur kalimat contoh: >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 1 ‫ج‬A, kata 1 pada ayat tersebut merupakan konstituen tambahan (ziyadah) karena >@ ‫ ا‬1 >?‫ا‬$ ‫ وا‬sudah mengandung makna 1.

6

Abstract This research is motivated by debate of collocation. Some linguists say that kolokasi is related words, while some others say that the relation between a constituent structure of sentences. Both collocation have a role in the birth of meaning. Meaning of the word collocation due kesesuain born in relations between words. suitability of these relationships because of polisemi, synonyms and antonyms. The meaning of the sentence structure collocation born because of the sequence and function of words in a sentence. Therefore, this study tried to combine these two theories collocation using research methods text. Text which is the object of study is al-Qur `an. The techniques applied in this study by collocation accommodate various theories. Both theory collocation happens at the level of words and theories collocation happened at the level of sentence structure. Conclusion collocation theory of accommodation from a variety of linguistic function as a portrait to analyze words and sentence structures collocation theories. Portrait collocation theory can produce four levels of classification collocation on classification of words and three collocation at the level of sentence structure contained in al-Qur `an. Four collocation at the level of classification is the word: colloction free, limited collocation, collocation synonyms and antonyms collocation. Collocation free means related words without being limited by a grove of certain words. In al-Qur `an can be found in the letter of al-Baqarah verse 85 of  ‫  م ا‬related words. In relation to the word is the key word is ‫ م‬. The word can be freely combined with the word what including words that are not allied with  ‫ا‬. Collocation Limited is a combination of two or more words that generally pairing is a common practice and is limited by a particular word family. ‫ر‬ ‫ ر‬expression contained in the letter of al-Baqarah verse 16 is limited because collocation relationship between the words that served as ‫ ر‬fi `l be limited only by the word pairs as a fa`il ‫ رة‬or other words that have the nature of trade. Collocation synonyms means that words have the same meaning to give birth collokation, such as word and word ‫وة أة‬. The difference between the words ‫ وة أة‬words will trigger this collocation limited because the word in the phrase ‫ ﺡ و‬# $ can not be replaced ‫ ﺡ أ‬#‫أ‬. Collocation antonyms have the emergence of the notion that the prevalence of the opposite word in a sentence. In the letter al-Baqarah verse there are 16 examples of negative kolokasi consisting of words with words ‫  ا 'ي‬% ‫ا‬. The reseach findings also Three collocation classification at the level of sentence structure: a complete grammatical collocation, constituent reduction collocation sentence structure, and constituent affixes collocation sentence structure. Complete grammatical collocation divided into 2 types, namely: collocation inversi sentence structure and sentence structure collocation anastrop. collocation inversi sentence structure implies mutation constituent sentence structure, for example in paragraph 2 letter al-'A `raf, which reads: 0 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬  ‫*ر‬+$ + ‫'رك ﺡج‬. /0 12 in sub-sequences such as normal constituent sentence structure is located  ‫*ر‬+$ words after 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫ آ‬expression, but in fact the word

7

‫*ر‬+$ get mutation and placed at the end of paragraph. collocation anastrop means put the constituents of the end of the sentence structure and sentence structure mengakhirkan constituents of the early example of this expression ‫م‬7 /‫ ه‬implies ‫م‬7 /‫ه‬. Collocation reduction sentences have constituent structure discard the notion of constituent structure of a sample sentence: ; ‫ ن‬9+ ‫ ذا‬9: ‫ا‬, word rafa ` 9: ‫ ا‬read because words are the answer to the question of discarded ‫ ن‬9+ ‫ذا‬ mubtadanya estimated (destined) dhamir ‫ ه‬form. Affixes Kolokasi constituent sentence structure has the notion of adding the constituent structure of sentences for example: >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 1 ‫ج‬A, said in paragraph 1 the additional constituents (ziyadah) because >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 1 already contains the meaning.

8

‫‪BA‬‬ ‫ا 'ا‪ F0‬ا ‪ /‬ورود ه*ا ا ‪ CD‬ه ا‪G‬ﺥ‪$‬ف ﺡ ل ا ‪%$‬م‪ . .‬ول ‪ L:‬ا ‪ 1 K‬أن‬ ‫ا ‪%$‬م ه ا ‪:‬ت ‪ 1‬ا ‪N2‬ت‪ ،‬ول ا‪P‬ﺥون أن ا ‪%$‬م ه ا ‪:‬ت ‪.+O 1‬‬ ‫ا ‪ .;N‬و *‪ 1‬ا ‪ 1%$‬دور ‪ + /0‬ا ‪% /#: R ./#:N‬م ا ‪N2‬ت ‪ SN‬ا ‪:‬‬ ‫‪ .+‬و‪ 3‬ا ‪ SN‬ﺝ د ‪':‬د ا ‪ ،T+:N‬وا ‪$N‬ادف‪ ،‬وا ‪%$‬د‪ .‬و‪% T#: R‬م ا ‪N‬‬ ‫ ﺝ د ا ‪ >$‬و و‪ V?W‬ا ‪ T0 N2‬ا ‪.N‬‬ ‫‪ ،3 *D0‬ﺽ ه*ا ا ‪ CD‬ا ‪ 1$R+‬ا ‪'A$7 1$Y‬ام ‪ ; X‬ا ‪ .B+‬أ‬ ‫ا ‪@N‬در ا]‪* 77‬ا ا ‪ /0 CD‬ا ‪ @+‬ص ا [‪ .#‬وا ‪ +$‬ا ‪9$YN‬دة ‪ CD‬ه‪ /‬ﺝ‪FN‬‬ ‫ا ‪R+‬ت ‪ 1O‬ا ‪%$‬م‪ ،‬إ آن ا ‪%$‬م ‪ T0‬ا ‪N2‬ت أو ‪ T0‬ا ‪.;N‬‬ ‫وﺥ‪R# .‬ت ا ‪%$‬م ا ‪ T$‬أورده ا ‪  K‬ن ﺝ‪ :‬ا ‪D‬ﺡ‪ C‬أ‪;$ 77‬‬ ‫ا ‪N2‬ت وا  ا‪ 'O‬ا ‪R# T0 % T$‬ت ا ‪%$‬م‪R# 1 ;@ .‬ت ا ‪%$‬م أر‪:‬‬ ‫‪NN%‬ت ‪ T0‬ا ‪N2‬ت و ^^ ‪  T0‬ا‪ 'O‬ا ‪ N‬آ‪ N‬و‪ T0 F‬ا [ن‪ .‬وأر‪ :‬ا ‪NN%$‬ت ‪T0‬‬ ‫ا ‪N2‬ت ه‪ /‬ا ‪%$‬م ا ‪ ،‬ا ‪%$‬م ا ‪'N‬ود‪ ،‬ا ‪$N‬ادف‪ ،‬وا ‪%$‬د‪.‬‬ ‫ا ‪%$‬م ا  ه‪ O /‬ا ‪N2‬ت ‪'O F‬م '' ﺝ‪ .Y+‬وو‪ F‬ه*ا ا ‪ +‬ع ‪ 7 T0‬رة‬ ‫ا ‪D‬ة‪ 1 ٨٥ :‬ا [ن ‪ O 1O‬ا ‪  " 1$N2‬م ا  "‪ .‬و‪ 1‬ا ‪ 1 :‬ا ‪1$N2‬‬ ‫ا ‪. ،1$Y‬رت آ‪ " N‬ا  م " أ‪ .N 77‬ود ‪ 3 O‬ا ‪N2  N2‬ت ا]ﺥى‬ ‫ﺡ‪ " N2 V$A C‬ا َِ َ ِ "‪ .‬أ ا ‪%$‬م ا ‪'N‬ود ه ﺽ آ‪f0 1$N‬آ‪ e‬ﺡ‪ C‬أن آن‬ ‫ ‪$ O‬ز و'ودة ‪ g+‬ا ‪ N2‬ا ‪ .@$AN‬وﺝ‪ " N‬ر ر " آ‪ N‬و‪F‬‬ ‫‪ 7 T0‬رة ا ‪D‬ة‪ ١٦ :‬ه‪ # /‬ع ا ‪%$‬م ا ‪'N‬ود ]ن ‪ O‬آ‪ " N‬ر " ه ا ‪ ;:9‬ا ‪'N‬ود‬ ‫و‪ " N2 $S‬رة " وه‪ ،O0 /‬أو ا ‪N2‬ت ا]ﺥى ا ‪ T#:N N?N‬ا ‪$‬ر‪.‬‬ ‫وا ‪$N‬ادف ه ا ‪ N2‬ا ‪ Y Tf T$‬اء ا ‪ ;@ T+:N‬ا ‪%$‬م‪ ;e ،‬آ‪ " N‬أة " و " وة‬ ‫ َو ِ ِ‬ ‫ﺡ  ِ َ‬ ‫"‪ .‬ا ‪9‬ق ‪ 3 1‬ا ‪ ;@ 1$N2‬ا ‪%$‬م ا ‪'N‬ود‪  $7G ،‬ا'ال ﺝ‪َ ُ #َ ْ ُ$ْ َ " N‬‬ ‫ﺡ  َِا َء ِ ِ "‪ .‬و‪:‬ف ا ‪%$‬د ‪f‬ن ازم ااز ا ‪N2‬ت ا ‪T0 Y2:+N‬‬ ‫" ‪َْ َ " N‬أ َ‪َ ُ #‬‬ ‫ا ‪ .N‬وه*ا د ‪ 7 T0‬رة ا ‪D‬ة‪ 1 ١٦ :‬ا [ن ا ‪ ;e ،2‬ا ‪%$‬م ا ‪ TDY‬ا ‪ $ T$‬ى‬ ‫‪ TO‬آ‪ " N‬ا ‪ "  %‬و " ا 'ي "‪.‬‬ ‫و@; ا ‪ ^^ CD‬أ‪ #‬اع ‪NN%‬ت ‪  T0‬ا‪ 'O‬ا ‪ N‬وه‪% /‬م ا  ا‪ 'O‬ا ‪،;2‬‬ ‫‪%‬م ﺡ*ف ‪  .+O‬ا‪ 'O‬ا ‪ ،N‬و ‪%‬م زدة ‪  .+O‬ا‪ 'O‬ا ‪%$ 0 .N‬م ا ‪;2‬‬ ‫ا ‪*N‬آ ر ‪ $‬ى ‪% TO‬م ا ‪f$‬ﺥ وا ‪ .'$‬و‪%‬م ا ‪f$‬ﺥ أو ا ‪.+O > ;Nm '$‬‬ ‫ا ‪ ،N2‬آ‪ N‬و‪ 7 T0 F‬رة ا]‪O‬ف‪ " ٢ :‬آ‪$‬ب أ‪6#‬ل إ ‪'. T0 12 0 3‬رك ﺡج ‪+‬‬ ‫ ‪*+$‬ر  "‪ .‬و> ‪ .+O‬ا ‪ N‬ا ز ه‪ /‬آ‪*+$ " N‬ر " و‪ ': :‬ﺝ‪ " N‬آ‪$‬ب‬ ‫أ‪6#‬ل إ ‪ ،" 3‬و‪ T0‬ا ا‪ F‬أن آ‪*+$ " N‬ر " آ‪ D+ #‬ووﺽ‪[ T0 :‬ﺥ ا‪ .P‬و‪%‬م‬ ‫‪f‬ﺥ و' ‪ .+O‬ا ‪ N‬ه ﺝ‪ .+O ;:‬ا ‪ '$ N‬أو ‪f$‬ﺥا ‪ TO‬ا‪P‬ﺥ‪" ;e .‬‬ ‫‪7‬م ه‪ ،" /‬و‪ 1N%$‬ه*‪ o‬ا ‪ " +: N‬ه‪7 /‬م "‪.‬‬ ‫و‪%‬م ﺡ*ف ‪ .+O‬ا ‪ N‬ه ﺡ*ف أﺡ' ‪ .+O‬ا ‪ " ;e N‬ذا ‪ 9+‬ن ;‬ ‫ا ‪0 ." 9:‬أ آ‪ " N‬ا ‪ #] O 0 " 9:‬ﺝ اب ‪ TO‬ا ‪pY‬ال " ذا ‪ 9+‬ن؟ "‪ .‬وﺡ*ف‬ ‫‪'$D‬أه و'‪ " o‬ه "‪ .‬و‪%‬م زدة ‪  .+O‬ا‪ 'O‬ا ‪ N‬ه زدة أﺡ' ‪ @+O‬ر  ا‪'O‬‬ ‫ا ‪A " ;e N‬ج ‪ 1 1‬ا @> وا ‪$‬ا?> "‪ 3 T0 " 1 " N20 ،‬ا‪ P‬زدة‪] ،‬ن‬ ‫ا ‪ 1 " N‬ا @> وا ‪$‬ا?> " ' ﺽ‪" 1 " T+: 1N‬‬

‫‪9‬‬

KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ‬

‫ ﻭﻋﻠﻴﻪ‬.‫ ﻭﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﻮﺗﻪ ﳏﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﺍﳌﻨﺘﺨﺒﲔ‬.‫ﺍﳊﻤﺪ ﷲ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﺍﻟﻘﺪﱘ‬ .‫ﻭﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺃﲨﻌﲔ‬ Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan kenikmatan kepada hamba-hambanya baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Termasuk kenikmatan kesempatan penulis bisa belajar dibangku Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Kenikmatan yang tidak terhingga lagi penulis diberikan banyak hidayah untuk bisa menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat serta Salam semoga senantiasa terlimpah pada Nabi Muhammad Saw. Semoga ajaranajarannya akan senantiasa menjadi petunjuk dan pegangan bagi umat manusia sampai hari kiamat. Penulis kiranya perlu mengucapkan banyak terima kasih kepada banyak pihak yang telah mendukung hingga terlaksannya proses belajar di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta sampai selesai. Yang pertama penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Menteri Agama RI sebagai pemegang kebijakan tertinggi yang telah memberikan program bea siswa kepada para guru termasuk guru-guru bidang studi bahasa Arab untuk Madrasah Aliyah (MA). Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Mapenda sebagai pelaksana kebijakan menteri sehingga program bea siswa ini benar-benar terlaksana. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kakanwil Depag KalTeng, Kakandepag Kota Palangkaraya dan juga kepada Kepala MAN Model Palangkaraya, yang telah memberikan izin untuk mengikuti program bea siswa ini. Kepada seluruh Dewan guru dan Karyawan Man Model Palangkaraya yang telah turut memberikan do`a serta urusan administrasi sewaktu penulis melaksanakan tugas belajar.

10

Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Tim Work in Progress, yaitu Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali dan Dr. Yusuf Rahman, yang telah memberikan arahan-arahan terhadap penulisan tesis dengan penuh kesabaran walaupun terkadang kelihatan gregetan melihat hasil karya yang tidak mengglobal dan tidak mendunia. Kepada pembimbing Dr. Ahmad Dardiri, MA yang dengan teliti dan cermat memberikan koreksi dan kritik demi kebaikan dan kesempurnaan penulisan tesis ini. Kepada keluarga terutama kedua orang tua, Drs.H.Kaelani (Alm) dan Hj. Ngalimah serta mertua Hj. Nasiroh yang telah bersedia mendampingi cucunya sampai penulis menyelesaikan tugas belajar. Dan yang paling spesial penulis berikan apresiasi yang paling dalam kepada Istri, Umi Umayah, S Pd yang siap menjadi single parents selama penulis melaksanakan tugas belajar dan kepada Nilna Syakira Widai (Nina) sebagai anak pertama yang tidak didampingi oleh Bapaknya ketika lahir semoga menjadi anak yang sholehah. Kepada teman-teman senasib dan seperjuangan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, dan sahabat-sahabatku pada program beasiswa Depag angkatan 2007 dari PBA dan PAI yang senantiasa memberikan semangat dan waktu berdikusi untuk segera menyelesaikan Program Magister khususnya penulisan Tesis ini. Dan, semua pihak yang telah membantu penyelesaian tugas ini tanpa bisa disebutkan satu persatu. Akhir kalam, semoga Tesis ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis sehingga terlimpah pahala yang tidak akan terputus, dan menambah wawasan keilmuan dalam khazanah masyarakat ilmiah. Amin

Jakarta, Agustus 2009 Penulis, Irfan Sidqon

11

PEDOMAN TRASLITERASI A. Konsonan Arab

‫ﺥ ﺡ ﺝ ﺙ ﺕ ﺏ ﺀ‬

‫ﺩ‬

‫ﺫ‬

‫ﺭ‬

‫ﺯ‬

‫ﺽ ﺹ ﺵ ﺱ‬

Latin



D

Dz

R

Z

S

Arab

‫ﻝ ﻙ ﻕ ﻑ ﻍ ﻉ ﻅ ﻁ‬

b

T

Latin th zh

`

Ts

J

Gh

H kh

f

Q

k

l

Sy

Sh

‫ﻡ‬

‫ﻥ‬

‫ﻱ ﻫـ ﻭ‬

‫ﺓ‬

M

N

W

t

H

Y

Dl

B. Vokal Pendek dan Panjang Vokal Pendek

Vokal Panjang

Contoh

Arab

‫َـ‬

ِ‫ـ‬

ُ‫ـ‬

‫ـَﺎ‬

‫ﻲ‬ ‫ـ‬ ِ

‫ﻮ‬ ‫ـ‬ ُ

‫ﻗﺎﻋﺪﺓ‬

‫ﻛﺜﲑ‬

‫ﺳﺠﻮﺩ‬

Latin

a

I

u

Â

î

û

qâ’idah

katsîr

sujûd

C. Diftong

Arab

‫ﻭ‬ ‫ﹶﺃ‬

‫ﻱ‬  ‫ﹶﺃ‬

‫ﺖ‬‫ﺑﻴ‬

‫ﺀ‬‫ﺿﻮ‬ 

Latin

au

Ai

bait

dhau’

D. Pembauran Arab

‫ﹶﺍ ﹾﻝ‬

‫ﺍﳌﺪﻳﻨﺔ‬

‫ﺍﻟﺮﲪﻦ‬

Latin

al

al-Madînah

al-Rahmân

12

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.............................................................................................

i

SURAT PERNYATAAN ....................................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................

iii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI .........................................................................

iv

ABSTRAK ..........................................................................................................

v

ABSTRACT ......................................................................................................... vii CD ‫ ا‬BA ............................................................................................................

ix

KATA PENGANTAR .........................................................................................

x

PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... xii DAFTAR ISI ......................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................

1

B. Permasalahan ............................................................................................

9

1. Identifikasi Masalah ............................................................................

9

2. Pembatasan Masalah ........................................................................... 10 3. Perumusan Masalah ............................................................................ 11 C. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................................... 11 D. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 12 E. Signifikansi Penelitian ............................................................................. 13 F. Metode Penelitian ..................................................................................... 14 1. Jenis Penelitian ................................................................................... 14 2. Sumber Data ....................................................................................... 15 3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 16 4. Teknik Analisis Data ........................................................................... 16 5. Asumsi Dasar ...................................................................................... 16 6. Keterbatasan Penelitian ....................................................................... 17 G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 17

13

BAB II KOLOKASI MENURUT PARA LINGUIS ...................................... 19 A. Kolokasi Dalam Berbagai Perspektif ....................................................... 19 B. Pentingnya Kolokasi Dalam Pemaknaan .................................................. 24 C. Jenis dan Bentuk Kolokasi ....................................................................... 30 BAB III MAKNA RELASI KATA DALAM AL-QUR`AN .................... A. B. C. D.

Kolokasi Bebas ......................................................................................... Kolokasi Terbatas .................................................................................... Kolokasi sinonim kata .............................................................................. Kolokasi antonim kata ..............................................................................

48 51 70 77 90

BAB IV MAKNA RELASI KONSTITUEN STRUKTUR KALIMAT DALAM AL-QUR`AN ............................................................................................ 98 A. Kolokasi Gramatika Lengkap ................................................................... 1. Makna Inversi Struktur Kalimat ......................................................... 2. Makna Anastrop Struktur Kalimat ..................................................... . B . Kolokasi Reduksi Konstituen Struktur Kalimat ...................................... .

104 108 110 116

1. Reduksi Mubtadâ’ .............................................................................. 118 2. Reduksi Khabar ................................................................................. 123 3. Reduksi Fâ’il ..................................................................................... 126 C. Kolokasi Afiks Konstituen Struktur Kalimat ........................................... 129 1. Afiksasi Pronomina (Dhamîr) ........................................................... 130 2. Afiksasi Nama Tempat (Zharf) ......................................................... 131 3. Afiksasi Kata Idz ............................................................................... 133 4. Afiksasi Huruf al-Kâf ........................................................................ 134 5. Afiksasi Huruf al-Bâ’ ........................................................................ 135 6. Afiksasi Huruf Min ............................................................................ 140 7. Afiksasi Huruf al-lâm al-Jâr ............................................................ . 143 8. Afiksasi Huruf lâm al-Tauk îd .......................................................... 144 9. Afiksasi Huruf Mâ ............................................................................ . 146 10. Afiksasi Huruf Lâ .............................................................................. 148 11. Afiksasi Huruf Wa .............................................................................. 152 12. Afiksasi Huruf In ............................................................................... 155

14

13. Afiksasi Huruf An .............................................................................. 157 BAB V KESIMPULAN .................................................................................. 159 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 163 LAMPIRAN

15

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kajian bahasa Arab mulai dirintis dan menjadi tradisi dikalangan bangsa Arab sejak abad kedua hijriyah. Gagasan awal dan dasar-dasar terhadap kajian bahasa Arab dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya, pekerjaan tersebut dilanjutkan secara ekstensif oleh muridnya yang bernama Abu al-Aswad AlDhualy1. Dalam satu riwayat disebutkan, bahwa Abu al-Aswad Al-Dhualy sebagai pencinta dan pemerhati bahasa Arab yang tinggal di negeri Basrah (sekarang, Irak) pernah menemukan seorang qori sedang mentilawahkan al-Qur an. Ketika itu qori tersebut membaca kata rasûlihi yang terdapat dalam ayat innallâha barîun min al-musyrikîn wa rasûluhu dengan berbaris bawah (kasrah) dengan maksud meng`athaf kannya kepada kata al-musyrikîn2. Penelitian dan penulisan kaidah bahasa Arab dari masa ke masa mengalami perkembangan yang berarti. Kaidah tata bahasa Arab pada mulanya ditulis untuk dijadikan sebagai pedoman dalam membaca atau memahami alQur`an, terutama bagi kalangan `Ajam ( non Arab). Hal ini dapat dipahami karena kaidah tata bahasa Arab itu berporos atau bersumber dari al-Qur`an dan sekaligus didedikasi untuknya. Dengan kata lain, al-Qur`an merupakan sumber sekaligus obyek kajian kaidah tata bahasa Arab. Salah satu fungsi mempelajari kaidah bahasa adalah untuk meminimalisir kesalahpahaman dan memudahkan dalam memberikan makna terhadap suatu teks, sebagaimana yang dikatakan oleh Mildred L.Larson dalam bukunya yang berjudul Meaning-Based Translation bahwa dengan tidak mengetahui tata bahasa akan sulit 1

Rihab Khudhar 'Akkawi, Mausu'ah 'Abaqirah al-Islam fi al-Nahwi, wa al-Lughah waal-Fiqh, al-Mujallad al-Tsalits, Beirut: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1993, h. 9. lihat juga bukunya Sayid Rizqi Al-Thawil yang berjudul Al-Khilaf Baina Al-Nahwiyyin, Makkah Al-Mukaramah, AlMaktabah Al-Faisaliyat, 1985 h.16. lihat juga bukunya Muhammad Thanthawi, Nas’at Al-Nahw wa Tarikh Asyhar Al-Nuhat, Dar Al-Manar, 1991 h. 9 2 Dan dalam riwayat yang lain, suatu malam Abu Al-Aswad Al-Dhual sedang duduk di balkon bersama putri kesayangannya, ketika sang putri melihat bintang-bintang di langit begitu indah sekali dengan menimbulkan cahaya yang gemilang, sehingga timbul kekagumannya dan mengatakan "ma ahsannus sama i" sebagai badal dari kalimat kagum (ta'ajjub) yang seharusnya "ma ahsanasama a". Dan telah banyak ia mendengar keselahan-kesalahan masyarakat pada waktu itu dalam berbicara, sehingga timbul kekhawatirannya akan rusaknya estetika gramatikal bahasa arab dan merasa terpanggil untuk membuat kaidah bahasa Arab yang baku.

16

mengidentifikasi makna yang terkandung dalam teks3. Orang tidak hanya cukup dengan mempunyai banyak kosa kata untuk bisa berbicara atau memahami sebuah bahasa, akan tetapi mutlak harus ditunjang dengan tata bahasa. Selain itu juga tanpa mengetahui makna leksikal maka seseorang tidak akan dapat mengguakan bahasa dengan baik. Pernyataan Mildred L.Larson dapat ditafsirkan bahwa tujuan dari kajian bahasa adalah untuk memahami makna yang terkandung oleh sebuah ungkapan baik lisan maupun tulisan. Kolokasi merupakan bagian dari kajian bahasa yang berperan dalam memahami suatu makna bahasa melalui relasi antar kata. Namun dalam praktisnya para tokoh linguis berbeda pendapat dalam memberikan komentar terhadap peran kolokasi dalam melahirkan makna. Ada yang mengatakan bahwa yang paling berperan dalam melahirkan makna adalah kolokasi yang berupa relasi antar kata dengan kata yang lain. Pendapat ini dikemukakan oleh Goddard (1998)4 yang menyatakan bahwa yang paling menentukan dalam melahirkan makna adalah relasi hubungan antar kata. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Brinton dan Akimoto (1999)5 yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan bidang kajian yang fokus membahas kajian relasi kata yang terbatas yang akan membantu dalam pemaknaan. Tokoh lain yang berpendapat senada dengan Housman adalah Robbins (1989)6, menurutnya kolokasi merupakan relasi kata yang terjadi pada tataran leksikal. Para Linguis Indonesia dalam memahami kolokasi sependapat dengan tokoh sebelumnya yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar kata. Diantara tokoh yang berpendapat demikian adalah Aminuddin. Menurutnya kolokasi adalah asosiasi hubungan makna kata yang satu dengan yang lain yang masing-masing memiliki

hubungan

ciri

3

yang relatif tetap.

Aminuddin

Larson,Mildred L Meaning Based Translation: A Guide to Cross Language Equivalance. Amerika: University Press Of America. 1984 4 Goddard, Cliff, Sematics Anlysis, A Practical Introduction, London: Oxford University Press, 1957 5 Brinton, Laurel J. and Minoji Akimoto, collocational and idiomatic Aspects of Composite Predicates in The History of English, Amsterdam: John Bunyamins Publishing Company, , 1999 6 Robins,R.H, General Linguistics, London and New york: Longman, , 1989

17

memberikan contoh kata pandangan berkolokasi dengan mata, bibir, dan senyuman, serta kata menyalak memiliki hubungan dengan anjing7. Dari masingmasing kata tersebut pun masih mempunyai kolokasi yang lain seperti anjing berkoloksi dengan binatang, umpatan, najis dsb. Kata bibir bisa berkolokasi dengan organ tubuh manusia, tepi jurang, lipstik, pembicaraan, tutup botol dan lain sebagainya. Dengan kata lain kolokasi ini akan memperjelas makna yang dimaksud apabila terletak pada suatu kalimat dengan melihat pasangan kata yang ada. Contoh kata Anjing pada kalimat “Dasar Anjing! tulang yang sudah ditempat sampahpun diambilnya”. Kata Anjing pada kalimat ini yang berkolokasi dengan tulang dan tempat sampah tentu mempunyai pengertian bahwa anjing yang dimaksud adalah Anjing binatang. Akan tetapi berbeda dengan kata Anjing pada kalimat berikut: “Dasar Anjing kamu! Disuruh membantu sebentar aja tidak mau”8. Pada kalimat ini kata Anjing tentu yang dimaksud bukanlah Anjing binatang, namun sebuah umpatan kepada seseorang yang dimintai bantuan tidak mau karena tidak mungkin seseorang minta bantuan kepada Anjing. Selain Aminuddin linguis Indonesia yang berbicara tentang kolokasi adalah Abdul Chaer. Menurutnya kolokasi masuk pada makna asosiasi, sedangkan makna asosiasi sendiri terdiri makna konotatif, makna stilistik, makna afektif, dan makna kolokatif. Makna kolokatif menurut Abdul Chaer adalah makna yang berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya9. Abdul Chaer dalam hal ini memberi contoh kata tampan dan cantik, menurutnya kata tampan dan cantik mempunyai sinonim yaitu indah namun masing-masing kata tersebut tidak akan pantas jika dalam penerapannya tidak lazim sebagaimana biasanya, kata tampan lazim berkolokasi dengan kata pemuda, kata cantik lazim berkolokasi dengan kata gadis. Maka akan sangat tidak lazim seandainya kata tampan berkolokasi dengan kata 7

Aminuddin , Semantik (Pendekatan Studi tentang Makna), Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, cet ke 3 tahun 2003 8 Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis Dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984 9 Chaer, Abdul, Linguistik Umum, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,cetakan ke 2 tahun 2003

18

putri atau gadis, kata cantik tidak layak jika berkolokasi dengan kata pemuda atau pangeran. Dengan demikian untuk memudahkan mengetahui makna yang sebenarnya mengetahui kolokasi antar kata adalah suatu keharusan. Tokoh yang lain berpendapat bahwa kolokasi dalam melahirkan makna karena adanya relasi antar konstituen struktur kalimat atau sering diistilahkan dengan makna gramatikal. Tokoh yang berpendapat demikian adalah Sabine Bartsch (2004)10 yang menyatakan bahwa kolokasi disamping melahirkan makna karena adanya kombinasi antar kata juga karena adanya relasi antar unsur-unsur struktur. Dia lebih rinci lagi menyatakan yang dimaksud dengan kajian kolokasi di bidang struktur adalah bukan lagi mengkaji relasi kata-perkata akan tetapi mengakaji relasi unsur-unsur sintaksis. Pendapat ini sebelumnya telah dikemukakan oleh tokoh bahasa yang lain. Diantara tokoh sebelumnya menyatakan bahwa kolokasi terjadi juga pada tataran sintaksis pernyataan ini antara lain dikemukakan oleh Benson (1985)11, Bahns (1993)12 Wouden (1997)13, menurut ketiga tokoh ini, selain pada tataran kata kolokasi juga terjadi pada tataran sintaksis. Artinya yang akan melahirkan sebuah makna tidak hanya karena adanya relasi antar kata dengan kata yang lain, akan tetapi juga karena adanya relasi antar unsur kalimat. Pendapat Sabine senada dengan pandapat dari linguis Arab Tamâm Hasân(2003) yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar unsur sintaksis yang masing-masing unsur tersebut keberadaannya sangat prediktibel. Artinya kemunculan salah satu unsur sintaksis akan sangat mudah untuk diprediksikan karena kemunculan unsur sintaksis yang lain. Tamâm Hasân sendiri memberikan contoh apabila muncul hurf al-jar maka diprediksikan akan muncul ism yang menjadi majrûrnya. Demikian juga dengan bahasa Inggris apabila ada preposisi maka kata kerja yang terletak setelahnya berupa kata kerja bentuk gerund. 10

Sabine Bartsch, Structural and Functional Properties of Collocations in English, Gunter Narr Verlag, 2004 11 Benson, Collocational and Field of Discourse, Oxford: Pergamon Press Ltd, , 1985 12 Bahns, J., Lexical Collocations: contrastive view, Oxford: ELT Journal ( 30 Juni 1993) 13 Ton van der Wouden, Negative contexts: collocation, polarity and multiple negation, Routledge, 1997

19

Sebagaimana diskusi diatas bahwa ada dua pendapat yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi kata yang akan menghasilkan makna. Dari dua pendapat tersebut ada yang mengatakan bahwa yang paling berperan dalam menghasilkan sebuah makna ada yang mengatakan kolokasi dalam tataran relasi kata dan ada juga yang berpendapat kolokasi dalam tataran relasi unsur struktur kalimat. Abû al-Aswad al-Duwali sendiri sebagai peletak ilmu nahwu, pertama kali menyusun ilmu tersebut dilatar belakangi oleh kesalahan anak perempuannya yang berkata kepadanya dengan maksud mengungkapkan ta`jub dengan ungkapan  ‫ ُ' ا‬7‫  أ‬dengan merofa`kan huruf al-dâl, namun oleh ayahnya dijawab disangka ungkapan tersebut merupakan pertanyaan akan tetapi kata anaknya dia bukan bermaksud bertanya, hanya mengungkapkan keta`juban terhadap panas dimusim itu. Maka dengan serta merta Abû al-Aswad menuju rumah Ali bin Abi Thalib sebagai Amir al-Mukminin pada waktu itu untuk membicarakan tentang kekacauan tata bahasa Arab14. Dari kisah ini penulis menafsirkan bahwa makna dari sebuah struktur kalimat sangat penting dalam memberikan maksud dalam suatu ungkapan. Al-Suyûthî (w. 911 H )15 juga berpendapat dalam kitab al-Iqtirahnya bahwa terciptanya ilmu nahwi karena rusaknya susunan bahasa yang menyebabkan salah makna dalam suatu ungkapan. Kerusakan susunan bahasa Arab itu menurut Al-Suyûthî karena terpengaruh oleh bahasa Asing. Al-Jurjânî (w.471 H)16 memberikan pandangan yang lebih luas, yakni menurutnya bahwa sebuah makna dihasilkan oleh relasi kata dengan yang tersusun dalam suatu kalimat. Dari ungkapan Al-Jurjânî ini dapat diambil pengertian bahwa kata akan menghasilkan makna jika tersusun dalam tataran sintaksis yang benar, dan sintaksis tanpa adanya relasi kata maka masing-masing unsurnya tidak mempunyai makna. 14

Jâd al-Karim, `Abd Allah Ahmad, al-Ma`na wa Nahwi, Kairo, Mesir: maktabah alAdab, 2002 h. 19 15 Al-Suyûthî, al-Iqtirah fi `Ilm Ushul al-Nahwi, ditahqiq oleh Ahmad Salim al-Khamsa dan Muhammad Ahmad Qashim, cet I, 1988 h. 28 16 Abd Qâhir al-Jurjânî, Dalalil al-I`jaz, ditahqiq oleh Abd al-Mun`im khafaji, Kairo: 1977 h. 35

20

Abû al-Abbas (w.291H) menolak pendapat yang menyatakan bahwa nahwu itu tidak mempunyai makna, ia mengatakan bahwa struktur kalimat tidak akan merusak makna17. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh al-Farra (w.207H)18 menurutnya struktur kalimat akan sesuai dengan maknanya dan makna juga akan sesuai dengan struktur kalimat19. Jika strukturnya rusak maka rusak pula maknanya dan jika maknanya rusak maka rusak pula strukturnya. Ibn Jinnî (w. 392 H)20 juga menyepakati para tokoh linguistik sebelumnya yang menyatakan bahwa antara struktur kalimat dengan makna saling mendukung. Makna akan muncul jika relasi kata yang terdapat dalam struktur kalimat terjadi secara benar. Artinya relasi antar kata dalam tataran sintaksis akan mempengaruhi makna yang dimaksud oleh pengucap. Maka apabila salah dalam menyusun kata yang terdapat dalam tataran sintaksis akan salah juga maksud yang ditangkap oleh pendengar. Dari kalangan yang mengatakan bahwa kolokasi bisa terjadi pada tataran kata dan tataran sintaksis. Mereka mengungkapkanya dengan istilah kata terkunci oleh makna dan sintaksis adalah kuncinya, ungkapan ini dikemukakan oleh AlJurjânî(w.471 H). Dari ungkapannya dapat diambil kesimpulan bahwa kolokasi yang merupakan relasi kata untuk melahirkan makna lebih didominasi oleh faktor relasi struktur kalimat. Tamâm Hasân (2003)21 juga berpendapat bahwa untuk menghasilkan makna, sebuah kata tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya relasi dengan kata yang lain. Ia juga mengatakan bahwa pada hakekatnya makna itu lahir setelah terjadinya relasi antar kata dalam struktur yang benar22. Relasi antar kata itulah 17

Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi Al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyîn wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Kairo, mesir: Dâr al-Ma‘ârif,: cet ke 2 h. 131 18 Nama lengkapnya adalah Abû zakariyâ` Yahya Ibn Ziyâd Ibn ‘Abd Allah Ibn Manshûr al-Dailamî al-Farâ`. 19 Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi Al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyîn wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Kairo, mesir: Dâr al-Ma‘ârif, , cet ke 3 h. 131 20 Nama lengkapnya adalah Abû al-Fath Utsmân Ibn Jinnî, Al-Khashâish, ditahqiq oleh Muhammad `Ali al-Najâr, Bairut: Dar al-Hudâ. 21 Tamâm Hasân, al-Lughah al-`Arabiyyah Ma`nâha wa mabnâha, Kairo: `Alim al-Kutb, , 2003, h.178 22 Tamâm Hasân, al-Lughah. h. 182

21

yang akan melahirkan makna konteks tidak lagi makna dasar dari sebuah kata. Ia mengambil istilah dalam bahasa Inggrisnya Context of Situation atau makna aldalâlî. Contohnya kata 1O yang berarti mata setelah mengadakan relasi dengan kata yang lain dengan menempati posisi tertentu dalam struktur kalimat maka akan menghasilkan makna yang baru. Tamâm Hasân23 menyatakan bahwa sebagian kata dalam sutau bahasa tidak akan bermanfaat jika tidak dikombinasikan dengan kata yang lain ataupun tidak adanya kombinasi antar unsur kalimat, ia mengistilahkan saling membutuhkanya konstituen struktur kalimat dengan istilah al-Iftiqâr. Tamâm Hasân mencontohkan huruf jar tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang menjadi majrûrnya, yâ al-nidâ () tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang menjadi munâdanya, adât al-syarth tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang menjadi syarth dan fi`l yang menjadi jawabnya. Dan ia juga mengungkapkan bahwa keterkaitan makna karena adanya kombinasi kata yang memerlukan pasangan konstituen struktur kalimat yang khusus, ia mencontohkan kata  menurutnya pasti akan masuk kepada fi`l mudharî`, harf al-jar akan masuk kepada Ism dan huruf al-jazm pasti akan masuk kedalam fi`l. Saling memerlukannya antar konstituen struktur kalimat dan kekhususan pasangan konstituen yang masuk kedalam konstituen yang lain menurut Tamâm Hasân disebut dengan kolokasi. Tamâm Hasân dalam hal ini lebih cenderung mengatakan bahwa yang paling berperan dalam melahirkan makna adalah kolokasi dalam tataran sintaksis. Ia memberikan alasan bahwa susunan kata yang terdapat dalam suatu kalimat sangat bergantung kepada susunan unsur kalimat. Karena peletakan kata yang berbeda akan berpengaruh juga terhadap makna yang akan dilahirkan oleh kata tersebut. Pendapat Tamâm Hasân ini banyak kesamaannya dengan pendapat linguis Arab yang lainnya. Tamâm Hasân sendiri mengklasifikasikan kolokasi dalam tataran struktur kalimat menjadi empat macam yaitu kolokasi al-Talâzum, al-Istitâr, al-hadzf, dan

23

Tamâm Hasân, Ijtihâdât lughawiyyat, Kairo, Mesir: `Âlim al-Kutb, , 2007 h.340

22

al-Ikhtishash24. Yang dimaksud dengan kolokasi al-Talâzum indikasinya adalah nampak secara konkrit sebagaimana harf al-jar yang menuntut adanya isim yang dimajrurkan, fi`l menuntut adanya fa`il, mudhaf memerlukan mudhaf ilaihnya dan seterusnya, sedangkan kolokasi al-Istitâr adalah kolokasi yang berbentuk ism dhamîr yang seharusnya bersandar pada fi`l namun ism dhamîrnya tidak nampak secara nyata, adapun kolokasi al-hadzf merupakan jenis kolokasi al-Talâzum yang salah satu konstituennya dibuang karena mempunyai alasan makna, dan secara gramatika konstituen tersebut sebenarnya ada hanya tidak dimunculkan. Dan yang terakhir adalah kolokasi yang berbentuk Ikhtishash, kolokasi ini merupakan jenis kolokasi yang kombinasi antar unsur struktur kalimat sudah menjadi pasangan yang khusus, seperti kekhususannya huruf lam ( ) yang khusus masuk pada fi`l mudharî`. Pembahasan tentang relasi anatar konstituen struktur kalimat dalam bahasa Arab sering disebut dengan ilmu nahwu yaitu ilmu yang secara khusus berbicara tentang jabatan tiap unsur kalimat, dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar unsur tersebut. Dengan kata lain ilmu nahwu digunakan untuk menganalisis makna sintaktik25. Dalam istilah klasik hubungan antara unsur kalimat yang satu dengan yang lainnya disebut al-ta`liq26. Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat dengan maksud agar mengetahui makna yang terkandung dalam teks secara filosofi. Hubungan antar unsur kalimat yang satu dengan unsur yang lainnya dalam ilmu nahwu ada yang bersifat lazim dan ada yang tidak lazim. Hubungan yang lazim menurut Tamam Hasan disebut dengan Tadhâm27. Istilah Tadhâm Tamam

24

Tamâm Hasân, Ijtihâdât lughawiyyat, h.345 Muhammad khamasah `Abd al-Latif, Bina al-Jumlah al-`Arabiyyah, Kairo: Dar Gharib lil-Thaba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzii` Syirkat dzat masuliyat mahdudat, 2003 hal-1 26 Hubungan kata yang terjadi antara unsur kalimat yang satu dengan yang lainnya, yang masing –masing mempunyai tugas sesuai dengan posisi i`rabnya. 27 Tamam Hasan, Al-Lughah al-`Arabiyah Ma`naha wa Mabnaha, Kairo: Alimu al-kutub, 1998 25

23

Hasan ini dalam istilah linguistik Inggris disebut dengan collocation sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut dengan kolokasi. Untuk membuktikan pendapat dari para ahli bahasa tentang kolokasi yang mengundang adanya perbedaan dalam menafsirkannya, maka perlu kiranya untuk mengadakan pembuktian secara obyektif dengan cara melakukan penelitian terhadap teks yang sudah mapan. Dalam hal ini penelitiannya berupa aplikasi langsung kolokasi tersebut ke dalam al-Qur`an. B. PERMASALAHAN 1. Identifikasi Masalah Setiap bahasa mempunyai spesifikasi kolokasi tersendiri, antara satu bahasa dengan bahasa yang lainnya akan berbeda dalam penerapan kolokasi . Kolokasi dalam bahasa Indonesia akan berbeda dengan kolokasi

yang terdapat dalam

bahasa Arab, kolokasi dalam bahasa Arab akan berbeda dengan kolokasi yang terdapat pada bahasa Inggris. Sehingga bagi pengguna bahasa yang bukan bahasa aslinya sering terjadi kesalahan dalam menerapkan pasangan kata dalam bahasa Asing. Ranah penelitian kolokasi mencakup banyak persoalan yang sangat kompleks. Namun secara garis besarnya dapat dikelompokkan kedalam tiga aspek permasalahan mendasar. Pertama, kolokasi dari masing-masing bahasa akan mengalami perbedaan, akan tetapi prinsip-prinsip yang terdapat dalam kolokasi bisa diterapkan ke semua bahasa yang ada di dunia ini. Kedua, kolokasi dalam bahasa Arab sudah banyak dibahas oleh para ulama klasik, akan tetapi dalam memberikan istilah tersebut mereka sangat beragam. Sedangkan konsep kolokasi dipopulerkan oleh Tamam Hasan dengan istilah Tadham. Istilah kolokasi ini mengadopsi dari liguis Inggris yang bernama J.R.Firth, sebagai guru dari Tamam Hasan Sendiri. J.R. Firth menemukan teori kolokasi yang diterapkan untuk kata dan oleh Tamam Hasan diperluas lagi bahwa medan kolokasi tidak hanya pada kata akan tetapi masuk juga pada struktur kalimat. Ketiga, kolokasi merupakan gejala bahasa yang merupakan hubungan pasangan yang serasi baik pada tataran kata maupun struktur kalimat yang

24

merupakan suatu kelaziman pasangan tersebut, maka dengan mengetahui pasangan kata atau unsur kalimat yang satu maka pasangan yang lainnya akan mudah untuk dideteksi, dengan demikan akan memberikan kemudahan dalam memahami makna yang terkandung dalam suatu kalimat. Oleh karena itu perlu adanya aplikasi kolokasi

ini terhadap teks yang telah mapan keberadaannya

seperti al-Qur`an. 2. Pembatasan Masalah Penelitian tentang kolokasi dibatasi pada bentuk-bentuk kolokasi pada tataran kata dan bentuk-bentuk kolokasi pada tataran struktur kalimat. 3. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah tersebut, masalah utama yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah apa bentuk-bentuk kolokasi pada tataran kata dan apa bentuk-bentuk kolokasi pada tataran struktur kalimat. C. PENELITIAN TERDAHULU YANG RELEVAN Kajian kolokasi merupakan kajian kebahasaan yang di pelopori oleh ahli bahasa yang berasal dari London yang bernama J.R.Firth. Dia menjelaskan bahwa kolokasi adalah suatu abstraksi pada tingkatan sintagmatik dan tidaklah secara langsung terkait dengan pendekatan konseptual atau gagasan terhadap arti kata. Salah satu makna night adalah dapat berkolokasinya kata tersebut dengan dark, dan tentu saja, makna dark dapat diketahui dengan mudah bila berkolokasi dengan night. Linguis setelahnya melihat kolokasi dengan aspek yang berbeda tetapi sebetulnya masih berkaitan erat dengan kolokasi. Sinclair, misalnya, salah seorang murid Firth di London University, melihat kolokasi sebagai berikut: Kolokasi adalah kemunculan dua kata atau lebih secara bersamaan dengan kata lain dalam sebuah teks dengan jarak yang tidak berjauhan. Linguis Indonesia yang pernah membahas masalah kolokasi diantaranya adalah Aminuddin. Menurutnya kolokasi adalah asosiasi hubungan makna kata yang satu dengan yang lain yang masing-masing memiliki hubungan ciri yang relatif tetap. Aminuddin memberikan contoh kata pandangan berkolokasi dengan mata, bibir, dan senyuman, serta kata menyalak memiliki hubungan dengan

25

anjing28. Dari masing-masing kata tersebut pun masih mempunyai kolokasi yang lain seperti anjing berkoloksi dengan binatang, umpatan, najis dsb29. Linguis Arab yang berbicara mengenai kolokasi diantaranya adalah Ahmad Muhammad Qadur, menurutnya kolokasi adalah hubungan kata dengan kata yang lain, kemunculan kata tersebut dalam kalimat akan mengalami keterbatasan karena adanya hubungan yang sudah lazim dengan kata tersebut. Contoh kata @+ hanya bisa dihubungkan dengan kata: %9 ‫ا‬,>‫ ا *ه‬,‫س‬+ ‫ ا‬,'' ‫ ا‬dan tidak bisa dihubungkan dengan kata tN ‫ ا‬,' ‫ ا‬,>YA ‫ ا‬,‫اب‬$ ‫ا‬. Tesis mengenai kolokasi dalam bahasa Arab juga pernah ditulis oleh mahasiswa University of Western Sydney yang bernama Brashi Abbas S dalam tesisnya ia mengangkat masalah kesalahan kolokasi dalam bahasa Arab yang menjadi bahasa kedua untuk menterjemahkan bahasa Inggris. Tesis ini ditulis pada tahun 200530. Para tokoh bahasa yang disebutkan di atas adalah tokoh yang berpendapat bahwa kolokasi terjadi hanya pada tataran kata, sedangkan tokoh yang menyatakan bahwa kolokasi bisa terjadi juga pada tataran struktur kalimat diantaranya adalah Tamam Hasan dan Ahmad Mushthafa al-Maraghî. Menurut mereka kolokasi mengharuskan salah satu unsur dari dua unsur kalimat untuk menjelaskan/ menguraikan sesuai dengan aturan tata bahasa (secara nahwiyyah) terhadap unsur yang lain. Atau mempertentangkan salah satu unsur kalimat 28

Aminuddin , Semantik (Pendekatan Studi tentang Makna), Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, cet ke 3 tahun 2003 29 Selain Aminuddin linguis Indonesia yang berbicara tentang kolokasi adalah Abdul Chaer. Menurutnya kolokasi masuk pada makna asosiasi, sedangkan makna asosiasi sendiri terdiri makna konotatif, makna stilistik, makna afektif, dan makna kolokatif. Makna kolokatif menurut Abdul Chaer adalah makna yang berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu yang dimiliki sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim, sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya 30

Brashi, Abbas S., Arabic language, collocations, comparative linguistics, terms and phrases, English, Sydney: University of Western Sydney, College of Arts, Education and Social Sciences, School of Languages and Linguistics; Australasian Digital Theses Program, University of Western, 2005.

26

dengan yang lainnya sehingga tidak terjadi pertemuan makna antara kedua unsur kalimat tersebut. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa kolokasi tidak hanya terjadi pada tataran kata, akan tetapi terjadi juga pada tataran struktur kalimat. SIGNIFIKANSI PENELITIAN Penelitian tentang kolokasi mempunyai signifikansi terhadap pemaknaan. Kolokasi merupakan bagian dari kajian kebahasaan yang menampilkan teori kombinasi kata. Kolokasi mempunyai peran penting dalam menyeleksi kombinasi kata yang satu dengan kata yang lain. Penyeleksian kata tersebut dilakukan karena adanya tuntutan yang harus tepat dalam pasangan masing-masing kata. Terutama kata yang mengandung makna polisemi dan makna sinonim. Ketepatan pasangan kata yang diakibatkan adanya polisemi dan sinonim tidak bisa diberi alasan yang nyata31. Karena ketepatan pasangan kata tersebut hanya dapat dipraktekan melalui intuisi. Penutur bahasa asli akan lebih mudah dalam memberikan ketepatan pasangan kata karena intuisi bahasanya telah terlatih. Ketepatan pasangan kata itu hanya bisa dianalisis dengan menggunakan kolokasi. Kolokasi disamping merupakan kombinasi antar kata juga merupakan relasi antara konstituen struktur kalimat. Para linguis sebagian besar berpendapat bahwa kolokasi merupakan relasi antar kata yag akan menghasilkan makna. Akan tetapi sebagian linguis ada yang berpendapat disamping merupakan relasi anatar kata juga merupakan relasi antar konstituen struktur kalimat. Kolokasi baik yang terjadi pada tataran kata ataupun yang terjadi pada tataran struktur kalimat akan memberikan kemudahan dalam memahami makna pada sebuah ujaran. Pendengar akan mendapat kemudahan dalam mencerna makna ketika mendengar kata menggonggong, tentu kata tersebut akan dikelilingi kata-kata sekitarnya yang berkaitan dengan Anjing.

31

Bartsch, Sabine, Structural and functional properties of collocations in English: a corpus study of lexical and pragmatic constraints on lexical co-occurrence, Gunter Narr Verlag, 2004

27

Pembaca yang fimilier dengan teks Arabpun akan mendapatkan kemudahan dalam memahami sebuah teks ketika mengetahui posisi dan fungsi kata yang terletak pada sebuah kalimat. Contoh pada ayat:6 surat al-Fatihah yang berbunyi:

َ#'ِ ‫ا ْه‬

َ ِ$َ Y ْ Nُ ْ ‫ط ا‬ َ ‫@َا‬ v ‫ ا‬pada ayat tersebut pembaca akan memahmi makna ketika mengetahui posisi dan fungsi kata-perkatanya. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian ini meliputi : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah jenis penelitian kualitatif karena penelitan ini mempunyai ciri-ciri yang terdapat dalam Kriteria penelitian kualitatif sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor dalam buku metode penelitian kualitatif karya Lexy J.Moelong, metode penelitian kualitatif dapat digunakan diantaranya apabila datanya berupa kata tertulis atau lisan.32. hal ini sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan yaitu datanya berupa teks tertulis yang berupa ayat-ayat al-Qur`an. Penelitian ini juga menggunakan rancangan analisis isi atau contens analisys. Alasan yang mendukung digunakannya analisis isi sebagai rancangan dalam penelitian ini adalah karena sumber data dalam penelitian ini berupa dokumen. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Consuelo G.Sevilla dkk, apabila penyelidikan meliputi informasi melalui pengujian arsip dan dokumen, maka metode yang digunakan adalah teknik analisis dokumen33. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berupa ayat-ayat al-Qur`an. Penelitian menggunakan metode analisis isi juga karena masalah yang dianalisis adalah isi komunikasi. Noeng Muhadjir mengatakan bahwa analisis isi berangkat dari aksioma bahwa studi tentang proses dan isi komunikasi itu merupakan dasar bagi semua ilmu sosial.34seluruh ayat al-Qur`an merupakan isi

32

Moleong: Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,

,2007 hal 4 33

Consuelo G. Sevilla dkk, Pengantar Metode Penelitian, alih bahasa Alimuddin Tuwu, Jakarta: UI Press, 1993 hal 85- lihat juga buku Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, , 2007 hal 219-223 34 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif , Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000, hal 68-71

28

komunikasi antara Allah sebagai pemilik redaksi kalimat dengan manusia sebagai penerima kalimat. 2. Sumber Data Yang menjadi data pada penelitian ini adalah semua bentuk kata dan kalimat yang terdapat dalam Al-Qur`an, karena data penelitian ini berupa ayat-ayat alQur`an maka sumber primer dalam penelitian ini berupa al-Qur`an mushaf Utsmani. Sedangkan Sumber Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: a. Buku berbahasa Arab •

Al-lughah al-`Arabiyyah ma`naha wa mabnaha karya Tamam Hasan.



Mabadi` al-Lisâniyât karya Ahmad Muhammad Qadur.

b. Buku berbahasa Inggris •

Meaning-Based

Translation:

A

Guide

to

Cross-language

Equivalence karya Mildred L.Larson. •

The Language of Literature: A Stylistic Introduction to the Study of Literature karya Michael Cummings & Robert Simmons.

c. Buku berbahasa Indonesia •

Linguistik Umum karya Abdul Chaer.



Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna karya Aminuddin.

3. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Tehnik pengumpulan data menurut Bogdan & Biklen dalam buku metodologi penelitian kualitatif karya Lexy J.Moelong adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data35, sedangkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam rangka pengumpulan data adalah sebagi berikut: pertama peneliti mengorganisirkan data dalam hal ini peneliti akan membaca al-Qur`an surat.

35

Moleong: Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2007 hal 248

29

Kemudian peneliti mengadakan unitisasi atau pemilahan menjadi satuan yang dapat dikelola, dalam hal ini peneliti akan memisah-misahkan ayat-ayat yang memuat batasan-batasan kolokasi, atau bisa dikatakan juga mengidentifikasi ayatayat al-Qur`an surat yang mengandung indikasi kolokasi. Selanjutnya peneliti mereduksi data, dalam mereduksi data ini peneliti akan memilih dan memilah data yang relevan untuk dianalisis dan data yang kurang relevan untuk dianalisis, dan data yang relevan dengan tujuan penelitian akan dianalisis dan data yang kurang relevan dengan penelitian ini tidak dianalisis dan disisihkan. Dan yang terakhir peneliti mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan mengoperasionalkan pengetahuan analisis tentang saling ketergantungan antara data dengan konteks. Dengan demikian peneliti akan mengkaji ayat-ayat yang mempunyai indikasi kolokasi . 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi dengan menggunakan prinsip-prinsip kolokasi. Pendekatan kolokasi digunakan untuk mengetahui proses pembentukan kolokasi baik pada tataran kata maupun pada tataran struktur kalimat yang terdapat pada surat Al-Qur`an. Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh untuk menganalisis data adalah sebagai berikut: Pertama peneliti menentukan bentuk formal data yang berupa kolokasi pada setiap ayat al-Qur`an. Kedua mengklasifikasikan atau mengatagorikan wujud formal dari kolokasi yang terdapat pada al-Qur`an. Ketiga menjelaskan wujud formal dari kolokasi yang terdapat pada setiap ayat al-Qur`an. Keempat memberikan makna kepada kata yang mempunyai indikasi kolokasi. Kelima peneliti melakukan validasi, yakni mengkaji ulang dari tahapan pertama sampai tahapan keempat dengan tujuan agar ditemukan suatu pemaknaan yang benar. Dan yang terakhir atau langkah yang keenam adalah peneliti mengambil kesimpulan. 5. Asumsi Dasar Kolokasi merupakan fenomena universal yang ada dalam setiap bahasa dan memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda antara satu bahasa dan lainnya.

30

kolokasi merupakan hubungan sebuah kata atau lebih dengan unsur bahasa lainnya yang muncul secara bersamaan dalam sebuah teks yang jarak antara kata dan unsur bahasa lainnya itu tidak harus berdampingan tetapi dalam jarak yang tidak terlalu jauh36. Kolokasi terdapat dalam setiap bahasa termasuk bahasa Arab dan kolokasi merupakan hubungan antar kata dan antar unsur struktur kalimat yang terdapat dalam sebuah teks. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa kolokasi terdapat dalam al-Qur`an yang merupakan sebuah teks yang bertuliskan dengan menggunakan bahasa Arab. Kolokasi yang terdapat dalam al-Qur`an tentu akan berbeda dengan kolokasi yang terdapat pada teks-teks yang ditulis dengan menggunkan bahasa non Arab, oleh karenanya untuk mengkaji kolokasi dalam al-Qur`an harus menggunakan kaidah bahasa Arab. 6. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mempunyai banyak keterbatasan diantaranya adalah dalam hal penentuan objek kajian, obyek yang menjadi kajian adalah Al-Qur`an yang mempunyai sangat banyak ayat. Oleh karena itu perlu dibatasi dalam penelitian ini, peneliti mengungkap tema-tema yang banyak menjadi perdebatan linguis Arab. Jika penelitian ini tidak dibatasi akan memungkinkan munculnya banyak kendala yang dialami oleh peneliti diantaranya karena terbatasnya waktu penelitian. Penelitian ini pun terbatas pada masalah kolokasi yang terdapat dalam bahasa Arab yang diaplikasikan terhadap al-Qur`an, maka hal ini memungkinkan adanya kolokasi yang terdapat pada teks-teks Arab yang lainnya yang tidak terkaver dalam penelitian ini. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk memudahkan penulisan dalam penelitian ini, penulis susun dalam lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab. Bab Pertama membahas tentang pendahuluan yang berisi tentang persoalan yang melatar belakangi 36

Saifullah Kamalie, Kolokasi dalam Bahasa Arab Mengapa dan Bagaimana, Blog Pribadi ditulis pada hari Sabtu,23 Juni 2007

31

penelitian ini. Dalam bab ini, penulis juga mengungkap permasalahanpermasalahan yang menjadi dasar penelitian Kolokasi, kemudian dianalisis untuk mendapatkan informasi yang akurat dari setiap permasalahan yang ditemukan. Selain itu, penulis juga sajikan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga diharapkan dapat memberikan konstribusi berharga dalam kajian ini, serta manfaat atau signifikansi yang akan diperoleh dari penelitian ini. Kemudian pada bagian akhir dari bab ini, penulis kemukakan sistematika penulisan. Bab Kedua membahas tentang landasan teori. Dalam bab ini, penulis kemukakan tentang kajian kolokasi menurut linguis barat, linguis Indonesia dan linguis Arab. Dalam kajian kolokasi Barat akan ditampilkan beberapa model teori tentang kolokasi yang dikemukakan oleh orang barat dalam aplikasinya terhadap bahasa mereka, kajian kolokasi Indonesia akan dibahas mengenai model kolokasi yang dikemukakan para linguis Indonesia dengan aplikasi dalam bahasa Indonesia, sedangkan kajian kolokasi dalam bahasa Arab juga akan menampilkan teori kolokasi dan aplikasinya kedalam bahasa Arab. Bab Ketiga membahas tentang analisis bentuk-bentuk formal kolokasi pada tataran kata yang terdapat dalam al-Qur`an. Bab Keempat membahas tentang analisis bentuk-bentuk formal kolokasi pada tataran struktur kalimat yang terdapat dalam al-Qur`an. Bab Kelima penutup. Dalam bab ini, peneliti akan menguraikan secara khusus tentang hasil penelitian yang ditemukan dalam kajian kolokasi. Selain itu, peneliti juga akan memberikan beberapa upaya untuk pengembangan kebahasaan, khususnya penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.

