AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN TESIS Oleh: Fatkhurozi 03.2.00.1.05.01.0032
Pembimbing: Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA Dr. Abdul Wahib Mu'thi, MA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN TESIS Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana Konsentrasi Tafsir-Hadis Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Magister Agama Oleh: Fatkhurozi 03.2.00.1.05.01.0032
Pembimbing: Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA Dr. Abdul Wahib Mu'thi, MA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Fatkhurozi
NIM
: 03.2.00.1.05.01.0032
Program Studi : Pengkajian Islam Konsentrasi
: Tafsir-Hadis
Alamat
: Jl. H. Zaenuddin No. 82 A Gandaria Utara Rt. 02 Rw. 14 Kebayoran Baru Jakarta Selatan
menyatakan bahwa karya tesis yang berjudul ”Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an” adalah benar hasil karya asli tulisan saya dan
bukan
merupakan jiplakan. Apabila ternyata di kemudian hari tidak benar maka saya
bersedia
menerima
sanksi
berupa
pencabutan
gelar
dari
Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pernyataan ini saya buat, semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat.
Jakarta, 10 Februari 2008 Yang menyatakan,
Fatkhurozi
i
ABSTRAK
Kesimpulan besar yang dihasilkan dari tesis ini adalah bahwa amar makruf nahi mungkar menurut al-Qur`an adalah menyuruh orang lain melakukan sesuatu yang dipandang baik oleh akal dan syariat serta mencegahnya dari sesuatu yang dipandang buruk oleh keduanya. Amar makruf nahi mungkar sangat penting dan menduduki posisi sebagai control system dalam Islam, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Rasyîd Ridhâ. Hal ini sangat terkait dengan perannya dalam mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri, baik dengan meninggalkan perintah-perintah Allah Swt. maupun dengan melakukan larangan-larangan-Nya. Melalui tesis ini, penulis juga menemukan bahwa harus ada kelompok yang memfokuskan perhatiannya pada tugas amar makruf nahi mungkar. Mereka disebut dengan istilah pengemban amar makruf nahi mungkar. Penulis juga menemukan bahwa ada karakteristik-karakteristik tertentu yang perlu dimiliki oleh pengemban amar makruf nahi mungkar, yaitu: Karakteristik umum yang terdiri dari: beriman kepada Allah dan halhal lain yang wajib diimani serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya; Kemudian karakteristik khusus yang meliputi: menjaga nilai-nilai akhlak, bertaubat, selalu memuji Allah, memiliki semangat jihad atau semangat juang dan bersegera melakukan kebajikan. Karakteristik-karakteristik ini perlu diketahui sehingga dapat menjadi pedoman bagi orang-orang yang ingin berkecimpung secara khusus dalam bidang amar makruf nahi mungkar. Bila para pengemban amar makruf nahi mungkar benar-benar memiliki karakteristik-karakteristik seperti itu, maka amar makruf nahi mungkar yang merupakan control system dalam masyarakat dapat berjalan secara optimal dan sesuai harapan. Di sisi lain, para pengemban amar makruf nahi mungkar tersebut benar-benar akan menjadi unsur utama pembentuk khair ummah seperti yang disebutkan dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110. Ada titik persamaan antara tesis ini dengan tulisan-tulisan sebelumnya yang berkaitan dengan tema amar makruf nahi mungkar, seperti buku berjudul al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar karya Ibn Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahyu ‘An al-Munkar wa Wâqi’ alMuslimîn al-Yaum karya Shâlih ibn 'Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy ‘An al-Munkar: al-Hatstsu ‘Alâ Fi’lihi wa al-Tahdzîr min Tarkihi karya Sulaimân ibn Qâsim al-‘Îd, disertasi berjudul Perspektif alQur`an Tentang Masyarakat Ideal yang ditulis oleh Ali Nurdin dan disertasi
ii
berjudul Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur`an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl: 125) yang ditulis oleh Salmadanis. Titik persamaannya terletak pada pembahasan tentang wawasan amar makruf nahi mungkar. Hanya saja, ada dua hal yang membedakan antara tesis ini dengan karya-karya ilmiah tersebut, yaitu adanya pembahasan tentang beberapa hal yang dapat menjadi fokus utama gerakan amar makruf nahi mungkar pada masa sekarang ini, tentunya disebabkan karena hal-hal tersebut dipandang sebagai hal-hal makruf yang untuk saat ini cukup penting bagi umat Islam. Selain itu, pembahasan mengenai masalah kedua merupakan hal utama yang membedakan tesis ini dengan karya-karya ilmiah sebelumnya. Untuk dapat memahami ayat-ayat amar makruf nahi mungkar, penulis menggunakan beberapa kitab tafsir yang bernuansa adabi ijtimâ'i (sosiologi) seperti Tafsîr fî Zhilâl al-Qur`ân karya Sayyid Quthb, Tafsîr alQur`âni li al-Qur`ân karya 'Abd al-Karîm al-Khathîb dan Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Rasyîd Ridhâ; tentunya didukung oleh kitab-kitab tafsir lain seperti Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân karya Ibn Jarîr al-Thabari, Tafsîr al-Kasysyâf karya alZamakhsyari, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân wa al-Sab’i al-Matsânî karya al-Alûsi, Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaili, serta kitab-kitab tafsir lainnya.
iii
ABSTRACT
The issue that the writer discusses in this thesis is within the concept of amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil) and the guardian’s/caretaker’s characteristic according to the Holy Koran. The first issue has been discussed in previous articles or books, such as al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘An al-Munkar by Ibn Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahyu ‘An al-Munkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum by Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘An al-Munkar: al-Hatstsu ‘Alâ Fi’lihi wa al-Tahdzîr min Tarkihi by Sulaimân ibn Qâsim al-‘Îd, a dissertation titled Perspektif al-Qur’an Tentang Masyarakat Ideal written by Ali Nurdin and a dissertation called Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl: 125) written by Salmadanis. Even though, there are two things that differentiate this thesis with those scientific works, which are: there’s a discussion about a few things that can be the main focus of amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil) movement on present period of time, it surely is because those issues are being projected as known/makruf issues which is quite important for Moslems at the moment. Beside that, the discussion about the second issues is the main thing that differentiates this thesis with previous scientific works. The conclusion as a result from this thesis is that amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil) according to the Holy Koran is telling other person to do something which is good according to the mind and the syariat/Islam Law and keeping the person away from bad things according to them. From the understanding towards the verses that contains amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil) lafazh/wording we can concludes that amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil) is a unity that can not be break/divided, because in amar makruf/the enjoining good there’s and understanding of nahi mungkar/forbidding evil, and it goes the other way around/vice versa. Then, the writer found out that there has to be a group that focusing their attention on amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil) duty. We call them as amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil) guardian/caretaker. Writer also found that there are certain characteristics that amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil) guardian/caretaker need to have, which are: Common/General characteristic such as: Faithful to Allah and other obligated things and also obedient to Allah and The Prophets; And then the special characteristic that includes: maintaining the value of moral, penitent, praise Allah at all time, having jihad or fighting spirits and never delay any good deeds. These characteristics need to be known so that it can be guidance for others who wants to be involved especially in amar makruf nahi mungkar’s/ (enjoining good and forbidding evil) field. If the amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and
iv
forbidding evil) guardian/caretaker really have those characteristics, then amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil which is a control system in the society can work optimally and according to expectation. On the other side, these amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil guardian/caretaker are going to be the main elements in forming khair ummah/good society as mentioned in Q.S. Âli Imrân (3): 110. To understand amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil’s) verses which become the main source of this research, writer used some interpret books that has adabi ijtimâ’i (sociology) nuance, like Tafsîr fî Zhilâl alQur’ân by Sayyid Quthb, Tafsîr al-Qur’âni li al-Qur’ân by ‘Abd al-Karîm al-Khatîb and Tafsîr al-Manâr by Muhammad Rasyîd Ridhâ; and certainly supported by other interpret books such as Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm by Ibn Katsîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân by Ibn Jarîr al-Thabari, Tafsîr al-Kasysyâf by al-Zamakhsyari, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân wa al-Sab’i al-Matsânî by al-Alûsi, Tafsîr al-Munîr by Wahbah al-Zuhaili, and also others interpret books.
v
ﲡﺮﻳﺪ ﺇﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺗﺒﺤﺚ ﻋﻦ ﻣﺴﺄﻟﺘﲔ ﺃﺳﺎﺳﻴﺘﲔ ،ﺍﻷﻭﱃ ﻫﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺗﻌﺮﻳﻒ ﺍﻷﻣﺮ ﺑـﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻭﻣﺎ ﻳﺘﻌﻠﻖ ﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﳌﻌﺎﺭﻑ ،ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻓﻬﻲ ﻣـﺴﺄﻟﺔ ﺧـﺼﺎﺋﺺ ﺍﻷﻣـﺔ ﺍﻵﻣـﺮﺓ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﺎﻫﻴﺔ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ ،ﻭﻣﻦ ﺍﳌﻌﺮﻭﻑ ﺃﻥ ﺍﳌﺴﺄﻟﺔ ﺍﻷﻭﱃ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻗﺪ ﲝﺜﺘﻬﺎ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺮﺳﺎﻻﺕ ﺃﻭ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﻣﺜﻞ :ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺍﺑـﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ،ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻭﻭﺍﻗﻊ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻟﺼﺎﱀ ﺑﻦ ﻋﺒـﺪﺍﷲ ﺩﺭﻭﻳـﺶ، ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ :ﺍﳊﺚ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻠﻪ ﻭﺍﻟﺘﺤﺬﻳﺮ ﻣﻦ ﺗﺮﻛﻪ ﻟﺴﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑـﻦ ﻗﺎﺳـﻢ ﺍﻟﻌﻴﺪ ،ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭﺓ ﲢﺖ ﺍﻟﻌﻨﻮﺍﻥ) Perspektif al-Qur`an Tentang Masyarakat Ideal :ﺭﺃﻱ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻦ ﺍﺘﻤﻊ ﺍﳌﺜﺎﱄ( ﻭﻫﻲ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻛﺘﺒﻬﺎ ﺍﻷﺥ ﻋﻠﻲ ﻧﻮﺭﺍﻟﺪﻳﻦ )ﺍﻷﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻲ( ،ﻭﻛـﺬﻟﻚ ﺭﺳـﺎﻟﺔ ﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭﺓ ﺍﻟﱵ ﻛﺘﺒﻬﺎ ﺍﻷﺥ ﺳﻠﻤﺎﺩﺍﻧﻴﺲ )ﺍﻷﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻲ( ﺑﻌﻨﻮﺍﻥ: Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur`an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl: 125
)ﻃﺮﻕ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﰲ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ :ﺩﺭﺍﺳﺔ ﻋﻦ ﻗﻮﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﰲ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺤﻞ ﺍﻵﻳﺔ .(١٢٥ ﻭﻣﻬﻤﺎ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻨﺎﻙ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺑﲔ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺍﻟﱵ ﺑﲔ ﻳﺪﻳﻚ ﻭﻣﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺳﺎﻻﺕ ﻷﻥ ﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﲝﺜﺎ ﻋﻦ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻟﱵ ﳝﻜﻦ ﺃﻥ ﺘﻤﻬﺎ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜـﺮ ﰲ ﺍﻵﻭﻧـﺔ ﺍﻷﺧﲑﺓ ،ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺗﻌﺘﱪ ﺃﺷﻴﺎﺀ ﻣﻬﻤﺔ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﲔ ﺍﻟﻴﻮﻡ ،ﻭﲜﺎﻧﺐ ﺫﻟﻚ ﻓﺈﻥ ﺍﳌﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺃﺳﺎﺳﻴﺔ ﺗﻔﺮﻕ ﺑﲔ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻭﻣﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺳﺎﻻﺕ. ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺘﻨﻴﺠﺔ ﺍﻟﱵ ﺣﺼﻠﻬﺎ ﺍﻟﺒﺎﺣﺚ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻓﻬﻲ ﺃﻥ ﻟﻔﻆ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋـﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻘﻴﺎﻡ ﺷﻲﺀ ﺣﺴﻦ ﺃﻭ ﻣﻌﺮﻭﻑ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﰒ ﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻦ ﺷﻲﺀ ﻗﺒﻴﺢ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻣﻌﺎ ،ﻭﺑﻌﺪ ﻋﺮﺽ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻧﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﻔﻆ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻭﺑﻌﺪ ﻓﻬﻤﻬﺎ ﺣﺼﻞ ﺍﻟﺒﺎﺣﺚ ﻋﻠﻰ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﻭﻫﻲ ﺃﻥ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﺷﻲﺀ ﻭﺍﺣـﺪ ﻻ ﳝﻜﻦ ﺗﻔﺮﻳﻘﻬﻤﺎ ،ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﻟﻔﻆ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻳﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﲎ ﻲ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻋﻜﺴﻬﺎ. ﻭﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﳚﺪ ﺍﻟﺒﺎﺣﺚ ﺃﻳﻀﺎ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﰲ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺮﻛـﺰﻭﻥ ﺍﻫﺘﻤﺎﻣﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ،ﻭﻫﻢ ﺭﺟﺎﻝ ﳍﻢ ﺧﺼﺎﺋﺺ ﻣﻌﻴﻨﺔ ،ﻭﻫﺬﻩ ﺍﳋﺼﺎﺋﺺ
vi
ﻧﻮﻋﺎﻥ :ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﻷﻭﻝ ﻫﻮ ﺧﺼﺎﺋﺺ ﻋﺎﻣﺔ ﻭﻫﻲ ﺍﻹﳝﺎﻥ ﺑﺎﷲ ﻭﺑﻌﺾ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻟﱵ ﳚﺐ ﻋﻠـﻰ ﺍﳌـﺴﻠﻤﲔ ﺍﻹﳝﺎﻥ ﺎ ،ﰒ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﺑﺎﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ .ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﻓﻬﻮ ﺧﺼﺎﺋﺺ ﺧﺎﺻﺔ ﻭﻫـﻲ ﺍﶈﺎﻓﻈـﺔ ﻋﻠـﻰ ﺍﻷﺧﻼﻕ ﺍﻟﻜﺮﳝﺔ ،ﻭﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﺇﱃ ﺍﷲ ،ﻭﺍﻟﺜﻨﺎﺀ ﻋﻠﻴﻪ ﰲ ﲨﻴﻊ ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ ،ﻭﺍﳊﻤﺎﺳﺔ ﻟﻠﺠﻬـﺎﺩ ﰲ ﺳـﺒﻴﻞ ﺍﷲ، ﻭﺍﳌﺴﺎﺭﻋﺔ ﰲ ﺍﳋﲑﺍﺕ .ﻭﻫﺬﻩ ﺍﳋﺼﺎﺋﺺ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ ﺣﱴ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻨﻬﺎﺟﺎ ﻟﻠﻤﺮﻛﺰﻳﻦ ﺍﻫﺘﻤـﺎﻣﻬﻢ ﰲ ﳎﺎﻝ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ،ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻵﻣﺮﻭﻥ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﺎﻫﻮﻥ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜـﺮ ﻳﺘﺴﻤﻮﻥ ﺬﻩ ﺍﳋﺼﺎﺋﺺ ﻟﻴﺤﺼﻠﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﺟﻴﺪﺓ ﻭﳑﺘﻌﻤﺔ ﳑﺎ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻷﻣـﺮ ﺑـﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ،ﻭﺳﻴﺼﺒﺤﻮﻥ ﻋﻨﺼﺮﺍ ﺃﺳﺎﺳﻴﺎ ﻣﻦ ﻋﻨﺎﺻﺮ ﺗﻜﻮﻳﻦ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻛﺨﲑ ﺃﻣﺔ ﺃﺧﺮﺟﺖ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻛﻤﺎ ﺃﻛﺪﻫﺎ ﻗﻮﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﰲ ﺳﻮﺭﺓ ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﺍﻵﻳﺔ .١١٠ ﻭﻟﻔﻬﻢ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻧﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﻔﻆ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ،ﺍﺳﺘﺨﺪﻡ ﺍﻟﺒﺎﺣـﺚ ﺑﻌﺾ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺘﻔﺴﲑ ﻣﻦ ﻟﻮﻥ ﺍﻷﺩﺏ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻲ ﻣﺜﻞ ﺗﻔﺴﲑ ﰲ ﻇﻼﻝ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﺴﻴﺪ ﻗﻄﺐ ،ﻭﺍﻟﺘﻔـﺴﲑ ﺍﻟﻘﺮﺁﱐ ﻟﻠﻘﺮﺁﻥ ﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﻜﺮﱘ ﺍﳋﻄﻴﺐ ،ﻭﺗﻔﺴﲑ ﺍﳌﻨﺎﺭ ﶈﻤﺪ ﺭﺷﻴﺪ ﺭﺿﺎ ،ﻭﻃﺒﻌﺎ ﻳﺆﻳﺪ ﺍﻟﺒﺎﺣﺚ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺑﺎﻟﺘﻔﺎﺳﲑ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻣﺜﻞ ﺗﻔﺴﲑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ﻻﺑﻦ ﻛﺜﲑ ،ﻭﺟﺎﻣﻊ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﰲ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻻﺑﻦ ﺟﺮﻳـﺮ ﺍﻟﻄﱪﻱ ،ﻭﺍﻟﻜﺸﺎﻑ ﻟﻠﺰﳐﺸﺮﻱ ،ﻭﺭﻭﺡ ﺍﳌﻌﺎﱐ ﰲ ﺗﻔﺴﲑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﻟﺴﺒﻊ ﺍﳌﺜﺎﱐ ﻟﻸﻟﻮﺳﻲ ،ﻭﺍﻟﺘﻔﺴﲑ ﺍﳌﻨﲑ ﻟﻮﻫﺒﺔ ﺍﻟﺰﺣﻴﻠﻲ ﻭﻏﲑﻫﺎ ﻣﻦ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺘﻔﺴﲑ.
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
adalah
kalimat
yang
paling
tepat
untuk
penulis
ucapkan sebagai wujud syukur kepada Allah Swt., karena berkat taufik-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini di tengah kesibukan kerja dan aktifitas sehari-hari. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Saw., para sahabat dan kerabat, serta orang-orang yang menjadi pengikut beliau hingga datangnya hari Kiamat. Pada kata pengantar ini, penulis ingin berterima kasih kepada orangorang yang telah berjasa dan telah membantu penulis dalam menempuh studi di
Sekolah
Pascasarjana
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta
serta
dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini, antara lain: 1. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di sekolah tersebut. 2. Ustadzah Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA, selaku pembimbing I tesis ini dan Ustadz Dr. Abdul Wahib Mu'thi, MA, selaku pembimbing II, atas masukan-masukan
dan
saran-saran
yang
telah
diberikan
demi
penyempurnaan tesis ini. 3. Ayahanda dan ibunda tercinta, Bapak Khafas dan Ibu Tursinah; isteri penulis, Nofita Satriani; serta kakak-kakak dan adik penulis. 4. Bapak Ir. Herman Zaini Latief, mantan ketua GAIKINDO, dan Mr. Mubarak al-Muwaina', Kolonel pada Dinas Intelejen Kepolisian Kerajaan Arab Saudi, atas bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis baik dukungan moril ataupun materil hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
viii
5. Teman-teman
kelas
Hidayatullah
Tafsir-Hadis
Jakarta
Hafizurrahman,
2003:
Irwansyah,
Sekolah M.
Mujahid,
Pascasarjana
Najmil Faisal
UIN
Husna,
Asdar
Syarif
Badruttaman,
Bakri,
Masna,
A.
Fawaid dan lain-lain. 6. Rekan-rekan
di
Najma
Center:
Nashirul
Haq,
Fathurrahman,
Ahmad
Hotib, Dudi Rosyadi dan lain-lain. 7. Seluruh pihak yang pernah memberikan dukungan, saran dan bantuan kepada
penulis,
yang
tak
mungkin
penulis
sebutkan
namanya
satu
persatu. Kepada mereka semua, kupersembahkan tesis ini. Juga kepada orangorang kepada
yang Sang
sedang
mencari
Pencipta
alam,
kebenaran Dzat
dalam
Yang
rangka
Maha
mendekatkan
Pengasih
lagi
diri Maha
Penyayang. Berbagai kritik, saran dan masukan, sangat penulis harapkan demi perbaikan tesis ini dan pengembangannya di masa mendatang.
Jakarta, 15 Agustus 2007
Fatkhurozi
ix
PERSETUJUAN
Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.
Pembimbing I / Penguji,
Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA Tanggal:
x
PERSETUJUAN
Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.
Pembimbing II / Penguji,
Dr. Abdul Wahib Mu'thi, MA Tanggal:
xi
PERSETUJUAN
Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.
Penguji I,
Prof. Dr. Amani Lubis, MA Tanggal:
xii
PERSETUJUAN
Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.
Penguji II,
Dr. Yusuf Rahman, MA Tanggal:
xiii
PERSETUJUAN
Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.
Ketua Sidang / Penguji,
Prof. Dr. Suwito, MA Tanggal:
xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman pedoman
transliterasi
transliterasi
yang
Arab-Latin
digunakan
yang
ada
di
dalam buku
tesis
ini
Pedoman
adalah Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi, yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press dengan sedikit modifikasi. Huruf Arab
ﺍ
Huruf Latin
Huruf Arab
tidak dilambangkan
ﺏ ﺕ ﺙ ﺝ
b
ﺡ ﺥ ﺩ
h
ﺫ ﺭ ﺯ ﺱ
dz
t ts j
d
r z s
ﺵ ﺹ
sy sh
Keterangan tambahan: a. Vokal Tunggal
thalaba
ﺽ
dh
ﻁ ﻅ ﻉ ﻍ
th
ﻑ ﻕ ﻙ
kh
ﻃﻠﺐ
Huruf Latin
zh ' (koma di atas) gh f q k
ﻝ ﻡ ﻥ ﻭ
l
ﻩ ﺀ ﻱ
h
m n w
` (apostrof) y
xv
b. Vokal Rangkap
khair
ﺧﲑ
c. Mâd
al-mukminîn
ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ
d. Ta` Marbûthah
al-shalâh
ﺍﻟﺼﻼﺓ
e. Syaddah
al-Kasysyâf
ﺍﻟﻜﺸﺎﻑ
f. Kata Sandang
- Yang diikuti oleh huruf qamariyyah: al-Baqarah
ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ
- Yang diikuti oleh huruf syamsiyyah: al-Nisâ`
ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ
g. Hamzah
ya`muru
ﻳﺄﻣﺮ
h. Penulisan Kata
min li al-tabyîn
ﻣﻦ ﻟﻠﺘﺒﻴﲔ
i. Huruf Kapital
al-A’râf
ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ
Dâr al-Ulûm
ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ
Ibn Katsîr
ﺍﺑﻦ ﻛﺜﲑ
j. Idhâfah (ditulis terpisah)
Kecuali
'Abd al-Karîm
ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻜﺮﱘ
'Abd al-Bâqî
ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺒﺎﻗﻲ
'Abdullâh 'Abdurrahmân
ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ
xvi
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI
i
KATA PENGANTAR
vii
PERSETUJUAN
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
xiv
DAFTAR ISI
xvi
BAB I : PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Rumusan dan Batasan Masalah
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
10
D. Kajian Pustaka
11
E. Metodologi Penelitian
15
F. Sistematika Penulisan
17
BAB II: WAWASAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN
19
A. Pengertian Amar Makruf Nahi Mungkar
19
B. Ruang Lingkup Amar Makruf Nahi Mungkar
23
C. Ayat-ayat Amar Makruf Nahi Mungkar dalam al-Qur`an
31
BAB III: PELAKU AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR
67
A. Individu
68
B. Umat
80
C. Negara
91
BAB IV: KARAKTERISTIK PENGEMBAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR
96
xvii
A. Karakteristik Umum
97
1. Beriman Kepada Allah dan Hal-hal Yang Wajib Diimani 2. Taat Kepada Allah dan Rasul-Nya B. Karakteristik Khusus
97 107 116
1. Menjaga Nilai-nilai Akhlak
116
2. Bertaubat
123
3. Selalu Memuji Allah
128
4. Memiliki Semangat Jihad (Juang)
132
5. Bersegera Mengerjakan Kebajikan
136
C. Analisis Terhadap Gerakan Amar Makruf Nahi Mungkar di Indonesia
BAB V : PENUTUP
140
148
A. Kesimpulan
148
B. Saran-saran
149
DAFTAR PUSTAKA
xviii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xxiv
LAMPIRAN
xxvi
xviii
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an al-Karîm dan Terjemahnya. ‘Abd al-Bâqi, Muhammad Fu`âd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.. 'Abd al-Qâdir, Hisyâm Ibn, Mufsidât al-Ukhuwwah, Kairo: Dâr al-Shafwah, 1418 H, cet. ke-1. Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr al-'Arabi, t.th.. Afîfi,
Thal'at Muhammad, Shafhât Musyriqât Mesir: Dâr al-Salâm, 2005, cet. ke-1.
Min
Hayât
al-Shahâbiyât,
Ahmad, 'Abd al-Jabbâr Ibn, Syarh al-Ushûl al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1996, cet. ke-3. Al-Alûsi, Abû al-Fadhl Syihâbuddîn, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân al‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsânî, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001 M, cet. ke-1. Al-Anshari, Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', Riyâdh: Maktabah al-Anshâr, 1984. Al-Ashfahâni, al-Râghib, Mufradât Alfâzh Qalam, 2002.
al-Qur`ân,
Damaskus: Dâr
al-
'Âsyûr, Muhammad Thâhir Ibn, al-Nizhâm al-Ijtimâ'i fî al-Islam, Mesir: Dâr al-Salâm, 2005, cet. ke-1. Azad, Mawlânâ Abul Kalâm, The Opening Chapter of The Qur`ân (Sûrah alFâtihah), Malaysia: Islamic Book Trust, 2004, cet. ke-2. Baidan, Nashruddin, Tafsîr Maudhû'i: Solusi Qur`ani Untuk Masalah Sosial Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001, cet. ke-1. Al-Bainûni, Muhammad Abû al-Fattâh, al-Madkhal Beirut, Mu`assasah al-Risâlah, 1991, cet. ke-1.
Ilâ
‘Ilm
al-Da’wah,
Darwis, Shâlih ibn ‘Abdullâh, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an alMunkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum, alih bahasa: Muhammad
xix
‘Abdul Ghaffar, Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, cet. ke-1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. ke-1. Effendi, Syahrul, Yudi Pramuka, Habib-FPI Gempur Playboy, Jakarta: Yudi Pramuka, 2006. Al-Fahd, Qâsim ibn Shâlih, 10 Durûs Fî Tadabburi Ma'ânî Aqwâl al-Shalâh, Riyadh: Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 2005, cet. ke-3. Al-Fairûzabâdi, Majd al-Dîn, al-Qamûs al-Muhîth, Beirut: Dâr al-Jail, t.th.. Fâiz, Ahmad, Tharîqah al-Da’wah, Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1992, cet. ke-13. Al-Faramâwi, ‘Abd al-Hayy, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’i: Dirâsah Manhajiyyah Maudhû’iyyah, Mesir: Mathba’at al-Hadhârat al‘Arabiyyah, 1977, cet. ke-2. Farîd, Ahmad, Tharîq al-Sa'âdah, Iskandaria: Dâr al-'Aqîdah, 2006, cet. ke. 1. Al-Fayyûmi, Ahmad ibn Muhammad al-Muqrî, al-Mishbâh al-Munîr, Kairo: al-Mathba’ah al-Misyriyyah, 1928. Fazhur Rahmân, Major Themes of The Qur`an, alih bahasa: Anas Wahyuddin, Tema Pokok al-Qur`an, Bandung: Penerbit Pustaka, 1996, cet. ke-2. Ghanîm, Wajdî, Sulûk al-Muslim, Mesir: Dâr al-Salâm, 2005, cet. ke-1. Al-Ghazâli, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Mesir: al-Maktabah al-Misriyyah, 1998. Hafiduddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani, 1998, cet. ke- 1. Harian Umum Republika, 17-02-07. Al-Hilâli, Majdi, Halummû iIâ Rabbikum, Kairo: Dâr al-Tauzî' wa al-Nasyr al-Islamiyyâh, 2004, cet. ke-1.
xx
____________, Binâ` Iqra`, 2005.
al-Îmân
min
Khilâl
al-Qur`ân,
Kairo:
Mu`assasah
Al-Hiyâli, Ra'd Kâmil, al-Khilâfât al-Zaujiyyah fî Dhau` al-Kitâb wa alSunnah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1994, cet. ke-1. Husain, Muhammad, Thifl Mâ Qabla al-Madrasah, Iskandariah: Dâr alDa'wah, 2004, cet. ke-1. Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2002. Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Dâr al-Ma’ârif, t.th.. Ibn
Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar; diterjemahkan dengan judul: Amar Ma'ruf Nahi Munkar – Mengajak Kepada Kebaikan dan Mencegah Keburukan, Jakarta: Penerbit Aras Pustaka, 1999, cet. ke-1.
Al-‘Îd, Sulaimân ibn Qâsim, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘An al-Munkar, Riyadh: Dâr al-Wathan Li al-Nasyr, 2000, cet. ke-1. Ilyâs, Maulânâ Muhammad, Pedoman Bertabligh Bagi Umat Islam, Seruan Kepada Kaum Muslimin, Yogyakarta: al-Shaff, 2003, cet. ke-2. Al-Jibrin, Abdullâh ibn Abdurrahmân, Hâjat al-Basyar Ilâ al-Amr bil Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar, alih bahasa: Ummu Rania, Lc, Tanya Jawab Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, cet. ke-1. Karîm, Sa'ad, al-Îmân wa Atsaruhû fî Tarbiyyah al-Aulâd, Iskandaria: Dâr al'Aqîdah, 2002, cet. ke-1. Al-Khathîb, 'Abd al-Karîm, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, Dâr al-Fikr al‘Arabi, t.th.. Mahmûd, Ali ‘Abd al-Halîm, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân alMuslimîn, alih bahasa: Syafril Halim, Ikhwanul Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, cet. ke-1. Al-Marâghi, Ahmad Musthâfâ, Tafsîr al-Marâghi, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., jilid 2.
xxi
Al-Munawwar, Sa’id Agil Husin, al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002, cet. ke-1. Nadwi, Sayyid Abû Hasan ‘Ali, Maulânâ Muhammad Ilyâs, alih bahasa: Maroahkan Ahmad: Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulânâ Muhammad Ilyâs, Yogyakarta: al-Shaff, 2005, cet. ke-3. Al-Naisâbûri, Abû al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wâhidi, Asbâb al-Nuzûl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1991. Nasir, Muhammad, Fiqh al-Dakwah, Jakarta: Media Dakwah, 2000, cet. ke11. Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet. ke-1. Nûh, Sayyid Muhammad, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam, Solo: Citra Islami Press, 1996, cet. ke-1. Nurdin, Ali, Perspektif al-Qur`an Tentang Masyarakat Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.
Ideal,
disertasi,
Al-Nursi, Sa'îd, al-Âyâh al-Kubrâ, Kairo: Syirkah Sozler li al-Nasyr, 2000, cet. ke-3, h. 126. Pangabean, Syamsurizal, Ensiklopedi Tematik Organisasi dan Gerakan Islam, t.tp.: t.th..
Dunia
Islam,
Dalam
Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1993, jilid 12. Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992, jilid 1, cet. ke-17. Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Paramadina, 2002, cet. ke2. Ridhâ, Muhammad Rasyîd, Tafsîr ‘Ilmiyyah, 1999, cet. ke-1.
al-Manâr,
Beirut:
Dâr
al-Kutub
al-
_______________________, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th., cet. ke- 2.
xxii
Ruslan, Masyarakat Islam Dalam Perspektif al-Qur`an, tesis, Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah. Al-Sa’di, Abdurrahmân ibn Nâshir, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, Beirut: Mu`assasah al-Risâlah: 2002, cet. ke-1. Salmadanis, Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur`an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl: 125), disertasi, Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah. Saloral, Ziauddin, Jihad Intelektual, Surabaya: Risalah Gusti, 1998, cet. ke1. Al-Shaghîr, Fâlih ibn Muhammad, Hadîts Bâdirû Bi al-A'mâl Sittan: Dirâsah Hadîtsiyyah Da'awiyyah Nafsiyyah, Riyadh: Dâr Ibn al-Atsîr, 1426 H, cet. ke-2. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur`an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996, cet. ke-12. ________________, Tafsîr al-Mishbâh, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, cet. ke-2. ________________, Wawasan al-Qur`an, Bandung: Penerbit Mizan, 1998, cet. ke-8. Suwito, dkk., Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002, cet. ke-2. Syahrûr, Muhammad, al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu'âshirah, Beirut: Syirkah al-Mathbû'ah li al-Tauzî' wa al-Nasyr, 2000, cet. ke-6. Al-Syarîf, 'Ashâm ibn Muhammad, Mukhâlafât fî Buyûtinâ, Iskandariah: Dâr al-Îmân, 2004. Syatawî, Muhammad Rajab, al-Da’wah al-Islâmiyah, Kairo: Dâr al-Thibâ'ah al-Muhammadiyyah, 1990, cet. ke-1. Al-Thabari, Ibn Jarîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, Beirut: Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah, 1999, cet. ke-3. Al-Thabâthabâ`i, Muhammad Husain, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân, Beirut: Mu`assasah al-A'lâmi li al-Mathbû'ât, 1972.
xxiii
Thâhir, Hâmid Ahmad, Hayât al-Shahâbah, Kairo: Dâr al-Fajr li al-Turâts, 2004, cet. ke-1, h. 44. Umar, Nasarudin, al-Qur`an dan Problem Pembangunan Karakter Bangsa, Swara Dipertais, Jum'at, 20 April 2007. Wensinck, A.J., al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts al-Nabawi, Leiden: E.J Brill, 1943. Ya’qub, Hamzah, Publistik Islam: Tekhnik Dakwah dan Leadership, Bandung: CV. Diponegoro, 1981, cet. ke-2. Zaidân, 'Abd al-Karîm, 2001 M, cet. ke-9.
Ushûl al-Da’wah,
Beirut: Mu`assasah al-Risâlah,
Al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M, cet. ke-1. Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsîr al-Munîr, Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1998. Majalah Islam Sabili, edisi no. 21 th. XIII 4 Mei 2006. Situs Kaum Kiri Indonesia, http://www.rumahkiri.org. Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas http://id.wikipedia.org, Front Pembela Islam.
Berbahasa
Indonesia,
xxiv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama T.T. Lahir Alamat Alamat Asal Keluarga : a. Ayah b. Ibu c. Ayah Mertua d. Istri e. Anak
f. Saudara
: Fatkhurozi : Tegal, 25 Januari 1977 : Jl. H. Zaenuddin Dalam No. 82 A Gandaria Utara Jakarta Selatan : Desa Kedungkelor Rt. 06 Rw. 05 Warureja Tegal
: Khafas : Tursinah : Amiruddin : Nofita Satriani, S.Kom : Amalia Nabila Az-Zahra Maulana Faiz Rahmat Abdullah : Muflihah Musyarofah, S.Pd Umi Kulsum, S.Sos
Riwayat Pendidikan: Sekolah Dasar Negeri Kedungkelor 02 (1983-1989) Madrasah Tsanawiyah Negeri Pemalang (1989-1992) Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta I (Program Khusus) (1992-1995) Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar (1996-2000) Konsentrasi Tafsir-Hadis Sekolah Pascasarjana UIN Hidayatullah Jakarta (2003-sekarang)
Kairo Syarif
Pengalaman Kerja: Penerjemah Di Lembaga Gazirah Abdi Ummah (2001) Staf Pengajar Bahasa Arab Di Lembaga Bahasa Arabic Super Learning Jakarta (2001-2002) Staf Pengajar Sekolah Bahasa (SEBASA) Polri (2002) Koordinator Program Bahasa Arab Di Lembaga Pendidikan Profesi Insan Institute Jakarta (2002-2003) Tenaga Honorer Direktorat Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional (2004) Direktur Najma Center (2005-sekarang)
xxv
Karya-karya: Modul "Arabic For Beginner" (Diajarkan di Lembaga Pendidikan Profesi Insan Institute Jakarta) Modul "Arabic Conversation" Terjemah Buku "Majâlis al-Shâlihîn" (Diterbitkan oleh Maghfirah Pustaka dengan judul "Sumber Inspirasi Orang-orang Saleh", 2006) Terjemah Kitab Tafsîr Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh al-Qur`ân bi al Qur`ân (Diterbitkan oleh Pustaka Azzam, 2006) Terjemah Buku "100 Mauqif Buthûlî li al-Nisâ`" (Diterbitkan oleh Maghfirah Pustaka dengan judul "Ketika Wanita Lebih Utama Dari Pria", 2005) Terjemah Buku "Durûs al-Masjid fî Ramadhân" (Diterbitkan oleh Maghfirah Pustaka dengan judul "Ramadhankan Hidupmu", 2005)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam
kaitannya
dengan
pelaksanaan
ajaran-ajaran
agama
Islam,
secara umum umat Islam terbagi menjadi dua golongan: golongan yang melaksanakannya
dan
golongan
yang
tidak
melaksanakannya.
Adanya
sebagian umat Islam yang tidak melaksanakan ajaran-ajaran agamanya itu bisa
disebabkan
karena
ketidaktahuan
mereka
akan
ajaran-ajaran
tersebut
atau bisa juga disebabkan karena dorongan hawa nafsu mereka yang begitu kuat sehingga mereka tidak mampu lagi untuk membendungnya, meskipun sebenarnya mereka telah mengetahui.1 Fenomena seperti ini bukan hanya ada di kalangan umat Islam saja, melainkan juga di kalangan umat-umat sebelumnya. Kisah Bani Isra`il yang telah melanggar aturan Allah untuk tidak bekerja pada hari Sabtu, merupakan bukti
yang
memperkuat
pernyataan
tersebut.
Diriwayatkan
bahwa
sekelompok orang dari Bani Isra`il tidak menaati perintah Allah untuk tidak bekerja
pada
hari
Sabtu,
lalu
mereka
tidak
mengindahkan
nasehat
sekelompok orang lainnya agar tidak melakukan perbuatan tersebut, maka pada saat itulah Allah menyelamatkan orang-orang yang telah mencegah dari kemungkaran dan menimpakan adzab yang pedih kepada orang-orang yang
1
'Abd al-Karîm Zaidân, Ushûl al-Da’wah, (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2001 M), cet. ke-9, h. 173.
2
melanggar perintah-Nya.2 Kisah ini telah disebutkan Allah Swt. dalam Q.S. al-A'râf (7): 165. Fenomena pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Allah di muka bumi akan tetap ada hingga datangnya hari Kiamat, dan hal ini sangat terkait dengan upaya Iblis beserta bala tentaranya untuk memalingkan manusia dari al-shirâth
al-mustaqîm
(jalan
yang
lurus)
dengan
menggunakan
berbagai
macam cara.3 Di satu sisi, sebagai makhluk yang telah diciptakan Allah, manusia
dituntut
ajaran-ajaran
untuk
agama-Nya
menghambakan secara
diri
keseluruhan,
kepada-Nya, serta
tidak
melaksanakan
mengikuti
jejak
langkah setan.4 Untuk menghindari terjadinya gap antara realita (adanya sebagian umat Islam yang tidak melaksanakan ajaran-ajaran agama mereka) dan
idealita (keharusan
melaksanakan
ajaran-ajaran agama Allah) ini di
kalangan kaum Muslimin, Islam pun menetapkan satu sistem pengontrol (control system) yang dinamakan dengan al-amr bi al-ma'rûf wa al-nahy 'an al-munkar.5 Menurut Muhammad Rasyîd Ridhâ, kedudukan amar makruf nahi mungkar sebagai control system dalam Islam sangat terkait dengan perannya dalam mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri, baik dengan meninggalkan perintah2 Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi' al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al'Ilmiyyah, 1999), cet. ke-3, jilid 6, h. 100. 3
Q.S. al-A'râf (7): 16-17.
