KONSEP DAKWAH MUHAMMAD FETHULLAH GULEN

Tesis Disusun Oleh: Ichsan Habibi NIM: 11.2.00.0.07.01.0096

Pembimbing: Prof. Dr. Murodi, M.A.

PROGRAM MAGISTER SEKOLAH PASCA SARJANA (SPs) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

i

ii

KATA PENGANTAR ......................................................................

ix

PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ichsan Habibi NIM : 11.2.00.0.07.01.0096 Judul Kompre :Konsep Dakwah Muhammad Fethullah Gulen Menyatakan bahwa draf Ujian Pendahuluan telah diverifikasi oleh Prof. Dr. H. Said Agil al-Munawwar, M.A. pada tanggal 20 Oktober 2014. Draf Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi meliputi: 1. Stupid mistake Demikianlah surat penyataan ini dibuat agar dapat dijadikan pertimbangan untuk menempuh ujian pendahuluan.

Jakarta, 21 Oktober 2014 Saya yang membuat pernyataan,

Ichsan Habibi

iii

iv

KATA PENGANTAR

‫بسم هللا ال ّرحمن ال ّرحٌم‬ Puji dan syukur ke hadiran allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan lancar tanpa menemui hambatan yang berarti. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, kepada keluarga, para sahabat, dan umatnya. Tesis ini pada dasarnya tidak mungkin terealisasikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah ikut andil besar membantu penulis dalam semua kegiatan yang menunjang selama kelancaran kegiatan akademik penulis selama ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Suwito, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA ketua program doktor dan magister. Demikian juga kepada para dosen, tim penguji, staf dan karyawan civitas akademi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dan memberikan kemudahan serta kelancaran pada penulis dalam menyelesaikan studi. Secara khusus, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Prof. Dr. Murodi, MA pembimbing tesis yang secara pribadi sangat membantu dengan meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga beliau untuk mengarahkan, membimbing, dan memotivasi hingga rampungnya tesis ini tanpa rasa lelah dan letih. Teristimewa untuk orang tua penulis kepada ayahanda H. M. Efendi dan H. Safri serta ibunda Hj. Soroya dan Hj. Wati dengan kasih sayang, keikhlasan, kesabaran serta motivasinya yang sangat tulus diiringi dengan do’a tanpa henti, sehingga menjadi kekuatan bagi penulis dalam merampungkan tesis ini. Demikian juga rasa terimakasih penulis ucapkan kepada istri tercinta Atik Sartika S.Ud. serta kakanda Encup, Hamid, Uni, Rahman, Heri, Agus, Andi, dan adinda Dede dan Ihsan serta ayunda Muawana, Mudrika, Ratna, Een, Esih, Uum, Etin dan Fitri. semua keluarga besar yang menjadi motivasi tersendiri

v

kepada penulis selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian terima kasih buat Satera, Luqman, Mukaddar, Ahmad Suwaidi, Irawan dan Irfani, serta teman-teman seperjuangan dalam menempuh pendidikan di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta semoga keakraban dan persaudaraan kita selalu terbina untuk masamasa yang akan datang. Akhirnya kepada Allah jua penulis bermunajat semoga semua kebaikan yang mereka berikan kepada penulis menjadi amal ibadah dan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Amiin yaa rabbal alamin.

Jakarta, 15 Oktober 2014 Penulis

Ichsan Habibi

vi

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ichsan Habibi NIM : 11.2.00.0.07.01.0096 Tempat/Tanggal Lahir: Pangkal Pinang 04-02-1987 Program : Magister (S2) Konsentrasi : Dakwah dan Komunikasi Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul ‚Konsep Dakwah Muhammad Fethullah Gulen ‛ adalah benar hasil karya saya, kecuali kutipan-kutipan yang dijelaskan sumbernya. Apabila di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Kemudian, apabila di dalamnya terdapat plagiasi yang dapat berakibat diberikan sanksi berupa pencabutan gelar oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, maka saya siap menanggung resiko tersebut. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Jakarta, 21 Oktober 2014 Yang membuat pernyataan

Ichsan Habibi

vii

viii

ix

x

ABSTRAK

Tesis ini berkesimpulan bahwa dakwah yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan dan moralitas merupakan pilar dasar dalam pembentukan religiusitas masyarakat yang toleran. Dakwah yang demikian sejalan dengan prinsip-prinsip keagamaan (dakwah qur’ani dan nabawi) dan kebijaksanaan perenial. Terbukti hubungan yang dijalin sesama manusia selalu mengedepankan nilai-nilai kearifan, moralitas dan spritualitas. Kesimpulan di atas mempertegas kajian ‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-T{ayya>r dalam karyanya al-Da‘wah wa al-Jiha>d fi> al-‘Ahd alNabawi>: Ab wa H{ikam, (2003).Memberikankesimpulan bahwa Nabi tidak pernah melakukan dakwah dengan cara kekerasan dan paksaan, bahkan sebaliknya Nabi memberikan tauladan kepada umatnya agar berdakwah dengan cara santun dan damai. Paralel dengan kesimpulan tersebut, Safrodin Halimi, dalam Etika Dakwah dalam Perspektif alQur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, (2008). Memandang bahwa al-Qur’an telah meletakkan prinsip-prinsip dalam berdakwah, seperti kejujuran dan keteladanan, keikhlasan dan ketulusan, kasih sayang dan kelembutan serta kebebasan berkehendak dan memilih. Kesimpulan tersebut sangat berbeda jauh dengan ‘Ali ibn Nafyu’ al-‘Ulya>ni>, dalam karyanya Ahammiyah al-Jihad> fi> Nas}ri al-Da‘wa alIsla>miyyah wa al-Radd ‘Ala> al-T{awa>ifi al-D{a>llah Fi>hi: (1985). Menurut ‘Ali ibn Nafyu’ al-‘Ulya>ni> agama Islam tidak akan terealisasikan pada umat Muslim kecuali dengan jihad dan segala konsepnya, sehingga dalam pandangannya jihad memberikan pengaruh yang signifikan dalam menyebarkan Islam. Di samping itu beliau banyak menggunakan ayatayat jihad dalam merumuskan konsep dakwah. Begitu juga Yohanan Friedmann, Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition, (2003). Menurut Friedmann al-Quran tidak memiliki istilah khusus untuk mengungkapkan gagasan toleransi, lebih dari itu Friedmann berpendapat Muhammad saw dalam berdakwah bertindak intoleran dengan mengusir suku-suku yahudi dari Madinah. Kajian ini bertumpu pada penelitian kepustakaan (library research), dengan sumber utama karya Gulen. Adapun cara membacanya dengan pendekatan historis dan pendekatan humanistik.Selanjutnya data di analisis dengan menggunakan metode content analyzing, dan deskriptif-analisis. content analyzing ini peneliti gunakan untuk menganalisa makna yang terkandung dalam asumsi, gagasan, atau statemen untuk mendapat pengertian dan kesimpulan. Adapun metode xi

deskriptif-analisis akan digunakan untuk melakukan klasifikasi mengenai relevansi substatif pemikiran dakwah Gulen, pemilahan ide-ide secara detil, konsistensi pembahasan, pembedaan hirarkis, hingga analisa secara tuntas yang meliputi semua kategori atau komponen yang diteliti.

xii

ABSTRACT

The thesis concludes that the mission is based on the values of wisdom and morality is a fundamental pillar in the creation of a tolerant society religiosity. Da'wah is in line with the principles of religious (preaching qur'ani and prophetic) and perennial wisdom. proven relationship human beings have always forged the values of wisdom, morality and spirituality. The Conclusion above studies emphasize 'Ali ibn Abd alRahman ibn' Ali al-T{ayya>r in his al-Da'wah wa al-Jiha> d fi> al-'Ahd alNabawi>: Ab wa H{ikam, (2003). To the conclusion that the Prophet never proselytizing by force and coercion, even otherwise the Prophet provide role models for his people to preach polite and peaceful manner. Parallel with these conclusions, Safrodin Halimi, in Ethical Perspective Propagation in the Qur'an, and Qur'anic ideals Between Social Reality, (2008). Considers that the Koran had been put in preaching principles, such as honesty and exemplary, sincerity and sincerity, affection and tenderness as well as free will and choice. The conclusion is very different from 'Ali ibn Nafyu' al-'Ulya>ni>, in his Ahammiyah> al-Jihad fi> Nas}ri Da'wa al-Isla> miyyah wa al-Radd' Ala> al-T {awa>ifi al-D{a>llah Fi>hi: (1985). According to 'Ali ibn Nafyu' al-'Ulya>ni> Islam will not be realized unless the Muslims with jihad and every concept, so in his view of jihad have a significant influence in the spread of Islam. In addition, he uses many jihad verses in formulating the concept of propaganda. Likewise Yohanan Friedmann, Tolerance and coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition, (2003). According to Friedmann Koran does not have a special term to express the idea of tolerance, over the Friedmann argued Muhammad in the act of preaching intolerance to expel Jewish tribes of Medina. This study is focused on the research literature (library research), the main source of Gulen as for how to read the historical approach and the humanistic approach. Further data were analyzed using the method of analyzing content, and descriptive-analytical. analyzing content of these researchers use to analyze the meaning of the assumptions, ideas, or Statement by to get your understanding and conclusions. As a descriptive-analytical method to be used to perform the classification of substantive relevance missionary thought Gulen, sorting ideas in detail, consistency discussion, hierarchical classification, to a comprehensive analysis covering all categories or components examined.

xiii

xiv

‫الخالصة‬

‫هذه الرسالة تخلص على أن الدعوة تأسس على مبادئ الحكمة واألخالق تعتبر‬ ‫من مصدرالعمدة فً تكوٌن السلوك الدٌن المجتمعى و الموفق التسامحى‪ .‬و منهج الدعوة‬ ‫مثل ذلك جدٌرة بأصول الدٌن الذي جاء من القران والسنة النبوٌة والحكمة الخالدٌة‪.‬‬ ‫وتبلٌغ الدعوة كذلك تشهد بصلة بٌن الداعً والمدعوا التى تعتمد على قٌم الحكمة‬ ‫والمروءة و العبودٌة‪.‬‬

‫وتلك النتٌجة تؤٌد رأٌه علً بن عبد الرحمن بن علً الطٌار فً كتابه‪" :‬الدعوة‬ ‫والجهاد فً عهد النبوي أداب وحكم‪ ،"3002 ،‬أنه قال إنما الدعوة التً قام بها النبً‬ ‫صلى هللا علٌه وسلم ال تسلك على الغلٌظة واإلكراه‪ ،‬ولكن مفهوم الدعوة حٌث ضرب‬ ‫الرسول صلى هللا علٌه وسلم باإلقتداء و تسٌر على موقف الرحمة واللٌن‪ .‬ومناسبة‬ ‫بماعبّرها سافردٌن حالم فً تألٌفه تحت العنوان‪‚Etika Dakwa dalam :‬‬

‫‪Persepektif al-Qur’an antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial,‬‬ ‫‪ 2008‛.‬إن القران الكرٌم قد وضع أسس الدعوة التً تتصور منها سلوك الداعى مثلً‬ ‫أال وهً‪ ،‬الصدق واإلقتداء‪ ،‬وبناء اإلرادة الحرٌة واإلخالص‪ ،‬و أن تحلً باللٌن والرحمة‬ ‫وإعطاء اإلختٌارات‪.‬‬ ‫وفً نفس الوقت‪ ،‬هذه الرسالة ترفض وتنقد رأٌه على بن نفً العلٌان فً كتابه‪:‬‬ ‫"أهمٌة الجهاد فً نصرالدعوة اإلسالمٌة والردعلى الطوائف الضاللة فٌه‪ ،"1985،‬رأى‬ ‫نفً العلٌان على أن دٌن اإلسالم ال ٌنطبق شرٌعته وتعالٌمه فً بناء أمة اإلسالمٌة إال‬ ‫بإقامة الجهاد ونشر مهاهٌمها‪ .‬وفً نظره كان الجهاد مؤثرا قوٌا فً نشر اإلسالم‪ ،‬تبرٌرا‬ ‫بما فهمه فهو ٌستدل بأدلة الجهاد لتنسٌق مفهوم الدعوة‪ .‬وكذلك رأٌها ٌوهنا فرٌدمان فً‬ ‫كتابه‪‚Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relation in the :‬‬ ‫‛‪ Muslim Tradition, 2003‬حٌث قالت بأن القران ال ٌحتوي مصطالحات مختصة‬ ‫التً تتعلق بمفهوم التسامح‪ ،‬بل إتهمت فرٌدمان على أن محمد صلى هللا علٌه وسلم عندما‬ ‫ٌقوم بدعوته إغتفال عن التسامح‪ ،‬بل إطراد الطوائف الٌهودي من المدٌنة المنورة‪.‬‬ ‫أما هذه الرسالة من البحث المكتبً التً تعتمد على مصدراألساسى‪ ،‬فهو الكتاب‬ ‫بعنوان كولون و المدخل البحث هذه الدراسة التً نهجها الباحث المنهج التارٌحى و‬ ‫المدخل اإلنسانٌة‪ ،‬ومن ثم قام الباحث بتحلٌل أفكار األساسٌة و توصٌف المفاهٌم ما تتعلق‬ ‫بموضوع البحث‪ .‬وأما وظٌفة المنهج التحلٌلى مستخدم ألجل اإلكتشاف و اإلخترعات‬ ‫المغزى‪ ،‬و األغراض‪ ،‬والوصول إلى النتٌجة البحث وفوائدها‪ .‬والمنهج الوصفى تستهدف‬ ‫للبٌان فكرة ومفهوم من دعوة فتح هللا كولن‪ ،‬حٌث أن الباحث ٌقوم بتقسٌم المباحث‪،‬‬ ‫وتفرٌق المواضٌع‪ ،‬وتفصٌل األفكار المهمة‪ ،‬وتأصٌل عناصر الدعوة كولن دون اإلغفال‬ ‫عن اإلنتقادات والتحكٌم على ممٌزات وقصورات التً تحتوى على الفكرة الدعوة فتح هللا‬ ‫كولن‪ ،‬هذه الدراسة كلها تشتمل بالمبحث‪.‬‬

‫‪xv‬‬

xvi

PEDOMAN TRANSLITERASI b

=

‫ب‬

z

=

‫ز‬

f

=

‫ف‬

t

=

‫ت‬

s

=

‫س‬

q

=

‫ق‬

th

=

‫ث‬

sh

=

‫ش‬

k

=

‫ك‬

j

=

‫ج‬

s{

=

‫ص‬

l

=

‫ل‬

h{

=

‫ح‬

d{

=

‫ض‬

m

=

‫م‬

kh

=

‫خ‬

t{

=

‫ط‬

n

=

‫ن‬

d

=

‫د‬

z{

=

‫ظ‬

h

=

‫ه‬

dh

=

‫ذ‬



=

‫ع‬

w

=

‫و‬

r

=

‫ر‬

gh

=

‫غ‬

y

=

‫ي‬

Vokal Pendek

:a = ´ ; i = ِ ; u = ُ

Vokal Panjang

:a< = ‫ ; ا‬i> = ‫; ي‬

Diftong

: ay = ‫ ; يا‬aw = ‫وا‬

xvii

ū=‫و‬

xviii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................... i PERNYATAAN PERBAIKAN ....................................................... iii KATA PENGANTAR ...................................................................... v SURAT PENYATAAN .................................................................... vii PERESETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ix ABSTRAK ..................................................................................... xi TRANSLITERASI ............................................................................ xvii DAFTAR ISI ..................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. A. Latar BelakangMasalah ............................................................. B. Identifikasi Masalah .................................................................. C. Batasandan Rerumusan Masalah ............................................... D. Tujuandan Kegunaan Penelitian ................................................ E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ........................................... F. Metodologi Penelitian ............................................................... G. Sistematika Pembahasan ...........................................................

1 1 8 8 9 10 12 14

BAB II KONSEPSI DAKWAH DALAM ISLAM ....................................... A. Pondasi Dasar Dakwah .............................................................. 1. Dakwah Qur’ani .................................................................. 2. Perkembangan Metode Dakwah .......................................... 3. Dakwah Profetik (Nabawi) .................................................. B. Pesan Dakwah ............................................................................ C. Etika Dakwah ............................................................................

17 17 17 29 34 40 42

BAB III KONTRUKSI DAN SUBTANSI DAKWAH GULEN.................... A. Dasar-dasar dan Kaidah-kaidah dalam Dakwah ........................ 1. Membekali Diri dengan Ilmu Pengetahuan ......................... 2. Keselarasan Kalbu dengan al-Qur’an .................................. 3. Menggunakan Cara yang di Syari’atkan ............................. 4. Melakukan apa yang disampaikan....................................... B. Gambaran dan Sifat seorang Da’i (Etika Dakwah) ................... 1. Kasih Sayang (Love) ........................................................... 2. Mengedepankan Toleransi dan Menjaga Empati ................ C. Urgensi Dakwah.........................................................................

47 47 49 56 59 61 74 74 81 84

xix

BAB IV RELEVANSI DAN SIGNIFIKANSIKONSEP DAKWAH GULEN DALAM KONTEKS MASYARAKAT KONTEMPORER ............ 93 A. Islam sebagai Agama Cinta ....................................................... 93 B. Inklusifisme dan Toleransi sebagai Basis Keberagamaan ......... 100 C. Dialog Intensif Intra dan Antar Agama ..................................... 107 BAB V PENUTUP ......................................................................................... A. Kesimpulan ................................................................................ B. Rekomendasi .............................................................................. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... GLOSARIUM ................................................................................... INDEKS ............................................................................................ BIODATA PENULIS

xx

121 121 122 125 137 139

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dakwah sebagai bentuk ajakan kepada Islam1 merupakan salah satu pondasi dan pilar pokok eksistensi Islam di muka bumi. Ajaran-ajaran Islam, baik yang bersifat prinsip atau etik dalam kapasitas individu, keluarga, sosial, semuanya menjadi landasan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa.2Al-Qur’an sendiri bahkan menganjurkan adanya komunitas sosial dalam berdakwah, karena peran dan fungsi dakwah yang demikian krusial.3 Sebagaimana menurut Muhammad Fuad Abd al-Ba>qi,4 kata dakwah dalam al-Qur’an dan kata-kata yang terbentuk darinya tidak kurang dari dua ratus tiga belas kali. Perintah dakwah dinyatakan dalam firman Allah surah al-Nahl: ayat 125, sebagaimana menurut Quraish Shihab, Nabi Muhammad Saw. yang diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim As. kini diperintahkan lagi untuk mengajak siapa pun agar mengikuti pula prinsip-prinsip ajaran bapak para Nabi dan pengumandang tauhid itu.5 Lebih jauh lagi, menurut Shaykh Muhammad Nawa>wi al-Ja>wi,6 ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam garis besarnya, umat yang dihadapi seorang da’i dapat digolongkan atas tiga golongan.7 Dalam upaya menjadikan 1

Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial (Semarang: Wali Songo Press, 2008), 1. Ditinjau secara etimologi atau bahasa, kata dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu ‚ da‘a>‛, artinya mengajak, menyeru dan memanggil. Lihat Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: AMZAH, 2009), 1. Warson Munawwir, menyebutkan bahwa dakwah artinya adalah memanggil, mengundang, mengajak, menyeru, mendorong dan memohon. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus alMunawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 407. Istilah ini sering diberi arti yang sama dengan istilah-istilah tabligh, amr ma‘ruf dan nahi munkar, mau‘iz}ah al-h}asanah, tabshi>r, inz}a>r, was}i>yah, tarbiyah, ta’lim, dan khutbah. Bandingkan M. Munir, Manajemen Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006), 17. 2 Murtadha Husaini, Kode Etik Mubalig Tuntunan Dakwah Secara Islam (Jakarta: Citra, 2011), vi. 3 Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 1. 4 Muhammad Fuad Abd al-Ba>qi, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz} al-Qur’an, (Cairo: Da>r al-Hadith, 2007), 316-320. 5 Ayat ini dipahami oleh sebagian ulama sebagai penjelasan tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir alQur’an al-Misbah, volume 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 386. Bandingkan dengan Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni>, S}afwat al-Tafa>sir, juz 2 (Bairut: Dar al-Fikr, 2001), 137. 6 Selain dikenal dengan al-Ja>wi>, Nawa>wi juga dikenal dengan al-Bantani. 7 Lihat al-Nawa>wi al-Ja>wi, Mara>h Labi>d Tafsir Nawa>wi al-Tafsir al-Muni>r, juz 1, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Ara>biah, t.t), 469. Bandingkan juga Sulaiman ibn Umar

1

dakwah sebagai sarana untuk mengajak manusia ke jalan Ilahi, supaya dakwah mampu diterima oleh seluruh manusia sepanjang zaman, maka hendaklah pergerakan dakwah harus mampu, jeli dan peka dalam menatap segala persoalan kemasyarakatan. Artinya pelaksanaan dakwah harus memperhatikan segala yang dapat menunjang terlaksananya dakwah secara efektif dan efisien. Etika kearifan sebagai konsep kunci dakwah yang digagas oleh Muhammad Fethullah Gulen, menjadi penegas betapa Islam adalah agama cinta, toleransi, dan perdamaian.8 Menurutnya, Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang utuh. Sedikitpun Islam tidak pernah mengotakmengotakkan sisi-sisi manusia, siapapun ia. Sisi negatif manusia, Islam dekati dengan cara memberi larangan dan ancaman, sementara sisi positif Islam mendorong dengan beragam anjuran dan dorongan. Oleh karena itu, dalam Islam terdapat ajaran al-Khauf (rasa takut akan ancaman) dan al-Raja‘ (berharap mendapat semua kebaikan), juga konsep surga (sebagai balasan apabila manusia mau melakukan setiap anjuran ajaran Islam) dan neraka (sebagai balasan apabila manusia terjerumus kepada setiap larangan ajaran Islam).9 Karena itu, perlu dibangun konsep dakwah inklusif yang tidak hanya terbatas pada permasalahan surga-neraka. Konstruksi dakwah yang dibangun Gulen berbasis pada nilai-nilai inklusif.10 Dalam pandangan Gulen dialog yang tulus, berorientasi dalam mewujudkan sikap saling pengertian.11 Lebih jauh lagi Gulen menjelaskan, bahwa da’i yang cerdas ialah da’i yang menyesuaikan kalbunya dengan alQur’an dan al-Sunnah. Selain itu setiap da’i hendaklah menyampaikan dakwahnya dengan penuh kejujuran, keikhlasan, sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan imbalan atau pujian,12 Gagasan dakwah yang ditawarkan begitu unik, dan memiliki ciri khas tersendiri, sehingga pesan-pesan agama yang ditranformasikan mudah diterima oleh masyarakat luas, terlebih lagi di era modern ini. Gagasan ini tentunya tidak saja memberi warna tersendiri

al-‘A>ji>li al-Sya>fi>‘i, Tafsir al-Jamal ‘Ala al-Jalalain, juz 2 (Singapura: Maktabah wa Matba‘ah Sulaiman Mar‘i, t.t), 606. 8 M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 4. 9 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i> (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008), 11. Lihat juga Fethullah Gulen, Key Concepts in the Practice of Sufism, volum 1 (New Jersey, 2006), 33-41. 10 Filosofi Gulen menggabungkan Islam dan modernitas, seperti sikap toleransi beragama dan dialog antar agama. Lihat Salih Yucel, ‚Fethullah Gülen Spiritual Leader in a Global Islamic Context‛ dalam Journal of Religion & Society, The Kripke Center, Vol. 12 (2010): 1. http://moses.creighton.edu/jrs/ 2010/2010-4.pdf (diakses pada 1 Mei, 2013) 11 Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama (Bandung: Mizan, 2011), 146. 12 Fethullah Gulen, Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa alH{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>. 98-99.

2

bagi keberislaman masyarakatnya, tapi juga keberislaman masyarakat dunia, utamanya Indonesia. Paradigma dakwah Gulen13 yang bersahaja merupakan prototipe yang bersumber dari dakwah yang dibangun oleh Rasulullah lima belas abad silam.14 Sebagai utusan yang membawa pesan cinta, Muhammad telah mampu menghipnotis hati masyarakat Arab jahiliyah melalui dakwah moral, cinta, dan teladan hidup di masanya. Tampaknya, Gulen benar-benar memahami puspa ragam cara Nabi mendakwahkan Islam kepada umatnya. Namun, beberapa sarjana Barat memiliki pandangan lain tentang Islam. Pandangan sinis Yohanan Friedmann dengan statemen yang sangat propokatif berikut: ‚The Qur’a>n does not have a specific term to express the

idea of tolerance, but several verses explicity state that religius coercion (ikrah>) is either unfeasible or forbidden; other verses may be interpreted as expressing the same notion‛.15 Tidak jauh berbeda dengan Yohanan Friedmann, Abdus Salam Faraj menilai degradasi masyarakat Islam disebabkan oleh orang-orang yang telah meninabobokan umat agar percaya bahwa jihad dalam Islam bersifat defensif, padahal Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan agar jihad terus dilakukan, sehingga butuh upaya mengembalikan Islam kepada orientasi jihad ofensif yang merupakan rukun Islam keenam yang telah terabaikan.16

13

Manusia yang ideal ibarat lilin yang mampu menerangi diri mereka dan orang lain. Lihat Salih Yucel, ‚Spiritual Role Models in Fethullah Gülen’s Educational Philosophy‛ dalam Tawarikh: International Journal for Historical Studies, 3(1) 2011, 68. http://www.tawarikh-journal.com/ files/File/04. yucel.mu. octo. 2011.pdf (diakses pada 1 Mei, 2013). 14 Bukti sejarah yang paling konkret dalam hal ini adalah beberapa peristiwa yang menceritakan penderitaan yang diterima Nabi saw dari kalangan kafir quraisy tatkala berdakwah, namun tidak pernah Nabi saw membalasnya dengan cara yang sama. Bagaimana Nabi saw justru mendoakan kaum Yastrib yang melemparinya dengan batu hingga berdarah, dan bagaimana Nabi saw tidak memerangi dan membunuh orang-orang kafir Quraisy di Makkah ketika ia bersama umat Islam berhasil menaklukkan kota makkah (Fath al-Makkah) dengan damai. Bagaimana Nabi saw memberikan contoh yang agung dikala beliau tidak membunuh Suraqah yang hendak membunuhnya dimana ketika itu Suraqah jatuh dari kudanya di hadapan beliau. Bagaimana Nabi saw. justru menjenguk orang sakit yang ketika sehat yang senantiasa menghina, meludahi dan melemparinya dengan kotoran. Semua itu merupakan fakta historis yang menguatkan cita rasa dakwah Islam yang humanis. Baca Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 8. 15 Yohanan Friedmann, Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition (UK: Cambridge University Press, 2003), 1. 16 Abdus Salam Faraj, Jihaad the Absent Obligation: and Expel The Jews and Cristians From The Arabian Paninsula, terj. Abu Umamah (Birmingham: Maktabah Al Ansaar Publications, First Edition 2000), 49-51. Bandingkan dengan Shaykh ul-Islaam Taqi ud-Deen Ahmad ibn Taymiyyah, The Religious and Moral Doctrine of Jihaad, terj. Abu Umamah (Birmingham: Maktabah Al Ansaar Publications, First Edition 2001), 11.

3

Hal senada ditegaskan pula oleh ‘Ali ibn Nafyu’ al-‘Ulya>ni>,17 dalam pandangan ‘Ali pesan-pesan Islam (dakwah) tidak akan mampu membumi pada umat Muslim kecuali dengan jihad dan segala konsepnya, sehingga dalam pandangannya jihad memberikan pengaruh yang signifikan dalam menyebarkan Islam. Di samping itu ia banyak menggunakan ayat-ayat jihad dalam merumuskan konsep dakwah. Bertolak belakang dengan tiga pemikiran di atas, menurut Ka>mil D{a>hir, penyebarluasan dakwah orang-orang ‚fundamentalis‛ dengan menggunakan kekuatan politik, ekonomi dan militer. Bahkan lebih radikal lagi dakwah yang mereka lakukan dengan menggunakan pedang ketika ditolak.18 Di samping itu Hassan Hanafi menegaskan justru fundamentalisme radikal telah mencoret citra Islam yang pada dasarnya adalah agama kedamaian. ‚Islam, the name of the religion, is derived from the same root as ‘salam’ which means peace. Islam, therefore, is a religion of peace.‛19 Padahal menurut Hassan Hanafi kata Islam yang memiliki makna kedamaian dalam al-Qur’an digunakan dalam 50 kali. Dalam beberapa kasus, sikap fundamentalis ini seringkali muncul karena agama dijadikan untuk kepentingan kelompok tertentu, bahkan untuk alasan sebuah ideologi.20 Adapun menurut Khaled Abou El Fadl,21 kelompok Islam Fundamentalis secara menyeluruh merupakan hasil dari sebuah produk kemodernan, dan sikap fundamentalis merupakan akar perselisihan dalam tradisi Islam. Selaras dengan hal di atas, dalam pandangan Murad W. Hofman bahwa \Islam adalah agama yang toleran par excellence (persamaan mutu) sering dianggap tidak masuk akal oleh pengamat Barat, padahal itu benar.22 Lebih jauh lagi menurutnya al-Qur’an berulang-ulang menyatakan bahwa perbedaan di antara manusia, baik dalam warna kulit, kekayaan, ras, dan bahasa, adalah wajar, bahkan Allah melukiskan pluralisme ideologi dan agama sebagai rahmat. Sikap yang menunjukkan toleransi intelektual dan praktis yang komprehensif ini adalah pernyataan yang mendasar dalam ayat 2:256, suatu pernyataan yang bersifat faktual sekaligus normatif: tidak ada 17 ‘Ali ibn Nafyu’ al-‘Ulya>ni>, Aha>miyah al-Jihad> fi> Nas}ri al-Da‘wa al-Isla>mi>yah wa al-Radd ‘Ala> al-T{awa>ifi al-D{a>llah Fi>hi (Riyadh: Da>r T{ayybah, 1985), 253-261. 18 Muhammad Ka>mil D{a>hir, al-Da‘wah al-Waha>bi>ya wa Atharuha fi> al-Fikr al-Isla>mi al-H>{adith (Beirut: Da>r al-Sala>m, 1993) 19 Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Tradition, Revolution and Culture,

Vol II (Kairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000), 232. 20 Takis Fotopoulos, ‚The Myth of The Clash of Fundamentalism‛ dalam The International Journal of Inclusive Democracy, Vol. 1, No. 4 (July, 2005), 2. http://www.inclusivedemocracy.org/journal/pdf%20files/pdf%20vol1/The%20myth%20of%2 0the%20clash%20of%20fundamentalisms.pdf. (diakses pada 22 Maret, 2013). 21 Khaled Abou El Fadl,The Great Theft: Wrestling Islam from The Extermist t.t, 17. 22 Murad W. Hofman, Islam The Alternatif (Beltsville: Amana Publications, 1993), 63.

4

paksaan dalam beragama. Ini menggambarkan tidak ada nilai keimanan yang datang dengan pemaksaan, konsep hidayah jelas dari Tuhan, sementara syariahnya penuh dengan sikap toleransi.23 Indikasi Islam sebagai agama yang radikal, menurut Irwan Masduqi dibuktikan dengan adanya pemahaman-pemahaman radikal bahwa ‚ayat-ayat pedang‛ telah menghapus ayat-ayat yang mengajarkan toleransi dan inklusif.24 Akibatnya, Islam yang awalnya mengajarkan kedamaian berubah menjadi ideologi kekerasan.25 Belum lagi ditambah dengan konflik antar agama, dalam konteks ini, Alwi Shihab menjelaskan bahwa konflik tersebut merupakan fenomena berumur setua agama-agama itu sendiri.26 Bahkan dalam sejarah umat manusia perang agama merupakan perang terpanjang.27 Selama berabad-abad, sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan, dengan dalih demi mencapai ridha Tuhan.28 Sebagai contoh pola hubungan yang paling dominan antara dua tradisi keimanan, Islam-Kristen. Di mana permusuhan, kebencian dan kecurigaan, lebih diutamakan, ketimbang menjaga bingkai persaudaraan, persahabatan dan saling menghormati. Sejak permulaan sejarah mereka, Islam dan Kristen memang sudah memiliki suatu bentuk dikotomi pemahaman sehingga ini berpotensi untuk saling konflik.29 Selain itu, sejarah mencatat fatwa keagamaan yang bernuansa kekerasan kerapkali menjadi batu sandungan dalam membangun masyarakat yang toleran. Hal itu karena fatwa keagamaan pada hakikatnya tidak berdiri sebagai sebuah fatwa, melainkan justru menjadi bagian dari kepentingan kelompok tertentu yang bernaung di bawah klaim kebenaran.30 Hal inilah yang menyebabkan Islam dimata dunia Internasional seringkali dicitrakan 23

‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Tayya>r, al-Da‘wah wa al-Jiha>d fi> al-‘Ahdi alNabawi>: Ab wa H{ikam (Riyadh: Huqu>qu al-T{ab‘ Mahfu>dz{ah li al-Mu’allif: 2003), 40. 24

Ayat-ayat pedang yang dimaksud: QS A
  • n [3]:19 dan 85. Adapun Ayat-ayat yang menjelaskan inklusif ialah: QS al-Baqarah [2]: 256, QS al-Ka>firu>n [109]: 6 dan QS alMa>idah [5]: 44 dan 46. 25 Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, 99. 26 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), cet. ke-4, 116. Misalnya Islam, Kristen dan Yahudi merupakan tiga agama besar yang merupakan agama h}anif yang diturunkan kepada Ibrahim (millah Ibra>him). Meskipun demikian, pada kenyataannya menunjukkan bahwa konflik lebih sering terjadi pada tiga komunitas agama ini, bahkan hingga sekarang. 27 Th. Sumarta, ‚Pluralisme, konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan AntarAgama di Indonesia‛ dalam Th. Sumarta dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2001), 80. 28 Alwi Shihab, Islam Inklusif, 40. 29 Irawan, ‚Peran Tasawuf dalam Meredam Konflik Sara pada Era Reformasi di Indonesia‛ dalam Imam Malik dkk., Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Idea Press, 2011), 40. 30 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), 257.

    5

    sebagai agama yang identik dengan kekerasan (violence), yakni agama yang menyukai perang.31 Paradigma ini disebabkan aliran Islam fundamentalis dan diikuti fakta terorisme yang kebanyakan pelakunya adalah orang-orang Islam garis keras, yang tanpa disadari justru semakin memantapkan pencitraan Islam secara negatif. Di lain pihak, al-Qur’an telah meletakkan sebuah sistem sosial terbaik untuk masyarakat Islam semenjak lima belas abad yang lalu. Namun, sangat disayangkan umat Islam sendiri belum semua memahaminya.32 Karena itu, umat Islam tidak mampu menjelaskan perspektif al-Qur’an dalam bidang sosial keagamaan, hal ini sebagaimana prinsip-prinsip Islam yang lainnya. Relevan dengan kerukunan umat beragama sangat terkait erat dengan kebebasan beragama. Tak ada kerukunan tanpa kebebasan beragama.33 Jika setiap orang dapat memperluas cakupan sikap dan perilaku toleransinya kepada semua penganut agama, termasuk pada mereka yang tidak menganut agama sekalipun, maka setiap orang kemungkinan besar, bisa menikmati kebebasan beragama dengan nyaman.34 Apalagi sikap toleransi, kebebasan dan persamaan hak merupakan prinsip mendasar dalam demokrasi liberal.35 Dalam upaya mensosialisasi prinsip moralitas Islam, setiap sosok Muslim hendaklah mengarahkan diri mereka untuk mampu mengejawantahkan setiap prinsip tadi dalam setiap tata-prilaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kehadiran Islam didasari dengan spirit jaminan sosial, stabilisasi, perdamaian dan persaudaraan36 untuk seluruh 31

    Fundamentalisme Islam dianggap sebagai ideologi yang berbahaya. Citra ini dikemukakan karena kelompok fundamentalis Islam radikal banyak melakukan tindak pidana seperti penculikan, pembunuhan, dan pengeboman. Banyak politisi dan cendekiawan Barat menganggap fundamentalisme Islam sebagai ancaman global yang baru. Lihat Byung-Ock Chang, ‚Islamic Fundamentalism, Jihad, and Terrorism‛ dalam Journal of International Development and Cooperation, Vol.11, No.1, 2005, 58. http://ir.lib.hiroshima-u.ac. jp/metadb/up /74007022/ JIDC_11_01_04_ Chang.pdf (diakses pada 1 Mei, 2013). 32 M. Fethullah Gulen, As’ilah al-‘As}r al-Muh{a>yirah. Terj, Wurkhan Muhammad Ali, (Dar al-Nile: Cairo, 2008), 72. 33 Prinsip kebebasan beragama ini terus dijaga dalam perkembangan sejarah Islam klasik di mana orang-orang Yahudi dan Nasrani dipersilahkan menjalakan keyakinan mereka masing-masing tanpa ada gangguan dari umat Islam. Kebebasan keyakinan ( hurriyah al‘aqi>dah) adalah hak yang dijamin dalam Islam, hal ini dikarenakan Nabi pun memberikan kebebasan kepada penganut Kristen Najran dan melarang perusakan Gereja. Lihat Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, 239. 34 M. Asrori Mulky, ‚Tak Ada Kerukunan Beragama Tanpa Kebebasan Beragama‛, dalam Ulumul Qur’an nomor 01/XXI/2012: 114. 35 Steven A. Weldon, ‚The Institutional Context of Tolerance for Ethnic Minorities: A Comparative, Multilevel Analysis of Western Europe‛ dalam American Journal of Political Science, Vol. 50, No. 2, April 2006, 331. http:// bama.ua.edu/~sborrell/psc521/tolerance.pdf (diakses pada 1 Mei, 2013). 36 Ali Syu’aibi Gill Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), 251.

    6

    penduduk muka bumi. Kehadiran Islam memberikan keadilan dan kesempatan yang sama untuk kebutuhan jasmani dan ruhani. Selain itu, Abdul Basit menjelaskan bahwa dakwah pada era kontemporer ini dihadapkan pada berbagai tantangan dan problematika yang semakin kompleks. Dakwah harus bisa menjawab permasalahan umat yang juga semakin berkembang. Ini mengharuskan strategi dakwah berbanding lurus dengan permasalahan keberagamaan masyarakat. Ia menilai bahwa dakwah mempunyai kelemahan dalam strategi.37 Hal ini juga yang menggelitik nalar intelektual Kuntowijoyo sehingga ia menganjurkan adanya pergeseran paradigma dakwah ke arah yang lebih konkret.38 Jika selama ini dakwah yang dilakukan secara konvensional belum bisa menjawab sepenuhnya problematika sosial umat Islam, maka ia menilai umat Islam perlu melakukan reinterpretasi mengenai dakwah itu sendiri. Berangkat dari penyimpangan-penyimpangan dan pemahaman yang kurang tepat di dalam memahami Islam dan cara dakwahnya, yang tetap menjamur dan mengatasnamakan dakwah Islamiyah, serta strategi yang digunakan para juru dakwah saat ini belum mampu menjawab tantangan secara holistik. Apalagi tantangan yang dihadapi umat saat ini sangat kompleks. Mulai dari tantangan kesenjangan ekonomi umat, masalah akhlak dan keberagamaan simbolik.39 Menyebabkan sebagian ilmuwan Muslim melakukan pembaruan terhadap wacana-wacana dakwah yang sudah terdistorsi tersebut. Dalam spektrum pembaruan terhadap dakwah ini, bisa ditemukan pada sosok pemikir reformis Muhammad Fethullah Gulen. Dalam hal ini, diperlukan suatu pemahaman dan perubahan pemahaman dakwah secara komprehensif, sehingga dakwah tidak kehilangan makna yang hakiki, tetapi mengena dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Dari sinilah perlunya melihat dakwah dari berbagai dimensi kehidupan. Bertolak dari uraian latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, kiranya kajian konsep dakwah Fathullah Gulen dalam kitab T{uruq alIrsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h perlu untuk diteliti. Lantaran kajian ini berusaha memberikan solusi dakwah di era global kontemporer. Selain itu kajian ini berupaya menjelaskan gagasan dakwah Gulen menjadi pilar keberagaman umat yang inklusif, serta mampu menepis stereotip Islam yang negatif; teroris, eksklusif, dan arogan.

    37 Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press dan Pustaka Pelajar, 2006), 3. 38 Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), 18-19. 39 Wan Mohd Nor Wan Daud, “Containing Muslim Extremism and Radicalism” dalam Sari - International Journal of the Malay World and Civilisation 28(1) (2010), 244247. http://journalarticle.ukm.my/2416/1/Sari_28 (1)_2010_12_ Wan_Mohd_Nor_(Final).pdf. (diakses pada 1 Mei, 2013).

    7

    B. Identifikasi Masalah Studi ini difokuskan untuk membangun sebuah konsep ideal tentang dakwah dan nilai-nilai kearifan dakwah Gulen. Hipotesa yang dimunculkan bahwa dakwah yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan dan moralitas merupakan pilar dasar dalam pembentukan religiusitas masyarakat yang toleran. Dalam artian bahwa, agar dakwah dapat diterima, maka hendaklah para da’i harus mampu berharmoni dan berhumanisasi dengan masyarakat sekitarnya, baik dalam tataran hubungan antar agama, budaya, maupun antar peradaban. Inilah kerangka etika filosofis dakwah yang hendak dibangun sepanjang penelitian ini. Permasalahan utama kajian ini pada dasarnya mengacu pada beberapa permasalahan terkait adanya perubahan paradigma dalam penyampaian pesan-pesan agama (dakwah), dakwah fundamentalis, ekstrim, dan radikal. Serta hilangnya rasa kepercayaan dan toleransi. Benturan peradaban dan krisis kepercayaan ini dipahami sebagai salah satu krisis besar yang mengancam keharmonisan hubungan antar umat beragama dan negara. Oleh karenanya, persoalan mendasar yang harus diubah adalah berkaitan dengan paradigma atau sudut pandang tentang dakwah. Berbicara dakwah tidak saja terbatas pada da’i dan audien (mad’u), melainkan juga penekanan pada dimensi etika yang selaras dengan prinsipprinsip etika qur’ani dan profetik. Oleh sebab itu, melalui kajian pemikiran Muhammad Fethullah Gulen, tentang konsep dakwah ini, diharapkan memiliki konsekuensi terpeliharanya hubungan insani secara sehat dan harmonis serta mampu membangun sebuah relasi yang mengedepankan nilainilai kearifan dalam memandang dakwah dan makna kehidupan yang bermasyarakat. Berangkat dari asumsi tersebut di atas, penulis membuat beberapa identifikasi terkait persoalan-persoalan yang telah disinggung di awal, antara lain sebagai berikut: (1) Mengapa ada dakwah yang disampaikan dengan cara radikal dalam Islam? (2) Benarkah dakwah Islam fundamentalis dan radikal dipandang sebagai salah satu sebab pencitraan Islam secara negatif (sebagai agama yang menyukai kekerasan), mengapa demikian, dan apa sebabnya? (3) Apakah doktrin agama berperan dalam melegalkan pandangan dakwah Islam terhadap kekerasan, atau telah terjadi kesalahan penafsiran terhadap doktrin tersebut? (4) Menyusul kritik tajam terhadap Islam, bagaimana respon Gulen dalam rangka menepis tudingan telak itu, lantas apa yang Gulen tawarkan terkait upaya bahwa Islam agama dakwah yang cinta dan damai? C. Batasan dan Rumusan Masalah Di dalam usaha mengajak dan menyeru serta mempengaruhi manusia agar berada disepanjang jalan Tuhan, maka sudah pasti ada unsur-unsur yang mengajak atau mempengaruhi, ada yang diajak dan diseru, alat untuk

    8

    mengajak dan menyeru, serta isi ajakan dan seruan, dan yang terakhir pengaruh dari dakwah itu sendiri (da’i, mad’u, materi, media, dan efek).40 Maka dari itu, fokus penelitian penting yang ingin penulis angkat dari konsep dakwah Gulen adalah sebagai berikut: ‚Apakah konsep dakwah Muhammad Fethullah Gulen dapat dijadikan basis dalam berdakwah di era global kontemporer?‛ Pertanyaan ini diklasifikasi ke dalam poin-poin berikut, yakni: a) Bagaimana konsepsi dakwah Muhammad Fethullah Gulen? b) Bagaimana kontruksi dan Subtansi Dakwah Gulen? c) Bagaimana Signifikansi Dakwah Gulen? D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek-aspek kearifan dakwah Gulen dalam karya-karyanya. Tujuan khusus dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai jawaban dari rumusan masalah di atas: Pertama, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan konsep ideal dakwah yang sejalan dengan prinsip-prinsip keagamaan (dakwah qur’ani dan profetik) dan kebijaksanaan perenial. Kedua, menjelaskan bahwa hubungan yang dijalin sesama manusia selalu mengedepankan nilai-nilai kearifan, moralitas dan spritualitas. Ketiga, penelitian ini menunjukkan bahwa konsep dakwah Gulen berorientasi kepada nilai-nilai yang benar-benar spritual dan religius. Seperti sikap toleransi, kasih sayang, kesabaran, pengampunan (forgiveness), kedamaian batin (inner peace), keharmonisan sosial (social harmony) dan kejujuran (honesty). Serta konsep dakwah Gulen pada intinya mengajak kepada keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, dengan tetap menjaga sikap inklusif, termasuk bagaimana mentranformasikan nilai religius tersebut sebagai refleksi kehidupan sosial.

    2. Kegunaan Penelitian Realisasi penelitian ini diharapkan nantinya akan bermanfaat paling tidak: a) Untuk memperluas khazanah dan wawasan kajian metodologi dakwah secara konseptual dan tekstual. Hal ini disebabkan perkembangan zaman dan tuntutan realitas hidup umat manusia yang mengharuskan ditemukannya metode-metode baru yang lebih akomodatif dan mendekati kepada masyarakat. b) Dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu dakwah karena ilmu-ilmu dakwah bukanlah disiplin ilmu yang mati dan terbatas untuk jangkauan masa lampau saja, tetapi ia juga mengakomodir perkembangan baru sesuai dengan pemahaman manusia dalam setiap zamannya. c) Kajian ini dapat memberi arah bagi penelitian-penelitian serupa yang lebih intensif dan komprehensif di 40

    Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 54. Bandingkan dengan

    M. Munir,

    Manajemen Dakwah, 21-35.

    9

    kemudian hari, adanya urgensi antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, selain itu juga diharapkan dapat mengurangi tumpang tindih (overlapping) informasi. E. Penelitian Terdahulu yang Relevan Telah banyak kajian yang menjelaskan tentang pentingnya akhlak, sikap inklusif dan toleransi dalam berdakwah diantaranya: Safrodin Halimi, ‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Tayya>r dan Rosyidi.41 Safrodin memaparkan al-Qur’an telah meletakkan prinsip-prinsip dalam berdakwah, seperti kejujuran dan keteladanan, keikhlasan dan ketulusan, kasih sayang dan kelembutan serta kebebasan berkehendak dan memilih. Adapun ‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Tayya>r menjelaskan Nabi tidak pernah melakukan dakwah dengan cara kekerasan dan paksaan, bahkan sebaliknya Nabi memberikan tauladan kepada umatnya agar berdakwah dengan cara santun dan damai. Hal ini dipertegas kembali oleh Rosyidi bahwa dakwah yang lebih menekankan kepada aspek-aspek akhlak dan batiniah disebut dakwah dengan pendekatan tasawuf, karena subtansi dari tasawuf adalah akhlak. Berdasarkan hasil telaah yang relevan dengan data penelitian ini, peneliti menemukan beberapa tema yang telah mengkaji sosok Gulen diantaranya: ‚A Winder Role for The Gulen Movement Consistent With The Place of The Qur’an and Islam in The Evolution of Religious Understanding: A Fundamental Theological Reasseement‛.42 yang dipresentasikan dalam seminar internasional di Eramus University Rotterdam pada tahun 2007. Dalam artikel ini Ian Fry mengkaji tentang pemikiran-pemikiran Gulen tentang sikap fundamentalis, sejarah dan sistematik keagamaan serta pentingnya dialog antar-agama. Selanjutnya, ‚Dialogical and Transformatif Resources: Perspectives from Fethullah Gulen on Religion and Public Life‛.43 Paul Weller memaparkan pandangan Gulen terhadap kehidupan umat

    41

    Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, (Semarang: Wali Songo Press, 2008) ‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Tayya>r, al-Da‘wah wa al-Jiha>d fi> al-‘Ahdi al-Nabawi>: Ab wa H{ikam (Riyadh: Huqu>qu al-T{ab‘ Mahfu>z{ah lil Mu‘alif: 1985) Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran (Jakarta: Paramadina 2004). 42

    Lihat Ian Fry, ‚A Winder Role for The Gulen Movement Consistent With The Place of The Qur’an and Islam in The Evolution of Religious Understanding: A Fundamental Theological Reasseement‛ artikel dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007 (New Jersey: Tughra Books, 2009). 43 Paul Weller, ‚Dialogical and Transformatif Resources: Perspectives From Fethullah Gulen on Religion and Public Life‛ dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World Eramus University Rotterdam 2223 November 2007 (New Jersey: Tughra Books, 2009).

