AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN TESIS Oleh: Fatkhurozi 03.2.00.1.05.01.0032

Pembimbing: Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA Dr. Abdul Wahib Mu'thi, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M

AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN TESIS Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana Konsentrasi Tafsir-Hadis Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Magister Agama Oleh: Fatkhurozi 03.2.00.1.05.01.0032

Pembimbing: Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA Dr. Abdul Wahib Mu'thi, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

: Fatkhurozi

NIM

: 03.2.00.1.05.01.0032

Program Studi : Pengkajian Islam Konsentrasi

: Tafsir-Hadis

Alamat

: Jl. H. Zaenuddin No. 82 A Gandaria Utara Rt. 02 Rw. 14 Kebayoran Baru Jakarta Selatan

menyatakan bahwa karya tesis yang berjudul ”Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an” adalah benar hasil karya asli tulisan saya dan

bukan

merupakan jiplakan. Apabila ternyata di kemudian hari tidak benar maka saya

bersedia

menerima

sanksi

berupa

pencabutan

gelar

dari

Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pernyataan ini saya buat, semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat.

Jakarta, 10 Februari 2008 Yang menyatakan,

Fatkhurozi

i

ABSTRAK

Kesimpulan besar yang dihasilkan dari tesis ini adalah bahwa amar makruf nahi mungkar menurut al-Qur`an adalah menyuruh orang lain melakukan sesuatu yang dipandang baik oleh akal dan syariat serta mencegahnya dari sesuatu yang dipandang buruk oleh keduanya. Amar makruf nahi mungkar sangat penting dan menduduki posisi sebagai control system dalam Islam, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Rasyîd Ridhâ. Hal ini sangat terkait dengan perannya dalam mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri, baik dengan meninggalkan perintah-perintah Allah Swt. maupun dengan melakukan larangan-larangan-Nya. Melalui tesis ini, penulis juga menemukan bahwa harus ada kelompok yang memfokuskan perhatiannya pada tugas amar makruf nahi mungkar. Mereka disebut dengan istilah pengemban amar makruf nahi mungkar. Penulis juga menemukan bahwa ada karakteristik-karakteristik tertentu yang perlu dimiliki oleh pengemban amar makruf nahi mungkar, yaitu: Karakteristik umum yang terdiri dari: beriman kepada Allah dan halhal lain yang wajib diimani serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya; Kemudian karakteristik khusus yang meliputi: menjaga nilai-nilai akhlak, bertaubat, selalu memuji Allah, memiliki semangat jihad atau semangat juang dan bersegera melakukan kebajikan. Karakteristik-karakteristik ini perlu diketahui sehingga dapat menjadi pedoman bagi orang-orang yang ingin berkecimpung secara khusus dalam bidang amar makruf nahi mungkar. Bila para pengemban amar makruf nahi mungkar benar-benar memiliki karakteristik-karakteristik seperti itu, maka amar makruf nahi mungkar yang merupakan control system dalam masyarakat dapat berjalan secara optimal dan sesuai harapan. Di sisi lain, para pengemban amar makruf nahi mungkar tersebut benar-benar akan menjadi unsur utama pembentuk khair ummah seperti yang disebutkan dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110. Ada titik persamaan antara tesis ini dengan tulisan-tulisan sebelumnya yang berkaitan dengan tema amar makruf nahi mungkar, seperti buku berjudul al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar karya Ibn Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahyu ‘An al-Munkar wa Wâqi’ alMuslimîn al-Yaum karya Shâlih ibn 'Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy ‘An al-Munkar: al-Hatstsu ‘Alâ Fi’lihi wa al-Tahdzîr min Tarkihi karya Sulaimân ibn Qâsim al-‘Îd, disertasi berjudul Perspektif alQur`an Tentang Masyarakat Ideal yang ditulis oleh Ali Nurdin dan disertasi

ii

berjudul Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur`an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl: 125) yang ditulis oleh Salmadanis. Titik persamaannya terletak pada pembahasan tentang wawasan amar makruf nahi mungkar. Hanya saja, ada dua hal yang membedakan antara tesis ini dengan karya-karya ilmiah tersebut, yaitu adanya pembahasan tentang beberapa hal yang dapat menjadi fokus utama gerakan amar makruf nahi mungkar pada masa sekarang ini, tentunya disebabkan karena hal-hal tersebut dipandang sebagai hal-hal makruf yang untuk saat ini cukup penting bagi umat Islam. Selain itu, pembahasan mengenai masalah kedua merupakan hal utama yang membedakan tesis ini dengan karya-karya ilmiah sebelumnya. Untuk dapat memahami ayat-ayat amar makruf nahi mungkar, penulis menggunakan beberapa kitab tafsir yang bernuansa adabi ijtimâ'i (sosiologi) seperti Tafsîr fî Zhilâl al-Qur`ân karya Sayyid Quthb, Tafsîr alQur`âni li al-Qur`ân karya 'Abd al-Karîm al-Khathîb dan Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Rasyîd Ridhâ; tentunya didukung oleh kitab-kitab tafsir lain seperti Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân karya Ibn Jarîr al-Thabari, Tafsîr al-Kasysyâf karya alZamakhsyari, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân wa al-Sab’i al-Matsânî karya al-Alûsi, Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaili, serta kitab-kitab tafsir lainnya.

iii

ABSTRACT

The issue that the writer discusses in this thesis is within the concept of amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil) and the guardian’s/caretaker’s characteristic according to the Holy Koran. The first issue has been discussed in previous articles or books, such as al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘An al-Munkar by Ibn Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahyu ‘An al-Munkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum by Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘An al-Munkar: al-Hatstsu ‘Alâ Fi’lihi wa al-Tahdzîr min Tarkihi by Sulaimân ibn Qâsim al-‘Îd, a dissertation titled Perspektif al-Qur’an Tentang Masyarakat Ideal written by Ali Nurdin and a dissertation called Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur’an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl: 125) written by Salmadanis. Even though, there are two things that differentiate this thesis with those scientific works, which are: there’s a discussion about a few things that can be the main focus of amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil) movement on present period of time, it surely is because those issues are being projected as known/makruf issues which is quite important for Moslems at the moment. Beside that, the discussion about the second issues is the main thing that differentiates this thesis with previous scientific works. The conclusion as a result from this thesis is that amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil) according to the Holy Koran is telling other person to do something which is good according to the mind and the syariat/Islam Law and keeping the person away from bad things according to them. From the understanding towards the verses that contains amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil) lafazh/wording we can concludes that amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil) is a unity that can not be break/divided, because in amar makruf/the enjoining good there’s and understanding of nahi mungkar/forbidding evil, and it goes the other way around/vice versa. Then, the writer found out that there has to be a group that focusing their attention on amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil) duty. We call them as amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil) guardian/caretaker. Writer also found that there are certain characteristics that amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil) guardian/caretaker need to have, which are: Common/General characteristic such as: Faithful to Allah and other obligated things and also obedient to Allah and The Prophets; And then the special characteristic that includes: maintaining the value of moral, penitent, praise Allah at all time, having jihad or fighting spirits and never delay any good deeds. These characteristics need to be known so that it can be guidance for others who wants to be involved especially in amar makruf nahi mungkar’s/ (enjoining good and forbidding evil) field. If the amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and

iv

forbidding evil) guardian/caretaker really have those characteristics, then amar makruf nahi mungkar (enjoining good and forbidding evil which is a control system in the society can work optimally and according to expectation. On the other side, these amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil guardian/caretaker are going to be the main elements in forming khair ummah/good society as mentioned in Q.S. Âli Imrân (3): 110. To understand amar makruf nahi mungkar’s (enjoining good and forbidding evil’s) verses which become the main source of this research, writer used some interpret books that has adabi ijtimâ’i (sociology) nuance, like Tafsîr fî Zhilâl alQur’ân by Sayyid Quthb, Tafsîr al-Qur’âni li al-Qur’ân by ‘Abd al-Karîm al-Khatîb and Tafsîr al-Manâr by Muhammad Rasyîd Ridhâ; and certainly supported by other interpret books such as Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm by Ibn Katsîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân by Ibn Jarîr al-Thabari, Tafsîr al-Kasysyâf by al-Zamakhsyari, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân wa al-Sab’i al-Matsânî by al-Alûsi, Tafsîr al-Munîr by Wahbah al-Zuhaili, and also others interpret books.

‫‪v‬‬

‫ﲡﺮﻳﺪ‬ ‫ﺇﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺗﺒﺤﺚ ﻋﻦ ﻣﺴﺄﻟﺘﲔ ﺃﺳﺎﺳﻴﺘﲔ‪ ،‬ﺍﻷﻭﱃ ﻫﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺗﻌﺮﻳﻒ ﺍﻷﻣﺮ ﺑـﺎﳌﻌﺮﻭﻑ‬ ‫ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻭﻣﺎ ﻳﺘﻌﻠﻖ ‪‬ﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﳌﻌﺎﺭﻑ‪ ،‬ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻓﻬﻲ ﻣـﺴﺄﻟﺔ ﺧـﺼﺎﺋﺺ ﺍﻷﻣـﺔ ﺍﻵﻣـﺮﺓ‬ ‫ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﺎﻫﻴﺔ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ‪ ،‬ﻭﻣﻦ ﺍﳌﻌﺮﻭﻑ ﺃﻥ ﺍﳌﺴﺄﻟﺔ ﺍﻷﻭﱃ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻗﺪ‬ ‫ﲝﺜﺘﻬﺎ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﺮﺳﺎﻻﺕ ﺃﻭ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﺴﺎﺑﻘﺔ ﻣﺜﻞ‪ :‬ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺍﺑـﻦ‬ ‫ﺗﻴﻤﻴﺔ‪ ،‬ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻭﻭﺍﻗﻊ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻟﺼﺎﱀ ﺑﻦ ﻋﺒـﺪﺍﷲ ﺩﺭﻭﻳـﺶ‪،‬‬ ‫ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ‪ :‬ﺍﳊﺚ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻠﻪ ﻭﺍﻟﺘﺤﺬﻳﺮ ﻣﻦ ﺗﺮﻛﻪ ﻟﺴﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑـﻦ ﻗﺎﺳـﻢ‬ ‫ﺍﻟﻌﻴﺪ‪ ،‬ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭﺓ ﲢﺖ ﺍﻟﻌﻨﻮﺍﻥ‪) Perspektif al-Qur`an Tentang Masyarakat Ideal :‬ﺭﺃﻱ‬ ‫ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻦ ﺍ‪‬ﺘﻤﻊ ﺍﳌﺜﺎﱄ( ﻭﻫﻲ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻛﺘﺒﻬﺎ ﺍﻷﺥ ﻋﻠﻲ ﻧﻮﺭﺍﻟﺪﻳﻦ )ﺍﻷﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻲ(‪ ،‬ﻭﻛـﺬﻟﻚ ﺭﺳـﺎﻟﺔ‬ ‫ﺍﻟﺪﻛﺘﻮﺭﺓ ﺍﻟﱵ ﻛﺘﺒﻬﺎ ﺍﻷﺥ ﺳﻠﻤﺎﺩﺍﻧﻴﺲ )ﺍﻷﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻲ( ﺑﻌﻨﻮﺍﻥ‪:‬‬ ‫‪Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur`an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl:‬‬ ‫‪125‬‬

‫)ﻃﺮﻕ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﰲ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ‪ :‬ﺩﺭﺍﺳﺔ ﻋﻦ ﻗﻮﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﰲ ﺳﻮﺭﺓ ﺍﻟﻨﺤﻞ ﺍﻵﻳﺔ ‪.(١٢٥‬‬ ‫ﻭﻣﻬﻤﺎ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻨﺎﻙ ﻓﺮﻕ ﺑﻴ‪‬ﻦ ﺑﲔ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﺍﻟﱵ ﺑﲔ ﻳﺪﻳﻚ ﻭﻣﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺳﺎﻻﺕ ﻷﻥ ﰲ ﻫﺬﻩ‬ ‫ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﲝﺜﺎ ﻋﻦ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻟﱵ ﳝﻜﻦ ﺃﻥ ‪‬ﺘﻤﻬﺎ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜـﺮ ﰲ ﺍﻵﻭﻧـﺔ‬ ‫ﺍﻷﺧﲑﺓ‪ ،‬ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺗﻌﺘﱪ ﺃﺷﻴﺎﺀ ﻣﻬﻤﺔ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﲔ ﺍﻟﻴﻮﻡ‪ ،‬ﻭﲜﺎﻧﺐ ﺫﻟﻚ ﻓﺈﻥ ﺍﳌﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ‬ ‫ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺃﺳﺎﺳﻴﺔ ﺗﻔﺮﻕ ﺑﲔ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻭﻣﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺳﺎﻻﺕ‪.‬‬ ‫ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺘﻨﻴﺠﺔ ﺍﻟﱵ ﺣﺼﻠﻬﺎ ﺍﻟﺒﺎﺣﺚ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻓﻬﻲ ﺃﻥ ﻟﻔﻆ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋـﻦ‬ ‫ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻘﻴﺎﻡ ﺷﻲﺀ ﺣﺴﻦ ﺃﻭ ﻣﻌﺮﻭﻑ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﰒ ‪‬ﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻦ ﺷﻲﺀ ﻗﺒﻴﺢ‬ ‫ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻣﻌﺎ‪ ،‬ﻭﺑﻌﺪ ﻋﺮﺽ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻧﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﻔﻆ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ‬ ‫ﻭﺑﻌﺪ ﻓﻬﻤﻬﺎ ﺣﺼﻞ ﺍﻟﺒﺎﺣﺚ ﻋﻠﻰ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﻭﻫﻲ ﺃﻥ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﺷﻲﺀ ﻭﺍﺣـﺪ ﻻ‬ ‫ﳝﻜﻦ ﺗﻔﺮﻳﻘﻬﻤﺎ‪ ،‬ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﻟﻔﻆ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻳﺸﺘﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﲎ ‪‬ﻲ ﺍﳌﻨﻜﺮ ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻋﻜﺴﻬﺎ‪.‬‬ ‫ﻭﰲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﳚﺪ ﺍﻟﺒﺎﺣﺚ ﺃﻳﻀﺎ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﰲ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺮﻛـﺰﻭﻥ‬ ‫ﺍﻫﺘﻤﺎﻣﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ‪ ،‬ﻭﻫﻢ ﺭﺟﺎﻝ ﳍﻢ ﺧﺼﺎﺋﺺ ﻣﻌﻴﻨﺔ‪ ،‬ﻭﻫﺬﻩ ﺍﳋﺼﺎﺋﺺ‬

‫‪vi‬‬

‫ﻧﻮﻋﺎﻥ‪ :‬ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﻷﻭﻝ ﻫﻮ ﺧﺼﺎﺋﺺ ﻋﺎﻣﺔ ﻭﻫﻲ ﺍﻹﳝﺎﻥ ﺑﺎﷲ ﻭﺑﻌﺾ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﺍﻟﱵ ﳚﺐ ﻋﻠـﻰ ﺍﳌـﺴﻠﻤﲔ‬ ‫ﺍﻹﳝﺎﻥ ‪‬ﺎ‪ ،‬ﰒ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ ﺑﺎﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ‪ .‬ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﻟﺜﺎﱐ ﻓﻬﻮ ﺧﺼﺎﺋﺺ ﺧﺎﺻﺔ ﻭﻫـﻲ ﺍﶈﺎﻓﻈـﺔ ﻋﻠـﻰ‬ ‫ﺍﻷﺧﻼﻕ ﺍﻟﻜﺮﳝﺔ‪ ،‬ﻭﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﺇﱃ ﺍﷲ‪ ،‬ﻭﺍﻟﺜﻨﺎﺀ ﻋﻠﻴﻪ ﰲ ﲨﻴﻊ ﺍﻷﺣﻮﺍﻝ‪ ،‬ﻭﺍﳊﻤﺎﺳﺔ ﻟﻠﺠﻬـﺎﺩ ﰲ ﺳـﺒﻴﻞ ﺍﷲ‪،‬‬ ‫ﻭﺍﳌﺴﺎﺭﻋﺔ ﰲ ﺍﳋﲑﺍﺕ‪ .‬ﻭﻫﺬﻩ ﺍﳋﺼﺎﺋﺺ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺘﻬﺎ ﺣﱴ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻨﻬﺎﺟﺎ ﻟﻠﻤﺮﻛﺰﻳﻦ ﺍﻫﺘﻤـﺎﻣﻬﻢ‬ ‫ﰲ ﳎﺎﻝ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ‪ ،‬ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻫﺆﻻﺀ ﺍﻵﻣﺮﻭﻥ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﺎﻫﻮﻥ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜـﺮ‬ ‫ﻳﺘﺴﻤﻮﻥ ‪‬ﺬﻩ ﺍﳋﺼﺎﺋﺺ ﻟﻴﺤﺼﻠﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﺟﻴﺪﺓ ﻭﳑﺘﻌﻤﺔ ﳑﺎ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻷﻣـﺮ ﺑـﺎﳌﻌﺮﻭﻑ‬ ‫ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ‪ ،‬ﻭﺳﻴﺼﺒﺤﻮﻥ ﻋﻨﺼﺮﺍ ﺃﺳﺎﺳﻴﺎ ﻣﻦ ﻋﻨﺎﺻﺮ ﺗﻜﻮﻳﻦ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻛﺨﲑ ﺃﻣﺔ ﺃﺧﺮﺟﺖ‬ ‫ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻛﻤﺎ ﺃﻛﺪﻫﺎ ﻗﻮﻝ ﺍﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﰲ ﺳﻮﺭﺓ ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ ﺍﻵﻳﺔ ‪.١١٠‬‬ ‫ﻭﻟﻔﻬﻢ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﺍﻟﻘﺮﺁﻧﻴﺔ ﺍﻟﱵ ﻓﻴﻬﺎ ﻟﻔﻆ ﺍﻷﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮﻭﻑ ﻭﺍﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ ﺍﳌﻨﻜﺮ‪ ،‬ﺍﺳﺘﺨﺪﻡ ﺍﻟﺒﺎﺣـﺚ‬ ‫ﺑﻌﺾ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺘﻔﺴﲑ ﻣﻦ ﻟﻮﻥ ﺍﻷﺩﺏ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻋﻲ ﻣﺜﻞ ﺗﻔﺴﲑ ﰲ ﻇﻼﻝ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﺴﻴﺪ ﻗﻄﺐ‪ ،‬ﻭﺍﻟﺘﻔـﺴﲑ‬ ‫ﺍﻟﻘﺮﺁﱐ ﻟﻠﻘﺮﺁﻥ ﻟﻌﺒﺪ ﺍﻟﻜﺮﱘ ﺍﳋﻄﻴﺐ‪ ،‬ﻭﺗﻔﺴﲑ ﺍﳌﻨﺎﺭ ﶈﻤﺪ ﺭﺷﻴﺪ ﺭﺿﺎ‪ ،‬ﻭﻃﺒﻌﺎ ﻳﺆﻳﺪ ﺍﻟﺒﺎﺣﺚ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﻜﺘﺐ‬ ‫ﺑﺎﻟﺘﻔﺎﺳﲑ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻣﺜﻞ ﺗﻔﺴﲑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ ﻻﺑﻦ ﻛﺜﲑ‪ ،‬ﻭﺟﺎﻣﻊ ﺍﻟﺒﻴﺎﻥ ﰲ ﺗﺄﻭﻳﻞ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻻﺑﻦ ﺟﺮﻳـﺮ‬ ‫ﺍﻟﻄﱪﻱ‪ ،‬ﻭﺍﻟﻜﺸﺎﻑ ﻟﻠﺰﳐﺸﺮﻱ‪ ،‬ﻭﺭﻭﺡ ﺍﳌﻌﺎﱐ ﰲ ﺗﻔﺴﲑ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﺍﻟﺴﺒﻊ ﺍﳌﺜﺎﱐ ﻟﻸﻟﻮﺳﻲ‪ ،‬ﻭﺍﻟﺘﻔﺴﲑ ﺍﳌﻨﲑ‬ ‫ﻟﻮﻫﺒﺔ ﺍﻟﺰﺣﻴﻠﻲ ﻭﻏﲑﻫﺎ ﻣﻦ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺘﻔﺴﲑ‪.‬‬

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah

adalah

kalimat

yang

paling

tepat

untuk

penulis

ucapkan sebagai wujud syukur kepada Allah Swt., karena berkat taufik-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini di tengah kesibukan kerja dan aktifitas sehari-hari. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Saw., para sahabat dan kerabat, serta orang-orang yang menjadi pengikut beliau hingga datangnya hari Kiamat. Pada kata pengantar ini, penulis ingin berterima kasih kepada orangorang yang telah berjasa dan telah membantu penulis dalam menempuh studi di

Sekolah

Pascasarjana

UIN

Syarif

Hidayatullah

Jakarta

serta

dalam

menyelesaikan penulisan tesis ini, antara lain: 1. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di sekolah tersebut. 2. Ustadzah Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA, selaku pembimbing I tesis ini dan Ustadz Dr. Abdul Wahib Mu'thi, MA, selaku pembimbing II, atas masukan-masukan

dan

saran-saran

yang

telah

diberikan

demi

penyempurnaan tesis ini. 3. Ayahanda dan ibunda tercinta, Bapak Khafas dan Ibu Tursinah; isteri penulis, Nofita Satriani; serta kakak-kakak dan adik penulis. 4. Bapak Ir. Herman Zaini Latief, mantan ketua GAIKINDO, dan Mr. Mubarak al-Muwaina', Kolonel pada Dinas Intelejen Kepolisian Kerajaan Arab Saudi, atas bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis baik dukungan moril ataupun materil hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

viii

5. Teman-teman

kelas

Hidayatullah

Tafsir-Hadis

Jakarta

Hafizurrahman,

2003:

Irwansyah,

Sekolah M.

Mujahid,

Pascasarjana

Najmil Faisal

UIN

Husna,

Asdar

Syarif

Badruttaman,

Bakri,

Masna,

A.

Fawaid dan lain-lain. 6. Rekan-rekan

di

Najma

Center:

Nashirul

Haq,

Fathurrahman,

Ahmad

Hotib, Dudi Rosyadi dan lain-lain. 7. Seluruh pihak yang pernah memberikan dukungan, saran dan bantuan kepada

penulis,

yang

tak

mungkin

penulis

sebutkan

namanya

satu

persatu. Kepada mereka semua, kupersembahkan tesis ini. Juga kepada orangorang kepada

yang Sang

sedang

mencari

Pencipta

alam,

kebenaran Dzat

dalam

Yang

rangka

Maha

mendekatkan

Pengasih

lagi

diri Maha

Penyayang. Berbagai kritik, saran dan masukan, sangat penulis harapkan demi perbaikan tesis ini dan pengembangannya di masa mendatang.

Jakarta, 15 Agustus 2007

Fatkhurozi

ix

PERSETUJUAN

Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.

Pembimbing I / Penguji,

Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, MA Tanggal:

x

PERSETUJUAN

Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.

Pembimbing II / Penguji,

Dr. Abdul Wahib Mu'thi, MA Tanggal:

xi

PERSETUJUAN

Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.

Penguji I,

Prof. Dr. Amani Lubis, MA Tanggal:

xii

PERSETUJUAN

Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.

Penguji II,

Dr. Yusuf Rahman, MA Tanggal:

xiii

PERSETUJUAN

Tesis dengan judul “Amar Makruf Nahi Mungkar dalam Al-Qur`an , yang ditulis oleh Fatkhurozi, NIM 03.2.00.1.05.01.0032, telah lulus Ujian Tesis pada 24 Oktober 2007 dan sudah diperbaiki sesuai saran-saran Tim Penguji.

Ketua Sidang / Penguji,

Prof. Dr. Suwito, MA Tanggal:

xiv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman pedoman

transliterasi

transliterasi

yang

Arab-Latin

digunakan

yang

ada

di

dalam buku

tesis

ini

Pedoman

adalah Penulisan

Skripsi, Tesis dan Disertasi, yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press dengan sedikit modifikasi. Huruf Arab

‫ﺍ‬

Huruf Latin

Huruf Arab

tidak dilambangkan

‫ﺏ‬ ‫ﺕ‬ ‫ﺙ‬ ‫ﺝ‬

b

‫ﺡ‬ ‫ﺥ‬ ‫ﺩ‬

h

‫ﺫ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺯ‬ ‫ﺱ‬

dz

t ts j

d

r z s

‫ﺵ‬ ‫ﺹ‬

sy sh

Keterangan tambahan: a. Vokal Tunggal

thalaba

‫ﺽ‬

dh

‫ﻁ‬ ‫ﻅ‬ ‫ﻉ‬ ‫ﻍ‬

th

‫ﻑ‬ ‫ﻕ‬ ‫ﻙ‬

kh

‫ﻃﻠﺐ‬

Huruf Latin

zh ' (koma di atas) gh f q k

‫ﻝ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﻭ‬

l

‫ﻩ‬ ‫ﺀ‬ ‫ﻱ‬

h

m n w

` (apostrof) y

xv

b. Vokal Rangkap

khair

‫ﺧﲑ‬

c. Mâd

al-mukminîn

‫ﺍﳌﺆﻣﻨﲔ‬

d. Ta` Marbûthah

al-shalâh

‫ﺍﻟﺼﻼﺓ‬

e. Syaddah

al-Kasysyâf

‫ﺍﻟﻜﺸﺎﻑ‬

f. Kata Sandang

- Yang diikuti oleh huruf qamariyyah: al-Baqarah

‫ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬

- Yang diikuti oleh huruf syamsiyyah: al-Nisâ`

‫ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬

g. Hamzah

ya`muru

‫ﻳﺄﻣﺮ‬

h. Penulisan Kata

min li al-tabyîn

‫ﻣﻦ ﻟﻠﺘﺒﻴﲔ‬

i. Huruf Kapital

al-A’râf

‫ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ‬

Dâr al-Ulûm

‫ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ‬

Ibn Katsîr

‫ﺍﺑﻦ ﻛﺜﲑ‬

j. Idhâfah (ditulis terpisah)

Kecuali

'Abd al-Karîm

‫ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻜﺮﱘ‬

'Abd al-Bâqî

‫ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺒﺎﻗﻲ‬

'Abdullâh 'Abdurrahmân

‫ﻋﺒﺪ ﺍﷲ‬ ‫ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ‬

xvi

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

i

KATA PENGANTAR

vii

PERSETUJUAN

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

xiv

DAFTAR ISI

xvi

BAB I : PENDAHULUAN

1

A. Latar Belakang Masalah

1

B. Rumusan dan Batasan Masalah

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

10

D. Kajian Pustaka

11

E. Metodologi Penelitian

15

F. Sistematika Penulisan

17

BAB II: WAWASAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN

19

A. Pengertian Amar Makruf Nahi Mungkar

19

B. Ruang Lingkup Amar Makruf Nahi Mungkar

23

C. Ayat-ayat Amar Makruf Nahi Mungkar dalam al-Qur`an

31

BAB III: PELAKU AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

67

A. Individu

68

B. Umat

80

C. Negara

91

BAB IV: KARAKTERISTIK PENGEMBAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

96

xvii

A. Karakteristik Umum

97

1. Beriman Kepada Allah dan Hal-hal Yang Wajib Diimani 2. Taat Kepada Allah dan Rasul-Nya B. Karakteristik Khusus

97 107 116

1. Menjaga Nilai-nilai Akhlak

116

2. Bertaubat

123

3. Selalu Memuji Allah

128

4. Memiliki Semangat Jihad (Juang)

132

5. Bersegera Mengerjakan Kebajikan

136

C. Analisis Terhadap Gerakan Amar Makruf Nahi Mungkar di Indonesia

BAB V : PENUTUP

140

148

A. Kesimpulan

148

B. Saran-saran

149

DAFTAR PUSTAKA

xviii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

xxiv

LAMPIRAN

xxvi

xviii

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an al-Karîm dan Terjemahnya. ‘Abd al-Bâqi, Muhammad Fu`âd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.. 'Abd al-Qâdir, Hisyâm Ibn, Mufsidât al-Ukhuwwah, Kairo: Dâr al-Shafwah, 1418 H, cet. ke-1. Abû Zahrah, Muhammad, Ushûl Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr al-'Arabi, t.th.. Afîfi,

Thal'at Muhammad, Shafhât Musyriqât Mesir: Dâr al-Salâm, 2005, cet. ke-1.

Min

Hayât

al-Shahâbiyât,

Ahmad, 'Abd al-Jabbâr Ibn, Syarh al-Ushûl al-Khamsah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1996, cet. ke-3. Al-Alûsi, Abû al-Fadhl Syihâbuddîn, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân al‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsânî, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001 M, cet. ke-1. Al-Anshari, Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', Riyâdh: Maktabah al-Anshâr, 1984. Al-Ashfahâni, al-Râghib, Mufradât Alfâzh Qalam, 2002.

al-Qur`ân,

Damaskus: Dâr

al-

'Âsyûr, Muhammad Thâhir Ibn, al-Nizhâm al-Ijtimâ'i fî al-Islam, Mesir: Dâr al-Salâm, 2005, cet. ke-1. Azad, Mawlânâ Abul Kalâm, The Opening Chapter of The Qur`ân (Sûrah alFâtihah), Malaysia: Islamic Book Trust, 2004, cet. ke-2. Baidan, Nashruddin, Tafsîr Maudhû'i: Solusi Qur`ani Untuk Masalah Sosial Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001, cet. ke-1. Al-Bainûni, Muhammad Abû al-Fattâh, al-Madkhal Beirut, Mu`assasah al-Risâlah, 1991, cet. ke-1.

Ilâ

‘Ilm

al-Da’wah,

Darwis, Shâlih ibn ‘Abdullâh, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an alMunkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum, alih bahasa: Muhammad

xix

‘Abdul Ghaffar, Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, cet. ke-1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, cet. ke-1. Effendi, Syahrul, Yudi Pramuka, Habib-FPI Gempur Playboy, Jakarta: Yudi Pramuka, 2006. Al-Fahd, Qâsim ibn Shâlih, 10 Durûs Fî Tadabburi Ma'ânî Aqwâl al-Shalâh, Riyadh: Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 2005, cet. ke-3. Al-Fairûzabâdi, Majd al-Dîn, al-Qamûs al-Muhîth, Beirut: Dâr al-Jail, t.th.. Fâiz, Ahmad, Tharîqah al-Da’wah, Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1992, cet. ke-13. Al-Faramâwi, ‘Abd al-Hayy, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’i: Dirâsah Manhajiyyah Maudhû’iyyah, Mesir: Mathba’at al-Hadhârat al‘Arabiyyah, 1977, cet. ke-2. Farîd, Ahmad, Tharîq al-Sa'âdah, Iskandaria: Dâr al-'Aqîdah, 2006, cet. ke. 1. Al-Fayyûmi, Ahmad ibn Muhammad al-Muqrî, al-Mishbâh al-Munîr, Kairo: al-Mathba’ah al-Misyriyyah, 1928. Fazhur Rahmân, Major Themes of The Qur`an, alih bahasa: Anas Wahyuddin, Tema Pokok al-Qur`an, Bandung: Penerbit Pustaka, 1996, cet. ke-2. Ghanîm, Wajdî, Sulûk al-Muslim, Mesir: Dâr al-Salâm, 2005, cet. ke-1. Al-Ghazâli, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, Mesir: al-Maktabah al-Misriyyah, 1998. Hafiduddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani, 1998, cet. ke- 1. Harian Umum Republika, 17-02-07. Al-Hilâli, Majdi, Halummû iIâ Rabbikum, Kairo: Dâr al-Tauzî' wa al-Nasyr al-Islamiyyâh, 2004, cet. ke-1.

xx

____________, Binâ` Iqra`, 2005.

al-Îmân

min

Khilâl

al-Qur`ân,

Kairo:

Mu`assasah

Al-Hiyâli, Ra'd Kâmil, al-Khilâfât al-Zaujiyyah fî Dhau` al-Kitâb wa alSunnah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1994, cet. ke-1. Husain, Muhammad, Thifl Mâ Qabla al-Madrasah, Iskandariah: Dâr alDa'wah, 2004, cet. ke-1. Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2002. Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Dâr al-Ma’ârif, t.th.. Ibn

Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar; diterjemahkan dengan judul: Amar Ma'ruf Nahi Munkar – Mengajak Kepada Kebaikan dan Mencegah Keburukan, Jakarta: Penerbit Aras Pustaka, 1999, cet. ke-1.

Al-‘Îd, Sulaimân ibn Qâsim, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘An al-Munkar, Riyadh: Dâr al-Wathan Li al-Nasyr, 2000, cet. ke-1. Ilyâs, Maulânâ Muhammad, Pedoman Bertabligh Bagi Umat Islam, Seruan Kepada Kaum Muslimin, Yogyakarta: al-Shaff, 2003, cet. ke-2. Al-Jibrin, Abdullâh ibn Abdurrahmân, Hâjat al-Basyar Ilâ al-Amr bil Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar, alih bahasa: Ummu Rania, Lc, Tanya Jawab Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002, cet. ke-1. Karîm, Sa'ad, al-Îmân wa Atsaruhû fî Tarbiyyah al-Aulâd, Iskandaria: Dâr al'Aqîdah, 2002, cet. ke-1. Al-Khathîb, 'Abd al-Karîm, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, Dâr al-Fikr al‘Arabi, t.th.. Mahmûd, Ali ‘Abd al-Halîm, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân alMuslimîn, alih bahasa: Syafril Halim, Ikhwanul Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, cet. ke-1. Al-Marâghi, Ahmad Musthâfâ, Tafsîr al-Marâghi, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., jilid 2.

xxi

Al-Munawwar, Sa’id Agil Husin, al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002, cet. ke-1. Nadwi, Sayyid Abû Hasan ‘Ali, Maulânâ Muhammad Ilyâs, alih bahasa: Maroahkan Ahmad: Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulânâ Muhammad Ilyâs, Yogyakarta: al-Shaff, 2005, cet. ke-3. Al-Naisâbûri, Abû al-Hasan Ali ibn Ahmad al-Wâhidi, Asbâb al-Nuzûl, Beirut: Dâr al-Fikr, 1991. Nasir, Muhammad, Fiqh al-Dakwah, Jakarta: Media Dakwah, 2000, cet. ke11. Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet. ke-1. Nûh, Sayyid Muhammad, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam, Solo: Citra Islami Press, 1996, cet. ke-1. Nurdin, Ali, Perspektif al-Qur`an Tentang Masyarakat Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Ideal,

disertasi,

Al-Nursi, Sa'îd, al-Âyâh al-Kubrâ, Kairo: Syirkah Sozler li al-Nasyr, 2000, cet. ke-3, h. 126. Pangabean, Syamsurizal, Ensiklopedi Tematik Organisasi dan Gerakan Islam, t.tp.: t.th..

Dunia

Islam,

Dalam

Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1993, jilid 12. Quthb, Sayyid, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992, jilid 1, cet. ke-17. Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Paramadina, 2002, cet. ke2. Ridhâ, Muhammad Rasyîd, Tafsîr ‘Ilmiyyah, 1999, cet. ke-1.

al-Manâr,

Beirut:

Dâr

al-Kutub

al-

_______________________, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th., cet. ke- 2.

xxii

Ruslan, Masyarakat Islam Dalam Perspektif al-Qur`an, tesis, Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah. Al-Sa’di, Abdurrahmân ibn Nâshir, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, Beirut: Mu`assasah al-Risâlah: 2002, cet. ke-1. Salmadanis, Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur`an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl: 125), disertasi, Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah. Saloral, Ziauddin, Jihad Intelektual, Surabaya: Risalah Gusti, 1998, cet. ke1. Al-Shaghîr, Fâlih ibn Muhammad, Hadîts Bâdirû Bi al-A'mâl Sittan: Dirâsah Hadîtsiyyah Da'awiyyah Nafsiyyah, Riyadh: Dâr Ibn al-Atsîr, 1426 H, cet. ke-2. Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur`an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996, cet. ke-12. ________________, Tafsîr al-Mishbâh, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000, cet. ke-2. ________________, Wawasan al-Qur`an, Bandung: Penerbit Mizan, 1998, cet. ke-8. Suwito, dkk., Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002, cet. ke-2. Syahrûr, Muhammad, al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu'âshirah, Beirut: Syirkah al-Mathbû'ah li al-Tauzî' wa al-Nasyr, 2000, cet. ke-6. Al-Syarîf, 'Ashâm ibn Muhammad, Mukhâlafât fî Buyûtinâ, Iskandariah: Dâr al-Îmân, 2004. Syatawî, Muhammad Rajab, al-Da’wah al-Islâmiyah, Kairo: Dâr al-Thibâ'ah al-Muhammadiyyah, 1990, cet. ke-1. Al-Thabari, Ibn Jarîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, Beirut: Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah, 1999, cet. ke-3. Al-Thabâthabâ`i, Muhammad Husain, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân, Beirut: Mu`assasah al-A'lâmi li al-Mathbû'ât, 1972.

xxiii

Thâhir, Hâmid Ahmad, Hayât al-Shahâbah, Kairo: Dâr al-Fajr li al-Turâts, 2004, cet. ke-1, h. 44. Umar, Nasarudin, al-Qur`an dan Problem Pembangunan Karakter Bangsa, Swara Dipertais, Jum'at, 20 April 2007. Wensinck, A.J., al-Mu'jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts al-Nabawi, Leiden: E.J Brill, 1943. Ya’qub, Hamzah, Publistik Islam: Tekhnik Dakwah dan Leadership, Bandung: CV. Diponegoro, 1981, cet. ke-2. Zaidân, 'Abd al-Karîm, 2001 M, cet. ke-9.

Ushûl al-Da’wah,

Beirut: Mu`assasah al-Risâlah,

Al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M, cet. ke-1. Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsîr al-Munîr, Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1998. Majalah Islam Sabili, edisi no. 21 th. XIII 4 Mei 2006. Situs Kaum Kiri Indonesia, http://www.rumahkiri.org. Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas http://id.wikipedia.org, Front Pembela Islam.

Berbahasa

Indonesia,

xxiv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama T.T. Lahir Alamat Alamat Asal Keluarga : a. Ayah b. Ibu c. Ayah Mertua d. Istri e. Anak

f. Saudara

: Fatkhurozi : Tegal, 25 Januari 1977 : Jl. H. Zaenuddin Dalam No. 82 A Gandaria Utara Jakarta Selatan : Desa Kedungkelor Rt. 06 Rw. 05 Warureja Tegal

: Khafas : Tursinah : Amiruddin : Nofita Satriani, S.Kom : Amalia Nabila Az-Zahra Maulana Faiz Rahmat Abdullah : Muflihah Musyarofah, S.Pd Umi Kulsum, S.Sos

Riwayat Pendidikan:  Sekolah Dasar Negeri Kedungkelor 02 (1983-1989)  Madrasah Tsanawiyah Negeri Pemalang (1989-1992)  Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta I (Program Khusus) (1992-1995)  Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar (1996-2000)  Konsentrasi Tafsir-Hadis Sekolah Pascasarjana UIN Hidayatullah Jakarta (2003-sekarang)

Kairo Syarif

Pengalaman Kerja:  Penerjemah Di Lembaga Gazirah Abdi Ummah (2001)  Staf Pengajar Bahasa Arab Di Lembaga Bahasa Arabic Super Learning Jakarta (2001-2002)  Staf Pengajar Sekolah Bahasa (SEBASA) Polri (2002)  Koordinator Program Bahasa Arab Di Lembaga Pendidikan Profesi Insan Institute Jakarta (2002-2003)  Tenaga Honorer Direktorat Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional (2004)  Direktur Najma Center (2005-sekarang)

xxv

Karya-karya:  Modul "Arabic For Beginner" (Diajarkan di Lembaga Pendidikan Profesi Insan Institute Jakarta)  Modul "Arabic Conversation"  Terjemah Buku "Majâlis al-Shâlihîn" (Diterbitkan oleh Maghfirah Pustaka dengan judul "Sumber Inspirasi Orang-orang Saleh", 2006)  Terjemah Kitab Tafsîr Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh al-Qur`ân bi al Qur`ân (Diterbitkan oleh Pustaka Azzam, 2006)  Terjemah Buku "100 Mauqif Buthûlî li al-Nisâ`" (Diterbitkan oleh Maghfirah Pustaka dengan judul "Ketika Wanita Lebih Utama Dari Pria", 2005)  Terjemah Buku "Durûs al-Masjid fî Ramadhân" (Diterbitkan oleh Maghfirah Pustaka dengan judul "Ramadhankan Hidupmu", 2005)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dalam

kaitannya

dengan

pelaksanaan

ajaran-ajaran

agama

Islam,

secara umum umat Islam terbagi menjadi dua golongan: golongan yang melaksanakannya

dan

golongan

yang

tidak

melaksanakannya.