4
Q.S. al-Baqarah (2): 208.
5
Di Indonesia, al-amr bi al-ma'rûf wa al-nahy 'an al-munkar sudah popular dengan ungkapan amar makruf nahi mungkar. (Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, [Jakarta: Balai Pustaka, 1988], cet. ke-1, h. 26.) Ia merupakan sebuah istilah dalam bahasa Arab yang sudah dapat dianggap sebagai istilah dalam bahasa Indonesia sehingga ia tidak perlu ditransliterasikan. (Lihat Suwito, dkk., Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, [Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002], cet. ke2, h. 48.) Oleh karena itu, maka pada penyebutan berikutnya penulis cukup menggunakan ungkapan amar makruf nahi mungkar yang tidak ditulis miring.
3
perintah
Allah
Swt.
maupun
dengan
melakukan
larangan-larangan-Nya.
Dengan sistem ini, diharapkan seluruh umat Islam akan berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama mereka. Sebab, ketika mereka hendak ataupun telah
melanggar
salah
satu
dari
ajaran-ajaran
Islam,
mereka
akan
dikembalikan oleh sistem amar makruf nahi mungkar kepada ajaran tersebut. Sebagai contoh, salah satu dari ajaran Islam adalah persatuan antar umat Islam sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S. Âli ‘Imrân (2): 103, dan untuk menopang serta menjaga persatuan tersebut, Allah telah memerintahkan kepada umat Islam untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104, sehingga jika
ada
sebagian
umat
Islam
yang
melakukan
perbuatan
yang
dapat
memecah persatuan di antara mereka, maka sebagian umat Islam lainnya akan mencegah mereka dari perbuatan tersebut. 6 Sebagai control system dalam Islam, amar makruf nahi mungkar telah mendapat perhatian serius, baik oleh al-Qur`an maupun hadis Nabi Saw.. Tidak sedikit ayat al-Qur`an ataupun hadis yang menyebutkan secara tegas permasalahan amar makruf nahi mungkar ini, bahkan pada sebagian ayat, amar makruf nahi mungkar dikaitkan dengan aspek keimanan kepada Allah Swt. yang merupakan pondasi utama bagi "bangunan" Islam, seperti pada Q.S. Âli ‘Imrân (4): 110 dan Q.S. al-Taubah (9): 71. Dari sinilah, amar makruf nahi mungkar pun menjadi perhatian serius para ulama, dari dulu hingga sekarang. Amar makruf disepakati
nahi
kewajibannya
mungkar oleh
para
merupakan ulama,
satu
amaliah
meskipun
yang telah
mereka
berbeda
pendapat apakah termasuk fardhu ‘ain ataukah fardhu kifâyah. Sebagian
6
Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-1, jilid 4, h. 22.
4
ulama berpendapat bahwa hukum amar makruf nahi mungkar adalah fardhu ‘ain karena huruf min pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104 adalah min bayâniyyah (sebagai penjelas saja) sehingga makna dari ayat tersebut adalah: “Dan hendaklah
kalian
semua
menjadi
umat
yang
menyuruh
kepada
sedangkan
sebagian
yang
makruf
dan
mencegah
ulama
lainnya
berpendapat
menyeru
kepada
kebaikan,
yang
mungkar”,
dari
bahwa
hukumnya
adalah
fardhu kifayâh karena huruf min pada ayat tersebut adalah min li al-tab’îd (menunjukkan
arti
sebagian)
sehingga
makna
dari
ayat
tersebut
adalah
sebagai berikut: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” 7 Pendapat mengenai wajibnya amar makruf nahi mungkar ini tidak hanya di kalangan ulama Ahlus Sunnah saja, melainkan juga di kalangan ulama-ulama lainnya. Bahkan
ulama Mu'tazilah menjadikan amar makruf
nahi mungkar sebagai salah satu dari lima pilar utama dalam agama (al-ushûl al-khamsah). Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka mengenai wajibnya hukum amar makruf nahi mungkar. Perbedaan hanyalah mengenai apakah kewajiban amar makruf nahi mungkar itu diketahui melalui akal ataukah diketahui
wahyu.
Abû
melalui
akal
'Ali
berpendapat
dan
wahyu,
bahwa
sementara
kewajiban Abû
tersebut
dapat
Hâsyim berpendapat
bahwa kewajiban tersebut hanya dapat diketahui melalui wahyu kecuali hanya dalam satu kondisi, yaitu ketika ada kezhaliman yang dilakukan seseorang
terhadap
orang
lainnya.8
Dalam
pandangan
ulama
Mu'tazilah,
tujuan diwajibkannya amar makruf nahi mungkar adalah agar hal-hal yang
7
Sulaimân ibn Qâsim al-‘Îd, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, (Riyadh: Dâr al-Wathan Li al-Nasyr, 2000), cet. ke-1, h. 10-11. 8
'Abd al-Jabbâr ibn Ahmad, Syarh al-Ushûl al-Khamsah, tahqîq: Dr. 'Abd alKarîm Utsman, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), cet. ke-3, h. 142.
5
makruf tidak disia-siakan (ditinggalkan) dan agar hal-hal yang mungkar tidak dilakukan.9 Amar makruf nahi mungkar merupakan tugas mulia yang memiliki peran besar dalam mempertahankan khairiyyah yang telah disandang oleh umat Islam, dimana mereka akan tetap menjadi umat yang terbaik selama mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik, dimana salah satu faktor yang menyebabkan mereka menjadi umat yang terbaik
adalah
karena
mereka
mau
melaksanakan
amar
makruf
nahi
mungkar. Dengan amar makruf nahi mungkar pula, umat Islam dapat menjadi umat yang beruntung, seperti yang disinyalir dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104. Keberuntungan yang mereka peroleh itu sesuai dengan tugas berat yang mereka emban. Sebagaimana diketahui, tugas mengajak kepada kebaikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar bukanlah tugas yang mudah atau ringan. Karena itu, ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb menegaskan bahwa di antara umat Islam harus ada sekelompok orang yang memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan rasa persaudaraan yang tinggi, yang dengannya mereka dapat menjalankan tugas yang berat tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan karena ketika menjalankan tugas tersebut, seseorang pasti akan dihadapkan pada berbagai tantangan, serta kepentingan dan ambisi sebagian orang.10
9
'Abd al-Jabbâr bin Ahmad, Syarh al-Ushûl al-Khamsah, h. 741.
10
Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), jilid 1, cet. ke-17, h. 444.
6
Dari pemahaman terhadap kedua ayat di atas, dapat difahami secara mafhûm mukhâlafah bahwa jika umat Islam mengabaikan amar makruf nahi mungkar maka mereka tidak dapat lagi menjadi umat yang terbaik dan juga umat yang beruntung, bahkan mereka dapat menjadi umat yang terpuruk dan dilaknat oleh Allah Swt., seperti yang dialami oleh Bani Isra`il. Dalam alQur`an, Allah menegaskan bahwa orang-orang kafir dari Bani Isra`il dilaknat dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.11 Tetapi di balik kemuliaan dan kedudukannya itu, amar makruf nahi mungkar bukanlah tugas yang mudah atau ringan. Oleh karena itu, terlepas dari perdebatan apakah hukum amar makruf nahi mungkar itu fardhu ‘ain ataukah fardhu kifâyah, pada hakekatnya semua ulama sepakat bahwa harus ada sekelompok orang di antara umat Islam yang mau menekuni bidang amar makruf nahi mungkar ini.12 Hal ini tidak lain adalah karena dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar dibutuhkan adanya keberanian dan keteguhan hati. Selain itu, untuk mendapatkan harus
hasil yang diharapkan,
mengenal
keadaan
orang
atau
pelaku obyek
amar yang
makruf menjadi
nahi mungkar sasaran
dari
amaliah amar makruf nahi mungkar tersebut. Sebab pada hakekatnya, amar
11 12
Q.S. al-Mâ`idah (5): 78-79.
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, (Dâr al-Fikr al‘Arabi, t.th.), kitab ke-2, h. 542. Ketika menafsirkan firman Allah dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104, Ibn Katsîr menjelaskan: “Maksud dari ayat ini adalah bahwa harus ada sekelompok orang dari umat ini yang menekuni urusan tersebut (amar makruf nahi mungkar), meskipun amar makruf nahi mungkar itu adalah wajib bagi setiap orang, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.” (Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, [Beirut: alMaktabah al-‘Ashriyyah, 2002], jilid 1, h. 342.
7
makruf nahi mungkar adalah bagian dari dakwah13, sedangkan keberhasilan dakwah sangat bergantung pada kemampuan dâ’i (seorang juru dakwah) dalam mengenal mad’û (sasaran atau obyek dakwah) beserta media dan seluruh komponen dakwah lainnya. Seorang dâ’i yang mengabaikan salah satu dari komponen dakwah tersebut tidak mungkin mendapatkan hasil yang maksimal
dari
kegiatannya.
Kegiatan
dakwah
dapat
berakhir
dengan
kegagalan, jika dakwah itu dilaksanakan dengan tanpa mempelajari keadaan mad’û yang dihadapi.14 Dari sini, maka dapat difahami bahwa harus ada sekelompok orang yang memfokuskan perhatiannya pada tugas amar makruf nahi mungkar. Mereka adalah para pengemban amar makruf nahi mungkar yang memiliki sejumlah
karakteristik
yang
dapat
mendukung
terlaksananya
tugas
mulia
tersebut. Penulis
beranggapan
bahwa
karakteristik-karakteristik
pengemban
amar makruf nahi mungkar ini sangat penting untuk diketahui karena hal itu dapat menjadi acuan bagi orang-orang yang ingin mengemban tugas amar makruf nahi mungkar serta menegakkannya di bumi Allah ini. Atas dasar inilah, maka penulis merasa tertarik untuk mengeskplorasi ayat-ayat yang berkaitan
dengan
karakteristik
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar,
sehingga akan diperoleh solusi al-Qur`an mengenai karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar tersebut.
13
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. ke-2,
h. 623. 14
Hamzah Ya’qub, Publistik Islam: Tekhnik Dakwah dan Leadership, (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), cet. ke-2, h. 32.
8
B. Rumusan dan Batasan Masalah Dalam
kaitannya
dengan
tema
amar
makruf
nahi
mungkar,
ada
sejumlah masalah yang dapat diidentifikasi, di antaranya: 1. Konsep amar makruf nahi mungkar menurut al-Qur`an. 2. Wawasan amar makruf nahi mungkar dalam al-Qur`an yang meliputi pengertian dan ruang lingkupnya serta hal-hal apa saja yang tergolong makruf dan hal-hal apa saja yang tergolong mungkar pada masa sekarang ini. 3. Hukum amar makruf nahi mungkar. 4. Pelaku amar makruf nahi mungkar atau siapa saja yang memiliki otoritas untuk melakukannya? 5. Cara-cara
melakukan
amar
makruf
dan
cara-cara
melakukan
nahi
mungkar. 6. Apakah ayat-ayat amar makruf nahi mungkar lebih menekankan aspek amar makruf ataukah nahi mungkar? 7. Karakteristik
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar
menurut
al-
Qur`an. 8. Apakah
organisasi-organisasi
massa
atau
kelompok-kelompok
yang
mengemban tugas amar makruf nahi mungkar pada masa sekarang ini sudah memperhatikan karakteristik-karakteristik tersebut? Berdasarkan
identifikasi
masalah
di
atas,
penulis
akan
membatasi
permasalahan yang dibahas dalam tesis ini pada aspek wawasan amar makruf nahi
mungkar
serta
karakteristik-karakteristik
pengembannya
menurut
al-
Qur`an. Pembahasan mengenai wawasan amar makruf nahi mungkar dirasa penting karena makruf dan mungkar merupakan dua hal yang sangat terkait dengan aspek waktu. Oleh karena itu, maka diperlukan adanya penjelasan
9
mengenai hal-hal apa saja yang tergolong perbuatan yang makruf dan hal-hal apa saja yang tergolong mungkar pada masa sekarang ini, dengan harapan penjelasan
tersebut
dapat
menghindari
terjadinya
perbedaan
pemahaman
antara pembaca dengan penulis. Pembahasan
mengenai
karakteristik
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar juga dianggap penting karena amar makruf nahi mungkar bukanlah tugas yang mudah atau ringan, seperti yang telah dijelaskan di atas. Untuk itu, diperlukan adanya sekelompok orang yang memfokuskan perhatiannya pada tugas amar makruf nahi mungkar ini, yaitu sekelompok orang yang memiliki
sejumlah
terlaksananya mengenai nahi
karakteristik
tugas
hal-hal
mungkar
mereka
yang
dapat
tertentu
dengan
merupakan dijadikan
yang
baik.
Penulis
karakteristik
panduan
dapat
mendukung
berharap
pengemban
bagi
penjelasan
amar
orang-orang
makruf
yang
ingin
pembahasan
yang
mengemban tugas mulia tersebut. Selanjutnya,
untuk
memperjelas
ruang
lingkup
akan diteliti dan agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda dengan maksud penulis, maka secara terperinci permasalahannya akan dirumuskan sebagai berikut: 1.
Apa definisi amar makruf nahi mungkar menurut al-Qur`an, serta halhal apa saja yang tergolong makruf dan hal-hal apa saja yang tergolong mungkar pada masa sekarang ini?
2.
Siapa
saja
yang memiliki
otoritas melakukan
amar
makruf
nahi
mungkar dan sejauhmana otoritas masing-masing? 3.
Apa
saja
karakteristik
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar
menurut al-Qur`an dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan bermasyarakat?
10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis menentukan beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu: 1- Menjelaskan
definisi
amar
makruf
nahi
mungkar
sesuai
dengan
kandungan ayat-ayat al-Qur`an, serta hal-hal apa saja yang tergolong makruf dan hal-hal apa saja yang tergolong mungkar pada masa sekarang ini. 2- Menjelaskan tentang siapa saja yang menjadi pelaku amar makruf nahi mungkar dan sejauhmana wewenang masing-masing. 3- Mengungkap
karakteristik-karakteristik
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar yang dijelaskan di dalam al-Qur`an serta implikasinya terhadap kehidupan bermasyarakat. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1- Dapat menambah wawasan pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi kaum
Muslimin
pada
umumnya
serta
dapat
memberikan
sumbangan
keilmuan terutama dalam bidang tafsir dan dakwah. 2- Memberikan
informasi
dan
motivasi
bagi
orang-orang
yang
ingin
mengemban tugas amar makruf nahi mungkar dan ingin mewujudkan karakteristik-karakteristik tersebut di dalam dirinya. 3- Dapat
menjadi
bahan
kajian
yang
berguna
bagi
peneliti-peneliti
selanjutnya dan siapa saja yang berminat mengkaji tentang amar makruf nahi mungkar sehingga pada gilirannya dapat bermanfaat bagi dinamika kehidupan masyarakat di masa-masa mendatang.
11
D. Kajian Pustaka Berdasarkan pengamatan penulis terhadap literatur-literatur yang ada hingga saat ini, belum ada penelitian ilmiah yang secara khusus mengkaji masalah
karakteristik
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar
dalam
perspektif al-Qur`an. Adapun kajian tentang amar makruf nahi mungkar secara umum, penulis menemukan buku karya Ibn Taimiyyah yang berjudul al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar. Dalam buku tersebut, di samping Ibn Taimiyyah membahas pengertian amar makruf nahi mungkar dan
hukumnya,
seseorang
dalam
ia
juga
membahas
menegakkan
amar
syarat-syarat makruf
nahi
yang
harus
mungkar,
di
dipenuhi antaranya
adalah: amar makruf nahi mungkar harus dilakukan dengan menggunakan ilmu karena suatu amal tidak dianggap shaleh bila dilakukan tanpa ilmu, harus berdasarkan jalan yang lurus (al-shirât al-mustaqîm), harus dilakukan dengan lemah lembut, serta harus dengan santun dan sabar.15 Menurut Ibn Taimiyyah, pemahaman yang baik, kesabaran, serta sifat santun dan lemah lembut harus dimiliki oleh orang yang terjun ke bidang amar makruf nahi mungkar terhadap masyarakat. Begitu pula sifat berani dalam membela kebenaran tidak boleh tidak harus dimilikinya juga. Dengan modal ini, perintah dan larangan bisa diharapkan mencapai sasaran dan tujuannya. Yang dimaksud dengan keberanian di sini bukanlah kekuatan fisik atau ketegaran otot, tetapi keberanian hati dan kekuatan jiwa yang bersumber dari kepercayaan dan keyakinan yang penuh kepada Allah. Dalam
kaitannya
dengan
syarat-syarat
dan
sifat-sifat
tersebut,
Ibn
Taimiyyah mengatagorikan orang-orang yang melakukan amar makruf nahi 15
Ibn Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar (diterjemahkan dengan judul: Amar Ma'ruf Nahi Munkar – Mengajak Kepada Kebaikan dan Mencegah Keburukan), (Jakarta: Penerbit Aras Pustaka, 1999), cet. ke-1, h. 25.
12
mungkar dengan lisan atau tangan secara membabi buta tanpa mengerti persoalan, tanpa sopan santun, tanpa kesabaran dan memperhatikan yang berguna dan yang tidak, sebagai orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar dengan keliru.16 Meskipun Ibn Taimiyyah membahas hal-hal tersebut, akan tetapi apa yang disampaikannya itu berbeda dengan apa yang akan dibahas dalam tesis ini, karena yang menjadi masalah utama dalam tesis ini adalah bagaimana karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar menurut perspektif al-Qur`an, dan hal itu sama sekali belum dibahas dalam buku karya Ibn Taimiyyah tersebut. Penulis juga menemukan buku karya Shâlih ibn 'Abdullâh Darwis yang berjudul al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahyu ‘An al-Munkar wa Wâqi’ alMuslimîn al-Yaum. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern
yang
diterbitkan
oleh
Pedoman
Ilmu.
Di
samping
menjelaskan
pengertian dan hukum amar makruf nahi mungkar, buku ini juga membahas tentang pentingnya amar makruf nahi mungkar menurut nash-nash syariat dan pentingnya amar makruf nahi mungkar menurut para ulama. Di antara urgensi
amar
makruf
nahi
dijelaskan
dalam
buku
mungkar
dalam
mencegah
mungkar
tersebut
menurut
adalah
adzab
nash-nash
pentingnya
Allah
amar
kepada
syariat
yang
makruf
nahi
hamba-hamba-Nya,
pentingnya amar makruf nahi mungkar dalam merealisasikan kebaikan bagi kehidupan
umat,
dan
pentingnya
amar
makruf
nahi
mungkar
dalam
memelihara kebaikan masyarakat dan memperbaikinya.17
16 17
Ibn Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar, h. 11.
Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum, (alih bahasa: Muhammad ‘Abdul Ghaffâr, Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. ke-1.
13
Dalam buku tersebut, di samping dibahas kewajiban amar makruf nahi mungkar bagi setiap individu, juga dibahas kewajiban amar makruf nahi mungkar
bagi
orang-orang
yang
diberikan
keistimewaan
jabatan
atau
pangkat termasuk ulama. Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis menegaskan bahwa berdasarkan firman Allah dalam Q.S. al-Hajj (22): 40-41, para ulama sepakat bahwa perintah amar makruf nahi mungkar bagi penguasa (pemimpin) dan juga ulama hukumnya adalah fardhu ‘ain.18 Selain itu, ada pula buku berjudul al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy ‘An al-Munkar: al-Hatstsu ‘Alâ Fi’lihi wa al-Tahdzîr min Tarkihi yang ditulis oleh Sulaimân ibn Qâsim al-‘Îd, seorang anggota dewan pengajar pada Fakultas Tarbiyyah Universitas Malik Sa’ud. Sesuai dengan judulnya, buku ini hanya difokuskan pada pembahasan tentang keutamaan melakukan amar makruf nahi mungkar dan bahaya yang akan muncul jika amar makruf nahi mungkar tersebut ditinggalkan. Sampai saat ini, penulis belum menemukan satu tesis atau disertasi yang
secara
khusus
membahas
masalah
amar
makruf
nahi
mungkar.
Pembahasan mengenai amar makruf nahi mungkar ini hanya penulis temui pada dua disertasi, itu pun hanya pada satu sub bab saja. Disertasi pertama adalah berjudul Perspektif al-Qur`an Tentang Masyarakat Ideal yang ditulis oleh Ali Nurdin. Dalam disertasi ini, amar makruf nahi mungkar hanya dibahas dalam kedudukannya sebagai salah satu ciri umum masyarakat ideal, tanpa
disinggung
mungkar
dan
pembahasan
18
sedikit
pun
karakteristiknya.
mengenai
amar
mengenai
pengemban
Pembahasan
makruf
nahi
ini
mungkar
amar
hampir
makruf
nahi
sama
dengan
dalam tesis
berjudul
Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum, h. 51.
14
Masyarakat
Islam
Dalam
Perspektif
al-Qur`an
yang
merupakan
karya
Ruslan. Disertasi kedua adalah disertasi yang ditulis oleh Salmadanis dengan judul Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur`an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl: 125). Dalam disertasi kedua ini memang disinggung sedikit mengenai pelaku dakwah dan amar makruf nahi mungkar yang meliputi ummah
dan
karakteristik
pribadi,
tetapi
pengemban
disertasi
amar
tersebut
makruf
tidak
nahi
membahas
mungkar.
tentang
Salmadanis
menegaskan bahwa pada hakekatnya yang menjadi pelaku dakwah (termasuk di dalamnya amar makruf nahi mungkar) adalah semua Muslim. Hal ini didasarkan pada Q.S Âli 'Imrân (3): 104, dengan menafsirkan huruf min pada ayat tersebut sebagai min bayâniyyah (sebagai penjelas saja) dan bukan min li al-tab'îdh (menunjukkan arti sebagian), dan juga didasarkan pada hadis tentang perumpamaan orang yang mematuhi aturan-aturan Allah dan orang yang tidak mematuhinya.19 Salmadanis menjadikan ayat dan hadis tersebut sebagai alat untuk menyimpulkan bahwa semua Muslim merupakan subyek dakwah, karena itu dakwah pun wajib hukumnya bagi setiap Muslim. Berbeda pada
dengan
karya-karya
menjelaskan
pembahasan
ilmiah
tentang
sebelumnya,
karakteristik-karakteristik
amar
pada
makruf
tesis
pengemban
nahi
mungkar
ini
penulis
ingin
amar
makruf
nahi
mungkar menurut al-Qur`an yang belum dijelaskan pada karya-karya ilmiah tersebut.
19
Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Syirkah, hadis no. 2313; al-Tirmidzi pada kitab al-Fitan 'An Rasûlillâh, hadis no. 2099; dan Ahmad pada kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17638, 17647, 17653 dan 17685.
15
E. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah library reseach (penelitian kepustakaan) karena semua datanya berasal dari bahanbahan tertulis yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan topik yang dibahas. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka yang akan menjadi sumber utama adalah al-Qur`an. Dari data utama tersebut, akan dihimpun ayat-ayat amar makruf nahi mungkar. Yang penulis maksud dengan ayatayat amar makruf nahi mungkar di sini adalah ayat-ayat yang mengandung lafazh amar makruf dan nahi mungkar dalam berbagai derivasi dan ragam frasenya. Setelah itu, akan dicari data dari hadis-hadis Nabi Saw. yang berkaitan dengan topik pembahasan tersebut sebagai penjelas dari ayat-ayat al-Qur`an demi tercapainya kesempurnaan dalam pembahasan penelitian ini. Adapun pendekatan yang digunakan dalam membahas ayat-ayat alQur`an
pada
operasional,
penelitian penulis
ini
adalah
menetapkan
pendekatan
langkah-langkah
tafsîr
maudhû’i.20
Secara
maudû’i
sebagai
tafsîr
berikut: 1.
Menetapkan amar makruf nahi mungkar sebagai tema pembahasan.
2.
Menghimpun ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar.
3.
Memahami
korelasi
(munâsabah)
ayat-ayat
tersebut
dengan
ayat-ayat
yang lain, baik dengan ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. 20
Yang dimaksud dengan metode tafsîr maudhû’i (tafsir tematik) adalah membahas ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan tema yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dengan tema tersebut dikumpulkan, kemudian dikaji secara komprehensif dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbâb al-nuzûl, makna kosakata (mufradât), dan lain sebagainya. Semua dijelaskan secara terperinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-Qur`an, hadis, maupun pemikiran rasional. Lihat ‘Abd al-Hayy alFaramâwi, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’i: Dirâsah Manhajiyyah Maudhû’iyyah, (Mesir, Mathba’at al-Hadhârat al-‘Arabiyyah, 1977), cet. ke-2, h. 52.)
16
4.
Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan.
5.
Mengkaji ayat-ayat tersebut secara keseluruhan sehingga penulis dapat menyimpulkan karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar. Untuk
dapat
memahami
ayat-ayat
amar
makruf
nahi
mungkar,
penulis menggunakan beberapa kitab tafsir yang bernuansa adabi ijtimâ'i (sosiologi) seperti Tafsîr fî Zhilâl al-Qur`ân karya Sayyid Quthb, Tafsîr alQur`âni li al-Qur`ân karya 'Abd al-Karîm al-Khathîb dan Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Rasyîd Ridhâ; tentunya didukung oleh kitab-kitab tafsir lain seperti Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân karya Ibn Jarîr al-Thabari, Tafsîr al-Kasysyâf karya alZamakhsyari, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân wa al-Sab’i al-Matsânî karya al-Alûsi, Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaili, serta kitab-kitab tafsir lainnya. Untuk mencari ayat-ayat al-Qur`an yang berhubungan dengan topik pembahasan penelitian ini, penulis menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm yang disusun oleh Muhammad Fu`âd ‘Abd alBâqi,
sedangkan
untuk
melacak
hadis-hadis
Nabi
Saw.,
penulis
menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts al-Nabawi karya A.J Wensink. Adapun untuk mengetahui maksud kata-kata dan istilah-istilah tertentu
dari
ayat-ayat
al-Qur`an,
penulis
menggunakan
bantuan
Mu’jam
Mufradât Alfâzh al-Qur`ân yang ditulis oleh al-Râghib al-Ashfahâni. Selain itu, penulis juga menggunakan CD-ROM al-Qur`an dan CD-ROM Hadis guna memudahkan pelacakan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang amar makruf nahi mungkar.
17
Mengenai
tekhnik
penulisan
dalam
penelitian
ini,
penulis
akan
berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Tahun 2002.
F. Sistematika Penulisan Penulisan laporan penelitian ini akan dibagi menjadi 5 bab. Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab
II
adalah
pembahasan
tentang
wawasan
amar
makruf
nahi
mungkar yang meliputi pembahasan tentang pengertian amar makruf nahi mungkar, ruang lingkup amar makruf nahi mungkar, serta ayat-ayat amar makruf nahi mungkar baik dilihat dari segi derivasinya maupun ragam frasenya. Hal ini dirasa cukup penting karena dapat menjadi pengantar untuk mengenal seluk beluk atau konsep amar makruf nahi mungkar dalam alQur`an. Bab
III
adalah
pembahasan
tentang
pelaku
amar
makruf
nahi
mungkar yang terdiri dari pembahasan tentang individu, umat dan negara. Bab ini dikaji dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang siapa saja yang memiliki otoritas untuk melakukan amar makruf nahi mungkar dan sejauhmana wilayah masing-masing. Bab IV merupakan pembahasan pokok yang menjadi tema utama penelitian ini, yaitu karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar
18
dalam al-Qur`an yang terdiri dari dua sub pokok bahasan, yaitu: karakteristik umum dan karakteristik khusus, dimana masing-masing sub pokok bahasan tersebut
memuat
sejumlah
karakteristik
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar. Kemudian di akhir bab ini, penulis memaparkan satu pembahasan yang berkaitan dengan konteks kekinian yaitu analisis terhadap gerakan amar makruf nahi mungkar di Indonesia. Bab
V
adalah
penelitian dan saran-saran.
penutup
yang
terdiri
dari
kesimpulan
dari
hasil
19
BAB II WAWASAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN
A. Pengertian Amar Makruf Nahi Mungkar Istilah amar makruf nahi mungkar merupakan sebuah istilah yang terdiri
dari
dua
frase
kata,
dimana
masing-masing
frase
mengandung
pengertian yang berbeda. Frase pertama adalah amar makruf, sedangkan frase kedua adalah nahi mungkar. Kata amar atau al-amr berasal dari kata kerja
amara
ya`muru
yang berarti
thalaba
(meminta)1,
sedangkan
kata
makruf atau al-ma'rûf merupakan ism maf’ûl dari kata kerja ’arafa ya’rifu yang berarti mengetahui (to know), mengenal atau mengakui (to recognize), dan melihat dengan tajam atau mengenali perbedaan (to discern).2 Kata makruf ini kemudian diartikan sebagai sesuatu yang diketahui, yang dikenal atau yang diakui.3 Kata ini terkadang juga digunakan untuk menunjukkan arti “wajah”, karena setiap manusia dapat dikenali dengan wajahnya.4 Secara terminologis, kata makruf adalah sebuah kata benda yang pengertiannya mencakup setiap hal yang diakui oleh masyarakat baik berupa ketaatan
kepada
Allah,
upaya
mendekatkan
diri
kepada-Nya,
maupun
1 Ahmad ibn Muhammad al-Muqrî al-Fayyûmi, al-Mishbâh al-Munîr, (Kairo: alMathba’ah al-Misyriyyah, 1928), h. 29. 2
Majd al-Dîn al-Fairûzabâdi, al-Qamûs al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Jail, t.th.), juz
3, h. 178. 3
Lihat Ahmad ibn Muhammad
4
Majd al-Dîn al-Fairûzabâdi, al-Qamûs al-Muhîth, h. 30.
al-Muqrî al-Fayyûmi, al-Mishbâh al-Munîr,
553.
h.
20
berbuat baik kepada sesama manusia.5 Al-Marâghi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan makruf adalah segala sesuatu yang tidak diingkari oleh syariat dan tidak diingkari oleh orang-orang yang mempunyai harga diri, juga bukan termasuk pengkhianatan atau ketamakan.6 Sementara menurut Mawlânâ Abul Kalâm Azad, makruf adalah sesuatu yang bisa diterima oleh semua orang, sedangkan mungkar adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh semua orang.7 Senada dengan itu, Abuddin Nata menjelaskan bahwa yang termasuk katagori makruf adalah segala sesuatu dalam bentuk ucapan, perbuatan, pemikiran dan sebagainya yang dipandang baik menurut syariat (agama) dan akal pikiran, atau yang dianggap baik menurut akal namun sejalan atau tidak bertentangan dengan syari'at. Dengan demikian, kebebasan akal dalam menentukan dan menilai suatu kebaikan dibatasi oleh ketentuan agama. Oleh karena boleh jadi ada sesuatu yang menurut akal baik tapi menurut syari'at buruk. Ketika terjadi keadaan yang menurut akal baik tapi menurut syari'at ini buruk, maka pendapat akal harus dicegah. Sebagai contoh, dapat dikemukakan misalnya hidup bareng sebelum menikah (samenleven) atau kumpul kebo yang didasarkan atas dasar suka sama suka menurut akal adalah baik, sedangkan menurut agama tidak baik. Orang-orang Barat yang hanya berpatokan pada akal saja, misalnya, membolehkan adanya kumpul kebo tersebut.8 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan makruf adalah segala sesuatu yang diakui oleh suatu masyarakat tertentu tetapi tidak bertentangan dengan syariat atau al-Qur`an dan hadis.
5 6
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Dâr al-Ma’ârif, t.th.), jilid 4, h. 2900. ِAhmad Musthâfâ al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid 2, h. 215.
7
Mawlânâ Abul Kalâm Azad, The Opening Chapter of The Qur`ân (Sûrah al-Fâtihah), (Malaysia: Islamic Book Trust, 2004), cet. ke-2, h. 175. 8
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-1, h. 178-179.
21
Konsep makruf ini mengindikasikan adanya kesepakatan umum (common sense)
yang
berlaku
dalam
suatu
masyarakat.
Karena
sifatnya
yang
lokalistik, praksis dan temporal, maka sangat mungkin terjadi perbedaan pemahaman lainnya
antara
mengenai
satu
masyarakat
makna
makruf,
Muslim bahkan
dengan terkadang
masyarakat antara
satu
Muslim waktu
dengan waktu lainnya dalam satu masyarakat. Dengan makna semacam ini, maka
kata
makruf
berbeda
dengan
kata
khair
yang
mengandung
arti
kebaikan yang bersifat universal.9 Pengertian ini senada dengan apa yang disampaikan
oleh
Muhammad
Syahrûr.
Ia
menjelaskan
bahwa
konsep
makruf dan mungkar merupakan sebuah konsep yang terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat.10 Adapun frase kedua adalah nahi mungkar. Kata nahi atau al-nahy merupakan lawan dari kata al-amr yang berasal dari kata nahâ yanhâ yang berarti mencegah11, sedangkan kata mungkar atau al-munkar berasal dari akar kata nûn kâf râ yang memiliki sejumlah arti diantaranya adalah aneh12, sulit13, buruk14, dan sesuatu yang diingkari oleh orang banyak.15 Secara terminologis, kata mungkar ini sering difahami sebagai segala sesuatu yang dipandang buruk, baik oleh syariat maupun akal yang sehat.16
9 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), cet. ke-2, vol. II, h. 164. 10 Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu'âshirah, (Beirut: Syirkah alMathbû'ah li al-Tauzî' wa al-Nasyr, 2000), cet. ke-6, h. 528.
505.
11
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, jilid 6, h. 4564.
12
Makna ini dapat ditemukan dalam Q.S. Hûd (11): 70.
13
Makna ini dapat dijumpai pada Q.S. al-Kahf (18): 87.
14
Makna seperti ini dapat dijumpai pada Q.S. Luqmân (31): 19.
15
Majd al-Dîn al-Fairûzabâdi, al-Qamûs al-Muhîth, h. 153.
16
Al-Râghib al-Ashfahâni, Mufradât Alfâzh al-Qur`ân, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2002), h.
22
Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan mungkar adalah setiap perkataan, perbuatan dan niat yang dianggap jelek serta dilarang oleh Syâri (Allah dan Rasul-Nya). Dari definisi-definisi tersebut, dapat diketahui bahwa ungkapan mungkar memiliki jangkauan pengertian yang lebih luas daripada ungkapan lain yang juga dipakai oleh al-Qur`an untuk menunjuk perbuatan yang buruk seperti ma’shiyah (perbuatan maksiat). Jadi, frase nahi mungkar dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya sesuatu yang dipandang buruk baik oleh syariat maupun oleh akal yang sehat. Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan amar makruf nahi mungkar adalah upaya untuk menyuruh orang lain mengerjakan sesuatu yang dipandang baik oleh akal yang sehat dan tidak bertentangan dengan syariat serta upaya untuk mencegah orang lain dari sesuatu yang dipandang buruk oleh keduanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, amar makruf nahi mungkar diartikan sebagai perintah kepada orang lain untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan larangan mengerjakan yang keji.17 Kedua frase ini, amar makruf dan nahi mungkar, telah menjadi satu kesatuan
yang
tidak
dapat
dipisahkan.
Artinya,
dalam
perbuatan
amar
makruf terdapat pengertian mencegah yang mungkar. Sebab jika kebaikan ditegakkan, Demikian
maka pula
dengan
sendirinya
sebaliknya,
dalam
yang
buruk
pengertian
nahi
pun
dapat
dicegah.
mungkar
tercakup
pengertian amar makruf, karena mencegah kejahatan adalah termasuk ke
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. ke-1, h. 26.
23
dalam perbuatan yang baik.18 Oleh karena itu, jika hanya disebut kata amar makruf saja, maka pengertian nahi mungkar juga tercakup di dalamnya, demikian pula sebaliknya.19
B. Ruang Lingkup Amar Makruf Nahi Mungkar Amar makruf nahi mungkar sudah ada sejak dulu, bahkan sejak zaman nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw.. Ketika sekelompok orang dari Bani Isra`il meninggalkan perintah Allah Swt. untuk tidak bekerja pada hari Sabtu, ada sekelompok orang lainnya yang melarang kelompok pertama untuk melakukan perbuatan tersebut. Pada saat itulah Allah menyelamatkan orang-orang
yang
mencegah
kemungkaran
dan
menimpakan
adzab
yang
pedih kepada orang-orang yang melanggar perintah-Nya.20 Pada masa Nabi Muhammad Saw. dan Khulafâ` al-Râsyidîn, amar makruf
nahi mungkar benar-benar ditegakkan. Tidaklah Rasulullah Saw.
melihat
seorang
sahabat
meninggalkan
perbuatan
makruf
kecuali
beliau
akan menegurnya, dan tidaklah beliau melihat seorang sahabat melakukan suatu
kemungkaran
kecuali
beliau
akan
mencegahnya
dari
kemungkaran
tersebut. Bahkan, menegakkan amar makruf nahi mungkar telah menjadi satu sifat yang melekat pada diri Rasulullah Saw..21 Demikian pula yang dilakukan oleh empat khalifah sepeninggal beliau, atau yang biasa disebut Khulafâ` al-Râsyidîn. Sebagai contoh, ketika terjadi peperangan Yamamah 18
Sa’id Agil Husin al-Munawwar, al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. ke-1, h. 217. 19
'Abdurrahmân ibn Nâshir al-Sa’di, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah: 2002), cet. ke-1, h. 202. 20
Lihat Q.S. al-A'râf (7): 165.
21
Lihat Q.S. al-A'râf (7): 157.
24
antara kaum Muslimin dengan orang-orang murtad, banyak penghafal alQur`an yang meninggal dunia, karena itu Umar pun menyuruh Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur`an dalam satu mushaf karena dirinya khawatir
al-Qur`an
akan
hilang.22
Apa
yang dilakukan
oleh
Umar
ini
termasuk salah satu perbuatan amar makruf. Pada dikenal
dan
masa-masa
berikutnya,
ditegakkan
di
amar
kalangan
kaum
makruf
nahi
Muslimin,
mungkar bahkan
ia
tetap telah
menjadi salah satu perhatian utama kelompok-kelompok tertentu. Sebagai contoh, kelompok Muktazilah sangat keras dalam memegang doktrin ini, yaitu bahwa amar makruf nahi mungkar harus ditegakkan, bahkan kalau perlu dengan menggunakan kekerasan.23 Di lain pihak, kelompok Syiah memasukkan jihad sebagai rukun Islam keenam. Sebagaimana diketahui, jihad dan amar makruf nahi mungkar mengandung nada maknawi yang sama.24 Pada masa sekarang ini, amar makruf nahi mungkar juga menjadi fokus perhatian sebagian kelompok atau organisasi massa di seluruh penjuru dunia. Di kalangan masyarakat Indonesia, Muhammadiyah terkenal sebagai organisasi massa yang menempatkan doktrin amar makruf nahi mungkar sebagai doktrin aksi. Dalam konsep Muhammadiyah, amar makruf nahi mungkar
ditafsirkan
sebagai
konsep
dakwah,
yaitu
menyeru
kepada
kebaikan dan mencegah keburukan. Jika kaum Syiah lebih memperhatikan konsep jihad, yang kerap kali diwujudkannya dalam bentuk perjuangan bersenjata itu, Muhammadiyah lebih suka mengambil amar makruf nahi
22
Hâmid Ahmad Thâhir, Hayât al-Shahâbah, (Kairo: Dâr al-Fajr li al-Turâts, 2004), cet. ke-
1, h. 44. 23
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. ke-2, h. 620.