32

BAB II KOLOKASI MENURUT PANDANGAN PARA LINGUIS A. KOLOKASI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF Kolokasi dalam pandangan para ahli bahasa dapat diklasifikasi kedalam dua kelompok besar. Kelompok pertama yang menyatakan bahwa kolokasi hanya terjadi pada tataran kata. Tokoh yang menyatakan demikian diantaranya adalah Nattingger (1992) menurutnya bahasa pada dasarnya merupakan komponen yang terdiri dari kumpulan beberapa kata yang tergabung dalam satu ungkapan yang mengandung makna37. Gabungan antar kata yang mengandung makna tersebut disebut dengan kolokasi. Tokoh lain yang sependapat dengannya adalah De Carrio(1993) menurutnya kolokasi merupakan pertalian kata yang satu sama lainnya saling mengharapkan kemunculannya. Atau pertalian antar kata tersebut bisa terjadi dengan kata yang sangat luas karena kata tersebut bisa muncul daam berbagai teks38. Yang demikian juga menurut De Carrio disebut dengan kolokasi. Dia memberikan contoh kata hood. Senada dengan kedua tokoh diatas adalah Quirk (1985) dan Jakson (2000) menurut ketiga tokoh bahasa ini kolokasi merupakan kelompok kata yang terjadi dalam suatu frasa yang kemunculannya sering bersama-sama39. Kombimasi dari kata-kata tersebut yang akan mengakibatkan lahirnya makna baru. Kombinasi dari masing-masing bahasa akan berlainan. Pendapat para tokoh diatas dibantah oleh tokoh yang menyatakan bahwa kolokasi disamping terjadi pada tataran kata bisa juga terjaadi pada tataran struktur kalimat. Tokoh yang berpendapat semacam ini adalah Benson(1985), Bahns (1993) Kennedy (1990) dan Carter (2000). Keempat tokoh ini memberikan contoh bahwa setelah adanya preposisi pasti akan muncul kata kerja bentuk ing, seperti kalimat I avoid going to Malang, He can`t help laughing.

37

Nattingger: J.R, Lexikal Phrases and Language Teaching. London: Longman, 1992

h.76 38

J.S. De Carrico, Promoting Pragmatic Competence. London: Collins, 1993 h.21 Howard Jakson, Words, Meaning, and Vocabulary, Cambridge: Camridge University Press, 1995 h. 56 39

33

Penulis sendiri berpendapat bahwa baik kolokasi dalam tataran kata ataupun dalam tataran sintaksis keduanya mempunyai peran untuk melahirkan makna, sebagaimana contoh kolokasi dalam tataran kata perlu kiranya ditampilkan ungkapan sebagai perbandingan kalimat yang pertama berbunyi “pak lurah makan kursi” dan “Pak lurah makan nasi” kedua kalimat ini secara struktur benar akan tetapi kalimat yang pertama secara relasi kata tidak benar, karena relasi kata makan lazimnya berkolokasi dengan kata makanan seperti roti, kue, atupun nasi. Artinya relasi kata sangat berperan dalam melahirkan makna. Demikian juga dengan relasi struktur kalimat. Pada kalimat kedua relasi kata dan struktur kalimatnya benar akan tetapi jika relasi antar unsur sintaksisnya salah maka akan melahirkan makna yang salah juga. Contoh kalimat kedua jika diubah dengan “Nasi makan Pak Lurah” maka kalimat ini tidak melahirkan makna yang dimaksud. Dengan demikian relasi struktur kalimatpun akan melahirkan makna. Sedangkan kolokasi yang berkembang saat ini sudah jauh dari kemasan yang dimaksudkan oleh pencetusnya yaitu J.R.Firth. Menurutnya kolokasi merupakan asosiasi kemunculan kata yang dipakai dalam suatu lingkungan kelompok tertentu, misalnya ada ungkapan yang melibatkan kata rumput, kerbau, tanah lapang maka diasosiasikan akan muncul pula kata hijau muncul pula kata kandang, kalau berbicara sekitar malam, sepi maka diasosiasikan akan muncul kata gelap40. Menurut R.H.Robins pengertian kolokasi adalah asosiasi yang biasanya diberikan pada sebuah kata dalam sebuah bahasa dengan kata-kata tertentu lainnya dalam sebuah kalimat41, kolokasi merupakan telaah terhadap setiap kata yang menjadi unsur leksikal yang muncul dan bersanding dengan katakata yang lain sebagai unsur-unsur leksikal tersendiri. Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Cliff Goddard yang menyatakan bahwa istilah kolokasi berhubungan dengan sebuah kombinasi 40

Firth, J.R. Papers In Linguistics 1934-1951, London: Oxford University Press, cet ke 1, 1957 hal-194-214, lihat dan baca juga buku Semantic Analisis A Pratical Intoduction karya Cliff Goddard, New York: Oxford University Press, 1998 hal-21. Lihat dan baca juga buku karya N.E. Collinge, An Encylopedia Of Language, London: Routledge, cet ke-1, 1990, hal- 161 41 R.H.Robins, General Linguistics, London dan New York: Longman, 1989 cet ke 4 yang di terjemahkan oleh Soenarjati Djajanegara, Linguistik Umum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius, 1992

34

beberapa kata yang pada umumnya kemunculan kata-kata tersebut sering bersama-sama42. Adanya kolokasi ini akan membantu dalam analisis semantik terutama pada pemahaman terhadap sebuah kalimat yang terdapat di dalamnya beberapa kata yang sering muncul secara bersama-sama. Pada Oxford Collocations Dictionary for Student of English, kolokasi mempunyai pengertian sebuah cara beberapa kata berkombinasi dalam sebuah bahasa untuk memproduksi pendengaran yang alamiah secara ucapan ataupun tulisan43. Contoh dalam bahasa Inggris dikatakan Strong wind dan heavy rain untuk menggambarkan bahwa angin sangat kencang dan hujan sangat deras. Hal ini akan terasa tidak normal apabila pasangan tersebut diubah menjadi Strong rain dan heavy wind. Pasangan kata tersebut akan lebih cepat diterima oleh pelajar baik tingkat lanjutan maupun tingkat dasar. Menurut Dictionary of Selected

Collocations, kolokasi mempunyai

pengertian kemungkinan kombinasi kata dengan beberapa kata yang berbeda-beda ketika berbicara ataupun menulis44. Beberapa pasangan kata yang terjadi secara bersama-sama ada yang sangat jarang dan ada yang sangat sering. Ketika muncul satu kata dalam kalimat maka diharapkan kata yang biasa berpasangan akan muncul. Kombinasi yang special ini disebut dengan kolokasi dan ini terjadi di seluruh bahasa apapun termasuk didalamnya bahasa Inggris, bahasa Arab ataupun bahasa Indonesia. Berbeda dengan pendapat linguis Indonesia Mansoer Pateda, dia memberi pengertian kolokasi merupakan kebiasaan hubungan kata dengan penggunaan beberapa leksem di dalam lingkungan yang sama45. Mansoer memberikan contoh kata ikan, garam, gula, sayur, tomat, terong dan sebagainya biasanya leksemleksem tersebut biasa berhubungan dengan lingkungan dapur. Kalau kata gergaji, 42

Goddard,Cliff, Semantic Analysis A Practical Introduction, New York: Oxford University Press, 1998 hal-21 43 Oxford Collocations Dictionary for Students of English, Oxford University Press, cetakan ke 4, 2003 hal-VII 44 Hill, Jimmie dan Michael Lewis, Dictionary of Selected Collocations, London: commercial Colour Press Plc, 1999 hal-6 45 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, Ende, Flores: Penerbit Nusa Indah, , cetakan I, 1986, hal-60

35

ketam, pahat, parang, tukul, paku, biasanya berhubungan dengan lingkungan tukang kayu. Istilah kolokasi pertama kali di cetuskan oleh J.R. Firth46 seorang linguis dari Inggris ketika menyampaikan presentasi papernya yang berjudul Sinopsis of Linguistic Theory. Dia menyatakan secara eksplisit bahwa kata yang terdapat pada kalimat secara alamiah akan mengalami kolokasi dengan kata yang lain, dan ini pun pernah disampaikan pada artikel yang berikutnya yang berjudul Made of Meaning. J.R.Firth juga menyampaikan tehnik pemaknaan dengan menggunakan kolokasi. Dia berkata bahwa pemakanaan dengan kolokasi merupakan abstaksi pada tataran sintagmatik, secara tidak langsung teori kolokasi merupakan kesesuain dengan konsep atau ide pendekatan terhadap pemakanaan kata. Tokoh linguistik yang pertama kali dan paling berperan dalam mengembangkan teori kolokasinya J.R.Firth adalah Halliday47 dan Sinclair, menurut kedua tokoh ini kolokasi merupakan kekonsistenan bagi unsur-unsur yang terdapat pada tataran leksikal. Kolokasi yang konsisten dari bagian leksikal seperti pada umumnya kolokasi adjective-noun dan verb-noun merupakan bagian teori leksikal.

46

J.R.Firth lahir tahun 1890 dan meninggal tahun 1960 di Inggris, dia menjadi professor bahasa Inggris di Universitas Punjab Lahore dari tahun 1920-1928, menjadi dosen senior di Universitas College London dari tahun 1928-1938, menjadi dosen senior, pembaca, dan profesor linguistic disekolah orientalis dan studi afrika di Universitas London dari tahun 1938-956, dia dikenal sebagai figure dasar linguistic di London, dia juga dikenal dengan teori fonologi dan pemaknaan. J.R.Firth adalah seorang tokoh dijamannya. Dia lahir di Keighley, Yorkshire pada akhir abad ke 19 di Inggris, ketika Inggris masi menjadi penjajah terbesar di dunia, karirnya memberi tanda terhadap eksistensi penjajahan Inggris. Dia pergi ke India ketika masih menjadi bagian dari jajahan Inggris untuk bekerja pada pelayanan pendidikan di India, dia juga menjadi militer di India ketika perang dengan Afganistan dan Afrika. Dia kemabli ke Inggris pertama hanya satu tahun(1926) kemudian kembali yang kedua dengan waktu yang panjang pada tahun 1928 sebagai kepala departemen fonetik di universitas college London. 47 Nama lengkapnya Michael Halliday, lahir pada tahun 1925, memperoleh gelar kesarjanaan pertamanya dalam bidang kajian Cina dari Universitas London. Pendidikan lanjutan dilakukannya di Peking dan Cambridge dengan menekuni bahasa Cina dan Inggris, dia mulai mengembangkan model kebahasaan dari Firth yang menjadi gurunya. Haliday sebagai seorang linguis dan juga pakar sinologi memberi andil besar dalam pengembangan aliran neo-Firthian karena orientasi pengembangan pandangan kebahasaan Haliday selalu dikaitkan dengan unsure tautan situasi social yaitu penutur, tempat, waktu, pokok bahasan dll, maka pandangannya cederung disebut sebagai pandangan yang bersifat fungsional.

36

Lyons48 merupakan generasi berikutnya yang ikut mengembangkan teori kolokasi namun dia mempertimbangkan definisi pemaknaannya J.R.Firth sebagai sebuah yang komplek dalam hubungan kontekstual kata yang sangat membingungkan dan dia mengkritik kekurang jelasan dari prinsip-prinsip pemaknaan kelompok leksikal yang merupakan asosiasi dapat dipastikan atau ditetapkan. Linguis berikutnya yang turut berbicara tentang kolokasi adalah Crusie, dengan menggunakan pendekatan semantiknya pada tahun 1977 dia melakukan penelitian tentang hubungan makna sintagmatik antara bagian-bagian leksikal dengan menggambarkan batasan-batasan kolokasi yang tetap seperti contoh: kick the bucket. Levenson49 pada tahun 1979 juga mengusulkan bahwa kolokasi memberikan banyak terhadap kata depan dari unit-unit yang ada pada leksikal. Dan penelitiannya memberikan kontribusi penting pada percaturan kebahasaan yaitu dengan kolokasi akan lebih cepat untuk menguasai bahasa dan tahun berikutnya untuk pengembangan kosa kata. Peneliti kebahasaan yang membahasa kolokasi selanjutnya adalah Fayez dan Husein, dia melaksanakan penelitian pada tahun 1990. Pada penelitiannya dia melaporkan tentang kekurang pengetahuan kolokasi pada siswa tingkat lanjutan bahasa Inggris50. B. PENTINGNYA KOLOKASI DALAM PEMAKNAAN Makna merupakan aspek penting dalam sebuah bahasa. Karena dengan makna maka sebuah komunikasi dapat terjadi dengan lancar dan saling dimengerti. Tetapi seandainya para pengguna bahasa dalam bertutur satu sama 48

Nama lengkapnya John Lyons lahir pada tahun 1932, dia adalah seorang ahli bahasa Inggris, atau lebih dikenal sebagai ahli semantic, John Lyons belajar di St.Bede`s college, Manchester dan Christ`s college, Cambidge dimana dia juga bekerja di sana dari tahun 1961 sampai tahun 1964. dari tahun 1964 sampai tahun 1984 dia menjadi professor di bidang linguistic di Universitas Edinburgh dan Sussex. Selama 15 tahun dia menjadi penguasa di Trinity Hall, Cambridge, sebelum mengundurkan diri pada tahun 2000. dia sekarang menjadi tenaga honorer di beberapa perguruan tinggi. Pada tahun 1987 dia dinobatkan sebagai bangsawan. 49 Nama lengkapnya Edward Levenston seorang professor linguistic di Universitas Hebrew, Yerusalam. 50 Husein, Riyad Fayez, collocation: The missing link in vocabulary acquisition amongst EFL learners and Studies in Contrastive Linguistic, 1990

37

lain tidak saling mengerti makna yang ada dalam tuturannya, maka tidak mungkin tuturan berbahasa bisa berjalan secara komunikatif. Di sini dituntut antara penutur dan lawan tuturnya harus saling mengerti makna bahasa yang mereka tuturkan. Kolokasi merupakan bagian dari kajian kebahasaan yang menampilkan teori kombinasi kata. Kolokasi mempunyai peran penting dalam menyeleksi kombinasi kata yang satu dengan kata yang lain. Penyeleksian kata tersebut dilakukan karena adanya tuntutan yang harus tepat dalam pasangan masingmasing kata. Terutama kata yang mengandung makna polisemi dan makna sinonim. Ketepatan pasangan kata yang diakibatkan adanya polisemi dan sinonim tidak bisa diberi alasan yang nyata51. Karena ketepatan pasangan kata tersebut hanya dapat dipraktekan melalui intuisi. Penutur bahasa asli akan lebih mudah dalam memberikan ketepatan pasangan kata karena intuisi bahasanya telah terlatih. Ketepatan pasangan kata itu hanya bisa dianalisis dengan menggunakan kolokasi. R.H.Robins, dalam teorinya dia memberikan contoh makna kata putih yang berkombinasi dengan kata-kata yang sering muncul dalam ungkapanungkapan yang lazim kata-kata tersebut menjadi Baju Putih, Kulit Putih, Kain Putih. Kata putih pada contoh tersebut merupakan kolokasi yang terjadi pada tataran kata yang akan menghasilkan makna yang berbeda-beda. Dalam bahasa Indonesia kata yang menyangkut warna bisa juga berkolokasi dengan kata yang lain akan tetapi tidak mengandung arti warna yang sesungguhnya, contohnya ungkapan Hitam di atas Putih, Berhati Putih, Anak masih Hijau dan masih banyak contoh yang lainnya.Harimurti Kridalaksana, dalam tulisannya yang termuat dalam buku Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik dia mengemukakan teori kolokasi yang mengutip dari teorinya Chomsky, ia menyampakain sebuah contoh pendampingan kata dalam bahasa Inggris sleep dengan fariously dalam kalimat Colourless green ideas sleep fariously menimbulkan tanda tanya bagi penutur asli bahasa Inggris, karena pendampingan 51

Bartsch, Sabine, Structural and functional properties of collocations in English: a corpus study of lexical and pragmatic constraints on lexical co-occurrence, Gunter Narr Verlag, 2004

38

itu dirasa ganjil. Lain halnya bila kata sleep didampingkan dengan kata soundly. Secara gramatikal kalimat di atas adalah kalimat yang betul karena subyek green ideas adalah nomina plural sehingga predikatnya menyesuaikan diri. Keterangan fariously pun merupakan bentuk yang betul karena mempunyai sufiks ly. Akan tetapi kalimat tersebut secara logis ganjil atau tidak betul karena gabungan antara sleep dengan fariously merupakan gabungan yang tidak lazim52. Aminuddin mengulas makna yang terdapat dalam kolokasi mengambil teorinya Trier yang memusatkan perhatiannya pada adanya asosiasi hubungan kata secara paradigmatik. Ujaran seperti, menjelang pagi, perut saya lapar sekali untung ada (.....). Titik-titik dalam kurung itu dapat diisi dengan kata roti, nasi, tempe goreng, tahu, dan sebagainya53. Sejumlah kata tersebut dan sejumlah kata lainnya dapat mengisi titik-titik karena menunjuk pada referen yang dapat dimakan sehingga menanggulangi lapar. Pada sisi lain, pemilihan kata yang akan dimasukan pada titik-titik tersebut melihat atau mengacu pada frase menjelang pagi sehingga seseorang tidak akan memilih kata yang berhubungan dengan makanan yang tidak layak dimakan diwaktu pagi hari seperti rujak ataupun sambel. Begitu juga dengan kata saya harus diidentifikasikan karena bila saya ternyata kakek atau nenek yang sudah ompong, tidak masuk akal bila titik dalam kurung tersebut diisi dengan kata jagung goreng atau kacang. Linguis Indonesia yang lain adalah Abdul Chaer dalam buku Kajian Bahasa membagi makna kebahasaan dalam tiga macam yaitu makna leksikal, makna gramatikal dan makna kontekstual. Menurutnya makna leksikal biasa disebut dengan makna leksem yaitu makna yang dihasilkan oleh relasi kata, sedangkan makna gramatikal adalah makna yang dihasilkan karena adanya relasi antara unsur struktur kalimat.

52

Harimurti Kridalakana, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik, Penyunting Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007 hal-141 53 Aminuddin , Semantik (Pendekatan Studi tentang Makna), Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, cet ke 3 tahun 2003 hal-109

39

Abdul Chaer memberi contoh suatu ungkapan yang mengandung makna leksikal dan juga makna gramatikal : Kucing menulis surat54. Secara gramatikal kalimat tersebut merupakan kalimat yang benar, karena ada subyek ada predikat dan ada obyek, akan tetapi secara semantik kalimat tersebut tidak dapat diterima, sebab tidak ada hubungan sematik antara kata kerja menulis yang menjadi predikat kalimat itu dengan kata benda kucing yang menjadi subyeknya. Kata kerja menulis mengandung makna perbuatan yang biasa dilakukan oleh manusia padahal kucing yang menjadi subyek kalimat tersebut bukan manusia. Berbeda halnya kalau subyek kalimat tersebut diganti dengan kata benda lurah sehingga kalimat tersebut menjadi: Lurah itu menulis surat, maka kalimat tersebut secara gramatikal dan secara semantik bisa diterima. Lurah adalah kata benda manusia yang biasa melakukan perbuatan menulis jadi ada hubungan semantik antara subyek dengan predikat dalam kalimat tersebut. Perlu diperhatikan juga contoh pada kedua kalimat berikut: kucing itu makan ikan dan lurah itu makan ikan kedua kalimat tersebut bisa diterima walaupun yang pertama subyeknya adalah kucing yang bukan manusia dan yang kedua adalah lurah yang berupa manusia. Keterterimaan kedua kalimat itu adalah karena kata kerja makan

yang menjadi predikat pada kedua kalimat itu

mengandung makna perbuatan yang biasa dilakukan oleh makhluk hidup baik manusia maupun binatang. Pada kalimat berikut ini mempunyai analisis kalimat yang berbeda: kucing itu makan kursi dan lurah itu makan kursi. Kedua kalimat tersebut secara semantik tidak bisa diterima. Ketidak terterimanya adalah karena tidak adanya hubungan semantik antara kata kerja makan yang menjadi predikat kalimat tersebut dengan kata benda kursi yang menjadi obyeknya. Kursi adalah kata benda yang tidak mengandung makna makanan yang tidak lazim untuk dimakan. Tokoh linguis Arab yaitu Ibrahim Syam al-Din dalam bukunya yang berjudul Marja` al-Thulab fi al-Insya juga menyajikan makna leksikal yang tidak mengandung makna gramatikal. seperti pada contoh kalimat berikut: 54

Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Ilmu, 2000

40

٥٥

‫ب‬: ‫ ا‬/+$w' .١

' ‫ ا‬/0 ‫ ﺵة‬O‫ زر‬.٢ Y2#‫' إ‬: ‫ء‬#z‫ ا‬:‫ ر‬.٣ Sebenarnya dari segi sharaf dan nahw kalimat tersebut tidak salah akan tetapi dari kolokasi kata terdapat kesalahan besar. Seperti pada contoh nomor satu kata ‫ب‬: ‫ا‬ fi`l yang tepat untuk bersanding dengannya adalah kata FY bukan ‫ 'غ‬walaupun artinya sama-sama menyengat56. Letak perbedaan kata tersebut yaitu pada penggunaannya kata FY digunakan untuk hewan yang menyengat dengan menggunakan ekornya seperti lebah kalajengking dan yang sejenisnya. Sedangkan kata ‫ 'غ‬digunakan untuk arti menyengat yang menggunakan mulut seperti ular dan yang sejenesnya. Sedangkan pada kalimat contoh nomor dua kata ‫زرع‬ mempunyai sinonim dengan kata ‫س‬w dan kedua kata tersebut mempunyai kesamaan arti yaitu menanam namun ada penggunaan yang berbeda, seperti pada contoh nomor dua secara gramatikal betul dan bagi yang bukan pengguna bahasa aslinya kalimat tersebut merupakan kalimat yang dirasa sah baik secara gramatikal ataupun secara semantik, namun contoh nomor dua sebenarnya bukanlah contoh yang tepat, karena untuk mengungkapkan kalimat menanam pohon tidak menggunakan kata ‫ زرع‬tetapi menggunakan kata ‫س‬w, sedangkan kata ‫ زرع‬digunakan untuk menanam yang berasal dari biji-bijian. Jadi kalimat yang benar pada contoh nomor dua adalah ' ‫ ا‬/0 ‫ ﺵة‬7w. Dalam teorinya ia menyatakan bahwa salah satu keharusan penutur bahasa yang baik adalah mengetahui relasi kata yang satu denagn yang lainnya yang merupakan kombinasi khusus57. Dalam menentukan kekhususan dalam pemakain kata yang mengandung makna yang sama ataupun hampir sama inilah yang disebut dengan kolokasi

55

al-Tsa`labi, Abi Manshur, Fiqh al-Lughah wa sir al-Arabiyyah, cet. Terakhir 1972

hal-43 56

al-Yusungi, Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furŭq, maktabah al-Tsaqafah alDiniyyah, 1999 hal- 336 57 Ibrahim Syam al-Din, Marja` al-Thuláb fi al-Insya, Bairut, Libanon: Dar al-Kitab al`Ilmiyah, 2000 hal-142

41

Pada contoh nomor tiga terdapat kesalahan kolokasi antara kata :‫ر‬ dengan kata ‫ء‬#z‫ ا‬karena kata :‫ ر‬yang mempunyai arti menambal tidak lazim dipakai untuk menambal barang yang pecah yang berupa wadah atau tempat sesuatu. Kata :‫ ر‬tepatnya berkolokasi dengan dengan kain seperti kain sarung, baju, celana dan lain sebagainya. Sedangkan untuk wadah (‫ء‬#z‫ )ا‬kata ‫ رأب‬karena dalam menambal menggunakan media cairan yang kental. Adakalanya makna dari kolokasi itu dilanggar dengan sengaja untuk memberi efek tertentu, misalnya dalam karya sastra atau humor. Kadang-kadang diciptakan idiom baru dengan kolokasi yang baru juga untuk memberi efek tertentu. Seperti pada contoh berikut: 1. Perilaku makhluk yang haus darah itu sangat menakutkan anak-anak menontonnya. 2. Anak yatim piatu yang haus kasih sayang orang tua itu sungguh memilukan keadaannya. 3. Saya sekarang sedang haus uang kata ketua panitia dana sosial yang sedang mengumpulkan uang untuk membantu anak-anak sekolah di daerah yang terkena bencana58. Penggunaan kata haus darah dan haus kasih sayang pada contoh no 1 dan no 2 tidak merupakan bentuk yang ganjil dan sudah menjadi ungkapan yang lazim bagi orang Indonesia, tetapi istilah yang ada pada no 3 haus uang bukanlah bentuk yang lazim dalam bahasa Indonesia, namun penggunaan itu sah-sah saja karena mempunyai

maksud

untuk

berhumor

yang

bermaksud

karena

sangat

membutuhkan uangnya maka diistilahkan dengan haus uang. Makna juga bisa diketahui karena adanya kolokasi pada tataran struktur kalimat sebagaimana yang dipaparkan oleh linguis Arab Tamam Hasan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa kolokasi oleh Tamam Hasan diistilahkan dengan Tadhám. Menurutnya kolokasi (Tadhám) adalah kelaziman salah satu unsur struktur kalimat menganalisa secara gramatikal terhadap unsur 58

Harimurti Kridalakana, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik, Penyunting Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007 hal-141

42

yang lain. Ketika mengharuskan adanya salah satu unsur gramatikal sebagai penganalisa dari unsur kalimat yang lain, maka sesungguhnya salah satu dari unsur tersebut bisa nampak dengan cara menyebutkan unsur tersebut secara nyata ataupun tidak menyebutkannya. Tidak disebutkan salah satu unsur tersebut karena adanya kira-kira disebabkan karena dibuang atau karena disembunyikan59. Kelaziman dari dua unsur kalimat yang seharusnya ada dalam sebuah kalimat terkadang disebutkan unsur tersebut terkadang juga tidak disebut60. Unsur kalimat yang tidak disebut maka tidak mempunyai tanda-tanda, kebanyakan dalam pemakaiannya disebutkan indikator terhadap makna yang dimaksud sebagai penyempurnaan dari sebuah kalimat. C. JENIS DAN BENTUK KOLOKASI Jenis-Jenis Kolokasi dalam tesis ini akan dibagi kedalam dua bagian yaitu jenis kolokasi yang masuk pada tataran kata dan jenis kolokasi yang masuk pada tataran struktur kalimat, jenis kolokasi yang masuk pada tataran kata terbagi kedalam empat bagian sedangkan jenis kolokasi yang masuk pada tataran struktur kalimat terbagi kedalam tiga bagian, adapun pemaparan adalah sebagai berikut: Peter emery mengklasifikasikan kolokasi pada tataran kata kedalam empat kategori, yaitu: kolokasi bebas, yang dimaksudkan dari kolokasi ini adalah kombinasi antara dua kata atau lebih yang terjadi secara bersama-sama tanpa ada hubungan yang khusus dan terikat antara kata-kata yang ada61. Kedua unsur kata tersebut secara bebas bisa berhubungan dengan kata yang lain, masing-masing 59

Tamam Hasan, Al-Lughah al-`Arabiyah Ma`naha wa Mabnaha, al-Qahirah: Alimu alkutub, 1998 hal-217 60 Tamam Hasan memberikan contoh seperti kelaziman ‫ ل‬. N ‫ ا‬dengan ‫ ل‬. N ‫ ا‬., kata ‫ آ‬dan $‫ آ‬memerlukan /+e 0:  ‫ف ا‬%, '?: ‫ ا‬memerlukan F‫ ﺝ‬dan juga kelaziman  ‫ﺡف ا‬ membutuhkan ‫ور‬, DN ‫ ا‬memerlukan 6N dan seterusnya. 61 Kolokasi bebas ini dalam bahasa Inggris dapat dicontohkan kata have bisa berkolokasi lebih dari sepuluh kata : have do make have a bath, have a drink, have a good time, have a haircut, have a holiday, have a problem, have a relationship, have a rest, have lunch, have sympathy. Kata bisa juga berkolokasi dengan beberapa kata seperti: do business, do nothing, do someone a favour, do the cooking, do the ousework, do the shopping, do the washing up, do your best, do your hair, do your homework. Dan kata make bisa berkolokasi dengan kata-kata sebagai berikut: make a difference, make a mess, make a mistake, make a noise, make an effort, make furniture, make money, make progress, make room, make trouble. Begitu juga dengan bahasa-bahasa yang lain tentunya mempunyai gejala kebahasaan yang sama seperti dalam bahasa Arab kata ‫ﺥض‬, kata ini bisa berkolokasi dengan kata lebih dari tujuh kata seperti ‫ء‬N ‫ ﺥض ا‬, ‫ﺥض ا ب‬, ,‫آ‬:N ‫ﺥض ا‬ ‫اب‬m ‫ ﺥض ا‬,‫ت‬A$#z‫ ﺥض ا‬,+N ‫ ﺥض ا‬dan seterusnya.

43

dari kedua unsur tersebut dapat digunakan secara umum. Peter Emery memberi ‫ ا ب‬$#‫ إ‬dan ‫'أت ا ب‬, dari kedua kolokasi ini masing-masing

contoh:

unsurnya bisa berhubungan secara bebas dengan kata yang lain seperti kata $#‫إ‬ bisa berhubungan dengan kata ‫ ا 'رس‬,‫ ا @ م‬,;N: ‫ ا‬dan seterusnya begitu juga dengan kata ‫ 'أت‬bisa juga berhubungan dengan kata-kata yang telah disebutkan sebelumnya ataupun dengan kata-kata yang lainnya seperti kata ;‫ ا]آ‬,$2 ‫ ا‬,‫ا أة‬ dan lain sebagainya. Kolokasi berikutnya adalah kolokasi terbatas yaitu kombinasi dua kata atau lebih yang dipergunakan secara teratur, bukan merupakan makna idiom dan mengikuti struktur bahasa baku, keterbatasan perubahan pasangan tidak hanya terbatas pada strukur dan semantik akan tetapi juga pada penggunaannya. Seperti pada contoh kata ,‫ ﺡب ﺽرّة‬dan kata ‫اء‬2# N‫ﺝ‬, kolokasi semacam ini sering disebut juga dengan ungkapan62 contoh dalam bahasa Indonesia adalah bis kota. Kata kota pada ungkapan bis kota akan membatasi kata bis sebagai ungkapan yang sebelumnya merupakan kata umum, yaitu kendaraan roda empat yang biasanya sebagai angkutan umum. Dengan adanya kata kota maka akan membatasi bahwa kendaraan umum tersebut berjalan di kawasan perkotaan saja. Klasifikasi kolokasi berikutnya adalah kolokasi terikat, kolokasi ini merupakan jembatan antara kolokasi dengan idiom, salah satu unsurnya adalah keunikan yang selektif dalam pemilihan kata sebagai pasangannya contoh kata ‫ق ا أس‬X‫ أ‬kombinasi kedua kata ini merupakan pasangan yang sudah paten dalam bahasa Arab. Untuk mengungkapkan menundukan dengan obyek kepala adalah menggunakan kata ‫ق‬X‫ أ‬tidak bisa menggunakan kata F‫ رآ‬karena kata

F‫رآ‬

digunakan untuk membungkukan badan ataupun lutut. Demikian juga dengan 62

al-Ghulayani, Al-Musthafa dalam bukunya Jami` al-Durus al-`Arabiyyah memberi contoh ungkapan '$N ‫* ا‬N$ ‫ا‬, kata *N$ ‫ ا‬yang mempunyai arti siswa mempunyai makna yang sangat khusus yaitu orang yang sedang menuntut ilmu semuanya adalah siswa akan tetapi kata *N$ ‫ ا‬tersebut dibatasi oleh sifat yang melekat pada dirinya yaitu '$N ‫ا‬, dengan adanya sifat yang melekat pada diri *N$ ‫ ا‬maka maknanyapun akan berubah akan tetapi tidak berubah secara total dan secara struktur kombinasi kedua kata tersebut tidak menyalahi aturan yang ada. Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad Ibrahim `Ubadah dalam bukunya yang berjudul al-Jumlah al`Arabiyyah dia memberikan contoh: >‫ ﺥ ذه‬ungkapan tersebut terdiri dari kata ‫ ﺥ‬dan >‫ ذه‬, kata ‫ ﺥ‬dibatasi oleh kata >‫ ذه‬kolokasi atau kombinasi semacam ini dalam bahasa Arab disebut juga dengan kolokasi idhafi.

44

bahasa

Indonesiapun

mempunyai

keterbatasan

penggunaan

kata

untuk

mengistilahkan sesuatu seperti untuk menundukan kepala dan membungkukan badan tidak menundukan badan dan membungkukan kepala dan lain sebagainya. Kolokasi terikat muncul karena adanya sinonim yang mempunyai arti sama namun dalam pemakaianya berbeda. Kolokasi ini terdapat pada semua bahasa seperti suara yang dikeluarkan oleh binatang dikatakan dengan ungkapan yang berbeda, untuk merujuk bersuara misalnya kuda meringkik, kucing mengeong, anjing menggonggong. Dalam bahasa sikka untuk konsep mencuci dikatakan dengan dua kata, yakni bopo dan rasi. Misalnya bopo baju artinya mencuci baju, bopo waeng artinya mencuci muka tetapi untuk mencuci piring dan mencuci tangan menjadi rasi pigang dan rasi limang63. Kata indah dan kata cantik dan dalam bahasa Indonesia bersinonim, tetapi pemakaiannya terikat oleh kolokasi kata sebelumnya, kata indah sudah dihubungkan dengan alam, misalnya pemandangan yang indah, sedangkan kata cantik dihubungkan dengan manusia perempuan, misalnya gadis yang cantik. Untuk mengungkapkan kata minum dalam bahasa Arab saja mempunyai tempat tersendiri seperti minum untuk manusia menjadi ‫س‬+ ‫ﺵب ا‬, minum untuk bayi menggunakan ungkapan ;9S ‫ ا‬F‫رﺽ‬, minum untuk binatang buas menggunakan kata FDY ‫و ~ ا‬, ungkapan minum untuk unta menggunakan : ‫ﺝع ا‬, ungkapan minum untuk burung dan sejenisnya menggunakan kata ?S ‫> ا‬O. Demikian juga dengan ungkapan perkawinan, dalam bahasa Arab menggunakan istilah

tertentu

untuk

masing-masing

makhluk

seperti

untuk

manusia

menggunakan ungkapan ‫ن‬Y#z‫ ا‬t2#, untuk mengungkapakan perkawinan kuda dengan kata ‫س‬9 ‫آم ا‬, untuk mengungkapkan perkawinan keledai dengan menggunakan kata ‫ر‬N ‫ك ا‬, untuk mengungkapkan perkawinan unta dengan menggunakan kata ;N ‫ع ا‬, untuk mengungkapkan perkawinan binatang buas dengan menggunakan kata FDY ‫ا ا‬6#, untuk mengungkapkan perkawinan anjing dengan menggunakan kata >2 ‫; ا‬WO, untuk mengungkapkan perkawinan burung 63

Parera, J.D., Teori Semantik, Jakarta: penerbit Erlangga, cet ke 2, 2004 hal-67 lihat pula bukunya Jaya Sudarma, T. Fatimah, Semantik: Pernyataan kearah ilmu makna, Bandung: Refika Aditma, 1999

45

menggunakan kata ?S ‫' ا‬97, dan untuk mengungkapkan perkawinan ayam dengan menggunakan kata 3' ‫ ا‬N

64

dan seterusnya dapat dilihat pada buku Fiqh al-

Lughah wa sir al-`Arabiyyah hasil karya Abi Mansur al-sya`labi. Pasangan kata yang telah dibatasi pemakainnya dan tidak menyalahi struktur bahasa dan semantiknya oleh Peter Emery disebut dengan kolokasi terikat, dengan mengetahui kolokasi terikat ini pengguna bahasa kedua akan terbantu dalam memahami makna yang terkandung dalam teks baik tulis maupun lisan seperti pada ayat al-Qur`an surat al-An`am ayat 7865 untuk mengungkapkan kata terbit tidak menggunakan kata : X tetapi menggunakan kata w‫ ز‬. Kata w‫ ز‬digunakan untuk menyatakan awal terbit baik matahari maupun bulan yang sinarnya sudah mulai nampak di kaki langit. Klasifikasi terakhir menurut Peter Emery adalah kolokasi yang berupa Idiom. Menurutnya Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal66. Contohnya secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna yang menjual mendapat uang dan yang membeli mendapatkan rumahnya, bentuk Guru mengajar siswa bermakna guru menyampaikan materi pelajaran dan siswa menerima informasi dari materi yang diberikan oleh guru. Berbeda dengan ungkapan membanting tulang, membanting berarti memukulkan benda dengan keras keatas tanah dan tulang adalah anggota tubuh manusia atau hewan sebagai tumpuan organ yang lain bisa berdiri kokoh. Unsur-unsur dari ungkapan membanting tulang secara gramatikal ataupun secara leksikal tidak dapat diartikan secara jelas akan tetapi ungkapan tersebut mempunyai arti bekerja keras, makna yang semacam ini dinamakan dengan makna idiomatikal. Contoh lain seperti meja hijau, sudah bau tanah dan lain sebagainya.

64

al-Tsa`labi, Abi Manshur, Fiqh al-Lughah wa sir al-Arabiyyah, cet. Terakhir 1972 hal-

185 Bunyi ayat selengkapnya adalah /#‫ ل  م إ‬0‫ أ‬N0D‫ ه*ا أآ‬/‫ ل ه*ا ر‬w‫ ز‬gNm ‫ رأي ا‬N0 ‫آ ن‬m N ‫ئ‬ 66 Emery, Peter G, Collocations and Idioms in Arabic and English: A Contrastive Study, University of Manchester, 1988 65

46

Idiom merupakan bahasa yang teradatkan artinya bahasa yang sudah biasa dipakai oleh para penutur asli bahasa yang bersangkutan67. Walaupun terkadang idiom itu terasa aneh, orang tidak lagi merasakan kejanggalan atau keanehannya, misalnya orang Indonesia mengartikan naik daun dengan terkenal, apa hubungan arti naik daun dengan terkenal. Apakah dengan naik daun menjadi terkenal dan bagaimana orang bisa naik daun, tetapi tanpa memikirkan hubungan kata naik daun dengan terkenal kalau ada ungkapan naik daun sang penerima informasi itu akan langsung paham bahwa maksudnya adalah terkenal tanpa harus berdebat dan bertanya naik daun yang mana. Hal lain lagi mengapa orang menyebut bangsawan dengan berdarah biru, benarkan bangsawan itu darahnya biru, adakah darah yang warnanya biru. Kalau dicari-cari mungkin akan ketemu jawabannya tetapi pemakai bahasa tidak lagi menghiraukannya. Para pengguna bahasa hanya tahu ungkapan begitu artinya begini. Makna idiom dengan kata pembentukan sering tidak lagi jelas atau makna itu bukanlah makna sebenarnya kata itu. Idiom tak dapat dialih bahasakan secara harfiah ke dalam bahasa lain. Misalnya idiom duduk perut yang artinya hamil tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain dengan cara mencari dalam kamus apa artinya duduk dan artinya perut kemudian digabungkan. Menurut Muhammad Amin Al-khuli, Idiom adalah /+:N ‫ ا‬1O o+: V$A K ?‫ا‬6‫ ]ﺝ‬/2 ‫ ا‬suatu kontsruksi kata yang maknanya secara keseluruhan berbeda dengan makna masing-masing unsurnya68. Sedangkan Harimurti Kridalaksana memberikan pengertian idiom adalah a. Konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain, b. Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya69. Dari teori yang disampaikan oleh kridalaksana maka pada pengertian yang pertama dalam bahasa Arab akan menghasilkan konstruksi kata sebagai berikut: 67

Badudu, J.S., Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, Jakarta: PT. Gramedia, 1993

hal-47 68

al-Khuli, Muhammad Ali, Dictionary of Theoretical Linguistic, Beirut: Libraire du Liban, 1982 hal-125 69 Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, PT.Gramedia, cet 2, 1983 hal-62

47

kata ‫  م‬mempunyai arti berdiri70, ketika bergabung dengan preposisi huruf jar maka akan berubah maknanya sesuai dengan kebiasan pemakaian orang arab berbicara. Kata ‫  م‬bergabung dengan huruf jar ‫ ب‬tidak bermakna berdiri dengan tetapi bermakna melakukan atau melaksanakan71. Ketika ‫  م‬bergabung dengan preposisi /O tidak bermakna berdiri di atas akan tetapi bermakna berdasarkan72. Pada pengertian yang kedua idiom menurut kridalaksana mengacu pada gabungan kata dengan kata lain dan akan merubah makna dari kedua unsur kata yang ada seperti kata ‫ م‬yang berarti berdiri, ketika bergabung dengan kata lain seperti kata ': yang bermakna duduk kemudian menjadi ':‫ م و‬tidak lagi berarti duduk dan berdiri akan tetapi menjadi bermakna bingung, resah, gundah gulana73. Demikan juga kata ‫ل‬7‫ أ‬yang bermakna mengalirkan, ketika bergabung dengan kata D: yang bermakna air liurnya kemudian menjadi : ‫ل‬7‫ أ‬tidak berarti mengalirkan air liurnya, tetapi menjadi menggiurkan74. Sebagaimana contoh yang tercantum pada kalimat panjang sebagai berikut ‫ﺽ‬O ‫آ‬m ‫'م ' ا‬ ‫ ا ل‬/0 ': ‫ ا‬F 0 BAm ‫ب ا‬: ‫ل‬7‫ أ‬artinya direktur perusahaan memberikan tawaran yang menggiurkan orang itu, sehingga dia menandatangani kontrak saat itu juga. Idiom dilihat dari unsur-unsurnya dapat dibagi menjadi dua yaitu idiom penuh dan idiom sebagian75. Idiom penuh maksudnya adalah unsur-unsur yang terdapat pada ungkapan idiom tersebut melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Bentuk-bentuk seperti membanting tulang, meja hijau, sudah bau tanah termasuk contoh idiom penuh. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu

Contoh kata ‫  م‬yang mempunyai arti berdiri ;@9 ‫* أم ا‬N$ ‫  م ا‬siswa itu berdiri di depan kelas 71 Contoh kata ‫  م‬yang bergabung dengan preposisi ‫ ب‬yang mempunyai arti melaksanakan o'‫ وﺡ‬m ‫ ا‬NN ‫ ا‬3$ VW N ‫  م ا‬pegawai melaksanakan tugas berat itu sendirian. 72 Contoh kata ‫  م‬yang bergabung dengan preposisi /O yang mempunyai arti berdasarkan ‫ ري‬m ‫واة وا‬YN ‫'ا  و ا‬: ‫دئ ا‬D /O ‫م‬7z‫ ا‬/0 2 ‫ م ا‬. Hukum dalam Islam berdasarkan berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, dan musyawarah. 73 Contoh kata ‫ م‬yang bergabung dengan kata ': yang mempunyai arti bingung, resah, gundah gulana adalah ‫ ب‬DN ‫ ا‬Y?‫ ط ر‬Y FN7 '+O ':‫> و‬:m ‫ ا‬3 ‫ م ذ‬bangsa itu bingung ketika mendengar jatuhnya presiden yang mereka cintai. 74 Basuni Imamuddin dan Nashiroh Ishaq, Kamus Idiom Arab-Indonesia Pola Aktif, P.T.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet 1, 2005 75 Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT.Rineka Cipta, cet II, 2003 hal-296 70

48

unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya buku putih yang bermakna buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus, daftar hitam yang bermakna daftar yang memuat nama-nama orang yang diduga atau dicurigai berbuat kejahatan, koran kuning dengan makna koran yang memuat berita sensasi. Pada contoh tersebut kata buku, daftar dan koran masih memiliki makna leksikalnya. Menurut J.S. Badudu penggabungan kata sambung yang sudah biasa dipakai termasuk kedalam idiom76. seperti kata sesuai biasa digabung dengan kata sambung dengan contohnya kalimat sesuai dengan keputusan pemerintah gaji guru akan naik 20%. Kata terdiri biasa bergabung dengan dari contoh pada kalimat Tiap kelompok terdiri dari tiga orang, kata berhubung biasa bergabung dengan kata dengan, kata diperuntukan bergabung dengan kata bagi dan lain sebagainya. Dalam bahasa Indonesia penggunaan kata sambung sering tidak diperhatikan bahkan ditinggalkan,baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa Arab penggunaan kata sambung didepan kata sebelumnya sangat diperhatikan karena kata itu akan sangat menentukan arti contoh dalam bahasa Inggris kata look bisa bergabung dengan bermacam-macam kata depan seperti look at, look to, look out,look after,look towards, look up dan sebaginya. Penambahan kata depan dalam bahasa Arabpun sering di jumpai sebagai idiom, penambahan kata depan biasanya berupa huruf jar, contoh kata >w‫ ر‬bisa bergabung dengan kata depan /0 bisa juga bergabung dengan kata depan 1O dari penggabungan dua kata yang berbeda akan melahirkan arti yang berbeda pula. Kata /0 >w‫ ر‬mempunyai arti cinta sedangkan 1O >w‫ ر‬mempunyai arti benci77. Berarti pasangan kata depan itu sangat penting untuk diperhatikan karena salah memberi pasangan akan salah arti. Pada nama-nama bulan tahun hijriyah banyak terdapat makna idiomatik yang secara asal usul makna sulit untuk dilacak oleh kalangan awam walaupun 76

J.S. Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, Jakarta: PT. Gramedia, 1993 hal-

48

Contoh 1O >w‫ ر‬dan /0 >w‫ ر‬terdapat surat al-Baqarah ayat 130 yang berbunyi: 1‫و‬ Y9# 97 1 G‫  إاه إ‬1O >w dan surat al-Taubah ayat 120 yang berbunyi: 1‫ و‬+'N ‫آن ]ه; ا‬ Y9# 1O Y9#f ‫ ا‬Dw G‫ ل ا و‬7‫ ر‬1O ‫ ا‬9A$ ‫اب أن‬O]‫ ا‬1  ‫ﺡ‬ 77

49

bagi para ahli nama tersebut bisa mempunyai sejarah khusus seperi kata ,‫ ا]ول‬F‫ر‬ #e ‫دي ا‬N‫ ﺝ‬,/ ‫دي ا ‚و‬N‫ ﺝ‬,/#e ‫ ا‬F‫ ر‬kata-kata tersebut secara makna orang tidak akan mempedulikannya, apabila disebutkan nama-nama bulan tersebut bukan makna yang tergambar dalam pikirannya akan tetapi nama bulan kesekian dari bulan hijriyah. Perbedaan antara kolokasi terikat dengan idiom adalah terletak pada pelacakan makna dari unsur-unsur pembentukannya. Kolokasi terikat maknanya dapat dilacak dari makna unsur-unsur pembentukannya sedangkan idiom makna dari unsur-unsur pembentukannya tidak dapat dilacak karena kombinasi kedua kata tersebut menjadikan makna baru yang tidak sesuai lagi dengan makna asal kata. Demikian juga dengan kata V% ‫أ ا‬, secara makna kata tersebut terbagi atas kata ‫ أ‬yang artinya bapak dan kata V% ‫ ا‬yang artinya tamu, namun setelah bergabung kedua kata tersebut menjadi bermakna dermawan, seperti pada kalimat o'@ 1 ;‫ آ‬:S ‫ آن‬#] V% ‫ ا‬/f $‫إﺵ‬. Dalam al-Qur`an juga banyak ungkapan-ungkapan yang mengandung makna idiomatik artinya penggabungan antar kata maknanya tidak sama dengan makna yang terkandung pada masing-masing kata tersebut. Seperti yang tercantum pada surat al-Maidah ayat: 64 dan surat al-Isra ayat: 29 yang masingmasing berbunyi: ‫ء‬m V‫ آ‬9+ ‫ن‬$X YD o' ; dan YD G‫ و‬3+O / ‫  ا‬K ‫; 'ك‬: G‫و‬ Y ;‫آ‬, kata ‫ن‬$X YD o' mempunyai arti tangannya terbuka namun untuk ungkapan pada ayat tersebut bermaksud dermawan demikian juga dengan ungkapan  K o' 2+O / ‫ا‬, mempunyai makna yang berbeda dari makna perkata, asal makna yang sebenarnya adalah tangan terbelenggu pada leher namun arti yang terkandung didalam ungkapan itu adalah kikir. Jenis-jenis kolokasi pada tataran struktur kalimat akan mengambil teorinya Tamam Hasan, menurutnya kolokasi terbagi kedalam tiga macam jenis kolokasi, yaitu al-Talázum, al-Tanáfὶ dan al-Tawárud78. Al-Talázum menurut Tamam Hasan merupakan keharusan adanya dua unsur struktur kalimat dalam sebuah kalimat yang satu sama lain saling membutuhkan keberadaanya, salah satu unsur kalimat tersebut keberadaanya akan diakui sebagai sebuah bagian dari kalimat 78

Tamam Hasan, Al-Lughah al-`Arabiyah Ma`naha wa Mabnaha, al-Qahirah: Alimu alkutub, 1998 hal-217

50

kalau unsur yang lain akan muncul sebagaimana ahli nahwu mengatakan bahwa setiap ada fi`l pasti ada fa`il, maka jika fa`il tersebut tidak nampak berarti fa`il itu merupakan dhamir mustatir. Setiap ada maushul harus ada shilah yang kembali pada maushul, adanya ikatan mudhaf dengan mudhaf ilaih dan hubungan keduanya merupakan kelaziman, huruf jar memerlukan isim yang dimajrurkan. Dalam hal ini Hamasah `Abd al-Lathif menyatakan bahwa dalam sebuah kalimat unsur-unsurnya pasti mempunyai pasangan dan pasangan tersebut satu sama lain saling membutuhkan. Pada bukunya yang berjudul bina al-Jumlah al`Arabiyyah Muhammad Hamasah `Abd al-Lathif menyatakan bahwa kalimat pada dasarnya terbagi dua yaitu jumlah ismiyah dan jumlah fi`liyah, pada masingmasing jumlah tersebut unsur-unsurnya harus saling berpasangan, pada jumlah ismiyah minal ada mubtada dan ada khabar, pada jumlah fi`liyah harus ada fi`l dengan fa`ilnya79. Mubtada tidak mungkin berdiri sendiri tanpa adanya khabar dan fa`il tidak mungkin dinamakan fa`il kalau tidak ada fi`lnya. Gejala kebahasaan semacam ini dalam bahasa hampir terjadi pada setiap unsur kalimat seperti huruf jar pasti membutuhkan pasangannya yaitu isim yang menjadi majrurnya, na`at pasti akan mencari man`utnya dan sebagainya. Jenis kolokasi kedua dalam tataran struktur kalimat menurut Tamam Hasan adalah al-Tanafi80. Apabila al-Talazum indikasinya adalah nampak secara konkrit sebagaimana huruf jar yang menuntut adanya isim yang dimajrurkan, fi`l menuntut adanya fa`il, mudhaf memerlukan mudhaf ilaihnya dan seterusnya, sedangkan al-Tanafi sebaliknya al-Talazum yaitu meniadakan adanya indikasi yang nampak secara nyata. Al-Talazum menghendaki adanya susunan kalimat yang serasi sedangkan al-Tanafi menjadikan susunan kalimatnya rusak. Seperti contoh tarkib Idhafi '‫ب ز‬$‫ آ‬kata ‫ب‬$‫ آ‬pada tarkib tersebut tidak bisa digantikan dengan fi`l, dhamir, adat syarthi, tanfis, tahqiq dan seterusnya, oleh karena itu kata-kata tersebut tidak bisa menempati posisi ‫ب‬$‫آ‬. Seperti kata ; menempati kata ‫ب‬$‫ آ‬menjadi '‫ ; ز‬dilihat dari makna kedua susunan ini mempunyai makna

79

Muhammad Hamasah `Abd al-Lathif, Bina al-Jumlah al-`Arabiyyah, Kairo, Dar alGharib, , 2003 hal-57 80 Tamam Hasan, Ijtihadat lughawiyah, Kairo: `Alim al-kutub, 2007 hal-64

51

yang berbeda susunan yang pertama mempunyai makna kepemilikan sedangkan makna yanng kedua memiliki makna peristiwa dan waktu. Jenis kolokasi yang ketiga dalam tataran struktur kalimat adalah alTawarud. Kolokasi jenis ini menurut Tamam Hasan adalah persandingan dua kata dengan cara ikhtishash81 dan istighna82. Kolokasi ini menuntut adanya keindahan struktur bahasa dan konteks kalimat. Al-tawarud juga merupakan pembentukan gaya bahasa yang baru dari gaya bahasa biasanya karena mengalami perpindahan struktur nahwiyah ke struktur balaghiyah seperti perpindahan kata ‫ إذ‬pada ayat yang berbunyi +$'‫' إذ ه‬: +  ‫غ‬6 G +‫ ر‬secara nahwiyah ‫ إذ‬mempunyai makna ‫أن‬ masdariyah yang seharusnya menjadi +$'‫' أن ه‬: seperti perpindahan G‫ إ‬istisna ke istidrak pada ayat yang berbunyi /mA 1N ‫ *آة‬G‫ إ‬/m$ ‫ ا أن‬3O + 6#‫  أ‬X kata G‫إ‬ mempunyai maksud 12 . 2. Bentuk-Bentuk Kolokasi Muhammad Ibrahim `Ubadah membagi bentuk-bentuk kolokasi dalam tataran kata bahasa Arab dalam buku al-Jumlah al-`Arabiyyah sebagai berikut: Pertama Isnadi yaitu kolokasi yang terjadi antara dua isim yang salah satunya menerangkan yang lainnya contoh ‫ ن إﺥ ة‬+pN ‫ا‬, dari kalimat tersebut kata ‫إﺥ ة‬menerangkan kata

‫ ن‬+pN ‫ا‬, tanpa kata ‫ إﺥ ة‬maka kata ‫ ن‬+pN ‫ ا‬belum

mempunyai arti yang spesifik namun setelah mendapat penjelasan dari kata ‫إﺥ ة‬ kata ‫ ن‬+pN ‫ ا‬mempunyai yang yang lebih jelas yaitu bahwa orang-orang mukmin itu bersaudara, kolokasi semacam ini dalam ilmu nahwu atau gramatika bahasa Arab disebut dengan al-Mubtada dan al-Khabar. Pada kolokasi inipun bisa terjadi hubungan antara fi`l dengan isim, kolokasi semacam ini dalam gramatika bahasa Arab sering disebut dengan Jumlah Fi`liyah cantohnya kalimat: ‫ ﺥج‬,'N ‫م‬ /9S@N ‫اا‬ 81

Yang dimaksud dengan ikhtishash adalah kekhususan korelasi beberapa kata yang tidak bisa diikuti oleh kata-kata yang lain seperti masuknya huruf naïf yang berupa  dan bukan kawankawannya yang masuk pada fi`l mudhare`, `amil nawasih khusus masuk ke jumlah ismiyah, kekhususan sebagian fi`l lazim dengan salah satu huruf jar yang berfungsi sebagai fi`l muta`adhi kepada maf`ul bih. 82 Yang dimaksud dengan istighna adalah kesesuaian makna kata dalam hubungan kata dengan kata yang lain baik secara gramatikal maupun secara semantic contoh: ‫* ا 'رس‬N$ ‫ ا‬0, kata 0 memerlukan fa`il yang secara konteks bisa diterima yaitu orang yang berakal sehat, maka 0 tidak bisa mempunyai fa`il yang berupa kata benda tidak berakal seperti ‫ء‬N ‫ ا‬0 ataupun ‫ ا  اء‬0.

52

Kedua Taqyidi, kolokasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu: a. Kolokasi yang terjadi antara dua isim, isim yang kedua menjadi pengendali terhadap isim yang pertama, hubungan ini sering disebut juga dengan hubungan idhafi83 contoh: ‫ب ا ة‬, kata ‫ ا ة‬mengendalikan isim sebelumnya yaitu ‫ب‬. b. Kolokasi yang terjadi antara dua isim, sedangkan isim yang kedua menjadi sifat dari isim yang pertama contoh:'N ‫ > ا‬S ‫ز ا‬0, kata 'N ‫ ا‬menyifati kata > S ‫ا‬, hubungan semacam ini dalam gramatikal Arab dikenal dengan istilah na`at dan man`ut84. Ketiga Idhah, kolokasi ini terdiri dari enam bagian yaitu:a. Kolokasi yang terjadi antara dua isim, isim yang pertama menerangkan dzat yang menujuk pada isim yang pertama tersebut contoh: 'N ‫; أﺥ ك‬D‫أ‬, maka kata 'N berhubungan dengan kata sebelumnya untuk menjelaskan dzat yang menunjuk pada kata ‫ أﺥ ك‬, susunan kalimat semacam ini sering disebut dengan susunan `athaf bayan85. b. Kolokasi yang terjadi dua isim, sedangkan isim yang kedua menjelaskan isim yang pertama karena isim yang pertama merupakan isim yang belum jelas contoh: $‫ آ‬1mO $‫إﺵ‬, maka kata 1mO merupakan jumlah bilangan yang belum jelas untuk benda apa jumlah tersebut, setelah datang kata $‫ آ‬maka yang dimaksud dengan 1mO sudah jelas yaitu jumlah dari kitab, jadi kata ‫ب‬$‫ آ‬disini untuk memperjelas kata sebelumnya. Susunan kalimat semacam ini sering disebut dengan susunan tamyiz86. c. Kolokasi yang terjadi antara ism, fi`l atau syibh al-fi`l, isim disini merupakan masdar dari fi`l sebelumnya, hubungan masdar dengan fi`l atau sibh fi`l adalah untuk menjelaskan derajat pembicaraan. Contoh: 6?9 ‫أآ ا‬

83

Hubungan idhafi ini merupakan hubungan dua isim yang diantara isim tersebut ditakdirkan ada huruf jar yang mengantarainya seperti contoh: *N$ ‫ب ا‬$‫ ه*ا آ‬antara kata ‫ب‬$‫ آ‬dan *N$ ‫ ا‬ada huruf ‫ ل‬yang mengandung makna kepemilikan, kata %0 ‫ ﺥ‬YD antara kata ‫ ﺥ‬dan %0 diperkirakan ada huruf jar berupa 1 yang mempunyai arti berasal dari. Pada kalimat ‫م‬. ;D G 1@AN ‫ ا‬1 G‫م ا ; إ‬G‫ر و‬+ ‫ ا‬ditakdirkan ada huruf /0 diantara kata ‫م‬. dengan kata ‫ر‬+ ‫ ا‬dan juga antara kata ‫ م‬dengan kata ; ‫ا‬. 84 Pada bagian na`at dan man`ut ini isim yang datang kemudian fungsinya untuk menerangkan keadaan isim yang datang sebelum isim yang bertugas menjadi penjelas. Menurut alGhulayani kalau maushufnya berupa ma`rifat maka fungsi na`at sebagai penjelas sedangkan kalau maushufnya berupa nakirah maka fungsi na`at sebagai takhsish. 85 athaf `at atau badal hanya perben `Athaf bayan mempunyai kriteria mirip dengan na` NO B9‫  أ ﺡ‬Y‫ أ‬:bayan berupa isim jamid seperti contoh pada kalimat tersebut kata NO mejadi `Athaf bayan bagi B9‫أ ﺡ‬ 86 Tamyiz merupakan isim nakiroh yang berfungsi untuk menjelaskan isim yang masih samar keberadaanya seperti Y9# '$N ‫ب ا‬X kata Y9# menerangkan kata '$N ‫ا‬, tamyiz mengandung makna 1 seperti contoh diatas mempunyai makna Y9# ‫ ﺝ‬1 ‫ب‬X.

53

‫ء‬NR: ‫أوإآام ا‬NRO ‫إآا‬, dan hubungan ini sering disebut dengan maf`l mutlaq almubayin li- alnau`87. d. Kolokasi yang terjadi antara kata karena hubungan isnadiyah, yaitu antara musnad dan musnad ilaih contoh: ‫ق وﺝ‬m 'N hubungan semacam ini sering disebut dengan tamyiz nisbah88. e. Kolokasi yang terjadi antara ism, fi`l, atau sibh fi`l, ism disini berlaku sebagai masdar bagi fi`l sebelumnya atau untuk menentukan jumlah mutsana atau jamak contoh: 'N '7 1'7, hubungan ini lebih dikenal dengan hubungan maf`l mutlaq al-mubayin lial`adad89. f. Kolokasi yang terjadi antara isim dengan dhamir sebelumnya untuk menerangkan maksud dhamir tersebut contoh: ‫ب آء‬: ‫ ا‬1# hubungan ini lebih dikenal dengan al-manshub `ala ikhtishash90. Keempat Ibdal, hubungan dua isim atau dua fi`l, isim atau fi`l kedua menempati isim atau fi`l pertama karena keduanya ada kesesuaian atau yang kedua merupakan bagian dari yang pertama. Hubungan semacam ini sering dikenal dengan badal91. Kelima Ta`kid wa taqwiyah, Kolokasi semacam ini terdiri dari tiga macam yaitu: a. Kolokasi yang terjadi antara dua ism, ism yang kedua merupakan kesamaan dari ism yang pertama baik secara lafal maupun makna, hubungan

87

Maf`ul jenis ini adalah berupa masdar yang terletak setelah fi`I yang berfungsi sebagai penjelas terhadap keadaan fi`l. 88 Tamyiz nisbah adalah isim nakiroh yang berfungsi untuk menjelaskan kalimat yang masih samar sandarannya seperti contoh kalimat: ‫ ﺥ‬/O 1Y‫ ﺡ‬artinya si Ali baik akhlaknya dan kalimat ‫ورا‬7 3D ‫ و‚ ا‬artinya Allah memenuhi hatimu dengan kegembiraan pada kalimat pertama si Ali baik masih mengandung banyak penafsiran apanya yang baik, maka dengan adanya kata ‫ ﺥ‬kesamaran dari kebaikan Ali terjawab. Begitu juga dengan kalimat Allah memenuhi hatimu, kalimat ini masih mengandung pertanyaan, maka dengan datangnya kata ‫ورا‬7 terjawab kesamaran yang terdapat pada kalimat tersebut. 89 Maf`ul jenis ini adalah berupa masdar yang terletak setelah fi`l yang berfungsi sebagai penjelasan jumlah bilangan yang terkandung pada fi`l contoh: 1$9‫ و‬9‫و‬ 90 Ikhtishash yaitu isim yang dibaca manshub karena adanya fi`l yang dibuang yang diperkirakan adanya dalam sebuah kalimat. Dan isim ini ada terletak setelah dhamir untuk menerangkan maksud darinya. Seperti pada contoh: V% ‫م ا‬2# ‫ب‬: ‫ ا‬1# pada contoh ini kata 1# menjadi Mubtada dan jumlah V% ‫م ا‬2# menjadi khabar. Dan kata ‫ب‬: ‫ ا‬posisinya manshub karena ada kekhususan pada fi`l yang dibuang yang diperkirakan keberadaanya. Dan jumlah fi`l yang dibuang membatasi antara mubtada dan khabarnya. 91 Badal adalah lafal yang dimaksud berada bersebelahan dengan lafal yang diikuti tanpa perantara seperti ungkapan /O ‫م‬z‫ ا‬+ ‫ ا‬F‫واﺽ‬, kata /O dalam i`rabnya mengikuti kata ‫م‬z‫ ا‬dan yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kata /O sedangkan kata ‫م‬z‫ ا‬perpanjangan dari kata /O.