Adanya

sebagian umat Islam yang tidak melaksanakan ajaran-ajaran agamanya itu bisa

disebabkan

karena

ketidaktahuan

mereka

akan

ajaran-ajaran

tersebut

atau bisa juga disebabkan karena dorongan hawa nafsu mereka yang begitu kuat sehingga mereka tidak mampu lagi untuk membendungnya, meskipun sebenarnya mereka telah mengetahui.1 Fenomena seperti ini bukan hanya ada di kalangan umat Islam saja, melainkan juga di kalangan umat-umat sebelumnya. Kisah Bani Isra`il yang telah melanggar aturan Allah untuk tidak bekerja pada hari Sabtu, merupakan bukti

yang

memperkuat

pernyataan

tersebut.

Diriwayatkan

bahwa

sekelompok orang dari Bani Isra`il tidak menaati perintah Allah untuk tidak bekerja

pada

hari

Sabtu,

lalu

mereka

tidak

mengindahkan

nasehat

sekelompok orang lainnya agar tidak melakukan perbuatan tersebut, maka pada saat itulah Allah menyelamatkan orang-orang yang telah mencegah dari kemungkaran dan menimpakan adzab yang pedih kepada orang-orang yang

1

'Abd al-Karîm Zaidân, Ushûl al-Da’wah, (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2001 M), cet. ke-9, h. 173.

2

melanggar perintah-Nya.2 Kisah ini telah disebutkan Allah Swt. dalam Q.S. al-A'râf (7): 165. Fenomena pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Allah di muka bumi akan tetap ada hingga datangnya hari Kiamat, dan hal ini sangat terkait dengan upaya Iblis beserta bala tentaranya untuk memalingkan manusia dari al-shirâth

al-mustaqîm

(jalan

yang

lurus)

dengan

menggunakan

berbagai

macam cara.3 Di satu sisi, sebagai makhluk yang telah diciptakan Allah, manusia

dituntut

ajaran-ajaran

untuk

agama-Nya

menghambakan secara

diri

keseluruhan,

kepada-Nya, serta

tidak

melaksanakan

mengikuti

jejak

langkah setan.4 Untuk menghindari terjadinya gap antara realita (adanya sebagian umat Islam yang tidak melaksanakan ajaran-ajaran agama mereka) dan

idealita (keharusan

melaksanakan

ajaran-ajaran agama Allah) ini di

kalangan kaum Muslimin, Islam pun menetapkan satu sistem pengontrol (control system) yang dinamakan dengan al-amr bi al-ma'rûf wa al-nahy 'an al-munkar.5 Menurut Muhammad Rasyîd Ridhâ, kedudukan amar makruf nahi mungkar sebagai control system dalam Islam sangat terkait dengan perannya dalam mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh umat Islam itu sendiri, baik dengan meninggalkan perintah2 Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi' al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al'Ilmiyyah, 1999), cet. ke-3, jilid 6, h. 100. 3

Q.S. al-A'râf (7): 16-17.

4

Q.S. al-Baqarah (2): 208.

5

Di Indonesia, al-amr bi al-ma'rûf wa al-nahy 'an al-munkar sudah popular dengan ungkapan amar makruf nahi mungkar. (Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, [Jakarta: Balai Pustaka, 1988], cet. ke-1, h. 26.) Ia merupakan sebuah istilah dalam bahasa Arab yang sudah dapat dianggap sebagai istilah dalam bahasa Indonesia sehingga ia tidak perlu ditransliterasikan. (Lihat Suwito, dkk., Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, [Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002], cet. ke2, h. 48.) Oleh karena itu, maka pada penyebutan berikutnya penulis cukup menggunakan ungkapan amar makruf nahi mungkar yang tidak ditulis miring.

3

perintah

Allah

Swt.

maupun

dengan

melakukan

larangan-larangan-Nya.

Dengan sistem ini, diharapkan seluruh umat Islam akan berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama mereka. Sebab, ketika mereka hendak ataupun telah

melanggar

salah

satu

dari

ajaran-ajaran

Islam,

mereka

akan

dikembalikan oleh sistem amar makruf nahi mungkar kepada ajaran tersebut. Sebagai contoh, salah satu dari ajaran Islam adalah persatuan antar umat Islam sebagaimana dijelaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S. Âli ‘Imrân (2): 103, dan untuk menopang serta menjaga persatuan tersebut, Allah telah memerintahkan kepada umat Islam untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104, sehingga jika

ada

sebagian

umat

Islam

yang

melakukan

perbuatan

yang

dapat

memecah persatuan di antara mereka, maka sebagian umat Islam lainnya akan mencegah mereka dari perbuatan tersebut. 6 Sebagai control system dalam Islam, amar makruf nahi mungkar telah mendapat perhatian serius, baik oleh al-Qur`an maupun hadis Nabi Saw.. Tidak sedikit ayat al-Qur`an ataupun hadis yang menyebutkan secara tegas permasalahan amar makruf nahi mungkar ini, bahkan pada sebagian ayat, amar makruf nahi mungkar dikaitkan dengan aspek keimanan kepada Allah Swt. yang merupakan pondasi utama bagi "bangunan" Islam, seperti pada Q.S. Âli ‘Imrân (4): 110 dan Q.S. al-Taubah (9): 71. Dari sinilah, amar makruf nahi mungkar pun menjadi perhatian serius para ulama, dari dulu hingga sekarang. Amar makruf disepakati

nahi

kewajibannya

mungkar oleh

para

merupakan ulama,

satu

amaliah

meskipun

yang telah

mereka

berbeda

pendapat apakah termasuk fardhu ‘ain ataukah fardhu kifâyah. Sebagian

6

Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-1, jilid 4, h. 22.

4

ulama berpendapat bahwa hukum amar makruf nahi mungkar adalah fardhu ‘ain karena huruf min pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104 adalah min bayâniyyah (sebagai penjelas saja) sehingga makna dari ayat tersebut adalah: “Dan hendaklah

kalian

semua

menjadi

umat

yang

menyuruh

kepada

sedangkan

sebagian

yang

makruf

dan

mencegah

ulama

lainnya

berpendapat

menyeru

kepada

kebaikan,

yang

mungkar”,

dari

bahwa

hukumnya

adalah

fardhu kifayâh karena huruf min pada ayat tersebut adalah min li al-tab’îd (menunjukkan

arti

sebagian)

sehingga

makna

dari

ayat

tersebut

adalah

sebagai berikut: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” 7 Pendapat mengenai wajibnya amar makruf nahi mungkar ini tidak hanya di kalangan ulama Ahlus Sunnah saja, melainkan juga di kalangan ulama-ulama lainnya. Bahkan

ulama Mu'tazilah menjadikan amar makruf

nahi mungkar sebagai salah satu dari lima pilar utama dalam agama (al-ushûl al-khamsah). Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka mengenai wajibnya hukum amar makruf nahi mungkar. Perbedaan hanyalah mengenai apakah kewajiban amar makruf nahi mungkar itu diketahui melalui akal ataukah diketahui

wahyu.

Abû

melalui

akal

'Ali

berpendapat

dan

wahyu,

bahwa

sementara

kewajiban Abû

tersebut

dapat

Hâsyim berpendapat

bahwa kewajiban tersebut hanya dapat diketahui melalui wahyu kecuali hanya dalam satu kondisi, yaitu ketika ada kezhaliman yang dilakukan seseorang

terhadap

orang

lainnya.8

Dalam

pandangan

ulama

Mu'tazilah,

tujuan diwajibkannya amar makruf nahi mungkar adalah agar hal-hal yang

7

Sulaimân ibn Qâsim al-‘Îd, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar, (Riyadh: Dâr al-Wathan Li al-Nasyr, 2000), cet. ke-1, h. 10-11. 8

'Abd al-Jabbâr ibn Ahmad, Syarh al-Ushûl al-Khamsah, tahqîq: Dr. 'Abd alKarîm Utsman, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), cet. ke-3, h. 142.

5

makruf tidak disia-siakan (ditinggalkan) dan agar hal-hal yang mungkar tidak dilakukan.9 Amar makruf nahi mungkar merupakan tugas mulia yang memiliki peran besar dalam mempertahankan khairiyyah yang telah disandang oleh umat Islam, dimana mereka akan tetap menjadi umat yang terbaik selama mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik, dimana salah satu faktor yang menyebabkan mereka menjadi umat yang terbaik

adalah

karena

mereka

mau

melaksanakan

amar

makruf

nahi

mungkar. Dengan amar makruf nahi mungkar pula, umat Islam dapat menjadi umat yang beruntung, seperti yang disinyalir dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104. Keberuntungan yang mereka peroleh itu sesuai dengan tugas berat yang mereka emban. Sebagaimana diketahui, tugas mengajak kepada kebaikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar bukanlah tugas yang mudah atau ringan. Karena itu, ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb menegaskan bahwa di antara umat Islam harus ada sekelompok orang yang memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan rasa persaudaraan yang tinggi, yang dengannya mereka dapat menjalankan tugas yang berat tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan karena ketika menjalankan tugas tersebut, seseorang pasti akan dihadapkan pada berbagai tantangan, serta kepentingan dan ambisi sebagian orang.10

9

'Abd al-Jabbâr bin Ahmad, Syarh al-Ushûl al-Khamsah, h. 741.

10

Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), jilid 1, cet. ke-17, h. 444.

6

Dari pemahaman terhadap kedua ayat di atas, dapat difahami secara mafhûm mukhâlafah bahwa jika umat Islam mengabaikan amar makruf nahi mungkar maka mereka tidak dapat lagi menjadi umat yang terbaik dan juga umat yang beruntung, bahkan mereka dapat menjadi umat yang terpuruk dan dilaknat oleh Allah Swt., seperti yang dialami oleh Bani Isra`il. Dalam alQur`an, Allah menegaskan bahwa orang-orang kafir dari Bani Isra`il dilaknat dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.11 Tetapi di balik kemuliaan dan kedudukannya itu, amar makruf nahi mungkar bukanlah tugas yang mudah atau ringan. Oleh karena itu, terlepas dari perdebatan apakah hukum amar makruf nahi mungkar itu fardhu ‘ain ataukah fardhu kifâyah, pada hakekatnya semua ulama sepakat bahwa harus ada sekelompok orang di antara umat Islam yang mau menekuni bidang amar makruf nahi mungkar ini.12 Hal ini tidak lain adalah karena dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar dibutuhkan adanya keberanian dan keteguhan hati. Selain itu, untuk mendapatkan harus

hasil yang diharapkan,

mengenal

keadaan

orang

atau

pelaku obyek

amar yang

makruf menjadi

nahi mungkar sasaran

dari

amaliah amar makruf nahi mungkar tersebut. Sebab pada hakekatnya, amar

11 12

Q.S. al-Mâ`idah (5): 78-79.

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, (Dâr al-Fikr al‘Arabi, t.th.), kitab ke-2, h. 542. Ketika menafsirkan firman Allah dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104, Ibn Katsîr menjelaskan: “Maksud dari ayat ini adalah bahwa harus ada sekelompok orang dari umat ini yang menekuni urusan tersebut (amar makruf nahi mungkar), meskipun amar makruf nahi mungkar itu adalah wajib bagi setiap orang, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.” (Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, [Beirut: alMaktabah al-‘Ashriyyah, 2002], jilid 1, h. 342.

7

makruf nahi mungkar adalah bagian dari dakwah13, sedangkan keberhasilan dakwah sangat bergantung pada kemampuan dâ’i (seorang juru dakwah) dalam mengenal mad’û (sasaran atau obyek dakwah) beserta media dan seluruh komponen dakwah lainnya. Seorang dâ’i yang mengabaikan salah satu dari komponen dakwah tersebut tidak mungkin mendapatkan hasil yang maksimal

dari

kegiatannya.

Kegiatan

dakwah

dapat

berakhir

dengan

kegagalan, jika dakwah itu dilaksanakan dengan tanpa mempelajari keadaan mad’û yang dihadapi.14 Dari sini, maka dapat difahami bahwa harus ada sekelompok orang yang memfokuskan perhatiannya pada tugas amar makruf nahi mungkar. Mereka adalah para pengemban amar makruf nahi mungkar yang memiliki sejumlah

karakteristik

yang

dapat

mendukung

terlaksananya

tugas

mulia

tersebut. Penulis

beranggapan

bahwa

karakteristik-karakteristik

pengemban

amar makruf nahi mungkar ini sangat penting untuk diketahui karena hal itu dapat menjadi acuan bagi orang-orang yang ingin mengemban tugas amar makruf nahi mungkar serta menegakkannya di bumi Allah ini. Atas dasar inilah, maka penulis merasa tertarik untuk mengeskplorasi ayat-ayat yang berkaitan

dengan

karakteristik

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar,

sehingga akan diperoleh solusi al-Qur`an mengenai karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar tersebut.

13

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. ke-2,

h. 623. 14

Hamzah Ya’qub, Publistik Islam: Tekhnik Dakwah dan Leadership, (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), cet. ke-2, h. 32.

8

B. Rumusan dan Batasan Masalah Dalam

kaitannya

dengan

tema

amar

makruf

nahi

mungkar,

ada

sejumlah masalah yang dapat diidentifikasi, di antaranya: 1. Konsep amar makruf nahi mungkar menurut al-Qur`an. 2. Wawasan amar makruf nahi mungkar dalam al-Qur`an yang meliputi pengertian dan ruang lingkupnya serta hal-hal apa saja yang tergolong makruf dan hal-hal apa saja yang tergolong mungkar pada masa sekarang ini. 3. Hukum amar makruf nahi mungkar. 4. Pelaku amar makruf nahi mungkar atau siapa saja yang memiliki otoritas untuk melakukannya? 5. Cara-cara

melakukan

amar

makruf

dan

cara-cara

melakukan

nahi

mungkar. 6. Apakah ayat-ayat amar makruf nahi mungkar lebih menekankan aspek amar makruf ataukah nahi mungkar? 7. Karakteristik

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar

menurut

al-

Qur`an. 8. Apakah

organisasi-organisasi

massa

atau

kelompok-kelompok

yang

mengemban tugas amar makruf nahi mungkar pada masa sekarang ini sudah memperhatikan karakteristik-karakteristik tersebut? Berdasarkan

identifikasi

masalah

di

atas,

penulis

akan

membatasi

permasalahan yang dibahas dalam tesis ini pada aspek wawasan amar makruf nahi

mungkar

serta

karakteristik-karakteristik

pengembannya

menurut

al-

Qur`an. Pembahasan mengenai wawasan amar makruf nahi mungkar dirasa penting karena makruf dan mungkar merupakan dua hal yang sangat terkait dengan aspek waktu. Oleh karena itu, maka diperlukan adanya penjelasan

9

mengenai hal-hal apa saja yang tergolong perbuatan yang makruf dan hal-hal apa saja yang tergolong mungkar pada masa sekarang ini, dengan harapan penjelasan

tersebut

dapat

menghindari

terjadinya

perbedaan

pemahaman

antara pembaca dengan penulis. Pembahasan

mengenai

karakteristik

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar juga dianggap penting karena amar makruf nahi mungkar bukanlah tugas yang mudah atau ringan, seperti yang telah dijelaskan di atas. Untuk itu, diperlukan adanya sekelompok orang yang memfokuskan perhatiannya pada tugas amar makruf nahi mungkar ini, yaitu sekelompok orang yang memiliki

sejumlah

terlaksananya mengenai nahi

karakteristik

tugas

hal-hal

mungkar

mereka

yang

dapat

tertentu

dengan

merupakan dijadikan

yang

baik.

Penulis

karakteristik

panduan

dapat

mendukung

berharap

pengemban

bagi

penjelasan

amar

orang-orang

makruf

yang

ingin

pembahasan

yang

mengemban tugas mulia tersebut. Selanjutnya,

untuk

memperjelas

ruang

lingkup

akan diteliti dan agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda dengan maksud penulis, maka secara terperinci permasalahannya akan dirumuskan sebagai berikut: 1.

Apa definisi amar makruf nahi mungkar menurut al-Qur`an, serta halhal apa saja yang tergolong makruf dan hal-hal apa saja yang tergolong mungkar pada masa sekarang ini?

2.

Siapa

saja

yang memiliki

otoritas melakukan

amar

makruf

nahi

mungkar dan sejauhmana otoritas masing-masing? 3.

Apa

saja

karakteristik

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar

menurut al-Qur`an dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan bermasyarakat?

10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis menentukan beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu: 1- Menjelaskan

definisi

amar

makruf

nahi

mungkar

sesuai

dengan

kandungan ayat-ayat al-Qur`an, serta hal-hal apa saja yang tergolong makruf dan hal-hal apa saja yang tergolong mungkar pada masa sekarang ini. 2- Menjelaskan tentang siapa saja yang menjadi pelaku amar makruf nahi mungkar dan sejauhmana wewenang masing-masing. 3- Mengungkap

karakteristik-karakteristik

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar yang dijelaskan di dalam al-Qur`an serta implikasinya terhadap kehidupan bermasyarakat. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1- Dapat menambah wawasan pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi kaum

Muslimin

pada

umumnya

serta

dapat

memberikan

sumbangan

keilmuan terutama dalam bidang tafsir dan dakwah. 2- Memberikan

informasi

dan

motivasi

bagi

orang-orang

yang

ingin

mengemban tugas amar makruf nahi mungkar dan ingin mewujudkan karakteristik-karakteristik tersebut di dalam dirinya. 3- Dapat

menjadi

bahan

kajian

yang

berguna

bagi

peneliti-peneliti

selanjutnya dan siapa saja yang berminat mengkaji tentang amar makruf nahi mungkar sehingga pada gilirannya dapat bermanfaat bagi dinamika kehidupan masyarakat di masa-masa mendatang.

11

D. Kajian Pustaka Berdasarkan pengamatan penulis terhadap literatur-literatur yang ada hingga saat ini, belum ada penelitian ilmiah yang secara khusus mengkaji masalah

karakteristik

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar

dalam

perspektif al-Qur`an. Adapun kajian tentang amar makruf nahi mungkar secara umum, penulis menemukan buku karya Ibn Taimiyyah yang berjudul al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar. Dalam buku tersebut, di samping Ibn Taimiyyah membahas pengertian amar makruf nahi mungkar dan

hukumnya,

seseorang

dalam

ia

juga

membahas

menegakkan

amar

syarat-syarat makruf

nahi

yang

harus

mungkar,

di

dipenuhi antaranya

adalah: amar makruf nahi mungkar harus dilakukan dengan menggunakan ilmu karena suatu amal tidak dianggap shaleh bila dilakukan tanpa ilmu, harus berdasarkan jalan yang lurus (al-shirât al-mustaqîm), harus dilakukan dengan lemah lembut, serta harus dengan santun dan sabar.15 Menurut Ibn Taimiyyah, pemahaman yang baik, kesabaran, serta sifat santun dan lemah lembut harus dimiliki oleh orang yang terjun ke bidang amar makruf nahi mungkar terhadap masyarakat. Begitu pula sifat berani dalam membela kebenaran tidak boleh tidak harus dimilikinya juga. Dengan modal ini, perintah dan larangan bisa diharapkan mencapai sasaran dan tujuannya. Yang dimaksud dengan keberanian di sini bukanlah kekuatan fisik atau ketegaran otot, tetapi keberanian hati dan kekuatan jiwa yang bersumber dari kepercayaan dan keyakinan yang penuh kepada Allah. Dalam

kaitannya

dengan

syarat-syarat

dan

sifat-sifat

tersebut,

Ibn

Taimiyyah mengatagorikan orang-orang yang melakukan amar makruf nahi 15

Ibn Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar (diterjemahkan dengan judul: Amar Ma'ruf Nahi Munkar – Mengajak Kepada Kebaikan dan Mencegah Keburukan), (Jakarta: Penerbit Aras Pustaka, 1999), cet. ke-1, h. 25.

12

mungkar dengan lisan atau tangan secara membabi buta tanpa mengerti persoalan, tanpa sopan santun, tanpa kesabaran dan memperhatikan yang berguna dan yang tidak, sebagai orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar dengan keliru.16 Meskipun Ibn Taimiyyah membahas hal-hal tersebut, akan tetapi apa yang disampaikannya itu berbeda dengan apa yang akan dibahas dalam tesis ini, karena yang menjadi masalah utama dalam tesis ini adalah bagaimana karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar menurut perspektif al-Qur`an, dan hal itu sama sekali belum dibahas dalam buku karya Ibn Taimiyyah tersebut. Penulis juga menemukan buku karya Shâlih ibn 'Abdullâh Darwis yang berjudul al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahyu ‘An al-Munkar wa Wâqi’ alMuslimîn al-Yaum. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern

yang

diterbitkan

oleh

Pedoman

Ilmu.

Di

samping

menjelaskan

pengertian dan hukum amar makruf nahi mungkar, buku ini juga membahas tentang pentingnya amar makruf nahi mungkar menurut nash-nash syariat dan pentingnya amar makruf nahi mungkar menurut para ulama. Di antara urgensi

amar

makruf

nahi

dijelaskan

dalam

buku

mungkar

dalam

mencegah

mungkar

tersebut

menurut

adalah

adzab

nash-nash

pentingnya

Allah

amar

kepada

syariat

yang

makruf

nahi

hamba-hamba-Nya,

pentingnya amar makruf nahi mungkar dalam merealisasikan kebaikan bagi kehidupan

umat,

dan

pentingnya

amar

makruf

nahi

mungkar

dalam

memelihara kebaikan masyarakat dan memperbaikinya.17

16 17

Ibn Taimiyyah, al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar, h. 11.

Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum, (alih bahasa: Muhammad ‘Abdul Ghaffâr, Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. ke-1.

13

Dalam buku tersebut, di samping dibahas kewajiban amar makruf nahi mungkar bagi setiap individu, juga dibahas kewajiban amar makruf nahi mungkar

bagi

orang-orang

yang

diberikan

keistimewaan

jabatan

atau

pangkat termasuk ulama. Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis menegaskan bahwa berdasarkan firman Allah dalam Q.S. al-Hajj (22): 40-41, para ulama sepakat bahwa perintah amar makruf nahi mungkar bagi penguasa (pemimpin) dan juga ulama hukumnya adalah fardhu ‘ain.18 Selain itu, ada pula buku berjudul al-Amr bi al-Ma'rûf wa al-Nahy ‘An al-Munkar: al-Hatstsu ‘Alâ Fi’lihi wa al-Tahdzîr min Tarkihi yang ditulis oleh Sulaimân ibn Qâsim al-‘Îd, seorang anggota dewan pengajar pada Fakultas Tarbiyyah Universitas Malik Sa’ud. Sesuai dengan judulnya, buku ini hanya difokuskan pada pembahasan tentang keutamaan melakukan amar makruf nahi mungkar dan bahaya yang akan muncul jika amar makruf nahi mungkar tersebut ditinggalkan. Sampai saat ini, penulis belum menemukan satu tesis atau disertasi yang

secara

khusus

membahas

masalah

amar

makruf

nahi

mungkar.

Pembahasan mengenai amar makruf nahi mungkar ini hanya penulis temui pada dua disertasi, itu pun hanya pada satu sub bab saja. Disertasi pertama adalah berjudul Perspektif al-Qur`an Tentang Masyarakat Ideal yang ditulis oleh Ali Nurdin. Dalam disertasi ini, amar makruf nahi mungkar hanya dibahas dalam kedudukannya sebagai salah satu ciri umum masyarakat ideal, tanpa

disinggung

mungkar

dan

pembahasan

18

sedikit

pun

karakteristiknya.

mengenai

amar

mengenai

pengemban

Pembahasan

makruf

nahi

ini

mungkar

amar

hampir

makruf

nahi

sama

dengan

dalam tesis

berjudul

Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum, h. 51.

14

Masyarakat

Islam

Dalam

Perspektif

al-Qur`an

yang

merupakan

karya

Ruslan. Disertasi kedua adalah disertasi yang ditulis oleh Salmadanis dengan judul Metode Dakwah Dalam Perspektif al-Qur`an (Suatu Tinjauan Dalam Surah al-Nahl: 125). Dalam disertasi kedua ini memang disinggung sedikit mengenai pelaku dakwah dan amar makruf nahi mungkar yang meliputi ummah

dan

karakteristik

pribadi,

tetapi

pengemban

disertasi

amar

tersebut

makruf

tidak

nahi

membahas

mungkar.

tentang

Salmadanis

menegaskan bahwa pada hakekatnya yang menjadi pelaku dakwah (termasuk di dalamnya amar makruf nahi mungkar) adalah semua Muslim. Hal ini didasarkan pada Q.S Âli 'Imrân (3): 104, dengan menafsirkan huruf min pada ayat tersebut sebagai min bayâniyyah (sebagai penjelas saja) dan bukan min li al-tab'îdh (menunjukkan arti sebagian), dan juga didasarkan pada hadis tentang perumpamaan orang yang mematuhi aturan-aturan Allah dan orang yang tidak mematuhinya.19 Salmadanis menjadikan ayat dan hadis tersebut sebagai alat untuk menyimpulkan bahwa semua Muslim merupakan subyek dakwah, karena itu dakwah pun wajib hukumnya bagi setiap Muslim. Berbeda pada

dengan

karya-karya

menjelaskan

pembahasan

ilmiah

tentang

sebelumnya,

karakteristik-karakteristik

amar

pada

makruf

tesis

pengemban

nahi

mungkar

ini

penulis

ingin

amar

makruf

nahi

mungkar menurut al-Qur`an yang belum dijelaskan pada karya-karya ilmiah tersebut.

19

Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Syirkah, hadis no. 2313; al-Tirmidzi pada kitab al-Fitan 'An Rasûlillâh, hadis no. 2099; dan Ahmad pada kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17638, 17647, 17653 dan 17685.

15

E. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah library reseach (penelitian kepustakaan) karena semua datanya berasal dari bahanbahan tertulis yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan topik yang dibahas. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka yang akan menjadi sumber utama adalah al-Qur`an. Dari data utama tersebut, akan dihimpun ayat-ayat amar makruf nahi mungkar. Yang penulis maksud dengan ayatayat amar makruf nahi mungkar di sini adalah ayat-ayat yang mengandung lafazh amar makruf dan nahi mungkar dalam berbagai derivasi dan ragam frasenya. Setelah itu, akan dicari data dari hadis-hadis Nabi Saw. yang berkaitan dengan topik pembahasan tersebut sebagai penjelas dari ayat-ayat al-Qur`an demi tercapainya kesempurnaan dalam pembahasan penelitian ini. Adapun pendekatan yang digunakan dalam membahas ayat-ayat alQur`an

pada

operasional,

penelitian penulis

ini

adalah

menetapkan

pendekatan

langkah-langkah

tafsîr

maudhû’i.20

Secara

maudû’i

sebagai

tafsîr

berikut: 1.

Menetapkan amar makruf nahi mungkar sebagai tema pembahasan.

2.

Menghimpun ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar.

3.

Memahami

korelasi

(munâsabah)

ayat-ayat

tersebut

dengan

ayat-ayat

yang lain, baik dengan ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. 20

Yang dimaksud dengan metode tafsîr maudhû’i (tafsir tematik) adalah membahas ayat-ayat al-Qur`an sesuai dengan tema yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dengan tema tersebut dikumpulkan, kemudian dikaji secara komprehensif dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbâb al-nuzûl, makna kosakata (mufradât), dan lain sebagainya. Semua dijelaskan secara terperinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-Qur`an, hadis, maupun pemikiran rasional. Lihat ‘Abd al-Hayy alFaramâwi, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’i: Dirâsah Manhajiyyah Maudhû’iyyah, (Mesir, Mathba’at al-Hadhârat al-‘Arabiyyah, 1977), cet. ke-2, h. 52.)

16

4.

Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok pembahasan.

5.

Mengkaji ayat-ayat tersebut secara keseluruhan sehingga penulis dapat menyimpulkan karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar. Untuk

dapat

memahami

ayat-ayat

amar

makruf

nahi

mungkar,

penulis menggunakan beberapa kitab tafsir yang bernuansa adabi ijtimâ'i (sosiologi) seperti Tafsîr fî Zhilâl al-Qur`ân karya Sayyid Quthb, Tafsîr alQur`âni li al-Qur`ân karya 'Abd al-Karîm al-Khathîb dan Tafsîr al-Manâr karya Muhammad Rasyîd Ridhâ; tentunya didukung oleh kitab-kitab tafsir lain seperti Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân karya Ibn Jarîr al-Thabari, Tafsîr al-Kasysyâf karya alZamakhsyari, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân wa al-Sab’i al-Matsânî karya al-Alûsi, Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaili, serta kitab-kitab tafsir lainnya. Untuk mencari ayat-ayat al-Qur`an yang berhubungan dengan topik pembahasan penelitian ini, penulis menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm yang disusun oleh Muhammad Fu`âd ‘Abd alBâqi,

sedangkan

untuk

melacak

hadis-hadis

Nabi

Saw.,

penulis

menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîts al-Nabawi karya A.J Wensink. Adapun untuk mengetahui maksud kata-kata dan istilah-istilah tertentu

dari

ayat-ayat

al-Qur`an,

penulis

menggunakan

bantuan

Mu’jam

Mufradât Alfâzh al-Qur`ân yang ditulis oleh al-Râghib al-Ashfahâni. Selain itu, penulis juga menggunakan CD-ROM al-Qur`an dan CD-ROM Hadis guna memudahkan pelacakan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang amar makruf nahi mungkar.

17

Mengenai

tekhnik

penulisan

dalam

penelitian

ini,

penulis

akan

berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Tahun 2002.

F. Sistematika Penulisan Penulisan laporan penelitian ini akan dibagi menjadi 5 bab. Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab

II

adalah

pembahasan

tentang

wawasan

amar

makruf

nahi

mungkar yang meliputi pembahasan tentang pengertian amar makruf nahi mungkar, ruang lingkup amar makruf nahi mungkar, serta ayat-ayat amar makruf nahi mungkar baik dilihat dari segi derivasinya maupun ragam frasenya. Hal ini dirasa cukup penting karena dapat menjadi pengantar untuk mengenal seluk beluk atau konsep amar makruf nahi mungkar dalam alQur`an. Bab

III

adalah

pembahasan

tentang

pelaku

amar

makruf

nahi

mungkar yang terdiri dari pembahasan tentang individu, umat dan negara. Bab ini dikaji dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang siapa saja yang memiliki otoritas untuk melakukan amar makruf nahi mungkar dan sejauhmana wilayah masing-masing. Bab IV merupakan pembahasan pokok yang menjadi tema utama penelitian ini, yaitu karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar

18

dalam al-Qur`an yang terdiri dari dua sub pokok bahasan, yaitu: karakteristik umum dan karakteristik khusus, dimana masing-masing sub pokok bahasan tersebut

memuat

sejumlah

karakteristik

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar. Kemudian di akhir bab ini, penulis memaparkan satu pembahasan yang berkaitan dengan konteks kekinian yaitu analisis terhadap gerakan amar makruf nahi mungkar di Indonesia. Bab

V

adalah

penelitian dan saran-saran.

penutup

yang

terdiri

dari

kesimpulan

dari

hasil

19

BAB II WAWASAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DALAM AL-QUR`AN

A. Pengertian Amar Makruf Nahi Mungkar Istilah amar makruf nahi mungkar merupakan sebuah istilah yang terdiri

dari

dua

frase

kata,

dimana

masing-masing

frase

mengandung

pengertian yang berbeda. Frase pertama adalah amar makruf, sedangkan frase kedua adalah nahi mungkar. Kata amar atau al-amr berasal dari kata kerja

amara

ya`muru

yang berarti

thalaba

(meminta)1,

sedangkan

kata

makruf atau al-ma'rûf merupakan ism maf’ûl dari kata kerja ’arafa ya’rifu yang berarti mengetahui (to know), mengenal atau mengakui (to recognize), dan melihat dengan tajam atau mengenali perbedaan (to discern).2 Kata makruf ini kemudian diartikan sebagai sesuatu yang diketahui, yang dikenal atau yang diakui.3 Kata ini terkadang juga digunakan untuk menunjukkan arti “wajah”, karena setiap manusia dapat dikenali dengan wajahnya.4 Secara terminologis, kata makruf adalah sebuah kata benda yang pengertiannya mencakup setiap hal yang diakui oleh masyarakat baik berupa ketaatan

kepada

Allah,

upaya

mendekatkan

diri

kepada-Nya,

maupun

1 Ahmad ibn Muhammad al-Muqrî al-Fayyûmi, al-Mishbâh al-Munîr, (Kairo: alMathba’ah al-Misyriyyah, 1928), h. 29. 2

Majd al-Dîn al-Fairûzabâdi, al-Qamûs al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Jail, t.th.), juz

3, h. 178. 3

Lihat Ahmad ibn Muhammad

4

Majd al-Dîn al-Fairûzabâdi, al-Qamûs al-Muhîth, h. 30.

al-Muqrî al-Fayyûmi, al-Mishbâh al-Munîr,

553.

h.

20

berbuat baik kepada sesama manusia.5 Al-Marâghi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan makruf adalah segala sesuatu yang tidak diingkari oleh syariat dan tidak diingkari oleh orang-orang yang mempunyai harga diri, juga bukan termasuk pengkhianatan atau ketamakan.6 Sementara menurut Mawlânâ Abul Kalâm Azad, makruf adalah sesuatu yang bisa diterima oleh semua orang, sedangkan mungkar adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh semua orang.7 Senada dengan itu, Abuddin Nata menjelaskan bahwa yang termasuk katagori makruf adalah segala sesuatu dalam bentuk ucapan, perbuatan, pemikiran dan sebagainya yang dipandang baik menurut syariat (agama) dan akal pikiran, atau yang dianggap baik menurut akal namun sejalan atau tidak bertentangan dengan syari'at. Dengan demikian, kebebasan akal dalam menentukan dan menilai suatu kebaikan dibatasi oleh ketentuan agama. Oleh karena boleh jadi ada sesuatu yang menurut akal baik tapi menurut syari'at buruk. Ketika terjadi keadaan yang menurut akal baik tapi menurut syari'at ini buruk, maka pendapat akal harus dicegah. Sebagai contoh, dapat dikemukakan misalnya hidup bareng sebelum menikah (samenleven) atau kumpul kebo yang didasarkan atas dasar suka sama suka menurut akal adalah baik, sedangkan menurut agama tidak baik. Orang-orang Barat yang hanya berpatokan pada akal saja, misalnya, membolehkan adanya kumpul kebo tersebut.8 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan makruf adalah segala sesuatu yang diakui oleh suatu masyarakat tertentu tetapi tidak bertentangan dengan syariat atau al-Qur`an dan hadis.

5 6

Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Dâr al-Ma’ârif, t.th.), jilid 4, h. 2900. ِAhmad Musthâfâ al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), jilid 2, h. 215.

7

Mawlânâ Abul Kalâm Azad, The Opening Chapter of The Qur`ân (Sûrah al-Fâtihah), (Malaysia: Islamic Book Trust, 2004), cet. ke-2, h. 175. 8

Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. ke-1, h. 178-179.

21

Konsep makruf ini mengindikasikan adanya kesepakatan umum (common sense)

yang

berlaku

dalam

suatu

masyarakat.

Karena

sifatnya

yang

lokalistik, praksis dan temporal, maka sangat mungkin terjadi perbedaan pemahaman lainnya

antara

mengenai

satu

masyarakat

makna

makruf,

Muslim bahkan

dengan terkadang

masyarakat antara

satu

Muslim waktu

dengan waktu lainnya dalam satu masyarakat. Dengan makna semacam ini, maka

kata

makruf

berbeda

dengan

kata

khair

yang

mengandung

arti

kebaikan yang bersifat universal.9 Pengertian ini senada dengan apa yang disampaikan

oleh

Muhammad

Syahrûr.

Ia

menjelaskan

bahwa

konsep

makruf dan mungkar merupakan sebuah konsep yang terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat.10 Adapun frase kedua adalah nahi mungkar. Kata nahi atau al-nahy merupakan lawan dari kata al-amr yang berasal dari kata nahâ yanhâ yang berarti mencegah11, sedangkan kata mungkar atau al-munkar berasal dari akar kata nûn kâf râ yang memiliki sejumlah arti diantaranya adalah aneh12, sulit13, buruk14, dan sesuatu yang diingkari oleh orang banyak.15 Secara terminologis, kata mungkar ini sering difahami sebagai segala sesuatu yang dipandang buruk, baik oleh syariat maupun akal yang sehat.16

9 M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), cet. ke-2, vol. II, h. 164. 10 Muhammad Syahrûr, al-Kitâb wa al-Qur`ân: Qirâ`ah Mu'âshirah, (Beirut: Syirkah alMathbû'ah li al-Tauzî' wa al-Nasyr, 2000), cet. ke-6, h. 528.

505.

11

Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, jilid 6, h. 4564.

12

Makna ini dapat ditemukan dalam Q.S. Hûd (11): 70.

13

Makna ini dapat dijumpai pada Q.S. al-Kahf (18): 87.

14

Makna seperti ini dapat dijumpai pada Q.S. Luqmân (31): 19.

15

Majd al-Dîn al-Fairûzabâdi, al-Qamûs al-Muhîth, h. 153.

16

Al-Râghib al-Ashfahâni, Mufradât Alfâzh al-Qur`ân, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2002), h.

22

Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan mungkar adalah setiap perkataan, perbuatan dan niat yang dianggap jelek serta dilarang oleh Syâri (Allah dan Rasul-Nya). Dari definisi-definisi tersebut, dapat diketahui bahwa ungkapan mungkar memiliki jangkauan pengertian yang lebih luas daripada ungkapan lain yang juga dipakai oleh al-Qur`an untuk menunjuk perbuatan yang buruk seperti ma’shiyah (perbuatan maksiat). Jadi, frase nahi mungkar dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya sesuatu yang dipandang buruk baik oleh syariat maupun oleh akal yang sehat. Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan amar makruf nahi mungkar adalah upaya untuk menyuruh orang lain mengerjakan sesuatu yang dipandang baik oleh akal yang sehat dan tidak bertentangan dengan syariat serta upaya untuk mencegah orang lain dari sesuatu yang dipandang buruk oleh keduanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, amar makruf nahi mungkar diartikan sebagai perintah kepada orang lain untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan larangan mengerjakan yang keji.17 Kedua frase ini, amar makruf dan nahi mungkar, telah menjadi satu kesatuan

yang

tidak

dapat

dipisahkan.

Artinya,

dalam

perbuatan

amar

makruf terdapat pengertian mencegah yang mungkar. Sebab jika kebaikan ditegakkan, Demikian

maka pula

dengan

sendirinya

sebaliknya,

dalam

yang

buruk

pengertian

nahi

pun

dapat

dicegah.

mungkar

tercakup

pengertian amar makruf, karena mencegah kejahatan adalah termasuk ke

17

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. ke-1, h. 26.

23

dalam perbuatan yang baik.18 Oleh karena itu, jika hanya disebut kata amar makruf saja, maka pengertian nahi mungkar juga tercakup di dalamnya, demikian pula sebaliknya.19

B. Ruang Lingkup Amar Makruf Nahi Mungkar Amar makruf nahi mungkar sudah ada sejak dulu, bahkan sejak zaman nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Saw.. Ketika sekelompok orang dari Bani Isra`il meninggalkan perintah Allah Swt. untuk tidak bekerja pada hari Sabtu, ada sekelompok orang lainnya yang melarang kelompok pertama untuk melakukan perbuatan tersebut. Pada saat itulah Allah menyelamatkan orang-orang

yang

mencegah

kemungkaran

dan

menimpakan

adzab

yang

pedih kepada orang-orang yang melanggar perintah-Nya.20 Pada masa Nabi Muhammad Saw. dan Khulafâ` al-Râsyidîn, amar makruf

nahi mungkar benar-benar ditegakkan. Tidaklah Rasulullah Saw.

melihat

seorang

sahabat

meninggalkan

perbuatan

makruf

kecuali

beliau

akan menegurnya, dan tidaklah beliau melihat seorang sahabat melakukan suatu

kemungkaran

kecuali

beliau

akan

mencegahnya

dari

kemungkaran

tersebut. Bahkan, menegakkan amar makruf nahi mungkar telah menjadi satu sifat yang melekat pada diri Rasulullah Saw..21 Demikian pula yang dilakukan oleh empat khalifah sepeninggal beliau, atau yang biasa disebut Khulafâ` al-Râsyidîn. Sebagai contoh, ketika terjadi peperangan Yamamah 18

Sa’id Agil Husin al-Munawwar, al-Qur`an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. ke-1, h. 217. 19

'Abdurrahmân ibn Nâshir al-Sa’di, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah: 2002), cet. ke-1, h. 202. 20

Lihat Q.S. al-A'râf (7): 165.

21

Lihat Q.S. al-A'râf (7): 157.