24
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, h. 622.
25
mungkar sebagai dasar perjuangan dengan cara damai, yang disebutnya dengan "dakwah".25
Terhadap masyarakat, dakwah diwujudkan ke dalam
usaha-usaha perbaikan dan bimbingan guna menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Konkretnya, Muhammadiyah
melakukan
berbagai
amal
usaha,
khususnya
di
bidang
pendidikan, sosial (mendirikan panti asuhan, poliklinik, rumah sakit atau memobilisasi dan distribusi zakat), tabligh dan berbagai bentuk penyiaran agama Islam.26 Kegiatan dakwah dalam konteks amar makruf nahi mungkar ini mencakup segenap aspek kehidupan masyarakat, baik bidang sosial, politik, ekonomi,
pendidikan
maupun
bidang-bidang
lainnya.
Hampir
dapat
dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pelaksanaan amar makruf nahi mungkar pada masa-masa lalu dengan masa sekarang bila dilihat dari ruang lingkupnya, maksudnya bahwa amar makruf nahi mungkar dilakukan
dalam seluruh
aspek kehidupan masyarakat, hanya saja pada
masing-masing masa ada hal-hal tertentu yang menjadi fokus utama dari gerakan amar makruf nahi mungkar, sesuai dengan kondisi yang ada pada masing-masing masa. Di sini, penulis ingin menyebutkan beberapa hal yang dapat menjadi fokus utama gerakan amar makruf nahi mungkar pada masa sekarang ini, tentunya disebabkan karena hal-hal tersebut dipandang sebagai hal-hal makruf yang untuk saat ini cukup penting bagi umat Islam:
25
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, h. 623.
26
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, h. 624.
26
1. Hal-hal yang tergolong amar makruf: a- Peningkatan kesejahteraan sosial Upaya
peningkatan
kesejahteraan
sosial
ini
dapat
dimulai
dari
pendidikan kejiwaan bagi setiap individu. Bila pendidikan kejiwaan bagi setiap
individu
dipastikan
akan
ini
dapat
tercipta
terwujud hubungan
dengan yang
baik, maka hampir
serasi
antar
sesama
dapat anggota
masyarakat, hingga akhirnya masing-masing orang di antara mereka pun akan
mengulurkan
bantuannya
kepada
yang
lain,
sebagaimana
firman
Allah Swt.:
’Îû tβρ߉Ågs† Ÿωuρ öΝÍκös9Î) ty_$yδ ôtΒ tβθ™7Ïtä† ö/ʼnÏ=ö7s% ÏΒ z≈yϑƒM}$#uρ u‘#¤$!$# ρâ§θt7s? tÏ%©!$#uρ tΒuρ 4 ×π|¹$|Áyz öΝÍκÍ5 tβ%x. öθs9uρ öΝÍκŦàΡr& #’n?tã šχρãÏO÷σãƒuρ (#θè?ρé& !$£ϑÏiΒ Zπy_%tn öΝÏδÍ‘ρ߉߹ ∩∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ šÍ×‾≈s9'ρé'sù ϵšøtΡ £xä© s−θムDan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Mujahirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orangorang yang beruntung. (Q.S. al-Hasyr [59]: 9)27 Dalam hal ini, setiap individu harus diberikan pemahaman bahwa pada hakekatnya seluruh umat Islam adalah bersaudara, sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Hujurât (49): 10. Bahkan, mereka itu seperti satu tubuh, dimana ketika salah seorang anggotanya sakit, yang lain 27
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), cet. ke-8, h. 130.
27
pun ikut merasa sakit; Ketika salah seorang di antara mereka menderita, yang lain pun ikut merasakan penderitaan tersebut.28 Bila setiap Muslim menyadari hal ini, maka tidak akan ada lagi Muslim yang menderita di saat orang-orang yang ada di sekitarnya dapat hidup bahagia dan bersenang-senang. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial seperti ini harus terus digalakkan dan disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat, kemudian mereka semua harus saling mengingatkan akan pentingnya upaya tersebut. Bahkan bila perlu, upaya ini hendaknya menjadi salah satu program prioritas utama pemerintah, apalagi di masa yang serba sulit seperti sekarang.
b- Peningkatan pendidikan Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu umat,
karena
mampu
dengan
pendidikan-lah
umat
akan
menggunakan
kecerdasannya
itu
untuk
menjadi
cerdas
menghadapi
serta
berbagai
tantangan dalam hidup ini. Melalui pendidikan diharapkan lahir manusia yang kreatif, sanggup berfikir sendiri walaupun kesimpulannya lain dari yang
lain,
28
sanggup
mengadakan
penelitian,
penemuan
dan
seterusnya.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Numair dengan lafazh: "Ayahku menceritakan kepada kami, Zakariyâ menceritakan kepada kami, dari al-Sya'bi dari alNu'mân ibn Basyîr, dia berkata: 'Rasulullah Saw. bersabda: 'Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu tubuh; Apabila salah anggota mengeluhkan rasa sakit, maka seluruh anggota tubuh pun akan ikut merasakannya, yaitu dengan cara tidak bisa tidur dan cara demam.'" Hadit ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Adab, hadis no. 5552; Muslim pada kitab alBirr wa al-Shilah wa al-Âdâb, hadis no. 4685; dan Ahmad pada kitab Awwal Musnad alKûfiyyîn, hadis no. 17632.
28
Sikap yang demikian itu amat dianjurkan dalam al-Qur`an.29 Oleh
karena
itulah,
maka
al-Qur`an
memberikan
perhatian
lebih
terhadap masalah pendidikan ini. Allah Swt. berfirman:
ª!$# Ëx|¡øtƒ (#θßs|¡øù$$sù ħÎ=≈yfyϑø9$# †Îû (#θßs¡¡xs? öΝä3s9 Ÿ≅ŠÏ% #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ zΟù=Ïèø9$# (#θè?ρé& tÏ%©!$#uρ öΝä3ΖÏΒ (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# ª!$# Æìsùötƒ (#ρâ“à±Σ$$sù (#ρâ“à±Σ$# Ÿ≅ŠÏ% #sŒÎ)uρ ( öΝä3s9 4 ;M≈y_u‘yŠ Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."30 Perhatian al-Qur`an terhadap pendidikan ini juga terlihat pada penyebutan kata al-'ilm dan turunannya sebanyak 778 kali (tidak termasuk al-'âlam, al-'âlamin, dan 'alâmat yang disebut 76 kali).31 Sungguhpun tujuan akhir dari pendidikan adalah mengubah sikap mental
dan
perilaku
tertentu
yang dalam konteks
Islam adalah
agar
menjadi seorang Muslim yang terbina seluruh potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah, namun dalam proses ke arah tersebut diperlukan adanya upaya pengajaran. Dengan kata lain, pengajaran adalah salah satu sarana
29 30 31
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, h. 170. Q.S. al-Mujâdalah (58): 11. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, h. 622.
29
untuk mencapai tujuan pendidikan.32 Berdasarkan penjelasan di atas, maka seluruh
komponen
masyarakat
dituntut
untuk
saling
bahu-membahu,
bekerja sama dan saling mengingatkan dalam masalah pendidikan ini, baik guna
meningkatkan
mutunya
maupun
memujudkan
pemerataan
pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat.
2. Hal-hal yang tergolong nahi mungkar: a- Pengentasan kemiskinan Pada masa sekarang ini, kemiskinan telah menjadi masalah utama bagi umat Islam di dunia. Hampir 85% dari 1,5 Milyard kaum beriman berada
dalam
kurang
terdidik
Kalaupun
ada
kemiskinan dan
dan
kurang
yang hidup
60%
gizi kaya
diantaranya
adalah dan
nasib
buta
huruf.
Keadaan
umat
Islam
sekarang.
berkecukupan
itu
bukan
karena
prestasi, tapi karena kebetulan dikaruniai negeri yang kaya, tapi dikelola oleh pihak asing.33 Di Indonesia, kemiskinan yang dialami oleh kaum Muslimin telah mencapai
angka
Muhammadiyah, satupun
yang
tinggi.
Syafi'i
Ma'arif,
mantan
bahwa
sejak
merdeka
hingga
Indonesia
yang
benar-benar
menilai
pemerintahan
Ketua saat
ini
menegakkan
Umum tidak strategi
pembangunan yang prorakyat kecil. Sikap prorakyat kecil masih sebatas retorika politik. Sudah 62 tahun Indonesia merdeka tapi angka kemiskinan
32 33
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, h. 169.
Nasarudin Umar, al-Qur`an dan Problem Pembangunan Karakter Bangsa, Swara Dipertais, Jum'at, 20 April 2007.
30
tinggi.34
masih
Pada
kesempatan
lain,
Syafi'i
menegaskan
bahwa
kekerasan dalam rumah tangga, pelacuran, kriminal yang semakin marak dan 1001 kasus lain, penyebab utamanya adalah kemiskinan. Tentu pasti ada sebab-sebab lain, tetapi tidak signifikan.35 Mengingat dampak negatifnya yang sangat besar, maka penulis pun mengatagorikan kemiskinan sebagai satu hal yang mungkar. Hal ini, di samping
didasarkan
sejumlah
ayat
pada
yang
fakta-fakta memuji
yang
ada,
kecukupan,
juga bahkan
didasarkan
pada
menganjurkan
memperoleh kebaikan seperti Q.S. al-Jumu'ah (62): 10, Q.S. al-Dhuhâ (93): 8 dan Q.S. al-Baqarah (2): 198. Di sisi lain, al-Qur`an mengecam mereka yang mengharamkan hiasan duniawi seperti pada Q.S. al-A'râf (7): 32.36 Dari sini, maka upaya pengentasan kemiskinan pun dapat dianggap sebagai salah satu upaya untuk mencegah kemungkaran.
b- Penanggulangan AIDS dengan memberantas budaya seks bebas Korban
AIDS
(Acquired
Immue
Deficieny
Sindrome)
semakin
banyak. Pada tahun 1995, di Indonesia, khususnya daerah Jabotabek saja ditemukan 142 penderita AIDS. 92 di antaranya berumur antara 20 hingga 39 tahun. Lebih ironisnya lagi, mereka yang mengidap HIV/AIDS di Jabotabek itu setengahnya berpendidikan tinggi.37 Telah diakui oleh para pakar dan ilmuwan di seluruh dunia bahwa media yang paling efektif dan
34
Harian Umum Republika, 17-02-07.
35
Harian Umum Republika, 18-02-07.
36
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. 451.
37
Nashruddin Baidan, Tafsîr Maudhû'i: Solusi Qur`ani Untuk Masalah Sosial Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), cet. ke-1, h. 157.
31
mempunyai peranan teramat besar dalam penularan AIDS ialah hubungan badan secara tidak sah (berzina) dengan pasangan yang sering bergantiganti (promiskuitas), baik heteroseksual maupun homoseksual. Dari
sini,
maka
upaya
yang
paling
tepat
dalam
rangka
penanggulangan AIDS adalah dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam, yaitu
dengan
memberantas
budaya
seks
bebas
atau
meninggalkan
hubungan seksual di luar nikah (zina). Inilah hikmah yang tersimpan di balik larangan Allah Swt. untuk mendekati zina, seperti disebutkan pada firman-Nya dalam Q.S. al-Isrâ` (17): 32:
∩⊂⊄∪ Wξ‹Î6y™ u!$y™uρ Zπt±Ås≈sù tβ%x. …çµ‾ΡÎ) ( #’oΤÌh“9$# (#θç/tø)s? Ÿωuρ Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.38 Upaya pemberantasan budaya seks bebas atau hubungan seksual di luar nikah ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: Pertama, pembinaan internal (individu) yakni dengan memberikan pemahaman kepada setiap individu bahwa hubungan seksual di luar nikah merupakan hal yang sangat buruk, berbahaya dan bertentangan dengan ajaran-ajaran agama sehingga harus dihindari dan dijauhkan; Kedua, adalah pembinaan eksternal, yakni dengan menciptakan lingkungan atau masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama serta bersih dari hal-hal yang mungkar.
C. Ayat-ayat Amar Makruf Nahi Mungkar dalam al-Qur`an 1. Derivasi Ayat-ayat Amar Makruf Nahi Mungkar 38
Q.S. al-Isrâ` (17): 32.
32
Sebagai
salah
satu
ajaran
Islam,
amar
makruf
nahi
mungkar
mendapat perhatian yang serius. Dalam al-Qur`an terdapat 18 ayat yang berbicara mengenai amar makruf nahi mungkar. Dari ke-18 ayat tersebut, 7 di
antaranya
lainnya
adalah
merupakan
termasuk
ayat-ayat
Makiyyah,
ayat-ayat
Madaniyyah.
Yang
sedangkan
11
ayat
termasuk
ayat-ayat
Makiyyah adalah Q.S. al-A’râf (7): 157, 165, 199, Q.S. al-Nahl (16): 76, Q.S. Maryam (19): 55, Q.S. Thâhâ (20): 132, dan Q.S. Luqmân (31): 17, sedangkan
yang termasuk ayat-ayat
Madaniyyah adalah Q.S. al-Baqarah
(2): 44, Q.S. Âli ‘Imrân (3): 21, 104, 110, 114, Q.S. al-Nisâ` (4): 114, Q.S. al-Mâ`idah (5): 63, 79, Q.S. al-Taubah (9): 71, 112, dan Q.S. al-Hajj (22): 41. Ayat-ayat tersebut terlampir di bagian belakang tesis ini. Pada
ayat-ayat
tersebut,
term-term
amar
makruf
nahi
mungkar
disampaikan dalam empat shîghah (bentuk), yaitu: a. Fi’il Mâdhi Di antara ayat-ayat amar makruf nahi mungkar tersebut, hanya ada dua ayat yang menggunakan bentuk fi’il mâdhi, yaitu Q.S. al-Nisâ` (4): 114 dan al-Hajj (22): 41. Pada Q.S. al-Nisa` (4): 114, Allah menjelaskan bahwa tidak ada kebaikan sedikitpun dalam bisikan-bisikan manusia kecuali jika mereka menyuruh orang lain untuk bersedekah, berbuat yang makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Firman Allah Swt. ini senada dengan sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa perkataan anak cucu Adam akan menjadi beban baginya kecuali (perkataan yang) menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan berdzikir kepada Allah Swt..39
39
Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dalam kitab al-Fitan, hadis no. 3074.
33
Allah Swt. berfirman:
š÷t/ £x≈n=ô¹Î) ÷ρr& >∃ρã÷ètΒ ÷ρr& >πs%y‰|ÁÎ/ ttΒr& ôtΒ āωÎ) öΝßγ1uθôf‾Ρ ÏiΒ 9ÏVŸ2 ’Îû uöyz āω ∩⊇⊇⊆∪ $\Κ‹Ïàtã #ô_r& ϵŠÏ?÷σçΡ t∃öθ|¡sù «!$# ÏN$|Êó÷s∆ u!$tóÏFö/$# šÏ9≡sŒ ö≅yèøtƒ tΒuρ 4 Ĩ$¨Ψ9$# Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.40 Yang
dimaksud
dengan
najwah
atau
munâjâh
adalah
berbicara
secara rahasia atau berusaha untuk menghindarkan suatu pembicaraan dari seseorang yang akan mendengar ataupun melihatnya. Makna asli dari kata najwah adalah suatu tempat yang tinggi yang biasa digunakan oleh manusia dan hewan untuk menyelamatkan diri. Ayat ke-114 dari Q.S. al-Nisâ` ini menjelaskan bahwa tidak semua perkataan atau perbuatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi adalah termasuk hal-hal yang tidak baik, karena hal-hal yang disebutkan pada ayat tersebut merupakan hal-hal yang baik meskipun dilakukan dengan bisik-bisik.41 Hal-hal yang dimaksud di atas adalah menyuruh orang lain untuk bersedekah, berbuat yang makruf, dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Ayat masyarakat,
ini yaitu
merupakan bahwa
pendidikan
hendaklah
yang
sangat
anggota-anggota
berharga
masyarakat
bagi saling
terbuka dan sedapat mungkin tidak saling merahasiakan sesuatu. Sebab, kerahasiaan 40 41
mengandung
makna
ketidakpercayaan,
sedangkan
keterbukaan
Q.S. al-Nisâ` (4): 114.
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr al-'Arabi, t.th.), kitab ke-3, h. 897.
34
dan
keterusterangan
menunjukkan keberanian pembicara, yaitu keberanian
atas dasar kebenaran dan ketulusan.42 Tetapi pada saat-saat tertentu, seperti pada saat menyuruh orang lain untuk bersedekah, berbuat makruf, dan mengadakan
perdamaian
di
antara
manusia,
terkadang
kerahasiaan
dan
upaya untuk melakukan hal-hal tersebut secara sembunyi-sembunyi dapat dianggap sebagai sesuatu yang baik, bahkan terkadang lebih baik daripada harus dilakukan secara terang-terangan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada saat-saat tertentu, amar makruf nahi mungkar akan membuahkan hasil yang lebih baik dan lebih memuaskan bila dilakukan secara sembunyisembunyi. Ayat
kedua
dari
ayat-ayat
amar
makruf
nahi
mungkar
yang
menggunakan bentuk fi'il mâdhi adalah firman Allah Swt.:
Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ (#ρãtΒr&uρ nο4θŸ2¨“9$# (#âθs?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θãΒ$s%r& ÇÚö‘F{$# ’Îû öΝßγ≈¨Ψ©3¨Β βÎ) tÏ%©!$# ∩⊆⊇∪ Í‘θãΒW{$# èπt6É)≈tã ¬!uρ 3 Ìs3Ζßϑø9$# Çtã (#öθyγtΡuρ (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.43 Ada
kemungkinan
ism
maushûl
(kata
sambung)
al-ladzîna
yang
terdapat pada awal ayat ini merupakan badal (substitusi) dari kata sambung man yang terdapat pada firman Allah: "Sesungguhnya Allah pasti menolong (agama)-Nya." (Q.S. al-Hajj [22]: 41). Kata tersebut juga dapat menjadi badal (substitusi) bagi kata sambung al-ladzîna yang terdapat pada firman Allah:
"(yaitu) 42 43
orang-orang
yang
telah
diusir
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. II, h. 561. Q.S. al-Hajj (22): 41.
dari
kampung
halaman
35
mereka tanpa alasan yang benar,..." (Q.S. al-Hajj [22]: 41).44 Al-Thabâthabâ`i menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan sifat-sifat lain
dari
orang-orang
disebutkan
pada
yang
ayat
beriman,
pertama.
Yang
yaitu
orang-orang
dimaksud
yang
peneguhan
telah
kedudukan
mereka di muka bumi adalah pemberian kemampuan kepada mereka untuk menentukan arah kehidupan yang mereka inginkan tanpa ada sesuatu pun yang menghalangi mereka. Jadi maksud ayat tersebut secara keseluruhan adalah:
"Sesungguhnya
di
antara
sifat
orang-orang
mukmin
itu
adalah
bahwa jika kedudukan mereka di muka bumi ini diteguhkan, lalu mereka diberikan
kebebasan
untuk
menentukan
arah
kehidupan
yang
mereka
inginkan, maka mereka pun akan membentuk satu masyarakat yang saleh yang di dalamnya shalat ditegakkan, kewajiban berzakat ditunaikan, dan amar makruf nahi mungkar ditegakkan."45 Ayat
ini
mencerminkan
sekelumit
dari
ciri-ciri
masyarakat
yang
diidamkan oleh Islam, kapan dan dimana pun, dan yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakat Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat beliau. Masyarakat ini adalah masyarakat yang pemimpin-pemimpin dan anggotaanggotanya
secara
kolektif
dinilai
bertakwa,
sehingga
hubungan
mereka
dengan Allah Swt. menjadi baik dan jauh dari kekejian dan kemungkaran, sebagaimana
dicerminkan
oleh
sikap
mereka
yang
selalu
melaksanakan
shalat serta keharmonisan hubungan anggota masyarakatnya, termasuk antar kaum berpunya dan kaum lemah yang telah dicerminkan oleh ayat di atas, yaitu dengan menunaikan zakat. Di samping itu, mereka juga menegakkan nilai-nilai
44 45
yang
dianut
masyarakatnya,
yaitu
nilai-nilai
makruf
dan
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-9, h. 1046.
Muhammad Husain al-Thabâthabâ`i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân, (Beirut: Mu`assasah alA'lâmi li al-Mathbû'ât, 1972), cet. ke-2., jilid 14.
36
mencegah
perbuatan
yang
mungkar.
Pelaksanaan
kedua
hal
tersebut
menjadikan masyarakat dapat melaksanakan kontrol sosial, sehingga mereka saling
ingat-mengingatkan
dalam
hal
kebajikan
dan
saling
mencegah
46
terjadinya pelanggaran.
b. Fi'il Mudhâri' Ayat-ayat amar makruf nahi mungkar yang menggunakan bentuk fi'il mudhâri' adalah sebagai berikut: Dalam Q.S. al-Nahl (16): 76, Allah Swt. berfirman:
4’n?tã <≅Ÿ2 uθèδuρ &ó_x« 4’n?tã â‘ωø)tƒ Ÿω ãΝx6ö/r& !$yϑèδ߉tnr& È÷,s#ã_§‘ WξsWtΒ ª!$# z>uŸÑuρ 4’n?tã uθèδuρ ÉΑô‰yèø9$$Î/ ããΒù'tƒ tΒuρ uθèδ “ÈθtGó¡o„ ö≅yδ ( Aösƒ¿2 ÏNù'tƒ Ÿω –µγÅh_uθム$yϑuΖ÷ƒr& çµ9s9öθtΒ ∩∠∉∪ 8ΛÉ)tFó¡•Β :Þ≡uÅÀ Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?47 Mengenai tafsir dari ayat ini, para ulama berbeda pendapat. AlBiqâ'i, Sayyid Quthb dan Ibn 'Asyûr menganggap bahwa ayat ini masih berbicara
tentang
Muslimin.
Menurut
46 47
berhala-berhala mereka,
kaum
perumpamaan
musyrikin
dan
pertama
adalah
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. IX, h. 73-74. Q.S. al-Nahl (16): 76.
Tuhan
kaum
perumpamaan
37
tentang
berhala-berhala
faham
sesuatu,
yang
sedangkan
tentang ke-Mahasempurna-an bukunya
yang
merupakan
benda-benda
perumpamaan Allah
mengomentari
kedua
mati
adalah
Yang Maha Tinggi.
Tafsîr
al-Jalâlain
yang
tidak
perumpamaan
Al-Jamâl dalam
menegaskan
bahwa
perumpamaan ini adalah untuk membuktikan bahwa betapa jauh jarak antara derajat seorang mukmin dan kafir.48 Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, karena pada ayat di atas disebutkan
kata
ya`muru
bi
al-'adl
yang
berarti
"menyuruh
berbuat
keadilan", maka penulis pun memasukkan ayat tersebut ke dalam katagori ayat amar makruf nahi mungkar. Sebab, ayat tersebut menegaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat jauh antara orang yang bisu dimana semua indera dan perasaannya terkunci sehingga ia tidak dapat memahami ataupun merasakan sesuatu, dengan orang yang berakal, bijaksana, dan dapat melihat pintu-pintu kebaikan sehingga ia pun dapat menyuruh orang lain untuk berbuat keadilan.49 Dari sini, maka dapat dikatakan bahwa tidaklah sama derajat orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan orang yang tidak menegakkannya,
karena menyuruh
orang lain untuk berbuat
keadilan merupakan salah satu bagian dari amar makruf nahi mungkar. Ayat kedua adalah firman Allah yang berbunyi:
Ïπ1u‘öθ−G9$# ’Îû öΝèδy‰ΨÏã $¹/θçGõ3tΒ …çµtΡρ߉Ågs† “Ï%©!$# ¥_ÍhΓW{$# ¢É<¨Ζ9$# tΑθß™§9$# šχθãèÎ7−Ftƒ tÏ%©!$# ãΠÌhptä†uρ ÏM≈t6Íh‹©Ü9$# ÞΟßγs9 ‘≅Ïtä†uρ Ìx6Ψßϑø9$# Çtã öΝßγ8pκ÷]tƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ ΝèδããΒù'tƒ È≅‹ÅgΥM}$#uρ šÏ%©!$$sù 4 óΟÎγøŠn=tæ ôMtΡ%x. ÉL©9$# Ÿ≅≈n=øñF{$#uρ öΝèδuñÀÎ) öΝßγ÷Ζtã ßìŸÒtƒuρ y]Í×‾≈t6y‚ø9$# ÞΟÎγøŠn=tæ 48
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. VII, h. 297.
49
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-7, h. 332-333.
38
ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé& ÿ…çµyètΒ tΑÌ“Ρé& ü“Ï%©!$# u‘θ‘Ζ9$# (#θãèt7¨?$#uρ çνρã|ÁtΡuρ çνρ⑨“tãuρ ϵÎ/ (#θãΖtΒ#u ∩⊇∈∠∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.50 Ism maushûl yang ada pada ayat ini dipisahkan dengan ism maushûl yang ada pada ayat sebelumnya. Hal itu disebabkan karena ia merupakan bayân musta`nif bagi ism maushûl yang terakhir atau dua ism maushûl sebelumnya.51 Firman
Allah
“ya`muruhum”,
ada
kemungkinan
ia
merupakan
kalimat baru (isti`nâf) yang berfungsi untuk menjelaskan tentang apa yang mereka butuhkan pada saat diutusnya Nabi, dan ada kemungkinan untuk menafsirkan tentang apa yang tertulis di dalam kitab Taurat dan Injil.52 Secara umum, ayat ini memberikan gambaran tentang rasul yang wajib diikuti oleh orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan Bani Isra`il maupun yang lainnya. Sifat-sifat dari rasul yang wajib diikuti itu adalah: 50
Q.S. al-A’râf (7): 157.
51
Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-1, jilid 9, h. 191. 52
Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid 9, h. 194.
39
1- Dia adalah nabi yang benar-benar ummi (buta huruf). 2- Nama dan sifatnya termaktub dalam kitab Taurat dan Injil. 3- Menyuruh
kepada
yang
makruf,
mencegah
dari
yang
mungkar,
menghalalkan yang baik, mengharamkan yang buruk, serta membuang beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada diri mereka. Ayat ketiga adalah firman Allah:
Çtã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ šχρâ÷ß∆ù'tƒ 4 <Ù÷èt/ â!$uŠÏ9÷ρr& öΝßγàÒ÷èt/ àM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$#uρ tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ y7Í×‾≈s9'ρé& 4 ÿ…ã&s!θß™u‘uρ ©!$# šχθãèŠÏÜãƒuρ nο4θx.¨“9$# šχθè?÷σãƒuρ nο4θn=¢Á9$# šχθßϑŠÉ)ãƒuρ Ìs3Ζßϑø9$# ∩∠⊇∪ ÒΟŠÅ3ym ͕tã ©!$# ¨βÎ) 3 ª!$# ãΝßγçΗxq÷zy™ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.53 Ayat
ini
menjelaskan
tentang
bagusnya
kondisi
orang-orang
mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Penjelasan tentang kondisi mereka itu disebutkan setelah penjelasan tentang kondisi lawan mereka, yaitu orang-orang munafik. Pada ayat ini, Allah
menggunakan
menggunakan menggambarkan
redaksi tentang
redaksi
ba’dhuhum
ba’dhuhum kondisi
min
auliyâ`u ba’dh
orang-orang
yang
munafik.
ba’dh
dan
tidak
digunakan
untuk
Perubahan
redaksi
yang ditambah dengan lafazh auliyâ`u ini mengisyaratkan adanya kerjasama dan tolong menolong di antara mereka, berbeda dengan apa yang ada di 53
Q.S. al-Taubah (9): 71.
40
antara orang-orang munafik.54 Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mukmin telah dipersatukan oleh ikatan persaudaraan dan rasa cinta. Mereka bahu membahu dalam menegakkan
amar
makruf
nahi
mungkar,
mendirikan
shalat,
membayar
zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang akan dirahmati oleh Swt.. Penyebutan harf al-istiqbâl (
س َ
) pada ayat ini sama sekali tidak
mengandung maksud bahwa janji Allah untuk merahmati mereka itu tidak akan terwujud sekarang (di dunia), melainkan hanya akan terwujud di masa yang mendatang (di akhirat) saja. Akan tetapi, hal itu menunjukkan bahwa janji Allah itu dalam semua kondisi dan zaman.55 Ayat keempat adalah firman Allah:
y7Í×‾≈s9'ρé&uρ 4 Ìs3Ψßϑø9$# Çtã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ tβρããΒù'tƒuρ Îösƒø:$# ’n<Î) tβθããô‰tƒ ×π¨Βé& öΝä3ΨÏiΒ ä3tFø9uρ ∩⊇⊃⊆∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.56 Ada kemungkinan huruf min pada ayat di atas merupakan min li altab’îdh sehingga perintah yang terkandung di dalamnya ditujukan kepada sebagian umat Islam saja. Sebab, amar makruf nahi mungkar merupakan salah
satu
kewajiban
yang
bersifat
fardhu
kifâyah.
Selain
itu
54
juga
Abû al-Fadhl Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm wa alSab’i al-Matsânî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001 M), jilid 4, cet. ke-1, h. 325. 55 56
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-5, h. 843. Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104.
41
disebabkan karena amar makruf nahi mungkar tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang mengetahui tentang katagori perbuatan yang makruf (baik) dan
perbuatan
yang mungkar,
serta mengetahui tentang cara menyusun
strategi dan cara pelaksanaannya. Ada kemungkinan pula huruf min tersebut adalah min li al-tabyîn sehingga makna ayat di atas adalah: “Dan hendaklah kalian menjadi umat yang…..” Makna seperti ini senada dengan makna yang terkandung dalam firman Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia….” (Q.S. Âli 'Imrân [3]: 110)57 Baik
perintah
itu
ditujukan
kepada seluruh
umat
Islam maupun
sekelompok ulama saja, akan tetapi data utama dari perintah tersebut adalah satu yaitu bahwa seluruh umat Islam harus mengikuti bimbingan yang benar dari para ulama yang mengamalkan ilmu mereka, yang mengajak kepada kebaikan serta menegakkan amar makruf nahi mungkar.58 Ayat kebaikan,
ini
menegaskan
menyuruh
yang
bahwa
makruf
orang-orang dan
mencegah
yang
mengajak
kepada
yang mungkar
adalah
orang-orang yang beruntung. Hal ini senada dengan hadis yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya oleh seseorang dimana pada saat itu beliau sedang berada di atas mimbar: “Siapakah manusia yang terbaik?” Beliau pun menjawab: “(Yaitu) orang yang paling banyak menyuruh kepada yang makruf, paling banyak mencegah dari yang mungkar, paling bertakwa kepada Allah dan paling baik dalam menyambung tali silaturahim.”59 Keberuntungan yang mereka peroleh itu sesuai dengan tugas berat
57
Al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M), jilid 1, cet. ke-1, h. 389. 58 59
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-2, h. 542.
HR. Ahmad, Abû Ya’lâ, al-Thabari, dan al-Baihaqi dalam kitab “Syu’ab al-Îmân” dari jalur Syuraik dari Sammâk dari Abdullah ibn Umairah dari suami Durrah binti Abî Lahab.
42
yang
mereka
emban.
Sebagaimana
diketahui,
tugas
mengajak
kepada
kebaikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar bukanlah tugas yang mudah atau ringan. Karena itu, ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid
Quthb
menegaskan
bahwa
di
antara
umat
Islam
harus
ada
sekelompok orang yang memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan rasa persaudaraan yang tinggi, yang dengannya mereka dapat menjalankan tugas yang berat tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan karena ketika menjalankan tugas tersebut, seseorang pasti akan dihadapkan pada berbagai tantangan, serta kepentingan dan ambisi sebagian orang.60 Ayat kelima adalah firman Allah:
Ìx6Ζßϑø9$# Çtã šχöθyγ÷Ψs?uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ tβρâ÷ß∆ù's? Ĩ$¨Ψ=Ï9 ôMy_Ì÷zé& >π¨Βé& uöyz öΝçGΖä. šχθãΨÏΒ÷σßϑø9$# ãΝßγ÷ΖÏiΒ 4 Νßγ©9 #Zöyz tβ%s3s9 É=≈tGÅ6ø9$# ã≅÷δr& š∅tΒ#u öθs9uρ 3 «!$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σè?uρ ∩⊇⊇⊃∪ tβθà)Å¡≈xø9$# ãΝèδçsYò2r&uρ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.61 Lafazh kâna pada ayat di atas merupakan lafazh yang sempurna sehingga makna ayat tersebut adalah: “Kalian telah dijumpai sebagai umat terbaik
yang
ada
sekarang
karena
umat-umat
lainnya
telah
dilanda
kerusakan. Mereka tidak lagi mengenal yang makruf, tidak mengingkari
60
Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), jilid 1, cet. ke-17,
61
Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110.
h. 444.
43
yang mungkar, dan tidak berada dalam keimanan yang benar.”62 Menurut
'Abd
al-Karîm
al-Khathîb,
penggunaan
fi’il
mâdhî
pada
lafazh kuntum mengisyaratkan bahwa pensifatan yang telah diberikan oleh Allah kepada umat ini bahwa mereka merupakan umat yang terbaik tidak dibatasi oleh satu zaman ataupun satu kondisi tertentu saja. Akan tetapi, pensifatan tersebut bersifat umum, muthlak, dan mencakup seluruh umat Islam pada setiap zaman dan kondisi.63 Pada
ayat
ini,
Allah
Swt.
memberitahukan
bahwa
pada
masa
sekarang umat Islam merupakan umat yang terbaik di alam semesta ini, yaitu selama mereka mau menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar. Pada ayat tersebut, amar makruf nahi mungkar lebih didahulukan daripada keimanan
kepada
Allah
karena
keduanya
lebih
menunjukkan
keutamaan
umat Islam atas umat-umat lainnya. Sebab, umat-umat lain juga mengatakan bahwa diri mereka beriman, tetapi mereka tidak mau menegakkan amar makruf nahi mungkar.64 Dalam hal ini, timbangan umat Islam adalah lebih berat daripada timbangan umat manapun meskipun jika dilihat dari segi fisik, umat-umat lainnya terlihat lebih kuat. Umat Islam adalah ibarat tambang
emas
yang
berada
di
antara
barang
tambang-barang
tambang
Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb menjelaskan
bahwa
lainnya.
untuk
dapat
menyandang
predikat
"umat
terbaik",
umat
Islam
harus
62
Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid 4, h. 48. Lihat juga Al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, jilid 1, h. 392.
40.
63
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-2, h. 547.
64
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1998), juz 4, h.
44
berusaha untuk menjaga kehidupan ini dari hal-hal yang buruk dan berbagai macam
kerusakan.
Mereka
juga
harus
memiliki
kekuatan
yang
memungkinkan mereka untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Hal itu
disebabkan
karena
predikat
"umat
terbaik"
tersebut
tidak
diperoleh
secara kebetulan atau tanpa ada aturan, melainkan ia akan diperoleh melalui sebuah tindakan positif yang bertujuan untuk menjaga kehidupan manusia ini
dari
kemungkaran
serta
mengarahkan
manusia
kepada
hal-hal
yang
makruf.65 Ayat keenam adalah firman Allah:
Ìs3Ψßϑø9$# Çtã tβöθyγ÷Ψtƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ šχρããΒù'tƒuρ ÌÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ šχθãΨÏΒ÷σム∩⊇⊇⊆∪ tÅsÎ=≈¢Á9$# zÏΒ šÍ×‾≈s9'ρé&uρ ÏN≡uöy‚ø9$# ’Îû šχθããÌ≈|¡ç„uρ Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.66 Kalimat
yu`minûna
billâh
merupakan
jumlah
fi’liyyah.
Ada
kemungkinan i’râbnya adalah nashb karena ia berkedudukan sebagai hâl (keterangan keadaan) dari ism dhamîr (kata ganti) yang terdapat pada lafazh yasjudûn, atau yatlûn atau qâ`imah yang ada pada ayat sebelumnya. Ada kemungkinan pula i’râbnya adalah rafa’ karena ia merupakan sifat dari kata al-ummah yang terdapat pada ayat sebelumnya. Selain itu, ia juga bisa
65
Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, h. 447.
66
Q.S. Âli 'Imrân (3): 114.
45
menjadi jumlah musta’nifah (kalimat baru).67 “Yu`minûna billâh wa al-yaum al-âkhir” (Mereka beriman kepada Allah
dan
hari
penghabisan),
Allah
dan
hari
kebangkitan.
maksudnya, Mereka
mereka
mempercayai
mengetahui
bahwa
adanya
Allah
akan
membalas semua amal perbuatan mereka. Mereka tidaklah sama dengan orang-orang
musyrik
yang
mengingkari
ke-Esaan
Allah
dan
tidak
mempercayai adanya hari kebangkitan. “wa makruf),
ya`murûna
bi
maksudnya,
al-ma'ruf”
mereka
(mereka
memerintahkan
menyuruh manusia
kepada untuk
yang
beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempercayai kenabian Muhammad Saw. dan ajaran-ajaran yang dibawanya. “wa
yanhauna
‘an
al-munkar”
(mencegah
dari
yang
mungkar),
maksudnya, mereka melarang manusia untuk ingkar kepada Allah serta mendustakan Nabi Muhammad Saw. dan ajaran-ajaran yang dibawanya.68 Secara umum, ayat ini menjelaskan tentang sifat-sifat sebagian ahli kitab yang beriman. Pada ayat sebelumnya, telah dijelaskan bahwa ahli kitab tidak semuanya kafir. Ada sebagian dari mereka yang beriman dan ada pula yang kafir. Mereka yang beriman ini, seperti disebutkan pada ayat ini dan juga
ayat
perintah
sebelumnya,
Allah,
memiliki
membaca
sejumlah
al-Qur`an
di
sifat,
tengah
yaitu: malam,
melaksanakan memperbanyak
tahajjud, beriman kepada Allah dan hari akhir, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar. Ayat ini turun sebagai bantahan atas anggapan orangorang
Yahudi 67 68
bahwa
orang-orang
yang
beriman
dari
kalangan
mereka
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 4, h. 47.
Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-3, jilid 3, h. 402.
46
seperti
'Abdullâh
sebagainya,
ibn
bukanlah
Salâm,
Asad
orang-orang
ibn
yang
‘Ubaid, terbaik.