    10

    beragama. Pentingnya nilai-nilai moralitas dan hubungan humanisme antar umat beragama dan bermasyarakat. Di samping itu, kajian yang pernah dilakukan dengan tema ‚The Importance of Dialogue in a Rooted Conception of Cosmopolitanism Fethullah Gulen and Mohammad Mojtahed Shabestary‛.44 Mahmoud Masaeli menegaskan tentang betapa pentingnya dialog antar umat beragama di tengah kehidupan globalisasi dan kosmopolitan dengan membandingkan konsep Gulen dan Mojtahed Shabestary. Tema kajian berikutnya ‚Tolerance as a Source of Peace: Gulen and the Islamic Conceptualization of Tolerance‛.45 Aaron Tyler menggambarkan pandangan Gulen terhadap konflik dan toleransi Islam pada abad kedua puluh satu, toleransi merupakan pijakan untuk beribadah, dan sikap toleransi merupakan landasan untuk berdialog. Berbeda dengan penelitian yang dilakuakan Zulfahmi dengan fokus kajiannya ‚Gerakan Damai Fethullah Gulen di Turki Perspektif Komunikasi Islam‛.46 Dalam tesis ini Zulfahmi menjelaskan faktor kemiskinan dapat memberikan pengaruh yang signifikan atas terjadinya tindak kekerasan di masyarakat. Selain itu penelitian ini memaparkan Gulen dan pengikutnya memberikan peran yang masif dan aktif dalam upaya proses bina damai, seperti diadakannya dialog lintas etnis, negara dan keyakinan (interfaith). Serta respon Gulen terkait gerakan radikal dan terorisme yang dialamatkan kepada Islam. Selain itu masih ada beberapa sarjana yang telah mengkaji Gulen di antaranya: John Borelli,47 Heon Kim,48 Lynn E. Mitchell,49 Philipp

    44

    Lihat Mahmoud Masaeli, ‚The Importance of Dialogue in a Rooted Conception of Cosmopolitanism Fethullah Gulen and Mohammad Mojtahed Shabestary‛ Artikel dalam

    Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 45 Aaron Tyler, ‚Tolerance as a Source of Peace: Gulen and the Islamic Conceptualization of Tolerance‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 46 Zulfahmi, ‚Gerakan Damai Fethullah Gulen di Turki Perspektif Komunikasi Islam‛ Tesis, Konsentrasi Agama dan Perdamaian Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013. 47 John Borelli, ‚Interreligious Dialogue as a Spritual Practice‛dalam Conference

    Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 48 Heon Kim, ‚Gulen’s Dialogic Sufism: A Constructional and Constructive Faktor of Dialogue‛ dalam Conference Islam In The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008).

    11

    Bruckmayr,50 dan Thomas Michel,51 lebih menitikberatkan pada kajian faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian religius sufistik Gulen dari para tokoh sufi terdahulu. Kajian tersebut, berupa pengenalan dan pengantar lebih lanjut dalam mengkaji Gulen, gerakan Gulen dan pemikirannya yang berhubungan dengan konsep kearifan dan penerapannya dalam hubungan masyarakat kontemporer. Sejumlah kajian di atas, dipandang penting dalam menambah informasi dan pengetahuan tentang Gulen, gerakan dan pemikirannya. Kajian ini memiliki signifikansi dalam menambah informasi atau pemahaman singkat tentang pemikiran Gulen. Namun penulis menilai kajian yang mereka lakukan belum memadai dalam mengkaji konsep dakwah Gulen. Untuk itulah dalam penelitian ini, penulis berkepentingan untuk melakukan kajian lebih mendalam terhadap konsep dan gagasan dakwah perspektif Gulen. Berdasarkan penelusuran terhadap kajian-kajian yang relevan di atas, penulis melihat adanya kesamaan sekaligus perbedaan mendasar dalam beberapa aspeknya. Perbedaan yang mendasar dalam kajian ini adalah pembahasan tentang dakwah Gulen, serta hubungan yang dibangun dalam kerangka etik normatif (etika qur’ani dan profetik). Pembahasan ini dikorelasikan dalam konteks wacana kekerasan antar umat beragama, krisis global (fundamentalis, radikal, ekstrim, benturan peradaban dan krisis kepercayaan) yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan, sambil menawarkan solusi sebagai alternatif pemecahannya. Oleh sebab itu, penulis merasa perlu untuk mengkaji secara mendalam terhadap konsep dan gagasan dakwah Muhammad Fethullah Gulen. F. Metodologi Penelitian

    1. Jenis Penelitian Secara tipologis, penelitian ini dengan melihat unsur-unsur penelitian yang digunakan, yaitu berupa bahan-bahan tekstual, seperti buku, jurnal,

    49

    Lynn E. Mitchell, ‚M. Fethullah Gulen: A Preacher of Piety and Integrity of Action: A Study in Analogy Between the Gulen Movement and the Clapham Circle‛ dalam

    Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008(Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 50 Philipp Bruckmayr, ‚Fethullah Gulen and Islamic Literary Tradition‛ dalam

    Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 51 Thomas Michel, ‚Fethullah Gulen: Following in The Footsteps of Rumi‛ dalam

    Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007 (New Jersey: Tughra Books, 2009).

    12

    makalah, artikel, dan lainnya, maka penelitian tersebut mengikuti jenis telaah kepustakaan (library research).52

    2. Pendekatan Penelitian Dalam melakukan pembacaan terhadap pemikiran dakwah Gulen, penulis menggunakan dua pendekatan, yaitu: pendekatan historis dan pendekatan humanistik.53 Pendekatan historis berfungsi melacak konteks sosio-kultural yang melingkupi kehidupan Gulen. Sementara pendekatan humanistik sebagai pisau analisis untuk mengkaji nilai-nilai kemanusiaan dan aspek-aspek hidup manusia. Termasuk dalam pendekatan ini adalah aspek filosofis dari objek yang diteliti.

    3. Sumber Data

    Sebagai penelitian bercorak library research, data diperoleh dari dua sumber, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primernya adalah kitab T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, Toward a Global Civilization of

    Love and Tolerance, Key Concepts in The Practice of Sufism, Pearls of Wisdom, The Essentials of the Islamic Faith, Question and Answers About Islam vol.2, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>niyyah, Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h. Demikian juga dengan data sekunder, yang juga berupa buku, soft copy (pdf.), artikel, majalah, dan koran yang diperoleh dari perpustakaan maupun berupa unduhan dari media internet.54 Data sekunder yang digunakan adalah karya-karya dalam bentuk buku dan makalah yang relevan untuk menjadi pelengkap data. Data sekunder yang digunakan di sini adalah:

    Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008.Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007dan lain-lain.

    52

    Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survey (Jakarta:LP3ES, 1989) 45. Lihat juga M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Bogor: Ghalia Indonesia, 2002), 11. Bandingkan dengan Mustika Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004) 16-22. 53 Cik Hasan Bisri dan Eva Rufaidah, Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial, Himpunan Rencana Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) 8. 54 Atho’ Muzhar menyebut bahwa selain menyebut sumber primer maupun sekunder dari penelitian, seorang peneliti juga hendaknya dapat menunjukkan di mana data dapat diperoleh, data berupa apa saja; dokumen, prasasti, mata uang dan lain-lain. Sehingga, validitas sumber data yang digunakan menjadi lebih berarti bagi upaya pengembangan kajian. M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002), Cet. IV, 62-64.

    13

    4. Teknik Analisis Data Untuk mempermudah dalam menganalisis data, peneliti menggunakan teknik analisis isi (content analyzing).55 Content analyzing adalah menganalisa makna yang terkandung dalam asumsi, gagasan, atau statemen untuk mendapat pengertian dan kesimpulan. Selain itu juga peneliti menggunakan metode deskriptif analisis. Deskriptif secara sederhana dapat diartikan dengan menggambarkan secara umum tentang objek penelitian untuk menemukan informasi yang menyeluruh. Tujuan dari penelitian yang menggunakan metode deskriptif pada umumnya adalah untuk membuat deproposal, gambaran atau lukisan secara sistematis dan objektif, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, ciri-ciri serta hubungan di antara unsur-unsur yang ada atau suatu fenomena tertentu.56 content analyzing ini peneliti gunakan untuk menganalisa makna yang terkandung dalam asumsi, gagasan, atau statemen untuk mendapat pengertian dan kesimpulan. Adapun dengan metode analisis peneliti berupaya melakukan telaah atau penganalisisan terhadap pemikiran Gulen dengan pendekatan filosofis secara mendalam. Metode analisis tersebut akan digunakan untuk melakukan klasifikasi mengenai relevansi substatif pemikiran dakwah Gulen, pemilahan ide-ide secara detil, konsistensi pembahasan, pembedaan hirarkis, hingga analisa secara tuntas yang meliputi semua kategori atau komponen yang diteliti. Selain itu, dengan metode deskriptif-analisis penulis juga melibatkan evaluasi kritis untuk menelaah sejauh mana keunggulan dan kelemahan pandangan Gulen. G. Sistematika Pembahasan Untuk menyusun gambaran yang utuh dan terpadu tentang penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I diuraikan tentang pendahuluan yang secara garis besar meliputi: latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Dalam Bab Pertama ini diuraikan masalah utama penelitian tentang pencitraan Islam oleh Barat sebagai agama yang menyukai kekerasan. Paradigma tersebut diakibatkan oleh pemahaman-pemahaman Islam garis keras terhadap teks normatif dan kepentingan golongan. Adapun solusi yang ditawarkan adalah paradigma dakwah yang berlandaskan nilai-nilai kearifan dan moralitas. Hipotesa yang dibangun adalah dakwah yang berlandaskan nilai-nilai kearifan dan moralitas merupakan pilar dasar dalam pembentukan religiusitas masyarakat yang toleran. Untuk sampai kepada tujuan ini, dilakukan kajian teks terhadap 55

    Hasan Bisri dan Eva Rufaidah, Model Penelitian, 9. Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma,

    56

    2005), 58.

    14

    sejumlah karya Muhammad Fethullah Gulen, seorang tokoh perdamaian dunia saat ini, dengan menggunakan pendekatan historis dan humanistis. Pembahasan tentang ‚Konsepsi Dakwah dalam Islam‛, akan dibahas di Bab II. Bahasan ini meliputi: pondasi dasar dakwah dan etika dakwah. Pada sub bab yang pertama akan diuraikan tentang landasan dakwah yang berbasis filosofis normatif (dakwah qur’ani dan profetik), sekaligus menegaskan bahwa Islam mengajarkan cara yang santun dalam berdakwah. Pada sub bab selanjutnya akan membahas ‚etika dakwah‛. Pada sub bab ini akan memaparkan etika dakwah yang menjadi pijakan da’i dalam berdakwah serta menggunakan kekerasan dengan dalih berjihad di jalan Tuhan tidaklah dapat dibenarkan dalam berdakwah. Pada bab ini dapat disimpulkan bahwa Sikap Fundamentalis dan radikal bukanlah pijakan dakwah yang tepat, karena dakwah Islam pada dasarnya mengumandangkan spirit profetik Rahmatan li al-‘A>lamin yaitu ajaran Islam yang mengedepankan cinta dan kasih sayang serta sikap toleransi antar umat beragama. Sebagai solusinya, gagasan yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan, moralitas dan kesantunan terhadap semua umat beragama merupakan nilai dasar dalam berdakwah. Bab III ‚Kontruksi dan Subtansi Dakwah Gulen‛ pada sub pertama akan dijelaskan dasar-dasar dan kaidah dalam dakwah, sub bab ini meliputi: membekali diri dengan ilmu pengetahuan, keselarasan kalbu dengan alQur’an, menggunakan cara yang disyari’atkan, dan melakukan apa yang disampaikan. Sub bab berikutnya akan menguraikan gambaran dan sifat seorang da’i. Pembahasan pada sub bab ini meliputi: berdakwah dengan penuh kasih sayang, mengedepankan toleransi dan menjaga empati. Adapun sub yang terakhir akan membahas urgensi dakwah. Kesimpulan pada bab ini bahwa konsep dakwah Gulen berorientasi kepada nilai-nilai yang benar-benar spritual, seperti sikap toleransi, kasih sayang, kesabaran, pengampunan (forgiveness), kedamaian batin (inner peace), keharmonisan sosial (social harmony) dan kejujuran (honesty). Hal ini diiringi dengan metode dakwah dalam al-Quran begitu humanis. Islam lebih mengedepankan perdamaian dan dialog dengan santun dan argumentatif (muja>dalah bi allati hiya ah}san). Hal ini tentunya harus dibudayakan, baik dalam konteks inter-religius, intrareligius, maupun antar peradaban. Bab IV ‚Relevansi dan Signifikansi Konsep Dakwah Gulen: Dalam Konteks Masyarakat Kontemporer‛. Sub bab pertama membahas tentang: Islam sebagai agama cinta, inklusifisme dan toleransi sebagai basis keberagamaan dan dialog intensif intra dan antar agama. Uraian ini ditujukan untuk perbaikan yang mendera moralitas masyarakat kontemporer seperti berlaku radikal dan ekstrim. Fokus kajian ini menitikberatkan pada nilai-nilai kearifan seperti toleransi, kasih sayang, sikap inklusif, yang merupakan pondasi awal dalam membentuk kepribadian serta pijakan yang ditawarkan dalam membangun interaksi dalam bermasyarakat. Kesimpulan pada bab ini

    15

    bahwa konsep dakwah yang ditawarkan Gulen pada intinya mengajak kepada keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, dengan tetap menjaga sikap inklusif, termasuk bagaimana mentranformasikan nilai religius tersebut sebagai refleksi kehidupan sosial. Bab V ‚Penutup‛ merupakan kesimpulan yang menegaskan bahwa dakwah yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan dan moralitas merupakan pilar dasar dalam pembentukan religiusitas masyarakat yang toleran. Penutup bab ini merupakan kritik, saran dan rekomendasi. Kritik dan saran tersebut diharapkan memberikan perbaikan yang signifikan dalam penelitian ini.

    16

    BAB II KONSEPSI DAKWAH DALAM ISLAM Pada bab ini penulis akan menguraikan konsep dan paradigma dakwah dalam Islam. Kesimpulan pada bab ini, bahwa sikap Fundamentalis dan radikal bukanlah pijakan dakwah yang tepat, karena dakwah Islam pada dasarnya mengumandangkan spirit profetik Rahmatan li al-‘A>lamin yaitu ajaran Islam yang mengedepankan cinta dan kasih sayang serta sikap toleransi antar umat beragama. Sebagai solusinya, gagasan yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan, moralitas dan kesantunan terhadap semua umat beragama merupakan nilai dasar dalam berdakwah. Hal ini dapat dibuktikan dengan landasan fundamen dakwah yang berbasis filosofis normatif (dakwah qur’ani dan dakwah profetik), sekaligus menegaskan bahwa Islam mengajarkan cara yang santun dalam berdakwah. Selain itu, dalam penyampaikan dakwah ada aturan dan kode etik yang harus dimiliki dan diikuti oleh para juru dakwah (da’i). A. Pondasi Dasar Dakwah 1. Dakwah Qur’ani (Metode Dakwah dalam al-Qur’an) Sebagai agama terakhir, Islam merupakan agama penyempurna dari keberadaan agama-agama sebelumnya. Perkembangan agama Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad Saw yang berawal di Mekkah lalu di Madinah dan kemudian berkembang ke seluruh penjuru dunia tidak lain adalah karena adanya proses dakwah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam.1 Sebagai agama ilahi sumber dasar Islam adalah al-Qur’an.2 Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai atribut; al-Baya>n atau al-Tibya>n, al-Furqa>n, dan al-Huda>. seperti pada ayat:              ‚bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-

    Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)‛. (QS. al-Baqarah: 185).3 1

    Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Kiat Sukses Berdakwah, terj. Samsul Munir Amin, (Jakarta: AMZAH, 2006), xi. 2 Ali Raza Tahir, ‚Islam and Philosophy (Meaning and Relationship)‛ dalam Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business vol. 4 no: 9 (January, 2013) 1289. http://journal-archieves27.webs.com/1287-1293.pdf (diakses pada: 23 Desember 2013). 3 Selain sebutan-sebutan tersebut al-Qur’an juga bisa dinamakan dengan al-Z{ikr. Seperti pada (QS. al-Nahl: 44). Sebutan-sebutan ini menjelaskan bahwa fungsi al-Qur’an adalah sebagai petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS. al-Isra: 9) yang meliputi akidah yang benar, akhlak murni yang harus diikuti manusia dalam kehidupannya, petunjuk bagi upaya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, pembawa kebenaran dan berpihak kepada

    17

    Dalam tradisi keilmuan, dakwah bisa bermakna menyebarkan, menyampaikan, meyakinkan, mengajak dan mendorong.4 Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Halimi, bahwa dalam al-Qur’an, term-term dakwah memiliki beberapa pengertian yaitu permohonan (sual) ibadah, ajakan dan seruan.5 Dengan demikian, dalam keseharian hidupnya umat Islam bukan saja berkewajiban melaksanakan ajaran Islam, tapi lebih dari itu harus menyampaikan (tabligh) atau mendakwahkan kebenaran ajaran Islam terhadap orang lain. Umat Muslim digelari Allah Swt sebagai umat pilihan, yakni sebaik-baik umat (khairu ummah), yang mengemban tugas dakwah, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.6 Implikasi dari pernyataan Islam sebagai agama dakwah inilah, menuntut ummatnya agar selalu meyampaikan dakwah, karena kegiatan ini merupakan aktivitas yang tidak pernah berhenti selama kehidupan di dunia masih berlangsung dan akan terus melekat dalam situasi dan kondisi apa pun dengan berbagai pendekatan dan coraknya.7 Dalam pengertian ini, bentuk dakwah dalam praktiknya bukan hanya dalam tataran teoretis-instruktif atau dikenal dengan istilah lisa>n al-Maqa>l, tetapi juga menuntut bentuk tindakan-empiris yang dikenal dengan lisa>n al-Hal.8 Di dalam hal mengajak inilah, tentunya ada yang menjadi pijakan dalam berdakwah. Pada dasarnya al-Qur’an merupakan inspirasi dakwah dan kitab dakwah.9 Bermula sebagai kitab dakwah dan berpuncak sebagi kitab

    keadilan (QS. al-Nisa’: 105), serta mendorong pada terjadinya perubahan yang positif (QS.Ibrahim: 1). Baca Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial (Semarang: Wali Songo Press, 2008), 48. 4 Taufik Yusuf al-Wa‘iy, Fiqih Dakwah Ilallah, terj. Sofwan Abbas dkk (Jakarta: AlI‘tishom, 2011), 11. Lebih jelas baca Muhammad Sa‘i>d Muba>rak, al-Da’wah wa al-Ira>dah (Riyadh: Huqu>qu al-T{ab‘ Mahfu>z{ah lil Mu‘alif: 2005), 15. 5 Menurut Ibn Manzu>r sebagaimana dikutip A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman bahwa kata dakwah mempunyai arti banyak. Pertama, meminta pertolongan (al-Istigha>sah), kedua, menghambakan diri (‘iba>dah) seperti dalam firman-Nya (QS. al-A’raf: 194), ketiga, memanjatkan permohonan kepada Allah SWT(berdo’a), seperti dalam firman-Nya (QS. alBaqarah: 186). Keempat, persaksian Islam (syaha>dat al-Isla>m) seperti surat Nabi Muhammad Saw kepada Heraklius ‚…..‫( ‛أدعوك بدعاية ا ٍالسالم‬aku memanggil kamu dengan persaksian tentang Islam). Kelima, memanggil atau mengundang (al-Nida>) seperti firman Allah (QS. al-Ahzab: 46). Lihat A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Kencana, 2011) 27-28. Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 50. 6 Asep Syamsul dan M. Romli, Jurnalistik Dakwah, Visi dan Misi Dakwah Bilqolam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), 3. 7 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006), 5. 8 A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, 27-28. 9 Iqram Faldiansyah, ‚Dakwah dan Lingkungan‛ dalam Imam Malik dkk., Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Idea Press, 2011), 187.

    18

    penetapan syari’at.10 Lebih tegas lagi, al-Qur’an menyebut kegiatan dakwah dengan ahsanu qaula.11 Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah dakwah. Tetapi, dari sekian banyak ayat yang memuat prinsip-prinsip dakwah itu, ada satu ayat yang memuat sandaran dasar dan fundamen12 yakni QS. al-Nahl: 125. Metode dakwah dan langkah-langkah dakwah transformatif yang ditawarkan dalam al-Qur’an untuk menyampaikan pesan keagamaan, berbasis pada pendekatan yang bersifat persuasif dan sarat dengan nilai-nilai kebijaksanaan (wisdom/al-h}ikmah). Metode dakwah demikian itu, telah diformulasikan Allah dan Rasulnya lewat teks normatif al-Qur’an dan sunnah Nabi berikut ini: 1. Al-Hikmah (‫)الحكوة‬ Dalam al-Qur’an kata ‚hikmah‛ menurut Harjani Hefni disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakirah maupun ma’rifat. ‚h}ukman‛ merupakan bentuk masdar dari ‚h}ikmah‛, yang apabila diartikan secara makna aslinya adalah mencegah, melarang dengan penuh kebijaksanaan. Dalam pandangan M. Abduh, sebagaimana dikutip Harjani Hefni, hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga di gunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafazh akan tetapi banyak makna.13 Pararel dengan pendapat M. Abduh. Dalam konteks usul fiqh istilah hikmah dibahas ketika ulama usul membicarakan sifat-sifat yang dijadikan ilat hukum. Dan dikalangan tarekat hikmah diartikan pengetahuan tentang rahasia Tuhan.14 Kata hikmah juga sering dikaitkan dengan filsafat, karena inti dari filsafat yakni mencari pengetahuan hakikat segala sesuatu. Adapun orang yang memiliki hikmah disebut al-H{a>kim yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu. Tidak jauh berbeda dengan M. Abduh, Toha Yahya dan Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni> menjelaskan, hikmah berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, penuh kehati-hatian serta berusaha menyusun dan mengatur sesuai dengan keadaan zaman dan tidak

    10

    Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), 11. 11

    Q.S al-Fushilat: 33. Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 38 13 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 8-9. Bandingkan dengan Muhammad Abu> alFatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh 12

    al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1991), 244. 14 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 9.

    19

    bertentangan dengan larangan Tuhan.15 Lebih spesifik lagi, Imam Nawawi alBantani menjelaskan al-H{ikmah merupakan al-H{ujjah al-Qat}’iyyah alMufi>dah li al-‘Aqa>id al-Yaqi>niyyah (hikmah adalah dalil-dalil argumentasi yang kuat dan berfaedah bagi kaidah-kaidah keyakinan).16 Selain itu, kata hikmah sering kali diterjemahkan dalam pengertian bijaksana, yaitu suatu pendekatan sedemikian rupa sehingga objek dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemaunnya sendiri, tidak merasa ada paksaan, konflik, maupun rasa tertekan. Dalam bahasa komunikasi disebut sebagai frame of reference, field of reference, dan field of experience, yaitu situasi total yang mempengaruhi sikap pihak komunikan (objek dakwah).17 Dalam konteks hukum Islam, makna hikmah berkonotasi melakukan upayah prefentif dari tindakan kezaliman, dan apabila ditarik ke dalam konsep dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan pada saat mengemban misi dakwah. Lebih jauh pembahasan konsepsi dan metode dakwah, dengan pijakan al-H{ikmah merupakan upaya seorang da’i mentransformasikan pesan-pesan keagamaan dengan penuh kebijaksanaan, akal budi yang mulia, hati yang bersih, lapang dada, dan menarik perhatian orang kepada agama atau Tuhan. Konsepsi dakwah demikian itu, diperkuat oleh al-Alla>mah Abu al-Fad}l Syiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-Asi> alBagda>di>,18 dakwah dengan hikmah menurutnya yaitu:

    15

    Lebih jelas baca Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi alDa’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 245. Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 9. Lihat juga Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>th (Kairo: Mat}ba‘ah al-Husain al-Islami>yah, tt), 17. 16

    Hikmah menurut Sa’id bin Ali bin Waqif al-Qahtani mempunyai dua arti, yakni secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi hikmah mempunyai arti pertama, adil, ilmu, sabar, kenabian, al-Qur’an dan injil. Kedua, memperbaiki (membuat menjadi baik) dan terhindar dari kerusakan. Ketiga, ungkapan untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang utama. Keempat, objek kebenaran (al-Haq) yang didapat melalui ilmu dan akal. Kelima, pengetahuan atau makrifat. Adapun secara terminologi hikmah dapat diartikan: pertama, valid (tepat) dalam perkataan dan perbuatan. Kedua, mengetahui yang benar dan mengamalkannya (ilmu dan amal) ketiga, wara’ dalam agama. Keempat, meletakkan sesuatu pada tempatnya. Kelima, menjawab dengan tegas dan tepat. Lihat al-Nawa>wi al-Jawwi, Mara>h Labi>d Tafsir Nawa>wi al-Tafsir al-Muni>r, juz 1, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub alAra>biah, t.t), 469. Lihat juga Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 98-99. Bandingkan dengan Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 40-42. 17 Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 98. Shamim A Siddiqi, Methodology of Dawah Ilallah in American Perspective, (New York: The Forum for Islamic Work, 1989), 102. 18 Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-Asi> al-Bagda>di>, Ru>hul al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>ri al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni, Juz 14. (Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s al-‘Arabi>, tt) 254.

    20

    ‫"تالحكوة" أي تا لومالة الوحكوة وهً الحجة المطعٍة الوزٌحة للشثهة ولرٌة هي هذا ها فى الثحر‬ ‫أًها الكالم الصىاب الىالع هي الٌفش أجول هىلع‬ ‚dakwah dengan hikmah‛ adalah dakwah dengan menggunakan perkataan yang benar dan pasti, yaitu dengan argumen untuk menjelaskan kebenaran dan menghilangkan sikap sekeptis, serta perkataan yang diucapkan relevan dengan realitas dan situasi‛. Pendapat di atas dipertegas lagi oleh Imam al-‘Aini yang menyatakan bahwa ‚al-h}ikmah tadullu ‘ala> ‘ilmin daqi>q muhkam wa ta’li>muha kama>lun ‘alamiyyun, wa al-qad}a>’u kama>lun ‘amaliyyun‛.19 Berangkat dari pandangan Abu al-Fad}l dan Imam al-‘Aini, maka metode hikmah dikonstruksi berdasarkan pemahaman dakwah yang ‚berjalan pada metode yang realistis (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan‛.20 Maksudnya, selalu memperhatikan kebutuhan dan menyentuh realitas yang terjadi di luar, baik pada level komunitas intelektual, pemikiran, psikologis maupun sosial. Dari uraian di atas, dapat dipahami hikmah menjadi salah satu faktor pendukung sukses ataukah gagal dalam mengemban misi dakwah. Ketika da’i menghadapi audien dengan bermacam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang hati para audien dengan tepat.21 Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk mampu mengerti dan memahami latar belakang permasalahan, sehingga ide-ide yang diterima dapat dirasakan sebagai suatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbu serta mendapat respon yang positif dari mad’u. Pada saat yang sama, konsepsi dan metode dakwah mengalami pergeseran dari sikap dakwah yang penuh kearifan, kebijaksanaan, dan sarat nilai-nilai persuasif, seketika berubah menjadi dakwah yang beringas dan radikal yang dilakukan oleh kelompok muslim minoritas yang secara masif mendengungkan jargon kembali kepada ‚salaf saleh‛.22 Prinsip utama dakwah

    19

    Jum‘ah Ami>n ‘Abdu al-Azi>z, al-Da’wah Qawa>’id wa Us}u>l, (Kairo: Da>r al-Da’wah,

    1999), 31.

    20 Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 46. 21 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 11. Baca juga Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran (Jakarta: Paramadina 2004). 3. 22 Kelompok minoritas yang dimaksud di sini adalah salafi wahabi. Karakteristik utamanya adalah mengikuti tiga generasi pertama umat Islam (al-Salaf al-S{alih), monoteistik (pemurnian akidah), serta menolak tasawuf dan Syiah, berkonsentrasi pada Hadis (ucapan Nabi Muhammad), menolak setiap inovasi ilegal (bid'ah), menganggap Muslim yang tidak

    mematuhi bentuk Islam menjadi kafir. doktrin ini telah menyebabkan sebagian umat Muslim menjadi ekstremisme agama dan radikalisme atas nama agama, yang akhirnya menodai citra Islam dan citra umat Islam sendiri. Salafi Wahhabi dalam sejarah Islam dipromosikan oleh pendirinya, Muhammad Abd al-Wahhab (1703 M-1792 M). Zulkarnain Haron Nordin Hussin, ‚A Study on Salafi Jihadist Doctrine and the Interpretation of Jihad by Al Jama'ah Al

    21

    yang mereka bangun, untuk melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam. Gerakan dakwah yang mereka lakukan itu, berbeda jauh dengan prinsip dan tipologi paradingma dakwah yang ditawarkan dalam al-Qur’an. Di sisi lain, para da’i dihadapkan dengan beragam pendapat dan warna masyarakat. Dalam hal interaksi dan komunikasi inilah terjadi silang pendapat dan perbedaan. Adapun dalam Islam perbedaan merupakan sunnatullah dan sebuah keniscayaan.23 Namun dari sekian banyak perbedaan itu, ada titik temu di antara mereka. Kemampuan da’i untuk bersifat objektif terhadap umat lain, berbuat baik dan bekerja sama dalam hal-hal yang dibenarkan agama tanpa mengorbankan keyakinan yang ada pada dirinya adalah bagian dari hikmah dalam dakwah.24 Tidak semua orang mampu meraih hikmah, sebab Allah hanya memberikannya untuk orang yang layak mendapatkannya. Barang siapa mendapatkannya maka dia telah memperoleh karunia besar dari Allah.25 Atas dasar inilah, maka hikmah berjalan pada metode yang realistis (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan. Maksudnya ketika seorang da’i akan memyampaikan dakwahnya haruslah selalu memperhatikan realitas yang

    Islamiyah‛ dalam Kemanusiaan Vol. 20, No. 2, (2013), 18. http://web.usm.my/kajh/ vol20_2_2013/Art%202%20(15-37).pdf. (diakses pada: 8 Januari, 2014). 23 Dalam kacamata Islam, al-Qur’an mensinyalir perbedaan merupakan ‚ciptaan Ilahi‛ serta sunnah yang azali dan abadi, yang telah ditetapkan oleh Allah bagi seluruh makhluk, seperti dijelaskan dalam al-Qur’an QS. Hu>d: 118-119. Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan , terj. Abdul Hayyie alKattaanie. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 15. 24 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 12. 25 Ayat yang dimaksud adalah                  

    ‚Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Quran dan alSunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)‛ . (QS. Al-Baqarah: 269). Ayat tersebut mengisyaratkan betapa pentingnya menjadikan hikmah sebagai sifat dan bagian yang menyatu dalam metode dakwah dan betapa perlunya dakwah mengikuti langkah-langkah yang mengandung hikmah. Ayat tersebut seolah-olah menunjukkan metode dakwah praktis kepada juru dakwah yang mengandung arti mengajak manusia kepada jalan yang benar dan mengajak manusia untuk menerima dan mengikuti petunjuk agama dan akidah yang benar. Mengajak manusia kepada hakikat yang murni dan apa adanya. Itu semua tidak mungkin dilakukan tanpa melalui pendahuluan dan pancingan atau tanpa mempertimbngkan iklim dan medan kerja yang sedang dihadapi. Selain QS. Al-Nahl:125 dan QS. Al-Baqarah: 269, masih ada ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan keutamaan dan pentingnya cara hikmah, seperti; QS. al-Baqarah: 129 dan QS. Ali Imran: 164. Dalam Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-

    Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 245246. Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 13.

    22

    terjadi di luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis, maupun sosial. Semua itu menjadi acuan yang harus dipertimbangkan.26 Selain itu, dakwah dengan hikmah ini mencakupi tiga unsur, yaitu; pertama, menyangkut situasi dan kondisi mad’u. Situasi dan kondisi ini bisa menyangkut lingkungan sosio-ekonomi, sosio-politik, dan sosio-kultural mad’u. Kedua, menyangkut kadar materi yang disampaikan. Ini bearti materi yang disampaikan tidak boleh berlebihan. Ketiga, menyangkut metode dan teknik yang dipergunakan (sesuai dengan kebutuhan).27 Lebih jauh lagi Aswiral28 mengemukakan ada tiga macam pendekatan yang perlu diketahui dalam berdakwah. pertama, approach filosofi (pendekatan ilmiah dan aqliyah) yang dihadapkan kepada golongan pemikir atau kaum intelektual. Karena golongan ini mempunyai daya pikir yang kritis, maka dakwah harus bersifat logika, menggunakan analisa yang luas dan obyektif serta argumen yang logis dan komperatif. Pendekatan filosofis (ilmiah dan aqliyah) ini bertujuan untuk menghidupkan pikiran mad’u, sebab mereka menerima sesuatu lebih mendahulukan rasio daripada rasa. Kedua, approach intruksional (pendekatan pengajaran). Pendekatan ini biasanya di gunakan untuk kalangan awam, sebab pada umumnya daya nalar dan daya pikir mereka sangat lemah dan sederhana, mereka lebih mengutamakan unsur rasa dari pada rasio. Oleh sebab itu dakwah terhadap mereka lebih dititik beratkan kepada bentuk pengajaran, nasehat yang baik serta muda dipahami. Ketiga, approach diskusi (pendekatan bertukar pikiran), yakni secara informatif dialogis. 2. Al-Mau’iz}ah al-H{asana (nasihat yang baik) Secara bahasa al-Mau’iz}a al-H{asana terdiri dari dua kata, yaitu alMau’iz}a dan al-H{asana. Kata al-Mau’iz}a berasal dari kata wa’az}a-ya’iz}uwa’z}an-i’z}atan. Sebagaimana menurut Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>syi berarti: nasihat, peringatan serta bimbingan kepada ketaatan seperti yang diperintahkan dalam al-Qur’an. Lebih jelas lagi, Ibra>hi>m al-Juyu>syi menjelaskan al-H{asana merupakan perkataan dan perbuatan yang baik dan

    26

    Seseorang tidaklah dikatakan hakim (bijak) apabila belum terkumpul dalam dirinya dua macam perkara, yakni hikmah dalam tataran teori dan praktik. Selain itu, dalam alQur’an Allah memperkenalkan diri-Nya secara berulang-ulang dengan sebutan ‚al-Hakim‛ kurang lebih 80 kali. Lihat Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-

    Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 245. Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 13. 27 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah (Jakarta: Penamadani, 2006). 248. 28 Aswiral Imam Zaidallah, Strategi Dakwah Dalam Membentuk Da’i dan Khotib Profesional (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 73-74.

    23

    bermanfaat, disifatkan dengan al-H{asana dikarenakan di dalamnya terdapat nilai-nilai kebaikan dan jauh daripada sifat-sifat kejelekan.29 Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, menurut Imam Abdullah bin Ahmad al-Nasafi yang dikutip oleh H. Hasanudin adalah sebagai berikut: ‫والوىعظة الحسٌة وهً التى ال ٌخفى علٍهن اًك تٌا صحهن تها وتمصذ ها ٌٌفعهن فٍها او تا المرآى‬ ‚al-Mau’iz}a al-H{asana‛ adalah perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka dengan al-Qur’an.30 Perspektif lebih komprehensif dikemukakan oleh Abd. Hamid alBilali bahwa konsep dan metode dakwah dengan sentuhan al-Mau’iz}a alH{asana, merupakan usaha dalam menjalankan misi dakwah yang dinilai lebih tepat dan efektif, sebab ketika seorang da’i mengajak ke jalan Tuhan dengan membangun pola komunikasi berbentuk nasihat atau bimbingan syarat dengan lemah lembut, maka pesan keagamaan lebih dapat diterima oleh masyarakat luas, sebagai konsekwensinya mampu melahirkan kesadaran para madu untuk berbuat baik (wa‘yu al-diniyyah).31 Persepektif Abd. Hamid tersebut, Sejalan dengan pandangan ahli tafsir seperti al-Qurtubi yang mengatakan: ‚sesungguhnya konsepsi al-Mau’iz}ah al-H{asana upaya berpaling dari yang jelek atau perbuatan buruk-melalui anjuran (targhib) dan larangan‛.32 Menurut hemat penulis secara psikologi pola komunikasi dengan pendekatan dakwah berbasis nasihat, mampu melunakkan hati dan menimbulkan kesadaran religiusitas seorang mad’u. Varian interpretasi metode al-Mau’iz}ah al-H{asana yang dilakukan oleh sarjana tafsir di atas, mengacu kepada berbagai denotasi dan ekstensi (mishdaq) yang sama secara subtansi. Oleh sebab itu, denotasi dan ekstensi 29

    Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>th, 21. Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 15. 30 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 15. Lebih jelas lihat Abu al-Qa>sim Mahmu>d ibn ‘Umar al-Zamakhshari>>, al-Kassha>f ‘an H{aqa>iq Ghawa>mid} al-Tanzil> wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz 3,(Riya>d}: Maktabah al-‘Abi>ka>n, 1998), 485. Bandingkan juga dengan Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-Asi> al-Bagda>di>, Ru>hul al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>ri alQur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni, Juz 14, 254. 31 Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan pentingnya dan keutamaan dakwah dengan metode al-Mau’iz}ah al-Hasana terdapat dalam QS. Al-Nahl: 125, QS. T{aha: 44, QS. Al-Nisa’: 63, QS. Al-Baqarah: 83. Selain itu, metode qur’ani dengan nasihat yang baik dan lemah lembut ini juga merupakan metode yang digunakan oleh para Nabi dalam menyampaikan dakwah mereka. Cerita Nabi Nuh, al-Qur’an jelaskan dalam QS. Al-A’raf: 62. Nabi Hud dalam QS. A’raf: 68, Nabi S{a>leh dalam QS. A’raf: 79, dan Nabi Syu’aib dalam QS. A’raf: 93. Baca Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>syi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>s, 22-23. Lihat juga Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 16. 32 Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 48. Abi> ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi> Bakr al-Qurt}ubi>, al-Ja>mi‘i li al-Ah}ka>m al-Qur’an wa al-Muba>yin lima> Tad}a>manah min al-Sunnah wa a>y al-Furqa>n, Juz 12 (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2006), 461.

    24

    ini bukanlah menjadi suatu permasalahan prinsipil. Sebab produk penafsiran dari para mufassir hanya bersifat ijtihad dan berupaya mencari hakikat sebuah artikulasi teks yang diinginkan al-Qur’an terhadap metode alMau’iz}ah al-H{asana itu sendiri, dan tidak terfokus hanya kepada makna etimologisnya semata. Tegasnya produk sebuah penafsiran tentang konsep dakwa al-Mau’iz}a al-H{asana harus lebih menekaknkan pada aspek metode, tata cara, dan pendektan berdakwah supaya pesan dakwa disenangi, dengan upaya untuk lebih mendekatkan dari pada menjauhkan, memudahkan (ya>siru>) dan tidak menyulitkan (la> tu‘a>siru>) mad’u. Singkatnya, metode dakwa berbasis pada al-Mau’iz}a al-H{asana adalah metode yang memberi pengaruh dan membangun pemahaman signifikan terhadap sasaran dakwah. Misi dakwah ini berfungsi untuk memainkan peran ganda dalam menyampaiakan pesan keagamaan, di satu sisi sebagai seorang da’i dan pada saat bersamaan sebagai teman dekat yang menyayangi mad’unya, dan mencari segala hal bermanfaat baginya dan membahagiakannya.33 Namun pendekatan persuasif-komunikatif berbasis al-Mau’iz}ah alH{asana, masih jauh dari kenyataan yang diharapkan, meskipun telah disinyalir oleh al-Qur’an. Demikian berdasarkan fakta dan realita empiris yang terjadi di masyarakat, bahwa konsep dakwah al-Mau’iz}ah al-H{asana sering kali diabaikan, bahkan tidak menjadi prinsip metode dakwah yang sarat dengan kelembutan (layyin) dan saling mengasihi (rahm } atan). Kenyataan itu, tidak dapat ditampik bahwa memang fenomena da’i berwajah garang sering dijumpai ketika menyampaikan pesan dakwah.34 Dengan demikian, al-Mau’iz}a al-H{asana sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Husain Fadlullah adalah yang dapat masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan. Tidak berupa larangan terhadap sesuatu yang tidak harus dilarang, tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan.35 Sebab kelemah lembutan dalam menasihati sering kali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar. Bahkan, al-Mau’iz}a al-H{asana lebih mudah melahirkan kebaiakan ketimbang larangan dan ancaman. Walaupun terdapat difrensiasi dalam menginterpretasi gagasan pokok al-Mau’iz}a al-H{asana di antara intelektual Muslim, tetapi secara eksplisit terdapat persamaan persepsi metode al-Mau’iz}a al-H{asana dengan berpijak 33

    Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 48. 34 Kelompok ini dikenal dengan salafi jihadi dan al-Jama>'ah al-Isla>mi>yah. Mereka ini mendengung-dengungkan dakwah dengan dalih berjihad di jalan Tuhan, melakukan aksi kekerasan dan bersifat anarkis, main hakim sendiri dan berlaku radikal. Zulkarnain Haron Nordin Hussin, ‚A Study on Salafi Jihadist Doctrine and the Interpretation of Jihad by Al Jama'ah Al Islamiyah‛ dalam Kemanusiaan Vol. 20, No. 2, (2013), 24-31. 35 Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 49.

    25

    pada prinsip egaliter (al-Musa>wa), keadilan (al-‘Ada>lah), toleransi (alTasa>muh) dan pluralitas (al-Ta‘a>dudi>yah), yakni menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan dan menghargai sesama mahluk sosial. Dari beberapa ulasan tentang paradigma dakwah yang bernuansa al-Mau’iz}a al-H{asana di atas, maka metode al-Mau’iz}a al-H{asana tersebut dapat diklasifikasi dalam beberapa varian ide pokok berikut ini:36 a. Nasihat atau petuah. Nasihat adalah pola komunikasi bersifat persuasif yang dibangun oleh seorang da’i kepada mad’unya (audien). Pola yang bersifat komunikatif tersebut, biasa dilakukan oleh orang yang levelnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah, meliputi berbagai tingkatan maupun pengaruh, misalnya nasihat orang tua kepada anaknya, lihat QS. Luqman:13 yang artinya; ‚dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, yaitu memberikan mau’iz}ah kepadanya: hai anakku, janganlah pernah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kez}aliman yang amat besar. b. Bimbingan, pengajaran, pendidikan. c. Kisah-kisah. d. Kabar gembira dan peringatan. e. Wasiat. Lebih daripada itu, para da’i harus membekali diri dengan sikap pesuasif, inklusif, interaktif, empati, altruisme dan sikap penuh kasih sayang. Karena prinsip-prinsip fundamental tersebut, sebagaimana yang dikemukakan menjadi modal utama bagi seorang da’i untuk meraih kesuksesan dalam mentranformasikan nilai-nilai agama. Dakwah yang disampaikan dalam konteks ini dapat menjadi stimulus terhadap kesadaran seseorang agar merasa dihargai sebagai seorang Muslim. Selain itu, mad’u akan sangat tersentuh, karena rasa cinta dan sayang yang diperlihatkan juru dakwah dapat membangkitkan semangatnnya untuk menjadi mukmin yang baik. 3. Al-Muja>dalah bi allati hiya Ah}san (Berdebat dengan Cara Baik.) lafaz al-Mujadalah dari segi etimolgi diambil dari kata ‚jadala‛ yang bermakna memintal, melilin. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wazan fa>‘ala ‚ja>dala‛ dapat bermakna berdebat, dan ‚muja>dalah‛ perdebatan.37 Meminjam penjelasan Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, dalam bahasa dikatakan ‚jadalahu‛ artinya mendebat dan melawannya. Sehingga ‚jadal‛ adalah menghadapi argumentasi dengan argumentasi,

    36 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 16. Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi>, alDa’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>s, 21-22. 37 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 175. Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 17.

    26

    sedangkan mujadalah artinya berdebat dan berbantah-bantahan.38 Ada juga yang berpendapat Kata ‚jadala‛ dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.39 Menurut Ali al-Jarisyah sebagaimana dikutip Harjani Hefni, ‚alJidal‛ secara etimologi (bahasa) dapat bermakna ‚datang untuk memilih kebenaran‛ dan apabila berbentuk isim ‚al-jadlu‛ maka berarti ‚pertentangan, perseteruan atau peselisihan yang tajam‛. Al-Jarisyah menambahkan bahwa, lafaz ‚al-Jadlu‛ mura>dif dari lafaz ‚al-Qatlu‛ yang bearti sama-sama terjadi pertentangan, seperti terjadinya perseteruan antara dua orang saling bertentangan sehingga saling melawan dan salah satu menjadi kalah.40 berkenaan pada kalimat selanjutnya, ‚dan debatlah mereka dengan cara yang baik‛ dapat dianggap sebagai petunjuk tentang metode konfrontasi juru dakwah dengan reaksi sasaran dakwah terhadap dakwah yang disampaikannya.41 Menurut Zamakhshari>42 yang dimaksud dengan almuja>dalah bi allati hiya ah}san ialah: ‫تا الطرٌمة التً هً أحسي طرق الوجادلة هي الرفك و اللٍي هي غٍر فظاظة وال تعٌٍف‬ Dari situlah, al-Qur’an melakukan upaya untuk melatih pribadi, memperluas horizon wawasan pemikiran, serta mengajak da’i untuk keluar dari belenggu individualistik ekslusif menuju sikap realistis inklusif dalam interaksi sosial yang lebih luas. Menjauhkan diri dari sifat sombong, dusta, dengki, hasud dan semua sifat-sifat tercela yang sesungguhnya sangat membahayakan. Perintah dalam al-Qur’an begitu jelas agar para da’i mengikuti watak yang penuh sikap toleran, saling menghargai dan memperhatikan kondisi orang lain, memperhatikan keadaan psikologis dan intelektual mad’u.43 Al-Qur’an juga menjelaskan, perbedaan dan perdebatan adalah sesuatu yang wajar dan tidak dapat dihindari. Di sinilah dibutuhkan kebijaksaan da’i dalam mencermati dan menerima realitas itu, sebagaimana 38 Baca Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 263. 39 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 16. 40 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 18. 41 Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 49. 42 Abu al-Qa>sim Mahmu>d ibn ‘Umar al-Zamakhshari>>, al-Kassha>f ‘an H{aqa>iq Ghawa>mid} al-Tanzil> wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz 3, 485. Bandingkan juga dengan Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-Asi> al-Bagda>di>, Ru>hul al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>ri al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni, Juz 14, 254 43 Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 50.

    27

    mereka menerima berbagai hal lainnya dalam konteks hidup bermasyarakat.44 Menurut Yusuf Qardhawi, dalam debat ada dua metode, yaitu metode yang baik (h}asan) dan metode yang lebih baik (ah}san). Al-Qur’an menerangkan bahwa salah satu pendekatan dakwah adalah dengan menggunakan metode dakwah yang lebih baik (ah}san). Debat dengan metode ahsan ini dengan menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdikusi, kemudian itu dibahas masalah-masalah perbedaan kedua belah pihak, sehingga diharapkan mereka akan mencapai segi-segi persamaan pula.45 Berbeda jauh dengan pendapat Yusuf Qardhawi, Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi, membagikan debat kedalam dua bagian. Pembagian ini merujuk kepada QS. Al-Nahl: 125 dan QS. Gha>far: 5 (al-Mu’min: 5). Pertama, debat dengan cara yang baik, yakni debat yang diarahkan untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar dan relevan, seperti yang diperintahkan Allah dalam QS. Al-Nahl: 125. Adapun kedua, debat dengan cara tercela, yakni debat yang tidak membawa kepada kebaikan (melenyapkan kebenaran) dan tidak relevan, seperti termaktub dalam QS. Gha>far: 5 (al-Mu’min: 5).46 Bagi Ibra>hi>m al-Juyu>shi> Dengan sikap seperti itulah akan terjadi perdebatan dengan metode yang lebih baik. Metode debat seperti itu merupakan cara praktis yang ideal untuk mencapai cita-cita mulia yang diharapkan.47 Metode debat lebih menitikberatkan pada pencarian kelemahan lawan dan menggunakan kekerasan, anarkis dan radikal serta sikap kejam tidaklah dapat dibenarkan.48 Menggunakan cara-cara tidak arif dan bijaksana dalam menghadapi orang lain (mad’u), akan menggagalkan metode debat. Tetapi paling tidak terdapat pelajaran yang bisa diambil, yakni bahwa da’i harus mengikuti suatu metodologi yang bisa mengesankan obyek dakwah, dengan cara sebagai teman akrab dalam mencari kebenaran, menumbuhkan 44

    Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 50. 45 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 123. 46 Begitu banyak kata jadal yang berbentuk kalimat dalam al-Qur’an diantaranya QS. al-Kahfi: 54, QS. al-Anfal: 6, QS. al-Muja>dilah: 1 dan QS. al-Nisa>’: 107. Adapun Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan keutamaan dan pentingnya dakwah dengan metode al-Muja>dalah terdapat dalam QS. al-Nahl: 125, QS. al-Ankabut: 46. Da’wah qur’ani dengan metode debat juga pernah dilakukan oleh para Nabi, sebagaimana diceritakatan dalam al-Qur’an QS. Hud: 32, QS. al-Baqarah: 258, QS. al-An’am: 25, QS. al-Anbiya>’: 51-71, QS. al-Shu‘ara>’: 70-83 dan QS. Maryam: 41-48. Jejen Musfah, Indeks al-Qur’an Praktis: Dilengkapi Teks Ayat Lengkap dengan Terjemahannya, (Jakarta: Hikmah, 2007), 107. Muhammad Ibra>hi>m alJuyu>shi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>th, 30-32. Muhammad Abu> al-Fatah alBaya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah

    wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 264-266. 47 Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi>, al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>th, 32. 48 Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 50.