24

antara kaum Muslimin dengan orang-orang murtad, banyak penghafal alQur`an yang meninggal dunia, karena itu Umar pun menyuruh Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur`an dalam satu mushaf karena dirinya khawatir

al-Qur`an

akan

hilang.22

Apa

yang dilakukan

oleh

Umar

ini

termasuk salah satu perbuatan amar makruf. Pada dikenal

dan

masa-masa

berikutnya,

ditegakkan

di

amar

kalangan

kaum

makruf

nahi

Muslimin,

mungkar bahkan

ia

tetap telah

menjadi salah satu perhatian utama kelompok-kelompok tertentu. Sebagai contoh, kelompok Muktazilah sangat keras dalam memegang doktrin ini, yaitu bahwa amar makruf nahi mungkar harus ditegakkan, bahkan kalau perlu dengan menggunakan kekerasan.23 Di lain pihak, kelompok Syiah memasukkan jihad sebagai rukun Islam keenam. Sebagaimana diketahui, jihad dan amar makruf nahi mungkar mengandung nada maknawi yang sama.24 Pada masa sekarang ini, amar makruf nahi mungkar juga menjadi fokus perhatian sebagian kelompok atau organisasi massa di seluruh penjuru dunia. Di kalangan masyarakat Indonesia, Muhammadiyah terkenal sebagai organisasi massa yang menempatkan doktrin amar makruf nahi mungkar sebagai doktrin aksi. Dalam konsep Muhammadiyah, amar makruf nahi mungkar

ditafsirkan

sebagai

konsep

dakwah,

yaitu

menyeru

kepada

kebaikan dan mencegah keburukan. Jika kaum Syiah lebih memperhatikan konsep jihad, yang kerap kali diwujudkannya dalam bentuk perjuangan bersenjata itu, Muhammadiyah lebih suka mengambil amar makruf nahi

22

Hâmid Ahmad Thâhir, Hayât al-Shahâbah, (Kairo: Dâr al-Fajr li al-Turâts, 2004), cet. ke-

1, h. 44. 23

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. ke-2, h. 620.

24

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, h. 622.

25

mungkar sebagai dasar perjuangan dengan cara damai, yang disebutnya dengan "dakwah".25

Terhadap masyarakat, dakwah diwujudkan ke dalam

usaha-usaha perbaikan dan bimbingan guna menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Konkretnya, Muhammadiyah

melakukan

berbagai

amal

usaha,

khususnya

di

bidang

pendidikan, sosial (mendirikan panti asuhan, poliklinik, rumah sakit atau memobilisasi dan distribusi zakat), tabligh dan berbagai bentuk penyiaran agama Islam.26 Kegiatan dakwah dalam konteks amar makruf nahi mungkar ini mencakup segenap aspek kehidupan masyarakat, baik bidang sosial, politik, ekonomi,

pendidikan

maupun

bidang-bidang

lainnya.

Hampir

dapat

dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara pelaksanaan amar makruf nahi mungkar pada masa-masa lalu dengan masa sekarang bila dilihat dari ruang lingkupnya, maksudnya bahwa amar makruf nahi mungkar dilakukan

dalam seluruh

aspek kehidupan masyarakat, hanya saja pada

masing-masing masa ada hal-hal tertentu yang menjadi fokus utama dari gerakan amar makruf nahi mungkar, sesuai dengan kondisi yang ada pada masing-masing masa. Di sini, penulis ingin menyebutkan beberapa hal yang dapat menjadi fokus utama gerakan amar makruf nahi mungkar pada masa sekarang ini, tentunya disebabkan karena hal-hal tersebut dipandang sebagai hal-hal makruf yang untuk saat ini cukup penting bagi umat Islam:

25

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, h. 623.

26

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, h. 624.

26

1. Hal-hal yang tergolong amar makruf: a- Peningkatan kesejahteraan sosial Upaya

peningkatan

kesejahteraan

sosial

ini

dapat

dimulai

dari

pendidikan kejiwaan bagi setiap individu. Bila pendidikan kejiwaan bagi setiap

individu

dipastikan

akan

ini

dapat

tercipta

terwujud hubungan

dengan yang

baik, maka hampir

serasi

antar

sesama

dapat anggota

masyarakat, hingga akhirnya masing-masing orang di antara mereka pun akan

mengulurkan

bantuannya

kepada

yang

lain,

sebagaimana

firman

Allah Swt.:

’Îû tβρ߉Ågs† Ÿωuρ öΝÍκöŽs9Î) ty_$yδ ôtΒ tβθ™7Ïtä† ö/ʼnÏ=ö7s% ÏΒ z≈yϑƒM}$#uρ u‘#¤$!$# ρâ§θt7s? tÏ%©!$#uρ tΒuρ 4 ×π|¹$|Áyz öΝÍκÍ5 tβ%x. öθs9uρ öΝÍκŦàΡr& #’n?tã šχρãÏO÷σãƒuρ (#θè?ρé& !$£ϑÏiΒ Zπy_%tn öΝÏδÍ‘ρ߉߹ ∩∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ šÍ×‾≈s9'ρé'sù ϵšøtΡ £xä© s−θムDan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Mujahirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orangorang yang beruntung. (Q.S. al-Hasyr [59]: 9)27 Dalam hal ini, setiap individu harus diberikan pemahaman bahwa pada hakekatnya seluruh umat Islam adalah bersaudara, sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Hujurât (49): 10. Bahkan, mereka itu seperti satu tubuh, dimana ketika salah seorang anggotanya sakit, yang lain 27

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), cet. ke-8, h. 130.

27

pun ikut merasa sakit; Ketika salah seorang di antara mereka menderita, yang lain pun ikut merasakan penderitaan tersebut.28 Bila setiap Muslim menyadari hal ini, maka tidak akan ada lagi Muslim yang menderita di saat orang-orang yang ada di sekitarnya dapat hidup bahagia dan bersenang-senang. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial seperti ini harus terus digalakkan dan disosialisasikan ke seluruh lapisan masyarakat, kemudian mereka semua harus saling mengingatkan akan pentingnya upaya tersebut. Bahkan bila perlu, upaya ini hendaknya menjadi salah satu program prioritas utama pemerintah, apalagi di masa yang serba sulit seperti sekarang.

b- Peningkatan pendidikan Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu umat,

karena

mampu

dengan

pendidikan-lah

umat

akan

menggunakan

kecerdasannya

itu

untuk

menjadi

cerdas

menghadapi

serta

berbagai

tantangan dalam hidup ini. Melalui pendidikan diharapkan lahir manusia yang kreatif, sanggup berfikir sendiri walaupun kesimpulannya lain dari yang

lain,

28

sanggup

mengadakan

penelitian,

penemuan

dan

seterusnya.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Numair dengan lafazh: "Ayahku menceritakan kepada kami, Zakariyâ menceritakan kepada kami, dari al-Sya'bi dari alNu'mân ibn Basyîr, dia berkata: 'Rasulullah Saw. bersabda: 'Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu tubuh; Apabila salah anggota mengeluhkan rasa sakit, maka seluruh anggota tubuh pun akan ikut merasakannya, yaitu dengan cara tidak bisa tidur dan cara demam.'" Hadit ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Adab, hadis no. 5552; Muslim pada kitab alBirr wa al-Shilah wa al-Âdâb, hadis no. 4685; dan Ahmad pada kitab Awwal Musnad alKûfiyyîn, hadis no. 17632.

28

Sikap yang demikian itu amat dianjurkan dalam al-Qur`an.29 Oleh

karena

itulah,

maka

al-Qur`an

memberikan

perhatian

lebih

terhadap masalah pendidikan ini. Allah Swt. berfirman:

ª!$# Ëx|¡øtƒ (#θßs|¡øù$$sù ħÎ=≈yfyϑø9$# †Îû (#θßs¡¡xs? öΝä3s9 Ÿ≅ŠÏ% #sŒÎ) (#þθãΖtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'‾≈tƒ zΟù=Ïèø9$# (#θè?ρé& tÏ%©!$#uρ öΝä3ΖÏΒ (#θãΖtΒ#u tÏ%©!$# ª!$# Æìsùötƒ (#ρâ“à±Σ$$sù (#ρâ“à±Σ$# Ÿ≅ŠÏ% #sŒÎ)uρ ( öΝä3s9 4 ;M≈y_u‘yŠ Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."30 Perhatian al-Qur`an terhadap pendidikan ini juga terlihat pada penyebutan kata al-'ilm dan turunannya sebanyak 778 kali (tidak termasuk al-'âlam, al-'âlamin, dan 'alâmat yang disebut 76 kali).31 Sungguhpun tujuan akhir dari pendidikan adalah mengubah sikap mental

dan

perilaku

tertentu

yang dalam konteks

Islam adalah

agar

menjadi seorang Muslim yang terbina seluruh potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah, namun dalam proses ke arah tersebut diperlukan adanya upaya pengajaran. Dengan kata lain, pengajaran adalah salah satu sarana

29 30 31

Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, h. 170. Q.S. al-Mujâdalah (58): 11. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Islam, h. 622.

29

untuk mencapai tujuan pendidikan.32 Berdasarkan penjelasan di atas, maka seluruh

komponen

masyarakat

dituntut

untuk

saling

bahu-membahu,

bekerja sama dan saling mengingatkan dalam masalah pendidikan ini, baik guna

meningkatkan

mutunya

maupun

memujudkan

pemerataan

pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat.

2. Hal-hal yang tergolong nahi mungkar: a- Pengentasan kemiskinan Pada masa sekarang ini, kemiskinan telah menjadi masalah utama bagi umat Islam di dunia. Hampir 85% dari 1,5 Milyard kaum beriman berada

dalam

kurang

terdidik

Kalaupun

ada

kemiskinan dan

dan

kurang

yang hidup

60%

gizi kaya

diantaranya

adalah dan

nasib

buta

huruf.

Keadaan

umat

Islam

sekarang.

berkecukupan

itu

bukan

karena

prestasi, tapi karena kebetulan dikaruniai negeri yang kaya, tapi dikelola oleh pihak asing.33 Di Indonesia, kemiskinan yang dialami oleh kaum Muslimin telah mencapai

angka

Muhammadiyah, satupun

yang

tinggi.

Syafi'i

Ma'arif,

mantan

bahwa

sejak

merdeka

hingga

Indonesia

yang

benar-benar

menilai

pemerintahan

Ketua saat

ini

menegakkan

Umum tidak strategi

pembangunan yang prorakyat kecil. Sikap prorakyat kecil masih sebatas retorika politik. Sudah 62 tahun Indonesia merdeka tapi angka kemiskinan

32 33

Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, h. 169.

Nasarudin Umar, al-Qur`an dan Problem Pembangunan Karakter Bangsa, Swara Dipertais, Jum'at, 20 April 2007.

30

tinggi.34

masih

Pada

kesempatan

lain,

Syafi'i

menegaskan

bahwa

kekerasan dalam rumah tangga, pelacuran, kriminal yang semakin marak dan 1001 kasus lain, penyebab utamanya adalah kemiskinan. Tentu pasti ada sebab-sebab lain, tetapi tidak signifikan.35 Mengingat dampak negatifnya yang sangat besar, maka penulis pun mengatagorikan kemiskinan sebagai satu hal yang mungkar. Hal ini, di samping

didasarkan

sejumlah

ayat

pada

yang

fakta-fakta memuji

yang

ada,

kecukupan,

juga bahkan

didasarkan

pada

menganjurkan

memperoleh kebaikan seperti Q.S. al-Jumu'ah (62): 10, Q.S. al-Dhuhâ (93): 8 dan Q.S. al-Baqarah (2): 198. Di sisi lain, al-Qur`an mengecam mereka yang mengharamkan hiasan duniawi seperti pada Q.S. al-A'râf (7): 32.36 Dari sini, maka upaya pengentasan kemiskinan pun dapat dianggap sebagai salah satu upaya untuk mencegah kemungkaran.

b- Penanggulangan AIDS dengan memberantas budaya seks bebas Korban

AIDS

(Acquired

Immue

Deficieny

Sindrome)

semakin

banyak. Pada tahun 1995, di Indonesia, khususnya daerah Jabotabek saja ditemukan 142 penderita AIDS. 92 di antaranya berumur antara 20 hingga 39 tahun. Lebih ironisnya lagi, mereka yang mengidap HIV/AIDS di Jabotabek itu setengahnya berpendidikan tinggi.37 Telah diakui oleh para pakar dan ilmuwan di seluruh dunia bahwa media yang paling efektif dan

34

Harian Umum Republika, 17-02-07.

35

Harian Umum Republika, 18-02-07.

36

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. 451.

37

Nashruddin Baidan, Tafsîr Maudhû'i: Solusi Qur`ani Untuk Masalah Sosial Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), cet. ke-1, h. 157.

31

mempunyai peranan teramat besar dalam penularan AIDS ialah hubungan badan secara tidak sah (berzina) dengan pasangan yang sering bergantiganti (promiskuitas), baik heteroseksual maupun homoseksual. Dari

sini,

maka

upaya

yang

paling

tepat

dalam

rangka

penanggulangan AIDS adalah dengan kembali kepada ajaran-ajaran Islam, yaitu

dengan

memberantas

budaya

seks

bebas

atau

meninggalkan

hubungan seksual di luar nikah (zina). Inilah hikmah yang tersimpan di balik larangan Allah Swt. untuk mendekati zina, seperti disebutkan pada firman-Nya dalam Q.S. al-Isrâ` (17): 32:

∩⊂⊄∪ Wξ‹Î6y™ u!$y™uρ Zπt±Ås≈sù tβ%x. …çµ‾ΡÎ) ( #’oΤÌh“9$# (#θç/tø)s? Ÿωuρ Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.38 Upaya pemberantasan budaya seks bebas atau hubungan seksual di luar nikah ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu: Pertama, pembinaan internal (individu) yakni dengan memberikan pemahaman kepada setiap individu bahwa hubungan seksual di luar nikah merupakan hal yang sangat buruk, berbahaya dan bertentangan dengan ajaran-ajaran agama sehingga harus dihindari dan dijauhkan; Kedua, adalah pembinaan eksternal, yakni dengan menciptakan lingkungan atau masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama serta bersih dari hal-hal yang mungkar.

C. Ayat-ayat Amar Makruf Nahi Mungkar dalam al-Qur`an 1. Derivasi Ayat-ayat Amar Makruf Nahi Mungkar 38

Q.S. al-Isrâ` (17): 32.

32

Sebagai

salah

satu

ajaran

Islam,

amar

makruf

nahi

mungkar

mendapat perhatian yang serius. Dalam al-Qur`an terdapat 18 ayat yang berbicara mengenai amar makruf nahi mungkar. Dari ke-18 ayat tersebut, 7 di

antaranya

lainnya

adalah

merupakan

termasuk

ayat-ayat

Makiyyah,

ayat-ayat

Madaniyyah.

Yang

sedangkan

11

ayat

termasuk

ayat-ayat

Makiyyah adalah Q.S. al-A’râf (7): 157, 165, 199, Q.S. al-Nahl (16): 76, Q.S. Maryam (19): 55, Q.S. Thâhâ (20): 132, dan Q.S. Luqmân (31): 17, sedangkan

yang termasuk ayat-ayat

Madaniyyah adalah Q.S. al-Baqarah

(2): 44, Q.S. Âli ‘Imrân (3): 21, 104, 110, 114, Q.S. al-Nisâ` (4): 114, Q.S. al-Mâ`idah (5): 63, 79, Q.S. al-Taubah (9): 71, 112, dan Q.S. al-Hajj (22): 41. Ayat-ayat tersebut terlampir di bagian belakang tesis ini. Pada

ayat-ayat

tersebut,

term-term

amar

makruf

nahi

mungkar

disampaikan dalam empat shîghah (bentuk), yaitu: a. Fi’il Mâdhi Di antara ayat-ayat amar makruf nahi mungkar tersebut, hanya ada dua ayat yang menggunakan bentuk fi’il mâdhi, yaitu Q.S. al-Nisâ` (4): 114 dan al-Hajj (22): 41. Pada Q.S. al-Nisa` (4): 114, Allah menjelaskan bahwa tidak ada kebaikan sedikitpun dalam bisikan-bisikan manusia kecuali jika mereka menyuruh orang lain untuk bersedekah, berbuat yang makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Firman Allah Swt. ini senada dengan sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa perkataan anak cucu Adam akan menjadi beban baginya kecuali (perkataan yang) menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan berdzikir kepada Allah Swt..39

39

Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dalam kitab al-Fitan, hadis no. 3074.

33

Allah Swt. berfirman:

š÷t/ £x≈n=ô¹Î) ÷ρr& >∃ρã÷ètΒ ÷ρr& >πs%y‰|ÁÎ/ ttΒr& ôtΒ āωÎ) öΝßγ1uθôf‾Ρ ÏiΒ 9ŽÏVŸ2 ’Îû uŽöyz āω ∩⊇⊇⊆∪ $\Κ‹Ïàtã #—ô_r& ϵŠÏ?÷σçΡ t∃öθ|¡sù «!$# ÏN$|Êó÷s∆ u!$tóÏFö/$# šÏ9≡sŒ ö≅yèøtƒ tΒuρ 4 Ĩ$¨Ψ9$# Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.40 Yang

dimaksud

dengan

najwah

atau

munâjâh

adalah

berbicara

secara rahasia atau berusaha untuk menghindarkan suatu pembicaraan dari seseorang yang akan mendengar ataupun melihatnya. Makna asli dari kata najwah adalah suatu tempat yang tinggi yang biasa digunakan oleh manusia dan hewan untuk menyelamatkan diri. Ayat ke-114 dari Q.S. al-Nisâ` ini menjelaskan bahwa tidak semua perkataan atau perbuatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi adalah termasuk hal-hal yang tidak baik, karena hal-hal yang disebutkan pada ayat tersebut merupakan hal-hal yang baik meskipun dilakukan dengan bisik-bisik.41 Hal-hal yang dimaksud di atas adalah menyuruh orang lain untuk bersedekah, berbuat yang makruf, dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Ayat masyarakat,

ini yaitu

merupakan bahwa

pendidikan

hendaklah

yang

sangat

anggota-anggota

berharga

masyarakat

bagi saling

terbuka dan sedapat mungkin tidak saling merahasiakan sesuatu. Sebab, kerahasiaan 40 41

mengandung

makna

ketidakpercayaan,

sedangkan

keterbukaan

Q.S. al-Nisâ` (4): 114.

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr al-'Arabi, t.th.), kitab ke-3, h. 897.

34

dan

keterusterangan

menunjukkan keberanian pembicara, yaitu keberanian

atas dasar kebenaran dan ketulusan.42 Tetapi pada saat-saat tertentu, seperti pada saat menyuruh orang lain untuk bersedekah, berbuat makruf, dan mengadakan

perdamaian

di

antara

manusia,

terkadang

kerahasiaan

dan

upaya untuk melakukan hal-hal tersebut secara sembunyi-sembunyi dapat dianggap sebagai sesuatu yang baik, bahkan terkadang lebih baik daripada harus dilakukan secara terang-terangan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada saat-saat tertentu, amar makruf nahi mungkar akan membuahkan hasil yang lebih baik dan lebih memuaskan bila dilakukan secara sembunyisembunyi. Ayat

kedua

dari

ayat-ayat

amar

makruf

nahi

mungkar

yang

menggunakan bentuk fi'il mâdhi adalah firman Allah Swt.:

Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ (#ρãtΒr&uρ nο4θŸ2¨“9$# (#âθs?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θãΒ$s%r& ÇÚö‘F{$# ’Îû öΝßγ≈¨Ψ©3¨Β βÎ) tÏ%©!$# ∩⊆⊇∪ Í‘θãΒW{$# èπt6É)≈tã ¬!uρ 3 ̍s3Ζßϑø9$# Çtã (#öθyγtΡuρ (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.43 Ada

kemungkinan

ism

maushûl

(kata

sambung)

al-ladzîna

yang

terdapat pada awal ayat ini merupakan badal (substitusi) dari kata sambung man yang terdapat pada firman Allah: "Sesungguhnya Allah pasti menolong (agama)-Nya." (Q.S. al-Hajj [22]: 41). Kata tersebut juga dapat menjadi badal (substitusi) bagi kata sambung al-ladzîna yang terdapat pada firman Allah:

"(yaitu) 42 43

orang-orang

yang

telah

diusir

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. II, h. 561. Q.S. al-Hajj (22): 41.

dari

kampung

halaman

35

mereka tanpa alasan yang benar,..." (Q.S. al-Hajj [22]: 41).44 Al-Thabâthabâ`i menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan sifat-sifat lain

dari

orang-orang

disebutkan

pada

yang

ayat

beriman,

pertama.

Yang

yaitu

orang-orang

dimaksud

yang

peneguhan

telah

kedudukan

mereka di muka bumi adalah pemberian kemampuan kepada mereka untuk menentukan arah kehidupan yang mereka inginkan tanpa ada sesuatu pun yang menghalangi mereka. Jadi maksud ayat tersebut secara keseluruhan adalah:

"Sesungguhnya

di

antara

sifat

orang-orang

mukmin

itu

adalah

bahwa jika kedudukan mereka di muka bumi ini diteguhkan, lalu mereka diberikan

kebebasan

untuk

menentukan

arah

kehidupan

yang

mereka

inginkan, maka mereka pun akan membentuk satu masyarakat yang saleh yang di dalamnya shalat ditegakkan, kewajiban berzakat ditunaikan, dan amar makruf nahi mungkar ditegakkan."45 Ayat

ini

mencerminkan

sekelumit

dari

ciri-ciri

masyarakat

yang

diidamkan oleh Islam, kapan dan dimana pun, dan yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakat Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat beliau. Masyarakat ini adalah masyarakat yang pemimpin-pemimpin dan anggotaanggotanya

secara

kolektif

dinilai

bertakwa,

sehingga

hubungan

mereka

dengan Allah Swt. menjadi baik dan jauh dari kekejian dan kemungkaran, sebagaimana

dicerminkan

oleh

sikap

mereka

yang

selalu

melaksanakan

shalat serta keharmonisan hubungan anggota masyarakatnya, termasuk antar kaum berpunya dan kaum lemah yang telah dicerminkan oleh ayat di atas, yaitu dengan menunaikan zakat. Di samping itu, mereka juga menegakkan nilai-nilai

44 45

yang

dianut

masyarakatnya,

yaitu

nilai-nilai

makruf

dan

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-9, h. 1046.

Muhammad Husain al-Thabâthabâ`i, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân, (Beirut: Mu`assasah alA'lâmi li al-Mathbû'ât, 1972), cet. ke-2., jilid 14.

36

mencegah

perbuatan

yang

mungkar.

Pelaksanaan

kedua

hal

tersebut

menjadikan masyarakat dapat melaksanakan kontrol sosial, sehingga mereka saling

ingat-mengingatkan

dalam

hal

kebajikan

dan

saling

mencegah

46

terjadinya pelanggaran.

b. Fi'il Mudhâri' Ayat-ayat amar makruf nahi mungkar yang menggunakan bentuk fi'il mudhâri' adalah sebagai berikut: Dalam Q.S. al-Nahl (16): 76, Allah Swt. berfirman:

4’n?tã <≅Ÿ2 uθèδuρ &ó_x« 4’n?tã â‘ωø)tƒ Ÿω ãΝx6ö/r& !$yϑèδ߉tnr& È÷,s#ã_§‘ WξsWtΒ ª!$# z>uŽŸÑuρ 4’n?tã uθèδuρ € ÉΑô‰yèø9$$Î/ ããΒù'tƒ tΒuρ uθèδ “ÈθtGó¡o„ ö≅yδ ( AŽösƒ¿2 ÏNù'tƒ Ÿω –µγÅh_uθム$yϑuΖ÷ƒr& çµ9s9öθtΒ ∩∠∉∪ 8ΛÉ)tFó¡•Β :Þ≡uŽÅÀ Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?47 Mengenai tafsir dari ayat ini, para ulama berbeda pendapat. AlBiqâ'i, Sayyid Quthb dan Ibn 'Asyûr menganggap bahwa ayat ini masih berbicara

tentang

Muslimin.

Menurut

46 47

berhala-berhala mereka,

kaum

perumpamaan

musyrikin

dan

pertama

adalah

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. IX, h. 73-74. Q.S. al-Nahl (16): 76.

Tuhan

kaum

perumpamaan

37

tentang

berhala-berhala

faham

sesuatu,

yang

sedangkan

tentang ke-Mahasempurna-an bukunya

yang

merupakan

benda-benda

perumpamaan Allah

mengomentari

kedua

mati

adalah

Yang Maha Tinggi.

Tafsîr

al-Jalâlain

yang

tidak

perumpamaan

Al-Jamâl dalam

menegaskan

bahwa

perumpamaan ini adalah untuk membuktikan bahwa betapa jauh jarak antara derajat seorang mukmin dan kafir.48 Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, karena pada ayat di atas disebutkan

kata

ya`muru

bi

al-'adl

yang

berarti

"menyuruh

berbuat

keadilan", maka penulis pun memasukkan ayat tersebut ke dalam katagori ayat amar makruf nahi mungkar. Sebab, ayat tersebut menegaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat jauh antara orang yang bisu dimana semua indera dan perasaannya terkunci sehingga ia tidak dapat memahami ataupun merasakan sesuatu, dengan orang yang berakal, bijaksana, dan dapat melihat pintu-pintu kebaikan sehingga ia pun dapat menyuruh orang lain untuk berbuat keadilan.49 Dari sini, maka dapat dikatakan bahwa tidaklah sama derajat orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan orang yang tidak menegakkannya,

karena menyuruh

orang lain untuk berbuat

keadilan merupakan salah satu bagian dari amar makruf nahi mungkar. Ayat kedua adalah firman Allah yang berbunyi:

Ïπ1u‘öθ−G9$# ’Îû öΝèδy‰ΨÏã $¹/θçGõ3tΒ …çµtΡρ߉Ågs† “Ï%©!$# ¥_ÍhΓW{$# ¢É<¨Ζ9$# tΑθß™§9$# šχθãèÎ7−Ftƒ tÏ%©!$# ãΠÌhptä†uρ ÏM≈t6Íh‹©Ü9$# ÞΟßγs9 ‘≅Ïtä†uρ ̍x6Ψßϑø9$# Çtã öΝßγ8pκ÷]tƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ ΝèδããΒù'tƒ È≅‹ÅgΥM}$#uρ šÏ%©!$$sù 4 óΟÎγøŠn=tæ ôMtΡ%x. ÉL©9$# Ÿ≅≈n=øñF{$#uρ öΝèδuŽñÀÎ) öΝßγ÷Ζtã ßìŸÒtƒuρ y]Í×‾≈t6y‚ø9$# ÞΟÎγøŠn=tæ 48

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. VII, h. 297.

49

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-7, h. 332-333.

38

ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé& € ÿ…çµyètΒ tΑÌ“Ρé& ü“Ï%©!$# u‘θ‘Ζ9$# (#θãèt7¨?$#uρ çνρã|ÁtΡuρ çνρ⑨“tãuρ ϵÎ/ (#θãΖtΒ#u ∩⊇∈∠∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# Yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.50 Ism maushûl yang ada pada ayat ini dipisahkan dengan ism maushûl yang ada pada ayat sebelumnya. Hal itu disebabkan karena ia merupakan bayân musta`nif bagi ism maushûl yang terakhir atau dua ism maushûl sebelumnya.51 Firman

Allah

“ya`muruhum”,

ada

kemungkinan

ia

merupakan

kalimat baru (isti`nâf) yang berfungsi untuk menjelaskan tentang apa yang mereka butuhkan pada saat diutusnya Nabi, dan ada kemungkinan untuk menafsirkan tentang apa yang tertulis di dalam kitab Taurat dan Injil.52 Secara umum, ayat ini memberikan gambaran tentang rasul yang wajib diikuti oleh orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan Bani Isra`il maupun yang lainnya. Sifat-sifat dari rasul yang wajib diikuti itu adalah: 50

Q.S. al-A’râf (7): 157.

51

Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-1, jilid 9, h. 191. 52

Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid 9, h. 194.

39

1- Dia adalah nabi yang benar-benar ummi (buta huruf). 2- Nama dan sifatnya termaktub dalam kitab Taurat dan Injil. 3- Menyuruh

kepada

yang

makruf,

mencegah

dari

yang

mungkar,

menghalalkan yang baik, mengharamkan yang buruk, serta membuang beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada diri mereka. Ayat ketiga adalah firman Allah:

Çtã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ šχρâ÷ß∆ù'tƒ 4 <Ù÷èt/ â!$uŠÏ9÷ρr& öΝßγàÒ÷èt/ àM≈oΨÏΒ÷σßϑø9$#uρ tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ y7Í×‾≈s9'ρé& 4 ÿ…ã&s!θß™u‘uρ ©!$# šχθãèŠÏÜãƒuρ nο4θx.¨“9$# šχθè?÷σãƒuρ nο4θn=¢Á9$# šχθßϑŠÉ)ãƒuρ ̍s3Ζßϑø9$# ∩∠⊇∪ ÒΟŠÅ3ym ͕tã ©!$# ¨βÎ) 3 ª!$# ãΝßγçΗxq÷Žzy™ Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.53 Ayat

ini

menjelaskan

tentang

bagusnya

kondisi

orang-orang

mukmin, baik laki-laki maupun perempuan, baik ketika di dunia maupun di akhirat. Penjelasan tentang kondisi mereka itu disebutkan setelah penjelasan tentang kondisi lawan mereka, yaitu orang-orang munafik. Pada ayat ini, Allah

menggunakan

menggunakan menggambarkan

redaksi tentang

redaksi

ba’dhuhum

ba’dhuhum kondisi

min

auliyâ`u ba’dh

orang-orang

yang

munafik.

ba’dh

dan

tidak

digunakan

untuk

Perubahan

redaksi

yang ditambah dengan lafazh auliyâ`u ini mengisyaratkan adanya kerjasama dan tolong menolong di antara mereka, berbeda dengan apa yang ada di 53

Q.S. al-Taubah (9): 71.

40

antara orang-orang munafik.54 Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang mukmin telah dipersatukan oleh ikatan persaudaraan dan rasa cinta. Mereka bahu membahu dalam menegakkan

amar

makruf

nahi

mungkar,

mendirikan

shalat,

membayar

zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang akan dirahmati oleh Swt.. Penyebutan harf al-istiqbâl (

‫س‬ َ

) pada ayat ini sama sekali tidak

mengandung maksud bahwa janji Allah untuk merahmati mereka itu tidak akan terwujud sekarang (di dunia), melainkan hanya akan terwujud di masa yang mendatang (di akhirat) saja. Akan tetapi, hal itu menunjukkan bahwa janji Allah itu dalam semua kondisi dan zaman.55 Ayat keempat adalah firman Allah:

y7Í×‾≈s9'ρé&uρ 4 ̍s3Ψßϑø9$# Çtã tβöθyγ÷Ζtƒuρ Å∃ρã÷èpRùQ$$Î/ tβρããΒù'tƒuρ Ύösƒø:$# ’n<Î) tβθããô‰tƒ ×π¨Βé& öΝä3ΨÏiΒ ä3tFø9uρ ∩⊇⊃⊆∪ šχθßsÎ=øßϑø9$# ãΝèδ Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.56 Ada kemungkinan huruf min pada ayat di atas merupakan min li altab’îdh sehingga perintah yang terkandung di dalamnya ditujukan kepada sebagian umat Islam saja. Sebab, amar makruf nahi mungkar merupakan salah

satu

kewajiban

yang

bersifat

fardhu

kifâyah.

Selain

itu

54

juga

Abû al-Fadhl Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm wa alSab’i al-Matsânî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001 M), jilid 4, cet. ke-1, h. 325. 55 56

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-5, h. 843. Q.S. Âli ‘Imrân (3): 104.

41

disebabkan karena amar makruf nahi mungkar tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang mengetahui tentang katagori perbuatan yang makruf (baik) dan

perbuatan

yang mungkar,

serta mengetahui tentang cara menyusun

strategi dan cara pelaksanaannya. Ada kemungkinan pula huruf min tersebut adalah min li al-tabyîn sehingga makna ayat di atas adalah: “Dan hendaklah kalian menjadi umat yang…..” Makna seperti ini senada dengan makna yang terkandung dalam firman Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia….” (Q.S. Âli 'Imrân [3]: 110)57 Baik

perintah

itu

ditujukan

kepada seluruh

umat

Islam maupun

sekelompok ulama saja, akan tetapi data utama dari perintah tersebut adalah satu yaitu bahwa seluruh umat Islam harus mengikuti bimbingan yang benar dari para ulama yang mengamalkan ilmu mereka, yang mengajak kepada kebaikan serta menegakkan amar makruf nahi mungkar.58 Ayat kebaikan,

ini

menegaskan

menyuruh

yang

bahwa

makruf

orang-orang dan

mencegah

yang

mengajak

kepada

yang mungkar

adalah

orang-orang yang beruntung. Hal ini senada dengan hadis yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah ditanya oleh seseorang dimana pada saat itu beliau sedang berada di atas mimbar: “Siapakah manusia yang terbaik?” Beliau pun menjawab: “(Yaitu) orang yang paling banyak menyuruh kepada yang makruf, paling banyak mencegah dari yang mungkar, paling bertakwa kepada Allah dan paling baik dalam menyambung tali silaturahim.”59 Keberuntungan yang mereka peroleh itu sesuai dengan tugas berat

57

Al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995 M), jilid 1, cet. ke-1, h. 389. 58 59

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-2, h. 542.

HR. Ahmad, Abû Ya’lâ, al-Thabari, dan al-Baihaqi dalam kitab “Syu’ab al-Îmân” dari jalur Syuraik dari Sammâk dari Abdullah ibn Umairah dari suami Durrah binti Abî Lahab.

42

yang

mereka

emban.

Sebagaimana

diketahui,

tugas

mengajak

kepada

kebaikan, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar bukanlah tugas yang mudah atau ringan. Karena itu, ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid

Quthb

menegaskan

bahwa

di

antara

umat

Islam

harus

ada

sekelompok orang yang memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan rasa persaudaraan yang tinggi, yang dengannya mereka dapat menjalankan tugas yang berat tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan karena ketika menjalankan tugas tersebut, seseorang pasti akan dihadapkan pada berbagai tantangan, serta kepentingan dan ambisi sebagian orang.60 Ayat kelima adalah firman Allah:

̍x6Ζßϑø9$# Çtã šχöθyγ÷Ψs?uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ tβρâ÷ß∆ù's? Ĩ$¨Ψ=Ï9 ôMy_̍÷zé& >π¨Βé& uŽöyz öΝçGΖä. šχθãΨÏΒ÷σßϑø9$# ãΝßγ÷ΖÏiΒ 4 Νßγ©9 #ZŽöyz tβ%s3s9 É=≈tGÅ6ø9$# ã≅÷δr& š∅tΒ#u öθs9uρ 3 «!$$Î/ tβθãΖÏΒ÷σè?uρ ∩⊇⊇⊃∪ tβθà)Å¡≈xø9$# ãΝèδçŽsYò2r&uρ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.61 Lafazh kâna pada ayat di atas merupakan lafazh yang sempurna sehingga makna ayat tersebut adalah: “Kalian telah dijumpai sebagai umat terbaik

yang

ada

sekarang

karena

umat-umat

lainnya

telah

dilanda

kerusakan. Mereka tidak lagi mengenal yang makruf, tidak mengingkari

60

Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), jilid 1, cet. ke-17,

61

Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110.

h. 444.

43

yang mungkar, dan tidak berada dalam keimanan yang benar.”62 Menurut

'Abd

al-Karîm

al-Khathîb,

penggunaan

fi’il

mâdhî

pada

lafazh kuntum mengisyaratkan bahwa pensifatan yang telah diberikan oleh Allah kepada umat ini bahwa mereka merupakan umat yang terbaik tidak dibatasi oleh satu zaman ataupun satu kondisi tertentu saja. Akan tetapi, pensifatan tersebut bersifat umum, muthlak, dan mencakup seluruh umat Islam pada setiap zaman dan kondisi.63 Pada

ayat

ini,

Allah

Swt.

memberitahukan

bahwa

pada

masa

sekarang umat Islam merupakan umat yang terbaik di alam semesta ini, yaitu selama mereka mau menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar. Pada ayat tersebut, amar makruf nahi mungkar lebih didahulukan daripada keimanan

kepada

Allah

karena

keduanya

lebih

menunjukkan

keutamaan

umat Islam atas umat-umat lainnya. Sebab, umat-umat lain juga mengatakan bahwa diri mereka beriman, tetapi mereka tidak mau menegakkan amar makruf nahi mungkar.64 Dalam hal ini, timbangan umat Islam adalah lebih berat daripada timbangan umat manapun meskipun jika dilihat dari segi fisik, umat-umat lainnya terlihat lebih kuat. Umat Islam adalah ibarat tambang

emas

yang

berada

di

antara

barang

tambang-barang

tambang

Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb menjelaskan

bahwa

lainnya.

untuk

dapat

menyandang

predikat

"umat

terbaik",

umat

Islam

harus

62

Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, jilid 4, h. 48. Lihat juga Al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, jilid 1, h. 392.

40.

63

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-2, h. 547.

64

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1998), juz 4, h.

44

berusaha untuk menjaga kehidupan ini dari hal-hal yang buruk dan berbagai macam

kerusakan.

Mereka

juga

harus

memiliki

kekuatan

yang

memungkinkan mereka untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Hal itu

disebabkan

karena

predikat

"umat

terbaik"

tersebut

tidak

diperoleh

secara kebetulan atau tanpa ada aturan, melainkan ia akan diperoleh melalui sebuah tindakan positif yang bertujuan untuk menjaga kehidupan manusia ini

dari

kemungkaran

serta

mengarahkan

manusia

kepada

hal-hal

yang

makruf.65 Ayat keenam adalah firman Allah:

̍s3Ψßϑø9$# Çtã tβöθyγ÷Ψtƒuρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ šχρããΒù'tƒuρ ̍ÅzFψ$# ÏΘöθu‹ø9$#uρ «!$$Î/ šχθãΨÏΒ÷σム∩⊇⊇⊆∪ tÅsÎ=≈¢Á9$# zÏΒ šÍ×‾≈s9'ρé&uρ ÏN≡uŽöy‚ø9$# ’Îû šχθãã̍≈|¡ç„uρ Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.66 Kalimat

yu`minûna

billâh

merupakan

jumlah

fi’liyyah.

Ada

kemungkinan i’râbnya adalah nashb karena ia berkedudukan sebagai hâl (keterangan keadaan) dari ism dhamîr (kata ganti) yang terdapat pada lafazh yasjudûn, atau yatlûn atau qâ`imah yang ada pada ayat sebelumnya. Ada kemungkinan pula i’râbnya adalah rafa’ karena ia merupakan sifat dari kata al-ummah yang terdapat pada ayat sebelumnya. Selain itu, ia juga bisa

65

Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, h. 447.

66

Q.S. Âli 'Imrân (3): 114.

45

menjadi jumlah musta’nifah (kalimat baru).67 “Yu`minûna billâh wa al-yaum al-âkhir” (Mereka beriman kepada Allah

dan

hari

penghabisan),

Allah

dan

hari

kebangkitan.

maksudnya, Mereka

mereka

mempercayai

mengetahui

bahwa

adanya

Allah

akan

membalas semua amal perbuatan mereka. Mereka tidaklah sama dengan orang-orang

musyrik

yang

mengingkari

ke-Esaan

Allah

dan

tidak

mempercayai adanya hari kebangkitan. “wa makruf),

ya`murûna

bi

maksudnya,

al-ma'ruf”

mereka

(mereka

memerintahkan

menyuruh manusia

kepada untuk

yang

beriman

kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempercayai kenabian Muhammad Saw. dan ajaran-ajaran yang dibawanya. “wa

yanhauna

‘an

al-munkar”

(mencegah

dari

yang

mungkar),

maksudnya, mereka melarang manusia untuk ingkar kepada Allah serta mendustakan Nabi Muhammad Saw. dan ajaran-ajaran yang dibawanya.68 Secara umum, ayat ini menjelaskan tentang sifat-sifat sebagian ahli kitab yang beriman. Pada ayat sebelumnya, telah dijelaskan bahwa ahli kitab tidak semuanya kafir. Ada sebagian dari mereka yang beriman dan ada pula yang kafir. Mereka yang beriman ini, seperti disebutkan pada ayat ini dan juga

ayat

perintah

sebelumnya,

Allah,

memiliki

membaca

sejumlah

al-Qur`an

di

sifat,

tengah

yaitu: malam,

melaksanakan memperbanyak

tahajjud, beriman kepada Allah dan hari akhir, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar. Ayat ini turun sebagai bantahan atas anggapan orangorang

Yahudi 67 68

bahwa

orang-orang

yang

beriman

dari

kalangan

mereka

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 4, h. 47.

Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-3, jilid 3, h. 402.

46

seperti

'Abdullâh

sebagainya,

ibn

bukanlah

Salâm,

Asad

orang-orang

ibn

yang

‘Ubaid, terbaik.