Tsa’labah Menurut
dan
lain
orang-orang
Yahudi, seandainya orang-orang yang beriman itu merupakan orang-orang yang baik, niscaya mereka tidak akan meninggalkan agama mereka.69 Ayat ketujuh adalah firman Allah Swt.:
$tΒ š[ø⁄Î6s9 4 |Mós¡9$# ÞΟÎγÎ=ø.r&uρ zΟøOM}$# ÞΟÏλÎ;öθs% tã â‘$t7ômF{$#uρ šχθ–ŠÏΨ≈−/§9$# ãΝßγ8pκ÷]tƒ Ÿωöθs9 ∩∉⊂∪ tβθãèoΨóÁtƒ (#θçΡ%x. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan.70 Menurut Abû Ja’far, maksud dari ayat ini adalah: “Mengapa alrabbâniyyûn dan al-akhbâr dari kalangan Bani Israil tidak mau mencegah orang-orang yang berlomba-lomba melakukan dosa dan permusuhan serta memakan hasil uang suap dalam pengadilan, agar mereka tidak melakukan hal-hal tersebut.”71 Menurut al-Baidhâwi, ayat ini mengandung sebuah dorongan. Sebab, jika kata laulâ (mengapa tidak) digandengkan dengan fi’il mâdhi, maka ia mengandung makna taubîkh (celaan), sedangkan jika digandengkan dengan fi’il mudhâri’, maka ia mengandung arti tahdhîdh (pemberian dorongan).72 Para ulama 69 70
berpendapat
bahwa ayat ini
merupakan celaan yang
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 4, h. 48. Q.S. al-Mâ`idah (5): 63.
71
Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 4, h. 638.
72
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 6, h. 245.
47
paling tegas bagi mereka. Bahkan tidak ada satu ayat pun yang lebih tegas dalam mencela para ulama daripada ayat tersebut. Sementara itu, al-Dhahâk berkata: “Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur`an yang lebih aku takuti daripada ayat ini. Maksudnya, ayat itu akan menjadi hujjah (bukti) yang memberatkan memberikan
para
ulama
petunjuk
dan
(pada arahan
hari
kiamat
secara
nanti)
jika
mereka
tidak
sempurna,
lalu
mereka
tidak
mencegah keburukan-keburukan dan perbuatan-perbuatan dosa yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat."73 Ayat kedelapan adalah firman Allah Swt.:
šÏ%©!$# $tΡõ‹s{r&uρ Ïþθ¡9$# Çtã šχöθpκ÷]tƒ tÏ%©!$# $uΖøŠpgΥr& ÿϵÎ/ (#ρãÅe2èŒ $tΒ (#θÝ¡nΣ $£ϑn=sù ∩⊇∉∈∪ šχθà)Ý¡øtƒ (#θçΡ%x. $yϑÎ/ ¤§ŠÏ↔t/ ¥>#x‹yèÎ/ (#θßϑn=sß Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.74 Fâ’il dari kata nasû (melupakan) adalah dhamîr (kata ganti) hum yang merujuk pada lafazh ahl al-qaryah. Yang dimaksud dengan orangorang yang melarang dari perbuatan jahat adalah orang-orang yang saleh, sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim adalah orangorang yang melakukan kemungkaran.75 Ayat ini berkaitan dengan kisah Bani Isra`il yang telah melanggar aturan Allah untuk tidak bekerja pada hari Sabtu. Menurut Abû Ja’far, 73
Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 4, h. 639; Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2002), jilid 2, h. 70. 74 Q.S. al-A’râf (7): 165. 75
Al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, jilid 2, h. 164.
48
maksud ayat ini adalah bahwa ketika sekelompok orang dari Bani Isra`il meninggalkan perintah Allah Swt. untuk tidak bekerja pada hari Sabtu, lalu mereka pun tidak mengindahkan nasehat sekelompok orang lainnya agar tidak melakukan perbuatan tersebut, maka Allah pun menyelamatkan orangorang yang telah mencegah dari kemungkaran dan menimpakan adzab yang pedih kepada orang-orang yang melanggar perintah-Nya.76 Dari ayat ini dan juga ayat-ayat sebelumnya, jelaslah bahwa tidak semua individu dari ahl al-qaryah itu keluar pada hari Sabtu dengan maksud untuk membebaskan diri dari ujian yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepada
mereka.
Akan
tetapi,
di
antara
mereka
ada
yang
menasehati
kaumnya agar bersabar dalam menyikapi ujian dan hukum Allah. Sikap mereka itu dibantah oleh sekelompok orang lainnya yang ingin membiarkan kaumnya melakukan apa yang ingin mereka perbuat. Kelompok kedua ini berkata: “Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?” Setiap kelompok, akhirnya, tetap kukuh pada pendiriannya masing-masing. Dalam kondisi
seperti
itu,
Allah
menyelamatkan
orang-orang yang menegakkan
amar makruf nahi mungkar, lalu Dia menurunkan siksaan kepada orangorang yang melakukan perbuatan zalim dan dosa.77 Meskipun ayat ini menjelaskan
tentang
kisah
Bani
Isra`il,
akan
tetapi
ia
dapat
menjadi
pelajaran bagi umat Islam, yaitu bahwa Allah akan menyelamatkan orangorang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar serta akan menimpakan adzab yang pedih kepada orang-orang yang berbuat dosa dan juga orangorang yang tidak mau menegakkan amar makruf nahi mungkar. Ayat kesembilan adalah firman Allah: 76
Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 6, h. 100.
77
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-5, h. 507.
49
∩∠∪ šχθè=yèøtƒ (#θçΡ$Ÿ2 $tΒ š[ø⁄Î6s9 4 çνθè=yèsù 9x6Ψ•Β tã šχöθyδ$uΖoKtƒ Ÿω (#θçΡ$Ÿ2 Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.78 Ayat ini menjelaskan tentang sebab mengapa Bani Isra`il menjadi kaum yang terlaknat, seperti yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Pada ayat ke-78, Allah Swt. telah melaknat Bani Isra`il, baik melalui lisan Nabi Dawud As. maupun Nabi Isa As., karena kedurhakaan mereka kepada Allah. Nabi Dawud
As.
melaknat orang-orang yang melanggar perintah Allah
untuk tidak mencari ikan pada hari Sabtu serta telah durhaka kepada Allah, sedangkan Nabi Isa As. melaknat sebagian orang dari Bani Isra`il yang durhaka
kepada
Allah
karena
mereka
pada
ayat
ke-79
ini,
Kemudian
melanggar
Allah
Swt.
perintah-perintah-Nya. menegaskan
bahwa
diturunkannya laknat Allah itu kepada mereka adalah karena mereka tidak saling mencegah dari kemungkaran. Orang-orang alim di antara mereka tidak
mau
dilakukannya.
mencegah Mereka
seseorang hanya
dari
diam
saja
perbuatan-perbuatan dan
membiarkan
dosa
yang
perbuatan-
perbuatan itu terjadi. Pada akhir ayat ini, Allah mencela sikap mereka yang tidak mau mencegah terjadinya kemungkaran itu. Firman Allah: “Sesungguhnya amat buruklah
apa
yang
selalu
mereka
perbuat
itu”,
menunjukkan
betapa
jeleknya perbuatan mereka serta merupakan peringatan bagi umat Islam agar tidak melakukan apa yang dilakukan oleh Bani Isra`il tersebut. Hal itu disebabkan karena tersebarnya kemungkaran sangatlah berbahaya bagi suatu umat (masyarakat), sedangkan amar makruf nahi mungkar dapat mencegah masyarakat dari perbuatan keji, mengingatkan mereka pada perbuatan yang 78
Q.S. al-Mâ`idah (5): 79.
50
baik dan akhlak yang mulia, dapat membawa mereka kepada kebaikan, serta dapat mewujudkan kebahagiaan.79 Ayat kesepuluh adalah firman Allah:
∩∈∈∪ $wŠÅÊötΒ ÏµÎn/u‘ y‰ΖÏã tβ%x.uρ Íο4θx.¨“9$#uρ Íο4θn=¢Á9$$Î/ …ã&s#÷δr& ããΒù'tƒ tβ%x.uρ Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.80 Ayat
ini
berkaitan
dengan
ayat
sebelumnya
yang
menjelaskan
tentang sosok Nabi Ismail As.. Pada ayat ke-54, Allah Swt. menjelaskan bahwa Ismail adalah seorang yang selalu menepati janji, serta merupakan seorang rasul dan nabi, sedangkan pada ayat ke-55 ini, Allah menegaskan bahwa
Ismail
adalah
seorang
yang selalu
menyuruh
keluarganya
untuk
mengerjakan shalat dan membayar zakat, lalu dia adalah orang yang diridhai di sisi Tuhannya. Di sini, kata zakat dikaitkan dengan kata shalat. Ini menunjukkan
bahwa
yang
dimaksud
dengan
zakat
adalah
shadaqah-
shadaqah yang wajib. Shadaqah-shadaqah seperti ini merupakan bagian dari ketaatan dengan
kepada niat
Allah
ikhlas
yang
karena
harus
Allah
dilaksanakan
Swt.,
oleh
sebagaimana
seorang shalat
juga
Muslim wajib
dilaksanakan.81 Ayat ini merupakan pujian yang baik kepada Nabi Ismail As., nenek moyang dari seluruh bangsa Arab Hijaz. Jika pada ayat ke-54, Allah memuji Nabi Ismail karena dia adalah orang yang selalu menepati janji, maka pada ayat ke-55 ini, Allah memujinya karena dia selalu menyuruh keluarganya 79
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, jilid 2, h. 78. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, juz 6, h. 277-278. 80 Q.S. Maryam (19): 55. 81
Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, juz 16, h. 123.
51
untuk
melaksanakan
shalat
dan
membayar
zakat.
Di
samping
bersabar
dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, Nabi Ismail juga bersabar dan berusaha terus menerus untuk menyuruh keluarganya melakukan ketaatan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Nabi Ismail ini termasuk ke dalam kerangka amar makruf nahi mungkar. Amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada keluarganya itu tidak lain adalah untuk menjaga dan menghindarkan
mereka
dari
api
neraka,
seperti
yang
ditegaskan
dalam
firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Q.S. al-Tahrîm [66]: 6) Ayat kesebelas adalah firman Allah:
šχθè=çGø)tƒuρ 9aYym ÎötóÎ/ z↵ÍhŠÎ;¨Ψ9$# šχθè=çGø)tƒuρ «!$# ÏM≈tƒ$t↔Î/ šχρãàõ3tƒ tÏ%©!$# ¨βÎ) ∩⊄⊇∪ AΟŠÏ9r& A>#x‹yèÎ/ Οèδ÷Åe³t7sù Ĩ$¨Ζ9$# š∅ÏΒ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ šχρããΒù'tƒ šÏ%©!$# Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.82 Ayat ini mengandung celaan dari Allah Swt. kepada ahli kitab atas perbuatan-perbuatan dosa yang telah mereka lakukan, di antaranya adalah pendustaan mereka terhadap ayat-ayat Allah yang disampaikan oleh para rasul-Nya.
Mereka
melakukan
pembangkangan
kepada
para
rasul
karena
kesombongan yang ada dalam diri mereka, lalu mereka pun meremehkan kebenaran
dan tidak mau mengikutinya. Tidak hanya itu saja, mereka
bahkan membunuh para nabi tanpa ada satu sebab pun yang membolehkan 82
Q.S. Âli 'Imrân (3): 21.
52
mereka melakukan hal itu. Apa yang mereka lakukan hanyalah karena para nabi mengajak mereka kepada kebenaran. Mereka
juga
membunuh
orang-orang
yang
mengajak
manusia
kepada keadilan. Sebagaimana kita ketahui, keadilan termasuk ke dalam katagori sesuatu yang makruf. Jadi, dapat difahami bahwa mereka telah membunuh Perbuatan
orang-orang seperti
ini
yang
menegakkan
merupakan
dosa
amar
besar
makruf
yang
akan
nahi
mungkar.
mendatangkan
siksaan terbesar pada hari Kiamat. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abû Ubaidah ibn Jarrâh, bahwa dia
berkata: “Aku
berkata: ‘Wahai Rasulullah, siapa yang akan mendapatkan siksaan terberat pada hari Kiamat nanti?’ Rasulullah Saw. menjawab: ‘Seorang laki-laki yang membunuh nabi atau (membunuh) orang yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.’” Hal ini sangatlah wajar, karena pada ayat berikutnya, Allah Swt. menjelaskan bahwa mereka adalah orangorang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan di akhirat.83 Ayat kedua belas adalah firman Allah:
∩⊆⊆∪ tβθè=É)÷ès? Ÿξsùr& 4 |=≈tGÅ3ø9$# tβθè=÷Gs? öΝçFΡr&uρ öΝä3|¡àΡr& tβöθ|¡Ψs?uρ ÎhÉ9ø9$$Î/ }¨$¨Ψ9$# tβρâ÷ß∆ù's?r& Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?84
83 84
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, juz 1, h. 312. Q.S. al-Baqarah (2): 44.
53
Sesuai dengan sababun nuzul-nya85, ayat ini ditujukan kepada orangorang ahli kitab, terutama kepada para pendeta dan ulama mereka. Mereka memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan dan berpegang teguh pada agama Islam, tetapi mereka justru melupakan diri mereka sendiri. Ayat ini
mengandung
ejekan
dan
sindiran
bagi
mereka.
Meskipun
ayat
ini
ditujukan kepada kaum Yahudi dari kalangan ahli kitab, akan tetapi hukum yang terkandung di dalamnya juga berlaku bagi seluruh manusia, termasuk kaum
Muslimin.
Sebab,
sebuah
hukum
diambil
berdasarkan
keumuman
lafazhnya dan bukan kekhususan sebabnya.86 Dengan demikian, maka ayat ini juga menjadi sindiran bagi kaum Muslimin yang menyuruh orang lain melakukan kebaikan atau perbuatan yang makruf, tetapi mereka sendiri tidak
melakukannya.
Atau
dengan
kata
lain,
mereka
menegakkan
amar
makruf nahi mungkar, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkan apa yang mereka serukan. Menurut Ibn
Katsîr, tujuan diturunkannya ayat ini adalah untuk
mencela kaum Yahudi atas sikap mereka tersebut, dan untuk mengingatkan akan kesalahan mereka karena mereka telah menyerukan manusia kepada kebaikan tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Jadi, ayat ini bukan dimaksudkan melainkan
untuk
untuk
mencela
mencela
amar
sikap
makruf mereka
yang yang
mereka
lakukan
meninggalkan
itu,
perbuatan
makruf yang mereka perintahkan. Sebab, menyuruh kepada yang makruf merupakan sesuatu yang baik, bahkan wajib hukumnya bagi orang alim. 85
Al-Wâhidi dan al-Tsa’labi meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa dia berkata: “Ayat ini diturunkan kepada orang-orang Yahudi Madinah, dimana salah seorang di antara mereka berkata kepada para kerabat dan orang-orang yang memiliki hubungan sesusuan dengannya: ‘Tetaplah kamu pada agama yang kamu anut dan apa-apa yang diperintahkannya kepadamu, dan juga apa yang diperintahkan oleh laki-laki ini (maksudnya Muhammad Saw.). Sesungguhnya apa yang dibawa oleh Muhammad adalah benar.’ Mereka menyuruh orang-orang untuk melakukan hal itu tetapi mereka sendiri tidak melakukannya.” Lihat Abû al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wâhidi al-Naisâbûri, Asbâb alNuzûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991), h. 14 86
Lihat Muhammad Abû Zahrah, Ushûl Fiqh, (Beirut: Dâr al-Fikr al-'Arabi, t.th.), h. 166.
54
Akan tetapi, yang lebih wajib dan lebih utama untuk dilakukan oleh orang alim itu adalah melakukan perbuatan makruf yang dia perintahkan bersamasama dengan orang yang diperintahkannya.87
c. Ism Fâ’il Firman Allah:
šχρ߉Éf≈¡¡9$# šχθãèÅ2≡§9$# šχθßsÍ×‾≈¡¡9$# šχρ߉Ïϑ≈ptø:$# šχρ߉Î7≈yèø9$# šχθç6Í≥‾≈−F9$# ÎÅe³o0uρ 3 «!$# ÏŠρ߉çtÎ: tβθÝàÏ≈ysø9$#uρ Ìx6Ψßϑø9$# Çtã šχθèδ$¨Ψ9$#uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ tβρãÏΒFψ$# ∩⊇⊇⊄∪ šÏΖÏΒ÷σßϑø9$# Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu`min itu.88 Lafazh merupakan
al-tâibûn
na’t
serta
kata-kata
dari
lafazh
(sifat)
setelahnya
al-mu`minîn.
pada
ayat
Pemisahan
di
atas
na’t
ini
dimaksudkan untuk memberikan pujian kepada orang-orang mukmin. Ada kemungkinan pula, ia berkedudukan sebagai mubtada`, sedangkan khabarnya dibuang, yaitu kata ahl al-jannah (penduduk surga).89 Ayat 87 88 89
ini
memuat
beberapa
sifat
orang-orang
mukmin
yang
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, juz 1, h. 74. Q.S. al-Taubah (9): 112.
Abû al-Fadhl Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm wa alSab’i al-Matsânî, jilid 4, h. 30.
55
berpotensi
untuk
berbai’at
(bersumpah
setia)
kepada
Allah.
Lafazh
al-
âmirûna bi al-ma'rûf wa al-nâhûna ‘an al-munkar berarti orang-orang yang selalu mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Pada ayat ini, lafazh al-âmirûna bi al-ma'rûf dan an-nâhûna ‘an al-munkar disambung dengan menggunakan huruf 'athf (huruf wawu), tidak seperti pada sifat-sifat sebelumnya. tersebut
Hal
adalah
ini satu.
menunjukkan Sebab,
bahwa
barangsiapa
pada yang
hakekatnya, menyuruh
kedua
kepada
hal yang
makruf, maka berarti dia juga mencegah dari yang mungkar, demikian pula sebaliknya. Adapun tidak disebutkannya huruf 'athf guna menghubungkan antara
satu
sifat
dengan
sifat
lainnya
mengisyaratkan
bahwa
sifat-sifat
tersebut merupakan satu kesatuan. Maksudnya, salah satu dari sifat-sifat tersebut tidak dapat terwujud kecuali jika telah terwujud seluruh sifat lainnya. Atau dengan kata lain, untuk mewujudkan salah satu sifat, maka sifat-sifat lainnya pun harus terwujud.90
d. Fi’il Amr Firman Allah:
∩⊇∪ šÎ=Îγ≈pgø:$# Çtã óÚÌôãr&uρ Å∃óãèø9$$Î/ ó÷ß∆ù&uρ uθøyèø9$# É‹è{ Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.91
yang
Menurut M. Quraish Shihab, kata al-'urf memiliki makna yang sama dengan kata al-ma'rûf, yaitu sesuatu yang dikenal dan dibenarkan oleh
90 91
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-6, h. 901. Q.S. al-A’râf (7): 199.
56
masyarakat, dengan kata lain adat istiadat yang didukung oleh nalar yang sehat serta tidak bertentangan dengan ajaran agama.92 Secara umum, ayat ini menjelaskan tentang metode yang digunakan oleh Nabi Saw. dalam menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia,
baik
orang-orang
yang
mau
mengikutinya
maupun
yang
mendurhakainya. Metode Nabi ini didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu: 1- Memberikan kemudahan dan berusaha menghindari hal-hal yang tidak menyulitkan manusia. Ini dapat difahami dari firman-Nya: “khudz al‘afwa” (jadilah engkau pema’af). 2- Tidak membawa manusia kepada suatu perbuatan (hal) yang berada di luar kebiasaan atau tabi’at manusia. Ini dapat difahami dari firman-Nya: “wa`mur bil al-‘urf” (dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf). 3- Berpaling dari orang-orang yang bodoh, yaitu dengan tidak mengikuti perbuatan mereka. Ini dapat difahami dari firman-Nya: “wa a’ridh ‘an al-jâhilîn” (serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh).93 Mengenai
makna
wa`mur
bi
al-‘urfi
(dan
suruhlah
orang
mengerjakan yang makruf), Abû Ja’far menjelaskan bahwa dalam ayat ini, Allah
Swt.
melakukan mashdar
memerintahkan al-‘urf
atau
kepada al-ma'rûf.
Nabi-Nya Kata
yang mengandung arti al-ma'rûf
untuk
“al-‘urf” (sesuatu
menyuruh
manusia
merupakan
bentuk
yang makruf).
Yang
termasuk ke dalam katagori makruf ini adalah menyambung tali silaturahim, memberi maaf kepada orang yang berbuat zhalim, serta seluruh perbuatan yang telah diperintahkan oleh Allah Swt. atau dianjurkan-Nya. Dengan demikian, maka Allah Swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya
92
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. V, h. 341.
93
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-5, h. 545-549.
57
untuk melakukan semua perbuatan yang makruf, dalam berbagai jenisnya, tanpa
membeda-bedakan
antara
sebagian
perbuatan
atas
sebagian
yang
94
lain.
Ayat kedua adalah firman Allah:
3“uθø)−G=Ï9 èπt6É)≈yèø9$#uρ 3 y7è%ã—ötΡ ßøtªΥ ( $]%ø—Í‘ y7è=t↔ó¡nΣ Ÿω ( $pκön=tæ ÷É9sÜô¹$#uρ Íο4θn=¢Á9$$Î/ y7n=÷δr& öãΒù&uρ ∩⊇⊂⊄∪ Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.95 Ayat ini merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk
menyelamatkan
keluarganya
dari
siksa
Allah
dengan
cara
menyerukan mereka untuk mendirikan shalat, sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan Q.S. Maryam: 55. Upaya seperti ini juga termasuk ke dalam
kerangka
amar
makruf
nahi
mungkar
yang
ditujukan
untuk
lingkungan yang kecil, yaitu keluarga, dan bertujuan untuk menjaga dan menghindarkan mereka dari neraka. Perintah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menyuruh keluarganya mendirikan shalat ini juga merupakan perintah kepada
seluruh
umat
Islam,
tanpa
ada
pengecualian.
Allah
juga
memerintahkan kepada Nabi untuk bersabar dalam melaksanakan shalat dan untuk selalu menjaganya. Pada ayat ini, Allah mengaitkan antara perintah untuk menyuruh keluarga
94 95
mendirikan
shalat
dan
untuk
bersabar
dalam
mengerjakannya,
Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 6, h. 153-154. Q.S. Thâhâ (20): 132.
58
dengan hasil yang akan diperoleh seseorang jika dia mau melaksanakan perintah tersebut. Hasil yang dimaksud adalah hasil yang baik dan terpuji, yaitu limpahan rezeki dan anugerah surga. Jika seseorang telah mendirikan shalat akan
bersama datang
keluarganya, kepadanya.
maka rezeki
Hal
ini
senada
yang tidak disangka-sangkanya dengan
firman
Allah
Swt.:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Q.S. al-Thalâq [65]: 2-3)96 Ayat ketiga adalah firman Allah:
y7Ï9≡sŒ ¨βÎ) ( y7t/$|¹r& !$tΒ 4’n?tã ÷É9ô¹$#uρ Ìs3Ζßϑø9$# Çtã tµ÷Ρ$#uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ öãΒù&uρ nο4θn=¢Á9$# ÉΟÏ%r& ¢o_ç6≈tƒ ∩⊇∠∪ Í‘θãΒW{$# ÇΠ÷“tã ôÏΒ Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).97 Ayat ini merupakan sebagian dari rangkaian pesan yang disampaikan oleh Luqman kepada puteranya. Setelah menyuruh puteranya untuk tidak menyekutukan Allah dan untuk berbakti kepada orang tua, Luqman pun memerintahkan saleh
yang
kepada merupakan
puteranya
untuk
implementasi
dari
melakukan tauhid,
perbuatan-perbuatan di
antaranya
adalah
mendirikan shalat dengan ikhlas karena Allah semata serta secara sempurna sesuai
dengan
disebabkan keyakinan 96 97
aturan-aturan
karena
shalat
seseorang,
dan
ketentuan-ketentuan
merupakan
tiang
agama,
sarana untuk mendekatkan
Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, juz 16, h. 307. Q.S. Luqmân (31): 17.
waktunya. bukti
Hal
ini
keimanan
dan
diri kepada Allah
dan
59
menggapai ridha-Nya, serta dapat membantu seseorang dalam menjauhkan diri dari perbuatan yang keji dan mungkar. Luqman
juga
memerintahkan
puteranya
untuk
menyuruh
kepada
yang makruf, baik berupa akhlak yang mulia dan amal-amal perbuatan yang baik, mencegah orang lain dari yang mungkar, serta untuk bersabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan hambatan ketika menjalankan perintahperintah Allah. Penyebutan perintah untuk bersabar setelah perintah untuk menegakkan
amar
makruf
ini
menunjukkan
bahwa
antara
keduanya
memiliki kaitan yang erat. Sebab, pada umumnya seseorang yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar akan menghadapi berbagai hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Maka, dia pun dituntut untuk
bersabar.
Wasiat-wasiat
Luqman
pada
ayat
ini
diawali
dengan
perintah untuk mengerjakan shalat karena shalat merupakan tiang agama, lalu ditutup dengan perintah untuk bersabar karena sabar merupakan dasar bagi konsistensi dalam menjalankan ketaatan dan meraih ridha Allah. Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: “Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”, yang mengisyaratkan bahwa hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, baik pada ayat ini maupun ayat-ayat sebelumnya, di antaranya adalah menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, serta bersabar dalam menghadapi sikap tidak menyenangkan dari orang-orang lain, merupakan hal-hal yang wajib dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan.98
98
Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, juz 21, h. 149-150.
60
2. Ragam Frase Ayat-ayat Amar Makruf Nahi Mungkar Dari pemaparan ayat-ayat amar makruf nahi mungkar, sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa ayat-ayat tersebut menggunakan frase yang berbeda-beda. Sebagian di antaranya menyebutkan kedua frase, yaitu amar makruf dan nahi mungkar secara bersamaan; Sebagian yang lain hanya
menyebutkan
Sementara
frase
sebagiannya
amar
lagi
makruf
menggunakan
atau
frase
frase
lain
nahi
mungkar
selain
saja;
kedua frase
tersebut. Penjelasan mengenai hal itu adalah sebagai berikut: a. Menggunakan Frase Amar Makruf dan Nahi Mungkar Secara Bersamaan: Penggunaan redaksi seperti ini terdapat pada delapan tempat, yaitu: Q.S. Âli 'Imrân (3): 104, 110 dan 114; Q.S. al-A'râf (7): 157; Q.S. alTaubah (9): 71 dan 112; Q.S. al-Hajj (22): 41; dan Q.S. Luqmân (31): 17. Bila diperhatikan, keseluruhan ayat tersebut berkaitan dengan sosok yang
sempurna,
baik
sosok
umat
(sekelompok
orang)
maupun
pribadi
tertentu. Q.S. Âli 'Imrân (3): 104 menjelaskan tentang sosok umat yang beruntung, yaitu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan para mufassir mengenai pengertian "umat" pada ayat ini, apakah maksudnya adalah umat Islam secara keseluruhan ataukah hanya sekelompok orang saja, akan tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa mereka
adalah
orang-orang yang tidak hanya berilmu
saja tetapi juga
mengamalkan ilmu mereka dengan cara mengajak kepada kebaikan dan
61
menegakkan amar makruf nahi mungkar.99 Pengertian serupa juga terdapat pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 110. Hanya saja pada ayat ke-110, sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan umat adalah umat Islam secara keseluruhan. Pada ayat tersebut ditegaskan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia guna menegakkan amar makruf nahi mungkar. Sementara Q.S. Âli 'Imrân (3): 114 menjelaskan tentang sosok ahli kitab
yang
perintah
beriman.
Allah,
Mereka
membaca
adalah
al-Qur`an
orang-orang di
tengah
yang
malam,
melaksanakan memperbanyak
tahajjud, beriman kepada Allah dan hari akhir, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar. Mereka tidaklah sama dengan ahli kitab lainnya.100 Q.S. al-A'râf (7): 157 menggambarkan tentang sosok tauladan bagi umat
manusia,
yaitu
baginda
Rasulullah
Saw..
Pada
ayat
ini,
Allah
menjelaskan tentang sifat-sifat Rasulullah, yaitu: seorang nabi yang ummi (buta huruf), nama dan sifatnya termaktub dalam kitab Taurat dan Injil, menyuruh
kepada
yang
yang
baik,
menghalalkan beban-beban
dan
makruf,
mencegah
mengharamkan
belenggu-belenggu
yang
yang
ada
dari
yang
mungkar,
buruk,
serta
membuang
pada
diri
Bani
Isra`il.
Beliaulah sosok yang sempurna yang patut diikuti. Q.S.
al-Taubah
(9):
71
dan
112
serta
Q.S.
al-Hajj
menggambarkan tentang sosok orang-orang yang beriman. Q.S.
(22):
41
al-Taubah
(9): 71 menjelaskan bahwa orang-orang mukmin saling bersaudara dimana mereka
saling
99
bahu-membahu
dalam
menegakkan
amar
makruf
nahi
Lihat 'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-2, h. 542.
100
Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 3, h. 403.
62
mungkar, mendirikan shalat, membayar zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sosok orang-orang yang beriman juga dijelaskan pada Q.S. alTaubah (9): 112, tetapi pada ayat tersebut disebutkan sebagian sifat mereka yaitu: mereka adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat
makruf
dan
mencegah
berbuat
mungkar,
dan
yang memelihara
hukum-hukum Allah. Sifat-sifat yang hampir serupa juga disebutkan pada Q.S. al-Hajj (22): 41, tetapi sifat-sifat tersebut dikaitkan dengan kedudukan mereka di muka bumi ini. Di sana ditegaskan bahwa jika Allah meneguhkan kedudukan
mereka
menunaikan
zakat,
di
muka
menyuruh
bumi,
niscaya
berbuat
yang
mereka makruf
mendirikan dan
shalat,
mencegah
dari
perbuatan yang mungkar. Adapun Q.S. Luqmân (31): 17 memuat sejumlah perintah yang harus dilakukan oleh seseorang agar dia dapat menjadi seorang mukmin yang sempurna. Perintah-perintah pada ayat ini merupakan bagian dari rangkaian pesan yang disampaikan oleh Luqman kepada puteranya, dengan harapan sang putera dapat menjadi seorang mukmin yang ideal, yang menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Pada ayat ini, Luqman
memerintahkan
puteranya
untuk
mendirikan
shalat
yang
merupakan tiang agama, menegakkan amar makruf nahi mungkar, serta bersabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah.
b. Menggunakan Frase Amar Makruf Saja: Penggunaan redaksi seperti ini terdapat pada dua tempat, yaitu pada Q.S. al-Nisâ` (4): 114 dan Q.S. al-A'râf (7): 199. Meskipun kedua ayat itu disebutkan dalam konteks yang berbeda, karena ayat pertama berbicara
63
tentang kebaikan
secara umum sementara ayat kedua berbicara tentang
penyampaian risalah Islam, akan tetapi keduanya sama-sama memaparkan strategi
tertentu
menjalani
yang
kehidupan
harus
digunakan
bermasyarakat.
oleh
Ayat
seorang
ke-114
dari
Muslim Q.S.
dalam al-Nisâ`
memberikan pesan kepada kaum Muslimin agar dalam menjalani kehidupan bermasyarakatnya, mereka harus saling terbuka dan sedapat mungkin tidak saling merahasiakan sesuatu. Ini merupakan strategi yang sangat jitu dalam rangka
menjaga
mengandung
keutuhan
makna
dan
kesatuan
masyarakat.
ketidakpercayaan,
sementara
Sebab,
kerahasiaan
keterbukaan
dan
keterusterangan menunjukkan keberanian pembicara, yaitu keberanian atas dasar
kebenaran
bersifat
mutlak,
sejumlah
hal
dan
ketulusan.101
karena
secara
terkadang
Walau
demikian,
kerahasiaan
sembunyi-sembunyi justru
dan akan
ketentuan
ini tidak
upaya
melakukan
mendatangkan
hasil
yang lebih baik. Hal itu seperti ketika seseorang menyuruh orang lain untuk bersedekah, berbuat yang makruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Adapun Q.S. al-A'râf (7): 199 memperkenalkan strategi atau metode yang harus diperhatikan oleh seorang dâ'i dalam menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Strategi yang disebutkan pada ayat ini mencakup
tiga
hal,
yaitu:
memberikan
kemudahan
dan
berusaha
menghindari hal-hal yang menyulitkan manusia, tidak membawa manusia keada suatu perbuatan (hal) yang berada di luar kebiasaan atau tabi'at manusia, serta berpaling dari orang-orang yang bodoh dengan cara tidak mengikuti perbuatan mereka.102
101
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. II, h. 561.
102
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân,kitab ke-5, h. 545-549.
64
c. Menggunakan Frase Nahi Mungkar Saja: Redaksi ini hanya terdapat pada satu ayat saja, yaitu pada Q.S. alMâ`idah (5): 79. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ayat ini menjelaskan tentang faktor yang menyebabkan Bani Isra`il dikutuk oleh Allah Swt., yaitu karena mereka satu
sama lain
tidak melarang tindakan mungkar yang
mereka perbuat. Ketika ada salah seorang di antara mereka melakukan kemungkaran,
maka
mereka
akan
mendiamkan
saja.
Bahkan,
terkadang
mereka justru membelanya. Dengan demikian, maka ayat ini merupakan peringatan bagi kaum Muslimin agar mereka tidak melakukan apa yang telah dilakukan oleh Bani Isra`il itu. Peringatan ini sangatlah logis, karena tersebarnya
kemungkaran
merupakan
faktor
yang
dapat
menghancurkan
masyarakat. Munculnya kerusakan di muka bumi adalah disebabkan karena ulah
manusia
yang
tidak
mengikuti
aturan-aturan
Tuhan,
seperti
yang
maka
mungkar
pun
harus
103
ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur`an. Untuk
menghindari
hal
itu,
nahi
ditegakkan, karena ia dapat mencegah masyarakat dari perbuatan keji yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut.104
d. Menggunakan Frase Lain Selain Amar Makruf: Redaksi seperti ini terdapat pada empat tempat, yaitu pada Q.S. alBaqarah (2): 44, Q.S. al-Nahl (16): 76, Q.S. Maryam (19): 55 dan Q.S. Thâhâ (20): 132. Pada Q.S. al-Baqarah (2): 44 digunakan frase al-amr bi albirr
(menyuruh
orang
lain
mengerjakan
kebajikan).
103
Lihat Q.S. al-Rûm (30): 41.
104
Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, jilid 2, h. 78.
Kata
al-birr
65
mengandung pengertian yang umum dan tidak hanya terbatas pada satu jenis kebajikan saja. Q.S. al-Nahl (16): 76 menyebutkan satu perbuatan yang termasuk
ke
(menyuruh
dalam berbuat
kerangka
amar
keadilan).
makruf,
Sementara
yaitu Q.S.
al-amr
bi
Maryam
al-'adl
(19):
55
menyebutkan jenis lain dari amar makruf yaitu menyuruh keluarga untuk mengerjakan shalat dan zakat. Adapun Q.S. Thâhâ (20): 132 mengandung perintah untuk menyuruh keluarga mengerjakan shalat dan bersabar dalam mengerjakannya. Pada kedua ayat terakhir ini, di samping amar makruf yang disebutkan di dalamnya mengandung cakupan yang lebih khusus, ia juga memiliki sasaran yang lebih khusus yaitu keluarga yang merupakan institusi terkecil dalam masyarakat.
e. Menggunakan Frase Lain Selain Nahi Mungkar: Redaksi seperti ini terdapat pada dua tempat, yaitu pada Q.S. alMâ`idah (5): 63 dan Q.S. al-A'râf (7): 165. Kedua ayat ini sama-sama menjelaskan tentang kondisi Bani Isra`il yang telah mendapat adzab dari Allah
Swt.
karena
mereka
tidak
mau
menegakkan
amar
makruf
nahi
mungkar di antara mereka. Q.S. al-Mâ`idah (5): 63 merupakan sindiran bagi pendeta-pendeta Bani Isra`il karena yang
berlomba-lomba
pada
ayat
ini
melakukan
adalah
perkataan
mereka tidak mencegah
dosa.
Perbuatan
bohong
dan
dosa
orang-orang
yang
memakan
disebutkan
yang
haram.
Sementara Q.S. al-A'râf menjelaskan kondisi Bani Isra`il secara keseluruhan dalam kaitannya dengan amar makruf nahi mungkar di antara mereka, yaitu bahwa di antara mereka ada orang-orang yang mau mencegah kemungkaran; mereka itulah orang-orang yang diselamatkan Allah dari adzab-Nya. Di antara mereka ada pula orang-orang yang tidak mencegah kemungkaran;
66
mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab dari Allah bersama-sama dengan orang-orang yang melakukan kemungkaran.
67
BAB III PELAKU AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR
Dakwah syarat
mutlak
dalam pengertian bagi
keselamatan
amar
makruf
dan
nahi
mungkar
merupakan
hidup
masyarakat.
kesempurnaan
Dakwah ini merupakan fitrah manusia selaku makhluk sosial atau makhluk ijtimâ’i.
Suatu
masyarakatnya
masyarakat tersebut
tidak
bungkam
akan dan
selamat, bersifat
bila masa
anggota-anggota bodoh
terhadap
perbuatan kemungkaran yang terjadi di sekitar mereka. Bibit kemungkaran ini harus dipadamkan sejak dini, sebab bila dibiarkan berkembang maka akan menjadi sebutir bara yang sulit dipadamkan.1 Selain itu, dakwah dalam pengertian seperti ini merupakan seruan kepada keinsafan atau usaha untuk mengubah satu situasi kepada situasi yang lebih baik bagi pribadi maupun masyarakat. Dengan demikian, maka M. Quraish Shihab dalam buku "Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu
Dalam
Kehidupan
Masyarakat",
amar
makruf
nahi
mungkar
bukanlah sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi di masa sekarang ini, usaha dakwah ini diharapkan mampu berperan untuk mengatur umat menuju pelaksanaan ajaran Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan.2
1
Muhammad Nasir, Fiqh al-Dakwah (Jakarta: Media Dakwah, 2000), cet. ke-11, h.
109. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), cet.ke-12, h. 194.
68
Amar
makruf
nahi
mungkar
merupakan
usaha
perbaikan
yang
dimulai dari satu individu ke individu lain, dari satu kelompok ke kelompok lain
dan
dari
negara
perangkat-perangkat kemudian
(pemegang
pemerintahan
diteruskan
kepada
pemerintahan
atau
penguasa
bawahan
dan lain
kekuasaan) yang
masing-masing
di
kepada
bawahnya
demi
terciptanya
aturan-aturan yang dapat ditaati oleh semua orang. Hal itu bertujuan untuk memberikan perubahan ke arah yang lebih baik, walaupun tidak sedikit dari orang-orang
yang
menegakkan
amar
makruf
nahi
mungkar
terpaksa
menerima berbagai macam ancaman, bahkan serangan dari orang-orang yang tidak senang kepada Islam. Mengingat peran amar makruf nahi mungkar sangat penting, maka alQur`an
pun
memberikan
perhatian
khusus
terhadapnya.
Berdasarkan
pengamatan penulis, perintah untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, baik yang disampaikan secara eksplisit maupun implisit, ditujukan kepada tiga
golongan,
yaitu
individu,
umat
(kelompok)
dan
negara.