    28

    sikap kasih sayang, menghormati dan menghargai pribadi dan pemikirannya. Dengan begitu, akan tercipta kehidupan yang penuh kedamaian dalam pergumulan intelektual dengan penuh keakraban, kenyamanan dan keharmonisan. Dalam kondisi inilah, mad’u tidak merasa tertekan, Bahkan merasa dihargai dan dimuliakan. Ini dikarenakan, mereka dalam proses mencari kebenaran bukan mencari menang kalah. Dari uraian di atas, hemat penulis surah Al-Nahl: 125 menjelaskan metode dakwah yang sangat komunikatif dan relevan. Dari setiap metode yang dikemukakan al-Qur’an telah jelas harus kepada siapa metode itu digunakan. Hal ini sebagaimana menurut Imam Nawa>wi;49

    Manusia terbagi atas tiga golongan. Pertama kelompok cerdik-cendikiawan yang cinta kebenaran, berpikir kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus dihadapi dengan h}ikmah, yakni dengan alasan-alasan, dalil dan h{ujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akal mereka. Kedua, kelompok masyarakat yang punya intelektual tinggi tetapi belum sampai ke batas/tahap kesempurnaan dan belum turun ke batas kekurangan, mereka ini dipanggil dengan mau’iz}ah al-hasanah, dengan ajaran dan didikan yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami. Ketiga, kelompok masyarakat yang wataknya menentang dan membangkang karena belum mempunyai pendirian tentang agama, dan belum punya sifat percaya. Mereka ini dipanggil dengan muja>dalah bi al-lati hiya ah}san, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat. Dalam hal ini metode muja>dalah bi al-lati hiya ah}san di gunakan untuk berdakwah kepada para ahli kitab. 2. Perkembangan Metode Dakwah Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah Islam. Dalam menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting peranannya. Hal ini dikarenakan suatu pesan, walaupun baik tapi jika disampaikan lewat metode yang tidak benar, maka pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan.50 Dalam tugas penyampaian dakwah Islamiyah, seorang da’i sebagai subjek dakwah 49

    Lihat al-Nawa>wi al-Jawwi, Mara>h Labi>d Tafsir Nawa>wi al-Tafsir al-Muni>r, juz 1, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Ara>biah, t.t), 469. Bandingkan juga Sulaiman ibn Umar al-‘A>ji>li al-Sya>fi>‘i, Tafsir al-Jamal ‘Ala al-Jalalain, juz 2 (Singapura: Maktabah wa Matba‘ah Sulaiman Mar‘i, t.t), 606. 50 M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), 33.

    29

    memerlukan seperangkat pengetahuan dan kecakapan dalam bidang metode. Dengan mengetahui metode dakwah, penyampaian dakwah dapat mengena sasaran, dan dakwah dapat diterima oleh mad’u (objek) dengan mudah karena penggunaan motode yang tepat sasaran. Seorang da’i dalam menentukan metode dakwahnya sangat memerlukan pengetahuan dan kecakapan di bidang metodologi. Selain itu, pola berpikir dengan pendekatan sistem (approach system), di mana dakwah merupakan suatu sistem, dan metodologi merupakan salah satu dimensinya, maka metodologi mempunyai peranan dan kedudukan yang sejajar dan sederajat dengan unsur-unsur lainnya seperti tujuan dakwah, objek dakwah, subjek dakwah maupun kelengkapan dakwah lainnya. Dengan menguasai metode dakwah, maka pesan-pesan dakwah yang disampaikan seorang da’i kepada mad’u sebagai penerima atau objek dakwah akan mudah dicerna dan diterima dengan baik.51 Masyarakat pada umumnya mengenal dakwah dengan sebutan, dakwah bi al-lisan (ucapan), dakwah bi al-h}al (perbuatan), dan dakwah bi alkitabah atau bi al-qalam (tulisan). Dalam perkembangan dakwah selanjutnya, tiga metode dasar tersebut dikembangkan lagi oleh pakar dakwah menjadi beberapa metode: Dr. Zaid Abdul Karim membaginya menjadi empat macam metode dakwah, yaitu: dakwah dengan hikmah, dakwah dengan pelajaran yang baik, dakwah dengan mendebat secara baik, dakwah dengan tidak harus mendebat dengan cara yang paling baik.52 Tidak jauh berbeda, menurut Slamet Muhaimin Abda metode dakwah ada empat macam. Pertama, metode dari segi cara, yaitu: tradisional (ceramah) dan modern (diskusi dan seminar). Kedua, metode dari segi jumlah audien, yaitu: dakwah perorangan dan dakwah kelompok. Ketiga, metode dari segi cara penyampaian, yaitu: cara langsung (tatap muka) dan cara tidak langsung (dengan bantuan korespondensi, penerbitan, televisi, radio). Keempat, metode dari segi penyampaian isi, yaitu: cara serentak dan cara bertahap.53 Munzier Suparta dan Harjani Hefni membaginya menjadi tujuh metode dakwah, yaitu: uswah h}asanah, nasehat, tabsyir wa tandzir (kabar gembira dan peringatan), wasiat, kisah, al-hiwar (dialog), dan as-ilah wa ajwibah (tanya jawab).54 Selain itu, Syamsul Munir Amin membaginya menjadi tujuh macam metode dakwah, yaitu: ceramah, tanya jawab, diskusi, propaganda, keteladanan, drama, dan silarurrahim.55 M. Quraish Shihab 51

    M. Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah, 33-34. Zaid Abdul Karim, Dakwah Bil-Hikmah, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), 33. 53 Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, (Surabaya: AlIkhlas, 1994), 80-87. 54 Harjani Hefni dk, Metode Dakwah, 99-344. 55 Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 101-105. 52

    30

    membaginya menjadi lima metode dakwah, yaitu: ceramah, diskusi, bimbingan dan penyuluhan, nasehat, dan panutan.56 Adapun menurut Asep Syamsul M. Romli istilah dakwah bi al-qalam mungkin masih terasa asing di telinga banyak orang, tidak seperti dakwah bi al-lisan dan dakwah bi al-hal. Penggunaan nama ‚qalam‛ merujuk pada firman Allah SWT, surah al-Qalam ayat 1 ‚Nun, perhatikanlah al-Qalam dan apa yang dituliskannya‛. Karena menyangkut tulisan, dakwah bi al-qalam bisa diidentikkan dengan istilah dakwah bi al-kita>bah (dakwah melalui tulisan).57 Dari berbagai macam metode dakwah yang dikemukakan oleh pakar dakwah di atas, dapat dikategorikan ke dalam beberapa metode, yaitu: a. Metode Ceramah Metode ceramah adalah metode yang dilakukan dengan maksud untuk menyampaikan keterangan, petunjuk, pengertian, dan penjelasan tentang sesuatu kepada pendengar dengan menggunakan lisan.58 Sementara itu Enjang dan Aliyudin menyebut metode ceramah dengan metode muha>darah.59 Menurut Quraish Shihab: ‚sampai saat ini, kenyataan menunjukkan bahwa metode ceramah masih merupakan metode yang paling banyak dilakukan. Dalam metode ini, penampilan merupakan faktor pertama yang dapat menentukan sukses atau tidaknya dakwah‛.60 b. Metode Tanya Jawab Metode tanya jawab adalah metode yang dilakukan dengan menggunakan tanya jawab untuk mengetahui sampai sejauh mana ingatan atau pikiran seseorang dalam memahami atau menguasai materi dakwah, di samping itu juga untuk merangsang perhatian penerima dakwah.61 Menurut Munzier Suparta dan Harjani Hefni metode ini termasuk dari pengembangan dakwah bi al-Muja>dalah. Kesan yang ditimbulkan melalui metode tanya jawab ini lebih kuat bila dibandingkan hanya dengan berkomunikasi satu arah (one way communication).62 c. Metode Kisah Kisah adalah salah satu kesenangan yang akan dapat langsung menembus relung hati. Sayyid Qutub mengatakan: ‚Tidak dapat 56

    M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan. 2000), 194. Asep Syamsul dan M. Romli, Jurnalistik Dakwah, Visi dan Misi Dakwah Bilqolam,

    57

    21.

    58

    Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 101. Enjang dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjajaran,

    59

    2009), 86.

    60

    M. Quraish shihab, Membumikan Al-Qur’an, 194 Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 102. 62 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 335. 61

    31

    dipungkiri bahwa kisah adalah salah satu metode untuk menyampaikan hakikat kebenaran ke dalam hati. Tampilan hidup dan menyelinap masuk kepada hati yang dalam, karena isi cerita adalah suatu yang pernah terjadi dalam sejarah perjalanan umat manusia‛. Metode termasuk dari bagian metode dakwah al-Mauidzatil Hasanah.63 Kisah-kisah penuh hikmah akan senantiasa menggugah hati setiap orang. Tidak banyak orang menyadari bahwa sesungguhnya kisah-kisah hikmah merupakan media yang sangat efektif dalam menyampaikan pesan-pesan moral dan keagamaan. Bahkan, bisa jadi kisah-kisah hikmah akan jauh lebih efektif dalam membentuk karakter dan kesadaran seseorang, ketimbang ajaranajaran moral yang disajikan secara kaku dan tekstual.64 d. Metode Munazarat (debat) Debat sering dimaksudkan sebagai pertukaran pikiran dan argumentasi (gagasan, pendapat) antara sejumlah orang secara lisan membahas suatu masalah tertentu yang dilaksanakan dengan teratur dan bertujuan untuk memperoleh kebenaran.65 Adapun Munzier Suparta dan Harjani Hefni menyebut metode ini dengan metode alhiwar.66 e. Metode Keteladanan Dakwah dengan menggunakan metode keteladanan atau demontrasi berarti suatu cara penyajian dakwah dengan memberikan keteladanan langsung sehingga mad’u akan tertarik untuk mengikuti kepada apa yang dicontohkannya.67 Akhlak yang mulia merupakan suatu yang mutlak dimiliki oleh da’i dalam mengembankan misi menyeru manusia ke jalan Tuhan, urgensi akhlak yang mulia bagi seorang juru dakwah adalah bahwa sebelum seorang da’i menyampaikan materi dakwahnya, pandangan mad’u tertuju pada apa yang dilihat dan didengar dari sifat dan karakter pribadinya.68 Dengan demikian, mad’u akan simpatik dengan sikap dan prilaku da’i yang seperti ini, memuliakan dan menghormatinya lantaran suci hatinya, bersih jiwanya, halus budi pekertinya, bijak akal pikirannya, dan tepat wawasan penalarannya. 63

    Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 301. Fathul Bahri An-Nabiri, Meniti Jalan Dakwah, Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: Amzah, 2008), 101. 65 Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 102. 66 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 315. 67 Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 103. 68 Faizah dan Lalu Muchsin Efendi, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2006), 194. 64

    32

    f. Metode Silaturahim (home visit) Dakwah dengan menggunakan metode home visit atau silaturahim, yaitu dakwah yang dilakukan dengan mengadakan kunjungan kepada suatu objek tertentu dalam rangka menyampaikan isi dakwah kepada penerima dakwah.69 g. Metode Propaganda (di’ayah) Metode propaganda adalah suatu upaya untuk menyiarkan Islam dengan cara mempengaruhi, membujuk massa secara massal dan persuasif, kegiatannya dapat disalurkan melalui pengajian akbar.70 h. Metode Mukatabat (tulisan) Metode mukatabat adalah metode dakwah yang dilakukan melalui tulisan-tulisan, kemudian tulisan-tulisan tersebut di sebarluaskan ke khalayak ramai. Kata Ali bin Abi Thalib ‚Tulisan adalah temannya para ulama‛. Kemampuan menulis telah menjadikan seorang Imam Al-Ghazali dapat mewariskan ilmunya lewat Ihya ‘ulumuddin dan kitabnya yang lain, Hasan Al-Bana, Abul A’la Al-Maududi, dan Quraish Shihab menggelorakan semangat kebangkitan Islam lewat artikel dan buku-buku mereka. Keunggulan dakwah bi al-Kitabah dibandingkan format dakwah bentuk lain adalah sifat objeknya yang massif dan cakupannya yang luas. Pesan dakwah bi al-Kitabah dapat diterima oleh ratusan, ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan orang pembaca dalam waktu yang hampir bersamaan.71 Topik dan metode dakwah harus berbeda-beda berdasarkan orang yang di dakwahi, dari sini akan terlihat kecakapan dan kecerdikan da’i dalam mencari kesesuaian antara orang yang didakwahi dan risalah yang disampaikan.72 Jika dalam kegiatan dakwah, metode berfungsi sebagai cara berdakwah, maka pendekatan berfungsi sebagai alat bantu agar penggunaan metode tersebut mengalami kemudahan dan keberhasilan. Selain metode, pendekatan menempati posisi yang berarti untuk memantapkan penggunaan metode tersebut dalam proses dakwah. Pendekatan dakwah adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses dakwah, umumnya penentuan pendekatan didasarkan pada mitra dakwah dan suasana yang melingkupinya. Sjahudi Saradj menyatakan, tiga pendekatan dakwah, yaitu pendekatan budaya, pendekatan pendidikan, dan pendekatan psikologis.73 Hal yang sama dikemukakan oleh Toto Tasmara, menurutnya pendekatan dakwah adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang mubaligh 69

    Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 104. Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 104. 71 Asep Syamsul dan M. Romli, Jurnalistik Dakwah, 23-25. 72 Zaid Abdul Karim, Dakwah Bil-Hikmah, 41. 73 Moh, Ali Aziz, Ilmu dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2009), 347. 70

    33

    (komunikator) untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang. Dengan kata lain pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandangan human oriented dengan menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.74 Penjelasan lebih komprehensif dikemukan oleh Samsul Munir Amin. menurut Samsul Munir Amin Pendekatan dakwah yang seharusnya dipahami dan dikembangkan oleh para da’i, meliputi:75 Pertama, pendekatan edukatif (pendidikan), yaitu pendekatan yang dilakukan da’i melalui pendidikan. Dengan pendekatan edukatif ini subjek dakwah akan mudah menjalankan aktivitas dakwah, terutama dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ajaran-ajaran Islam, baik kepada kelompok anak-anak, remaja, atau kepada orang dewasa sebagai sasaran dakwah. Kedua, pendekaktan sosiologis, yaitu pendekatan di mana seorang da’i dalam berdakwah memperhatikan situasi dan kondisi sosial masyarakat sebagai objek dakwah. Ketiga, pendekatan psikologis, yaitu pendekatan dakwah di mana seorang da’i harus mengetahui kondisi psikis objek dakwah sehingga materi dakwah tepat mengena sasaran. Keempat, pendekatan komunikasi, yaitu pendekatan di mana para da’i harus mampu berinteraksi dengan objek dakwah. 3. Dakwah Nabawi Para Nabi dan Rasul memiliki satu kesamaan, yaitu manusia-manusia pilihan, walaupun di antara mereka memiliki derajat yang berbeda-beda. Zat Allah ber-tajalli pada mereka. Selain itu juga Allah mendidik, mengayomi dan memberi mereka keunggulan di atas seluruh mahluk semesta alam. Tujuan dari diutusnya para Nabi dan Rasul adalah penghambaan diri kepada Allah (al-‘Ubu>di>yah). Lebih spesifik lagi, tujuan mendasar dari diciptakannya manusia adalah untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) dan menunaikan kewajiban kepada-Nya dengan cara yang benar.76 Kisah-kisah para Nabi dan Rasul mendapatkan porsi yang sangat besar dalam al-Qur’an, yakni termuat pada lebih dari 50 surah dalam alQur’an.77 Sejarah dakwah masa ini, dimulai dengan dakwah Nuh As, seorang 74

    Moh, Ali Aziz, Ilmu dakwah, 347. Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 48- 49. 76 Secara terperinci al-Qur’an menjelaskan alasan diciptakannya jin dan manusia, dan apa tujuan diutus para Nabi dan Rasul. Seperti dalam ayat: ‚ Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku‛ (QS. al-Dza>riya>t: 56), dan dalam ayat: ‚Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan 75

    kepadanya, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku‛. (QS. al-anbiya>’: 25. Lihat juga dalam QS. al-Nahl: 36. Muhammad Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>niyyah, terj. Awirkhan Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2007), 55-56. 77 Mahmud Abdul Latif, Pengemban Dakwah: Kewajiban dan Sifat-sifatnya, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 56.

    34

    Rasul pertama yang dakwah dan risalahnya diceritakan al-Qur’an dalam QS. al-A’raf: 59. Lebih terperinci lagi dakwah Nuh As, ini, di abadikan dalam salah satu surah al-Qur’an yang dikenal dengan QS. Nuh. Dalam surah ini dipaparkan secara jelas cara-cara Nabi Nuh dalam berdakwah, yaitu secara kontinuitas, berangsur-angsur, sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, serta kesabaran beliau atas kaumnya. Setelah Nuh As, datang Hud As untuk melanjutkan dakwah Nuh As. Setelah Hud As, datang Saleh As melanjutkan perjuangan Hud untuk menyebarkan dakwah. Setelah Saleh As, Allah juga mengutus Ibrahim78 yang dikenal dengan sebutan bapaknya para Nabi, untuk meneruskan apa yang dulu pernah dilakukan Saleh. Setelah Ibrahim Allah kemudian mengutus Luth, Yusuf, S{u’aib, Musa, Daud, Sulaiman dan Isa.79 Kisah Nabi Isa merupakan risalah terakhir, hingga akhirnya Allah mengutus penutup para Nabi dan Rasul, Muhhammad Saw.80 Terdapat perbedaan signifikan diutusnya Rasulullah Saw. diantara para Rasul dan Nabi yang lain. Beliau diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (Rahmatan li al-‘A
    78

    Ayat-ayat yang menceritakan dakwah Nuh tercantum dalam (QS. al-A’ra>f: 59, QS. al-Ankabu>t: 14, QS. al-Shu’ara>’: 117-118 dan QS. Hu>d: 36-37). Dakwah Hud diantaranya terdapat dalam (QS. al-A’ra>f: 65-72. QS. Hud: 53-58, QS. al-Mu’minu>n: 39-40, dan QS. alHa>qqah: 6-8). Dakwah Saleh diceritakan dalam (QS. Hu>d: 61-68, QS. al-A’ra>f: 77). Nabi Ibrahim terdapat dalam (QS. al-Shu’ara>’: 69-70 dan 71-79, QS. al-An’a>m: 74-83, QS. alBaqarah: 258. QS. al-Anbiya>’: 51-52 dan QS. al-Ankabu>t:26). 79 Setelah Ibrahim As, datang Luth, tatacara dakwahnya diabadikan dalam al-Qur’an (QS. al-A’ra>f: 80-84, QS. al-Hijr: 51-76 dan QS. Hu>d: 78-82). Kemudian Yusuf, (QS. alMu’min: 34 dan QS. Yu>suf: 111). Setelah Yusuf, Allah mengutus S{u’aib, (QS. al-A’ra>f: 8588, QS. Hu>d: 87-90 dan 94-95, QS. al-Shu’ara>’: 176-178 dan 185-190). Kemudian Allah mengutus Musa, (QS. T{a>ha: 43-44, 49-54, 57-59, 60-64, 70-71, 72-76 dan 77-79, QS. alQas}as}: 29-35 dan 36-40, QS. al-Shu’ara>’: 18-21, QS. al-Baqarah: 51-74, QS. al-A’ra>f: 130135). Nabi Daud, (Qs. al-Nisa>’: 163, QS. S{a>d: 17-20, QS. Saba’: 10, QS. al-Anbiya>’: 79). Nabi Sulaiman, (QS. Saba’:12-14, QS. S{a>d: 37-42). Nabi Isa, (QS. Ali ‘Imra>n: 49, 59, dan 5053. QS. al-Ma>’idah: 46 dan 112-115, QS, al-S{aff: 6, QS. al-Nisa>’:159 dan QS. al-An’a>m: 90). 80 Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah

    Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 69. Sibba>m al-S{iba>gh, al-Da’wah wa al-Da‘a>h baina al-Wa>qi‘ wa al-Hadaf wa Mujtama‘a>t ‘Arabi>yah Mu‘a>s}irah , (Damaskus: Da>r

    al-Ima>n, 2000), 34-35. 81 Muhammad Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah alInsa>ni>yah, terj. Awirkhan Muhammad ‘Ali>, 56-57.

    35

    melalui QS. al-Muddatstsir: 1-7. Dengan turunya dua ayat tersebut, Rasulullah memulai dakwah secara rahasia.82 Dakwah ini, dimulai dengan berdakwah di kalangan keluarga terdekatnya, langkah-langkah strategis pun dilakukan beliau untuk mengembangkan dakwahnya. Menurut Murodi, langkah pertama yang dilakukan adalah berdakwah secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Hal itu dilakukan karena selain perintah Allah, secara real Rasulullah belum mempunyai pengikut yang membantunya untuk menyebarkan ajaran Islam. Namun, beliau terus berusaha menjalankan ajaran Islam kepada keluarga dan kawan dekatnya. Karena itulah, orang yang pertama menerima dakwahnya adalah keluarga dan para sahabat dekatnya. Mula-mula istrinya, Siti Khadijah menerima ajakan tersebut, lalu pamannya yaitu Ali bin Abi Thalib, kemudian sahabat karibnya Abu Bakar, kemudian zayd bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya dan Ummu Aiman, seorang pengasuh nabi Muhammad sejak ibunya Siti Aminah masih hidup.83 Di antara sahabat dekat Rasul yang berhasil mengajak karibnya untuk menerima dakwah Islam adalah Abu Bakar. Abu Bakar dikenal sebagai seorang pedagang yang amat luas pergaulannya. Melalui Abu Bakar banyak orang yang masuk Islam di antaranya Utsman bin Affan al-Umawi, Zubair bin Awwam, Abdurrahman ibn ‘Auf al-Zuhri, Sa’ad bin Abi Waqqash alZuhri, Thalhah bin Ubaidillah al-Taimi, Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, alArqam bin Abi al-Arqam dan beberapa penduduk Makkah lainnya dari kabilah Quraisy, mereka langsung dibawa Abu Bakar ke hadapan Nabi Muhammad saw dan menyatakan keislamannya.84 Selain mereka, terdapat beberapa orang yang menyatakan sebagai Muslim. Dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Assabiquna alAwwalun, yakni orang-orang yang pertama memeluk Islam. seperti Salman bin Abd al-Asad al-Makhzumi dan dua orang saudaranya Qudamah dan Abdullah, Bilal bin Rabah al-Habsyi, Abu ‘Ubaidah Amri bin Jarrah dari bani al-Harits bin Fihr, Ubaidah bin al-Harits bin Abd Muthalib bin Abd Manaf, Sa’id bin Zaid al-Adawi dan istrinya yaitu Fathimah binti al-Khattab al82 Kustadi Suhandang, Ilmu Dakwah Perspektif Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 31-32. 83 Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw, (Jakarta: Kencana, 2013), 61. Lebih jelas baca Abi> Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisham al-Ma‘a>firi>, al-Si>rah al-Nabawi>yah li ibn Hisham, Tahqiq, al-Shaikh Ahmad Jad, Juz 1, (Kairo: Da>r al-Ghad al-Jadi>d al-Mans}u>rah, 2007), 125129. 84 Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw, 62. Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-Madkhal

    ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 76. Abi> Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisham al-Ma‘a>firi>, al-Si>rah al-Nabawi>yah li ibn Hisham, Tahqiq, al-Shaikh Ahmad Jad, Juz 1, 130.

    36

    Adawiyah (saudara Umar bin Al-Khattab), Khabbab bin al-Art, Abdullah bin Mas’ud al-Hudzail.85 Menurut Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri>, setelah diteliti dan di telaah , sesunguhnya jumlah mereka yang juga dikenal dengan sebutan Qadi>m al-Isla>m mencapai sekitar 130 sahabat, kendati demikian tidak di ketahui secara pasti apakah mereka masuk Islam sebelumfase dakwah secara terbuka atau setelah fase tersebut.86 Setelah tiga tahun Rasulullah melakukan dakwah secara rahasia, turunlah perintah Allah agar beliau melakukan dakwah secara terbuka di hadapan masyarakat umum.87 Langkah pertama yang dilakukan nabi Muhammad saw dalam berdakwah secara terbuka adalah mengundang dan menyeru kerabat dekatnya dari bani Muthalib. Kemudian Rasulullah mengumpulkan mereka dan mengajak mereka untuk masuk Islam akan tetapi semuanya menolak kecuali Ali ibn Abi Thalib. Langkah dakwah seterusnya yang dilakukan nabi Muhammad saw adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru ke segenap lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat bangsawan hingga hamba sahaya. Mula-mula Rasul menyeru penduduk Mekkah, kemudian penduduk negeri-negeri lain. Pertemuan dengan penduduk Mekkah dilakukan di bukit Shafa, Dalam pertemuan itu nabi Muhammad menjelaskan bahwa ia diutus oleh Allah untuk mengajak mereka menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Masyarakat Quraisy mendustakan Nabi dan menolak ajakannya untuk masuk Islam, di antara yang mendustakan itu adalah Abu Lahab dan istrinya. Akan tetapi meskipun begitu, Rasulullah terus berdakwah tanpa memperdulikan ejekan dan gangguan yang ditujukan kepadanya dan para sahabatnya yang lain. Bahkan beliau terus berusaha dan berjuang untuk menegakkan risalah Allah itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat Arab dan aktifitas dakwah Rasulullah semakin sering dan tegas.88 Seperti dakwah pada umumnya, dakwah Nabi mempunyai karakteristik. Sebagaimana menurut Ali Mustafa Yaqub, karakteristik dakwah Nabi saw atau sikap-sikap beliau dalam menjalankan dakwah antara lain adalah: 85 Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw, 62. 86 Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri>, al-Rah}i>q al-Makhtu>m: Bah}th fi> al-Si>rah alNabawi>yah ‘Ala> S{a>hibiha> Afd}al al-S{ala>h wa al-Sala>m, (Mesir: Da>r al-Wafa’, 2010), 81. 87

    ayat yang menerangkan dakwah secara terang-terangan ‚maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik (QS. al-Hijr: 94). 88 Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw, 62-65. Muhammad Abu> al-Fatah al-Baya>nu>ni>, al-

    Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah: Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i al-Naql wa al-‘Aql, 7778. Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri>, al-Rah}i>q al-Makhtu>m: Bah}th fi> al-Si>rah al-Nabawi>yah ‘Ala> S{a>hibiha> Afd}al al-S{ala>h wa al-Sala>m, 83-85.

    37

    a. Memberikan peringatan (al-Inzar) al-Inzar adalah penyampaian dakwah dimana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya. al-Inzar ini sering dibarengi dengan ancaman hukuman bagi orang-orang yang tidak mengerjakan perintah Allah dan RasulNya. Al-Qurán banyak menjelaskan Nabi Muhammad saw, begitu pula nabi-nabi sebelumnya, sebagai nazir atau munzir, yang berarti orang yang memberikan peringatan. Al-Qur’an juga menyebutkan mereka sebagai bashir atau mubashshir, yaitu orang yang memberikan kabar gembira. Al-inzar dalam dakwah ini umumnya ditujukan kepada orangorang kafir, atau orang-orang muslim yang masih suka berbuat maksiat.89 b. Menggembirakan (al-Tabsyir) Al-Tabsyir adalah penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang mengikuti dakwah. predikat bashir atau mubashshir ini lebih sedikit disebutkan dalam Al-Qur’an di antaranya karena: 1) Bahwa dakwah yang dilakukan nabi saw dan para nabi sebelumnya lebih banyak bercorak inzar daripada munzir. 2) Tipologi orang-orang yang perlu mendapatkan indzar jauh lebih banyak daripada tipologi orang-orang yang layak mendapatkan tabshir. 3) Pendekatan dakwah dengan corak inzar ini ditempuh karena pada dasarnya manusia itu sudah memiliki ‘keimanan dasar’ atau disebut dengan ‘tauhid rububiyah’ dimana secara fitrah semua manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir mengakui adanya pencipta alam raya ini. Bahkan iblispun mengakui bahwa ia diciptakan oleh Allah swt.90 c. Kasih sayang dan lemah lembut (al-Rifq wa al-Lin) Di antara karakteristik dakwah nabi saw, beliau dalam menjalankan dakwah bersikap kasih sayang dan lemah lembut. Sikap ini beliau lakukan terutama apabila beliau menghadapi orang-orang yang tingkat budayanya masih rendah.91 d. Memberikan kemudahan (al-Taisir) Agama Islam, didakwahkan nabi Muhammad saw sarat dengan kemudahan-kemudahan. Banyak aturan-aturan di dalamnya yang oleh sementara orang dianggap menyulitkan, ternyata tidak demikian. Orang yang tidak dapat menjalankan shalat dengan berdiri, ia boleh 89 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2000), 49-50. 90 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 50-51. 91 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 52.

    38

    shalat dengan duduk. Apabila shalat dengan dudukpun tidak dapat, maka ia boleh shalat dengan berbaring. Begitu pula dalam hal bersuci, apabila ia tidak mendapatkan air, atau secara medis dilarang menggunakan air, ia boleh bersuci dengan tayammum. Islam mengenal adanya dispensasi (rukhshah), yaitu kemudahan-kemudahan yang diperoleh karena adanya sebab-sebab tertentu.92 e. Tegas dan keras (al-syiddah) Di samping sikap-sikap yang lemah lembut dan tidak mempersulit, pada saat-saat tertentu Nabi saw juga menunjukkan sikap yang tegas dan keras. Sikap seperti ini biasanya beliau perlihatkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah aqidah, hak Allah, misalnya di mana orang-orang musyrikin Makkah pernah mengajak nabi untuk melakukan kompromi dalam peribadatan. Beliau dengan tegas menolaknya seraya membacakan ayat-ayat surah al-kafirun yang baru diturunkan kepada beliau. Dan dalam masalah di mana seorang sahabat, misalnya masih mau melanggar larangan padahal ia sudah mengetahui hal itu.93 f. Sarat dengan tantangan dan ujian (al-Tahaddiyat) Dakwah dan tantangannya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tantangan-tantangan ini terkadang berupa hambatanhambatan dakwah baik internal maupun eksternal yang sering berbentuk ujian-ujian hidup bagi pelaku dakwah itu sendiri. Adapun ujian internal di antaranya adalah ujian perjalanan kehidupan pribadi nabi, misalnya kisah kehidupan nabi saw yg memilukan ketika harus terlahir sebagai anak yatim kemudian disusul dengan meninggalnya ibunya ketika berusia enam tahun serta ujian-ujian yang lain yeng mengiringi pejalanan kehidupan pribadi nabi saw. sedangkan ujian eksternal misalnya, teror orang-orang musyrikin quraisy terhadap nabi saw bahkan mencoba ingin membunuh nabi saw. Dan sebagai insaninsan dakwah, para nabi justru yang paling parah menghadapi ujianujian hidup. Hal ini dituturkan sendiri oleh nabi saw ketika menjawab pertanyaan sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash, ‚siapakah orang yang paling pedih ujian hidupnya di dunia ini?‛ beliau menjawab, ‚para nabi, kemudian orang-orang yang tingkatannya mendekati nabi, dan seterusnya‛.94 g. Ofensif dan aktif (hujumi wa fa’ali) Dakwah adalah upaya yang bersifat ofensif karena ia memulai perbuatan lebih dahulu. Ia tidak bersifat difensif (bertahan) yang hanya berbuat apabila ada orang lain yang memulai. Dakwah juga bersifat 92

    Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 53-54. Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 55. 94 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 57. 93

    39

    aktif, karena ia merupakan upaya persuasif yang berusaha untuk meyakinkan pihak lain agar mau mengikuti isi dakwah tersebut.95 Dari beberapa gambaran di atas, dakwah yang dijalankam Nabi menunjukkan ajaran Islam yang seutuhnya. selain itu, praktik dakwah Muhammad96 mengajarkan dakwah harus disebarkan secara bijaksana melalui pendekatan, tindakan yang baik dan sistematis (manajemen yang tepat). B. Pesan Dakwah Dalam berdakwah, selain metode dakwah ada juga unsur penting yang tidak bisa dipisahkan dari proses kegiatan dakwah, yakni al-Ma>ddah atau materi dakwah (pesan).97 Pesan merupakan sekumpulan lambang. Lambang-lambang itu bersifat verbal dan nonverbal. Kata-kata yang diucapkan dengan volak disebut verbal vokal. Lebih jauh lagi Wilbur Schramm melihat pesan sebagai tanda esensial yang harus dikenal oleh komunikan.98 Atas dasar tersebut maka pesan yang akan dikirimkan harus dipersiapkan dengan baik agar bermakna. Lebih jauh lagi, diperlukan strategi dan perencanaan komunikasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi isi pesan. Ada beberapa jenis pesan, antara lain: informational messege (pesan yang mengandung informasi), instructional message (pesan yang mengandung perintah), dan motivational message (pesan yang berusaha mendorong).99 Ada begitu banyak pesan yang diwakili oleh lambang kata-kata, namun ada pula pesan yang diwakili oleh gerakan anggota badan, bunyi, dan bau, semua lambang itu harus diinterpretasi. Lain dari itu pesan yang memenuhi syarat adalah: pertama, pesan yang dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian komunikan. Kedua, pesan yang menggunakan lambang-lambang, yang mana lambang itu berkaitan dengan pengalaman yang samar antar komunikator dan komunikan. Ketiga, pesan yang membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan, serta menyarankan caracara untuk memperoleh kebutuhan tersebut. Keempat, pesan yang meyarankan langkah-langkah yang disesuaikan dengan situasi kelompok komunikan.100 95

    Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 62. Abdul Ghafar HJ. Don Jaffary Awang, ‚Knowledge management and its Impact on Islamic Da’wah: A Historical Perspective‛, dalam Journal of Islamic and Arabic Education . 1 (2), 2009. 63. http://journalarticle.ukm.my/770/1/10_1.pdf. (diakses: 21 Desember, 2013). 97 Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran (Jakarta: Paramadina 2004), 46. 98 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) 19. 99 Alo Liliweri, M.S, Komunikasi Antarpribadi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) 20. 100 Alo Liliweri, M.S, Komunikasi Antarpribadi. 20-21 96

    40

    Penyajian pesan juga dapat menetukan berhasil atau tidaknya upaya komunikasi yang dilancarkan seseorang kepada orang lain atau kepada kelompok dan organisasi. Wilbur Schramm menampilkan apa yang ia sebut ‚the condition of success in comunication‛ yakni kondisi yang harus dipenuhi jika menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang dikehendaki,101 antara lain: a. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan. b. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama mengerti. c. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut. d. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok di mana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.102 Tidak jauh berbeda dengan Wilbur Schramm, Reardon mengemukakan untuk menyusun pesan perlu diperhatikan tiga faktor, yaitu; tatabahasa, mengetahui dan mengenal orang lain, dan mengetahui situasi.103 Selaras dengan faktor-faktor dalam penyususan pesan, agar komunikasi efektif, maka hendaklah proses penyandian oleh komunikator harus bertautan dengan proses pengawasandian oleh komunikan.104 Materi (al-Ma>ddah) dakwah adalah masalah isi pesan yang disampaikan da’i kepada mad’u, pada dasarnya bersumber dari al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama yang meliputi akidah, syari’ah dan akhlak.105 Hal yang perlu disadari adalah bahwa ajaran yang diajarkan itu bukanlah semata-mata hanya berkaitan dengan eksistensi dan wujud Tuhan semata, namun lebih dari itu, ajaran yang diajarkan ialah berupa upaya menumbuhkan kesadaran mendalam agar mampu memanifestasikan akidah (keimanan), syari’ah (keislaman) dan akhlak (budi pekerti) dalam ucapan, pikiran, dan tindakan dalam kehidupan bermasyarakat.106 Hal ini dikarenakan, akidah yang benar menjadi dasar bagi ibadah yang benar, adapun ibadah yang benar menjadi dasar bagi akhlak individual maupun akhlak sosial yang baik dan benar. 101

    Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007) 64. Onong Uchjana Effendy, Dimensi-Dimensi Komunikasi (Bandung: Alumni, 1981)

    102

    37.

    103

    Alo Liliweri, M.S, Komunikasi Antarpribadi. 22 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. 19 105 Nurul Badruttaman, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher , 109. 106 Nurul Badruttaman, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, 109-110. 104

    41

    Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Menurut Safrodin Halimi yang mengutip pendapat Abdul Halim Mahmud mengemukakan bahwa, ada tiga unsur ajaran Islam sebagai materi dakwah yang harus disampaikan oleh da’i dalam berdakwah, yakni akidah, ibadah dan akhlak.107 Dari uraian di atas dapat dipahami ketiga aspek tersebut merupakan pondasi yang paling pokok dalam Islam. C. Etika Dakwah Hidup di era globalisasi, ditandai dengan revolusi informasi, dari hal inilah, diperlukan arahan (guidance) moral dan etika yang bersumber dari agama. Arahan yang langsung berasal dari Tuhan ini akan mendorong suatu bangsa hidup sejahtera dan bahagia dalam baldatun t}ayyibatun warabbun ghafu>r.108 Dalam pandangan Mulyadhi Kartanegara, manusia dipandang sebagai satu-satunya makhluk bermoral, yakni makhluk makhluk yang dapat dilatakan baik dan buruk. Lebih jauh menurutnya orang yang baik adalah orang yang memfokuskan dirinya untuk meraih tujuan penciptaannya. Adapun orang yang membiarkan dirinya terhalang untuk meraih tujuan penciptaannya dikatakan orang yang jahat.109 Kedudukan etika dalam kehidupan manusia menempati kedudukan yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh dan bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana etikanya. Apabila etikanya baik, dapat dipastikan sejahteralah lahir batinnya, namun sebaliknya, bila etikanya rusak, rusaklah lahir dan batinnya.110 Istilah ‚ethics‛ dalam bahasa Ingris berasal dari bahasa Yunani ‚ethos‛ yang bearti watak. Ethics (etika) adalah studi sistematik tentang sifat konsep nilai baik dan buruk, benar dan salah, dalam kaitannya dengan tingkah laku manusia. Namun demikian, konsep nilai paling penting dalam pembicaraan etika adalah tentang ide kebaikan.111 Meminjam penjelasan Mulyadhi Kartanegara, kajian etika merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu praktis. Disebut ilmu praktis karena sasaran dan tujuannya adalah ‚tindakan‛

    107

    Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 36. 108 Nurul Badruttamam, Dakwah Kalobaratif Tarmizi Taher, 39. 109 Mulyadhi Kartanegara, ‚Etika‛ dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam (Jakarta: Ushul Press, 2011), 386. 110 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) 1-2.

    111

    Lalu Ahmad Zainuri, ‚Etika Da’i dalam al-Qur’an: Studi Analisis Pada Surat alMuddtstsir‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005. 54.

    42

    manusia, dengan tujuan mengarahkan ‚tindakan‛ itu ke arah yang benar, sehingga menjadi orang yang baik.112 Etika Islam dapat ditemukan dalam sumber yang merentang luas mulai dari tafsir al-Qur’an hingga kalam, dari komentar filosofis atas Aristoteles hingga teks mistis sufi.113 Secara spesifik kajian etika dalam tradisi intelektual Islam, menurut Toshihiko Izutsu, sebagaimana dikutip Satera, bahwa al-Qur’an (sumber utama Islam) mengandung tiga katagori etik. Pertama, etika ketuhanan. Kedua, etika manusia dengan Tuhan (akhla>q li al-kha>liq). Ketiga, etika yang berhubungan dengan manusia terhadap manusia, selanjutnya disebut sistem etika sosial (akhla>q ma’a al-nas).114 Tidak jauh berbeda dengan Toshihiko Izutsu, menurut Fakhry, etika Islam telah dikembangkan kedalam beberepa bentuk: scriptural morality (moralitas skriptural), Moralitas skriptural adalah etika yang didasarkan sepenuhnya pada al-Qur’an dan hadis. Biasanya istilah-istilah kunci yang digunakan dalam bentuk ini sepenuhnya mengacu kepada al-Qur’an. Seperti: ‘adl (keadilan), khayr (kebaikan), birr (kebajikan), dan sharr (keburukan). Wacana ini dikembangkan oleh para teolog dan filosof dengan penuh ketelitian abstraksi dan analisis mereka berdasarkan metode-metode dan katagori-katagori diskursif yang berkembang pada abad 8 dan 9. Masuk dalam katagori ini biasanya para ahli tafsir dan ahli hadis.115 Kedua, theological moralitity (moralitas teologi), Keputusan-keputusan etiknya berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah, serta konsep kunci yang digunakan banyak meminjam argumen dalam filsafat. Etika teologis ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: rasionalis yang diwakili oleh mu’tazilah. Semi rasionalis yang diwakili Ash’ariyah, dan semi rasoinalis dan voluntarisme yang diwakili oleh zhahiriyah, terutama Ibn Hazm dan Ibn Taimiyah. Kedua nama terakhir menolak validitas argumentasi dialektis dan teologis dan menhgaruskan agar kitab suci sebagai sumber pokok kebenaran

    112

    Mulyadhi Kartanegara, ‚Etika‛ dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam, 377. Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia (Jakarta: Impressa, 2013), 28. 113 Daniel H. Frank, ‚Etika‛ dalam Seyyed Hossein Nasr dkk., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Kedua Seri Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), 1276. 114 Etika Ketuhana merupakan Katagori yang menunjukkan dan menguraikan namanama dan sifat-sifat Tuhan. Adapun etika manusia dengan Tuhan termasuk dalam katagori yang menyangkut hubungan etik dan tindakan-Nya terhadap manusia dengan cara yang etik pula, maka manusia pun dituntut untuk merespon sikap etik Tuhan tersebut.Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia, 29. 115 Lihat Mulyadhi Kartanegara, ‚Etika‛ dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam, 378-379. Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia, 31-32.

    43

    agama diinterpretasikan secara harfiah.116 Ketiga, philosophical moralitity (moralitas filosofis) Etika filosofis muncul sebagai sebuah wacana prmikiran yang mengadopsi dan member warna Islam pada pemikiran etika Plato dan Aristoteles serta Neoplatonisme. Sebuah sistem filsafat akhlak yang banyak dikembangkan oleh para filosuf Muslim dengan sentuhan teori-teori filsafat Yunani. Aliran ini, antara lain diwakili oleh Ibn Miskawaih, al-T{husi dan alDawwani yang lebih mengedepankan argument-argumen filosofis.117 dan keempat, religious moralitity (moralitas religius).118 Istilah kode etik lazimnya merujuk pada aturan-aturan atau prinsipprinsip yang merumuskan perlakuan benar dan salah. Dalam kaitannya dengan dakwah, pengertian etika dakwah adalah rambu-rambu etis yang dapat menghasilkan dakwah secara respontif.119 Dalam hubungan dengan etika dakwah inilah, para pemikir Muslim seperti; Toha Yahya Omar120 menjelaskan etika dakwah adalah perbuatan lahir yang dilaksanakan dengan maksud baik, sebab etika dakwah sangat berkaitan dengan pola tingkah laku, dan tata krama yang harus dilaksanakan oleh para da’i, seperti berlaku sopan dan jujur dalam bertingkah laku. Hal senada juga ditegaskan Ali Mustafa Ya’qub, menurutnya secara umum etika dakwah adalah etika Islam itu sendiri, di mana seorang da’i sebagai seorang Muslim dituntut untuk memiliki etika yang terpuji dan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku yang tercela. Namun secara khusus, dalam dakwah terdapat etika-etika tersendiri seperti: tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, tidak melakukan toleransi agama,121 tidak mencerca sesembahan lawan, tidak melakukan diskriminasi, tidak memungut imbalan, tidak mengawani pelaku maksiat, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui.122 116

    Lihat Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia, 31-32. Lihat juga Edi Amin, ‚Etika Dakwah: Kajian Kritis Profesionalisasi Dakwah‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004. 54. 117 Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia , 32. Lihat juga Edi Amin, ‚Etika Dakwah: Kajian Kritis Profesionalisasi Dakwah ‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004. 55. 118 Merupakan gabungan dari moralitas skriptural, teologis, dan filosofis. Lihat Satera Sudaryoso, Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia, 32. 119 Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 82. 120 Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah (Jakarta: Pertjetakan Negara, 1971) 19. 121 Toleransi yang dimaksud adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktu yang berbeda, prasangka, keinginan dan kepentingan. Adapun toleransi yang dibolehkan apabila tidak menyangkut dalam masalah akidah, dalam hal ini toleransi yang berujung untuk menjunjung kemerdekaan beragama. Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 37. Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 85. 122 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, 36-47.

    44

    Relevan dengan pendapat Ali Mustafa Ya’qub, Muhammad Sayyid al-Wakil mendefenisikan etika dakwah dengan akhlak yang harus dimiliki oleh para figur publik dan teladan bagi orang-orang yang ia dakwahi dengan kriteria: iman (percaya) kepada apa yang didakwahkan, memiliki qudwah hasanah (keteladanan yang baik), istiqamah, sabar menghadapi berbagai kendala dan penderitaan, lapang dada dan lemah lembut, tawad}u’ (merendah diri), dan zuhud serta tekun berdakwah.123 Lalu Ahmad Zainuri dalam penelitiannya menjelaskan ada lima etika da’i dalam berdakwah; yakni seorang da’i harus selalu mengagungkan Tuhan, berpenampilan bersih dan menarik, menjauhi dosa dan maksiat, tidak meminta balas jasa, dan yang terakhir sabar dalam berdakwah.124 Hal senada juga diungkapakan Safrodin Halimi, menurutnya etika alQur’an mempunyai sifat humanistik dan rasiaonalistik. Humanistik dalam pengertian mengarahkan manusia pada pencapaian hakikat kemanusiaan tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Sebaliknya bersifat rasionalistik bahwa semua pesan-pesan yang diajarkan al-Qur’an terhadap manusia sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia. Pesan-pesan al-Qur’an seperti ajakan pada kebenaran, keadilan, kejujuran, kebersihan, saling menghormati dan menghargai.125 Safrodin juga menjelaskan nilai-nilai etika dalam berdakwah yaitu; kejujuran dan keteladanan, ikhlas dan ketulusan, kasih sayang dan kelemah lembutan, kebebasan berkehendak dan memilih, keteguhan dan ketabahan, kerendahan hati dan sikap.Hal ini disebabkan orientasi etika dakwah untuk menggapai kebahagiaan transendental.126 Terdapat perbedaan dari penjelasan etika dakwah di atas, misalnya Toha Yahya Omar menjelaskan hubungan etika dan dakwah dengan menggunakan kalimat etika dakwah. Sedangkan Ali Mustafa Yaqub menggunakan istilah etika dakwah dan kode etik dakwah dengan istilah yang sama. Menurut Edi Amin, bila merujuk pada makna etika dalam kamus, maka Toha Yahya Omar benar menggunakan istilah etika dakwah. Sedangkan Ali Mustafa Yaqub tidak sepenuhnya salah. Ali Mustafa Yaqub akan lebih baik jika menggunakan istilah kode etik dakwah saja, tanpa menyamakannya dengan etika dakwah. Karena etika dakwah memiliki tiga makna, yang 123

    Muhammad Sayyid al-Wakil, Prinsip dan Kode Etik Dakwah , (Jakarta: Akademika Presindo, 2002) 106-137. Lihat juga Sibba>m al-S{iba>gh, al-Da’wah wa al-Da‘a>h baina al-Wa>qi‘ wa al-Hadaf wa Mujtama‘a>t ‘Arabiyyah Mu‘a>s}irah , (Damaskus: Da>r al-Ima>n, 2000), 142. 124 Lalu Ahmad Zainuri, ‚Etika Da’i dalam al-Qur’an: Studi Analisis Pada Surat alMuddtstsir‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005. 105-154. 125 Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 53. 126 Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 54-94 .

    45

    diantaranya adalah kode etik. Sedangkan pembicaraan Ali Mustafa Yaqub adalah seputar kode etik, bukan etika dakwah dalam arti yang lebih luas.127 Terlepas dari perdebatan dan perbedaan panjang di atas, penulis dalam hal ini, menegaskan sebagaimana diupayakan para pemikir di atas, bahwa para da’i tidak diperintahkan menyampaikan dakwah seenaknya saja, ada aturanaturan yang telah ditetapkan.128 Jelas bahwa dakwah Islam tidak bersifat memaksa, melontarkan isu yang bersifat fanatik, provokatif, celaan-celaan yang menimbulkan permusuhan, dan bukan pula aktifitas-aktifitas yang bersifat destruktif. Karena etika manusia memandang dakwah yang dipaksakan sebagai pelanggaran berat, maka itu dakwah Islam menghususkan penggunaanya secara persuasif.

    127

    Edi Amin, ‚Etika Dakwah: Kajian Kritis Profesionalisasi Dakwah ‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014. 65-66. 128 Syarat-syarat dakwah telah ditetapkan oleh Allah dan mereka mengemban wewenang yang sama dengan perintah dakwah. ‚ tak ada paksaan dalam agama, kebenaran

    telah nyata. Barang siapa yang menghendaki biarlah beriman: barang siapa tidak menghendaki, biarlah dia kafir, maka yang beruntung adalah dirinya sendiri dan barang siapa menolaknya maka yang celaka adalah dirinya sendiri ‛. (QS. 2:256. Lihat juga QS. 18:29,

    39:41). Adapun perintah dakwah secara persuasif termaktub dalam QS. 5:108, 3:176-177 dan 47:32. Lihat Harjani Hefni dkk, Metode Dakwah, 81-82. Jum‘ah Ami>n ‘Abdu al-Azi>z, alDa’wah Qawa>’id wa Usu>l, 86-87.