Tsa’labah Menurut

dan

lain

orang-orang

Yahudi, seandainya orang-orang yang beriman itu merupakan orang-orang yang baik, niscaya mereka tidak akan meninggalkan agama mereka.69 Ayat ketujuh adalah firman Allah Swt.:

$tΒ š[ø⁄Î6s9 4 |Mós¡9$# ÞΟÎγÎ=ø.r&uρ zΟøOM}$# ÞΟÏλÎ;öθs% tã â‘$t7ômF{$#uρ šχθ–ŠÏΨ≈−/§9$# ãΝßγ8pκ÷]tƒ Ÿωöθs9 ∩∉⊂∪ tβθãèoΨóÁtƒ (#θçΡ%x. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan.70 Menurut Abû Ja’far, maksud dari ayat ini adalah: “Mengapa alrabbâniyyûn dan al-akhbâr dari kalangan Bani Israil tidak mau mencegah orang-orang yang berlomba-lomba melakukan dosa dan permusuhan serta memakan hasil uang suap dalam pengadilan, agar mereka tidak melakukan hal-hal tersebut.”71 Menurut al-Baidhâwi, ayat ini mengandung sebuah dorongan. Sebab, jika kata laulâ (mengapa tidak) digandengkan dengan fi’il mâdhi, maka ia mengandung makna taubîkh (celaan), sedangkan jika digandengkan dengan fi’il mudhâri’, maka ia mengandung arti tahdhîdh (pemberian dorongan).72 Para ulama 69 70

berpendapat

bahwa ayat ini

merupakan celaan yang

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 4, h. 48. Q.S. al-Mâ`idah (5): 63.

71

Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 4, h. 638.

72

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 6, h. 245.

47

paling tegas bagi mereka. Bahkan tidak ada satu ayat pun yang lebih tegas dalam mencela para ulama daripada ayat tersebut. Sementara itu, al-Dhahâk berkata: “Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur`an yang lebih aku takuti daripada ayat ini. Maksudnya, ayat itu akan menjadi hujjah (bukti) yang memberatkan memberikan

para

ulama

petunjuk

dan

(pada arahan

hari

kiamat

secara

nanti)

jika

mereka

tidak

sempurna,

lalu

mereka

tidak

mencegah keburukan-keburukan dan perbuatan-perbuatan dosa yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat."73 Ayat kedelapan adalah firman Allah Swt.:

šÏ%©!$# $tΡõ‹s{r&uρ Ïþθ¡9$# Çtã šχöθpκ÷]tƒ tÏ%©!$# $uΖøŠpgΥr& ÿϵÎ/ (#ρãÅe2èŒ $tΒ (#θÝ¡nΣ $£ϑn=sù ∩⊇∉∈∪ šχθà)Ý¡øtƒ (#θçΡ%x. $yϑÎ/ ¤§ŠÏ↔t/ ¥>#x‹yèÎ/ (#θßϑn=sß Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.74 Fâ’il dari kata nasû (melupakan) adalah dhamîr (kata ganti) hum yang merujuk pada lafazh ahl al-qaryah. Yang dimaksud dengan orangorang yang melarang dari perbuatan jahat adalah orang-orang yang saleh, sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim adalah orangorang yang melakukan kemungkaran.75 Ayat ini berkaitan dengan kisah Bani Isra`il yang telah melanggar aturan Allah untuk tidak bekerja pada hari Sabtu. Menurut Abû Ja’far, 73

Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 4, h. 639; Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2002), jilid 2, h. 70. 74 Q.S. al-A’râf (7): 165. 75

Al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, jilid 2, h. 164.

48

maksud ayat ini adalah bahwa ketika sekelompok orang dari Bani Isra`il meninggalkan perintah Allah Swt. untuk tidak bekerja pada hari Sabtu, lalu mereka pun tidak mengindahkan nasehat sekelompok orang lainnya agar tidak melakukan perbuatan tersebut, maka Allah pun menyelamatkan orangorang yang telah mencegah dari kemungkaran dan menimpakan adzab yang pedih kepada orang-orang yang melanggar perintah-Nya.76 Dari ayat ini dan juga ayat-ayat sebelumnya, jelaslah bahwa tidak semua individu dari ahl al-qaryah itu keluar pada hari Sabtu dengan maksud untuk membebaskan diri dari ujian yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepada

mereka.

Akan

tetapi,

di

antara

mereka

ada

yang

menasehati

kaumnya agar bersabar dalam menyikapi ujian dan hukum Allah. Sikap mereka itu dibantah oleh sekelompok orang lainnya yang ingin membiarkan kaumnya melakukan apa yang ingin mereka perbuat. Kelompok kedua ini berkata: “Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?” Setiap kelompok, akhirnya, tetap kukuh pada pendiriannya masing-masing. Dalam kondisi

seperti

itu,

Allah

menyelamatkan

orang-orang yang menegakkan

amar makruf nahi mungkar, lalu Dia menurunkan siksaan kepada orangorang yang melakukan perbuatan zalim dan dosa.77 Meskipun ayat ini menjelaskan

tentang

kisah

Bani

Isra`il,

akan

tetapi

ia

dapat

menjadi

pelajaran bagi umat Islam, yaitu bahwa Allah akan menyelamatkan orangorang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar serta akan menimpakan adzab yang pedih kepada orang-orang yang berbuat dosa dan juga orangorang yang tidak mau menegakkan amar makruf nahi mungkar. Ayat kesembilan adalah firman Allah: 76

Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 6, h. 100.

77

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-5, h. 507.

49

∩∠∪ šχθè=yèøtƒ (#θçΡ$Ÿ2 $tΒ š[ø⁄Î6s9 4 çνθè=yèsù 9x6Ψ•Β tã šχöθyδ$uΖoKtƒ Ÿω (#θçΡ$Ÿ2 Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.78 Ayat ini menjelaskan tentang sebab mengapa Bani Isra`il menjadi kaum yang terlaknat, seperti yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Pada ayat ke-78, Allah Swt. telah melaknat Bani Isra`il, baik melalui lisan Nabi Dawud As. maupun Nabi Isa As., karena kedurhakaan mereka kepada Allah. Nabi Dawud

As.

melaknat orang-orang yang melanggar perintah Allah

untuk tidak mencari ikan pada hari Sabtu serta telah durhaka kepada Allah, sedangkan Nabi Isa As. melaknat sebagian orang dari Bani Isra`il yang durhaka

kepada

Allah

karena

mereka

pada

ayat

ke-79

ini,

Kemudian

melanggar

Allah

Swt.

perintah-perintah-Nya. menegaskan

bahwa

diturunkannya laknat Allah itu kepada mereka adalah karena mereka tidak saling mencegah dari kemungkaran. Orang-orang alim di antara mereka tidak

mau

dilakukannya.

mencegah Mereka

seseorang hanya

dari

diam

saja

perbuatan-perbuatan dan

membiarkan

dosa

yang

perbuatan-

perbuatan itu terjadi. Pada akhir ayat ini, Allah mencela sikap mereka yang tidak mau mencegah terjadinya kemungkaran itu. Firman Allah: “Sesungguhnya amat buruklah

apa

yang

selalu

mereka

perbuat

itu”,

menunjukkan

betapa

jeleknya perbuatan mereka serta merupakan peringatan bagi umat Islam agar tidak melakukan apa yang dilakukan oleh Bani Isra`il tersebut. Hal itu disebabkan karena tersebarnya kemungkaran sangatlah berbahaya bagi suatu umat (masyarakat), sedangkan amar makruf nahi mungkar dapat mencegah masyarakat dari perbuatan keji, mengingatkan mereka pada perbuatan yang 78

Q.S. al-Mâ`idah (5): 79.

50

baik dan akhlak yang mulia, dapat membawa mereka kepada kebaikan, serta dapat mewujudkan kebahagiaan.79 Ayat kesepuluh adalah firman Allah:

∩∈∈∪ $wŠÅÊötΒ ϵÎn/u‘ y‰ΖÏã tβ%x.uρ Íο4θx.¨“9$#uρ Íο4θn=¢Á9$$Î/ …ã&s#÷δr& ããΒù'tƒ tβ%x.uρ Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.80 Ayat

ini

berkaitan

dengan

ayat

sebelumnya

yang

menjelaskan

tentang sosok Nabi Ismail As.. Pada ayat ke-54, Allah Swt. menjelaskan bahwa Ismail adalah seorang yang selalu menepati janji, serta merupakan seorang rasul dan nabi, sedangkan pada ayat ke-55 ini, Allah menegaskan bahwa

Ismail

adalah

seorang

yang selalu

menyuruh

keluarganya

untuk

mengerjakan shalat dan membayar zakat, lalu dia adalah orang yang diridhai di sisi Tuhannya. Di sini, kata zakat dikaitkan dengan kata shalat. Ini menunjukkan

bahwa

yang

dimaksud

dengan

zakat

adalah

shadaqah-

shadaqah yang wajib. Shadaqah-shadaqah seperti ini merupakan bagian dari ketaatan dengan

kepada niat

Allah

ikhlas

yang

karena

harus

Allah

dilaksanakan

Swt.,

oleh

sebagaimana

seorang shalat

juga

Muslim wajib

dilaksanakan.81 Ayat ini merupakan pujian yang baik kepada Nabi Ismail As., nenek moyang dari seluruh bangsa Arab Hijaz. Jika pada ayat ke-54, Allah memuji Nabi Ismail karena dia adalah orang yang selalu menepati janji, maka pada ayat ke-55 ini, Allah memujinya karena dia selalu menyuruh keluarganya 79

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, jilid 2, h. 78. Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, juz 6, h. 277-278. 80 Q.S. Maryam (19): 55. 81

Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, juz 16, h. 123.

51

untuk

melaksanakan

shalat

dan

membayar

zakat.

Di

samping

bersabar

dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, Nabi Ismail juga bersabar dan berusaha terus menerus untuk menyuruh keluarganya melakukan ketaatan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Nabi Ismail ini termasuk ke dalam kerangka amar makruf nahi mungkar. Amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada keluarganya itu tidak lain adalah untuk menjaga dan menghindarkan

mereka

dari

api

neraka,

seperti

yang

ditegaskan

dalam

firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Q.S. al-Tahrîm [66]: 6) Ayat kesebelas adalah firman Allah:

šχθè=çGø)tƒuρ 9aYym ΎötóÎ/ z↵ÍhŠÎ;¨Ψ9$# šχθè=çGø)tƒuρ «!$# ÏM≈tƒ$t↔Î/ šχρãàõ3tƒ tÏ%©!$# ¨βÎ) ∩⊄⊇∪ AΟŠÏ9r& A>#x‹yèÎ/ Οèδ÷ŽÅe³t7sù Ĩ$¨Ζ9$# š∅ÏΒ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ šχρããΒù'tƒ šÏ%©!$# Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih.82 Ayat ini mengandung celaan dari Allah Swt. kepada ahli kitab atas perbuatan-perbuatan dosa yang telah mereka lakukan, di antaranya adalah pendustaan mereka terhadap ayat-ayat Allah yang disampaikan oleh para rasul-Nya.

Mereka

melakukan

pembangkangan

kepada

para

rasul

karena

kesombongan yang ada dalam diri mereka, lalu mereka pun meremehkan kebenaran

dan tidak mau mengikutinya. Tidak hanya itu saja, mereka

bahkan membunuh para nabi tanpa ada satu sebab pun yang membolehkan 82

Q.S. Âli 'Imrân (3): 21.

52

mereka melakukan hal itu. Apa yang mereka lakukan hanyalah karena para nabi mengajak mereka kepada kebenaran. Mereka

juga

membunuh

orang-orang

yang

mengajak

manusia

kepada keadilan. Sebagaimana kita ketahui, keadilan termasuk ke dalam katagori sesuatu yang makruf. Jadi, dapat difahami bahwa mereka telah membunuh Perbuatan

orang-orang seperti

ini

yang

menegakkan

merupakan

dosa

amar

besar

makruf

yang

akan

nahi

mungkar.

mendatangkan

siksaan terbesar pada hari Kiamat. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abû Ubaidah ibn Jarrâh, bahwa dia

berkata: “Aku

berkata: ‘Wahai Rasulullah, siapa yang akan mendapatkan siksaan terberat pada hari Kiamat nanti?’ Rasulullah Saw. menjawab: ‘Seorang laki-laki yang membunuh nabi atau (membunuh) orang yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.’” Hal ini sangatlah wajar, karena pada ayat berikutnya, Allah Swt. menjelaskan bahwa mereka adalah orangorang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan di akhirat.83 Ayat kedua belas adalah firman Allah:

∩⊆⊆∪ tβθè=É)÷ès? Ÿξsùr& 4 |=≈tGÅ3ø9$# tβθè=÷Gs? öΝçFΡr&uρ öΝä3|¡àΡr& tβöθ|¡Ψs?uρ ÎhŽÉ9ø9$$Î/ }¨$¨Ψ9$# tβρâ÷ß∆ù's?r& Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?84

83 84

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, juz 1, h. 312. Q.S. al-Baqarah (2): 44.

53

Sesuai dengan sababun nuzul-nya85, ayat ini ditujukan kepada orangorang ahli kitab, terutama kepada para pendeta dan ulama mereka. Mereka memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan dan berpegang teguh pada agama Islam, tetapi mereka justru melupakan diri mereka sendiri. Ayat ini

mengandung

ejekan

dan

sindiran

bagi

mereka.

Meskipun

ayat

ini

ditujukan kepada kaum Yahudi dari kalangan ahli kitab, akan tetapi hukum yang terkandung di dalamnya juga berlaku bagi seluruh manusia, termasuk kaum

Muslimin.

Sebab,

sebuah

hukum

diambil

berdasarkan

keumuman

lafazhnya dan bukan kekhususan sebabnya.86 Dengan demikian, maka ayat ini juga menjadi sindiran bagi kaum Muslimin yang menyuruh orang lain melakukan kebaikan atau perbuatan yang makruf, tetapi mereka sendiri tidak

melakukannya.

Atau

dengan

kata

lain,

mereka

menegakkan

amar

makruf nahi mungkar, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkan apa yang mereka serukan. Menurut Ibn

Katsîr, tujuan diturunkannya ayat ini adalah untuk

mencela kaum Yahudi atas sikap mereka tersebut, dan untuk mengingatkan akan kesalahan mereka karena mereka telah menyerukan manusia kepada kebaikan tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Jadi, ayat ini bukan dimaksudkan melainkan

untuk

untuk

mencela

mencela

amar

sikap

makruf mereka

yang yang

mereka

lakukan

meninggalkan

itu,

perbuatan

makruf yang mereka perintahkan. Sebab, menyuruh kepada yang makruf merupakan sesuatu yang baik, bahkan wajib hukumnya bagi orang alim. 85

Al-Wâhidi dan al-Tsa’labi meriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa dia berkata: “Ayat ini diturunkan kepada orang-orang Yahudi Madinah, dimana salah seorang di antara mereka berkata kepada para kerabat dan orang-orang yang memiliki hubungan sesusuan dengannya: ‘Tetaplah kamu pada agama yang kamu anut dan apa-apa yang diperintahkannya kepadamu, dan juga apa yang diperintahkan oleh laki-laki ini (maksudnya Muhammad Saw.). Sesungguhnya apa yang dibawa oleh Muhammad adalah benar.’ Mereka menyuruh orang-orang untuk melakukan hal itu tetapi mereka sendiri tidak melakukannya.” Lihat Abû al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wâhidi al-Naisâbûri, Asbâb alNuzûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991), h. 14 86

Lihat Muhammad Abû Zahrah, Ushûl Fiqh, (Beirut: Dâr al-Fikr al-'Arabi, t.th.), h. 166.

54

Akan tetapi, yang lebih wajib dan lebih utama untuk dilakukan oleh orang alim itu adalah melakukan perbuatan makruf yang dia perintahkan bersamasama dengan orang yang diperintahkannya.87

c. Ism Fâ’il Firman Allah:

šχρ߉Éf≈¡¡9$# šχθãèÅ2≡§9$# šχθßsÍ×‾≈¡¡9$# šχρ߉Ïϑ≈ptø:$# šχρ߉Î7≈yèø9$# šχθç6Í≥‾≈−F9$# ΎÅe³o0uρ 3 «!$# ÏŠρ߉çtÎ: tβθÝàÏ≈ysø9$#uρ ̍x6Ψßϑø9$# Çtã šχθèδ$¨Ψ9$#uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ tβρãÏΒFψ$# ∩⊇⊇⊄∪ šÏΖÏΒ÷σßϑø9$# Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu`min itu.88 Lafazh merupakan

al-tâibûn

na’t

serta

kata-kata

dari

lafazh

(sifat)

setelahnya

al-mu`minîn.

pada

ayat

Pemisahan

di

atas

na’t

ini

dimaksudkan untuk memberikan pujian kepada orang-orang mukmin. Ada kemungkinan pula, ia berkedudukan sebagai mubtada`, sedangkan khabarnya dibuang, yaitu kata ahl al-jannah (penduduk surga).89 Ayat 87 88 89

ini

memuat

beberapa

sifat

orang-orang

mukmin

yang

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, juz 1, h. 74. Q.S. al-Taubah (9): 112.

Abû al-Fadhl Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm wa alSab’i al-Matsânî, jilid 4, h. 30.

55

berpotensi

untuk

berbai’at

(bersumpah

setia)

kepada

Allah.

Lafazh

al-

âmirûna bi al-ma'rûf wa al-nâhûna ‘an al-munkar berarti orang-orang yang selalu mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Pada ayat ini, lafazh al-âmirûna bi al-ma'rûf dan an-nâhûna ‘an al-munkar disambung dengan menggunakan huruf 'athf (huruf wawu), tidak seperti pada sifat-sifat sebelumnya. tersebut

Hal

adalah

ini satu.

menunjukkan Sebab,

bahwa

barangsiapa

pada yang

hakekatnya, menyuruh

kedua

kepada

hal yang

makruf, maka berarti dia juga mencegah dari yang mungkar, demikian pula sebaliknya. Adapun tidak disebutkannya huruf 'athf guna menghubungkan antara

satu

sifat

dengan

sifat

lainnya

mengisyaratkan

bahwa

sifat-sifat

tersebut merupakan satu kesatuan. Maksudnya, salah satu dari sifat-sifat tersebut tidak dapat terwujud kecuali jika telah terwujud seluruh sifat lainnya. Atau dengan kata lain, untuk mewujudkan salah satu sifat, maka sifat-sifat lainnya pun harus terwujud.90

d. Fi’il Amr Firman Allah:

∩⊇∪ šÎ=Îγ≈pgø:$# Çtã óÚ̍ôãr&uρ Å∃óãèø9$$Î/ ó÷ß∆ù&uρ uθøyèø9$# É‹è{ Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.91

yang

Menurut M. Quraish Shihab, kata al-'urf memiliki makna yang sama dengan kata al-ma'rûf, yaitu sesuatu yang dikenal dan dibenarkan oleh

90 91

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-6, h. 901. Q.S. al-A’râf (7): 199.

56

masyarakat, dengan kata lain adat istiadat yang didukung oleh nalar yang sehat serta tidak bertentangan dengan ajaran agama.92 Secara umum, ayat ini menjelaskan tentang metode yang digunakan oleh Nabi Saw. dalam menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia,

baik

orang-orang

yang

mau

mengikutinya

maupun

yang

mendurhakainya. Metode Nabi ini didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu: 1- Memberikan kemudahan dan berusaha menghindari hal-hal yang tidak menyulitkan manusia. Ini dapat difahami dari firman-Nya: “khudz al‘afwa” (jadilah engkau pema’af). 2- Tidak membawa manusia kepada suatu perbuatan (hal) yang berada di luar kebiasaan atau tabi’at manusia. Ini dapat difahami dari firman-Nya: “wa`mur bil al-‘urf” (dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf). 3- Berpaling dari orang-orang yang bodoh, yaitu dengan tidak mengikuti perbuatan mereka. Ini dapat difahami dari firman-Nya: “wa a’ridh ‘an al-jâhilîn” (serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh).93 Mengenai

makna

wa`mur

bi

al-‘urfi

(dan

suruhlah

orang

mengerjakan yang makruf), Abû Ja’far menjelaskan bahwa dalam ayat ini, Allah

Swt.

melakukan mashdar

memerintahkan al-‘urf

atau

kepada al-ma'rûf.

Nabi-Nya Kata

yang mengandung arti al-ma'rûf

untuk

“al-‘urf” (sesuatu

menyuruh

manusia

merupakan

bentuk

yang makruf).

Yang

termasuk ke dalam katagori makruf ini adalah menyambung tali silaturahim, memberi maaf kepada orang yang berbuat zhalim, serta seluruh perbuatan yang telah diperintahkan oleh Allah Swt. atau dianjurkan-Nya. Dengan demikian, maka Allah Swt. telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya

92

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. V, h. 341.

93

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-5, h. 545-549.

57

untuk melakukan semua perbuatan yang makruf, dalam berbagai jenisnya, tanpa

membeda-bedakan

antara

sebagian

perbuatan

atas

sebagian

yang

94

lain.

Ayat kedua adalah firman Allah:

3“uθø)−G=Ï9 èπt6É)≈yèø9$#uρ 3 y7è%ã—ötΡ ßøtªΥ ( $]%ø—Í‘ y7è=t↔ó¡nΣ Ÿω ( $pκöŽn=tæ ÷ŽÉ9sÜô¹$#uρ Íο4θn=¢Á9$$Î/ y7n=÷δr& öãΒù&uρ ∩⊇⊂⊄∪ Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.95 Ayat ini merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk

menyelamatkan

keluarganya

dari

siksa

Allah

dengan

cara

menyerukan mereka untuk mendirikan shalat, sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan Q.S. Maryam: 55. Upaya seperti ini juga termasuk ke dalam

kerangka

amar

makruf

nahi

mungkar

yang

ditujukan

untuk

lingkungan yang kecil, yaitu keluarga, dan bertujuan untuk menjaga dan menghindarkan mereka dari neraka. Perintah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menyuruh keluarganya mendirikan shalat ini juga merupakan perintah kepada

seluruh

umat

Islam,

tanpa

ada

pengecualian.

Allah

juga

memerintahkan kepada Nabi untuk bersabar dalam melaksanakan shalat dan untuk selalu menjaganya. Pada ayat ini, Allah mengaitkan antara perintah untuk menyuruh keluarga

94 95

mendirikan

shalat

dan

untuk

bersabar

dalam

mengerjakannya,

Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 6, h. 153-154. Q.S. Thâhâ (20): 132.

58

dengan hasil yang akan diperoleh seseorang jika dia mau melaksanakan perintah tersebut. Hasil yang dimaksud adalah hasil yang baik dan terpuji, yaitu limpahan rezeki dan anugerah surga. Jika seseorang telah mendirikan shalat akan

bersama datang

keluarganya, kepadanya.

maka rezeki

Hal

ini

senada

yang tidak disangka-sangkanya dengan

firman

Allah

Swt.:

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Q.S. al-Thalâq [65]: 2-3)96 Ayat ketiga adalah firman Allah:

y7Ï9≡sŒ ¨βÎ) ( y7t/$|¹r& !$tΒ 4’n?tã ÷ŽÉ9ô¹$#uρ ̍s3Ζßϑø9$# Çtã tµ÷Ρ$#uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ öãΒù&uρ nο4θn=¢Á9$# ÉΟÏ%r& ¢o_ç6≈tƒ ∩⊇∠∪ Í‘θãΒW{$# ÇΠ÷“tã ôÏΒ Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).97 Ayat ini merupakan sebagian dari rangkaian pesan yang disampaikan oleh Luqman kepada puteranya. Setelah menyuruh puteranya untuk tidak menyekutukan Allah dan untuk berbakti kepada orang tua, Luqman pun memerintahkan saleh

yang

kepada merupakan

puteranya

untuk

implementasi

dari

melakukan tauhid,

perbuatan-perbuatan di

antaranya

adalah

mendirikan shalat dengan ikhlas karena Allah semata serta secara sempurna sesuai

dengan

disebabkan keyakinan 96 97

aturan-aturan

karena

shalat

seseorang,

dan

ketentuan-ketentuan

merupakan

tiang

agama,

sarana untuk mendekatkan

Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, juz 16, h. 307. Q.S. Luqmân (31): 17.

waktunya. bukti

Hal

ini

keimanan

dan

diri kepada Allah

dan

59

menggapai ridha-Nya, serta dapat membantu seseorang dalam menjauhkan diri dari perbuatan yang keji dan mungkar. Luqman

juga

memerintahkan

puteranya

untuk

menyuruh

kepada

yang makruf, baik berupa akhlak yang mulia dan amal-amal perbuatan yang baik, mencegah orang lain dari yang mungkar, serta untuk bersabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan hambatan ketika menjalankan perintahperintah Allah. Penyebutan perintah untuk bersabar setelah perintah untuk menegakkan

amar

makruf

ini

menunjukkan

bahwa

antara

keduanya

memiliki kaitan yang erat. Sebab, pada umumnya seseorang yang menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar akan menghadapi berbagai hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Maka, dia pun dituntut untuk

bersabar.

Wasiat-wasiat

Luqman

pada

ayat

ini

diawali

dengan

perintah untuk mengerjakan shalat karena shalat merupakan tiang agama, lalu ditutup dengan perintah untuk bersabar karena sabar merupakan dasar bagi konsistensi dalam menjalankan ketaatan dan meraih ridha Allah. Ayat ini ditutup dengan firman-Nya: “Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”, yang mengisyaratkan bahwa hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, baik pada ayat ini maupun ayat-ayat sebelumnya, di antaranya adalah menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, serta bersabar dalam menghadapi sikap tidak menyenangkan dari orang-orang lain, merupakan hal-hal yang wajib dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan.98

98

Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, juz 21, h. 149-150.

60

2. Ragam Frase Ayat-ayat Amar Makruf Nahi Mungkar Dari pemaparan ayat-ayat amar makruf nahi mungkar, sebagaimana tersebut di atas, dapat diketahui bahwa ayat-ayat tersebut menggunakan frase yang berbeda-beda. Sebagian di antaranya menyebutkan kedua frase, yaitu amar makruf dan nahi mungkar secara bersamaan; Sebagian yang lain hanya

menyebutkan

Sementara

frase

sebagiannya

amar

lagi

makruf

menggunakan

atau

frase

frase

lain

nahi

mungkar

selain

saja;

kedua frase

tersebut. Penjelasan mengenai hal itu adalah sebagai berikut: a. Menggunakan Frase Amar Makruf dan Nahi Mungkar Secara Bersamaan: Penggunaan redaksi seperti ini terdapat pada delapan tempat, yaitu: Q.S. Âli 'Imrân (3): 104, 110 dan 114; Q.S. al-A'râf (7): 157; Q.S. alTaubah (9): 71 dan 112; Q.S. al-Hajj (22): 41; dan Q.S. Luqmân (31): 17. Bila diperhatikan, keseluruhan ayat tersebut berkaitan dengan sosok yang

sempurna,

baik

sosok

umat

(sekelompok

orang)

maupun

pribadi

tertentu. Q.S. Âli 'Imrân (3): 104 menjelaskan tentang sosok umat yang beruntung, yaitu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan para mufassir mengenai pengertian "umat" pada ayat ini, apakah maksudnya adalah umat Islam secara keseluruhan ataukah hanya sekelompok orang saja, akan tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa mereka

adalah

orang-orang yang tidak hanya berilmu

saja tetapi juga

mengamalkan ilmu mereka dengan cara mengajak kepada kebaikan dan

61

menegakkan amar makruf nahi mungkar.99 Pengertian serupa juga terdapat pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 110. Hanya saja pada ayat ke-110, sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan umat adalah umat Islam secara keseluruhan. Pada ayat tersebut ditegaskan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia guna menegakkan amar makruf nahi mungkar. Sementara Q.S. Âli 'Imrân (3): 114 menjelaskan tentang sosok ahli kitab

yang

perintah

beriman.

Allah,

Mereka

membaca

adalah

al-Qur`an

orang-orang di

tengah

yang

malam,

melaksanakan memperbanyak

tahajjud, beriman kepada Allah dan hari akhir, serta menegakkan amar makruf nahi mungkar. Mereka tidaklah sama dengan ahli kitab lainnya.100 Q.S. al-A'râf (7): 157 menggambarkan tentang sosok tauladan bagi umat

manusia,

yaitu

baginda

Rasulullah

Saw..

Pada

ayat

ini,

Allah

menjelaskan tentang sifat-sifat Rasulullah, yaitu: seorang nabi yang ummi (buta huruf), nama dan sifatnya termaktub dalam kitab Taurat dan Injil, menyuruh

kepada

yang

yang

baik,

menghalalkan beban-beban

dan

makruf,

mencegah

mengharamkan

belenggu-belenggu

yang

yang

ada

dari

yang

mungkar,

buruk,

serta

membuang

pada

diri

Bani

Isra`il.

Beliaulah sosok yang sempurna yang patut diikuti. Q.S.

al-Taubah

(9):

71

dan

112

serta

Q.S.

al-Hajj

menggambarkan tentang sosok orang-orang yang beriman. Q.S.

(22):

41

al-Taubah

(9): 71 menjelaskan bahwa orang-orang mukmin saling bersaudara dimana mereka

saling

99

bahu-membahu

dalam

menegakkan

amar

makruf

nahi

Lihat 'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, kitab ke-2, h. 542.

100

Ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, jilid 3, h. 403.

62

mungkar, mendirikan shalat, membayar zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sosok orang-orang yang beriman juga dijelaskan pada Q.S. alTaubah (9): 112, tetapi pada ayat tersebut disebutkan sebagian sifat mereka yaitu: mereka adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat

makruf

dan

mencegah

berbuat

mungkar,

dan

yang memelihara

hukum-hukum Allah. Sifat-sifat yang hampir serupa juga disebutkan pada Q.S. al-Hajj (22): 41, tetapi sifat-sifat tersebut dikaitkan dengan kedudukan mereka di muka bumi ini. Di sana ditegaskan bahwa jika Allah meneguhkan kedudukan

mereka

menunaikan

zakat,

di

muka

menyuruh

bumi,

niscaya

berbuat

yang

mereka makruf

mendirikan dan

shalat,

mencegah

dari

perbuatan yang mungkar. Adapun Q.S. Luqmân (31): 17 memuat sejumlah perintah yang harus dilakukan oleh seseorang agar dia dapat menjadi seorang mukmin yang sempurna. Perintah-perintah pada ayat ini merupakan bagian dari rangkaian pesan yang disampaikan oleh Luqman kepada puteranya, dengan harapan sang putera dapat menjadi seorang mukmin yang ideal, yang menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Pada ayat ini, Luqman

memerintahkan

puteranya

untuk

mendirikan

shalat

yang

merupakan tiang agama, menegakkan amar makruf nahi mungkar, serta bersabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah.

b. Menggunakan Frase Amar Makruf Saja: Penggunaan redaksi seperti ini terdapat pada dua tempat, yaitu pada Q.S. al-Nisâ` (4): 114 dan Q.S. al-A'râf (7): 199. Meskipun kedua ayat itu disebutkan dalam konteks yang berbeda, karena ayat pertama berbicara

63

tentang kebaikan

secara umum sementara ayat kedua berbicara tentang

penyampaian risalah Islam, akan tetapi keduanya sama-sama memaparkan strategi

tertentu

menjalani

yang

kehidupan

harus

digunakan

bermasyarakat.

oleh

Ayat

seorang

ke-114

dari

Muslim Q.S.

dalam al-Nisâ`

memberikan pesan kepada kaum Muslimin agar dalam menjalani kehidupan bermasyarakatnya, mereka harus saling terbuka dan sedapat mungkin tidak saling merahasiakan sesuatu. Ini merupakan strategi yang sangat jitu dalam rangka

menjaga

mengandung

keutuhan

makna

dan

kesatuan

masyarakat.

ketidakpercayaan,

sementara

Sebab,

kerahasiaan

keterbukaan

dan

keterusterangan menunjukkan keberanian pembicara, yaitu keberanian atas dasar

kebenaran

bersifat

mutlak,

sejumlah

hal

dan

ketulusan.101

karena

secara

terkadang

Walau

demikian,

kerahasiaan

sembunyi-sembunyi justru

dan akan

ketentuan

ini tidak

upaya

melakukan

mendatangkan

hasil

yang lebih baik. Hal itu seperti ketika seseorang menyuruh orang lain untuk bersedekah, berbuat yang makruf dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Adapun Q.S. al-A'râf (7): 199 memperkenalkan strategi atau metode yang harus diperhatikan oleh seorang dâ'i dalam menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Strategi yang disebutkan pada ayat ini mencakup

tiga

hal,

yaitu:

memberikan

kemudahan

dan

berusaha

menghindari hal-hal yang menyulitkan manusia, tidak membawa manusia keada suatu perbuatan (hal) yang berada di luar kebiasaan atau tabi'at manusia, serta berpaling dari orang-orang yang bodoh dengan cara tidak mengikuti perbuatan mereka.102

101

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh, vol. II, h. 561.

102

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân,kitab ke-5, h. 545-549.

64

c. Menggunakan Frase Nahi Mungkar Saja: Redaksi ini hanya terdapat pada satu ayat saja, yaitu pada Q.S. alMâ`idah (5): 79. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, ayat ini menjelaskan tentang faktor yang menyebabkan Bani Isra`il dikutuk oleh Allah Swt., yaitu karena mereka satu

sama lain

tidak melarang tindakan mungkar yang

mereka perbuat. Ketika ada salah seorang di antara mereka melakukan kemungkaran,

maka

mereka

akan

mendiamkan

saja.

Bahkan,

terkadang

mereka justru membelanya. Dengan demikian, maka ayat ini merupakan peringatan bagi kaum Muslimin agar mereka tidak melakukan apa yang telah dilakukan oleh Bani Isra`il itu. Peringatan ini sangatlah logis, karena tersebarnya

kemungkaran

merupakan

faktor

yang

dapat

menghancurkan

masyarakat. Munculnya kerusakan di muka bumi adalah disebabkan karena ulah

manusia

yang

tidak

mengikuti

aturan-aturan

Tuhan,

seperti

yang

maka

mungkar

pun

harus

103

ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur`an. Untuk

menghindari

hal

itu,

nahi

ditegakkan, karena ia dapat mencegah masyarakat dari perbuatan keji yang dapat menyebabkan kerusakan tersebut.104

d. Menggunakan Frase Lain Selain Amar Makruf: Redaksi seperti ini terdapat pada empat tempat, yaitu pada Q.S. alBaqarah (2): 44, Q.S. al-Nahl (16): 76, Q.S. Maryam (19): 55 dan Q.S. Thâhâ (20): 132. Pada Q.S. al-Baqarah (2): 44 digunakan frase al-amr bi albirr

(menyuruh

orang

lain

mengerjakan

kebajikan).

103

Lihat Q.S. al-Rûm (30): 41.

104

Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, jilid 2, h. 78.

Kata

al-birr

65

mengandung pengertian yang umum dan tidak hanya terbatas pada satu jenis kebajikan saja. Q.S. al-Nahl (16): 76 menyebutkan satu perbuatan yang termasuk

ke

(menyuruh

dalam berbuat

kerangka

amar

keadilan).

makruf,

Sementara

yaitu Q.S.

al-amr

bi

Maryam

al-'adl

(19):

55

menyebutkan jenis lain dari amar makruf yaitu menyuruh keluarga untuk mengerjakan shalat dan zakat. Adapun Q.S. Thâhâ (20): 132 mengandung perintah untuk menyuruh keluarga mengerjakan shalat dan bersabar dalam mengerjakannya. Pada kedua ayat terakhir ini, di samping amar makruf yang disebutkan di dalamnya mengandung cakupan yang lebih khusus, ia juga memiliki sasaran yang lebih khusus yaitu keluarga yang merupakan institusi terkecil dalam masyarakat.

e. Menggunakan Frase Lain Selain Nahi Mungkar: Redaksi seperti ini terdapat pada dua tempat, yaitu pada Q.S. alMâ`idah (5): 63 dan Q.S. al-A'râf (7): 165. Kedua ayat ini sama-sama menjelaskan tentang kondisi Bani Isra`il yang telah mendapat adzab dari Allah

Swt.

karena

mereka

tidak

mau

menegakkan

amar

makruf

nahi

mungkar di antara mereka. Q.S. al-Mâ`idah (5): 63 merupakan sindiran bagi pendeta-pendeta Bani Isra`il karena yang

berlomba-lomba

pada

ayat

ini

melakukan

adalah

perkataan

mereka tidak mencegah

dosa.

Perbuatan

bohong

dan

dosa

orang-orang

yang

memakan

disebutkan

yang

haram.

Sementara Q.S. al-A'râf menjelaskan kondisi Bani Isra`il secara keseluruhan dalam kaitannya dengan amar makruf nahi mungkar di antara mereka, yaitu bahwa di antara mereka ada orang-orang yang mau mencegah kemungkaran; mereka itulah orang-orang yang diselamatkan Allah dari adzab-Nya. Di antara mereka ada pula orang-orang yang tidak mencegah kemungkaran;

66

mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab dari Allah bersama-sama dengan orang-orang yang melakukan kemungkaran.

67

BAB III PELAKU AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

Dakwah syarat

mutlak

dalam pengertian bagi

keselamatan

amar

makruf

dan

nahi

mungkar

merupakan

hidup

masyarakat.

kesempurnaan

Dakwah ini merupakan fitrah manusia selaku makhluk sosial atau makhluk ijtimâ’i.

Suatu

masyarakatnya

masyarakat tersebut

tidak

bungkam

akan dan

selamat, bersifat

bila masa

anggota-anggota bodoh

terhadap

perbuatan kemungkaran yang terjadi di sekitar mereka. Bibit kemungkaran ini harus dipadamkan sejak dini, sebab bila dibiarkan berkembang maka akan menjadi sebutir bara yang sulit dipadamkan.1 Selain itu, dakwah dalam pengertian seperti ini merupakan seruan kepada keinsafan atau usaha untuk mengubah satu situasi kepada situasi yang lebih baik bagi pribadi maupun masyarakat. Dengan demikian, maka M. Quraish Shihab dalam buku "Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu

Dalam

Kehidupan

Masyarakat",

amar

makruf

nahi

mungkar

bukanlah sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi di masa sekarang ini, usaha dakwah ini diharapkan mampu berperan untuk mengatur umat menuju pelaksanaan ajaran Islam secara menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan.2

1

Muhammad Nasir, Fiqh al-Dakwah (Jakarta: Media Dakwah, 2000), cet. ke-11, h.

109. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), cet.ke-12, h. 194.

68

Amar

makruf

nahi

mungkar

merupakan

usaha

perbaikan

yang

dimulai dari satu individu ke individu lain, dari satu kelompok ke kelompok lain

dan

dari

negara

perangkat-perangkat kemudian

(pemegang

pemerintahan

diteruskan

kepada

pemerintahan

atau

penguasa

bawahan

dan lain

kekuasaan) yang

masing-masing

di

kepada

bawahnya

demi

terciptanya

aturan-aturan yang dapat ditaati oleh semua orang. Hal itu bertujuan untuk memberikan perubahan ke arah yang lebih baik, walaupun tidak sedikit dari orang-orang

yang

menegakkan

amar

makruf

nahi

mungkar

terpaksa

menerima berbagai macam ancaman, bahkan serangan dari orang-orang yang tidak senang kepada Islam. Mengingat peran amar makruf nahi mungkar sangat penting, maka alQur`an

pun

memberikan

perhatian

khusus

terhadapnya.

Berdasarkan

pengamatan penulis, perintah untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, baik yang disampaikan secara eksplisit maupun implisit, ditujukan kepada tiga

golongan,

yaitu

individu,

umat

(kelompok)

dan

negara.

Adapun

penjelasan mengenai ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:

A. Individu Secara umum, amar makruf nahi mungkar secara individu ini dapat dikelompokkan menjadi dua: 1. Amar

Makruf

Nahi

Mungkar

dalam

Keluarga

(Antar

Sesama

Anggota Keluarga) Pembentukan rumah tangga yang bahagia, tentu sangat dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Pembentukan rumah tangga seperti ini harus

69

dilakukan melalui komunikasi Islami yang baik antar sesama penghuni rumah tangga terutama antara suami dan isteri, yang didasarkan pada prinsip amar makruf nahi mungkar dan al-tawâshi bi al-haq wa al-tawâshi bi al-shabr (nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran). Bila ada salah seorang anggota keluarga baik suami, isteri ataupun anak, yang lalai untuk menjalankan perintah

Allah

atau

meninggalkan

larangannya,

maka

anggota

keluarga

yang lain harus mengingatkannya. Dalam hal ini, laki-laki sebagai kepala keluarga3 memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar dalam keluarga. Dia harus memberi contoh yang baik sehingga dapat menjadi tauladan bagi isteri dan anak-anaknya. Dia harus mengingatkan isteri dan anak-anaknya bila ada perbuatan makruf yang mereka tinggalkan atau ada kemungkaran yang mereka lakukan. Ini merupakan wujud implementasi dari firman Allah Swt. yang menyerukan kepada orang-orang yang beriman untuk memelihara diri dan keluarga mereka dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu serta dijaga oleh para malaikat yang kasar, yang keras dan yang tidak pernah mendurhakai perintah Allah Swt.. 4 Sebagai suami, laki-laki harus selalu mengingatkan atau menasehati isterinya untuk tetap pada ketaatan kepada Allah Swt.. Dia tidak boleh bersikap

acuh

bila

ada

sikap

sang

isteri

yang

tidak

mencerminkan

ketaatannya kepada Allah, atau bila ada perilakunya yang tidak baik. Dalam hal ini, suami harus berusaha untuk merubah sikap atau perilaku isterinya itu secara berangsur-angsur dan dengan cara yang baik. Hal ini dimaksudkan agar tidak menyinggung perasaan sang isteri, karena pada 3

Lihat Q.S. al-Nisâ` (4): 34.