Adapun
penjelasan mengenai ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
A. Individu Secara umum, amar makruf nahi mungkar secara individu ini dapat dikelompokkan menjadi dua: 1. Amar
Makruf
Nahi
Mungkar
dalam
Keluarga
(Antar
Sesama
Anggota Keluarga) Pembentukan rumah tangga yang bahagia, tentu sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Pembentukan rumah tangga seperti ini harus
69
dilakukan melalui komunikasi Islami yang baik antar sesama penghuni rumah tangga terutama antara suami dan isteri, yang didasarkan pada prinsip amar makruf nahi mungkar dan al-tawâshi bi al-haq wa al-tawâshi bi al-shabr (nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran). Bila ada salah seorang anggota keluarga baik suami, isteri ataupun anak, yang lalai untuk menjalankan perintah
Allah
atau
meninggalkan
larangannya,
maka
anggota
keluarga
yang lain harus mengingatkannya. Dalam hal ini, laki-laki sebagai kepala keluarga3 memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar dalam keluarga. Dia harus memberi contoh yang baik sehingga dapat menjadi tauladan bagi isteri dan anak-anaknya. Dia harus mengingatkan isteri dan anak-anaknya bila ada perbuatan makruf yang mereka tinggalkan atau ada kemungkaran yang mereka lakukan. Ini merupakan wujud implementasi dari firman Allah Swt. yang menyerukan kepada orang-orang yang beriman untuk memelihara diri dan keluarga mereka dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu serta dijaga oleh para malaikat yang kasar, yang keras dan yang tidak pernah mendurhakai perintah Allah Swt.. 4 Sebagai suami, laki-laki harus selalu mengingatkan atau menasehati isterinya untuk tetap pada ketaatan kepada Allah Swt.. Dia tidak boleh bersikap
acuh
bila
ada
sikap
sang
isteri
yang
tidak
mencerminkan
ketaatannya kepada Allah, atau bila ada perilakunya yang tidak baik. Dalam hal ini, suami harus berusaha untuk merubah sikap atau perilaku isterinya itu secara berangsur-angsur dan dengan cara yang baik. Hal ini dimaksudkan agar tidak menyinggung perasaan sang isteri, karena pada 3
Lihat Q.S. al-Nisâ` (4): 34.
4
Lihat Q.S. al-Tahrîm (66): 6.
70
umumnya
wanita
memiliki
perasaan
yang
sangat
sensitif
dan
mudah
tersinggung. Oleh karena itu, maka Rasulullah Saw. mengingatkan kaum laki-laki akan hal itu dalam sabda beliau:
ﺮ ﹶﺓ ﺴ ـﻣﻴ ﻦ ـﺪ ﹶﺓ ﻋ ﺍﺋِـﻦ ﺯ ـﻲ ﻋ ﻋﻠِـ ﻦ ﺑ ﻦ ﻴ ﺴ ﺣ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺍ ٍﻡ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎﻦ ِﺣﺰ ﺑ ﻰﻮﺳﻭﻣ ﺐ ٍ ﻳﺮ ﻮ ﹸﻛﺎ ﹶﺃﺑﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻪ ـﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠــﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠـ ِﻪ ﺻﺳﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶـﺎ ﹶﻝ ﺭ ﻨﻋ ﻪ ﻲ ﺍﻟﱠﻠ ﺿ ِ ﺭ ﺮ ﹶﺓ ﻳ ﺮ ﻫ ﻦ ﺃﹶﺑِﻲ ﻋ ﺎ ِﺯ ٍﻡﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺣ ﻋ ﻲ ﺠ ِﻌ ﺷ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﻀﹶﻠ ِﻊ ﻲ ٍﺀ ﻓِـﻲ ﺍﻟـ ـﺝ ﺷ ﻮ ـﻭِﺇ ﱠﻥ ﹶﺃﻋ ﻦ ﺿِـﹶﻠ ٍﻊ ﺖ ِﻣ ﺧِﻠ ﹶﻘ ﺮﹶﺃ ﹶﺓ ﻤ ﺎ ِﺀ ﹶﻓِﺈ ﱠﻥ ﺍﹾﻟﻨﺴﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻮﺻ ﺘﺳ ﻢ ﺍ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﺎ ِﺀﻨﺴﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻮﺻ ﺘﺳ ﺝ ﻓﹶﺎ ﻮ ﻋ ﺰ ﹾﻝ ﹶﺃ ﻳ ﻢ ﻪ ﹶﻟ ﺘﺮ ﹾﻛ ﺗ ﻭِﺇ ﹾﻥ ﻪ ﺗﺮ ﺴ ﻪ ﹶﻛ ﻤ ﺗﻘِﻴ ﺖ ﺒﻫ ﻩ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺫ ﻋﻠﹶﺎ ﹶﺃ Abû Kuraib dan Mûsa ibn Hizâm menceritakan kepada kami dari Husain ibn Ali dari Zâ`idah, dari Maisarah al-Asyja'i, dari Abû Hâzim, dari Abû Hurairah Ra., dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Terimalah wasiatku untuk memperlakukan wanita dengan baik, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya bagian yang paling bengkok pada tulang rusuk itu adalah bagian paling atas. Jika kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya. Tetapi jika kamu membiarkannya saja, maka ia akan tetap bengkok. Maka terimalah wasiatku untuk memperlakukan wanita dengan baik.'"5 Kebengkokan atau kekurangan ini, menurut Âdil Fathi Abdullâh dalam buku "Buyûtunâ Kamâ Yajib An Takûn" terdapat pada diri setiap wanita, yaitu berupa perbedaan fisiknya dengan laki-laki, serta perasaannya yang
sangat
sensitif,
mudah
tersinggung
dan
terpengaruh.
Demikianlah
Allah Swt. telah menciptakan wanita dalam satu kondisi yang sesuai dengan perannya dalam kehidupan ini, yaitu sebagai ibu dan isteri.6 Apa
5
Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab Ahâdîts al-Anbiyâ`, hadis no. 3084; alTirmidzi pada kitab al-Thalâq wa al-Li'ân 'An Rasûlillâh, hadis no. 1109; Ahmad pada kitab Bâqî Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 10044 dan 10436; dan al-Dârimi pada kitab alNikâh, hadis no. 2125. 6 Âdil Fathi Abdullâh, Buyûtunâ Kamâ Yajib An Takûn, (Iskandariah: Dâr alÎmân, 2003), h. 30.
71
yang disampaikan oleh Âdil Fathi Abdullâh ini merupakan salah satu bentuk pemahaman secara harfiah terhadap hadis tersebut. M. Quraish Shihab mencoba untuk memberikan alternatif lain yang berkaitan dengan pemahanam terhadap hadis tersebut. Menurutnya, hadis ini difahami oleh ulama terdahulu secara harfiah, namun tidak sedikit ulama kontemporer yang memahaminya secara metafora, Bahkan ada yang menolak
keshahihan
berpendapat
bahwa
hadis
tersebut.
Yang
memahami
hadis
tersebut
memperingatkan
secara para
metafora
lelaki
agar
menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, sehingga kaum lelaki tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun
mereka
berusaha
akibatnya
akan
fatal,
sebagaimana
fatalnya
7
meluruskan tulang rusuk.
Bahkan, ketika terjadi nusyûz8 yang dilakukan oleh sang isteri, suami dituntut untuk mengambil langkah-langkah ta`dîb dan ishlâh yang dapat
menyadarkan
perbuatan
nusyûz
sang
isteri
tersebut.
sehingga
dia
Langkah-langkah
tidak yang
lagi
mengulangi
dimaksud
adalah
memberi nasehat yang baik, berpisah ranjang dengannya bila nasehat yang diberikan tidak dapat membuahkan hasil, dan memukulnya dengan pukulan yang ringan bila nusyûz-nya telah berlebihan dan melampaui batas. Ketiga langkah
itu
harus
diambil
secara
bertahap
atau
sesuai
kebutuhan.
Maksudnya, bila isteri yang melakukan nusyûz dapat disadarkan dengan 7
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), cet. ke-8, h. 300. 8
Nusyûz, maksudnya meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyûz dari pihak isteri adalah seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. (Lihat Al-Qur`an Dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, catatan kaki no. 291, catatan kaki dari Q.S. al-Nisâ` [4]: 34.)
72
menggunakan nasehat, maka suaminya tidak boleh mengambil langkahlangkah lain. Tetapi bila tidak, maka suami boleh menggunakan langkah berikutnya, yaitu berpisah ranjang dengannya. Adapun bagi wanita yang tidak bisa disadarkan dengan menggunakan kedua langkah tersebut, maka suaminya pukulan
boleh ringan.
memberikan Dalam
hal
ta`dîb ini,
yang
perlu
bersifat
diingat
fisik
bahwa
yaitu
berupa
al-Qur`an
telah
menjadikan ta`dîb jenis ini sebagai sarana perbaikan yang terakhir. Jadi, seperti yang dikatakan oleh Ra'd Kâmil al-Hiyâli dalam buku "al-Khilâfât al-Zaujiyyah fî Dhau` al-Kitâb wa al-Sunnah" ta`dîb ini adalah ibarat alternatif
terakhir
yang
tidak
boleh
digunakan
kecuali
dalam
keadaan
darurat.9 Selain itu, perlu diingat pula bahwa yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah pukulan yang ringan dan tidak menyakitkan, karena tujuan utama
dari
pukulan
tersebut
hanyalah
untuk
mengingatkan
sang isteri
bahwa apa yang dilakukannya itu salah, bukan untuk menyakitinya ataupun menyiksanya. Dengan demikian, maka pukulan yang menyakitkan, seperti yang biasa dilakukan oleh seorang tuan terhadap budaknya, tidak boleh digunakan
untuk
memberikan
ta`dîb
kepada
isteri
ketika
melakukan
10
nusyûz.
9 Ra'd Kâmil al-Hiyâli, al-Khilâfât al-Zaujiyyah fî Dhau` al-Kitâb wa al-Sunnah, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1994), cet. ke-1, h. 59-60. 10 Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ja'far bin 'Aun mengabarkan dari Hisyâm bin 'Urwah, dari ayahnya, dari 'Abdullâh bin Zam'ah, dia berkata: "Pada suatu hari, Rasulullah Saw. menceramahi orang-orang, dan beliau menasehati mereka tentang kaum perempuan. Lalu beliau bersabda: 'Bagaimana mungkin seorang suami memukul isterinya layaknya memukul seorang budak, padahal boleh jadi dia akan menggaulinya di akhir hari.'" Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Nikâh, bab 93, hadis no. 5204; dan al-Dârimi pada kitab al-Nikâh, hadis no. 2220.
73
Isteri juga memiliki kewajiban yang sama dalam kaitannya dengan amar makruf nahi mungkar. Sebagian orang meyakini bahwa kewajiban amar makruf nahi mungkar hanya bagi kaum laki-laki saja. Keyakinan mereka tidaklah benar, karena kewajiban tersebut juga dibebankan kepada kaum
wanita.
Menurut
'Ashâm
ibn
Muhammad
al-Syarîf,
mengutip
pendapat Imam Ibn al-Nuhâs al-Dimasyqi, penyebutan kata al-mu`minât pada Q.S. al-Taubah (9): 71 merupakan dalil yang menunjukkan bahwa amar makruf nahi mungkar diwajibkan kepada kaum wanita sebagaimana ia telah diwajibkan kepada kaum laki-laki.11 Amar makruf nahi mungkar yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya merupakan satu hal penting yang dapat membantu meningkatkan keimanan suami, yang pada akhirnya dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah dan penuh dengan mawaddah dan rahmah. Isteri seperti ini dianggap
oleh
Nabi
Saw.
sebagai
harta
yang
terbaik.
'Abdurrahmân
meriwayatkan dari Isrâ`îl, dari Manshûr, dari Sâlim bin Abî al-Ja'd, dari Zaubân, bahwa ketika diturunkan firman Allah: "Dan orang-orang yang menyimpan
emas
dan
perak
dan
tidak
menafkahkannya
pada
jalan
Allah…", para sahabat sedang bersama Rasulullah Saw. dalam salah satu perjalanan
beliau.
Sebagian
sahabat
beliau
pun
berkata:
"Telah
turun
kepada kami (ayat) yang berkaitan dengan emas dan perak. Seandainya kami mengetahui harta yang terbaik, niscaya kami akan mengejarnya." Rasulullah Saw. pun bersabda: "Harta yang paling baik adalah lisan yang
11 'Ashâm ibn Muhammad al-Syarîf, Mukhâlafât fî Buyûtinâ, (Iskandariah: Dâr al-Îmân, 2004), h. 217.
74
senantiasa
berdzikir,
hati
yang
selalu
bersyukur,
dan
seorang
mukminah yang dapat membantu meningkatkan keimanan suaminya."
isteri
12
Di antara materi amar makruf nahi mungkar yang bisa disampaikan antara
suami-isteri
adalah
saling
mengingatkan
shalat
dan
ibadah
pasangannya. Suami harus mengingatkan isteri bila isterinya itu lupa atau lalai untuk melaksanakan shalat ataupun ibadah-ibadah lainnya, demikian pula sebaliknya. Hal ini tidak hanya terbatas pada ibadah-ibadah fardhu saja, melainkan juga pada ibadah-ibadah sunah seperti shalat malam, puasa sunah ataupun yang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ya'qûb bin Ibrâhîm dari Yahyâ, dari Ibn 'Ajlân, dari al-Qa'qa', dari Abu dari
Shâlih,
Abu
Hurairah,
Rasulullah
Saw.
menganjurkan
agar
bila
seorang laki-laki bangun pada malam hari, lalu dia melaksanakan shalat malam, maka hendaknya dia membangunkan isterinya agar sang isteri pun ikut melaksanakan shalat, dan bila isterinya itu enggan untuk bangun, maka hendaknya dia memercikkan air ke wajah isterinya itu. Demikian pula bila seorang
wanita
bangun
pada
malam
hari
untuk
malam, maka hendaknya dia membangunkan suaminya.
melaksanakan
shalat
13
Selain amar makruf nahi mungkar dalam keluarga harus ditegakkan antara suami dan isteri, ia juga harus ditegakkan antara orang tua dan anak. 12
Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah pada kitab al-Nikâh (5) dan al-Tirmîdzi pada kitab Tafsîr Surah 9. 13
Diriwayatkan oleh Abû Daud pada kitab al-Shalâh, hadis no. 1113; al-Nasâ`i pada kitab Qiyâmul Lail, hadis no. 1592; dan Ibn Mâjah pada kitab Iqâmah al-Shalâh wa al-Sunnah Fîhâ, hadis no. 1326. Redaksinya adalah sebagai berikut: "Semoga Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, lalu melaksanakan shalat (malam) dan membangunkan isterinya. Jika isterinya itu enggan (bangun), maka dia memercikkan air ke wajah isterinya itu. Semoga Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun pada malam hari, lalu melaksanakan shalat (malam). Setelah itu, dia membangunkan suaminya. Jika suaminya itu enggan (bangun), maka dia memercikkan air ke wajah suaminya itu."
75
Orang tua, baik ayah ataupun ibu, dituntut untuk memberikan nasehatnasehat yang baik, menanamkan nilai-nilai tauhid dalam hati anak-anak, serta mengarahkan mereka agar mau melakukan perbuatan-perbuatan yang makruf dan meninggalkan setiap jenis kemungkaran. Inilah yang pernah dipraktekkan oleh Luqman al-Hakim As., terhadap anaknya yang kemudian diabadikan dalam al-Qur’an yaitu dalam Q.S. Luqmân (31): 17:
¨βÎ) ( y7t/$|¹r& !$tΒ 4’n?tã ÷É9ô¹$#uρ Ìs3Ζßϑø9$# Çtã tµ÷Ρ$#uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ öãΒù&uρ nο4θn=¢Á9$# ÉΟÏ%r& ¢o_ç6≈tƒ ∩⊇∠∪ Í‘θãΒW{$# ÇΠ÷“tã ôÏΒ y7Ï9≡sŒ Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).14 Setelah pada ayat sebelumnya, Luqman As. memberikan nasehat tentang
bahaya
melanjutkan
perbuatan
pemberian
syirik nasehat
(kemusyrikan kepada
kepada
anaknya
Allah),
dengan
dia
pun
memberikan
nasehat yang dapat menjamin kesinambungan tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang anak. Beliau memulai pemberian nasehatnya itu dengan memanggil
anaknya,
wahai
anakku,
laksanakanlah
shalat
dengan
sempurna, baik rukun maupun sunnah-sunnahnya. Kemudian di samping engkau
memperhatikan
kemungkaran, Perintahkanlah mengerjakan
dirimu
anjurkanlah secara yang
dan kepada
baik-baik
makruf
membentenginya
dan
siapa
orang pun
cegahlah
lain yang mereka
dari
kekejian
berlaku
mampu dari
dan
serupa.
engkau
ajak
kemungkaran.
Memang, engkau akan mengalami banyak tantangan dan rintangan dalam melaksanakan tuntunan Allah Swt.. Oleh karena itu, maka tabahlah dan 14
Q.S. Luqmân [31] : 17.
76
bersabarlah terhadap apa yang menimpamu dalam melaksanakan semua tugasmu. Amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada anak ini harus dilakukan sejak dini, maksudnya sejak anak masih kecil. Seorang anak harus dibiasakan sejak kecil untuk melakukan hal-hal yang baik, karena sesungguhnya hal-hal yang baik itu adalah sebuah kebiasaan. Artinya, perintahkanlah anak-anak untuk melakukan hal-hal yang baik sejak dia masih kecil sehingga mereka akan terbiasa untuk melakukannya, kemudian hal-hal yang baik itu pun akan menjadi suatu kebiasaan bagi mereka. Upaya pembiasaan seperti ini, menurut Muhammad Husain dalam buku "Thifl Mâ Qabla al-Madrasah", tidak hanya untuk hal-hal yang baik saja, tetapi juga untuk hal-hal yang tidak baik. Maksudnya, anak-anak harus dibiasakan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak baik sejak dini atau sejak dia bisa berkomunikasi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.15 Oleh
karena
Muslimin kecil,
itu,
untuk
yaitu
maka
menyuruh
sejak
berusia
Rasulullah anak-anak tujuh
Saw. mereka
tahun.
pun
memerintahkan
mengerjakan
Bahkan,
beliau
shalat
kaum sejak
memerintahkan
mereka untuk memukul anak-anak, tentunya dengan pukulan yang bersifat mendidik dan tidak menyakitkan, bila meninggalkan shalat padahal usianya sudah sepuluh tahun.16
15
Muhammad Husain, Da'wah, 2004), cet. ke-1, h. 16. 16
Thifl
Mâ
Qabla
al-Madrasah,
(Iskandariah:
Dâr
al-
Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Daud pada kitab al-Shalâh, hadis no. 418; dan Ahmad pada kitab Musnad al-Muktsirîn min al-Shahâbah, hadis no. 6402 dan 6467. Lafazh hadis ini adalah: "Mu`ammal bin Hisyâm al-Yasykari menceritakan kepada kami, dari Ismâ`il, dari Sawwâr Abî Hamzah, dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, lalu pukullah mereka
77
2. Amar
Makruf
Nahi
Mungkar
dalam
Masyarakat
(Antar
Sesama
Anggota Masyarakat) Amar makruf nahi mungkar merupakan bagian dari rasa solidaritas yang Allah Swt. tegakkan di antara orang-orang mukmin, dimana orangorang mukmin satu sama lain saling melengkapi. Sebab, pada hakekatnya mereka semua adalah bersaudara, bahkan dalam sebuah hadis Nabi Saw. mengatakan bahwa mereka adalah seperti satu tubuh dimana jika ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota-anggota yang lain pun akan ikut merasakannya, seperti disebutkan berikut ini:
ﺸ ٍﲑ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِ ﺑ ﺑ ِﻦ ﺎ ِﻥﻌﻤ ﻨﻦ ﺍﻟ ﻋ ﻲ ﻌِﺒ ﺸ ﻦ ﺍﻟ ﻋ ﺎ ُﺀﺯ ﹶﻛ ِﺮﻳ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺎ ﹶﺃﺑِﻲﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻴ ٍﺮ ﻤ ﻧ ﺑ ِﻦ ِﺒ ِﺪ ﺍﻟﱠﻠﻪﻋ ﻦ ﺑ ﺪ ﻤ ﺤ ﻣ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﺴ ِﺪ ﺠ ﻣﹶﺜ ﹸﻞ ﺍﹾﻟ ﻢ ﺎ ﹸﻃ ِﻔ ِﻬﺗﻌﻭ ﻢ ِﺣ ِﻤﻬ ﺍﺗﺮﻭ ﻢ ﺩ ِﻫ ﺍﺗﻮ ﲔ ﻓِﻲ ﺆ ِﻣِﻨ ﻤ ﻣﹶﺜ ﹸﻞ ﺍﹾﻟ ﺳﱠﻠﻢ ﻭ ﻴ ِﻪ ﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻰﺤﻤ ﺍﹾﻟﻬ ِﺮ ﻭ ﺴ ﺴ ِﺪ ﺑِﺎﻟ ﺠ ﺮ ﺍﹾﻟ ﺎِﺋﻪ ﺳ ﻰ ﹶﻟﺍﻋﺗﺪ ﻮ ﻀ ﻋ ﻪ ﻨﺘﻜﹶﻰ ِﻣﺷ ِﺇﺫﹶﺍ ﺍ Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Numair menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepada kami, Zakariyâ menceritakan kepada kami, dari al-Sya'bi dari al-Nu'mân ibn Basyîr, dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu tubuh; Apabila salah anggota mengeluhkan rasa sakit, maka seluruh anggota tubuh pun akan ikut merasakannya, yaitu dengan cara tidak bisa tidur dan cara demam.'" 17 Oleh karena itu, apabila seorang Muslim melihat orang Muslim lainnya
melakukan
makruf,
maka
melakukan
dia
kemungkaran pun
kemungkaran
harus ataupun
atau
meninggalkan
mengingatkannya. meninggalkan
Ini
perbuatan disebabkan
perbuatan
yang
yang karena makruf
bila meninggalkan shalat padahal mereka sudah berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.'" 17
Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Adab, hadis no. 5552; Muslim pada kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Âdâb, hadis no. 4685; dan Ahmad pada kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17632.
78
merupakan penyakit ganas yang apabila dibiarkan, maka ia akan merajalela dan
akan
menyerang
anggota-anggota
tubuh
lainnya.
Solidaritas
sosial
dalam bentuk amar makruf nahi mungkar ini telah disinyalir oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Taubah (9): 71. Dalam ayat tersebut, Allah Swt. menegaskan bahwa orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyeru orang lain untuk mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang
mungkar,
mendirikan
shalat,
menunaikan
zakat
dan
mereka
taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu adalah orang-orang yang akan diberi rahmat oleh Allah. 18 Ibn Jarîr al-Thabarî dalam kitabnya "Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl alQur`ân" memahami lafazh mu`min pada ayat ini, dengan arti laki-laki dan perempuan yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta saling tolong menolong
antara
sesama
mereka.
Mereka
mengajak
orang
lain
untuk
beriman kepada Allah, lalu mereka mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mentaati perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Karena sifat inilah, Allah Swt. pun mengasihi mereka, melepaskan mereka dari api neraka dan memasukkannya ke dalam surga. Amar makruf nahi mungkar pada ayat ini, menurut Ibn Jarîr dengan merujuk kepada sebuah riwayat dari Abû al-‘Âliyah, maksudnya adalah mengajak
orang-orang
untuk
meninggalkan
kemusyrikan
menuju
Islam,
serta mencegah mereka dari penyembahan terhadap berhala dan syaitan.19
18
Q.S. al-Taubah (9): 71.
19 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-3, jilid 6, h. 415.
79
Menurut Sayyid Muhammad Nûh, berdasarkan prinsip solidaritas, tolong menolong serta jalinan kebersamaan, kekompakkan dan kesatuan antara sesama Muslim yang melahirkan tanggung jawab amar makruf nahi mungkar antar sesama individu Muslim ini, maka setiap individu Muslim kapan dan di mana pun berada, di kota maupun di pelosok desa, ia wajib mengadakan perubahan, baik secara perorangan ataupun kelompok. Namun harus menjadi catatan bahwa perubahan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip yang Islami, menyeluruh dan terpadu, juga diupayakan agar keinginan
dan
kalangan
kaum
semangat Muslimin,
untuk
melakukan
sehingga
amar
perubahan makruf
itu
nahi
merata
mungkar
di serta
dakwah kepada keimanan menjadi kebiasaan setiap Muslim.20 Jamâluddîn al-Afghâni -seperti yang dikatakan oleh Ali ‘Abd alHalîm Mahmûd- merupakan orang pertama di antara tokoh lain yang menggerakkan
ide
dakwah
individu
untuk
mewujudkan
kesatuan
dan
persatuan Islam. Jamâluddîn al-Afghâni adalah seorang muslim pertama yang sadar akan bahaya dominasi Barat atas dunia Islam. Ia menyadari bila hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka hal itu akan merusak masa depan Islam dan kaum muslimin. Ia yakin, bila dominasi Barat tidak segera dipatahkan, maka akan terjadi bencana besar yang akan melanda dunia Islam. Jamâluddîn al-Afghâni berjuang sendiri menghabiskan usianya demi membangun
dunia
yang
menimpa
akan
Islam
dan
mereka.
memperingatkan Ia
menghimbau
mereka kaum
terhadap
bahaya
muslimin
untuk
menyiapkan genderang perang melawan kaum kafir.21
20
Sayyid Muhammad Nûh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam, (Solo: Citra Islami Press, 1996), cet. ke-1, h. 9. 21
Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân alMuslimîn, (alih bahasa: Syafril Halim, Ikhwanul Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, jilid 1, h. 25.
80
Hasan al-Bannâ merupakan tokoh dakwah selain Jamâluddîn alAfghâni di atas. Hasan al-Bannâ telah berhasil menarik hati sebagian besar masyarakat Mesir, ia dapat menyatukan mereka dalam masalah-masalah yang
baik,
membakar
semangat
perjuangan
Islam
dan
mengajak
22
Usaha ini
menumbuhkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. kemudian nama
berkembang
Ikhwanul
menjadi
Muslimin,
gerakan
kelompok
dakwah dakwah
kelompok yang
yang
banyak
diberi
mewarnai
pergolakan politik di pemerintahan Mesir tahun 1928 dan ikut aktif dalam pengusiran penjajahan Inggris di Mesir.
B. Umat Karena begitu pentingnya dakwah, maka al-Qur’an pun menyebutnya dengan istilah ahsan qaulan, yang berarti ucapan atau perkataan yang paling baik.23 Predikat khair ummah, yaitu umat terbaik atau umat pilihan, hanya diberikan Allah kepada sekelompok orang yang aktif terlibat dalam kegiatan amar
makruf
nahi
mungkar.24
Sebaliknya,
laknat
(kutukan)
Allah
akan
diturunkan kepada umat yang melalaikan tugas amar makruf nahi mungkar tersebut.25 memahami
22
Bila
difahami
bahwa
Ali ‘Abd Muslimîn, jilid 1, h. 29.
amar
lebih makruf
al-Halîm
23
Q.S. Fushshilat (41): 33.
24
Q.S. Âli 'Imrân (3): 110.
25
Q.S. al-Mâ`idah (5): 79.
jauh,
maka
nahi
Mahmûd,
setiap
mungkar
Manhaj
Muslim
telah
al-Tarbiyyah
tentu
menjadi
‘Inda
akan iltizâm
al-Ikhwân
al-
81
(keharusan)
yang
tidak
dapat
ditawar-tawar
lagi
oleh
seorang
Muslim,
apalagi sampai ditinggalkannya. Pada
masa
sekarang
ini,
masih
banyak
orang
Islam yang tidak
menghiraukan kewajiban dakwah, amar makruf nahi mungkar dan jihad fî sabîlillâh.
Menurut
Sayyid
Muhammad
Nûh
dalam
buku
"Dakwah
Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam", semua itu berangkat dari persepsi yang salah bahwa dakwah merupakan tanggung jawab ulama yang hanya terbatas dalam bentuk ceramah, khutbah dan mau'izah saja.26 Ikatan
keimanan
kepada
satu
Tuhan
dan
juga
kepada
Nabi-Nya
Muhammad Saw., dapat dijadikan sebagai perekat persaudaraan antara satu komunitas
Muslim
dengan
komunitas
Muslim
lainnya
dengan
saling
memberi nasehat yang baik dan mengingatkan mereka dari hal-hal yang buruk. Hal karyanya
ini pernah
"Bain
disinggung oleh Abû al-A’lâ al-Maudûdi dalam
al-Da’wah
al-Qaumiyyah
wa
al-Râbithah
al-Islâmiyyah".
Mengutip perkataan Abû al-A’lâ al-Maudûdi, Muhammad ibn Muhammad al-Amîn al-Anshâri menjelaskan bahwa setiap kelompok manusia yang ada di
permukaan
bumi
ini
dipersatukan
atas
nama
umat,
kemudian
umat
manusia ini saling berkaitan dengan umat lain, dimana keterkaitan ini tidak lepas dari enam ikatan: Pertama, ikatan keturunan atau jenis kelamin; Kedua, ikatan tempat lahir atau negara; Ketiga, ikatan bahasa; Keempat, ikatan warna kulit dan perasaan; Kelima, ikatan kepentingan sosial; Dan keenam, ikatan aturan pemerintahan.27
26
Sayyid Muhammad Nûh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam, h. 9
27 Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', (Riyâdh: Maktabah al-Anshâr, 1984), h. 153.
82
Keenam ikatan di atas mengikat setiap umat. Bahkan tidak ada yang dapat mengingkari bahwa keenam ikatan kepentingan ini telah melahirkan beberapa kesatuan umat yang kuat, meskipun tingkat kekuatannya berbedabeda sesuai dengan tingkat perbedaan karakter individu yang ada pada masing-masing umat. Sebagaimana tidak ada yang dapat mengingkari bahwa manusia pernah ditimpa bencana besar sehingga alam pun memisahkan dan memecah belah mereka menjadi pecahan umat yang banyak. Kalau ikatan-ikatan ini saja sudah cukup mengantar suatu umat untuk melakukan aktifitas dakwah dan menyebarkan amar makruf nahi mungkar kepada umat lain, maka bagaimana jadinya bila umat yang akan diberikan dakwah itu adalah umat Islam sendiri, umat yang mengimani satu Tuhan dan satu pencipta serta memiliki satu keimanan yang membenarkan apa yang disampaikan
oleh
Rasulullah
Saw..
Oleh
karena
itu,
maka
sudah
sepantasnyalah umat Islam saling menyampaikan amanah amar makruf nahi mungkar
di
diinginkan
antara
Abû
sesama
al-A’lâ
mereka.28
al-Maudûdî,
Setidaknya yaitu
agar
seperti setiap
inilah
yang
Muslim
mau
menyadari akan pentingnya penyebarluasan amar makruf nahi mungkar antar sesama umat Islam sendiri. Mungkin ini pula yang dikehendaki oleh Allah Swt. ketika Dia menegaskan bahwa umat manusia akan terlepas dari kerugian jika mereka mau beriman, mengerjakan amal saleh dan melakukan aktifitas amar makruf nahi mungkar dengan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat
menasehati
28
supaya
menetapi
kesabaran.29
Karena
begitu
Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', h. 154 29
Q.S. al-'Ashr (103): 1-3.
83
pentingnya upaya saling mengingatkan kebaikan antar sesama Muslim, maka para sahabat Nabi pun saling berwasiat dengan menggunakan ayat-ayat ini. Al-Thabranî meriwayatkan kebiasaan sejumlah sahabat Nabi; yaitu bahwa ketika dua orang sahabat Nabi saling bertemu maka mereka tidak akan berpisah kecuali setelah keduanya membaca Q.S. al-'Ashr dari awal hingga akhir surah. Setelah itu mereka pun akan berpisah dengan saling berjabatan tangan. Al-Qur’an menganggap umat Islam sebagai umat terbaik atau umat pilihan (khair ummah) yang mau menegakkan amar makruf nahi mungkar. Ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan mereka menjadi umat yang terbaik adalah karena mereka mau bekerja sama untuk saling menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Predikat ini akan tetap mereka sandang bila amar makruf nahi mungkar di antara mereka ditegakkan. Dalam Q.S. Âli 'Imrân (3): 110, Allah Swt. menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia selama mereka mau menyuruh kepada yang makruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah. Pada ayat tersebut, Allah juga menegaskan bahwa sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Meskipun di antara mereka ada yang beriman, akan tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.30 Ketika bahwa
umat
menafsirkan Islam
adalah
ayat
tersebut,
umat
yang
Wahbah terbaik
al-Zuhaili
karena
menjelaskan
mereka
memiliki
keimanan yang benar dan sempurna serta melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Mereka akan tetap menjadi umat yang terbaik dan
30
Q.S. Âli 'Imrân (3): 110.
84
paling utama selama mereka memenuhi syarat-syarat dan menjaga ketiga prinsip tersebut.31 Dari ayat di atas, dapat difahami bahwa umat Islam merupakan umat terbaik, dimana salah satu faktor yang menyebabkan mereka menjadi umat yang terbaik adalah karena mereka mau melaksanakan amar makruf nahi mungkar, sehingga dapat difahami secara mafhûm mukhâlafah bahwa jika mereka mengabaikan amar makruf nahi mungkar maka mereka tidak dapat lagi menjadi umat yang terbaik, bahkan mereka dapat menjadi umat yang terpuruk dan dilaknat oleh Allah Swt., seperti yang dialami oleh Bani Isra`il, seperti yang ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Mâ’idah (5): 78-79. Pada ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa orang-orang kafir dari Bani Isra`il
dilaknat
dengan
lisan
Daud
dan
‘Isa
putera
Maryam.
Hal
itu
disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Ketika ada salah seorang di antara mereka yang berbuat kemungkaran, maka mereka tidak mau mengingatkannya. Bahkan orang-orang alim di antara mereka hanya diam saja ketika melihat suatu kemungkaran.32 Pada
ayat
lain,
yaitu
pada
Q.S.
Âli
'Imrân
(3):
104,
Allah
Swt. menekankan bahwa hendaknya di antara umat Islam ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Ayat ini ditutup dengan penegasan dari Allah bahwa orang-orang yang mau melakukan hal-hal tersebut merupakan orang-
31
Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1998), juz
32
Lihat Q.S. al-Mâ’idah (5): 78-79.
4, h. 44.
85
orang
yang
beruntung,
maksudnya
orang-orang
yang
akan
memperoleh
33
keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat.
Kedua ayat dalam Q.S. Âli 'Imrân tersebut (ayat ke-104 dan 110) mengandung maksud bahwa umat Islam harus bersatu padu dalam rangka menegakkan amar makruf nahi mungkar sehingga mereka akan tetap menjadi umat yang terbaik dan termasuk orang-orang yang beruntung, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika menafsirkan Q.S. Âli 'Imrân (3): 110, Muhammad Rasyîd Ridhâ menyebutkan dalam kitab tafsir al-Manâr-nya bahwa ayat ini mengandung ajakan kepada umat Islam untuk menyampaikan amar makruf nahi mungkar. Setelah Allah memerintahkan umat Islam agar bersatu padu dengan cara berpegang teguh di jalan Allah Swt. dimana dipersatukannya hati mereka merupakan sebuah nikmat yang dianugerahkan kepada orangorang mukmin, lalu Allah melarang mereka bercerai berai dan berselisih faham dalam urusan agama bahkan mengancam pelakunya dengan adzab yang pedih, Allah pun menyifati mereka dengan khair ummah (sebaik-baik umat) dan mengunggulkannya atas umat-umat lain. Sebab, hanya merekalah yang mau menegakkan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah Swt.. Penggunaan
lafazh
kuntum
di
sini
mengandung
makna
ta'rîdh
(sindiran) karena pada umumnya masyarakat pada saat itu gemar melakukan kejahatan sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan mana yang makruf dan mana yang mungkar. Mereka tidak tahu lagi bagaimana cara beriman yang benar. Kemudian mereka mengajak orang lain melakukan kejahatan dan mencegahnya dari segala macam kebaikan. Sementara di saat yang
33
Lihat Q.S. Âli 'Imrân (3): 104.
86
sama, umat Islam selalu memerintahkan yang makruf, mencegah dari yang mungkar serta beriman dengan cara yang benar.34 Sejumlah
mufassir
seperti
Ibn
Katsîr,
al-Râzi
dan
al-Qurthubi,
menjelaskan bahwa lafazh min pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 104 berfungsi sebagai penjelas (min bayâniyyah) dan bukan berfungsi untuk menunjukkan arti sebagian (min tab'îdhiyyah), sesuai dengan petunjuk yang terkandung pada lafazh sebelumnya. Menurut mereka, ayat ini mengandung perintah kepada seluruh umat Islam untuk berdakwah dan menegakkan amar makruf nahi mungkar, tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing.35 Namun
pendapat
yang
mengatakan
bahwa
kewajiban
untuk
mengemban tugas amar makruf nahi mungkar ini ditujukan kepada semua Muslim, dibantah oleh pendapat yang menilai bahwa lafazh min pada ayat tersebut merupakan min tab'îdhiyyah yang menunjukkan arti sebagian. Selain itu,
amar
makruf
nahi
mungkar
merupakan
sebuah
profesi
yang
membutuhkan adanya keahlian tertentu dan juga ilmu, yang tidak mungkin dimiliki oleh setiap Muslim. Oleh karena itu, maka sudah barang tentu perintah
untuk menegakkan
amar
makruf
nahi mungkar ini pun hanya
ditujukan kepada orang-orang tertentu saja.36 Dalam
kritikannya
menegaskan
bahwa
disebabkan
karena
terhadap
kejahilan kurangnya
umat
orang-orang tentang
orang
Islam
yang
berilmu,
ajaran-ajaran yang
al-Ghazâli
agama
mau
adalah
berdakwah.
34
Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), cet. ke- 2, juz 4, h. 57-58. 35
Muhammad Abû al-Fattâh al-Bainûni, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Da’wah, (Beirut, Mu’assasah al-Risâlah, 1991), cet. ke-1, h. 31. 36
Muhammad Abû al-Fattâh al-Bainûni, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Da’wah,, h. 33.
87
Menurutnya,
setiap
Muslim
yang
dianggap
alim
(berilmu)
dalam
satu
perkara tertentu, maka dia wajib untuk menyampaikan ilmunya itu sekalipun ilmu yang dimilikinya hanya sedikit saja.37 Terlepas dari perdebatan kedua pendapat ini, pada dasarnya para ulama sepakat bahwa perintah amar makruf nahi mungkar adalah wajib hukumnya. Meskipun demikian, perlu difahami bahwa perbuatan makruf itu terbagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang wajib dan yang sunah. Dari sini, maka
'Abd
al-Jabbâr
ibn
Ahmad,
seorang
tokoh
aliran
Muktazilah,
berpendapat bahwa hukum menyuruh yang makruf pun terbagi menjadi dua, yaitu wajib untuk perbuatan yang wajib dan sunah untuk perbuatan yang sunah.38 Kehadiran
jama’ah-jama’ah
dakwah
atau
gerakan-gerakan
dakwah
(harakah al-da’wah) merupakan bentuk respon positif sebagian umat Islam terhadap kondisi umat Islam dewasa ini yang semakin jauh dari ajaran-ajaran agama mereka. Di antara jama'ah-jama'ah dan gerakan-gerakan tersebut, ada sebagian yang menitikberatkan perjuangan mereka pada gerakan dakwah dan politik, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jama’ah Islamiyah di Pakistan dan Front Pembela Islam (FPI) di Indonesia. Ada pula yang berkonsentrasi pada pendidikan moral individu dengan tradisi tasawuf dan menghindari keterlibatan dalam politik seperti Jama’ah Tabligh di India serta gerakangerakan dakwah lainnya, baik yang ada di dalam maupun luar negeri, yang dibentuk dengan tujuan untuk menyuruh masyarakat Islam melakukan yang makruf dan mencegah mereka dari berbagai macam kemungkaran. 37 Maulânâ Muhammad Ilyâs, Pedoman Bertabligh Bagi Kepada Kaum Muslimin, (Yogyakarta: al-Shaff, 2003), cet. ke-2, h. 23 . 38 'Abd al-Jabbâr ibn Wahbah, 1996), cet. ke-3, h. 742.