    46

    BAB III KONTRUKSI DAN SUBTANSI DAKWAH GULEN Bab ini akan membahas konsepsi dakwah Gulen yang lebih mengarah pada human oriented. Hal ini penting dibahas, mengingat dakwah humanis lebih mengedepankan nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan perenial. Sebelum memasuki ke pada pembahasan itu, penulis akan menjelaskan lebih dulu dasar-dasar dan kaidah-kaidah da’i dalam berdakwah, meliputi: membekali diri dengan ilmu pengetahuan, keselarasan kalbu dengan alQur’an, menggunakan cara yang disyari’atkan, dan melakukakn apa yang disampaikan. Hal ini penting dijelaskan, karena merupakan prasyarat da’i sebelum berdakwah. Adapun nilai-nilai (etika) berdakwah yang humanis meliputi: sikap kasih sayang, mengedepankan toleransi dan menjaga empati. Sebagai penutup dalam bab ini, akan diuraikan bagaimana urgensi dakwah pada masa sekarang. Kesimpulan bab ini bahwa konsep dakwah Gulen berorientasi kepada nilai-nilai yang benar-benar spritual, seperti sikap toleransi, kasih sayang, kesabaran, pengampunan (forgiveness), kedamaian batin (inner peace), keharmonisan sosial (social harmony) dan kejujuran (honesty). Hal ini diiringi dengan metode dakwah dalam al-Quran begitu humanis. Islam lebih mengedepankan perdamaian dan dialog dengan santun dan argumentatif (muja>dalah bi allati hiya ah}san). Hal ini tentunya harus dibudayakan, baik dalam konteks inter-religius, intra-religius, maupun antar peradaban. A. Dasar-dasar dan Kaidah-kaidah dalam Dakwah Dalam Islam, orang yang melakukan seruan dan ajakan (dakwah) biasa dikenal dengan istilah ‚da’i‛. Namun mengingat bahwa proses memanggil dan menyeru tersebut juga merupakan proses penyampaian (tabligh) pesan-pesan tertentu, maka dikenal juga dengan istilah (muballigh) yakni orang yang berfungsi sebagai komunikator.1 Adapun dalam pengertian Islam, menurut Samsul Munir Amin, da’i adalah orang yang mengajak kepada orang lain, baik secara langsung atau tidak langsung dengan katakata, perbuatan dan tingkah laku ke arah yang lebih baik menurut al-Qur’an

    1

    Kata da’i berasal dari bahasa Arab yang bearti orang yang mengajak. Dalam istilah ilmu komunikasi dikenal dengan istilah komunikator. Menunjuk pada pelaku (subjek) dan penggerak (aktivis) kegiatan dakwah, yaitu orang yang berusaha untuk mewujudkan Islam dalam semua segi kehidupan baik pada tataran individu, keluarga masyarakat, umat dan bangsa. Lihat A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Kencana, 2011) 73. Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: AMZAH, 2009), 68. Bandingkan dengan Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial (Semarang: Wali Songo Press, 2008), 32.

    47

    dan al-Sunnah.2 Sebagai pelaku dan penggerak dakwah inilah menunjukkan da’i memiliki kedudukan yang sangat penting, dikatakan penting karena da’i dapat menjadi penentu keberhasilan dan kesuksesan dakwah.3 Lebih jauh lagi, Munir Amin mensfesifikasi da’i dengan dua pengertian; pertama, secara umum da’i adalah setiap muslim atau muslimat yang berdakwah sebagai kewajiban yang melekat dan tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, yakni yang berjalan berdasarkan perintah ‚ba>lighu ‘a>ni walaw a>yah‛. Kedua, secara khusus da’i adalah mereka yang mengambil keahlian khusus (spesialis) dalam bidang dakwah Islam. Yakni dengan kesungguhan luar biasa dan dengan qudwah h}asanah.4 Hal senada juga diutarakan oleh Abdul Halim Mahmud, dalam pandangannya, dakwah yang dilakukan oleh da’i secara personal disebut dengan dakwah fardiyah. Dakwah fardiyah ini dipahami sebagai ajakan atau seruan ke jalan Allah Swt. yang dilakukan seorang da’i kepada orang lain secara personal dengan tujuan mengubahnya menjadi lebih baik dan diridhai Allah Swt.5 Selain dakwah fardiyah, ada juga dakwah yang dilakukan oleh sekelompok da’i, atau yang dikenal dengan istilah ‚da’wah jama’i‛ yang berarti dakwah kolektif.6 Seperti Abdul Halim Mahmud dan Samsul Munir Amin, ‘Abd alBadi’ Saqar memandang da’i sebagai arsitek sosial Islam. Saqar menegaskan lagi, da’i bukan sekedar aktor panggung yang hanya mengharap perhatian dan tepuk tangan para penonton. Tapi lebih utama lagi menurutnya, da’i yaitu mengubah manusia dari satu kondisi kepada kondisi lain yang lebih baik.7 Ilyas Ismail dalam penelitiannya mengemukakan bahwa da’i identik dengan dakwah itu sendiri. Hal ini menurutnya dikarenakan seorang da’i harus menjadi teladan dan penutan yang baik di tengah-tengah masyarakat. Untuk 2

    Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 68. A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah. (Jakarta: Penamadani, 2006), 311. Lihat juga A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam (Jakarta: Kencana, 2011) 73-74. 4 Syamsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 68-69. 5 Abdul Halim Mahmud, Dakwah Fardiyah, Metode Membentuk Pribadi Muslim, Trj. As’ad Yasin. (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 29. 6 Safrodin Halimi dalam penelitiannya mengemukakan, dalam konteks da’wah jama’i al-Qur’an pada beberapa tempat seringkali menyebut ‚da’i‛ dengan istilah ‚Us, (Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1979), 12-13. 3

    48

    itu, da’i harus memiliki sifat-sifat terpuji atau akhlak yang mulia. Lebih spesifik lagi dalam pandangan Ilyas Ismail, keluhuran budi ini menjadi salah satu pendorong yang memungkinkan masyarakat (mad’u) untuk dapat mengikuti jalan kebenaran yang diserukan sang da’i. Sehingga dalam hal ini ada tuntutan yang lebih bagi setiap da’i dibandingkan dengan kaum Muslimin pada umumnya.8 Dengan demikian, menurut Abdul Latif Uwaidah, setiap pengemban dakwah (da’i) harus memahami bahwa dirinya merupakan representasi atau perwujudan Islam. Konsekuensinya, seorang pengemban dakwah wajib menjadi seorang yang ‘A
    A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran

    Dakwah Harakah, 311-312. 9

    Muhammad Abdul Latif Uwaidah, Pengemban Dakwah Kewajiban dan Sifatsifatnya, trj. Arief B. Iskandar, ( Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 131-132. 10 Setiap da’i yang brdakwah, diisyaratkan harus memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Sebab, hubungan antara ilmu pengetahuan dengan cara berdakwah sangat erat. Terutama, memahami ilmu pengetahuan tentang agama. Sehingga da’i tersebut dapat menerangkan seputar ajaran agama itu dengan gamblang dan jelas. Kalau tidak, maka dakwah yang ia sampaikan tidak akan berguna, bahkan akan menjadikan audien menjauh dari jaran agama yang disampaikannya. Hal demikian itu, dikarenakan da’inya tidak menguasai ilmu pengetahuan untuk menerangkan materi dakwahnya secara baik dan tepat sasaran. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim alS{a>lih}i> (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008), 87-88.

    49

    Terkait masalah ilmu dan dakwah, serta bagaimana cara pengamalannya, Gulen menjelaskan, ilmu di alam semesta ini laksana mihrab Nabi Adam As. Setelah itu, tugas berdakwah dilanjutkan oleh para Nabi dan Rasul setelah beliau. Dalam hal ilmu dan dakwah inilah, Gulen menerangkan bahwa arti ilmu adalah pengenalan seseorang kepada Sang Maha Pencipta, kemudian mengenalkan Sang Pencipta kepada orang lain.11 Berikutnya, hendaklah ia mengenal Tuhan-nya dengan sebenar-benarnya pengenalan. Selain itu, dalam pandangan Gulen, perumpamaan manusia di dalam kehidupan ini, bagaikan seseorang yang sedang mendaki sebuah bukit yang tinggi. Kalau tidak berhati-hati menempatkan telapak kaki di posisi yang sebenarnya, maka sudah tentu akan terpeleset atau bahkan bisa terjatuh ke jurang yang dalam, yang mana ini bisa menyebabkan kebinasaan diri. Ini menunjukkan setiap ilmu pasti mempunyai tujuan tersendiri, yaitu mendorong seseorang untuk mengenal dan mencintai Tuhannya. Karena, jika ilmu tidak mendorong seseorang untuk mencintai Tuhannya, maka ilmu itu tidak berguna baginya. Hal ini menurut Gulen, ilmu harus menjadi sumber kehidupan bagi jiwa dan perasaannya. Adapun jika seseorang telah kehilangan sentuhan dari perasaannya, maka ilmu yang tersedia pada dirinya sama sekali tidak berguna.12 Oleh karena itu, ilmu menjadi landasan penting dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Hal ini disebabkan, dengan ilmu, kadar amal perbuatan yang utama dan sia-sia, tepat dan salah bisa diketahui.13 Lebih jauh lagi, dalam pandangan Gulen, banyak sekali ayat alQur’an yang menganjurkan manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Di antaranya ayat-ayat tersebut misalnya terdapat dalam QS. Al-Zumar: 9.             

    ‚Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.‛ Menurut Gulen, firman Allah Swt. di atas mengisyaratkan bahwa ilmu yang membawa manusia untuk mengenal Tuhannya dengan ilmu yang menghalangi manusia dari mengenal Tuhannya tidaklah sama. Adapun Orang yang membolak-balikkan halaman-halaman buku tanpa berusaha memahami isinya, menurut Gulen laksana seekor binatang pengerat yang mencari rahasia di balik tumpukan suatu benda. Sehingga ia tidak akan mampu memetik 11

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 88. 12 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 89. 13 Adil Abdullah al-Laili asy-Syuwaikh, Bersama Kereta Dakwah Sukses Berdakwah di Era Keterbukaan, trj. Asfuri Bahri, (Jakarta: Robbani Press, 2006), 143.

    50

    sedikit pun manfaat dari sejumlah buku yang dipegangnya. Menurut bahasa al-Qur’an, ia bagai seekor keledai yang memikul sejumlah buku. Dengan kata lain, buku-buku yang meski mengandung banyak sekali ilmu pengetahuan itu pun menjadi tidak berguna bagai seekor keledai. Akan tetapi, berbeda jauh dengan orang yang rajin membaca ilmu pengetahuan, dan ilmu itu menyebabkan ia mengenal Allah.14 Sebagimana menurut Gulen firman Allah QS. al-Fathir: 28.      

    ‚Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah para ulama.‛15 Berkenaan dengan ayat di atas, Gulen menjelaskan bahwa Allah memuji orang-orang yang berilmu, yang dengan ilmunya mereka dapat mengenal Allah dengan baik. Sehingga mereka selalu bertata-krama dan bersikap khusu’ terhadap Tuhannya. Lebih jauh lagi, menurut Gulen, firman Allah di atas didukung oleh sabda Rasulullah Saw. berikut ini; ‫إِنَّ ْال ُع َل َما َء َو َر َث ُة األَ ْن ِب َيا ِء‬

    ‚sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi.‛16

    Kesimpulan dari hadis di atas menurut Gulen, bahwa ada sekolompok manusia yang mengenal Allah melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Mereka itu adalah para Nabi. Sedangkan kita sebagai umat beliau tidak sampai pada tingkatan seperti mereka. Lebih spesifik lagi dalam pandangan Gulen, manusia dapat mengenal Allah ‘Azza wa Jalla melalui perantara cahaya yang keluar dari lisan para Nabi dan Rasul. Menurut Gulen, hal ini disebabkan, tidak seorang pun mampu mencapai pengenalan diri kepada Tuhannya, kecuali melalui sabda-sabda yang keluar dari lisan para Nabi dan Rasul. Ini menunjukkan para Nabi dan Rasul mendapatkan warisan pengetahuan langsung dari sisi Allah yang Maha Mangetahui.17 Lebih komprehensif lagi Gulen menjelaskan, Strata selanjutnya setelah para Nabi dan rasul adalah hamba yang shalih, yang oleh al-Qur’an 14

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 90. 15 yang dimaksud dengan ulama dalam ayat Ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. 16 Lebih lengkap matan dan sanad hadis ini dapat dilihat dalam kitab hadis yang ditulis oleh Muhammad ibn ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tarmidhi> al-Sulami>, Sunan al- Tarmidhi>, (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabi>, tt) juz: 10, 204. 17 Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang telah menyerahkan jiwa raga mereka kepada Allah. Adapun tugas mereka adalah menyampaikan risalah dengan sejelas-jelasnya. Sehingga apa yang mereka ucapkan dan sampaikan hanyalah apa yang dikehendaki Allah dengan gaya bahasa dan pola tutur yang diinginkan Allah Swt. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 90-91. Muhammad Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>niyyah, terj. Awirkhan Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2007), 67.

    51

    diisyaratkan sebagai pewaris isi bumi. Hubungan antara sabda Rasulullah di atas mempunyai hubungan yang relevan, karena hamba-hamba Allah yang shalih adalah orang-orang yang paling pantas menjadi khalifah Allah di muka bumi. Mereka adalah para ulama, dan mereka merupakan pawaris para Nabi. Sebab, para Nabi adalah manusia-manusia pilihan yang menyampaikan firman-firman Allah. Demikian pula halnya dengan para ulama. Karena para ulama adalah pewaris para Nabi, sehingga mereka juga mengenal Allah Swt dengan baik, yang berbeda dengan masyarakat awam. Semua itu disebabkan oleh kedudukan seorang yang berilmu lebih utama dari yang lain.18 Sebagaimana sabda Rasul yang berbunyi; ‫َفضْ ُل ْال َعال ِِم َع َلى ْال َع ِاب ِد َك َفضْ لِى َع َلى أَ ْد َنا ُك ْم‬

    ‚Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaanku di atas orang-orang yang paling rendah di antara kalian‛.19 Di sini dapat dapat diketahui ada satu titik penting, bahwa manusia sempurna yang mewarisi ilmu para Nabi tidak terlepas dari pancaran cahaya yang datangnya dari cahaya Rasulullah Saw. sebab, beliau merupakan matahari yang memancarkan sinarnya ke seluruh alam semesta. Dalam hal ini, menurut Gulen, jika seseorang telah mendapatkan pancaran cahaya Rasulullah Saw. maka insya Allah dengan rahmat Allah ia akan terusmenerus mengikuti jalan petunjuk, dan sekaligus menjadi orang baik.20 Sebagai tolak ukur, Rasulullah Saw. senantiasa bertata-krama dan berakhlak mulia. jika seseorang telah mendapatkan sebagian dari cahaya petunjuk Rasulullah Saw. maka oarang tersebut akan mampu mengembangkannya kepada orang lain, dan mengajak mereka mengikuti jalan kebaikan secara berkesinambungan, sampai menjadi manusia sempurna. Semua itu menurut Gulen, disebabkan orang tersebut senantiasa melakukan apa yang telah diajarkan oleh al-Qur’an melalui lisan Rasul-Nya. Sebab, jika tidak, maka al-Qur’an sendiri telah mengkritik sebagian orang yang tidak mau mengamalkan ajaran al-Qur’an. Seperti firman Allah dalam al-Qur’an QS. al-Baqarah: 146.               

    18

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 91. 19 Untuk lebih lebih jelasnya baca Muhammad ibn ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tarmidhi> alSulami>, Sunan al- Tarmidhi>, juz; 10, 207. 20 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i, 91.

    52

    ‚Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang Telah kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anakanaknya sendiri21 dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka Mengetahui‛. Dari ayat di atas menurut Gulen, akan selalu ada sebagian orang yang di beri tahu tentang ilmu pengetahuan (agama) secara lebih mendalam, akan tetapi mereka justru tidak mau mengamalkan ilmu yang didapatkannya itu. Hingga sedikitpun mereka tidak mendapatkan cahaya dari ilmu yang ada pada sisi mereka. Selanjutnya dalam pandangan Gulen, orang yang diberikan anugrah ilmu dan mau mngamalkannya laksana cahaya matahari yang senantiasa memancarkan sinarnya di siang hari. Namun sebaliknya, orang yang diberi pemahaman tentang suatu ilmu, namun enggan untuk mengamalkan apa yang diajarkan kepadanya, maka ia bagaikan sesuatu yang tidak berguna sama sekali. Memiliki anugerah ilmu dan tugas mengajarkannya kepada orang lain, atau dengan kata lain berdakwah, merupakan sesuatu yang identik laksana dua sisi mata uang. Ibarat sebuah logam mulia yang mempunyai dua tampilan serupa. Demikian pula mengamalkan ilmu yang dimiliki merupakan keharusan yang tidak bisa dipisahkan.22 Hal di atas menurut Gulen, orang yang mengamalkan ilmunya berarti telah mensyukuri anugerah yang diberikan oleh Tuhan-nya. Namun sebaliknya, jika seorang muslim tidak bersedia mengamalkan ilmunya, meskipun ia banyak melakukan ibadah, maka ia bagaikan orang yang bodoh, buta dan juga tuli. Apalagi jika ia diperintah untuk mengajak orang lain ke jalan keimanan, akan tetapi ia tidak menjalankannya dengan baik, maka ia telah mengkhianati ilmu yang dilimpahkan oleh Allah kepadanya. Orangorang muslim yang berilmu, dan ia tidak mau mengamalkan ilmunya, maka mereka semua akan menjadi objek cemoohan bagi orang-orang non-muslim yang selama ini telah menindas umat Islam. jadi, keimanan harus diikuti dengan pengamalan secara lahiriah, sehingga lahir dan batinnya tidak saling bertabrakan. Jika suatu masyarakat Islam mengerjakan secara baik ajaran Islam, maka kalbu, akal dan kehidupan mereka telah menyatu dalam kesempurnaan. Sehingga perbuatan mereka sesuai dengan fitrah kemanusiaan yang ada.23 21

    Mengenal Muhammad s.a.w. yaitu mengenal sifat-sifatnya sebagai yang tersebut dalam Taurat dan Injil. 22 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 92-93. Baca juga Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} alRu>h, terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>. (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008) 36-37. 23 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i, 93.

    53

    Lebih spesifik lagi Gulen menjelaskan, Jika suatu masyarakat tidak mengenal dengan baik agamanya, juga tidak mengenal Tuhannya, serta tidak memahami kitab sucinya, mana mungkin mereka akan mengajak orang lain ikut ke dalam agamanya. Sebab, orang lain akan memerhatikan praktik hidup umat beragama sebelum ia mengikuti ajakan yang diserukan. Jika seorang muslim hendak mengajak orang lain ke dalam agamanya, sedangkan ia sendiri sangat jauh dari aturan agama Islam, maka sudah tentu tidak akan mungkin orang lain akan tertarik untuk masuk ke dalam agama Islam. Akan tetapi, jika seorang muslim senantiasa menghabiskan waktunya untuk berdakwah, disertai menunaikan seluruh ibadahnya dengan baik di waktu pagi dan siang, juga seluruh kegiatan ia gunakan untuk mengingat Allah serta mengajak orang lain kepada jalan petunjuk, maka tidak mustahil apabila orang lain akan cepat mengikuti ajakan si muslim itu ke dalam aturan agamanya.24 Dari uraian di atas dapat dipahami, jika setiap muslim menjalankan perintah Allah Swt dengan baik, maka diharapka orang-orang di luar Islam akan berbondong-bondong masuk ke dalam pelukan Islam. Sebab sesungguhnya mereka telah mempelajari ajaran Islam dengan baik, dan mereka juga mengakui ajaran Islam adalah sistem hidup yang paling manusiawi dan paling sempurna. Namun, karena umat Islam sendiri tidak mau menjalankan apa yang menjadi ajaran agamanya dengan baik, maka tidak salah kalau orang-orang non-muslim segan untuk memeluk agama Islam. Bahkan, akhir-akhir ini mereka berusaha sekeras-kerasnya untuk menjauhi umat Islam. Sebagai kesimpulan, menurut Gulen, ajaran Islam merupakan aturan yang Allah Swt. tetapkan antara menyatukan ilmu dan pengamalan secara konkrit. Di antara keduanya tersedia apa yang disebut sebagai keimanan. Jadi, iman akan mendorong seseorang untuk mengamalkan ilmunya. Sebenarnya jika kita mau memetik pelajaran dari sejumlah kisah tentang amalan ibadah orang lain, maka hal itu sangat baik untuk diteladani. Mengingat, di dalamnya dapat diambil berbagai pelajaran hidup serta nasihat yang baik.25 Ajaran agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk menghayati antar Islam, iman, ilmu dan sekaligus pengamalannya. Adapun 24

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i, 93-94. 25 Dalam ajaran Islam ada dua perkara puncak; yakni mengamalkan dan menyebarkannya kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan mengamalkan Islam tanpa mendakwahkannya ke tengah-tengah masyarakat, baru merupakan setengah tuntutan Islam. Sebaliknya menyebarkan dakwah Islam tanpa mengamalkannya, juga baru setengah tuntutan Islam. Karena itu, tuntutan Islam tersebut belum dikatakan sempurna kecuali dengan menunaikan kedua-duanya secara bersamaan. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 94. Lihat juga Muhammad Abdul Latif Uwaidah, Pengemban Dakwah Kewajiban dan Sifat-sifatnya, trj. Arief B. Iskandar, 172.

    54

    sebaliknya, orang-orang yang suka berbicara tentang amal-amal Islam tanpa mengetahui keimanan dan pengamalan menurut aturan agama Islam yang sesungguhnya, maka ucapan mereka hanyalah bernilai sia-sia belaka. Dalam pandangan Gulen, manusia modern sekarang ini, lebih condong mementingkan pemikiran (akal logika), sehingga menurut Gulen banyak ditemukan orang di luar Islam, atau orang yang tidak beragama sekalipun berbicara atas nama ilmu pengetahuan. Pada saat para da’i harus berhadapan dengan mereka inilah paling tidak para da’i harus menggunakan cara yang sama pula, maka masalah ini sangat erat hubungannya dengan tuntutan atas pengetahuan yang tersedia. Sebab, entitas ilmu dan pengetahuan tidak bisa saling dipisahkan dari konteksnya satu sama lain. Hingga setiap muslim yang bertugas menyeru kepada ajaran Islam dituntut pula untuk mengetahui semua perkembangan ilmu yang ada di masanya.26 Dalam kegiatan mengajak ke jalan Tuhan inilah, menurut Gulen, seorang da’i yang tidak mengetahui perkembangan terkini dimasanya, maka ia bagai seorang yang hidup di alam kegelapan. Sehingga ia tidak akan bisa berdakwah secara maksimal untuk menyampaikan agama dan keimanan yang sesungguhnya kepada orang lain. Dari sini setiap mukmin harus memahami dan menyampaikan apa saja yang telah dipahami dalam pikirannya menggunakan cara yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di masanya. Lebih jauh lagi Gulen menjelaskan, Seorang da’i yang senantiasa mengikuti perkembangan masanya, akan menjadi da’i yang berhasil di dalam usaha dakwahnya. Hal ini, menurut Gulen, dapat dibuktikan dengan semua sabda Rasul dan tingkah laku Rasul yang dapat memberi pengaruh tersendiri di sanubari orang yang mendengar dan melihatnya. Menurut Gulen lagi, Rasulullah saw selalu berbicara menurut perkembangan akal manusia pada masa itu. Sebenarnya, seluruh perintah yang datangnya dari sisi Allah Swt. tidak pernah bertentangan dengan kejadian alam semesta ini. Kiranya cukup bagi seseorang mengetahui hikmah diciptakannya pribadi dan ruhnya. Sehingga ia dapat menyampaikan dakwah sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ada pada masanya.27 Hal yang sama pun dilakukan oleh para da’i Islam pada masa keemasan Islam. meskipun teknik dan penyampaiannya agak beda. Alhasil, 26

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 94. Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h, terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>, 37. 27 Demikian pula yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, mereka menyampaikan agama ini kepada orang lain sesuai dengan pengetahuan orang-orang yang ada pada masa itu. Sehingga segala bentuk nasihat yang terucap maupun petunjuk praktis yang mereka sampaikan dapat di terima secara baik oleh masyarakat yang ada di masa itu dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Semua pengamalan itu mereka peroleh dari bimbingan Rasulullah saw. Lihat Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 94-95.

    55

    mereka semua menyampaikan ajaran Islam kepada orang lain disesuaikan dengan perkembangan ilmu yang ada pada masanya masing-masing, hingga masa kini. Ini semua dapat dilihat dari para da’i Islam yang sukses pada waktu itu seperti Imam al-Ghazali, Imam Rabbani, Jalaluddin al-Rumi, dan para tokoh da’i lainnya. Akan tetapi, menurut Gulen, pada saat tongkat estafet dakwah ini berpindah tangan ke genarasi sekarang, maka semua itu diikuti dengan berbagai bentuk kekurangan. Sebab menurutnya, banyak dari da’i sekarang yang justru tidak memahami perkembangan ilmu pengetahuan di masa kini, sebagaimana yang dimiliki oleh para da’i terdahulu sehingga generasi sekarang menjadi korban dari kebodohan.28 2. Keselarasan kalbu dengan al-Qur’an Allah Swt menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah saw. selama 23 (dua puluh tiga) tahun; 13 (tiga belas) tahun di Makkah dan 10 (sepuluh) tahun di Madinah. Sebagaimana menurut Abdul Latif Uwaidah, Allah Swt menurunkan al-Qur’an dengan menggunakan bahasa arab yang sangat jelas, hal ini bukan sekedar agar menjadi mukjizat bagi Muhammad bin ‘Abdillah yang meneguhkan kebenaran kenabiannya, atau sekedar dijadikan oleh kaum Muslim sebagai metode dan lampu penerang untuk diamalkan dan diterapkan dalam kehidupan semata. Akan tetapi, al-Qur’an juga sebagai sarana beribadah bagi siapa saja yang mau mempelajari sekaligus mengajarkannya, menghafal sekaligus menjaga hafalannya, dan membaca sekaligus men-tarti>lkan bacaannya.29 Gulen menjelaskan, berdakwah merupakan tugas yang paling utama bagi setiap muslim meskipun hukum berdakwah fardhu kifayah dalam keadaan biasa, karena menegakkan amar ma’ru>f dan nahi munkar akan menyelamatkan umat manusia dari berbagai cobaan baik di dunia maupun di akhirat.30 Relevan dengan keutamaan dan pentingnya dalam mengamalkan isi kandungan al-Qur’an, menurut Gulen, keberhasilan seorang da’i dalam berdakwah tidak terlepas dari keselarasan kalbunya dengan petunjukpetunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebab, hubungan antara kalbu dengan

    28

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 95. 29 Al-Qur’an adalah firman Allah yang sangat agung dan tinggi, melampaui semua bentuk ucapan manusia yang ada. Karena itu, mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an adalah sebaik-baik pembelajaran dan pengajaran, menghafal dan memelihara hafalan al-Qur’an adalah sebaik-baik penghafal dan pemeliharaan hafalan, serta membaca dan membaguskan bacaan juga adalah sebaik-baik pembacaan dan pembagusan bacaan. Bahkan dalam hal ini, tidak ada sebuah pembacaan yang harus disertai dengan tarti>l kecuali bacaan al-Qur’an. Muhammad Abdul Latif Uwaidah, Pengemban Dakwah Kewajiban dan Sifat-sifatnya, trj. Arief B. Iskandar, 178. 30 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 176.

    56

    tuntunan al-Qur’an sangatlah dekat.31 Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah swt: ‚Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

    peringatan bagi orang-orang yang mau menggunakan fungsi akalnya, atau yang mau menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya‛. (QS. Qaf: 37).32

    Ayat di atas menurut Gulen, menjelaskan bagaimana hendaknya para da’i membekali diri dalam berdakwah, Para da’i dianjurkan untuk memfokuskan seluruh perhatian kepada isi al-Qur’an, karena seseorang yang dapat mengambil pelajaran dari al-Qur’an adalah yang bersedia dan mengikuti jalan yang tidak bertentangan dengan ketetapan-ketetapan dalam al-Qur’an. Apabila perhatian sorang da’i tidak sejalan dengan ajaran alQur’an, maka ketinggian nilai mukjizat al-Qur’an tersebut tidak akan bisa dinikmati. Akibatnya, ia akan berani menyamakan al-Qur’an dengan ucapan manusia biasa dalam perlakuannya terhadap al-Qur’an. Siapapun yang menilai al-Qur’an dengan penilaian seperti itu, maka ia tidak akan bisa mengamalkan ajaran al-Qur’an, meski ia banyak berbicara tentang alQur’an.33 Sebab, menurut Gulen al-Qur’an sendiri menyatakan: ‚Alif lam mim, Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa‛, (QS. al-Baqarah: 1-2).34 Dari penjelasan firman Allah di atas lanjut Gulen, dapat dipahami bahwa orang-orang yang bertakwa adalah manusia yang paling mulia, dan mereka paling mengerti dengan syari’at Islam yang sangat cocok dengan fitrah manusia. Perlu diketahui pula, bahwa seseorang yang tidak peduli dengan ajaran al-Qur’an, maka ia bukanlah orang yang bertakwa, karena kalbunya tidak dapat menerima petunjuk apapun dari al-Qur’an. Bahkan kalbunya telah tertutup rapat (mati), sehingga tidak dapat melihat kebenaran al-Qur’an.35 Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah swt: 31

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 96. 32 ayat yang dimaksud adalah:              33

    Sebagaimana diketahui bahwa di dalam al-Qur’an mengandung berbagai petunjuk, nasihat yang baik, sekaligus peringatan. Syarat utama agar bisa meresapi seluruh kandungan al-Qur’an ke dalam sanubari adalah dengan adanya keterbukaan kalbu atau bersedia menerima ajaran al-Qur’an. Oleh karena itu, setiap pembaca al-Qur’an hendaknya memusatkan pandangan dan pendengarannya kepada kandungan al-Qur’an. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 96. 34 Ayat yang dimaksud adalah:             35

    Seorang yang sanubarinya terfokus dan peduli kepada ajaran al-Qur’an, maka ia akan mampu memerhatikan segala kejadian yang ada di alam semesta sebagai ciptaan Allah

    57

    ‚Dan orang-orang yang beriman bertanya, ‘Mengapa tiada diturunkan

    suatu surah?’ Maka apabila diturunkan suatu surah yang jelas maksudnya, dan disebutkan di dalamnya perintah berperang, maka akan engkau lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam qalbunya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati. Dan kecelakaanlah bagi mereka‛, (QS. Muhammad: 20).36 Tata cara yang dipakai oleh setiap da’i dalam menyampaikan dakwahnya harus sesuai dan pantas dengan tuntunan syariat, karena untuk sukses dalam berdakwah tidak ada cara lain kecuali harus sesuai dan pantas dengan tata cara yang dicontohkan oleh syariat sebagaimana tata cara dakwah yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. 37 Selain itu pula, hendaknya setiap da’i mempunyai hati yang bersih dan lemah lembut terlebih ketika menyampaikan dakwahnya kepada orang lain, karena apabila hatinya kotor maka hubungannya dengan Allah akan kotor pula.38 Menurut Gulen, salah satu kelemahan manusia adalah adanya sifat individualisme. Jika sifat tersebut masih merajalela di hati manusia, maka ia tidak akan menjadi seorang da’i yang mukhlis sepenuhnya karena Allah, karena di hatinya masih tersimpan rasa sombong dan bangga diri. Dalam hal ini Gulen menegaskan bahwa, Ciri-ciri da’i yang mukhlis adalah yang selalu merendahkan hati tanpa unsur kepentingan pribadi, muncul darinya sifat-sifat harum secara fitrah tanpa ada unsur rekayasa sedikitpun, pandangan matanya syahdu dan ucapannya selalu menyejukkan hati, dan kalangan sekitarnya merasa nyaman dan bangga berada di dekatnya. Sifat terpuji tersebut dapat diperoleh dari visi ayat-ayat al-Qur’an dan gambaran biografi hidup Nabi Muhammad saw yang swt. sebaliknya, jika seseorang tidak dapat memerhatikan segala kejadian yang ada di alam semesta ini sebagai ciptaan Allah, maka ia tidak akan bisa menerima petunjuk apapun yang bersumber dari al-Qur’an Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa alH{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i, 96-97. 36 Ayat yang dimaksud adalah:                               37

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 177. 38 lebih jauh menurut Gulen, apabila seorang da’i ingin berhasil dalam dakwahnya, maka sanubarinya harus sesuai dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Hal ini menurutnya disebabkan, da’i yang mampu menyesuaikan sanubarinya dengan petunjuk-petunjuk alQur’an, maka da’i tersebut akan berhasil dalam dakwahnya, karena seorang da’i akan mampu mengambil pelajaran dari petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Lebih lagi apabila da’i bisa menyatukan kalbunya dengan tuntunan al-Qur’an. Sehingga diharapkan ia akan bisa menjadi seorang yang mempunyai sanubari lembut, bersih, penuh kasih sayang yang mulia dan berbagai sifat terpuji lainnya dan ia akan menjadi seorang mukmin yang sejati. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 174.

    58

    penuh dengan kesopanan, kesederhanaan, dan tidak pernah menyimpang sedikitpun dari kebenaran; dan itulah cara berdakwah yang terbaik.39 3. Menggunakan cara yang di syari’atkan Setiap orang yang menjalankan aktivitas dakwah, hendaklah memiliki kepribadian yang baik sebagai seorang da’i. Hal ini dikarenakan seorang da’i adalah figur yang dicontoh dalam segala tingkah laku.40 Da’i ibarat seorang guide atau pemandu terhadap orang-orang yang ingin mendapatkan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu, da’i sebagai petunjuk jalan harus mengerti dan memahami jalan yang boleh dilalui dan mana jalan yang tidak boleh di lalui oleh seorang muslim, sebelum ia memberi petunjuk jalan bagi orang lain. Oleh kerena itu, ia memiliki kedudukan yang sangat penting di tangah masyarakat. Dari kedudukannnya yang sangat penting di tengah masyarakat, seorang da’i harus mampu menciptakan jalinan komunikasi yang erat antara dirinya dan masyarakat. Ia harus mampu bertindak dan bertingkah laku yang semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin. Selain itu, para da’i juga harus mampu berbicara dengan masyarakatnya dengan bahasa yang dimengerti. Oleh karena itu, para da’i juga harus mengetahui dengan pasti latar belakang dan kondisi masyarakat yang dihadapinya.41 Mengingat bahwa pesan-pesan dakwah harus memperhatikan sisi-sisi penting, seperti; kedudukan orang yang diajak bicara atau yang didakwahi, situasi dan kondisi mereka, bahasa yang digunakan, dan kesungguhan dalam menerangkan inilah dalam pandangan Yusuf al-Qaradhawi, maka hendaklah para da’i menyampaikan pesan-pesan agama seperti penyampaian yang dilakukan para rasul Alaihimu al-Salam, yang dibakukan dalam firman Allah

    Ta’ala

    ‚maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang‛ (QS. al-Nahl:35) Lebih jauh menurut Yusuf al-Qaradhawi, ayat di atas menjelaskan pesan-pesan agama harus disampaikan dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan. Selain itu, para palaku dakwah (da’i) harus berhati-hati dalam 39

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i> (Kairo: Da>r an-Nail, 2006), 140-141. Untuk lebih jelas baca Muhammad Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>niyyah, terj. Awirkhan Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2007). Abi> Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisham alMa‘a>firi>, al-Si>rah al-Nabawi>yah li ibn Hisham, Tahqiq, al-Shaikh Ahmad Jad, (Kairo: Da>r alGhad al-Jadi>d al-Mans}u>rah, 2007). Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri>, al-Rah}i>q al-Makhtu>m: Bah}th fi> al-Si>rah al-Nabawi>yah ‘Ala> S{a>hibiha> Afd}al al-S{ala>h wa al-Sala>m, (Mesir: Da>r alWafa’, 2010). 40 Siti Muriah, Metodologi Dakwah kontemporer, (Yokyakarta: Mitra Pustaka, 2000), 27. 41 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 69.

    59

    menyampaiakan misi dan amanat yang diembannya. Tidak berbicara serampangan tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Hal ini menurutnya dikerenakan telinga dunia akan mendengar, kemudian menganalisanya.42 Seorang da’i harus memilih berbagai sarana yang dibolehkan untuk menyampaikan dakwahnya. Sebab, seorang da’i tidak akan berhasil sampai kepada sasaran dakwahnya, kecuali jika ia menempuh atau menggunakan berbagai cara yang dibolehkan oleh syari’ai Islam. Dalam hal berdakwah inilah, menurut Gulen, para da’i-da’i Islam sedikitpun tidak boleh menyampaikan dakwah kepada orang lain dengan cara-cara yang dilarang oleh aturan Islam. Karena, dakwah Islam adalah sarana untuk mengajak manusia kepada kebaikan, bukan mengajak manusia kepada keburukan. Oleh karena itu, menurut Gulen, seorang da’i harus melakukannya dengan cara yang baik, seperti tidak berbohong, mencaci maki, dan menyakiti pihak lain dengan tutur kata maupun perilakunya.43 Dalam hubungan menyampaikan dakwah dengan cara yang baik ini, menurut Gulen, Allah Swt akan menghilangkan keberkahan dan kedamaian dari sisi para da’i yang menggunakan cara dakwah yang tidak Islami. Adakalanya seorang da’i dapat menyampaikan materi dakwahnya di tengah ribuan umat, dan mereka mendapat sambutan yang hangat dari para pendengarnya. Akan tetapi, karena ia menggunakan cara yang tidak baik, maka apa yang ia sampaikan tidak akan mendapat berkah dari sisi Allah.44 Dalam proses kegiatan menyampaikan pesan-pesan agama inilah, menurut Gulen, seorang da’i tidak perlu menggunakan cara-cara yang tidak diridhai oleh Allah untuk menyampaikan materi dakwahnya. Seorang da’i hanya diperintahkan untuk menyampaikan dakwahnya dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan aturan Islam. Seorang da’i tidak berhak menggunakan cara-cara yang tidak Islami di dalam berdakwah. Sebagaimana yang banyak berkembang belakangan ini, banyak cara yang digunakan oleh para da’i untuk menyampaikan dakwahnya, meskipun ia harus bergurau yang tidak sehat, dan mengutip ucapan-ucapan buruk. Dengan kata lain, setiap da’i harus

    42

    Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M. Abdilah Noor Ridlo (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 55-56. 43 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 98. 44 Dalam pandangan Gulen, seorang da’i yang berdakwah kepada sejumlah orang saja, namun da’i tersebut menyampaikan dakwahnya dengan cara yang diridhai oleh Allah swt, maka nilai dakwahnya menyamai kuantitas dakwah kepada seribu orang. Sebaliknya, seribu orang pendengar dakwah, akan tetapi da’i yang menyampaikan materi dakwah tersebut tidak dengan cara yang diridhai Allah, maka kualitas dakwahnya justru tidak menyentuh seorang pendengar pun, karena bobot atau kapasitas keberkahannya yang berbeda. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim alS{a>lih}i>, 98.

    60

    menyampaikan dakwahnya dengan jujur, ikhlas, sungguh-sungguh, dan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an maupun al-Sunnah.45 4. Melakukan apa yang disampaikan Cara berdakwah yang paling mendekati keberhasilan menurut Gulen adalah, hendaknya para da’i hidup dengan apa yang ia sampaikan kepada umat atau pendengar dakwahnya, sebab, tujuan dakwah hanyalah untuk mengajak manusia ke jalan Allah swt yang lurus, dan seorang mukmin adalah siapa yang lahir maupun batinnya lurus. Jika hidup seorang mukmin setengah-setengah, maka ia dapat dikatakan sebagai seorang yang bersikap munafik. Oleh karena itu, seorang da’i harus bersih dari segala sifat yang tidak terpuji. Karena keimanan yang kuat bernilai sangat tinggi, dan ia tidak akan menyampaikan sesuatu kecuali yang baik serta lurus di setiap masa dan tempat.46 Perlu diperhatikan dan diamati lebih jauh, ketika setiap dakwah yang disampaikan tidak mengena di kalbu pendengarnya, maka dakwah semacam itu tidak akan berguna sedikitpun bagi mereka. Apalagi kalau para da’i-nya tidak mempunyai hati yang bersih dan ikhlas. Sehingga Allah swt tidak menurunkan berkah dan kebaikan di hati para da’i ini. Dakwah apa saja yang disampaikan oleh para da’i, akan tetapi apa yang disampaikan tidak dijiwai oleh para penyampainya sendiri, maka dakwah semacam itu tidak akan memberi pengaruh sedikitpun di kalbu para pendengarnya. Seharusnya dalam diri da’i tidak ada pertentangan antara lahir dan batin mereka di segala bidang, baik itu pada saat mereka tengah sendirian maupun ketika bersama orang banyak. Jika seorang da’i melakukan suatu kesalahan, hendaknya ia segera memperbaiki kesalahannya itu, agar perhitungannya di hadapan Allah swt tidak memberatkan dirinya. Dalam pandangan Gulen, berikut upaya yang harus dilakukan oleh para da’i agar dakwahnya dapat diterima dengan baik: a. Menjadi Teladan yang Baik Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para da’i adalah para penyampai pesan-pesan Allah Swt dan Rasul-Nya tentang kebenaran 45 Teknik metodik yang digunakan dalam berdakwah bersifat fleksibel dan kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat di mana dakwah diterapkan. Cara dakwah ini meliputi beragam dimensi, baik dimensi psikologis, sosiologis maupun teknologi. Adapun secara psikologis, Islam telah memberikan tuntunan berdakwah yang baik dan efektif terhadap ranah kejiwaan manusia, sehingga bisa memperoleh simpati dari masyarakat; antara lain dakwah dengan h}ikmah, mauiz}ah, dan mujadalah yang baik. Al-Qur’an sendiri bahkan melarang cara berdakwah dengan sikap dan hati yang keras lagi kasar. Karena hal itu justru mnyebabkan audiens akan menjauh dari Islam. Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial (Semarang: Wali Songo Press, 2008), 37. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 99. 46 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 120-121.

    61

    ajaran agama. Untuk misi dan tugas yang mulia ini, tentu kualifikasi dan syarat kelayakan, terutama dalam bentuk sifat-sifat terpuji mutlak harus dipenuhi. Hal ini dikarenakan, para da’i pencitra dakwah. Jika mereka baik, maka dakwah akan dicitrakan baik. Begitu pula sebaliknya. ‚alDa’wah Mahju>bah bi al-Du’a>t‛ begitulah kemuliaan dakwah seringkali tertutupi dan tidak dirasakan oleh umat. Justru karena pelaku para da’i yang bertolak belakang dengan citra dakwah.47 Menyampaikan dakwah di tengah masyarakat Islam bukan semata tugas yang mesti ditunaikan, akan tetapi lebih mencakup kepada segala aspek kehidupan. Dalam pengertian, membentuk kepribadian setiap individu masyarakat sesuai ajaran Islam pada keseharian mereka. Dalam pandangan Gulen, dakwah tidak tergolong sukses pada diri seseorang jika hanya diukur dengan kerajinannya berangkat ke masjid, pulang dari ibadah haji, atau ikut hadir di hari besar islam; seperti perayaan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Lebih jauh menurut Gulen, da’i bisa disebut sukses bila berhasil mengubah perilaku pendengarnya dalam segala aspek hidupnya bukan hanya sekedar penampilan luarnya saja.48 Dalam pandangan Gulen, jalan dan tantangan dakwah saat ini masih seprti dahulu, hanya saja terdapat sedikit perbedaan pada polanya. Adapun yang sukses dalam berdakwah adalah gerakan yang terpancar dari keimanan, dan jauh dari unsur campur tangan kepentingan pribadi yang mengandalkan bentuk atau tampilan luarnya saja. Intinya, seorang da’i harus mengatur segala tindak-tanduknya dalam hidup untuk menjadi teladan bagi yang lainnya. Kemanapun seorang da’i pergi, ia harus memerhatikan misi yang ia bawa, kemudian ia terapkan dalam gerakgeriknya.49 Dalam konteks posisi da’i yang cukup tinggi, baik dimata Allah Swt. maupun di mata manusia, maka menjadi wajar kemudian da’i menjadi sorotan dan bahan perbincangan umat. Ibn Qa>yim menegaskan 47

    Atabik Luthfi, Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, (Jakarta: al-I’tishom, 2011), 43. 48 Perubahan penampilan luar telah memberikan kepuasan bagi sebagian da’i, hanya saja semua cara ini telah jauh dari target utama dawah di masyarakat. Intinya, penyebab utama merosotnya moral masyarakat Islam lantaran tidak adanya amar ma’ruf nahi munkar secara merata dan bernilai signifikan. Tugas sebagai da’i, merupakan tugas yang sangat mulia di masa kini. Tugas ini harus diemban oleh setiap individu muslim. Sebab, kerusakan moral telah melanda di mana-mana, serbuk kehancuran moral itu pertama menyerang satu orang, kemudian menular kepada yang lain, hingga merata ke seluruh lapisan masyarakat. Perlu diyakini, bahwa tugas ini merupakan bukti keimanan kita yang harus dikedepankan dari perkara lainnya. Sejak dahulu sampai sekarang mereka yang membela agama ini terbukti adalah mereka yang kuat sekali keimanannya.Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 123-124. 49 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 124.

    62

    sebagaimana yang di kutip Atabik Luthfi, pentingnya seorang da’i untuk mengukur dirinya dengan kemuliaan dakwah, serta memposisikan diri sesuai dengan posisi dakwah yang tinggi. Ini merupakan suatu kemuliaan sekaligus satu amanah yang berat, yang memang hanya bisa diemban oleh manusia yang mulia dan tinngi.50 Inilah pola hidup para nabi dan para shalihin. Setiap gerak dan langkah mereka menuntun manusia ke jalan Allah swt. mereka telah menyampaikan dan menerapkan misi yang mereka bawa secara simultan. Berbeda dengan mereka yang bertolak belakang antara perbuatan dan ucapannya. mereka menyesatkan banyak orang yang mengekor kepada apa yang mereka sampaikan, sehingga semuanya terjatuh ke dalam lembah yang sama, kebinasaan. Allah Swt. mewahyukan kepada nabi Allah ‘Isa as, ‚Yang pertama, bimbinglah dirimu menuju keridhaan-Nya. Kalau sudah tunduk, barulah engkau menasehati orang lain. Sebab, kalau tidak demikian, malulah engkau kepada-Ku dalam menasehati orang lain‛.51 Menurut Gulen, nasihat ini bukan hanya ditujukan kepada nabi ‘Isa as dalam arti statusnya sebagai rasul-Nya. Akan tetapi, nasihat tersebut juga mencakup seluruh rasul dan setiap orang yang bergerak di bidang dakwah. Sebagaimana Allah swt telah menjelaskan di dalam al-Qur’an:           

    ‚Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?‛(QS. al-Baqarah: 44). Menurut Gulen, ayat ini merupakan ancaman keras bagi bani Israil di masa itu, dan pelajaran yang bisa dipetik oleh kaum muslim di masa ini adalah, janganlah kalian menyuruh sesuatu yang tidak kalian lakukan. Sebab, perbuatan yang bertolak belakang dengan ucapan merupakan penipuan. Oleh karena itu, banyak dari para da’i yang tidak diterima oleh

    50

    Lebih lanjut Ibn Qa>yim membuat analogi (perumpamaan) seorang da’i seperti seorang yang memagang jabatan strategis di pemerintahan yang mempunyai kewenangan memberi persetujuan atas nama raja. Sehingga dalam pandangan Ibn Qa>yim, sosok ideal seorang da’i adalah yang memenuhi beberapa kualifikasi berikut: pertama, memiliki landasan ilmu apa yang disampaikan (al-Ilmu bi ma yuba>ligh). Kedua, jujur dan benar terhadap apa yang disampaikan (al-S{idq fi ma yuba>ligh). Ketiga, baik dalam cara penyampainnya (h}asanah t}ari>qah fi al-Tabligh). Keempat, baik di dalam menjaga citra dan perilaku di tengah-tengah manusia. Kelima, adil pada ucpan dan perbuatan (al-‘Adl fi> aqwa>lihi wa af’alihi). Atabik Luthfi, Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, 45. 51 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 124.

    63

    masyarakatnya, bahkan tidak dipercaya oleh mereka, lantaran mereka mengucapkan sesuatu yang mereka sendiri tidak melakukannya.52 Dalam konteks dakwah ini menurut Muhammad Abduh, kekuatan inti yang menggerakkan roda dakwah adalah para da’i. Keteladanan yang baik dari para da’i merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan dalam perjuangan dakwah. Hal ini dikarenakan umat sekarang sangat membutuhkan kehadiran seorang teladan yang bisa dijadiakan contoh yang bisa diikuti. Dengannya mereka bisa menutupi kekurangan mereka dengan bercermin dari sosok yang mereka teladani. Sehingga merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri, bahwa keteladanan yang baik merupakan sarana pendidikan dan perubahan ke arah yang lebih baik.53 b. Ketegaran dan Kesabaran Sudah menjadi sunnahtullah, kalau dakwah selalu menghadapi tantangan dan rintangan di setiap kondisinya. Apalagi kaitannya cukup erat dengan pengenalan manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena inilah asas utama hidup manusia dalam mencapai kebahagiaan. Tanpa semua ini, maka tidak akan ada gunanya wujud manusia di muka bumi. Inilah pentingnya manusia mengetahui keagungan tugas berdakwah, agar hidup mereka menjadi lebih bermanfaat dan bermakna. Sekecil apapun usaha menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, tidak boleh dihapuskan sama sekali dari kemuliaan nilainya. Sebab, usaha ini sangat berguna bagi orang-orang beriman, sehingga mereka mencapai kebahagiaan hidup di alam dunia maupun akhirat kelak. Menurut Gulen, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah termasuk perintah keimanan. Siapa saja yang melakukannya dengan baik, maka ia termasuk orang-orang yang menjaga keimanannya. Hendaklah setiap mukmin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, meskipun sebatas pada lingkup keluarga kecil dan rumah tangganya. Tanpa hal itu, maka mereka akan mendapat dampak negatif, seperti yang ditampakan kepada Bani Israil.54 Sedangkan para da’i yang bersikap ikhlas menurut Gulen, senantiasa menanti datangnya berbagai cobaan, karena mereka yakin bahwa mereka 52

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 125. 53 Sejarah telah mencatat, bahwa tersebarnya Islam ke segenap pelosok adalah karena kpribadian para da’i yang memancarkan kebaikan pada seluruh umat manusia terutama akhlak pemimpin dakwah yaitu Rasulullah saw. seperti yang dijamin oleh Allah Swt dalam FirmanNya, ‚sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung ‛. Atabik Luthfi, Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, 45-46. 54 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 126. Lihat juga Muhammad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita:

    Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, trj. Fuad Syaifudin Nur dan Syarif Hade Masya, (Jakarta: Republika, 2013), 176-177.