4

Lihat Q.S. al-Tahrîm (66): 6.

70

umumnya

wanita

memiliki

perasaan

yang

sangat

sensitif

dan

mudah

tersinggung. Oleh karena itu, maka Rasulullah Saw. mengingatkan kaum laki-laki akan hal itu dalam sabda beliau:

‫ﺮ ﹶﺓ‬ ‫ﺴ‬  ‫ـ‬‫ﻣﻴ‬ ‫ﻦ‬ ‫ـ‬‫ﺪ ﹶﺓ ﻋ‬ ‫ﺍﺋِـ‬‫ﻦ ﺯ‬ ‫ـ‬‫ﻲ ﻋ‬ ‫ﻋﻠِـ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪﹶﺛﻨ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺍ ٍﻡ ﻗﹶﺎﻟﹶﺎ‬‫ﻦ ِﺣﺰ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻰ‬‫ﻮﺳ‬‫ﻭﻣ‬ ‫ﺐ‬ ٍ ‫ﻳ‬‫ﺮ‬ ‫ﻮ ﹸﻛ‬‫ﺎ ﹶﺃﺑ‬‫ﺪﹶﺛﻨ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻪ‬ ‫ـﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠـ‬‫ـﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﻠﱠـ ِﻪ ﺻ‬‫ﺳ‬‫ﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶـﺎ ﹶﻝ ﺭ‬ ‫ﻨ‬‫ﻋ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻲ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺿ‬ ِ ‫ﺭ‬ ‫ﺮ ﹶﺓ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻦ ﺃﹶﺑِﻲ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ ِﺯ ٍﻡ‬‫ﻦ ﹶﺃﺑِﻲ ﺣ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﺠ ِﻌ‬  ‫ﺷ‬ ‫ﺍﹾﻟﹶﺄ‬ ‫ﻀﹶﻠ ِﻊ‬  ‫ﻲ ٍﺀ ﻓِـﻲ ﺍﻟـ‬ ‫ـ‬‫ﺝ ﺷ‬  ‫ﻮ‬ ‫ـ‬‫ﻭِﺇ ﱠﻥ ﹶﺃﻋ‬ ‫ﻦ ﺿِـﹶﻠ ٍﻊ‬ ‫ﺖ ِﻣ‬  ‫ﺧِﻠ ﹶﻘ‬ ‫ﺮﹶﺃ ﹶﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺎ ِﺀ ﹶﻓِﺈ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ‬‫ﻨﺴ‬‫ﻮﺍ ﺑِﺎﻟ‬‫ﻮﺻ‬ ‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﻢ ﺍ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺎ ِﺀ‬‫ﻨﺴ‬‫ﻮﺍ ﺑِﺎﻟ‬‫ﻮﺻ‬ ‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﺝ ﻓﹶﺎ‬  ‫ﻮ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺰ ﹾﻝ ﹶﺃ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ‬ ‫ﺘ‬‫ﺮ ﹾﻛ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻭِﺇ ﹾﻥ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺗ‬‫ﺮ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻪ ﹶﻛ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺗﻘِﻴ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﺒ‬‫ﻫ‬ ‫ﻩ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ﹶﺫ‬ ‫ﻋﻠﹶﺎ‬ ‫ﹶﺃ‬ Abû Kuraib dan Mûsa ibn Hizâm menceritakan kepada kami dari Husain ibn Ali dari Zâ`idah, dari Maisarah al-Asyja'i, dari Abû Hâzim, dari Abû Hurairah Ra., dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Terimalah wasiatku untuk memperlakukan wanita dengan baik, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya bagian yang paling bengkok pada tulang rusuk itu adalah bagian paling atas. Jika kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya. Tetapi jika kamu membiarkannya saja, maka ia akan tetap bengkok. Maka terimalah wasiatku untuk memperlakukan wanita dengan baik.'"5 Kebengkokan atau kekurangan ini, menurut Âdil Fathi Abdullâh dalam buku "Buyûtunâ Kamâ Yajib An Takûn" terdapat pada diri setiap wanita, yaitu berupa perbedaan fisiknya dengan laki-laki, serta perasaannya yang

sangat

sensitif,

mudah

tersinggung

dan

terpengaruh.

Demikianlah

Allah Swt. telah menciptakan wanita dalam satu kondisi yang sesuai dengan perannya dalam kehidupan ini, yaitu sebagai ibu dan isteri.6 Apa

5

Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab Ahâdîts al-Anbiyâ`, hadis no. 3084; alTirmidzi pada kitab al-Thalâq wa al-Li'ân 'An Rasûlillâh, hadis no. 1109; Ahmad pada kitab Bâqî Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 10044 dan 10436; dan al-Dârimi pada kitab alNikâh, hadis no. 2125. 6 Âdil Fathi Abdullâh, Buyûtunâ Kamâ Yajib An Takûn, (Iskandariah: Dâr alÎmân, 2003), h. 30.

71

yang disampaikan oleh Âdil Fathi Abdullâh ini merupakan salah satu bentuk pemahaman secara harfiah terhadap hadis tersebut. M. Quraish Shihab mencoba untuk memberikan alternatif lain yang berkaitan dengan pemahanam terhadap hadis tersebut. Menurutnya, hadis ini difahami oleh ulama terdahulu secara harfiah, namun tidak sedikit ulama kontemporer yang memahaminya secara metafora, Bahkan ada yang menolak

keshahihan

berpendapat

bahwa

hadis

tersebut.

Yang

memahami

hadis

tersebut

memperingatkan

secara para

metafora

lelaki

agar

menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, sehingga kaum lelaki tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun

mereka

berusaha

akibatnya

akan

fatal,

sebagaimana

fatalnya

7

meluruskan tulang rusuk.

Bahkan, ketika terjadi nusyûz8 yang dilakukan oleh sang isteri, suami dituntut untuk mengambil langkah-langkah ta`dîb dan ishlâh yang dapat

menyadarkan

perbuatan

nusyûz

sang

isteri

tersebut.

sehingga

dia

Langkah-langkah

tidak yang

lagi

mengulangi

dimaksud

adalah

memberi nasehat yang baik, berpisah ranjang dengannya bila nasehat yang diberikan tidak dapat membuahkan hasil, dan memukulnya dengan pukulan yang ringan bila nusyûz-nya telah berlebihan dan melampaui batas. Ketiga langkah

itu

harus

diambil

secara

bertahap

atau

sesuai

kebutuhan.

Maksudnya, bila isteri yang melakukan nusyûz dapat disadarkan dengan 7

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), cet. ke-8, h. 300. 8

Nusyûz, maksudnya meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyûz dari pihak isteri adalah seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. (Lihat Al-Qur`an Dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, catatan kaki no. 291, catatan kaki dari Q.S. al-Nisâ` [4]: 34.)

72

menggunakan nasehat, maka suaminya tidak boleh mengambil langkahlangkah lain. Tetapi bila tidak, maka suami boleh menggunakan langkah berikutnya, yaitu berpisah ranjang dengannya. Adapun bagi wanita yang tidak bisa disadarkan dengan menggunakan kedua langkah tersebut, maka suaminya pukulan

boleh ringan.

memberikan Dalam

hal

ta`dîb ini,

yang

perlu

bersifat

diingat

fisik

bahwa

yaitu

berupa

al-Qur`an

telah

menjadikan ta`dîb jenis ini sebagai sarana perbaikan yang terakhir. Jadi, seperti yang dikatakan oleh Ra'd Kâmil al-Hiyâli dalam buku "al-Khilâfât al-Zaujiyyah fî Dhau` al-Kitâb wa al-Sunnah" ta`dîb ini adalah ibarat alternatif

terakhir

yang

tidak

boleh

digunakan

kecuali

dalam

keadaan

darurat.9 Selain itu, perlu diingat pula bahwa yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah pukulan yang ringan dan tidak menyakitkan, karena tujuan utama

dari

pukulan

tersebut

hanyalah

untuk

mengingatkan

sang isteri

bahwa apa yang dilakukannya itu salah, bukan untuk menyakitinya ataupun menyiksanya. Dengan demikian, maka pukulan yang menyakitkan, seperti yang biasa dilakukan oleh seorang tuan terhadap budaknya, tidak boleh digunakan

untuk

memberikan

ta`dîb

kepada

isteri

ketika

melakukan

10

nusyûz.

9 Ra'd Kâmil al-Hiyâli, al-Khilâfât al-Zaujiyyah fî Dhau` al-Kitâb wa al-Sunnah, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1994), cet. ke-1, h. 59-60. 10 Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Ja'far bin 'Aun mengabarkan dari Hisyâm bin 'Urwah, dari ayahnya, dari 'Abdullâh bin Zam'ah, dia berkata: "Pada suatu hari, Rasulullah Saw. menceramahi orang-orang, dan beliau menasehati mereka tentang kaum perempuan. Lalu beliau bersabda: 'Bagaimana mungkin seorang suami memukul isterinya layaknya memukul seorang budak, padahal boleh jadi dia akan menggaulinya di akhir hari.'" Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Nikâh, bab 93, hadis no. 5204; dan al-Dârimi pada kitab al-Nikâh, hadis no. 2220.

73

Isteri juga memiliki kewajiban yang sama dalam kaitannya dengan amar makruf nahi mungkar. Sebagian orang meyakini bahwa kewajiban amar makruf nahi mungkar hanya bagi kaum laki-laki saja. Keyakinan mereka tidaklah benar, karena kewajiban tersebut juga dibebankan kepada kaum

wanita.

Menurut

'Ashâm

ibn

Muhammad

al-Syarîf,

mengutip

pendapat Imam Ibn al-Nuhâs al-Dimasyqi, penyebutan kata al-mu`minât pada Q.S. al-Taubah (9): 71 merupakan dalil yang menunjukkan bahwa amar makruf nahi mungkar diwajibkan kepada kaum wanita sebagaimana ia telah diwajibkan kepada kaum laki-laki.11 Amar makruf nahi mungkar yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya merupakan satu hal penting yang dapat membantu meningkatkan keimanan suami, yang pada akhirnya dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah dan penuh dengan mawaddah dan rahmah. Isteri seperti ini dianggap

oleh

Nabi

Saw.

sebagai

harta

yang

terbaik.

'Abdurrahmân

meriwayatkan dari Isrâ`îl, dari Manshûr, dari Sâlim bin Abî al-Ja'd, dari Zaubân, bahwa ketika diturunkan firman Allah: "Dan orang-orang yang menyimpan

emas

dan

perak

dan

tidak

menafkahkannya

pada

jalan

Allah…", para sahabat sedang bersama Rasulullah Saw. dalam salah satu perjalanan

beliau.

Sebagian

sahabat

beliau

pun

berkata:

"Telah

turun

kepada kami (ayat) yang berkaitan dengan emas dan perak. Seandainya kami mengetahui harta yang terbaik, niscaya kami akan mengejarnya." Rasulullah Saw. pun bersabda: "Harta yang paling baik adalah lisan yang

11 'Ashâm ibn Muhammad al-Syarîf, Mukhâlafât fî Buyûtinâ, (Iskandariah: Dâr al-Îmân, 2004), h. 217.

74

senantiasa

berdzikir,

hati

yang

selalu

bersyukur,

dan

seorang

mukminah yang dapat membantu meningkatkan keimanan suaminya."

isteri

12

Di antara materi amar makruf nahi mungkar yang bisa disampaikan antara

suami-isteri

adalah

saling

mengingatkan

shalat

dan

ibadah

pasangannya. Suami harus mengingatkan isteri bila isterinya itu lupa atau lalai untuk melaksanakan shalat ataupun ibadah-ibadah lainnya, demikian pula sebaliknya. Hal ini tidak hanya terbatas pada ibadah-ibadah fardhu saja, melainkan juga pada ibadah-ibadah sunah seperti shalat malam, puasa sunah ataupun yang lain. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ya'qûb bin Ibrâhîm dari Yahyâ, dari Ibn 'Ajlân, dari al-Qa'qa', dari Abu dari

Shâlih,

Abu

Hurairah,

Rasulullah

Saw.

menganjurkan

agar

bila

seorang laki-laki bangun pada malam hari, lalu dia melaksanakan shalat malam, maka hendaknya dia membangunkan isterinya agar sang isteri pun ikut melaksanakan shalat, dan bila isterinya itu enggan untuk bangun, maka hendaknya dia memercikkan air ke wajah isterinya itu. Demikian pula bila seorang

wanita

bangun

pada

malam

hari

untuk

malam, maka hendaknya dia membangunkan suaminya.

melaksanakan

shalat

13

Selain amar makruf nahi mungkar dalam keluarga harus ditegakkan antara suami dan isteri, ia juga harus ditegakkan antara orang tua dan anak. 12

Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah pada kitab al-Nikâh (5) dan al-Tirmîdzi pada kitab Tafsîr Surah 9. 13

Diriwayatkan oleh Abû Daud pada kitab al-Shalâh, hadis no. 1113; al-Nasâ`i pada kitab Qiyâmul Lail, hadis no. 1592; dan Ibn Mâjah pada kitab Iqâmah al-Shalâh wa al-Sunnah Fîhâ, hadis no. 1326. Redaksinya adalah sebagai berikut: "Semoga Allah merahmati laki-laki yang bangun pada malam hari, lalu melaksanakan shalat (malam) dan membangunkan isterinya. Jika isterinya itu enggan (bangun), maka dia memercikkan air ke wajah isterinya itu. Semoga Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun pada malam hari, lalu melaksanakan shalat (malam). Setelah itu, dia membangunkan suaminya. Jika suaminya itu enggan (bangun), maka dia memercikkan air ke wajah suaminya itu."

75

Orang tua, baik ayah ataupun ibu, dituntut untuk memberikan nasehatnasehat yang baik, menanamkan nilai-nilai tauhid dalam hati anak-anak, serta mengarahkan mereka agar mau melakukan perbuatan-perbuatan yang makruf dan meninggalkan setiap jenis kemungkaran. Inilah yang pernah dipraktekkan oleh Luqman al-Hakim As., terhadap anaknya yang kemudian diabadikan dalam al-Qur’an yaitu dalam Q.S. Luqmân (31): 17:

¨βÎ) ( y7t/$|¹r& !$tΒ 4’n?tã ÷ŽÉ9ô¹$#uρ ̍s3Ζßϑø9$# Çtã tµ÷Ρ$#uρ Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ öãΒù&uρ nο4θn=¢Á9$# ÉΟÏ%r& ¢o_ç6≈tƒ ∩⊇∠∪ Í‘θãΒW{$# ÇΠ÷“tã ôÏΒ y7Ï9≡sŒ Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).14 Setelah pada ayat sebelumnya, Luqman As. memberikan nasehat tentang

bahaya

melanjutkan

perbuatan

pemberian

syirik nasehat

(kemusyrikan kepada

kepada

anaknya

Allah),

dengan

dia

pun

memberikan

nasehat yang dapat menjamin kesinambungan tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang anak. Beliau memulai pemberian nasehatnya itu dengan memanggil

anaknya,

wahai

anakku,

laksanakanlah

shalat

dengan

sempurna, baik rukun maupun sunnah-sunnahnya. Kemudian di samping engkau

memperhatikan

kemungkaran, Perintahkanlah mengerjakan

dirimu

anjurkanlah secara yang

dan kepada

baik-baik

makruf

membentenginya

dan

siapa

orang pun

cegahlah

lain yang mereka

dari

kekejian

berlaku

mampu dari

dan

serupa.

engkau

ajak

kemungkaran.

Memang, engkau akan mengalami banyak tantangan dan rintangan dalam melaksanakan tuntunan Allah Swt.. Oleh karena itu, maka tabahlah dan 14

Q.S. Luqmân [31] : 17.

76

bersabarlah terhadap apa yang menimpamu dalam melaksanakan semua tugasmu. Amar makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada anak ini harus dilakukan sejak dini, maksudnya sejak anak masih kecil. Seorang anak harus dibiasakan sejak kecil untuk melakukan hal-hal yang baik, karena sesungguhnya hal-hal yang baik itu adalah sebuah kebiasaan. Artinya, perintahkanlah anak-anak untuk melakukan hal-hal yang baik sejak dia masih kecil sehingga mereka akan terbiasa untuk melakukannya, kemudian hal-hal yang baik itu pun akan menjadi suatu kebiasaan bagi mereka. Upaya pembiasaan seperti ini, menurut Muhammad Husain dalam buku "Thifl Mâ Qabla al-Madrasah", tidak hanya untuk hal-hal yang baik saja, tetapi juga untuk hal-hal yang tidak baik. Maksudnya, anak-anak harus dibiasakan untuk meninggalkan hal-hal yang tidak baik sejak dini atau sejak dia bisa berkomunikasi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.15 Oleh

karena

Muslimin kecil,

itu,

untuk

yaitu

maka

menyuruh

sejak

berusia

Rasulullah anak-anak tujuh

Saw. mereka

tahun.

pun

memerintahkan

mengerjakan

Bahkan,

beliau

shalat

kaum sejak

memerintahkan

mereka untuk memukul anak-anak, tentunya dengan pukulan yang bersifat mendidik dan tidak menyakitkan, bila meninggalkan shalat padahal usianya sudah sepuluh tahun.16

15

Muhammad Husain, Da'wah, 2004), cet. ke-1, h. 16. 16

Thifl



Qabla

al-Madrasah,

(Iskandariah:

Dâr

al-

Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Daud pada kitab al-Shalâh, hadis no. 418; dan Ahmad pada kitab Musnad al-Muktsirîn min al-Shahâbah, hadis no. 6402 dan 6467. Lafazh hadis ini adalah: "Mu`ammal bin Hisyâm al-Yasykari menceritakan kepada kami, dari Ismâ`il, dari Sawwâr Abî Hamzah, dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, lalu pukullah mereka

77

2. Amar

Makruf

Nahi

Mungkar

dalam

Masyarakat

(Antar

Sesama

Anggota Masyarakat) Amar makruf nahi mungkar merupakan bagian dari rasa solidaritas yang Allah Swt. tegakkan di antara orang-orang mukmin, dimana orangorang mukmin satu sama lain saling melengkapi. Sebab, pada hakekatnya mereka semua adalah bersaudara, bahkan dalam sebuah hadis Nabi Saw. mengatakan bahwa mereka adalah seperti satu tubuh dimana jika ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota-anggota yang lain pun akan ikut merasakannya, seperti disebutkan berikut ini:

‫ﺸ ٍﲑ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ِ ‫ﺑ‬ ‫ﺑ ِﻦ‬ ‫ﺎ ِﻥ‬‫ﻌﻤ‬ ‫ﻨ‬‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻲ‬ ‫ﻌِﺒ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ ُﺀ‬‫ﺯ ﹶﻛ ِﺮﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪﹶﺛﻨ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺎ ﹶﺃﺑِﻲ‬‫ﺪﹶﺛﻨ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻴ ٍﺮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻧ‬ ‫ﺑ ِﻦ‬ ِ‫ﺒ ِﺪ ﺍﻟﱠﻠﻪ‬‫ﻋ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﺪﹶﺛﻨ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺴ ِﺪ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﻣﹶﺜ ﹸﻞ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺎ ﹸﻃ ِﻔ ِﻬ‬‫ﺗﻌ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ِ‫ﺣ ِﻤﻬ‬ ‫ﺍ‬‫ﺗﺮ‬‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺩ ِﻫ‬ ‫ﺍ‬‫ﺗﻮ‬ ‫ﲔ ﻓِﻲ‬  ‫ﺆ ِﻣِﻨ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻣﹶﺜ ﹸﻞ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺳﱠﻠﻢ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻴ ِﻪ‬ ‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬  ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠ ِﻪ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﻰ‬‫ﺤﻤ‬  ‫ﺍﹾﻟ‬‫ﻬ ِﺮ ﻭ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﺴ ِﺪ ﺑِﺎﻟ‬ ‫ﺠ‬  ‫ﺮ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺎِﺋ‬‫ﻪ ﺳ‬ ‫ﻰ ﹶﻟ‬‫ﺍﻋ‬‫ﺗﺪ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻀ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻨ‬‫ﺘﻜﹶﻰ ِﻣ‬‫ﺷ‬ ‫ِﺇﺫﹶﺍ ﺍ‬ Muhammad ibn 'Abdullâh ibn Numair menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepada kami, Zakariyâ menceritakan kepada kami, dari al-Sya'bi dari al-Nu'mân ibn Basyîr, dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu tubuh; Apabila salah anggota mengeluhkan rasa sakit, maka seluruh anggota tubuh pun akan ikut merasakannya, yaitu dengan cara tidak bisa tidur dan cara demam.'" 17 Oleh karena itu, apabila seorang Muslim melihat orang Muslim lainnya

melakukan

makruf,

maka

melakukan

dia

kemungkaran pun

kemungkaran

harus ataupun

atau

meninggalkan

mengingatkannya. meninggalkan

Ini

perbuatan disebabkan

perbuatan

yang

yang karena makruf

bila meninggalkan shalat padahal mereka sudah berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.'" 17

Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Adab, hadis no. 5552; Muslim pada kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Âdâb, hadis no. 4685; dan Ahmad pada kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17632.

78

merupakan penyakit ganas yang apabila dibiarkan, maka ia akan merajalela dan

akan

menyerang

anggota-anggota

tubuh

lainnya.

Solidaritas

sosial

dalam bentuk amar makruf nahi mungkar ini telah disinyalir oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Taubah (9): 71. Dalam ayat tersebut, Allah Swt. menegaskan bahwa orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyeru orang lain untuk mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang

mungkar,

mendirikan

shalat,

menunaikan

zakat

dan

mereka

taat

kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu adalah orang-orang yang akan diberi rahmat oleh Allah. 18 Ibn Jarîr al-Thabarî dalam kitabnya "Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl alQur`ân" memahami lafazh mu`min pada ayat ini, dengan arti laki-laki dan perempuan yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya serta saling tolong menolong

antara

sesama

mereka.

Mereka

mengajak

orang

lain

untuk

beriman kepada Allah, lalu mereka mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mentaati perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Karena sifat inilah, Allah Swt. pun mengasihi mereka, melepaskan mereka dari api neraka dan memasukkannya ke dalam surga. Amar makruf nahi mungkar pada ayat ini, menurut Ibn Jarîr dengan merujuk kepada sebuah riwayat dari Abû al-‘Âliyah, maksudnya adalah mengajak

orang-orang

untuk

meninggalkan

kemusyrikan

menuju

Islam,

serta mencegah mereka dari penyembahan terhadap berhala dan syaitan.19

18

Q.S. al-Taubah (9): 71.

19 Ibn Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-3, jilid 6, h. 415.

79

Menurut Sayyid Muhammad Nûh, berdasarkan prinsip solidaritas, tolong menolong serta jalinan kebersamaan, kekompakkan dan kesatuan antara sesama Muslim yang melahirkan tanggung jawab amar makruf nahi mungkar antar sesama individu Muslim ini, maka setiap individu Muslim kapan dan di mana pun berada, di kota maupun di pelosok desa, ia wajib mengadakan perubahan, baik secara perorangan ataupun kelompok. Namun harus menjadi catatan bahwa perubahan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip yang Islami, menyeluruh dan terpadu, juga diupayakan agar keinginan

dan

kalangan

kaum

semangat Muslimin,

untuk

melakukan

sehingga

amar

perubahan makruf

itu

nahi

merata

mungkar

di serta

dakwah kepada keimanan menjadi kebiasaan setiap Muslim.20 Jamâluddîn al-Afghâni -seperti yang dikatakan oleh Ali ‘Abd alHalîm Mahmûd- merupakan orang pertama di antara tokoh lain yang menggerakkan

ide

dakwah

individu

untuk

mewujudkan

kesatuan

dan

persatuan Islam. Jamâluddîn al-Afghâni adalah seorang muslim pertama yang sadar akan bahaya dominasi Barat atas dunia Islam. Ia menyadari bila hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka hal itu akan merusak masa depan Islam dan kaum muslimin. Ia yakin, bila dominasi Barat tidak segera dipatahkan, maka akan terjadi bencana besar yang akan melanda dunia Islam. Jamâluddîn al-Afghâni berjuang sendiri menghabiskan usianya demi membangun

dunia

yang

menimpa

akan

Islam

dan

mereka.

memperingatkan Ia

menghimbau

mereka kaum

terhadap

bahaya

muslimin

untuk

menyiapkan genderang perang melawan kaum kafir.21

20

Sayyid Muhammad Nûh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam, (Solo: Citra Islami Press, 1996), cet. ke-1, h. 9. 21

Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân alMuslimîn, (alih bahasa: Syafril Halim, Ikhwanul Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, jilid 1, h. 25.

80

Hasan al-Bannâ merupakan tokoh dakwah selain Jamâluddîn alAfghâni di atas. Hasan al-Bannâ telah berhasil menarik hati sebagian besar masyarakat Mesir, ia dapat menyatukan mereka dalam masalah-masalah yang

baik,

membakar

semangat

perjuangan

Islam

dan

mengajak

22

Usaha ini

menumbuhkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. kemudian nama

berkembang

Ikhwanul

menjadi

Muslimin,

gerakan

kelompok

dakwah dakwah

kelompok yang

yang

banyak

diberi

mewarnai

pergolakan politik di pemerintahan Mesir tahun 1928 dan ikut aktif dalam pengusiran penjajahan Inggris di Mesir.

B. Umat Karena begitu pentingnya dakwah, maka al-Qur’an pun menyebutnya dengan istilah ahsan qaulan, yang berarti ucapan atau perkataan yang paling baik.23 Predikat khair ummah, yaitu umat terbaik atau umat pilihan, hanya diberikan Allah kepada sekelompok orang yang aktif terlibat dalam kegiatan amar

makruf

nahi

mungkar.24

Sebaliknya,

laknat

(kutukan)

Allah

akan

diturunkan kepada umat yang melalaikan tugas amar makruf nahi mungkar tersebut.25 memahami

22

Bila

difahami

bahwa

Ali ‘Abd Muslimîn, jilid 1, h. 29.

amar

lebih makruf

al-Halîm

23

Q.S. Fushshilat (41): 33.

24

Q.S. Âli 'Imrân (3): 110.

25

Q.S. al-Mâ`idah (5): 79.

jauh,

maka

nahi

Mahmûd,

setiap

mungkar

Manhaj

Muslim

telah

al-Tarbiyyah

tentu

menjadi

‘Inda

akan iltizâm

al-Ikhwân

al-

81

(keharusan)

yang

tidak

dapat

ditawar-tawar

lagi

oleh

seorang

Muslim,

apalagi sampai ditinggalkannya. Pada

masa

sekarang

ini,

masih

banyak

orang

Islam yang tidak

menghiraukan kewajiban dakwah, amar makruf nahi mungkar dan jihad fî sabîlillâh.

Menurut

Sayyid

Muhammad

Nûh

dalam

buku

"Dakwah

Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam", semua itu berangkat dari persepsi yang salah bahwa dakwah merupakan tanggung jawab ulama yang hanya terbatas dalam bentuk ceramah, khutbah dan mau'izah saja.26 Ikatan

keimanan

kepada

satu

Tuhan

dan

juga

kepada

Nabi-Nya

Muhammad Saw., dapat dijadikan sebagai perekat persaudaraan antara satu komunitas

Muslim

dengan

komunitas

Muslim

lainnya

dengan

saling

memberi nasehat yang baik dan mengingatkan mereka dari hal-hal yang buruk. Hal karyanya

ini pernah

"Bain

disinggung oleh Abû al-A’lâ al-Maudûdi dalam

al-Da’wah

al-Qaumiyyah

wa

al-Râbithah

al-Islâmiyyah".

Mengutip perkataan Abû al-A’lâ al-Maudûdi, Muhammad ibn Muhammad al-Amîn al-Anshâri menjelaskan bahwa setiap kelompok manusia yang ada di

permukaan

bumi

ini

dipersatukan

atas

nama

umat,

kemudian

umat

manusia ini saling berkaitan dengan umat lain, dimana keterkaitan ini tidak lepas dari enam ikatan: Pertama, ikatan keturunan atau jenis kelamin; Kedua, ikatan tempat lahir atau negara; Ketiga, ikatan bahasa; Keempat, ikatan warna kulit dan perasaan; Kelima, ikatan kepentingan sosial; Dan keenam, ikatan aturan pemerintahan.27

26

Sayyid Muhammad Nûh, Dakwah Fardiyyah dalam Manhaj Amal Islam, h. 9

27 Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', (Riyâdh: Maktabah al-Anshâr, 1984), h. 153.

82

Keenam ikatan di atas mengikat setiap umat. Bahkan tidak ada yang dapat mengingkari bahwa keenam ikatan kepentingan ini telah melahirkan beberapa kesatuan umat yang kuat, meskipun tingkat kekuatannya berbedabeda sesuai dengan tingkat perbedaan karakter individu yang ada pada masing-masing umat. Sebagaimana tidak ada yang dapat mengingkari bahwa manusia pernah ditimpa bencana besar sehingga alam pun memisahkan dan memecah belah mereka menjadi pecahan umat yang banyak. Kalau ikatan-ikatan ini saja sudah cukup mengantar suatu umat untuk melakukan aktifitas dakwah dan menyebarkan amar makruf nahi mungkar kepada umat lain, maka bagaimana jadinya bila umat yang akan diberikan dakwah itu adalah umat Islam sendiri, umat yang mengimani satu Tuhan dan satu pencipta serta memiliki satu keimanan yang membenarkan apa yang disampaikan

oleh

Rasulullah

Saw..

Oleh

karena

itu,

maka

sudah

sepantasnyalah umat Islam saling menyampaikan amanah amar makruf nahi mungkar

di

diinginkan

antara

Abû

sesama

al-A’lâ

mereka.28

al-Maudûdî,

Setidaknya yaitu

agar

seperti setiap

inilah

yang

Muslim

mau

menyadari akan pentingnya penyebarluasan amar makruf nahi mungkar antar sesama umat Islam sendiri. Mungkin ini pula yang dikehendaki oleh Allah Swt. ketika Dia menegaskan bahwa umat manusia akan terlepas dari kerugian jika mereka mau beriman, mengerjakan amal saleh dan melakukan aktifitas amar makruf nahi mungkar dengan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan

nasehat

menasehati

28

supaya

menetapi

kesabaran.29

Karena

begitu

Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', h. 154 29

Q.S. al-'Ashr (103): 1-3.

83

pentingnya upaya saling mengingatkan kebaikan antar sesama Muslim, maka para sahabat Nabi pun saling berwasiat dengan menggunakan ayat-ayat ini. Al-Thabranî meriwayatkan kebiasaan sejumlah sahabat Nabi; yaitu bahwa ketika dua orang sahabat Nabi saling bertemu maka mereka tidak akan berpisah kecuali setelah keduanya membaca Q.S. al-'Ashr dari awal hingga akhir surah. Setelah itu mereka pun akan berpisah dengan saling berjabatan tangan. Al-Qur’an menganggap umat Islam sebagai umat terbaik atau umat pilihan (khair ummah) yang mau menegakkan amar makruf nahi mungkar. Ini menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan mereka menjadi umat yang terbaik adalah karena mereka mau bekerja sama untuk saling menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Predikat ini akan tetap mereka sandang bila amar makruf nahi mungkar di antara mereka ditegakkan. Dalam Q.S. Âli 'Imrân (3): 110, Allah Swt. menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia selama mereka mau menyuruh kepada yang makruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah. Pada ayat tersebut, Allah juga menegaskan bahwa sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Meskipun di antara mereka ada yang beriman, akan tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.30 Ketika bahwa

umat

menafsirkan Islam

adalah

ayat

tersebut,

umat

yang

Wahbah terbaik

al-Zuhaili

karena

menjelaskan

mereka

memiliki

keimanan yang benar dan sempurna serta melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar. Mereka akan tetap menjadi umat yang terbaik dan

30

Q.S. Âli 'Imrân (3): 110.

84

paling utama selama mereka memenuhi syarat-syarat dan menjaga ketiga prinsip tersebut.31 Dari ayat di atas, dapat difahami bahwa umat Islam merupakan umat terbaik, dimana salah satu faktor yang menyebabkan mereka menjadi umat yang terbaik adalah karena mereka mau melaksanakan amar makruf nahi mungkar, sehingga dapat difahami secara mafhûm mukhâlafah bahwa jika mereka mengabaikan amar makruf nahi mungkar maka mereka tidak dapat lagi menjadi umat yang terbaik, bahkan mereka dapat menjadi umat yang terpuruk dan dilaknat oleh Allah Swt., seperti yang dialami oleh Bani Isra`il, seperti yang ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Mâ’idah (5): 78-79. Pada ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa orang-orang kafir dari Bani Isra`il

dilaknat

dengan

lisan

Daud

dan

‘Isa

putera

Maryam.

Hal

itu

disebabkan karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Ketika ada salah seorang di antara mereka yang berbuat kemungkaran, maka mereka tidak mau mengingatkannya. Bahkan orang-orang alim di antara mereka hanya diam saja ketika melihat suatu kemungkaran.32 Pada

ayat

lain,

yaitu

pada

Q.S.

Âli

'Imrân

(3):

104,

Allah

Swt. menekankan bahwa hendaknya di antara umat Islam ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Ayat ini ditutup dengan penegasan dari Allah bahwa orang-orang yang mau melakukan hal-hal tersebut merupakan orang-

31

Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu’âshir, 1998), juz

32

Lihat Q.S. al-Mâ’idah (5): 78-79.

4, h. 44.

85

orang

yang

beruntung,

maksudnya

orang-orang

yang

akan

memperoleh

33

keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat.

Kedua ayat dalam Q.S. Âli 'Imrân tersebut (ayat ke-104 dan 110) mengandung maksud bahwa umat Islam harus bersatu padu dalam rangka menegakkan amar makruf nahi mungkar sehingga mereka akan tetap menjadi umat yang terbaik dan termasuk orang-orang yang beruntung, baik di dunia maupun di akhirat. Ketika menafsirkan Q.S. Âli 'Imrân (3): 110, Muhammad Rasyîd Ridhâ menyebutkan dalam kitab tafsir al-Manâr-nya bahwa ayat ini mengandung ajakan kepada umat Islam untuk menyampaikan amar makruf nahi mungkar. Setelah Allah memerintahkan umat Islam agar bersatu padu dengan cara berpegang teguh di jalan Allah Swt. dimana dipersatukannya hati mereka merupakan sebuah nikmat yang dianugerahkan kepada orangorang mukmin, lalu Allah melarang mereka bercerai berai dan berselisih faham dalam urusan agama bahkan mengancam pelakunya dengan adzab yang pedih, Allah pun menyifati mereka dengan khair ummah (sebaik-baik umat) dan mengunggulkannya atas umat-umat lain. Sebab, hanya merekalah yang mau menegakkan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah Swt.. Penggunaan

lafazh

kuntum

di

sini

mengandung

makna

ta'rîdh

(sindiran) karena pada umumnya masyarakat pada saat itu gemar melakukan kejahatan sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan mana yang makruf dan mana yang mungkar. Mereka tidak tahu lagi bagaimana cara beriman yang benar. Kemudian mereka mengajak orang lain melakukan kejahatan dan mencegahnya dari segala macam kebaikan. Sementara di saat yang

33

Lihat Q.S. Âli 'Imrân (3): 104.

86

sama, umat Islam selalu memerintahkan yang makruf, mencegah dari yang mungkar serta beriman dengan cara yang benar.34 Sejumlah

mufassir

seperti

Ibn

Katsîr,

al-Râzi

dan

al-Qurthubi,

menjelaskan bahwa lafazh min pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 104 berfungsi sebagai penjelas (min bayâniyyah) dan bukan berfungsi untuk menunjukkan arti sebagian (min tab'îdhiyyah), sesuai dengan petunjuk yang terkandung pada lafazh sebelumnya. Menurut mereka, ayat ini mengandung perintah kepada seluruh umat Islam untuk berdakwah dan menegakkan amar makruf nahi mungkar, tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing.35 Namun

pendapat

yang

mengatakan

bahwa

kewajiban

untuk

mengemban tugas amar makruf nahi mungkar ini ditujukan kepada semua Muslim, dibantah oleh pendapat yang menilai bahwa lafazh min pada ayat tersebut merupakan min tab'îdhiyyah yang menunjukkan arti sebagian. Selain itu,

amar

makruf

nahi

mungkar

merupakan

sebuah

profesi

yang

membutuhkan adanya keahlian tertentu dan juga ilmu, yang tidak mungkin dimiliki oleh setiap Muslim. Oleh karena itu, maka sudah barang tentu perintah

untuk menegakkan

amar

makruf

nahi mungkar ini pun hanya

ditujukan kepada orang-orang tertentu saja.36 Dalam

kritikannya

menegaskan

bahwa

disebabkan

karena

terhadap

kejahilan kurangnya

umat

orang-orang tentang

orang

Islam

yang

berilmu,

ajaran-ajaran yang

al-Ghazâli

agama

mau

adalah

berdakwah.

34

Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), cet. ke- 2, juz 4, h. 57-58. 35

Muhammad Abû al-Fattâh al-Bainûni, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Da’wah, (Beirut, Mu’assasah al-Risâlah, 1991), cet. ke-1, h. 31. 36

Muhammad Abû al-Fattâh al-Bainûni, al-Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Da’wah,, h. 33.

87

Menurutnya,

setiap

Muslim

yang

dianggap

alim

(berilmu)

dalam

satu

perkara tertentu, maka dia wajib untuk menyampaikan ilmunya itu sekalipun ilmu yang dimilikinya hanya sedikit saja.37 Terlepas dari perdebatan kedua pendapat ini, pada dasarnya para ulama sepakat bahwa perintah amar makruf nahi mungkar adalah wajib hukumnya. Meskipun demikian, perlu difahami bahwa perbuatan makruf itu terbagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang wajib dan yang sunah. Dari sini, maka

'Abd

al-Jabbâr

ibn

Ahmad,

seorang

tokoh

aliran

Muktazilah,

berpendapat bahwa hukum menyuruh yang makruf pun terbagi menjadi dua, yaitu wajib untuk perbuatan yang wajib dan sunah untuk perbuatan yang sunah.38 Kehadiran

jama’ah-jama’ah

dakwah

atau

gerakan-gerakan

dakwah

(harakah al-da’wah) merupakan bentuk respon positif sebagian umat Islam terhadap kondisi umat Islam dewasa ini yang semakin jauh dari ajaran-ajaran agama mereka. Di antara jama'ah-jama'ah dan gerakan-gerakan tersebut, ada sebagian yang menitikberatkan perjuangan mereka pada gerakan dakwah dan politik, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jama’ah Islamiyah di Pakistan dan Front Pembela Islam (FPI) di Indonesia. Ada pula yang berkonsentrasi pada pendidikan moral individu dengan tradisi tasawuf dan menghindari keterlibatan dalam politik seperti Jama’ah Tabligh di India serta gerakangerakan dakwah lainnya, baik yang ada di dalam maupun luar negeri, yang dibentuk dengan tujuan untuk menyuruh masyarakat Islam melakukan yang makruf dan mencegah mereka dari berbagai macam kemungkaran. 37 Maulânâ Muhammad Ilyâs, Pedoman Bertabligh Bagi Kepada Kaum Muslimin, (Yogyakarta: al-Shaff, 2003), cet. ke-2, h. 23 . 38 'Abd al-Jabbâr ibn Wahbah, 1996), cet. ke-3, h. 742.

Ahmad,

Syarh al-Ushûl

Umat

al-Khamsah,

Islam,

(Kairo:

Seruan

Maktabah

88

Ikhwanul dakwah

Muslimin

yang

menyatukan

diadakan

umat

pada oleh

dalam

pertama Hasan

kebaikan,

kalinya

al-Bannâ

hanya di

mengobarkan

berupa

kajian

masjid-masjid semangat

guna

perjuangan

dalam dada kaum Muslimin, serta menegakkan nilai-nilai luhur Islami dalam kehidupan sehari-hari. Usaha ini kemudian mendapat tanggapan dari banyak orang. Maka pada bulan Zulqaidah 1346 H/ Maret 1928 M, Hasan al-Bannâ pun meresmikan usaha dakwah ini dengan nama Ikhwanul Muslimin di Isma’iliyyah, salah satu Propinsi yang ada di Mesir. Menurut analisa Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd dalam bukunya yang berjudul

"Manhaj

al-Tarbiyyah

‘Inda

al-Ikhwân

al-Muslimîn",

Ikhwanul

Muslimin berkonsentrasi pada beberapa kajian. Pertama, kajian al-Qur’an dan hadis. Kedua, kajian sejarah, biografi Nabi Muhammad Saw., dan biografi

orang-orang

shaleh.