54

semacam ini dinamakan ta`kid lafdzi92. b. Kolokasi dua isim, isim kedua menghendaki adanya kesempurnaan dari kata yang pertama, hubungan semacam ini dikenal dengan ta`kid ma`nawi93 contoh: Y9# ‫ ا ز‬%‫ ﺡ‬,:N‫ون ﺝ‬0YN ‫د ا‬O. c. Kolokasi antara isim, fi`l atau sibh fi`l, isim disini merupaka masdar dari fi`l sebelumnya. Contoh: ‫@را‬$#‫@ا إ‬$+ '? ‫د ا‬O‫ و‬,‫@ا‬$#‫ إ‬g ‫@ ا‬$#‫ إ‬hubungan semacam ini disebut dengan maf`l mutlaq mu`akad94. Keenam dharfiyyah, kolokasi ini terdiri dari dua macam yaitu: a. Kolokasi antara dharaf zaman atau dharaf makan dengan fi`l atau sibh fi`l, hubungan antara keduanya menerangkan tempat atau waktu sebuah peristiwa. b. Hubungan antara mustaq dan fi`l atau sibh fi`l, hubungan ini menyatakan keadaan yang sempurna pada sebuah peristiwa. Pada umumnya sebagain ulama nahwu menyatakan hal dengan maf`l fih95 contoh: D‫' راآ‬N ;D‫أ‬ Ketujuh Sababiyyah, hubungan ini terjadi antara ism, fi`l atau sibh fi`l, isim disini merupakan masdar dari fi`l sebelumnya. Hubungan antara keduanya merupakan ada sebab atau alasan dari peristiwa fi`l tersebut contoh: Dw‫س ر‬+ ‫ ا‬t@#‫أ‬ A ‫ ا‬/0 hubungan semacam ini dikenal dengan maf`ul li ajlih96. Kedelapan Maf`uliyyah, hubungan ini terjadi antara isim dengan fi`l atau sibh fi`l, hubungan antara keduanya merupakan penjelasan peristiwa yang terjadi 92

Ta`kid lafdzi maksudnya adalah pengulangan dalam penyebutan kata baik itu kata sendiri yang diulang ataupun yang mempunyai sinonim dengannya. Ta`kid lafdzi ini bisa berupa isim dhahir, isim dhamir, fi`l, huruf dan bisa juga jumlah sebagaimana masing-masing contohnya adalah sebagai berikut: /O /O ‫ﺝء‬, #‫ﺝš أ‬, atau dalam al-Qur`an + ‫ ا‬3‫ وزوﺝ‬#‫ ا‬127‫ أدم ا‬, ‫ﺝء ﺝء‬ /O, YD  ‫ ا ح‬G,G, /O ‫ ﺝء‬/O ‫ﺝء‬, atau bisa juga yang merupakan sinonimnya seperti /O /‫ﺝء ا‬ dan seterusnya. 93 Ta`kid Ma`nawi biasanya di sertai dengan menyebutkan kata-kata berikut: ,1: ‫ او ا‬,g9+ ‫ا‬ $‫ او آ او آ‬,O ‫ او‬,FN‫ او ﺝ‬dengan menyandarkan pada dhamir yang sesuai dengan bilangan muakad. Contoh ta`kid ma`nawi adalah: kata ,+O ;‫ ﺝء ا ﺝ‬tujuan dari ta`kid ma`nawi adalah sebagai majaz. 94 Maf`ul Mutlaq Muakad ini bertujuan untuk menguatkan makna yang terkandung di dalamnya seperti pada contoh: 1N : ‫ ا‬1 ‫ذ  أﺡ'ا‬O‫أ‬G *O  *O‫ أ‬/#œ0 95 Maf`ul fih biasa disamakan dengan dharaf yaitu ism yang dibaca manshub yang diperkirakan mengandung huruf jar /0 karena untuk menerangkan waktu dan tempat. Jika isim tersebut tidak mengandung perkiraan /0 atau dharaf maka isim itu berfungsi sebagaimana isim biasa yang bisa menempati posisi layaknya isim pada umumnya, bisa menjadi Mubtada ataupun Khabar sebagaimana contoh berikut: ':7 ‫  م‬+  dan bisa menjadi fa`il seperti contoh: ‫ﺝء  م‬ :N ‫ ا‬dan bisa juga maf`ul bih sebagaimana contoh berikut: 3D‫ أم ﺵ‬F% G dan bisa menjadi apa saja sebagaimana isim bisa. 96 Maf`ul li ajlih yaitu masdar qalbi yang disebutkan sebagai alasan terhadap peristiwa yang terjadi bersama fa`il seperti kata Dw‫ ر‬pada kalimat : ‫ ا‬/0 Dw‫ ر‬$w‫ إ‬kata Dw‫ ر‬merupakan masdar yang mengandung alasan melakukan ‫ب‬$w‫إ‬, maka sesungguhnya sebab melakukan ‫ب‬$w‫إ‬ karena : ‫ ا‬/0 Dw‫ر‬.

55

pada isim tersebut contohnya: O 'N ‫أآم‬, hubungan semacam ini dikenal dengan maf`ul bih97. Bentuk-bentuk kolokasi pada tataran stuktur kalimat menurut Tamam Hasan bisa diklasifikasikan sesuai dengan jenis-jenis kolokasi itu sendiri, sebagaimana dipaparkan pada penjelasan sebelumnya bahwa jenis kolokasi dalam tataran struktur kalimat menurut Tamam Hasan dibagi tiga macam yaitu: Talazum, Tanafi dan Tawarud. Masing-masing jenis kolokasi tersebut mempunyai bentuk kolokasi tersendiri. Hal ini akan diuraikan berdasarkan pengelompokan jenis kolokasi, adapun penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut: Jenis kolokasi Talazum memiliki empat bentuk yang terdiri dari al-hadzf, al-fashl, istitar al-dhamir dan al-rutbah98. Masing-masing bentuk ini akan dibahas sebagai berikut: Bentuk kolokasi pada tataran struktur kalimat yang pertama adalah alhadzf, bentuk kolokasi ini dimana salah satu unsur dari kolokasi talazum tidak muncul atau tidak disebutkan pada sebuah kalimat yang lazimnya struktur kalimat tersebut berpasangan. Sebagaimana kolokasi talzum apabila ada mudhaf maka akan membutuhkan mudhaf ilaih, namun tidak selamanya mudhaf disandingkan secara nyata dan hanya ditakdirkan keberadaanya

seperti:  ‫ل أ‬7‫ وأ‬pada

ungkapan ini ditakdirkan ada mudhaf yang dibuang yaitu kata ;‫ أه‬karena tidak mungkin bertanya kepada desa yang bisa ditanya adalah penduduk desanya. Demikian juga dengan membuang na`at sebagaimana contoh dalam ungkapan berikut: D@w +97 ;‫ﺥ* آ‬f 3 ‫ وآن وراءه‬pada ungkpan tersebut kata +97 ditakdirkan mempunyai sifat  .. Dibuangnya sifat pada beberapa kalimat adakalanya bertujuan untuk spesifikasi, pujian ataupun untuk sanjungan. Untuk yang dua ini sifat ditampilkan hanya akan pemborosan dan memperpanjang kalimat saja99. Pada contoh tersebut tanpa diberikan sifat akan diketahui bahwa kapal yang bisa berjalan di laut adalah kapal yang masih bagus dari segi fisik. 97

Maf`ul bih ini merupakan isim yang terletak setelah ada fi`l, fa`il baik terjadi pada kalimat positif maupun kalimat negative tidak akan merubah posisi maf`ul bih tersebut seperti pada contoh kalimat berikut:  ‫  ا‬atau  ‫  ا‬. 98 Tamam Hasan, Ijtihadat lughawiyah, Kairo:`Alim al-kutub, cet 1, 2007, hal-62 99 Abdullah jad al-karim, al-Dars Nahwi fi al-Qurn al-`Isyrun, Kairo: Maktabah al-Adab, cet 1, 2004 hal-254

56

Bentuk kolokasi yang kedua pada tataran sturktur kalimat menurut Tamam Hasan adalah al-fashl. Bentuk kolokasi semacam ini merupakan kolokasi talazum yang seharusnya struktur kalimat itu bersanding secara tertib namun karena diperlukan maka kebesandingan struktur tersebut terkadang terpisah oleh struktur yang lain seperti ‫ إن‬seharusnya dengan isimnya bersanding secara berurutan tanpa adanya pemisah, namun hal ini bisa saja terjadi sebagaiman ‫ إن‬yang dipisahkan dengan huruf jar100 dari isimnya seperti pada cantoh berikut: ‫'ا‬6 ‫ ا 'ار‬/0 ‫إن‬, pada contoh ini ‫ إن‬terpisahkan dengan isimnya karena adanya huruf jar yang berfungsi sebagai khabar mukadam dan secara strukturk hal ini sah-sah saja. Bentuk kolokasi yang ketiga adalah istitar dhamir101, bentuk kolokasi ini dhamir yang seharusnya bersandar pada fi`l tidak nampak secara nyata. Para ahli 100

Ibn Malik dalam Alfiahnya mengklasifikasikan huruf jar kedalam 8 kelompok, yaitu:1. Huruf jar yang menjarkan isim dhahir dan isim dhamir huruf tersebut adalah: ,1O ,/ ‫ ا‬,/0 ,‫ رب‬,‫ل‬ 1 ,/O 2. Huruf jar yang kadang-kadang dipakai alat istisna dengan menasabkan kepada mustasnanya huruf tersebut adalah: ‫'ا‬O ,‫ ﺥ‬dan 7‫ ﺡ‬3. huruf yang menjarkan kepada  istifham huruf tersebut adalah /‫ آ‬maka menjadi N‫ آ‬4. huruf /‫ آ‬yang menjarkan kepada jumlah fi`liyah seperti: +A‫ أآم ﺵ‬/‫ ﺝš آ‬kata ‫ أآم‬dinasabkan oleh ‫ أن‬yang tersimpan pada kata /‫آ‬, kata ‫ أن‬dan fi`il mudori` ditakwilkan masdar yang dijarkan oleh /‫آ‬, maka kalimat tersebut ditakdirkan sebagai berikut: +A‫ إآام ﺵ‬/‫ﺝš آ‬. 5. Suku `uqel biasa menjarkan dengan kata ;: seperti pada kalimat: ;: m +O 2%0 ‫ ا‬6. Suku Hudzel biasa menjarkan isim dengan menggunakan kata /$ seperti pada kalimat berikut: žš# 1 %‫ ž ﺡ‬/$ :0 ^D ‫ء ا‬N 1‫ ﺵ‬7. Kata G menurut Sibaweh juga merupakan huruf jar dan hanya bisa menjarkan isim dhamir saja seperti contoh: ‫ﺥ‬N ‫ك‬G ‫ك‬G ‫ك‬0G‫ ا‬8. Huruf yang khusus menjarkan isim dhahir huruf tersebut adalah: *+ ,* ,/$‫ ﺡ‬,‫ ك‬,‫ و‬,‫ رب‬dan , kata ,* dan *+ menjarkan kepada isim zaman seperti contoh: +  * $‫ رأ‬atau '‫را * م ا]ﺡ‬ kata ‫ رب‬berfungsi untuk mengejarkan isim nakirah saja contoh: $‫  ا‬O ‫رب‬, huruf ‫ ب‬, dan ‫و‬ berfungsi untuk bersumpah seperti:  ,‫ وا‬,‫ا‬. 101 Dhamir terbagi atas dua macam yaitu: dhamir Bariz dan dahmir mustatir. Dhamir bariz yaitu kata ganti orang yang penyebutannya nampak secara nyata, seperti pada kata D$‫ آ‬#‫ أ‬dai kata tersebut terdapat dua dhamir bariz yaitu kata #‫ أ‬dan huruf ‫ ت‬yang berada setelah kata >$‫آ‬, sedangkan dhamir mustatir yaitu dhamir yang terlintas pada pikiran dan merupakan bagian dari kalimat akan tetapi tidak diungkapkan dalam kalimat tersebut, seperti kata '$ yang terdapat dalam kalimat '$ ' ‫ﺥ‬, pada jumlah '$ tersusun dari fi`il mudhare` marfu` dan fa`il yang berupa dhamir mustatir yang ditakdirkan adanya ‫ ه‬yang kembali kepada ' ‫ﺥ‬. Dhamir mustatir terbagi atas dua macam yaitu: dhamir wajib mustatir dan dhamir jaiz mustatir. Dhamir wajib mustatir menempati 4 tempat yaitu: 1. Dhamir mustatir yang disandarkan pada fi`l mudhare` mutakalim seperti kata ‫ أاء‬dan ‫اء‬#, fa`il pada kedua kata tersebut wajib mustatir yang ditakdirkan fa`ilnya #‫ أ‬dan 1#. 2. Dhamir mustatir yang disandarkan pada mukhatab mufrad baik fi`il mudhare` maupun fi`l amr, contoh: $7‫ إ‬dan t, fa`il pada kedua kata tersebut adalah dhamir mustatir wajib yang ditakdirkan fa`ilnya#‫ أ‬. 3. Dhamir mustatir yang disandarkan pada sighat ta`jub contohnya: ‫'ق أﺥك‬.‫ أ‬ fa`il pada dari kata ‫'ق‬.‫ أ‬adalah dhamir mustatir wajib yang ditakdirkan fa`ilnya ‫ ه‬yang kembali kepada . 4. Dhamir mustatir yang disandarkan kepada istisna seperti: ,g ,‫ ﺡﺵ‬,‫'ا‬O‫ و‬,‫ﺥ‬ ‫ ن‬2G . istisna tersebut berfungsi sebagai fi`l seperti pada contoh: N7 ‫'ا‬O ‫ق‬0 ‫ ا‬%‫ ﺡ‬pada kalimat tersebut dhamir wajib mustatir yang ditakdirkan ‫ه‬.

57

nahwu membedakan antara Istitar dengan hadzf. Istitar hanya bisa terjadi pada dhamir rafa` al-mutashilah saja. Para ahli nahwu menyatakan bahwa hadzf itu ditujukan bagi tidak nampaknya dhamir rafa` al-munfashilah, dhamir nashab dan jar, Isim dhahir dan beberapa fi`l. Sedangkan istitar bukan berarti tidak ada namun keberadaanya disamarkan. Bentuk kolokasi yang keempat adalah al-rutbah, bentuk kolokasi ini merupakan keserasian struktur kalimat dalam bahasa Arab. Al-rutbah terbagi atas dua macam yaitu: al-rutbah al-mahfudzah dan al-rutbah ghairu mahfudzah. Rutbah mahfudzah adalah kelaziman pasangan struktur kalimat yang sudah merupakan pasangan paten seperti fi`l dengan fa`il, fi`l dengan naib al-fa`il, almaushul dengan shilahnya, huruf jar dengan majrurnya dan seterusnya. Pasangan yang tersebut itu merupakan pasangan yang sudah seharusnya ada pada suatu kalimat. Sedangkan rutbah ghairu mahfudzah adalah hubungan antara struktur kalimat keberadaanya tidak lazim harus ada seperti fa`il dengan maf`ul, atau antara fi`l muta`adi dengan maf`ul lahnya. Dari diskusi diatas penulis memberi kesimpulan bahwa kolokasi itu bisa terjadi pada tataran kata. Artinya untuk menghasilkan suatu makna kata tersebut harus berkombinasi dengan kata yang lain. Sebuah kata yang berdiri sendiri tidak mengandung makna ataupun maksud. Demikian juga dengan struktur kalimat, struktur kalimat sudah pasti harus berkombinasi dengan struktur yang lain. Seperti diungkapkan diatas dalam bahasa Inggris kata kerja yang terletak setelah preposisi maka harus menggunakan kata kerja bentuk gerund. Dan kata kerja yang terletak setelah to be tentu kata kerja pasif ataupun kata kerja bentuk ing. Gejala kolokasi pada tataran kata ataupun pada tataran struktur kalimat tidak hanya terjadi pada bahasa Inggris akan tetapi juga pada bahasa-bahasa yang lain termasuk Bahasa Arab. Kolokasi dalam bahasa Arab bisa juga terjadi dalam tataran kata dan pada tataran struktur kalimat. Hal ini juga dikemukakan oleh Tamam Hasan yang Adapun dhamir jaiz mustatir yaitu dhamir yang disandarkan kepada ghaib mufrad atau ghaibah mufradah seperti kata: >$2 3$‫ أﺡ‬,‫ أﺡ ك أ‬fa`il pada pada kata ‫ أ‬adalah dhamir jaiz mustatir yang ditakdirkan ‫ ه‬yang kembali kepada ‫أﺡ ك‬, dan fa`il kata >$2 adalah dhamir jaiz mustatir yang ditakdirkan /‫ ه‬yang kembali kepada 3$‫أﺡ‬

58

menyatakan bahwa untuk melahirkan makna suatu kata membutuhkan kombinasi dengan kata yang lain. Demikian juga dengan unsur stuktur kalimat, untuk mengasilkan sebuah makna perlu adanya unsur yang lainnya. Tamam Hasan memberi contoh huruf jar agar bermakna memerlukan majrur, al-maushul membutuhhkan jumlah shilat, ya Nida memerlukan munada dan seterusnya. Penulis juga berpendapat bahwa kolokasi sangat berperan dalam efektifitas dan efisiensi bagi pengguna bahasa tertentu dalam memberikan penafsiran terhadap ungkapan yang dikemukakan oleh penutur bahasa tertentu. Artinya dengan mengetahui kolokasi yang tepat baik itu kolokasi yang berupa relasi kata maupun relasi unsur-unsur struktur kalimat akan memudahkan bagi pengguna bahasa tertentu dalam memberikan makna suatu ujaran.

59

BAB III MAKNA RELASI KATA DALAM AL-QUR`AN Sebagaimana telah penulis jelaskan pada bab II bahwa para ahli bahasa dalam memandang kolokasi terbagi menjadi dua yaitu ada yang berpendapat bahwa kolokasi hanya terjadi pada tataran kata dan pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa kolokasi bisa juga terjadi pada tataran struktur kalimat. Linguis yang menyatakan bahwa kolokasi hanya terjadi pada tataran kata diantaranya adalah Bolinger (1968). Pernyataan ini diperkuat dengan argumennya yang menyatakan bahwa yang paling menentukan makna dalam sebuah ungkapan adalah relasi kata bukan relasi struktur102. Seseorang akan memahami sebuah ungkapan ketika orang tersebut mengetahui makna kata dengan relasinya tanpa harus mengetahui struktur bahasa yang baik dan benar. Sebaliknya orang yang mengetahui struktur bahasa tanpa mengetahui makna kata maka struktur tersebut tidak akan berarti sama sekali. Pernyataan Bolinger sebenarnya untuk membantah kalangan strukturalisme yang dipelopori oleh Noam Chomsky (1955) yang menyatakan bahwa struktur kalimatlah yang paling menentukan terhadap makna dalam sebuah ungkapan103. Menurut mereka struktur bahasa yang salah akan mengakibatkan kesalahan juga pada makna yang dimaksud. Kelompok ini memberikan contoh John ate a Sandwich. Pada contoh tersebut apabila struktur kalimatnya dirubah maka akan berubah pula maknanya bahkan tidak bermakna sama sekali contoh Sandwich a ate John dari contoh tersebut walaupun komponen katanya tetap akan tetapi struktur kalimatnya berubah, maka berubah pula maksud yang ada dalam ungkapan tersebut. Sedangkan menurut penulis relasi kata dengan relasi struktur keduanya saling mempengaruhi terhadap lahirnya makna. Karena pada dasarnya relasi kata itu pula yang akan melahirkan relasi struktur. Seperti kata kering tanpa adanya 102

Dwight Bolinger, Apects of Language, New York: Harcourt Brace Jovanovich. INC, cet II. 1975 h.101 103 Noam Chomsky, Three Model for The Discription of Language, Departement of Modern Language and Resarch Laboratory of Electronic Messachussts Institute of Technology Cambridge, Messachussts.

60

relasi dengan kata yang lain maka tidak akan menghasilkan makna, akan tetapi setelah berkombinasi dengan kata kantong maka akan menghasilkan makna tidak mempunyai uang, ataupun setelah berkombinasi dengan kata kedudukan maka akan menghasilkan makna jabatan yang tidak banyak proyeknya. Demikian juga dengan kata  pada bahasa Arab tidak akan mempunyai makna apabila tanpa adanya fi`il mudhare`

104

. Dengan demikian unsur struktur bahasa tidak akan

bermakna tanpa adanya pasangan yang sesuai, dan kedua unsur dalam struktur ini saling membutuhkan. Lebih lanjut Tamam Hasan (1918)mengatakan bahwa untuk mendapatkan sebuah makna, baik kata ataupun struktur membutuhkan pasangan yang sudah lazim terjadi dalam suatu kalimat. Saling membutuhkannya suatu kata dengan kata yang lain ataupun unsur kalimat dengan unsur yang lain Tamam Hasan memberi istilah dengan kolokasi Iftiqâr, artinya untuk menghasilkan suatu makna yang dimaksud kedua unsur tersebut saling membutuhkan contoh kata 1O (`ain) mempunyai arti mata105. Kata `ain ini untuk menghasilkan makna baru yang tidak sekedar mata maka memerlukan kombinasi dengan kata yang lain dan kemungkinan makna tersebut akan semakin jauh dari makna yang sebenarnya. Para linguis Arab sendiri berbeda pendapat dalam memandang lahirnya sebuah makna. Ada yang berpendapat bahwa makna itu lahir dari relasi kata dan ada juga yang berpendapat bahwa makna lahir dari relasi struktur kalimat. Suyuthi (w. 911H ) salah satunya yang berpendapat bahwa relasi kata itulah yang akan melahirkan makna baru. Ia juga mengatakan bahwa untuk menghasilkan sebuah makna perlu terkumpulnya beberapa kata dalam sebuah kalimat106. Berkumpulnya

104

Tamam Hasan, Ijtihadat Lughawiyat, Kairo: `Alam Kutub, cet-1, 2007 h.345 Kata 1O dengan turunannya dapat berkorelasi dengan kata yang lain menjadi ‫ اد‬7 1: ‫(ا‬bola mata), 1O '‫(ﺵه‬saksi mata), +O ‫م‬f(dengan matanya sendiri), 7‫ رأ‬/+:(dengan mata kepala), ‫ر‬$‫ﺡ‬G‫ ا‬1:  ‫ ا‬R#( memandang remeh seseorang), :m ‫ ن ا‬O(puisi-puisi pilihan), g ‫ن‬O]‫(ا‬dewan senat), +O ‫ب‬DY (dengan alasan yang sama), 1: ‫ض ا‬0( kewajiban individual), 7‫ا‬ 1: ‫(ا‬kata benda konkret), ‫ وا أس‬1: ‫ ا‬/O(sangat gembira), 1: ‫ ا‬/O 1: ‫ ا‬:(terjadi peperangan), +O ‚(memuaskan seseorang), +:(secara pribadi), +: ‫( ه ه‬tidak lain kecuali dia), B‫ه ﺵ‬ +:(dia seorang yang sejati), 1O ': ^‫ ا‬o‫د‬O‫(أ‬merobohkan secara total), /+O 1 ‫ل‬6#(hilang rasa hormat). 106 Al-Suyuthi, Al-Iqtirah fi `Ilmi Ushuli Nahwi, Dar al-Ma`arif al-Nidhamiyat, Haidhar Abad, tt 105

61

kata yang terjadi merupakan hal yang sudah terbiasa dan lazim digunakan oleh suatu bahasa. Pernyataan Suyuthi dibantah oleh linguis modern Mahmud Fahmi Hijazi dari Mesir dalam bukunya ia menyatakan bahwa kata itu tidak akan ada manfaatnya apabila tanpa adanya struktur kalimat107. Sedangkan menurut penulis pernyataan Hijazi terlalu terburu-buru karena tanpa adanya relasi kata maka struktur itu tidak akan berfungsi. Karena kemungkinan relasi struktrur benar akan tetapi belum tentu relasi katanya benar. Dan bisa juga terjadi secara gramatikal benar akan tetapi secara semantik salah. Contoh T72 ‫ ا‬2+7 ;‫آ‬f, kalimat tersebut secara struktur benar karena ada fi`l ada fâ`il dan ada maf`ul akan tetapi secara semantik relasi kata yang ada tidak dapat diterima karena kelaziman kata ;‫آ‬f akan mempunyai relasi kata sebagai maf`ulnya yang berhubungan dengan makanan. Dari pernyataan diatas maka penulis akan mengkhususkan pada bab III ini untuk mengkaji kolokasi yang berupa relasi kata yang ada pada al-Qur`an. Tentunya relasi kata yang akan dikaji tidak akan mencakup secara keseluruhan akan tetapi penulis batasi melalui pengklisifikasian kolokasi yag akan dipaparkan pada alinea-alinea berikut dengan menampilkan beberapa contoh. Pengklasifikasian kolokasi dalam surat al-Qur`an penulis kelompokan menjadi empat macam yaitu kolokasi bebas, kolokasi terbatas, kolokasi yang berupa sinonim, kolokasi yang berupa antonim. Kolokasi bebas artinya kata tersebut bisa berpasangan dengan beberapa kata yang lain yang tidak terpaku dengan kata tertentu saja, maka dalam hal ini penulis klasifikasikan kata tersebut sebagai kata yang berkolokasi bebas. Sedangkan kolokasi terbatas adalah relasi antar kata dengan kata tertentu yang hanya bisa berpasangan dengan kata yang sudah pasti dan tidak mungkin untuk berpasangan dengan kata yang lain, kelaziman pasangan semacam ini tentu karena adanya beberapa faktor, kemungkinan karena faktor fi`l yang menuntut adanya fâ`il yang sudah pasti dan

107

Mahmud Fahmi Hijazi, `Ilmu al-Lughat Yubayin al-Turats wa al-Manahij al-Hadits, Kairo: Dar Gharib, tt

62

mungkin juga karena maf`ul yang harus menyertainya. Adapun kolokasi antonim adalah kelaziman pasangan kata yang selalu muncul bersamaan karena merupakan lawan kata yang selalu menyertainya, begitu juga dengan kolokasi sinonim, kemunculan kata tersebut lazimnya karena ada kata yang mempunyai makna yang sama atau hampir sama. Pada bab ini akan membahas satu persatu dari masing-masing klasifikasi kolokasi yang telah disebut diatas. Adapun pembahasannya akan disesuaikan dengan tingkat keumuman kolokasi sampai kolokasi yang bersifat khusus. I. KOLOKASI BEBAS Menurut Izutsu (2003)108 pada umumnya kata mempunyai makna dasar dan makna relasional109. Makna dasar kata adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakan. Pada masalah ini Izutsu memberikan contoh kata ‫  م‬yang mempunyai arti hari. Kata ‫  م‬ini diletakan dimanapun mempunyai arti hari. Makna dasar kata ‫  م‬itu netral tidak mempunyai konotasi yang lain-lain. Namun kata ‫  م‬tersebut akan berubah konotasi maknanya apabila telah berhubungan dengan kata yang lain yang masing-masing konotasi tersebut mempunyai ekses pada pikiran manusia yang mempunyai pengalaman bahasa tertentu. Seperti kata ‫  م‬berhubungan dengan kata :N ‫ ا‬menjadi :N ‫  م ا‬maka orang Islam akan berkonotasi bahwa hari itu adalah hari besar dimana orang muslim diwajibkan untuk melaksanakan sholat jum`at. Bagi para pegawai di Indonesia dengan :N ‫  م ا‬berarti pulang cepat dari kantor. Relasi kata yang akan melahirkan makna baru tersebut oleh Anton M. Moeliono110 disebut dengan konstruksi bangun sintaktik yang merupakan penggabungan kata dasar yang dapat menempati posisi tertentu dalam suatu 108

Nama lengkapnya adalah Toshihiko Izutsu lahir tahun 1914 di Tokyo, Ia mendapat gelar profesor pada Institut Kebudayaan dan Bahasa, Universitas Keio, Tokyo. Ia pernah menjadi Profesor tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, dan mengajar mata kuliah Teologi dan Filsafat Islam di Universitas tersebut. 109 Izutsu, Toshihiko, God and Man in The Qur`an, Semantics of The Qur`anic Weltauschang, Kuala Lumpur: Academic Art & Printing Services, , 2002 110 Anton M. Moeliono adalah guru besar pada fakultas Sastra Indonesia; Kepala Pusat Pembinaan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; memperoleh gelar Doktor Ilmuilmu sastra Dari Universitas Indonesia tahun 1981

63

kalimat111. Konstruksi sintaktik ini merupakan penggabungan antar anggota rumpun kata dengan anggota rumpun kata yang lain. Konstruksi bangun sintaktik ini bisa terjadi antar anak rumpun dengan anak rumpun yang lain yang tidak terbatas pada rumpun rumpun yang sama. Kolokasi bebas yang dimaksud disini adalah relasi kata dengan kata yang tidak dibatasi oleh rumpun kata. Keanggotaan rumpun kata inilah yang akan menentukan kolokasi pada suatu ungkapan termasuk kolokasi bebas atau kolokasi terbatas. Contoh kata menendang, kata ini akan terbatas berkombinasi dengan kata yang menjadi subjeknya, karena kata yang tepat untuk menjadi subjek dari kata menendang adalah rumpun kata yang berasal dari manusia. Maka bisa diperkirakan kemunculan kata yang menjadi subyeknya adalah nama orang ataupun kata ganti orang. Sedangkan relasi kata menendang dengan obyeknya menjadi kolokasi bebas, karena kata yang akan muncul bisa dari berbagai anak rumpun kata seperti menendang pintu, menendag bola, menendang pintu dan lain sebagainya. Pada bab ini akan membahasa tentang penggabungan antar rumpun yang satu dengan yang lainnya yang tidak terbatas. Kelaziman penggabungan kata pada bagian ini mempunyai pasangan yang sangat luas artinya kata tersebut bisa berpasangan dengan beberapa kata yang berbeda-beda. Seperti kata

X‫ أ‬bisa

berpasangan dengan beberapa kata. Sebagaimana bisa dilihat dalam contoh berikut ini : (Melepaskan tembakan) O X‫أ‬ ‫ص‬. ‫ا‬

( Melepaskan, membebaskan) ‫اﺡ‬7 X‫أ‬ X 1mO‫ إﺡ'ي و‬:0'N ‫ ا‬X‫أ‬

(Memberi nama)

(Meluncurkan tembakan sebanyak

X‫أ‬

N7‫ ا‬O

21 tembakan) t 7 X‫أ‬

(Meluncurkan roket)

X‫أ‬

‫روﺡ‬.

(Siap menghadapi segala

111

Anton M. Moeliono, Suatu Reorientasi Dalam Tata Bahasa Indonesia, dalam buku Bunga Rampai Bahasa dan Sastra dan Budaya, Jakarta: Intermasa, 1988 cet pertama hal-3

64

kemungkinan) $ X‫أ‬

(Bersedia dalam urusan)

(Membiarkan tumbuh jenggotnya)

o' X‫أ‬

]‫ ا‬/0

Kata X‫ أ‬menurut Akhmad Muhamammad Qadur tidak bisa masuk pada kata-kata berikut ini: /O NO  : ‫ ا‬X‫ أ‬,‫م‬:S ‫ ا‬/O tN ‫ ا ﺝ; ا‬X‫أ‬,‫ذ ﺽة‬$7]‫ ا‬X‫أ‬ ‫س‬+ ‫ا‬. Oleh karena itu perlu ada penjelasan tentang penggunaan kata

X‫ أ‬yang

tepat yang sesuai dengan konteks kalimat yang sedang dibicarakan112. Oleh karena itu yang paling tahu tentang pasangan kata dari masing-masing kata adalah penutur bahasa asli atau dengan cara menggunakan kamus kolokasi. Dari definisi diatas bisa disimpulkan bahwa kolokasi bebas adalah satu kata bebas berpasangan dengan kata yang lain113. Seperti kata

‫ ن‬+p

yang

merupakan fi`l mudhare` dari kata 1‫ أ‬bisa berpasangan dengan bebas dengan beberapa kata sebagai fâ`ilnya sebagaimana yang tercantum pada ayat yang ke 3 pada surat al-Baqarat fâ`ilnya adalah berupa huruf waw yang merupakan manifestasi dari kata ‫ ن‬$N ‫ا‬, artinya konstruksi kata tersebut secara gramatikal menjadi berbunyi ‫ ن‬$N ‫ ا‬1p. Dalam hal ini penulis ingin mengatakan bahwa kata 1‫ أ‬dan cabang-cabangnya bisa berpasangan dengan fâ`il lebih dari yang satu kata, dan secara semantik tidak akan mempengaruhi kelogisan makna, hanya dalam bahasa arab secara gramatikal fi`l harus menyesuaikan fâ`il dari tadzkir . Pada konstruksi fi`l fâ`il struktur posisinya harus didahulukan fi`l dan mengakhirkan fâ`ilnya114, dan secara gramatikal tidak bisa dibalik fâ`il didahulukan dan fi`l diakhirkan menjadi ‫ ن‬+p ‫ ن‬$N ‫ا‬, seandainya peristiwanya semacam ini maka tidak lagi dinamakna konstruksi fi`l fâ`il akan tetapi menjadi mubtada khabar. Dari segi mufrad, mutsana dan jamak tidak diperkenankan fi`l mengikuti fâ`il seperti contoh tidak boleh untuk menyatakan dua orang Taqwa itu beriman dengan menggunakan ‫ن‬$N ‫ن ا‬+p dan tidak boleh juga mengatakan ‫ ن‬+p 112 113

Ahmad Muhammad Qadur, mabadi al-Lisaniyat, Damaskus: Darul Fikri, 1999 Ton Van Der Wouden, Collocation, Polarity and Multiple Negation, Routledge, 1997

hal-16 114

Al-Anshari, Ibn Hisyam, Tahdzib wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa bal al-shada, ditahqiq oleh Adnan al-Adzamat dan Muhammad Ali sulthani, Damaskus: Dar al-`Ashama, Siria 1998 cet-1, hal-229

65

‫ ن‬$N ‫ ا‬untuk menyatakan jamak115. Konstruksi fi`l fâ`il ‫ ن‬$N ‫ ا‬1p dikategorikan kedalam kolokasi bebas karena kata 1p -1‫ أ‬bisa berhubungan dengan berbagai macam fâ`il yang akan menggantikan posisi kata ‫ ن‬$N ‫ا‬. Pada surat al-Baqarah kata 1p -1‫ أ‬mempunyai fâ`il yang bervariasi seperti pada ayat yang ke 13 kata tersebut mempunyai fâ`il ‫س‬+ ‫ ا‬dan ‫ء‬9Y ‫ا‬, pada ayat ke 285 mempunyai fâ`il ‫ ل‬7 ‫ا‬. Kolokasi bebas tidak hanya terjadi pada konstruksi fi`l fâ`il saja, namun bisa juga terjadi pada konstruksi Idhâfî. Dalam surat al-Baqarah kolokasi bebas yang terkonstruksi dalam Idhâfî seperti tertera pada ayat yang ke 39 yang berbunyi ‫ر‬+ ‫ب ا‬.‫أ‬, konstruksi ini termasuk idhâfat mahdhah yang bermakna ‫م‬G‫ ا‬atau kepemilikan dan idhâfat ini mempunyai makna ‫ر‬+ ‫ب‬.‫أ‬116. Kata kunci dari konstruksi ini adalah ‫ب‬.‫ أ‬kata ini bisa berpasangan secara bebas dengan 7‫إ‬ yang lain, seperti kata >$2 ‫ب ا‬.‫ أ‬,/#:N ‫ب ا‬.‫أ‬, ‫ﺝ‬:N ‫ب ا‬.‫أ‬, ‫' ا‬DO ‫ب‬.‫ أ‬dan seterusnya. Konstruksi idhâfat ‫ر‬+ ‫ب ا‬.‫ أ‬dalam ayat ini menduduki posisi i`rabnya sebagai khabar mubtada yang dibaca marfu` dengan ditandai harakat dhamah pada akhir huruf kata ‫ب‬.‫أ‬117. Pada ayat yang lain terdapat idhâfat yang memiliki makna 1 yang berbunyi ‫ب‬$2 ‫ ا‬L:D konstruksi idhâfat ini mengandung makna ‫ب‬$2 ‫ ا‬1 L:D, idhâfat ini termasuk kedalam idhâfat ma`na (/#:N ‫ ا‬0‫ﺽ‬z‫ )ا‬karena dalam konstruksi ini ada tuntutan makna yang terkandung didalamnya118. Idhâfat maknawi ini bisa terjadi antara ism nakirah yang diidhafatkan kepada ism makrifat ataupun ism nakirah diidhâfatkan kepada ism nakirah, maka dari konstruksi yang ada menjadi L:D ‫ب‬$‫آ‬. Konstruksi Idhâfat ini termasuk kedalam kolokasi bebas karena kata L:

115

al-Hasyimi, Ahmad, Al-Qawaid al-Asasiyyah li al-lughat al-Arabiyyah, Bairut Libanon: Dar al-kutub al-ilmiyyah, hal-114 116 al-Anshari, Ibn Hisyam, Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998 hal-315 117 Shalih,`Abd al-Wahid, al-I`rab al-Mufashal li al-kitab Allah al-Muratal jilid 1, Dar alFikr, Amman Jordan, cet-2, 1998 hal-52 11 al-Anshari, Ibn Hisyam, Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998 hal-344

66

sebagai kata kuncinya memungkinkan

berpasangan dengan ism yang lain119,

seperti contoh: ‫ ا‬v ‫ ﺡ‬L:,  ‫ رﺝ‬L: 1O ّ2$0, 9:‫ ﺝ‬/‫ آم أ‬L: ;# ; dan lain sebagainya. Contoh kolokasi bebas yang terdapat pada surat al-Baqarah yang merupakan bentuk konstruksi idhâfat yang berikutnya adalah kata  ‫ م ا‬, konstruksi idhâfat ini mengandung makna 1 artinya  ‫ ا‬1 ‫ م‬120. Dan kolokasi ini disebut dengan kolokasi bebas karena kata ‫  م‬sebagai kata kuncinya dapat berpasangan dengan ism yang lain secara bebas tanpa ada ikatan yang lain contoh: 1' ‫ م ا‬, :N ‫ م ا‬, ‫ م‬ ''‫ﺝ‬, ‫ن‬9 ‫ م ا‬. Dan lain sebagainya, idhâfat ini posisi i`rabnya dalam ayat 85 kedudukannya sebagai dharaf zaman121. Idhâfat menurut Abu Bakar Muhammad Ibn al-Syaraj122 dibagi dua yaitu: Idhâfat Mahdhah dan Idhâfat Ghairu Mahdhah123. Idhâfat Mahdhah sendiri terbagi dalam dua bagian yaitu: Idhâfat Ism dengan Ism yang mempunyai makna al-lam(‫م‬G‫ )ا‬atau kepemilikan, dan idhâfat ism dengan ism yang bermakna min (1) artinya dari124. Idhâfat yang mengandung makna al-lam mempunyai arti kepemilikan seperti contoh yang terdapat pada ayat 12 surat al-Ahqaf yang berbunyi: ً Nَ ‫ﺡ‬ ْ ‫ ِإًَ َو َر‬Tَ7 ُ ‫ب‬ ُ َ$‫ِ ِ ِآ‬Dْ َ ْ1ِ ‫ َو‬. Adapun idhâfat yang bermakna min (1)

119

Emery, Peter G, Collocations and Idioms in Arabic and English: A Contrastive Study, University of Manchester, 1988 120

al-Farahidi, Al-Khalil Ibn Akhmad, al-Jumal fi al-Nahwi, pentahqiq Fakhr al-Din Qibawah, cet ke-5, 1995 hal-194 121 Thanthawi, Muhammad Sayid Mu`jam I`rab Alfadz al-Qur`an al-Karim, al-Azhar Islamic Reseach Academy General Departemen, 1994, hal-17 122 Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn al-suri ibn sahl, dia lebih dikenal dengan nama ibn saraj al-Nahwi al-baghdadi, menurut pentahqiq kitab ini belum menemukan literatur yang menerangkan waktu dan tempat lahir. akan tetapi menurut al-Murzabani bahwa dia hidup di Baghdad dan meninggal juga di Baghdad pada hari Ahad tanggal 3 dzulhijjah tahun 316 H. Dan menurut al-Syuyuti dia meninggal ketika masih muda. Namun menurut al-Syayuthi lebih jelas bahwa al-syaraj meninggal kurang lebih berumur 20 tahun dan meninggal pada tahun pada tahun 285 berarti dia lahir berkisar antara tahun 260-265. 123 Abu Bakar Muhammad ibn al-Syaraj, Al-Mu`jin fi al-Nahwi, pentahqiq Musthafa alSyuwaimi ibn Salim Darmiji, A. Badran, Bairut Libanon, 1965 hal-60 124 Menurut Al-Anshari, Ibn Hisyam Idhafah mempunyai tiga makna yaitu makna /0 idhafah ini terjadi bila ism diidhafahkan kepada dharaf, baik itu dharaf zaman ataupun dharaf makan seperti contoh: 'YN ‫ة ا‬. idhafah ini bermakna 'YN ‫ ا‬/0 ‫ة‬., yang kedua idhafah yang mengandung makna 1 seperti contoh ''‫ﺥ ﺡ‬, idhafah ini mempunyai makna ''‫ ﺡ‬1 ‫ﺥ‬, dan yang ketiga idhafah yang mempunyai makna ‫م‬G‫ ا‬atau kepemilikan seperti contoh: /‫آ> ا ﺽ‬ idhafah ini mempunyai makna /‫آ> ﺽ‬

67

mempunyai arti dari seperti contoh surat al-An`am ayat 59 yang berbunyi: oُ 'َ +ْ O ِ ‫َو‬

َ ‫َ ِإ  ُه‬Nُ َ:ْ َ َ > ِ ْ Kَ ْ ‫ ا‬t ُ ِ َ9َ . Idhâfat yang kedua adalah idhâfat ghairu mahdhat, idhâfat ini terbagi 4 macam yaitu: a. Idhâfat yang terdiri dari ism fâ`il yang idhâfatkan kepada ism, seperti contoh: 1 ِ v' ‫ َ ْ ِم ا‬3 ِ َِ, konstruksi idhâfat ini mengandung makna 3N(yang memiliki),b. Idhâfat yang terdiri dari sifat yang diidhâfatkan kepada ism contoh: ‫ت‬ ِ ْ Nَ ْ ‫ﺡ َ* َر ا‬ َ ِO ِ ‫@ َا‬  ‫ ا‬1 َ ِ konstruksi idhâfat ini terdiri dari sifat yang berupa kata ‫ﺡ َ* َر‬ َ yang diidhafahkan kepada ism yang berupa kata ‫ت‬ ِ ْ Nَ ْ ‫ا‬, c. Idhâfat yang terdiri dari wazan ;:0‫ أ‬yang diidhâfatkan kepada ism seperti contoh: ً‫'َا َوة‬O َ ‫س‬ ِ + ‫ﺵ ' ا‬ َ ‫ن َأ‬  'َ  ِ $َ َ konstruksi idhâfat ini terdiri dari ism yang mengandung wazan ;:0‫ أ‬yang diidhafahkan kepada ism, d. Idhâfat yang terdiri dari ism yang diidhâfatkan kepada sifat contoh yang terdapat pada surat al-Maidah ayat 65 yang berbunyi: ِ ِ:+ ‫ت ا‬ ِ +‫ﺝ‬ َ ْ‫َ ُه‬+ْ ‫ﺥ‬ َ ْ‫د‬fَ َ‫ َو‬, idhâfat ini terdiri dari ism yang berupa kata ‫ت‬+‫ ﺝ‬yang diidhafatkan kepada sifat yang berupa kata ِ ِ:+ ‫ا‬. Konstruksi idhafat ini mengandung makna :+ ‫( ا‬sifat) artinya surga yang penuh kenikmatan. Kolokasi bebas juga bisa terjadi pada kosntruksi sifat maushuf seperti yang tertera pada ayat yang ke 221, sifat maushuf itu terdiri dari kata 'DO dan kata 1p, kata 'DO sebagai kata yang bertugas untuk disifati sedangkan kata 1p berfungsi sebagai kata yang menyifati 'DO. Konstruksi 1p 'DO dikategorikan kedalam kolokasi bebas karena kedua kata posisinya bisa digantikan oleh kata yang lainnya125, seperti kata 'DO yang berfungsi sebagai maushuf bisa digantikan dengan kata ‫ذ‬$7‫ أ‬,;‫ رﺝ‬,*N dan lain sebagainya, demikian pula dengan kata 1p yang berfungsi sebagai sifat bisa digantikan dengan kata sifat yang lain seperti kata 0‫ آ‬,'$ ,t@ dan lain sebagainya. Kata 1p oleh Ibn `Ushfur al-Isybali126 diklasifikan kedalam sifat yang berasal dari ism mustaq127, artinya kata tersebut bukan merupakan sifat asli akan tetapi sifat tersebut merupakan ism yang

125

Wouden, Ton Van Der Collocation, Polarity and Multiple Negation, Routledge, 1997

hal-8 126

Nama lengkapnya adalah `Ali ibn Mu`min ibn Muhammad ibn `Ali ibn `Ushfur alAsybili, dia dilahirkan di Isbiliyat tahun 597 Hijriyyah. 127 Al-Isybali, Ibn `Ushfur Syarh al-Jumal al-zijaji juz 1, yang ditahqiq oleh Shahib Abu Janah, Kairo Mesir, 1971, hal- 193

68

diturunkan

dari

bentuk

dasar

verba.

Ibn

`Ushfur

al-Isybali

sendiri

mengklasifikasikan sifat kedalam 2 bentuk yaitu: Sifat yang berupa ism mustaq128 dan sifat yang berupa ism jamid. Sifat yang berbentuk ism mustaq sendiri terbagi menjadi 4 macam yaitu: Sifat yang berasal dari ism fâ`il, ism maf`ul, ism musyabahat, ism tafdhil129. Konstruksi sifat maushuf yang terjadi antara ism sebagai maushuf dengan ism sifat sebagai sifatnya130 seperti contoh kata L‫ب أ‬$‫ آ‬,‫ة @ة‬SY ,; X ;‫ رﺝ‬, kata ‫ة‬SY ,;‫ رﺝ‬dan ‫ب‬$‫ آ‬merupakan ism atau kata benda yang mendapat sifat berupa ism sifat @ ,; X dan L‫أ‬. Sifat maushuf yang memiliki karakter ini banyak ditemukan dalam surat al-Baqarah seperti pada ayat 114 pada akhir ayat terdapat frase yang berbunyi RO ‫*اب‬O, pada akhir ayat 115 terdapat frase yang berbunyi O F7‫إن ا وا‬, baik pada akhir ayat 114 ataupun akhir ayat 115 keduanya terdiri dari ism sebagai maushuf dan ism sifat sebagai sifat, pada ayat 114 maushufnya adalah kata ‫*اب‬O yang mendapat sifat kata RO, fungsi dari sifat tersebut adalah untuk memberikan kejelasan tentang ism yang disifati karena sebelum adanya sifat masih bersifat general atau umum, sedangkan kata O pada akhir ayat 115 berfungsi sebagai pujian kepada Allah131, selain kedua fungsi tersebut sifat juga bisa berfungsi sebagai celaan, penguat dan merendahkan diri sebagaimana masing-masing contohnya sebagai berikut: ‫ن ا ﺝ‬Sm ‫ ا‬1  ‫ ذ‬O‫أ‬, ‫ واﺡ'ة‬A9# ‫ ا @ ر‬/0 ¡9# ‫œذا‬0, 12YN ‫'ك ا‬DO ‫ا  إرﺡ‬. Konstruksi sifat maushuf juga bisa terjadi antara ism dengan ism fâ`il seperti contoh o ‫ رت ﺝ; ? أ‬,‫ رأ رﺝ; ﺽرب‬,'O ;‫ وه*ا رﺝ‬,? ;‫رت ﺝ‬, contoh sifat yang berupa ism fâ`il ini diambil dari kata yang mengikuti wazan ;O0 seperti ,? ,‫ ﺽرب‬,'O, namun demikian ism fâ`il yang bisa menjadi sifat tidak hanya yang berwazan namun dari semua wazan ism fâ`il bisa berfungsi sebagai sifat 128

Ism Mustaq adalah ism yang diturunkan dari bentuk dasar verba atau sering disebut ism mu`rab, artinya harakat huruf akhir dapat berubah. 129 Al-Hasyimi, Ahmad al-Qawaid al-Asasiyah li al-lughat al-`Arabiyyah, Bairut Libanon, Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, hal-242 130 Al-Syaraj, Abu Bakar Muhammad, Al-Mu`jin fi al-Nahwi, pentahqiq Musthafa alSyuwaimi ibn Salim Darmiji, A. Badran, Bairut Libanon: 1965 hal-62 131 al-Zamahsari, Abi al-Qasim Mahmud Ibn Umar, al-Mufashal fi al-Ilm al-Lughat, Bairut Libanon: Dar Ihya al-Ulum, hal-143

69

sebagaimana contoh: ‫ا @'ق‬, 2 ‫ ا‬66: ‫ا‬, kata ‫ @'ق‬dan 66O pada frase contoh tersebut posisi keduanya berfungsi sebagai sifat dan kedua kata tersebut merupakan ism fâ`il yang masing-masing mengikuti wazan ;:9 dan wazan ;:0132. Sifat dalam linguistik Arab sering diungkapkan dengan istilah al-na`t atau dalam linguistik inggris dikenal dengan adjetive. Ibn Hisyam al-Anshari membagi jenis al-na`t kedalam dua macam yaitu: na`t haqiqi dan na`t sababi133. Na`t haqiqi adalah na`t yang mengikuti man`utnya secara lafal dan maknanya, artinya dari segi lafal baik ma`rifat nakirahnya dan harakat i`rabnya na`t tersebut mengikuti kepada man`utnya, dan dari segi makna tadzkir ta`nits serta mufrad, mutsana dan jama`nya mengikuti man`utnya. Sedangkan na`t sababi adalah na`t yang mengikuti man`ut secara lafal saja. Kolokasi bebas juga terjadi pada konstruksi al-Badal134. Al-Badal ini merupakan relasi ism dengan ism seperti contoh: ‫ م ز' أﺥ ك‬pada contoh ini tergabung dua ism yaitu kata '‫ ز‬dan kata ‫ أﺥ ك‬, kata ‫ أﺥ ك‬ini berfungsi sebagai penjelas kata sebelumnya yaitu ‫ أﺥ ك‬disini dikatakan bahwa al-badal berfungsi sebagai penjelas dari ism sebelumnya, hal ini bisa dibedakan dengan kalimat yang berbunyi ‫و‬NO‫ م ز' و‬bahwa terkumpulnya kata ‫و‬NO dengan '‫ ز‬tidak berfungsi untuk menjelaskan akan tetapi keberadaan ‫و‬NO untuk menjelaskan kata ‫ م‬bahwa yang berdiri tidak hanya '‫ ز‬akan tetapi juga ‫و‬NO, sedangkan kata ‫ أﺥ ك‬berfungsi untuk menjelaskan kata '‫ ز‬karena dianggapnya kata tersebut belum jelas keberadaannya. Dalam surat al-Baqarah frase yang merupakan kolokasi bebas yang berupa al-badal bisa ditemukan pada ayat yang ke 133 yang berbunyi 3 َ ?ِ َ[َ َ َ‫ َوِإ‬3 َ َ َ‫ ُ' ِإ‬Dُ :ْ #َ ‫َ ُ ا‬ َ ِ‫ ِإ َْاه‬kata ‫ إاه‬pada akhir kalimat merupaka al-badal yang menjelaskan kata sebelumnya yaitu 3š‫ أ‬dengan tidak disebutkan kata ‫ إاه‬maka kata 3?‫ أ‬masih sangat umum, referensi yang dituju sangat luas. Kedua kata

132

3?‫ إ‬dan ‫إاه‬

Moch. Anwar, Ilmu Sharaf, Sinar Baru Algensindo, Bandung, cet ke 11, 2005, hal-52 Al-Anshari, Ibn Hisyam , Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998 hal-348 134 Al-Isybali, Ibn `Ushfur, Syarh al-Jumal al-zijaji juz 1, yang ditahqiq oleh Shahib Abu Janah, Kairo Mesir: 1971, hal- 279 133

70

merupakan kolokasi bebas karena posisi kedua kata tersebut bisa digantikan dengan kata yang lain135 seperti kata ‫ إاه‬pada konsruksi tersebut bisa diganti dengan kata ‫ق‬7‫ إ‬,;ON7‫ إ‬dan kata-kata yang lain. Ungkapan ‫ إاه‬3?‫ أ‬merupakan kolokasi bebas yang berupa badal kul min kul artinya kata ‫ إاه‬mewakili sepenuhnya kata 3?‫أ‬, wujud dari 3?‫ أ‬itulah ‫إاه‬, sedangkan menurut al-Anshari sendiri membagi badal kedalam 4 macam yaitu badal kul min kul, badal ba`dh min kul, badal al-Isytimal, dan badal al-ghalath136. Badal ba`dh min kul artinya kata yang kedua yang mewakili kata pertama tidak mewakili sepenuhnya akan tetapi hanya mewakili sebagian saja sebagaimana contoh dalam surat Ali Imran ayat 98 yang berbunyi: ‫ع‬S$7‫ ا‬1 D ‫س ﺡž ا‬+ ‫ ا‬/O ‫و‬ D7  ‫ ا‬pada kalimat tersebut badal ba`dhu min kulnya adalah berupa kata 1 ‫ع‬S$7‫ ا‬yang mewakili kata ‫س‬+ ‫ا‬, pada ungkapan ayat tersebut diwajibkan manusia untuk berhaji, namun kewajibannya sebatas bagi manusia yang mampu dan tidak semua manusia dan manusia yang mampu hanyalah sebagian dari manusia. Sedangkan badal istimal adalah kata yang mengikuti kata sebelumnya dengan menampilkan sifat yang melekat pada kata tersebut137 seperti contoh: /+:9# NO :N ‫ ا‬kata :N ‫ ا‬terwakili oleh kata NO dan yang sesungguhnya bisa memberi manfaat pada kalimat tersebut adalah ilmu bukan manusiannya. Dan pada surat alBaqarah badal semacam ini terdapat pada ayat yang ke 217 yang berbunyi: 3# fY 0 ‫ل‬$ ‫ ا ام‬m ‫ ا‬1O pada ayat tersebut kata ‫ل‬$ adalah sifat yang melekat pada kata ‫ ا ام‬m ‫ا‬. Dan jenis badal yang terakhir menurut al-Ansyari adalah badal ghalath yaitu kata yang diucapkan untuk menggantikan kata yang dianggap salah dalam pengucapan sebelumnya138 seperti contoh kata: N‫ رﺡ‬9‫ﺵ‬

$‫ إﺵ‬pada

ungkapan tersebut kata N‫ رﺡ‬merupakan kata pengganti kata 9‫ ﺵ‬karena yang 135

Nesselhauf, Nadja, Collocations in a Learner Corpus, John Benjamins Publishing Company, 2004 hal-21 136 al-Hasyimi, Ahmad, al-Qawaid al-Asasiyah li al-lughat al-`Arabiyyah, Dar al-Kutb alIlmiyyah, Bairut Libanon, hal-292 137 Al-Anshari, Ibn Hisyam , Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998 hal-368 138 Al-Anshari, Ibn Hisyam , Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998 hal-368

71

dimaksudkan sebenarnya adalah N‫ رﺡ‬namun yang terucap kata 9‫ﺵ‬, sebagian besar badal ghalath ini berbentuk kolokasi bebas karena kesalahan ucap bisa saja terjadi dengan kata apapun tidak mesti yang satu jenis. Kolokasi bebas juga bisa terjadi pada konstruksi mubtada khabar, artinya relasi kata yang mendudukui posisi mubtada bisa secara bebas berkolokasi dengan kata apa saja yang menduduki posisi khabar, Wouden mencontohkan kolokasi bebas ini dengan kata murder kata ini bisa berhubungan secara bebas dengan kata lain seperti: execute of murder, carry out of murder, do a murder, perform a murder139. Kebebasan pasangan kata tersebut bisa saja terjadi pada konstruksi mubtada dengan khabarnya seperti contoh: ‫ ز' آ‬kata '‫ ز‬sebagai mubtada bisa mempunyai khabar selain kata ‫آ‬, posisi kata ‫ آ‬bisa diganti dengan ,‫ن‬Y‫آ‬ ‫ذ‬$7‫ أ‬,'$ dan lain sebagainya. Dalam hal ini yang dimungkinkan mubtada bisa secara bebas berpasangan dengan khabarnya tidak hanya terjadi pada nama orang akan tetapi bisa juga tejadi mubtada yang berasal dari ism sharih dan muawal. Ism sharih sendiri bisa berasal dari ism isyarat, ism dhamir, ism jamid, dan ism mustaq sedangkan mubtada muawal adalah mubtada yang bukan berasal dari ism sharih namun ditakdirkan kedalam ism sharih sebagaimana contoh yang tercantum pada surat al-Baqarah ayat 184 yang berbunyi: 2 ‫وأن @  ا ﺥ‬, pada kalimat tersebut mubtadanya adalah ‫ أن @  ا‬yang ditakdirkan atau ditakwilkan 2 . atau 2.. Mubtada yang berasal dari ism isyarat yang merupakan kolokasi bebas dapat ditemukan dalam beberapa ayat pada surat al-Baqarah, salah satu contohnya tertera pada ayat yang kedua yang berbunyi 1$N ‫ ه'ي‬0 >‫ ر‬G ‫ب‬$2 ‫ ا‬3 ‫ذ‬. Mubtada yang berupa isim isyarah 3 ‫ ذ‬bisa berkolokasi dengan khabar yang berbeda-beda ternyata kata tersebut sangat tergantung dari kata kunci penjelasnya. Dalam hal ini penjelas dari isim isyarah 3 ‫ ذ‬adalah ‫ب‬$2 ‫ ا‬yang dapat menghasilkan khabar >‫ر‬G140. Dengan munculnya kata ‫ب‬$2 ‫ ا‬setelah isim isyarah maka akan melahirkan khabar yang bermacam-macam yang tidak terikat dan bebas tidak menuntut 139

Wouden, Ton Van Der, Collocation, Polarity and Multiple Negation, Routledge, 1997

hal-10 140

Al-Mahali dan Suyuti, Tafsir Jalalain, Mauqi` al-Tafasir.