    64

    tidak akan sukses selama mereka tidak dicoba seperti orang-orang yang pernah menegakkan kebenaran di masa lalu. Mereka berharap mampu menghadapi berbagai bentuk cobaan dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, jika mereka diterima dengan baik, maka mereka akan banyak bersyukur kepada Allah Swt. atas karunia-Nya, dan mereka akan melanjutkan tugas suci itu hingga akhir hayat.55 c. Menjauhkan Diri dari Kemunafikan dalam Berbicara Menurut Gulen, Seorang da’i harus selalu merasa bahwa dirinya senantiasa diperhatikan oleh Allah swt, dan hendaknya ia selalu memperhitungkan perbuatan yang dilakukan pada setiap waktunya. Ia akan berusaha selalu berbuat kebaikan, seperti ketika ia mengajak orang lain untuk berbuat yang sama. Sedikitpun ia tidak akan pernah melakukan kejahatan yang pernah ia larang orang lain dari mengerjakannya. Ia akan selalu mengajak orang lain ke jalan yang baik, dan ia selalu takut kalau dirinya terjatuh dalam lingkaran kemunafikan. Oleh karena itu, ia akan selalu bersikap ikhlas. Lebih jauh menurut Gulen, Rasulullah saw pernah menerangkan dalam sebuah hadis yang sangat menakutkan bagi setiap mukmin yang suka menasehatkan kebaikan kepada orang lain, seperti yang disebutkan dalam sabda beliau berikut ini, ‚Sesungguhnya yang paling aku takutkan terjadi pada umatku adalah kemunafikan dalam berbicara‛.56 Lebih spesifik lagi Gulen menjelaskan, seorang mukmin yang sejati akan selalu merasa takut kalau dirinya terjerembab ke dalam lubang kemunafikan. Oleh karena itu, setiap saatnya ia merasa untuk menyampaikan nasihat yang baik kepada orang lain. Penjelasan hadis di 55

    Seorang mukmin yang mukhlis dan bersungguh-sungguh antara perbuatan dengan tutur katanya, menurut Gulen, ia tidak akan berdusta seperti apa yang dilakukan oleh orangorang munafik. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Qur’an. Dengan kata lain, siapa saja yang berusaha menerangkan tentang agama ini, keimanan, al-Qur’an, dan nilai-nilai keislaman. Maka hedaknya ia meluruskan perbuatan mereka sesuai dengan tutur kata yang mereka ucap. Sekecil apapun hendaknya mereka tidak melakukan perbuatan dosa dalam hidupnya. Dan, hendaknya pula mereka menganggap perbuatan dosa itu sebagai sesuatu yang sangat membahayakan bagi diri mereka. Jika mereka sampai melakukan perbuatan dosa yang terpublikasi, mereka akan merasa tersiksa, dan akan menderita kekecewaan yang sangat mendalam sepanjang hidup. Sehingga mereka harus selalu memohon ampunan. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 126-127. Lihat juga Muhammad Fathullah Gu>lan, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, terj Asrin Wurkhan Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r Ni>l, 2008), 62. 56 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 127. Bandingkan Muhammad Fathullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. terj Mehmet Unal, (New Jersey, Tughra Books, 2011), 162

    65

    atas termasuk ancaman bagi para pelakunya. Adakalanya sejumlah da’i terus menerus berdakwah di berbagai media masa, akan tetapi wajah mereka tidak pernah terlihat sebagai orang-orang yang ahli sujud, kalbu mereka kosong dari sikap keikhlasan, dan pribadi mereka terlihat tidak jujur. Dalam pandangan Gulen para da’i mempunyai posisi yang sangat penting. Sebagaimana Gulen memberikan perumpamaan: ‚Imam yang bodoh bisa melenyapkan agama dan dokter yang bodoh bisa melenyapkan nyawa.‛ Dari perumpamaan di atas mengisaratkan bahaya da’i yang bodoh lebih besar daripada dokter yang bodoh, karena kebodohan dokter dan bahayanya terbatas pada kehidupan jangka pendek di dunia, sementara da’i bodoh merusak kehidupan abadi.57 Al-Qur’an banyak menyebut sifat-sifat baik orang-orang yang berdakwah, dan al-Qur’an juga memperingatkan mereka dari sifat-sifat kemunafikan. Agar orang-orang beriman tidak terjerembab ke dalam nilai-nilai kemunafikan. Seperti yang telah disebutkan oleh Allah swt dalam firman-Nya berikut ini;                              

    ‚Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. dan jika mereka berkata kamu mendengarkan Perkataan mereka. mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar, mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. mereka Itulah musuh (yang sebenarnya) Maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?‛ (alMunafiqun: 4). Menurut Gulen, Penjelasan dari firman Allah Swt. di atas menunjukkan bahwa kaum munafik selalu berlawanan antara kata dengan perbuatannya. Bukan itu saja, sebagaimana yang diterangkan oleh al-Qur’an, bahkan gerak-gerik badan mereka, perbuatan mereka, juga ucapan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah kaum munafik. Mereka mampu mengumpulkan orang banyak, dan mengajak mereka 57

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 128. Baca juga Muhammad Fathullah Gu>lan, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, terj Asrin Wurkhan Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r Ni>l, 2008), 78.

    66

    mengikuti tutur kata mereka. Sehingga para pendengar itu bagaikan orang-orang yang tengah terkena sihir oleh tutur kata mereka. Padahal sesungguhnya mereka adalah musuh yang nyata bagi masyarakat.58 Al-Qur’an menyebutkan sifat orang-orang munafik sejelas itu, agar orang-orang beriman tidak sampai tertipu oleh perbuatan mereka yang mengajak manusia dengan nama agama, kesatuan, dan persatuan. Sementara itu, mereka sendiri tidak pernah melakukan (mengamalkan) semua perintah tersebut sedikitpun. Al-Qur’an mengancam orang-oang munafik itu dengan ancaman yang sangat keras, agar orang-orang yang beriman tidak memberi kesempatan sedikitpun bagi mereka untuk hidup di tengah orang-orang yang beriman. Firman Allah swt di atas menurut Gulen, akan membuat kalbu setiap da’i yang mukhlis menjadi gemetar. Sebab, da’i yang mukhlis takut kalau ia sampai terjerembab ke lembah kemunafikan. Oleh karena itu, da’i yang mukhlis akan selalu berhati-hati dalam tutur kata dan perbuatannya, agar ia terhindar dari ancaman Allah, seperti yang ditujukan kepada orang-orang munafik.59 d. Bukan karena Kepandaian dalam Beretorika Dalam pandangan Gulen, pengaruh tutur kata dan perbuatan seorang da’i bagi para pendengarnya bergantung kepada besar-kecilnya keikhlasan. Jika seorang da’i tidak ikhlas, maka tutur katanya tidak akan berpengaruh sedikitpun di kalbu para pendengarnya. Artinya, sampainya petunjuk ke kalbu seseorang tidak bergantung kepada kehebatan orasi sang da’i, akan tetapi lebih karena pertolongan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Sebagaiman yang telah disebutkan Allah di dalam firman-Nya berikut ini,              

    ‚Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk‛. (QS. al-Qashash: 56). Menurut Gulen, Firman Allah di atas mengisyaratkan, bahwa yang berwenang memberi petunjuk (hidayah) ke dalam kalbu seorang hamba hanya Allah semata, bukan karena baiknya perilaku atau tutur kata seseorang. Oleh karena itu, setiap da’i hendaknya senantiasa bersikap ikhlas ketika menyampaikan dakwahnya kepada orang lain. Agar orang 58 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 128-129. 59 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 129.

    67

    lain mendapat petunjuk dari sisi Allah swt melalui dakwahnya. AlQur’an menyebutkan bagi setiap mukmin, ia harus menyamakan antara tutur kata dan perbuatannya. Jika ia dapat menyamakan antara tutur kata dan perbuatannya, maka ia termasuk seorang mukmin yang sejati. Jika tidak, maka ia termasuk seorang yang munafik. Ada sebagian orang yang mengira, jika seseorang tidak dapat berjuang dan tidak dapat menjauhi segala perbuatan maksiat, maka cukup baginya menyampaikan nasihatnasihat yang baik bagi orang lain. Tentunya, perkiraan semacam itu tidak lain hanyalah bisikan setan belaka, sedikitpun tidak ada hubungannya dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah.60 Al-Qur’an telah mengabadikan ucapan nabi Allah Syu’aib as sebagai berikut,                 

    ‚…Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan…‛. (QS. Hud: 88). Penjelasan lebih lanjut dari firman Allah di atas adalah, ketika Nabi Syu’aib tengah berdilog dengan kaum beliau, ‚Ketahuilah, bahwa aku tidak mengharapkan kebaikan apapun dari sisi kalian, utamanya pada saat aku mengatakan bahwa riba itu diharamkan, dan suap menyuap itu dilarang. Sebab, aku tidak terpikir ingin mendapat suap sedikitpun dari kalian‛. Ucapan nabi Allah Syu’aib as yang sepolos itu menunjukkan, bahwa dirinya benar-benar jujur dalam menyampaikan dakwah kepada umat beliau. Apalagi beliau adalah seorang nabi dan utusan Allah. Masalah ini harus dijadikan pedoman bagi setiap da’i . nabi Allah Syu’aib as mengajak kaum beliau ke jalan Allah, dan kepada jalan yang lurus. Beliau selalu ingat akan pokok-pokok dasar berdakwah, dan alQur’an berulang kali menyebutkan pokok-pokok berdakwah itu kepada kita.61 60

    Petunjuk (hidayah) hanya ada di tangan Allah Swt . Dia akan memberikan petunjuk itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah akan memberi bagi siapa pun yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu, tidak seorang da’i pun yang pantas merasa bahwa ia dapat menyampaikan petunjuk ke dalam kalbu seseorang, baik itu berkaitan dengan perilaku maupun tutur katanya. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 129-130. 61 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 131.

    68

    Rasulullah saw juga menyebutkan pokok-pokok berdakwah itu berulang kali. Rasulullah tidak pernah menyebutkan, bahwa beliau adalah orang yang paling taat, seorang nabi yang tidak diungguli oleh siapapun, khususnya ketika beliau Isra’ dan Mi’raj, serta Allah selalu mengingatkan beliau di dalam firman-Nya swt berikut ini,     

    ‚Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)‛. (QS. al-Hijr: 99). Penjelasan ayat di atas menurut Gulen, Nabi saw selalu berpegang teguh kepada perintah Allah swt sepanjang hidup. Beliau tidak pernah merasa diri mempunyai kelebihan apapun tanpa izin Allah Swt. Setiap tutur kata yang beliau sampaikan mempunyai kesan tersendiri bagi pendengar. Karena tutur kata beliau saw tidak pernah bertentangan dengan perbuatan beliau sehari-hari meskipun beliau dalam kedaan yang sangat memprihatinkan. Diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah berkata kepada Sayyidah ‘Aisyah ra di suatu malam, ‚Wahai ‘Aisyah izinkan aku beribadah di malam ini‛. jawab ‘Aisyah, ‚ Demi Allah, sebenarnya aku masih senang berada di dekatmu, akan tetapi aku lebih senang terhadap apa saja yang menyebabkan engkau gembira dengan melakukannya‛. Maka saw bangun dari tempat tidur, kemudian bersuci dan melakukan shalat malam. Dalam shalat itu, beliau saw menangis hingga membasahi tempat sujud beliau, sampai Bilal datang untuk memberi tahu bahwa sudah tiba waktunya shalat Shubuh.62 Hal yang paling pokok bagi setiap da’i menurut gulen, adalah hendaknya ia selalu menghubungkan kalbunya kepada Allah swt. Itulah yang dijalankan oleh Rasulullah saw sebagai hamba yang sekaligus Rasul-Nya. Karena, jika seorang hamba tidak merasa dekat dengan Allah sebagai Tuhannya, maka hidupnya akan terasa hampa (kosong), sehingga 62 Rasulullah saw adalah seorang nabi yang senantiasa mengajak umat beliau ke jalan Allah swt dan beliau selalu mendudukan beliau sebagai hanba-Nya. Beliau saw senantiasa meningkatkan ibadah setiap saatnya, meskipun beliau tengah menderita sakit, dan beliau tidak bisa berdiri untuk menegakkan shalat, hingga akhir hayat beliau. Meskipun dalam keadaan sakit, Rasulullah saw senantiasa memikirkan istri-istri beliau, anak cucu, dan umat beliau. Rasulullah ingin kalau mereka semua diberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Meskipun dalam keadaan yang sangat memprihatinkan, Rasulullah saw senantiasa melakukan berbagai ibadah sunah. Beliau masih melakukan shalat sunah yang sangat panjang. Jika beliau tidak dapat melakukan sambil berdiri, maka beliau melakukannya sambil duduk. Beliau juga senantiasa bersungguh-sungguh dan bersikap tawadhu’, ikhlas serta memenuhi janji. Rasulullah saw adalah suri teladan yang terbaik bagi umat beliau, sehingga beliau senantiasa menaati perintah Allah Swt. hingga akhir hayat beliau.Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq alIrsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 131-132.

    69

    ia dipacu oleh nafsunya untuk berbuat segala sesuatu (amalan) yang buruk.63 e. Selalu Mengiringi dengan Do’a Selain beberapa sifat terpuji dari sifat rasulullah saw yang telah disebutkan di atas, bahwa beliau senantiasa berdo’a di samping menyampaikan dakwah kepada umat beliau. Bahkan Rasulullah saw senantiasa menganjurkan kepada para sahabat beliau dan umat Islam pada umumnya untuk senantiasa berdo’a. seperti yang telah disebutkan di dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini,             

    ‚Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), Padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)". (QS. al-Furqa>n: 77). Rasulullah saw senantiasa berdo’a ketika beliau hendak tidur, setelah bangun dari tidur, pada saat hendak makan, minum, ketika hendak berpakaian, juga pada saat melepaskan pakaian. Beliau juga senantiasa berdo’a ketika hendak memasuki kamar mandi, juga pada saat hendak berwudhu’. Dengan demikian, beliau saw senantiasa berdo’a dalam urusan keduniaan beliau. Tidak seorangpun yang selalu berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berdo’a dalam segala urusannya, seperti yang dilakukan oleh beliau.64 Contoh kehidupan Rasulullah saw yang dipenuhi berbagai bentuk teladan yang baik telah dijadikan simbol dan contoh hidup bagi setiap orang dari umat beliau. Sehingga tidak seorangpun di muka bumi ini yang dijadikan contoh oleh orang banyak selain beliau saw, dan contoh yang beliau ajarkan itu telah diikuti oleh umat beliau sejak lebih dari lima belas abad yang lalu. Hampir seluruh suri teladan baik yang pernah beliau saw contohkan bagi umat beliau telah dilaksanakan oleh umat Islam sepanjang hidup mereka masing-masing. Sejak dari contoh ketika

    63

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 132. Muhammad Fathullah Gu>lan, al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>ni>yah, terj. Awirkhan Muhammad ‘Ali>, 85-87. 64 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 134.

    70

    beliau saw makan dan minum, memakai pakaian, ketika berdiri, duduk, bertutur kata, membuat perjanjian, dan segala urusan lainnya.65 Dengan mengikuti jejak Rasulullah saw secara teliti dan detail, maka para da’i dapat dijadikan contoh yang baik oleh masyarakatnya. Sebenarnya tugas seorang da’i harus menjadi suri teladan yang baik bagi umat Islam, agar suri teladan yang baik dari pribadi Rasulullah saw dan para sahabat beliau senantiasa hidup ditengah-tengah masyarakat Islam di sepanjang masa dan semua tempat. Sebab, apabila kita ingin hidup bahagia di dunia dan di alam akhirat kelak, maka tidak ada jalan lain bagi kita, selain harus mengikuti jejak Rasulullah saw serta para sahabat beliau.66 Menurut Gulen, Selain mementingkan masalah shalat, para sahabat juga peduli kepada rukun-rukun agama yang lain, mulai dari rukun Iman hingga rukun Islam. Mereka selalu menasehati umat Islam masingmasing untuk peduli kepada semua perintah Allah swt dan larangan-Nya. Selain itu, menurut Gulen, salah satu bentuk kehidupan Rasulullah saw, beliau tidak pernah menyepelekan sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan beragama. Sedikit pun Rasulullah saw tidak pernah melalaikan salah satu tugas keagamaan yang tengah beliau emban. Sehingga dalam waktu singkat atau selama lebih kurang dua puluh tiga tahun lamanya beliau dapat mendirikan suatu negara Islam yang sangat besar dan mulia.67 Rasulullah saw sangat peduli terhadap kepentingan umat beliau, dan hubungan mereka dengan beliau. Meskipun urusan Rasulullah saw sangat terkait erat dengan dunia dan seisinya, akan tetapi beliau tetap tidak pernah melupakan seorangpun dari keluarga dan para sahabat beliau yang juga mulia. Rasulullah saw senantiasa memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, agar Dia senantiasa memberikan ampunan 65

    Suri teladan yang baik dari Rasulullah saw itu selalu diperankan oleh setiap orang dari umat beliau dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, di dalam kehidupan Rasulullah tidak ada waktu sia-sia untuk tidak berdzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla. Contoh baik dari seluruh perbuatan Rasulullah telah dilakukan oleh para sahabat beliau secara cermat dan tepat. Seperti yang mereka lihat dalam kehidupan beliau saw sehari-hari. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 135. 66 Disadari atau tidak, Islam selalu mengerahkan, membimbing serta memenuhi kebutuhan kita. Bahkan Islam dan Rasul-Nya juga mengobarkan semangat juang. Selain itu sikap Islam dan rasul-Nya yang seimbang dan moderat mampu meluaskan hati dalam menyelesaikan masalah-masalah tentang kebenaran, keadilan, persamaan hak dan kewajiban. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim alS{a>lih}i>, 136. Lihat juga Muhammad Fethullah Gulan, Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia , terj Fuad Syaifuddin Nur dan Syarif Hade Masyah, (Jakarta: Republika, 2013), 161-162. 67 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 137.

    71

    dan kemenangan bagi umat Islam sepanjang masa. Dan, beliau tidak melakukan apapun kecuali apa yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa

    Jalla.68

    Demikian pula sahabat Abu Bakar al-Shiddiq ra. yang tidak pernah meninggalkan shalat tahajjudnya walau semalam, meskipun ia sangat sibuk memerangi orang-orang yang murtad di siang hari, namun ia tidak pernah meninggalkan bacaan al-Qur’annya setiap siang dan malam harinya. Abu Bakar juga kerap menangis ketika membaca ayat-ayat suci al-Qur’an. Demikian pula hanya dengan sahabat ‘Umar ibn Khathab ra yang berhasil mengalahkan dua kerajaan besar seperti Romawi dan Persia. Akan tetapi ‘Umar tidak pernah lalai sedikitpun dari menegakkan ibadah dan perjuangan Islam. Tidak berbeda jauh dengan Abu Bakar dan Umar, sahabat ‘Utsman ibn ‘Affan ra pun melakukan hal yang serupa. Pada saat ia tengah sibuk menghadapi berbagai cobaan dari internal umat Islam, ia terus-menerus berusaha dan membaca al-Qur’an tanpa henti. Sehingga ia terbunuh ketika tengah berpuasa dan saat membaca al-Qur’an. Darah ‘Utsman menetes di atas lembaran (mushaf) al-Qur’an yang masih terbuka, dan kelak akan menjadi saksi baginya bahwa ia terbunuh ketika sedang membaca al-Qur’an.69 Seperti telah disebutkan didalam firman-Nya swt sebagai berikut:      

    ‚...Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui‛. (QS. al-Baqarah: 137). Demikian pula kondisinya dengan sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra ia tidak pernah lalai dari mendirikan shalat malam sesaatpun. Setiap malam ‘Ali selalu bermunajat dan bersujud di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, Serta ia merasa gemetar setiap kali mendengar suara adzan. Sebab, ‘Ali merasa bahwa telah tiba saatnya untuk menghadap kepada Allah di dalam mendirikan shalatnya.70 68

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 137-138. 69 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 138. 70 Para sahabat Rasulullah saw telah menunaikan kewajiban berupa amar ma’ruf nahi munkar dengan sebaik mungkin. Mereka berhasil di dalam menunaikannya dengan sungguhsungguh dan mengharapkan keridhaan Allah Swt. semata. Dengan kata lain , setiap mukmin dan muslim wajib baginya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar , apapun tugas sehariharinya, baik ia sebagai orangtua, sebagai imam masjid, sebagai da’i, sebagai guru, sebagai dosen sebagai mahasiswa atau sebagai murid. Hendaknya setiap orang dari mereka melakukannya dengan keikhlasan penuh semata karena Allah swt. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 138-139.

    72

    Siapa saja yang melakukannya dengan ikhlas, maka ia akan menyesuaikan perilaku dan tutur katanya, serta ia akan menghayati tugas suci itu dengan baik. Setiap dakwah yang tidak disampaikan dengan ikhlas, dan tidak dilaksanakan dengan suatu wujud pengamalan, maka dakwahnya dinilai gagal, meskipun ia telah melaksanakannya dengan baik. Sebab, urusan dakwah sangat erat kaitannya dengan perkara akhirat. Seperti yang telah disebutkan di dalam sabda Rasulullah saw sebagai berikut, ‚Ketika aku di-Isra dan Mi’rajkan, aku melihat

    sekelompok orang yang menggores lidah mereka dengan penggores tajam dari api neraka. Maka aku bertanya kepada malaikat Jibril, ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’, Jawab Jibril, ‘Mereka itu adalah para pemberi nasihat yang gemar memberikan nasihat ke jalan kebaikan, akan tetapi diri mereka sendiri tidak pernah mengerjakan perbuatan baik itu, meskipun mereka membaca firman-firman Allah‛.71

    Itulah dampak negatif yang diterima bagi para pemberi nasihat yang baik, yang mereka tidak pernah melakukannya. Mereka melarang manusia dari perbuatan munkar, akan tetapi mereka sendiri justru melakukannya. Dewasa ini kita sangat membutuhkan para da’i yang melaksanakan berbagai nasihat baiknya, serta larangan dari kemunkaran. Dalam hal dakwah ini, masyarakat tidak butuh kepada orang-orang yang hanya pandai berbicara, tanpa bersedia mengamalkannya dengan baik. Menurut Gulen, orang-orang semacam itu bagai kumpulan keledai yang mengangkat sejumlah kitab yang berisikan ilmu, akan tetapi kitab-kitab yang berisikan ilmu itu tidak berguna sedikitpun baginya.72 Dari berbagai dasar-dasar dan kaidah-kaidah dalam dakwah, secara garis besar Gulen membagikan agar petunjuk, perbaikan dan penyadaran mendapatkan hasil. Maka hal yang paling utama dilakukan yakni mengetahui termasuk dari golongan mana dari beberapa golongan di atas yang ingkar yang kita tuju. Hal ini menurut Gulen, apabila persoalan ini bisa dideteksi maka jelaslah apa yang harus dilakukan. Di sini Gulen membaginya menjadi sebelas katagori: Pertama, harus mengetahui jenis pengingkaran lawan bicara. Kedua, mengetahui tingkat intelektual dan sosial lawan bicara, dengan demikian da’i dapat berbicara dengannya dalam tingkat dan bahasa yang bisa dipahami. Ketiga, mengetahui secara baik hal yang ingin kita sampaikan sekaligus memberikan jawaban yang memuaskan terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan. Keempat, metode pemaksaan harus dijauhi. Kelima, pembicaran harus diarahkan kepada hati lawan bicara. Setiap kalimat harus berawal dan berakhir 71 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 139. 72 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 139-140.

    73

    dengan kejujuran dan cinta, bersumber dari hati, serta tidak berisi celaan dan kata yang kasar terhadap pribadi dan pemikiran lawan bicara. Keenam, tidak boleh mengkritik pandangan keliru lawan bicara kita atau pertanyaannya yang salah dengan cara yang menyakitkan. Ketujuh, memperkenalkan orang yang ingkar kepada teman-teman yang memiliki akidah sehat dan jiwa bercahaya lebih baik dan efektif daripada seribu nasihat. Kedelapan, sebaliknya, ia tidak boleh diperkanalkan dengan orang-orang yang tidak berprilaku baik dan tidak berpandangan benar. Kesembilan, hendaklah dari para da’i membiarkannya berbicara serta bercerita tentang diri dan perasaannya. Ia harus dihormati dan diberi kesempatan untuk mengungkapkan pemikirannya. Kesepuluh, hendaknya dari para da’i perlu menegaskan bahwa berbagai pemikiran yang ia kemukakan bukanlah pemikirannya seorang. Kesebelas, menyampaikan dan menjelaskan kedua pilar syahadat.73 B.Gambaran dan Sifat seorang Da’i (Etika Dakwah) 1. Kasih Sayang. Kasih sayang merupakan bentuk lain dari kelembutan yang lazim dimiliki oleh da’i dalam berdakwah. Sikap ini termasuk bagian dari sentuhan psikologis dalam berdakwah. Termasuk di dalamnya kesopanan. Adapun kesopanan yang harus dipelihara sebagai etika berdakwah ini meliputi perkataan dan perbuatan. Gaya atau perangai berbicara, cara mengenakan dan bentuk pakaian yang dikenakan harus di jaga serapi-rapinya, sehingga tidak melanggar norma-norma sosial yang telah berlaku di masyarakat, normanorma Islam dan juga tidak membosankan.74 Secara psikologis, sikap keras dan kasar yang ditunjukkan da’i terhadap audiennya justru menyebabkan mereka antipati terhadap dirinya maupun dakwah yang disampaikannya. Bukannya simpati yang mereka rasakan, malahan justru ketakutan yang mencekam hati yang mereka rasakan ketika berhadapan dengan da’i yang bersikap demikian. Karena itu Allah Swt. menganjurkan agar da’i berhati lembut, pemaaf dan tegas, serta suka bertukar pikiran dengan masyarakatnya dalam memecahkan persoalan.75

    73

    Muhammad Fathullah Gu>lan, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, terj Asrin Wurkhan Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r Ni>l, 2008), 66-70. 74 Baca Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 66. 75 Al-Qur’an menyatakan, sikap keras dan kaku sebagai perbuatan yang tidak etik dalam berdakwah. Selain bertentangan dengan nilai kemanusiaan padaumumnya, sikap tersebut juga berimplikasi pada tidak efektifnya tujuan dakwah yang hendak dicapai. Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 66.

    74

    Dalam hal ini, Allah menjelaskan kelemah lembutan sikap Nabi saw dalam berdakwah sebgai rahmat Allah Swt. yang dilimpahkan kepadanya. Dalam al-Qur’an terdapat ayat sebagai berikut:                         “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut

    terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu”.76 Ayat di atas menggambarkan bahwa kelemahlembutan yang tampak pada diri Nabi saw sehingga beliau tidak marah dan menghardik orang-orang yang tidak mematuhi komandonya di perang Uhud yang berakibat kekalahan bagi pasukan muslim merupakan sikap beliau yang tepat dan etis dalam berdakwah. Kekalahan ini ada kaitannya dengan beberapa kesalahan yang dilakukan sahabat-sahabat nabi sendiri, di antaranya; pertama, ada sedikit ganjalan di hati nabi saw berkaitan dengan sikap para sahabat yang berkeinginan menyongsong musuh di luar kota Madinah. Nabi saw sendiri lebih cenderung bertahan di Madinah. Kedua, terdapat ketidak-kompakan di antara pasukan Nabi saw (sepertiga kembali ke Madinah). Ketiga, mereka menyalahi perintah Nabi saw. Keempat, mereka tergoda dan terpedaya dengan ghani>mah (harta rampasan perang). Kelima, mereka menjadi lemah mendengar kematian Nabi saw, lalu melarikan diri dan membiarkan nabi dalam kelompok kecil.77 Meskipun demikian, berkat kasih sayang Tuhan yang ditanamkan ke dalam jiwa Nabi saw, beliau tetap santun dan ramah kepada mereka. Bahkan beliau memaafkan dan memohonkan ampun atas mereka. Sehingga dengan sikap demikian itu, Nabi saw masih menjaga kesolidan umat Islam dan pasukannya sehingga tidak bercerai berai. Padahal solidalitas dan kesatuan umat Islam waktu itu sangat dibutuhkan di saat mereka masih menjadi umat minoritas yang berhadap-hadapan dengan pasukan koalisi kafir Quraisy dan Yahudi.78 Kenyataan ini, memperlihatkan dengan jelas kasih sayang Tuhan 76

    Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya. (QS. Ali‘Imran:159) 77 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, 315-316. 78 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, 316. Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 67.

    75

    dalam akhlak dan watak Nabi saw yang serba baik, pengasih dan lemah lembut, yang memungkinkan banyak orang terpikat dan bersimpati kepadanya. Inilah kasih sayang yang menyebabkan Rasul saw menjadi orang yang amat santun dan bersikap lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya.79 Apabila Nabi saw tidak bersikap demikian, bersikap kasar dan saling menyalahkan maka kemungkinan perpecahan atau bahkan pemurtadan sangat besar terjadi dalam umat Islam sendiri, dan hal itu akan menciptakan persoalan besar bagi kelanjutan dakwah Islam waktu itu. Sebab itu, sikap lembut yang ditunjukkan Nabi saw tersebut secara teologis disebut oleh alQur’an sebagai rahmat Allah Swt. kepada Nabi saw yang memiliki manfaat amat besar bagi umatI slam waktu itu.80 Setidaknya terdapat dua sikap yang dianggap etis menurut ayat tersebut, yakni; pertama, sikap kasar, kedua, sikap kaku serta keras hati. Kedua sikap ini kontra produktif dengan tujuan dakwah bila bercermin pada diri da’i ketika berdakwah, yang bisa berakibat bukan simpatik yang diperolehnya malahan cemoohan atau keingkaran yang dihadapinya. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan agar para da’i memiliki sifat dan sikap-sikap tertentu sebagai manifestasi etika berdakwah yang telah di contohkan oleh Nabi saw dalam ayat tersebut, yakni; pertama, lemah lembut, kedua, pemaaf dan suka meminta maaf kepada Allah Swt atas kesalahan umatnya, ketiga, mentradisikan musyawarah dalam setiap memecahkan persoalan, keempat, sikap tawakkal yang tinggi ketika memiliki kamauan untuk melakukan perbuatan tertentu.81 Sikap-sikap tersebut merupakan sikap yang secara psikologis memiliki watak positif yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan (humanis) dan tentunya dapat diterima oleh manusia pada umumnya. Tradisi musyawarah misalnya bisa kita nilai sebagai media untuk memecahkan segala persoalan umat dengan melibatkan pendapat dan fikiran banyak orang, dan ini sekaligus menjadi penghargaan tersendiri bagi eksistensi setiap individu dan hak-haknya dalam komunitasnya. Tradisi ini sekaligus juga menjadi media yang efektif untuk memelihara persatuan dan kesolidan umat (komunitas). Karena, setiap individu melalui tradisi ini merasa dihargai dalam struktur sosialnya. Pesan lain yang tersirat dari ayat di atas adalah bahwa kelembutan sikap dan bahkan perangai merupakan magnet psikologis sekaligus nilai etika dakwah yang harus di bina oleh setiap da’i dalam aktifitas dakwahnya kepada 79

    A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran

    Dakwah Harakah, 316.

    80 Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 67. 81 Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 67-68.

    76

    setiap orang yang didakwahi tanpa diskriminasi, tanpa harus dibedakan oleh strata sosial, jenis kelamin, bangsa, ras maupun warna kulit. Yang menjadi pangkal perhatian dalam konteks tersebut adalah antusias dan ketulusan mereka untuk mendapatkan nasehat-nasehat dan pelajaran-pelajaran yang baik dari dakwah.82 Prinsip etika lemah lembut dan kasih sayang ini juga dipertegas lagi dengan perintah Allah Swt agar Nabi saw berdakwah dengan hikmah, dan pelajaran yang baik serta nasehat yang baik, sekaligus mengajak mereka berdialog dengan cara yang lebih baik bila mereka membantah dakwahnya. Dalam hal ini Allah befirman:                          ‚Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran

    yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk‛. (QS. al-Nahl:125) Ayat di atas biasanya dijadikan dalil mengenai metode dan strategi dakwah. Namun, pada sisi lain bisa pula menjadi diktum untuk mempertegas prinsip etika kasih sayang, kelemah-lembutan dan kedamaian yang diajarkan al-Qur’an kepada kita dalam berdakwah. Sebagai manifestasi dari kelembutan sikap dan kasih sayang, dakwah harus dilakukan dengan cara yang ramah dan lebih baik daripada sikap yang ditunjukkan oleh audiensnya. Dalam al-Qur’an bahkan Allah Swt. menganjurkan Rasul saw dan para da’i untuk menyeru manusia ke jalan Allah Swt dengan; pertama, al-H{ikmah, kedua, al-Mauiz}ah h}asanah, yang bearti pernyataaan dan nasehat yang baik. Ketiga, perdebatan atau jawaban terhadap audiens dakwah dengan bahasa yang lebih santun dan halus bila mereka membantah atau menghendaki berdebat dengannya sehingga mereka tidak merasa sakit hati dan terhina. Jawaban da’i terhadap bantahan mereka terhadap subtansi dakwah dilakukan dengan cara, dan tutur kata yang lembut dan halus, tidak sebaiknya dengan nada yang tinggi atau nada menghujat. Karena, jawaban tersebut (mujadalah) dikemukakan untuk membuktikan kebenaran dakwah yang disampaikan sesuai dengan kadar logika yang mereka miliki, sehingga mereka dapat memahami dan mau menerima dakwah tersebut.83 82 Baca Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 68-70. 83 Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 70-71.

    77

    Senada dengan pesan ayat tersebut, Allah Swt. juga melarang berdebat dengan ahl kitab kecuali dengan bahasa perdebatan yang lebih santun. Dalam hal ini, Allah Swt berfirman:                           ‚Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara

    yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka,84 dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". Pada tempat lain, Allah Swt. juga memerintahkan Nabi Musa as. dan Harun as. untuk menggunakan kata-kata yang halus ketika mendakwahi raja fir’aun supaya ia dapat menerima nasehat atau setidaknya merasa takut. Berkaitan dengan hal ini, Allah Swt berfirman sebagai berikut:         ‚Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".85 Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa salah satu prinsip etika dakwah adalah sikap lemah lembut, kasih sayang dan pemaaf. Manifestasi kelembutan dalam berdakwah ini meliputi kelembutan hati dan sikap, kelembutan perangai dan kelembutan tutur kata. Kelembutan-kelembutan ini merupakan manifestasi dari kasih sayang dan tidak identik sama sekali dengan ketidak-tegasan. Karena ketidaktegasan itu tidak terletak pada perangai atau bahasa tutur kata, tetapi lebih mengarah kepada subtasnsi pesan.86 Berkenaan dengan penjelasan di atas Gulen memberi perumpamaan Seorang da’i bagaikan seorang pejuang yang mengembangkan kasih sayang kepada segala sesuatu. Da’i tidak akan menggunakan cara-cara yang keliru untuk menyampaikan dakwahnya, misalnya menggunakan kekerasan, kekuatan, dan paksaan. Menurut Gulen hal ini dikarenakan untuk 84

    yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah: orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan. (QS. al-‘Ankabu>t: 46) 85 QS. T{a>ha>: 44. 86 Baca Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, 72.

    78

    meneguhkan iman dalam hati seorang tidak perlu menggunakan cara-cara yang keliru. Untuk menerangkan keimanan kepada orang lain dibutuhkan sikap kasih sayang, toleransi, dan kesabaran. Bila ini yang dilakukan maka keimanan dapat tumbuh subur di hati setiap orang yang mendengar nasihat baiknya. Selain itu, hendaknya setiap da’i mampu menggunakan cara-cara yang menarik simpatik di hati para pendengarnya. Hendaknya ia menjadi suri teladan yang baik bagi umatnya, agar umatnya menghargai kepribadian para da’i itu. Tetapi kalau ada da’i yang menggunakan cara kekerasan dan paksaan, maka para pendengarnya tidak akan merasa terpanggil untuk mengikuti tuntunannya.87 Sikap kasih sayang kepada umat yang diperankan oleh pribadi Rasulullah saw menjadikan dakwah beliau dapat diterima orang banyak dalam waktu yang sungguh sangat singkat. Dalam salah satu sabdanya beliau menyebutkan sebagai berikut, ‚Aku bagi kalian adalah bagai seorang ayah‛. Ini menunjukkan sejak mudanya, beliau saw sudah bersikap penuh kasih sayang kepada umatnya. Beliau saw menganggap setiap mukmin sebagai puteranya sendiri, sehingga beliau saw selalu bersikap kasih sayang kepada setiap umatnya. Demikian pula umatnya pun sangat mencintai beliau saw lebih dari kecintaan mereka pada ibu bapak mereka sendiri, atau bahkan lebih mencintai beliau saw dari dirinya sendiri. Karena itu, sikap beliau saw yang penuh kasih sayang perlu mendapat kehormatan yang luar biasa dari setiap umat. Dalam dakwahnya beliau saw selalu bersikap kasih sayang kepada setiap orang, karena hanya dengan sikap itu beliau saw dapat menarik simpatik orang lain untuk mencintai dan mengikuti segala petunjuk yang beliau saw sarankan.88 Demikian pula, hendaknya setiap da’i mempunyai jiwa yang penuh kasih sayang kepada semua orang, agar mereka dapat menyelamatkan orangorang itu di dunia dan akhirat. Adapun contoh yang paling baik bagi kita adalah pribadi Rasulullah saw. sepanjang hidupnya Nabi saw terus-menerus berdakwah untuk mengajak manusia beriman kepada Allah, meskipun beliau menghadapi berbagai tantangan dan perlakuan yang tidak manusiawi. Adakalanya beliau saw dijerat lehernya dengan sehelai kain oleh musuhnya, adakalanya pula beliau saw dilumuri dengan kotoran binatang, adakalanya pula jalan beliau saw dipenuhi dengan duri-duri, meskipun beliau selalu berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, agar mereka masuk ke dalam surga. Sebagai contoh, ketika beliau saw berdakwah di kota Thaif, maka 87

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 157. 88 Cara yang ditempuh oleh Rasulullah saw untuk menyampaikan dakwahnya adalah sangat luwes dan santai, sehingga siapapun yang menempuh cara-cara yang dilakukan oleh beliau saw untuk mengajak orang lain kepada kebenaran, pasti akan sukses. Sebaliknya, jika cara yang ditempuh bertentangan maka ia akan gagal. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq alIrsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 159.

    79

    beliau saw disakiti oleh sejumlah penduduknya dengan kedua kaki dan wajah beliau saw terluka. Ketika itu beliau hanya ditemani oleh Zaid ibn Haritsah ra sehingga malaikat penjaga gunung menawari jasanya akan menjatuhkan gunung kota Thaif kepada mereka yang telah melukai pribadi Rasulullah saw, tetapi tawaran baik dari malaikat itu ditolak oleh beliau89 seperti yang disebutkan dalam sabda beliau berikut ini;

    ‚Aku masih berharap semoga Allah mengeluarkan anak cucu dari mereka yang mau menyembah Alllah Yang Maha Esa dan tiada sekutu baginya‛. Selain itu, ketika wajah beliau saw terluka di medan perang, sehingga darah beliau menetes ke bumi, pada saat seperti itu beliau saw masih berdo’a sebagai berikut;

    ‚Ya Allah, berilah ampun apa yang telah dilakukan oleh umatku terhadap diriku, karena mereka tidak mengerti‛. Do’a nabi di atas adalah untuk menyelamatkan umatnya dari siksa Allah. Hal ini bisa terjadi karena besarnya rasa kasih sayang beliau saw terhadap umatnya. Dalam bahasa al-Qur’an, kasih sayang disebut rahmah yang berarti sensibilitas atau kepekaan tertentu yang mendorng perbuatan baik (ihsa>n) kepada orang yang dikasihi. Pemilik sifat rahmah disebut rahma>n atau rahi>m. Hanya saja, kata rahma>m dipergunakan hanya untuk Allah Swt. sedang kata rahi>m dipergunkan untuk Allah dan untuk manusia, khusunya Nabi Muhammad saw.90 Pentingnya sikap kasih sayang ini dapat dilihat dari sudut kepentingan da’i maupun mad’u itu sendiri. Dari sudut kepentingan da’i maupun mad’u itu sediri. Dari sudut kepentingan da’i, dapat ditegaskan bahwa, kasing sayang bukan hanya diperlukan, tetapi merupakan kebutuhan bagi seorang da’i. Hal ini dikarenakan da’i pada dasarnya adalah seoarng pemimpin, pembimbing rohani, pengajar dan pendidik (mu’allim wa murabbi). Dalam kedudukan dan kapasitasnya semua itu, da’i merupakan orang pertama yang harus memiliki sifat kasih sayang dan mewujudkan kasih sayang itu dalam proses dakwah yang harus dilakukan. Sementara dari sudut kepentingan mad’u, kasih sayang diperlukan karena watak dan jiwa manusia mengalami perkembangan. Pada kenyataanya jiwa manusia tidaklah sempurna. Namun, dalam waktu yang bersamaan, jiwa itu menerima pertumbuhan dan perkembangan hingga mencapai tingkat kesempurnaan tertentu. Dalam suatu komunitas pastilah di situ terdapat orang-orang yang mimiliki kelemahan dan kekurangan.91 89

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 161. 90 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 162. Baca juga A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah , 315. 91 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah, 316.

    80

    Dalam pandangan Gulen, ada suatu generasi yang meninggal dan hidup. Di hadapan mereka terdapat berbagai halangan yang menghalangi mereka menuju jalan yang benar, sehingga mereka lebih mengutamakan kesenangan hidup dan hawa nafsunya daripada memilih keimanan, agama, dan al-Qur’an. Sebenarnya yang berhak disalahkan bukanlah orang-orang yang menyebabkan mereka menjadi sesat, tetapi kesalahan itu layak dilimpahkan kepada para da’i yang tidak menyampaikan dakwahnya dengan ikhlas, sabar, dan tekun.92 2. Mengedepankan toleransi dan menjaga empati Menurut Gulen, sikap toleransi harus terambil dari akar yang mengakui realitas perbedaan. Sikap seperti ini ditunjukan bahwa manusia memerlukan perasaan yang langgeng dan kebutuhan untuk saling menghormati, menjaga persahabatan, dan dialog aktif. Selain itu, toleransi dapat menawarkan kekuatan dalam menjaga hubungan kemanusiaan dan meminimalisir konflik yang terjadi.93 Lebih jauh lagi menurut Gulen, hendaknya para da’i mempunyai sifat toleransi, lapang dada, dan luas pandangan, meskipun pada saat yang sama ia tidak boleh mengendurkan dakwahnya. Sebagai contohnya yang terbaik adalah ucapan Nabi saw yang ditujukan bagi kaum Quraisy di Makkah yang dulunya mereka pernah mengusir beliau saw dan umat Islam dari kota Makkah setelah mereka disiksa mati-matian. Maka setelah Nabi saw dan sahabat-sahabat mereka dapat menaklukkan kota Makkah, beliau saw bertanya kepada penduduk kota itu, ‚Bagaimanakah pendapat kalian, kiranya apa yang harus aku lakukan terhadap kalian?‛, jawab mereka, ‛Engkau adalah saudara yang baik dari keluarga yang baik‛, jawab beliau saw, ‚Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.94 Kesimpulannya, Nabi saw dan para sahabatnya memaafkan kejahatan yang pernah dilakukan oleh penduduk kota Makkah terhadap beliau saw dan para sahabatnya, sebagaimana Nabi Yusuf as memaafkan saudara-saudaranya 92

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 162-163. 93 Aaron Tyler, ‚Tolerance as a Source of Peace: Gulen and the Islamic Conceptualization of Tolerance‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 735-736. Bandingkan

    dengan Efrat. E. Aviv, “The Ligh of Tolerance’-Between Rabbi Abraham Kook and Hoja Efendi Fethullah Gulen” Artikel dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007 (New Jersey: Tughra Books, 2009). 89. 94 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 167.

    81

    se-ayah yang telah menyakiti selama bertahun-tahun. Jadi setiap da’i, ia harus mempunyai perasaan toleransi, lapang dada, dan berpandangan luas. Kasih sayang Nabi tersebut merupakan puncak dari segala bentuk kasih sayang yang melahirkan rasa belas kasihan yang mendalam atas penderitaan, kehinaan, dosa-dosa dan kesalahan orang lain (umat). Dalam waktu yang bersamaan timbul pula keinginan yang kuat agar mereka mampu menggapai kehormatan Islam. Dari sifat kasih sayang ini, timbul sifat-sifat lain yang terpuji, seperti sikap lemah lembut, toleran dan pemaaf. Dakwah dengan sikap lemah lembut dan toleransi tinggi ini, dinilai sebagai sesuatu yang amat positif. Dengan pendekatan ini, sikap-sikap yang kasar dan keras dari mad’u, dapat berubah menjadi sikap yang ramah dan bersahabat.95 Sekiranya, sikap kasar dan keburukan mereka dibalas dengan tindakan keburukan serupa, boleh jadi kejahatan mereka justru makin menjadi-jadi. Namun, dakwah lemah lembut dan toleransi tinggi ini, menurut Quthub sebagaimana yang dikutip Ilyas Ismail, harus dilakukan secara proporsional. Artinya, dakwah semacam ini tidak berlaku secara mutlak, tetapi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Pertama, bahwa kejahatan yang dilakukan mad’u terbatas dalam pergaulan yang bersifat personal, bukan kejahatan terhadap agama, akidah dan syari’at Islam. Bilamana kejahatan yang dilakukan menyangkut agama Islam, maka tidak ada toleransi sama sekali. Kedua, bahwa toleransi dan maaf yang diberikan harus diyakini dapat memberikan pengaruh yang postif. Ini dapat terjadi bila toleransi dan maaf itu dilakukan pada saat kaum muslim sesungguhnya memiliki kesanggupan untuk melawan kejahatan itu. Hanya dalam keadaan demikian toleransi dan maaf yang diberikan tidak akan dipandang sebagai suatu kelemahan, tetapi justru sebaliknya merupakan suatu kemuliaan dan keluhuran budi pekerti.96 Karena itu, diperlukan sebuah paradigma yang memadai untuk membangun toleransi dalam konteks keberagamaan. Dalam hal ini, menurut Zuhairi, ada tiga poin penting yang dapat menjadi catatan berkaitan dengan toleransi berbasis agama: pertama, sacara dogmatik, toleransi harus dibangun di atas kesadaran untuk menerima pihak yang dianggap salah. Kedua, toleransi mengandaikan tidak hanya menerima pihak yang lain salah, tetapi juga menebarkan penghargaan dan cinta kasih kepadanya. Ketiga, toleransi merupakan upaya yang harus di dukung oleh semua pihak, terutama oleh mereka yang mempunyai otoritas dan para penentu kebijakan publik.97 Sifat 95

    A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran

    Dakwah Harakah, 318. 96

    A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran

    Dakwah Harakah, 319. 97

    Model toleransi yang pertama hanya berhenti pada posisi memaklumi kesalahan, akan tetapi model toleransi yang kedua mencoba untuk memberikan penghargaan dan menebarkan cinta kasih. Toleransi seperti ini lebih bersifat praktis, dan sudah dipastikan

    82

    kasih sayang dan toleransi seperti yang telah dikemukakan di atas dan sebagaimana telah diperlihatkan oleh Nabi saw, merupakan salah satu sifat mutlak harus dimiliki oleh para da’i. Apa saja yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw, dengan sendirinya perintah itu berlaku pula bagi para da’i. Apa yang diharapkan dari kita saat ini adalah kesadaran bahwa toleransi adalah kekuatan yang tumbuh dalam diri sendiri dan kemudian di lingkungan. Dalam rangka untuk membawa kelahiran kembali agama dan bangsa, maka sikap, pikiran yang penuh kebencian harus dijauhkan dan dihilangkan, kemudian menanamkan konsep toleransi dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.98 Selain itu, setiap mukmin khususnya para da’i, hendaknya mempunyai perasaan sangat prihatin ketika melihat kesesatan dan pembangkangan umatnya terhadap agama Allah. Dengan perasaan itu, maka hatinya akan tergerak untuk membimbing ke jalan yang lurus, seperti yang dirasakan oleh Rasulullah saw ketika melihat kaumnya sangat sesat, 99 sehingga al-Qur’an menggambarkannya seperti yang disebutkan dalam firman Allah,      

    ‚Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, Karena mereka tidak beriman‛. (QS. al-Syu’ara: 3). Firman Allah di atas mengisyaratkan bahwa beliau saw sangat gusar dan mengkhawatirkan keselamatan umatnya ketika mereka menentang ajaran Islam. Sifat ini hendaknya dimiliki oleh para da’i. Perbuatan murtad atau seorang yang keluar dari Islam yang dulunya ia yakini dengan benar termasuk perbuatan yang merugikan umat Islam. Oleh karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa seorang yang murtad dari Islam harus dibunuh. Akan tetapi, kebanyakan ulama berpendapat bahwa seorang yang telah keluar dari Islam, maka pejabat negara harus menyadarkannya dan mengajaknya kembali ke dalam Islam dengan dalil-dali yang dapat melunakkan hatinya, tetapi kalau ia tidak mau kembali kepada Islam, barulah ia dibolehkan untuk dibunuh. Karena Islam menganggap keluarnya seorang muslim dari Islam

    tingkatannya lebih tinggi dan mulia. Sebab memahami pandangan dan pilihan orang lain sebagai sesuatu yang bersifat manusiawi serta merta tidak bisa dihindarkan. Baca Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme , 192195. 98

    Efrat. E. Aviv, “The Ligh of Tolerance’-Between Rabbi Abraham Kook and Hoja Efendi Fethullah Gulen” Artikel dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007. 89-90. 99 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 167-168.