Ketiga,

melakukan

pelatihan

dakwah

bagi

39

anggota.

Keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam kancah politik berujung pada penjeblosan Hasan al-Bannâ ke dalam penjara, saat gerakan ini pindah ke Kairo, Ibu Kota Mesir, tahun 1932. Di tempat ini, Ikhwanul Muslimin melebarkan

dakwah

Islamnya,

selain

berhasil

menerbitkan

surat

kabar,

majalah dan risalah seperti Akbâr Ikhwân al-Muslimîn, Risâlah al-Mursyîd, Majallah

Syu’â

penyambung Muslimin

dan

lidah

menjadi

al-Ta’âwun.

kelompok titik

ini

perubahan

Dua

majalah

ini

dan

terbitnya

di

bidang

kemudian

menjadi

surat

kabar

Ikhwanul

dakwah

dan

informasi.

Ikhwanul Muslimin ikut terlibat dalam dunia politik seperti yang dilakukan tahun

1939. 39

Kelompok

ini

mengemukakan

pendapatnya

tentang

upaya

Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân al-Muslimîn, (Alih bahasa: Syafril Halim, Ikhwanul Muslimin, Konsep Gerakan Terpadu), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet. ke-1, h. 29.

89

perbaikan dalam negeri Mesir yang disampaikan kepada perdana menteri saat pemerintahan al-Nahas Pasha. Namun usaha ini mendapat penentangan dari

pemerintah

yang

berujung

kepada

dijebloskannya

Hasan

al-Bannâ

berikut wakil dan sekretarisnya ke dalam penjara. Pada tahun berikutnya, ia dipindah-kerjakan sebagai guru SD di Qana.40 Jama’ah dakwah lain adalah Jama’ah Tabligh. Gerakan Jama’ah ini, didirikan

oleh

Syeikh

Maulâna Muhammad Ilyâs (1887-1948).41

Gerakan

yang berkonsentrasi pada dakwah dan tasawuf yang berasal dari India dan sekarang telah menyebar ke berbagai belahan dunia termasuk Indonesia ini, memiliki gerakan

latar

belakang yang sama dengan

Jama’ah

Islamiyah

yang

didirikan

gerakan-gerakan di

Lahore,

India

lain

seperti

Britania

-

sekarang bernama Pakistan- oleh Abû al-A’lâ al-Mudûdi (1903-1979).42 Dia adalah seorang tokoh kharismatik, sufi dari tarekat Chistiyah, dan ulama lulusan Dâr al-‘Ulûm di Deoband. Oleh karenanya, akar intelektual Jama’ah Tabligh pun tertanam kokoh pada tradisi tasawuf dan gerakan reformasi ulama Deoband.43

40

Ali ‘Abd al-Halîm Mahmûd, Manhaj al-Tarbiyyah ‘Inda al-Ikhwân al-Muslimîn,

h. 33-36. 41

Maulânâ Muhammad Ilyâs al-Kandahlawi (1887-1948 M) lahir di kawasan Muzhafar Nagar Utarpradesh, India. Ia berasal dari lingkungan keluarga berkedudukan tinggi dan ahli agama. Ayahnya bernama Maulânâ Muhammad Ismâ`il, dalam dirinya mengalir darah keturunan Abû Bakar al-Shiddîq Ra.. (Lihat Sayyid Abû Hasan ‘Ali Nadwi, Maulânâ Muhammad Ilyâs, [alih bahasa oleh: Maroahkan Ahmad: Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulânâ Muhammad Ilyas], [Yogyakarta: al-Shaff, 2005], cet. ke-3, h. 5-6.) 42 Syamsurizal Pangabean, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Dalam Organisasi dan Gerakan Islam, (t.tp., t.th.), jilid 6, h. 95-96. 43 Syamsurizal Pangabean, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Dalam Organisasi dan Gerakan Islam, h. 96.

90

Bila gerakan-gerakan Islam lainnya yang ada pada saat itu seperti Jama’ah Islamiyyah ikut terjun dalam dunia politik dengan menuntut adanya pemisahan negara dari umat Islam, Jama’ah Tabligh justru meninggalkan panggung

politik.

Sebagai

gantinya,

Jama'ah

Tabligh

lebih

memfokuskan

perhatiannya pada aspek pendidikan moral individu dan masyarakat Muslim. Inilah yang menjadi pilihan gerakan Jama’ah Tabligh.44 Di Indonesia, juga muncul beberapa gerakan dakwah seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbub al-Tahrir, Jama’ah Islamiyah, Jama’ah Tabligh dan lain-lain. FPI misalnya, adalah gerakan yang diketuai oleh Habib Rizieq Syihab yang didirikan tahun 1998 dengan latar belakang rasa muak sejumlah habib dan ulama melihat kezhaliman dan kemungkaran yang merajalela di kalangan masyarakat.45 Melihat belakang

dan

memahami tersebut

semangat gerakan-gerakan tujuan

dan

dapat

berdirinya,

menyadari dianggap

yang

ajaran-ajaran

sebagai

di atas dengan dapat Islam,

penetralisir

di

membantu maka

perbedaan umat

latar dalam

gerakan-gerakan

tengah-tengah

kehidupan

umat yang jahil akan nilai-nilai Islam dan sudah mulai meninggalkannya. Di samping juga sebagai perekat iman dan persaudaraan antar sesama Muslim sesuai ajaran Islam.46

44 Syamsurizal Pangabean, Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, Dalam Organisasi dan Gerakan Islam, h. 96. 45 Syahrul Effendi, Yudi Pramuka, Habib-FPI Gempur Playboy, (Jakarta: Yudi Pramuka, 2006), h. 63. 46 Lihat Ahmad Fâiz, Tharîqah al-Da’wah, (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1992), cet. ke-13, h. 187.

91

C. Negara Penegakan amar makruf nahi mungkar di samping dibutuhkan usaha maksimal dari individu dan kelompok dalam masyarakat Islam, juga tak kalah pentingnya dibutuhkan keterlibatan pemangku kekuasaan yang dipilih oleh masyarakat banyak guna memberikan sangsi kepada para pelanggar hukum-hukum Islam yang harus dipatuhi. Di sini, negara diartikan sebagai instansi struktural kekuasaan yang dapat memberikan penghargaan kepada pelaku kebaikan dan sangsi kepada pelanggar moral dan nilai-nilai luhur agama. Perintah untuk mengemban tugas amar makruf nahi mungkar bagi para pemegang kekuasaan (pemerintah), telah disinyalir oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Hajj (22): 40-41. Pada ayat ke-40, Allah memberikan jaminan bahwa Dia pasti akan menolong orang-orang yang menolong agama-Nya dan bahwa Dia mampu untuk mewujudkan hal itu karena sesungguhnya Dia adalah Maha Kuat lagi Maha Perkasa, sementara pada ayat ke-41, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang menolong agama-Nya itu adalah orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.47 Peneguhan

kedudukan

seperti

yang

dimaksud

pada

ayat

di

atas,

menurut al-Alûsi diperkuat oleh al-Qurthubî, adalah jabatan yang bersifat umum bagi setiap orang yang diberikan kedudukan oleh Allah Swt. di muka bumi.48 Meskipun sesuai dengan sabab nuzûl-nya, ayat ini merupakan berita

47

48

Q.S. al-Hajj (22): 40-41.

Abû al-Fadhl Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm wa al-Sab’i al-Matsânî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001 M), jilid 7, cet. ke-1, h.

92

gembira bagi kaum muhajirin akan pertolongan Allah atas keadaan yang mereka alami, namun ayat ini juga diperuntukkan bagi orang-orang yang hidup setelah mereka. Karena pada dasarnya, al-'Ibrah bi umûm al-lafzhi la bi khushûs al-sabab (Pelajaran atau hukum diambil berdasarkan keumuman lafazhnya dan bukan pada kekhususan sebabnya). Ayat ini memuji orangorang

mukmin

keistimewaan

dan

menerangkan

kedudukan/pangkat

menegakkan

amar

makruf

sifat-sifat

di

nahi

muka

mungkar

mereka bumi

yang

lalu

sehingga

diberikan

mereka

mereka

pun

mau berhak

mendapatkan pertolongan Allah Swt.. Menurut kewajiban

amar

Shâlih

ibn

makruf

‘Abdullâh

nahi

Darwis,

mungkar

bagi

ayat

ini

mengisyaratkan

orang-orang yang diberikan

keistimewaan jabatan atau pangkat termasuk ulama. Dari sini, maka para ulama pun kemudian sepakat bahwa perintah amar makruf nahi mungkar bagi penguasa (pemimpin) dan juga ulama hukumnya adalah fardhu ‘ain.49 Penegakkan amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh pihak penguasa atau pemerintah ini sangat penting dan memiliki pengaruh yang besar

dalam

menjadikan

masyarakat

mau

melaksanakan

apa

yang

diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Sebab, penegakkan amar makruf nahi mungkar oleh pihak pemerintah ini tidak hanya dilakukan dengan

menggunakan

kekuasaan diwujudkan

yang

lisan

saja,

mengandung

dalam

bentuk

melainkan

unsur

pemberian

kekuatan. sangsi

juga

dengan

Penggunaan yang

telah

menggunakan kekuasaan

ditetapkan

ini oleh

164., jilid 7, h. 164. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr alKutub al-'Ilmiyyah, 1993), jilid 12, h. 49. 49

Shâlih ibn ‘Abdullâh Darwis, al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar wa Wâqi’ al-Muslimîn al-Yaum, (alih bahasa: Muhammad ‘Abdul Ghaffâr, Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Realisasinya di Dunia Modern), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. ke-1, h. 50-51.

93

undang-undang, sehingga hal ini akan membuat setiap orang merasa takut bila dirinya tidak melaksanakan apa yang diperintahkan ataupun menjauhi apa yang dilarang. Dari sini, maka Nabi Saw. pun menempatkan penegakkan amar makruf nahi mungkar dengan menggunakan tangan (kekuasaan) berada pada

tingkatan

tertinggi,

sebelum

amar

makruf

nahi

mungkar

dengan

menggunakan lisan dan hati.50 Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari 'Abdullâh ibn Mas'ûd, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa tidak ada seorang Nabi pun yang diutus oleh Allah pada suatu umat sebelum beliau, melainkan dari umat tersebut ia memiliki sejumlah pengikut dan sahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti

perintahnya.

Kemudian

setelah

mereka

itu

muncul

generasi-

generasi penerus yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan

apa

yang

tidak

diperintahkan

kepada

mereka.

Barangsiapa

memerangi mereka dengan menggunakan tangannya, maka dia itu mukmin; barangsiapa

memerangi mereka dengan menggunakan lisannya, maka dia itu

mukmin; dan barangsiapa memerangi mereka dengan menggunakan hatinya, maka dia juga mukmin. Setelah itu, tidak ada iman sedikitpun meskipun hanya sebesar biji sawi.51 Dalam tataran masyarakat Indonesia, agar tugas amar makruf nahi mungkar yang harus diemban oleh pemerintah ini dapat terlaksana dengan 50

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa barangsiapa di antara kaum Muslimin melihat kemungkaran (dilakukan), maka hendaklah dia merubahnya dengan menggunakan tangannya; Jika dia tidak mampu, maka hendaklah dia merubahnya dengan menggunakan lisannya; Jika tidak mampu juga, maka hendaklah dia merubahnya dengan menggunakan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemah iman. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim pada kitab al-Îmân, hadis no. 70; Ahmad pada kitab Bâqi Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 10651; al-Tirmidzi pada kitab al-Fitan 'an Rasûlillâh, hadis no. 2098; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Shalâh, hadis no. 963. 51 Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim pada kitab al-Îmân, hadis no. 71; dan Ahmad pada kitab Musnad al-Muktsirîn min al-Shahâbah, hadis no. 4148 dan 4170.

94

baik, maka harus ada kerja sama yang baik antara pihak legislatif, eksekutif dan

yudikatif.

melaksanakan

Kemudian

tugasnya

para

dengan

penegak

baik.

Di

hukum sini,

harus

kami

benar-benar

menyamakan

para

penegak hukum dengan para petugas amar makruf nahi mungkar yang ada di negara-negara yang menerapkan sistem hisbah. Mereka adalah orang-orang yang

berhak

untuk

mencegah

kemungkaran

dengan

menggunakan

tangan

dan lisan. Jika mereka tidak mampu atau jumlah personel mereka sedikit sedangkan kemungkaran telah merajalela, maka diperbolehkan bagi selain mereka

untuk

memberantas

kemaksiatan

itu

sesuai

dengan

kemampuan

mereka, namun hanya sebatas nasehat dan petunjuk saja. Jika orang-orang yang melakukan kemaksiatan itu melawan, maka harus dilaporkan kepada lembaga

atau

petugas

yang

berwajib

dan

menjelaskan

semua

kejadian

dengan rinci dan benar.52 Seiring dengan perkembangan komunikasi dan informasi dewasa ini, penggunaan media massa telah ikut mewarnai penyampaian amar makruf nahi

mungkar

sebagai

sarana

dakwah

yang

banyak

dikembangkan

oleh

media dewasa ini. Media dakwah dalam bentuk cetak dan elektronik telah memberikan informasi

pengaruh

kepada

yang

pengguna.

baik

dan

Karya-karya

bermanfaat ilmiah

baik

dalam yang

penyampaian disampaikan

melalui penerbitan buku, majalah, koran, dan artikel, serta forum-forum kajian ilmiah, diskusi, seminar, dan mimbar masjid telah ikut membantu terlaksananya amar makruf nahi mungkar. Demikianlah,

karena

begitu

pentingnya

peran

amar

makruf

nahi

mungkar, maka al-Qur’an pun menyerahkan tugas mulia ini kepada tiga 52

Lihat 'Abdullâh ibn 'Abdurrahmân al-Jibrin, Hâjat al-Basyar Ilâ al-Amr bil Ma'rûf wa al-Nahy 'An al-Munkar, (alih bahasa: Ummu Rania, Lc, Tanya Jawab Amar Ma'ruf Nahi Munkar), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), cet. ke-1, h. 54.

95

elemen masyarakat yaitu individu, umat dan negara. Masing-masing pihak diharapkan benar-benar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga mereka dapat menjadikan seluruh lapisan masyarakat mau memahami dan menyadari

nilai-nilai

atau

ajaran-ajaran

agama

serta

mengaplikasikannya

dalam kehidupan sehari-hari. Bila hal ini terwujud, maka umat Islam akan tetap menyandang gelar khair ummah, yang berarti umat terbaik atau umat pilihan.

96

BAB IV KARAKTERISTIK PENGEMBAN AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

Aktifitas dakwah memegang peranan vital dalam kehidupan manusia dan kemanusiaan. Dakwah merupakan amanah suci yang harus diemban oleh setiap insan yang menyatakan dirinya sebagai seorang Muslim. Ajaranajaran Islam akan sunyi dari nilai-nilai bila hanya sebatas konseptual, tetapi ajaran-ajaran Islam harus aktual dan mampu membumi di bumi Allah ini sebagai causa prima dan urat nadi kehidupan. Masa depan Islam bergantung kepada

merata

dan

meluasnya

kesadaran

umat

dalam

memikul

tugas

dakwah. Meskipun harus disadari bahwa tugas dakwah bukanlah amanah ringan, tetapi seorang Muslim yang teguh tidak akan mudah berkecil hati untuk terus menyebarkan dakwahnya.1 Amar makruf nahi mungkar yang termasuk bagian dari aktifitas dakwah

merupakan

mempertahankan

tugas

kebaikan

mulia suatu

yang umat.

memiliki Tetapi

di

peran balik

besar kemuliaan

dalam dan

kedudukannya itu, menurut 'Abd al-Karîm al-Khathîb dalam kitabnya yang berjudul

al-Tafsîr

al-Qur`âni

li

al-Qur`ân,

amar

makruf

nahi mungkar

bukanlah tugas yang mudah atau ringan. Oleh karena itu, terlepas dari perdebatan apakah hukum amar makruf nahi mungkar itu fardhu ‘ain ataukah fardhu kifâyah, pada hakekatnya semua ulama sepakat bahwa harus

1

76.

Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 1998), cet. ke- 1, h.

97

ada sekelompok orang di antara umat Islam yang mau menekuni bidang amar makruf nahi mungkar ini.2 Bila dilihat dari tugasnya yang tidak ringan, tentunya sekelompok orang yang menekuni bidang amar makruf nahi mungkar –atau yang penulis istilahkan dengan pengemban amar makruf nahi mungkar- ini memiliki sejumlah karakteristik tertentu yang berkaitan dengan tugas mereka serta dapat

mendukung

terlaksananya

tugas

tersebut.

Berdasarkan

pengamatan

penulis terhadap ayat-ayat amar makruf nahi mungkar yang ada dalam alQur`an, yaitu ayat-ayat yang mengandung lafazh amar makruf nahi mungkar dalam berbagai derivasi dan ragam frasenya, maka secara garis besar, karakteristik-karakteristik

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar

dapat

dibagi menjadi dua:

A.

Karakteristik Umum 1. Beriman Kepada Allah dan Hal-hal Yang Wajib Diimani Beriman kepada Allah dan hal-hal yang wajib diimani merupakan

karakteristik makruf

yang

nahi

kâmilan

(iman

beriman

dan

berkaitan

mungkar yang

harus

dengan terlebih

sempurna)

mengikuti

aspek dahulu

sebelum

aturan-aturan

akidah. beriman

mengajak agama

Pengemban dengan

orang

Islam.

amar imânan

lain

untuk

Sebab,

iman

merupakan pondasi utama bagi setiap amal kebajikan dalam Islam. Amal kebajikan seseorang akan sia-sia dan tidak berguna bila tidak dilandasi 2

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, (Dâr al-Fikr al‘Arab, t.th.), juz 4, h. 542. Lihat juga Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, (Beirut: alMaktabah al-‘Ashriyyah, 2002), jilid 1, h. 342.

98

oleh iman, walau sebanyak apapun amal kebajikannya itu. Iman juga merupakan motivator bagi seseorang untuk melakukan berbagai kebaikan. Bila

iman

berpegang

telah

bersemayam

teguh

pada

dalam

hati

perintah-perintah

seseorang,

Allah

dan

maka

dia

menjauhi

akan

larangan-

larangan-Nya. Seberapa besar kadar keimanan yang telah masuk ke dalam hati

seseorang,

maka

sebesar

itu

pula

tingkat

istiqâmah

atau

kadar

kepatuhannya kepada ajaran-ajaran Islam.3 Makna ini senada dengan firman Allah Swt. dalam sebuah ayat yang menyatakan bahwa kebanyakan orang fasik saling tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Dalam ayat tersebut, Allah menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan itu amat buruk dampaknya bagi diri mereka karena dapat mendatangkan kemurkaan Allah kepada mereka, sehingga mereka pun akan kekal dalam siksaan-Nya. Mereka melakukan hal seperti itu karena pada hakekatnya mereka tidak beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya tidak

akan

(Nabi).

Sebab

mengambil

seandainya orang-orang

mereka

beriman,

musyrikin

itu

niscaya

menjadi

penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.

mereka

penolong4

Hal itu juga diperkuat oleh sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa barangsiapa di antara kaum Muslimin melihat suatu kemungkaran (dilakukan),

maka

hendaklah

dia

merubahnya

dengan

menggunakan

tangannya; Jika dia tidak mampu, maka hendaklah dia merubahnya dengan 3 Majdi al-Hilâli, Binâ` al-Îmân min Khilâl al-Qur`ân, (Kairo: Mu`assasah Iqra`, 2005), h. 12. 4

Lihat Q.S. al-Mâ`idah (5): 80-81.

99

menggunakan

lisannya;

Jika

tidak

merubahnya

dengan

menggunakan

mengingatkan

bahwa

merubah

mampu

juga,

hatinya.

kemungkaran

maka Tetapi

dengan

hendaklah Nabi

dia Saw.

menggunakan

hati

5

merupakan tanda bahwa iman seseorang sangat lemah.

Berdasarkan hadis ini, maka dapat diketahui bahwa seberapa besar kadar keimanan seseorang, maka sebesar itu pula tingkat pengingkarannya terhadap kemungkaran. Bila keimanannya kuat, maka dia akan berusaha untuk

melakukan

nahi

mungkar

atau

mencegah

kemungkaran

dengan

menggunakan tangan (kekuasaan)nya, paling tidak dengan menggunakan lisannya

seperti

melakukan maka

dia

dengan

kemungkaran. hanya

mengingatkan Sebaliknya,

mampu

untuk

atau

bila

menegur

keimanannya

melakukan

nahi

orang

yang

sangat

lemah,

mungkar

dengan

menggunakan hati. Dia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali hanya diam saja meskipun dia tidak menyukai kemungkaran itu dan juga orang yang melakukannya. Di samping sebagai motivator, iman juga berperan sebagai benteng yang membuat diri seorang pelaku amar makruf nahi mungkar tetap tegar dalam menghadapi hal-hal buruk yang menimpanya ketika dia sedang melakukan

tugas

amar

makruf

nahi

mungkar.

Orang

yang

beriman

merupakan orang yang paling tegar dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan malapetaka yang muncul dalam hidupnya. Ini disebabkan karena dia meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa kesulitan-kesulitan dan malapetaka-malapetaka tersebut tidak lain hanyalah sebagai pelajaran dan

pengalaman 5

yang

bermanfaat

baginya,

baik

bagi

agama

maupun

Diriwayatkan oleh Muslim pada kitab al-Îmân, hadis no. 70; Ahmad pada kitab Bâqi Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 10651; al-Tirmidzi pada kitab al-Fitan 'an Rasûlillâh, hadis no. 2098; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Shalâh, hadis no. 963.

100

kehidupan duniawinya.6 Sebab menurutnya, tidak ada satu musibah pun yang

menimpanya

kecuali

telah

ditetapkan

oleh

Allah

Swt..

Dia

memahami benar firman Allah yang menyatakan bahwa tidak ada satu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirinya sendiri melainkan telah ditetapkan oleh Allah dan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh), yaitu sebelum Allah menciptakan alam semesta ini dan juga menciptakan dirinya. Lalu dia meyakini benar bahwa yang demikian itu adalah sangat mudah bagi Allah, karena sesungguhnya Dia adalah Dzat Yang Maha Kuasa.7 Oleh karena itu, maka pada sebagian ayat amar makruf nahi mungkar –seperti yang telah dijelaskan pada bab II-, amar makruf nahi mungkar dikaitkan dengan aspek keimanan, terutama pada ayat-ayat amar makruf

nahi mungkar yang mengisyaratkan perintah menegakkan amar

makruf nahi mungkar yang ditujukan kepada kelompok atau umat. Ayatayat yang dimaksud adalah Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110, Q.S. Âli 'Imrân (3): 114, Q.S. al-Taubah (9): 71, dan Q.S. al-Taubah (9): 112. Pada Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110, disebutkan lafazh wa tu`minûna billâh (dan beriman kepada Allah). Lafazh ini disebutkan setelah lafazh ta`murûna bi al-ma'rûf wa tanhauna 'an al-munkar (menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar). Ayat ini mengisyaratkan bahwa di

antara

karakteristik pengemban

amar

makruf

nahi mungkar

adalah beriman kepada Allah dan hal-hal lainnya yang wajib diimani. Pada firman-Nya, "tu`minûna billâh", Allah Swt. menjadikan keimanan kepada

6

Sa'ad Karîm, al-Îmân wa Atsaruhû fî Tarbiyyah al-Aulâd, (Iskandaria: Dâr al'Aqîdah, 2002), cet. ke-1, h. 25. 7

Lihat Q.S. al-Hadîd (57): 22.

101

hal-hal yang wajib diimani sebagai bentuk keimanan kepada Allah. Sebab, orang yang hanya mengimani sebagian hal yang wajib diimani saja, seperti rasul-rasul Allah, kitab-kitab-Nya, Hari Kebangkitan, Hisab, atau yang lainnya,

kemudian

dia

mengingkari

sebagian

yang

lain,

maka

keimanannya itu tidak dianggap sah dan dia sama seperti orang yang tidak beriman kepada Allah Swt.. Bahkan, ketika menggambarkan sosok orangorang seperti itu, yaitu orang-orang yang mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian yang lain" serta berniat mengambil jalan tengah di antara keimanan dan kekafiran, Allah Swt. menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.8 Dalil yang memperkuat pernyataan tersebut adalah firman Allah Swt. pada ayat yang sama (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 110), yang disebutkan setelahnya.

Di

sana,

Allah

Swt.

berfirman:

"Sekiranya

ahli

kitab

beriman…". Sebagaimana diketahui, orang-orang ahli kitab juga mengaku beriman kepada Allah, akan tetapi karena mereka tidak mengimani agama Islam dan juga Nabi Muhammad Saw. yang merupakan dua hal yang wajib diimani, maka mereka pun tidak dianggap beriman. Meskipun kedudukan iman lebih penting daripada amar makruf nahi mungkar, akan tetapi karena konteks ayat ini berbicara tentang keunggulan umat ini atas umat-umat lain selama mereka menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, maka amar makruf nahi mungkar pun disebutkan Wahbah 8

terlebih

dahulu

sebelum

keimanan

al-Zuhaili,

redaksi

dengan

susunan

Lihat Q.S. al-Nisâ` (4): 150-151.

kepada kalimat

Allah. seperti

Menurut ini

lebih

102

menunjukkan keunggulan umat Islam atas umat-umat lain. Sebab, umatumat lain juga mengaku beriman kepada Allah, tetapi mereka tidak mau menegakkan amar makruf nahi mungkar.9 Pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 114 disebutkan lafazh yu`miûna billâhi wa

al-yaum

al-âkhir

(Mereka

beriman

kepada

Allah

dan

hari

penghabisan). Lafazh ini dan lafazh-lafazh yang disebutkan setelahnya, termasuk lafazh wa ya`murûna bi al-ma'rûf wa yanhauna 'an al-munkar (mereka

menyuruh

mungkar), beriman.

kepada

merupakan Pada

yang

penjelasan

ayat-ayat

makruf tentang

sebelumnya,

dan

mencegah

sifat-sifat

al-Qur`an

ahli

telah

dari

yang

kitab

yang

mengelompokkan

ahli kitab menjadi dua kelompok, di antara mereka ada yang beriman tetapi

kebanyakan

setelah

menjelaskan

mereka kondisi

adalah

orang-orang

orang-orang

fasik

yang

fasik.10

tersebut,

Kemudian

al-Qur`an

pun

menjelaskan kondisi orang-orang yang beriman di antara mereka pada ayat ke-114 ini. Mereka adalah orang-orang ahli kitab yang telah masuk Islam meskipun jumlah mereka hanya sedikit. Ketika menafsirkan firman Allah dalam Q.S. Âli 'Imrân (3): 114, Ibn Katsîr menegaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman

di

antara ahli kitab

yang disebutkan

dalam firman

tersebut

merupakan orang-orang yang sosoknya dijelaskan oleh Allah Swt. di akhir Q.S. Âli ‘Imrân (3): 199, yaitu pada firman-Nya yang menyatakan bahwa di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah, kepada apa yang

9

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, (Beirut: Dâr al-Mu'âshir, 1998), juz 4,

10

Lihat Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110.

h. 40.

103

diturunkan kepada Nabi Muhammad dan juga apa yang diturunkan kepada mereka.11 Sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya (Q.S. Âli 'Imrân [3]: 114), mereka ini adalah sekelompok orang di antara ahli kitab yang memiliki sifat-sifat tertentu yang membedakan diri mereka dengan orangorang

ahli

kitab

melaksanakan memperbanyak

pada

perintah

umumnya. Allah,

tahajjud,

Sifat-sifat

membaca

beriman

yang

al-Qur`an

kepada

Allah

dimaksud

adalah

tengah

malam,

di

dan

hari

akhir,

serta

menegakkan amar makruf nahi mungkar. Pada Q.S. al-Taubah (9): 71, Allah Swt. menjelaskan ciri-ciri orang-orang mukmin, di antaranya adalah menegakkan amar makruf nahi mungkar. Mereka merupakan satu umat atau kelompok orang yang telah dipersatukan

oleh

ikatan

persaudaraan

dan

rasa

cinta.

Karena

begitu

kuatnya ikatan persaudaraan dan rasa cinta di antara mereka itu, maka mereka

pun

menjadi

seperti

satu

tubuh,

dimana

ketika

salah

satu

anggotanya sakit maka yang lain akan ikut merasakannya.12 Oleh meninggalkan 11

12

karena satu

itu,

maka

perbuatan

ketika

yang

salah

makruf

seorang atau

dari

mengerjakan

mereka suatu

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, jilid 1, h. 349.

Hal ini persis seperti yang ditegaskan dalam hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn Abdullâh ibn Numair, dari ayahnya, dari Zakariyâ, dari al-Sya'bi, dari al-Nu'mân ibn Basyîr, bahwa dia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda, 'Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seperti satu tubuh; Apabila salah anggota mengeluhkan rasa sakit, maka seluruh anggota tubuh pun akan ikut merasakannya, yaitu dengan cara tidak bisa tidur dan cara demam.'" Hadis ini disebutkan oleh al-Bukhâri dalam kitab al-Adab, hadis no. 5552; Muslim dalam kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Âdâb, hadis no. 4685; dan Ahmad dalam kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17632.

104

kemungkaran, maka hati mereka akan tergerak untuk mengingatkannya. Sebab menurut Hisyâm ibn 'Abd al-Qâdir dalam bukunya yang berjudul Mufsidât

al-Ukhuwwah,

mengerjakan

meninggalkan

kemungkaran

adalah

perbuatan ibarat

yang

penyakit

makruf

atau

yang

akan

membahayakan diri pelakunya. Bahkan, bila hal itu dibiarkan, maka ia tidak hanya akan membahayakan diri pelakunya saja tetapi juga akan membahayakan

diri

orang-orang

yang

ada

di

sekitarnya

serta

dapat

merusak ikatan persaudaraan di antara.13 Contohnya,

seperti

yang

dikatakan

Muhammad

Rasyîd

Ridhâ

dalam Tafsîr al-Manâr, persatuan umat merupakan satu hal yang makruf, sedangkan upaya memecah belah umat merupakan satu hal yang mungkar. Jika ada seseorang atau satu kelompok tertentu yang berusaha memecah belah persatuan umat, maka hal itu tidak hanya akan membahayakan diri orang-orang yang melakukannya saja melainkan juga akan membahayakan diri masyarakat atau umat secara keseluruhan. Bila perbuatan seperti itu dibiarkan terjadi, maka hampir dapat dipastikan masyarakat atau umat yang bersangkutan akan mengalami kehancuran.14 Dari sini, maka orang-orang mukmin pun saling bahu membahu atau bekerja sama dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar di antara mereka. Karena menegakkan amar makruf nahi mungkar merupakan ciri orang-orang

mukmin

yang

-notabene-

merupakan

satu

kelompok

atau

umat tertentu yang ada di masyarakat, maka dapat difahami secara mafhûm mukhâlafah bahwa di antara karakteristik pengemban amar makruf nahi 13 Lihat Hisyâm ibn 'Abd al-Qâdir, Mufsidât al-Ukhuwwah, (Kairo: Dâr alShafwah, 1418 H), cet. ke-1, h. 29. 14 Lihat Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-1, jilid 4, h. 22.

105

mungkar

adalah

beriman

kepada

Allah

dan

hal-hal

lain

yang

wajib

diimani. Pengertian serupa juga terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112. Hanya saja pada ayat tersebut, penyebutan sifat-sifat orang-orang mukmin itu dipisahkan jauh dari kata al-mukminîn. Pemisahan na'at seperti ini, menurut al-Alûsi dalam kitab tafsirnya, dimaksudkan untuk memberikan pujian kepada orang-orang Mukmin.15 Selain itu, pada ayat tersebut, lafazh al-âmirûna bi al-ma'rûf (yang menyuruh berbuat makruf) dan al-nâhûna 'an

al-munkar

menggunakan

(yang huruf

mencegah 'athf

berbuat

(wawu),

mungkar)

tidak

disambung

seperti

pada

dengan sifat-sifat

sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa pada hakekatnya, amar makruf dan nahi

mungkar

adalah

satu.

Maksudnya,

barangsiapa

yang

menyuruh

kepada yang makruf, maka berarti dia mencegah dari yang mungkar, demikian pula sebaliknya.16 Pentingnya karakteristik beriman kepada Allah dan hal-hal yang wajib

diimani

bagi

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar,

sangat

berkaitan erat dengan pentingnya iman dalam setiap perbuatan yang baik. Dalam

al-Qur`an,

hampir

setiap

ayat

yang

memuat

perintah

untuk

melakukan suatu perbuatan ataupun larangan untuk meninggalkan suatu perbuatan, mengisyaratkan akan pentingnya iman. Ayat-ayat ini biasanya menggunakan

uslûb

syarth

(redaksi

syarat)

seperti

inkuntum mukminîn

(jika kamu orang-orang yang beriman), seperti dapat dilihat pada Q.S. Alî

15 Abû al-Fadhl Syihâbuddîn al-Alûsi, Rûh al-Ma'ânî fî Tafsîr al-Qur`ân alAzhîm wa al-Sab'i al-Matsânî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2001), cet. ke-1, jilid 4, h. 30. 16

'Abd al-Karîm al-Khathîb, al-Tafsîr al-Qur`âni li al-Qur`ân, juz 10, h. 901.

106

Imrân (3): 139, Q.S. al-Mâ`idah (5): 57, 23, Q.S. al-Anfâl

(8): 1, Q.S. al-

Taubah (9): 13, 62, Q.S. Hûd (11) : 86 dan Q.S. al-Nûr (24) : 17. Mengenai keyakinan kepada Allah dan hari akhir ini, Ibn Hazm telah menjelaskannya dalam kitab al-Ahkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Mengutip penjelasan Ibn Hazm tersebut, Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Anshâri menegaskan bahwa penerapan syari’at Islam dalam kehidupan manusia tidak dapat dilakukan hanya dengan satu sisi saja, melainkan harus dikaitkan dengan aspek keimanan dan pengamalan anggota badan. Oleh karena itu, maka satu amalan dinilai tidak sempurna kecuali bila dibarengi

dengan

keyakinan

yang

sempurna

dan

keteguhan

iman.

Sebaliknya, iman juga harus diikuti dengan perbuatan nyata oleh anggota badan.17 Pentingnya iman dalam setiap amal perbuatan juga diungkapkan oleh

Imam

al-Syathibî

dalam

kitab

al-Muwâfaqât.

Menurutnya,

pentingnya iman kepada Allah dan hari akhir menjadi syarat setiap amalan orang Islam. Oleh karena itu, maka sangatlah pantas bila amal perbuatan yang tidak dibarengi dengan iman, ia akan ditolak dan tidak dapat mendatangkan pahala. Sementara amalan yang dilakukan dengan penuh ketulusan karena berharap pahala dari Allah, maka pelakunya dinamakan mukmin, yaitu orang yang beriman dengan ikhlas kepada Allah. Setelah menjelaskan hal itu, Imam al-Syathibî melontarkan satu pertanyaan kepada kaum

Muslimin,

yaitu

apakah

mereka

tidak

mengetahui

bahwa

yang

dimaksud dengan ibadah adalah mengkhususkan amal perbuatan hanya kepada Allah Swt., dengan penuh rasa rendah diri dan mengagungkan-Nya dalam hati disertai amalan nyata oleh anggota badan. Kemudian dia juga 17 Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', (Riyâdh: Maktabah al-Anshâr, 1984), h. 189.

107

mengatakan bahwa para Usûliyyin telah menetapkan iman kepada Allah sebagai syarat sah sebuah amal, sementara sebagian yang lain menjadikan iman kepada Allah sebagai syarat wajib setiap amalan Muslim.18 Demikianlah, iman kepada Allah dan hal-hal yang wajib diimani merupakan

karakteristik

umum

pertama

bagi

pengemban

amar

makruf

nahi mungkar. Akan tetapi, karakteristik ini tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan karakteristik umum kedua yaitu taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

2. Taat Kepada Allah dan Rasul-Nya Karakteristik

umum

kedua

dari

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar ini adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang dimaksud dengan

taat

kepada Allah

dan

Rasul-Nya adalah

memelihara hukum-

hukum Allah dan Rasul-Nya, menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan keduanya, atau memenuhi seruan Allah Swt. dan RasulNya, seperti yang difirmankan oleh Allah Swt. dalam al-Qur`an, yang di dalamnya

Allah

mengajak

orang-orang yang beriman

untuk memenuhi

seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru mereka kepada suatu yang memberi kehidupan bagi mereka,19 Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn al-Qayyim –seperti yang dikutip oleh Ahmad Farîd- menjelaskan bahwa ayat ini mengandung beberapa

18

Muhammad ibn Muhammad ibn al-Amîn al-Ansharî, Manhaj al-Da’wah alIslâmiyyah fî Binâ` al-Mujtama', h. 189. 19

Lihat Q.S. al-Anfâl (8): 24.

108

permasalahan. Pertama, adalah bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya akan diperoleh dengan cara memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang tidak memenuhi seruan ini, tidak dianggap sebagai orang yang hidup, meskipun dia memiliki kehidupan semu yang tidak hanya dimiliki oleh dirinya saja melainkan juga oleh binatang yang paling hina sekalipun. Sebab, kehidupan yang hakiki hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang memenuhi batinnya.

seruan Hanya

Allah

dan

Rasul-Nya,

merekalah

yang

baik

dianggap

dengan

sebagai

zhahir

maupun

orang-orang

yang

hidup meskipun mereka telah meninggal dunia. Sementara orang-orang lain selain mereka dianggap sebagai orang-orang yang mati meskipun dari segi fisik, mereka masih hidup. Oleh karena itu, maka orang yang paling sempurna

hidupnya

adalah

orang

yang

memenuhi

seruan

Rasulullah

Saw.20 Ketaatan

kepada

Allah

dan

Rasul-Nya

merupakan

implementasi

dari keimanan kepada keduanya. Orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dituntut untuk taat kepada keduanya. Sebab, seperti yang telah dikatakan oleh Ibn Hazm di atas, iman juga harus diikuti dengan amal perbuatan

yang

dilakukan

oleh

anggota-anggota

badan.

Pengertian

ini

dapat difahami dari penyebutan aspek keimanan yang selalu dikaitkan dengan aspek ketaatan dalam sejumlah ayat al-Qur`an, seperti pada Q.S. al-Anfâl (8): 1 dan Q.S. al-Nahl (16): 97. Pada ayat pertama, Allah Swt. menyuruh kaum Muslimin untuk taat kepada-Nya dan juga kepada RasulNya jika mereka adalah orang-orang yang beriman21, sementara pada ayat kedua, Allah Swt. menegaskan bahwa barangsiapa yang mengerjakan amal 20

Ahmad Farîd, Tharîq al-Sa'âdah, (Iskandaria: Dâr al-'Aqîdah, 2006), cet. ke.

1, h. 10. 21

Lihat Q.S. al-Anfâl (8): 1.

109

saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya

akan

Dia

akan

memberikan

kepadanya

kehidupan

yang

baik, yaitu kehidupan yang bahagia di dunia, lalu Dia akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.22 Dari sini, maka dapat dikatakan bahwa iman tidak akan bermanfaat tanpa

dibarengi

dengan

ketaatan,

demikian

pula

sebaliknya.

Keduanya

harus dilakukan bersama-sama demi tercapainya kehidupan yang baik atau hayâtan thayyiban di dunia dan balasan yang baik di hari kiamat nanti, seperti yang ditegaskan pada firman Allah Swt. tersebut. Dalam

kaitannya

dengan

amar

makruf

nahi

mungkar,

ketaatan

kepada Allah dan Rasul-Nya memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada

hakekatnya

amar

makruf

nahi

mungkar

merupakan

bagian

dari

ketaatan tersebut. Orang-orang yang selalu taat kepada Allah dan RasulNya

mengetahui

bahwa

amar

makruf

nahi

mungkar

juga

merupakan

perintah Allah dan Rasul-Nya yang harus ditaati. Mereka sadar bahwa untuk dapat meraih kehidupan yang baik di dunia dan balasan yang baik di akhirat, mereka dituntut untuk tidak hanya memikirkan diri mereka sendiri dalam

kaitannya

dengan

larangan-larangan-Nya,

upaya

tetapi

mematuhi

juga

harus

perintah-perintah memikirkan

Allah

dan

orang-orang

lain

yang ada di sekitar mereka. Mereka khawatir bila mereka mematuhi aturan-aturan Allah, sementara orang-orang lain yang ada di lingkungan mereka tidak melakukan hal yang sama, maka lambat laun mereka juga akan

terpengaruh

sehingga mereka

tidak dapat memperoleh

apa yang

mereka cita-citakan itu (kehidupan yang baik di dunia dan balasan yang 22

Lihat Q.S. al-Nahl (16): 97.