72

khabarnya sudah paten dengan kata tertentu seperti pada kalimat selanjutnya kata ‫س‬+ ‫ه'ى‬

bisa menjadi khabar tanpa harus ada kata 0 >‫ر‬G maka kalimat

lengkapnya akan menjadi ‫س‬+ ‫ب ه'ى‬$2 ‫ ا‬3 ‫ ذ‬ataupun bisa berupa kalimat yang lain seperti ‫ب  رة‬$2 ‫ ا‬3 ‫ذ‬. Kata 3 ‫ ذ‬walaupun sebagai mubtada tidak akan berarti tanpa munculnya kata penjelas seperti ‫ب‬$2 ‫ ا‬ataupun kata yang lain, karena dengan tidak adanya penjelas kalimat itu tidak mengandung makna yang jelas seperti kalimat 0 >‫ر‬G 3 ‫ ذ‬atau kalimat ‫س‬+ ‫ ه'ى‬3 ‫ذ‬. Kedua contoh tersebut tidak akan memberikan informasi yang jelas kepada pembaca karena secara sintaksis sudah benar sedangkan secara semantiknya tidak benar141. Berbeda dengan kalimat ‫ب‬$2 ‫ ا‬yang muncul dan 3 ‫ذ‬ yang dibuang maka akan menjadi kalimat 0 >‫ر‬G ‫ب‬$2 ‫ ا‬atau menjadi ‫ب ه'ى‬$2 ‫ا‬ ‫س‬+ maka kedua kalimat tersebut secara sintaksis ataupun secara semantiknya bisa diterima. Pada kasus ini akan lebih jelas jika ditampilkan lagi contoh ism isyarat yang berfungsi sebagai mubtada yang penjelasnya(badal) atau bukan berupa kata ‫ب‬$2 ‫ا‬ seperti pada ayat 253 yang berbunyi L ٍ :ْ َ TَO َ ُْ % َ :ْ َ َ+ْ %  0َ ; ُ7 ُ £ ‫ ا‬3 َ ْ ِ , pada tersebut mubtadanya adalah ism isyarah 3 namun kata 3 itu mempunyai penjelas atau badal berupa ;7 ‫ ا‬maka yang akan menentukan khabar sebagai kolokasi mubtada bukan kata 3 namun kata ;7 ‫ا‬. Artinya sangat tidak jelas secara makna jika kata 3 ‫ ذ‬tidak disertai dengan kata penjelas ‫ب‬$2 ‫ا‬, atau kata 3 tanpa adanya kata ;7 ‫ا‬. Berarti kata kunci yang sangat menentukan kolokasi dari mubtada isim isyarah 3 ‫ذ‬ yang mempunyai badal atau penjelas adalah penjelasnya itu sendiri bukannya ism isyarahnya. Berbeda dengan ism isyarah yang berdiri sendiri tanpa dibayang-bayangi oleh penjelas atau badal seperti pada ayat 178 surat al-Baqarah yang berbunyi 3 ‫ذ‬ N‫ ورﺡ‬2ّ‫ ر‬1 V9A. Pada konstruksi contoh tersebut sangat berbeda dengan contoh yang ada pada ayat 1 surat al-Baqarah yang berbunyi 0 >‫ر‬G ‫ب‬$2 ‫ ا‬3 ‫ذ‬. Pada kalimat N‫ ورﺡ‬2ّ‫ ر‬1 V9A 3 ‫ ذ‬yang menjadi kata kuncinya adalah 3 ‫ ذ‬maka bisa

141

Hasan Alwi Soenjono dkk, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai Pustaka, 2003

73

dikatakan kata 3 ‫ ذ‬itulah yang akan menentukan kolokasi kata sebagai khabarnya. Kata 3 ‫ ذ‬sangatlah bebas untuk menentukan kolokasi kata sebagai khabarnya seperti pada ayat yang berbunyi

142

+ ‫ آ* ا‬1* ‫; ا  م ا‬e 3 ‫ذ‬. Dan masih banyak

lagi ataupun sebagai khabar. Selain ism isyarat yang bisa menempati posisinya sebagai mubtada adalah ism dhamir. Ism dhamir yang bisa berfungsi sebagai mubtada menurut alGhulayaini adalah ism dhamir munfashil143, seperti contoh: D ‫ ا‬/0 1#, kata 1# pada kalimat tersebut berfungsi sebagai mubtada artinya kata 1# merupakan pokok kalimat yang perlu mendapatkan penjelasan dari khabar, tanpa adanya kata D ‫ ا‬/0 kata 1# tidak mempunyai makna struktural dan makna semantik dan ia hanya mempunyai makna dasar. Ism dhamir merupakan mubtada yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya acuan yang harus mengarah kepada keterwakilan ism dhamir tersebut seperti contoh sebelumnya kata 1# yang mempunyai makna kita atau kami pada kalimat tersebut masih samar karena 1# ini mengacu kepada siapa, sekelompok orang akan mengucapkan 1# jika ia sepakat dalam aktifitas yang sama. Acuan daripada ism dhamir bisa berpindah pindah bergantung kepada siapa yang menjadi pembicara. Dalam surat al-Baqarah banyak mubtada yang berasal dari ism dhamir. Mubtada yang berupa ism dhamir #‫ أ‬dalam surat al-Baqarah terdapat pada dua ayat yang yaitu yang tertera pada ayat yang ke 116 yang berbunyi ‫ ّاب ا ّﺡ‬$ّ ‫ ا‬#‫وأ‬ pada ayat tersebut mubtanya berbentuk ism dhamir #‫ أ‬yang mengacu pada persona pertama tunggal144, dalam hal ini pembicara adalah Allah. Dan Ism dhamir #‫أ‬ yang kedua terdapat pada ayat yang ke 257 yang berbunyi ‫ وأ‬/‫ أﺡ‬#‫ أ‬. Ism dhamir #‫ أ‬yang berfungsi sebagai mubtada akan mendapatkan pasangan kata sebagai khabarnya sangat bervariatif karena acuan yang akan menjadi rujukannya berbeda beda. Pada ayat yang ke 116 dengan ayat yang ke 257 khabar dari mubtada ism dhamir #‫ أ‬memiliki sifat yang sama bahwa kata tersebut adalah 142 143

QS. Al-A`raf ayat 167 Al-Ghulayaini, Musthafa, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, Dar al-Hadits, Kairo Mesir,

2005 hal-58 144

Hasan Alwi, Soenjono Dardjowidjoyo, Hans Lapoliwa, Anton M.Moeliono, Tata Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, edisi ke 3, 2003 hal-251

74

sifat yang harus dimiliki oleh Tuhan, padahal acuan dari kata #‫ أ‬pada kedua ayat tersebut berbeda, acuan pada ayat yang pertama merujuk kepada Allah, sedangkan acuan pada ayat yang kedua merujuk kepada Namrud yang merupakan jawaban dari pertanyaan nabi Ibrahim tentang ketuhanan. Maka Namrud mengatakan bahwa dialah yang menghidupkan dan yang mematikan. Secara gramatikal kalimat tersebut benar akan tetapi secara normatif kalimat tersebut salah karena yang bisa menghidupkan dan mematikan hanya Allah. Ism dhamir lain yang menduduki posisi mubtada diantaranya adalah ism dhamir 1#, ism dhamir 1# yang menduduki posisi mubtada pada surat alBaqarah tercatat sebanyak 9 kali diantaranya pada ayat yang ke 11 yang berbunyi ‫ @ ن‬1#‫ و‬pada ayat ini ism dhamir 1# mengacu kepada orang-orang kafir yang apabila ditegur jangan membuat kerusakan dimuka bumi mereka menjawab ‫ @ ن‬1#‫و‬. Ism dhamir baik yang berupa #‫أ‬, 1# ataupun ism dhamir lainnya ketika menjadi mubtada mempunyai kolokasi yang sangat bebas sekali dengan khabarnya, tidak memandang ism dhamir itu merujuk kepada siapa, seperti yang tertera pada contoh pertama ism dhamir #‫ أ‬baik yang merujuk kepada Allah ataupun yang merujuk kepada Namrud khabarnya bisa saling tukar dengan tidak mengurangi kesalahan dalam kelogisan bahasa145. Atau bisa dikatakan bahwa ism dhamir termasuk jenis mubtada yang mempunyai kolokasi terbebas dalam menentukan khabarnya. Dan untuk mendeteksi khabar yang lazim bersanding dengan ism dhamir tersebut haruslah melihat acuan yang menjadi rujukan bagi ism dhamir tersebut. Hampir seluruh dhamir munfashil bisa berfungsi sebagai mubtada. Selain kata #‫ أ‬dan 1# bisa ditemukan juga kata ‫ ه‬yang berfungsi sebagai mubtad dalam surat al-Baqarah dari masing-masing ism dhamir tersebut memiliki acuan yang berbeda-beda, seperti pada ayat yang ke 163 yang berbunyi ‫ ا ّﺡ‬1N‫ ه ا ّﺡ‬pada kalimat tersebut kata ‫ ه‬mengacu kepada Allah, sehingga kata yang menduduki posisi khabar yang akan mendampingi mubtada lazimnya menyesuaikan dengan

145

Badudu, J.S, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar III, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993 hal-26

75

kata yang menjadi acuan ism dhamir itu sendiri. Tidak mungkin khabar dari kata

‫ ه‬yang mengacu kepada Allah dengan menggunakan kata ;‫ا ه‬, artinya kebebasan berkolokasi kata yang menjadi khabar akan sangat bergantung kepada nomina yang menjadi acuannya146. Kolokasi bebas juga terjadi pada konstruksi maf`ul muthlaq. Dalam surat alBaqarah jenis kolokasi bebas yang berbentuk maf`ul muthlaq dapat dilihat pada ayat yang ke 35 yang berbunyi ‫'ا‬w‫ ر‬+ ‫ وآ‬yang menjadi maf`ul muthlaq pada kalimat tersebut adalah kata ‫'ا‬w‫ ر‬kata tersebut berkolokasi dengan kata ‫وآ‬147, maf`ul muthlaq yang terjadi pada kolokasi kata 'w‫ ر‬dengan kata ‫ وآ‬termasuk bentuk maf`ul muthlaq pengganti masdar yang memiliki sifat karena kata ‫'ا‬w‫ر‬ pada dasarnya adalah sifat dari kata ‫ اآ‬yang semestinya menjadi maf`ul muthlaqnya, namun tanpa kehadiran kata ‫ أآ‬yang diwakili oleh sifatnya ‫'ا‬w‫ر‬ secara gramatikal benar dan secara makna bisa dipahami. Relasi antara kata ‫'ا‬w‫ر‬ dengan kata ‫ وآ‬termasuk kolokasi bebas artinya relasi tersebut secara bebas bisa berganti-ganti pasangan, seperti kata ‫'ا‬w‫ ر‬bisa diganti dengan sifat yang lain seperti kata ‫ ﺵاه‬atau kata N# atau dengan kata yang lainnya, demikian juga dengan kata ‫ وآ‬bisa juga diganti kata seperti Y‫ واﺝ‬atau # dan lain sebagainya. Kolokasi dalam bentuk maf`ul muthlaq dapat ditemukan dalam beberapa ayat pada surat al-Baqarah, seperti halnya yang tercantum pada ayat yang ke 88 yang berbunyi 0 ‫ه‬92 ‫ ا‬+: ;, maf`ul muthlaq pada ayat tersebut adalah berupa kata  maf`ul muthlaq semacam ini merupakan maf`ul muthlaq sifat yang menggantikan masdar yang ditakdirkan adanya kata 0 #N‫إ‬. Sedangkan kolokasi bebas yang berupa maf`ul muthlaq tidak hanya terjadi pada sifat yang ditakdirkan menggantikan posisi masdar. Akan tetapi bisa juga terjadi pada kata ;‫ آ‬atau L:

148

, kedua kata ini bisa menjadi maf`ul muthlaq apabila disandarkan

kepada masdar yang posisinya menjadi maf`ul muthlaq seperti contoh yang 146

E. Zaenal Arifin dan Junaiyah H.M, Sintaksis untuk Mahasiswa Strata Satu Jurusan Bahasa atau Linguistik dan Guru Bahasa Indonesia SMA/SMK, Grasindo, 2006 hal-22 147 Shalih, `Abd al-Wahid , al-I`rab al-Mufashal li al-kitab Allah al-muratal, jilid 1 cet 2, Dar al-Fikr, 1998 hal-47 148 Al-Anshari, Ibn Hisyam , Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al-`Ashamai, cet-1, 1998 hal-282

76

termuat pada surat al-Nisa ayat 129: ;N ‫ ا آ; ا‬N 0 atau yang ada pada surat alhaqah ayat 44: ;‫ ا]و‬L: +O ‫ و  ل‬dari kedua contoh tersebut hakikatnya yang menjadi maf`ul muthlaqnya adalah kata ;N ‫ ا‬dan kata ;‫ ا]و‬namun karena sebelum kedua kata tersebut terdapat kata yang disandarkan kepadanya dan meruakan bagian darinya maka yang memangku posisi menjadi maf`ul muthlaq adalah kata ;‫ آ‬dan kata L:. Maf`ul muthlaq bisa berupa bilangan yang ditaqdirkan keberadaanya mewakili posisi masdar pada suatu kalimat, seperti contoh pada surat al-Nur ayat 4: ‫ ﺝ'ة‬1#N^ ‫ﺝ ده‬0 pada ayat tersebut kata yang menjadi maf`ul muthlaqnya adalah kata 1#N^ kata tersebut ditakdirkan menempati posisi masdar kata o‫'د‬O yang berkolokasi dengan kata ‫ﺝ ده‬0, tanpa kehadiran kata o‫'د‬O kalimat tersebut secara gramatikal dan secara semantik bisa diterima. Relasi antara kata ‫ﺝ ده‬0 dengan kata 1#N^ merupakan kolokasi bebas karena kedua kata tersebut dapat digantikan oleh kata yang lain. Jenis kolokasi bebas bisa juga berbentuk maf`ul li ajlih149, bentuk kolokasi ini banyak terdapat dalam surat al-Baqarah diantaranya terdapat pada ayat yang ke 19 yang berbunyi ‫ ت‬N ‫ ﺡ*ر ا‬O‫ ا @ّ ا‬1 #‫ [َذا‬/0 :.‫ ن أ‬: pada ayat tersebut yang menjadi maf`ul liajlih adalah kata ‫ﺡ*ر‬, ungkapan ‫ ﺡ*ر‬adalah alasan untuk melakukan menutup telinga atau :.‫ ن أ‬: dan begitu juga sebaliknya ‫ ن‬: :.‫ أ‬juga karena alasan

‫ﺡ*ر‬.

hubungan kata yang menempati posisi fi`il

dengan kata yang menempati posisi maf`ul li ajlih pada ayat tersebut termasuk kolokasi bebas karena kedua kata tersebut bisa diganti dengan kata yang lain150 seperti kata ُ:َ ِ َ.‫ن َأ‬ َ ُ:َ  ْ َ bisa dengan kata ‫ ت‬N ‫م ﺡ*ر ا‬N ‫ ا‬/@ demikian juga sebaliknya dengan kata ‫ ت‬N ‫ ﺡ*ر ا‬bisa juga diganti dengan kata /0 :.‫ ن أ‬: N.‫ أ‬O‫ ا @ّ ا‬1 #‫[ذا‬. Ma`ful liajlih mengandung makna antara kegiatan dengan alasan melakukan kegiatan dalam waktu yang bersamaan. Pada ayat diatas waktu 149

Maf`ul liajlih adalah masdar yang mengandung makna alasan untuk mengerjakan sesuatu, contoh ‫ا‬2‫ ﺝ' ﺵ‬kata ‫ا‬2‫ ﺵ‬adalah masdar dari kata ‫ا‬2‫ ﺵ‬yang mengandung makna alasan mengerjakan untuk berbuat baik atau '‫ ﺝ‬dan berbuat baik atau '‫ ﺝ‬juga alasan untuk melakukan syukur atau ‫ا‬2‫ﺵ‬ 150 John Sinclair, Susan Jones, and Robert Daley, English collocation studies: the OSTI report, Continuum International Publishing Group, 2004 hal-17

77

:.‫ ن أ‬:

bersamaan dengan waktu ‫ ت‬N ‫ ﺡ*ر ا‬, waktu menutup telinga

bersamaan waktu karena takut mati. Jika waktunya tidak bersamaan maka harus dibubuhkan huruf al-lam (‫م‬G‫)ا‬151 seperti contoh: ‫'ا‬w 1' ‫ ا‬F0' ‫ ا  م‬3$š‫ ﺝ‬peristiwa pada kalimat tersebut tidak bersamaan karena kedatangannya hari ini dan membayar hutangnya besok hari. Maf`ul li ajlih semacam ini bisa ditemukan dalam surat al-Isra ayat 78 yang berbunyi: gNm ‫ أ ا @ة ' ك ا‬dalam kalimat tersebut peristiwa ‫ أ ا @ة‬dengan gNm ‫ ' ك ا‬tidak bersamaan yang dikehendaki dari kegiatan ‫ أ ا @ة‬adalah setelah peristiwa gNm ‫ ' ك ا‬. Kolokasi yang dalam ayat tersebut termasuk kolokasi bebas karena hubungan antara kata ‫ أ‬dengan kata ‫ ' ك‬masing-masing tidak ada keterikatan dalam pemakaianannya, dan masing-masing kata tersebut bisa berganti-ganti dengan pasangan kata yang lain seperti contoh kata ‫ ' ك‬yang berfungsi sebagai maf`ul li ajlih bisa diganti dengan kata ‫ ا‬N‫ء آ‬Oz maka akan menjadi kalimat ‫أ‬ ‫ ا‬N‫ء آ‬Oz ‫ ا @ة‬dan begitu juga dengan kata ‫ أ ا @ة‬bisa diganti dengan kata yang lain seperti contoh: gNm ‫وا ' ك ا‬S0‫أ‬.

Kombinasi masing-masing kata

tersebut akan mempengaruhi makna sesuai dengan konteksnya152. Kata ‫أ ا @ة‬ dalam konteks ayat tersebut mempunyai makna shalat dhuhur, `Ashar, Maghrib dan Isya153, berbeda dengan makna ‫ أ ا @ة‬pada kalimat ‫ ا‬N‫ء آ‬Oz ‫أ ا @ة‬ pada kalimat ini kata ‫ أ ا @ة‬mempunyai makna semua shalat baik itu shalat wajib waupun shalat yang sunat. Kolokasi bebas bisa juga terjadi pada maf`ul bih154. Dalam surat al-Baqarah kolokasi dalam bentuk ini dapat ditemukan dalam beberapa ayat diantaranya pada ayat yang ke 30 yang berbunyi V‫ ا]رض ﺥ‬/0 ;O‫ ﺝ‬/ّ#‫ إ‬2?N 3ّ‫ وإذ ل ر‬, pada ayat tersebut kata yang berfungsi sebagai maf`ul bih adalah kata 9‫ﺥ‬. Kata 9‫ ﺥ‬pada ayat tersebut merupakan kata yang kehadirannya lazim adanya karena tanpa 151

Muhammad Ali Sulthani, Al-Syawahid al-Nahwiyyah Juz 4, Dar al-Ashma, Damaskus

Syria, 2001 152

Mona Baker, In Other Words a coursebook on translation, Routledge, 1992 hal-53 Suyuthi, Tafsir jalalain h. 106 154 Sa`id al-Afghani, al-Mūjiz fi al-Qawaid al-Lughah al-`Arabiyyah, Dar al-Fikr, alkutub al-iliktroniyat. Maf`ul bih adalah ism yang terletak setelah adanya fi`l dan fa`il dan maf`ul bih merupakan obyek dari hasil kegiatan yang dilakukan oleh fa`il. 153

78

adanya kata 9‫ ﺥ‬menjadikan kalimat tersebut tidak jelas dan pesan yang akan disampaikan tidak sempurna. Pada ayat tersebut relasi kata antara 9‫ ﺥ‬dengan kalimat ;O‫ ﺝ‬/#‫ إ‬adalah bentuk kolokasi, artinya relasi tersebut merupakan kelaziman yang mesti ada, tanpa kehadiran salah satu darinya maka kalimat tersebut tidak bermakna155, contoh, apabila kata tersebut dihilangkan kata /#‫إ‬ berarti hanya 9‫ ا]رض ﺥ‬/0 ;O‫ ﺝ‬kalimat tersebut masih dipertanyakan siapa pelakunya, dan jika dibuang kata ;O‫ ﺝ‬kalimat tersebut mempunyai arti yang sempurna akan tetapi pesan yang disampaikan berbeda dari semula, berbeda jika yang dibuang kata ‫ ا]رض‬/0 maka kalimat tersebut masih memuat pesan yang sama hanya kehilangan keterangan tempat. Bentuk kolokasi maf`ul bih tidak hanya terjadi pada ism dhahir saja namun bisa juga terjadi pada ism dhamir156 seperti contoh ‫ ن‬9+ ‫ه‬+‫ رز‬N‫و‬, maf`ul bih pada kalimat tersebut adalah ism dhamir ‫ه‬. Kolokasi antara fi`il ‫رزق‬, fâ`il # dan maf`ul bih ‫ ه‬akan menghasilkan makna baru yang lahir karena konteks dari pada kalimat tersebut, fi`l ‫ رزق‬melahirkan makna memberikan rizki, fâ`il # melahirkan makna kita yang mengacu nominanya kepada ‫ ا‬sedangkan maf`ul bih ‫ه‬ mempunyai makna mereka yang mengacu kepada orang-orang mukmin. Jika kata itu tidak saling berkorelasi maka kata tersebut tidak mempunyai makna demikian dan hanya memiliki makna dasar157 saja seperti kata ‫ رزق‬hanya memiliki makna memberi rizki, huruf # hanya akan melahirkan makna kita dan dhamir ‫ ه‬hanya akan melahirkan makna mereka. Oleh karena itu menurut Mona Baker tidak dapat disangkal bahwa sebuah kata dalam sebuah kalimat akan mempunyai makna masing-masing walaupun kata itu sama158, contoh kata kering, kata ini akan melahirkan makna yang berbeda-beda jika berada pada tempat yang berlainan, walaupun arti dasar kering adalah bebas dari air namun setelah kata tersebut 155

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia:Pendekatan Semantik terhadap Tuhan, diterjemahkan oleh Agus Fachri Husein, Supriyanto Abdullah, dan Amirudin, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, cet-2, 2003 hal-10 156 Ibn `Ushfur al-Isybali, Syarh al-Jumal al-zijaji juz 1, yang ditahqiq oleh Shahib Abu Janah, Kairo Mesir, 1971, hal- 127 157 Makna dasar oleh izutsu diartikan sebagai sebuah makna yang selalu dibawa bersamanya dimanapun kata itu berada dan selalu merupakan inti konseptual kata tersebut. 158 Mona Baker, In Other Words a Coursebook on Translation, Routledge, 1992 hal-53

79

berkorelasi dengan kata yang lain akan melahirkan makna baru, seperti contoh: Baju kering, badan kering, tenggorokan kering. Baju kering mempunyai makna bahwa baju tersebut tidak berair lagi, badan kering mempunyai makna kurus dan tenggorakan kering mempunyai makna haus. Kolokasi bebas juga bisa terjadi dalam bentuk al-hal159, kolokasi semacam ini dalam surat al-Baqarah terdapat pada ayat yang ke 25 yang berbunyi ‫ ا ه*ا‬ m$  ‫; وأ ا‬D 1 +‫ ا ّ*ي رز‬pada ayat tersebut al-halnya adalah kata m$ sedangkan shahibul halnya adalah dhamir muthashil ‫ا ء‬, al-hal pada ayat tersebut adalah al-hal yang berbentuk ism fâ`il yang mengikuti wazan ;O9$ yang merupakan turunan dari verba ;w9, sedangkan shahibul halnya merupakan ism ma`rifat yang merupakan ism dhamir. Menurut Zamakhsari al-hal selain berupa ism fâ`il bisa juga berupa ism sifat160, seperti contoh pada ayat yang ke 29: ‫ه ا ّ*ي‬ :N‫ ا]رض ﺝ‬/0  2

‫ﺥ‬, pada ayat tersebut al-halnya adalah berupa kata :N‫ﺝ‬

sedangkan shahibul halnya adalah kata ‫ ا]رض‬, al-hal bisa juga berupa ism tafdhil dan ism musyabahat. Kolokasi kata pada ayat ke 25 antara al-hal dengan shahibul hal merupakan kolokasi bebas karena kata yang menjadi al-hal bisa dipasangkan pada kata yang lain dalam posisi yang berbeda seperti contoh: ً:N‫; ﺝ‬N: ‫ ا [ن وا‬+N:$0 , demikian juga dengan shahibul hal juga dapat dipasangkan dengan kata yang lain. Dengan demikian penulis dapat mengatakan bahwa dalam suatu kalimat mesti adanya kombinasi antar kata yang akan melahirkan makna. Tanpa adanya kombinasi antar kata maka bahasa akan menjadi mati. Kombinasi antar kata ada yang sifatnya predictible atau bisa diduga kemunculan kata berikutnya ada juga yang tidak dapat diduga. Kemunculan kata yang kemunculannya dapat diduga itulah yang disebut dengan kolokasi.

2. KOLOKASI TERBATAS 159

Al-Hal adalah sifat yang berupa ism fa`il, ism maf`ul sifat musabahat atau ism tafdhil yang berupa ism nakirah yang kehadirannya merupakan penjelasan tentang keadaan shahibul alhal. 160 Abi al-Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamahsari, al-Mufashal fi al-Ilm al-Lughat, Dar Ihya al-Ulum, Bairut Libanon, hal-78

80

Kolokasi terbatas merupakan kombinasi dua kata atau lebih yang pada umumnya ketersandingannya merupakan suatu kelaziman161. Kelaziman relasi antar kata merupakan kombinasi yang terjadi secara teratur, tidak mengandung makna idiomatik dan masih mengikuti ketentuan struktur bahasa yang berlaku, serta keterbatasan. Kemunculan kata yang menjadi bagian dari kolokasi ini dapat diramalkan karena penggunaannya yang terbatas, dan ada beberapa kata yang kemunculannya sangat terbatas sekali162 seperti penggunaan kata spick dalam bahasa Inggris dapat diramalkan akan muncul juga kata span karena kata tersebut muncul khusus pada ungkapan spick-and-span. Sinonim atau kata yang mempunyai kedekatan makna juga akan mempengaruhi dalam penggunaan kolokasi terbatas163 seperti kata raya, besar, agung. Kata-kata ini mempunyai persamaan dan kedekatan makna akan tetapi dalam penggunaannya tidak bisa sembarangan, pada satu sisi kata-kata tersebut lazim untuk berpasangan dengan kata yang sama akan tetapi lain sisi kata-kata tersebut harus tepat dalam pemakainnya, seperti ungkapan jalan raya dengan jalan besar secara semantik bisa diterima akan tetapi berbeda dengan ungkapan jalan Agung ungkapan ini tidak lazimnya dipakai dalam berbahasa yang benar. demikian juga dengan sinonim dan kata yang mempunyai kedekatan makna dalam bahasa Arab memiliki penempatan yang lazim dalam suatu ungkapan. Seperti kata %N% dengan kata %A%‫ ﺥ‬kedua kata ini untuk menunjukan gerakan air, akan tetapi kelaziman dalam mengungkapkan perlu penempatan yang tepat, kata %N% digunakan untuk mengungkapkan gerakan air yang ada dalam mulut sedangkan kata %A%‫ ﺥ‬digunakan untuk mengungkapkan gerakan air yang berada dalam wadah164. Maka lazimnya mengatakan N0 /0 ‫ء‬N ‫ ا‬LN% dan LA%‫ﺥ‬

161

Nesselhauf, Nadja, Collocations in a Learner Corpus, John Benjamins Publishing Company, 2004 hal-12 162 Laurel J.Brinton dan Minoji Akimoto, collocational and Idiomatic Aspects of Composite Predicates in the History of English, John Benjamins Publishing Company, Philadepia Amst John Benjamins Publishing Company, Philadepia Amsterdam, 1999 hal-8 163 Soedjito, Kosa Kata Bahasa Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, 1989 hal-81 164 Ibrahim Syamsu al-Din, Marja` al-Thulab fi al-Insya, Dar al-kutub al-`Ilmiyyah, Bairut Libanon, 2000 hal-164

81

‫ ب‬2 ‫ ا‬/0 ‫ء‬N ‫ ا‬dan ungkapan tersebut tidak bisa dibalik dengan ‫ ب‬2 ‫ ا‬/0 ‫ء‬N ‫ ا‬LN% dan N0 /0 ‫ء‬N ‫ ا‬LA%‫ﺥ‬. Bentuk kolokasi dari masing-masing bahasa akan berbeda-beda. Kolokasi dalam bahasa Indonesia menurut E.zaenal Arifin dan Junaiyah H.M. mengklasifikasikan kolokasi kedalam 2 bentuk165 yaitu kolokasi yang terjadi antara nomina dengan adjektif contohnya: anak cerdas, orang sabar, iklan penting. Kedua kolokasi yang terjadi antara adjektif dengan nomina contohnya: biru laut, hangat-hangat kuku, kuning langsat dan seterusnya. Sedangkan kolokasi dalam bahasa inggris menurut Dwight Bolinger terbagi kedalam 7 bentuk166 yaitu kolokasi yang terjadi antara verb dengan noun atau pronoun, contohnya reach a verdict, Launch a missile, kolokasi yang terjadi antara adjective dengan noun contohnya strong tea bukan mighty tea, kolokasi yang terjadi antara noun dengan verb, verb disini berfungsi sebagai nama sebuah aksi seseorang atau sesuatu yang menunjukan pada noun contohnya bees buzz, boms explode, kolokasi yang terjadi pada unit yang diasosiasikan dengan noun contoh a school of whales, an act of violence, kolokasi yang terjadi antara adverb dengan adjective contoh deeply absorbed, keenly aware, dan kolokasi yang terjadi antara verb dengan adverb contohnya affect deeply, appreciate sicerely. Bentuk kolokasi terbatas dalam surat al-Baqarah dapat diklasifikasikan menjadi 11 tipe yaitu: a. Kolokasi yang terjadi antara noun dengan verb. Noun disini berfungsi sebagai subyek, atau lebih tepat disebut dengan konstruksi fi`l fâ`il contohnya: ‫ر ر‬167,kolokasi semacam ini disebut dengan kolokasi terbatas karena relasi antara kata ‫ ر‬yang berfungsi sebagai fi`l terbatas hanya bisa berpasangan dengan kata ‫ رة‬sebagai fâ`ilnya168 ataupun dengan kata yang lain yang memiliki sifat perdagangan, akan tetapi kata ‫ر‬ 165

E. Zaenal Arifin dan Junaiyah H.M, Sintaksis Untuk Mahasiswa Strata Satu Jurusan Bahasa atau Linguistik dan Guru Bahasa Indonesia SMA/SMK, Grasindo, Jakarta hal-29 166 Dwight Bolinger, Aspects of Language, Harcout Brace Jovanovich, inc, United State of America, 1975 hal-114 167 QS: 2: 16 168 Kinga Devenyi, Collocation in Arabic (MSA) and treatment of Collocations in Arabic Dictionaries, makalah ini dipresentasikan pada acara Proceedings of the Colloquium on Arabic and Lexicography, Etvs Lorand University & Csoma de Krs Society, Budapest, 2007

82

setelah diderivasikan menjadi kata benda bisa berpasangan beberapa kata yang lain yang masih berhubungan dengan perdagangan seperti contoh: t‫ ر‬,Y ‫ ا‬t‫ر‬ t ‫ ﺡ' ا‬,t ‫ د ; ا‬,D% ‫; ا‬D t ‫ ا‬,‫دى‬: ‫ ا‬t ‫ ا‬,‫ ا @ف‬t‫ ر‬,/ N‫ إﺝ‬dan seterusnya. Sedangkan kata ‫ رة‬sendiri selain bisa menjadi fâ`il bisa juga berpasangan dengan kata yang lain dengan posisi i`rab yang bermacam-macam contoh: ‫رة‬ ‫رة‬$ ‫ ﺡ ا‬77 ,  ‫ا‬. Kolokasi terbatas yang posisinya fi`l fâ`il selain konstruksi ‫رة‬$ ‫ر ا‬ adalah kata '‫ أ‬D$‫آ‬169 relasi antara kata D$‫ آ‬sebagai fi`l dan kata '‫ أ‬sebagai fâ`ilnya memiliki keterbatasan pada penggunaan D$‫ آ‬karena yang melakukan kegiatan menulis pasti tangan dan tidak ada anggota badan atau benda apapun yang melakukan kegiatan menulis, meskipun fâ`il tersebut diganti dengan kata yang lain maka maksud konteksnya mengacu kepada tangan contoh: ‫*ة‬N$ ‫ ا‬D$‫آ‬ ‫ ا 'رس‬dari contoh ini kata ‫*ة‬N$ ‫ ا‬dalam melakukan D$‫ آ‬menggunakan tangan. Keterbatasan kolokasi kata >$‫ آ‬tidak memungkinkannya kata tersebut mempunyai fâ`il selain manusia170, contoh ‫ ا  س ا 'رس‬D$‫ آ‬secara gramatikal susunan kalimat tersebut benar karena ada fi`l ada fâ`il dan ada maf`ul bih namun secara semantik kalimat tersebut tidak benar karena tidak mungkin seekor kerbau menulis pelajaran, sedangkan kata kerja menulis mengandung perbuatan yang biasa dilakukan oleh manusia. Kolokasi terbatas dalam surat al-Baqarah yang berupa fi`l fâ`il diantarnya lagi berupa susunan kalimat

171

‫ر‬#]‫ ا‬+ ّ9$. Pada susunan gramatikal kalimat

tersebut fi`lnya adalah berupa kata 9$ dengan fâ`il kata ‫ر‬#]‫ا‬, susunan fi`l fâ`il antara kata 9$ dengan kata ‫ر‬#]‫ ا‬merupakan kombinasi kata sebagai bagian dari kolokasi terbatas, artinya fi`l 9$ yang paling lazim untuk mendampinginya sebagai fâ`ilnya adalah berupa kata yang berkaitan dengan air. Contoh kalimat yang menggunakan kata 9$ adalah ungkapan ‫د‬: ‫ وا‬Vّ ‫ّ ا  ض ا‬9$172. Fâ`il dari pada kalimat tersebut adalah kata ‫ ا  ض‬yang mempunyai arti kolam, yang tentunya kolam yang dimaksudkan disini adalah kolam yang mengandung air. 169

QS: 2: 79 Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, PT. Rineka Ilmu, Jakarta, 2000 171 QS : 2 : 74 172 Muhammad Ibn Mukaram Ibn Mandzur al-Afriki, Lisan al-`Arab, Dar Shadir, Bairut Libanon, 1996. 170

83

b. Kolokasi yang terjadi antara noun dengan verb Kolokasi yang terjadi antara noun dengan verb yang kedua ini berbeda dengan kolokasi yang pertama, pada kolokasi yang kedua noun berfungsi sebagai obyek (maf`ul bih) contohnya ' ‫أﺡز‬, konstruksi tersebut terjadi antara fi`l yang berupa kata ‫ أﺡز‬dan kata ' sebagai maf`ulnya. Dalam surat al-Baqarah terdapat beberapa kata yang termasuk kedalam kolokasi terbatas yang terjadi antara noun dengan verb dimana noun berfungsi sebagai obyek contoh: ‫ ا ا @ّة‬N‫أ‬173 kombinasi antara kata ‫ ا‬N‫ أ‬dengan kata ‫ ا @ة‬merupakan kolokasi terbatas karena relasi kata tersebut hanya berhubungan dengan kata yang mengandung makna tuntutan yang harus dikerjakan dengan wajib yang pelaksanaannya dengan melakuakan tindakan fisik. Contoh kalimat lain yang menggunakan kata ‫ ا‬N‫أ‬ terdapat pada atsar yang berbunyi: N‫وﺽ‬0 ‫ و‬N‫ ا ﺡ'وده‬N‫أ‬174 pada ungkapan ini kata ‫ ا‬N‫ أ‬mengandung tuntutan yang harus dilakukan berupa hukuman-hukuman dan kewajiban-kewajibannya. Contoh lainnya berupa ungkapan ‫ ا‬N‫ وأن أ‬,1' ‫ ا ا‬N‫أ‬ 20 9. ‫ ا‬N‫ أ‬,'Y ;‫' آ‬+O 2‫ وﺝ ه‬dari contoh-contoh yang ada semuanya mengandung makna bahwa kegiatan yang dilakukan berupa kegiatan fisik. Berbeda dengan ungkapan ‫آة‬6 ‫[َ ا ا‬, ungkapan ini juga menekankan untuk melaksanakan kewajibannya yaitu membayar zakat, perbedaan dari kata ‫ ا‬N‫أ‬ dengan ‫ أ ا‬adalah fâ`il yang mesti bersanding dengannya. Kata ‫ ا‬N‫ أ‬lazimnya mempunyai fâ`il berupa aktivitas yang melibatkan fisik sedangkan ‫ أ ا‬akan memiliki variasi makna apabila bersanding fâ`il yang berbeda-beda contoh: ‫ ا‬2Yf0 T7  ‫ أ ا‬T$‫ﺡ‬175 kata ‫ أ ا‬bersanding dengan kata T7  tidak lagi mempunyai arti membayar akan tetapi datang, ‫ أ ا‬bersanding dengan kata @‫ ﺵ‬mempunyai arti membekali176. c. Kolokasi yang terjadi antara verb + preposition+noun

173

QS : 2 : 43 Al-Atsar yang diriwatkan oleh Ahmad. 175 Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Ghalib al-Amali Abu Ja`far al-Thabari, Tafsir al-Thabari, Majma` al-Malak fahd li al-Thaba`at al-Mushaf al-Sharif, 2000 176 Muhammad Ibn Mukaram Ibn Mandzur al-Afriki, Lisan al-`Arab, Dar Shadir, Bairut Libanon, 1996. Lihat juga Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer ArabIndonesia, Multi Karya Grafika, Pondok Krapyak. 174

84

Noun disini berfungsi sebagai obyek tidak langsung yang datang setelah preposisi contoh: ‫ض‬: ,;?‫ 'ا‬1 ‫ر‬$‫ اﺥ‬,‫ض‬w / ‫ ا‬/:7 ,% 1O ‫*ر‬$O‫ ا‬,' 1O DO XAN . dalam surat al-Baqarah dapat dilihat pada beberapa ayat yang mengandung kolokasi yang terdiri atas verb+preposisi+noun contohnya:  1‫أ‬177 konstruksi kalimat tersebut terdiri dari kata 1‫ أ‬sebagai verbnya digabung dengan preposisi huruf al-ba(‫ء‬D ‫ )ا‬yang digabung dengan kata ‫ أ‬sebagai noun yang berfungsi sebagai obyek. Kolokasi yang terjadi antara kata 1‫ أ‬yang diantarai dengan noun ‫أ‬ merupakan kolokasi terbatas karena kombinasi yang terjadi antara kata 1‫ أ‬dengan noun yang menjadi obyeknya kemunculannya sudah dapat diprediksi yaitu berkisar ,‫ ل ا‬7 1[ ,‫ا  م ا]ﺥ‬

178

kolokasi yang konstruksi susunannya terdiri

dari verb+preposisi+noun tidak terbatas pada verb tertentu ataupun preposisi tertentu pula seperti contoh: ‫ء‬NY ‫ ا‬1 ‫ل‬6#‫أ‬

kombinasi antara kata ‫ل‬6#‫ أ‬yang

diantarai dengan preposisi 1 diprediksikan akan mempunyai obyek yang berupa kata yang posisinya diatas seperti AYN ‫ درﺝ ا‬1 ‫ل‬6#‫أ‬179‫ ا @دق‬$‫ آ‬1 ‫ل‬6#‫أ‬180. d. Kolokasi yang terjadi antara noun dengan adjective Kolokasi semacam ini lebih dikenal dengan konstruksi sifat maushuf atau na`at man`ut contoh: 6‫ ﺡﺝ‬, % ,  ‫ت‬O ,S Dw‫ أ‬,A‫ ﺝ' ﺽ‬,/‫ء ذا‬9$‫اآ‬ /Y9#, dari contoh-contoh yang ada merupakan kolokasi terbatas karena menurut Devenyi kata  ,  , S ,‫ ﺽ‬,/‫ذا‬, dan kata /Y9# merupakan kata yang menyifati kata yang menjadi maushufnya secara reguler dan kemunculan kata tersebut sebagai sifat pada kata yang disifati dapat diprediski dalam otak pembaca atau pendengar. Kolokasi yang semacam ini dalam surat al-Baqarah dapat dilihat dalam beberapa ayat seperti RO ‫*اب‬O pada ungkapan tersebut kata RO merupakan sifat dari kata ‫*اب‬O, kombinasi dari kedua kata tersebut menurut Abdulmoneim 177

QS : 2 : 8 Kinga Devenyi, Collocation in Arabic (MSA) and treatment of Collocations in Arabic Dictionaries, makalah ini dipresentasikan pada acara Proceedings of the Colloquium on Arabic and Lexicography, Etvs Lorand University & Csoma de Krs Society, Budapest, 2007 179 Kalimat ini diambil dari buku, Futuhat al-Makah, yang mengandung makna keadaan yang sederajat dengan raja. 180 Contoh ini dikutip dari buku, Khuliyat al-Auliya yang ditulis oleh Abu Nu`aim alAshabani. 178

85

Mahmoud181 merupakan tipe kolokasi terbatas karena dengan adanya kata ‫*اب‬O maka sifat yang akan muncul dapat diprediksi yaitu berkisar kata ‫*اب‬O , ‫*اب أ‬O ''‫*اب ﺵ‬O ,1D ‫*اب‬O ,1. Menurut Mohammad Abdelwali182 kolokasi semacam ini tidak bisa dipaksakan karena pasangan kata tersebut sudah merupakan suatu kebiasaan183. e. Kolokasi yang terjadi antara noun dengan noun Kolokasi yang terjadi antara noun dengan noun dalam susunan kaidah bahasa Arab lebih dikenal dengan istilah Idhâfat, yakni kata yang kedua berfungsi sebagai penjelas bagi kata yang pertama, dan pada konstruksi

tersebut

didalamnya mengandung huruf jar min (1), lam (‫م‬G‫)ا‬, fi (/0) ataupun huruf al-kaf tasbih (‫ف‬2 ‫)ا‬184 contoh: F' ‫ ا‬p p ,; ‫ ا‬7 ,*N ‫ب‬$‫ آ‬,>‫ ار ذه‬7 dari contoh yang ada bisa diklasifikasikan bahwa contoh yang pertama yang berbunyi >‫ ار ذه‬7 merupakan bentuk idhâfat yang ditakdirkan mengandung huruf jar 1 atau selengkapnya bisa menjadi >‫ ذه‬1 ‫ ار‬7, dan contoh yang kedua yang berbunyi * ‫ب‬$‫ آ‬pada contoh ini ditakdirkan mengandung huruf jar ‫م‬G‫ ا‬atau selengkapnya menjadi *N$ ‫ب‬$‫ آ‬sedangkan contoh yang ketiga yang berbunyi ; ‫ ا‬7 ditakdirkan mengandung huruf jar /0 atau selengkapnya menjadi ; ‫ ا‬/0 7 dan contoh yang keempat ditakdirkan mengandung huruf jar ‫ف‬2 ‫ ا‬atau selengkapnya menjadi F' ‫ آ‬p p . Kolokasi terbatas yang berbentuk idhâfat dalam surat al-Baqarah dapat dilihat pada beberapa ayat seperti contoh konstruksi

185

‫ ت‬N ‫ﺡ*ر ا‬, kombinasi kata

‫ ﺡ*ر‬dengan ‫ ت‬N ‫ ا‬merupakan idhâfat yang ditakdirkan mengandung huruf jar Min atau ungkapan lengkapnya menjadi ‫ ت‬N ‫ ا‬1‫ﺡ*ر‬. Kombinasi antara kata ‫ﺡ*ر‬ dengan ‫ ت‬N ‫ ا‬menurut Bolinger termasuk kedalam kolokasi terbatas karena dengan 181

Abdulmoneim Mahmoud, Collocation Errors Made Arab Learners of English, Teachers Articles, Agustus 2005 hal-2 182 Mohammad Abdelwali adalah lahir di Irbid yordania utara, dia mendapat gelar BA dalam bidang bahasa Inggris, kemudian mendapat gelar MA dari Universitas Yarmouk Yordania pada bidang penerjemahan dan tafsir pada tahun 2002 kemudian mendapat gelar PhD pada tahun 2006 dari Universitas Purdue India. 183 Mohammad Abdelwali, The Loss in The Translation of the Qur`an, Translation Journal, Volume 11 no.2 April 2007 184 Al-Ghulayaini, Musthafa, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, Dar al-Hadits, Kairo Mesir, 2005 hal-584 185 QS : 2 : 19

86

adanya kata ‫ ﺡ*ر‬sebagai kata kuncinya menuntut sebuah kata yang sudah dapat diprediksi kemunculanya sebagai pendamping ketika akan dijadikan susunan idhâfat186, seperti halnya kata ‫اب‬K ‫ ﺡ*ر ا‬1 > ‫ر ا‬S0, ataupun kata  : ‫ﺡ*ر ا‬. f. Kolokasi yang terjadi antara verb dengan adverb Kolokasi yang terjadi antara verb dengan adverb dalam gramatikal bahasa Arab bisa diklasifikasikan menjadi beberapa istilah yaitu: maf`ul Muthlaq, maf`ul li Ajlih, maf`ul fih, dan al-hal. Kata yang masuk kedalam kolokasi maf`ul muthlaq adalah berupa masdar dari fi`l itu sendiri yang berfungsi sebagai penguat aktivitas yang dikerjakan contoh: N2 T7  ‫وآ ا‬187 pada kalimat tersebut yang menjadi maf`ul muthlaqnya adalah kata N2 yang berfungsi sebagai penguat “ Ta`kid “ kata ‫آ‬, disamping itu maf`ul muthlaq juga berfungsi sebagai penjelas jumlah bilangan terhadap kegiatan yang dilakukakan contoh: 1$9‫ و‬9‫و‬, dan maf`ul muthlaq juga berfungsi sebagai penjelas dari sifat kegiatan yang dilakukan contoh: ‫ء‬: ‫ ا‬7 ‫ت‬7. Dalam surat al-Baqarah yang termasuk bagian dari kolokasi terbatas dari jenis maf`ul muthlaq contohnya adalah ‫ ا‬KD. dari konstruksi kata tersebut yang menjadi maf`ul muthlaq adalah kata KD. sedangkan madlulnya adalah kata ....... g. kolokasi yang terjadi antara adjective dengan adverb contoh: K >:. ,.. ‫ ب‬7 ; ّ ‫ أ‬,K ‫'ود‬ h. kolokasi yang terjadi antara noun+preposition+noun contoh: 29$ ‫ ا‬/0 ‫ ب‬7‫ أ‬,SY ‫ ا‬TO ‫اع‬. ,‫ار‬$7‫ ا‬TO S‫ ﺥ‬,‫ق‬S ‫ ا‬1 2D‫ﺵ‬, i. kolokasi yang terjadi antara adjective dengan noun contoh: ‫ق‬S+ ‫ ا‬F7‫ وا‬,‫ت‬Y+ ‫'د ا‬:$ , ‫ ﺵ'' ا‬,;‫ﺝ‬G‫ @ ا‬,‫ ا 'ارة‬0‫ و‬,6$ ‫ ا‬1Y‫ﺡ‬, 3. Kolokasi Yang Berupa Sinonim Pada pembahasan kolokasi sinonim ini penulis perlu kiranya untuk menampilkan prinsip-prinsip sinonim, hal ini penting untuk dikemukakan disini dengan alasan sebagai pijakan untuk menganalisa kata yang terdapat pada surat alBaqarah yang termasuk bagian dari kolokasi, karena sinonim sendiri bagi

186

Dwight Bolinger, Aspects of Language, Harcout Brace Jovanovic, Inc, United State of America, cet ke 2,1975 hal-101 187 QS : 4 : 164

87

kalangan linguis mengandung perdebatan yang cukup ketat sehingga penulis perlu mengambil sikap sinonim yang seperti apa yang dimaksudkan dalam kolokasi ini. Ada dua pendapat yang menyikapi tentang keberadaan sinonim dalam sebuah bahasa. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa sinonim ini ada dan yang kedua menyatakan bahwa sinonim itu tidak ada. Pendapat yang menyatakan bahwa sinonim tidak ada beralasan bahwa walaupun kata itu mempunyai makna yang sama namun disisi lain mempunyai perbedaan. a. Tokoh linguis yang menolak sinonim Salah satu diantara tokoh linguistik yang menolak adanya sinonim adalah Abu Hilal al-`Askari188 yang menyatakan bahwa sinonim dalam bahasa Arab itu tidak ada dan ia sendiri mengemukakan segala perbedaan yang muncul dari katakata yang dianggap memiliki kesamaan dan kemiripan makna, hal ini dituangkan dalam bukunya yang berjudul al-Furuq al-Lughawiyyah189. Buku ini secara tegas menyatakan bahwa sinonim dalam bahasa Arab itu tidak ada sekaligus menerangkan perbedaan-perbedaan dari masing-masing kata yang dianggap bersinonim dan memiliki kemiripan makna. Dalam bukunya Abu Hilal memberikan contoh perbedaan antara al-khayat dengan al-Namau190, perbedaan antara al-khayat dengan al-ruh191, perbedaan antara al-Khayat dengan al-‘Isyu192. Demikian juga dengan Akhmad Ibn al-Faris dalam kitabnya yang berjudul alShahibi fi fiqh al-Lughah. Dia memberikan contoh dalam bab pemberian nama. 188

Nama lengkapnya adalah al-Hasan Ibn `Abd Allah ibn sahl ibn Sa`id ibn Yahya ibn Mahran al-`Askari , dia lahir didaerah Askari yaitu daerah antara Bashrah dan paris maka namanya dinisbahkan kesana, menurut Suyuthi dia meninggal kira-kira setelah tahun 400 H, Abu Hilal pernah belajar ilmu Hadits, fiqh, Sastra dan Ilmu Bahasa akan tetapi dia seorang ahli sastra dan syair. 189 Abu Hilal al-`Askari, al-Furuq fi al-Lughah, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut Libanon, 1979 h. 14 190 Menurut Abu Hilal al-khayat cenderung pertumbuhan yang sifat berjumlah besar seperti firman Allah SWT :   ': ‫  ا]رض‬1‫ﺡ‬f0 sedangkan al-Namau cenderung pertumbuhan yang sifatnya sedikit demi sedikit yang terjadi pada tumbuhan bukan pada benda mati, sedangkan kalau tumbuhnya pada benda mati dengan cara sedikit demi sedikit menggunakan istilah alZiyadat. 191 Al-Ruh adalah sesuatu yang berhubungan dengan al-Khayat dan jika al-ruhnya hilang maka al-khayat tetap ada namun tidak berfungsi lagi sedangkan al-khayat adalah zat yang nampak yang menjadi sandaran al-ruh. 192 Abu Hilal juga membadingkan kata al-khayat dengan al-ma`isyat, menurutnya ma`isyat adalah nama yang menjadikan sebab adanya al-khayat contoh minum, makan, tidur, istirahat. Kegiatan-kegiatan itulah yang disebut dengan al-ma`isyat yang akan membawa kepada kelangsungan al-khayat.

88

Pada bab tersebut ia menyebutkan bahwa pedang mempunyai banyak nama seperti al-Syaif, al-Khusam ataupun al-Muhanad menurutnya pada dasarnya nama-nama tersebut adalah nama yang satu yaitu al-Syaif

sedangkan yang

lainnya merupakan nama pengganti ataupun sifatnya. Ahli bahasa lain yang menolak adanya sinonim adalah Abu al-Baqa al-Kafwi yang mengarang kitab al-Kuliyyat193. Dalam kitabnya ini ia menerangkan perbedaan kata-kata yang dianggap bersinonim. Contohnya adalah perbedaan antara itsm dan wizr, dzamb dan ma`shiyyah, Jarm, dzambu dan `ishyan. Ibn Durstuwaih berkata, tidak mungkin kata af`ala dan fa`ala memiliki kata makna yang sama, begitu juga pada dua buah kata yang berbeda, kecuali itu berasal dari dialek yang berbeda. Adapun jika itu berasal dari dialek yang sama maka sebuah kemustahilan dua kata memiliki makna yang sama. Sebagaimana diyakini oleh sebagian besar ahli bahasa, hal itu disebabkan karena ketidak tahuan tentang perbedaan diantara kedua kata tersebut. Selain tokoh linguis diatas masih banyak lagi yang menyatakan bahwa sinonim secara mutlak itu tidak ada. Tokoh yang berpendapat semacam ini adalah Abu `Abdillah Muhammad Ibn Ziad al`Arabi (w.231H), Abu al-`Abas Ahmad Ibn Yahya Tsa`lab (w.291 H), Abu Muhammad `Abdullah Ibn Ja`far Ibn Durstuwiyyah (w.330 H) Abu `Ali al-Farisi (w.377.H)194. Pendapat yang senada juga sampaikan oleh linguis modern Mohammad Abdelwali yang menyatakan bahwa kata Nazzala dengan kata Anzala tidak mungkin memiliki makna yang sama. Dari masing-masing kata itu mempunyai penempatan yang berbeda. Dia mencontoh perbedaan kedua kata tersebut pada QS: al-Nisa: 3 yang brbunyi ;#z‫ رة وا‬$ ‫ل ا‬6#‫ ' وأ‬1 N '@   ‫ب‬$2 ‫ ا‬3O ‫ل‬6# pada ayat tersebut walapun antara kata ‫ل‬6# dengan ‫ل‬6#‫ أ‬mempunyai makna yang sama yaitu menurunkan akan tetapi dalam penerampannya berbeda. Kata ‫ل‬6# menurut Abdelwali mengandung makna menurunkan dengan cara bertahap atau berangsur-angsur, sedangkan ‫ل‬6#‫ أ‬mengandung makna menurunkan dengan cara 193

Ahmad Mukhtar Umar, `Ilmu al-Dalalah, Kuwait: Maktabah Dar al-Urubah, 1982

h.219 194194

Farid `Ibad Haidar, Ilmu al-Dilalah Dirasat Nadriyat wa Tatbiqiyat, maktabat alAdab, Kairo, Mesir, 2005 hal-122

89

sekaligus sebagaimana yang tercantum dalam ayat tersebut bahwa al-Qur`an turun dengan cara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun, sedangkan injil dan taurat diturunkan secara sekaligus. Pendapat yang menyatakan menolak adanya sinonim tidak saja terjadi pada linguis Arab saja namun juga pendapat yang senada muncul pada linguis Inggris salah satu diantaranya adalah Bloomfield. Ia menyatakan bahwa sinonim mutlak tidak pernah ada karena setiap bentuk kebahasaan pada dasarnya selalu memiliki ketetapan dan kekhususan makna sehigga pembedaan fonem pun mengakibatkan adanya perbedaan makna195. Palmer juga termasuk linguis Inggris yang menyatakan menolak adanya sinonim mutlak, dengan alasan tidak ada dua kata yang mempunyai kesamaan makna dan terus menerus bisa dapat silih berganti untuk menggantikan posisi kata yang bersinonim tersebut kecuali karena persamaan kata yang berasal dari dialek yang berbeda196. Untuk menguji kebenaran bersinonimnya kata dengan kata lain, Ullman mengatakan: ”Ubahlah struktur kalimat, gantilah satu sinonim dengan yang lain yang dianggap memiliki kesamaan makna, maka keseluruhan efek kalimat itu akan hancur karena kerancuan makna, dengan demikian diketahui bahwa makna antara kata yang dianggap bersinonim adalah beda197. Seperti kata wafat yang mempunyai sinonim dengan mati tidak akan begitu saja bisa saling menggantikan. Pada kalimat seorang tokoh masyarakat telah wafat tadi malam kalimat tersebut secara sosial dapat diterima, akan tetapi apabila subyek pada kalimat tersebut diganti dengan tikus seekor tikus telah wafat tadi maka secara sosial tidak akan diterima. b. Tokoh linguis yang menerima sinonim Tokoh linguis Arab yang menerima adanya sinonim diantaranya adalah Ibn al-Khaluwaih (w.324) yang berkeyakinan bahwa sinonim itu benar adanya, bahkan mereka bangga dengan sinonim bahasa Arab yang banyak sekali jumlahnya. Ia menilai bahwa sinonim merupakan bukti keluasan dan kekayaan 195

Leonard Bloomfield, Language, Bahasa, diterjemahkan oleh Sutikno, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 196 F.R. Palmer, Semantics, Cambridge University Press, Cambridge, 1983 197 Stephen Ullmann, Semantics, An Introduction to the Science of Meaning, diadaptasi oleh: Sumarsono dalam, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2007), h. 175.

90

kosa kata bahasa Arab198.