Ahmad,
Syarh al-Ushûl
Umat
al-Khamsah,
Islam,
(Kairo:
Seruan
Maktabah
88
Ikhwanul dakwah
Muslimin
yang
menyatukan
diadakan
umat
pada oleh
dalam
pertama Hasan
kebaikan,
kalinya
al-Bannâ
hanya di
mengobarkan
berupa
kajian
masjid-masjid semangat
guna
perjuangan
dalam dada kaum Muslimin, serta menegakkan nilai-nilai luhur Islami dalam kehidupan sehari-hari. Usaha ini kemudian mendapat tanggapan dari banyak orang. Maka pada bulan Zulqaidah 1346 H/ Maret 1928 M, Hasan al-Bannâ pun meresmikan usaha dakwah ini dengan nama Ikhwanul Muslimin di Isma’iliyyah, salah satu Propinsi yang ada di Mesir. Menurut analisa Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd dalam bukunya yang berjudul
"Manhaj
al-Tarbiyyah
‘Inda
al-Ikhwân
al-Muslimîn",
Ikhwanul
Muslimin berkonsentrasi pada beberapa kajian. Pertama, kajian al-Qur’an dan hadis. Kedua, kajian sejarah, biografi Nabi Muhammad Saw., dan biografi
orang-orang
shaleh.
Ketiga,
melakukan
pelatihan
dakwah
bagi
39
anggota.
Keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam kancah politik berujung pada penjeblosan Hasan al-Bannâ ke dalam penjara, saat gerakan ini pindah ke Kairo, Ibu Kota Mesir, tahun 1932. Di tempat ini, Ikhwanul Muslimin melebarkan
dakwah
Islamnya,
selain
berhasil
menerbitkan
surat
kabar,
majalah dan risalah seperti Akbâr Ikhwân al-Muslimîn, Risâlah al-Mursyîd, Majallah
Syu’â
penyambung Muslimin
dan
lidah
menjadi
al-Ta’âwun.
kelompok titik
ini
perubahan
Dua
majalah
ini
dan
terbitnya
di
bidang
kemudian
menjadi
surat
kabar
Ikhwanul
dakwah
dan
informasi.
Ikhwanul Muslimin ikut terlibat dalam dunia politik seperti yang dilakukan tahun
1939. 39
Kelompok
ini
mengemukakan
pendapatnya
tentang
upaya
Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân al-Muslimîn, (Alih bahasa: Syafril Halim, Ikhwanul Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, h. 29.
89
perbaikan dalam negeri Mesir yang disampaikan kepada perdana menteri saat pemerintahan al-Nahas Pasha. Namun usaha ini mendapat penentangan dari
pemerintah
yang
berujung
kepada
dijebloskannya
Hasan
al-Bannâ
berikut wakil dan sekretarisnya ke dalam penjara. Pada tahun berikutnya, ia dipindah-kerjakan sebagai guru SD di Qana.40 Jama’ah dakwah lain adalah Jama’ah Tabligh. Gerakan Jama’ah ini, didirikan
oleh
Syeikh
Maulâna Muhammad Ilyâs (1887-1948).41
Gerakan
yang berkonsentrasi pada dakwah dan tasawuf yang berasal dari India dan sekarang telah menyebar ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ini, memiliki gerakan
latar
belakang yang sama dengan
Jama’ah
Islamiyah
yang
didirikan
gerakan-gerakan di
Lahore,
India
lain
seperti
Britania
-
sekarang bernama Pakistan- oleh Abû al-A’lâ al-Mudûdi (1903-1979).42 Dia adalah seorang tokoh kharismatik, sufi dari tarekat Chistiyah, dan ulama lulusan Dâr al-‘Ulûm di Deoband. Oleh karenanya, akar intelektual Jama’ah Tabligh pun tertanam kokoh pada tradisi tasawuf dan gerakan reformasi ulama Deoband.43
40
Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân al-Muslimîn,
h. 33-36. 41
Maulânâ Muhammad Ilyâs al-Kandahlawi (1887-1948 M) lahir di kawasan Muzhafar Nagar Utarpradesh, India. Ia berasal dari lingkungan keluarga berkedudukan tinggi dan ahli agama. Ayahnya bernama Maulânâ Muhammad Ismâ`il, dalam dirinya mengalir darah keturunan Abû Bakar al-Shiddîq Ra.. (Lihat Sayyid Abû Hasan ‘Ali Nadwi, Maulânâ Muhammad Ilyâs, [alih bahasa oleh: Maroahkan Ahmad: Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulânâ Muhammad Ilyas], [Yogyakarta: al-Shaff, 2005], cet. ke-3, h. 5-6.) 42 Syamsurizal Pangabean, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Dalam Organisasi dan Gerakan Islam, (t.tp., t.th.), jilid 6, h. 95-96. 43 Syamsurizal Pangabean, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Dalam Organisasi dan Gerakan Islam, h. 96.
90
Bila gerakan-gerakan Islam lainnya yang ada pada saat itu seperti Jama’ah Islamiyyah ikut terjun dalam dunia politik dengan menuntut adanya pemisahan negara dari umat Islam, Jama’ah Tabligh justru meninggalkan panggung
politik.
Sebagai
gantinya,
Jama'ah
Tabligh
lebih
memfokuskan
perhatiannya pada aspek pendidikan moral individu dan masyarakat Muslim. Inilah yang menjadi pilihan gerakan Jama’ah Tabligh.44 Di Indonesia, juga muncul beberapa gerakan dakwah seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbub al-Tahrir, Jama’ah Islamiyah, Jama’ah Tabligh dan lain-lain. FPI misalnya, adalah gerakan yang diketuai oleh Habib Rizieq Syihab yang didirikan tahun 1998 dengan latar belakang rasa muak sejumlah habib dan ulama melihat kezhaliman dan kemungkaran yang merajalela di kalangan masyarakat.45 Melihat belakang
dan
memahami tersebut
semangat gerakan-gerakan tujuan
dan
dapat
berdirinya,
menyadari dianggap
yang
ajaran-ajaran
sebagai
di atas dengan dapat Islam,
penetralisir
di
membantu maka
perbedaan umat
latar dalam
gerakan-gerakan
tengah-tengah
kehidupan
umat yang jahil akan nilai-nilai Islam dan sudah mulai meninggalkannya. Di samping juga sebagai perekat iman dan persaudaraan antar sesama Muslim sesuai ajaran Islam.46
44 Syamsurizal Pangabean, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Dalam Organisasi dan Gerakan Islam, h. 96. 45 Syahrul Effendi, Yudi Pramuka, Habib-FPI Gempur Playboy, (Jakarta: Yudi Pramuka, 2006), h. 63. 46 Lihat Ahmad Fâiz, Tharîqah al-Da’wah, (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1992), cet. ke-13, h. 187.
91
C. Negara Penegakan amar makruf nahi mungkar di samping dibutuhkan usaha maksimal dari individu dan kelompok dalam masyarakat Islam, juga tak kalah pentingnya dibutuhkan keterlibatan pemangku kekuasaan yang dipilih oleh masyarakat banyak guna memberikan sangsi kepada para pelanggar hukum-hukum Islam yang harus dipatuhi. Di sini, negara diartikan sebagai instansi struktural kekuasaan yang dapat memberikan penghargaan kepada pelaku kebaikan dan sangsi kepada pelanggar moral dan nilai-nilai luhur agama. Perintah untuk mengemban tugas amar makruf nahi mungkar bagi para pemegang kekuasaan (pemerintah), telah disinyalir oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Hajj (22): 40-41. Pada ayat ke-40, Allah memberikan jaminan bahwa Dia pasti akan menolong orang-orang yang menolong agama-Nya dan bahwa Dia mampu untuk mewujudkan hal itu karena sesungguhnya Dia adalah Maha Kuat lagi Maha Perkasa, sementara pada ayat ke-41, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang menolong agama-Nya itu adalah orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.47 Peneguhan
kedudukan
seperti
yang
dimaksud
pada
ayat
di
atas,
menurut al-Alûsi diperkuat oleh al-Qurthubî, adalah jabatan yang bersifat umum bagi setiap orang yang diberikan kedudukan oleh Allah Swt. di muka bumi.48 Meskipun sesuai dengan sabab nuzûl-nya, ayat ini merupakan berita
47
48
Q.S. al-Hajj (22): 40-41.
Abû al-Fadhl Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsânî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001 M), jilid 7, cet. ke-1, h.
92
gembira bagi kaum muhajirin akan pertolongan Allah atas keadaan yang mereka alami, namun ayat ini juga diperuntukkan bagi orang-orang yang hidup setelah mereka. Karena pada dasarnya, al-'Ibrah bi umûm al-lafzhi la bi khushûs al-sabab (Pelajaran atau hukum diambil berdasarkan keumuman lafazhnya dan bukan pada kekhususan sebabnya). Ayat ini memuji orangorang
mukmin
keistimewaan
dan
menerangkan
kedudukan/pangkat
menegakkan
amar
makruf
sifat-sifat
di
nahi
muka
mungkar
mereka bumi
yang
lalu
sehingga
diberikan
mereka
mereka
pun
mau berhak
mendapatkan pertolongan Allah Swt.. Menurut kewajiban
amar
Shâlih
ibn
makruf
‘Abdullâh
nahi
Darwis,
mungkar
bagi
ayat
ini
mengisyaratkan
orang-orang yang diberikan
keistimewaan jabatan atau pangkat termasuk ulama. Dari sini, maka para ulama pun kemudian sepakat bahwa perintah amar makruf nahi mungkar bagi penguasa (pemimpin) dan juga ulama hukumnya adalah fardhu ‘ain.49 Penegakkan amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh pihak penguasa atau pemerintah ini sangat penting dan memiliki pengaruh yang besar
dalam
menjadikan
masyarakat
mau
melaksanakan
apa
yang
diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Sebab, penegakkan amar makruf nahi mungkar oleh pihak pemerintah ini tidak hanya dilakukan dengan
menggunakan
kekuasaan diwujudkan
yang
lisan
saja,
mengandung
dalam
bentuk
melainkan
unsur
pemberian
kekuatan. sangsi
juga
dengan
Penggunaan yang
telah
menggunakan kekuasaan
ditetapkan
ini oleh
164., jilid 7, h. 164. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr alKutub al-'Ilmiyyah, 1993), jilid 12, h. 49. 49
Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum, (alih bahasa: Muhammad ‘Abdul Ghaffâr, Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. ke-1, h. 50-51.
93
undang-undang, sehingga hal ini akan membuat setiap orang merasa takut bila dirinya tidak melaksanakan apa yang diperintahkan ataupun menjauhi apa yang dilarang. Dari sini, maka Nabi Saw. pun menempatkan penegakkan amar makruf nahi mungkar dengan menggunakan tangan (kekuasaan) berada pada
tingkatan
tertinggi,
sebelum
amar
makruf
nahi
mungkar
dengan
menggunakan lisan dan hati.50 Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari 'Abdullâh ibn Mas'ûd, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa tidak ada seorang Nabi pun yang diutus oleh Allah pada suatu umat sebelum beliau, melainkan dari umat tersebut ia memiliki sejumlah pengikut dan sahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti
perintahnya.
Kemudian
setelah
mereka
itu
muncul
generasi-
generasi penerus yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan
apa
yang
tidak
diperintahkan
kepada
mereka.
Barangsiapa
memerangi mereka dengan menggunakan tangannya, maka dia itu mukmin; barangsiapa
memerangi mereka dengan menggunakan lisannya, maka dia itu
mukmin; dan barangsiapa memerangi mereka dengan menggunakan hatinya, maka dia juga mukmin. Setelah itu, tidak ada iman sedikitpun meskipun hanya sebesar biji sawi.51 Dalam tataran masyarakat Indonesia, agar tugas amar makruf nahi mungkar yang harus diemban oleh pemerintah ini dapat terlaksana dengan 50
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa barangsiapa di antara kaum Muslimin melihat kemungkaran (dilakukan), maka hendaklah dia merubahnya dengan menggunakan tangannya; Jika dia tidak mampu, maka hendaklah dia merubahnya dengan menggunakan lisannya; Jika tidak mampu juga, maka hendaklah dia merubahnya dengan menggunakan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim pada kitab al-Îmân, hadis no. 70; Ahmad pada kitab Bâqi Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 10651; al-Tirmidzi pada kitab al-Fitan 'an Rasûlillâh, hadis no. 2098; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Shalâh, hadis no. 963. 51 Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim pada kitab al-Îmân, hadis no. 71; dan Ahmad pada kitab Musnad al-Muktsirîn min al-Shahâbah, hadis no. 4148 dan 4170.
94
baik, maka harus ada kerja sama yang baik antara pihak legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
melaksanakan
Kemudian
tugasnya
para
dengan
penegak
baik.
Di
hukum sini,
harus
kami
benar-benar
menyamakan
para
penegak hukum dengan para petugas amar makruf nahi mungkar yang ada di negara-negara yang menerapkan sistem hisbah. Mereka adalah orang-orang yang
berhak
untuk
mencegah
kemungkaran
dengan
menggunakan
tangan
dan lisan. Jika mereka tidak mampu atau jumlah personel mereka sedikit sedangkan kemungkaran telah merajalela, maka diperbolehkan bagi selain mereka
untuk
memberantas
kemaksiatan
itu
sesuai
dengan
kemampuan
mereka, namun hanya sebatas nasehat dan petunjuk saja. Jika orang-orang yang melakukan kemaksiatan itu melawan, maka harus dilaporkan kepada lembaga
atau
petugas
yang
berwajib
dan
menjelaskan
semua
kejadian
dengan rinci dan benar.52 Seiring dengan perkembangan komunikasi dan informasi dewasa ini, penggunaan media massa telah ikut mewarnai penyampaian amar makruf nahi
mungkar
sebagai
sarana
dakwah
yang
banyak
dikembangkan
oleh
media dewasa ini. Media dakwah dalam bentuk cetak dan elektronik telah memberikan informasi
pengaruh
kepada
yang
pengguna.
baik
dan
Karya-karya
bermanfaat ilmiah
baik
dalam yang
penyampaian disampaikan
melalui penerbitan buku, majalah, koran, dan artikel, serta forum-forum kajian ilmiah, diskusi, seminar, dan mimbar masjid telah ikut membantu terlaksananya amar makruf nahi mungkar. Demikianlah,
karena
begitu
pentingnya
peran
amar
makruf
nahi
mungkar, maka al-Qur’an pun menyerahkan tugas mulia ini kepada tiga 52
Lihat 'Abdullâh ibn 'Abdurrahmân al-Jibrin, Hâjat al-Basyar Ilâ al-Amr bil Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar, (alih bahasa: Ummu Rania, Lc, Tanya Jawab Amar Ma'ruf Nahi Munkar), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), cet. ke-1, h. 54.
95
elemen masyarakat yaitu individu, umat dan negara. Masing-masing pihak diharapkan benar-benar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga mereka dapat menjadikan seluruh lapisan masyarakat mau memahami dan menyadari
nilai-nilai
atau
ajaran-ajaran
agama
serta
mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Bila hal ini terwujud, maka umat Islam akan tetap menyandang gelar khair ummah, yang berarti umat terbaik atau umat pilihan.
96
BAB IV KARAKTERISTIK PENGEMBAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR
Aktifitas dakwah memegang peranan vital dalam kehidupan manusia dan kemanusiaan. Dakwah merupakan amanah suci yang harus diemban oleh setiap insan yang menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim. Ajaranajaran Islam akan sunyi dari nilai-nilai bila hanya sebatas konseptual, tetapi ajaran-ajaran Islam harus aktual dan mampu membumi di bumi Allah ini sebagai causa prima dan urat nadi kehidupan. Masa depan Islam bergantung kepada
merata
dan
meluasnya
kesadaran
umat
dalam
memikul
tugas
dakwah. Meskipun harus disadari bahwa tugas dakwah bukanlah amanah ringan, tetapi seorang Muslim yang teguh tidak akan mudah berkecil hati untuk terus menyebarkan dakwahnya.1 Amar makruf nahi mungkar yang termasuk bagian dari aktifitas dakwah
merupakan
mempertahankan
tugas
kebaikan
mulia suatu
yang umat.
memiliki Tetapi
di
peran balik
besar kemuliaan
dalam dan
kedudukannya itu, menurut 'Abd al-Karîm al-Khathîb dalam kitabnya yang berjudul
al-Tafsîr
al-Qur`âni
li
al-Qur`ân,
amar
makruf
nahi mungkar
bukanlah tugas yang mudah atau ringan. Oleh karena itu, terlepas dari perdebatan apakah hukum amar makruf nahi mungkar itu fardhu ‘ain ataukah fardhu kifâyah, pada hakekatnya semua ulama sepakat bahwa harus
1
76.
Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 1998), cet. ke- 1, h.
97
ada sekelompok orang di antara umat Islam yang mau menekuni bidang amar makruf nahi mungkar ini.2 Bila dilihat dari tugasnya yang tidak ringan, tentunya sekelompok orang yang menekuni bidang amar makruf nahi mungkar –atau yang penulis istilahkan dengan pengemban amar makruf nahi mungkar- ini memiliki sejumlah karakteristik tertentu yang berkaitan dengan tugas mereka serta dapat
mendukung
terlaksananya
tugas
tersebut.
Berdasarkan
pengamatan
penulis terhadap ayat-ayat amar makruf nahi mungkar yang ada dalam alQur`an, yaitu ayat-ayat yang mengandung lafazh amar makruf nahi mungkar dalam berbagai derivasi dan ragam frasenya, maka secara garis besar, karakteristik-karakteristik
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar
dapat
dibagi menjadi dua:
A.
Karakteristik Umum 1. Beriman Kepada Allah dan Hal-hal Yang Wajib Diimani Beriman kepada Allah dan hal-hal yang wajib diimani merupakan
karakteristik makruf
yang
nahi
kâmilan
(iman
beriman
dan
berkaitan
mungkar yang
harus
dengan terlebih
sempurna)
mengikuti
aspek dahulu
sebelum
aturan-aturan
akidah. beriman
mengajak agama
Pengemban dengan
orang
Islam.
amar imânan
lain
untuk
Sebab,
iman
merupakan pondasi utama bagi setiap amal kebajikan dalam Islam. Amal kebajikan seseorang akan sia-sia dan tidak berguna bila tidak dilandasi 2
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, (Dâr al-Fikr al‘Arab, t.th.), juz 4, h. 542. Lihat juga Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, (Beirut: alMaktabah al-‘Ashriyyah, 2002), jilid 1, h. 342.
98
oleh iman, walau sebanyak apapun amal kebajikannya itu. Iman juga merupakan motivator bagi seseorang untuk melakukan berbagai kebaikan. Bila
iman
berpegang
telah
bersemayam
teguh
pada
dalam
hati
perintah-perintah
seseorang,
Allah
dan
maka
dia
menjauhi
akan
larangan-
larangan-Nya. Seberapa besar kadar keimanan yang telah masuk ke dalam hati
seseorang,
maka
sebesar
itu
pula
tingkat
istiqâmah
atau
kadar
kepatuhannya kepada ajaran-ajaran Islam.3 Makna ini senada dengan firman Allah Swt. dalam sebuah ayat yang menyatakan bahwa kebanyakan orang fasik saling tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu amat buruk dampaknya bagi diri mereka karena dapat mendatangkan kemurkaan Allah kepada mereka, sehingga mereka pun akan kekal dalam siksaan-Nya. Mereka melakukan hal seperti itu karena pada hakekatnya mereka tidak beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya tidak
akan
(Nabi).
Sebab
mengambil
seandainya orang-orang
mereka
beriman,
musyrikin
itu
niscaya
menjadi
penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.
mereka
penolong4
Hal itu juga diperkuat oleh sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa barangsiapa di antara kaum Muslimin melihat suatu kemungkaran (dilakukan),
maka
hendaklah
dia
merubahnya
dengan
menggunakan
tangannya; Jika dia tidak mampu, maka hendaklah dia merubahnya dengan 3 Majdi al-Hilâli, Binâ` al-Îmân min Khilâl al-Qur`ân, (Kairo: Mu`assasah Iqra`, 2005), h. 12. 4
Lihat Q.S. al-Mâ`idah (5): 80-81.
99
menggunakan
lisannya;
Jika
tidak
merubahnya
dengan
menggunakan
mengingatkan
bahwa
merubah
mampu
juga,
hatinya.
kemungkaran
maka Tetapi
dengan
hendaklah Nabi
dia Saw.
menggunakan
hati
5
merupakan tanda bahwa iman seseorang sangat lemah.
Berdasarkan hadis ini, maka dapat diketahui bahwa seberapa besar kadar keimanan seseorang, maka sebesar itu pula tingkat pengingkarannya terhadap kemungkaran. Bila keimanannya kuat, maka dia akan berusaha untuk
melakukan
nahi
mungkar
atau
mencegah
kemungkaran
dengan
menggunakan tangan (kekuasaan)nya, paling tidak dengan menggunakan lisannya
seperti
melakukan maka
dia
dengan
kemungkaran. hanya
mengingatkan Sebaliknya,
mampu
untuk
atau
bila
menegur
keimanannya
melakukan
nahi
orang
yang
sangat
lemah,
mungkar
dengan
menggunakan hati. Dia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya diam saja meskipun dia tidak menyukai kemungkaran itu dan juga orang yang melakukannya. Di samping sebagai motivator, iman juga berperan sebagai benteng yang membuat diri seorang pelaku amar makruf nahi mungkar tetap tegar dalam menghadapi hal-hal buruk yang menimpanya ketika dia sedang melakukan
tugas
amar
makruf
nahi
mungkar.
Orang
yang
beriman
merupakan orang yang paling tegar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan malapetaka yang muncul dalam hidupnya. Ini disebabkan karena dia meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa kesulitan-kesulitan dan malapetaka-malapetaka tersebut tidak lain hanyalah sebagai pelajaran dan
pengalaman 5
yang
bermanfaat
baginya,
baik
bagi
agama
maupun
Diriwayatkan oleh Muslim pada kitab al-Îmân, hadis no. 70; Ahmad pada kitab Bâqi Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 10651; al-Tirmidzi pada kitab al-Fitan 'an Rasûlillâh, hadis no. 2098; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Shalâh, hadis no. 963.
100
kehidupan duniawinya.6 Sebab menurutnya, tidak ada satu musibah pun yang
menimpanya
kecuali
telah
ditetapkan
oleh
Allah
Swt..
Dia
memahami benar firman Allah yang menyatakan bahwa tidak ada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirinya sendiri melainkan telah ditetapkan oleh Allah dan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh), yaitu sebelum Allah menciptakan alam semesta ini dan juga menciptakan dirinya. Lalu dia meyakini benar bahwa yang demikian itu adalah sangat mudah bagi Allah, karena sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa.7 Oleh karena itu, maka pada sebagian ayat amar makruf nahi mungkar –seperti yang telah dijelaskan pada bab II-, amar makruf nahi mungkar dikaitkan dengan aspek keimanan, terutama pada ayat-ayat amar makruf
nahi mungkar yang mengisyaratkan perintah menegakkan amar
makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada kelompok atau umat. Ayatayat yang dimaksud adalah Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110, Q.S. Âli 'Imrân (3): 114, Q.S. al-Taubah (9): 71, dan Q.S. al-Taubah (9): 112. Pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110, disebutkan lafazh wa tu`minûna billâh (dan beriman kepada Allah). Lafazh ini disebutkan setelah lafazh ta`murûna bi al-ma'rûf wa tanhauna 'an al-munkar (menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar). Ayat ini mengisyaratkan bahwa di
antara
karakteristik pengemban
amar
makruf
nahi mungkar
adalah beriman kepada Allah dan hal-hal lainnya yang wajib diimani. Pada firman-Nya, "tu`minûna billâh", Allah Swt. menjadikan keimanan kepada
6
Sa'ad Karîm, al-Îmân wa Atsaruhû fî Tarbiyyah al-Aulâd, (Iskandaria: Dâr al'Aqîdah, 2002), cet. ke-1, h. 25. 7
Lihat Q.S. al-Hadîd (57): 22.
101
hal-hal yang wajib diimani sebagai bentuk keimanan kepada Allah. Sebab, orang yang hanya mengimani sebagian hal yang wajib diimani saja, seperti rasul-rasul Allah, kitab-kitab-Nya, Hari Kebangkitan, Hisab, atau yang lainnya,
kemudian
dia
mengingkari
sebagian
yang
lain,
maka
keimanannya itu tidak dianggap sah dan dia sama seperti orang yang tidak beriman kepada Allah Swt.. Bahkan, ketika menggambarkan sosok orangorang seperti itu, yaitu orang-orang yang mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian yang lain" serta berniat mengambil jalan tengah di antara keimanan dan kekafiran, Allah Swt. menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.8 Dalil yang memperkuat pernyataan tersebut adalah firman Allah Swt. pada ayat yang sama (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 110), yang disebutkan setelahnya.
Di
sana,
Allah
Swt.
berfirman:
"Sekiranya
ahli
kitab
beriman…". Sebagaimana diketahui, orang-orang ahli kitab juga mengaku beriman kepada Allah, akan tetapi karena mereka tidak mengimani agama Islam dan juga Nabi Muhammad Saw. yang merupakan dua hal yang wajib diimani, maka mereka pun tidak dianggap beriman. Meskipun kedudukan iman lebih penting daripada amar makruf nahi mungkar, akan tetapi karena konteks ayat ini berbicara tentang keunggulan umat ini atas umat-umat lain selama mereka menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, maka amar makruf nahi mungkar pun disebutkan Wahbah 8
terlebih
dahulu
sebelum
keimanan
al-Zuhaili,
redaksi
dengan
susunan
Lihat Q.S. al-Nisâ` (4): 150-151.
kepada kalimat
Allah. seperti
Menurut ini
lebih
102
menunjukkan keunggulan umat Islam atas umat-umat lain. Sebab, umatumat lain juga mengaku beriman kepada Allah, tetapi mereka tidak mau menegakkan amar makruf nahi mungkar.9 Pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 114 disebutkan lafazh yu`miûna billâhi wa
al-yaum
al-âkhir
(Mereka
beriman
kepada
Allah
dan
hari
penghabisan). Lafazh ini dan lafazh-lafazh yang disebutkan setelahnya, termasuk lafazh wa ya`murûna bi al-ma'rûf wa yanhauna 'an al-munkar (mereka
menyuruh
mungkar), beriman.
kepada
merupakan Pada
yang
penjelasan
ayat-ayat
makruf tentang
sebelumnya,
dan
mencegah
sifat-sifat
al-Qur`an
ahli
telah
dari
yang
kitab
yang
mengelompokkan
ahli kitab menjadi dua kelompok, di antara mereka ada yang beriman tetapi
kebanyakan
setelah
menjelaskan
mereka kondisi
adalah
orang-orang
orang-orang
fasik
yang
fasik.10
tersebut,
Kemudian
al-Qur`an
pun
menjelaskan kondisi orang-orang yang beriman di antara mereka pada ayat ke-114 ini. Mereka adalah orang-orang ahli kitab yang telah masuk Islam meskipun jumlah mereka hanya sedikit. Ketika menafsirkan firman Allah dalam Q.S. Âli 'Imrân (3): 114, Ibn Katsîr menegaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman
di
antara ahli kitab
yang disebutkan
dalam firman
tersebut
merupakan orang-orang yang sosoknya dijelaskan oleh Allah Swt. di akhir Q.S. Âli ‘Imrân (3): 199, yaitu pada firman-Nya yang menyatakan bahwa di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah, kepada apa yang
9
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Mu'âshir, 1998), juz 4,
10
Lihat Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110.
h. 40.
103
diturunkan kepada Nabi Muhammad dan juga apa yang diturunkan kepada mereka.11 Sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya (Q.S. Âli 'Imrân [3]: 114), mereka ini adalah sekelompok orang di antara ahli kitab yang memiliki sifat-sifat tertentu yang membedakan diri mereka dengan orangorang
ahli
kitab
melaksanakan memperbanyak
pada
perintah
umumnya. Allah,
tahajjud,
Sifat-sifat
membaca
beriman
yang
al-Qur`an
kepada
Allah
dimaksud
adalah
tengah
malam,
di
dan
hari
akhir,
serta
menegakkan amar makruf nahi mungkar. Pada Q.S. al-Taubah (9): 71, Allah Swt. menjelaskan ciri-ciri orang-orang mukmin, di antaranya adalah menegakkan amar makruf nahi mungkar. Mereka merupakan satu umat atau kelompok orang yang telah dipersatukan
oleh
ikatan
persaudaraan
dan
rasa
cinta.
Karena
begitu
kuatnya ikatan persaudaraan dan rasa cinta di antara mereka itu, maka mereka
pun
menjadi
seperti
satu
tubuh,
dimana
ketika
salah
satu
anggotanya sakit maka yang lain akan ikut merasakannya.12 Oleh meninggalkan 11
12
karena satu
itu,
maka
perbuatan
ketika
yang
salah
makruf
seorang atau
dari
mengerjakan
mereka suatu
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, jilid 1, h. 349.
Hal ini persis seperti yang ditegaskan dalam hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Abdullâh ibn Numair, dari ayahnya, dari Zakariyâ, dari al-Sya'bi, dari al-Nu'mân ibn Basyîr, bahwa dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda, 'Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu tubuh; Apabila salah anggota mengeluhkan rasa sakit, maka seluruh anggota tubuh pun akan ikut merasakannya, yaitu dengan cara tidak bisa tidur dan cara demam.'" Hadis ini disebutkan oleh al-Bukhâri dalam kitab al-Adab, hadis no. 5552; Muslim dalam kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Âdâb, hadis no. 4685; dan Ahmad dalam kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17632.
104
kemungkaran, maka hati mereka akan tergerak untuk mengingatkannya. Sebab menurut Hisyâm ibn 'Abd al-Qâdir dalam bukunya yang berjudul Mufsidât
al-Ukhuwwah,
mengerjakan
meninggalkan
kemungkaran
adalah
perbuatan ibarat
yang
penyakit
makruf
atau
yang
akan
membahayakan diri pelakunya. Bahkan, bila hal itu dibiarkan, maka ia tidak hanya akan membahayakan diri pelakunya saja tetapi juga akan membahayakan
diri
orang-orang
yang
ada
di
sekitarnya
serta
dapat
merusak ikatan persaudaraan di antara.13 Contohnya,
seperti
yang
dikatakan
Muhammad
Rasyîd
Ridhâ
dalam Tafsîr al-Manâr, persatuan umat merupakan satu hal yang makruf, sedangkan upaya memecah belah umat merupakan satu hal yang mungkar. Jika ada seseorang atau satu kelompok tertentu yang berusaha memecah belah persatuan umat, maka hal itu tidak hanya akan membahayakan diri orang-orang yang melakukannya saja melainkan juga akan membahayakan diri masyarakat atau umat secara keseluruhan. Bila perbuatan seperti itu dibiarkan terjadi, maka hampir dapat dipastikan masyarakat atau umat yang bersangkutan akan mengalami kehancuran.14 Dari sini, maka orang-orang mukmin pun saling bahu membahu atau bekerja sama dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar di antara mereka. Karena menegakkan amar makruf nahi mungkar merupakan ciri orang-orang
mukmin
yang
-notabene-
merupakan
satu
kelompok
atau
umat tertentu yang ada di masyarakat, maka dapat difahami secara mafhûm mukhâlafah bahwa di antara karakteristik pengemban amar makruf nahi 13 Lihat Hisyâm ibn 'Abd al-Qâdir, Mufsidât al-Ukhuwwah, (Kairo: Dâr alShafwah, 1418 H), cet. ke-1, h. 29. 14 Lihat Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-1, jilid 4, h. 22.
105
mungkar
adalah
beriman
kepada
Allah
dan
hal-hal
lain
yang
wajib
diimani. Pengertian serupa juga terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112. Hanya saja pada ayat tersebut, penyebutan sifat-sifat orang-orang mukmin itu dipisahkan jauh dari kata al-mukminîn. Pemisahan na'at seperti ini, menurut al-Alûsi dalam kitab tafsirnya, dimaksudkan untuk memberikan pujian kepada orang-orang Mukmin.15 Selain itu, pada ayat tersebut, lafazh al-âmirûna bi al-ma'rûf (yang menyuruh berbuat makruf) dan al-nâhûna 'an
al-munkar
menggunakan
(yang huruf
mencegah 'athf
berbuat
(wawu),
mungkar)
tidak
disambung
seperti
pada
dengan sifat-sifat
sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa pada hakekatnya, amar makruf dan nahi
mungkar
adalah
satu.
Maksudnya,
barangsiapa
yang
menyuruh
kepada yang makruf, maka berarti dia mencegah dari yang mungkar, demikian pula sebaliknya.16 Pentingnya karakteristik beriman kepada Allah dan hal-hal yang wajib
diimani
bagi
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar,
sangat
berkaitan erat dengan pentingnya iman dalam setiap perbuatan yang baik. Dalam
al-Qur`an,
hampir
setiap
ayat
yang
memuat
perintah
untuk
melakukan suatu perbuatan ataupun larangan untuk meninggalkan suatu perbuatan, mengisyaratkan akan pentingnya iman. Ayat-ayat ini biasanya menggunakan
uslûb
syarth
(redaksi
syarat)
seperti
inkuntum mukminîn
(jika kamu orang-orang yang beriman), seperti dapat dilihat pada Q.S. Alî
15 Abû al-Fadhl Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur`ân alAzhîm wa al-Sab'i al-Matsânî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2001), cet. ke-1, jilid 4, h. 30. 16
'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, juz 10, h. 901.
106
Imrân (3): 139, Q.S. al-Mâ`idah (5): 57, 23, Q.S. al-Anfâl
(8): 1, Q.S. al-
Taubah (9): 13, 62, Q.S. Hûd (11) : 86 dan Q.S. al-Nûr (24) : 17. Mengenai keyakinan kepada Allah dan hari akhir ini, Ibn Hazm telah menjelaskannya dalam kitab al-Ahkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Mengutip penjelasan Ibn Hazm tersebut, Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Anshâri menegaskan bahwa penerapan syari’at Islam dalam kehidupan manusia tidak dapat dilakukan hanya dengan satu sisi saja, melainkan harus dikaitkan dengan aspek keimanan dan pengamalan anggota badan. Oleh karena itu, maka satu amalan dinilai tidak sempurna kecuali bila dibarengi
dengan
keyakinan
yang
sempurna
dan
keteguhan
iman.
Sebaliknya, iman juga harus diikuti dengan perbuatan nyata oleh anggota badan.17 Pentingnya iman dalam setiap amal perbuatan juga diungkapkan oleh
Imam
al-Syathibî
dalam
kitab
al-Muwâfaqât.
Menurutnya,
pentingnya iman kepada Allah dan hari akhir menjadi syarat setiap amalan orang Islam. Oleh karena itu, maka sangatlah pantas bila amal perbuatan yang tidak dibarengi dengan iman, ia akan ditolak dan tidak dapat mendatangkan pahala. Sementara amalan yang dilakukan dengan penuh ketulusan karena berharap pahala dari Allah, maka pelakunya dinamakan mukmin, yaitu orang yang beriman dengan ikhlas kepada Allah. Setelah menjelaskan hal itu, Imam al-Syathibî melontarkan satu pertanyaan kepada kaum
Muslimin,
yaitu
apakah
mereka
tidak
mengetahui
bahwa
yang
dimaksud dengan ibadah adalah mengkhususkan amal perbuatan hanya kepada Allah Swt., dengan penuh rasa rendah diri dan mengagungkan-Nya dalam hati disertai amalan nyata oleh anggota badan. Kemudian dia juga 17 Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', (Riyâdh: Maktabah al-Anshâr, 1984), h. 189.
107
mengatakan bahwa para Usûliyyin telah menetapkan iman kepada Allah sebagai syarat sah sebuah amal, sementara sebagian yang lain menjadikan iman kepada Allah sebagai syarat wajib setiap amalan Muslim.18 Demikianlah, iman kepada Allah dan hal-hal yang wajib diimani merupakan
karakteristik
umum
pertama
bagi
pengemban
amar
makruf
nahi mungkar. Akan tetapi, karakteristik ini tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan karakteristik umum kedua yaitu taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
2. Taat Kepada Allah dan Rasul-Nya Karakteristik
umum
kedua
dari
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar ini adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang dimaksud dengan
taat
kepada Allah
dan
Rasul-Nya adalah
memelihara hukum-
hukum Allah dan Rasul-Nya, menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan keduanya, atau memenuhi seruan Allah Swt. dan RasulNya, seperti yang difirmankan oleh Allah Swt. dalam al-Qur`an, yang di dalamnya
Allah
mengajak
orang-orang yang beriman
untuk memenuhi
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru mereka kepada suatu yang memberi kehidupan bagi mereka,19 Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn al-Qayyim –seperti yang dikutip oleh Ahmad Farîd- menjelaskan bahwa ayat ini mengandung beberapa
18
Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', h. 189. 19
Lihat Q.S. al-Anfâl (8): 24.
108
permasalahan. Pertama, adalah bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya akan diperoleh dengan cara memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang tidak memenuhi seruan ini, tidak dianggap sebagai orang yang hidup, meskipun dia memiliki kehidupan semu yang tidak hanya dimiliki oleh dirinya saja melainkan juga oleh binatang yang paling hina sekalipun. Sebab, kehidupan yang hakiki hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang memenuhi batinnya.
seruan Hanya
Allah
dan
Rasul-Nya,
merekalah
yang
baik
dianggap
dengan
sebagai
zhahir
maupun
orang-orang
yang
hidup meskipun mereka telah meninggal dunia. Sementara orang-orang lain selain mereka dianggap sebagai orang-orang yang mati meskipun dari segi fisik, mereka masih hidup. Oleh karena itu, maka orang yang paling sempurna
hidupnya
adalah
orang
yang
memenuhi
seruan
Rasulullah
Saw.20 Ketaatan
kepada
Allah
dan
Rasul-Nya
merupakan
implementasi
dari keimanan kepada keduanya. Orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dituntut untuk taat kepada keduanya. Sebab, seperti yang telah dikatakan oleh Ibn Hazm di atas, iman juga harus diikuti dengan amal perbuatan
yang
dilakukan
oleh
anggota-anggota
badan.
Pengertian
ini
dapat difahami dari penyebutan aspek keimanan yang selalu dikaitkan dengan aspek ketaatan dalam sejumlah ayat al-Qur`an, seperti pada Q.S. al-Anfâl (8): 1 dan Q.S. al-Nahl (16): 97. Pada ayat pertama, Allah Swt. menyuruh kaum Muslimin untuk taat kepada-Nya dan juga kepada RasulNya jika mereka adalah orang-orang yang beriman21, sementara pada ayat kedua, Allah Swt. menegaskan bahwa barangsiapa yang mengerjakan amal 20
Ahmad Farîd, Tharîq al-Sa'âdah, (Iskandaria: Dâr al-'Aqîdah, 2006), cet. ke.
1, h. 10. 21
Lihat Q.S. al-Anfâl (8): 1.