110

baik di akhirat), atau –paling tidak- mereka juga akan terkena dampakdampak negatifnya. Ini persis seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabda beliau tentang perumpamaan orang yang mematuhi aturan-aturan Allah dan orang yang tidak mematuhinya. Dalam sabdanya itu, beliau menegaskan bahwa orang-orang yang mematuhi aturan-aturan Allah dan orang-orang

yang

tidak

mematuhinya

adalah

seperti

satu

kaum

yang

melakukan undian di atas sebuah kapal (untuk menentukan tempat masingmasing kelompok); lalu sebagian dari mereka menempati kapal bagian atas,

sementara

sebagian

yang

lain

menempati

bagian

bawah.

Ketika

orang-orang yang berada di bagian bawah ingin mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di atas mereka, maka mereka pun berkata, "Bagaimana kalau kita melubangi kapal di tempat yang menjadi bagian kita ini sehingga kita tidak perlu mengganggu orang-orang yang berada

di

atas

kita?"

Jika

orang-orang yang berada

di

bagian

atas

membiarkan apa yang diinginkan oleh orang-orang yang berada di bagian bawah itu, maka mereka semua akan binasa. Akan tetapi jika mereka mencegahnya, maka mereka akan selamat, dan semua orang pun akan ikut selamat.23 Dari sini, dapat difahami bahwa orang yang melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya tidak boleh tinggal diam atau bersikap masa bodoh terhadap kondisi orang-orang yang ada di sekitarnya. Dia harus peduli

dan

memperhatikan

mereka.

Bila

orang-orang

yang

ada

di

sekitarnya itu tidak melakukan ketaatan kepada Allah seperti yang dia 23

Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Syirkah, hadis no. 2313; alTirmidzi pada kitab al-Fitan 'an Rasûlillâh, hadis no. 2099; dan Ahmad pada kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 17638, 17647, 17653 dan 17685.

111

lakukan, atau mereka melakukan kemungkaran yang seharusnya mereka jauhi, maka dia harus mengingatkan mereka dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan itu dapat membahayakan diri mereka sendiri. Bila tidak, maka mereka semua akan mengalami kehancuran seperti kapal yang tenggelam akibat dilubangi bagian bawahnya. Sebaliknya, dengan melakukan

amar

makruf

nahi

mungkar,

maka

mereka

semua

akan

terhindar dari laknat atau murka Allah seperti yang pernah ditimpakan kepada Bani Isra`il karena mereka tidak mau menegakkan amar makruf nahi mungkar di antara mereka, sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Q.S. al-Mâ`idah (5): 79 dan Q.S. al-A'râf (7): 165. Hubungan

antara ketaatan

kepada Allah dan

Rasul-Nya dengan

amar makruf nahi mungkar juga dapat dilihat dari sisi bahwa orang-orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar tidak boleh melupakan diri mereka sendiri. Di samping mereka memperhatikan orang lain dengan menyuruhnya

untuk

melakukan

ketaatan

menjalankan

perintah-perintah-Nya

ataupun

kepada

Allah,

menjauhi

baik

dengan

larangan-larangan-

Nya, mereka juga harus memperhatikan diri mereka sendiri yaitu dengan melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka perintahkan kepada orang lain. Rasanya kurang sempurna –atau bisa dikatakan kurang tepatbila orang yang mereka suruh dapat selamat dari murka Allah sementara diri mereka sendiri tidak selamat. Ini adalah kerugian yang sangat besar, karena itu dalam salah satu ayat di dalam surah al-Baqarah, Allah Swt. menyindir orang-orang ahli kitab yang melakukan perbuatan seperti itu dengan

menggunakan

redaksi

"Afalâ

ta'qilûn"

(Maka

tidakkah

kamu

berpikir?)24 Redaksi seperti ini mengesankan bahwa seakan-akan orang

24

Lihat Q.S. al-Baqarah (2): 44.

112

yang berbuat seperti itu tidak menggunakan akal pikirannya untuk meraih hal yang terbaik bagi dirinya. Ketika

menafsirkan

ayat

ini,

Ibn

Katsîr

menjelaskan

bahwa

diturunkannya ayat ini adalah untuk mencela kaum Yahudi yang telah menyerukan

manusia

kepada

kebaikan

sementara

mereka

sendiri

tidak

melakukannya. Ayat ini sama sekali bukan untuk mencela amar makruf yang

mereka

lakukan,

meninggalkan

perbuatan

melainkan

untuk

mencela

sikap

mereka

yang

makruf yang mereka perintahkan. Sebagaimana

diketahui, menyuruh kepada yang makruf merupakan sesuatu yang baik, bahkan wajib hukumnya bagi orang alim. Akan tetapi, yang lebih wajib dan lebih utama untuk dilakukan oleh orang alim itu adalah melakukan perbuatan makruf yang dia perintahkan bersama-sama dengan orang yang diperintahkannya.25 Orang-orang yang berkecimpung dalam bidang amar makruf nahi mungkar harus memperhatikan hal ini dan mengamalkannya ketika hendak mengemban tugas yang mulia tersebut. Mereka harus melakukan ketaatan kepada Allah sebelum mereka menyuruh orang lain untuk melakukannya. Di samping hal ini dapat menyelamatkan kedua belah pihak dari murka atau laknat Allah, baik orang yang menyuruh ataupun yang disuruh, ia juga dapat menjadi tauladan yang memiliki pengaruh besar bagi pihak yang disuruh sehingga kemungkinan dimana pihak yang disuruh mau melakukan apa yang diperintahkan kepadanya akan lebih besar. Sebab, terkadang orang yang disuruh untuk melakukan sesuatu akan melihat terlebih dahulu orang yang menyuruhnya apakah dia telah melakukan apa yang dia perintahkan ataukah tidak. Bila tidak, maka hal itu akan menjadi 25

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, juz 1, h. 74.

113

alasan bagi orang yang disuruh tersebut untuk tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Mengingat begitu pentingnya hal ini, maka dalam sebagian ayat yang berkaitan dengan amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh kelompok atau umat, Allah Swt. mengaitkan antara amar makruf nahi mungkar dengan aspek ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini dapat dilihat pada sejumlah ayat seperti pada firman-Nya dalam Q.S. al-Taubah (9): 71, Q.S. al-Taubah (9): 112, Q.S. al-Hajj (22): 41 dan Q.S. Luqmân (31): 17. Pada Q.S. al-Taubah (9): 71, disebutkan lafazh wa yuthî'ûnallâh wa rasûlah (dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya). Lafazh ini disebutkan

setelah

lafazh

yuqîmûna

al-shalâta

wa

yu`tûna

al-zakâh

(mendirikan sembahyang, menunaikan zakat) dan juga lafazh ya`murûna bi

al-ma'rûf

wa

yanhauna

'an

al-munkar

(mereka

menyuruh

[mengerjakan] yang makruf, mencegah dari yang mungkar). Berdasarkan kaidah Ushul Fiqh, penyebutan lafazh wa yuthî'ûnallâh wa rasûlah setelah kedua lafazh tersebut, termasuk ke dalam katagori dzikr al-âm ba'da alkhâsh (penyebutan sesuatu yang umum setelah sesuatu yang khusus). Sebab

menurut

Wahbah

al-Zuhaili

dalam

al-Tafsîr

al-Munîr,

yang

dimaksud dengan ungkapan "taat kepada Allah dan Rasul-Nya" adalah melaksanakan apa yang mereka perintahkan dan meninggalkan apa yang mereka larang26, sementara menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang

mungkar,

mendirikan

shalat

dan

menunaikan

zakat

merupakan

bagian dari upaya untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

26

Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 10, h. 305.

114

Hal serupa juga terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112, hanya saja pada ayat tersebut ungkapan yang digunakan adalah wa al-hâfizhûna li hudûdillâh (dan yang memelihara hukum-hukum Allah). Yang dimaksud dengan al-hâfizhûna li hudûdillâh adalah orang-orang yang memelihara kewajiban-kewajiban,

syari'at-syari'at

dan

hukum-hukum

Allah.27

Lafazh

ini juga merupakan sebuah lafazh yang mengandung pengertian umum yang

disebutkan

setelah

lafazh-lafazh

yang

mengandung

pengertian

khusus, yaitu: al-tâ`ibûn (orang-orang yang bertaubat), al-hâmidûn (yang memuji), al-sâ`ihûn (yang melawat), al-râki'ûn (yang ruku'), al-sâjidûn (yang sujud), dan al-âmirûna bi al-ma'rûf wa al-nâhûna 'an al-munkar (yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar). Pada ayat ini juga digunakan ungkapan al-'âbidûn (orang-orang yang beribadah). Kata al-'âbidûn merupakan bentuk jamak dari kata al'âbid yang merupakan ism fâ'il dari kata al-'ibâdah. Kata al-'ibâdah sendiri

mengandung

pengertian

yang

sama

dengan

kata

al-thâ'ah

(ketaatan). Ini diperkuat oleh firman Allah Swt. yang menyatakan bahwa Allah Swt. tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Nya

atau

beribadah

kepada-Nya.28

Menurut

Wajdî

Ghanîm

dalam bukunya yang berjudul Sulûk al-Muslim, yang dimaksud dengan ungkapan

"supaya

mereka

menyembah-Ku" adalah

supaya mereka taat

29

kepada-Ku (Allah).

27

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 11, h. 54.

28

Lihat Q.S. al-Dzâriyât (51): 56.

29

14-15.

Wajdî Ghanîm, Sulûk al-Muslim, (Mesir: Dâr al-Salâm, 2005), cet. ke-1, h.

115

Selain

menyebutkan

kedua

ungkapan

yang bersifat

umum yang

menunjukkan makna ketaatan kepada Allah, ayat ini juga menyebutkan ungkapan-ungkapan

yang

mengisyaratkan

bentuk-bentuk

ketaatan

kepada

Allah dan Rasul-Nya, yaitu al-tâ`ibûn (orang-orang yang bertaubat), alhâmidûn (orang-orang yang memuji Allah), al-sâ`ihûn (orang-orang yang melawat),

al-râki'ûn

(orang-orang

yang

ruku'),

al-sâjidûn

(orang-orang

yang sujud), dan al-âmirûna bi al-ma'rûf wa al-nâhûna 'an al-munkar (orang-orang

yang

menyuruh

berbuat

makruf

dan

mencegah

berbuat

mungkar). Sementara pada Q.S. al-Hajj (22): 41, tidak disebutkan lafazh yang secara khusus menunjukkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya ataupun pemeliharaan terhadap hukum-hukum Allah, seperti yang disebutkan pada kedua

ayat

di

atas.

Di

sana,

hanya

disebutkan

lafazh-lafazh

yang

mengisyaratkan bentuk-bentuk ketaatan kepada Allah, yaitu lafazh aqâmu al-shalâta

(mereka

mendirikan

sembahyang),

wa

âtû

al-zakâta

(menunaikan zakat) dan wa amarû bi al-ma'rûf wa nahau 'an al-munkar (menyuruh

berbuat

yang

makruf

dan

mencegah

dari

perbuatan

yang

mungkar). Hal serupa juga terdapat pada Q.S. Luqmân (31): 17. Di sana disebutkan lafazh aqim al-shalâh (dirikanlah shalat). Demikianlah,

ketaatan

kepada

Allah

memiliki

hubungan

yang

sangat erat dengan amar makruf nahi mungkar, bahkan bisa dikatakan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua hal tersebut harus

diperhatikan

keduanya

dapat

dan

dilakukan

terwujud

dengan

secara baik.

bersamaan Berdasarkan

agar hal

tujuan

dari

ini,

maka

pengemban amar makruf nahi mungkar harus memiliki karakteristik yang bersifat umum tersebut, yaitu ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya agar

116

amar makruf nahi mungkar yang dia lakukan dapat membuahkan hasil yang diharapkan atau tidak sia-sia.

B.

Karakteristik Khusus 1. Menjaga Nilai-nilai Akhlak Karakteristik

atau

makârim

khusus

al-akhlâq.

akhlak

atau

makârim

akhlak

yang

telah

pertama Yang

menjaga

dimaksud

al-akhlâq

diajarkan

adalah

di

oleh

dengan

nilai-nilai

akhlak

menjaga

nilai-nilai nilai-nilai

sini

adalah

menerapkan

Islam

dalam

kehidupan

sehari-hari,

terutama ketika seseorang sedang berinteraksi dengan orang lain, baik dalam

kehidupan

berumahtangga,

bermasyarakat

maupun

bernegara.

Muhammad Thâhir ibn 'Âsyûr dalam buku "al-Nizhâm al-Ijtimâ'i fî alIslâm" menilai bahwa makârim al-akhlâq merupakan hal penting yang harus tetap dijaga dalam kehidupan bermasyarakat, karena keutuhan suatu masyarakat dijaga

sangat

dengan

tergantung

baik,

maka

kepadanya. keutuhan

Bila

makârim

masyarakat

pun

al-akhlâq akan

ini

terjaga.

Sebaliknya, persatuan atau ikatan antar sesama anggota masyarakat akan rusak bila makârim al-akhlâq sudah tidak diperhatikan lagi oleh mayoritas anggotanya

dan

tidak

diterapkan

dalam

sebagian

besar

urusan

atau

mu'âmalah di antara mereka.30 Pentingnya

makârim

al-akhlâq

dalam

kehidupan

bermasyarakat

sangat terkait dengan kedudukan manusia sebagai makhluk termulia di antara

makhluk-makhluk

Allah

lainnya.

Makârim

al-akhlâq

bertujuan

30 Lihat Muhammad Thâhir ibn 'Âsyûr, al-Nizhâm al-Ijtimâ'i fî al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Salâm, 2005), cet. ke-1, h. 116.

117

untuk mengantarkan manusia agar sampai pada kedudukan atau derajat mulia tersebut serta untuk mencegahnya agar tidak terjatuh ke dalam derajat yang paling hina yaitu derajat binatang. Oleh karena itu, ketika mencela

orang-orang

yang

tidak

diperhatikan mempunyai

semestinya

dipegang

dan

menegaskan

bahwa

mereka

memegang

nilai-nilai

akhlak

yang

oleh

manusia,

Allah

Swt.

hati,

tetapi

itu

tidak

hati

dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah;

mereka

melihat

mempunyai

tanda-tanda

mata

kekuasaan

tetapi

Allah;

tidak

dan

dipergunakannya

mereka

mempunyai

untuk telinga

tetapi telinga itu tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Di

sini,

ternak,

Allah

menyamakan

bahkan

menurut-Nya,

orang-orang mereka

seperti

lebih

itu

sesat

dengan

binatang

daripada

binatang.

Mereka itu adalah orang-orang yang lalai yang akan menjadi isi neraka Jahannam.31 Dengan makârim al-akhlâq, manusia dapat mencapai derajat yang pantas baginya, yaitu derajat termulia di antara makhluk-makhluk lain.32 Sebaliknya,

dengan

meninggalkan

makârim

al-akhlâq,

manusia

akan

berada pada derajat binatang karena pada saat itu dirinya dapat dikatakan sama

dengan

binatang

yang

tak

pernah

mengenal

nilai-nilai

akhlak.

Bahkan tidak menutup kemungkinan, derajatnya akan lebih hina daripada binatang. Karena

begitu

pentingnya

makârim

al-akhlâq

bagi

kehidupan

bermasyarakat, maka Allah Swt. pun mengutus Nabi Muhammad Saw. di

(17): 70.

31

Lihat Q.S. al-A'râf (7): 179.

32

Mengernai derajat termulia bagi manusia ini, lihat Q.S. al-Tîn (95): 4 dan Q.S. al-Isrâ`

118

tengah-tengah masyarakat Arab yang pada saat itu sudah tidak mengenal nilai-nilai akhlak. Mereka benar-benar berada pada puncak kebobrokan moral, tak ada lagi norma-norma yang harus dijunjung tinggi, tak ada lagi nilai-nilai akhlak yang harus dipatuhi dan tak ada lagi rasa malu yang menghalangi

mereka

untuk

melakukan

perbuatan-perbuatan

asusila.

Kehidupan mereka benar-benar sudah seperti kehidupan binatang. Nabi Muhammad Saw. pun diutus oleh Allah Swt. guna mengembalikan nilainilai akhlak yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab pada saat itu serta untuk menyempurnakannya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh

Sa'îd

ibn

Manshûr,

dari

'Abd

al-'Azîz

ibn

Muhammad,

dari

Muhammad ibn 'Ajlân, dari al-Qa'qâ' ibn Hakîm, dari Abû Shâlih, dari Abû Hurairah, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa diri beliau tidaklah diutus

oleh

Allah

kecuali

untuk

menyempurnakan

(meluruskan)

budi

pekerti yang baik.33 Sebagai akhlâq,

orang yang diutus guna

Rasulullah

Saw.

memiliki

menyempurnakan

akhlak

yang

mulia

makârim dan

al-

sangat

sempurna. Pengakuan bahwa beliau memiliki akhlak yang mulia tidak hanya datang dari manusia, tetapi juga dari Allah Swt. langsung. Allah Swt. mengakui bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. benar-benar berbudi pekerti yang agung.34 Pengakuan seperti itu juga datang dari orang-orang terdekat beliau seperti isteri beliau, Aisyah Ra.. Suatu ketika, Aisyah Ra. ditanya oleh para sahabat tentang akhlak Rasulullah Saw., maka dia mengatakan bahwa akhlak (budi pekerti) beliau adalah al-

33

Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ahmad, hadis no. 8595.

34

Lihat Q.S. al-Qalam (68): 4.

119

Qur`an.35 Maksudnya, akhlak beliau persis seperti nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam al-Qur`an. Akhlak beliau merupakan cerminan ajaranajaran yang terkandung dalam al-Qur`an. Tidak ada satu nilai akhlak pun dalam

al-Qur`an

kecuali

nilai

akhlak

itu

ada

pada

diri

Rasululllah.

Kemuliaan dan kesempurnaan akhlak beliau itu sangat terkait dengan tugas beliau untuk menyempurnakan makârim al-akhlâq dan juga tugas sebagai pengemban misi dakwah. Inilah yang harus dicontoh oleh para pengemban misi dakwah, termasuk para pengemban amar makruf nahi mungkar. Pentingnya

karakteristik

menjaga

nilai-nilai

akhlak

ini

bagi

pengemban amar makruf nahi mungkar berkaitan erat dengan tujuan amar makruf

nahi

mungkar

pada

khususnya

dan

dakwah

Islamiyyah

pada

umumnya, yaitu agar ajaran-ajaran Islam dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh manusia di muka bumi ini, di setiap tempat dan zaman, kapan dan di manapun mereka berada. Untuk mencapai tujuan itu, maka para pengemban

misi

menjunjung

tinggi

dakwah nilai-nilai

dan

amar

akhlak

makruf

sehingga

nahi

mungkar

perkataan

mereka

harus akan

diterima oleh mad'û (obyek dakwah), kemudian segala tindak-tanduk dan perbuatan mereka pun akan menjadi teladan yang baik bagi setiap mad'û. Mereka harus mengikuti jejak Rasulullah Saw., yaitu menerapkan nilainilai akhlak yang terkandung dalam al-Qur`an al-Karîm. Pengertian ini senada dengan perintah Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. pada khususnya dan para da'i pada umumnya untuk menyeru manusia kepada jalan Tuhan dengan menggunakan metode hikmah dan pelajaran yang 35

Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Jumu'ah, hadis no. 939, dan kitab al-Da'awât, hadis no. 5835; Muslim pada kitab Shalât al-Musâfirîn wa Qasruhâ, hadis no. 1215-1222; al-Nasâ`i pada kitab Qiyâmul Lail wa Tathawwu' al-Nahâr, hadis no. 1583; al-Tirmidzi pada kitab al-Shalâh, hadis no. 404; al-Tirmidzi pada kitab al-Shaum 'an Rasûlillâh, hadis no. 676; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Shalâh, hadis no. 1064.

120

baik, bahkan bila memang perlu ada perbantahan, maka perbantahan itu harus dilakukan dengan cara yang baik.36 Di antara ayat-ayat yang mengandung lafazh amar makruf nahi mungkar, ayat yang mengandung karakteristik menjaga nilai-nilai akhlak bagi pengemban amar makruf nahi mungkar ini adalah firman Allah Swt. pada Q.S. al-A'râf (7): 199. Pada ayat tersebut disebutkan lafazh khudz al'afwa (Jadilah engkau pemaaf). Yang dimaksud dengan al-akhdzu bi al'afwi adalah bersikap legowo terhadap perilaku dan perbuatan orang-orang yang menjadi obyek dakwah atau amar makruf nahi mungkar, serta tidak membebani mereka dengan hal-hal yang terasa berat oleh mereka dan tidak

pula

termasuk

ke

menyambung

memata-matai dalam tali

mereka.

katagori

silaturahim

Menurut

al-akhdzu terhadap

bi

Wahbah

al-Zuhaili,

yang

al-'afwi

ini

lain:

orang-orang

yang

antara

memutusnya,

memberi maaf kepada orang-orang yang berbuat zhalim, bersikap lembut kepada orang-orang mukmin, serta menjaga akhlak-akhlak lainnya yang menjadi ciri khas orang-orang yang taat.37 Pada ayat tersebut juga terdapat lafazh wa a'ridh 'an al-jâhilîn (dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh). Maksudnya, janganlah kamu mengikuti perbuatan mereka, jauhilah mereka dan janganlah kamu terus bersama

mereka.

Lafazh

ini

mengandung

pengertian

bahwa

ketika

seseorang sedang menegakkan amar makruf nahi mungkar, tidak tertutup kemungkinan ada sebagian orang bodoh yang ingin mengganggu atau menyakitinya, atau ada sebagian orang yang ketidaksukaannya kepada apa yang dilakukan oleh pengemban amar makruf nahi mungkar menyebabkan 36

Lihat Q.S. al-Nahl (16): 125.

37

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 9, h. 217.

121

mereka melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan terhadapnya. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi pengemban amar makruf nahi mungkar kecuali dengan berpaling dari mereka, dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari kejahatan mereka. Meskipun demikian, orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar dituntut untuk memaafkan mereka dan tidak melakukan balas dendam terhadap mereka. Hal ini disebabkan karena sifat suka memberi maaf merupakan salah satu akhlak terpuji yang memiliki keutamaan besar. Dalam surah Âli 'Imrân, setelah Allah Swt. menyuruh orang-orang yang beriman

untuk

bersegera

meraih

ampunan-Nya

dan

berusaha

untuk

mendapatkan surga yang seluasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, Allah Swt. pun menyebutkan ciri-ciri orang-orang

yang

bertakwa

itu,

mereka

adalah

orang-orang

yang

menafkahkan hartanya di jalan Allah, baik di waktu lapang maupun sempit,

serta

orang-orang

kesalahan orang lain.

yang

menahan

amarahnya

dan

memaafkan

38

Di ayat lain, Allah Swt. menegaskan bahwa pemberian maaf adalah lebih dekat kepada ketakwaan. Maksudnya, jika seseorang dizhalimi atau diperlakukan

tidak

baik

oleh

orang

lain,

kemudian

dia

memaafkan

kesalahan atau perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh orang lain itu, maka dia telah mendekati derajat takwa, atau dengan kata lain, apa yang dilakukannya itu merupakan cerminan ketakwaan dirinya.39

38

Lihat Q.S. Âli 'Imrân (3): 133 dan 134.

39

Lihat Q.S. al-Baqarah (2): 237.

122

Ayat

lain

yang

mengandung

karakteristik

menjaga

nilai-nilai

akhlak bagi pengemban amar makruf nahi mungkar adalah firman Allah Swt. dalam Q.S. Luqmân (31): 17. Di sana disebutkan salah satu akhlak mulia yang memiliki hubungan erat dengan tugas amar makruf nahi mungkar. Sifat yang dimaksud adalah sifat sabar. Yang dimaksud dengan sifat sabar di sini adalah kuat dan tahan dalam menghadapi berbagai macam musibah atau cobaan yang ada dalam kehidupan ini. Sifat tersebut terkandung dalam firman Allah Swt. "washbir 'alâ mâ ashâbak" (dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu). Sebagaimana diketahui, sifat sabar juga merupakan akhlak mulia yang memiliki keutamaan besar. Dalam surah al-Baqarah, Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk memberikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa

musibah,

mereka

mengucapkan

"Innâ

lillâhi

wa

innâ

ilaihi

râji'ûn" (Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nya kami akan

kembali).

Maksudnya,

orang-orang

yang

menyadari

sepenuhnya

bahwa apa yang mereka miliki adalah milik Allah, sehingga ketika Allah menguji mereka dengan suatu musibah atau cobaan yang menyebabkan apa yang mereka miliki itu hilang darinya, mereka pun menerimanya dengan ikhlas tanpa ada perasaan emosi atau kesal sedikitpun. Di akhir ayat, Allah menegaskan bahwa mereka itu akan mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka adalah orangorang yang mendapat petunjuk.40 Sifat sabar sangat dibutuhkan oleh pengemban amar makruf nahi mungkar, 40

karena

pada

umumnya,

Q.S. al-Baqarah (2): 155-157.

orang yang menyuruh

kepada

yang

123

makruf dan mencegah dari yang mungkar akan menghadapi berbagai hal yang

tidak

menyenangkan

menyakitkan

hatinya

bagi

ataupun

dirinya,

baik

perbuatan

tidak

berupa

perkataan

menyenangkan

yang yang

dilakukan terhadapnya. Karena itu, seorang pengemban amar makruf nahi mungkar pun dituntut untuk bersabar ketika sedang mengemban tugasnya yang mulia itu. Berdasarkan hal ini, maka ketika menasehati puteranya untuk

menegakkan

amar

makruf

nahi

mungkar,

Luqman

pun

memerintahkan puteranya itu untuk bersabar dalam menghadapi apa yang akan

menimpanya.

Bahkan,

Luqman

menegaskan

bahwa

hal

itu

merupakan salah satu hal yang diwajibkan Allah Swt..41

2. Bertaubat Kata

taubat pada umumnya diartikan

sebagai

upaya penyesalan

atas perbuatan buruk di masa lalu yang disertai dengan tekad yang bulat untuk tidak mengulanginya di masa-masa mendatang.42 Taubat merupakan upaya

untuk

kembali

ke

jalan

Allah.

Sebagaimana

diketahui,

setiap

manusia yang lahir ke dunia ini berada di jalan yang benar atau berada pada jalan (agama) Allah, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis yang menyatakan bahwa setiap manusia atau insan dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), dan orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,

41

42

Q.S. Luqmân (31): 17.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Hisyâm ibn 'Ammâr dari Sufyân, dari 'Abd al-Karîm al-Jazari, dari Ziyâd ibn Abî Maryam, dari Ibn Ma'qil, dari Abdullah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Penyesalan adalah taubat.'' Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Mâjah pada kitab al-Zuhd, hadis no. 4242; dan Ahmad pada kitab Musnad al-Muktsirîn min al-Shahâbah, hadis no. 3387, 3811 dan 3914.

124

Nasrani

Majusi.43

atau

Akan

tetapi

dalam

perjalanannya

menjelajahi

kehidupan dunia ini, dia mengalami berbagai macam godaan syetan yang dilakukan

syetan

guna

menjerumuskan

manusia

ke

dalam

lembah

kehinaan dan kenistaan, sebagai wujud permusuhannya kepada manusia. Permusuhan syetan ini diawali oleh rasa dendam Iblis kepada Nabi Adam As., karena dirinya telah diusir dari surga dan akan dimasukkan ke dalam

neraka

untuk

selama-lamanya

sebagai

hukuman

atas

sikap

durhakanya kepada Allah Swt. dengan tidak menuruti perintah-Nya untuk sujud kepada Adam As.. Alih-alih bertaubat kepada Allah Swt. karena telah diberi hukuman atas sikapnya itu, Iblis malah semakin benci dan dengki

kepada

Adam.

Dia

mengajukan

permohonan

agar

hukumannya

ditunda sehingga dia dapat melakukan balas dendam terhadap Adam dan keturunannya.

Setelah

permohonannya

disetujui,

Iblis

memproklamirkan

permusuhannya kepada Adam dan keturunannya. Kemudian dia berjanji akan berusaha terus untuk memalingkan keturunan Adam dari al-shirâth al-mustaqîm

(jalan

yang

lurus)

dengan

menggunakan

berbagai

macam 44

cara, seperti ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. al-A'râf (7): 16-17.

Dari

sini, maka tidak sedikit manusia yang terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan maksiat, tidak sedikit manusia yang tidak kuat menghadapi godaan Iblis dan bala tentaranya hingga akhirnya mereka pun jatuh ke dalam lembah kenistaan atau perbuatan dosa.

43

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Janâ`iz, hadis no. 1296; Muslim pada kitab al-Qadr, hadis no. 4803-4809; al-Tirmidzi pada kitab al-Qadr 'an Rasûlillâh, hadis no. 2064; al-Nasâ`i pada kitab al-Janâ`iz, hadis no. 1923 dan 1924; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Sunnah, hadis no. 4091. Hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan melalui jalur Âdam dari Ibn Abî Dzi`b, dari al-Zuhri, dari Abû Salâmah ibn Abdirrahmân, dari Abu Hurairah Ra.. 44

Lihat Majdi al-Hilâli, Halummû iIâ Rabbikum, (Kairo: Dâr al-Tauzî' wa alNasyr al-Islamiyyâh, 2004), cet. ke-1, h. 11-12.

125

Akan Allah

tetapi

pun

berkat

memberikan

kasih

sayang-Nya

kesempatan

kesalahan-kesalahan

yang

telah

kesalahan-kesalahan

itu, dengan

kepada

kepada manusia

hamba-hamba-Nya, untuk

dilakukannya,

seberapa

cara bertaubat.

Allah

menghapus

pun

besarnya

selalu

membuka

pintu taubat bagi siapapun selama ruhnya belum sampai tenggorokan atau sebelum meninggal dunia.45 Akan tetapi taubat ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh

dan

tidak

main-main,

yaitu

dengan

cara

menyesali

perbuatan dosa yang dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Menurut al-Ghazâli dalam kitab Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, taubat setidaknya harus

mewakili

meninggalkan berkomitmen

tiga

hal:

perbuatan untuk

tidak

pertama,

dosa

kembali

dengan

mengulangi

penuh dosa

mengingat penyesalan; yang

sama

Allah;

kedua,

dan

ketiga,

dan

berusaha

menggantinya dengan perbuatan baik.46 Taubat seperti ini diistilahkan oleh al-Qur`an dengan istilah taubatan nashûhan.47 Dalam al-Qur`an al-Karîm, banyak sekali ayat yang menunjukkan keutamaan

ataupun

manfaat

dari

taubatan

nashûhan

seperti

ini,

di

antaranya adalah ayat yang menyatakan bahwa dosa-dosa atau kejelekankejelekan seorang hamba akan dihapus bila dia mau bertaubat, kemudian kejahatannya akan diganti Allah dengan kebajikan.48 Selain itu, juga ayat yang

menegaskan

bahwa

orang-orang

yang

bertaubat,

lalu

dia

mau

beriman dan beramal saleh, maka mereka akan masuk surga dan tidak

45

Majdi al-Hilâli, Halummû iIâ Rabbikum, h. 25.

46

Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, (Mesir: al-Maktabah al-Misriyyah, 1998), jilid 4, h. 8. 47

Istilah ini disebutkan Allah Swt. dalam Q.S. al-Tahrîm (66): 8.

48

Lihat Q.S. al-Furqân (25): 70.

126

dianiaya atau dirugikan sedikitpun.49 Artinya, taubat yang mereka lakukan tidak akan sia-sia dan akan diperhitungkan oleh Allah Swt. sebagai amal yang akan menutup dosa-dosa mereka. Taubat merupakan satu hal yang dicintai Allah Swt., karena Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu selalu menginginkan kebaikan dan kesuksesan bagi hamba-hamba-Nya dalam melewati masa-masa penuh ujian di dunia ini. Allah Swt. akan merasa gembira atas taubat mereka dan kembalinya mereka ke al-shirâth al-mustaqîm (jalan yang lurus). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad ibn al-Shabbah dan Zuhair ibn Harb, dari Umar ibn Yûnus, dari 'Ikrimah ibn 'Ammâr, dari Ishaq ibn Abdullah ibn Abî Thalhah, dari Anas ibn Malik –pamannya-, Rasulullah

Saw.

membuat

sebuah

perumpamaan

yang

menggambarkan

kegembiraan Allah tersebut. Beliau menegaskan bahwa Allah Swt. lebih gembira dengan taubatnya salah seorang hamba-Nya ketika dia bertaubat kepada-Nya, daripada salah seorang manusia yang berada di atas hewan tunggangannya

di

sebuah

daerah

yang

gersang,

kemudian

hewan

tunggangan itu lepas padahal di atasnya ada makanan dan minuman orang itu,

hingga akhirnya orang itu merasa putus asa; Tetapi ketika dia

mendatangi sebuah pohon, lalu dia berbaring di bawah rindangnya pohon itu, sementara harapan untuk menemukan kembali hewan tunggangannya sudah putus, tiba-tiba hewan itu sudah berdiri di sampingnya, maka dia pun langsung mengambil tali kekang hewan tersebut; Dan karena begitu

49

Q.S. Maryam (9): 60.

127

gembiranya, dia pun berkata: "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu". Dia telah berkata salah karena saking gembiranya.50 Pengemban amar makruf nahi mungkar memahami benar hakekat ini, karena menurut Majdi al-Hilâli dalam buku "Halummû iIâ Rabbikum", taubat dan amar makruf nahi mungkar memiliki tujuan yang sama, yaitu agar seorang hamba dapat meraih kesuksesan dalam menjalani ujian di dunia dan dapat kembali ke surga dengan selamat.51 Pengemban amar makruf nahi mungkar sadar bahwa dalam hidup ini, mereka tidak bisa lepas dari kesalahan dan dosa. Ada saja kesalahan dan dosa yang mereka lakukan, baik yang disengaja ataupun tidak. Selain itu, taubat dan amar makruf nahi mungkar, menurut mereka, memiliki hubungan yang erat. Ketika seseorang telah dicegah dari kemungkaran, maka dia pun dituntut untuk bertaubat dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut. Dalam ayat-ayat amar makruf nahi mungkar, karakteristik taubat ini hanya disebutkan di satu tempat yaitu pada Q.S. al-Taubah (9): 112. Pada

ayat

bertaubat).

tersebut Lafazh

ini

disebutkan disebutkan

lafazh

al-tâ`ibûn

bersamaan

dengan

(orang-orang lafazh-lafazh

yang lain

yang merupakan na't (sifat) dari al-mu`minîn (orang-orang yang beriman) yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Di antara lafazh-lafazh lain yang dimaksud adalah lafazh al-âmirûna bi al-ma’rûf wa al-nâhûna ‘an almunkar (yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar). Ini menunjukkan bahwa orang-orang mukmin sebagai umat atau kelompok

50 Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Da'awât, hadis no. 5834; Muslim pada kitab al-Taubah, hadis no. 4932; dan Ahmad pada kitab Bâqi Musnad al-Muktsirîn, hadis no. 12750. 51

Majdi al-Hilâli, Halummû iIâ Rabbikum, h. 27.

128

yang berpotensi untuk mengemban amar makruf nahi mungkar memiliki karakteristik selalu bertaubat kepada Allah.

3. Selalu Memuji Allah Karakteristik

khusus

ketiga

dari

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar adalah selalu memuji Allah. Karakteristik ini disimpulkan dari lafazh al-hâmidûn (yang memuji), yang juga terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112. Menurut Wahbah al-Zuhaili, maknanya adalah selalu memuji Allah dalam setiap kondisi,52 baik ketika sedang senang ataupun susah. Makna ini senada dengan pengertian hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. selalu memuji Allah Swt. dalam kondisi apapun, baik ketika melihat sesuatu yang beliau senangi ataupun sesuatu yang tidak disenangi. Dalam hadis tersebut, disebutkan bahwa ketika beliau melihat sesuatu yang disukai, beliau mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna", sedangkan ketika melihat sesuatu yang tidak disukai, beliau mengucapkan: "Segala puji bagi Allah

dalam

Muslim

setiap

bahwa

keadaan."53

apapun

yang

Hadis

dihadapi

ini

mengajarkan

olehnya,

baik

kepada

yang

setiap

disukainya

ataupun tidak, merupakan perbuatan Allah yang harus tetap dipuji dan tidak boleh dicela, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Sempurna dan Maha Mengetahui segala sesuatu sehingga Dia tidak mungkin berbuat zhalim kepada siapapun. 52

53

Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz. 11, h. 52.

Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ibn Mâjah. Dia meriwayatkannya melalui jalur Hisyâm ibn Khâlid al-Azraq Abû Marwân, dari al-Walîd ibn Muslim, dari Zuhair ibn Muhammad, dari Manshûr ibn Abdurrahmân, dari ibunya, Shafiyyah binti Syaibah, dari Âisyah Ra.. Dia menyebutkan hadis ini dalam kitab al-Âdâb, hadis no. 3793.

129

Kata al-hâmidûn merupakan bentuk jamak dari al-hâmid, ism fâ`il dari

kata al-hamd

(pujian).

Yang dimaksud

dengan

al-hamd (pujian)

adalah mensifati Dzat yang dipuji (Allah Swt.) dengan sifat-sifat yang menunjukkan kesempurnaan, dengan disertai perasaan cinta dan ta'zhîm (pengagungan) kesempurnaan

kepada-Nya. pada

Kesempurnaan

Dzat-Nya

(al-kamâl

yang

adz-dzâti)

dimaksud dan

adalah

kesempurnaan

pada perbuatan-Nya. Allah Swt. Maha Sempurna, baik pada Dzat maupun sifat-sifat-Nya. Tidak ada satu kekuranganpun pada Dzat dan sifat-sifat Allah itu. Demikian pula pada perbuatan-Nya, karena perbuatan Allah itu berkisar antara sikap adil dan sikap berbuat baik. Dia tidak mungkin akan berbuat

zhalim

memperlakukan

kepada

mereka.

hamba-hamba-Nya

Ada

dengan

kemungkinan adil

dan

ada

Dia

akan

kemungkinan

pula Dia akan berbuat baik kepada mereka. Terhadap orang yang berbuat keburukan, Dia akan memperlakukannya dengan adil. Dalam sebuah ayat, Allah Swt. menegaskan bahwa Dia akan membalas kejahatan dengan kejahatan pula, atau dengan kata lain, balasan untuk suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.54 Demikian pula sebaliknya, terhadap orang yang berbuat kebaikan, Allah Swt. akan memperlakukannya dengan cara memberikan kebaikan kepadanya. Dalam salah satu ayat, Dia menjelaskan bahwa barangsiapa membawa

amal

yang

baik,

maka

baginya

pahala

sepuluh

kali

lipat

amalnya.55 Dari sini, dapat disimpulkan bahwa Allah Swt. tidak berbuat zhalim sedikitpun dan kepada siapapun. Balasan yang Dia berikan kepada setiap orang, disesuaikan dengan amal yang telah dilakukannya. Menurut Qâsim ibn Shâlih al-Fahd dalam buku "10 Durûs Fî Tadabburi Ma'ânî 54

Q.S. al-Syûrâ (42): 40.

55

Q.S. al-An'âm (6): 160.

130

Aqwâl

al-Shalâh",

tidak

diragukan

lagi

bahwa

Dzat

yang

perbuatan-

perbuatan-Nya berkisar antara dua hal ini -sikap adil dan berbuat baikmerupakan Dzat yang perbuatan-perbuatan-Nya terpuji, sebagaimana sifatsifat-Nya juga terpuji.56 Kesempurnaan Allah Swt. tercermin pada alam semesta ini dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, yaitu segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Segala sesuatu yang ada alam semesta ini, baik berupa sistem penataan alam yang begitu rapi, keindahannya yang luar biasa, aturan-aturan bijaksana

(hukum-hukum)

yang

terkandung

yang di

adil,

dalamnya,

maupun

maksud-maksud

menunjukkan

adanya

yang

hakekat

kesempurnaan. Sa'îd al-Nursi menegaskan bahwa semua itu merupakan bukti nyata atas kesempurnaan Allah Swt., Dzat Yang Maha sempurna yang telah menciptakan alam semesta ini dari tiada menjadi ada dan telah mengatur

segala

sesuatu

dengan

sistem

pengaturan

yang

indah

dan

57

menakjubkan.

Pengemban amar makruf nahi mungkar telah mengetahui hakekat ini. Maka, mereka pun menyikapi segala sesuatu yang mereka hadapi, baik berupa hal-hal yang buruk ataupun hal-hal yang baik, dengan sikap-sikap yang mencerminkan pujian mereka kepada Allah Swt., Dzat Yang Maha Sempurna. Bila ada hal buruk yang menimpa mereka, terutama ketika sedang menegakkan amar makruf nahi mungkar, mereka menyikapinya dengan cara bersabar, tidak emosi dan tidak pula frustasi. Sebab, mereka meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa hal itu merupakan ujian dari 56 Qâsim ibn Shâlih al-Fahd, 10 Durûs Fî Tadabburi Ma'ânî Aqwâl al-Shalâh, (Riyadh: Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî', 2005), cet. ke-3, h. 13-14. 57 Sa'îd al-Nursi, al-Âyâh al-Kubrâ, (Kairo: Syirkah Sozler li al-Nasyr, 2000), cet. ke-3, h. 126.