Tokoh lain yang berpendapat adanya sinonim

diantarnya adalah al-Fairuz Abadi (w.817), ia menulis kamus al-mukhith yang berisikan tentang al-Taradhuf . menurut Fairuz didalam kitabnya menyatakan bahwa kata al-`asal (madu) mempunyai 80 nama199. Selain kedua tokoh diatas yang menyatakan bahwa adanya sinonim adalah Abu al-Hasan `Ali Ibn `Isa alRummani(w.384 H), dan al-Fakhr al-Razi(w.666 H). Para lingus

yang mendukung adanya sinonim dalam memperkuat

argumennya, bersandar pada riwayat hadits dan kisah yang diantarnaya adalah ketika Abu Hurairah bersama Rasullah, jatuhlah sebilah pisau dari tangan Rasullah. Kemudian Rasullah bersabda: ‫  أ هة‬12Y ‫ ا‬/+ # hai Abu Hurairah, ambilkan al-sikkin. Abu Hurairah menoleh kekiri dan kekanan karena tidak faham dengan maksud Rasullah. Setelah tiga kali Rasullah mengulang kalimat tersebut, Abu Hurairah mencoba menjawab: ' 'N ‫ ا‬apakah yang Rasullah maksud alMudyah, Rasullah menjawab: ya ! riwayat ini menunjukan bahwa al-sikkin dan al-mudyah adalah sinonim200. Alasan kedua dalam memperkuat argumennya mereka menggunakan sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Zaid bin Abdullah Bin Darim201 yang mendapat cerita dari kepala suku Himyar yang bercerita bahwa dulu ada seorang laki-laki yang datang kesalah satu kepala suku Himyar kemudian kepala suku itu mengajaknya ketempat berburu, setelah itu ketua suku mengatkan kepadanya >^ 198

Khaluwaih sendiri berceritera di majlis syaifu al-Daulah bahwa dirinya hafal 500 nama pedang. Dia sendiri menyusun kitab al-Taradhuf yang berisikan salah satunya adalah nama-nama ular dan nama-nama harimau. 199 Nama-nama madu yang dimaksud adalah: ،>ِ%  ‫ وا‬،ََ %  ‫ وا‬،‫ْب‬%  ‫ وا‬،;َY:َ ‫ا‬

،ْšv ‫ وا‬،َْ ّ ‫ وا‬،‫ذوَاب‬z‫ وا‬،ُ‫ وا]رْي‬،‫ وا َ رْس‬،gْ ‫ وا‬،‫ُ ت‬N ْ $ ‫ وا‬،ِN َ ‫ وا‬،‫ وا *وْب‬،‫ ْب‬m  ‫وا‬ ،'ْm £ ‫ وا‬،'ْm  ‫ وا‬،‫َر‬m9ْ $َ Y ْ Nُ ‫ وا‬،‫ر‬m9$7' ‫ وا‬،َْS v ‫ وا‬،‫ام‬S ‫ وا‬،‫م‬vS ‫ْم وا‬S  ‫ وا‬،َِY+ ‫ وا‬،;ِY+ ‫وا‬ ،‫ ْت‬+Y v ‫ وا‬،‫ ت‬£+Y  ‫ وا‬،Dَ ‫ وا‬،vDِ ‫ وا‬،ّ1S  ‫ وا‬،1£S ‫ وا‬،ِ‫ذ‬N ‫ وا‬،ّ‫ ِذي‬N ‫ وا‬،‫ُ ان‬9+ْ :ُ ‫ وا‬،َ0َ9:ُ ‫ وا‬،‫َان‬ ْ Nِ ‫وا‬ ‫ ورُﺽب‬،‫ﺽَب‬£ ‫ وا‬،ِ; ْ + ‫ب ا‬ ُ َ: ُ‫ و‬،‫ْج‬6Nِ ‫ وا‬،ُ‫ْج‬6Nَ ‫ وا‬،>ِD@  ‫ وا‬،£‫]س‬ َ ‫ وا‬،‫َب‬Kَ ‫ وا‬،‫اب‬m ‫ وا‬،‫ ة‬+Y ‫وا‬ ،ُ¤0ِ  ‫ وا‬،ُ‫ َاب‬e ‫ وا‬،;ْ+ ‫ وُج ا‬،‫ْ ى‬Y  ‫ وا‬،‫ ْر‬m  ‫ وا‬،#6 ‫ ُء ا‬/َ‫ و‬،;+ ‫ و ِر ْ ُ ا‬،;+ ‫ ا‬T+َ‫ وﺝ‬،;ْ+ ‫ا‬ ،‫ ْ َان‬Y £ ‫ وا‬،#‫ْ ا‬Y £ ‫ وا‬،'ِ:ْ َ ‫ وا‬،/ِ97 ُ ْ2ُ ‫ وا‬، ِY  ‫ وا‬،‫ وا  َاص‬،#N ‫ وا‬،‫ء‬9vm ‫ وا‬،;ْ%  ‫ وا‬،1]‫وا‬ ،£ A ُ ‫ وا‬،ِA ‫ وا‬،‫ء‬Dْ@  ‫ وا‬،£C ُ ‫ وا‬،N@ ‫ وا‬،‫و‬m ‫ وا‬،‫و‬Y ‫ وا‬،َ0£Y ‫ وا‬،‫ف‬£Y ‫ وا‬،Tَ+ َ ‫ وا‬،ُV‫ﺥ‬ ْ  ‫وا‬ ،;+ ‫ وا‬،ُDِ 2ْ :ِ ‫ وا‬،>َ َ ‫ وا‬،>N ‫ وا‬،£žNَ ‫ وا‬،‫ُ ت‬N@  ‫ وا‬،‫ﺡق‬ َ £ ‫ وا‬، ِ‫ وا ﺡ‬،‫'َى‬Y  ‫ وا‬،ž% ‫وا‬ .#D.]‫وا‬ 200

Akhmad Mukhtar Umar, `Ilm al-Dalalah, Maktabah Dar al-`Urubah, Kuwait, 1982

h.216 201

Abû al-Husîn Ahmad bin Zakariyâ Ibn Fâris, al-ὶâhibî fî Fiqh al-Lughat, Tahqîq: Syihabuddin Abu ‘Amr, Beirut: Dar al-Fikr, 1999

91

yang maksudnya duduklah, kemudian seorang laki-laki tersebut menjawab, baik tuan saya akan patuh kepadamu, kemudian ia meloncat dari bukit tempat berburu itu dan terluka cukup parah. Lalu kepala suku itu bertanya, apa yang kamu lakukan, aku kemudian diberitahukan tentang kesalah pahaman orang itu. Dengan kejadian diatas, kepala suku itu memerintahkan untuk siapa saja yang memasuki daerah Himyar, sebaiknya mempelajari bahasa Himyariyyah sebelumnya. Ketiga adalah surat-surat Nabi saw. Kepada beberapa suku yang menggunakan kata-kata asing bagi kaumnya. Karena kata-kata itu sebetulnya terdapat pula dalam dialek suku Quraisy. Dengan demikian kata-kata itu merupakan sinonim. Salah satunya adalah surat Nabi saw. Kepada wail bin Hajar salah satu kepala suku di Himyar yang berbunyi: >mN ‫  وا]رواع ا‬D: ‫ ا]ل ا‬/ ‫“ إ‬ kepada para ketua suku yang mulia, kekuasaanya langgeng dan cerdas. Dari dua pendapat diatas yaitu ada yang menerima keberadaan sinonim dan ada yang menolak adanya sinonim maka dapat disimpulkan bahwa kedua kelompok tersebut masing-masing mempunyai pendapat diantaranya adalah: 1. Yang mengakui adanya sinonim menyatakan bahwa diperlukannya sebuah sinonim dalan suatu bahasa karena beberapa kata dalam bahasa akan saling menafsirkan satu sama lain, para ahli bahasa sepakat untuk menafsirkan kata al-lub maka mereka menafsirkannya dengan menggunakan kata al-`Aql. 2. Sedangkan bagi yang menolak adanya sinonim mereka beralasan bahwa walaupun kata-kata itu ada yang memiliki makna yang sama namun dalam penerapan dan penggunaan kata tersebut mempunyai perbedaan. Ketepatan dalam penggunaan kata yang bersinonim dalam sebuah kalimat dalam kajian bahasa modern yang dipelopori oleh Prof. Inggris J.R. Firth, dia mengistilahkan dengan kolokasi. 3. Sinonim menurut linguis modernPara ahli bahasa modern bersepakat bahwa untuk semua bahasa manusia didunia mempunyai beberapa sinonim akan tetapi mereka syarat-syarat yang harus terpenuhi, menurut Haidar syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain adalah202: 202

Farîd ‘Aud Haidar, ‘Ilm al-Dilâlah Dirâsah Nazhriyyah wa Tathbîq, Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1999

92

a. Adanya kesamaan yang sempurna didalam maknanya minimal kesamaan itu dapat diketahui dan dimengerti oleh masyarakat umum tempat bahasa itu berkembang dalam suatu wilayah. Seperti kata jalasa dengan Qa`ada orang Arab dapat memahami perbedaan antara kedua kata tersebut walaupun kata tersebut memiliki makna yang berdekatan. Kasus yang semacam ini menurut kesepakatan linguis modern ini bukanlah sinonim. b. Adanya kesamaan tempat kebahasaanya yaitu dua kata tersebut harus berasal dari satu dialek. Yang mana seseroang dapat dengan leluasa menggunakan kedua kata itu dalam makna yang sama serta dalam saat yang bersamaan ia tidak mengetahui perbedaan diantara keduanya kecuali dalam batas-batas yang wajar. Tidak dikatakan sinonim antara kata sleep dengan tidur ataupun dengan ‫ م‬+ ‫ ا‬karena ketiga kata tersebut berbeda tempat kebahasaanya. c. Adanya kesamaan masa atau waktu penggunaan kata tersebut, karena perkembangan jaman sudah pasti membawa perkembangan makna baru. Untuk melihat makna kata dari waktu dan jamannya diperlukan penelitian dengan menggunakan

metodologi

sinkronis

sedangkan

untuk

mengetahui

perkembangan makna arti kurun waktu sampai kurun waktu tertentu menggunakan metodologi penelitian diakronis. d. Salah satu kata yang bersinonim bukanlah akibat dari perkembangan bunyi bahasa dari kata yang lain. Seperti kata Jatsl dan jafl yang bermakna naml. Kata Jatsl merupakan hasil dari perubaan atau perkembangan bahasa yang pada dasarnya kata tersebut merupakan perubahan dari kata naml atau Jafl. Dalam bahasa Indonesia dapat dicontohkan kata belut, welut dan walut. Ketiga kata tersebut merupakan sebuah nama binatang yang hidup di air. Dari masingmasing kata tersebut mempunyai makna yang sama hanya berbeeda dalam pengucapannya saja, belut adalah bentuk ungkapan dalam bahasa Indonesia sedangkan welut dan walut merupakan bahasa daerah yang masing-masing berasal dari bahasa jawa dan bahasa Banjarmasin. Dari beberapa pendapat tentang sinonim yang dikemukakan oleh berbagai tokoh bahasa maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya sinonim itu ada hanya perlu ada syarat-syarat sebagaimana yang telah dijelaskan

93

diatas agar batasan-batasan sinonim itu jelas, dan juga walaupun sinonim ada namun dalam banyak hal tidak selamanya bisa menggantikan baik secara makna maupun secara strukturnya. Sebagaimana contoh dalam bahasa Indonesia kata melihat mempunyai banyak sinonim diantaranya adalah kata melirik, mengintip dan mengawasi. Dari ketiga kata tersebut walupun saling bersinonim namun tidak bisa saling menggantikan dalam penerapan disebuah kalimat contoh: Bayi yang baru lahir sudah bisa melihat benda dengan jarak 40cm. Dari kalimat tersebut akan terasa janggal jika kata melihat diganti dengan kata sinonimnya seperti kata melirik menjadi Bayi yang baru lahir sudah bisa melirik benda dengan jarak 40cm. Kalimat tersebut secara stuktur benar akan tetapi secara makna tidak dapat diterima. Aplikasi sinonim dalam pembahasan kolokasi ini dapat dibagi menjadi dua: Pertama: Sinonim yang dimaksud disini adalah kata yang mempunyai makna yang dekat atau hampir sama yang dalam pemakaiannya sewaktu-waktu bisa saling menggantikan dan dilain waktu tidak bisa saling menggantikan contoh dalam bahasa Indonesia kata raya dengan kata besar203. Pada satu sisi kedua kata ini dapat saling menggantikan namun disisi yang lain tidak bisa saling menggantikan bahkan jika kata tersebut ditukar akan terasa janggal maknanya contoh ini dapat dilihat pada kalimat “Jakarta merupakan kota terbesar di Indonesia”. Kata terbesar pada kalimat tersebut tidak bisa digantikan dengan kata teraya. Berbeda dengan kalimat berikut Setiap hari saya harus melewati jalan raya. Kata raya dalam kalimat tersebut bisa digantikan dengan kata besar. Bentuk kolokasi model ini dalam surat al-Baqarah dapat dilihat pada ayat yang kedua204. Pada ayat kedua terdapat kata >‫ر‬G yang menurut Ibn Faris kata tersebut merupakan sinonim dari kata 3‫ﺵ‬G, oleh karena itu kedua kata ini tidak bisa saling menggantikan satu sama lain. Sebagaimana diungkapakan oleh

203

J.D. Parera, Teori Semantik, penerbit Erlangga, Jakarta, cet ke 2, 2004 hal-67 lihat pula bukunya Jaya Sudarma, T. Fatimah, Semantik: Pernyataan kearah ilmu makna, Refika Aditma, Bandung, 1999 204 1$N ‫ ه'ى‬0 >‫ر‬G ‫ب‬$2 ‫ ا‬3 ‫ذ‬

94

Hendrikus kata >‫ر‬G tidak bersinonim dengan kata 3‫ﺵ‬G205. Kedua kata ini menurutnya masing-masing mempunyai perbedaan makna, oleh karenanya dari masing-masing kata tersebut tidak dapat saling menggantikan. Menurut penulis kedua kata tersebut merupakan sinonim akan tetapi dalam penggunaannya ada kekhasnya masing-masing. Walaupun menurut Ibrahim Anis kata >‫ر‬G dengan 3‫ﺵ‬G yang muncul dalam al-Qur`an masing-masing sebanyak tujuh belas kali dan lima belas kali dalam berbagai surat dapat saling menggantikan. Anis juga berpendapat bahwa kedua kata tersebut adalah kata yang sepadan dan saling berterimaan dalam semua ayat206. Dengan demikian Anis mengganggap kedua kata tersebut merupakan sinonim mutlak. Namun kalau dicermati secara seksama kata 3‫ ﺵ‬G mengandung keraguan yang harus memilih seperti yang tertera pada surat Ibrahim ayat 10 yang berbunyi: ‫رْض‬fَ ْ ‫ت وَا‬ ِ ‫َوَا‬NY  ‫ ِ ا‬X ِ َ0 3 ¥‫ﺵ‬ َ ِ  ‫ ا‬/ِ0‫ُ ُْ َأ‬7 ُ ‫ ََ ْ ُر‬pada ayat tersebut ada tawaran dari para Rosul yang harus dijawab, adakah keraguan atau tidak jawabanya mungkin ragu mungkin juga tidak walaupun sebenarnya pertanyaan yang ada pada ayat tersebut bukan merupakan pertanyaan yang harus dijawab, tidak lain pertanyaannya hanya sekedar penguat saja. Sebagai perbandingan dapat dilihat juga ayat yang memuat َ ْ ‫س ِ َ ْ ٍم َ َر‬ ِ + ‫ ا‬Fُ ِ َ‫ ﺝ‬3 َ #‫َ ِإ‬+‫ َر‬pada ayat tersebut pengungkapan kata َ kata >‫ر‬G : ِ ِ0 > > َ ْ ‫ َر‬tidak menampakan adanya pilihan yang arus dilalui. Sinonim yang mengharuskan adanya kolokasi terbatas selanjutnya adalah kata # $ yang terdapat pada ayat yang ke 121. Pada ayat tersebut terdapat kata ِ ِ ‫ﺡ  َِ َو‬ َ ُ #َ ُ$ْ َ , kata yang bergaris bawah masing-masing mempunyai sinonim dengan kata ‫ أ‬dan ‫أة‬, namun sinonim dari kedua kata tersebut dari satu sisi bisa saling menggantikan namun disisi yang lain tidak bisa saling menggantikan. Menurut Hendrikus perbedaan kedua kata ini adalah kata ‫ أ‬ataupun kata ‫أة‬ mempunyai fungsi yang lebih umum dalam penggungkapan sebuah kalimat207.

Kata >‫ر‬G mempunyai makna tidak ada keraguan yang berhubungan dengan keyakinan, sedangkan kata 3‫ ﺵ‬G berhubungan dengan kebimbangan dalam menentukan salah satu pilihan karena ada beberapa pilihan. 206 Ibrâhîm Anîs, fî al-lahjât al-`Arabiyyah, Maktabah al-Anjlul, Mesir, 1965 h.181 207 Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furuq, h.46 205

95

Sedangkan kata $ atau ‫ وة‬mempuyai fungsi yang lebih spesifik208. Kata ‫وة‬ menurut Hendrikus hanya bisa digunakan untuk membaca kitab-kitab suci sedangkan kata ‫ أة‬berfungsi untuk membaca segala yang bisa dibaca termasuk membaca alam seperti pada ayat pertama sutat al-`Alaq ‫“ اأ‬bacalah” . Perbedaan antara kata ‫ وة‬dengan kata ‫ أة‬inilah yang akan memunculkan kolokasi terbatas karena kata pada ungkapan ِ‫ﺡ  َِ َو‬ َ ُ #َ ُْ َ tidak bisa diganti menjadi ‫ﺡ  أ‬ َ ُ #‫أ‬, konstruksi semacam ini bagi non Arab mungkin terasa biasa naun bagai orang Arab ungkpan semacam ini menjadi janggal. Selanjutnya Kolokasi terikat yang muncul karena adanya sinonim yang mempunyai arti sama namun dalam pemakaianya berbeda terdapat pada ayat yang ke 24. Pada ayat tersebut terdapat ungkapan yang berbunyi ‫َ َر ُة‬ ِ ْ ‫س وَا‬ ُ + ‫َوُ ُدهَ ا‬ kata َ‫ َوُ ُده‬mempunyai sinonim dengan kata >S‫ ﺡ‬yang artinya kayu bakar. Para pakar bahasa Arab membedakan kedua kata ini. Menurut Ibrahim kata >S‫ﺡ‬ merupakan kayu bakar yang berasal dari kayu ataupun pohon yang kering, sedangkan ‫ َوُ د‬adalah api nyala tanpa adanya kayu bakar dari kayu ataupun pohon209. Maka pada ayat yang ke 24 tidak menggunakan kata >S‫ ﺡ‬akan tetapi menggunakan kata ‫ َوُ د‬karena bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu yang bukan terbiasa menjadi bahan bakar. Menurut Suyuthi ‫ َوُ د‬adalah api yang menyala sangat panas sekali yang tidak sama dengan api dunia yang bahan bakarnya berasal dari kayu210. Lebih lanjut Suyuthi mengatakan bahwa yang dimaksud bahan bakarnya dari batu adalah berhala yang disembah orang kafir termasuk menjadi bahan bakarnya juga. Sedangkan menurut Hendrikus membedakan antara kata ‫ َوُ د‬dengan kata >S‫ ﺡ‬dilihat dari segi kekhususan dalam pemakaian kata >S‫ﺡ‬. Menurutnya kata ‫ و د‬adalah segala yang menjadi sebab munculnya api, tidak memandang itu kayu ataupun benda yang lain. Sedangkan >S‫ ﺡ‬adalah munculnya api dari kayu211.

Menurut Hendrikus kata ‫ وة‬punya makna membaca yang disertai dengan pemahaman dan pendalaman terhadap materi yang sedang dibacanya. Sedangkan ‫ أة‬mengandung makna membaca hanya selintas tanpa harus memahaminya. 209 Ibrahim Syams al-Din, Marja` al-Thulab fi al-Insya, dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Bairut Libanon, 2000 h.122 210 Suyuthi, Tafsir Jalalain, h.30 211 Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furuq, h. 69 208

96

Dengan demikian pada hakekatnya ketiga tokoh diatas sependapat dengan perbedaan kedua kata ini. Selanjutnya kata yang merupakan kolokasi terbatas yang berupa sinonim adalah kata A ‫ ا‬. Kata ini terdapat pada ayat yang ke 187 1 َ ِ L ُ َ ْ fَ ْ ‫ ا‬ ُ ْ A َ ْ ‫ ُ ا‬2ُ َ 1 َ Dَ $َ َ ‫ َ ِد‬7 ْ fَ ْ ‫ ا‬ ِ ْ A َ ْ ‫ ا‬kata A ‫ ا‬bersinonim dengan kata YN ‫ا‬, kedua kata ini mempunyai arti benang namun masing-masing mempunyai kekhususan dalam pemakaian. A ‫ا‬ adalah benang yang digunakan untuk menjahit mutiara atau lainnya termasuk pakaian sedangkan YN ‫ ا‬berarti benang yang digunakan untuk menjahit khusus mutiara yang berkilauan. Pada ayat tersebut tidak menggunakan kata YN ‫ ا‬karena dalam keadaan apapun mutiara akan tetap kelihatan212. Oleh karena itu tidak bisa membedakan antara sudah terang dengan masih gelap. Sedangkan maksud dari ungkapan pada ayat tersebut adalah sebagai tanda bahwa nampak benang putih dan hitam sebagai permulaan dan selesainya puasa. Dari uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa sinonim secara mutlak tidak ada karena dari masing-masing kata mempunyai penempatan yang tidak selamanya bisa menggantikan posisi kata yang menjadi sinonimnya. Walaupun dalam waktu yang lain kata-kata yang bersinonim bisa slaing menggantikan dalam suatu ungkapan. Uraian diatas merupakan contoh sebagian kecil kolokasi terbatas yang berasal dari kata yang mempunyai kedekatan makna. Kedua: Sinonim yang muncul secara beriringan dalam suatu kalimat. Menurut Ullman kolokasi sinonim yang muncul secara beriringan berfungsi sebagai penjelas dan penegas makna213. Kolokasi semacam ini sering dijumpai pada kalimat retorika dan sastra seperti contoh yang tercantum pada puisi milik Chairil Anwar: Pecah Pencar, Legah Lapang, Sama Gandengan, Ria Bahagia, ataupun kata Mandi Basahkan Diri214.

212

Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furuq, h. 130 Stephen Ullman, Semantic an Intoduction to The Science of Meaning, Basil Blackwall, Oxford, 1977. 214 Gejala kolokasi sinonim yang muncul secara bersamaan disamping dipakai oleh kalangan sastrawan juga dipakai dalam percakapan sehari-hari contohnya: aman sejahtera, arif bijaksana, basah kuyup, cantik jelita, cerah ceria, gagah berani, gelap gulilta, indah jelita, kering kerontang, kosong melompong, lemah gemulai, malang melintang, muda belia, pecah belah, siap siaga, siap sedia, sunyi senyap, terang benderang. 213

97

Dalam surat al-Baqarah kolokasi yang berupa sinonim yang muncul secara beriringan dapat dilihat pada beberapa ayat diantaranya terdapat pada ayat 19215, pada ayat tersebut terdapat dua kata yang bersinonim yang muncul secara bersamaan yaitu kata ٌ‫'ٌ َو َْق‬O ْ ‫( َر‬petir dan kilat) kedua kata ini bersinonim. Arti kedua kata ini sebenarnya tidak sama, namun kedua kata ini identik dalam kemunculan dalam suatu ungkapan, kedua kata ini saling menguatkan dan saling menjelaskan untuk suatu peristiwa yang dahsyat. Dalam beberapa ungkapan bahasa Arab kedua kata tersebut saling berdampingan satu sama lain seperti contoh yang diungkapkan oleh Rasulullah SAW. # S ‫ ﺥرج‬1 ‫ ا ت ى‬0 ‫ ت‬D ‫ آ‬# S ‫  م‬TO ‫ "وأ‬:‫ ل‬." O‫ ا‬.‫' وق و‬O‫œذا ر‬0 ‫' وق‬O‫ ذا ر‬7 e t‫@ر ر‬OG‫ا‬ šm+ /0 N#] ‫' وق‬O‫ ر‬0 ‫وآ*ا‬ O‫ ا @ ا‬1 ‫' وق وﺥ ف‬O‫ ر‬F NR  /0 ‫ء‬NY ‫ أﺥ* ا‬1 ‫ول‬ Pasangan sinonim yang muncul secara berdampingan dalam surat alBaqarah adalah kata 'O dengan kata e kedua kata ini mempunyai arti yang sama yaitu perjanjian. Dalam beberapa ungkapan bahasa Arab kedua kata ini sering muncul secara berdampingan contoh: 1.   V ِ َ ْ 0َ D ‫َة‬N^ 1 e‫ َ' ا و‬O TSO‫ أ‬1N0 2. e‫' ا و‬O 07‫ أ‬C2# 1 ‫ رة‬Y ‫ ا‬o*‫ أول ه‬/0 ‫'أ *آه‬$‫ ا‬1* ‫ا‬ 3. o': 1‫ و‬T7  'O TO + ‫ق‬eN  ^‫ وا‬1 ;‫آ‬ 4. ‫ق‬e‫' و‬O 1 ‫  ﺵء‬o SOf0 5. 2$# G‫ أ‬e‫' ا و‬O 2 ‫و‬ Pasangan sinonim berikutnya yang sering muncul secara bersamaan adalah kata ‫ ﺥ ف‬dengan kata ‫ ن‬#6A. Kedua kata ini mempunyai arti yang berdekatan yaitu takut dan sedih. Secara makna tidak terlalu dekat akan tetapi secara konteks kata takut dengan sedih merupakan keidentikan dari kedua kata ini, kalau ada takut akan muncul rasa sedih, rasa sedih muncul karena ada rasa takut. Pasangan

215

‫ﻕ‬  ‫ﺮ‬ ‫ﺑ‬‫ﻭ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺎ‬‫ﻪ ﹸﻇﹸﻠﻤ‬ ‫ﻴ‬‫ﺎ ِﺀ ﻓ‬‫ﺴﻤ‬  ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺐ‬ ‫ﻴ ﹴ‬‫ﺼ‬  ‫ﻭ ﹶﻛ‬ ‫ﹶﺃ‬ 98

kedua kata ini muncul 6 kali dalam surat al-Baqarah dalam ungkapan yang sama yaitu ‫ ن‬#6 ‫ ه‬G‫ و‬O ‫ ﺥ ف‬0 Kata yang bersinonim selanjutnya adalah kata ‫ ا‬9.‫ اوا‬9O0. Menurut Hendrikus kedua kata ini bersinonim namun terdapat perbedaan. Menurutnya perbedaan dari kedua kata ini terletak pada kedalaman ketika memberikan ma`af. Kata ‫ ا‬9.‫ ا‬mempunyai makna lebih dalam dari pada ‫ ا‬9O0

216

karena terkadang

ada orang yang memberikan ‫ ا‬9O0 tetapi tidak melakukan ‫ ا‬9.‫ ا‬sedangkan kalau melakukan ‫ ا‬9.‫ا‬

sudah pasti melakukan ‫ ا‬9O0 ketersandingan dua kata ini

terdapat pada ayat yang ke 109217. Gejala kolokasi model sinonim yang muncul secara bersamaan hampir bisa dikatakan ada dalam seluruh bahasa termasuk dalam al-Qur`an. Menurut penulis kemunculan kolokasi model ini mempunyai dampak pada suatu ungkapan. Yang pertama berfungsi untuk memperindah suatu bahasa, kedua mempertegas suatu dan memperjelas suatu makna. 4. Kolokasi Yang Berupa Antonim Palmer218 menggunakan istilah antonim untuk menerangkan pertentangan makna. Ia membagi antonim kedalam empat macam yaitu: antonimi contohnya panas dingin, tua-muda, komplementer contohnya, maskulin-feminim, relasional, membeli-menjual, dan temporal contohnya meminta-memberi. Sedangkan tokoh linguistik lain yang berbicara tentang antonim adalah Aitchison. Aitchison merumuskan antonim sebagai pasangan yang menunjukan pertentangan, pertentangan yang dimaksudkan oleh Aitchison adalah untuk menunjukan penyangkalan terhadap yang lain seperti contoh jika tidak mati berarti hidup dan jika tidak hidup berarti mati219. Leech mengatakan bahwa kata woman bukan merupakan antonim akan tetapi merupakan pertelingkahan dari kata man dan girl. Leech membagi antonim

216

Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furuq,h.159

217

oِ ِ ْ fَِ ُ  ‫ ا‬/ َ ِ ْfَ T$‫ﺡ‬ َ ‫ُ ا‬9َ . ْ ‫ُ ا وَا‬9O ْ َ0

218

Palmer, Semantik, Cambridge University Press, Cambridge, 1983 h. 83 Aitchson, Word .h.95

219

99

menjadi antonim taksonomi biner, taksonomi ganda, oposisi polar, oposisi relasi, oposisi inverse, dan oposisi hierarki220. Lyons memberikan telaah terhadap relasi antonim dengan membagi menjadi tiga macam yaitu keantoniman, pertentangan komplementer dan konversif. Para linguis Arab klasik terbilang beragam dalam

melihat makna al-

Taὶâd/antonim. Sebagain ada yang mengingkari adanya Taὶâd/antonim dan sebagian lagi ada yang mengakui adanya Taὶâd/antonim. Diantara tokoh yang mengingkari adanya Taὶâd/antonim adalah Tsa`lab (w.291)221 menurutnya dalam bahasa Arab tidak ada Taὶâd/antonim, jika Taὶâd/antonim itu ada maka suatu yang mustahil, karena satu kata yang sama yang berasal dari timabangan yang berbeda akan menghasilkan arti yang berbeda, ia mencontohkan kata

‫زة‬9 yang berasal dari ٍِ‫ ّز‬0 mempunyai arti

orang mati, sedangkan kata ‫زة‬9 yang berasal dari ‫ ز‬9 ‫ ا‬mempunyai arti yang optimis seperti kesalamatan dll. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh linguis Arab klasik. Mereka adalah Ibn Darastumiyah, al-Qali, Ibn Duraid, alJawaliqi dan Ibn Faris. Ibn Darastawiyah memberikan contoh kata ‫ ء‬+ ‫ ا‬sebagian kaum mengatakan bahwa kata tersebut mempunyai arti bintang terbit dan sebagian kaum lagi mengartikan bintang terbenam, maka menurut Darustuwiyah hal ini tidak mungkin bisa berlawanan222. Al-Qali memberi contoh kata @ ‫ا‬, menurutnya kata ini sendiri mengandung pertentangan makna yakni, pergantian waktu dari malam ke siang dan dari siang ke malam, maka menurutnya tidak mungkin kata ini memmpunyai perlawanan kata. Sementara tokoh linguis Arab yang menerima adanya Taὶâd/antonim adalah Ibn al-Anbari. Ia menyatakan bahwa penggunaan Taὶâd/antonim berfungsi untuk makna-makna yang terlalu sastrawi dan menghindari kesalahan.

220

Leech, Semantics, h.99 Al-Suyuthi, al-Muzhir fi al `Ulum al-Luhat wa Anwa`iha, h. 120 222 Farid `Aud khaidar, `Ilmu al-Dilalah Dirasat Nadzriyat wa Tathbiqiyat, Maktabat alAdab, Kairo, 2005 h.146 221

100

Taὶâd/antonims lebih sering digunakan ketika percakapan dan tidak dipakai ketika mengungkapkan bahasa-bahasa yang sastrawi. Tokoh yang sependapat dengan Ibn al-Anbari adalah al-Mubarrid (w. 285 H) dan al-Rummânî (w. 384 H) al-Taὶâd adalah “lafal yang berbeda karena perbedaan motivasi makna”.223 al-Mubarrid memberi contoh: ،>‫ وذه‬،g‫ وﺝ‬،‫م‬ ‫وﺝء‬. al-Suyûṭî mengatakan bahwa antonim merupakan bagian dari homonim; yakni “dua kata yang homonim dalam aspek kontratradiktif makna maupun relasi makna.”224 Aspek pertama, seperti kata LA ‫‘ ا‬al-khaiὶ’ (haid) dan S ‫ا‬ ‘al-ὶuὶr’ (suci); keduanya menunjukkan makna ‫‘ ا ء‬al-quru`’, namun tidak akan terjadi pada waktu bersamaan. Sedangkan aspek kedua, seperti kata ‫م‬: ‫ا‬ ‘al-‘âmm’ (umum) dan ‫ص‬A ‫ا‬

‘al-khâὶὶ’ (khusus). Contoh kata yang

berantonim antara lain; ;‫‘ ا ﺝ‬al-rajul’ (laki-laki) dengan ‫أة‬N ‫‘ ا‬al-Mar`ah’ (perempuan); ;N ‫‘ ا‬al-jamal’ (unta jantan) dengan + ‫‘ ا‬al-nâqah’ (unta betina); ‫‘ ا  م‬al-yaum’ (siang) dengan  ‫‘ ا‬al-lailaὶ’ (malam); ‫‘ م‬qâma’ (berdiri) dengan ': ‘qa’ada’ duduk; 2 ‘takallama’ (berbicara) dengan 27 ‘sakata’ (diam).225 Dan diantara fungsi antonim adalah untuk menjelaskan pemaknaan suatu kata dengan kata yang berlawanan arti dari kata yang dijelaskan itu. Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang menyatakan ketidak adaanya Taὶâd/antonim bisa terjadi pada beberapa kata yang memiliki makna ganda yang saling berlawanan dan untuk mencari Taὶâd/antonim tidak memungkinkan lagi, akan tetapi kata yang lain masih memungikan adanya Taὶâd/antonim. Oleh karena itu penulis sependapat dengan kelompok yang mengatakan bahwa Taὶâd/antonim itu ada. Dengan alasan bagaiman dengan mengatakan Taὶâd/antonim dari kata yang hanya mempunyai makan satu contohnya kata tinggi tentu rendah atau pendek.

223

al-Mubarrid, al-Muqtaὶib, h. 11

224

Lihat: al-Suyûṭî, al-Muzὶir, h. 387

225

Lihat: al-Suyûṭî, al-Muzὶir, h. 389

101

Dapat disimpulkan juga bahwa Taὶâd/antonim dapat diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu: Taὶâd/antonim kembar, Taὶâd/antonim kebalikan dan Taὶâd/antonim bertingkat. a. Taὶâd/antonim kembar biasanya perlawanan kata yang terdiri dari dua kata saja contoh: pria-wanita, jantan-betina, perjaka perawan. b. Taὶâd/antonim kebalikan merupakan dua kata yang mengandung unsur perlawanan. Contoh: pulang-pergi, guru murid, utara-selatan. c. Taὶâd/antonim bertingkat merupakan perlawanan dua kata yang menunkan derajat. Contoh besar-kecil, tinggi-rendah, mahal-murah. d. Taὶâd/antonim bersaudara merupakan hubungan antara kata-kata dalam sistem klasifikasi. Contoh: red ‘merah’ dan blue ‘biru’. Taὶâd/antonim sering muncul dalam suatu ungkapan. Kemunculan pasangan kata yang saling berlawanan ini bisa diperkirakan. Sehingga akan memungkinkan bagi pembaca ataupun bagi pendengar akan secara cepat dapat menangkap makna yang terkandung dalam suatu kaliamat. Kemunculan yang bisa dipredikisakn tersebut dinamakan dengan kolokasi antonim226. Contoh kolokasi model ini adalah sebagai berikut: a. Pertunjukan konser dangdut dikunjungi oleh muda dan mudi. b. Rapat akbar dilapangan senayan dihadiri oleh golongan tua dan muda. Kata muda dan mudi pada kalimat pertama dan kata tua dan muda pada kalimat kedua adalaha merupakan kolokasi antonim. Pasangan kedua kata yang berlawanan ini kemunculannya sangat predictible dapapt diperkirakan. Gejala kolokasi semacam ini muncul dalam semua bahasa termasuk dalam bahasa Arab. Oleh karena itu termasuk dalam al-Qur`an yang merupakan teks yang bertuliskan dalam bahasa Arab dimungkinkan sekali akan muncul kolokasi negatif. Dalam surat al-Baqarah ayat 16 contohnya terdapat kolokasi negatif yang terdiri dari kata  % ‫ ا‬dengan kata ‫ ا 'ي‬menurut al-Ashfahani (w.503) kedua kata ini berlawanan makna227. Menurutnya kata  % ‫ ا‬merupakan penyimpangan dari

226

Contohnya tua muda kaya miskin, tinggi rendah, baik buruk, besar kecil Al-Raghib al-Ashfahani, Mu`jam Mufradât al-Alfâd al-Qur`ân, pentahqiq Ibrahim Syams al-Din, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2004, h. 327 227

102

jalan yang lurus yang menjadi lawan dari kata ‫ا 'ا‬. Sedangkan kata ‫ا 'ي‬ merupakan merupakan bentuk jamak dari kata ‫ا 'ا‬. Sedangkan menurut Fairuz Abadi228  % ‫ ا‬mempunyai sinonim dengan kata  G‫( ز‬tergelincir), menurutnya kata ini juga mempunai antonim dengan kata ‫ا 'ي‬. Menurut Ibn Mandzur229 kata  % ‫ ا‬merupakan antonim dari kata ‫ا ُ'َى وا ﺵد‬. Pasangan kata ini muncul dua kali dalam surat al-Baqarah yaitu pada ayat 16 dan pada ayat 175230. Dari kedua ayat ini mengandung pengertian yang sama akan tetapi sasaran dari ungkapan ‫ََ َ ِ ْ ُ َ'ى‬%  ‫ َوُا ا‬$َ ‫ﺵ‬ ْ ‫ ا‬berbeda. Pada ayat 16 sasaran yang akan dijadikan objeknya adalah orang-orang munafik yang menampakan keimanan dengan pakaian hidayat didepan orang-orang mukmin, tetapi ketika ia bergabung dengan orang-orang kafir ia berbalik menukar pakaiannya dengan pakaian kesesatan231. Dapat disimpulkan bahwa apabila ada pertukaran kesesatan maka munculah kata petunjuk. Begitu sebaliknya apabila yang ditukar itu petunjuk maka maka dapat diprediksikan kata yang kan muncul adalah kata kesesatan. Pada ayat 175 menurut Ibn Katsir (224-310 H)232 sasaran yang menjadi obyeknya adalah orang yang suka terhadap kehidupan dunia dengan menjual agama dengan harga yang sedikit. Sedangkan harta yang dihasilkan dari menjual agama tersebut akan menjadi isi perut dineraka. Dan orang-orang tersebut membeli siksa dengan ampunan. Pasangan kata yang berupa antonim dalam surat al-Baqarah adalah kata ‫ء‬NY ‫ ا‬yang berpasangan dengan kata ‫ا]رض‬. Pasangan kata ini terdapat pada ayat 22. Pasangan kata ini terjadi dalam beberapa versi. Adanya yang menggunakan bentuk tunggal dan ada juga yang berbentuk jamak. Pasangan dalam bentuk tunggal dalam surat al-Baqarah terjadi 3 kali yaitu pada ayat 22, dua kali terdapat pada ayat 164. Sedangkan dalam bentuk jamak terjadi dalam delapan ayat yaitu dua kali pada ayat 255 dan sekali pada ayat 33, 107, 116, 117, 164, dan ayat 284. 228 229 230

fairuszi Abadi, al-Kamus al-Mukhith, jilid 3 h. 65 Ibn Mandzur, Lisan al-`Arab, jilid 11 h.390.

‫ََ َ ِ ْ ُ'َى‬%  ‫ َوُا ا‬$َ ‫ﺵ‬ ْ ‫ا‬1 َ ِ* ‫ ا‬3 َ šِ َ‫أُو‬

231

M. Qurash Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Penerbit Lentera Hati, Ciputat, 2000 h. 109 232 Ibn Katsir, Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, jilid 1 h. 483

103

Menurut Palmer (1983)233 pasangan kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan bentuk antonim komplementer, pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Lyons234. Menurutnya yang khas dari antonim komplementer adalah bahwa penyangkalan yang satu menginplikasikan pembenaran yang lain dan pembenaran yang satu mengimplikasikan penyangkalan yang lain. Sebagaimana yang terungkap pada ayat 22 dinyatakan bahwa Allah menjadikan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atapnya. Dari ungkapan tersebut mengimplikasikan bahwa langit tidak bisa menjadi hamparan dan bumi sebagai atap. Linguistik Indonesia Mansoer Pateda (2000)235 yang banyak mengambil pemikiran Lyons juga menganggap bahwa pasangan kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan antonim komplementer. Menurut linguistik Indonesia lainnya Parera (1991)236 menganggap bahwa pasangan kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan pertentangan tempat. Sedangkan menurut linguistik Indonseia lainnya Abdul Chaer (1994)237 memasukan pasangan kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan antonim majemuk, yaitu pasangan antonim yang kemungkinan pasangan kedua kata ini berbeda-beda. Pasangan antonim kata ‫ء‬NY ‫ ا‬dengan ‫ ا]رض‬merupakan kolokasi yang kemunculan kedua kata ini sudah perdictible (dapat diprediksikan). Dengan demikian akan semakin mudah untuk mengetahui makna dalam suatu ungkapan yang mengandung pertentangan, karena dengan mengetahui satu kata yang muncul dimungkinkan akan muncul kata yang berlawanan. Kombinasi kata selanjutnya yang mengandung makna pertentangan dalam surat al-Baqarah adalah berupa kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬pertentangan kedua kata 233

Palmer, Semantics, Cambridge University Press, Cambridge, 1983 h. 83 Lyons, Introductional to Theoritical Linguistics. H.460 235 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, Rhieneka Cipta, Jakarta, 2000 h. 207 236 J.D. Parera, membagi antonim menjadi lima macam yaitu: antonim kenasaban contoh: suami-istri, kakak-adik, antonim berbalasan yaitu pertentangan yang menuntuk balasan contoh: tanyb-jawab, jual-bei, antonim tempat yaitu pertentangan yang menunjukan arah atau tempat contoh: utara selatan, atas bawah, dan antonim jenjang yaitu pertentangan yang menunjukan suatu hierarki contohnya: mayor-letnan-kolonel, atau januari-pebruari-,maret, Teori Semantik, Erlangga, Jakarta, 1991 h.299 237 Abdul Chaer membagi antonim menjadi lima macam yaitu: antonim mutlak, (hidup dan mati) antonim relatif atau bergradasi ( besar dan kecil), antonim relasional (membeli dan menjual), antonim hierarki (tamtama dan bintara, gram dan kilogram) dan jenis antonim yang terakhir adalah antonim majemuk yaitu antonim yang memilikipasangan lebih dari satu contohnya kata berdiri bisa berantonim dengan duduk, tidur, tiarap, jongkok ataupun bersila. 234

104

ini bisa berupa kata benda ( 7z‫ )ا‬dan kata kerja ( ;:9 ‫)ا‬, pertentangan makna kedua kata ini yang berasal dari kata benda dalam surat al-Baqarah terdapat pada ayat 28 dan ayat 154. Sedangkan yang berupa kata kerja terjadi pada ayat 28 dan ayat 258. Pertentangan makna antara kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬baik yang berupa kata kerja ataupun kata benda menurut para ahli linguistik merupakan pertentangan mutlak, pendapat ini dikemukakan oleh seluruh ahli bahasa, baik bahasa Arab, bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Ahli bahasa Arab yang menyebutkan pertentangan antara kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬merupakan pertentangan mutlak adalah Ahmad Mukhtar Umar (1982)238. Ia mengatakan bahwa /‫ ﺡ‬dengan ‫ ت‬ merupakan contoh dari pertentangan mutlak, karena kedua kata ini tidak bisa dipertentangkan dengan kata yang lain239.

Linguis Inggris yang mengatakan

bahwa pertentangan antara kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬diantaranya adalah Lyons, menurutnya selain kata ‫ اﺡآ‬dengan ‫ ا ات‬pertentangan mutlak bisa berupa kata laki-laki dengan perempuan, kawin dengan bujang. Contoh kata-kata tersebut merupakan

pertentangan

mutlak

karena

kata-kata

tersebut

tidak

bisa

dipertentangkan dengan kata yang lain. Kata bujang tidak bisa dipertentangkan dengan setengah bujang atau yang lainnya. Demikian juga dengan kata laki-laki tidak bisa dipertentangkan dengan kata selain perempuan ataupun wanita. Kata berikutnya yang merupakan pasangan Taὶâd/antonim adalah kata ‫آ ا واﺵ ا‬. Pasangan dari Taὶâd/antonim dalam surat al-Baqarah muncul dua kali yaitu pada ayat yang 60 dan ayat 187. Kedua kata ini menurut Chaer (1981) merupakan pasangan Taὶâd/antonim majemuk karena kedua kata ini tidak mutlak dengan pasangan tersebut. Bisa juga pasangan kata makan atau minum dengan kata merokok. Namun dalam kolokasi kedua kata ini merupakan pasangan yang sering muncul secara beriringan. Dalam bahasa Indonesiapun sering muncul ungkapan makan minumlah sesuai kadar perut masing-masing. Dari pemaparan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kolokasi yang terjadi dalam pasangan Taὶâd/antonim tidak menuntut adanya Taὶâd/antonim 238

Ahmad Muhammad Umar, `Ilm al-Dilalat, Maktabah al-Aurabah, Kuwait, 1982 h. 191 Ahmad Muhammad Umar membagi antonim ini menjadi empat macam yaitu: antonim mutlak contohnya: /‫ ﺡ‬dengan ‫ ت‬, antonim bertingkat contohnya ‫ ا  ا ر‬dengan ‫رد‬D ‫ا  ا‬, antonim konversif contohnya: ‫ ع‬dengan ‫ى‬$‫ إﺵ‬dan antonim direksional yaitu pertentangan yang posisi, keadaan, tempat dan arah yang berbeda contoh: ‫ ب‬+‫ ﺝ‬dengan ‫ل‬N‫ﺵ‬ 239

105

yang mutlak saja. Namun bisa juga berupa antonim yang terdiri dari pasangan Taὶâd/antonim

kekerabatan,

Taὶâd/antonim

majemuk,

ataupun

Taὶâd/antonim bertingkat. Kesimpulan dari bab III ini adalah bahwa relasi kata dengan kata yang lain akan melahirkan makna baru. Lahirnya makna itu karena adanya keserasian pasangan dari masing-masing pasangan. Setiap kata mempunyai pasangan sendiri dalam berkombinasi dengan kata yang lain. Oleh karena itu kolokasi kata akan melahirkan makna apabila dalam mengkombinasikan kata mengetahui makna polisemi, makna sinonim, makna kontradiksi (antonim). Kombinasi antar kata tersebut bisa terjadi secara bebas dan ada yang secara terbatas. Kombinasi yang terjadi secara bebas karena kata tersebut secara natural bagi pengguna bahasa asli bisa berkombinasi dengan kata yang lain, contoh kata berjalan, kata ini akan memerlukan pelaku secara bebas bisa berupa binatang, manusia bahkan benda matipun berjalan, akan tetapi berbeda dengan kata berbicara, kata ini memerlukan pelaku hanya terbatas pada manusia tidak mungkin kata berbicara mempunyai pelaku berupa binatang ataupun benda mati yang lain. Relasi antara kata berbicara dengan pelaku manusia inilah yang disebut dengan kolokasi terbatas.

106

BAB IV MAKNA DALAM RELASI KONSTITUEN STRUKTUR KALIMAT Bab IV akan membahas tentang makna yang dihasilkan oleh relasi antar konstituen struktur kalimat yang terdapat dalam al-Qur`an. Sebagaimana dijelaskan pada bab II bahwa kolokasi mempunyai peran yang besar dalam memberikan kontribusi terhadap pemaknaan terhadap suatu teks. Pembahasan ini untuk membuktikan bahwa yang bisa melahirkan suatu makna tidak hanya karena adanya relasi kata dengan kata, akan tetapi relasi antar unsur struktur kalimat juga akan menghasilkan makna. Pembahasan ini untuk membantah pernyataan yang dikemukakan oleh Goddard (1998)240 yang menyatakan bahwa yang paling menentukan dalam melahirkan makna adalah relasi hubungan antar kata. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Brinton dan Akimoto (1999)241 yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan bidang kajian yang fokus membahasa kajian relasi kata yang terbatas yang akan membantu dalam pemaknaan. Tokoh lain yang berpendapat senada adalah Housman dan Robbins (1989)242, menurutnya kolokasi merupakan relasi kata yang terjadi pada tataran leksikal. Pendapat dari para tokoh diatas karena dipengaruhi pemikiran oleh pencetus kolokasi pertama yaitu Firth (1957)243, dan juga pengikutnya Halliday(1966)244 dan Sincalir (1966)245. Pendapat para tokoh ini dibantah oleh Sabine Bartsch (2004)246 yang menyatakan bahwa kolokasi disamping menampilkan kajian bidang leksikal juga

240

Cliff Goddard, Sematics Anlysis, A Practical Introduction, Oxford University Press, London 1957 h. 197 241 Laurel J. Brinton and Minoji Akimoto, collocational and idiomatic Aspects of Composite Predicates in The History of English, John Bunyamins Publishing Company, Amsterdam, 1999 h. 8 242 R.H. Robins, General Linguistics, Longman, London and New york, 1989, h. 79 243 J.R. Firth, Papers in Linguistics, Oxford University Press, London and New York Toronto, 1957 h. 195 244 Nama lengkapnya Michael Halliday lahir tahun 1925, memperoleh gelar kesarjanaan pertamanya dalam bidang kajian Cina dari Universitas London, kemudian melanjutkan pendidikannya di Peking dan Camridge dengan menekuni kajiannya dibidang bahasa Cina dan Inggris. 245 John Sinclair, Susan Jones and Robert Daley, English Lexical Studies:Report to OSTI on Project C/LP/08, Departement of English, University of Birmingham, 1970 h. 34 246 Sabine Bartsch, Structural and Functional Properties of Collocations in English, Gunter Narr Verlag, 2004 h. 11

107

menampilkan kajian tentang struktur bahasa. Dia lebih rinci lagi menyatakan yang dimaksud dengan kajian kolokasi di bidang struktur adalah bukan lagi mengkaji relasi kata-perkata akan tetapi mengakaji relasi unsur-unsur sintaksis. Pendapat ini sebelumnya telah dikemukakan oleh tokoh bahasa yang lain. Diantara tokoh sebelumnya menyatakan bahwa kolokasi terjadi juga pada tataran sintaksis pernyataan ini antara lain dikemukakan oleh Benson (1985)247, Bahns (1993)248 Wouden (1997)249, menurut ketiga tokoh ini, selain pada tataran kata kolokasi juga terjadi pada tataran sintaksis. Artinya yang akan melahirkan sebuah makna tidak hanya karena adanya relasi antar kata dengan kata yang lain, akan tetapi juga karena adanya relasi antar unsur kalimat. Pendapat Sabine senada dengan pandapat dari linguis Arab Tamâm Hasân(2003) yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar unsur sintaksis yang masing-masing unsur tersebut keberadaannya sangat prediktibel. Artinya kemunculan salah satu unsur struktur kalimat akan sangat mudah untuk diprediksi karena kemunculan unsur struktur kalimat yang lain. Tamâm Hasân sendiri memberikan contoh apabila muncul hurf al-jar maka diprediksikan akan muncul ism yang menjadi majrûrnya. Demikian juga dengan bahasa Inggris apabila ada preposisi maka kata kerja yang terletak setelahnya berupa kata kerja bentuk gerund. Sebagaimana diskusi diatas bahwa ada dua pendapat yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi kata yang akan menghasilkan makna. Dari dua pendapat tersebut ada yang mengatakan bahwa yang paling berperan dalam menghasilkan sebuah makna ada yang mengatakan kolokasi dalam tataran relasi kata dan ada juga yang berpendapat kolokasi dalam tataran relasi unsur struktur kalimat. Penulis sendiri berpendapat bahwa baik kolokasi dalam tataran kata ataupun dalam tataran sintaksis keduanya mempunyai peran untuk melahirkan makna, sebagaimana contoh kolokasi dalam tataran kata perlu kiranya 247 248

Benson, Collocational and Field of Discourse, Pergamon Press Ltd, Oxford, 1985 J. Bahns, Lexical Collocations: contrastive view, ELT Journal Oxford ( 30 Juni 1993)

h.65 249

Ton van der Wouden, Negative contexts: collocation, polarity and multiple negation, Routledge, 1997 h. 13

108

ditampilkan ungkapan sebagai perbandingan kalimat yang pertama berbunyi “pak lurah makan kursi” dan “Pak lurah makan nasi” kedua kalimat ini secara struktur benar akan tetapi kalimat yang pertama secara relasi kata tidak benar, karena relasi kata makan lazimnya berkolokasi dengan kata makanan seperti roti, kue, atupun nasi. Artinya relasi kata sangat berperan dalam melahirkan makna. Demikian juga dengan relasi struktur kalimat. Pada kalimat kedua relasi kata dan struktur kalimatnya benar akan tetapi jika relasi antar unsur sintaksisnya salah maka akan melahirkan makna yang salah juga. Contoh kalimat kedua jika diubah dengan “Pak Nasi Lurah makan” maka kalimat ini tidak melahirkan makna yang dimaksud. Dengan demikian relasi struktur kalimatpun akan melahirkan makna. Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna yang lahir dari kolokasi struktur kalimat karena posisi dan fungsi kata yang terdapat pada suatu kalimat. Makna kolokasi struktur kalimat dapat diwujudkan dalam hubungan sintagmatik unsur-unsur leksikal sebagai pembentuk sebuah kalimat dengan menetapkan runtunan posisi dan fungsi kata tersebut. Kata yang sama akan menghasilkan makna yang berbeda ketika posisi dan fungsinya berbeda juga. Pada bab III telah penulis paparkan tentang makna yang dilahirkan oleh relasi antar kata, dan pada bab IV ini akan dipaparkan tentang makna yang dihasilkan oleh relasi antar unsur sintaksis. Makna yang dihasilkan oleh relasi unsur sintaksis pada kalangan linguis Arab bukanlah hal yang baru. Hal ini bisa dilihat dari awal penyusunan Ilmu nahwu sebagai ilmu yang membahas struktur kalimat dalam bahasa Arab. Abû al-Aswad al-Duwali sendiri sebagai peletak ilmu nahwu, pertama kali menyusun ilmu tersebut dilatar belakangi oleh kesalahan anak perempuannya yang berkata kepadanya dengan maksud mengungkapkan ta`jub dengan ungkapan  ‫ ُ' ا‬7‫  أ‬dengan merofa`kan huruf al-dâl, namun oleh ayahnya dijawab disangka ungkapan tersebut merupakan pertanyaan akan tetapi kata anaknya dia bukan bermaksud bertanya, hanya mengungkapkan keta`juban terhadap panas dimusim itu. Maka dengan serta merta Abû al-Aswad menuju rumah Ali bin Abi Thalib sebagai Amir al-Mukminin pada waktu itu untuk membicarakan tentang

109

kekacauan tata bahasa Arab250. Dari kisah ini penulis menafsirkan bahwa makna dari sebuah struktur kalimat sangat penting dalam memberikan maksud dalam suatu ungkapan. Al-Suyûthî (w. 911 H )251 juga berpendapat dalam kitab al-Iqtirahnya bahwa terciptanya ilmu nahwi karena rusaknya susunan bahasa yang menyebabkan salah makna dalam suatu ungkapan. Kerusakan susunan bahasa Arab itu menurut Al-Suyûthî karena terpengaruh oleh bahasa Asing. Al-Jurjânî (w.471 H)252 memberikan pandangan yang lebih luas, yakni menurutnya bahwa sebuah makna dihasilkan oleh relasi kata dengan yang tersusun dalam suatu kalimat. Dari ungkapan Al-Jurjânî ini dapat diambil pengertian bahwa kata akan menghasilkan makna jika tersusun dalam tataran sintaksis yang benar, dan sintaksis tanpa adanya relasi kata maka masing-masing unsurnya tidak mempunyai makna. Abû al-Abâs (w.291H) menolak pendapat yang menyatakan bahwa nahwu itu tidak mempunyai makna, ia mengatakan bahwa struktur kalimat tidak akan merusak makna253. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh al-Farrâ’ (w.207H)254 menurutnya struktur kalimat akan sesuai dengan maknanya dan makna juga akan sesuai dengan struktur kalimat255. Jika strukturnya rusak maka rusak pula maknanya dan jika maknanya rusak maka rusak pula strukturnya. Ibn Jinnî (w. 392 H)256 juga menyepakati para tokoh linguistik sebelumnya yang menyatakan bahwa antara struktur kalimat dengan makna saling mendukung. 250

`Abd Allah Ahmad Jâd al-Karim, al-Ma`na wa Nahwi, maktabah al-Adab, Kairo, Mesir, 2002 h. 19 251 Al-Suyûthî, al-Iqtirah fi `Ilm Ushul al-Nahwi, ditahqiq oleh Ahmad Salim al-Khamsa dan Muhammad Ahmad Qashim, cet I, 1988 h. 28 252 Abd Qâhir al-Jurjânî, Dalalil al-I`jaz, ditahqiq oleh Abd al-Mun`im khafaji, Kairo, 1977 h. 35 253 Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi Al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyîn wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Dâr al-Ma‘ârif, Kairo, mesir, cet ke 2 h. 131 254 Nama lengkapnya adalah Abû zakariyâ` Yahya Ibn Ziyâd Ibn ‘Abd Allah Ibn Manshûr al-Dailamî al-Farrâ’. 255 Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi Al-Andalusî, Thabaqât al-Nahwiyîn wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Dâr al-Ma‘ârif, Kairo, mesir, cet ke 3 h. 131 256 Nama lengkapnya adalah Abû al-Fath Utsmân Ibn Jinnî, Al-Khashâish, ditahqiq oleh Muhammad `Ali al-Najâr, Dar al-Hudâ, Bairut,

110

Makna akan muncul jika relasi kata yang terdapat dalam struktur kalimat terjadi secara benar. Artinya relasi antar kata dalam tataran sintaksis akan mempengaruhi makna yang dimaksud oleh pengucap. Maka apabila salah dalam menyusun kata yang terdapat dalam tataran sintaksis akan salah juga maksud yang ditangkap oleh pendengar. Dari kalangan yang mengatakan bahwa kolokasi bisa terjadi pada tataran kata dan tataran sintaksis. Mereka mengungkapkanya dengan istilah kata terkunci oleh makna dan sintaksis adalah kuncinya, ungkapan ini dikemukakan oleh AlJurjânî(w.471 H). Dari ungkapannya dapat diambil kesimpulan bahwa kolokasi yang merupakan relasi kata untuk melahirkan makna lebih didominasi oleh faktor relasi struktur kalimat. Tamâm Hasân (2003)257 juga berpendapat bahwa untuk menghasilkan makna, sebuah kata tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya relasi dengan kata yang lain. Ia juga mengatakan bahwa pada hakekatnya makna itu lahir setelah terjadinya relasi antar kata dalam struktur yang benar258. Dari relasi antar kata itulah yang akan melahirkan makna konteks tidak lagi makna dasar dari sebuah kata. Ia mengambil istilah dalam bahasa Inggrisnya Context of Situation atau makna al-dalâlî. Contohnya kata 1O yang berarti mata setelah mengadakan relasi dengan kata yang lain dengan menempati posisi tertentu dalam struktur kalimat maka akan menghasilkan makna yang baru. Tamâm Hasân259 menyatakan bahwa sebagian kata dalam sutau bahasa tidak akan bermanfaat jika tidak dikombinasikan dengan kata yang lain ataupun tidak adanya kombinasi antar unsur kalimat, ia mengistilahkan saling membutuhkanya konstituen struktur kalimat dengan istilah al-Iftiqâr. Tamâm Hasân mencontohkan huruf jar tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang menjadi majrûrnya, yâ al-nidâ () tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang menjadi munâdînya, adât al-syarth tidak akan bermakna tanpa adanya ism yang menjadi syarth dan fi`l yang menjadi jawabnya. Dan ia juga mengungkapkan 257

Tamâm Hasân, al-Lughah al-`Arabiyyah Ma`nâha wa mabnâha, `Alim al-Kutb, Kairo,

2003, h.178 258 259

Tamâm Hasân, al-Lughah. h. 182 Tamâm Hasân, Ijtihâdât lughawiyyat, `Âlim al-Kutb, Kairo, Mesir, 2007 h.340

111

bahwa keterkaitan makna karena adanya kombinasi kata yang memerlukan pasangan konstituen struktur kalimat yang khusus, ia mencontohkan kata  menurutnya pasti akan masuk kepada fi`l mudharî`, harf al-jar akan masuk kepada Ism dan huruf al-jazm pasti akan masuk kedalam fi`l. Saling memerlukannya antar konstituen struktur kalimat dan kekhususan pasangan konstituen yang masuk kedalam konstituen yang lain menurut Tamâm Hasân disebut dengan kolokasi. Tamâm Hasân dalam hal ini lebih cenderung mengatakan bahwa yang paling berperan dalam melahirkan makna adalah kolokasi dalam tataran sintaksis. Ia memberikan alasan bahwa susunan kata yang terdapat dalam suatu kalimat sangat bergantung kepada susunan unsur kalimat. Karena peletakan kata yang berbeda akan berpengaruh juga terhadap makna yang akan dilahirkan oleh kata tersebut. Pendapat Tamâm Hasân ini banyak kesamaannya dengan pendapat linguis Arab yang lainnya. Tamâm Hasân sendiri mengklasifikasikan kolokasi dalam tataran struktur kalimat menjadi empat macam yaitu kolokasi al-Talâzum, al-Istitâr, al-hadzf, dan al-Ikhtishash260. Yang dimaksud dengan kolokasi al-Talâzum indikasinya adalah nampak secara konkrit sebagaimana harf al-jar yang menuntut adanya isim yang dimajrurkan, fi`l menuntut adanya fa`il, mudhaf memerlukan mudhaf ilaihnya dan seterusnya, sedangkan kolokasi al-Istitâr adalah kolokasi yang berbentuk ism dhamîr yang seharusnya bersandar pada fi`l namun ism dhamîrnya tidak nampak secara nyata, adapun kolokasi al-hadzf merupakan jenis kolokasi al-Talâzum yang salah satu konstituennya dibuang karena mempunyai alasan makna, dan secara gramatika konstituen tersebut sebenarnya ada hanya tidak dimunculkan. Dan yang terakhir adalah kolokasi yang berbentuk Ikhtishash, kolokasi ini merupakan jenis kolokasi yang kombinasi antar unsur struktur kalimat sudah menjadi pasangan yang khusus, seperti kekhususannya huruf lam ( ) yang khusus masuk pada fi`l mudharî`. Menurut pendapat penulis klasifikasi yang ditawarkan oleh Tamâm Hasân kurang sistematis karena dari masing-masing jenis kolokasi tersebut sebagian ada 260

Tamâm Hasân, Ijtihâdât lughawiyyat, h.345

112

yang secara kelasnya dapat digabung dan ada yang perlu dirinci lebih luas lagi namun Tamâm Hasân tidak melakukan hal itu, sebagaimana contoh menurut penulis kolokasi al-Istitâr menurut hemat penulis pembahasannya masuk pada kolokasi al-hadzf, oleh karena itu penulis mengklasifikan kolokasi struktur kalimat kedalam tiga macam yaitu kolokasi Gramatika Lengkap, kolokasi reduksi konstituen struktur kalimat dan kolokasi affiks. Pengklasifikasian kolokasi ini penulis mengikuti pemikiran para tokoh linguis baik yang modern maupun yang klasik. A. Kolokasi Gramatika Lengkap Penulis menggunakan istilah kolokasi gramatika lengkap. untuk mengawali pembahasan kolokasi pada tataran struktur kalimat dengan maksud agar pembahasan kolokasi-kolokasi berikutnya akan mengacu kepadanya atau bisa juga diistilahkan dengan kolokasi normal karena pada kolokasi ini relasi antar konstituennya secara normal tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan. Mengacu kepada tokoh linguistik Tamâm Hasân bahwa kolokasi gramatika lengkap ini diistilahkan dengan kolokasi al-Talâzum261 yaitu merupakan kolokasi yang terdiri dari hubungan antara unsur kalimat yang satu dengan yang lainnya yang merupakan suatu kelaziman dalam kemunculannya. Menurut Hamâsah (2003)262 konstituen yang merupakan suatu kelaziman dalam kalimat bahasa Arab mencakup dua unsur yaitu unsur Musnad ( '+Y) dan unsur musnad ilaih ( ‫' ا‬+Y). Kedua unsur ini merupakan tiang yang harus ada dalam setiap kalimat. Kedua unsur itu adalah mubtadâ’ dengan khabr apabila kalimat itu adalah Jumlat Ismiyyat dan fi`l dengan fâ`il apabila kalimat itu berbentuk jumlat fi`liyat. Kelaziman munculnya musnad dan musnad ilaih merupakan kelaziman yang harus ada dalam kalimat sempurna atau jumlat mufîdat. Kelaziman munculnya konstituen struktur kalimat tidak mesti harus muncul dalam kalimat sempurna, bisa juga dalam bentuk frase. Para linguis Arab mengklasifikasikan konstituen yang mesti muncul secara beriringan baik kalimat sempurna ataupun frase menggunakan istilah yang berbeda-beda. Ibrahim 261 262

Tamâm Hasân, al-Lughah. h. 218 Hamâsah `Abd al-Lathîf, Binâ` al-Jumlah al-Arabiyyah, Dâr Gharîb, Kairo, Mesir,