    83

    akan membahayakan perasaan muslim lainnya, karena itu para pemuka Islam tidak boleh tinggal diam menghadapi orang murtad.100 C. Urgensi Dakwah Dalam Islam, salah satu ajaran yang paling penting dan berorientasi praktis dan strategis (strategic oriented) adalah ajakan kepada manusai agar berada dan tetap berada dalam jalan yang benar yang populer disebut dakwah.101 Selain itu, dakwah merupakan masalah besar yang menyangkut hajat dan kepentingan masyarakat luas. Sebab pada kenyataannya Islam tidak mungkin berkembang tanpa adanya dakwah yang disebarkan oleh para tokohtokoh dakwah. Dakwah juga sering kali di istilahkan dengan Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar102 yang merupakan tujuan utama dan termulia diciptakannya manusia. Allah swt menciptakan alam semesta yang sebesar dan selengkap ini demi terwujudnya usaha amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, Allah sengaja menciptakan manusia sebagai khalifah di permukaan bumi ini, demi terwujudnya kekhalifahan. Dan, untuk menunjang keberhasilan tugas kehalifahan dimaksud, Allah sengaja mengutus sejumlah Nabi dan Rasul sebagai penunjuk jalan menuju kehendaknya.103 Seperti tabligh, amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan keharusan agama dan tuntutan iman. Amar ma’ruf merupakan kewajiban kaum Muslim baik sebagai individu maupun umat, sekaligus menjadi ciri dan karakternya yang khas yang membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat lain.104 100

    Sahabat Nabi saw Khalid ibn Walid pernah terburu-buru membunuh seorang muslim yang baru keluar dari Islam, tanpa disadarkan lebih dulu untuk kembali ke dalam Islam. Sehingga beliau saw sangat kecewa seraya berdo’a, ‘Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari perbuatan Khalid terhadap mereka. Kekecewaan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pernah juga dirasakan oleh sahabat ‘Umar ibn Khathab, ketika ada seorang laki-laki dari Yamamah dan bertanya tentang sesuatu yang penting kepadanya, tetapi sahabat-sahabat ‘Umar menyebutkan bahwa laki-laki itu adalah seorang muslim yang telah keluar dari Islam, tanya ‘Umar, ‚Apa yang kalian lakukan terhadapnya?‛, jawab mereka, ‚Kami memenggal lehernya‛. Mendengar ucapan mereka, maka ‘Umar sangat terkejut seraya berkata, ‚Mengapa kalian tidak menahannya lebih dulu selama tiga hari, memberinya makan sepotong roti setiap hari dan menyuruhnya bertobat, agar ia mau kembali ke jalan Allah‛. Kemudian ‘Umar berdo’a, ‚Ya Allah, aku tidak menyuruh mereka untuk membunuhnya dan tidak rela dengan perbuatan mereka‛. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 168-169. 101 Acep Aripudin, Dakwah antar Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 123. 102 Taufiq Yusuf al-Wa ‘iy mendefinisikan amar ma’ruf nahi munkar dengan perbaikan, pelurusan, pendidikan sesuai ajaran dan risalah Islam, sehingga membutuhkan pengetahuan, pembahasan, pandangan dan penyeleksian. Da’i yang beramar ma’ruf nahi munkar haruslah memiliki pemahaman yang cerdas, baik, pandai dan sabar. Baca Taufik Yusuf al-Wa‘iy, Fiqih Dakwah Ilallah, terj. Sofwan Abbas dkk (Jakarta: Al-I‘tishom, 2011), 364. 103 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 17. 104 ‘Abd al-Kari>m Zaidan, Us}u>l al-Da’wah, (Mesir, Da>r al-Wafa>’, 1992), 308-309

    84

    Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kebaikan dan petunjuk Allah, merupakan masyarakat yang selalu bekerjasama dan bahu membahu dalam membangun kebaikan masyarakat dan memerangi kejahatan.105 Dalam al-Qur’an, keharusan ini dikaitkan dengan kedudukan umat Islam sebagai umat terbaik (khair u>mah) seperti terlihat jelas dengan jelas dalam ayat ini:                         

    ‚Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik‛. (QS. Ali ‘Imra>n: 110) Ayat di atas jelas merupakan jaminan bersyarat yang diberikan oleh Allah Swt. kepada umat Islam, bahwa mereka adalah umat terbaik sepanjang zaman selama senantiasa mampu mempertahankan eksistensi dakwah dalam kehidupan mereka. Kesadaran memahami ayat di atas secara seksama akan menumbuhkan semangat dan motivasi dakwah di kalangan umat terbaik ini. Menurut Atabik Luthfi yang menarik dari susunan kalimat ayat di atas adalah penyebutan kata ‚amar ma’ruf dan nahi munkar‛ (menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar) yang merupakan esensi dakwah didahulukan dari pada penyebutan kata ‚iman kepada Allah‛. Padahal iman kepada Allah Swt. merupakan derajat tertinggi dan lebih dahulu keberadaannya. Bahkan amar ma’ruf dan nahi munkar sendiri merupakan konsekunsi iman kepada Allah Swt. ini menunjukkan betapa pentingnya aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, sekaligus merupakan perintah agar umat siap mencurahkan segala potensi dan kemampuannya untuk mewujudkan kebaikan dan mencegah timbulnya kejahatan bagi umat manusia.106 Sebagai umat terbaik, umat Islam berdasarkan ayat di atas berkewajiban melakukan tiga hal. Pertama, amar ma’ruf yakni menyuruh manusia kepada kebaikan. Kata ma’ruf ini berarti sesuatu yang baik atau 105

    A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran

    Dakwah Harakah, 169. 106

    Atabik Luthfi, Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, (Jakarta: al-I’tishom, 2011), 2.

    85

    yang dipandang sebagai kebaikan, merupakan sesuatu yang dipandang baik oleh agama dan pemikiran akal. Ma’ruf juga berarti sistem dan tata-nilai itu sendiri, serta usaha menanamkan dan membudayakan nilai-nilai Islam dalam kenyataan individu, keluarga dan masyarakat. Kedua, nahi munkar, yakni mencegah manusia dari kemungkaran. Munkar merupakan lawan dari ma’ruf, berarti sesuatu yang buruk atau yang dipandang buruk oleh agama dan pemikiran akal. Munkar juga dapat diartikan sistem dan tata-nilai jahiliyah. Dalam perspektif ini, nahi munkar berarti mengubah sistem dan tata-nilai jahiliyah dengan sistem dan tata-nilai islami. Ketiga, iman kepada Allah Swt. Ini merupakan dasar dari tugas sebelumnya. Iman harus menjadi pusat orientasi dari setiap kegiatan khair u>mah. Adapun, amar ma’ruf dan nahi munkar yang dilakukan haruslah dalam kerangka iman dan ibadah kepada Allah Swt. Iman juga harus menjadi satu-satunya kriteria penilaian (mi>za>n) dalam menetapkan mana yang ma’ruf dan mana yang munkar.107 Pada zaman modern ini, menurut Gulen, manusia sangat membutuhkan tegaknya amar ma’ruf nahi munkar, bahkan dengan porsi yang lebih dibandingkan masa-masa sebelumnya. Memang benar bahwa masa kenabian telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah Muhammad saw. Namun demikian, pintu amar ma’ruf nahi munkar tidak serta-merta tertutup rapat oleh berpulangnya beliau ke hariban ilahi berikut status beliau sebagai penutup para Nabi dan Rasul. Sehingga saat seperti sekarang ini, ketika banyak orang berkubang dalam lumpur kekafiran dan kemaksiatan, bahkan lebih buruk atau lebih banyak dari yang pernah terjadi di masa-masa lampau, amar ma’ruuf nahi munkar masih tetap serta akan selalu kita butuhkan. Oleh karena itu, adanya berbagai bentuk bencana alam dan berbagai kesulitan yang menerpa umat ini jauh lebih banyak daripada yang terjadi di masa-masa lampau. Keadaan yang sangat sulit ini mengharuskan para da’i lebih cermat daripada para penyeru yang ada sebelum mereka.108 107

    Perintah amar ma’ruf dan nahi munkar dimaksudkan sebagai suatu ikhtiar dalam mewujudkan kedamaian dan kebahagiaan masyarakat. Kebahagiaan masyarakat atau umat ini, tidak akan terwujud, kecuali bila kebaikan menjadi dominan dalam masyarakat itu. Dominasi kebaikan ini harus diupayakan melalui pembudayaan nilai-nilai Islam (amar ma’ruf) di satu pihak, dan kontrol sosial (nahi munkar) terhadap berbagai penyimpangan dan ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat di lain pihak. Baca A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah , 169-170. 108 Dalam pandangan Gulen, mayoritas manusia yang hidup pada abad kedua puluh satu ini senantiasa berkubang dalam lumpur dosa, sehingga manakala dosa-dosa mereka diperlihatkan di hadapan mata kita, maka kita termasuk orang-orang yang akan melarikan diri dari dosa-dosa kita sendiri. Meskipun dosa-dosa kita tidak terhitung banyaknya, akan tetapi kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tetap dibebankan kepada para da’i, agar umat manusia mendapat kasih sayang Allah swt. Kita semua sangat lemah, dan Allah Maha Kuat, Maha Mulia lagi Maha Pengasih serta Penyayang. Andaikata kita ungkapkan perasaan kita seolah tidak pantas mendapat kasih sayang dari sisi Allah swt. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 24-25.

    86

    Dengan kata lain, para da’i dewasa ini harus mempunyai kesanggupan dan keikhlasan yang khusus untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, seperti yang pernah dimiliki oleh para sahabat Nabi saw dahulu. Meskipun hawa nafsu seseorang lebih rendah dari segalanya, akan tetapi tugas suci yang diemban di atas pundak masing-masing mereka juga lebih bernilai tinggi dari segalanya. Dan, Allah swt akan menurunkan kasih sayang-Nya menurut kebutuhan para hamba. Sebab, sentuhan kasih sayang Allah lebih besar daripada kemauan hamba itu sendiri. Selain itu menurut Tufiq Yusuf alWa’iy, tidak dibolehkan beramar ma’ruf nahi munkar kecuali menghiasi dirinya dengan sifat-sifat: lembut, santun, beirlmu, paham. tidak riya, kosong dari hawa nafsu dan bercitra baik.109 Selain itu, menurut Gulen, kualitas manusia yang berada di abad kedua puluh satu ini seperti orang-orang yang tidak lagi mempunyai jiwa ruhani. Sebab, kalbu mereka telah tersesat dari jalan kebenaran. Meskipun keadaan manusia telah sedemikian parahnya pada masa ini, akan tetapi suara dari sabda-sabda Rasulullah saw masih dapat terdengar di telinga kita. Yang demikian itu, tidak lain karena besarnya kasih sayang Allah swt kepada umat manusia. Oleh karena itu, kita wajib bersyukur kepada Allah Yang Maha Pengasih atas kasih sayang-Nya yang luar biasa. Karena, hanya orang-orang yang bersyukur saja yang akan selamat dari murka Allah swt.110 Mengingat urgennya amar ma’ruf nahi munkar, maka Allah Swt. memerintahkan umat Islam untuk senantiasa melakukannya. Bahkan Allah Swt. tidak hanya memerintahkan, melainkan juga memberikan balasan berupa keberuntungan dan kemenangan. Allah Swt berfirman;               

    ‚Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung‛. (QS. ‘Ali Imran: 104). Maksud dari firman Allah swt di atas menurut Gulen, hendaknya ada sebagian orang dari orang-orang yang beriman yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, agar umat manusia tidak tenggelam dalam 109

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 25. Baca juga Taufik Yusuf al-Wa‘iy, Fiqih Dakwah Ilallah, terj. Sofwan Abbas dkk, 390. 110 Gulen memberikan perumpamaan, hidup di masa sekarang, laksana berada di atas perahu keselamatan yang dikemudikan oleh Rasulullah saw, dan para kru beliau (para da’i). Selain itu, menurut Gulen, kualitas manusia dewasa ini laksana benda-benda yang tidak bernyawa, dan tidak mempunyai rasa rindu maupun cinta kepada Allah Swt. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 25-26.

    87

    kesesatan dan sekaligus dapat mengurangi jumlah kemaksiatan. Jika di dalam suatu masyarakat telah ada sejumlah orang yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka masyarakat seperti itu akan terlindung dari murka dan siksa Allah swt. lebih jauh lagi, dengan melakukan dakwah inilah akan menghantarkan manusia ke pintu gerbang kebenaran Tuhan yang Mahabenar.111 Sebagai perintah Allah Swt. sudah tentu jika dilaksanakan akan menyebabkan lahirnya berbagai macam kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaiknya, jika ditinggalkan dan diabaikan akan menyebabkan timbulnya keburukan dan kehinaan, di dunia dan akhirat. Menurut Sayyid Muhammad Nuh, pengertian amar ma’ruf adalah mengajak dan memberikan dorongan kepada orang untuk melaksanakan kebaikan dalam seluruh dimensi dan bentuknya, menyiapkan sebab-sebab dan sarana-sarananya dalam bentuk mengokohkan pilar-pilarnya, serta menjadikannya sebagai ciri umum bagi seluruh kehidupan. Sedangkan nahi munkar adalah memperingatkan, menjauhkan dan menghalangi orang dari melakukannya, memutuskan sebabsebab dan sarana-sarananya sampai ke akar-akarnya, serta membersihkan kehidupan dari segala bentuk kemungkaran, sehingga akan lahirlah kemuliaan dan kedamaian hidup.112 Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam firman-Nya berikut ini,         

    ‚Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan‛. (QS. Hud: 117). Maksudnya, Allah tidak akan menurunkan beragam bencana atau cobaan pada suatu masyarakat, jika di tengah-tengah masyarakat itu masih ada sejumlah orang yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Atau, Allah akan menunda siksa dan murka-Nya terhadap suatu kaum jika di tengah-tengah kaum itu masih terdapat sejumlah orang yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Menurut Gulen berdasarkan tugas dakwah inilah Allah menjadikan tanggung jawab dakwah sebagai tolak ukur atas kebaikan dan keburukan.113 Oleh karena itu, Allah swt tidak akan menyiksa orang-orang yang selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di kalangan masyarakatnya. 111

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 27. Lihat juga Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h, terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>. (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008) 21. 112 Atabik Luthfi, Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, 11. 113 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 27. Lihat juga Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h, terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>, 21-22.

    88

    Hingga apabila ingin mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari sisi Allah, maka hendaknya segera menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. hendaknya pula meyakini bahwa jika tugas amar ma’rufnahi munkar ini tidak dijalankan dengan baik, maka dapat dipastikan masyarakatnya akan mendapatkan siksa Allah Swt. Berapa banyak masyarakat yang dikenal sangat rajin beribadah pada setiap malam dan paginya, mereka juga rajin berdzikir serta berthawaf di seputar Ka’bah, akan tetapi Allah justru menimpakkan murka dan siksa-Nya kepada orang-orang itu, disebabkan di tengah-tengah mereka tidak ada lagi sekelompok orang yang mau menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.114 Dalam pandangan Gulen, persoalan yang sangat mendasar dalam dakwah adalah tentang hakikat dakwah, dan juga berdakwah untuk kepentingan yang berskala umum; berkaitan dengan kebutuhan manusia kepada amar ma’ruf nahi munkar dari berbagai seginya. Sesuai dengan kehendak Allah swt yang menentukan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi, maka Allah memberi manusia kekuatan serta kemampuan untuk bisa mengeksplorasi apa saja yang telah Dia sediakan di permukaan maupun di dasar bumi, sesuai dengan keinginan dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, tidak tersedia sifat yang spesial semacam ini pada makhluk-makhluk selain manusia, yang dengan sifat tersebut manusia dapat mengembangkan serta mengeksplorasi apa saja yang tersedia di permukaan bumi untuk kepentingan dirinya sendiri dan pihak lain. Apalagi setelah mereka mengenal nama dan seluruh sifat Allah Yang Mahamulia, khususnya yang disebut sebagai Pemilik segala sesuatu. Sebab, Allah Swt adalah satu-satunya Dzat Yang Maha Memberi atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya untuk kepentingan manusia. Dengan kata lain, manusia diberi hak untuk memilih berdasar kepada kehendaknya sendiri, sesuai dengan apa yang telah digariskan (ditetapkan) oleh Allah swt. Hingga dengan cara semacam itu, manusia dapat mengenal Allah sebagai Dzat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, dan Dia pula Yang Maha Menentukan atas segala peristiwa, sehingga manusia juga merasa memiliki atau tidak memiliki apa saja yang berada di bumi ini sesuai dengan kehendak Allah.115 Adapun kehendak manusia yang diberi kebebasan untuk memilih apa saja yang diinginkannya, maka semua itu telah ditetapkan oleh Allah sejak manusia dinyatakan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Seperti telah disebutkan di dalam firman-Nya swt berikut ini, 114

    Pelaksanaan ibadah adalah salah satu manifestasi ketundukan dan kepatuhan. Namun, kesemuanya itu bisa dinilai dengan akal dan logika sekaligus ada hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa alH{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 28. Baca juga Muhammad Fathullah Gu>lan, As’ilah al-As}r al-Muhayyirah, terj Asrin Wurkhan Muhammad ‘Ali>, (Kairo: Da>r Ni>l, 2008), 153. 115 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 28.

    89

             

    ‚Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi...‛ (QS. al-Baqarah: 30). Sejak saat itulah Allah swt telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk berkehendak, dan mengeksplorasi apa saja yang ada di bumi. Sebagai seorang khalifah, maka manusia tidak bisa melampaui batas-batas yang telah ditetapkan baginya dari sisi Allah. Adapun batas-batas yang telah ditetapkan bagi manusia dari sisi Allah swt telah disampaikan melalui petunjuk para Nabi dan Rasul. Jika manusia menjalankan secara baik dan benar segala perintah Allah, maka ia termasuk makhluk yang paling mulia dalam penilaian-Nya. Lebih jauh lagi bagi manusia yang mampu merepresentasikan spirit Muhammad dan akhlak qur’ani yang luhur, merekalah yang disebut sebagai hamba yang saleh.116 Setiap orang wajib mengenal Allah Swt sebagai Tuhan-nya, dan mengenalkan Dzat Allah kepada orang lain, bahwa segala sesuatu yang ada ini hanyalah milik Allah, serta Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Setiap orang wajib mengenali dan mengenalkan kepada orang lain tentang para Rasul Allah, kitab-kitab suci-Nya. Wajib pula melaksanakan segala perintah Allah dan apa saja yang telah disampaikan melalui lisan Rasul-Nya dalam kehidupan ini, termasuk di dalamnya adalah untuk menunaikan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, tugas tersebut termasuk salah satu dari tujuan Allah swt menciptakan manusia, yaitu sebagai khalifah di muka bumi. Jadi, manakala seseorang telah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka ia termasuk hamba Allah yang telah melaksanakan perintah-Nya dengan baik, sedangkan segala sesuatu yang tersedia boleh dijadikannya sebagai sarana, sedikit demi sedikit, untuk kemanfaatan manusia. Semua itu dilakukan demi menggapai keridhaan Allah swt.117 Selain itu menurut Gulen, manusia terbaik adalah siapa yang selalu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sehingga semua waktunya digunakan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. juga bersikap takut atas murka Tuhan-nya, sehingga seluruh kehidupannya disesuaikan dengan perintahperintah Allah yang berada di dalam kitab suci-Nya. Yaitu, dengan menyayangi sesama manusia dan menyambung tali silaturrahim. Itulah kewajiban yang terpenting untuk segera dilaksanakan oleh setiap mukmin terhadap sesamanya. Adapun manusia sebagai makhluk yang sempurna, yang 116

    Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 29. Muhammad Fathullah Gu>lan Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h, terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>, 13. 117 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 29.

    90

    diberikan akal pikiran, ingin merasakan bahwa hubungan di antara sesama manusia terjalin dengan sangat erat. Maka harus senantiasa menyambung tali silaturrahim, dan juga melaksanakan apa saja yang menjadi tugas manusia terhadap pihak lain. Akan tetapi, yang lebih penting dari kesemuanya itu adalah, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang. Siapapun yang mau dan mampu melakukan tugas ini dengan baik, maka ia termasuk orang-orang yang dipuji oleh Allah swt.118 Hal ini sebagaimana firman Allah berikut ini;                                 

    ‚Mereka itu tidak sama; di antara ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang), Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh‛ (QS. Ali ‘Imran: 113-114). Dalam pandangan Gulen, ayat di atas menjelaskan tentang keutamaan dan kemuliaan orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Siapa saja yang telah menunaikan tugas amar ma’ruf nahi munkar dengan baik, maka ia termasuk orang yang beriman, dan bersungguh-sungguh dalam keimanannya. Sebab, firman Allah di atas dan tersedia pula sejumlah ayat yang serupa dengan firman Allah ini menggiring kita untuk melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar dengan baik.119

    118 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 29-30. 119 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 30.

    91

    92

    BAB IV RELEVANSI DAN SIGNIFIKANSI KONSEP DAKWAH GULEN: DALAM KONTEKS MASYARAKAT KONTEMPORER Pembahasan awal dari bab ini adalah menjelaskan Islam sebagai agama cinta. Sebagai agama cinta dan mencintai kedamaian Islam meletakkan tata cara bagi pemeluknya untuk tetap menjalin hubungan yang humanis dan harmonis. Selain itu sikap inklusif dan ajaran toleransi merupakan basis keberagamaan. Dengan sikap inklusif dan mengamalkan ajaran toleransi diharapkan dakwah dalam prosesnya bisa menghargai dan menghormati serta memuliakan manusia. Serta diikuti dengan dialog intensif intra dan antar agama. Maka perpecahan dan perselisihan, sedikit mungkin dapat dihindarkan. Adapun uraian ini ditujukan untuk perbaikan yang mendera moralitas masyarakat kontemporer seperti berlaku radikal dan ekstrim. Fokus kajian ini menitikberatkan pada nilai-nilai kearifan seperti toleransi, kasih sayang, sikap inklusif, dan dialog yang merupakan pondasi awal dalam membentuk kepribadian serta pijakan yang ditawarkan dalam membangun interaksi dalam bermasyarakat. A. Islam sebagai Agama Cinta Islam terambil dari kata ‚aslama‛ artinya pasrah, tunduk dan patuh kepada Tuhan. Inti ajaran Islam adalah kepasrahan penuh kepada Tuhan. Adapun dasar-dasar ajarannya adalah apa yang disebut secara ringkas dan tepat dengan sebutan rukun Islam dan rukun Iman.1 Islam adalah kata bahasa Arab yang semakna dengan kata salima, artinya selamat. Islam (penganutnya disebut Muslim) aslama yang berarti penyerahan diri kepada Allah, kata lain yang memiliki kesamaan makna dengan Islam diantaranya kata hanif, artinya cenderung atau kata din yang seakar dengan dain artinya hutang.2 Keislaman juga bisa dimaknai dengan perdamaian. Sebagaimana kata Islam itu sendiri berasal dari kata ‚aslama-yuslimu-isla>man‛. Kata ini berarti 1

    Rukun Islam yang dimaksud adalah, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah (shahadatain), mendirikan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji bagi yang mampu. Adapun rukun Iman yang dimaksud yaitu; beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada ketentuan Ilahiah. Acep Aripudin, Dakwah Antarbudaya,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 85. Baca juga Abbdullah Shah}a>tah, al-Da‘wah al-Isla>m wa al-I‘la>m alDi>ni>, (Mesir: al-Hai’ah al-Mis}ri>yah al-‘Ab, 1978), 218. Bandingkan dengan Nanang Tahqiq, ‚Islam‛ dalam dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam (Jakarta: Ushul Press, 2011), 42-43. 2 Seperti kalimat din al-Islam karena ketundukan kapada Tuhan merupakan hutang setelah manusia berjanji dan bersaksi mengakui ketuhanan ketika di alam ruh. Lihat Acep Aripudin, Dakwah Antar Budaya. 107. Bandingkan dengan Muhammad Baqir ash-Shadr, Risalatuna Pesan Kebangkitan Umat; Konsep Dakwah, pemikiran, dan Reformasi Sosial, terj. Muahammad Abdul Qadir Alcaf, (Yogyakarta: RausyanFikr, 2011), 137-140.

    93

    mendamaikan. Sebagaimana ayat al-Qur’an yang berbunyi udkhulu> fi> al-Silm ka>ffah yang bearti masuklah kalian dalam kedamaian secara total. 3 Dalam pandangan Abbdullah Shah}a>tah, Islam adalah agama damai dan persetujuan, Allah Swt. menamakannya dengan al-Sala>m (damai). Sehingga dalam Islam perselisihan, permusuhan dan kemarahan dilarang. Hal ini dikarenakan, kesemuanya itu akan menyebabkan kerusakan hati dan akan menceraiberaikan keimanan.4 Adapun menurut Mohammad Jawad Chirri, kata Islam berlaku untuk orang yang siap menerima perintah dari Allah dan mengikuti mereka. Karena Muhammad menyatakan bahwa ajarannya mengandung ajaran-ajaran para Nabi sebelumnya dan semua perintah-perintah Ilahi. Ketika seseorang mengaku kepercayaan pada kebenaran Muhammad dan janji untuk mengikuti pesannya, maka ia pada kenyataannya, akan menyatakan kesiapannya untuk mematuhi perintah Allah tanpa syarat.5 Tidak jauh berbeda dengan pandangan Mohammad Jawad Chirri, John L. Esposito menegaskan, ketika membicarakan Islam, maka akan banyak penafsiran terhadap Islam itu sendiri. Menurutnya, Islam mengakui suatu realitas yang Mahatinggi, Mahakuasa, Maha Pengasih dan Pemurah, Pencipta serta Pengatur alam semesta, dan Hakim pada hari akhir. Selain itu, para pemimpin kaum muslim mengatakan bahwa Islam adalah agama damai dan adil. Sementara itu, sebagaimana kepercayaaan lainnya, Islam dalam sejarahnya bukan hanya merupakan sumber kasih, moralitas, dan kebajikan, malainkan juga penyebar teror, ketidakadilan, dan penindasan. Pencitraan Islam itu ternoda ditangan-tangan orang Islam sendiri, seperti yang dilakukan Osama bin Laden dan teroris muslim lainnya yang secara global justru membantai muslim maupun non muslim.6 Selain itu, agama Nabi Ibrahim juga disebut agama yang memiliki kecenderungan dengan penuh tunduk kepada Tuhan Yang Esa. Kata ini juga memiliki kesamaan makna dengan Islam, antara lain kata millah, yang sering diartikan dengan agama, seperti dalam al-Qur’an terdapat bermacam-macam millah, millah Ibrahim dan millahnya kaum Yahudi dan Nasrani.7 Semantara itu, menurut Said Aqil Siroj, ada tiga kompenen yang fundamental dalam memahami Islam sebagai agama yang kaffah; akidah, syariah, dan tasawuf. Dari perspektif akidah, Islam memperkenalkan konsep keesaan Tuhan. Hal ini dimulai dari keberadaan Nabi Muhammad di Makkah 3

    Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab toleransi Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, (Jakarta: Fitrah, 2007), 366. 4 Abbdullah Shah}a>tah, al-Da‘wah al-Isla>m wa al-I‘la>m al-Di>ni>, (Mesir: al-Hai’ah alMis}ri>yah al-‘Ab, 1978), 217. 5 Mohammad Jawad Chirri, Inquiries About Islam, 1986, 17. 6 John L. Esposito, The Future of Islam, (New York: Oxford University Press, 2010), 10-12. 7 Acep Aripudin, Dakwah Antar Budaya. 107

    94

    di tengah masyarakat yang masih jahiliah yakni masyarakat yang peradabannya masih tergolong rendah. Hal ini dikarenakan masih berlakunya perbudakan, adapun bila ditinjau dari sisi teologi, kondisi mayoritas masyarakat masih menganut paganisme. Selama tiga belas tahun Nabi Muhammad saw. berdakwah dan bersosialisasi di Makkah dengan menawarkan prinsip teologi la> ila>ha illallah (tiada Tuhan selain Allah). Kalimat yang secara teologis bermakna penegasan tidak ada tuhan yang absolut selain Allah. selain itu pernyataan keimanan ini juga memberikan dampak sosial politik, yaitu penolakan terhadap berbagai bentuk perbudakan, penjajahan, dan intimidasi yang melanggar kebebasan dan hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan, dalam pandangan Islam, manusia dibangun atas dasar kebersamaan, kebebasan dan persamaan derajat.8 Adapun pola interaksi yang dibangun Islam sejak awal berupa dinamisasi yang mengedepankan pola uswah h}asanah, yakni berasaskan pada moralitas dan contoh teladan yang baik. Dengan adanya pendekatan moralitas ini menuntut umat Islam untuk selalu menjadi uswah (teladan) yang baik bagi lingkungan sekitarnya. Metode uswah h}asanah ini merupakan gerakan beragama yang bersifat soft-power, yakni yang menjunjung tinggi nilai keteladanan, moralitas, pembela bagi kaum d}u‘afa (tertindas) serta penegak hak-hak asasi manusia.9 Sehingga dalam posisinya sebagai agama yang menjunjung tinggi moralitas, Islam menunjukkan hal itu dalam kehidupan sehari-hari utusannya. Praksis dakwah Islam seperti ini merupakan bagian dari proses pembangunan image, yaitu untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi moralitas dan penyempurnaan etika (itmam al-Khuluq). Lebih jauh lagi, kebenaran maupun autentisitas Islam pernah digunakan untuk kepentingan melakukan tindakan anarkis, seperti pemaksaan, intimidasi, kekerasan dan tindakan-tindakan negatif lainnya.10 Adapun Islam dalam komponen syariatnya, merupakan nilai-nilai agama yang diaplikasikan secara fungsional dan dalam makna konkret untuk mengarahkan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan syariat merupakan jalan ketetapan Tuhan sebagai arah kehidupan manusia untuk merealisasikan kehendak Tuhan. Cara untuk merealisasikannya dengan upaya seperti saling menghormati dan menghargai, tolong menolong, cinta kasih, serta mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Lebih spesifik lagi semangat dasar syariat Islam adalah moralitas. Sehingga dari pengertian inilah, Islam dikenal 8

    Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi (Bandung: Mizan, 2006), 26. 9 Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, 27-28. 10 Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, 28.

    95

    dengan penegakan syariat secara kaffah.11 Hal inilah merupakan pondasi kerjasama (ta’awun) antar semua pihak. Adapun benih penyakit yang merusak interaksi manusia seringkali berasal dari ketidaktahuan sesama mereka dan saling berjauhan serta menghujat. Al-Qur’an sendiri mengungkapkan kata ‚al-Arh}am‛ (hubungan silaturrahmi) dengan begitu indah. Kata ‚al-Arh}am‛ ini digunkan al-Qur’an untuk mengindikasikan bahwa seluruh manusia memiliki hubungan keluarga yang harus di jalin.12 Ungkapan al-Qur’an yang dimaksud adalah QS. al-Nisa>’: 1.

    ‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan lakilaki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu‛. Sementara itu, dalam pandangan Gulen, Islam adalah agama keamanan, keselamatan, dan perdamaian. Prinsip-prinsip ini meresap dalam kehidupan umat Islam. Sebagai contoh , ketika umat muslim berdiri untuk shalat, mereka memutuskan hubungan dengan dunia, menghadap Tuhan dalam iman dan ketaatan, dan berdiri tegak kehadirat-Nya. Adapun di penghujung shalat, seolah-olah mereka hidup kembali, menyambut orangorang di kanan dan kiri dengan salam damai, ‚semoga tetap aman dan damai.‛ Dengan keinginan untuk keselamatan dan keamanan, kedamaian dan kesejahteraan. Hal ini dikarenakan salam, doa keselamatan dan keamanan bagi orang lain dianggap sebagai salah satu perbuatan yang paling bermanfaat dalam Islam. Islam juga merupakan jalan lurus yang membentang dari zaman azali hingga masa keabadian. Islam juga dikenal dengan sebuah tanda bagi aturan agama samawi yang diturunkan Tuhan untuk mewujudkan hasrat ‚keabadian‛ yang dimiliki setiap orang, serta sekaligus untuk

    11

    Syariat berasal dari kata syara’a yang berarti jalan. Adapun dalam pengertian terminologisnya, syariat dapat diartikan sebagai jalan kehidupan yang baik. Hal ini menunjukkan syariat Islam adalah tuntutan Islam yang meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik yang berkenaan dengan moralitas, penegakan hukum, keadilan, kemakmuran dan upaya dalam meningkatkan sumber daya manusia. Selain itu, pada masa Nabi Muhammad saw. syariat menampilkan dua aspek dalam dirinya, aspek eksoteris dan esoteris. Sisi eksoteris syariat Islam dapat terlihat seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji dan jihad fi sabilillah. Baca Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, 28-30. 12 Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M. Abdilah Noor Ridlo (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 66-67.

    96

    membuka setiap hati tanpa terkecuali, hal ini dimulai dari hati manusia mulia di muka bumi, Rasulullah Saw sampai hati yang dimiliki manusia biasa.13 Diskriminasi dalam tubuh umat manusia telah ada sebelum kelahiran Islam. Diskriminasi berdasarkan warna kulit, ras, bahasa, dan strara sosial. Maka, kedatangan Islam membawa angin segar untuk mereformasi ketimpangan-ketimpangan tersebut. Secara teoritis, Islam menghancurkan praktik-praktik diskrimanatif tersebut dengan mengeluarkan statemen tentang persamaan antar seluruh umat manusia, dan dikatakan bahwa tidak ada kelebihan di antara kulit putih dan kulit hitam, antara arab dan ajami, semuanya sama kecuali ketakwaan. Adapun secara praktis, Islam telah menegaskan berlakunya keawajiban-kewajiban atas manusia secara keseluruhan, tanpa pengecualian berdasarkan status atau kedudukan seseorang.14 Lebih spesifik lagi, menurut Gulen, semenjak Islam mulai mendirikan kemahnya di muka bumi, agama Islam selalu mengerahkan seluruh energi yang dimilikinya untuk mengajak bicara serta membuka hati manusia, sampai akhirnya berhasil menggambarkan citranya di dalam setiap sanubari dan kemudian bergerak menuju seluruh sendi kehidupan yang ada. Hal seperti inilah, yang membuat keselarasan dan kesesuaian antara kedalaman Islam di dalam hati manusia dengan pengaruh yang ditimbulkannya dalam setiap sendi kehidupan manusia yang bersangkutan. Sebagaimana pula halnya adanya keselarasan antara kadar keterjalinan Islam di dalam jiwa seseorang dengan mengakar kuatnya agama ini di dalamnya, sehingga pengaruhnya kemudian mengaliri kehidupan dan sinar pantulnya menyebar ke lingkungan sekitar.15 13

    M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance , (New Jersey, Tughra Books, 2011) 58. Baca juga Muhammad Fethullah Gulen, Membangun

    Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, terj Fuad Syaifuddin Nur dan Syarif Hade Masyah, (Jakarta: Republika, 2013), 81.

    14

    Contoh yang sangat relevan seperti dalam melaksanakan kewajiban shalat. ketika melakukan shalat secara berjamaah, para makmum berdiri di belakang imam, adapun orang yang datang lebih awal berhak untuk mendapat bagian di barisan (saf) pertama, maka seorang yang dalam strata sosialnya lebih tinggi bisa saja berdiri di belakan orang yang dalam strata sosialnya lebih rendah. Begitu juga dalam pelaksanaan ibadah haji, antara presiden dan rakyatnya, para pembesar dan masyarakat biasa, yang kaya dan yang miskin; kesemuanya mengenakan pakaian ihram dalam satu tipe bewarna putih, yakni pakaian yang mirip dengan pakaian kafan, serta bersama-sama menyambut seruan Allah seraya mengucapkan kalimat Talbiyah, ‚labbaik Allahumma labbaik‛. Hal ini menujukkan, dalam Islam semua manusia sejajar dan sama serta tidak ada yang membedakannya kecuali ketakwaan. Yusuf alQaradhawi, Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam , terj. H.M. Abdilah Noor Ridlo, 67. 15 Bahkan lebih jelas lagi menurut Gulen, semua yang dilihat berada dalam bentuk kerinduan, keinginan dan ketekunan untuk menerima Islam. Selain itu, Islam sebenarnya telah mewujudkan keselarasan dan kedalaman citra yang terkandung di dalamnya. Hal ini

    97

    Hubungan pertalian ini yang dibangun oleh Islam berdasarkan landasan normatif yang bersumber dari al-Qur’an. Dalam hal ini, al-Qur’an merupakan kekuatan yang paling dahsyat, paling pas dengan indra kemanusiaan, dan lebih dekat lagi dengan hukum akal. Sehingga tidak ditemukan baik itu sebelum ataupun sesudahnya aturan sejenis yang dapat membangun, manjaga keseimbangan antara akal, hati dan ruh.16 Islam juga merupakan aturan yang paling ideal dan paling sesuai dengan perangai dan tabiat kebiasaan manusia, baik yang berhubungan dengan alam makrokosmos ataupun alam mikrokosmos. Dalam hal ini, Gulen menjelaskan tidak ada yang sejenis dan serupa dengan Islam dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, dan menurut Gulen tak kan pernah ada. Kondisi inilah yang disebutnya dengan kondisi fitrah, hal ini dikarenakan sumber utama Islam adalah wahyu yang suci nan jernih. Adapun penjelas utama wahyu itu adalah al-Sunnah.17 Selain itu, cara paling mudah diterima langsung untuk memikat hati manusia adalah cara cinta, yakni jalan yang dilakukan oleh para Nabi. Mereka yang menempuh jalan ini jarang sekali ditolak, kalaupun ditolak oleh segelintir orang, mereka disambut gembira oleh ribuan orang lainnya. Sekali mereka diterima dengan cinta, tak akan ada yang mampu menghalangi mereka untuk meraih cita-cita gemilang, yaitu keridaan Tuhan. Lebih spesifik lagi, menurut Gulen, dalam kamus kemanusiaan, cinta adalah kehidupan. Manusia bisa merasakan dan mengindra satu sama lain dengan cinta. Tuhan belum menciptakan hubungan yang lebih kuat daripada cinta, yang merupakan mata rantai pengikat manusia antara satu dan yang lainnya.18

    menunjukkan bahwa setiap kali hal ini masuk kedalam lubuk hati manusia, maka pengaruhnya terhadap lingkungan di sekitarnya juga akan semakin kuat. Muhammad Fethullah Gulen,

    Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, 81-82. 16 Muhammad Fethullah Gulan, Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia , 171. 17

    Memahami Islam secara tekstualistik dan legal formal memang sering mendatangkan sikap ekstrem dan melampaui batas. Padahal al-Qur’an tidak melegitimasi sedikit pun segenap prilaku dan sikap yang melampaui batas. Dalam konteks ini, ada tiga sikap yang katagorikan ‚melampaui batas‛. Pertama, ‚ghuluw‛, yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespon persoalan hingga terwujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran manusia. Kedua, ‚tat}arruf‛, yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosiaonal yang berimplikasi pada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. Ketiga, ‚irhab‛, yakni sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama dan ideologi. Sikap ini biasanya jadi legitimasi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu. Baca Said Aqil Siroj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi , 28-30. Bandingkan dengan Muhammad Fethullah Gulan,

    Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, 172. 18 M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 2-4.

    98

    Sementara itu, menurut Yusuf al-Qard}awi, Islam memuliakan manusia karena eksistensinya sebagai manusia, tanpa harus membedakan warna kulit, ras/etnis, bahasa, geografis tempat tinggal atau status dan strata yang dimiliki. Kesemuanya itu tidak menjadi pertimbangan untuk membedabedakan manusia. Akan tetapi, hal yang sangat prinsipil mereka dimuliakan dan dihargai karena mereka adalah manusia. Lebih jauh lagi Islam melihat jenis manusia keseluruhan dari sifatnya sebagai satu keluarga. Berafiliasi kepada Allah dalam penghambaan dan sebagai keturunan Adam. Sehingga dapat dipastikan jika Tuhan mereka satu dan bapak mereka juga satu. 19 Kedamaian dalam Islam merupakan perkara yang sangat Fundamental. Sebagaimana Abdullah Shaha>tah menyatakan;

    Maksud dari kalimat di atas adalah bahwa, perdamaian merupakan jiwa agamamu, ajakan Allah bagimu dan peradamaian merupakan ayat dalam al-Qur’an dan Sunnah dari petunjuk Nabimu. Maka pegangilah dia karenanya jalan kesatuanmu, tanda ketinggianmu, jalan kemegahanmu, kekuasaan Allah beserta jamaah, Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya. Menurut Gulen, Mementingkan orang lain merupakan sikap mulia yang dimiliki manusia, dan sumbernya adalah cinta. Siapapun yang memiliki andil terbesar dalam masalah cinta ini, mereka pahlawan kemanusiaan paling hebat; orang-orang ini telah mampu mencabut perasaan benci dan dendam dalam diri mereka.21 Tidak jauh berbeda dengan Gulen, dalam pandangan Zuhairi Misrawi, banyak sekali alasan untuk menyatakan bahwa Islam adalah agama cinta kasih dan mencintai kedamaian. Pertama, Tuhan adalah Mahadamai, ini terlihat dari salah satu nama-nama Tuhan yang indah di dalam ‚al-Asma>’ alH{usna>‛ yaitu ‚al-Sala>m‛ yang berarti Yang Mahadamai. Lebih jauh lagi, salah satu fungsi diciptakannya manusia adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup umat manusia. Hal inilah yang menyebabkan hampir 19

    Hal ini tergambar ketika Nabi menyampaikan khutbah di hadapan khalayak ramai pada waktu haji wada’: ‚wahai sekalian manusia sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan bapakmu juga satu, masing-masing kamu sekalian dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah‛. Isi khutbah ini relevan dengan pernyataan Allah dalam QS. al-Hujurat: 13. Pada kalimat ‚li ta’arafu>‛ (saling berkenalan), yaitu untuk mengetahui satu sama lainnya dan saling memahami. Baca Yusuf al-Qaradhawi, Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M. Abdilah Noor Ridlo, 66. 20 Abbdullah Shah}a>tah, al-Da‘wah al-Isla>m wa al-I‘la>m al-Di>ni>, 218. 21 M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance , 2.

    99

    diseluruh praktek ritual keagamaan dalam Islam selalu mempunyai misi dan visi untuk mewujudkan kedamaian dan perdamaian.22 Kedua, perdamaian merupakan keteladanan yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw. di saat memulai dakwahnya beliau menjadikan perdamaian sebagai salah satu titik penting dalam melakukan perubahan sosial. Ketiga, perdamaian merupakan salah satu bentuk ukuran tinnginya peradaban manusia. Selain itu, manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang senantiasa melakukan interaksi sosial. Ini menunjukkan inti dari agama dan relasi sosial adalah perdamaian. Lebih spesifik lagi, menolak perdamaian merupakan sikap yang bisa dikatagorikan sebagai menolak esensi agama dan kemanusiaan.23 Akal, hati, pikiran, perasaan, dan wahyu memiliki urgensi yang tinggi dalam konsep ajaran Islam. Kesemuanya itu merupakan satu-kesatuan dengan sisi yang bervariasi. Menurut Gulen, ajaran Islam lebih luas dan lebih luwes dari yang lainnya sesuai dengan yang ditempatinya. Hal ini dikarenakan, ajaran Islam senantiasa merawat kelapangan dan keluasan ajarannya kepada manusia. Karenanya ketika Islam menghadapi lawannya selalu menggunakan metode dialog, yang diiringi dengan penuh perasaan dan kasih sayang. Adapun hukum-hukumnya dibangun di atas dasar keterikatan antara manusia, alam semesta, dam Pencipta. Selain itu kesemuanya selaras dengan ayat-ayat al-Qur’an, akal dan logika.24 Dari penjelasan di atas, dapat dipahami Islam merupakan keharmonisan dan daya kesempurnaan dengan segala kondisi kehidupan yang memiliki berbagai aspek spritual dan kehidupan.25 B. Inklusifisme dan Toleransi sebagai Basis Keberagamaan Dalam tradisi ilmiah Islam, dapat ditemukan metodologi Islam dalam mengatur hubungan antar manusia dan upayanya untuk menyelesaikan problematika hubungan sosial, dalam hal ini tidak ada istilah yang lebih tepat daripada dua kata: ‚toleransi‛ dan ‚keadilan‛. Dua kata tersebut cukup mewakili landasan yang mencakup segala permasalahan syari’at, khususnya 22

    Visi dan misi Islam ingin mewujudkan kedamaian dan perdamaian dapat tergambar dari do’a atau wiridan yang berisi tentang harapan untuk hidup damai yang biasanya dilantunkan dan dipanjatkan setiap selesai melaksanakan shalat:

    ‚wahai Tuhan, Engkau adalah Mahadamai. Dari-Mu muncul kedamaian. Dan kepada-Mu kedamaian akan kembali. Maka hidupkanlah kami dengan kedamaian dan masukkkanlah kami ke dalam surga, rumah kedamaian. Dengan keberkahan dan ketinggian-Mu yang Mahamulia‛. 23 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 365-366. 24 Muhammad Fethullah Gulan, Membangun Peradaban Kita Islam adalah Masa Depan Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia , 171. 25 Mujtaba Musawi Lari, Islam Spirit Sepanjang Zaman, (Jakarta: al-Huda, 2010), 119.

    100

    yang berhubungan dengan masalah hubungan antar manusia.26 Prinsip toleransi (al-Tasa>muh) dapat ditemukan dalam beberapa ayat al-Qur’an secara terpisah-pisah. Ada yang mengajak dan memerintahkan manusia supaya mau memaafkan dan tidak menuntut balas (al-Afwu dan al-Shafh), ada yang memerintahkan untuk berbuat kebajikan (al-Ihsan), bahkan ada yang menyuruh membalas kejahatan dengan kebajikan, di samping itu ada pula perintah untuk berpaling saja dari orang-orang yang tidak mengerti, dan perintah-perintah lain yang bermuara dan berangkat dari toleransi.27 Sebagai contoh, berikut ini ayat-ayat yang berhubungan dengan toleransi tersebut: 1. Dalam QS. al-Mu’minun: 96           “Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.”28 2. Dalam QS. al-Fushilat: 34-35 di sebutkan,                               “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orangorang yang mempunyai keuntungan yang besar.” Sikap toleran merupakan ‚metode damai yang sejuk‛ yang semestinya menjadi alat bagi Muslim untuk menghadapi sikap tidak bersahabat dari orang lain atau perlakuan jahat orang-orang yang merusak hak-haknya. Sikap toleran akan membuat seseorang ketika menghadapi perlakuan tidak baik dari sesamanya menjadi manusia teladan. Pancaran rahmat keluar dari kalbunya, untuk kemudian membangkitkan rasa cinta dan 26

    Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), 22. 27 Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 22-23. Dalam QS. al-Furqan: 63. QS. alBaqarah: 109. QS. al-Baqarah: 237. QS. Ali ‘Imra>n: 159. QS. al-Ma’idah: 13. QS. al-Syura: 37. QS. al-Syura: 40. QS. al-Jatsiyah: 14. QS. al-Qashash:77. QS al-Baqarah: 195. 28 Maksudnya: perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan kaum musyrikin yang tidak baik itu hendaklah dihadapi oleh Nabi dengan yang baik, umpama dengan memaafkannya, Asal tidak membawa kepada Kelemahan dan kemunduran dakwah.

    101

    kedamaian pada diri orang lain. Dari batinnya meluncur kesejukan, kedamaian, dan keselamatan pada masyarakatnya.29 Tetapi, rahmat kasih sayang yang bersinar dari kalbu dan kebaikan yang memancar dari jiwa itu merupakan manifestasi dari kerendahan batin atau kekerdilan jiwa yang memaksanya untuk mengikuti prilaku seperti itu, juga bukan berasal dari kealpaannya terhadap realitas prilaku manusia, bukan pula karena ketidaktahuannya terhadap kecenderungan jahat manusia, sikap toleransi merupakan upaya untuk melepaskan pertengkaran dan pertentanagan di antara individu manusia. Selain itu juga toleransi untuk menjauhkan rasa dengki, dendam, kebencian, dan permusuhan dari jiwa manusia dan menggantinya dengan jiwa yang penuh rasa cinta, rasa sayang, dan rasa saling mengasihi.30 Hal yang lebih relevan dikemukakan Zuhairi, menurut Zuhairi Misrawi, bahwa rahmat dan kasih Nabi merupakan kategori kasih yang proaktif dan progresif. Artinya, rahmat dan kasihnya melampaui batas-batas primordialnya. Rahmat dan kasihnya bersifat universal untuk semua umat beragama dan untuk sepanjang masa. Rahmat dan kasih merupakan unsur terpenting bagi keseimbangan dan keberlangsungan da’wah Rasulullah saw.31 Terlebih lagi di era kontemporer ini, khususnya dalam hal keagamaan semakin terlihat indikasi alienasi paham keagamaan, bahkan kadangkala menjadi salah satu sumber kekerasan, kendatipun bukan satu-satunya sumber. Dalam pandangan Zuhairi, agama yang senantiasa diletakkan di menara gading tidak mampu memberikan jawaban mujarab terhadap problem keumatan dan kemanusiaan. Hal itu terjadi, karena ada jurang yang memisahkan antara paham keagamaan dengan realitas sosial. Paham keagamaan berada di sebelah lembah, sedangkan problem kemanusiaan di lembah yang lain sehingga antara keduanya tidak saling menyapa dan tidak pula berdialog dan yang amat menyedihkan, paham keagamaan justru dijadikan pemicu tindakan kekerasan, penyerangan dan pengusiran.32 Hal yang seperti ini disebabkan tema dan cakupan dakwah yang disampaikan para juru dakwah selama ini hanya berkisar dalam masalahmasalah hablun minallah (hubungan vertikal), atau maslah ukhrawi belaka: syahadat, shalat, zakat, puasa, haji dan tema-tema ritual keagamaan lainnya. Sementara tema dakwah Islam lainnya, yaitu hablun minannas (hubungan horizontal) tidak banyak disinggung. Padahal sebenarnya cakupan atau tema 29

    Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 30-31. 30 Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim, 31. 31 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 245. 32 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 257.