109
saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan
Dia
akan
memberikan
kepadanya
kehidupan
yang
baik, yaitu kehidupan yang bahagia di dunia, lalu Dia akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.22 Dari sini, maka dapat dikatakan bahwa iman tidak akan bermanfaat tanpa
dibarengi
dengan
ketaatan,
demikian
pula
sebaliknya.
Keduanya
harus dilakukan bersama-sama demi tercapainya kehidupan yang baik atau hayâtan thayyiban di dunia dan balasan yang baik di hari kiamat nanti, seperti yang ditegaskan pada firman Allah Swt. tersebut. Dalam
kaitannya
dengan
amar
makruf
nahi
mungkar,
ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada
hakekatnya
amar
makruf
nahi
mungkar
merupakan
bagian
dari
ketaatan tersebut. Orang-orang yang selalu taat kepada Allah dan RasulNya
mengetahui
bahwa
amar
makruf
nahi
mungkar
juga
merupakan
perintah Allah dan Rasul-Nya yang harus ditaati. Mereka sadar bahwa untuk dapat meraih kehidupan yang baik di dunia dan balasan yang baik di akhirat, mereka dituntut untuk tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri dalam
kaitannya
dengan
larangan-larangan-Nya,
upaya
tetapi
mematuhi
juga
harus
perintah-perintah memikirkan
Allah
dan
orang-orang
lain
yang ada di sekitar mereka. Mereka khawatir bila mereka mematuhi aturan-aturan Allah, sementara orang-orang lain yang ada di lingkungan mereka tidak melakukan hal yang sama, maka lambat laun mereka juga akan
terpengaruh
sehingga mereka
tidak dapat memperoleh
apa yang
mereka cita-citakan itu (kehidupan yang baik di dunia dan balasan yang 22
Lihat Q.S. al-Nahl (16): 97.
110
baik di akhirat), atau –paling tidak- mereka juga akan terkena dampakdampak negatifnya. Ini persis seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabda beliau tentang perumpamaan orang yang mematuhi aturan-aturan Allah dan orang yang tidak mematuhinya. Dalam sabdanya itu, beliau menegaskan bahwa orang-orang yang mematuhi aturan-aturan Allah dan orang-orang
yang
tidak
mematuhinya
adalah
seperti
satu
kaum
yang
melakukan undian di atas sebuah kapal (untuk menentukan tempat masingmasing kelompok); lalu sebagian dari mereka menempati kapal bagian atas,
sementara
sebagian
yang
lain
menempati
bagian
bawah.
Ketika
orang-orang yang berada di bagian bawah ingin mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atas mereka, maka mereka pun berkata, "Bagaimana kalau kita melubangi kapal di tempat yang menjadi bagian kita ini sehingga kita tidak perlu mengganggu orang-orang yang berada
di
atas
kita?"
Jika
orang-orang yang berada
di
bagian
atas
membiarkan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang berada di bagian bawah itu, maka mereka semua akan binasa. Akan tetapi jika mereka mencegahnya, maka mereka akan selamat, dan semua orang pun akan ikut selamat.23 Dari sini, dapat difahami bahwa orang yang melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak boleh tinggal diam atau bersikap masa bodoh terhadap kondisi orang-orang yang ada di sekitarnya. Dia harus peduli
dan
memperhatikan
mereka.
Bila
orang-orang
yang
ada
di
sekitarnya itu tidak melakukan ketaatan kepada Allah seperti yang dia 23
Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Syirkah, hadis no. 2313; alTirmidzi pada kitab al-Fitan 'an Rasûlillâh, hadis no. 2099; dan Ahmad pada kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17638, 17647, 17653 dan 17685.
111
lakukan, atau mereka melakukan kemungkaran yang seharusnya mereka jauhi, maka dia harus mengingatkan mereka dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu dapat membahayakan diri mereka sendiri. Bila tidak, maka mereka semua akan mengalami kehancuran seperti kapal yang tenggelam akibat dilubangi bagian bawahnya. Sebaliknya, dengan melakukan
amar
makruf
nahi
mungkar,
maka
mereka
semua
akan
terhindar dari laknat atau murka Allah seperti yang pernah ditimpakan kepada Bani Isra`il karena mereka tidak mau menegakkan amar makruf nahi mungkar di antara mereka, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Mâ`idah (5): 79 dan Q.S. al-A'râf (7): 165. Hubungan
antara ketaatan
kepada Allah dan
Rasul-Nya dengan
amar makruf nahi mungkar juga dapat dilihat dari sisi bahwa orang-orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar tidak boleh melupakan diri mereka sendiri. Di samping mereka memperhatikan orang lain dengan menyuruhnya
untuk
melakukan
ketaatan
menjalankan
perintah-perintah-Nya
ataupun
kepada
Allah,
menjauhi
baik
dengan
larangan-larangan-
Nya, mereka juga harus memperhatikan diri mereka sendiri yaitu dengan melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka perintahkan kepada orang lain. Rasanya kurang sempurna –atau bisa dikatakan kurang tepatbila orang yang mereka suruh dapat selamat dari murka Allah sementara diri mereka sendiri tidak selamat. Ini adalah kerugian yang sangat besar, karena itu dalam salah satu ayat di dalam surah al-Baqarah, Allah Swt. menyindir orang-orang ahli kitab yang melakukan perbuatan seperti itu dengan
menggunakan
redaksi
"Afalâ
ta'qilûn"
(Maka
tidakkah
kamu
berpikir?)24 Redaksi seperti ini mengesankan bahwa seakan-akan orang
24
Lihat Q.S. al-Baqarah (2): 44.
112
yang berbuat seperti itu tidak menggunakan akal pikirannya untuk meraih hal yang terbaik bagi dirinya. Ketika
menafsirkan
ayat
ini,
Ibn
Katsîr
menjelaskan
bahwa
diturunkannya ayat ini adalah untuk mencela kaum Yahudi yang telah menyerukan
manusia
kepada
kebaikan
sementara
mereka
sendiri
tidak
melakukannya. Ayat ini sama sekali bukan untuk mencela amar makruf yang
mereka
lakukan,
meninggalkan
perbuatan
melainkan
untuk
mencela
sikap
mereka
yang
makruf yang mereka perintahkan. Sebagaimana
diketahui, menyuruh kepada yang makruf merupakan sesuatu yang baik, bahkan wajib hukumnya bagi orang alim. Akan tetapi, yang lebih wajib dan lebih utama untuk dilakukan oleh orang alim itu adalah melakukan perbuatan makruf yang dia perintahkan bersama-sama dengan orang yang diperintahkannya.25 Orang-orang yang berkecimpung dalam bidang amar makruf nahi mungkar harus memperhatikan hal ini dan mengamalkannya ketika hendak mengemban tugas yang mulia tersebut. Mereka harus melakukan ketaatan kepada Allah sebelum mereka menyuruh orang lain untuk melakukannya. Di samping hal ini dapat menyelamatkan kedua belah pihak dari murka atau laknat Allah, baik orang yang menyuruh ataupun yang disuruh, ia juga dapat menjadi tauladan yang memiliki pengaruh besar bagi pihak yang disuruh sehingga kemungkinan dimana pihak yang disuruh mau melakukan apa yang diperintahkan kepadanya akan lebih besar. Sebab, terkadang orang yang disuruh untuk melakukan sesuatu akan melihat terlebih dahulu orang yang menyuruhnya apakah dia telah melakukan apa yang dia perintahkan ataukah tidak. Bila tidak, maka hal itu akan menjadi 25
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, juz 1, h. 74.
113
alasan bagi orang yang disuruh tersebut untuk tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Mengingat begitu pentingnya hal ini, maka dalam sebagian ayat yang berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh kelompok atau umat, Allah Swt. mengaitkan antara amar makruf nahi mungkar dengan aspek ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini dapat dilihat pada sejumlah ayat seperti pada firman-Nya dalam Q.S. al-Taubah (9): 71, Q.S. al-Taubah (9): 112, Q.S. al-Hajj (22): 41 dan Q.S. Luqmân (31): 17. Pada Q.S. al-Taubah (9): 71, disebutkan lafazh wa yuthî'ûnallâh wa rasûlah (dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya). Lafazh ini disebutkan
setelah
lafazh
yuqîmûna
al-shalâta
wa
yu`tûna
al-zakâh
(mendirikan sembahyang, menunaikan zakat) dan juga lafazh ya`murûna bi
al-ma'rûf
wa
yanhauna
'an
al-munkar
(mereka
menyuruh
[mengerjakan] yang makruf, mencegah dari yang mungkar). Berdasarkan kaidah Ushul Fiqh, penyebutan lafazh wa yuthî'ûnallâh wa rasûlah setelah kedua lafazh tersebut, termasuk ke dalam katagori dzikr al-âm ba'da alkhâsh (penyebutan sesuatu yang umum setelah sesuatu yang khusus). Sebab
menurut
Wahbah
al-Zuhaili
dalam
al-Tafsîr
al-Munîr,
yang
dimaksud dengan ungkapan "taat kepada Allah dan Rasul-Nya" adalah melaksanakan apa yang mereka perintahkan dan meninggalkan apa yang mereka larang26, sementara menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang
mungkar,
mendirikan
shalat
dan
menunaikan
zakat
merupakan
bagian dari upaya untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
26
Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 10, h. 305.
114
Hal serupa juga terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112, hanya saja pada ayat tersebut ungkapan yang digunakan adalah wa al-hâfizhûna li hudûdillâh (dan yang memelihara hukum-hukum Allah). Yang dimaksud dengan al-hâfizhûna li hudûdillâh adalah orang-orang yang memelihara kewajiban-kewajiban,
syari'at-syari'at
dan
hukum-hukum
Allah.27
Lafazh
ini juga merupakan sebuah lafazh yang mengandung pengertian umum yang
disebutkan
setelah
lafazh-lafazh
yang
mengandung
pengertian
khusus, yaitu: al-tâ`ibûn (orang-orang yang bertaubat), al-hâmidûn (yang memuji), al-sâ`ihûn (yang melawat), al-râki'ûn (yang ruku'), al-sâjidûn (yang sujud), dan al-âmirûna bi al-ma'rûf wa al-nâhûna 'an al-munkar (yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar). Pada ayat ini juga digunakan ungkapan al-'âbidûn (orang-orang yang beribadah). Kata al-'âbidûn merupakan bentuk jamak dari kata al'âbid yang merupakan ism fâ'il dari kata al-'ibâdah. Kata al-'ibâdah sendiri
mengandung
pengertian
yang
sama
dengan
kata
al-thâ'ah
(ketaatan). Ini diperkuat oleh firman Allah Swt. yang menyatakan bahwa Allah Swt. tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Nya
atau
beribadah
kepada-Nya.28
Menurut
Wajdî
Ghanîm
dalam bukunya yang berjudul Sulûk al-Muslim, yang dimaksud dengan ungkapan
"supaya
mereka
menyembah-Ku" adalah
supaya mereka taat
29
kepada-Ku (Allah).
27
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 11, h. 54.
28
Lihat Q.S. al-Dzâriyât (51): 56.
29
14-15.
Wajdî Ghanîm, Sulûk al-Muslim, (Mesir: Dâr al-Salâm, 2005), cet. ke-1, h.
115
Selain
menyebutkan
kedua
ungkapan
yang bersifat
umum yang
menunjukkan makna ketaatan kepada Allah, ayat ini juga menyebutkan ungkapan-ungkapan
yang
mengisyaratkan
bentuk-bentuk
ketaatan
kepada
Allah dan Rasul-Nya, yaitu al-tâ`ibûn (orang-orang yang bertaubat), alhâmidûn (orang-orang yang memuji Allah), al-sâ`ihûn (orang-orang yang melawat),
al-râki'ûn
(orang-orang
yang
ruku'),
al-sâjidûn
(orang-orang
yang sujud), dan al-âmirûna bi al-ma'rûf wa al-nâhûna 'an al-munkar (orang-orang
yang
menyuruh
berbuat
makruf
dan
mencegah
berbuat
mungkar). Sementara pada Q.S. al-Hajj (22): 41, tidak disebutkan lafazh yang secara khusus menunjukkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya ataupun pemeliharaan terhadap hukum-hukum Allah, seperti yang disebutkan pada kedua
ayat
di
atas.
Di
sana,
hanya
disebutkan
lafazh-lafazh
yang
mengisyaratkan bentuk-bentuk ketaatan kepada Allah, yaitu lafazh aqâmu al-shalâta
(mereka
mendirikan
sembahyang),
wa
âtû
al-zakâta
(menunaikan zakat) dan wa amarû bi al-ma'rûf wa nahau 'an al-munkar (menyuruh
berbuat
yang
makruf
dan
mencegah
dari
perbuatan
yang
mungkar). Hal serupa juga terdapat pada Q.S. Luqmân (31): 17. Di sana disebutkan lafazh aqim al-shalâh (dirikanlah shalat). Demikianlah,
ketaatan
kepada
Allah
memiliki
hubungan
yang
sangat erat dengan amar makruf nahi mungkar, bahkan bisa dikatakan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua hal tersebut harus
diperhatikan
keduanya
dapat
dan
dilakukan
terwujud
dengan
secara baik.
bersamaan Berdasarkan
agar hal
tujuan
dari
ini,
maka
pengemban amar makruf nahi mungkar harus memiliki karakteristik yang bersifat umum tersebut, yaitu ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya agar
116
amar makruf nahi mungkar yang dia lakukan dapat membuahkan hasil yang diharapkan atau tidak sia-sia.
B.
Karakteristik Khusus 1. Menjaga Nilai-nilai Akhlak Karakteristik
atau
makârim
khusus
al-akhlâq.
akhlak
atau
makârim
akhlak
yang
telah
pertama Yang
menjaga
dimaksud
al-akhlâq
diajarkan
adalah
di
oleh
dengan
nilai-nilai
akhlak
menjaga
nilai-nilai nilai-nilai
sini
adalah
menerapkan
Islam
dalam
kehidupan
sehari-hari,
terutama ketika seseorang sedang berinteraksi dengan orang lain, baik dalam
kehidupan
berumahtangga,
bermasyarakat
maupun
bernegara.
Muhammad Thâhir ibn 'Âsyûr dalam buku "al-Nizhâm al-Ijtimâ'i fî alIslâm" menilai bahwa makârim al-akhlâq merupakan hal penting yang harus tetap dijaga dalam kehidupan bermasyarakat, karena keutuhan suatu masyarakat dijaga
sangat
dengan
tergantung
baik,
maka
kepadanya. keutuhan
Bila
makârim
masyarakat
pun
al-akhlâq akan
ini
terjaga.
Sebaliknya, persatuan atau ikatan antar sesama anggota masyarakat akan rusak bila makârim al-akhlâq sudah tidak diperhatikan lagi oleh mayoritas anggotanya
dan
tidak
diterapkan
dalam
sebagian
besar
urusan
atau
mu'âmalah di antara mereka.30 Pentingnya
makârim
al-akhlâq
dalam
kehidupan
bermasyarakat
sangat terkait dengan kedudukan manusia sebagai makhluk termulia di antara
makhluk-makhluk
Allah
lainnya.
Makârim
al-akhlâq
bertujuan
30 Lihat Muhammad Thâhir ibn 'Âsyûr, al-Nizhâm al-Ijtimâ'i fî al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Salâm, 2005), cet. ke-1, h. 116.
117
untuk mengantarkan manusia agar sampai pada kedudukan atau derajat mulia tersebut serta untuk mencegahnya agar tidak terjatuh ke dalam derajat yang paling hina yaitu derajat binatang. Oleh karena itu, ketika mencela
orang-orang
yang
tidak
diperhatikan mempunyai
semestinya
dipegang
dan
menegaskan
bahwa
mereka
memegang
nilai-nilai
akhlak
yang
oleh
manusia,
Allah
Swt.
hati,
tetapi
itu
tidak
hati
dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah;
mereka
melihat
mempunyai
tanda-tanda
mata
kekuasaan
tetapi
Allah;
tidak
dan
dipergunakannya
mereka
mempunyai
untuk telinga
tetapi telinga itu tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Di
sini,
ternak,
Allah
menyamakan
bahkan
menurut-Nya,
orang-orang mereka
seperti
lebih
itu
sesat
dengan
binatang
daripada
binatang.
Mereka itu adalah orang-orang yang lalai yang akan menjadi isi neraka Jahannam.31 Dengan makârim al-akhlâq, manusia dapat mencapai derajat yang pantas baginya, yaitu derajat termulia di antara makhluk-makhluk lain.32 Sebaliknya,
dengan
meninggalkan
makârim
al-akhlâq,
manusia
akan
berada pada derajat binatang karena pada saat itu dirinya dapat dikatakan sama
dengan
binatang
yang
tak
pernah
mengenal
nilai-nilai
akhlak.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, derajatnya akan lebih hina daripada binatang. Karena
begitu
pentingnya
makârim
al-akhlâq
bagi
kehidupan
bermasyarakat, maka Allah Swt. pun mengutus Nabi Muhammad Saw. di
(17): 70.
31
Lihat Q.S. al-A'râf (7): 179.
32
Mengernai derajat termulia bagi manusia ini, lihat Q.S. al-Tîn (95): 4 dan Q.S. al-Isrâ`
118
tengah-tengah masyarakat Arab yang pada saat itu sudah tidak mengenal nilai-nilai akhlak. Mereka benar-benar berada pada puncak kebobrokan moral, tak ada lagi norma-norma yang harus dijunjung tinggi, tak ada lagi nilai-nilai akhlak yang harus dipatuhi dan tak ada lagi rasa malu yang menghalangi
mereka
untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan
asusila.
Kehidupan mereka benar-benar sudah seperti kehidupan binatang. Nabi Muhammad Saw. pun diutus oleh Allah Swt. guna mengembalikan nilainilai akhlak yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab pada saat itu serta untuk menyempurnakannya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Sa'îd
ibn
Manshûr,
dari
'Abd
al-'Azîz
ibn
Muhammad,
dari
Muhammad ibn 'Ajlân, dari al-Qa'qâ' ibn Hakîm, dari Abû Shâlih, dari Abû Hurairah, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa diri beliau tidaklah diutus
oleh
Allah
kecuali
untuk
menyempurnakan
(meluruskan)
budi
pekerti yang baik.33 Sebagai akhlâq,
orang yang diutus guna
Rasulullah
Saw.
memiliki
menyempurnakan
akhlak
yang
mulia
makârim dan
al-
sangat
sempurna. Pengakuan bahwa beliau memiliki akhlak yang mulia tidak hanya datang dari manusia, tetapi juga dari Allah Swt. langsung. Allah Swt. mengakui bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. benar-benar berbudi pekerti yang agung.34 Pengakuan seperti itu juga datang dari orang-orang terdekat beliau seperti isteri beliau, Aisyah Ra.. Suatu ketika, Aisyah Ra. ditanya oleh para sahabat tentang akhlak Rasulullah Saw., maka dia mengatakan bahwa akhlak (budi pekerti) beliau adalah al-
33
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ahmad, hadis no. 8595.
34
Lihat Q.S. al-Qalam (68): 4.
119
Qur`an.35 Maksudnya, akhlak beliau persis seperti nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam al-Qur`an. Akhlak beliau merupakan cerminan ajaranajaran yang terkandung dalam al-Qur`an. Tidak ada satu nilai akhlak pun dalam
al-Qur`an
kecuali
nilai
akhlak
itu
ada
pada
diri
Rasululllah.
Kemuliaan dan kesempurnaan akhlak beliau itu sangat terkait dengan tugas beliau untuk menyempurnakan makârim al-akhlâq dan juga tugas sebagai pengemban misi dakwah. Inilah yang harus dicontoh oleh para pengemban misi dakwah, termasuk para pengemban amar makruf nahi mungkar. Pentingnya
karakteristik
menjaga
nilai-nilai
akhlak
ini
bagi
pengemban amar makruf nahi mungkar berkaitan erat dengan tujuan amar makruf
nahi
mungkar
pada
khususnya
dan
dakwah
Islamiyyah
pada
umumnya, yaitu agar ajaran-ajaran Islam dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh manusia di muka bumi ini, di setiap tempat dan zaman, kapan dan di manapun mereka berada. Untuk mencapai tujuan itu, maka para pengemban
misi
menjunjung
tinggi
dakwah nilai-nilai
dan
amar
akhlak
makruf
sehingga
nahi
mungkar
perkataan
mereka
harus akan
diterima oleh mad'û (obyek dakwah), kemudian segala tindak-tanduk dan perbuatan mereka pun akan menjadi teladan yang baik bagi setiap mad'û. Mereka harus mengikuti jejak Rasulullah Saw., yaitu menerapkan nilainilai akhlak yang terkandung dalam al-Qur`an al-Karîm. Pengertian ini senada dengan perintah Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. pada khususnya dan para da'i pada umumnya untuk menyeru manusia kepada jalan Tuhan dengan menggunakan metode hikmah dan pelajaran yang 35
Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Jumu'ah, hadis no. 939, dan kitab al-Da'awât, hadis no. 5835; Muslim pada kitab Shalât al-Musâfirîn wa Qasruhâ, hadis no. 1215-1222; al-Nasâ`i pada kitab Qiyâmul Lail wa Tathawwu' al-Nahâr, hadis no. 1583; al-Tirmidzi pada kitab al-Shalâh, hadis no. 404; al-Tirmidzi pada kitab al-Shaum 'an Rasûlillâh, hadis no. 676; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Shalâh, hadis no. 1064.
120
baik, bahkan bila memang perlu ada perbantahan, maka perbantahan itu harus dilakukan dengan cara yang baik.36 Di antara ayat-ayat yang mengandung lafazh amar makruf nahi mungkar, ayat yang mengandung karakteristik menjaga nilai-nilai akhlak bagi pengemban amar makruf nahi mungkar ini adalah firman Allah Swt. pada Q.S. al-A'râf (7): 199. Pada ayat tersebut disebutkan lafazh khudz al'afwa (Jadilah engkau pemaaf). Yang dimaksud dengan al-akhdzu bi al'afwi adalah bersikap legowo terhadap perilaku dan perbuatan orang-orang yang menjadi obyek dakwah atau amar makruf nahi mungkar, serta tidak membebani mereka dengan hal-hal yang terasa berat oleh mereka dan tidak
pula
termasuk
ke
menyambung
memata-matai dalam tali
mereka.
katagori
silaturahim
Menurut
al-akhdzu terhadap
bi
Wahbah
al-Zuhaili,
yang
al-'afwi
ini
lain:
orang-orang
yang
antara
memutusnya,
memberi maaf kepada orang-orang yang berbuat zhalim, bersikap lembut kepada orang-orang mukmin, serta menjaga akhlak-akhlak lainnya yang menjadi ciri khas orang-orang yang taat.37 Pada ayat tersebut juga terdapat lafazh wa a'ridh 'an al-jâhilîn (dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh). Maksudnya, janganlah kamu mengikuti perbuatan mereka, jauhilah mereka dan janganlah kamu terus bersama
mereka.
Lafazh
ini
mengandung
pengertian
bahwa
ketika
seseorang sedang menegakkan amar makruf nahi mungkar, tidak tertutup kemungkinan ada sebagian orang bodoh yang ingin mengganggu atau menyakitinya, atau ada sebagian orang yang ketidaksukaannya kepada apa yang dilakukan oleh pengemban amar makruf nahi mungkar menyebabkan 36
Lihat Q.S. al-Nahl (16): 125.
37
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 9, h. 217.
121
mereka melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan terhadapnya. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi pengemban amar makruf nahi mungkar kecuali dengan berpaling dari mereka, dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari kejahatan mereka. Meskipun demikian, orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar dituntut untuk memaafkan mereka dan tidak melakukan balas dendam terhadap mereka. Hal ini disebabkan karena sifat suka memberi maaf merupakan salah satu akhlak terpuji yang memiliki keutamaan besar. Dalam surah Âli 'Imrân, setelah Allah Swt. menyuruh orang-orang yang beriman
untuk
bersegera
meraih
ampunan-Nya
dan
berusaha
untuk
mendapatkan surga yang seluasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, Allah Swt. pun menyebutkan ciri-ciri orang-orang
yang
bertakwa
itu,
mereka
adalah
orang-orang
yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, baik di waktu lapang maupun sempit,
serta
orang-orang
kesalahan orang lain.
yang
menahan
amarahnya
dan
memaafkan
38
Di ayat lain, Allah Swt. menegaskan bahwa pemberian maaf adalah lebih dekat kepada ketakwaan. Maksudnya, jika seseorang dizhalimi atau diperlakukan
tidak
baik
oleh
orang
lain,
kemudian
dia
memaafkan
kesalahan atau perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh orang lain itu, maka dia telah mendekati derajat takwa, atau dengan kata lain, apa yang dilakukannya itu merupakan cerminan ketakwaan dirinya.39
38
Lihat Q.S. Âli 'Imrân (3): 133 dan 134.
39
Lihat Q.S. al-Baqarah (2): 237.
122
Ayat
lain
yang
mengandung
karakteristik
menjaga
nilai-nilai
akhlak bagi pengemban amar makruf nahi mungkar adalah firman Allah Swt. dalam Q.S. Luqmân (31): 17. Di sana disebutkan salah satu akhlak mulia yang memiliki hubungan erat dengan tugas amar makruf nahi mungkar. Sifat yang dimaksud adalah sifat sabar. Yang dimaksud dengan sifat sabar di sini adalah kuat dan tahan dalam menghadapi berbagai macam musibah atau cobaan yang ada dalam kehidupan ini. Sifat tersebut terkandung dalam firman Allah Swt. "washbir 'alâ mâ ashâbak" (dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu). Sebagaimana diketahui, sifat sabar juga merupakan akhlak mulia yang memiliki keutamaan besar. Dalam surah al-Baqarah, Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk memberikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah,
mereka
mengucapkan
"Innâ
lillâhi
wa
innâ
ilaihi
râji'ûn" (Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nya kami akan
kembali).
Maksudnya,
orang-orang
yang
menyadari
sepenuhnya
bahwa apa yang mereka miliki adalah milik Allah, sehingga ketika Allah menguji mereka dengan suatu musibah atau cobaan yang menyebabkan apa yang mereka miliki itu hilang darinya, mereka pun menerimanya dengan ikhlas tanpa ada perasaan emosi atau kesal sedikitpun. Di akhir ayat, Allah menegaskan bahwa mereka itu akan mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka adalah orangorang yang mendapat petunjuk.40 Sifat sabar sangat dibutuhkan oleh pengemban amar makruf nahi mungkar, 40
karena
pada
umumnya,
Q.S. al-Baqarah (2): 155-157.
orang yang menyuruh
kepada
yang
123
makruf dan mencegah dari yang mungkar akan menghadapi berbagai hal yang
tidak
menyenangkan
menyakitkan
hatinya
bagi
ataupun
dirinya,
baik
perbuatan
tidak
berupa
perkataan
menyenangkan
yang yang
dilakukan terhadapnya. Karena itu, seorang pengemban amar makruf nahi mungkar pun dituntut untuk bersabar ketika sedang mengemban tugasnya yang mulia itu. Berdasarkan hal ini, maka ketika menasehati puteranya untuk
menegakkan
amar
makruf
nahi
mungkar,
Luqman
pun
memerintahkan puteranya itu untuk bersabar dalam menghadapi apa yang akan
menimpanya.
Bahkan,
Luqman
menegaskan
bahwa
hal
itu
merupakan salah satu hal yang diwajibkan Allah Swt..41
2. Bertaubat Kata
taubat pada umumnya diartikan
sebagai
upaya penyesalan
atas perbuatan buruk di masa lalu yang disertai dengan tekad yang bulat untuk tidak mengulanginya di masa-masa mendatang.42 Taubat merupakan upaya
untuk
kembali
ke
jalan
Allah.
Sebagaimana
diketahui,
setiap
manusia yang lahir ke dunia ini berada di jalan yang benar atau berada pada jalan (agama) Allah, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis yang menyatakan bahwa setiap manusia atau insan dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), dan orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
41
42
Q.S. Luqmân (31): 17.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hisyâm ibn 'Ammâr dari Sufyân, dari 'Abd al-Karîm al-Jazari, dari Ziyâd ibn Abî Maryam, dari Ibn Ma'qil, dari Abdullah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Penyesalan adalah taubat.'' Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Mâjah pada kitab al-Zuhd, hadis no. 4242; dan Ahmad pada kitab Musnad al-Muktsirîn min al-Shahâbah, hadis no. 3387, 3811 dan 3914.
124
Nasrani
Majusi.43
atau
Akan
tetapi
dalam
perjalanannya
menjelajahi
kehidupan dunia ini, dia mengalami berbagai macam godaan syetan yang dilakukan
syetan
guna
menjerumuskan
manusia
ke
dalam
lembah
kehinaan dan kenistaan, sebagai wujud permusuhannya kepada manusia. Permusuhan syetan ini diawali oleh rasa dendam Iblis kepada Nabi Adam As., karena dirinya telah diusir dari surga dan akan dimasukkan ke dalam
neraka
untuk
selama-lamanya
sebagai
hukuman
atas
sikap
durhakanya kepada Allah Swt. dengan tidak menuruti perintah-Nya untuk sujud kepada Adam As.. Alih-alih bertaubat kepada Allah Swt. karena telah diberi hukuman atas sikapnya itu, Iblis malah semakin benci dan dengki
kepada
Adam.
Dia
mengajukan
permohonan
agar
hukumannya
ditunda sehingga dia dapat melakukan balas dendam terhadap Adam dan keturunannya.
Setelah
permohonannya
disetujui,
Iblis
memproklamirkan
permusuhannya kepada Adam dan keturunannya. Kemudian dia berjanji akan berusaha terus untuk memalingkan keturunan Adam dari al-shirâth al-mustaqîm
(jalan
yang
lurus)
dengan
menggunakan
berbagai
macam 44
cara, seperti ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. al-A'râf (7): 16-17.
Dari
sini, maka tidak sedikit manusia yang terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan maksiat, tidak sedikit manusia yang tidak kuat menghadapi godaan Iblis dan bala tentaranya hingga akhirnya mereka pun jatuh ke dalam lembah kenistaan atau perbuatan dosa.
43
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Janâ`iz, hadis no. 1296; Muslim pada kitab al-Qadr, hadis no. 4803-4809; al-Tirmidzi pada kitab al-Qadr 'an Rasûlillâh, hadis no. 2064; al-Nasâ`i pada kitab al-Janâ`iz, hadis no. 1923 dan 1924; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Sunnah, hadis no. 4091. Hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan melalui jalur Âdam dari Ibn Abî Dzi`b, dari al-Zuhri, dari Abû Salâmah ibn Abdirrahmân, dari Abu Hurairah Ra.. 44
Lihat Majdi al-Hilâli, Halummû iIâ Rabbikum, (Kairo: Dâr al-Tauzî' wa alNasyr al-Islamiyyâh, 2004), cet. ke-1, h. 11-12.
125
Akan Allah
tetapi
pun
berkat
memberikan
kasih
sayang-Nya
kesempatan
kesalahan-kesalahan
yang
telah
kesalahan-kesalahan
itu, dengan
kepada
kepada manusia
hamba-hamba-Nya, untuk
dilakukannya,
seberapa
cara bertaubat.
Allah
menghapus
pun
besarnya
selalu
membuka
pintu taubat bagi siapapun selama ruhnya belum sampai tenggorokan atau sebelum meninggal dunia.45 Akan tetapi taubat ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh
dan
tidak
main-main,
yaitu
dengan
cara
menyesali
perbuatan dosa yang dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Menurut al-Ghazâli dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, taubat setidaknya harus
mewakili
meninggalkan berkomitmen
tiga
hal:
perbuatan untuk
tidak
pertama,
dosa
kembali
dengan
mengulangi
penuh dosa
mengingat penyesalan; yang
sama
Allah;
kedua,
dan
ketiga,
dan
berusaha
menggantinya dengan perbuatan baik.46 Taubat seperti ini diistilahkan oleh al-Qur`an dengan istilah taubatan nashûhan.47 Dalam al-Qur`an al-Karîm, banyak sekali ayat yang menunjukkan keutamaan
ataupun
manfaat
dari
taubatan
nashûhan
seperti
ini,
di
antaranya adalah ayat yang menyatakan bahwa dosa-dosa atau kejelekankejelekan seorang hamba akan dihapus bila dia mau bertaubat, kemudian kejahatannya akan diganti Allah dengan kebajikan.48 Selain itu, juga ayat yang
menegaskan
bahwa
orang-orang
yang
bertaubat,
lalu
dia
mau
beriman dan beramal saleh, maka mereka akan masuk surga dan tidak
45
Majdi al-Hilâli, Halummû iIâ Rabbikum, h. 25.
46
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, (Mesir: al-Maktabah al-Misriyyah, 1998), jilid 4, h. 8. 47
Istilah ini disebutkan Allah Swt. dalam Q.S. al-Tahrîm (66): 8.
48
Lihat Q.S. al-Furqân (25): 70.
126
dianiaya atau dirugikan sedikitpun.49 Artinya, taubat yang mereka lakukan tidak akan sia-sia dan akan diperhitungkan oleh Allah Swt. sebagai amal yang akan menutup dosa-dosa mereka. Taubat merupakan satu hal yang dicintai Allah Swt., karena Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu selalu menginginkan kebaikan dan kesuksesan bagi hamba-hamba-Nya dalam melewati masa-masa penuh ujian di dunia ini. Allah Swt. akan merasa gembira atas taubat mereka dan kembalinya mereka ke al-shirâth al-mustaqîm (jalan yang lurus). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn al-Shabbah dan Zuhair ibn Harb, dari Umar ibn Yûnus, dari 'Ikrimah ibn 'Ammâr, dari Ishaq ibn Abdullah ibn Abî Thalhah, dari Anas ibn Malik –pamannya-, Rasulullah
Saw.
membuat
sebuah
perumpamaan
yang
menggambarkan
kegembiraan Allah tersebut. Beliau menegaskan bahwa Allah Swt. lebih gembira dengan taubatnya salah seorang hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-Nya, daripada salah seorang manusia yang berada di atas hewan tunggangannya
di
sebuah
daerah
yang
gersang,
kemudian
hewan
tunggangan itu lepas padahal di atasnya ada makanan dan minuman orang itu,
hingga akhirnya orang itu merasa putus asa; Tetapi ketika dia
mendatangi sebuah pohon, lalu dia berbaring di bawah rindangnya pohon itu, sementara harapan untuk menemukan kembali hewan tunggangannya sudah putus, tiba-tiba hewan itu sudah berdiri di sampingnya, maka dia pun langsung mengambil tali kekang hewan tersebut; Dan karena begitu
49
Q.S. Maryam (9): 60.
127
gembiranya, dia pun berkata: "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu". Dia telah berkata salah karena saking gembiranya.50 Pengemban amar makruf nahi mungkar memahami benar hakekat ini, karena menurut Majdi al-Hilâli dalam buku "Halummû iIâ Rabbikum", taubat dan amar makruf nahi mungkar memiliki tujuan yang sama, yaitu agar seorang hamba dapat meraih kesuksesan dalam menjalani ujian di dunia dan dapat kembali ke surga dengan selamat.51 Pengemban amar makruf nahi mungkar sadar bahwa dalam hidup ini, mereka tidak bisa lepas dari kesalahan dan dosa. Ada saja kesalahan dan dosa yang mereka lakukan, baik yang disengaja ataupun tidak. Selain itu, taubat dan amar makruf nahi mungkar, menurut mereka, memiliki hubungan yang erat. Ketika seseorang telah dicegah dari kemungkaran, maka dia pun dituntut untuk bertaubat dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Dalam ayat-ayat amar makruf nahi mungkar, karakteristik taubat ini hanya disebutkan di satu tempat yaitu pada Q.S. al-Taubah (9): 112. Pada
ayat
bertaubat).
tersebut Lafazh
ini
disebutkan disebutkan
lafazh
al-tâ`ibûn
bersamaan
dengan
(orang-orang lafazh-lafazh
yang lain
yang merupakan na't (sifat) dari al-mu`minîn (orang-orang yang beriman) yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Di antara lafazh-lafazh lain yang dimaksud adalah lafazh al-âmirûna bi al-ma’rûf wa al-nâhûna ‘an almunkar (yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar). Ini menunjukkan bahwa orang-orang mukmin sebagai umat atau kelompok
50 Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Da'awât, hadis no. 5834; Muslim pada kitab al-Taubah, hadis no. 4932; dan Ahmad pada kitab Bâqi Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 12750. 51
Majdi al-Hilâli, Halummû iIâ Rabbikum, h. 27.
128
yang berpotensi untuk mengemban amar makruf nahi mungkar memiliki karakteristik selalu bertaubat kepada Allah.
3. Selalu Memuji Allah Karakteristik
khusus
ketiga
dari
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar adalah selalu memuji Allah. Karakteristik ini disimpulkan dari lafazh al-hâmidûn (yang memuji), yang juga terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112. Menurut Wahbah al-Zuhaili, maknanya adalah selalu memuji Allah dalam setiap kondisi,52 baik ketika sedang senang ataupun susah. Makna ini senada dengan pengertian hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. selalu memuji Allah Swt. dalam kondisi apapun, baik ketika melihat sesuatu yang beliau senangi ataupun sesuatu yang tidak disenangi. Dalam hadis tersebut, disebutkan bahwa ketika beliau melihat sesuatu yang disukai, beliau mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna", sedangkan ketika melihat sesuatu yang tidak disukai, beliau mengucapkan: "Segala puji bagi Allah
dalam
Muslim
setiap
bahwa
keadaan."53
apapun
yang
Hadis
dihadapi
ini
mengajarkan
olehnya,
baik
kepada
yang
setiap
disukainya
ataupun tidak, merupakan perbuatan Allah yang harus tetap dipuji dan tidak boleh dicela, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Sempurna dan Maha Mengetahui segala sesuatu sehingga Dia tidak mungkin berbuat zhalim kepada siapapun. 52
53
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz. 11, h. 52.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ibn Mâjah. Dia meriwayatkannya melalui jalur Hisyâm ibn Khâlid al-Azraq Abû Marwân, dari al-Walîd ibn Muslim, dari Zuhair ibn Muhammad, dari Manshûr ibn Abdurrahmân, dari ibunya, Shafiyyah binti Syaibah, dari Âisyah Ra.. Dia menyebutkan hadis ini dalam kitab al-Âdâb, hadis no. 3793.
129
Kata al-hâmidûn merupakan bentuk jamak dari al-hâmid, ism fâ`il dari
kata al-hamd
(pujian).
Yang dimaksud
dengan
al-hamd (pujian)
adalah mensifati Dzat yang dipuji (Allah Swt.) dengan sifat-sifat yang menunjukkan kesempurnaan, dengan disertai perasaan cinta dan ta'zhîm (pengagungan) kesempurnaan
kepada-Nya. pada
Kesempurnaan
Dzat-Nya
(al-kamâl
yang
adz-dzâti)
dimaksud dan
adalah
kesempurnaan
pada perbuatan-Nya. Allah Swt. Maha Sempurna, baik pada Dzat maupun sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu kekuranganpun pada Dzat dan sifat-sifat Allah itu. Demikian pula pada perbuatan-Nya, karena perbuatan Allah itu berkisar antara sikap adil dan sikap berbuat baik. Dia tidak mungkin akan berbuat
zhalim
memperlakukan
kepada
mereka.
hamba-hamba-Nya
Ada
dengan
kemungkinan adil
dan
ada
Dia
akan
kemungkinan
pula Dia akan berbuat baik kepada mereka. Terhadap orang yang berbuat keburukan, Dia akan memperlakukannya dengan adil. Dalam sebuah ayat, Allah Swt. menegaskan bahwa Dia akan membalas kejahatan dengan kejahatan pula, atau dengan kata lain, balasan untuk suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.54 Demikian pula sebaliknya, terhadap orang yang berbuat kebaikan, Allah Swt. akan memperlakukannya dengan cara memberikan kebaikan kepadanya. Dalam salah satu ayat, Dia menjelaskan bahwa barangsiapa membawa
amal
yang
baik,
maka
baginya
pahala
sepuluh
kali
lipat
amalnya.55 Dari sini, dapat disimpulkan bahwa Allah Swt. tidak berbuat zhalim sedikitpun dan kepada siapapun. Balasan yang Dia berikan kepada setiap orang, disesuaikan dengan amal yang telah dilakukannya. Menurut Qâsim ibn Shâlih al-Fahd dalam buku "10 Durûs Fî Tadabburi Ma'ânî 54
Q.S. al-Syûrâ (42): 40.