2003 h. 33

113

`Ubadah (2001)263 mengklasifikasin menjadi membagi delapan bagian yaitu kelaziman yang berupa al-isnadi, al-Taqyidi, al-Idhah, al-Ibdal, Ta`kid wa Taqwiyah, al-Dharfiyyah, sababiyyah dan al-Ilat, dan yang terakhir adalah relasi yang berbentuk al-Maf`uliyyah. Pengklasifikasian `Ubadah nampak berbeda dengan pengklasifikasian yang dikemukakan oleh Hamasah (2003)264

yang

menyatakan bahwa dalam struktur kalimat mesti ada relasi antar konstituen yang tidak bisa tidak harus ada dalam kalimat tersebut. Menurut Hamasah konstituen struktur yang mesti ada dalam suatu kalimat diklasifikasikan dalam dua bentuk yaitu kelaziman yang mesti ada dalam kalimat sempurna dan kelaziman yang mesti ada dalam bentuk frase. Kelaziman

yang

mesti

ada

dalam

kalimat

sempurna

Hamasah

mengistilahkan dengan isnadi yang terdapat di dalamnya adalah fi`l dengan fa`il atau mubtada dengan khabarnya, sedangkan kelaziman yang mesti ada dalam bentuk frase terdiri dari enam macam yaitu: frase yang berbentuk Taqyîd, Tab`iyah, Ta`adud, Ta`âqub,Taratub, dan frase yang berbentuk I`tiradat. Al-Ghulayaini (2005)265 dalam bukunya mengklasifikasikan kelaziman munculnya unsur struktur kalimat kedalam enam macam yaitu: Isnadi, idhafi, `Athfi, Bayani, Maszji, dan `Adadi. Penulis berpendapat apapun istilahnya dan bagaimapun cara para tokoh linguis Arab mengklasifikan kombinasi antar konstituen struktur kalimat. Menurut penulis bahwa tanpa adanya kombinasi antar unsur struktur kalimat maka unsur yang lain tidak akan bermakna, contohnya man`ut tidak akan bermakna tanpa berkombinasi dengan na`atnya, dan tidak muncul makna konteksnya dari man`ut tanpa diiringi dengan munculnya na`at, maka na`at akan membantu untuk mengetahui makna man`ut. Menurut Sibawaih(w. 180.H)266 apabila suatu kata

263

Muhammad Ibrahim `Ubadah, al-Jumlah al-`Arabiyyah, Makunâtuha- Anwâ`uha-

Tahlîluhâ. 264

Hamâsah `Abd al-Lathîf, Binâ` al-Jumlah al-Arabiyyah, Dâr Gharîb, Kairo, Mesir,

2003 265

Musthafa Al-Ghulayaini, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, Dar al-Hadits, Kairo Mesir, 2005 hal-584 266 Sîbawaih, al-Kitâb, ditahqîq oleh `Abd al-Salâm Muhammad Hârûn, Maktaba alKhânji, Kairo Mesir,jilid 2 cet ke 3 1988 h. 78

114

telah mengadakan relasi dengan kata yang lain dalam satu struktur kalimat tertentu maka seolah-olah telah menjadi satu kata. Para ahli nahwu berbeda pendapat dalam menentukan media yang akan melahirkan makna pada suatu kalimat. Ada yang mengatakan bahwa yang menentukan makna adalah i`râb dan ada yang mengatakan tertibnya posisi dari masing-masing unsur kalimat. Hubungan kedua media ini sebenarnya saling mendukung, dengan adanya i`râb maka akan memperkuat untuk mengetahui makna yang akan menentukan makna terkandung dalam jumlah mufidah yang telah jelas posisi urutan dari masing-masing unsur struktur kalimat, demikian juga dengan diketahui posisi urutan dari masing-masing unsur struktur kalimat akan lebih mudah diketahui maknanya jika disertakan juga i`râbnya. Ahli nahwu yang mengatakan bahwa i`râb dan tertibnya posisi unsurunsur struktur kalimat akan menentukan makna adalah Ibn al- syarâj(w.312 H)267, menurutnya dengan mengetahui tanda i`râb walaupun urutan unsur kalimatnya tidak sebagaimana tata bahasa yang standar, kalimat tersebut akan diketahui maknanya. Dan posisi unsurnya bisa diTaqdîm dan dita`khirkan, namun jika kata tersebut merupakan kata yang tidak bisa diketahui tanda i`râbnya maka konstituen struktur kalimatnya tidak boleh diubah posisinya. Ia memberikan contoh jumlah mufidah yang mengandung kata yang bisa diketahui tanda i`râbnya yaitu : ‫ﺽب‬ ‫و‬NO ‫ ز'ا‬pada contoh tersebut dapat diketahui maknanya dari tanda i`râb yang ada namun pada kalimat contoh yang lain tidak bisa karena kata yang menjadi konstituen dari jumlah mufidah tersebut merupakan kata yang tidak bisa diketahui tanda i`râbnya contohnya: T7  TYO ‫ﺽب‬. Menurut Ibn al- syarâj apabila kata TYO menjadi fa`ilnya maka posisi urutan fa`il dengan maf`ulnya tidak boleh diTaqdîm dan dita`khirkan, dengan tujuan agar pembaca tidak salah tafsir. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn Jinî(w.392 H)268 bahwa unsur kalimat yang mengandung kata yang tanda i`râbnya tidak bisa diketahui

267

Nama lengkapnya adalah Abû Bakar Muhammad Ibn al-sarâj, al-ushûl fi al-Nahwi, ditahqiq oleh `Abd al-Husain al-Fatlâ, al-Risalat, 1985 268 Ibn Jinnî, Al-Khashâish, ditahqiq oleh Muhammad `Ali al-Najâr, Dar al-Hudâ, Bairut, jilid 1 h.300

115

maka maknanya dapat diketahui melalui urutan posisi kata tersebut dalam kalimat. Ibn Jinî memberi contoh :‫ى‬m T ‫ ﺽب‬. Menurut penulis antara i`râb dengan tertibnya konstituen yang terdapat dalam struktur kalimat keduanya memberikan kontribusi dalam melahirkan makna. Oleh karena itu makna akan diketahui jika i`râbnya jelas. Jika i`râbnya tidak diketahui maka bisa dilihat dari urutan konstituen struktur kalimat. Hanya pada teks-teks yang telah mapan ataupun urutan konstituen struktur kalimat tidak selamanya tertib sebagaimana kaidah yang telah ditentukan, kadangkala yang semestinya didepan ternyata diakhirkan dan begitu sebaliknya. Pada kasus yang semacam ini untuk menentukan makna maka yang berperan adalah i`râb. Menurut Ibn Ya`îs(w.643H.)269 makna dari mubtada muncul ketika disandarkan pada khabar, tanpa adanya khabar maka mubtada tidak memiliki makna. Menurutnya khabar adalah tempat lahirnya makna, oleh karena itu jumlah ismiyah mau tidak mau harus ada dua komponen mubtada dan khabarnya. Masih menurut Ya`is bahwa mubtada dan khabar tidak mesti nampak secara dhahir, namun bisa juga salah satunya bisa dibuang dengan alasan karena kalimat tersebut bisa dipahami tanpa kehadirannya walaupun menurut para ahli nahwu pada hakekatnya konstituen tersebut ada. Kehadiran kedua unsur tersebut dimaksudkan untuk penjelas makna saja dan jika makna sudah bisa dipahami tanpa kehadirannya maka cukup salah satu unsur saja. Contoh: '‫ ؟ ز‬D ‫ ا‬/0 1 pada kalimat yang menjadi jawaban tidak perlu lagi menggunakan khabar karena tanpa adanya khabar sudah dapat dipahami. Menurut ahli nahwu ungkapan jawaban dari pertanyaan pada contoh mengandung khabar D ‫ ا‬/0. 1. Makna Inversi Konstituen Struktur Kalimat Sibawaih berpendapat bahwa susunan stuktur kalimat akan mempengaruhi berbagai aspek termasuk didalamnya aspek makna dan aspek yang lainya270. Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Mubarad(w. 285 H.)271 tentang relasi susunan struktur kalimat dengan makna, sebagaimana dikutip oleh al-Zujâj bahwa 269

Ibn Ya`îs, Syarh al-Mufashl, maktabah al-Mutanabi, Kairo tt. Sîbawaih, al-Kitâb jilid 1 h.55 271 Nama lengkapnya Abu `Abas Muhammad Ibn Yazid al-Mubarad, al-Muqtadhab, ditahqiq oleh Muhammad `Abd al-Khaliq `Adhimat, 1979 270

116

al-Mubarad membedakan antara ungkapan ‫ ز'ًا‬ ُ ‫ ﺽ‬dengan ُ$‫ز ُ' ﺽ‬. Ungkapan ‫ ز'ًا‬ ُ ‫ ﺽ‬mengandung makna berita tentang dirinya dan peristiwa kejadianya. Sedangakan pada ungkapan ُ$‫ ز ُ' ﺽ‬mengandung makna berita tentang '‫ز‬. Inversi struktur kalimat mengandung permutasian susunan konstituen kalimat yang akan menghasilkan makna yang dimaksud. Contohnya pada ayat 2 surat al-’A`râf yang berbunyi: ‫*ر‬+$ + ‫'رك ﺡج‬. /0 12 0 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬ menurut al-Farrâ’(w.207 H)272 kata  ‫*ر‬+$ terletak dibelakang mempunyai makna penekanan terhadap kata ‫ل‬6#‫أ‬. Pendapat ini didukung oleh tokoh yang lain seperti al-Akhfasy(w.211 H)273 dan al-Zujâj(w.310 H)274. Relasi antara fi`l pertama (‫ل‬6#‫) أ‬ dengan fi`l kedua ( ‫*ر‬+$ ) merupakan relasi sababiyah, maka ayat tersebut tidak akan bisa dipahami apabila salah satu dari fi`l tersebut tidak ada. Ayat diatas mengandung makna kolokasi inversi struktur kalimat. Artinya secara normal runtutan konstituen struktur kalimat dari ayat tersebut adalah kata  ‫*ر‬+$ terletak setelah ungkapan 3 ‫ل إ‬6#‫ب أ‬$‫آ‬. Alasannya karena kata ‫*ر‬+$ merupakan

korelasi

dari

kata

‫ل‬6#‫أ‬

maka

seharusnya

posisinya

saling

berdampingan. Sedangkan ungkapan + ‫'رك ﺡج‬. /0 12 0 merupakan alasan untuk melakukan ‫*ر‬+$ . Oleh karena itu normalnya ayat tersebut berbunyi ‫ل‬6#‫ب أ‬$‫آ‬ + ‫'رك ﺡج‬. /0 12 0  ‫*ر‬+$ 3 ‫إ‬. Menurut al-Farrâ’(w.207 H.)275 relasi sababiyah menuntut adanya sebab yang harus muncul dalam satu jumlah mufidah, tanpa adanya sebab maka tidak akan menghasilkan makna. Contoh ayat 2 surat al-’A`râf yang berbunyi: َ+ْ َ‫ﺥ‬ َ #‫ِإ‬ ‫ً َ@ًِا‬:ِN7 َ oُ َ+ْ :َ  َ 0َ ِ ِ$َ Dْ #َ ‫ج‬ ٍ َmْ ‫ ٍ َأ‬9َ S ْ #ُ ْ1ِ ‫ن‬ َ َY#ْ œِ ْ ‫ ا‬kata ِ ِ$َ Dْ #َ mengandung makna ً:ِN7 َ oُ َ+ْ :َ  َ 0َ ِ ِ$َ Dْ +َ ‫ َ@ِ ًا‬. Penekanan makna pada ayat tersebut terletak pada kata ِ ِ$َ Dْ +َ , sedangkan kalimat‫ً َ@ًِا‬:ِN7 َ oُ َ+ْ :َ  َ 0َ

‫ج‬ ٍ َmْ ‫ ٍ َأ‬9َ S ْ #ُ ْ1ِ ‫ن‬ َ َY#ْ œِ ْ ‫َ ا‬+ْ َ‫ﺥ‬ َ #‫ ِإ‬merupakan

272

Nama lengkapnya adalah Abû zakariyâ` Yahya Ibn Ziyâd Ibn ‘Abd Allah Ibn Manshûr al-Dailamî al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 ditahqîq oleh Ahmad Yûsuf Najâtî dan Muhammad `Ali al-Najâri, 1980 h. 201 273 Nama lengkapnya adalah Abû al-Hasan sa`îd Ibn mas`adat al-Akhfasy, ma`ânî alQur`an, ditahqîq oleh Fâ`iz Fâris al-Hamd, Kuwait, 1979 jilid 2 h. 480 274 Nama lengkapnya adalah Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Sahl, ma`ânî al-Qur`ân wa I`râbuhu, ditahqîq oleh `Abd Jalîl `Abduh Syalbî, penerbit `Alim al-Kutub, 1988 jilid 5 h.257 275 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 ditahqîq oleh Muhammad `Ali al-Najâri, dar alMishriyat, 1972 h. 214

117

pengantar, oleh karena itu al-Farrâ’ meletakan kata ِ ِ$َ Dْ +َ pada akhir kalimat. Dan menurutnya al-Farrâ’ ayat ini mengandung kaidah Taqdîm Ta`khir. Al-Nuhâs membantah pendapat al-Farrâ’, menurut al-Nuhâs(w.338 H) 276 penekanan ayat diatas bukan pada kata ِ ِ$َ Dْ +َ yang diTaqdîm akan tetapi susunan struktur kalimat tersebut merupakan sebab adanya fi`l yang pertama maka muncul fi`l yang kedua. Logika al-Nuhâsa dari ayat ini adalah bahwa manusia diciptakan karena akan mendapatkan ujian maka perlu pembekalan berupa akal yang diperoleh melalui pendengaran dan penglihatan. Konteks stressing dari ayat diatas bukan pada /‫م آ‬G akan tetapi pada konteks perhatian Allah atas nikmat yang diberikan kepada manusia oleh karena-Nya sekaligus memberikan petunjuk cara memanfa`atkannya. Al-Nuhâs277 melarang repetisi struktur kalimat dengan alasan yang dikemukakan oleh al-Farrâ’, karena makna fungsional dari makna huruf

al-

fâ’(‫ء‬9 ‫ )ا‬merupakan makna struktural. Sedangkan makna logis dari kata ‫ً َ@ًِا‬:ِN7 َ menggugurkan tanggung jawab, karena hasil dari pendengaran dan penglihatan menghasilkan akal yang berbeda-beda. Inversi susunan struktur kalimat terkadang berfungsi untuk menjelaskan bentuk-bentuk maknawi seperti kembalinya dhamir kepada akhir kalimat contoh: ‫ن‬ َ ُِ  ْ Nُ ْ ‫ُ ِ ِ ُ ا‬#‫ْ ُذ‬1O َ ‫ل‬ ُ fَY ْ ُ َ ‫ َو‬menurut al-Farrâ’278 lazimnya susunan struktur kalimat ayat tersebut adalah D#‫ ذ‬1O ‫م‬N ‫ل ا‬fY G. Sedangkan al-Akhfasy279 memberikan pendapat yang sama juga dengan memberikan contoh ayat 18 surat Muhammad yang berbunyi ‫  إذا ﺝء ذآاه‬/#f0 menurut al-Akhfasy ayat ini mempunyai makna OY ‫  ذآاه إذا ﺝء ا‬/#f0 Dari uraian diatas penulis ingin mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur`an tersebut mengandung makna kolokasi Inversi Konstituen Struktur Kalimat. Artinya runtutan konstituen struktur kalimat tidak umum sebagai struktur kalimat normal. Posisi dari masing-masing konstituennya bisa bertukar. 276

Nama lengkapnya adalah Abû Ja`far Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ismâ`îl al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, ditahqîq oleh zuhair Ghâzî Zâhid, `Âlim al-Kutub wa al-Nahdlat al-`Arabiyat, 1985 jilid ke 5 h.96 277 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, jilid 5 h.96 278 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 211 279 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 480

118

2. Anastrop Struktur Kalimat Menurut kaidah yang normal posisi mubtada terletak diawal kalimat, namun dilain waktu mubtada bisa juga terletak setelah khabar. Pertukaran posisi unsur struktur kalimat ini dalam kaidah bahasa Arab merupakan hal yang wajar, karena ada hal-hal yang menuntut adanya permutasian tersebut. Tuntutan yang mengarah kepada pertukaran posisi ini mengandung makna kolokasi anastrop. Artinya Posisi konstituen struktur kalimat yang normal mengalami pertukaran tempat dengan cara mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang awal. Al-Khuli menggunakan istilah taqdîm ta`khir dengan anastrop280. Menurut Finoza anastrop ini berfungsi untuk mengalihkan kejenuhan dalam penggunaan bahasa281 sebgaimana contoh sebagai berikut: Di kawasan kampus ditanami pohon perindang, kalimat tersebut bisa dipindahkan poisisinya menjadi ditanami pohon perindang di kawasan kampus.dari contoh tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa pemindahan posisi konstituen struktur kalimat dalam bahasa Indonesia tidak akan mengubah makna, hanya untuk mengalihkan kejenuhan bagi pembicara sendiri ataupun bagi pendengarnya, sedangkan dalam bahasa Arab perubahan posisi konstituen struktur kalimat masing-masing para ahli berbeda pendapat ada yang mengatakan bahwa perubahan tersebut akan membawa terhadap perubahan makna dan ada juga yang mengatakan hanya memberikan stresing ataupun penekanan dan ada juga ada yang mengatakan bahwa perubahan posisi tersebut tidak berpengaruh apaun baik makna ataupun stresing terhadap makna. Para ahli bahasa Arab membolehkan kelaziman dalam susunan struktur kalimat mendahulukan yang akhir dan mengakhirkan yang awal. Contoh dari kasus

ini

adalah

sebagaimana

yang

dikemukakan

oleh

Syibawaih282

mendahulukan khabar dan mengakhirkan mubtada misalnya kalimat: '‫ ? ز‬, kata ? posisinya adalah sebagai khabar yang semestinya terletak berada setelah mubtada namun dalam hal ini kata ? diletakan sebelum mubtada. Namun 280

Muhammad al-Khuli, A Dictionary of Theoretical Linguistics English-Arabic, penerbit Libanon, 1982 h. 344 281 Lamuddin Finoza, Kemahiran Berbahasa Indonesia, Maawar Gempita, Jakarta, cet ke 4 1997 h. 103 282 Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 2 h. 127

119

menurut para ahli bahasa juga hal ini bisa juga posisinya bisa dibalik yaitu ? sebagai mubtada dan kata '‫ ز‬sebagai khabar atau sebagai fa`il. Perbedaan anastrop dengan inversi terletak pada permutasian kata dan permutasian unsur struktur kalimat. Ketika permutasian itu hanya berkisar pada pertukaran posisi kata maka disebut dengan inversi. Apabila permutasiannya itu karena pertukaran konstituen stuktur kalimat maka disebut dengan anastrop. Secara rinci anastrop dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Taqdim al-Khabar dan Ta`khir al-Mubtada Menurut

Syibawaih283

dan

al-Khalil

mendahulukan

khabar

dan

mengakhirkan mubtada hukumnya boleh bahkan ada yang wajib sebagaimana ungkapan '‫? ز‬, pada ungkapan ini kata ? posisi i`rabnya merupakan khabar yang semestinya berada setelah mubtada namun pada kesempatan ini khabar tersebut diletakan lebih dahulu dibandingkan mubtadanya. Menurut kedua tokoh ini hukumnya boleh, akan tetapi dianggap jelek apabila kata ? dikatakan sebagai mubtadanya dan kata '‫ ز‬sebagai khabar atau sebagai fa`il dari kata ?. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Mubarad284 dan Ibn Jinni285 yang menyatakan bahwa sah dan boleh mendahulukan khabar atas mubtada sebagaiman contoh: 3D‫ﺡ‬. ‫ ا 'ار‬/0 ,‫? أﺥ ك‬. Pendapat para tokoh diatas dibantah oleh Al-Anbâry (w.577 H)286 yang berpendapat dalam kitab al-Inshaf bahwa menurut ulama kufah mendahulukan khabar dan mengakhirkan mubtada tidak boleh baik mufrad ataupun jumlah, sebagaimana dalam ungkapan ‫و‬NO >‫ ذاه‬,'‫ ? ز‬sebagai contoh mufrad dan dalam ungkapan ‫و‬NO >‫ ذاه‬o ‫ أﺥ‬,'‫ ? ز‬o ‫ أ‬sebagai contoh bentuk jumlah. Argumen dari ulama kufah tidak boleh mendahulukannya khabar dari mubtada dan tidak boleh mengakhirkan mubtada karena sebelum ism dhahir telah didahului oleh dhamir. Seperti pada ungkapan '‫ ? ز‬setelah kata ? terdapat dhamir baru kemudian kata '‫ ز‬demikian juga dengan ungkapan dalam bentuk jumlah '‫ ? ز‬o ‫ أ‬huruf al-Hâ` (‫ )ا ء‬pada kata o ‫ أ‬merupakan dhamir yang berfungsi sebagai mubtada dan tidak 283

Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 2 h. 127 al-Mubarad, al-Muqtadhab, jilid 4 h. 127 285 Ibn Jinnî, Al-Khashâish, jilid 2 h. 282 286 Al-Anbâry, al-Inshaf fi masail al-khilaf, dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut Libanon, 1998 h. 68 284

120

ada perbedaan pendapat bahwa mubtada yang berasal dari dhamir tidak bisa diakhirkan. Sedangkan Ulama Bashrah berpendapat bahwa mendahulukan khabar dan mengakhirkan mubtada hukumnya boleh karena dalam ungkapan bahasa Arab, syair Arab dan ayat al-Qur`an banyak yang mendahulukan khabar dan mengakhirkan mubtada. Menurut penulis sendiri pada hakekatnya ungkapan '‫ ? ز‬merupakan khabar yang didahulukan dan mubtada yang diakhirkan,demikian juga dengan ungkapan '‫ ? ز‬o ‫أ‬. Dengan alasan bahwa pada ungkapan '‫ ? ز‬yang menjadi pokok kalimatnya adalah kata '‫ ز‬sedangkan kata ? berfungsi sebagai keterangan. Demikian juga dengan ungkapan '‫ ? ز‬o ‫ أ‬yang menjadi pokok kalimatnya adalah kata '‫ز‬. Al-Akhfasy287 memberikan perhatian terhadap masalah taqdîm takhir ini pada ayat-ayat al-Qur`an diantaranya adalah ayat 5 surat al-Qadar yang berbunyi /‫م ه‬7 menurutnya ungkapan ini mengandunng makna ‫م‬7 /‫ه‬. Al-Nuhâs288 juga memberikan perhatian terhadap Taqdîm ta`khir dalam al-Qur`an diantara contohnya adalah surat al-Anbiya ayat 3:   ‫ه‬G ungkapan ini mempunyai makna ‫ه‬G  . Ibn Khâlawih (w.370 H)289 menampilkan banyak contoh dalam hal taqdîm ta`khir dalam al-Qur`an beberapa contohnya adalah ayat 6 surat al-Ghasyiyah yang berbunyi: ‫م‬:X  g , menurutnya ayat ini mengandung makna  ‫م‬:X g kata  pada ayat tersebut berfungsi sebagai khabar. Demikian juga pada ayat 5 surah al-Masad yang berbunyi: 'Y 1 ;D‫ ﺝ'ه ﺡ‬/0 menurut ulama Bashrah kata ;D‫ﺡ‬ dibaca marfu` karena berfungsi sebagai mubtada karena mengandung makna taqdîm ta`khir. Makna dari taqdîm ta`khir menurut al-Khâlawih290 mempunyai makna yang sama sebagaimana contoh yang dikemukakan pada ungkapan  'N ‫ ا‬akan 287

al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 542 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 5 h. 268 289 Nama lengkapnya adalah Abu `Abd Allah al-Khusain Ibn Akhmad al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, ditashih oleh al-Syayid `Abd al-Rahim Mahmud, Dar alkutub, Mesir, 1931 h.68 290 al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 14 288

121

mempunyai makna yang sama apabila khabarnya didahulukan menjadi 'N ‫ ا‬. Contoh yang sama juga dikemukakan pada kalimat  *š  ]‫ وا‬apabila khabar pada ayat ini didahulukan maka akan menjadi *š  ]‫و ا‬. Kasus yang sama terjadi juga pada ayat yang berbunyi

': 1 ‫; و‬D 1]‫  ا‬maka apabila

mubtadanya didahulukan menjadi ': 1 ‫; و‬D 1 ]‫ ا‬mempunyai makna yang sama. Mendahulukan khabar kâna daripada mubtadanya menurut Syibawaih291 mengandung makna yang berbeda dalam penekannya, contoh:

N‫آن ز' ﺡ‬

berbeda dengan '‫ ز‬N‫ آن ﺡ‬, apabila '‫ آن ز‬maka makna mubtada telah diketahui tinggal menunggu kabarnya, dan ketika N ‫ آن ﺡ‬maka penekanan makna diketahui melalui khabarnya. b. Taqdim maf`ul bih Konstituen struktur kalimat dalam bahasa Arab yang berbentuk jumlah fi`liyah unsur pokoknya adalah fi`il, fa`il dan maf`ul bih yang pada lazimnya tersusun secara tertib. Namun dalam kondisi tertentu susunannya tidak selamanya tertib sebagaimana lazimnya. Terkadang maf`ul yang lazimnya terletak paling akhir maka bisa jadi berada paling awal atau yang lebih dikenal dalam istilah taqdîm maf`ul bih. Pada bagian ini akan dibahas tentang taqdîm maf`ul bih. 1) Wajib Taqdim maf`ul bih Al-Ghulayani292 mengklasifikasikan maf`ul bih didahulukan dari pada fa`il kedalam tiga tempat yaitu a) Maf`ul bih yang berfungsi sebagai ism istifham, b) Maf`ul bih yang berfungsi sebagai ism syarat c) Ketika ada fa`il yang berbentuk ism dhamir yang menghendaki untuk kembali kepada maf`ul. a) Maf`ul bih yang berfungsi sebagai ism istifham Struktur kalimat yang berbentuk jumlah fi`liyah yang konstituennya terdiri dari fi`l, fa`il dan maf`ul bih yang berupa ism istifham, maka wajib hukumnya mendahulukan maf`ul daripada fi`l dan fa`ilnya dengan alasan bahwa apabila istifham terletak sebelum atau sesudah fi`l dan fa`ilnya maka istifham itu tidak

291 292

Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 1 h. 45 Musthafa al-Ghulayaini, Jami` al-Durus al-`Arabiyat, Dar al-Hadits, Kairo, 2005 h.

436

122

mempunyai makna. Oleh karena itu tidak boleh mendahulukan fi`l dan mengakhirkan istifham. Dalam surat al-Mu`min ayat 81 yang berbunyi: ‫ون‬2+ ‫ي ات ا‬f0 pada ayat ini al-Nuhâs293 berpendapat bahwa kata ‫ أ‬posisi i`râbnya menjadi ma`ful yang dinasabkan oleh kata ‫ون‬2+ demikian juga dengan ayat 227 surat al-Syu`ara yang berbunyi: ‫ ن‬D+ >+ ‫وا اي‬9‫ آ‬1* ‫ ا‬:7‫ و‬pada ayat ini al-Zujâj294 mengatakan bahwa kata ‫ أي‬dibaca mansub karena berfungsi menjadi maf`ul dari fi`l ‫ ن‬D+ bukan dari kata :7 dengan alasan bahwa istifham tidak berfungsi untuk kalimat sebelumnya. `Abd al-Wahid295 juga memberikan contoh pada surat al-Baqarah ayat 215 yang berbunyi: ‫ ن‬9+ ‫ ذا‬3# šY pada ayat ini ia mengatakan bahwa kata ‫ذا‬ berfungsi sebagai maf`ul bih yang secara i`râb dibaca mansub oleh fi`l ‫ ن‬9+ bukan oleh 3# šY alasannya karena kata ‫ ذا‬merupakan kata tersendiri yang ditakdirkan mempunyai makna sesuatu. Dari pemaparan diatas menurut penulis wajib mendahulakan maf`ul yang berupa ism istifham karena menuntut adanya berita yang datang setelah fi`l. b) Maf`ul bih yang berfungsi sebagai ism syarat. Al-Zujâj296 memberikan contoh kasus ini dalam surat al-Qashash ayat 28 yang berbunyi / ّ O ‫'وان‬O 0 % 1‫ ا]ﺝ‬Nّ‫ أ‬menurutnya kata ‫ أي‬posisi sebagai maf`ul yang diperkirakan (ditakdirkan) dibaca mansub oleh fi`l %. Demikian juga dengan al-Nuhâs297 mengatakan bahwa yang menjadi permulaan kalimat dalam ayat tersebut adalah kata ‫ أي‬sedangkan maushul  bukan merupakan bagian dari awal kalimat. c) Ketika ada fa`il yang berbentuk ism dhamir yang menghendaki untuk kembali kepada maf`ul.

293

al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 4 h. 44 Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim Ibn Sahl al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, di tahqiq oleh `Abd al-Jalil `Abduh Syalbi, Penerbit Bairut, 1972 jilid 4 h. 105 295 `Abd al-Wahid al-Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, Dar alFikr, Amman Yordania, cet ke 2, 1999 h. 279 296 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 4 h. 142 297 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 226 294

123

Al-Ghulayani298 memberikan contoh: w ‫'ا‬:7 ‫ أآم‬kata ‫'ا‬:7 pada kalimat ini wajib didahulukan karena berfungsi sebagai rujukan dari dhamir yang posisi i`râbnya menjadi fa`il. Dalam surat al-Baqarah ayat 124 yang berbunyi: T$‫وإذ ا‬ ‫ت‬N2 ّ‫ إاه ر‬kasusnya sebagaimana contoh sebelumnya yaitu maf`ul wajib didahulukan daripada fa`ilnya alasanya fa`il dari ayat tersebut berupa dhamir yang mesti rujukannya kembali kepada maf`ulnya. Kasus pada ayat ini ism istifham maf`ul wajib didahulukan karena apabila maf`ulnya diakhirkan pembaca tidak bisa memahami kemana dhamir itu akan kembali. Al-Qathân299 lebih tegas lagi mengatakan bahwa setiap dhamir memerlukan tempat kembali (marja`) atau penjelas, yaitu kata-kata yang digantikannya, dan menurut kaidah bahasa tempat kembali itu harus mendahuluinya. Ibn Malik memberikan alasan bahwa dhamir mutakalim dan dhamir mukhatab telah dapat diketahui maskudnya secara jelas melalui keadaan yang melingkupinya, tidak demikian halnya dengan dhamir gha`ib. Karena itu menurut kaidah ini tempat kembali dhamir tersebut harus mendahuluinya agar apa yang dimaksud dengannya dapat diketahui lebih dahulu. Itulah sebabnya para ahli nahwu menetapkan dhamir gha`ib tidak boleh kembali kepada kata terkemudian dalam pengucapan. Dari pemaparan diatas penulis mengambil kesimpulan bahwa maf`ul yang berfungsi sebagai tempat kembali (marja`) dari dhamir maka wajib didahulukan. Logikanya tanpa adanya tempat kembali maka dhamir akan kehilangan rumah. 2) Boleh mendahulukan maf`ul bih Maf`ul bih boleh didahulukan daripada fi`l dan fa`ilnya dengan alasan isytighal contohnya

oY ;DY ‫`( ^ ا‬Abasa:20) menurut al-Farrâ’300 ayat ini

mengandung makna ;DY oY ^ sedangkan menurut al-Akhfasy301 mengandung

298

Musthafa al-Ghulayaini, Jami` al-Durus al-`Arabiyat, Dar al-Hadits, Kairo, 2005 h.

299

Al-Qathan, Mabâhis

300

al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 237 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 528

437

fi `Ulum al-Qur`an, Mansyurâh al-`Ashr al-hadits, Riyadh, 1973

h.196 301

124

makna S ‫ ا‬o‫ ه'ا‬dan menurut al-Syuyuthi(w.911 H)302 mengandung makna

X

‫ أ‬1S 1 ‫ ﺥوﺝ‬menurut ketiga tokoh tersebut kata ;DY ‫ ا‬dibaca mansub karena menjadi maf`ul dari kata oY. Demikian juga dengan ayat +6‫ ﺝ‬3 ‫ ذ‬menurut alFarrâ’303 kata 3 ‫ ذ‬posisi i`râbnya menjadi maf`ul yang diperkirakan (ditakdirkan) dibaca mansub oleh kata +6‫ﺝ‬. B. KOLOKASI REDUKSI KONSTITUEN STRUKTUR KALIMAT Ibn Hisyam (w.761 H)304 berpendapat bahwa pangkal dari kalimat bahasa Arab ada dua yaitu mubtada dan khabar pada jumlah ismiyah dan fi`il dengan fa`il pada jumlah fi`liyah, atau menurut Syibawaih305 dan para ahli balaghah menggunakan istilah musnad dan musnad ilaih. Kedua unsur pokok tersebut saling mengikat, karena merupakan hubungan yang saling menyandarkan. Kedua unsur yang pertama menerangkan tentang pokok pikiran dari makna yang dimaksud sedangkan makna yang kedua menerangkan tentang makna yang dihasilkan dari hubungan kedua unsur tersebut. Contoh apabila ada kalimat yang berbunyi: ‫ ا @ن ي‬maka dalam pikiran terdapat dua bayangan ‫ ا @ن‬dan bayangan ‫ ي‬dan setelah digabungkan kedua kata tersebut maka akan mempunyai bayangan yang berbeda lagi yaitu ‫( ا @ن ي‬kuda berlari). Bayangan tentang ungkapan ‫ ا @ن ي‬itulah yang disebut dengan makna yang dihasilkan oleh hubungan antar konstituen struktur kalimat. Ibn Burhan (w.456 H)306 juga sependapat bahwa jumlah ismiyah mufidah terdiri dari mubtada dan khabar. Mubtada berfungsi sebagai sandaran bagi khabar dan khabar berfungsi untuk melahirkan makna dari mubtada. Makna akan lahir apabila kedua unsur tersebut berkumpul dalam sebuah kalimat. Ibn Ya`îs307 berkata bahwa mubtada dan khabar bisa mendapatkan fungsi apabila keduanya berkumpul dalam suatu kalimat. Menurutnya mubtada dalam kalimat berfungsi 302

Nama lengkapnya adalah Jalal al-Din `Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al- suyuthi, alItqan fi ulum al-Qur`an, al-Buhuts al-`Ilmiyah, Kuwait, 1980. 303 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 359 304 Ibn Hisyam, Syarah Qathr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh Muhammad muhyi al-Din `Abd al-Hamid, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, Riyadh, tt, h. 160 305 Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 1 h. 120 306 Ibn Burhan al-`Ukbari, Syarh al-Luma`, ditahqiq oleh Faiz Faris, al-silsilah alTuratsiyyah, Kuwait, 1984 h. 33 307 Ibn Yâ`is, Syarah Ibn Yâ`is `Ala al-Mufashal li al-Zamahsari, jilid 1 h.94

125

sebagai sandaran untuk mencapai maksud dari sebuah ungkapan dan khabar berfungsi sebagai tempat untuk mencapai maksud. Oleh karena itu kedua unsur itu wajib adanya kecuali ada relasi kata atau keadaan yang cukup tanpa kehadiran dari salah satu unsur yang dimaksud, maka boleh atau wajib untuk membuang salah satunya. Karena kehadiran kata dalam sutau kalimat fungsinya adalah untuk menunjukan makna, jika kalimat tersebut dapat dipahami tanpa kehadirannya maka boleh dibuang. Chomsky (1965)308 dalam hal ini memberikan istilah dengan transformasi delesi, proses ini menggambarkan penghilangan sesuatu dalam struktur kalimat. Contohnya: Bill couldn`t hear you, but I could hear you. Dari ungkapan ini terasa terlalu panjang dan memungkinkan untuk dibuang sebagian unsur kalimat dengan tidak mengurangi dan mengubah makna yang terkandung didalamnya. Maka bisa disimpelkan kalimatnya menjadi Bill couldn`t hear you, but I could. 1. Reduksi Mubtada Sebagaimana disebutkan diatas bahwa mubtada merupakan salah satu pangkal dari kalimat sempurna dalam bahasa Arab. Artinya apabila kalimat tanpa kehadirannya maka bisa dikatakan kalimat tersebut tidak akan bisa memiliki makna. Ibn Ya`îs309 berpendapat bahwa apabila makna yang terdapat dalam ungkapan telah memiliki isyarat makna lafal atau memiliki makna kontekstual atau memiliki makna yang lain yang bisa memberikan pemahaman terhadap pembaca ataupun pendengar maka menurutnya mubtda boleh dibuang. `Abd Qahir Al-Jurjânî(w. 474 H)310 menegaskan bahwa membuangnya mubtada melihat dari konteks kedua unsur tersebut yakni mubtada dan khabar dan juga melihat keadaan situasi bahasanya. Menurut penulis membuang mubtada bertujuan untuk efektif dalam pengucapan dan juga berfungsi untuk lebih komunikatif antara pembicara dengan pendengar ataupun pembaca. Seperti contoh dalam sebuah jawaban dari 308

Noam Chomsky, Aspects of The Theory of Syntax, The M.I.T. Press, Cambridge, 1965

h.164 309

Ibn Yâ`is, Syarah Ibn Yâ`is `Ala al-Mufashal li al-Zamahsari, jilid 1 h.94 Nama lengkapnya adalah Abu Bakr `Abd al-Qahir Ibn `Abd al-Rahman Ibn Muhammad al-Jurjani, Dalail al-I`jaz, ditahqiq oleh Mahmud muhammad Syakir, 1983 310

126

pertanyaan. ‫؟‬3$+ dari pertanyaan ini maka akan lebih efektif dan lebih komunikatif apabila jawabannya tanpa diikutkan mubtadanya atau dengan kata lain mubtadanya dibuang, maka cukup dengan mengungapkan jawaban ‫ذ‬$7‫أ‬ secara makna sudah cukup bisa dipahami dan secara strukturpun sudah benar hanya karena kata ‫ذ‬$7‫ أ‬merupakan khabar dari mubtada yang keberadaanya ditakdirkan (diperkirakan) dengan kata #‫ أ‬maka logika bahasa Arab mengatakan bahwa mubtadanya dibuang. a. Boleh membuang Mubtada Sebagaimana dijelaskan pada alinea sebelumnya bahwa kalimat sempurna bahasa Arab pangkal pokoknya adalah mubtada dengan khabar apabila itu jumlah ismiyah atau fi`l dengan fa`il apabila itu jumlah fi`liyah. Namun dalam keadaan tertentu unsur pokok tersebut sewaktu-waktu bisa dibuang dengan alasan kebahasaan yang jelas tanpa merusak makna. 1) Membuang mubtada pada jawaban Menurut Syibawaih (w. 180 H)311 membuang mubtada bertujuan untuk memperjelas tempat berhentinya ungkapan. Demikian juga diperjelas oleh alFarrâ’ (w.208 H)312 yang menyatakan bahwa mubtada bisa dibuang diantarnya adalah pada jawaban dari sebuah pertanyaan. Ia mencontohkan dengan ungkapan ‫؟‬3N7‫  ا‬jawaban dari pertanyaan ini bisa cukup dengan hanya menyebut nama orang bisa Ali, Ahmad, Hasan, Syarif atau yang lainnya bisa juga dengan menambahkan kalimat lengkap dengan mengungkapkan frase /N7‫ إ‬menjadi /N7‫ا‬ /O atau yang lainnya. Menurut Ibn `Aqil (w.769)313 membuang mubtada pada jawaban dari sebuah pertanyaan hukumnya boleh. Artinya mubtadanya bisa muncul bisa juga dibuang yang secara perkiraan keberadaannya ada.

311

Abû Basyar `Umar Ibn Utsman Ibn Qanbari Syibawaih, al-Kitâb, ditahqiq oleh Abd al-Salam Harun, al-Haiah, al-Misriyah li al-Kitâb, 1977 juz 2 h. 418 312 Abû Zakariyâ yahyâ Ibn Ziyâd al-Dailami al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, ditahqiq oleh Ahmad Yusuf Najâti dan Muhammad Ali al-Najâr, al-Haiat, al-`Amah li al-Kitâb, juz 1, 1980 h. 196 313 Menurut Ibn `Aqil dalam, Syarh Ibn `Aqil `Ala `Alfiyyah Ibn Malik, yang ditahqiq oleh Muhyi al-Din `Abd al-Hamid , Dar-al-Turats, Kairo, 1980 juz 1 h 244 menyatakan bahwa membuang mubtada hukumnya ada dua macam yaitu boleh dan wajib.

127

Pada surat al-Baqarah contohnya terdapat pada ayat 21٩ yang berbunyi: ‫ذا‬

9:ْ ‫ ن ; ا‬9+ kata 9:ْ ‫ ا‬menurut al-Ahfasy (w. 211 H.)314 dan al-Zujâj (w. 310 H.)315 dibaca rafa` karena menurutnya kata tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan ‫ ن‬9+ ‫ ذا‬yang membuang mubtadanya yang diperkirakan (ditakdirkan) berupa dhamir ‫ ه‬sedangkan menurut al-Farrâ’ (w.208.)316 Abû `Ubaidah (w. 210 H.)317, dan al-Nuhâs (w.338 H.)318 kata 9:ْ ‫ ا‬dibaca mansub karena diperkirakan (ditakdirkan) menjadi maf`ul bih dari kata َ 9: ‫ ا ا‬9#‫أ‬ Contoh yang sama juga terdapat pada surat al-Haj ayat 72 yang berbunyi ; ‫ر‬+ ‫ ا‬2 ‫ ذ‬1 m 2šّD#ُf0‫ أ‬menurut al-Farrâ’319 dan Abû `Ubaidah320 kata ‫ر‬+ ‫ا‬ merupakan jawaban dari pertanyaan 2 ‫ ذ‬1 m 2šّD#ُf0‫ ; أ‬yang dibaca marfu` dengan alasan sebagai khabar yang terputus dengan mubtada dan juga karena sebagai khabar pada permulaan kalimat sedangkan mubtadanya dirahasiakan. Pendapat kedua tokoh ini berbeda dengan pendapatnya al-Zujâj321 dan alNuhâs322, menurutnya kata ‫ر‬+ ‫ ا‬merupakan khabar dari mubtada yang diperkirakan mubtada itu dibuang.

Demikian pula al-Zujâj dan al-Nuhâs memperkirakan

(mentakdirkan) dibuangnya mubtada senada dengan ayat sebelumya yaitu pada surat al-Maidah ayat 60 yang lain yang berbunyi:‫' ا‬+O  e 3 ‫ ذ‬1 ّ m 2šّD#ُ‫; ه; أ‬ menurutnya seolah-olah pembica mengatakan: 3 ‫ ذ‬1 maka jawabannya adalah ‫ ا‬+: 1 ‫ه‬. Pada ayat yang diawalil dengan ‫ك‬ َ ‫ َ َأدْرَا‬sebagaiman yang terdapat pada surat al-Balad ayat 12-13 yang berbunyi: ٍ Dَ َ ‫ َر‬3 £ 0َ , ُ Dَ َ :َ ْ ‫ك َ ا‬ َ ‫ َوَ َأدْرَا‬para ahli bahasa 314

Abû Hasan Sa`îd Ibn Mus`adah al-Akhfasy, Ma`ânî al-Qur`ân yang ditahqiq oleh Fâiz Fâris al-Hamd, Kuwait, 1979 Juz 1 h. 172 315 Abû Ishaq Ibrahim Ibn Sahl al-Zujâj, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, ditahqiq leh `Abd al-Jalil `Abduh Syalbi, `Alim al-Kutub, 1972 Bairut juz 1 h.285 316 Abû Zakariyâ yahyâ Ibn Ziyâd al-Dailami al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, ditahqiq oleh Ahmad Yusuf Najâti dan Muhammad Ali al-Najâr, al-Haiat, al-`Amah li al-Kitâb, juz 1, 1980 h. 196 317 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Sazkin, 1962 juz 1 h. 73 318 Al-Nuhas, nama lengkapnya adalah Abû Ja`far Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ismail alNuhas, I`rab al-Qur`an, ditahqiq oleh Zuhair Ghazi Zahid, `Alim Al-Kutub wa al-Nahdhah al`Arabiyah, 1985 juz 1, h. 210 319 al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 1 h. 230 320 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 54 321 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 2 h. 206 322 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 105

128

berbeda pendapat dalam memperkirakan (mentakdirkan) mubtada yang dibuang dalam kalimat jawaban hasil dari pertanyaan pada ayat sebelumnya. Al-Ahfasy323 memperkirakan bahwa mubtada yang dibuang adalah berupa kata ُ Dَ َ :َ ْ ‫ ا‬sedangkan al-Nuhâs324 memperkirakan bahwa mubtadanya adalah berupa dhamir ‫ ه‬dan Ibn Khâlawih325 memperkirakan mubtada yang dibuang adalah sama dengan ayat sebelumnya. Sedangkan al-Farrâ’ dan Abû `Ubaidah tidak mengemukakan pendapat yang konkrit terhadap masalah dibuangnya mubtada pada ayat ini. Menurut penulis sendiri berkaitan dengan memperkirakan (mentakdirkan) membuang mubtada dalam suatu ungkapan jawaban dari pertanyaan adalah sebuah logika yang berlebihan karena tanpa membuang mubtada jawaban dari pertanyaan sudah mengandung makna yang jelas. Apalagi dengan memperkirakan kata yang belum tentu benar keberadaanya dalam suatu kalimat. 2) Membuang mubtada setelah fa (‫ )اء‬jawab Para ahli bahasa memperkirakan bahwa setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab dalam jumlah syartiah mengandung mubtada. Contohnya yang terdapat surat al-Taubah ayat: 11 yang berbunyi: 1ّ' ‫ ا‬/0 2#‫œﺥ ا‬0 ‫آة‬6 ‫œن  ا وأ ا ا @ّة و[ ا ا‬0 . menurut al-Ahfasy326, Abû `Ubaidah327 dan al-Zujâj328 semua tokoh tersebut memperkirakan (mentakdirkan) setalah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab mengandung dhamir ‫ ه‬sehingga diperkirakan kalimat lengkapnya adalah 2#‫ إﺥ ا‬0. Al-Farrâ’329 sebenarnya ragu-ragu terhadap ayat ini karena kemungkinan bisa ditakdirkan dengan mubtada dan bisa juga ditakdirkan dengan fi`l. Ia juga memberi contoh yang sama pada surat al-Maidah ayat 118 yang berbunyi: ّ*: ‫إن‬ ‫دك‬D:0 menurut qira`ah Abdullah. Al- Fara berpendapat bahwa jumlah setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab bisa berupa mubtada bisa juga berupa fi`l, maka ungkapan 323

al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 3 h. 538 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 5 h. 321 325 al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 164 326 Abû Hasan Sa`îd Ibn Mus`adah al-Akhfasy, Ma`ânî al-Qur`ân yang ditahqiq oleh Fâiz Fâris al-Hamd, Kuwait, 1979 Juz 1 h. 17٣ 327 Nama lengkapnya adalah Mu`amar Ibn Mutsana Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Sazkin, 1962 juz 1 h. ٢٥٢ 328 Abû Ishaq Ibrahim Ibn Sahl al-Zujâj, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, ditahqiq leh `Abd al-Jalil `Abduh Syalbi, `Alim al-Kutub, 1972 Bairut juz 1 329 Abû Zakariyâ yahyâ Ibn Ziyâd al-Dailami al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, ditahqiq oleh Ahmad Yusuf Najâti dan Muhammad Ali al-Najâr, al-Haiat, al-`Amah li al-Kitâb, juz 1, 1980 h. 1٤١ 324

129

lengkapnya bisa menjadi ‫دك‬DO 0 ّ*: ‫ إن‬atau ‫دك‬DO #œ0 ّ*: ‫إن‬. Ia memperkirakan (mentakdirkan) dengan mubtada dengan maksud bahwa yang menjadi khabarnya bersifat abadi dan berkelanjutan. Sedangkan jika setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab berupa fi`l maka yang dimaksudkan tidak abadi dan bersifat sementara, sebagaimana yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 239 yang berbunyi: #D‫ أورآ‬G‫ﺝ‬0 $9‫œن ﺥ‬0. Pada potongan ayat tersebut terdapat sesuatu yang tidak abadi yaitu ketika takut, sifat takut itu bisa berubah-ubah dalam waktu yang relatif tidak bisa ditentukan maka dalam hal ini al-Farrâ’ memperkirakan (mentakdirkan) ungkapan yang terletak setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab adalah fi`l, oleh karena itu ungkapan lengkapnya adalah #D‫ أورآ‬G‫@ ا رﺝ‬0 $9‫œن ﺥ‬0. Al-Zujâj330 memperkirakan (mentakdirkan) mubtada yang terletak setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab pada ayat 196 dan 229 dari surat al-Baqarah yang masing-masing bunyinya: ‫ي‬ ِ ْ'َ ْ ‫ ا‬1 َ ِ َ Y َ ْ $َ 7 ْ ‫َ ا‬N0َ dan ‫ف‬ ٍ ‫ُو‬:ْ Nَ ِ ٌ‫َك‬Yْ œِ0َ ‫ن‬ ِ َ َ ‫ق‬ ُ َS  ‫ ا‬dengan kata O >‫ا اﺝ‬ ِ ْ'َ ْ ‫ ا‬1 َ ِ َ Y َ ْ $َ 7 ْ ‫ َ ا‬O >‫ اﺝ‬0 dan maka dipekirakan ungkapan lengkapnya adalah ‫ي‬ ‫ف‬ ٍ ‫ُو‬:ْ Nَ ِ ٌ‫َك‬Yْ ‫ ِإ‬O >‫ اﺝ‬0 sedangkan `Abd al-Wahid Shalih331 pada ayat 196 memperkirakan (mentakdirkan) setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬jawab berupa frase 2O yang posisi i`râbnya menjadi khabar Muqadam sedangkan huruf  adalah ism maushul yang posisi i`râbnya menjadi Mubtada Muakhar. Ayat 229 `Abd al-Wahid332 memperkirakan (mentakdirkan) mubtadanya adalah berupa kata 1A$ ‫ا‬. 3) Membuang mubtada setelah kata ‫ا ل‬ `Abd al-Wahid Salih333 berpendapat tentang ayat 58 surat al-Baqarah ia menyatakan bahwa kalimat S‫ و ا ﺡ‬mengandung mubtada yang dibuang yang diperkirakan (ditakdirkan) berupa kata S‫ أك ﺡ‬dan jumlah ismiyah dari mubtada dan khabar posisi i`râbnya dibaca mansub karena menjadi maf`ul bih. Sedangkan menurut al-Zujâj pada kalimat S‫ و ا ﺡ‬mengandung i`râb mansub dengan perkiraan (ditakdirkan) $#‫ أ‬dan bisa juga i`râb marfu dengan perkiraan (ditakdirkan) mubtadanya berupa kata +$ fY. 4) Membuang mubtada diawal kalimat 330

al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 256 `Abd Wahid Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, jilid 1, h. 254 332 `Abd Wahid Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, jilid 1, h. 301 333 `Abd Wahid Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, jilid 1, h. 65 331

130

Sikap para ulama terhadap i`râb awal ayat 147 surat al-Baqarah tidak terdapat perbedaan pendapat. Seperti al-Farrâ’334 berkata bahwa pada awal ayat tersebut terdapat mubtada yang dibuang yang diperkirakan (ditakdirkan) berupa kata ‫ ه‬menurutnya kalimat lengkap diperkirakan berupa kalimat 1  ‫' ه ا‬N  3‫ ر‬. Abû `Ubaidah335 lebih tegas lagi mengatakan bahwa pada ayat tersebut disamping sebagai kalimat baru ataupun kalimat yang terpotong dari kalimat sebelumnya maka harus menjadi kalimat sempurna yang mesti ada mubtada dan ada khabar walaupun itu hanya diperkirakan (ditakdirkan). Demikian juga dengan `Abd al-Wahid336 berpendapat bahwa pada awal ayat 147 perlu ada mubtada yang diperkirakan (ditakdirkan) berupa kata ‫ ه‬karena kata

 ‫ ا‬bagi para tokoh

merupakan khabar yang mubtadanya dibuang. 2. Reduksi Khabar Ahli Nahwu membagi dua hukum dalam hal membuang khabar yaitu wajib dan boleh, yang pertama akan membahas tentang wajibnya membuang khabar. a. Wajib membuang khabar 1) Membuang khabar setelah kata ( ) Al-Nuhâs337 berkata bahwa pada ayat 64 surat al-Baqarah yang berbunyi ‫; ا‬%0 G 0 mengandung khabar yang dibuang setelah kata G dan menurut Sibawaih kata ;%0 dibaca rafa` karena berfungsi sebagai mubtada sedangkan khabarnya dibuang. Demikian juga `Abd al-Wahid Salih. 2) Wajib membuang khabar Qasam Sharih Menurut al-Farrâ’338 khabar

yang terletak setelah Qasam Sharih

diperkirakan (ditakdirkan) tidak dibuang dengan alasan bahwa kalimat yang terletak setelah jawab qasam adalah kalimat yang independen. Sedangkan menurut al-Nuhâs339 memperkirakan bahwa khabar yang terletak setelah Qasam wajib dibuang sebagaiman Ia mencontohkan dalam ayat 72 surat al-Khijr yang berbunyi: ‫ ن‬N: 27 /9 ّ#‫ك إ‬N: , pada ayat ini al-Nuhâs memperkirakan 334

al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 1 h. 39 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 95 336 `Abd Wahid Shalih, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, jilid 1, h. 197 337 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 247 338 al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 1 h. 39 339 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 387 335

131

(mentakdirkan) yang menjadi mubtadanya adalah kata ‫ك‬N: dan khabarnya dibuang dengan perkiraan (ditakdirkan) berupa kata /NY. b. Boleh membuang khabar 1) Boleh membuang khabar setelah fa (‫ )اء‬Jawab Tokoh bahasa semuanya sependapat bahwa setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬Jawab khabar boleh dibuang. Contoh pada 196 surat al-Baqarah yang berbunyi: N0 @‫œن أﺡ‬0 Y$7‫ا‬, menurut al-Syuyuthi, al-Farrâ’, al-Akhfasy, al-Nuhâs dan termasuk tokoh bahasa Arab kontemporer juga menyatakan bahwa khabar yang terletak setelah fa (‫ء‬9 ‫ )ا‬dibuang dan diperkirakan (ditakdirkan) berupa kata O. 2) Boleh membuang khabar karena `athaf kepada mubtada sebelumnya Khabar boleh dibuang ketika khabar itu merupakan ungkapan yang sama pada mubtada yang pertama. Karena makna yang terkandung telah dipahami oleh pendengar atau pembaca. Contoh: ^^ 1 ّ ّ':0 $D‫ إن ار‬2?Y# 1 LN ‫ ا‬1 1Yš /?ّ ‫وا‬ 1%  /? ‫ أﺵ وا‬pada ayat ini ungkapan ‫ ^^ أﺵ‬merupakan khabar dari mubtada 1 ّ ّ':0 dan ungkapan 1%  /? ‫ وا‬merupakan mubtada juga yang di `Athafkan kepada ungkapan 1 ّ ّ':0 maka menurut para tokoh linguis seperti alFarrâ’340 dan al-Zujâj341 mengatakan bahwa khabar dari ungakapan 1%  /? ‫وا‬ dibuang yang diperkirakan (ditakdirkan) sama dengan khabar pada ungkapan 1 ّ ّ':0 yaitu ‫ ^^ أﺵ‬namun menurut para tokoh linguistik karena tanpa dihadirkannya khabar pada mubtada yang kedua pembaca atau pendengar dianggap telah memahami maksud dari sebuah pernyataan. 3) Boleh membuang khabar pada Tanazu` Khabar boleh dibuang karena menghindari pengulangan dalam penyebutan dari dua `Amil yang menghendaki adanya khabar yang sama. Syibawaih dalam hal ini memberikancontoh pada ayat 62 surah al-Taubah yang berbunyi:  7‫وا ور‬ ‫أن ﺽ‬

‫أﺡ‬. al-Zujâj342 memperkirakan (mentakdirkan) khabar yang dibuang

adalah ungkapan yang sama dengan khabar pada mubtada yang pertama, maka kalimat yang semestinya adalah ‫ وا أﺡ أن ﺽ‬dan ‫  أﺡ أن ﺽ‬7‫ ور‬. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh al-Nuhâs dan al-Syuyuthi. 340

al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 1 h. 282 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 258 342 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 256 341

132

4) Boleh membuang khabar apabila berbentuk Syibh al-Jumlah Ada perbedaan pendapat dikalangan tokoh linguis Arab dalam membahas masalah khabar yang berupa syibh al-Jumlah seperti al-dharf, atau Jar Majrur. Satu pihak mengatkan bahwa apabila Jumlah Ismiyah itu terdiri dari Mubtada dan khabar yang terdiri dari Syib al-Jumlah maka pada hakekatnya yang menjadi khabar adalah khabarnya dibuang yang ditakdirkan dengan jumlah fi`liyah, sedangkan pendapat yang satu lagi mengatakan bahwa Syibh al-Jumlah itulah yang menjadi khabarnya. Al-Akhfasy343 memperkirakan (mentakdirkan bahwa khabar yang berupa syibh al-jumlah pada hakekatnya khabarnya berupa jumlah fi`liyah yang dibuang. Ia memberi contoh pada surah al-Rahman ayat 5 yang berbunyi: ‫ن‬DY N ‫ وا‬gNm ‫ا‬ menurut al-Akhfasy khabar dari ayat ini adalah jumlah fi`liyah yang berupa kata ‫ن‬, maka kalimat lengkapnya adalah ‫ن‬DY ‫ ن‬N ‫ وا‬gNm ‫ا‬. Al-Zujâj344 memperkirakan pada ayat 78 surat al-Baqarah yang berbunyi: /#‫ أ‬G‫ب إ‬$2 ‫ ن ا‬N:G ‫ أ ن‬+‫و‬. Menurutnya kata +‫ و‬merupakan khabar yang dibuang yang semestinya ada jumlah fi`liyah sebelumnya. Al-Zujâj mentakdirkan jumlah yang menjadi perkiraannya adalah kata $7‫ا‬. 3. Membuang Fa`il Jumlah mufidah dalam bahasa Arab baik berupa jumlah ismiyah ataupun jumlah fi`liyah, sudah semestinya ada unsur-unsur yang menjadi pangkal pokok suatu jumlah tersebut. Dalam jumlah ismiyah pangkal pokoknya adalah mubtada dengan khabar, maka jika jumlah ismiyah tidak mengandung kedua unsur tersebut maka belum bisa dikatakan jumlah mufidah. Begitu juga dengan jumlah fi`liyah pangkal pokoknya adalah fi`l dengan fa`il, maka apabila salah satu dari kedua unsure ini tidak Nampak pada suatu jumlah maka belum bisa dikatan dengan jumlah fi`liyah. Namun dalam keadaan tertentu baik mubtada ataupun khabar sewaktu-waktu tidak muncul karena ada alasan yang mendasarinya. Demikian pula dengan fi`l dan fa`il dalam sebuah jumlah terkadang tidak muncul karena adanya sebab. 343 344

al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 490 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 132

133

Tidak adanya mubtada dan khabar dalam suatu jumlah telah dibahas sebelumnya dan sekarang ini akan dibahas tentang dibuangnya fa`il dalam sebuah jumlah. Menurut al-Mubarad (w. 285 H)345 bahwa setiap fi`l itu pasti ada fa`ilnya karena tidak mungkin fi`l itu berdiri sendiri tanpa kehadiran fa`il. Namun menurutnya terkadang fa`il itu dibuang karena dirasa cukup dengan alasan adanya dua fi`l atau lebih yang memerlukan satu fa`il saja. Al-Mubarad memberikan contoh ‫' أﺥ ك‬:‫ م و‬pada contoh ini tidak lagi diperlukan kemunculan fa`il dari kata ‫ م‬dan fa`il dari kata ': karena kedua fi`l tersebut dapat diwakili dengan satu fa`il saja. al-Mubarad dalam hal ini membedakan antara membuang(al-hadzf) dengan dhamir (kata ganti). Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh al-Zarkasyi (w. 794 H)346 bahwa perlu adanya pembeda antara al-Hadf (membuang) dengan al-idhmar(kata ganti), karena perbedaan keduanya terletak pada syarat yang melekat pada dhamir yaitu apabila dhamir( kata ganti) ada keabadian perkiraan (takdir) yang melekat pada fi`l. Sedangkan membuang (al-Hadf) tidak bersifat abadi. Ibn Jinnî (w.392 H)347 dalam hal ini memberikan contoh ayat 171 surat al-Nisa yang berbunnyi: 2 ‫ ا ﺥا‬$#‫إ‬. Ia memperkirakan pada kata ‫ ا‬$#‫ إ‬terdapat dhamir yang menjadi fa`il dan bukan merupakan fa`il yang dibuang. Al-Kasai berpendapat berbeda bahwa pada kata ‫ ا‬$#‫ إ‬sebenarnya dibolehkan juga berargumen fa`ilnya dibuang karena ada sebab. Pendapatnya juga didukung oleh Ibn Madha sebagaimana tertulis dalam kitabnya yang berisi tentang pendapatnya al-Kasai. Sedangkan Ibn Hisyam lebih tegas lagi menyatkan bahwa pada hakekatnya dalam jumlah Fi`liyah tidak ada istilah hadf al-fa`il karena fa`il merupakan unsur utama dalam jumlah fi`liyah. Apabila membuang fa`il sama dengan membuang bagian dari jumlah fi`liyah.