    102

    dakwah sangatlah luas. Masalah-masalah kepentingan umat adalah bagian dari tema dakwah Islam, misalnya demokrasi, masalah peningkatan sumber daya umat, masalah peningkatan ekonomi, etos kerja, dan lain-lain. Hal ini jarang disinggung dalam bahasan-bahasan materi dakwah, sehingga dakwah seakan tidak berpijak di bumi tetapi mengangkasa. Karena pada dasarnya dakwah adalah aktivitas mengubah masyarakat menjadi lebih baik dalam berbagai persoalan agar sesuai dengan ajaran Islam.33 Dari sisi metodologis, konsepsi Islam tentang model dakwah sedemikian humanis dan tulus. Nabi saw sendiri telah menyampaikan Islam dengan cara damai, halus, penuh kasih sayang dan tanpa paksaan. Dari sisi sosiologis, pudarnya nilai-nilai dakwah yang original itu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sain maupun sosial-kultural masyarakat kekinian. Sebab, bagaimanapun juga eksistensi dakwah Islam senantiasa bersentuhan dengan realitas sosial yang mengitarinya.34 Dalam konteks penyelamatan dunia kontemporer dari ancaman global inilah Gulen mendedikasikan dirinya melalui upaya-upaya dakwah, pendidikan atas dasar cinta, toleransi dan dialog. Buku Gulen yang berjudul Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, merupakan kompilasi dari pidato-pidato dan artikel-artikelnya. Buku ini di publikasikan ketika dialog antarperadaban dan agama semakin dibutuhkan sebagai alternatif bagi kemungkinan terjadinya ‚benturan peradaban‛ (clash of civilization). Bukunya ini mendapat apresiasi dari berbagai lapisan masyarakat dan lintas golongan.35 Gulen menilai sikap toleransi sebagai nilai abadi yang berasal dari "esensi penciptaan," kasih Allah: "Allah menciptakan semesta sebagai manifestasi dari cintanya kepada makhluk-Nya, dalam kemanusiaan khususnya, dan Islam menjadi kain tenunan dari kasih-Nya‛. Toleransi, sebagai ungkapan ini berasal cinta melalui Islam, lebih lanjut menurut Gulen, sikap intoleran dan kekerasan menunjukkan bahwa fanatisme buta adalah bertentangan dengan esensi dari pesan Islam dan Allah untuk penciptaan. Gulen mengajak umat 33

    Samsul Munir Amin, Rekontuksi Pemikiran Dakwah Islam, (Jakarta: Amzah, 2008) x-xi. 34 Dalam perspektif historis, pergumulan dakwah Islam dengan realitas sosio-kultural menjumpai dua kemungkinan. Pertama, dakwah Islam mampu memberi hasil terhadap lingkungan dalam arti memberi dasar filosofi, arah, dorongan dan pedoman perubahan masyarakat sampai terbentuknya realitas sosial baru. Kedua, dakwah Islam dipengaruhi oleh perubahan masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Ini berarti bahwa aktualitas dakwah ditentukan oleh sistem sosio-kultural. Lihat Safrodin Halimi, Etika Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an, Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial, (Semarang: Wali Songo Press, 2008), 2–4. 35 Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, (Bandung: Mizan, 2011), 149.

    103

    Islam untuk merebut kembali nilai toleransi sebagai sesuatu yang melekat dalam semangat Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad saw.36 Sementara itu, dalam pandangan Irwan Masduqi, karya Gulen tersebut memiliki memiliki tujuan ganda. Pertama, seruan kepada kaum Muslim agar membangun kesadaran bahwa Islam mengajarkan perlunya dialog dan umat Islam diajak untuk menjadi agen perdamaian dan agent of sosial change serta menjadi saksi kasih sayang Tuhan yang universal. Gulen menyerukan toleransi dengan membawa al-Qur’an, hadis, dan pandangan inklusif para tokoh sufi.37 Disini Gulen meyakinkan bahwa toleransi, cinta dan kasih sayang merupakan manifestasi dari Tuhan. Kedua, Gulen mengajak Barat agar mengkaji Islam secara komprehensif dan simpatik melalui sumbersumbernya yang otoritatif.38 Masyarakat yang plural secara agama, pada umumnya mempunyai masalah yang serius dalam hubungan antar agama. Kendatipun dialog-dialog kultural senantiasa dilakukan, akan tetapi konflik, benturan dan gesekan seringkali muncul karena beberapa faktor, diantaranya faktor teologis, historis dan politis. Disinilah diperlukan sebuah pembacaan yang komprehensif terhadap inti ajaran Islam. Dengan demikian tidak bisa dipungkiri bila kasih sayang dan toleransi merupakan tulang-punggung peradaban kemanusiaan kontemporer. Menurut Zuhairi di tengah situasi global yang semakin tidak manusiawi, maka peradaban dan dakwah Islam harus menjadi oase di tengah krisis kemanusiaan. Artinya, tidak ada alasan untuk melakukan kekerasan dengan dalih kekerasan yang dilakukan pihak lain. Amat diperlukan upaya-upaya strategis dan proaktif untuk mengampanyekan ajaran Nabi Muhammad saw sebagai pembawa kasih sayang.39 Adapun hal yang paling penting adalah meyakini relativitas yang melekat pada setiap insan. Ini dikarenakan tidak ada manusia yang sempurna dan memegang kebenaran mutlak. Lebih tegas lagi kesempurnaan hanyalah milik Tuhan semata. Di sinilah dakwah dan toleransi perlu menggarisbawahi kesanggupan untuk menerima yang lain sebagai inspirasi menuju tangga 36

    Aaron Tyler, ‚Tolerance as a Source of Peace: Gulen and the Islamic Conceptualization of Tolerance‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 737. 37 Pandangan inklusif para tokoh sufi ini seperti Al-Ghazali, jalaludin Rumi dan Ibn Arabi 38 Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama, 149-150. 39 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 248.

    104

    kebenaran. Begitu juga dengan agama-agama samawi. Iman kepada para Nabi dan Kitab terdahulu merupakan bukti ketulusan dan keterbukaan terhadap kebenaran yang datang dari pihak lain. Dalam hal ini, Tuhan sendiri yang menunjuk hamba-hamba pilihan-Nya untuk membawa obor kebenaran dan cahaya keimanan. Karena itu, amat tidak bermoral bila dalam dakwah dan debat muncul semacam anggapan bahwa pihaknya yang benar, sedangkan pihak yang lain salah.40 Dalam kaitannya dengan hal ini, Gulen menjelaskan bahwa terorisme dan kekerasan merupakan akibat hilangnya cinta dan kasih sayang di hati manusia. Menurutnya cinta adalah obat mujarab bagi problem kekerasan, serta kehidupan yang damai hanya dapat diwujudkan secara harmoni dengan cinta kepada Tuhan, dan tidak ada hubungan yang lebih kuat daripada cinta. Lebih spesifik lagi menurut Gulen cinta adalah mawar di dalam hati manusia yang tak pernah layu, dan hubungan terkuat di antara individu-individu yang membentuk keluarga, masyarakat, dan bangsa adalah cinta.41 Selain daripada itu, toleransi yang dalam bahasa Arab disebut altasa>muh merupan salah satu ajaran inti Islam yang sejajar dengan ajaran lain, seperti kasih (rah}mah), kebijaksanaan (h}ikmah), keadilan (‘adl) dan kemaslahatan universal (mash}lahah ‘ammah). Dengan demikian dapat dipahami prinsip-prinsip ajaran inti Islam tersebut bersifat trans-historis, trans-ideologis bahkan trans-keyakinan agama.42 Toleransi merupakan keniscayaan dalam ruang individu dan publik, hal ini dikarenakan salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai di antara pelbagai kelompok masyarakat, baik dari perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan, maupun identitas. Dalam pandangan Michael Walzer, sebagaimana dikutip Zuhairi Misrawi, setidaknya ada lima hal yang menjadi subtansi dari toleransi: Pertama, menerima perbedaan untuk hidup damai. Kedua, menjadikan keseragaman menuju perbedaan. Ketiga, membangun moral stoisme, yaitu menerima orang lain mempunyai hak, walaupun dalam prakteknya haknya kurang menarik orang lain. Keempat, mengepresikan keterbukaan terhadap yang lain, ingin tahu, menghargai, ingin mendengarkan dan belajar dari orang lain. Kelima, dukungan yang antusias terhadap perbedaan serta menekankan aspek otonomi.43 Dengan demikian, al-Qur’an telah menggariskan dengan sangat baik jalan menuju toleransi. Selain itu, di tengah menguatnya keberagamaan diperlukan toleransi yang bersifat aktif. Ini artinya dakwah dan debat yang 40

    Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan

    Multikulturalisme, 265. 41

    M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance , 4. Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, 215. 43 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 181-182. 42

    105

    seringkali di jadikan ajang untuk memupuk kebencian dapat digantikan sebagai ajang untuk memupuk kebersamaan dan keterbukaan terhadap orang lain. Adapun dakwah itu sendiri bukanlah upaya untuk menciptakan tebing ketertutupan terhadap yang lain. Padahal lebih dari itu dakwah dan debat merupakan upaya persuasif untuk mengenalkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Maka sudah sewajarnya bila langkah yang diambil juga memperhatikan tentang pentingnya melihat pihak lain sebagai pihak setara, terutama dalam kapasitasnya sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai kelebihan dan kekurangan yang hampir merata.44 Adapun dalam pandangan Gulen, toleransi biasanya digunakan untuk menggantikan rasa hormat, kasih sayang, kemurahan hati, atau kesabaran. Lebih jauh lagi menurutnya, unsur terpenting dari sistem moral yang merupakan sumber disiplin spiritual yang sangat penting dan merupakan kebajikan surgawi bagi orang-orang yang hebat.45 Lebih jauh Gulen menjelaskan, umat manusia yang hidup pada abad kedua puluh satu ini lebih membutuhkan kepada tata cara dan penyampaian yang mengandung kasih sayang serta dipenuhi dengan sikap toleransi. Mereka tidak menginginkan kepada cara-cara kekerasan sedikitpun. Oleh karena itu, setiap da’i harus mempunyai hati yang lapang, dan bersikap penuh kasih sayang kepada semua orang, sehingga suara mereka mampu menyentuh perasaan para pendengarnya. Jika para da’i dewasa ini bersikap santun dan berlapang dada, maka para pendengarnya akan menerima serta mendengar nasihat mereka dengan lapang dada pula. Sebab, sifat dasar manusia sejak dahulu hingga masa kini sangat terpengaruh kepada alam demokrasi yang terbebas dari segala bentuk paksaan maupun penindasan (intimidasi).46 Sekarang, saatnya ajaran tentang toleransi di dalam dakwah sebagaimana dijelaskan di atas mendapat perhatian yang semestinya, khususnya para da’i dan ilmuan agar tidak terjebak dalam klaim kebenaran. Sebab, hanya Tuhanlah yang patut menyandang Yang Mahabenar dan Mahatahu. Para da’i dan kalangan cerdik-cendikia diharapkan dapat membangun iklim toleransi di lingkungan masing-masing, baik di masjid, madrasah, kampus, kantor maupun lembaga-lembaga kekusaan politik. Sehingga dakwah yang merupakan panggung pencerahan dan pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat memberikan alternatif bagi terciptanya suasana yang kondusif untuk membangun toleransi di tengah keragaman.47 44

    Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan

    Multikulturalisme, 265. 45

    M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance , 33-34 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 30. 47 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 266. 46

    106

    Lebih jauh lagi Abd. Moqsith Ghazali menegaskan kebebasan beragama dan respek terhadap kepercayaan orang lain bukan hanya penting bagi masyarakat majemuk, tetapi bagi orang Islam, hal ini dikarenakan kebebasan beragama merupakan ajaran al-Qur’an. Selain daripada itu membela kebebasan beragama dan menghormati kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman. Keharusan membela kebebasan beragama tersebut diantaranya, disimpulkan dalam sikap mempertahankan rumah-rumah peribadatan, seperti biara-biara, gereja-gereja, sinagog-sinagog dan masjid-masjid. Dengan demikian, tak ada alasan bagi seorang muslim untuk membenci orang lain karena ia bukan penganut agama Islam. Bahkan toleransi yang ditunjukkan Islam demikian kuat sehingga umat Islam dilarang memaki tuhan-tuhan yang disembah orang-orang musyrik. Membiarkan orang lain tetap memeluk agamanya adalah bagian dari perintah Islam itu sendiri.48 Dengan demikian, dalam dakwah sikap pluralis dan ajaran toleransi harus menjadi tindakan nyata yang dapat membentuk kesadaran kolektif. Namun lebih dari itu, sejatinya dakwah tidak dalam rangka menafikan wahyu keragaman, melainkan justru meneguhkan kebersamaan dalam bingkai kemanusiaan dan keharmonisan. Dakwah yang toleran merupakan amanat dan perintah Tuhan yang semestinya dipedomani oleh mereka yang bergerak di medan dakwah. Tanpa hal tersebut, umat Islam akan kehilangan khazanah yang paling penting untuk membangun toleransi intra-agama dan antaragama. Hal ini menunjukkan siapa pun yang mengaku beriman, berakal dan mempunyai hati nurani mesti mempunyai tanggungjawab yang besar untuk merancang-bangun paradigma toleransi. Tanpa upaya tersebut, hidup toleran tanpa kekerasan akan menjadi sebuah mimpi. Tanpa keterlibatan kalangan agamawan, toleransi akan sulit menemukan momentumnya, terutama dalam rangka membangun toleransi yang berbasis khazanah keagamaan.49 C. Dialog Intensif Intra dan Antar Agama Berbicara dialog intensif intra dan antar agama tidak dapat dipisahkan dari umat Islam dan globalisasi.50 Merupakan dua faktor yang 48

    Setiap umat Islam wajib menyampaikan ajaran toleransi ke tengah umat manusia karena toleransi merupakan perkara yang fundamental dan ditegaskan di dalam Al-Qur’an, serta perbedaan agama bukanlah penghalang untuk merajut tali persaudaraan antar sesama manusia yang berlainan agama hal ini sebagaimana Nabi Muhammad lahir ke dunia bukan untuk membela satu golongan, etnis dan agama tertentu saja, melainkan sebagai Rahmat Lil ‘A>lamin. Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, 216. 49 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, 179- 266. 50 Globalisasi berasal dari kata global yang artinya berkenaan dengan keseluruhan, lihat Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 491.

    107

    senantiasa berkembang, sedangkan umat Islam sendiri adalah bagian yang integral dalam era globalisasi, maka hubungan di antara keduanya berkembang sebagai hubungan saling mempengaruhi.51 Dalam konteks hubungan saling mempengaruhi seperti itu maka pentingnya dialog dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Mukti Ali, dialog antar orang beriman yang dijalankan oleh para pengajar, secara pribadi lebih membuahkan hasil ketimbang dialog antar orang-orang beriman yang dijalankan secara formal pada tataran pemerintahan. Meski demikian, pelbagai kelompok pada tataran organisasi kemasyarakatan atau institusi negara juga turut menggerakkan usaha dialog.52 Adapun dalam pandangan Gulen, dialog bisa berarti dua orang atau lebih berkumpul untuk membahas isu-isu tertentu, kemudian menjalin ikatan di antara mereka.53 Di sisi lain, dialog di mulai saat orang-orang bertemu. Dialog bergantung pada pengertian timbal balik dan kepercayaan timbal balik. Melalui dialoglah dimungkinkan berbagi dalam melayani. Sehingga dialog menjadi medium untuk kesaksian yang otentik.54 Dialog antar iman atau interfaith dialogue dimengerti sebagai dialog antar umat berbeda iman yang dijalankan secara personal maupun secara komunal, sedangkan dialog antar agama merupakan dialog yang dijalankan oleh umat berbeda agama dengan lebih teroganisir dan secara langsung atau tidak langsung menyangkut institusi agama. Dialog antar umat beragama selayaknya juga memperkembangkan iman para pelakunya. Istilah dialog antar iman muncul ketika istilah agama tidak lagi bermakna netral, hal ini disebabkan agama di bawah hegemoni pemerintah. Sehingga dapat dipahami penggunaan kata iman mengandung aspek dekonstruktif, yakni mau membebaskan diri dari hegemoni pemerintah tersebut sehingga dapat meggulirkan suatu gerakan. Dengan demikian dialog dapat dipahami dengan makna seluas-luasnya agar dapat menampung sebanyak mungkin potensi yang ada untuk dikembangkan. Ketika orang berbeda iman saling bertemu dan menyapa, maka dapat dipastikan akan terjadi dialog. Apa pun yang Adapun yang dimaksud dengan globalisasi yaitu proses masuknya ke ruang lingkup dunia. Lihat Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi ofline dengan mengacu pada data dari KBBI daring (edisi III) dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/ diakses tanggal 27 Desember 2012. 51 Samsul Munir Amin, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam, 164. 52 J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, (Jakarta: Mizan Publika, 2010) 5. 53 Dalam hal ini, dialog bisa juga dikatakan sebagai suatu kegiatan yang di tengahnya terdapat kegiatan manusia. Lihat M. Fethullah Gulen, Toward a Global Civilization of Love and Tolerance, 50. Baca juga Ozguc Orhan, ‚Islamic Himmah and Christian Charity: an Attempt at Inter-Faith Dialogue‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008 (Washington D.C: Rumi Forum, 2008). 578. 54 J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 7.

    108

    dikomunikasikan, dialog terjadi. Dialog antar umat beragama pertama-tama dapat di lihat ‚dari bawah‛. Yakni dari perjumpaan dalam kehidupan seharihari. Dengan pengertian itu, dialog yang secara eksplisit mengungkapkan isi iman dan agama tidaklah dikesampingkan. Melainkan lebih dari itu juga untuk dikembangkan sesuai dengan fungsinya secara kontekstual.55 Lebih jauh lagi dialog yang berkembang dari bawah dapat digambarkan dengan tujuh dataran yang berhubungan satu sama lain. Dataran-dataran dialog itu dapat dilihat sebagai langkah-langkah yang fleksibel. Dataran-dataran dialog itu juga dapan disebut momen-momen dialog. Ini disebabkan usaha dan tindakan berdialog tidak berangkat dari titik nol. Bahkan lebih jauh lagi dapat dilaksanakan pada dataran mana saja yang mungkin pada lingkungan dan waktu tertentu. Dataran-dataran atau momenmomen itu dapat dibagi sebagai berikut: Pertama, dialog kehidupan. Dialog yang terjadi dalam komunitas kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dialog kehidupan itu, anggota-anggota komunitas hidup berdampingan dengan semangat kerukunan dan berkomunitas , bertetangga, dan berteman. Dari pengalaman hidup bersama itu muncullah kepedulian bersama. Kedua, analisis sosial dan refleksi etis kontekstual. Pada dataran kedua ini, komunitas dari anggotaanggota berbagai agama itu mencoba mengartikan kenyataan hidup yang dialami dan membuat pertimbangan etis. Dengan kata lain, komunitas membuat analisis sosial kemudian merumuskan pilahan etis dalam konteksnya, menalaah faktor-faktor penyebab situasi tersebut dan hubungan antar faktor. Pada dataran ini komunitas juga menentukan pilihan etis yang konkret sebagai bagian dari analisis sosial. Analisis sosial tersebut masih dapat diperdalam lagi dengan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan iman para anggota komunitas. 56 Ketiga, studi tradisi-tradisi agama. Pada dataran ketiga ini, para anggota kelompok menggali tradisi iman masing-masing. Momen ini penting karena pilihan etis orang beriman juga dilandasi dan diperkuat oleh sumber iman masing-masing. Keempat, dialog antar umat beragama: berbagi iman dalam level pengalaman. Pada dataran keempat ini, dialog terjadi dengan 55

    Istilah iman menunjuk pada pengalaman orang yang menyerahkan diri kepada Allah, dan menghayati penyerahan diri secara individual maupun komunal. Adapun istilah agama menunjuk pada sosialisasi dan institusionalisasi pengalaman iman tersebut, yang tampak dalam komunitas, ajaran, dan ibadahnya. Dengan pengertian tersebut, dialog antar iman dan lintas iman dapat terjadi. Baca J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia , 6-7. 56 Analisis sosial tidaklah bebas nilai, perlu disadari bersama nilai apa yang disepakati dan diperjuangkan dalam kelompok. Nilai-nilai itu misalnya kedamaian dan keadilan sosial, keadilan gender dan hak asasi manusia, lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan. J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 8-10.

    109

    berbagi pengalaman iman dalam komunitas lintas iman. Berpangkal pada tradisi iman dan agama masing-masing, para peserta berbagi pengalaman iman dan kekayaan spritual. Dengan cara seperti ini, para peserta saling memperkaya satu sama lain.57 Adapun menurut Gulen, dialog antar agama, khususnya berusaha untuk mewujudkan kesatuan agama dasar dan persatuan universalitas keyakinan. jelas bahwa Gulen mengharapkan perdamaian dan toleransi menjadi buah dari dialog antar agama58 Kelima, dialog antar umat beragama: berteologi lintas agama. Pada dataran ini, dialog terjadi dalam pergumulan teologi lintas iman dan agama. Para teolog atau spesialis berbagai bidang dapat berbagi pemahaman dalam level ilmiah. Mereka mengkomunikasikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai warisan religius masing-masing seraya menghargai dan belajar dari pemahaman tradisi-tradisi agama lain. Dengan demikian pergumulan lintas iman dan agama diharapkan saling memperkaya dan juga dapat memunculkan pemaknaan ulang. Keenam, dialog aksi. Dalam dataran ini, dialog antar agama mengkaji masalah-masalah sosial dan mengarah pada keterlibatan masyarakat. Hal ini dikarenakan umat beragama tidak dapat menghindari kenyataan bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat. Selain itu, melalui dialog, aksi kelompok yang terdiri dari berbagai agama dapat memperdayakan rakyat dengan perspektif keadilan sosial, keadilan gender, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Sehingga kelompok lintas agama dapat menjadi komunitas yang melayani kepentingan umum, serta menjadi komunitas dialogis yang transformatif. Ketujuh, dialog intra agama. Setelah menjalani macam-macam dataran dialog antar iman, lintas iman, dan lintas agama, setiap orang kembali kepada iman pribadinya. Pada dataran ini selayaknya terjadi otokritik. Sehingga umat beragama menjadi orang-orang beriman yang lebih baik secara personal dan komunal. Dengan demikian diharapkan orang Islam menjadi muslim yang lebih baik, orang kristen menjadi kristiani yang lebih baik, dan begitu juga terhadap penganut agama yang lainnya. Dari tujuh dataran dalam dialog ini dapat pahami bahwa semakin mendalam perjumpaan lintas iman dan lintas agama, maka semakin mendalam juga perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam menghidupi iman dan agamanya sendiri.59 Dalam kaitannya dengan pentingnya dialog ini, maka Gulen memandang positif perubahan di dalam iklim spritual global. Dalam 57

    J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan

    dan Praktik di Indonesia, 8-11. 58

    Ozguc Orhan, ‚Islamic Himmah and Christian Charity: an Attempt at Inter-Faith Dialogue‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008. 578. 59 J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 11-13.

    110

    pandangannya abad dua puluh satu sebagai abad dinamisme spritual yang akan membangkitkan nilai-nilai moral yang telah lama tidur, suatu era toleransi dan pemahaman yang menuju pada kerjasama peradaban. Roh manusia seharusnya memenangkan jalan menuju dialog antar peradaban dan sama-sama berbagi nilai.60 Selain itu, dialog bukanlah tujuan akhir, melainkan sesuatu yang dijalankan untuk mencapai tujuan selanjutnya. Namun tujuan hidup bersama tidaklah dapat dicapai dengan baik tanpa keterlibatan semua pihak. Dengan demikian, dialog merupakan gaya hidup orang beriman dan beragama, serta merupakan sesuatu yang perlu dan harus dijalankan kalau seseorang atau komunitas mau setia kepada panggilan manusiawi dan ilahiah. Hubungan antar agama yang terbuka dan jujur memerlukan landasan teologis yang terbuka pula. Keterbukaan dalam praktik dan teologi akan menyuburkan satu sama lain. Dalam mengembangkan teologi yang terbuka, umat beragama tidak hanya berpikir secara tekstual melainkan juga secara kontekstual.61 Sementara itu, globalisasi bukanlah istilah asing bagi dunia Islam, alQur’an sendiri telah mengajarkan pandangan secara global melalui ajarannya mengenai keberadaan Tuhan sebagai Rabb al-‘An (Tuhan seluruh alam) dan kerasulan Muhammad sebagai rahmat li al-‘ An, juga mengenai alQur’an sebagai‫(هذاللٌاس‬petunjuk manusia) sejak empat belas abad silam.62 Menurut Samsul Munir Amin globalisasi selalu dihubungkan dengan modernisasi dan modernisme. Namun ciri khas modernisasi dan manusia modern adalah tingkat berpikir, iptek, dan sikapnya terhadap penggunaan waktu dan perghargaan terhadap karya manusia. Lalu berdasarkan pandangan itu, muncullah penilaian yang membuat klasifikasi kemajuan dan kemunduran.63 Namun menurut Islam, maju atau mundur itu diukur berdasarkan nilai-nilai Islami, bukan menurut ukuran-ukuran yang lain. Adapun yang dinilai kemajuan menurut Islam mungkin kemunduran menurut yang lain, sebaliknya yang dikatakan kemajuan menurut yang lain mungkin kemunduran menurut Islam. Meminjam penjelasan Azra, globalisasi dapat dipahami dengan makna ganda. Pada satu sisi, globalisasi mencakup globalisasi sistem ekonomi, sistem politik, telekomunikasi dan transportasi yang memang pada akhirnya menjadi global. Tetapi pada sisi yang lain, globalisasi bisa juga dalam bidang kebudayaan, seperti globalisasi budaya dan gaya hidup barat yang memiliki pretensi-pretensi universal justru mendorong semakin kuatnya resistensi budaya lokal dan regional. Dengan demikian, pada bidang 60

    M. Fethullah Gulen, The Essentials of The Islamic Faith, (New Jersey, 2010) viii. J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 11-13. 62 Samsul Munir Amin, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam, 164-165. 63 Samsul Munir Amin, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam, 164. 61

    111

    kebudayaan ini terdapat dua kecenderungan sekaligus; pada satu sisi menguatnya ekspansi budaya global barat, dan pada sisi yang lain meningkatnya kesadaran budaya lokal dan regional non-barat. Lebih jauh lagi, globalisasi memang menghasilkan perubahan-perubahan struktur yang sulit dielakkan baik dalam kehidupan politik maupun ekonomi. Dengan kata lain, struktur-struktur dalam bidang-bidang ini dapat menjadi global dan universal. Akan tetapi nilai-nilai (values) yang bersumber dari tradisi lokal maupun agama dalam banyak hal berkaitan erat dengan realitas lokal dan, karena itu sulit untuk bisa betul-betul menjadi universal. Disinilah akhirnya bisa terjadi konflik di antara budaya atau peradaban yang memiliki pretensipretensi global, seperti budaya barat yang ekspansif dengan budaya lokal dan regional yang memiliki nuansa keagamaan tertentu.64 Adapun dalam Islam, perubahan sosial (social change) pada sebuah masyarakat merupakan sunnatullah. Perubahan sosial yang terjadi pada masa sekarang sangat kompleks. Perubahan yang terjadi begitu cepat ini selain menimbulkan hal-hal positif, juga menimbulkan hal yang negatif. Bukan hanya di bidang ekonomi dan politik, tetapi lebih dari itu ia merambah pada bidang lainnya seperti hukum, budaya, dan moral.65 Perubahan sosial merupakan cara untuk mengubah tatanan kondisi masyarakat yang menyimpang, dari yang salah dan buruk menjadi kondisi masyarakat yang terarah, benar dan baik.66 Dalam al-Qur’an, istilah ini teridentifikasi, antara lain dalam surat ar-Ra’d: ‚Sesungguhnya Allah tidak

    mengubah suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka‛.67 Cara ini telah dipraktekkan oleh Nabi dalam misi dakwahnya. Dalam waktu relatif singkat, yaitu kurang lebih dua puluh tiga tahun, berhasil melakukuan perubahan sosial yang sangat signifikan terhadap kondisi sosial masyarakat Arab.68 64

    Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) 15. 65 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah (Jakarta: Amzah, 2009), cet. ke-1, 221. 66 Iqram Faldiansyah, ‚Dakwah dan Lingkungan‛ dalam Imam Malik dkk., A ntologi Pemikiran Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Idea Press, 2011),198. Perubahan sosial yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu sistem sosial pra industri ke sistem sosial industrial. Terkadang disejajarkan dengan perubahan dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern. Atau, dalam peristilahan yang sering digunakan adalah perubahan dari keadaan ‚negara yang kurang maju‛ (less developed country) ke keadaan ‚masyarakat negara yang lebih maju‛ (more developed country). Lihat Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah,222. 67 Q.s. ar-Ra’d ayat 11. 68 M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006), 253. Untuk lebih jelas tentang perubahan sosial, baca Joseph S. Roucek dan Roland L. Warrin, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Bina Aksara,tt,), 346. Lihat juga Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1999), 244. Bandingkan juga dengan Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial; Reformasi atau Revolusi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), 45

    112

    Tentang teori perubahan sosial, Tonies mengkontraskan hubunganhubungan natural dan organis keluarga, desa dan kota kecil (gemeinschaft) dengan kondisi yang ‚artifial‛ dan ‚terisolasi‛ dari kehidupan kota dan masyarakat industri, di mana hubungan-hubungan asli dan natural manusia satu sama lain telah dikesampingkan, dan setiap orang berjuang untuk keuntungannya sendiri dalam suatu semangat kompetisi.69 Menguraikan lebih jauh dikotomi Tonnies itu, Mengutip dari Samsul Munir Amim, Talcott Parsons mengembangkan suatu teori yang terkenal dengan pattern variables. Menurut teori Parsons, perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri dan modern juga berarti perubahan dari: Pertama, affectivity ke affective, yaitu perubahan dan sikap bertindak karena hendak mendapatkan kesenangan segera ke sikap bertindak dengan kesediaan menunda atau meninggalkan kesenangan jangka pendek itu karena hendak mencapai tujuan-tujuan jangka panjang. Pengaruh langsung perubahan ini bagi proses industrialisasi ialah terbentuknya modal yang diperlukan, karena adanya kebiasaan menabung dan investasi akibat ditinggalkannya penggunaan pendapatan untuk maksud-maksud konsumtif. Kedua, partikularisme ke universalisme. Industrialisasi cenderung mengikis keeksklusifan partikularistis seperti keekslusifan rasial, warna kulit, dan keturunan. Partikularisme semacam itu tidak efisien dan membawa ke penyiapan-penyiapan tenaga. Masyarakat-masyarakat yang paling tinggi tingkat industrialisasinya, baik kapitalis maupun komunis, adalah masyarakat-masyarakat di mana pola-pola universalistis tampak menonjol dan karier terbuka untuk berbagai bakat dan kemampuan. Ketiga, ascription ke achievement. Demikian pula halnya achievement ,dan bukannya ascription, ia cenderung menjadi dasar rekrut mendalam suatu masyarakat yang terindustrialisasikan sepenuhnya. Perubahan karena industrialisasi adalah perubahan dari sistem penghargaan karena prestise ke sistem penghargaan karena prestasi. Keempat, diffuseness ke specific. Yang dimaksud adalah perubahan dari hubungan-hubungan sosial yang memiliki ruang lingkup luas dan serba meliputi, ke hubungan-hubungan di mana seseorang aktor atau pelaku tindakan membatasi perhatiannya mengenai orang lain pada hal-hal yang bersifat khusus dan tidak mengizinkan masuk pertimbangan-pertimbangan lain. Contoh hubungan diffuse ialah antara ayah dan anak, sedangkan contoh hubungan spesifik (specific) ialah antara guru dan murid di sekolah umum. Seorang ayah akan berperan sebagai ayah terhadap anaknya dalam segala situasi, sedangkan seorang guru berperan sebagai guru terhadap muridnya hanya pada situasi si sekolah, di kelas, atau situasi yang menyangkut kegiatan pengajaran dan pendidikan.70

    69

    Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 222-223. Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 223-224.

    70

    113

    Terjadinya perubahan sosial, membawa dampak juga kepada proses dakwah di kalangan masyarakat. Cara pandang, cara berpikir dan cara bertindak masyarakat berubah dengan drastis terhadap fenomena keberagaman masyarakat. Dalam hal ini dakwah harus mampu mengimbangi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat untuk mengarahkan kepada halhal yang bersifat positif. Dari berbagai bentuk perubahan sosial yang diungkapkan di atas, justru dakwah atau da’i perlu peduli dengan terus membaca perkembangan yang terjadi di lingkungan masyarakat. Dari hasil membaca tadi, seorang da’i harus mampu memberikan solusi yang konstruktif, yang sesuai dengan ajaran, norma dan etika Islam yang dinamis, transformatif, kondisional, untuk menggerakkan masyarakat agar bangkit dari segala bentuk keterbelakangan menuju cahaya iman dan kemajuan ilmu pengetahuan. Seiring dengan perkembangan dakwah yang semakin meluas serta gerakan organisasi dakwah yang semakin berkembang pesat baik di masyarakat maupun di berbagai perguruan tinggi Islam, ini tidak lantas membuat problematika dakwah hilang dari bayang-bayang majunya pergerakan dakwah, problematika kerap kali muncul mengiringi pergerakan dakwah tersebut. Problematika dakwah yang mengemuka pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam yakni problematika internal dan problematika eksternal. Problematika internal diklasifikasikan dalam dua kelompok, pertama: kelemahan para da’i terhadap pemahaman konsepkonsep agama sebagai substansi dakwah, metode yang dipakai serta kualitas da’i itu sendiri, kedua: kelembagaan dakwah yang kurang profesional dalam aspek manajemennya. Sedangkan problematika eksternal yakni suatu keadaan yang merintangi gerakan dakwah yang datang dari faktor luar, baik itu faktor struktur politik nasional maupun internasional terjadi interdepedensi sistem,71 maraknya ghazw al-fikr, imperialisme barat, gerakan pemurtadan yang dilakukan para misionaris,72 serta melajunya sains dan teknologi yang telah menggusur hampir seluruh potensi rohaniah manusia, menyisihkan dan merusak etika, moral serta akhlak yang mana hal-hal tersebut seharusnya adalah bidang garap dakwah Islam.73 Selain problematika internal dan eksternal, dalam pelaksanaan dakwah seringkali juga ditemukan problematika lain baik berupa permasalahan teknis maupun permasalahan secara umum yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, yaitu aspek sosial budaya, ekonomi dan politik. Kecenderungan sosial budaya yang terjadi di antaranya reifikasi, 71

    Samsul Munir Amin, Rekontruksi Pemikiran Dakwah Islam,159. Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab Tantangan,‛dalam Imam Malik dkk., Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Idea Press, 2011), 87-88. 73 Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 309. 72

    114

    objektivikasi manusia dan manipulasi.74 Kecenderungan ekonomi berkisar kepada masalah permodalan yang menyangkut keterbatasan sumber modal, ketenagakerjaan dimana jumlah pengangguran semakin meningkat dikarenakan mereka tidak terlatih sedangkan yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang terlatih dan ahli, kemudian keadilan ekonomi dimana yang kuat dialah yang berhak berkuasa. Sedangkan kecenderungan politik di antaranya partai-partai politik yang berbasis massa Islam belum bersatu untuk mengedepankan dakwah Islam dan lebih mengedepankan kepentingan politik masing-masing.75 Upaya untuk menjawab tantangan problematika dakwah di atas setidaknya ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama, humanisasi yang berarti dakwah harus kontribusi terhadap nilai-nilai manusiawi dengan lingkungannya, yang pada gilirannya akan menjelmakan struktur sosiokultural yang sehat dan dinamis serta sejahtera.76 Kedua, liberasi yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka membebaskan manusia dari keterbelengguan berpikir, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan dan nilai-nilai negatif dari struktur sosio-kultural yang kacau.77 Sementara itu, dalam konsep pemikiran yang praktis, sebagaimana yang dikutip Kartika Sari, Amin Rais menawarkan lima ‚Pekerjaan Rumah‛ yang perlu diselesaikan, agar dakwah Islam di era informasi sekarang tetap relevan, efektif, dan produktif. Pertama, perlu ada pengkaderan yang serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pebagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendakung proses dakwah, melainkan diperlukan pula berbagai pengusaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir. Kedua, setiap organisasi Islam yang berminat dalam tugas-tugas dakwah perlu membangun labolatorium dakwah (labda). Dari hasil ‚labda‛ ini akan dapat diketahui masalah-masalah rill di lapangan, agar jelas apa yang harus dilakukan. Ketiga, proses dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwahbil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwahbil-hal, bilkita>bah, bil-hikmah, dan bil-iqtisa>diyah (ekonomi). Yang jelas, actions speak louder than word. Keempat, media masa cetak dan terutama media 74 Reifikasi yaitu kecenderungan manusia untuk menilai dan menikmati sesuatu hanya dengan ukuran-ukuran yang bersifat lahiriah semata (pragmatis), objektivikasi manusia yaitu terperangkapnya manusia dalam kerangka sistem budaya dan teknologi sehingga dirinya menjadi komponen yang sangat tergantung pada sistem tersebut, sedangkan manipulasi merupakan efek samping lain dari makin dipadatinya kehidupan manusia oleh teknologi. Lihat Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab Tantangan‛dalam Imam Malik dkk., Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer, 79. 75 Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab Tantangan,‛ 80-83. 76 Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab Tantangan,‛ 88. 77 Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab Tantangan,‛ 88. Bandingkan dengan Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, 305-306.

    115

    elektronik. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. Kelima, merebut para remaja merupakan tugas dakwah jangka panjang. Anak-anak dan para remaja adalah aset yang tak ternilai. Mereka wajib diselamatkan dari pengikisan akidah yang terjadi akibat ‚invasi‛ nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam. Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh (al-hususn al-hami>diyah) dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini.78 Menghadapi objek dakwah yang berada dalam kondisi transisi, maka para da’i harus mampu menginterpretasikan dakwah sebagai gerakan moral dan gerakan kebudayaan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. lima belas abad yang silam, dimana pada waktu itu dakwah berfungsi sebagai transformator sosial budaya yang berakar pada keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mempunyai tujuan secara kuantitatif, dengan penciptaan masyarakat yang sadar akan perlakuannya selama ini adalah hasil dari mereduksi budaya Barat, sehingga perlu ditransformasikan ke etika Islam. Sebagai umat Islam, sudah semestinya kita menghargai hukum-hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan moral dan etika yang telah ditentukan oleh Tuhan. Selain itu menurut Gulen ajaran Islam mempunyai misi untuk menganjurkan manusia agar senantiasa melakukan segala bentuk kebaikan, dan menjauhi segala bentuk keburukan.79 Lebih jauh lagi, dakwah itu harus dilakukan dengan cara yang santun dan damai, dengan tidak mengajak secara paksaan. Apalagi mengajak kepada orang-orang non Muslim. Ini berarti bahwa karena iman berkaitan dengan forum internum, maka paksaan beragama merupakan upaya yang sia-sia, bahkan kita dilarang untuk melakukan usaha semacam itu yang tidak mendatangkan hasil. Berdasarkan alasan inilah maka perselisihan antar agama harus ditangani dengan cara yang bersahabat dan damai, dan biarlah Tuhan yang menentukan hasilnya.80 Lain dari itu, menurut Yusuf al-Qaradawhi, persoalan sensitif yang dihadapi setiap penganut agama yaitu, keyakinan bahwa hanya dia yang benar dan orang lain yang salah. Mereka beranggapan hanya merekalah yang mendapat hidayah. Keyakinan ini terkadang mendorong seseorang kepada sikap fanatik. Namun dalam hal ini, terdapat beberapa unsur penting lain yang dapat meminimalisir hal tersebut dalam pola pikir dan nurani seorang muslim.81 78

    Kartika Sari, ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab Tantangan,‛ 89-90. 79 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i> (Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008), 12-13. 80 Q.S An-Nisa: 59 81 Yusuf Al-Qaradawhi, Kita dan Barat; Menjawab Berbagai Pertanyaan Menyudutkan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007) 276.

    116

    Al-Qur’an telah menjelaskan cara berdakwah yang baik dan benar. Sehingga sikap fundamental dan radikal tidak dibenarkan sebagai cara dakwah yang benar. Dalam umat Islam terdapat kelompok fundamentalisme, dan dalam umat yang lain juga terdapat kelompok fundamentalis. Merekamereka ini tidak mungkin bertemu dan berdialog, karena mereka tidak pernah percaya dengan pentingnya dialog, bahkan dengan legalitas dialog. Adapun yang bisa diharapakan dari berdialog adalah kelompok moderat dari kedua umat tersebut. Mereka inilah sandaran cita-cita untuk melakukan dialog, kesepahaman, dan kerjasama dalam hal-hal yang sama, serta bersikap toleran dalam hal-hal yang beda.82 Menurut Gulen, manusia diberi hak untuk memilih berdasarkan kehendaknya sendiri, dan mengeksplorasi apa saja yang ada di muka bumi.83 Adapun Islam merupakan agama terakhir dari seluruh agama-agama samawi. Dalam konteks literatur kebahasaan, Islam secara etimolgis berarti keamanan, perlindungan, konsiliasi dan perdamaian atau dapat pula berarti pembebasan, penyerahan diri, purifikasi dan keselamatan dari setiap cobaan yang dapat menimpa seluruh komponen kehidupan, seperti manusia, hewan, tumbuhan dan bahkan benda mati sekalipun.84 Terminologi Islam berarti, Islam ekuivalen tauhid.85 Etimologi Islam merefleksikan keselamatan dan kedamaian bagi pemeluknya, mengganggu seorang muslim dalam menjalankan formalitas peribadatannya adalah hal yang tidak bisa dibenarkan, sebagaimana yang sudah ditetapkan. Pemahaman yang sesungguhnya dari Islam akan membentuk sosok muslim bagaikan sebuah benteng bersenjatakan moralitas. Moralitas Islam akan menuntut seorang muslim untuk mempersenjatai diri 82

    Dunia ini diibaratkan seperti kampung yang kecil. Merupakan kewajiban setiap penduduk kampung tersebut adalah bertemu, berdialog, serta tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa dan permusuhan. Yusuf Al-Qaradawhi, Kita dan Barat; Menjawab Berbagai Pertanyaan Menyudutkan Islam, 276-277. Ajakan Al-Qur’an kepada Ahli Kitab untuk berdialog termaktub dalam Q.S Ali Imran: 64.                          

    Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". 83 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 28. 84 Ali Syu’aibi Gill Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004) 246. 85 Islam juga mencakup artian dari sebuah ketaatan kepada Allah. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S Al-An’a>m: 14 dan Q.S Ali Imra>n: 80.

    117

    dengan sejumlah prinsip, berupa prinsip ketaatan kepada Tuhan, prinsip intropeksi diri pada setiap dosa dalam upaya menjauhi diri setiap prilaku buruk.86 Lebih jauh lagi, strategi penyampaian pesan-pesan dakwah kepada obyek dakwah memiliki konsekuensi terpeliharanya hubungan insani secara sehat dan harmonis, sehingga dakwah tetap memberikan fungsi maksimal bagi kehidupan. Jelasnya proses dakwah perlu mempertimbangkan dimensidimensi sosiologis dan antropologis agar komunikasi yang dilaluinya dapat berimplikasi pada peningkatan kesadaran umat secara domestik dan islami.87 Adapun dalam pandangan Gulen, sikap individualitas dan streotype dapat mempersulit datangnya petunjuk. Lebih spesifik lagi, Gulen menerangkan bahwa tujuan utama seorang da’i adalah mengajak orang ke jalan Tuhan, tanpa harus ada berkembangnya potensi perpecahan di antara umat beragama.88 Selaras dengan kegiatan dakwah yang baik, unsur-unsur pokok yang menjadi bagian dari identitas muslim menurut Tariq Ramadhan89 ada lima: pertama, iman dan spritualitas: keislaman seseorang akan tercermin dari sebuah keimanan kepada satu Tuhan. Orang beriman berhubungan dengan Tuhan melalui kehidupan spritual yang permanen. Kehidupan orang beriman idealnya menjadi manifestasi yang sempurna dari keimanannya. Dengan demikian, di lingkungan apapun, keimanan dan kehidupan hati ini harus dijaga dan dijunjung tinggi.90 Kedua, Ibadah: yakni dengan cara menjalani dan mematuhi perintahperintah agama dan menjalankan ibadah yang diwajibkan adalah konsekuensi logis dari ‚iman dan spritualitas‛. Ini adalah soal kebebasan beribadah, karena itu baik laki-laki maupun perempuan harus mempunyai pilihan untuk beribadah atau tidak. Jika seorang memilih utama mematuhi agamanya atau tidak mematuhi kewajiban utama agamanya,91 maka ia pun harus dibiarkan hal itu tanpa gangguan. Ini juga tentunya berarti bahwa dimensi komunitas kaum beriman harus dihormati. Ketiga, Perlindungan, sebagai manusia dan orang beriman, orang muslim tidak begitu saja minta untuk diterima atau ditoleransi. Tapi lebih 86

    Ali Syu’aibi Gill Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, 251. Wakidul Kohar, ‚Strategi Dakwah untuk Masyarakat Multi Etnis‛ dalam Islam dan Ralitas Sosial: Di Mata Intelektual Muslim Indonesia (Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005) 298-299. 88 Muhammad Fathullah Gu>lan, T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{a>lih}i>, 108-109. 89 Cucu Hasan al-Banna, Guru besar Filsafat di College of Geneva, Swiss. 90 Bagi seorang Muslim, kehidupan spritual merupakan esensi eksistensinya di muka bumi dan para ulama, dalam klasifikasi lima masha>lih esensial mereka, menyebutkan pada peringkat pertama, penjagaan keimanan dan jalan hidup secara alamiah berhubungan dengan pengesperiannya. 91 Lima pilar agama Islam yakni: Shalat, puasa, membayar zakat, dan melaksanakan ibadah haji. 87

    118

    dari itu bisa memberi perlindungan dan bisa bersikap toleransi juga. Keempat, Kebebasan, kaum Muslim memberi kesaksian mengenai kebenaran Islam yang menurut mereka, diturunkan Tuhan ke dunia melalui wahyu alQur’an. Namun pada hakikatnya, kebebasan beribadah harus berdampingan dengan kebebasan berbicara, dan melalui kebebasan ini kaum Muslim dapat mempersentasikan dan menjelaskan bagaimana iman, agama dan hidup mereka92 adapun yang terakhir ialah Partisipasi, yakni spritualitas Islam untuk mencapai pertumbuhan sempurna melalui perbuatan (amal) orang beriman dan berpartisipasi dalam urusan sosial. Dari sudut pandang Islam, beriman berarti beramal dan ini adalah makna dari ungkapan al-Qur’an yang sering diulang-ulang ‚mereka yang beriman dan beramal saleh‛. Ini berarti kaum Muslim harus didorong melibatkan diri dalam masyarakatnya dan beramal demi solidaritas manusia.93 Lima elemen inilah menurut Tariq Ramadhan, tentunya memberi kita ide tentang prasyarat esensial yang membentuk identitas muslim. Elemen ini merupakan potret seorang muslim secara menyeluruh tanpa mempertimbangkan ketidakmenentuan sejarah atau faktor sosial politik. Tanggung jawab pertama dan terbesar orang muslim adalah memberikan penilaian yang fair terhadap lingkungan agama, sosial dan hukum. Selain itu dengan menjadi seorang muslim berarti menjadi juru damai, yaitu seorang yang secra terus menerus berupaya mencari jalan untuk mengatasi konflik dan memelihara keinginan baik untuk kehidupan bersama yang damai. Tuhan menghendaki kita untuk hidup dalam kedamaian dan harmoni bersama ciptaan-Nya.94 Serta diikuti dengan usaha dialog yang baik dan menghormati nilai-nilai dan asas-asas kemanusiaan. Dialog ini dilakukan baik pada tataran intra agama atau keimanan. Bahkan lebih komprehensif lagi dilakukan antar agama atau keimanan.

    92

    Ini adalah makna dari ungkapan al-Qur’an ‚menjadi saksi atas (perbuatan) manusia‛ Q.S Al-Baqarah: 143. Artinya kaum Muslim harus membuat pesan mereka agar dapat dipahami dan dikenal. Ini juga arti konsep utama lainnya dalam tradisi Islam, yaitu dakwah. konsep dakwah berlandaskan satu prinsip, yaitu hak setiap manusia untuk membuat pilihan berdasrkan pengetahuan dan karenanya orang Muslim diperintahkan menyampaikan pengetahuan tentang Islam di kalangan orang Muslim maupun non Muslim. Lihat Tariq Ramadhan, Teologi Dialog: Islam Barat Pergumulan Muslim Eropa (Bandung: Mizan, 2002) 150-151. 93 Tariq Ramadhan, Teologi Dialog: Islam Barat Pergumulan Muslim Eropa 149-151. 94 J.B Barnawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia, 31-32.