55
Q.S. al-An'âm (6): 160.
130
Aqwâl
al-Shalâh",
tidak
diragukan
lagi
bahwa
Dzat
yang
perbuatan-
perbuatan-Nya berkisar antara dua hal ini -sikap adil dan berbuat baikmerupakan Dzat yang perbuatan-perbuatan-Nya terpuji, sebagaimana sifatsifat-Nya juga terpuji.56 Kesempurnaan Allah Swt. tercermin pada alam semesta ini dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, yaitu segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Segala sesuatu yang ada alam semesta ini, baik berupa sistem penataan alam yang begitu rapi, keindahannya yang luar biasa, aturan-aturan bijaksana
(hukum-hukum)
yang
terkandung
yang di
adil,
dalamnya,
maupun
maksud-maksud
menunjukkan
adanya
yang
hakekat
kesempurnaan. Sa'îd al-Nursi menegaskan bahwa semua itu merupakan bukti nyata atas kesempurnaan Allah Swt., Dzat Yang Maha sempurna yang telah menciptakan alam semesta ini dari tiada menjadi ada dan telah mengatur
segala
sesuatu
dengan
sistem
pengaturan
yang
indah
dan
57
menakjubkan.
Pengemban amar makruf nahi mungkar telah mengetahui hakekat ini. Maka, mereka pun menyikapi segala sesuatu yang mereka hadapi, baik berupa hal-hal yang buruk ataupun hal-hal yang baik, dengan sikap-sikap yang mencerminkan pujian mereka kepada Allah Swt., Dzat Yang Maha Sempurna. Bila ada hal buruk yang menimpa mereka, terutama ketika sedang menegakkan amar makruf nahi mungkar, mereka menyikapinya dengan cara bersabar, tidak emosi dan tidak pula frustasi. Sebab, mereka meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa hal itu merupakan ujian dari 56 Qâsim ibn Shâlih al-Fahd, 10 Durûs Fî Tadabburi Ma'ânî Aqwâl al-Shalâh, (Riyadh: Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 2005), cet. ke-3, h. 13-14. 57 Sa'îd al-Nursi, al-Âyâh al-Kubrâ, (Kairo: Syirkah Sozler li al-Nasyr, 2000), cet. ke-3, h. 126.
131
Allah Swt., lalu mereka meyakini bahwa di balik apa yang menimpanya itu terkandung hikmah tertentu yang hanya diketahui secara pasti oleh-Nya saja. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa Allah Swt. tidak akan menzhalimi hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, bila ada hal baik yang mereka dapatkan, mereka akan menyikapinya
dengan
cara
bersyukur
kepada
Allah.
Mereka
meyakini
bahwa hal yang baik itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Kondisi mereka itu persis seperti yang dijelaskan oleh Nabi Saw. ketika menggambarkan tentang sosok orang Mukmin, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Haddâb ibn Khâlid al-Azdi dan Syaibân ibn Farrûkh dari Sulaimân ibn al-Mughîrah, dari Abdurrahmân ibn Abî Lailâ, dari Shuhaib, orang
yang
menyatakan
Mukmin
karena
bahwa
dia
selalu
Rasulullah
Saw.
menyikapi
mengagumi
segala
sesuatu
sosok yang
dihadapinya dengan sikap yang baik; Jika ada hal yang menyenangkan hatinya maka dia akan bersyukur, sebaliknya jika ada hal yang tidak menyenangkan hatinya maka dia akan bersabar.58 Demikianlah kondisi para pengemban amar makruf nahi mungkar. Mereka tetap memuji Allah dalam kondisi apapun, baik ketika senang ataupun
susah,
ketika
tertimpa
musibah
ataupun
memperoleh
nikmat.
Mereka selalu yakin bahwa apa yang dihadapi mereka ketika sedang menegakkan 58
amar
makruf
nahi
mungkar,
baik
berupa
respon
positif
Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim pada kitab al-Zuhd wa al-Raqâ`iq, hadis no. 5318; Ahmad pada kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 18171 dan 18175; dan al-Dârimi pada kitab al-Raqâq, hadis no. 2658. Lafazh hadis yang diriwayatkan oleh Syaibân ibn Farrûkh adalah sebagai berikut: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Sungguh menakjubkan kondisi orang Mukmin. Segala kondisinya merupakan kebaikan, dan hal itu hanya dimiliki oleh orang Mukmin; Jika dia mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, dia akan bersyukur hingga hal itu akan menjadi kebaikan baginya; dan jika tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan, dia akan bersabar hingga sesuatu yang tidak menyenangkan itu pun akan menjadi kebaikan baginya.'"
132
ataupun negatif dari orang yang diajaknya untuk melakukan kebaikan atau meninggalkan kemungkaran, pada hakekatnya adalah ujian dari Allah Swt. bagi diri mereka. Jika responnya positif, maka hal itu merupakan ujian bagi mereka apakah mereka mau bersyukur ataukah tidak. Sebaliknya, bila responnya negatif, maka hal itu merupakan ujian bagi mereka apakah mereka mau bersabar ataukah tidak.
4. Memiliki Semangat Jihad (Juang) Karakteristik khusus keempat dari pengemban amar makruf nahi mungkar
adalah
memiliki
semangat
jihad
atau
semangat
juang.
Karakteristik ini disimpulkan dari lafazh al-sâ`ihûn (yang melawat) yang terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112. Mengenai makna al-sâ`ihûn, ada beberapa
pendapat:
(1)
Orang-orang
yang
berpuasa;
Sufyân
al-Tsauri
meriwayatkan dari 'Âshim, dari Dzarr, dari Abdullâh ibn Mas'ûd bahwa dia
berkata:
"Makna
al-sâ`ihun
adalah
al-shâ`imun
(orang-orang
yang
berpuasa)." (2) Orang-orang yang berjihad di jalan Allah; Abû Dâwud meriwayatkan hadis Abû Umâmah yang menyebutkan bahwa ada seorang laki-laki
berkata kepada Nabi: "Wahai
Rasulullah,
izinkan
aku
untuk
melawat!" Nabi Saw. pun menjawab: "Melawatnya umatku adalah dengan berjihad di jalan Allah." (3) Para pencari ilmu, seperti yang diriwayatkan dari 'Ikrimah. (4) Orang-orang yang berhijrah, seperti yang diriwayatkan dari Abdurrahmân ibn Zaid ibn Aslam.59 Meskipun demikian, keempat arti tersebut mengarah pada satu pengertian, yaitu memiliki semangat jihad atau semangat juang. Sebab pada hakekatnya, orang yang berpuasa sedang berjuang melawan hawa nafsu, orang-orang yang berjuang di jalan Allah 59
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, jilid 2, h. 356-357.
133
sedang berjuang melawan musuh-musuh Allah, para pencari ilmu sedang berjuang
melawan
kebodohan,
sedangkan
orang-orang
yang
berhijrah
sedang berjuang melawan kemusyrikan dan kekufuran. Hakekat perbuatan mereka adalah sama yaitu berjuang atau berjihad melawan sesuatu yang harus mereka kalahkan, hanya saja yang menjadi obyek atau sasarannya berbeda-beda. Secara untuk
umum,
keadilan
dan
jihad
merupakan
kebenaran.
sebuah
Sarjana-sarjana
usaha
atau
Muslim
perjuangan
klasik
telah
membagi usaha dan perjuangan ini menjadi tiga katagori. Ibn Taimiyyah, misalnya,
menganggap
bahwa
jihad
terkadang
bisa
dilakukan
dengan
menggunakan hati, terkadang dengan menggunakan lidah, dan terkadang dengan harus dengan menggunakan tangan (kekuasaan). Jihad hati adalah perjuangan seseorang melawan kelemahan dan kejahatan batinnya sendiri. Jihad ini sering disebut dengan jihâd akbar (jihad terbesar), seperti yang telah diistilahkan oleh Nabi Saw..60 Dalam
Islam,
jihad
dengan
menggunakan
kekuatan
senjata
dianggap sebagai salah satu hal penting dan merupakan perbuatan terbaik setelah iman kepada Allah Swt.. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika Rasulullah Saw. ditanya oleh para sahabat tentang perbuatan yang paling utama atau paling baik, maka beliau pun memberikan beberapa jawaban secara berurutan yaitu: iman kepada Allah, jihad di jalan Allah dan haji yang mabrur.61
60
Ziauddin Saloral, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), cet. ke-
1, h . 21. 61
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Îmân, hadis no. 25; Muslim pada kitab al-Îmân, hadis no. 118; al-Tirmidzi pada kitab Fadhâ`il al-Jihâd 'an Rasûlillâh, hadis no. 1582; al-Nasâ`i pada kitab Manâsik al-Hajj, hadis no. 2577; dan al-
134
Menurut Muhammad Rajab Syatawî dalam bukunya yang berjudul al-Da’wah al-Islâmiyah, paling tidak ada dua alasan utama mengapa jihad dengan
menggunakan
kekuatan
senjata
diperintahkan
dalam
Islam.
Pertama, untuk membentengi diri dari musuh. Kedua, menjaga tegaknya dakwah Islam
dan dan
menjaga
keutuhan
membangun
negara
negara Islam
demi
mewujudkan
yang
baik.
masyarakat
Jihad
-dengan
menggunakan kekuatan senjata- ini pernah diperkenalkan oleh Rasulullah Saw. pada awal masa Islam, dan hal itu bukanlah karena beliau suka membunuh ataupun berperang, tetapi jihad itu ditempuh guna melindungi diri
dan
akidah
setelah
semua
upaya
membina
kesepahaman
dengan
musuh gagal diwujudkan.62 Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu lebih bersifat defensive (pertahanan) daripada offensive (penyerangan). Mengenai hal ini, Fazhur Rahmân pernah menegaskan bahwa alQur`an menghendaki agar kaum Muslimin menegakkan tata politik di atas dunia untuk menciptakan tata sosial-moral yang egalitarian dan adil. Tata sosial-moral ini tentu akan menghilangkan "penyelewengan di atas dunia" (fasâd fi al-ardh). Untuk tujuan itulah, al-Qur`an menyerukan jihad.63
Nasâ`i pada kitab al-Jihâd, hadis no. 3079. Redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut: "Ahmad ibn Yûnus dan Mûsâ ibn Ismâ'il menceritakan kepada kami, Ibrâhim ibn Sa'ad menceritakan kepada kami, Ibn Syihâb menceritakan kepada kami dari Sa'id ibn alMusayyab, dari Abû Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. ditanya: "Perbuatan apa yang paling utama?" Beliau pun menjawab: "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya." Sang penanya bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Jihad di jalan Allah." Sang penanya bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Haji yang mabrur." 62
Muhammad Rajab Syatawî, al-Da’wah al-Islâmiyah, (Kairo: Dâr al-Thibâ'ah al-Muhammadiyyah, 1990), cet. ke-1, h. 177. 63
Fazhur Rahmân, Major Themes of The Qur`an, (alih bahasa: Wahyuddin, Tema Pokok al-Qur`an), (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), cet. ke-2, h. 92.
Anas
135
Pada masa sekarang ini, semangat jihad harus diarahkan dengan benar. Sebab secara umum, jihad melawan musuh dengan menggunakan kekuatan senjata hampir dapat dikatakan sudah tidak ada, kecuali hanya di beberapa daerah tertentu saja. Menurut Thal'at Muhammad Afîfi dalam bukunya yang berjudul Shafhât Musyriqât Min Hayât al-Shahâbiyât, ada jihad yang lebih penting dan lebih relevan untuk diterapkan pada zaman modern sekarang ini, yaitu jihad dalam bentuk ghazwul fikri (perang pemikiran),
ghazwul
i'lâmi
(perang
informasi)
serta
perang
melawan
fitnah-fitnah lain yang bahayanya lebih besar daripada perang senjata ataupun pembunuhan.64 Pengemban amar makruf nahi mungkar harus memiliki semangat jihad yang tinggi, karena tugas mereka merupakan tugas yang menuntut adanya kesungguhan dan keteguhan hati. Apalagi pada masa sekarang ini, masa
yang penuh
dengan
tantangan
dan
hambatan.
Dengan
memiliki
semangat jihad tinggi, mereka pun akan tetap tegar dan tidak mudah patah semangat dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan hambatan. Ini disebabkan karena semangat jihad ini berkaitan erat dengan sifat sabar, sifat yang sangat dibutuhkan oleh pengemban amar makruf nahi mungkar. Bila seorang pengemban amar makruf nahi mungkar memiliki semangat jihad tinggi, maka hampir dapat dipastikan dia akan memiliki tingkat kesabaran yang tinggi pula. Dia tidak akan mudah putus asa dan mengeluh meskipun
apa
yang
sedang
dihadapinya
terasa
sangat
berat
baginya.
Sebaliknya, bila seorang pengemban amar makruf nahi mungkar memiliki semangat jihad rendah, maka hampir dapat dipastikan pula bahwa dia akan memiliki tingkat kesabaran yang rendah pula sehingga dia akan mudah
64 Thal'at Muhammad Afîfi, Shafhât Musyriqât Min Hayât al-Shahâbiyât, (Mesir: Dâr al-Salâm, 2005), cet. ke-1, h. 94.
136
putus asa ketika menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya ketika sedang melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar. Dengan
semangat
jihad
yang
tinggi,
disertai
dengan
kesabaran
yang tinggi pula, pengemban amar makruf nahi mungkar akan terus berusaha untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, walau apapun yang
terjadi,
sehingga
mereka
benar-benar
dapat
menegakkan
hukum-
hukum Allah dan mewujudkan i'lâ`u Kalimâtillâh di muka bumi.
5. Bersegera Mengerjakan Kebajikan Karakteristik mungkar
adalah
khusus bersegera
kelima
dari
pengemban
mengerjakan
kebajikan.
amar
makruf
Karakteristik
nahi ini
difahami dari lafazh wayusâri'ûna fi al-khairât (bersegera mengerjakan pelbagai kebajikan) yang terdapat pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 114, yang digandengkan dengan lafazh ya`murûna bi al-ma'rûf wa yanhauna 'an almunkar
(menyuruh
kepada
yang
makruf,
dan
mencegah
dari
yang
mungkar). Seperti yang telah dijelaskan pada poin karakteristik beriman kepada Allah dan hal-hal yang wajib diimani, ayat ini menjelaskan tentang sekelompok orang di antara ahli kitab yang memiliki sifat-sifat tertentu yang
membedakan
diri
mereka
dengan
orang-orang
ahli
kitab
pada
umumnya. Di antara sifat yang dimaksud adalah bersegera melakukan kebajikan. Yang dimaksud dengan bersegera melakukan kebajikan adalah bersegera untuk melakukan kebajikan bila waktunya telah tiba dan tidak bermalas-malasan dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan RasulNya.
137
Bersegera
mengerjakan
mengerjakannya keseriusan,
saja,
kebajikan
tetapi
kesempurnaan
ia
dan
berarti
tidak
mengandung
kecepatan.
hanya
unsur
Ketika
sekedar
kesungguhan,
menafsirkan
firman
Allah Swt.( dalam surah al-Baqarah yang mengandung perintah kepada orang-orang
Mukmin
untuk
berlomba-lomba
mengerjakan
kebaikan65,
Fâlih ibn Muhammad al-Shaghîr dalam bukunya yang berjudul Hadîts Bâdirû Bi al-A'mâl Sittan: Dirâsah Hadîtsiyyah Da'awiyyah Nafsiyyah mengutip perkataan Ibn Sa'di yang menjelaskan bahwa perintah untuk berlomba-lomba mengerjakan kebajikan lebih dari sekedar perintah untuk mengerjakan
kebajikan
mengerjakan
saja,
kebajikan
menyempurnakannya,
karena
upaya
mengandung
melakukannya
untuk
makna
dalam
berlomba-lomba mengerjakannya,
kondisi
yang
paling
sempurna, serta bersegera mengerjakannya. Barangsiapa yang lebih dulu melakukan kebajikan di dunia, maka dia akan lebih dulu menuju ke surga. Orang-orang
yang
lebih
dulu
melakukan
kebajikan
merupakan
orang-
orang yang memiliki kedudukan atau derajat paling tinggi.66 Bersegera mendatangkan
mengerjakan
keridhaan
kesalahan-kesalahan,
kebajikan
Allah,
memasukkan
merupakan
dapat meningkatkan pelakunya
ke
sesuatu
yang dapat
derajat, menghapus dalam
surga
dan
menyelamatkannya dari api neraka. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Swt. dalam salah satu ayat di surah Âli 'Imrân yang mengandung perintah kepada orang-orang Mukmin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya supaya mereka diberi rahmat, dan juga perintah untuk bersegera mengejar 65
Q.S. al-Baqarah (2): 148.
66 Fâlih ibn Muhammad al-Shaghîr, Hadîts Bâdirû Bi al-A'mâl Sittan: Dirâsah Hadîtsiyyah Da'awiyyah Nafsiyyah, (Riyadh: Dâr Ibn al-Atsîr, 1426 H), cet. ke-2, h. 16.
138
ampunan Tuhan dan berusaha meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.67 Dari sini, maka kaum Salaf al-Shâlih pun memberikan perhatian khusus
terhadap
upaya
untuk
bersegera
melakukan
berbagai
macam
kebajikan, baik yang berkaitan dengan iman maupun amal-amal saleh seperti
shalat,
ditujukan
zakat,
shadaqah
dan
berbagai
macam
kebaikan
yang
kepada sesama manusia. Ketika menggambarkan sosok Nabi
Yahya dan keluarganya, Allah Swt. memuji mereka dengan mengatakan bahwa
mereka
adalah
orang-orang
yang
selalu
bersegera
dalam
(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik, lalu mereka berdoa kepada Allah
dengan
harap
dan
cemas.68
Pujian
ini,
tentunya,
tidak
hanya
dikhususkan untuk Nabi Yahya dan keluarganya saja, melainkan juga untuk setiap orang Mukmin yang benar-benar bertakwa seperti mereka. Dalam hal ini, seorang Muslim dituntut untuk mengikuti jejak kaum Salaf al-Shâlih itu, yang merupakan orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah Swt.. Ketika menggambarkan sosok mereka, Allah Swt. menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh-Nya, karena itu Dia pun memerintahkan kepada orang-orang Mukmin untuk mengikuti petunjuk mereka.69 Di tempat lain, Allah Swt. menggambarkan sosok mereka dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang
yang
kembali
ke
jalan-Nya,
karena
itu
Dia
juga
memerintahkan hal yang sama kepada orang-orang Mukmin.70 Dalam
banyak
hadis,
Rasulullah
Saw.
juga
telah
memberikan
dorongan kepada umatnya untuk segera melakukan kebajikan dan tidak 67
Lihat Q.S. Âli 'Imrân (3): 132-133. Lihat Q.S. al-Anbiyâ` (21): 90. 69 Lihat Q.S. al-An'âm (6): 90. 70 Lihat Q.S. Luqmân (31): 15. 68
139
menunda-nundanya.
Dalam
sebuah
hadis,
beliau
memerintahkan
kepada
setiap Muslim untuk menggunakan lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan. Lima kesempatan yang dimaksud adalah masa muda, masa sehat,
masa
kaya,
waktu
luang
dan
masa
hidup,
sedangkan
lima
kesempitan yang dimaksud adalah masa tua, masa sakit, masa fakir, waktu sibuk dan kematian.71 Pengemban orang
yang
amar
bersegera
makruf melakukan
nahi
mungkar
kebajikan
merupakan
dan
tidak
sekelompok
mau
menunda-
nundanya bila waktunya telah tiba. Mereka menggunakan kesempatankesempatan baik yang ada sebelum datang berbagai kesempitan. Mereka segera beranjak dari kesibukan mereka bila panggilan untuk mengerjakan kebajikan telah datang. Dalam hal mengerjakan kebaikan, mereka tidak mengenal istilah "nanti saja" atau "besok saja". Demikian pula ketika menegakkan amar makruf nahi mungkar, mereka segera menyuruh orang lain
untuk
mengerjakan
meninggalkannya.
Ketika
kebajikan melihat
bila satu
mereka
melihat
kemungkaran,
orang
mereka
itu
segera
berusaha untuk membasmi dan memeranginya serta tidak mau menunggu hingga kemungkaran itu merajalela. Semua itu mereka lakukan dengan ikhlas
hanya
untuk
mendapatkan
keridhaan
Allah
Swt.
semata
sebagaimana mereka juga mengharapkan hal itu melalui amar makruf nahi mungkar yang mereka tegakkan.
71
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab al-Mustadrak Lafazh hadis tersebut adalah sebagai berikut: "Pergunakanlah lima (kesempatan) datang lima (kesempitan): Masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa fakirmu, masa sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu."
(4/341). sebelum sehatmu luangmu
140
Demikianlah
penjelasan
tentang
karakteristik-karakteristik
pengemban amar makruf nahi mungkar yang dapat disimpulkan dari ayatayat
al-Qur`an
yang
mengandung
lafazh
amar
makruf
nahi
mungkar,
dalam berbagai derivasi dan ragam frasenya. Karakteristik-karakteristik ini perlu diketahui sehingga dapat menjadi pedoman bagi orang-orang yang ingin
berkecimpung
mungkar.
Bila
secara
pengemban
khusus
dalam
amar
makruf
bidang nahi
amar
makruf
mungkar
nahi
benar-benar
memiliki karakteristik-karakteristik seperti itu, maka amar makruf nahi mungkar yang merupakan control system dalam masyarakat dari mulai lingkungan terkecil yaitu keluarga, hingga lingkungan terbesar yaitu umat Islam
secara
keseluruhan,
dapat
berjalan
dengan
Amar
Makruf
optimal
dan
sesuai
harapan.
C.
Analisis
Terhadap
Gerakan
Nahi
Mungkar
di
Indonesia Pada masa sekarang ini, pengemban amar makruf nahi mungkar tidak hanya berupa sekelompok orang yang berjuang sendiri-sendiri dan tidak
terorganisir
dengan
baik
seperti
yang dilakukan
oleh
kelompok
ulama pada umumnya, melainkan juga berupa kelompok-kelompok orang yang
telah
melebur
dalam
berbagai
macam
lembaga
atau
organisasi
masyarakat, baik organisasi yang menggunakan label Islam ataupun tidak. Dalam hal ini, karakteristik-karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar -seperti yang telah dijelaskan di atas- harus diterjemahkan ke dalam bahasa visi dan misi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi tersebut,
untuk
kemudian
disosialisasikan
kepada
seluruh
orang
yang
tergabung di dalamnya sehingga dapat menjadi acuan bagi mereka dalam
141
menegakkan amar makruf nahi mungkar. Dalam pelaksanaan amar makruf nahi mungkar ini, setiap anggota diwajibkan untuk memperhatikan visi dan
misi
lembaga
atau
organisasi
mereka
yang
telah
mengandung
karakteristik-karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar tersebut. Dengan
cara
organisasi-organisasi makruf
nahi
seperti yang
mungkar
itu,
memiliki
benar-benar
diharapkan perhatian dapat
lembaga-lembaga khusus
mengemban
terhadap tugasnya
dan amar dengan
baik sesuai dengan tuntutan syariat Islam serta tidak akan melakukan tindakan-tindakan gegabah yang justru akan merusak citra mereka sebagai pengemban amar makruf nahi mungkar dan juga citra agama Islam sendiri di mata umat lain atau bahkan di mata masyarakat internasional. Bila hal ini terwujud, maka –insya Allah- akan tercipta sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran-ajaran Islam, yang pada akhirnya akan menjadi masyarakat
Islam
yang
hidup
sejahtera
dan
penuh
kedamaian,
persis
seperti negeri Saba` yang telah mendapat pujian dari Allah Swt. karena negeri itu mendapatkan limpahan karunia-Nya serta ampunan dari-Nya tetapi hal itu terjadi sebelum mereka berpaling dari ajaran-ajaran Allah Swt..72 Dalam tataran masyarakat Indonesia, ada sejumlah lembaga atau organisasi yang memiliki perhatian khusus terhadap upaya penegakkan amar makruf nahi mungkar di Indonesia, seperti FPI (Front Pembela Islam, Jama'ah Tabligh, Hizbut Tahrir, Majlis Mujahidin Indonesia dan lain
sebagainya.
Meskipun
secara
umum
organisasi-organisasi
tersebut
memiliki kesamaan salah satu misinya, yaitu menegakkan amar makruf nahi mungkar, akan tetapi dalam bagian analisis ini, penulis hanya akan menganalisa -tentunya karena keterbatasan waktu dan ruang- organisasi 72
Lihat Q.S. Saba` (34): 15.
142
FPI saja, karena FPI merupakan sebuah organisasi yang mengemban tugas amar makruf nahi mungkar, yang sangat terkenal di Indonesia karena aksiaksinya yang dianggap kontroversial sejak tahun 1998. Terutama yang dilakukan
oleh
laskar
Rangkaian
aksi
penutupan
tempat-tempat
yang
paramiliternya klub
diklaim
yakni
malam,
sebagai
Laskar
Pembela
tempat-tempat
tempat-tempat
Islam.
pelacuran
maksiat,
dan
ancaman
terhadap warga negara tertentu, sweeping terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain, merupakan wajah FPI yang paling sering diperlihatkan di media massa.73 FPI dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1998 atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H di halaman Pondok Pesantren al-Um, Kampung Utan, Ciputat, di selatan Jakarta oleh sejumlah habaib, ulama, mubaligh dan aktivis Muslim serta disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama
antara
ulama
dan
umat
dalam menegakkan
amar
makruf
nahi
mungkar di setiap aspek kehidupan. Adapun latar belakang pendirian FPI sebagaimana diklaim oleh organisasi tersebut antara lain: 1. Adanya lemahnya
penderitaan kontrol
panjang sosial
umat
penguasa
Islam sipil
di
Indonesia
maupun
militer
karena akibat
banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. 2. Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. 3. Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan
73 Lihat Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia http://id.wikipedia.org, Front Pembela Islam, h. 2.
Bebas
Berbahasa
Indonesia,
143
martabat Islam serta umat Islam.74 Dalam
menjalankan
misinya
menegakkan
amar
makruf
nahi
mungkar, FPI telah melakukan sejumlah aksi yang dimaksudkan untuk memberantas Indonesia.
kemungkaran
Di
menentang
awal-awal
penerbitan
dan tahun
majalah
menegakkan 2006,
syariat
FPI
Playboy
begitu
Indonesia.
Islam
di
bumi
bersemangat
dalam
Aksi
nekat
Ponti
Corolus, Erwin Arnada dan kawan-kawan dengan menerbitkan majalah Playboy Indonesia dianggap Front Pembela Islam (FPI) dan ormas-ormas lainnya menantang kaum Muslimin. Maklum, di tengah debat sengit soal RUU APP, majalah Playboy Indonesia bernyali besar untuk hadir di tengah-tengah
masyarakat
Indonesia
yang
mayoritas
beragama
Islam.
Terbitnya majalah cabul ini juga menampar wajah umat Islam Indonesia di kancah internasional, khususnya dunia Islam. Majalah gaya hidup pria yang berasal dari Amerika Serikat ini, tak lebih dari sekedar menjajakan pornografi, dengan tampilan tubuh-tubuh telanjang. Lebih jauh, masuknya Playboy merupakan penjajahan budaya yang tidak bisa dibiarkan. FPI menilai apa yang telah dilakukan Playboy sudah brutal. Karena itu, FPI menyatakan perang terhadap ikon majalah cabul tersebut.75 Sejak
berdiri,
FPI
tidak
jarang
melakukan
aksi-aksi
yang
mengandung unsur kekerasan, pengrusakan ataupun intimidasi (ancaman). Sebagai contoh, pada tanggal 27 Agustus 2001, ratusan massa yang tergabung dalam Gedung
Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa di depan
DPR/MPR
RI.
Mereka
menuntut
MPR/DPR
74
Bebas
75
Majalah Islam Sabili, edisi no. 21 th. XIII 4 Mei 2006, h. 33.
Lihat Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia http://id.wikipedia.org, Front Pembela Islam, h. 1.
RI
Berbahasa
untuk
Indonesia,
144
mengembalikan
Pancasila
sesuai
dengan
Piagam
Jakarta.
Lalu
pada
tanggal 09 Oktober, FPI membuat keributan dalam aksi demonstrasi di depan
Kedutaan
Amerika
Serikat
dengan
merobohkan
barikade
kawat
berduri dan aparat keamanan menembakkan gas air mata serta meriam air. Pada tanggal 15 Maret 2002, sekitar 300 masa FPI merusak sebuah tempat hiburan, Mekar Jaya Billiard, di Jl. Prof Dr. Satrio No.241, Karet, Jakarta.
Kemudian
pada
tanggal
pekarangan Sekolah Sang Timur
03
Oktober
2004,
FPI
menyerbu
sambil mengacung-acungkan senjata dan
memerintahkan para suster agar menutup gereja dan sekolah Sang Timur. Front Pembela Islam (FPI) menuduh orang-orang Katolik agama Katolik karena mereka mempergunakan
menyebarkan
ruang olahraga sekolah
sebagai gereja sementara dan hal itu telah berjalan selama sepuluh tahun. Selain itu, masih banyak lagi tindakan-tindakan anarkis lainnya yang telah dilakukan FPI.76 Dalam hal ini, FPI memposisikan dirinya sebagai pengemban amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana telah dijelaskan pada latar belakang masalah, pengemban amar makruf nahi mungkar adalah sekelompok orang yang
memiliki
perhatian
mungkar.
Keberadaan
keharusan
dalam
khusus
kelompok
masyarakat
terhadap orang
Islam,
tugas
seperti
karena
amar ini
meskipun
makruf
nahi
merupakan
satu
pada
hakekatnya
amar makruf nahi mungkar wajib hukumnya bagi setiap Muslim, sesuai dengan kemampuan masing-masing, akan tetapi seperti yang dikatakan oleh Ibn Katsîr ketika menafsirkan firman Allah pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 104, harus ada sekelompok orang dari umat ini yang mau menekuni
76
Lihat Situs Kaum Kiri Indonesia, http://www.rumahkiri.org.
145
bidang amar makruf nahi mungkar.77 Sebagai
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar,
FPI
telah
memperlihatkan salah satu karakteristik khusus pengemban amar makruf nahi mungkar yaitu memiliki semangat juang, sebuah karakteristik yang disimpulkan dari lafazh al-sâ`ihûn yang terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112.
Menurut
hemat
penulis,
anggota-anggota
FPI
memiliki
semangat
juang yang tinggi, dan hal ini tercermin pada banyaknya aksi-aksi amar makruf
nahi
mungkar
yang
mereka
lakukan
sejak
awal
pendiriannya
hingga sekarang78. Mereka cepat memberikan respon bila ada sesuatu yang dianggap sampai
mereka
sebagai
kemungkaran
kemungkaran.
itu
merajalela
Mereka
ke
tidak
seluruh
mau
lapisan
menunggu masyarakat.
Semangat juang anggota-anggota FPI juga ditunjukkan dengan melakukan berbagai
aksi
kemanusiaan
bencana tsunami di Aceh.
antara
lain
pengiriman
relawan
ke daerah
79
Tetapi semangat juang yang tinggi ini tidak cukup bila tidak dibarengi dengan
karakteristik khusus lainnya yaitu menjaga nilai-nilai
akhlak.
Menurut
penulis,
menjaga
nilai-nilai
akhlak
FPI ini
kurang
karena
memperhatikan
dalam
mengemban
karakteristik tugas
amar
makruf nahi mungkar, FPI sering melakukan tindakan kekerasan atau anarkis.
Menurut
Habib
Rizieq,
Ketua
FPI,
tindakan-tindakan
anarkis
seperti itu disebabkan karena adanya "komunikasi yang tersumbat" dan 77 Ibn Kastîr, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, (Beirut: al-Maktabah al-'Ashriyyah, 2002), jilid 1, h. 342. 78 Untuk mengetahui lebih rinci tentang aksi-aksi FPI, lihat Situs Kaum Kiri Indonesia, http://www.rumahkiri.org. 79 Lihat Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia http://id.wikipedia.org, Front Pembela Islam, h. 2.
Bebas
Berbahasa
Indonesia,
146
"letupan
psikologis"
dari
ketidakberdayaan
hukum
di
Indonesia
dalam
menegakkan
amar
80
memberantas kemaksiatan. Apapun makruf
alasannya,
tindakan
anarkis
nahi mungkar tidak dapat
dalam
dibenarkan,
karena ia
bertentangan
dengan karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar lainnya yaitu menjaga nilai-nilai akhlak. Pengemban amar makruf nahi mungkar harus tetap menjaga nilai-nilai akhlak ketika sedang menjalankan tugas mulia tersebut.
Mereka
tidak
boleh
bersikap
gegabah,
emosional
dan
tidak
mudah terprovokasi, terutama ketika aspirasi mereka tidak didengarkan atau
ketika
digubris.
amar
Dalam
makruf kondisi
nahi
mungkar
yang
mereka
apapun,
mereka
harus
tetap
lakukan bersabar
tidak sesuai
dengan firman Allah dalam Q.S. Luqmân (31): 17 dan harus bersikap legowo sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-A'râf (7): 199, seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan tentang karakteristik khusus. Dalam konteks
masyarakat
Indonesia,
agar
sebuah
organisasi
–
apapun namanya- dapat tetap menjaga nilai-nilai akhlak sehingga tidak melakukan
tindakan-tindakan
didengarkan lakukan
tidak
dilakukan, bekerja
atau
sama
meskipun
digubris,
seperti
anarkis amar
ada
dengan
dengan
meskipun
makruf
beberapa
nahi
langkah
memberdayakan
penegak
hukum,
aspirasi
mereka
mungkar
yang mereka
alternatif
wakil
yang
rakyat
menempuh
jalur
tidak
dapat
(legislatif), hukum,
atau
dengan langkah-langkah positif lainnya. Menurut hemat penulis, langkahlangkah
tersebut
tindakan
anarkis.
menambah 80
harum
jauh
lebih
baik daripada
Sebab,
di
samping
citra
agama
Islam
harus melakukan tindakan-
langkah-langkah di
mata
tersebut
masyarakat
Majalah Islam Sabili, edisi no. 21 th. XIII 4 Mei 2006, h. 44.
akan
Indonesia
147
khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya, serta citra para anggota organisasi tersebut sebagai pengemban amar makruf nahi mungkar, negara Indonesia adalah negara hukum sehingga tidak ada seorang pun atau satu organisasi
pun
yang
dibolehkan
untuk
menggunakan kekerasan fisik, apapun alasannya.
main
hakim
sendiri
dengan
148
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Amar makruf nahi mungkar merupakan sebuah tugas mulia dan satu amaliah yang telah disepakati kewajibannya oleh para ulama, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan mereka apakah ia termasuk fardhu 'ain ataukah fardhu kifâyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum amar makruf nahi mungkar adalah fardhu 'ain karena huruf min pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 104 adalah min bayâniyyah (sebagai penjelas saja), sementara sebagian
ulama yang lain
berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu
kifâyah karena huruf min pada ayat tersebut adalah min li al-tab'îdh (menunjukkan arti sebagian). Karena begitu mulia dan pentingnya amar makruf nahi mungkar dalam kehidupan bermasyarakat, maka al-Qur`an pun memberikan perhatian khusus terhadapnya. Ada sekitar 18 ayat dalam al-Qur`an yang secara tegas menyebutkan lafazh amar makruf nahi mungkar dalam berbagai derivasi dan ragam frasenya. Dari penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut diketahui bahwa amar makruf nahi mungkar menurut al-Qur`an adalah menyuruh orang lain melakukan
sesuatu
yang
dipandang
baik
oleh
akal
dan
syariat
serta
mencegahnya dari sesuatu yang dipandang buruk oleh keduanya. Selain itu, dari pemahaman terhadap ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa amar makruf
dan
dipisahkan,
nahi
mungkar
karena
dalam
merupakan amar
mungkar, demikian pula sebaliknya.
satu
makruf
kesatuan terkandung
yang tidak
dapat
pengertian
nahi
149
Selanjutnya, penulis menemukan bahwa harus ada kelompok yang memfokuskan perhatiannya pada tugas amar makruf nahi mungkar. Mereka disebut dengan istilah pengemban amar makruf nahi mungkar. Penulis juga menemukan
bahwa
ada
karakteristik-karakteristik
tertentu
yang
perlu
dimiliki oleh pengemban amar makruf nahi mungkar, yaitu: Karakteristik umum yang terdiri dari: beriman kepada Allah dan hal-hal lain yang wajib diimani serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya; Kemudian karakteristik khusus yang meliputi: menjaga nilai-nilai akhlak, bertaubat, selalu memuji Allah,
memiliki
melakukan sehingga
semangat
kebajikan. dapat
jihad
atau
semangat
Karakteristik-karakteristik
menjadi
pedoman
bagi
juang ini
dan perlu
orang-orang
bersegera diketahui
yang
ingin
berkecimpung secara khusus dalam bidang amar makruf nahi mungkar. Bila para
pengemban
amar
makruf
nahi
mungkar
benar-benar
memiliki
karakteristik-karakteristik seperti itu, maka amar makruf nahi mungkar yang merupakan control system dalam masyarakat dapat berjalan secara optimal dan sesuai harapan. Di sisi lain, para pengemban amar makruf nahi mungkar tersebut benar-benar akan menjadi unsur utama pembentuk khair ummah seperti yang disebutkan dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110.
B. Saran-Saran Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan di akhir tesis ini: 1. Tema tentang amar makruf nahi mungkar merupakan tema penting. Oleh karena
itu,
maka
perlu
dilakukan
penelitian
lapangan
yang
lebih
komprehensif dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengamalan amar makruf nahi mungkar dalam masyarakat, baik dalam lingkungan
keluarga,
lingkungan
sekitar
ataupun
negara.
Penelitian
150
lanjutan
juga
pengamalan
diharapkan pengemban
untuk
mengetahui
amar
makruf
seberapa
nahi
besar
mungkar
tingkat terhadap
karakteristik-karakteristik yang semestinya dimiliki mereka. 2. Mengingat
penelitian-penelitian
tentang
amar
makruf
nahi
mungkar
masih tergolong minim, maka penulis juga menyarankan agar penelitianpenelitian tentang amar makruf nahi mungkar lebih digalakkan lagi, baik dari tinjauan tafsir, hadis maupun dakwah, terutama tentang peran amar makruf
nahi
negara ideal.
mungkar
dalam
membentuk
keluarga,
masyarakat
dan