345

Nama lengkapnya Abû `Abas Muhammad Ibn Yazid al-Mubarad, al-Muqtadhab, ditahqiq oleh Muhammad `Abd al-Khaliq Ghadimah, al-Majils al-A`la al-Islamiyyah, li Janah Ihya al-Turats, 1989 jilid 4 h. 50 346 Nama lengkapnya Badr al-Din Muhammad ibn Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi al`Ulum al-Qur`an, ditahqiq oleh Muhammad Abi al-fadl Ibrahim, Dar al-Jim, Bairut, 1988, jilid 4 h. 77 347 Nama lengkapnya adalah Abû al-Fath Utsman, al-Khashaish, ditahqiq oleh Muhammad `Ali al-Najâr, Dâr al-Kutub Mesir

134

Para tokoh bahasa Arab silang pendapat terhadap analisis ayat 32 surat Shad yang berbunyi: ‫  رت  ب‬/$‫ ﺡ‬pada ayat ini fa`il dari fi`l ‫  رت‬belum nampak secara nyata maka inilah yang menimbulkan sebab dari perbedaan dalam memberikan perkiraan (takdir) apa berupa fa`il yang dibuang atau dhamir (kata ganti) mustatir. Menurut Abû `Ubaidah348 bahwa fa`ilnya adalah dhamir mustatir yang diperkirakan berupa kata gNm ‫ ا‬sedangkan menurut al-Zujâj349 bahwa fa`il dari kata ‫  رت‬adalah kata gNm ‫ ا‬yang dibuang karena pada hakekatnya fa`ilnya bisa disebutkan. Dan mengapa kedua tokoh ini menyebutkan bahwa fa`ilnya berupa kata gNm ‫ ا‬karena ayat diatas mengarah pada gNm ‫ ا‬yang dihubungkan dengan ayat sebelumnya yang berbunyi / ّ m:  O ‫ض‬O ‫ إذ‬manurutnya kata / ّ m: ‫ا‬ mempunyai makna sebelum tergelincirnya matahari. Menurut Abû Hayân(w. 745 H)350 Fa`il dari ayat diatas adalah berupa kata ‫ت‬+0@ ‫ ا‬yang mempunyai makna ;A ‫ ا‬maka dhamir pada ayat ini ditolak karena pada ayat yang lain dimungkinkan fa`ilnya akan berbeda mungkin berupa kata ;A ‫ ا‬dan mungkin juga berupa kata gNm ‫ ا‬dan mungkin juga kata yang lain. Dari contoh ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menentukan apakah fa`il dari fi`l itu berupa dhamir mustatir atau ism dhahir yang dibuang merupakan hal yang sangat relatif dan kontekstual. Sebagaimana fa`il pada kata N‫ت آ‬D‫ آ‬dengan $ D‫ آ‬dari kedua ayat ini mempunyai fi`l yang sama yaitu kata D‫ آ‬, secara arti kata keduanya mempunyai arti yang sama yaitu besar akan tetapi secara konteks masing-masing mempunyai fa`il yang berbeda. Pada ayat 3 surat al-Shaf diperkirakan (ditakdirkan) fa`ilnya dibuang yang yang semestinya berupa kata ‫اء‬6 ‫ ا‬3 ‫ ذ‬D‫ آ‬sedangkan pada ayat 5 dari surah al-Kahfi fa`ilnya diperkirakan (ditakdirkan) dibuang yang semestinya berupa kata ‫ت‬D‫آ‬ $ . Al-Zujâj ketika mengi`râb ayat 94 dari surat al-An`am yang berbunyi: ْ'َ َ ْ2ُ +َ ْ َ Fَ S  َ َ menyatkan bahwa fa`il dari kata Fَ S  َ َ merupakan fa`il yang dibuang yang diperkirakan mempunyai makna ْ2ُ +َ ْ َ ‫آ‬m ‫ ا‬1 0 $+‫ آ‬Fَ S  َ َ ْ'َ َ sedangkan menurut 348

Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 182 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 4 h. 331 350 Nama lengkapnya adalah Atsir al-Din Muhammad Ibn Yusuf Abu Hayan, Bahr alMuhith, Dar al-Fikr , 1983 jilid 7 h.396 349

135

Ibn Jinnî kata Fَ S  َ َ mempunyai fa`il dhamir mustatir yang diperkirakan berupa kata ]‫ ا‬atau ': ‫ ا‬atau ‫ ا د‬atau kata yang semakna dengannya. Penulis memberikan kesimpulan dari diskusi para tokoh diatas bahwa pada dasarnya dalam bahasa Arab sebuah kalimat semestinya mengandung unsur pokok dari sebuah jumlah. Baik yang berbentuk jumlah ismiyah maupun yang berbentuk jumlah fi`liyah. Dari jumlah ismiyah tidak bisa tidak harus terdapat unsur mubtada dan unsur khabarnya adapun pada realitasnya tidak muncul salah satu dari unsur tersebut menurut para tokoh itu bukan berarti tidak ada akan tetapi keberadaanya tidak ditampakan ataupun dihilangkan. Demikian juga dengan jumlah fi`lilyah yang terdiri dari fi`l dan fa`il maka pada dasarnya kedua unsur ini mesti ada dalam sebuah kalimat. Keharusan munculnya unsur-unsur pokok inilah yang disebut dengan kolokasi adapun ada unsur yang dibuang maka kolokasi ini disebut dengan kolokasi reduksi. C. KOLOKASI AFFIKS Kolokasi affiks merupakan kebalikan dari kolokasi redukasi. Dimana kolokasi ini dalam struktur kalimatnya terdapat tambahan konstituen yang secara makna tidak berpengaruh secara signifikan. `Abduh Râjahî351 memberikan kesimpulan dari para pendapat para tokoh linguis Arab dalam pembahasan masalah ini bahwa masuk dan keluarnya konstituen dalam struktur bahasa Arab tidak mempengaruhi terhadap makna yang terkandung dalam struktur kalimat tersebut. Para ahli bahasa Arab berbeda pendapat dalam pembahasan masalah afiksasi konstituen struktur kalimat, ada yang berpendapat bahwa penambahan konstituen dalam struktur kalimat ini tidak memberikan efek terhadap makna dan ada yang berpendapat mempunyai pengaruh terhadap makna. Diantara tokoh yang menyatakan bahwa afiksasi konstituen struktur kalimat akan berpengaruh terhadap makna adalah al-Farrâ’352, Abû `Ubaidah353 dan al-Akhfasy354 sedangkan

351

`Abduh Râjahî, al-Nahw al-`Arabî wa al-Dars al-Hadîts, al-nahdlat al-`Arabiyat, Bairut, 1979 h. 152 352 al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 4 h. 255 353 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 11 354 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 219 136

yang berpendapat bahwa afikasi tidak memberikan makna adalah al-Zujâj355 menurutnya pada dasarnya afiksasi merupakan hal yang tanpa efek makna baik itu membuang ataupun mempertahankannya, namun tidak dikatakan salah dalam struktur kalimat tersebut, demikian juga dengan al-Nuhâs356 merupakan tokoh yang menyatakan bahwa afiksasi tidak berpengaruh terhadap makna. Ia memberikan contoh dalam menafsirkan ayat 55 surat al-Qashash yang berbunyi: +O ‫ﺽ ا‬O‫ أ‬K ‫ ا ا‬:N7 ‫ وإذا‬ia hanya menafsirkan dengan kata-kata mencegah dari kebaikan dan mengajak kepada kejahatan. Dari pemaparan para linguis diatas maka penulis perlu membahas tentang penambahan konstituen dalam struktur kalimat bahasa Arab yang merupakan bagian dari kajian kolokasi yang perlu dianalisis baik secara struktur maupun secara makna. 1. Afiksasi pronomina pemisah Pronomina (Dhamir) dalam struktrur bahasa Arab terkadang muncul mengantarai mubtada dan khabar, kemunculan dhamir tersebut menurut para linguis Arab tidak mempengaruhi maksud dan makna dari sebuah ungkapan. Ada dan tidak adanya dhamir dari sebuah kalimat mengandung makna yang sama. Contoh: VR ‫ آن ز' ا‬pada kalimat tersebut kata VR ‫ ا‬posisi i`râbnya dapat dikatakan menjadi sifat dari kata *‫ز‬, maka apabila ungkapan tersebut mendapat tambahan pronomina (dhamir) ‫ ه‬maka menjadi VR ‫ آن ز'ه ا‬makna dari ungkapan tersebut tidak berbeda dengan sebelumnya. Demikian juga dengan ungkapan 3+ ‫ ز*ا ه ﺥا‬DY‫ﺡ‬, ungkapan ini dapat dibandingkan maknanya dengan menghilangkan pronomina (dhamir) menjadi 3+ ‫ ز*ا ﺥا‬DY‫ﺡ‬, bisa juga dibandingkan dengan ayat 6 surat al-Syaba yang berbunyi: ‫ ا *ي‬: ‫ أو ا ا‬1* ‫وي ا‬  ‫ ه ا‬3‫ ر‬1 3 ‫ل إ‬6#‫ أ‬ayat tersebut menurut para linguis Arab dikatakan seandainya dihilangkan pronominal (dhamir) ‫ ه‬maka tidak merubah makna dan i`râbnya.

355 356

al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 2 h. 222 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 4 h. 59

137

Al-Farrâ’357 memberikan i`râb kata 1N R ‫ ا‬pada ayat 76 surat al-Zuhruf yang berbunyi: 1N R ‫ ا ه ا‬#‫ آ‬12 ‫ه و‬+NW ‫ و‬dengan dua versi, versi yang pertama bahwa kata tersebut bisa dibaca dengan 1N R ‫ ا‬dengan alasan bahwa pronomina (dhamir) ‫ ه‬merupakan huruf pemisah maka kata 1N R ‫ ا‬i`râbnya dibaca mansub karena berfungsi sebagai khabar dari ‫ آن‬sedangkan versi kedua dibaca marfu` dengan argumen pronomina (dhamir) ‫ ه‬merupakan mubtada sedangkan kata ‫ ن‬N R ‫ ا‬berfungsi sebagai khabar dari ‫ه‬. Abû `Ubaidah358 memberikan menganalisis makna dari ayat 11 surat alBaqarah yang berbunyi: ‫' ا ه ﺥا‬+O o‫ 'و‬dengan ‫' ا ﺥا‬+O o‫ 'و‬dengan menghilangkan dhamir. Sedangkan al-Akhfasy359 memberikan batasan bahwa penambahan dhamir al-Fashl memberikan makna taukid. Dan memberikan isyarat bahwa bahasa Bani Tamim kata yang terletak setelah dhamir ‫ ه‬selalu dibaca marfu` sebagaimana dikemukakan oleh syibawaih360 kebanyakan orang Arab mengungkapkan kata yang terletak setelah pronomina (dhamir) dibaca dengan marfu` contohnya: 3+ ‫ ز'اه ﺥ‬1W‫ أ‬dan kebanyakan orang Arab membaca ayat ‫ ن‬N R ‫ ا ه ا‬#‫ آ‬12 ‫ه و‬+NW ‫ و‬dibaca marfu tidak dibaca mansub dengan alasan karena kata ‫ ن‬N R ‫ ا‬merupakan khabar dari mubtada ‫ه‬. Menurut penulis dengan menghadirkan dhamir fashl dalam kalimat akan tidak berpengaruh terhadap makna akan tetapi dalam i`râb kadang bisa berpengaruh dan kadang juga tidak berpengaruh. Dhamir fashl dalam pemaknaan hanya berfungsi dalam penekanan makna saja. 2. Afiksasi nama tempat (dharaf) a. Afiksasi kata 1 Al-Farrâ’361 menganalisis kata 1 pada ayat 7 surat al-Thariq yang berbunyi: >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 1 ‫ج‬A, menurutnya kata 1 merupakan konstituen tambahan (ziyadah) karena >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 sudah mengandung makna 1. Pendapat ini seirama dengan pendapat para ahli nahwu kufah yang menyatakan

357

al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 3 h. 37 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 274 359 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 321 360 Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 2 h. 392 361 al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 3 h. 255 358

138

bahwa >?‫ا‬$ ‫ ا @> وا‬1 telah mengandung makna 1 dan sebaliknya >@ ‫ ا‬1 >?‫ا‬$ ‫ وا‬mengandung makna 1. Sedangkan pendapat yang lain menyatakan bahwa kata 1 pada ungkapan tersebut bukan merupakan tambahan karena pada kata 1 mengandung DDY ‫ ا‬1 dan tambahan disini mengandung pengertian tamabahan fungsional bukan tambahan dalam struktur kalimat. Pernyataan ini dikemukakan oleh al-Nuhâs362. Menurut penulis sendiri kata 1 pada ayat tersebut mempunyai stresing yang lebih kuat terhadap pada makna yang terkandung didalamnya. b. Afiksasi kata ‫ ق‬0 Al-Akhfasy363 memberikan analisis kata ‫ ق‬0 yang teradapat pada ayat12 surat al-Anfal yang berbunyi: ‫ق‬+O]‫ ق ا‬0 ‫ﺽ ا‬0 mempunyai makna ‫ق‬+O]‫ﺽ ا ا‬0 dilihat dari semantiknya makna yang terdapat pada ayat tersebut mempunyai makna yang sama dengan analisis al-Farrâ’ ketika membahas tamabahan dharaf Baina (1). Sedangkan pernyataan Al-Akhfasy dibantah oleh pendapat al-Nuhâs364 dengan menukil dari argumen al-mubarad365 yang menyatakan bahwa dharaf mengandung makna sesuatu yang lebih spesifik. Sebagaimana dalam bahasa Indonesia ungkapan yang menyatakan bahwa “ Amin memukul sapi” ungkapan ini tentu tidak mengandung anggota badan secara keseluruhan akan tetapi mungkin bagian kepala sapi atau bagian belakang sapi ataupun anggota tubuh yang lainnya.Maka menurutnya tidak bisa dikatakan kata ‫ ق‬0 pada ayat tersebut diatas sebagai tambahan (ziyadah). Pendapat dari para tokoh lain sebagaimana dinukil oleh al-Thabari(w.310 H)366 bahwa kata tersebut bukan merupakan kata tambahan (ziyadah) karena dengan adanya kata ‫ ق‬0 maka obyek dari perbuatan itu mempunyai makna yang luas. Apabila hanya menampilkan ungkapan ‫ق‬+O]‫ﺽ ا ا‬0 maka obyek dari

362

al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 5 h. 200 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 319 364 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 180 365 Lihat al-Mubarad, al-Muqtadhab, jilid 4 h. 328 366 Nama lengkapnya adalah Abu ja`far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jami` al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur`an, Penerbit Dar al-Sya`b, jilid 13 h. 429 363

139

perbuatan sangat spesifik. Dengan demikian maka para mufasir berbeda pendapat dalam menganalisis ayat ini. Abi Waqi` menafsirkan ayat tersebut dengan ‫ق‬+O]‫ﺽ ا ا‬0 sedangkan Mas`ud yang sanadnya sampai kepada Rasulullah menyatakan bahwa rasul tidak mengutus untuk menyiksa lebih berat dari siksa Allah, dia hanya menyatakan dengan kata-kata ‫' ا َ ^َق‬v ‫ق وﺵ‬+O]‫ب ا‬% berbeda lagi dengan tafsir dari ibn faraj yang menyatakan bahwa maksud dari ungkapan tersebut adalah apa yang dekat dengan bagian leher. Dan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa ungkapan tersebut adalah kepala. Secara nahwiyah menurut penulis kata ‫ ق‬0 pada ayat tersebut merupakan tambahan (ziyadah) karena tanpa adanya kata ‫ ق‬0 makna sudah dapat difahami dan secara konteks makna tersebut sangat relatif, tidak tekstual dalam penerapanya. c. Afiksasi kata ‫إذ‬ Al-Thabari memberikan analisis bahwa kata ‫ إذ‬pada ayat 22 surat Shad yang berbunyi: ‫ دَا ُو َد‬TَO َ ‫ﺥُ ا‬ َ ‫ ِإذْ َد‬merupakan tambahan (ziyadah) dengan alasan karena kata ‫ إذ‬sebelumnya telah disebutkan sekali dalam ayat 21 ‫ب‬ َ ‫َا‬ ْ Nِ ْ ‫  رُوا ا‬Y َ َ ْ‫ِإذ‬. Ia berpendapat bahwa kedua ungkapan ini mengandung makna yang sama karena kegiatan ‫  رُوا‬Y َ َ dengan kegiatan ‫ﺥُ ا‬ َ ‫ َد‬merupakan satu kegiatan. kata ‫  رُوا‬Y َ َ yang mempunyai makna masuk tanpa melalui pintu ketika itu juga sang pelaku masuk menemui Dawud. Oleh karena itu menurut ahli nahwu bisa cukup dengan َ ‫ب‬ َ ‫َا‬ ْ Nِ ْ ‫  رُوا ا‬Y َ َ ْ‫ِإذ‬. mengucapkan ‫ دَا ُو َد‬TَO Al-Farrâ’367 dalam menganalisis ayat tersebut diatas sependapat dengan para ahli nahwu yang lainnya hanya dalam memberikan makna al-Farrâ’ memberikan perkiraan (takdir) bahwa kata ‫ إذ‬yang kedua bisa diganti dengan kata N sehingga bisa diungkapkan dengan lengkap sebagai berikut: N ‫ب‬ َ ‫َا‬ ْ Nِ ْ ‫  رُوا ا‬Y َ َ ْ‫ِإذ‬ ‫ دَا ُو َد‬TَO َ ‫ﺥُ ا‬ َ ‫َد‬

d. Afiksasi kata ‫ف‬2 ‫ا‬ 367

al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 2 h. 401

140

Ayat 259 surat al-Baqarah yang berbunyi: ٍ َ َْ TَO َ  َ ‫ آَ *ِي‬dari kalangan lingusi Arab mendapat perhatian dalam membahas huruf ‫ف‬2 ‫ا‬, apakah huruf tersebut merupakan tambahan atau merupakan pelengkap. Menurut al-Akhfasy368 huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬merupakan huruf tambahan (ziyadah) karena ayat ini `athaf terhadap awal ayat sebelumnya. Pada awal ayat pertama yang berbunyi: ‫ج‬  َ‫ ا *ِي ﺡ‬Tَ ‫َأَ ْ َ َ ِإ‬ ِ v‫ َر‬/ِ0 َ ِ‫ ِإ َْاه‬mempunyai makna ‫ ه; رأ‬maka ayat yang di`athafkan tersebut harus memiliki keseimbangan dengan ayat yang menjadi ma`thufnya. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh ulama Nahwu Basrah yang menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan `Athaf terhadap awal ayat sebelumnya maka akan menjadi ٍ َ َْ TَO َ  َ ‫ ِ او ا *ِي‬v‫ َر‬/ِ0 َ ِ‫ج ِإ َْاه‬  َ‫ ا *ِي ﺡ‬Tَ ‫َأ َْ َ َ ِإ‬. Menurut analisis al-Zujâj369 ayat yang di`athafkan kepada ayat sebelumnya itu ditakdirkan mengandung makna ‫ رأ‬oleh karenanya huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬pada ayat yang kedua bukan merupakan huruf tambahan (ziyadah) akan tetapi merupakan taukid. Demikian juga dengan ayat 11 surat al-Syura yang berbunyi: ‫ء‬/‫ ﺵ‬eN‫ آ‬g pada ayat tersebut huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬yang bergabung dengan kata e mempunyai makna yang sama, dengan penggabungan makna yang sama tersebut bukan berarti yang satu dianggap sebagai tambahan (ziyadah), artinya apabila tanpa hadirnya salah satu unsur tersebut dianggap makna telah cukup dipahami. Akan tetapi menurut al-Zujâj dengan hadirnya kedua unsur tersebut ungkapan ini mempunyai makna yang besar. Dari diskusi diatas dapat disimpulkan bahwa huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬memiliki perbedaan pendapat bagi kalangan ulama nahwi ada yang menyatakan bahwa huruf ‫ف‬2 ‫ ا‬merupakan tambahan artinya sewaktu-waktu huruf tersebut tidak ada maka maknanya sama. Sebagian ulama lagi menyatakan bahwa huruf ‫ف‬2 ‫اا‬ merupakan taukid maka dengan tidak adanya huruf tersebut stresing maknanya akan berkurang walaupun makna telah dapat dipahami.

e. Afiksasi huruf ‫ء‬D ‫ا‬ 368 369

al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 185 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 342

141

Huruf ‫ء‬D ‫ ا‬menurut Syibawaih370 bisa hadir dalam suatu kalimat dengan tanpa memberikan makna dan tidak berpengaruh terhadap i`râb. Menurut para ahli bahasa Arab al-Qur`an huruf ‫ء‬D ‫ ا‬ziyadah ini bisa masuk kedalam mubtada, khabar, fa`il, naib fa`il ataupun maf`ul bih. Syibawaih memberikan contoh kata ‫ ه*ا‬3DY ungkapan ini dapat juga diungkapkan dengan kalimat ‫ ه*ا‬3DY‫ ﺡ‬dengan tanpa mengurangi makna dan i`râbnya. Kasus seperti ini ahli nahwu al-Qur`an menganalisis ayat 6 surat al-Qalam yang berbunyi: ‫ ن‬$9N ‫ ا‬2f awal kalimat tersebut adalah mubtada yang diawali dengan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬menurut Abû-`Ubaidah371 tanpa kehadiran huruf tersebut makna dan i`râbnya tidak berubah demikian juga dengan pendapat yang dikemukakan oleh al-Akhfasy372. Sedangkan menurut al-Zujâj373 huruf ‫ء‬D ‫ ا‬pada ayat tersebut hukumnya boleh ada dan boleh tidak ada, artinya dengan adanya huruf ‫ء‬D ‫ا‬ didepan kalimat tidak mempengaruhi dari segi makna maupun dari segi gramatika. Oleh karena itu para ahli nahwu menyatakan bahwa huruf ‫ء‬D ‫ا‬ dikategorikan kedalam huruf tambahan (ziyadah). Penambahan huruf juga bisa terjadi pada khabar sebagaimana alAkhfasy374 menganalisis ayat 27 surat yunus yang berbunyi: eN š7 ‫اء‬6‫ﺝ‬, huruf ‫ء‬D ‫ا‬

yang terletak pada kata eN merupakan huruf tambahan yang tidak

mempengaruhi terhadap makna dan i`râbnya. Posisi i`râb kata eN menjadi khabar dari mubtada ‫اء‬6‫ﺝ‬. Pada ayat yang lain terdapat kesamaan kata-kata dan posisi i`râbnya namun dalam memaparkan khabar yang berupa kata e tanpa membubuhkan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬didepannya, kasus ini terjadi pada surat al-Syura ayat 40 yang berbunyi: e ٌ š7 ٍ š7 ‫اء‬6‫ﺝ‬ Penambahan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬pada khabar menurut al-Syibawaih375 banyak dijumpai dalam al-Qur`an yang secara makna tidak terlalu berpengaruh. AlNuhâs376 juga berpendapat sama bahwa terdapat penambaan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬pada

370

Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 3 h. 225 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 264 372 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 505 373 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 5 h. 205 374 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 343 375 Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 1 h. 67 376 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 81 371

142

khabar yang tidak berpengaruh terhadap makna dan terkadang berfungsi sebagai taukid. Al-Nuhâs memgemukakan contoh dari ayat 89 surat al-An`am yang berbunyi: 102  ‫ ا‬Y huruf ‫ء‬D ‫ ا‬yang kedua merupakan taukid. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn al-Khâlawih377 dengan mengemukakan contoh surat al-Ghasyiyah ayat 22 yang berbunyi: S@N O Y kata S@N dibaca majrur oleh huruf ‫ء‬D ‫ ا‬ziyadah yang posisi i`râbnya mansub karena menjadi khabar dari g . Kasus ayat ini sama halnya dengan kalimat yang berbunyi: ? '‫ ز‬g kalimat ini bisa juga diungkapkan dengan kalimat N? '‫ ز‬g dengan tanpa mengurangi dan menambah makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Oleh karena itu tanpa hendak merubah lafal al-Qur`an secara nahwu ayat 22 surat alGhasyiyah bisa juga dikemukakan dengan ‫ا‬S@ O Y . Dalam surat al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi: 2‫أن  ا وﺝ ه‬D ‫ ا‬g menurut Ibn Jinnî378 ada dua versi cara membacanya ada yang menambahkan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬pada kata ‫ أن‬dan ada yang menghilangkan. Penambahan huruf ‫ء‬D ‫ا‬ bukan karena diQiyaskan dengan ayat yang lain. Menurut al-Qurtubi (w. 671 H.)379 dan Abû Hayan (w.745 H.)380 yang membaca kata ‫ أن‬dengan menambahkan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬adalah qira`ah Ibn Mas`ud. Penambahan huruf ‫ء‬D ‫ ا‬juga terjadi pada khabar ma nafiyah (), menurut al-Zujâj penambahan huruf ba ‫ء‬D ‫ ا‬mempunyai makna taukid, sehingga stressing pada pengungkapan kalimat akan sangat menekankan pada kenegatifan kalimat tersebut. Seperti pada surat al-Baqarah ayat 8 yang berbunyi: 1+pN ‫ و ه‬menurut al-Zujâj381 penekanan terhadap makna negatifnya sangat kuat dibandingkan dengan tanpa kehadiran huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬walaupun secara makna keduanya sudah dapat difahami. Perbandingan rasa bahasanya dapat dilihat dari contoh yang sederhana ‫  ز' أﺥ ك‬dengan 3‫ﺥ‬f '‫  ز‬. contoh semacam ini juga dikemukakan oleh Ibn Khâlawih382 surat al-Mujadalah ayat 2 menurut versi bacaan Ibn mas`ud 377

al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 132 Ibn Jinnî, al-Muhtasab, jilid 1 h. 117 379 Nama lengkapnya adalah Syams al-Din Abdullah Ibn Muhammad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz 2 h. 238 380 Nama lengkapnya adalah Asyir al-Din Muhammad Ibn Yusuf Abû Hayan, Tafsir Bahr al-Muhith , Dar al-Fikr, 1983, juz 2 h. 154 381 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 50 382 al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 52 378

143

dengan menambahkan huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬pada khabar ma nafiyah () f +‫و ه‬ ayat ini dalam bacaannya banyak versi ada yang membaca dengan merafa`kan seperti bacaan hijaz ada yang menashabkan menurut bacaan Tamim dan ada menjarkan menurut bacaan Ibn mas`ud. Penambahan huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬ketika menjadi khabar dari ‫ إن‬sebagaimana yang terdapat pada surat al-Ahqaf ayat 33 yang berbunyi:

‫ن ا ّ ا ّ*ي ﺥ‬ ّ ‫أو  وا أ‬

1 َ A /:  ‫وات وا]رض و‬NّY ‫ ا‬menurut al-Farrâ’383 penambahan huruf ba (‫ء‬D ‫)ا‬ karena adanya huruf nafi  yang berfungsi sebagai taukid terhadap nafi sedangkan menurut al-Thabari384 huruf pada ayat tersebut mempunyai makna lam juhud ( ‫م‬G ‫ )ا  د‬atau karena adanya fi`l yang menuntut adanya dua maf`ul seperti ungkapan N? 3+W‫  أ‬dan apabila tidak terdapat huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬maka maf`ul kedua dibaca mansub sehingga ungkapan lengkapnya adalah N? 3+W‫ أ‬. Huruf ba ( ‫ء‬D ‫ )ا‬bisa juga masuk kepada fa`il sebagaimana yang tercantum dalam ayat 14 surat al-Isra yang berbunyi: DY‫ ﺡ‬3O ‫ ا  م‬3Y9+ T9‫ آ‬kata merupakan fi`l madhi dengan fa`il kata 3Y9+. Menurut al-Alusi385 dan al-Syaukani386 huruf ba ( ‫ء‬D ‫ )ا‬merupakan huruf tambahan (ziyadah) yang tidak mengandung makna. Pada hakekatnya fa`il itu dibaca marfu` namun karena ada huruf ba ( ‫ء‬D ‫ )ا‬maka dibaca majrur. Sehingga ayat tersebut mempunyai makna 3Y9# T9‫آ‬. Menurut al-Farrâ’387 masuknya ba (‫ء‬D ‫ )ا‬terhadap fa`il mempunyai makna pujian dan sanjungan sebagaimana contoh: 3Y9+ /9‫ وآ‬, /9‫ وآ‬,3 /9‫وآ‬. Adapun pada ayat 29 surat Yunus yang berbunyi: ‫ ِ ﺵ'ا‬T9َ ‫ َو َآ‬huruf ba pada ayat tersebut merupakan huruf tambahan yang tidak memberikan makna maka ayat tersebut sama dengan ungkapan ‫ ا ﺵ'ا‬Tَ9‫ َو َآ‬. Sedangkan menurut al-khalil388 huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬pada ayat tersebut merupakan taukid yang berfungsi sebagai penguat terhadap kata sebelumnya. Dan pada ungkapan 3 /9‫ وآ‬, Tَ9‫ َو َآ‬diseluruh ayat dalam al-Qur`an dengan menggunakan ziyadah huruf ba (‫ء‬D ‫)ا‬. 383

al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 3 h. 56 al-Thabari, Jami` al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur`an, jilid 22 h. 142 385 Nama lengkapnya adalah Syihab al-Din Mahmud Ibn `Abd Allah al-Husaini al-Alusi, Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur`an, Jilid 10 h. 394 386 Syaukani, Fath al-Qadir, jilid 4 h. 288 387 al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 2 h. 119 388 Al-Khalil Ibn Ahmad al-Farahidi, al-Jumal fi al-Nahwi, ditahqiq oleh Fahr al-Din Qubawat, cet ke 5, 1995 h. 334 384

144

Penambahan (ziyadah) huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬juga terjadi pada naib fail sebagaimana yang terdapat pada ayat 13 surat al-Hadid yang berbunyi: + %0 ‫ ر‬Y ayat ini menurut al-Akhfasy389 bermakna ‫ ر‬7 + %0 dengan menghilangkan huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬yang terdapat pada awal kata ‫ ر‬7 yang posisi irabnya menjadi na’ib fa`il. Sedangkan pada ayat 43 surat al-Nur yang berbunyi: ‫  *ه> ]@ر‬+7 ‫َد‬2 menurut bacaan (qira`at) Abi ja`far kata >‫ *ه‬merupakan fi`l mabni majhul dengan membaca dhamah pada huruf ya (‫ )ا ء‬dan membaca kasrah pada huruf ha (‫)ا ء‬. Para ulama berbeda pendapat dalam mengomentari ayat ini sebagaimana dikutip Oleh al-Nuhâs390 bahwa huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬bisa merupakan huruf tambahan yang berada pada fail bisa juga menjadi na`ib fa`il tetapi bisa juga karena kesalahan ucap bagi orang non Arab (lahn). Ziyadah huruf ba (‫ء‬D ‫ ) ا‬juga terjadi pada maf`ul bih sebagaimana yang dicontohkan oleh Syibawaih dan al-Khalil391 sebagai berikut: o‫ @'ر‬+m‫ ﺥ‬kata ‫ا @'ر‬

pada kalimat tersebut posisi i`râbnya menjadi maf`ul bih yang dibaca

mansub, maka ‫ ا @'ر‬mempunyai makna nashab, sedang menurut al-Farrâ’392 maf`ul yang mendapat tambahan (ziyadah) huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬pada dasarnya fi`l itu merupakan fi`l lazim yang dimuta`adikan oleh huruf jar ba (‫ء‬D ‫)ا‬. Gejala semacam ini terdapat pada surat al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi: >K  ‫ ن‬+p 1*ّ ‫ ا‬kata kerja ‫ ن‬+p merupakan kata kerja lazim yang tidak memerlukan obyek393, maka apabila memerlukan obyek menurut kaidah bahasa Arab harus ditambah dengan huruf jar. Masing-masing kata kerja lazim untuk dimuta`adikan memerlukan pasangan huruf jar yang berbeda-beda. Oleh Karena itu pada ayat tersebut diatas mengandung makna > َ K ‫ ن ا‬+p 1*ّ ‫ ا‬kata > َ K ‫ ا‬disini berfungsi sebagai maf`ul bih maka ditakdirkan dibaca mansub. Ayat lain yang mempunyai kasus yang sama terjadi pada ayat 15 surat al-Haj yang berbunyi: ‫ء‬NّY ‫ ا‬Tَ ‫> إ‬DY ‫'د‬N0 ayat ini mempunyai makna ‫ء‬NّY ‫ ا‬Tَ ‫ إ‬DD7 ‫'د‬N0. Pada ayat 25 surat al-Haj yang berbunyi: ‫ œ د‬0 ‫ د‬1‫ و‬menurut analisis al-Farrâ’394 huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬pada kata ‫ د‬z‫ا‬ 389

al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 495 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 142 391 Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 1 h. 92 392 al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 2 h. 165 393 Musthafa Al-Ghulayaini, Jami` al-Durus, Dar al-Hadits, Kairo, 2005 h. 39 394 al-Farrâ’, Ma`ani al-Qur`an wa I`râbuhu, Jilid 2 h. 223 390

145

merupakan huruf tambahan (ziyadah) yang diperkirakan mengandung makna ‫أن‬ ' .Adapun menurut Abû `Ubaidah395, al-Akhfasy396, al-Zujâj397 berpendapat bahwa huruf ba (‫ء‬D ‫ )ا‬pada ayat 195 surat al-Baqarah yang berbunyi: 2'f ‫و َ  ا‬ َ2$ ‫ ا‬Tَ ‫ إ‬merupakan ba (‫ء‬D ‫ )ا‬tambahan (ziyadah) sehingga ayat tersebut mengandung makna ِ 2َ ُْ $ ‫ ا‬Tَ ‫ْ ِإ‬2ُ َ 'ِ ْ ‫ َو َ ُ ُْ ا َأ‬dengan menghilangkan huruf ba dan membaca mansub kata 2'‫أ‬. f. Afiksasi huruf 1 Menurut ahli bahasa penambahan min (1) dapat menempati tiga tempat yaitu: pada fa`il, maf`ul bih dan mubtada yang disyaratkan merupakan kalimat nafi, nahi ataupun kalimat tanya dengan majrur nakirah. Al-Ghulayaini398 memberikan contoh ayat 271 surat al-Baqarah yang berbunyi: 2šّ7 1 2+O ّ92َ ‫و‬ kata 1 pada ayat ini mengandung makna sebagian akan tetapi sebagian ahli nahwu mengatakan bahwa kata 1 pada ayat tersebut merupakan tambahan (ziyadah) yang mengandung makna 2َšّ7 2+O ّ92َ ‫و‬. Selain pada ayat tersebut ada juga kata min (1) yang terdapat pada ayat yang lain yang pada hakekatnya merupakan huruf tambahan mutlak seperti yang terdapat pada ayat 43 surat alNur: ‫ْ َ َ ٍد‬1ِ َِ0 ‫ل‬ ٍ َD‫ﺝ‬ ِ ْ1ِ ‫َ ِء‬NY  ‫ ا‬1 َ ِ ‫ل‬ ُ 6v +َ ُ ‫ َو‬. Pada ayat ini tidak diragukan lagi bahwa kata min (1) yang berkombinasi dengan kata ‫ د‬merupakan huruf tambahan karena tidak ada lagi kandungan makna selain dari kata ‫ د‬. Penambahan huruf min (1) mempunyai dua makna: yang pertama yaitu untuk melahirkan makna umum seperti contoh: ;‫ رﺝ‬1 ‫ ا 'ار‬/0  kata min (1) disini menutup kemungkinan-kemungkinan yang akan menghadirkan makna yang lebih dari satu atau makna yang lain. Sebagaimana ungkapan ;‫ ا 'ار رﺝ‬/0  makna dari ungkapan ini akan berekses pada kemungkinan makna yang lain bisa jadi akan muncul makna ‫ ا 'ار رﺝ; ; رﺝن‬/0  al-Nuhâs399 mengecualikan gejala ini dalam ayat 35 surat maryam yang berbunyi: 'َ ‫ و‬1 *Aّ$ ‫  آَن  أن‬kata min (1) pada ayat ini merupakan huruf tambahan (ziyadah) yang berfungsi sebagai taukid

395

Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 5 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 402 397 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 3 h. 421 398 Musthafa Al-Ghulayaini, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, h. 578 399 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 152 396

146

bahwa Allah sekali-kali tidak mengambil seorang anak yang berarti juga tidak mengambil dua ataupun lebih. Sebagai perbandingan penulis kemukakan ungkapan sebagai berikut  70 $‫ إﺵ‬ungkapan ini mengandung makna tidak membeli satu kuda akan tetapi akan menghadirkan kemungkinan makna membeli dua kuda atau lebih. Apabila ungkapan 170 $‫  إﺵ‬maka akan mengandung makna tidak membeli dua kuda, akan tetapi bisa jadi dengan tidak membeli dua kuda namun membeli satu kuda, tiga kuda atapun lebih dari itu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penambahan (ziyadah) huruf min (1) selain merupakan huruf tambahan juga mempunyai makna taukid. Makna yang kedua yaitu mentaukidkan makna umum, penjelasannya adalah huruf min (1) masuk kepada ism nakirah yang mempunyai makna umum dan akan memiliki makna khusus ketika adanya huruf nafi. Contoh: '‫ أﺡ‬1 ‫ م‬ penambaan huruf min (1) pada ungkapan tersebut semata-mata hanya untuk taukid dengan alasan bahwa kata '‫ أﺡ‬merupakan kata yang mengandung makna yang umum artinya semua orang tanpa pandang bulu masuk dalam bagian kata tersebut dan akan dikuatkan lagi dengan masuknya huruf min (1) sehingga lebih kuat lagi bahwa benar-benar tidak ada seorangpun yang berdiri. Ahli nahwu Bashrah dan Syibawai400 memberikan dua syarat tentang penambahan (ziyadah) huruf min (1): yang pertama yaitu kalimat sebelumnya berupa kalimat yang mengandung istifham, nahi, dan nafi. Syarat yang kedua yaitu ism yang dimajrûrkan berupa ism nakirah. Menurut ulama kufah bahwa penambahan huruf min bisa juga terjadi pada kalimat biasa. Abû `Ubaidah401 menganlisis surat Thaha ayat 112 yang berbunyi: 1 َ ِ ْ;Nَ :ْ َ 1َ‫َو‬ ‫ ا @ ت‬kata min (1) pada ayat tersebut menurutnya merupakan huruf tambahan (ziyadah), namun pada tema yang sama ia mengatakan bahwa penambahan tersebut bukan merupakan hal yang wajib karena apabila ada ungkapan 1 ‫'ي‬+O  ‫م‬:X 1 ‫'ك‬+O ;‫ وه‬,‫ ﺥ‬1 ‫'ك‬+O ‫ و‬,‫ء‬/‫ ﺵ‬apabila penambahan huruf min pada ungkapan-ungkapan tersebut sebagai penambahan wajib maka menafikan tidak 400 401

Sîbawaih, al-Kitâb, jilid 4 h. 225 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 31

147

mempunyai apapun dari ungkapan diatas padahal yang dimaksudkan dari ungkapan-ungkapan tersebut adalah: :X ‫'ي‬+O  dan seterusnya. Al-Akhfasy402 berpendapat dengan tegas bahwa penambahan huruf min (1) tidak hanya berlaku pada kalimat nafi atupun istifham saja akan tetapi bisa juga pada kalimat positif sebagaimana yang tercantum pada surat al-Baqarah ayat 61 yang berbunyi: ?ّe‫  و‬1 ‫ ا]َرض‬D+ ّN + ‫ج‬A. Menurutnya kata min (1) merupakan huruf tambahan yang mempunyai makna litab`id, maka apabila penambahan huruf min (1) hanya berlaku pada kalimat nafi dan istifham maka menurutnya salah karena selain pada ayat tersebut ada juga ayat lain yang mengandung huruf min (1) sebagai huruf tambahan yang tidak terdapat pada kalimat nafi maupun kalimat istifham yaitu pada surat al-Baqarah ayat 271 yang berbunyi: 2šّ7 1 2+O ّ92َ ‫و‬. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh al-Mubarad403 dengan menganilisis surat al-Baqarah ayat 105 yang berbunyi: 2ّ‫ ر‬1 ‫ ﺥ‬1 2O ‫ل‬6+ ‫أن‬ huruf min pada ayat ini menurutnya merupakan huruf tambahan (ziyadah) bisa juga huruf taukid yang masuk kepada kalimat positif . Demikian juga dengan alZujâj404

mengatakan bahwa pada konteks tersebut huruf min (1) berfungsi

sebagai ziyadah dan taukid yang masuk pada kalimat positif. Abû Hayan405 menjelaskan bahwa kalimat positif tersebut secara dhahir memang kalimat positif akan tetapi secara makna mengandung kalimat negatif oleh kalimat sebelumnya yang hubungan tidak nampak secara langsung. Al-Zarkasî (w. 794 H)406 berpendapat bahwa penambahan huruf min (1) terletak pada kalimat nafi atau yang serupa dengan nafi seperti kalimat nahi dan kalimat tanya. Contohnya َ‫َو‬ َNُ َ:ْ َ  ‫ْ َو َر َ ٍ ِإ‬1ِ  ُ ُ Y ْ َ (al-An`am: 59) makna dari ayat tersebut adalah  ‫ َو َر َ ٌ ِإ‬ ُ ُ Y ْ َ َ‫َو‬ َ Nُ َ:ْ َ kombinasi antara kata 1 dengan ٌ َ ‫ َو َر‬pada ayat tersebut posisi i`râbnya adalah sebagai fa`il yang menurut al-Zarkasyî pengungkapanya dengan menampilkan kata ٌ َ ‫ َو َر‬tanpa disertai dengan huruf 1.

402

al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 98 al-Mubarad, al-Muqtadhab, jilid 3 h. 52 404 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 166 405 Abû Hayan, Tafsir Bahr al-Muhith , jilid1 h. 340 406 al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an,h. 668 403

148

bisa hanya

Dari diskusi diatas dapat disimpulkan bahwa penambahan huruf min (1) bisa masuk kepada mubtada, ism kana, naib fa`il, khabar , maf`ul bih, fa`il. g. Afiksasi huruf lam jar (‫م ا ر‬G‫)ا‬ Al-Farrâ’407 menganalisis huruf lam tambahan (ziyadah) dengan mengambil contoh surat al-Naml ayat 72 yang berbunyi: ْ2ُ َ ‫ف‬ َ ‫ن َر ِد‬ َ ُ2َ ْ‫ َأن‬TَYO َ ْ;ُ ‫ن‬ َ ُ ِ :ْ $َ Y ْ َ ‫ ا *ِي‬L ُ :ْ َ . Huruf lam yang berkombinasi dengan dhamir ‫ آ‬pada ayat tersebut merupakan huruf tambahan (ziyadah) karena secara makna menurut alFarrâ’ kata ‫ف‬ َ ‫ َر ِد‬bisa langsung digabungkan dengan dhamir ‫ آ‬sehingga menjadi 20‫رد‬. Al-Farrâ’ memberikan contoh yang sama dengan surat al-Haj ayat 26 yang berbunyi: ‫اه‬G #‫واذ  أ‬. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh alAkhfasy408 yang menganalisis bahwa kata

ْ2ُ َ ‫ف‬ َ ‫ َر ِد‬mempunyai makna ْ2ُ 0َ ‫َر ِد‬

dengan menyandarkan dhamir ‫ آ‬kepada fi`l sebelumnya, menurut al-Akhfasy kasus ini sama dengan surat Yusuf ayat 43 yang berbunyi:‫ن‬ َ ‫ُو‬Dُ :ْ َ َْ‫ؤ‬£ ِ ْ$ُ +ْ ‫ ِإنْ ُآ‬huruf lam pada ayat tersebut merupakan huruf tambahan yang masuk kepada maf`ul bih muqadham yang mempunyai makna ‫ن‬ َ ‫ُو‬Dُ :ْ َ َْ‫ؤ‬£ ‫ْ ا‬$ُ +ْ ‫ ِإنْ ُآ‬contoh yang lain alAkhfasy mengemukakan surat al-A`raf ayat 154 yang berbunyi: ‫ ن‬D‫  ه‬. Al-Zujâj409 memahami pendapat al-Farrâ’ bahwa makna dari kata 2 ‫ردف‬ adalah 2 ;O (menyegerakan bagimu) yang secara bahasa memliki makna 20‫رد‬ atau juga 2D‫( رآ‬akan datang dalam waktu dekat). Menurut al-Nuhâs penambahan (ziyadah) bisa juga berkombinasi dengan masdar sebagaimana penambahan (ziyadah) huruf ba (‫ء‬D ‫)ا‬. Dari diskusi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa para tokoh linguis Arab saling berbeda pendapat dengan memberikan argumennya masing-masing ada yang mengatakan bahwa penambahan huruf lam (‫م‬G‫ )ا‬merupakan huruf tambahan (ziyadah) murni yang mempunyai makna fi`l yang lain sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Farrâ’, ada juga yang berpendapat bahwa penambahan huruf lam (‫م‬G‫ )ا‬mempunyai fungsi memuta`adikan fi`l sebagaimana pendapat alAkhfasy, dan ada yang berpendapat bahwa penambahan huruf lam (‫م‬G‫ )ا‬bisa

407

al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 299 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 431 409 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 4 h. 128 408

149

berkombinasi dengan masdar sebagaimana pendapat al-Nuhâs sebagaimana contoh 1+pN 1p‫  و‬1p. h. Afiksasi huruf lam taukid ('‫ آ‬$ ‫م ا‬G) Penambahan lam taukid ('‫ آ‬$ ‫م ا‬G) para tokoh nahwu sering juga mengistilahkan dengan lam al-Ibtida (‫'اء‬$z‫م ا‬G) atau lam muzahliqat (‫ﺡ‬6N ‫م ا‬G‫)ا‬ yaitu lam yang masuk kepada mubtada, khabar, ataupun ism nawasyih. Ibn alKhâlawih410 memberikan analisis terhadap surat al-Dhuha ayat 4 yang berbunyi Tَ ‫ُو‬f ْ ‫ ا‬1 َ ِ 3 َ َ ٌْ ‫ﺥ‬ َ ‫ﺥ َ ُة‬ ِ ­َْ َ‫ َو‬menurutnya huruf lam yang terdapat pada kata ‫ﺥ َ ُة‬ ِ ­َْ َ‫َو‬ ِ ­َ ْ ‫ ا‬dibaca marfu` karena posisi merupakan huruf lam taukid, sedangkan kata ‫ﺥ َ ُة‬ i`râbnya menjadi mubtada, dengan kata lain huruf lam yang berkombinasi dengan kata ‫ﺥ َ ُة‬ ِ ­َ ْ ‫ ا‬merupakan huruf tambahan yang memiliki makna taukid. Abû `Ubaidah411 memberikan analisis terhadap surat yusuf ayat 91 yang berbunyi 1 َ ِšX ِ َA َ +‫ َوِإنْ ُآ‬menurutnya ayat tersebut mengandung makna 1ِšX ِ َ‫ ﺥ‬+‫َوِإنْ ُآ‬ ِ َ‫ ﺥ‬posisi i`râbnya menjadi khabar yang mendapat tambahan huruf dimana kata 1ِšX lam (‫م‬G‫ )ا‬yang secara makna tidak mengalami perubahan dengan ada dan tidak adanya huruf tersebut hanya berpengaruh terhadap stresing. Lam taukid juga masuk kepada khabar shibh Jumlah sebagaimana yang terdapat pada surat alَ v % ‫ ا‬1 َ Nِ َ ِ ِDْ َ ْ1ِ ْ$ُ +ْ ‫ َوِإنْ ُآ‬. Konstruksi kalimat 1 Baqarah ayat 198 yang berbunyi: 1 1 % ‫ ا‬merupakan khabar yang berbentuk syibh jumlah yang terdiri dari jar dan majrur. Huruf jar yang berfungsi sebagai khabar tersebut berkombinasi dengan huruf lam (‫م‬G‫ )ا‬yang berfungsi sebagai taukid, artinya huruf lam tersebut tidak mempengaruhi terhadap makna sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Zujâj412. Menurutnya taukid disini berfungsi sebagai taukid amr (perintah) kalimat sebelumnya. Huruf lam taukid juga masuk kepada ism ina ( ‫ن‬z‫ ا‬7‫ )ا‬sebagaimana yang Abû `Ubaidah413 menganalisis surat Ali Imran ayat 78 yang berbunyi: ‫ﺝًا‬ ْ fَ َ َ+ َ ‫ن‬  ‫ِإ‬. Pada ayat tersebut kata ‫ﺝًا‬ ْ ‫ َأ‬posisi i`râbnya adalah menjadi ism Ina muakhar yang mendapat huruf tambahan (ziyadah) yang menurut Abû `Ubaidah tambahan huruf 410

al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 20 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 318 412 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 263 413 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 225 411

150

lam pada kata ‫ﺝًا‬ ْ ‫ َأ‬tidak mengandung makna hanya akan lebih memberikan penekanan atau stressing. Kasus yang sama terdapat pada surat al-lail ayat 12 yang berbunyi: ‫َ َ ْ ُ'َى‬+ْ َO َ ‫ن‬  ‫ ِإ‬kata ‫ ا ْ ُ'َى‬pada ayat tersebut berfungsi sebagai ism dari ina yang berkombinasi dengan huruf lam sebagai taukid menurut Abû `Ubaidah ayat tersebut mempunyai makna ‫َ ا ْ ُ'َى‬+ْ َO َ ‫ن‬  ‫ِإ‬. Al-Zujâj414 juga menganggap bahwa huruf lam yang masuk kepada ism inna mempunyai fungsi sebagai taukid dan tidak mempunyai makna sebagaimana ia menganalisis surat Ali Imran ayat 78 yang berbunyi: ُْ $َ +َ Y ِ ْ ‫ن َأ‬ َ ‫ًِ َ ْ ُو‬9َ َ ُْ +ْ ِ ‫ن‬  ‫َوِإ‬ ‫ب‬ ِ َ$2ِ ْ ِ menurutnya huruf lam pada ayat tersebut merupakan huruf tambahan (ziyadah) yang berfungsi sebagai taukid. Para tokoh lain yang mengatakan bahwa huruf lam pada ayat tersebut merupakan huruf ziyadah yang mempunyai fungsi sebagai taukid adalah Ibn al-Khâlawih dan al-Nuhâs menurut mereka masuk dan keluarnya huruf tersebut berfungsi kepada stresing pesan yang dikandung dalam ayat tersebut. Kesimpulan dari diskusi para tokoh diatas secara keseluruhan menyatakan bahwa tambahan huruf lam taukid tidak melahirkan makna baru hanya berfungsi untuk memberikan stresing pesan yang disampaikan dari sebuah ungkapan. i. Afiksasi huruf mâ () Al-Zarkasyi415 menempatkan huruf mâ () sebagai tambahan kedalam lima tempat setelah huruf jar yaitu terletak setelah huruf min (1) dan setelah huruf `An (1O). Huruf mâ () yang terletak setelah kedua huruf tersebut beramal tidak secara sempurna, sedangkan huruf mâ () yang terletak setelah huruf al-kaf (‫ف‬2 ‫)ا‬, ruba (‫ )رب‬dan al-ba` (‫ء‬D ‫ )ا‬bisa beramal secara sempurna dan kadang tidak beramal secara sempurna. Para ulama nahwu dalam hal ini berbeda pendapat tentang mâ () yang berkombinasi dengan kata yang lain, apakah mengandung makna dan bisa beramal kepada kata yang lain apa hanya sekedar huruf tambahan biasa. Abû `Ubaidah416 menganalisis surat al-Qashash ayat 28 yang berbunyi:  ُ ْ % َ َ 1 ِ ْ َ‫ﺝ‬ َ fَ ْ ‫َ ا‬N‫َأ‬ ‫ن‬ َ ‫'ْوَا‬O ُ َ0َ pada ayat tersebut menurutnya huruf mâ () merupakan tambahan yang 414

al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 442 al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h.668 416 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 102 415

151

dikiaskan tidak adanya huruf tersebut sehingga maknanya 1‫ أي ا]ﺝ‬dan ayat yang senada dengan ayat tersebut adalah sebagai berikut: ‫ب‬ ِ ْ َ ْ ‫ ا‬/ِ0 ُْ + 9َ َ eْ َ œِ0َ ayat ini dikiaskan menghilangkan huruf mâ () menjadi ُْ +9َ َ eْ َ ‫œِن‬0َ . Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh al-Akhfasy417 dengan mengemukakan contoh surat al-Isra ayat 110 yang berbunyi:‫ ا‬O' ‫ ا‬dengan mengkiaskan huruf mâ () hilang menjadi ‫ ا‬O' ‫ ا‬. Al-Nuhâs418 berpendapat bahwa penambahan huruf mâ () yang terletak setelah in Syartiyah (Xm ‫ )إن ا‬berfungsi sebagai taukid, sedangkan menurut Ibn Khâlawih419

apabila

terletak

setelah

huruf

istifham

aina

(1‫)ا‬

maka

penambahan(ziyadah) tersebut merupakan tambahan murni yang tidak berekses terhadap makna, ia memberikan contoh dengan surat al-Fajr ayat 15 yang berbunyi: ُ £‫ َر‬oُ َ$َ ْ ‫ن ِإذَا َ ا‬ ُ َY#ْ œِ ْ ‫ ا‬fَ0َ menurutnya ayat ini mempunyai pengertian ‫ ِإذَا‬fَ0َ ُ £‫ َر‬oُ َ$َ ْ ‫ َ ا‬dengan tidak mencantumkan kata ‫ن‬ ُ َY#ْ œِ ْ ‫ا‬, ataupun dengan menampilkan ُ َY#ْ œِ ْ ‫ ا‬dan meniadakan huruf . kata ‫ن‬ Para tokoh yang lain juga menganalisis tentang penambahan huruf mâ () pada surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi: ُْ َ  َ +ْ ِ ِ  ‫ ا‬1 َ ِ ٍ Nَ ‫ﺡ‬ ْ ‫َ َر‬NDِ 0َ , al-Farrâ’420, al-Akhfasy421, dan al-Zujâj422 menganalisis bahwa huruf mâ () pada ayat ini merupakan huruf tambahan sehingga ayat tersebut bisa mempunyai makna tanpa dengan kehadiran huruf mâ () hanya yang diperlukan adalah stresingnya saja, ayat lain yang dinyatakan mengandung huruf mâ () tambahan (ziyadah) surat alMu`minun ayat 40 yang berbunyi: 1 َ ِ‫َ ِد‬# 1  ُ Dِ @ ْ ُ َ ; ٍ َِ NO َ huruf mâ () yang berkombinasi dengan huruf jar `An (1O) merupakan huruf tambahan yang tidak berimplikasi terhadap makna. Al-Farrâ’423 menggabungkan dua fungsi huruf mâ (), menurutnya bahwa posisi huruf mâ () bisa merupakan huruf syarat dan bisa juga menjadi huruf tambahan yang terletak setelah huruf jar sebagaimana yang terdapat pada surat

417

al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 192 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 121 419 al-khalawih, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, h. 79 420 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 244 421 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 220 422 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 397 423 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 189 418

152

Nuh ayat 25 yang berbunyi: ‫َرًا‬# ‫ﺥُ ا‬ ِ ْ‫د‬fُ0َ ‫ ُِ ا‬w ْ ‫ِšَ ِ ِْ ُأ‬S‫ﺥ‬ َ Nِ menurutnya huruf mâ () bisa berfungsi sebagai huruf syarat dengan jawab syaratnya adalah kata ‫ ُِ ا‬w ْ ‫ ُأ‬dan bisa juga berfungsi sebagai huruf tambahan (ziyadah) berarti mempunyai makna ِْ ِ َšِS‫ﺥ‬ َ 1ِ. Para ulama nahwu sepakat bahwa penambahan (ziyadah) huruf mâ () bisa juga terjadi antara badal dan badal minhu sebagaimana yang tertera pada surat al-Baqarah ayat 26 yang berbunyi: ً ‫ﺽ‬ َ ُ:َ َ ًeَ َ kata ًeَ َ posisi i`râbnya sebagai maf`ul bih yang menjadi mubdal minu dari kata ً ‫ﺽ‬ َ ُ:َ , antara mubdal minhu dan badalnya terdapat huruf mâ () yang mengantarinya yang secara makna tidak mempengaruhi terhadap relasi kedua kata tersebut. j. Afiksasi huruf lâ (G) - Afiksasi huruf lâ (G) sebagai pengulangan kalimat negatif Penambahan huruf lâ (G) para ahli nahwu berbeda dalam memberikan analisis terhadap pengulangan ungkapan negative apakah huruf tersebut merupakan huruf tambahan (ziyadah) atau huruf tersebut sebagai huruf yang mempunyai makna. Menurut al-Zarkasyi424 penambahan huruf lâ (G) yang berupa pengulangan kalimat negatif bisa terletak setelah huruf wa (‫ )و‬sebagaimana yang  ‫ ُ َو َ ا‬+َ Y َ َ ْ ‫ ِي ا‬$َ Y ْ َ َ ‫ َو‬pada tercantum dalam surat Fushilat ayat 34 yang berbunyi ُ šَ vY ayat tersebut kata ‫ ي‬$7‫ ا‬menuntut adanya dua fi`l karena kata tersebut merupakan kata yang mengandung perbandingan, oleh karenanya perbandingan mestilah minimal ada dua yang secara makna tidak mungkin bertemu. Pada ayat diatas َ َ ْ ‫ ا‬dengan kata ُ šَ vY  ‫ ا‬atau dengan yang menjadi perbandingannya adalah kata ُ +َ Y kata lain kata ُ +َ Y َ َ ْ ‫ ا‬tidak mungkin mengandung makna ُ šَ vY  ‫ ا‬dan kata ُ šَ vY  ‫ ا‬tidak mungkin mengandung makna ُ +َ Y َ َ ْ ‫ ا‬oleh karenanya menurut al-Zarkasyi ayat  ‫ ُ َو ا‬+َ Y َ َ ْ ‫ ِي ا‬$َ Y ْ َ َ ‫ َو‬namun dengan adanya huruf lâ tersebut mempunyai makna ُ šَ vY (G) setelah huruf wa (‫ )و‬berfungsi untuk meyakinkan bahwa benar-benar tidak sama antara kebaikan dan kejelakan dan sebaliknya kejelekan juga benar-benar tidak sama dengan kebaikan.