    119

    120

    BAB V PENUTUP

    Sebagai bab penutup, pada bab ini menyimpulkan sebagaimana uaraian pada bab sebelumnya dan diakhiri dengan beberapa saran dan rekomendasi untuk pengembangan penelitian lebih lanjut mengenai tema pada tesis ini. A. Kesimpulan Berdasarkan dari uraian-uraian terdahulu, tesis ini menyimpulkan bahwa dakwah yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan dan moralitas merupakan pilar dasar dalam pembentukan religiusitas masyarakat yang toleran. Terbukti prefensi dalil al-Qur’an yang lebih memanusiakan manusia dalam menjalin hubungan dengan lebih mengedepankan nilai-nilai kearifan, moralitas dan kebijaksanaan perenial. Dalam artian bahwa, agar dakwah dapat diterima, maka hendaklah para da’i harus mampu berharmoni dan berhumanisasi dengan masyarakat sekitarnya, baik dalam tataran hubungan antar agama, budaya, maupun antar peradaban. Permasalahan utama kajian ini pada dasarnya mengacu pada beberapa permasalahan terkait adanya perubahan paradigma dalam penyampaian pesan-pesan agama (dakwah), dakwah fundamentalis, ekstrim, dan radikal. Serta hilangnya rasa kepercayaan dan toleransi. Benturan peradaban dan krisis kepercayaan ini dipahami sebagai salah satu krisis besar yang mengancam keharmonisan hubungan antar umat beragama dan negara. Oleh karenanya, persoalan mendasar yang harus diubah adalah berkaitan dengan paradigma atau sudut pandang tentang dakwah. Berangkat dari penelitian dan pembacaan yang dilakukan oleh penulis, maka tesis ini menemukan beberapa poin penting berikut ini: Pertama, Sikap Fundamentalis dan radikal bukanlah pijakan dakwah yang tepat, karena dakwah Islam pada dasarnya mengumandangkan spirit profetik Rahmatan li al-‘A>lamin yaitu ajaran Islam yang mengedepankan cinta dan kasih sayang serta sikap toleransi antar umat beragama. Sebagai solusinya, gagasan yang berlandaskan kepada nilai-nilai kearifan, moralitas dan kesantunan terhadap semua umat beragama merupakan nilai dasar dalam berdakwah. Hal ini dapat dibuktikan dengan landasan fundamen dakwah yang berbasis filosofis normatif (dakwah qur’ani dan dakwah profetik), sekaligus menegaskan bahwa Islam mengajarkan cara yang santun dalam berdakwah. Selain itu, dalam penyampaikan dakwah ada aturan dan kode etik yang harus dimiliki dan diikuti oleh para juru dakwah (da’i). Kedua, Metode dakwah dalam al-Quran begitu humanis, Islam lebih mengedepankan perdamaian dan dialog dengan santun dan argumentatif. Hal

    121

    ini tentunya harus dibudayakan, baik dalam konteks inter-religius, intrareligius, maupun antar peradaban. Lebih komprehensif lagi, landasan dakwah yang berbasis filosofis normatif (dakwah qur’ani dan profetik), menegaskan bahwa Islam agama cinta dan mencintai kedamaian. Sehingga dalam proses menyampaikan pesan-pesan keagamaan Islam telah memberikan tata cara dakwahnya yang meliputi; al-Hikmah, Al-Mau’iz}ah al-H{asana (nasihat yang baik) dan Al-Muja>dalah bi allati hiya Ah}san (Berdebat dengan Cara Baik.) serta menggunakan kekerasan dengan dalih berjihad di jalan Tuhan tidaklah dapat dibenarkan dalam berdakwah. Ketiga, dalam proses menyampaikan pesan-pesan keagamaan (dakwah) inilah Gulen memberikan dasar-dasar dan kaidah-kaidah dalam dakwah yang diawali dengan membekali diri dengan ilmu pengetahuan, menyelaraskan hati dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, menggunakan cara-cara yang disyari’atkan dan melakukan apa yang disampaikan. Lain dari pada itu, Gulen juga memberikan gambaran dan sifat seorang da’i yang harus dimiliki dalam berdakwah (etika dan teladan dakwah) yang meliputi berdakwah dengan penuh kasing sayang, mengedepan toleransi dan menjaga empati. Kontruksi dan subtasnsi konsep dakwah Gulen ini, berorientasi kepada nilainilai yang benar-benar spritual, seperti sikap toleransi, kasih sayang, kesabaran, pengampunan (forgiveness), kedamaian batin (inner peace), keharmonisan sosial (social harmony), kejujuran (honesty). Keempat, problem krisis manusia modern dalam menjalin hubungan dimotori dengan sikap eksklusif, ekstrim, radikal dan intoleran. Sehingga revolusi paradigma menjadi keniscayaan, di antara alternatifnya dengan menekankan Islam sebagai agama cinta. hal ini tentunya diiringi dengan sikap inklusif dan ajaran toleransi sebagai basis keberagamaan. Lebih jauh lagi diikuti dengan dialog intensif intra dan antar agama. Ini menunjukkan adanya kesinambungan dalam upaya memperbaiki hubungan antar umat manusia yang berbeda agama dan beragam budaya. Sikap inklusif dan ajaran toleransi tersebut untuk perbaikan yang mendera moralitas masyarakat kontemporer seperti berlaku radikal, ekstrim, dan intoleran. Kesemuanya itu merupakan pondasi awal dalam membentuk kepribadian serta pijakan dalam membangun interaksi dalam bermasyarakat. Kelima, dakwah Gulen pada intinya mengajak kepada keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, dengan tetap menjaga sikap inklusif, termasuk bagaimana mentranformasikan nilai religius tersebut sebagai refleksi kehidupan sosial. B. Rekomendasi Sebagai agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif dalam melakukan kegiatan dakwah. Maka dakwah menempati posisi yang tinggi dan mulia dalam kemajuan agama Islam. Bagaimanapun detil,

    122

    luas, dan komprehensifnya sebuah penelitian yang mencoba menguraikan tentang metode, dan pendekatan dakwah, hampir dipastikan penelitian tersebut tidak akan berhenti, hal ini dikarenakan kegiatan dakwah tidak akan pernah usai selama kehidupan di dunia masih berlangsung dan akan terus melekat dalam situasi dan kondisi apa pun bentuk dan coraknya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, serta banyaknya kelemahan dari berbagai aspek. Kajian tentang dakwah selama ini biasanya hanya terbatas dan terfokus pada metode, pendekatan, dan etika dalam dakwah. Tentu kajian-kajian tersebut tidak terlalu memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperkaya khazanah keilmuan dunia akademik. Bertolak dari kesadaran akademik ini, maka penulis hendak memberikan masukan dan rekomendasi kepada peneliti selanjutnya untuk lebih mendalam dan lebih giat dalam melakukan penelitian. Dengan beberapa rekomendasi sebagai berikut: Pertama, kepada komunitas akademik pemerhati, dan pengkaji dakwah, khususnya yang berkaitan dengan tema-tema kearifan dan moralitas, hendaknya dapat memberikan muatan filosofis baru yang lebih praktis sejalan dengan wacana kontemporer. Tema-tema yang melangit dan ideal dapat dibumikan secara familiar, sehingga seluruh kalangan dan lapisan masyarakat dapat dengan mudah mengakses, memahami dan menerapkan konsep-konsep ideal tersebut dalam berdakwah dan berkehidupan yang bermasyarakat. Hal ini disebabkan wacana krisis moral, bersikap radikal, ekstrim dan intoleran, merupakan bagian dari sedikit problem kehidupan masyarakat kontemporer. Selain itu termasuk dari bagian problem yang bersifat praktis maupun teoritis. Sehingga penyelesaiannya pun perlu di tempuh dengan dua kecenderungan tersebut. Perkara yang sudah sepatutnya juga bagi para pemerhati, pengkaji dan praktisi dakwah agar dapat memainkan perannya dalam konteks tersebut. Kedua, diharapkan kajian dakwah pada dasarnya tidak terbatas pada tataran metode dan pendekatan saja. Akan lebih kontributif, apabila dakwah dikaitkan dengan berbagai disiplin ilmu yang ada: Seperti kajian dakwah dihubungkan dengan lintas disiplin ilmu modern atau lebih jauh lagi jika disandingkan dengan ilmu sosiologi, tasawwuf, hubungan internasional dengan pendekatan fenomenogi. Ini beberapa kajian yang berkaitan dengan lintas disiplin ilmu dakwah dengan jenis ilmu yang lainnya. Ketiga, kajian ini hanya terfokus dan terpusat pada kajian konsep dakwah Gulen dan relevansinya dalam konteks masyarakat kontemporer. Sesungguhnya para pemerhati dan praktisi dakwah selain Gulen, masih banyak dan luas untuk dikaji dan diteliti. Baik yang berkenaan dan berkaitan dengan konsep dakwah dan penerapannya. Apalagi di komparasikan dengan teori-teori disiplin ilmu yang lainnya. Maka penulis menyarankan akan lebih

    123

    baik lagi apabila kajian ini dilanjutkan dalam konteks yang lebih luas. Untuk langkah selanjutnya, diharapkan lewat penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan dan berarti kepada seluruh civitas akademik pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

    124

    DAFTAR PUSTAKA Abd al-Ba>qi, Muhammad Fuad. al-Mu‘jam al-Mufahras Li Alfaz} al-Qur’an. Cairo: Darul Hadits, 2007. Abou El Fadl, Khaled. The Great Theft: Wrestling Islam From The Extermist. t.t. Abdullah, M. Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Abda, Slamet Muhaimin, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Surabaya: AlIkhlas, 1994. Amin, Syamsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah, 2009. Amin, Edi. ‚Etika Dakwah: Kajian Kritis Profesionalisasi Dakwah‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2004. Aziz, Moh. Ali, Ilmu dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2009. Azra, Azyumardi. Konflik Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. al-Baya>nu>ni>, Muhammad Abu> al-Fatah. al-Madkhal ila ‘Ilmi al-Da’wah:

    Dira>sah Manhaji>yah Sya>milah li Ta>ri>kh al-Da’wah wa Usu>liha wa Mana>hijiha wa Asa>libiha wa Wasa>iliha wa Musykila>tiha fi D{aw’i alNaql wa al-‘Aql. Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1991.

    al-Bagda>di>, Abu al-Fad}l Shiha>buddin al-Saidi> Mahmu>d al-Asi.> Ru>hul alMa’a>ni> fi> Tafsi>ri al-Qur’an al-‘Az}i>m wa Sab’i al-Matha>ni, Juz 14. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s al-‘Arabi>, tt. al-Azi>z, Jum‘ah Ami>n ‘Abdu. al-Da’wah Qawa>’id wa Usu>l, Kairo: Da>r alDa’wah, 1999. Badruttamam, Nurul. Dakwah Kalobaratif Tarmizi Taher. Jakarta: Grafindo, 2005.

    125

    Bagir, J.B Barnawiratma, Zainal Abidin etc, Dialog Antarumat Beragama Gagasan dan Praktik di Indonesia. Jakarta: Mizan Publika, 2010. Basit,

    Abdul. Wacana Dakwah Kontemporer. Purwokerto Press dan Pustaka Pelajar, 2006.

    Purwokerto:

    STAIN

    Bisri, Cik Hasan dan Eva Rufaidah. Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial. Himpunan Rencana Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Chirri, Mohammad Jawad, Inquiries About Islam. 1986. D{a>hir, Muhammad Ka>mil. al-Da‘wa al-Waha>biyya wa Atharuha fi> al-Fikr alIsla>mi al-H>{adith. Beirut: Da>r al-Sala>m, 1993. Ebaugh, Helen Rose, The Gülen Movement A Sociological Analysis of a Civic Movement Rooted in Moderate Islam. New York: Springer, 2010. Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. Esposito, John L. The Future of Islam. New York: Oxford University Press, 2010. Faizah dan Lalu Muchsin Efendi, Psikologi Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2006. Faraj, Abdus Salam. Jihaad the Absent Obligation: and Expel The Jews and Cristians From The Arabian Paninsula, terj. Abu Umamah Birmingham: Maktabah Al Ansaar Publications, First Edition 2000. Faldiansyah, Iqram. ‚Dakwah dan Lingkungan‛ dalam Imam Malik dkk., Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Idea Press, 2011. Fadlullah, Muhammad Husain Metodologi Dakwah Dalam al-Qur’an: Pegangan Bagi Para Aktivis, terj. Tarmana Ahmad Qosim. Jakarta: Lentera Basritama, 1997.

    126

    Fathurahman, Safira Rahmayani, ‚Fethullah Gulen sebagai Tokoh Sentral dalam Gerakan Fethullah Gulen‛ Skripsi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Arab, Universitas Indonesia Depok 2011. Frank, Daniel H. ‚Etika‛ dalam Seyyed Hossein Nasr dkk., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Kedua Seri Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003. Friedmann, Yohanan. Tolerance and Coercion in Islam: Interfaith Relations in the Muslim Tradition. UK: Cambridge University Press, 2003. Gu>lan, Muhammad Fathullah. T{uruq al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H{aya>h, terj Ih}sa>n Qa>sim al-S{al> ih}i>. Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008. --------------------. Wa Nahnu Nuqi>mu S{arh} al-Ru>h, terj ‘Auni> ‘Umar Lut}fi>. Kairo: Da>r al-Ni>l, 2008. --------------------. As’ilah al-‘As}r al-Muh{ayyirah, terj. Wurkhan Muhammad Ali. Da>r al-Nile: Cairo, 2008. --------------------.Toward a Global Civilization of Love and Tolerance. New Jersey, Tughra Books, 2011. --------------------. al-Nu>r al-Kha>lid Muhammad Mafkhirah al-Insa>ni>yah, terj. Awirkhan Muhammad ‘Ali>, Kairo: Da>r al-Ni>l, 2007. --------------------.The Essentials of The Islamic Faith. New Jersey, 2010. --------------------. Key Concepts in the Practice of Sufism, volum 1. New Jersey, 2006. --------------------. Pearls of Wisdom trj. Ali Unal. New Jersey:Light, 2005. --------------------. Membangun Peradaban Kita: Islam adalah Masa Depan

    Dunia yang Memuliakan dan Menjunjung Tinggi Derajat Manusia, trj. Fuad Syaifudin Nur dan Syarif Hade Masya, Jakarta: Republika, 2013. Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Depok: Kata Kita, 2009.

    127

    al-Hasani, Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki. Kiat Sukses Berdakwah, terj. Samsul Munir Amin. Jakarta: AMZAH, 2006. Halimi, Safrodin. Etika Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an Antara Idealitas Qur’ani dan Realitas Sosial. Semarang: Wali Songo Press, 2008. Hanafi, Hassan. Islam in the Modern World: Tradition, Revolution and Culture.Vol II. Kairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000. Hasan, M. Iqbal\. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005. Hefni, Harjani dkk. Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2006. Husaini, Murtadha. Kode Etik Mubalig Tuntunan Dakwah Secara Islam. Jakarta: Citra, 2011. Hofman, Murad W. Islam The Alternatif, Beltsville: Amana Publications, 1993. Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. Sosiologi. Jakarta: Erlangga, 1999. Hotman, Prio dan A. Ilyas Ismail. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana, 2011. Ibn Taymiyyah, Shaykh ul-Islaam Taqi ud-Deen Ahmad. The Religious and Moral Doctrine of Jihaad, terj. Abu Umamah Birmingham: Maktabah Al Ansaar Publications, First Edition 2001. Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, terj. Abdul Hayyie al-Kattaanie. Jakarta: Gema Insani Press, 1999. Irawan. ‚Peran Tasawuf dalam Meredam Konflik Sara pada Era Reformasi di Indonesia‛ dalam Imam Malik dkk. Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Idea Press, 2011. al-Jawwi, Syaikh al-Nawawi. Mara>h Labi>d Tafsir Nawa>wi al-Tafsir al-Muni>r. Indonesia: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, t.t. al-Juyu>shi>, Muhammad Ibra>hi>m. al-Da’wah wa Da’a>h fi> al-‘As}ri al-Hadi>s. Kairo: Mat}ba‘ah al-Husain al-Islamiyyah, tt.

    128

    Ismail, A. Ilyas Paradigma Dakwah Sayyid Quthub Rekontruksi Pemikiran Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2006. Karim, Zaid Abdul Dakwah Bil-Hikmah, terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993. Kaelan. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Paradigma, 2005.

    Yogyakarta:

    Kartanegara, Mulyadhi ‚Etika‛ dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam. Jakarta: Ushul Press, 2011. Kibil, Ali Syu’aibi Gill. Meluruskan Radikalisme Islam, Ciputat: Pustaka Azhary, 2004. Kohar, Wakidul. ‚Strategi Dakwah untuk Masyarakat Multi Etnis‛ dalam Islam dan Ralitas Sosial: Di Mata Intelektual Muslim Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005. Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997. --------------------. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991. Latif, Mahmud Abdul. Pengemban Dakwah: Kewajiban dan Sifat-sifatnya. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003. Lari,

    Mujtaba Musawi Islam Spirit Sepanjang Zaman. Jakarta: al-Huda, 2010.

    Luthfi, Atabik Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-ayat Dakwah untuk Para Da’i, Jakarta: al-I’tishom, 2011. al-Ma‘a>firi>, Abi> Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisham. al-Si>rah alNabawiyyah li ibn Hisham, Tahqiq, al-Shaikh Ahmad Jad, Juz 1, Kairo: Da>r al-Ghad al-Jadi>d al-Mans}u>rah, 2007. Mahmud, Abdul Halim Dakwah Fardiyah, Metode Membentuk Pribadi Muslim, Trj. As’ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Masduqi, Irwan. Berislam Secara Toleran Teologi Kerukunan Umat Beragama. Bandung: Mizan, 2011.

    129

    M. Romli, dan Asep Syamsul. Jurnalistik Dakwah, Visi dan Misi Dakwah Bilqolam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003. M.S, Alo Liliweri, Komunikasi Antarpribadi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’an Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta: Fitrah, 2007. Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori & Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Muba>rak, Muhammad Sa‘i>d. al-Da’wah wa al-Ira>dah. Riyadh: Huqu>qu alT{ab‘ Mahfu>z{ah lil Mu‘alif: 2005. al-Muba>rakfuri>, Safi> al-Rahman. al-Rah}i>q al-Makhtu>m: Bah}th fi> al-Si>rah alNabawiyyah ‘Ala> S{a>hibiha> Afd}al al-S{ala>h wa al-Sala>m. Mesir: Da>r al-Wafa’, 2010. Munir, M. Manajemen Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2006. Munawwir, Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisy: Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah saw. Jakarta: Kencana, 2013. Muriah, Siti Metodologi Dakwah kontemporer, Yokyakarta: Mitra Pustaka, 2000. Musfah, Jejen. Indeks al-Qur’an Praktis: Dilengkapi Teks Ayat Lengkap dengan Terjemahannya. Jakarta: Hikmah, 2007. Omar, Toha Yahya. Ilmu Dakwah. Jakarta: Pertjetakan Negara, 1971. al-Qurt}ubi>, Abi> ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi> Bakr. al-Ja>mi‘I li

    al-Ah}ka>m al-Qur’an wa al-Mubayyin lima> Tad}ammanah min alSunnah wa a>y al-Furqa>n, Juz 12. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2006

    al-Qaradhawi, Yusuf Retorika Islam Bagaimana Seharusnya Menampilkan Wajah Islam, terj. H.M. Abdilah Noor Ridlo, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2007.

    130

    Kita dan Barat; Menjawab Berbagai Menyudutkan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.

    --------------------.

    Pertanyaan

    Rakhmat, Jalaluddin. Rekayasa Sosial; Reformasi atau Revolusi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Ramadhan, Tariq, Teologi Dialog: Islam Barat Pergumulan Muslim Eropa. Bandung: Mizan, 2002. Roucek, Joseph S. dan Roland L. Warrin. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Bina Aksara, tt. Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal: Menentramkan Jiwa, Mencerahkan Pikiran Jakarta: Paramadina, 2004. Roudhonah, Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. ash-Shadr, Muhammad Baqir, Risalatuna Pesan Kebangkitan Umat; Konsep Dakwah, pemikiran, dan Reformasi Sosial, terj. Muahammad Abdul Qadir Alcaf. Yogyakarta: RausyanFikr, 2011. Shah}a>tah, Abbdullah al-Da‘wah al-Isla>m wa al-I‘la>m al-Di>ni>. Mesir: alHai’ah al-Mis}ri>yah al-‘Ab, 1978. Sari, Kartika. ‚Problematika Dakwah di Indonesia dan Upaya Menjawab Tantangan‛ dalam Imam Malik dkk. Antologi Pemikiran Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Idea Press, 2011. Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Bandung: Mizan, 1998. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Qur’an al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2004. --------------------.Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan. 2000. Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES, 1989. Siddiqi, Shamim A. Methodology of Dawah Ilallah in American Perspective. New York: The Forum for Islamic Work, 1989. al-S}ab> u>ni, Shaykh Muhammad ‘Ali. S{afwat al-Tafa>sir. Beirut: Dar al-Fikr, 2001.

    131

    asy-Syuwaikh, Adil Abdullah al-Laili Bersama Kereta Dakwah Sukses Berdakwah di Era Keterbukaan, trj. Asfuri Bahri, Jakarta: Robbani Press, 2006. Saqar, Abd al-Badi Kaifa Nad’u al-Na>s, Beirut: al-Maktab al-Isla>mi>, 1979. al-Sya>fi>‘i, Sulaiman ibn ‘Umar al-‘Ali. Tafsir al-Jamal ‘Ala al-Jalalain. Singapura: Maktabah wa Matba‘ah Sulaiman Mar‘i, t.t. al-S{iba>gh, Sibba>m. al-Da’wah wa al-Da‘a>h baina al-Wa>qi‘ wa al-Hadaf wa Mujtama‘a>t ‘Arabiyyah Mu‘a>s}irah. Damaskus: Da>r al-Ima>n, 2000. Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006. Suhandang, Kustadi. Ilmu Dakwah Perspektif Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013. Sudaryoso, Satera. Etika Keseimbangan Kosmik: Hubungan Alam dan Manusia. Jakarta: Impressa, 2013. al-Sulami>, Muhammad ibn ‘Isa Abu> ‘Isa al-Tarmidhi>, Sunan al- Tarmidhi>, Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabi>, tt. Sumarta, Th. Pluralisme, Konflik dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan Antar-Agama di Indonesia dalam Th. Sumarta dkk. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, 2001. al-Tayya>r, ‘Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali. al-Da‘wah wa al-Jiha>d fi> al-‘Ahd al-Nabawi>: Ab wa H{ikam. Riyadh: Huqu>qu al-T{ab‘ Mahfu>z{ah li alMu’allif, 2003. Tahqiq, Nanang ‚Islam‛ dalam dalam Mulyadhi Kartanegara dkk., Pengantar Studi Islam, Jakarta: Ushul Press, 2011. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, versi ofline dengan mengacu pada data dari KBBI daring (edisi III) dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/ diakses tanggal 27 Desember 2012.

    132

    Uwaidah, Muhammad Abdul Latif Pengemban Dakwah Kewajiban dan Sifatsifatnya, trj. Arief B. Iskandar, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003. al-‘Ulya>ni>, Ali ibn Nafyu’. Ahammiyah al-Jihad> fi> Nas}ri al-Da‘wa alIsla>miyyah wa al-Radd ‘Ala> al-T{awa>ifi al-D{a>llah Fi>hi. Riyadh: Da>ru T{ayybah, 1985\. al-Wa‘iy, Taufik Yusuf. Fiqih Dakwah Ilallah, terj. Sofwan Abbas dkk. Jakarta: Al-I‘tishom, 2011. al-Wakil, Muhammad Sayyid. Prinsip dan Kode Etik Dakwah. Jakarta: Akademika Presindo, 2002. Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2000. al-Zamakhshari>>, Abu al-Qa>sim Mahmu>d ibn ‘Umar. al-Kassha>f ‘an H{aqa>iq Ghawa>mid} al-Tanzil> wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l, Juz 3, Riya>d}: Maktabah al-‘Abi>ka>n, 1998. Zainuri, Lalu Ahmad ‚Etika Da’i dalam al-Qur’an: Studi Analisis Pada Surat al-Muddtstsir‛ Tesis, Konsentrasi Dakwah dan Komunikasi Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2005. Zaidallah, Alwisral Imam. Strategi Dakwah Dalam Membentuk Da’i dan Khotib Profesional. Jakarta: Kalam Mulia, 2005. Zaprulkhan, ‚Eksistensi Tuhan Menurut Said Nursi dan Kritiknya Terhadap Paham Materialisme Barat‛ Tesis, Fakultas Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga, 2007. Zed, Mustika. Metodologi Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004. Zulfahmi. ‚Gerakan Damai Fethullah Gulen di Turki Perspektif Komunikasi Islam‛ Tesis, Konsentrasi Agama dan Perdamaian Program studi Pengkajian Islam SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

    133

    Jurnal dan artikel: Awang, Abdul Ghafar HJ. Don Jaffary. ‚Knowledge management and its Impact on Islamic Da’wah: A Historical Perspective‛, dalam Journal of Islamic and Arabic Education. 1 (2), 2009. 61-68. http://journalarticle.ukm.my/770/1/10_1.pdf. (diakses: 21 Desember, 2013). Borelli, John.

    ‚Interreligious Dialogue as a Spritual Practice‛ dalam

    Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008. Washington D.C: Rumi Forum, 2008. 144-163. Bruckmayr, Philipp. ‚Fethullah Gulen and Islamic Literary Tradition‛ dalam

    Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008. Washington D.C: Rumi Forum, 2008. 164-203. Chang, Byung-Ock. ‚Islamic Fundamentalism, Jihad, and Terrorism‛ dalam

    Journal

    of

    International

    Development

    and

    Cooperation,

    Vol.11,No.1,2005.57-67.http://ir.lib.hiroshima-u.ac.jp/ metadb/up/ 74007022/JIDC_11_01_04_Chang.pdf (diakses pada 1 Mei, 2013). Daud, Wan Mohd Nor Wan. ‚Containing Muslim Extremism and Radicalism‛ dalam Sari - International Journal of the Malay World and Civilisation 28 (1) (2010). 241-252. http:// journalarticle.ukm.my/2416/1/Sari_28(1)_2010_12_Wan_Mohd_Nor _(Final).pdf (diakses pada 1 Mei, 2013). Fry, Ian. ‚A Winder Role For The Gulen Movement Consistent With The Place of The Qur’an and Islam in The Evolution of Religious Understanding: A Fundamental Theological Reasseement‛ artikel dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007. New Jersey: Tughra Books, 2009. 95-124. Fotopoulos, Takis. ‚The Myth of The Clash of fundamentalism‛ dalam The International Journal of Inclusive Democracy, Vol. 1, No. 4. July, 2005. 1-3. http://www.inclusivedemocracy.org/journal/ pdf%

    134

    20files/pdf%20vol1/The%20myth%20of%20the%20clash%20of%20f undamentalisms.pdf. (diakses pada 22 Maret, 2013) Hussin, Zulkarnain Haron Nordin. ‚A Study on Salafi Jihadist Doctrine and the Interpretation of Jihad by Al Jama'ah Al Islamiyah‛ dalam Kemanusiaan Vol. 20, No. 2, (2013), 15-37.http://web.usm.my/ kajh/vol20_2_2013/Art%202%20(15-37).pdf (diakses pada: 8 Januari, 2014). Kim, Heon. ‚Gulen’s Dialogic Sufism: A Constructional and Constructive Faktor of Dialogue‛ dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008. Washington D.C: Rumi Forum, 2008.374-406 Masaeli, Mahmoud. ‚The Importance of Dialogue in a Rooted Conception of Cosmopolitanism Fethullah Gulen and Mohammad Mojtahed Shabestary‛ Artikel dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen, Movement Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008. Washington D.C: Rumi Forum, 2008. 491-522. Mitchell, Lynn E. ‚M. Fethullah Gulen: A Preacher of Piety and Integrity of Action: A Study in Analogy Between the Gulen Movement and the Clapham Circle‛ dalam Conference Islam in The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008. Washington D.C: Rumi Forum, 2008. 531-560. Michel, Thomas. ‚Fethullah Gulen: Following in The Footsteps of Rumi‛ dalam Conference Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 2223November 2007. New Jersey: Tughra Books, 2009. 155-163. Mulky, M. Asrori. ‚Tak Ada Kerukunan Beragama Tanpa Kebebasan Beragama‛, Ulumul Qur’an Nomor 01/XXI/2012. Saritoprak, Zeki, ‚Fethullah Gulen andthe ‘People of the Book’:A Voice from Turkey for Interfaith Dialogue‛ dalam The Muslim World, Volume, 95 Juli 2005, 329-340. http://www.interfaithdialog.org/ newsletter/documents/ZSaritoprak1.pdf (diakses pada 3 juni, 2013).

    135

    Tahir, Ali Raza. ‚Islam and Philosophy (Meaning and Relationship)‛ dalam Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business vol. 4 no: 9 (January, 2013) 1287-1293. http://journalarchieves27.webs.com/1287-1293. pdf (diakses pada: 23 Desember, 2013). Tyler, Aaron. ‚Tolerance as a Source of Peace: Gulen and the Islamic Conceptualization of Tolerance‛ Artikel dalam Conference Islam in

    The Age of Global Challenges Alternative Perspektives Gulen Movement, Georgetown University Washington DC 14-15 November 2008. Washington D.C: Rumi Forum, 2008.730-753.

    Weldon, Steven A. ‚The Institutional Context of Tolerance for Ethnic Minorities: A Comparative, Multilevel Analysis of Western Europe‛ dalam American Journal of Political Science, Vol. 50, No. 2, April 2006. 331-349. http:// bama.ua.edu/~ sborrell/ psc521/tolerance.pdf (diakses pada: 1 Mei, 2013). Weller, Paul. ‚Dialogical and Transformatif Resources: Perspectives From Fethullah Gulen on Religion and Public Life‛ dalam Conference

    Peaceful Coexistence Fethullah Gulen’s Initiatives in the Contemporary World, Eramus University Rotterdam 22-23 November 2007. New Jersey: Tughra Books, 2009. 219-239.

    Yucel, Salih. ‚Fethullah Gülen Spiritual Leader in a Global Islamic Context‛ dalam Journal of Religion & Society, The Kripke Center, Vol. 12. 2010. 1-19. http://moses.creighton.edu/jrs/ 2010/2010-4.pdf (diakses pada: 1 Mei, 2013) --------------------.‚Spiritual Role Models in Fethullah Gülen’s Educational Philosophy‛ dalam Tawarikh: International Journal for Historical Studies, 3(1) 2011. 65-76. http://www. tawarikh-journal.com/ files/File/04. yucel.mu. octo. 2011.pdf (diakses pada: 1 Mei, 2013).

    136

    GLOSARIUM

    Lisa>n al-Maqa>l

    : Bentuk dakwah yang dalam praktiknya hanya terbatas dalam tataran teoretisinstruktif .

    Lisa>n al-Hal

    : Bentuk dakwah yang dalam praktiknya dengan tindakan empiris.

    al-Hikmah

    : Mencegah, melarang dengan penuh kebijaksanaan. merupakan upaya seorang da’i mentransformasikan pesan-pesan keagamaan dengan penuh kebijaksanaan, akal budi yang mulia, hati yang bersih, lapang dada, dan menarik perhatian orang kepada agama atau Tuhan.

    al-H{a>kim

    : Yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang paling utama dari segala sesuatu.

    Al-Mau’iz}ah al-H{asanah

    : Nasihat, peringatan serta bimbingan kepada ketaatan seperti yang diperintahkan dalam al-Qur’an merupakan perkataan dan perbuatan yang baik dan bermanfaat, disifatkan dengan al-H{asana dikarenakan di dalamnya terdapat nilai-nilai kebaikan dan jauh daripada sifat-sifat kejelekan.

    Al-Muja>dalah bi allati hiya Ah}san

    : Berdebat dengan Cara Baik.

    Tabsyir wa tandzir

    : Kabar gembira dan peringatan.

    as-Ilah wa ajwibah

    : Tanya jawab.

    al-Inzar

    : Adalah penyampaian dakwah dimana isinya berupa peringatan terhadap manusia tentang adanya kehidupan akhirat dengan segala konsekuensinya.

    137

    al-Tabsyir

    : Adalah penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang-orang yang mengikuti dakwah.

    al-Rifq wa al-Lin

    : Dalam menjalankan dakwah bersikap kasih sayang dan lemah lembut.

    al-Taisir

    : Didakwahkan nabi Muhammad saw sarat dengan kemudahan-kemudahan.

    Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

    : Sebuah perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat.

    Dialogue

    : Bahasa Inggris, dialog, komunikasi dua arah. : Berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syariat Islam.

    Jihad Kekerasan

    : Sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang.

    Tabligh

    : Bahasa Arab, penyampaian.

    Tauhid

    : Bahasa Arab, konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah.

    Tolerance

    : Bahasa Inggris, toleran.

    Taghyir

    : Bahasa Arab, perubahan.

    al-Syiddah

    : Menunjukkan sikap yang tegas dan keras.

    138

    al-Tahaddiyat

    : Sarat dengan tantangan dan ujian.

    Hujumi wa fa’ali

    : Ofensif dan aktif.

    Informational messege

    : Pesan yang mengandung informasi.

    Instructional message

    : Pesan yang mengandung perintah.

    Motivational message

    : Pesan yang berusaha mendorong.

    al-Ma>ddah

    : Materi dakwah (pesan).

    Ethics

    : Dalam bahasa Ingris berasal dari bahasa Yunani ‚ethos‛ yang bearti watak. Ethics (etika) adalah studi sistematik tentang sifat konsep nilai baik dan buruk, benar dan salah, dalam kaitannya dengan tingkah laku manusia.

    Philosophical moralitity

    : Moralitas filosofis.

    Theological moralitity

    : Moralitas teologi.

    Religious moralitity

    : Moralitas religius.

    Forgiveness

    : Pengampunan.

    Inner peace

    : Kedamaian batin.

    Social harmony

    : Keharmonisan sosial.

    Honesty

    : Kejujuran.

    Da’i

    : Orang yang melakukan seruan dan ajakan (dakwah)selain itu, biasa dikenal dengan istilah (muballigh) yakni orang yang berfungsi sebagai komunikator.

    Da’wah fardiyah

    : Dakwah yang dilakukan oleh da’i secara personal.

    139

    Da’wah jama’i

    : Dakwah yang dilakukan oleh sekelompok da’i, secara kolektif.

    Ta’awun

    : Kerjasama antar semua pihak.

    Ghuluw

    : Yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespon persoalan hingga terwujud dalam sikap-sikap di liuar batas kewajaran manusia.

    Tat}arruf

    : Yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosiaonal yang berimplikasi pada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyaraka.

    Irhab

    : Yakni sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama dan ideologi. Sikap ini biasanya jadi legitimasi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu.

    Agent of sosial change

    : Agen perubahan sosial.

    Mash}lahah ‘Ammah

    : Kemaslahatan universal.

    Interfaith dialogue

    : Dimengerti sebagai dialog antar umat berbeda iman yang dijalankan secara personal maupun secara komunal.

    140

    INDEKS

    Ali ibn Nafyu’ al-‘Ulya>ni>, 4 Ali Mustafa Yaqub, 28, 37, 38, 39, 40, 44, 45 Ali Raza Tahir, 17 Ali Syu’aibi Gill Kibil, 6, 117, 118 al-Jadlu, 27 al-Khauf, 2 al-Ma>ddah, 40, 41, 139 al-Mau’iz}a al-H{asana, 23, 24, 25 al-Nida, 18 al-Raja, 2 al-Salaf al-S{alih, 21 al-Sunnah, 2, 22, 24, 48, 56, 61, 68, 98, 122, 130 al-Tasa>muh, 26, 101 al-Tibya>n, 17 Alwi Shihab, 5 amar ma’ruf, 62, 64, 72, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91 Assabiquna al-Awwalun, 36 Atabik Luthfi, 62, 63, 64, 85, 88



    ‘Abd al-Badi’ Saqar, 48 A Aaron Tyler, 11, 81, 104 Abd. Hamid al-Bilali, 24 Abdul Basit, 7 Abdul Ghafar, 40, 134 Abdul Halim Mahmud, 42, 48 Abdurrahman ibn ‘Auf alZuhri, 36 Abdus Salam Faraj, 3 Abu al-Fad}l Shiha>buddin alSaidi> Mahmu>d al-Asi> alBagda>di, 20, 24, 27 Abu al-Qa>sim Mahmu>d ibn ‘Umar al-Zamakhshari>, 24, 27 Abu Bakar, 36, 72 Abu Lahab, 37 Ahmad ibn Taymiyyah, 3 Ahmad Warson Munawwir, 1, 26 ahsanu qaula, 19 akhlak, 7, 10, 17, 32, 41, 42, 44, 45, 49, 64, 76, 90, 114 al-‘Ubu>di>yah, 34 al-Baya>n, 17 al-Furqa>n, 17, 24, 70, 130 al-H{a>kim, 19, 137 al-H{ujjah, 20 al-h}ikmah, 19, 21 al-Haq, 20 Ali ibn Abd al-Rahman ibn ‘Ali al-Tayya>r, 5, 10 Ali ibn Abi Thalib, 37

    B

    bid'ah, 21 D da’i, 1, 2, 8, 9, 15, 17, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 86, 87,

    141

    106, 114, 116, 118, 121, 122, 137,139, 140 Dakwah, 1, 3, 5, 7, 9, 10, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 54, 56, 59, 61, 62, 63, 64, 74, 75, 76, 77, 78, 80, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 93, 94, 101, 102, 103, 107, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 118, 125, 126, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 139, 140 Daud, 7, 35, 134 dialog, 2, 10, 11, 15, 30, 47, 81, 93, 100, 103, 104, 107, 108, 109, 110, 111, 117, 119, 121, 122, 138, 140 E

    Ethics, 42, 139 Etika, 1, 2, 3, 10, 18, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 61, 74, 75, 76, 77, 78, 103, 125, 127, 128, 129, 132, 133 F

    Fath al-Makkah, 3 fatwa, 5

    forgiveness, 9, 15, 47, 122 Fuad Abd al-Ba>qi, 1 fundamentalis, 4, 6, 8, 10, 12, 117, 121 G Gulen, 2, 3, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 47, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 69, 142

    71, 73, 78, 81, 83, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 96, 97, 98, 99, 100, 103, 104, 105, 106, 108, 110, 111, 116, 117, 118, 122, 123, 127, 133, 134, 135, 136 H Hassan Hanafi, 4 Heon Kim, 11 Heraklius, 18 holistik, 7 Hud, 24, 28, 35, 68, 88 human oriented, 34, 47 I Ian Fry, 10 Ibn Manzu>r, 18 Ibrahim, 1, 5, 18, 35, 94 ilat, 19 inklusif, 2, 5, 7, 9, 10, 15, 26, 27, 93, 104, 122 inner peace, 9, 15, 47, 122 interfaith, 11, 108 Irwan Masduqi, 2, 5, 6, 103, 104 Islam, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 20, 21, 22, 29, 33, 34, 36, 37, 38, 40, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 53, 54, 55, 57, 60, 61, 62, 64, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 103,104, 105, 107, 108, 110, 111, 112, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 121, 122, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 138, 142

    J John Borelli, 11 Jum‘ah Ami>n, 21, 46, 125 K Ka’bah, 89 kearifan, 2, 8, 9, 12, 14, 15, 16, 17, 21, 47, 59, 93, 121, 123 khairu ummah, 18 Khaled Abou El Fadl, 4 Kuntowijoyo, 7, 129 L

    layyin, 25 lisa>n al-Hal, 18 lisa>n al-Maqa>l, 18 Luth, 35 Lynn E. Mitchell, 11, 12 M M. Abduh, 19 M. Munir, 1, 9, 29, 30, 112 mad’u, 8, 9, 21, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 32, 41, 49, 80, 82 Madinah, 17, 56, 75 Mahmoud Masaeli, 11 Makkah, 3, 36, 39, 56, 81, 94 monoteistik, 21 muha>darah, 31 Muhammad ‘Abd al-Malik ibn Hisham al-Ma‘a>firi, 36, 59 Muhammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, 1 Muhammad Abu> al-Fatah alBaya>nu>ni, 19, 20, 22, 23, 26, 27, 28, 35, 36, 37 Muhammad Alwi Al-Maliki AlHasani, 17

    Muhammad Husain Fadlullah, 19, 20, 21, 24, 25, 27, 28, 101, 102 Muhammad Ibra>hi>m al-Juyu>shi, 20, 24, 26, 28 Muhammad Imarah, 22 Muhammad Ka>mil D{ah> ir, 4 Muhammad Sayyid al-Wakil, 45 Mulyadhi Kartanegara, 42, 43, 93, 129, 132 Murad W. Hofman, 4 Murodi, 36, 37, 130 Murtadha Husaini, 1 Musa, 26, 35, 78 N

    nahi munkar, 1, 56, 62, 64, 72, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91 Nawa>wi al-Ja>wi, 1 Nuh, 24, 34, 35, 88 P Paul Weller, 10 Philipp Bruckmayr, 12

    philosophical moralitity, 44 profetik, 8, 9, 12, 15, 17, 121, 122 Q

    Qadi>m al-Isla>m, 37 Quraish Shihab, 1, 30, 31, 33 Quraisy, 3, 36, 37, 75, 81, 130 Quthub, 23, 48, 49, 75, 76, 80, 82, 85, 86, 129 R reformis, 7

    reinterpretasi, 7 143

    religius sufistik, 12 Romawi, 72 Rosyidi, 10, 21, 40, 131 S Sa’ad bin Abi Waqqash alZuhri, 36 Sa’id bin Ali bin Waqif alQahtani, 20 Safi> al-Rahman al-Muba>rakfuri, 37, 59 Safrodin Halimi, 1, 3, 10, 18, 42, 45, 47, 48, 61, 74, 75, 76, 77, 78, 103 salaf saleh, 21 Saleh, 35 Salih Yucel, 2, 3 Shafa, 37 Shamim A Siddiqi, 20 Sibba>m al-S{iba>gh, 35, 45 social harmony, 9, 15, 47, 122 Steven A. Weldon, 6 streotype, 118 sual, 18 Sulaiman, 1, 29, 35, 132 Sulaiman ibn Umar al-‘A>ji>li alSya>fi>‘i, 2, 29 Suraqah, 3 syaha>dat al-Isla>m, 18 T

    tabligh, 1, 18, 47, 84, 115 Takis Fotopoulos, 4

    144

    targhib, 24 tasawuf, 10, 21, 94 Taufik Yusuf al-Wa‘iy, 18, 84, 87 Thaif, 79 Thalhah bin Ubaidillah alTaimi, 36 theological moralitity, 43 Thomas Michel, 12 Toha Yahya, 19, 44, 45, 130 U Utsman bin Affan al-Umawi, 36 W

    wa‘yu al-diniyyah, 24 wara’, 20 wisdom, 19 Y Yastrib, 3 Yohanan Friedmann, 3 Yusuf, 18, 28, 35, 59, 60, 81, 84, 87, 96, 97, 99, 116, 117, 130, 133 Z Zaid Abdul Karim, 30, 33 Zulfahmi, 11, 133 Zulkarnain Haron Nordin Hussin, 21, 25

    LAMPIRAN

    Notulasi Ujian Work In Progress (WIP) Tesis Rabu, 10 September 2014 Pukul 14.40 s.d. 15.00 WIB Nama NIM Konsentrasi Judul

    : : : :

    Penguji

    :

    Sekretaris

    :

    Ichsan Habibi 11.2.00.0.07.01.0096 Dakwah dan Komunikasi Konsep Dakwah Muhammad Fethullah Gulen dalam Kitab T}uru>q al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H}aya>h Dr. Yusuf Rahman, MA Dr. Asep Saepudin Jahar, MA Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D Arief Mahmudi, S.Pd.I

    Dr. Yusuf Rahman, MA 1. Bagaimana pembuktian kesimpulan Anda? 2. Masih terlalu banyak berkutat pada deskripsi. 3. Di mana letak perdebatan akademik dalam tesis Anda? 4. Adakah kitab lain dari Fethullah Gulen yang Anda gunakan selain T}uru>q al-Irsha>d fi> al-Fikr wa al-H}aya>h? 5. Penulisan indeks masih belum konsisten. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA 1. Kesimpulan jangan disamakan dengan abstrak. Muhammad Zuhdi, M.Ed, Ph.D 1. Saya tidak melihat basis filosofis dalam penjelasan tesis Anda. 2. Akan lebih menarik jika Anda bisa merumuskan kata kunci dari konsep dakwah Fethullah Gulen. Sebaiknya kata kunci inilah yang Anda jadikan judul dan Anda explore 3. Anda masih mengalami kesulitan menghubungkan judul dengan isi. 4. Paradigma dakwah dalam tesis ini belum terlihat. 5. Judul kitab Gulen dalam judul tesis Anda tidak perlu lagi disebutkan jika nantinya Anda sudah menggunakan kata kunci konsep dakwah Gulen (love and tolerance).

    145

    146

    BIODATA Ichsan Habibi, lahir di Pangkalpinang pada 4 Februari 1987 M, tepatnya di Bangka-Belitung merupakan propinsi kepulauan Babel yang terkenal dengan penghasil Timah terbesar dan Lada putih. Anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan H. M. Efendi dan Hj. Soroya ini mengawali pendidikannya di SDN 33 Baturusa Bangka dan tamat pada tahun 1999. Selanjutnya nyantri di PON-PES Nurul Ihsan Bangka setingkat M.T.s selesai tahun 2002. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Modern Darussalam Gontor dan selesai pada tahun 2006. Pada tahun 2007 melanjutkan jenjang pendidikan sarjana pada fakultas dakwah STAIN Syekh Abdurrahman Sidik Bangka-Belitung tamat pada tahun 2011. Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan S2 di sekolah pascasarjana Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    147

  • Ichsan Habibi_Konsep Dakwah Muhammad Fethullah Gulen.PDF ...

    Ichsan Habibi_Konsep Dakwah Muhammad Fethullah Gulen.PDF. Ichsan Habibi_Konsep Dakwah Muhammad Fethullah Gulen.PDF. Open. Extract. Open with.

    2MB Sizes 35 Downloads 484 Views

    Recommend Documents

    CNN Fareed Zakaria Fethullah Gulen Interview on 'GPS'.pdf ...
    Page 1 of 22. 1. 00:00:00,001 --> 00:00:05,002. សូមអរគុណេƙច នេǎក Gulen សƙNjប់Ƴរអេȥƅ ញចូលរមួ ƺមយួ ពួកេយ ង។ 2. 00:00:06,299 ...

    Muhammad Bilal.pdf
    ... was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Muhammad Bilal.pdf.

    Arundina Pratiwi - Framing Dakwah Frame Alignment Processes and ...
    Arundina Pratiwi - Framing Dakwah Frame Alignment Processes and KAMMI's Struggle For a Sacred Society.pdf. Arundina Pratiwi - Framing Dakwah Frame ...

    Muhammad Sony Maulana.pdf
    terjadi dengan mudah. Konferensi melalui. telepon genggam maupun video conference. menjadi salah satu alternative dalam. melakukan koordinasi virtual tim.

    Life of Muhammad
    followed the following system adopted by the ...... hiding, the tracker said that Muhammadsa was either in the cave ... according to the plan, two fleet camels were.

    Muhammad Ali's Speeches.pdf
    Cassius had won a golden medal at. the Olympics in 1960, but threw it in. the Ohio River after being refused. service in a whites only restaurant. He claimed that ...

    Muhammad Ali's Speeches.pdf
    Page 2 of 5. ○ In 1984, Muhammad Ali was. diagnosed with Parkinson's. Diseased, which affected his speech. ○ He earned the Presidential Medal of. Freedom, the highest U.S. civilian honor. in 2005. ○ Muhammad officially retires in 1981. with a r

    Muhammad the Greatest
    and rates them in order of their excellence from No. .... overwhelming number of his customers will be from the 250 million Christians and the ... Of course he did.

    Sirah Nabi Muhammad SAW.pdf
    ... Sejarah 36. Pengajaran dan Pedoman 36. Siri Tarbiyyah. Page 1 of 113 ... yang sahih. Page 3 of 113. Main menu. Displaying Sirah Nabi Muhammad SAW.pdf.

    79 MUHAMMAD MIFTAHUL KHOIRI.pdf
    Please enter this document's password to view it. Password incorrect. Please try again. Submit. 79 MUHAMMAD MIFTAHUL KHOIRI.pdf. 79 MUHAMMAD ...

    Chro Muhammad Fatah Amin.pdf
    There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item.

    Prophet Muhammad Blog Book.pdf
    Prophet Muhammad Blog Book.pdf. Prophet Muhammad Blog Book.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Prophet Muhammad Blog ...

    Muhib Rosyidi_IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW.pdf
    Whoops! There was a problem loading more pages. Retrying... Muhib Rosyidi_IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW.pdf. Muhib Rosyidi_IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Muhib Rosyidi_IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW.pdf

    Thesis Muhammad A Mahmood.pdf
    There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item.

    Ektukhani Biggan - Muhammad Zafar Iqbal.pdf
    Page 3 of 165. Page 3 of 165. Ektukhani Biggan - Muhammad Zafar Iqbal.pdf. Ektukhani Biggan - Muhammad Zafar Iqbal.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In.

    Chronology of Muhammad with Glossary.pdf
    There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Chronology of ...Missing:

    sejarah-hidup-nabi-muhammad-saw.pdf
    There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. sejarah-hidup-nabi-muhammad-saw.pdf. sejarah-hidup-nabi-muhammad-saw.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In.

    Chro Muhammad Fatah Amin.pdf
    Chro Muhammad Fatah Amin.pdf. Chro Muhammad Fatah Amin.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying Chro Muhammad Fatah Amin.pdf.

    CV of Muhammad Mahbub Husain
    Science Dhaka Mymensingh Zilla School,. Mymensingh. 1 st. Language proficiency: Languages. Reading. Writing. Speaking. Bangla. Excellent. Excellent. Excellent. English. Excellent. Good. Good. Other qualification: Successfully completed the CISCO Netw

    138068763-Muhammad-Martin-Lings.pdf
    348. 349. 350. Page 3 of 362. 138068763-Muhammad-Martin-Lings.pdf. 138068763-Muhammad-Martin-Lings.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.

    Muhammad Ulin Nuha 9H.pdf
    Your child has also participated in the following extra-curricular activities: AMOC Intermediate Mathematics Examination - International Maths Competition. Opti-MINDS Challenge - Brisbane West Region. Page 3 of 4 Date Printed: 8 December 2015. Ref-Re

    Muhammad Rusydi Sahabuddin_Hijrah dalam Perspektif al-Quran.pdf ...
    There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Muhammad ...