424

al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h. 670

153

Pada kasus diatas al-Farrâ’425 menganalisis surat al-khasyr ayat 20 yang berbunyi: ِ + َ ْ ‫ب ا‬ ُ َ. ْ ‫ ِر َوَأ‬+ ‫ب ا‬ ُ َ. ْ ‫ ِي َأ‬$َ Y ْ َ َ menurutnya versi bacaan Abdullah setelah huruf wa (‫ )و‬terdapat huruf lâ (G) nafi yang berfungsi sebagai taukid, jika memang benar adanya maka huruf lâ (G) merupakan huruf tambahan (ziyadah). Menurut al-Farrâ’426 apabila huruf lâ (G) masuk kepada kalimat yang terdiri dari pengingkaran baik diawal ataupun diakhir kalimat maka huruf lâ (G) tersebut merupakan huruf tambahan sebagaimana yang terdapat pada surat al-Hadid ayat 29 yang berbunyi ‫ن‬ َ ‫ َ ْ ِ'رُو‬Gَ‫ب أ‬ ِ َ$2ِ ْ ‫; ا‬ ُ ‫َ َ َأ ْه‬:ْ َ َš ِ pada pernyataan kalimat akhir merupakan pernyataan pengingkaran oleh karena itu huruf lâ (G) pada awal ayat merupakan huruf tambahan (ziyadah) sehingga ayat tersebut menurut Abû `Ubaidah427, al-Akhfasy428, dan Ibn Jinnî429 mempunyai makna ‫ب‬ ِ َ$2ِ ْ ‫; ا‬ ُ ‫َ َ َأ ْه‬:ْ َ . Menurut analisis al-AKhfasy430 surat al-Fathir ayat 21 yang berbunyi َ ‫َو‬ ‫ُو ُر‬ َ ْ ‫; َو َ ا‬ £R v ‫ ا‬huruf lâ (G) yang kedua merupakan huruf tambahan (ziyadah) karena ayat tersebut diserupakan dengan ungkapan '‫ ز‬G‫و و‬NO ‫ ي‬$YG yang mengandung makna '‫و و ز‬NO ‫ ي‬$YG dari pengkiasan ungkapan tersebut sehingga al-Akhfasy memberikan kesimpulan bahwa makna pada ayat tersebut adalah َ ‫َو‬ ‫ُو ُر‬ َ ْ ‫; َو ا‬ £R v ‫ ا‬dan ayat tersebut mempunyai makna yang sama dengan surat Fushilat ayat 34. Berbeda dengan pendapat al-Zujâj431, al-Nuhâs432, dan al-Farrâ’433 yang menyatakan bahwa penambahan huruf lâ (G) mempunyai makna taukid dengan menggunakan pengulangan lafal nafi tersebut. Sehingga makna yang terkandung adalah meyakinkan bahwa benar-benar tidak sama antara yang teduh dengan yang panas. Para ahli nahwu berbeda pendapat ketika menganalisis surat al-Fatihah ayat 7 yang berbunyi 1 َ v % ‫َ ْ ِْ َو َ ا‬O َ ‫ب‬ ِ ُ%Kْ Nَ ْ ‫ ْ ِ ا‬w َ . Menurut al-Farrâ’434 huruf lâ (G) َ bukan merupakan kata tambahan (ziyadah) karena mengandung makna ِ ْ w 425

al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 147 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 137 427 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 254 428 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 495 429 Ibn Jinnî, Al-Muhtasab, jilid 1 h. 116 430 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 2 h. 447 431 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 4 h. 386 432 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 4 h. 403 433 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 137 434 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 7 426

154

ungkapan 1 َ v % ‫ َ ا‬yang menunjukan kalimat negatif di`athafkan kepada kalimat sebelumnya yang menggunakan kata ْw َ , sedangkan menurut Abû

negaitf

`Ubaidah435 huruf lâ (G) pada ayat tersebut mengandung makna taukid nafi yang menekankan bahwa benar-benar bukan orang yang sesat. Al-Nuhâs436 menganalisis ayat ini dengan menghadirkan dua madzhab yaitu madzhab kufah dan madzhab bashrah. Menurut madzhab bashrah huruf lâ (G) merupakan huruf tambahan (ziyadah) sedangkan menurut madzhab kufah huruf lâ (G) pada ayat tersebut mempuyai makna ْw َ. Penulis mengambil kesimpulan dari diskusi para tokoh diatas bahwa pada hakekatnya huruf lâ (G) merupakan huruf tambahan (ziyadah) karena dengan tanpa mengahadirkan huruf lâ (G) tersebut makna dari ayat diatas sudah mengandung makan negatif dari ungkapan sebelumnya. - Afiksasi huruf lâ (G) yang terletak sebelum huruf qasam Ada beberapa ayat yang mengandung huruf lâ (G) yang terletak sebelum huruf qasam diantaranya adalah surat al-Waqi`ah ayat 75 yang berbunyi ُ Y ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ ‫ُ ِم‬+£ ‫ ا‬Fِ ِ ‫ َا‬Nَ ِ , al-Haqah ayat 38 yang berbunyi ‫ن‬ َ ‫@ُو‬ ِ Dْ ُ َNِ ُ Y ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ , surat al-Ma`arij ayat 40 yang berbunyi ‫ق‬ ِ ‫َ ِر‬mNَ ْ ‫ب ا‬ v َ ِ ُ Y ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ , surat al-Qiyamat ayat 1-2 yang berbunyi َ ِ 9ْ + ِ ُ Y ِ ْ ‫ َو َ ُأ‬, surat al-Takwir ayat 15 yang berbunyi ُ Y ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ ِ َ َِ ْ ‫ ُ ِ َ ْ ِم ا‬Y ِ ْ ‫ ُأ‬dan ِ َ ‫ ا  ا‬g g ِ +A ُ ْ ِ, surat al-Insyiqaq ayat 16 yang berbunyi ِ 9َ m  ِ ُ Y ِ ْ ‫َ ُأ‬0َ , dan yang terakhir surat al-Balad ayat 1 'ِ َDَ ْ ‫ ُ ِ َ*َا ا‬Y ِ ْ ‫ َ ُأ‬. Al-Farrâ’437 berpendapat bahwa sebagian besar ahli nahwu menganggap huruf lâ (G) yang terletak sebelum huruf qasam merupakan huruf silah (penghubung). Al-Farrâ’ lebih lanjut mengatakan bahwa tidak ada sebuah kalimat yang diawali dengan kata-kata negatif. Ia mengemukakan contoh perbandingan kalimat  ‫ ل‬7 ‫ وا إن ا‬dengan kalimat  ‫ ل‬7 ‫وا إن ا‬G. Pada kalimat pertama seolah-olah kalimat tersebut merupakan berita biasa sedangkan kalimat yang kedua merupakan kalimat untuk menyangkal pernyataan yang diungkapkan oleh orang yang tidak percaya dengan keberadaan Rasul. Pendapat al-Farrâ’ tentang ayat diatas terbagi menjadi tiga macam yang pertama lâ (G) tambahan (ziyadah) 435

Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 1 h. 26 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 1 h. 176 437 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 3 h. 297 436

155

kedua lâ (G) sebagai penyangkal terhadap ungkapan bagi orang yang ingkar terhadap hari kebangkitan dan hari perhitungan, yang ketiga lâ (G) sebagai huruf ibtida bukan huruf nafi. Abû `Ubaidah438 menganggap bahwa huruf lâ (G) pada surat al-Waqi`ah dan al-qiyamah merupakan huruf tambahan (ziyadah), sedangkan al-Zujâj mengatakan bahwa huruf lâ (G) pada kedua surat tersebut merupakan huruf tambahan (ziyadah) sekaliagus huruf taukid. Al-Nuhâs menganggap bahwa huruf lâ (G) pada surat al-Haqah, al-Ma`arij dan al-Takwir merupakan huruf tambahan (ziyadah). Para tokoh nahwu diatas sepakat bahwa huruf lâ (G) pada beberapa surat yang telah disebutkan merupakan lâ (G) tambahan (ziyadah) kecuali kata yang langsung menunjukan kepada ungkapan Y‫ أ‬G bukan merupakan huruf tambahan karena menurut mereka tidak membolehkannya ungkapan negatif di awal kalimat. Kesepakatan ahli nahwu dalam menentukan bahwa huruf lâ (G) pada ungkapan G Y‫ أ‬bukan merupakan huruf tambahan tidak dibarengi dengan alasan yang sama karena dari masing-masing tokoh mempunyai alasan sendiri-sendiri. Al-Zujâj439 memberikan alasan bahwa pada hakekatnya ayat yang diawali dengan ungkapan G Y‫ أ‬bukan merupakan kalimat negatif karena ayat tersebut mengandung makna yang positif yaitu  ‫  م ا‬Y‫أ‬, sedangkan sebagian tokoh mengatakan bahwa pada hakekatnya huruf tersebut bukan merupakan huruf yang pertama dengan alasan bahwa al-Qur`an merupakan satu kesatuan maka antara ayat yang satu dengan yang lainnya saling terkait sehingga mereka menafsirkan bahwa itu bukan merupakan huruf pertama melainkan bagian dari ayat-ayat sebelumnya. Alasan dari pendapat yang ketiga adalah bahwa huruf lâ (G) bukan menggunakan huruf lâ (G) nafi melainkan dengan menggunakan huruf lâ (G) qasam dan taukid, maka ayat tersebut berbunyi 'D ‫ *ا ا‬Y]. Pendapat yang terakhir ini merupakan pendapat yang paling lemah karena merupakan bagian dari qira`ah yang dipakai oleh kaum yang jauh dipedalaman. Secara ilmu nahwu alasan tersebut juga tidak dapat diterima karena huruf lâ (G) qasam tidak bisa masuk kedalam fi`l mudhare. 438 439

Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 252 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 5 h. 115

156

k. Afiksasi huruf wa (‫)و‬ Ada beberapa tempat kolokasi yang mengandung afiksasi huruf wa (‫)و‬. Penulis mengklasifikasikan kolokasi afiksasi huruf wa (‫)و‬menjadi 3 macam tempat. Pengklasifikasian ini berdasarkan penelusuran dari beberapa teori para ahli nahwu baik yang klasik maupun yang modern. Tiga tempat afiksasi huruf wa (‫ )و‬adalah sebagai berikut: - Afiksasi huruf wa (‫ )و‬yang terletak setelah hamzah Istifaham (‫) أ‬ Para

ahli

nahwu

berbeda

pendapat

dalam

membahas

tentang

penambahan(ziyadah) huruf wa (‫ )و‬yang terletak setelah hamzah Istifaham, ada yang mengatakan bahwa huruf wa (‫ )و‬merupakan huruf tambahan(ziyadah) murni yang tidak mengandung makna dan ada pula yang mengatakan bahwa huruf wa (‫ )و‬tersebut merupakan huruf `athaf. Menurut al-Farrâ’440 huruf wa (‫ )و‬yang terletak setelah hamzah Istifaham, ia mengkiaskan dengan huruf fa (‫ )ف‬yang terletak setelah hamzah istifham, sebagaimana yang terdapat pada surat al-A`raf ayat 63 yang berbunyi $DO‫ او‬huruf wa (‫ )و‬tersebut merupakan huruf `athaf yang maknanya sama dengan huruf fa (‫)ف‬ sehingga ayat tersebut bermakna $D:0‫ا‬. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Abû `Ubaidah441 huruf wa (‫ )و‬yang menganggap bahwa huruf wa (‫ )و‬tersebut merupakan huruf `athaf yang berkesinambungan bukan `athaf yang mempunyai makna memindahkan sesuatu kepada yang lainnya ataupun `athaf yang mempunyai makna ‫ ام‬sehingga kedua tokoh tersebut mengatakan bahwa huruf wa (‫ )و‬tersebut berfungsi untuk menghubungkan dengan peristiwa sebelumnya. Al-Akhfasy442 dalam hal ini menganalisis surat Ali Imran ayat 160 yang berbunyi ٌ Dَ ِ@ُ ْ2ُ $ْ َ َ.‫ َأ‬N َ‫ َأ َو‬menurutnya bahwa huruf wa (‫ )و‬merupakan huruf `athaf. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Zujâj443 yang mengatakan bahwa kasus seperti ini sama dengan ungkapan: ‫*ا وآ*ا‬2 10 2 kemudian yang lain menjawab dengan ungkapan: 3 ‫  ل ذ‬1N ‫اوه‬.

440

al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 383 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, Jilid 2 h. 133 442 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 220 443 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 1 h. 503 441

157

Al-Zujâj menganalisis surat al-Baqarah ayat 100 yang berbunyi ‫َ َه'ُوا‬O َN‫َأ َو ُآ‬ ‫ ْ'ًا‬O َ dengan ayat 87 yang berbunyi ُ 2ُ Y ُ 9ُ #ْ ‫َ َ َ ْ َى َأ‬Nِ ٌ‫ُ ل‬7‫َ ﺝَ َء ُآْ َر‬N2ُ 0َ ‫ َأ‬. Ia mengatakan bahwa huruf wa (‫ )و‬dan huruf fa (‫ )ف‬yang terletak setelah huruf hamzah istifham keduanya merupakan huruf tambahan(ziyadah) yang tidak mengandung makna sebagaimana orang yang berkata ‫  م‬0‫أ‬. Al-Nuhâs444, al-Akhfasy445 dan al-Kasyai berpendapat bahwa huruf huruf wa (‫ )و‬dan huruf fa (‫ )ف‬keduanya merupakan huruf `athaf dengan di`atahfkan kepada fi`l yang dibuang yang diperkirakan berupa kata ‫ت‬+D ‫وا ]ت ا‬9‫اآ‬. - Afiksasi huruf wa (‫ )و‬pada kalimat syarath dan jawab Perdebatan tentang afiksasi huruf wa (‫ )و‬pada kalimat syarath para tokoh nahwu berbeda pandangan ada yang mengatakan bahwa huruf tersebut merupakan huruf `athaf dan ada yang mengatakan bahwa huruf tersebut merupakan huruf tambahan(ziyadah) yang mempunyai perkiraan dalam makna, sebagaiman alْ ‫َ َز‬+َ ‫ْ َو‬$ُ ْ m ِ 0َ ‫ ِإذَا‬T$‫ﺡ‬ َ Farrâ’ menganilisis surat Ali Imran ayat 152 yang berbunyi /ِ0 ْ$ُ O ِ ْ fَ ْ ‫ ا‬pada ayat tersebut huruf wa (‫ )و‬dianggap sebagai huruf tambahan(ziyadah) yang tidak mempunyai makna, karena ayat tersebut merupakan struktur muqadam muakhar sehingga ayat tersebut mempunyai makna $m0 ]‫ ا‬/0 $O‫ز‬+‫ إذا‬Tّ$‫ﺡ‬, sedangkan menurut Thanthawi446 huruf wa (‫ )و‬merupakan huruf `athaf. Al-Farrâ’447 juga mengemukakan beberapa ayat yang mengandung huruf wa (‫ )و‬pada jawab syarath, sebagaimana yang terdapat pada surat al-Shafat ayat 103-104 yang berbunyi oُ َ+ْ ‫َ َد‬#‫ َو‬1 ِ ِD َ ْ ِ ُ َ ‫َ َو‬Nَ7 ْ ‫ َأ‬Nََ0 huruf wa (‫ )و‬yang terdapat pada ayat tersebut merupakan huruf tambahan(ziyadah) yang tidak mempunyai makna maka makna yang terkandung dari ayat tersebut adalah oُ َ+ْ ‫َ َد‬# 1 ِ ِD َ ْ ِ ُ َ ‫َ َو‬Nَ7 ْ ‫ َأ‬Nَ0َ , demikian juga dengan surat al-Anbiya ayat 96 yang berbunyi ‫ج‬ ُ ُ‫ْﺝ‬fَ ْ َ $ِ 0ُ ‫ ِإذَا‬T$‫ﺡ‬ َ ‫ن‬ َ ُY ِ +ْ َ ‫ب‬ ٍ 'َ ‫ﺡ‬ َ ; v ‫ْ ُآ‬1ِ ْ‫ج َو ُه‬ ُ ُ‫ْﺝ‬fَ ‫ َو‬huruf wa (‫ )و‬yang terdapat dalam ayat tersebut merupakan huruf tambahan(ziyadah) yang tidak mempunyai makna. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa huruf wa (‫ )و‬yang berada pada kalimat syarat jawab merupakan huruf(ziyadah) dan apabila huruf wa (‫ )و‬berada pada kalimat 444

al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 1 h. 252 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 141 446 Muhammad sayid Thanthawi, Tafsir al-Wasit, jilid 3 h. 154 447 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 238 445

158

syarat yang beriringan maka huruf wa (‫ )و‬merupakan huruf `athaf, sebagaimana yang terdapat pada surat al-Insyiqaq ayat 1-2 yang berbunyi ْ#َ ‫ ْ َوَأ ِذ‬m َ #ْ ‫َ ُء ا‬NY  ‫ِإذَا ا‬ ْ ‫ﺡ‬ ُ ‫َ َو‬vَ ِ karena syarat yang banyak tersebut hanya memerlukan satu jawab yang seolah-olah jawabnya adalah berupa kalimat Y‫ ﺡ‬/ *š 0 . - Afiksasi huruf wa (‫ )و‬setelah kata ila (G‫)ا‬ Al-Farrâ’448 membolehkan membubuhkan dan membuang huruf wa (‫)و‬ yang terletak setelah kata ila (G‫ )ا‬dengan syarat apabila diikuti oleh ism nakirah sebagaimana yang terdapat pada surat al-Hijr ayat 4 yang berbunyi ٍ َ َْ ْ1ِ َ+2ْ َ‫َوَ َأ ْه‬ ٌ‫ُ م‬:ْ َ ٌ‫َب‬$‫ِإ  َوَ َ ِآ‬, menurutnya huruf yang terletak setelah kata ila (G‫ )ا‬bisa ditampilkan dan bisa juga tidak karena huruf tersebut merupakan huruf tambahan (ziyadah) yang tidak mempengaruhi terhadap makna, demikian juga ia mengatakan bahwa syarat ditampilkannya huruf wa (‫ )و‬apabila kalimat yang terletak setelah kata ila (G‫ )ا‬berupa kalimat sempurna dan apabila kalimat yang terletak sebelum kata ila (G‫ )ا‬berupa kalimat tidak sempurna(naqis) maka tidak boleh menghadirkan huruf wa (‫ )و‬setelah kata ila(G‫ )ا‬sebagaimana contoh ‫ آن‬ ? ‫ وه‬G‫رﺝ; ا‬. Al-Nuhâs449 berpendapat tentang penambahan huruf wa (‫ )و‬yang terdapat pada surat al-Hijr ayat 4 menyatakan bahwa apabila bukan dalam al-Qur`an huruf wa (‫ )و‬tersebut boleh saja dibuang karena menurutnya huruf tersebut merupakan huruf tambahan(ziyadah) yang tidak berpengaruh terhadap makna antara ada dan tiadanya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Farrâ’ dengan alasan karena pada surat al-Syu`ara ayat 208 huruf wa (‫ )و‬tidak disebutkan namun maknanya sama.

l. Afiksasi huruf In (‫)إن‬ Al-Farrâ’450 berpendapat bahwa penambahan(ziyadah) huruf In (‫)إن‬ mempunyai makna sebagai taukid terhadap kalimat negatif. Ia menggunakan surat al-Ahqaf ayat 26 yang berbunyi ‫آ‬+2 ‫ إن‬N0 ‫ه‬+2 ' ‫ و‬sebagai bahan analisis. 448

al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 83 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 377 450 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 218 449

159

Menurutnya huruf In (‫ )إن‬pada ayat tersebut mengandung makna taukid nafi. Sedangkan menurut al-Zujâj451 huruf In (‫ )إن‬pada ayat tersebut bukan merupakan huruf tambahan(ziyadah) melainkan penggunaan huruf diluar kebiasaan (`udul) yang semestiya In (‫ )إن‬berupa huruf ma nafiah, karena untuk membedakan antara ma maushulah dengan ma nafiah maka ma nafiyah yang mengalah dengan digantikan huruf In (‫)إن‬. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Nuhâs452. Al-Zarkasyi453 dalam memandang perdebatan ini lebih cenderung kepada huruf nafiyah dengan alasan pada surat al-An`am ayat 6 setelah huruf ma maushulah berupa huruf nafi lam, dengan alasan inilah ia mengambil sikap bahwa huruf In (‫ )إن‬pada surat al-Ahqaf ayat 26 diperkirakan(ditakdirkan) mempunyai makna nafi. Al-Farrâ’

454

membolehkan berkumpulnya dua huruf nafi antara huruf

ma() nafiyah dengan in(‫ )إن‬sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Naml ِ Nْ :ُ ْ ‫ َوَ إنْ 'ِي ا‬pada ayat tersebut ayat 81 versi bacaan `Abdullah yang berbunyi / berkumpul dua huruf nafi yaitu huruf ma nafiayah dan huruf in yang bermakna nafi juga. Menurut al-Nuhâs455 huruf in(‫ )إن‬pada ayat tersebut mengandung makna ziyadah taukidiyah. Sedangkan menurut Ibn Hisyam(w. 761 H)456 in (‫ )إن‬yang terletak setelah huruf ma() berfungsi sebagai nafi, maushul ataupun bisa menjadi masdariyah dan menurut al-Haruwi in(‫ )إن‬berfungsi sebagai nafi yang mempunyai makna hina(1‫)ﺡ‬. Dari perdebatan masalah letak huruf in(‫ )إن‬setelah ma(‫ )م‬maushulah merupakan huruf ziyadah yang mempunyai makna nafi. m. Afiksasi huruf An (‫)أن‬ Al-Zarkasyi457 memandang bahwa afiksasi huruf An (‫ )أن‬terletak pada setelah huruf lama(N ) dharfiyah sebagaimana yang tercantum pada surat al`AnkAbût ayat 33 yang berbunyi ِْ ِ ‫ َء‬/ِ7 ًX ُ َ+ُ7 ُ ‫ َأنْ ﺝَ َءتْ ُر‬N َ‫ َو‬menurutnya huruf 451

al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, jilid 3 h. 56 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 3 h. 90 453 al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h. 668 454 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 2 h. 300 455 al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, Jilid 2 h. 221 456 Nama lengkapnya adalah Jamal al-Din Ibn Yusuf Ibn Hisyam al-Anshari, Mughni Labib, jilid 1h. 25 457 al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h. 668 452

160

An (‫ )أن‬merupakan afiksasi, dengan alasan huruf lama(N ) merupakan dharaf zaman yang tidak menerima tanwin yang tidak bisa disandarkan kepada mufrad sedangkan huruf An (‫ )أن‬pada ayat tersebut menta`wilkan fi`l sesudahnya mengandung makna mufrad. Demikian juga dengan al-Ghulayaini458 yang berpendapat bahwa huruf lama(N )merupakan dharaf yang menuntut adanya dua jumlah. Jumlah yang pertama akan melahirkan jumlah yang lainnya atau sering diistilahkan dengan jumlah syarat jawab. Kedua jumlah tersebut disyaratkan berupa jumlah fi`liyah yang diawali dengan fi`l madhi. Al-Akhfasy459 menganilisis afiksasi huruf An (‫ )أن‬pada surat yusuf ayat 96 yang berbunyi ُ ِmDَ ْ ‫ َأنْ ﺝَ َء ا‬Nَ0َ menurutnya huruf An (‫ )أن‬pada ayat tersebut merupakan huruf tambahan(ziyadah) karena makna dari ayat tersebut adalah Nَ0َ ُ ِmDَ ْ ‫ ﺝَ َء ا‬selain ia juga menganalisis surat Ibrahim ayat 12 yang berbunyi  ‫َ َأ‬+ َ َ‫َو‬ ِ  ‫ ا‬TَO َ ; َ ‫ َ آ‬$َ #َ menurutnya juga huruf An (‫ )أن‬yang tergabung dengan huruf G merupakan huruf tambahan(ziyadah) namun hal ini dibantah oleh al-Zarkasyi460 karena

huruf

An

tambahan(ziyadah)

(‫)أن‬

pada

melainkan

ayat huruf

tersebut

bukan

masdariyah

yang

merupakan

huruf

berfungsi

untuk

menashabkan fi`l sesudahnya. Al-Farrâ’461

dalam

menganalisis

afiksasi

huruf An

(‫ )أن‬dengan

membandingkan beberapa ayat al-Qur`an, diantaranya adalah surat al-Baqarah ayat 246 yang berbunyi ;# G‫ ا‬+ ‫ و‬pada ayat tersebut terdapat huruf An (‫)أن‬ sedangkan pada surat al-Hadid ayat 8 yang berbunyi ِ  ِ ‫ن‬ َ ُ+ِ ْpُ َ ْ2ُ َ َ‫ َو‬tidak disertakan huruf An (‫ )أن‬menurut al-Farrâ’ kedua ayat ini mempunyai makna yang sama akan tetapi dari pandangan bahasa Arab kalimat yang membuang huruf An (‫ )أن‬merupakan kalimat yang asli yang tanpa harus menggunakan alasan-alasan tertentu untuk mengungkapkan makna. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa huruf An (‫ )أن‬pada surat al-Baqarah ayat 246 merupakan afikasasi yang tidak memberikan makna.

458

Musthafa Al-Ghulayaini, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, h. 622 al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, Jilid 1 h. 180 460 al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, h. 668 461 al-Farrâ’, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 h. 163 459

161

Dari uraian bab IV ini dapat disimpulkan bahwa kolokasi pada tataran struktur kalimat terdapat 3 klasifikasi yaitu: kolokasi struktur normal, kolokasi reduksi, dan kolokasi Afiksasi. Dari ketiga kolokasi tersebut terdapat relasi konstituen struktur kalimat yang akan melahirkan makna-makna yang dikehendaki oleh penutur bahasa tersebut, maka menurut penulis sendiri bahwa dengan mengetahui kolokasi struktur kalimat ini akan memudahkan bagi para pembaca untuk bisa menganlisis makna dari suatu tuturan termasuk dalam memberikan makna teks al-Qur`an. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kajian kolokasi ini akan memberikan sumbangan terhadap ilmu pemaknaan (semantik).

162

BAB V KESIMPULAN Tesis ini untuk membantah teori yang dikemukakan oleh Goddard yang menyatakan bahwa yang paling menentukan dalam melahirkan makna adalah relasi hubungan antar kata. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Brinton dan Akimoto yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan bidang kajian yang fokus membahasa kajian relasi kata yang terbatas yang akan membantu dalam pemaknaan. Tokoh lain yang berpendapat senada dengan Goddard adalah Robbins menurutnya kolokasi merupakan relasi kata yang terjadi pada tataran leksikal. Tesis ini juga untuk mengkombinasaikan dua teori yang berlawanan yaitu kolokasi pada tataran kata dengan kolokasi pada tataran struktur kalimat. Selain kolokasi pada tataran kata para ahli linguistik juga banyak yang mengemukakan bahwa kolokasi bisa juga terjadi pada sebagaimana dikemukakan oleh Sabine Bartsch yang menyatakan bahwa kolokasi disamping menampilkan kajian bidang semantik juga menampilkan kajian tentang struktur bahasa. Dia lebih rinci lagi menyatakan yang dimaksud dengan kajian kolokasi di bidang struktur adalah bukan lagi mengkaji relasi kata-perkata akan tetapi mengakaji relasi unsur-unsur sintaksis. Pendapat ini sebelumnya telah dikemukakan oleh tokoh bahasa yang lain. Diantara tokoh sebelumnya menyatakan bahwa kolokasi terjadi juga pada tataran sintaksis pernyataan ini antara lain dikemukakan oleh Benson Bahns Wouden, menurut ketiga tokoh ini, selain pada tataran kata kolokasi juga terjadi pada tataran sintaksis. Artinya yang akan melahirkan sebuah makna tidak hanya karena adanya relasi antar kata dengan kata yang lain, akan tetapi juga karena adanya relasi antar unsur kalimat. Pendapat Sabine senada dengan pandapat dari linguis Arab Tamâm Hasân yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar unsur sintaksis yang masing-masing unsur tersebut keberadaannya sangat prediktibel. Artinya kemunculan salah satu unsur sintaksis akan sangat mudah untuk diprediksikan karena kemunculan unsur sintaksis yang lain. Tamâm Hasân sendiri memberikan contoh apabila muncul hurf al-jar maka diprediksikan akan muncul ism yang

163

menjadi majrûrnya. Demikian juga dengan bahasa Inggris apabila ada preposisi maka kata kerja yang terletak setelahnya berupa kata kerja bentuk gerund. Gejala kolokasi baik pada tataran kata maupun pada tataran struktur kalimat keduanya akan terjadi pada semua bahasa manusia diseluruh dunia termasuk didalamnya adalah bahasa Arab. Oleh karena itu tidak mustahil apabila dalam al-Qur`an yang nota benenya merupakan kitab suci yang tertulis dalam bahasa Arab akan banyak kolokasi-kolokasi yang terdapat didalamnya kedua jenis kolokasi tersebut. Kesimpulan ini untuk menjawab pertanyaan tesis yang menyatakan bahwa kolokasi sebagai kajian tentang pemaknaan tidak hanya karena adanya relasi antar kata akan tetapi juga karena adanya relasi antar konstituen struktur kalimat. Pada tesis ini penulis tidak mengemukakan secara keseluruhan kolokasi yang terdapat dalam al-Qur`an dan terbatas pada pengklasifikasian jenis-jenis kolokasi yang muncul didalamnya mengingat kata dan kalimat yang terdapat dalam al-Qur`an ini tidak sedikit, maka dari itu memungkinkan sekali bagi penulis sendiri ataupun para akademisi yang lain untuk bisa mengkaji lebih jauh lagi terutama dalam penyusunan kamus kolokasi al-Qur`an.

164

BAB V KESIMPULAN Tesis ini untuk membantah teori yang dikemukakan oleh Goddard yang menyatakan bahwa yang paling menentukan dalam melahirkan makna adalah relasi hubungan antar kata. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Brinton dan Akimoto yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan bidang kajian yang fokus membahasa kajian relasi kata yang terbatas yang akan membantu dalam pemaknaan. Tokoh lain yang berpendapat senada dengan Goddard adalah Robbins menurutnya kolokasi merupakan relasi kata yang terjadi pada tataran leksikal. Tesis ini juga untuk mengkombinasikan dua teori yang berlawanan yaitu kolokasi pada tataran kata dengan kolokasi pada tataran struktur kalimat. Selain kolokasi pada tataran kata para ahli linguistik juga banyak yang mengemukakan bahwa kolokasi bisa juga terjadi pada sebagaimana dikemukakan oleh Sabine Bartsch yang menyatakan bahwa kolokasi disamping menampilkan kajian bidang semantik juga menampilkan kajian tentang struktur bahasa. Dia lebih rinci lagi menyatakan yang dimaksud dengan kajian kolokasi di bidang struktur adalah bukan lagi mengkaji relasi kata-perkata akan tetapi mengakaji relasi unsur-unsur sintaksis. Pendapat ini sebelumnya telah dikemukakan oleh tokoh bahasa yang lain. Diantara tokoh sebelumnya menyatakan bahwa kolokasi terjadi juga pada tataran sintaksis pernyataan ini antara lain dikemukakan oleh Benson Bahns Wouden, menurut ketiga tokoh ini, selain pada tataran kata kolokasi juga terjadi pada tataran sintaksis. Artinya yang akan melahirkan sebuah makna tidak hanya karena adanya relasi antar kata dengan kata yang lain, akan tetapi juga karena adanya relasi antar unsur kalimat. Pendapat Sabine senada dengan pandapat dari linguis Arab Tamâm Hasân yang menyatakan bahwa kolokasi merupakan relasi antar unsur sintaksis yang masing-masing unsur tersebut keberadaannya sangat prediktibel. Artinya kemunculan salah satu unsur sintaksis akan sangat mudah untuk diprediksikan karena kemunculan unsur sintaksis yang lain. Tamâm Hasân sendiri memberikan contoh apabila muncul hurf al-jar maka diprediksikan akan muncul ism yang

165

menjadi majrûrnya. Demikian juga dengan bahasa Inggris apabila ada preposisi maka kata kerja yang terletak setelahnya berupa kata kerja bentuk gerund. Gejala kolokasi baik pada tataran kata maupun pada tataran struktur kalimat keduanya akan terjadi pada semua bahasa manusia diseluruh dunia termasuk didalamnya adalah bahasa Arab. Oleh karena itu tidak mustahil apabila dalam al-Qur`an yang nota benenya merupakan kitab suci yang tertulis dalam bahasa Arab akan banyak kolokasi-kolokasi yang terdapat didalamnya kedua jenis kolokasi tersebut. Berdasarkan uraian pembahasan penelitian ini dapat penulis simpulkan bahwa kolokasi kata dan kolokasi struktur kalimat keduanya mempunyai peran dalam melahirkan makna. Kata tidak akan menghasilkan makna tanpa adanya relasi dengan kata yang lain. Relasi kata tersebut merupakan kombinasi yang sudah lazim digunakan oleh penutur bahasa aslinya. Penutur bahasa asli akan secara alamiah mengkombinasikan kata yang sudah lazim dengan menggunakan intuisi yang sudah terlatih. Ketepatan dalam mengkombinasikan pasangan kata tersebut oleh para ahli bahasa disebut dengan kolokasi. Kolokasi pada tataran kata dalam al-Qur`an ini menghasilkan makna polisemi. Artinya setiap kata dalam al-Qur`an mempunyai makna yang banyak yang menuntut adanya relasi antar kata dengan kombinasi yang serasi. Karena dari masing-masing kata mempunyai ketepatan dalam penggunaan pada sebuah kalimat. Contoh kata 'N ‫ا‬, kata ini searti dengan kata ‫'ح‬N ‫ ا‬dan juga kata ‫ء‬+e ‫ا‬. Ketiga kata ini mempunyai makna pujian dan penghargaan terhadap suatu keindahan, kenikmatan atau lainnya yang bersifat immaterial. Sebagai ungkapan pujian kepada Allah kombinasi kata yang tepat dari ketiga kata tersebut adalah menggunakan kata 'N ‫ا‬. Kata 'N ‫ ا‬juga mengandung makna 2m ‫ا‬, akan tetapi penggunaan kata 'N ‫ ا‬hanya dipergunakan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah, sedangkan untuk mengungkapkan syukur kepada makhluk dengan menggunakan kata 2‫ﺵ‬. Perbedaan makna kolokasi pada tataran struktur kalimat dengan kolokasi pada tataran kata adalah pada posisi dan fungsi kata yang terletak pada runtutan

166

struktur kalimat. Posisi dan fungsi kata pada kalimat itulah yang akan menghasilkan makna kolokasi struktur kalimat. Makna kolokasi struktur kalimat dapat diwujudkan dalam hubungan sintagmatik unsur-unsur leksikal pembentuk sebuah kalimat. Untuk menguji apakah hubungan sintagmatik bermakna dan fungsional atau tidak, dilakukan uji dan teknik permutasian pertukaran posisi. Jika terdapat pertentangan makna atau perbedaan makna karena adanya pergantian posisi maka dapat dikaidahkan bahwa kolokasi tersebut merupakan kolokasi struktural. Pada hakekatnya kedua kolokasi tersebut saling mendukung dan saling melengkapi. Kolokasi kata akan menghasilkan makna ketika masuk sebagai bagian dari unsur kalimat. Kolokasi struktur kalimat tidak akan mempunyai makna apabila tidak didasarkan kepada kata. Jadi makna sebuah kalimat merupakan kombinasi antara makna kolokasi leksikal dan makna kolokasi struktural. sebagaimana ayat berikut: َ ِ$َ Y ْ Nُ ْ ‫ط ا‬ َ ‫@َا‬ v ‫َ ا‬#'ِ ‫ ا ْه‬pada ayat tersebut terdapat relasi antara kata َ#'ِ ‫ا ْه‬, ‫ط‬ َ ‫@َا‬ v ‫ا‬, dan ِ$َ Y ْ Nُ ْ ‫ا‬. Apabila relasi ketiga kata tersebut dianalisis dengan kolokasi kata, maka akan melahirkan makna bahwa kata َ#'ِ ‫ا ْه‬ yang mempunyai makna sinonim ‫رﺵد‬z‫ ا‬tidak bisa saling menggantikan satu sama lain. Dalam satu waktu mungkin bisa menggantikan akan tetapi dilain waktu tidak bisa. Kata ‫ط‬ َ ‫@َا‬ v ‫ ا‬mempunyai makna ‫د‬.N ‫ ا‬, S ‫ ا‬,;DY ‫ا‬. Kata-kata tersebut mempunyai arti yang sama yatu jalan, akan tetapi dalam penggunaannya tidak selamanya bisa saling menggantikan. Keempat kata tersebut mempunyai ketepatan untuk berkombinasi dengan kata yang lain yang masih dalam kontek jalan. Ketepatan dalam penggunaan kata-kata tersebut karena adanya makna kolokasi yang menuntut adanya keserasian relasi kata yang sudah lazim digunakan oleh penutur bahasa tersebut. Untuk membuktikan bahwa kolokasi struktur juga mempunyai peran dalam melahirkan makna, maka perlu analisis juga terhadap ayat 6 surat alFatihah. Metode yang digunakan dalam analisis kolokasi struktur yaitu dengan cara permutasian unsur struktur kalimat. Ayat 6 surat al-Fatihah terdiri dari kata َ#'ِ ‫ا ْه‬, ‫ط‬ َ ‫@َا‬ v ‫ا‬, dan ِ$َ Y ْ Nُ ْ ‫ا‬. Masing-masing kata tersebut mempunyai posisi yang

167

berbeda-beda. Kata َ#'ِ ‫ ا ْه‬terdiri dari fi`l Amr yang berfungsi sebagai do`a dan huruf # merupakan maf`ul dari kata َ#'ِ ‫ا ْه‬. Sedangkan kata ‫ط‬ َ ‫@َا‬ v ‫ ا‬posisi dalam kalimat tersebut sebagai maf`ul kedua dari kata َ#'ِ ‫ ا ْه‬dan kata ِ$َ Y ْ Nُ ْ ‫ ا‬merupakan sifat dari kata ‫ط‬ َ ‫@َا‬ v ‫ا‬. Untuk membuktikan bahwa kolokasi struktur kalimat bisa juga melahirkan makna, maka dari kata-kata yang terdapat pada ayat 6 surat al-Fatihah posisinya perlu diadakan permutasian. Apabila permutasian itu tidak mempengaruhi makna, maka dianggap kolokasi struktur kalimat tidak berpengaruh terhadap lahirnya makna. Akan tetapi apabila berpengaruh terhadap perubahan makna dan bahkan mengakibatkan hilangnya makna maka kaidah ini berlaku bahwa kolokasi struktur kalimat berpengaruh terhadap lahirnya makna. Secara sederhana kata-kata yang terdapat pada ayat 6 surat al-Fatihah apabila posisinya dirubah maka akan mengakibatkan perubahan makna dan bahkan tidak bermakna sama sekali Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pendapat dari Goddard dan yang lainnya yang menyatakan bahwa kolokasi hanya terjadi pada tataran kata terbantahkan. Karena dengan runtutan posisi unsur kalimat yang benar juga akan melahirkan makna. Runtutan unsur-unsur struktur kalimat tersebut terjadi karena merupakan kelaziman. Kelaziman runtutan konstituen struktur kalimat itulah yang disebut dengan kolokasi struktur kalimat.

168

DAFTAR PUSTAKA

`Abd al-Lathîf, Hamâsah, Binâ` al-Jumlah al-Arabiyyah, Kairo, Mesir: Dâr Gharîb, 2003 `Abd al-Latif, Muhammad khamasah, Bina al-Jumlah al-`Arabiyyah, al-Qahirah: Dar Gharib lil-Thaba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzii` Syirkat dzat masuliyat mahdudat, 2003 `Ubadah,

Muhammad

Ibrahim,

al-Jumlah

al-`Arabiyyah,

Makunâtuha-

Anwâ`uha-Tahlîluhâ. Abadi, fairuszi, al-Kamus al-Mukhith, jilid 3 al-Shalih, Abd al-Wahid, al-I`rab al-Mufashal li al-Kitab Allah al-Muratal, Amman Yordania: Dar al-Fikr, cet ke 2, 1999 al-Jurjânî, Abd Qâhir, Dalalil al-I`jaz, ditahqiq oleh Abd al-Mun`im khafaji, Kairo: 1977 Abdelwali, Mohammad, The Loss in The Translation of the Qur`an, Translation Journal, Volume 11 no.2 April 2007 al-Zamahsari, Abi al-Qasim Mahmud Ibn Umar, al-Mufashal fi al-Ilm al-Lughat, Bairut Libanon: Dar Ihya al-Ulum, tt al-Tsa`labi, Abi Manshur, Fiqh al-Lughah wa sir al-Arabiyyah, cet. Terakhir 1972 Abû `Ubaidah, Majâz al-Qur`ân, ditahqiq oleh Muhammad Fuad Sazkin, 1962 Abû al-Fath Utsman, al-Khashaish, ditahqiq oleh Muhammad `Ali al-Najâr, Mesir: Dâr al-Kutub Al-Andalusî, Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi, Thabaqât alNahwiyîn wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Kairo, mesir: Dâr al-Ma‘ârif,. Al-Andalusî, Abû Bakar Muhammad Ibn al-Hasan al- Zubâidi, Thabaqât alNahwiyîn wa lughawiyîn, pentahqiq Muhammad Abû al-Fadl Ibrahîm, Kairo, mesir: Dâr al-Ma‘ârif, Abu Bakar Muhammad ibn al-Syaraj, Al-Mu`jin fi al-Nahwi, pentahqiq Musthafa al-Syuwaimi ibn Salim Darmiji, A. Badran, Bairut Libanon.

169

Abû Basyar `Umar Ibn Utsman Ibn Qanbari Syibawaih, al-Kitâb, ditahqiq oleh Abd al-Salam Harun, al-Haiah, al-Misriyah li al-Kitâb, 1977 al-Akhfasy, Abû Hasan Sa`îd Ibn Mus`adah, Ma`ânî al-Qur`ân yang ditahqiq oleh Fâiz Fâris al-Hamd, Kuwait, 1979 Abû Hayan, Tafsir Bahr al-Muhith , Dar al-Fikr, 1983 al-`Askari, Abu Hilal, al-Furuq fi al-Lughah, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut Libanon, 1979 Abû Ishâq Ibrâhîm ibn Sahl, ma`ânî al-Qur`ân wa I`râbuhu, ditahqîq oleh `Abd Jalîl `Abduh Syalbî, penerbit `Alim al-Kutub, 1988 al-Ashabani, Abu Nu`aim Khuliyat al-Auliya al-Farâ’, Abû Zakariyâ yahyâ Ibn Ziyâd al-Dailami,

Ma`ani al-Qur`an wa

I`râbuhu, ditahqiq oleh Ahmad Yusuf Najâti dan Muhammad Ali al-Najâr, al-Haiat, al-`Amah li al-Kitâb, juz 1, 1980. al-Hasyimi, Ahmad, al-Qawaid al-Asasiyah li al-lughat al-`Arabiyyah, Bairut Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, Ahmad Jâd al-Karim, `Abd Allah, al-Dars Nahwi fi al-Qurn al-`Isyrun, Kairo: Maktabah al-Adab, , cet 1, 2004 Ahmad Jâd al-Karim, `Abd Allah, al-Ma`na wa Nahwi, maktabah al-Adab, Kairo, Mesir: 2002 al- suyuthi, al-Itqan fi ulum al-Qur`an, Kuwait: al-Buhuts al-`Ilmiyah, 1980. al-Akhfasy, ma`ânî al-Qur`an, ditahqîq oleh Fâ`iz Fâris al-Hamd, Kuwait: 1979 al-Alusi, Ruh al-Ma`ani fi Tafsir al-Qur`an, Al-Anbâry, al-Inshaf fi masail al-khilaf, Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998 al-Anshari, Mughni Labib, al-Farâ`, Ma`âni al-Qur`ân, Jilid 1 ditahqîq oleh Ahmad Yûsuf Najâtî dan Muhammad `Ali al-Najâri, 1980 Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Multi Karya Grafika, Pondok Krapyak. Al-Khuli, Ali, Muhammad, A dictionary Theorietical Linguistics English-Arabic with An Arabic-English Glossary, librarie Du Liban, 1982

170

al-Jurjani, Dalail al-I`jaz, ditahqiq oleh Mahmud muhammad Syakir, 1983 al-Farahidi, Al-Khalil Ibn Ahmad, al-Jumal fi al-Nahwi, ditahqiq oleh Fahr alDin Qubawat, cet ke 5, 1995 al-Khalwiyah, I`rab Tsalasina surat min al-Qur`an al-Karim, ditashih oleh alSyayid `Abd al-Rahim Mahmud, Mesir: Dar al-kutub, 1931 Al-Mahali dan Suyuti, Tafsir Jalalain, Mauqi` al-Tafasir. al-Mubarad, al-Muqtadhab, ditahqiq oleh Muhammad `Abd al-Khaliq `Adhimat, 1979 Al-Musthafa al-Ghulayani Jami` al-Durus al-`Arabiyyah al-Nuhâs, I`rab Al-Qur`an, ditahqîq oleh zuhair Ghâzî Zâhid, `Âlim al-Kutub wa al-Nahdlat al-`Arabiyat, 1985 Al-Qathan, Mabâhis fi `Ulum al-Qur`an, Mansyurâh al-`Ashr al-hadits, Riyadh, 1973 al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Al-Raghib al-Ashfahani, Mu`jam Mufradât al-Alfâd al-Qur`ân, pentahqiq Ibrahim Syams al-Din, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 2004 Al-Suyûthî, al-Iqtirah fi `Ilm Ushul al-Nahwi, ditahqiq oleh Ahmad Salim alKhamsa dan Muhammad Ahmad Qashim, Dar al-Ma`arif al-Nidhamiyat, Haidhar Abad. cet I, 1988 Al-Suyuthi, al-Muzhir fi al `Ulum al-Luhat wa Anwa`iha, al-Thabari, Jami` al-Bayan fi al-Tafsir al-Qur`an, Penerbit Dar al-Sya`b, Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjoyo, Hans Lapoliwa, Anton M.Moeliono, Tata Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, edisi ke 3, 2003 al-Zarkasyi, al-Burhan fi al-`Ulum al-Qur`an, ditahqiq oleh Muhammad Abi alfadl Ibrahim, Dar al-Jim, Bairut, 1988 al-Zujaj, Ma`ani al-Qur`an wa I`rabuhu, di tahqiq oleh `Abd al-Jalil `Abduh Syalbi, Penerbit Bairut, 1972 Aminuddin , Semantik (Pendekatan Studi tentang Makna), Bandung, Penerbit Sinar Baru Algensindo, cet ke 3 tahun 2003 Anwar, Moch., Ilmu Sharaf, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet ke 11, 2005

171

Arifin, E. Zaenal dan Junaiyah H.M, Sintaksis untuk Mahasiswa Strata Satu Jurusan Bahasa atau Linguistik dan Guru Bahasa Indonesia SMA/SMK, Grasindo, 2006 Badudu, J.S., Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, PT. Gramedia, Jakarta, 1993 Bahns, J., Lexical Collocations: contrastive view, ELT Journal Oxford ( 30 Juni 1993) Baker, Mona, In Other Words a Coursebook on Translation, Routledge, 1992 Bartsch, Sabine, Structural and Functional Properties of Collocations in English, Gunter Narr Verlag, 2004 Benson, Collocational and Field of Discourse, Pergamon Press Ltd, Oxford, 1985 Bloomfield, Leonard, Language, Bahasa, diterjemahkan oleh Sutikno, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995 Bolinger, Dwight, Apects of Language, Harcourt Brace Jovanovich. INC, New York, cet II. 1975 Brashi, Abbas S., Arabic language, collocations, comparative linguistics, terms and phrases, English, University of Western Sydney, College of Arts, Education and Social Sciences, School of Languages and Linguistics; Australasian Digital Theses Program, University of Western Sydney,2005. Brinton, Laurel J. and Minoji Akimoto, collocational and idiomatic Aspects of Composite Predicates in The History of English, Amsterdam: John Bunyamins Publishing Company, 1999 Chaer, Abdul, Linguistik Umum, PT.Rineka Cipta, Jakarta, cet II, 2003 hal-296 Chaer, Abdul, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Ilmu, 2000 Chomsky, Noam, Aspects of The Theory of Syntax, Cambridge: The M.I.T. Press, , 1965 Chomsky, Noam, Three Model for The Discription of Language, Departement of Modern Language and Resarch Laboratory of Electronic Messachussts Institute of Technology Cambridge, Messachussts.

172

Collinge, N.E., An Encylopedia Of Language, London: Routledge, , cet ke-1, 1990 De Carrico, J.S., Promoting Pragmatic Competence. Collins, London, 1993 Devenyi, Kinga, Collocation in Arabic (MSA) and treatment of Collocations in Arabic Dictionaries, makalah ini dipresentasikan pada acara Proceedings of the Colloquium on Arabic and Lexicography, Etvs Lorand University & Csoma de Krs Society, Budapest, 2007 Emery, Peter G, Collocations and Idioms in Arabic and English: A Contrastive Study, University of Manchester, 1988 Fahmi, Mahmud Hijazi, `Ilmu al-Lughat Yubayin al-Turats wa al-Manahij alHadits, Kairo: Dar Gharib, Finoza, Lamuddin, Kemahiran Berbahasa Indonesia, Jakarta: Maawar Gempita, cet ke 4 1997 Firth, J.R., Papers in Linguistics, Oxford University Press, London and New York Toronto, 1957 Goddard, Cliff, Sematics Anlysis, A Practical Introduction, Oxford University Press, London 1957 Hamasah, Muhammad `Abd al-Lathif, Bina al-Jumlah al-`Arabiyyah, Kairo: Dar al-Gharib, 2003 Hasan, Tamam, Ijtihadat lughawiyah, Kairo: `Alim al-kutub, , cet 1, 2007 Hasan, Tamam, Al-Lughah al-`Arabiyah Ma`naha wa Mabnaha, al-Qahirah: Alimu al-kutub, 1998 al-Yusungi, Hendrikus, Faraid al-Lughah fi al-Furŭq, maktabah al-Tsaqafah alDiniyyah, 1999 Hill, Jimmie dan Michael Lewis, Dictionary of Selected Collocations, London: commercial Colour Press Plc, 1999 Hornby, AS, Oxford Advanced Learner`s Dictionary of Current English, Oxford University Press, New York, cet ke 5, 1995 Husein, Riyad Fayez, collocation: The missing link in vocabulary acquisition amongst EFL learners and Studies in Contrastive Linguistic, 1990

173

Ibn `Aqil dalam, Syarh Ibn `Aqil `Ala `Alfiyyah Ibn Malik, yang ditahqiq oleh Muhyi al-Din `Abd al-Hamid , Dar-al-Turats, Kairo, 1980 al-Isybali, Ibn `Ushfur, Syarh al-Jumal al-zijaji juz 1, yang ditahqiq oleh Shahib Abu Janah, Kairo Mesir, 1971 Ibn al-sarâj, al-ushûl fi al-Nahwi, ditahqiq oleh `Abd al-Husain al-Fatlâ, alRisalat, 1985 al-`Ukbari, Ibn Burhan, Syarh al-Luma`, ditahqiq oleh Faiz Faris, al-silsilah alTuratsiyyah, Kuwait, 1984 al-Anshari, Ibn Hisyam, Tahdzibu wa Ighna Syarh Qatr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh `Adnan al-`Adzmah dan Muhammad Ali al-Syulthani, Dar al`Ashamai, cet-1, 1998 Ibn Hisyam, Syarah Qathr al-Nada wa Bal al-Shada, ditahqiq oleh Muhammad muhyi al-Din `Abd al-Hamid, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, Riyadh, tt. Ibn Jinnî, Al-Khashâish, ditahqiq oleh Muhammad `Ali al-Najâr, Dar al-Hudâ, Bairut, Ibn Katsir, Jami` al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, Ibn Malik, Alfiahnya. Ibn Mandzur, Lisan al-`Arab, jilid 11 h.390. Ibn Yâ`is, Syarah Ibn Yâ`is `Ala al-Mufashal li al-Zamahsari, Ibrâhîm Anîs, fî al-lahjât al-`Arabiyyah, Maktabah al-Anjlul, Mesir, 1965 Ibrahim Syams al-Din, Marja` al-Thulab fi al-Insya, dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Bairut Libanon, 2000 Imamuddin, Basuni dan Nashiroh Ishaq, Kamus Idiom Arab-Indonesia Pola Aktif, P.T.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet 1, 2005 Izutsu, Toshihiko, God and Man in The Qur`an, Semantics of The Qur`anic Weltauschang, Kuala Lumpur: Academic Art & Printing Services, , 2002 Jakson, Howard, Words, Meaning, and Vocabulary, Camridge University Press, Cambridge, 1995 Kamalie, Saifullah, Kolokasi dalam Bahasa Arab Mengapa dan Bagaimana, Blog Pribadi ditulis pada hari Sabtu,23 Juni 2007

174

Khaidar, Farid `Aud, `Ilmu al-Dilalah Dirasat Nadzriyat wa Tathbiqiyat, Maktabat al-Adab, Kairo, 2005 Khudhar, Rihab 'Akkawi, Mausu'ah 'Abaqirah al-Islam fi al-Nahwi, wa alLughah wa-al-Fiqh, al-Mujallad al-Tsalits, Beirut: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1993 Kridalakana, Harimurti, Pesona Bahasa : Langkah Awal Memahami Linguistik, Penyunting Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007 Larson, Mildred L., Meaning Based Translation: A Guide to Cross Language Equivalance. Amerika: University Press Of America. 1984 Leech, Semantics, Lyons, Introductional to Theoritical Linguistics. M. Moeliono, Anton, Suatu Reorientasi Dalam Tata Bahasa Indonesia, dalam buku Bunga Rampai Bahasa dan Sastra dan Budaya, Intermasa, Jakarta, 1988 Mahmoud, Abdulmoneim, Collocation Errors Made Arab Learners of English, Teachers Articles, Agustus 2005 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2007 Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif , Yogyakarta: Rake Sarasin, , 2000 Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Ghalib al-Amali Abu Ja`far alThabari, Tafsir al-Thabari, Majma` al-Malak fahd li al-Thaba`at al-Mushaf al-Sharif, 2000 Muhammad Ibn Mukaram Ibn Mandzur al-Afriki, Lisan al-`Arab, Bairut Libanon: Dar Shadir, 1996. Al-Ghulayaini, Musthafa, Jami` al-Durs al-`Arabiyyah, Kairo Mesir: Dar alHadits, 2005 Nadja Nesselhauf, Collocations in a Learner Corpus, John Benjamins Publishing Company, 2004

175

Nattingger, J.R., Lexikal Phrases and Language Teaching. London: Longman, 1992 Oxford Collocations Dictionary for Students of English, Oxford University Press, cetakan ke 4, 2003 Palmer, F.R., Semantics, Cambridge: Cambridge University Press, 1983 Palmer, Semantics, Cambridge University Press, Cambridge, 1983 Parera, J.D., Teori Semantik, penerbit Erlangga, Jakarta, cet ke 2, 2004 Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal, Ende, Flores: penertbit Nusa Indah, cetakan I, 1986 Purwo, Bambang Kaswanti, Deiksis Dalam Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1984 Qadur, Ahmad Muhammad, mabadi al-Lisaniyat, Darul Fikri, Damaskus, 1999 Râjahî, `Abduh, al-Nahw al-`Arabî wa al-Dars al-Hadîts, al-nahdlat al-`Arabiyat, Bairut, 1979 Al-Thawil, Rizqi, Sayid, Al-Khilaf Baina Al-Nahwiyyin, Makkah Al-Mukaramah: Al-Maktabah Al-Faisaliyat, 1985 Robins,R.H, General Linguistics, Longman, London dan New York, 1989 cet ke 4 yang di terjemahkan oleh Soenarjati Djajanegara, Linguistik Umum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius, , 1992 al-Afghani, Sa`id, al-Mūjiz fi al-Qawaid al-Lughah al-`Arabiyyah, Dar al-Fikr, alkutub al-iliktroniyat. Sevilla, Consuelo G. dkk, Pengantar Metode Penelitian, alih bahasa Alimuddin Tuwu, UI Press, Jakarta, 1993 Shihab, M. Qurash, Tafsir Al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000 Sîbawaih, al-Kitâb, ditahqîq oleh `Abd al-Salâm Muhammad Hârûn, Kairo Mesir: Maktaba al-Khânji, jilid 2 cet ke 3 1988 Sinclair, John, Susan Jones and Robert Daley, English Lexical Studies:Report to OSTI on Project C/LP/08, Departement of English, University of Birmingham, 1970 Soedjito, Kosa Kata Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1989

176

Sudarma, Jaya, T. Fatimah, Semantik: Pernyataan kearah ilmu makna, Refika Aditma, Bandung, 1999 Sulthani, Muhammad Ali, Al-Syawahid al-Nahwiyyah Juz 4, Damaskus Syria: Dar al-Ashma, 2001 Sumarsono, Pengantar Semantik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2007 Syaukani, Fath al-Qadir, jilid 4 Thanthawi, Muhammad Sayid, Mu`jam I`rab Alfadz al-Qur`an al-Karim, alAzhar Islamic Reseach Academy General Departemen, 1994 Thanthawi, Muhammad Sayid, Tafsir al-Wasit, Thanthawi, Muhammad, Nas’at Al-Nahw wa Tarikh Asyhar Al-Nuhat, Dar AlManar, 1991 Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,

Kamus

besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Ullman, Stephen, Semantic an Intoduction to The Science of Meaning, Oxford: Basil Blackwall, , 1977. Umar, Ahmad Muhammad, `Ilm al-Dilalat, Maktabah al-Aurabah, Kuwait, 1982 Wouden, Ton Van Der, Collocation, Polarity and Multiple Negation, Routledge, 1997

177

Irfan Sidqon_Kolokasi dalam al-Qur`an .pdf

Jakarta, Juli 2009. Pembimbing,. Dr. Ahmad Dardiri, MA. Page 3 of 15. Irfan Sidqon_Kolokasi dalam al-Qur`an .pdf. Irfan Sidqon_Kolokasi dalam al-Qur`an .pdf.

1MB Sizes 56 Downloads 543 Views

Recommend Documents

DALAM KOTA.pdf
16 31470036 ALVITA SAFFA HADIAN SMP NASIONAL 1. 17 31101067 DIMAS ARYAPUTRA SMP ISLAM AL-FAJAR. 18 31430125 HADID AHMAD GHIFARI ...

IRFAN MIR MICROBIOLOGY USMLE STEP 1.pdf
Streptolysin O is O2 labile ( inactivated by O2 ) 2. Streptolysin S is O2 Stabile ( cannot inactivated by O2 ). * Strep Pyogenes contain 3 virulence factor :- 1. M protein ---- determine group A Hemolytic infection and interfere with phagocytic inges

IRFAN MIR GENETICS USMLE STEP 1.pdf
voilet radiation cause covalent linkage of adjacent pyridimine pyrimidine dimers. * uvrABC enzyme recognize the pyrimidine dimer where as DNA polymerase and DNA ligase restore and. correct DNA sequence and heal the nick. Dis Due to defect in DNA Repa

IRFAN MIR PHYSIOLOGY USMLE STEP 1.pdf
Dephosphorylation of myosin cause relaxation where as in striated muscle Ca++ uptake cause relaxation. Remember in heart and striated muscle Ca binds with troponin and in smooth muscle Ca binds with calmodulin. Figs: Page 3 of 37. IRFAN MIR PHYSIOLOG

IRFAN MIR IMMUNOLOGY USMLE STEP 1.pdf
IL 10 --- produce by T helper cells --- inhibit development of cytotoxic CD8 T cells. inhibit interferon production. IL 12 --- produce by macrophages --- promote ...

IRFAN MIR ANATOMY USMLE STEP 1.pdf
IRFAN MIR ANATOMY USMLE STEP 1.pdf. IRFAN MIR ANATOMY USMLE STEP 1.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.

Muhammad Rusydi Sahabuddin_Hijrah dalam Perspektif al-Quran.pdf ...
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Muhammad ...

Menjadi-Kaya-Dalam-40-Hari.pdf
Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Menjadi-Kaya-Dalam-40-Hari.pdf. Menjadi-Kaya-Dalam-40-Hari.pdf. Open.

teknik-permainan-dalam-bimbingan-kelompok-untuk-meningkatkan ...
Try one of the apps below to open or edit this item. teknik-permainan-dalam-bimbingan-kelompok-untuk-meningkatkan-percaya-diri-siswa.pdf.

DALAM PERSEKITARAN KATA-KATA.pdf
(e) Penggunaan kata ganda. Buktinya, Engkau beri kami kata-kata. menjelajah pulau-pulau, dan berlabuh. di pantai-pantai semenanjung. Kata-kata yang ...

ICT DALAM PDP.pdf
Lampiran. Kandungan. Page 3 of 39. ICT DALAM PDP.pdf. ICT DALAM PDP.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying ICT DALAM PDP.pdf.

INDONESIA RAYA cover by irfan a.n.pdf
INDONESIA RAYA cover by irfan a.n.pdf. INDONESIA RAYA cover by irfan a.n.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.

Thinking Out Loud, Arr by Irfan Agung.pdf
157. Whoops! There was a problem loading this page. Retrying... Thinking Out Loud, Arr by Irfan Agung.pdf. Thinking Out Loud, Arr by Irfan Agung.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Thinking Out Loud, Arr by Irfan Agung.pdf.

Imran N Hosein - Jerusalem dalam Al-Quran (Bahasa Indonesia).pdf ...
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Imran N Hosein ...

Bab-3-Ilmu-Gerak-Dan-Ilmu-Pendukung-Dalam-Pendidikan-Jasmani ...
... jarak, kecepatan, serta aliran. gerak. Page 3 of 51. Bab-3-Ilmu-Gerak-Dan-Ilmu-Pendukung-Dalam-Pendidikan-Jasmani-Olahraga-Dan-Kesehatan.pdf.

Benny Hifdul Fawaid_al-Balad Dalam al-Quran.pdf
Benny Hifdul Fawaid_al-Balad Dalam al-Quran.pdf. Benny Hifdul Fawaid_al-Balad Dalam al-Quran.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.

percepatan-rezeki-dalam-40-hari-dengan-otak-kanan.pdf
percepatan-rezeki-dalam-40-hari-dengan-otak-kanan.pdf. percepatan-rezeki-dalam-40-hari-dengan-otak-kanan.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In.

122. Roh Dalam Keraton.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 122. Roh Dalam ...

File 42 Ran Dalam Bahaya.pdf
Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. File 42 Ran Dalam Bahaya.pdf. File 42 Ran Dalam Bahaya.pdf.

Faidatin_Sumpah Allah dalam al-Quran.pdf
Jakarta, 14 April 2007. ( Faidatin Askan ). Page 3 of 173. Faidatin_Sumpah Allah dalam al-Quran.pdf. Faidatin_Sumpah Allah dalam al-Quran.pdf. Open. Extract.

DALAM PERSEKITARAN KATA-KATA.pdf
menggunakannya dalam pertuturan di mana-mana sahaja dan pada bila-bila masa. RANGKAP 3. Penulis berkata bahawa bahasa menjadikan sesuatu bangsa ...

Modul TKJ-19 Mengadministrasi-Server-Dalam-Jaringan.pdf ...
Sign in. Page. 1. /. 72. Loading… Page 1 of 72. SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN. BIDANG KEAHLIAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI.

Maxsi - Implementasi ICT dalam Pend dan e-business - 11 Feb ...
Mobile Phone, Email, MP3 Player dan lain-lain. Page 4 of 27. Maxsi - Implementasi ICT dalam Pend dan e-business - 11 Feb 2016.pdf. Maxsi - Implementasi ...