131

Allah Swt., lalu mereka meyakini bahwa di balik apa yang menimpanya itu terkandung hikmah tertentu yang hanya diketahui secara pasti oleh-Nya saja. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa Allah Swt. tidak akan menzhalimi hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, bila ada hal baik yang mereka dapatkan, mereka akan menyikapinya

dengan

cara

bersyukur

kepada

Allah.

Mereka

meyakini

bahwa hal yang baik itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Kondisi mereka itu persis seperti yang dijelaskan oleh Nabi Saw. ketika menggambarkan tentang sosok orang Mukmin, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Haddâb ibn Khâlid al-Azdi dan Syaibân ibn Farrûkh dari Sulaimân ibn al-Mughîrah, dari Abdurrahmân ibn Abî Lailâ, dari Shuhaib, orang

yang

menyatakan

Mukmin

karena

bahwa

dia

selalu

Rasulullah

Saw.

menyikapi

mengagumi

segala

sesuatu

sosok yang

dihadapinya dengan sikap yang baik; Jika ada hal yang menyenangkan hatinya maka dia akan bersyukur, sebaliknya jika ada hal yang tidak menyenangkan hatinya maka dia akan bersabar.58 Demikianlah kondisi para pengemban amar makruf nahi mungkar. Mereka tetap memuji Allah dalam kondisi apapun, baik ketika senang ataupun

susah,

ketika

tertimpa

musibah

ataupun

memperoleh

nikmat.

Mereka selalu yakin bahwa apa yang dihadapi mereka ketika sedang menegakkan 58

amar

makruf

nahi

mungkar,

baik

berupa

respon

positif

Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim pada kitab al-Zuhd wa al-Raqâ`iq, hadis no. 5318; Ahmad pada kitab Awwal Musnad al-Kûfiyyîn, hadis no. 18171 dan 18175; dan al-Dârimi pada kitab al-Raqâq, hadis no. 2658. Lafazh hadis yang diriwayatkan oleh Syaibân ibn Farrûkh adalah sebagai berikut: "Rasulullah Saw. bersabda: 'Sungguh menakjubkan kondisi orang Mukmin. Segala kondisinya merupakan kebaikan, dan hal itu hanya dimiliki oleh orang Mukmin; Jika dia mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, dia akan bersyukur hingga hal itu akan menjadi kebaikan baginya; dan jika tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan, dia akan bersabar hingga sesuatu yang tidak menyenangkan itu pun akan menjadi kebaikan baginya.'"

132

ataupun negatif dari orang yang diajaknya untuk melakukan kebaikan atau meninggalkan kemungkaran, pada hakekatnya adalah ujian dari Allah Swt. bagi diri mereka. Jika responnya positif, maka hal itu merupakan ujian bagi mereka apakah mereka mau bersyukur ataukah tidak. Sebaliknya, bila responnya negatif, maka hal itu merupakan ujian bagi mereka apakah mereka mau bersabar ataukah tidak.

4. Memiliki Semangat Jihad (Juang) Karakteristik khusus keempat dari pengemban amar makruf nahi mungkar

adalah

memiliki

semangat

jihad

atau

semangat

juang.

Karakteristik ini disimpulkan dari lafazh al-sâ`ihûn (yang melawat) yang terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112. Mengenai makna al-sâ`ihûn, ada beberapa

pendapat:

(1)

Orang-orang

yang

berpuasa;

Sufyân

al-Tsauri

meriwayatkan dari 'Âshim, dari Dzarr, dari Abdullâh ibn Mas'ûd bahwa dia

berkata:

"Makna

al-sâ`ihun

adalah

al-shâ`imun

(orang-orang

yang

berpuasa)." (2) Orang-orang yang berjihad di jalan Allah; Abû Dâwud meriwayatkan hadis Abû Umâmah yang menyebutkan bahwa ada seorang laki-laki

berkata kepada Nabi: "Wahai

Rasulullah,

izinkan

aku

untuk

melawat!" Nabi Saw. pun menjawab: "Melawatnya umatku adalah dengan berjihad di jalan Allah." (3) Para pencari ilmu, seperti yang diriwayatkan dari 'Ikrimah. (4) Orang-orang yang berhijrah, seperti yang diriwayatkan dari Abdurrahmân ibn Zaid ibn Aslam.59 Meskipun demikian, keempat arti tersebut mengarah pada satu pengertian, yaitu memiliki semangat jihad atau semangat juang. Sebab pada hakekatnya, orang yang berpuasa sedang berjuang melawan hawa nafsu, orang-orang yang berjuang di jalan Allah 59

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-Azhîm, jilid 2, h. 356-357.

133

sedang berjuang melawan musuh-musuh Allah, para pencari ilmu sedang berjuang

melawan

kebodohan,

sedangkan

orang-orang

yang

berhijrah

sedang berjuang melawan kemusyrikan dan kekufuran. Hakekat perbuatan mereka adalah sama yaitu berjuang atau berjihad melawan sesuatu yang harus mereka kalahkan, hanya saja yang menjadi obyek atau sasarannya berbeda-beda. Secara untuk

umum,

keadilan

dan

jihad

merupakan

kebenaran.

sebuah

Sarjana-sarjana

usaha

atau

Muslim

perjuangan

klasik

telah

membagi usaha dan perjuangan ini menjadi tiga katagori. Ibn Taimiyyah, misalnya,

menganggap

bahwa

jihad

terkadang

bisa

dilakukan

dengan

menggunakan hati, terkadang dengan menggunakan lidah, dan terkadang dengan harus dengan menggunakan tangan (kekuasaan). Jihad hati adalah perjuangan seseorang melawan kelemahan dan kejahatan batinnya sendiri. Jihad ini sering disebut dengan jihâd akbar (jihad terbesar), seperti yang telah diistilahkan oleh Nabi Saw..60 Dalam

Islam,

jihad

dengan

menggunakan

kekuatan

senjata

dianggap sebagai salah satu hal penting dan merupakan perbuatan terbaik setelah iman kepada Allah Swt.. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika Rasulullah Saw. ditanya oleh para sahabat tentang perbuatan yang paling utama atau paling baik, maka beliau pun memberikan beberapa jawaban secara berurutan yaitu: iman kepada Allah, jihad di jalan Allah dan haji yang mabrur.61

60

Ziauddin Saloral, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), cet. ke-

1, h . 21. 61

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Îmân, hadis no. 25; Muslim pada kitab al-Îmân, hadis no. 118; al-Tirmidzi pada kitab Fadhâ`il al-Jihâd 'an Rasûlillâh, hadis no. 1582; al-Nasâ`i pada kitab Manâsik al-Hajj, hadis no. 2577; dan al-

134

Menurut Muhammad Rajab Syatawî dalam bukunya yang berjudul al-Da’wah al-Islâmiyah, paling tidak ada dua alasan utama mengapa jihad dengan

menggunakan

kekuatan

senjata

diperintahkan

dalam

Islam.

Pertama, untuk membentengi diri dari musuh. Kedua, menjaga tegaknya dakwah Islam

dan dan

menjaga

keutuhan

membangun

negara

negara Islam

demi

mewujudkan

yang

baik.

masyarakat

Jihad

-dengan

menggunakan kekuatan senjata- ini pernah diperkenalkan oleh Rasulullah Saw. pada awal masa Islam, dan hal itu bukanlah karena beliau suka membunuh ataupun berperang, tetapi jihad itu ditempuh guna melindungi diri

dan

akidah

setelah

semua

upaya

membina

kesepahaman

dengan

musuh gagal diwujudkan.62 Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu lebih bersifat defensive (pertahanan) daripada offensive (penyerangan). Mengenai hal ini, Fazhur Rahmân pernah menegaskan bahwa alQur`an menghendaki agar kaum Muslimin menegakkan tata politik di atas dunia untuk menciptakan tata sosial-moral yang egalitarian dan adil. Tata sosial-moral ini tentu akan menghilangkan "penyelewengan di atas dunia" (fasâd fi al-ardh). Untuk tujuan itulah, al-Qur`an menyerukan jihad.63

Nasâ`i pada kitab al-Jihâd, hadis no. 3079. Redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut: "Ahmad ibn Yûnus dan Mûsâ ibn Ismâ'il menceritakan kepada kami, Ibrâhim ibn Sa'ad menceritakan kepada kami, Ibn Syihâb menceritakan kepada kami dari Sa'id ibn alMusayyab, dari Abû Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. ditanya: "Perbuatan apa yang paling utama?" Beliau pun menjawab: "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya." Sang penanya bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Jihad di jalan Allah." Sang penanya bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Haji yang mabrur." 62

Muhammad Rajab Syatawî, al-Da’wah al-Islâmiyah, (Kairo: Dâr al-Thibâ'ah al-Muhammadiyyah, 1990), cet. ke-1, h. 177. 63

Fazhur Rahmân, Major Themes of The Qur`an, (alih bahasa: Wahyuddin, Tema Pokok al-Qur`an), (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), cet. ke-2, h. 92.

Anas

135

Pada masa sekarang ini, semangat jihad harus diarahkan dengan benar. Sebab secara umum, jihad melawan musuh dengan menggunakan kekuatan senjata hampir dapat dikatakan sudah tidak ada, kecuali hanya di beberapa daerah tertentu saja. Menurut Thal'at Muhammad Afîfi dalam bukunya yang berjudul Shafhât Musyriqât Min Hayât al-Shahâbiyât, ada jihad yang lebih penting dan lebih relevan untuk diterapkan pada zaman modern sekarang ini, yaitu jihad dalam bentuk ghazwul fikri (perang pemikiran),

ghazwul

i'lâmi

(perang

informasi)

serta

perang

melawan

fitnah-fitnah lain yang bahayanya lebih besar daripada perang senjata ataupun pembunuhan.64 Pengemban amar makruf nahi mungkar harus memiliki semangat jihad yang tinggi, karena tugas mereka merupakan tugas yang menuntut adanya kesungguhan dan keteguhan hati. Apalagi pada masa sekarang ini, masa

yang penuh

dengan

tantangan

dan

hambatan.

Dengan

memiliki

semangat jihad tinggi, mereka pun akan tetap tegar dan tidak mudah patah semangat dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan hambatan. Ini disebabkan karena semangat jihad ini berkaitan erat dengan sifat sabar, sifat yang sangat dibutuhkan oleh pengemban amar makruf nahi mungkar. Bila seorang pengemban amar makruf nahi mungkar memiliki semangat jihad tinggi, maka hampir dapat dipastikan dia akan memiliki tingkat kesabaran yang tinggi pula. Dia tidak akan mudah putus asa dan mengeluh meskipun

apa

yang

sedang

dihadapinya

terasa

sangat

berat

baginya.

Sebaliknya, bila seorang pengemban amar makruf nahi mungkar memiliki semangat jihad rendah, maka hampir dapat dipastikan pula bahwa dia akan memiliki tingkat kesabaran yang rendah pula sehingga dia akan mudah

64 Thal'at Muhammad Afîfi, Shafhât Musyriqât Min Hayât al-Shahâbiyât, (Mesir: Dâr al-Salâm, 2005), cet. ke-1, h. 94.

136

putus asa ketika menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya ketika sedang melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar. Dengan

semangat

jihad

yang

tinggi,

disertai

dengan

kesabaran

yang tinggi pula, pengemban amar makruf nahi mungkar akan terus berusaha untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar, walau apapun yang

terjadi,

sehingga

mereka

benar-benar

dapat

menegakkan

hukum-

hukum Allah dan mewujudkan i'lâ`u Kalimâtillâh di muka bumi.

5. Bersegera Mengerjakan Kebajikan Karakteristik mungkar

adalah

khusus bersegera

kelima

dari

pengemban

mengerjakan

kebajikan.

amar

makruf

Karakteristik

nahi ini

difahami dari lafazh wayusâri'ûna fi al-khairât (bersegera mengerjakan pelbagai kebajikan) yang terdapat pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 114, yang digandengkan dengan lafazh ya`murûna bi al-ma'rûf wa yanhauna 'an almunkar

(menyuruh

kepada

yang

makruf,

dan

mencegah

dari

yang

mungkar). Seperti yang telah dijelaskan pada poin karakteristik beriman kepada Allah dan hal-hal yang wajib diimani, ayat ini menjelaskan tentang sekelompok orang di antara ahli kitab yang memiliki sifat-sifat tertentu yang

membedakan

diri

mereka

dengan

orang-orang

ahli

kitab

pada

umumnya. Di antara sifat yang dimaksud adalah bersegera melakukan kebajikan. Yang dimaksud dengan bersegera melakukan kebajikan adalah bersegera untuk melakukan kebajikan bila waktunya telah tiba dan tidak bermalas-malasan dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan RasulNya.

137

Bersegera

mengerjakan

mengerjakannya keseriusan,

saja,

kebajikan

tetapi

kesempurnaan

ia

dan

berarti

tidak

mengandung

kecepatan.

hanya

unsur

Ketika

sekedar

kesungguhan,

menafsirkan

firman

Allah Swt.( dalam surah al-Baqarah yang mengandung perintah kepada orang-orang

Mukmin

untuk

berlomba-lomba

mengerjakan

kebaikan65,

Fâlih ibn Muhammad al-Shaghîr dalam bukunya yang berjudul Hadîts Bâdirû Bi al-A'mâl Sittan: Dirâsah Hadîtsiyyah Da'awiyyah Nafsiyyah mengutip perkataan Ibn Sa'di yang menjelaskan bahwa perintah untuk berlomba-lomba mengerjakan kebajikan lebih dari sekedar perintah untuk mengerjakan

kebajikan

mengerjakan

saja,

kebajikan

menyempurnakannya,

karena

upaya

mengandung

melakukannya

untuk

makna

dalam

berlomba-lomba mengerjakannya,

kondisi

yang

paling

sempurna, serta bersegera mengerjakannya. Barangsiapa yang lebih dulu melakukan kebajikan di dunia, maka dia akan lebih dulu menuju ke surga. Orang-orang

yang

lebih

dulu

melakukan

kebajikan

merupakan

orang-

orang yang memiliki kedudukan atau derajat paling tinggi.66 Bersegera mendatangkan

mengerjakan

keridhaan

kesalahan-kesalahan,

kebajikan

Allah,

memasukkan

merupakan

dapat meningkatkan pelakunya

ke

sesuatu

yang dapat

derajat, menghapus dalam

surga

dan

menyelamatkannya dari api neraka. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Swt. dalam salah satu ayat di surah Âli 'Imrân yang mengandung perintah kepada orang-orang Mukmin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya supaya mereka diberi rahmat, dan juga perintah untuk bersegera mengejar 65

Q.S. al-Baqarah (2): 148.

66 Fâlih ibn Muhammad al-Shaghîr, Hadîts Bâdirû Bi al-A'mâl Sittan: Dirâsah Hadîtsiyyah Da'awiyyah Nafsiyyah, (Riyadh: Dâr Ibn al-Atsîr, 1426 H), cet. ke-2, h. 16.

138

ampunan Tuhan dan berusaha meraih surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.67 Dari sini, maka kaum Salaf al-Shâlih pun memberikan perhatian khusus

terhadap

upaya

untuk

bersegera

melakukan

berbagai

macam

kebajikan, baik yang berkaitan dengan iman maupun amal-amal saleh seperti

shalat,

ditujukan

zakat,

shadaqah

dan

berbagai

macam

kebaikan

yang

kepada sesama manusia. Ketika menggambarkan sosok Nabi

Yahya dan keluarganya, Allah Swt. memuji mereka dengan mengatakan bahwa

mereka

adalah

orang-orang

yang

selalu

bersegera

dalam

(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik, lalu mereka berdoa kepada Allah

dengan

harap

dan

cemas.68

Pujian

ini,

tentunya,

tidak

hanya

dikhususkan untuk Nabi Yahya dan keluarganya saja, melainkan juga untuk setiap orang Mukmin yang benar-benar bertakwa seperti mereka. Dalam hal ini, seorang Muslim dituntut untuk mengikuti jejak kaum Salaf al-Shâlih itu, yang merupakan orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah Swt.. Ketika menggambarkan sosok mereka, Allah Swt. menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh-Nya, karena itu Dia pun memerintahkan kepada orang-orang Mukmin untuk mengikuti petunjuk mereka.69 Di tempat lain, Allah Swt. menggambarkan sosok mereka dengan mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang

yang

kembali

ke

jalan-Nya,

karena

itu

Dia

juga

memerintahkan hal yang sama kepada orang-orang Mukmin.70 Dalam

banyak

hadis,

Rasulullah

Saw.

juga

telah

memberikan

dorongan kepada umatnya untuk segera melakukan kebajikan dan tidak 67

Lihat Q.S. Âli 'Imrân (3): 132-133. Lihat Q.S. al-Anbiyâ` (21): 90. 69 Lihat Q.S. al-An'âm (6): 90. 70 Lihat Q.S. Luqmân (31): 15. 68

139

menunda-nundanya.

Dalam

sebuah

hadis,

beliau

memerintahkan

kepada

setiap Muslim untuk menggunakan lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan. Lima kesempatan yang dimaksud adalah masa muda, masa sehat,

masa

kaya,

waktu

luang

dan

masa

hidup,

sedangkan

lima

kesempitan yang dimaksud adalah masa tua, masa sakit, masa fakir, waktu sibuk dan kematian.71 Pengemban orang

yang

amar

bersegera

makruf melakukan

nahi

mungkar

kebajikan

merupakan

dan

tidak

sekelompok

mau

menunda-

nundanya bila waktunya telah tiba. Mereka menggunakan kesempatankesempatan baik yang ada sebelum datang berbagai kesempitan. Mereka segera beranjak dari kesibukan mereka bila panggilan untuk mengerjakan kebajikan telah datang. Dalam hal mengerjakan kebaikan, mereka tidak mengenal istilah "nanti saja" atau "besok saja". Demikian pula ketika menegakkan amar makruf nahi mungkar, mereka segera menyuruh orang lain

untuk

mengerjakan

meninggalkannya.

Ketika

kebajikan melihat

bila satu

mereka

melihat

kemungkaran,

orang

mereka

itu

segera

berusaha untuk membasmi dan memeranginya serta tidak mau menunggu hingga kemungkaran itu merajalela. Semua itu mereka lakukan dengan ikhlas

hanya

untuk

mendapatkan

keridhaan

Allah

Swt.

semata

sebagaimana mereka juga mengharapkan hal itu melalui amar makruf nahi mungkar yang mereka tegakkan.

71

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab al-Mustadrak Lafazh hadis tersebut adalah sebagai berikut: "Pergunakanlah lima (kesempatan) datang lima (kesempitan): Masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa fakirmu, masa sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu."

(4/341). sebelum sehatmu luangmu

140

Demikianlah

penjelasan

tentang

karakteristik-karakteristik

pengemban amar makruf nahi mungkar yang dapat disimpulkan dari ayatayat

al-Qur`an

yang

mengandung

lafazh

amar

makruf

nahi

mungkar,

dalam berbagai derivasi dan ragam frasenya. Karakteristik-karakteristik ini perlu diketahui sehingga dapat menjadi pedoman bagi orang-orang yang ingin

berkecimpung

mungkar.

Bila

secara

pengemban

khusus

dalam

amar

makruf

bidang nahi

amar

makruf

mungkar

nahi

benar-benar

memiliki karakteristik-karakteristik seperti itu, maka amar makruf nahi mungkar yang merupakan control system dalam masyarakat dari mulai lingkungan terkecil yaitu keluarga, hingga lingkungan terbesar yaitu umat Islam

secara

keseluruhan,

dapat

berjalan

dengan

Amar

Makruf

optimal

dan

sesuai

harapan.

C.

Analisis

Terhadap

Gerakan

Nahi

Mungkar

di

Indonesia Pada masa sekarang ini, pengemban amar makruf nahi mungkar tidak hanya berupa sekelompok orang yang berjuang sendiri-sendiri dan tidak

terorganisir

dengan

baik

seperti

yang dilakukan

oleh

kelompok

ulama pada umumnya, melainkan juga berupa kelompok-kelompok orang yang

telah

melebur

dalam

berbagai

macam

lembaga

atau

organisasi

masyarakat, baik organisasi yang menggunakan label Islam ataupun tidak. Dalam hal ini, karakteristik-karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar -seperti yang telah dijelaskan di atas- harus diterjemahkan ke dalam bahasa visi dan misi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi tersebut,

untuk

kemudian

disosialisasikan

kepada

seluruh

orang

yang

tergabung di dalamnya sehingga dapat menjadi acuan bagi mereka dalam

141

menegakkan amar makruf nahi mungkar. Dalam pelaksanaan amar makruf nahi mungkar ini, setiap anggota diwajibkan untuk memperhatikan visi dan

misi

lembaga

atau

organisasi

mereka

yang

telah

mengandung

karakteristik-karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar tersebut. Dengan

cara

organisasi-organisasi makruf

nahi

seperti yang

mungkar

itu,

memiliki

benar-benar

diharapkan perhatian dapat

lembaga-lembaga khusus

mengemban

terhadap tugasnya

dan amar dengan

baik sesuai dengan tuntutan syariat Islam serta tidak akan melakukan tindakan-tindakan gegabah yang justru akan merusak citra mereka sebagai pengemban amar makruf nahi mungkar dan juga citra agama Islam sendiri di mata umat lain atau bahkan di mata masyarakat internasional. Bila hal ini terwujud, maka –insya Allah- akan tercipta sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi ajaran-ajaran Islam, yang pada akhirnya akan menjadi masyarakat

Islam

yang

hidup

sejahtera

dan

penuh

kedamaian,

persis

seperti negeri Saba` yang telah mendapat pujian dari Allah Swt. karena negeri itu mendapatkan limpahan karunia-Nya serta ampunan dari-Nya tetapi hal itu terjadi sebelum mereka berpaling dari ajaran-ajaran Allah Swt..72 Dalam tataran masyarakat Indonesia, ada sejumlah lembaga atau organisasi yang memiliki perhatian khusus terhadap upaya penegakkan amar makruf nahi mungkar di Indonesia, seperti FPI (Front Pembela Islam, Jama'ah Tabligh, Hizbut Tahrir, Majlis Mujahidin Indonesia dan lain

sebagainya.

Meskipun

secara

umum

organisasi-organisasi

tersebut

memiliki kesamaan salah satu misinya, yaitu menegakkan amar makruf nahi mungkar, akan tetapi dalam bagian analisis ini, penulis hanya akan menganalisa -tentunya karena keterbatasan waktu dan ruang- organisasi 72

Lihat Q.S. Saba` (34): 15.

142

FPI saja, karena FPI merupakan sebuah organisasi yang mengemban tugas amar makruf nahi mungkar, yang sangat terkenal di Indonesia karena aksiaksinya yang dianggap kontroversial sejak tahun 1998. Terutama yang dilakukan

oleh

laskar

Rangkaian

aksi

penutupan

tempat-tempat

yang

paramiliternya klub

diklaim

yakni

malam,

sebagai

Laskar

Pembela

tempat-tempat

tempat-tempat

Islam.

pelacuran

maksiat,

dan

ancaman

terhadap warga negara tertentu, sweeping terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain, merupakan wajah FPI yang paling sering diperlihatkan di media massa.73 FPI dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1998 atau 24 Rabiuts Tsani 1419 H di halaman Pondok Pesantren al-Um, Kampung Utan, Ciputat, di selatan Jakarta oleh sejumlah habaib, ulama, mubaligh dan aktivis Muslim serta disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama

antara

ulama

dan

umat

dalam menegakkan

amar

makruf

nahi

mungkar di setiap aspek kehidupan. Adapun latar belakang pendirian FPI sebagaimana diklaim oleh organisasi tersebut antara lain: 1. Adanya lemahnya

penderitaan kontrol

panjang sosial

umat

penguasa

Islam sipil

di

Indonesia

maupun

militer

karena akibat

banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. 2. Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. 3. Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan

73 Lihat Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia http://id.wikipedia.org, Front Pembela Islam, h. 2.

Bebas

Berbahasa

Indonesia,

143

martabat Islam serta umat Islam.74 Dalam

menjalankan

misinya

menegakkan

amar

makruf

nahi

mungkar, FPI telah melakukan sejumlah aksi yang dimaksudkan untuk memberantas Indonesia.

kemungkaran

Di

menentang

awal-awal

penerbitan

dan tahun

majalah

menegakkan 2006,

syariat

FPI

Playboy

begitu

Indonesia.

Islam

di

bumi

bersemangat

dalam

Aksi

nekat

Ponti

Corolus, Erwin Arnada dan kawan-kawan dengan menerbitkan majalah Playboy Indonesia dianggap Front Pembela Islam (FPI) dan ormas-ormas lainnya menantang kaum Muslimin. Maklum, di tengah debat sengit soal RUU APP, majalah Playboy Indonesia bernyali besar untuk hadir di tengah-tengah

masyarakat

Indonesia

yang

mayoritas

beragama

Islam.

Terbitnya majalah cabul ini juga menampar wajah umat Islam Indonesia di kancah internasional, khususnya dunia Islam. Majalah gaya hidup pria yang berasal dari Amerika Serikat ini, tak lebih dari sekedar menjajakan pornografi, dengan tampilan tubuh-tubuh telanjang. Lebih jauh, masuknya Playboy merupakan penjajahan budaya yang tidak bisa dibiarkan. FPI menilai apa yang telah dilakukan Playboy sudah brutal. Karena itu, FPI menyatakan perang terhadap ikon majalah cabul tersebut.75 Sejak

berdiri,

FPI

tidak

jarang

melakukan

aksi-aksi

yang

mengandung unsur kekerasan, pengrusakan ataupun intimidasi (ancaman). Sebagai contoh, pada tanggal 27 Agustus 2001, ratusan massa yang tergabung dalam Gedung

Front Pembela Islam (FPI) berunjuk rasa di depan

DPR/MPR

RI.

Mereka

menuntut

MPR/DPR

74

Bebas

75

Majalah Islam Sabili, edisi no. 21 th. XIII 4 Mei 2006, h. 33.

Lihat Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia http://id.wikipedia.org, Front Pembela Islam, h. 1.

RI

Berbahasa

untuk

Indonesia,

144

mengembalikan

Pancasila

sesuai

dengan

Piagam

Jakarta.

Lalu

pada

tanggal 09 Oktober, FPI membuat keributan dalam aksi demonstrasi di depan

Kedutaan

Amerika

Serikat

dengan

merobohkan

barikade

kawat

berduri dan aparat keamanan menembakkan gas air mata serta meriam air. Pada tanggal 15 Maret 2002, sekitar 300 masa FPI merusak sebuah tempat hiburan, Mekar Jaya Billiard, di Jl. Prof Dr. Satrio No.241, Karet, Jakarta.

Kemudian

pada

tanggal

pekarangan Sekolah Sang Timur

03

Oktober

2004,

FPI

menyerbu

sambil mengacung-acungkan senjata dan

memerintahkan para suster agar menutup gereja dan sekolah Sang Timur. Front Pembela Islam (FPI) menuduh orang-orang Katolik agama Katolik karena mereka mempergunakan

menyebarkan

ruang olahraga sekolah

sebagai gereja sementara dan hal itu telah berjalan selama sepuluh tahun. Selain itu, masih banyak lagi tindakan-tindakan anarkis lainnya yang telah dilakukan FPI.76 Dalam hal ini, FPI memposisikan dirinya sebagai pengemban amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana telah dijelaskan pada latar belakang masalah, pengemban amar makruf nahi mungkar adalah sekelompok orang yang

memiliki

perhatian

mungkar.

Keberadaan

keharusan

dalam

khusus

kelompok

masyarakat

terhadap orang

Islam,

tugas

seperti

karena

amar ini

meskipun

makruf

nahi

merupakan

satu

pada

hakekatnya

amar makruf nahi mungkar wajib hukumnya bagi setiap Muslim, sesuai dengan kemampuan masing-masing, akan tetapi seperti yang dikatakan oleh Ibn Katsîr ketika menafsirkan firman Allah pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 104, harus ada sekelompok orang dari umat ini yang mau menekuni

76

Lihat Situs Kaum Kiri Indonesia, http://www.rumahkiri.org.

145

bidang amar makruf nahi mungkar.77 Sebagai

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar,

FPI

telah

memperlihatkan salah satu karakteristik khusus pengemban amar makruf nahi mungkar yaitu memiliki semangat juang, sebuah karakteristik yang disimpulkan dari lafazh al-sâ`ihûn yang terdapat pada Q.S. al-Taubah (9): 112.

Menurut

hemat

penulis,

anggota-anggota

FPI

memiliki

semangat

juang yang tinggi, dan hal ini tercermin pada banyaknya aksi-aksi amar makruf

nahi

mungkar

yang

mereka

lakukan

sejak

awal

pendiriannya

hingga sekarang78. Mereka cepat memberikan respon bila ada sesuatu yang dianggap sampai

mereka

sebagai

kemungkaran

kemungkaran.

itu

merajalela

Mereka

ke

tidak

seluruh

mau

lapisan

menunggu masyarakat.

Semangat juang anggota-anggota FPI juga ditunjukkan dengan melakukan berbagai

aksi

kemanusiaan

bencana tsunami di Aceh.

antara

lain

pengiriman

relawan

ke daerah

79

Tetapi semangat juang yang tinggi ini tidak cukup bila tidak dibarengi dengan

karakteristik khusus lainnya yaitu menjaga nilai-nilai

akhlak.

Menurut

penulis,

menjaga

nilai-nilai

akhlak

FPI ini

kurang

karena

memperhatikan

dalam

mengemban

karakteristik tugas

amar

makruf nahi mungkar, FPI sering melakukan tindakan kekerasan atau anarkis.

Menurut

Habib

Rizieq,

Ketua

FPI,

tindakan-tindakan

anarkis

seperti itu disebabkan karena adanya "komunikasi yang tersumbat" dan 77 Ibn Kastîr, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, (Beirut: al-Maktabah al-'Ashriyyah, 2002), jilid 1, h. 342. 78 Untuk mengetahui lebih rinci tentang aksi-aksi FPI, lihat Situs Kaum Kiri Indonesia, http://www.rumahkiri.org. 79 Lihat Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia http://id.wikipedia.org, Front Pembela Islam, h. 2.

Bebas

Berbahasa

Indonesia,

146

"letupan

psikologis"

dari

ketidakberdayaan

hukum

di

Indonesia

dalam

menegakkan

amar

80

memberantas kemaksiatan. Apapun makruf

alasannya,

tindakan

anarkis

nahi mungkar tidak dapat

dalam

dibenarkan,

karena ia

bertentangan

dengan karakteristik pengemban amar makruf nahi mungkar lainnya yaitu menjaga nilai-nilai akhlak. Pengemban amar makruf nahi mungkar harus tetap menjaga nilai-nilai akhlak ketika sedang menjalankan tugas mulia tersebut.

Mereka

tidak

boleh

bersikap

gegabah,

emosional

dan

tidak

mudah terprovokasi, terutama ketika aspirasi mereka tidak didengarkan atau

ketika

digubris.

amar

Dalam

makruf kondisi

nahi

mungkar

yang

mereka

apapun,

mereka

harus

tetap

lakukan bersabar

tidak sesuai

dengan firman Allah dalam Q.S. Luqmân (31): 17 dan harus bersikap legowo sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-A'râf (7): 199, seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan tentang karakteristik khusus. Dalam konteks

masyarakat

Indonesia,

agar

sebuah

organisasi



apapun namanya- dapat tetap menjaga nilai-nilai akhlak sehingga tidak melakukan

tindakan-tindakan

didengarkan lakukan

tidak

dilakukan, bekerja

atau

sama

meskipun

digubris,

seperti

anarkis amar

ada

dengan

dengan

meskipun

makruf

beberapa

nahi

langkah

memberdayakan

penegak

hukum,

aspirasi

mereka

mungkar

yang mereka

alternatif

wakil

yang

rakyat

menempuh

jalur

tidak

dapat

(legislatif), hukum,

atau

dengan langkah-langkah positif lainnya. Menurut hemat penulis, langkahlangkah

tersebut

tindakan

anarkis.

menambah 80

harum

jauh

lebih

baik daripada

Sebab,

di

samping

citra

agama

Islam

harus melakukan tindakan-

langkah-langkah di

mata

tersebut

masyarakat

Majalah Islam Sabili, edisi no. 21 th. XIII 4 Mei 2006, h. 44.

akan

Indonesia

147

khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya, serta citra para anggota organisasi tersebut sebagai pengemban amar makruf nahi mungkar, negara Indonesia adalah negara hukum sehingga tidak ada seorang pun atau satu organisasi

pun

yang

dibolehkan

untuk

menggunakan kekerasan fisik, apapun alasannya.

main

hakim

sendiri

dengan

148

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Amar makruf nahi mungkar merupakan sebuah tugas mulia dan satu amaliah yang telah disepakati kewajibannya oleh para ulama, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan mereka apakah ia termasuk fardhu 'ain ataukah fardhu kifâyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum amar makruf nahi mungkar adalah fardhu 'ain karena huruf min pada Q.S. Âli 'Imrân (3): 104 adalah min bayâniyyah (sebagai penjelas saja), sementara sebagian

ulama yang lain

berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu

kifâyah karena huruf min pada ayat tersebut adalah min li al-tab'îdh (menunjukkan arti sebagian). Karena begitu mulia dan pentingnya amar makruf nahi mungkar dalam kehidupan bermasyarakat, maka al-Qur`an pun memberikan perhatian khusus terhadapnya. Ada sekitar 18 ayat dalam al-Qur`an yang secara tegas menyebutkan lafazh amar makruf nahi mungkar dalam berbagai derivasi dan ragam frasenya. Dari penafsiran terhadap ayat-ayat tersebut diketahui bahwa amar makruf nahi mungkar menurut al-Qur`an adalah menyuruh orang lain melakukan

sesuatu

yang

dipandang

baik

oleh

akal

dan

syariat

serta

mencegahnya dari sesuatu yang dipandang buruk oleh keduanya. Selain itu, dari pemahaman terhadap ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa amar makruf

dan

dipisahkan,

nahi

mungkar

karena

dalam

merupakan amar

mungkar, demikian pula sebaliknya.

satu

makruf

kesatuan terkandung

yang tidak

dapat

pengertian

nahi

149

Selanjutnya, penulis menemukan bahwa harus ada kelompok yang memfokuskan perhatiannya pada tugas amar makruf nahi mungkar. Mereka disebut dengan istilah pengemban amar makruf nahi mungkar. Penulis juga menemukan

bahwa

ada

karakteristik-karakteristik

tertentu

yang

perlu

dimiliki oleh pengemban amar makruf nahi mungkar, yaitu: Karakteristik umum yang terdiri dari: beriman kepada Allah dan hal-hal lain yang wajib diimani serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya; Kemudian karakteristik khusus yang meliputi: menjaga nilai-nilai akhlak, bertaubat, selalu memuji Allah,

memiliki

melakukan sehingga

semangat

kebajikan. dapat

jihad

atau

semangat

Karakteristik-karakteristik

menjadi

pedoman

bagi

juang ini

dan perlu

orang-orang

bersegera diketahui

yang

ingin

berkecimpung secara khusus dalam bidang amar makruf nahi mungkar. Bila para

pengemban

amar

makruf

nahi

mungkar

benar-benar

memiliki

karakteristik-karakteristik seperti itu, maka amar makruf nahi mungkar yang merupakan control system dalam masyarakat dapat berjalan secara optimal dan sesuai harapan. Di sisi lain, para pengemban amar makruf nahi mungkar tersebut benar-benar akan menjadi unsur utama pembentuk khair ummah seperti yang disebutkan dalam Q.S. Âli ‘Imrân (3): 110.

B. Saran-Saran Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan di akhir tesis ini: 1. Tema tentang amar makruf nahi mungkar merupakan tema penting. Oleh karena

itu,

maka

perlu

dilakukan

penelitian

lapangan

yang

lebih

komprehensif dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengamalan amar makruf nahi mungkar dalam masyarakat, baik dalam lingkungan

keluarga,

lingkungan

sekitar

ataupun

negara.

Penelitian

150

lanjutan

juga

pengamalan

diharapkan pengemban

untuk

mengetahui

amar

makruf

seberapa

nahi

besar

mungkar

tingkat terhadap

karakteristik-karakteristik yang semestinya dimiliki mereka. 2. Mengingat

penelitian-penelitian

tentang

amar

makruf

nahi

mungkar

masih tergolong minim, maka penulis juga menyarankan agar penelitianpenelitian tentang amar makruf nahi mungkar lebih digalakkan lagi, baik dari tinjauan tafsir, hadis maupun dakwah, terutama tentang peran amar makruf

nahi

negara ideal.

mungkar

dalam

membentuk

keluarga,

masyarakat

dan

Fatkhurozi_Amar Ma'ruf Nahi Munkar Dalam al-Qur'an.pdf ...

Fatkhurozi. Page 3 of 178. Fatkhurozi_Amar Ma'ruf Nahi Munkar Dalam al-Qur'an.pdf. Fatkhurozi_Amar Ma'ruf Nahi Munkar Dalam al-Qur'an.pdf. Open. Extract.

1MB Sizes 4 Downloads 253 Views

Recommend Documents

DALAM KOTA.pdf
16 31470036 ALVITA SAFFA HADIAN SMP NASIONAL 1. 17 31101067 DIMAS ARYAPUTRA SMP ISLAM AL-FAJAR. 18 31430125 HADID AHMAD GHIFARI ...

Muhammad Rusydi Sahabuddin_Hijrah dalam Perspektif al-Quran.pdf ...
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Muhammad ...

Menjadi-Kaya-Dalam-40-Hari.pdf
Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Menjadi-Kaya-Dalam-40-Hari.pdf. Menjadi-Kaya-Dalam-40-Hari.pdf. Open.

teknik-permainan-dalam-bimbingan-kelompok-untuk-meningkatkan ...
Try one of the apps below to open or edit this item. teknik-permainan-dalam-bimbingan-kelompok-untuk-meningkatkan-percaya-diri-siswa.pdf.

DALAM PERSEKITARAN KATA-KATA.pdf
(e) Penggunaan kata ganda. Buktinya, Engkau beri kami kata-kata. menjelajah pulau-pulau, dan berlabuh. di pantai-pantai semenanjung. Kata-kata yang ...

ICT DALAM PDP.pdf
Lampiran. Kandungan. Page 3 of 39. ICT DALAM PDP.pdf. ICT DALAM PDP.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu. Displaying ICT DALAM PDP.pdf.

Watch Hyancha kahi nem nahi (2007) Full Movie Online Free ...
Watch Hyancha kahi nem nahi (2007) Full Movie Online Free .MP4________.pdf. Watch Hyancha kahi nem nahi (2007) Full Movie Online Free .MP4________.

Watch Punjab Nahi Jaungi (2017) Full Movie Online Free ...
24 1805000098 ANIL KUMAR PATEL 01/07/1990 Mysuru. 25 1805000101 KARANI DEVA KUMAR 15/06/1988 Mysuru. 26 1805000107 ... Page 3 of 15. Watch Punjab Nahi Jaungi (2017) Full Movie Online Free .Mp4___________.pdf. Watch Punjab Nahi Jaungi (2017) Full Movi

utsah and at nahi rahi hai.pdf
vkSj Økafr psruk dks laHko djus okyk HkhA dfo thou dks O;kid vkSj lexz n`f"V. ls ns[krk gSA dfork esa yfyr dYiuk vkSj Økafr&psruk nksuksa gSaA lkekftd Økafr.

Bab-3-Ilmu-Gerak-Dan-Ilmu-Pendukung-Dalam-Pendidikan-Jasmani ...
... jarak, kecepatan, serta aliran. gerak. Page 3 of 51. Bab-3-Ilmu-Gerak-Dan-Ilmu-Pendukung-Dalam-Pendidikan-Jasmani-Olahraga-Dan-Kesehatan.pdf.

Benny Hifdul Fawaid_al-Balad Dalam al-Quran.pdf
Benny Hifdul Fawaid_al-Balad Dalam al-Quran.pdf. Benny Hifdul Fawaid_al-Balad Dalam al-Quran.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In. Main menu.

percepatan-rezeki-dalam-40-hari-dengan-otak-kanan.pdf
percepatan-rezeki-dalam-40-hari-dengan-otak-kanan.pdf. percepatan-rezeki-dalam-40-hari-dengan-otak-kanan.pdf. Open. Extract. Open with. Sign In.

122. Roh Dalam Keraton.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. 122. Roh Dalam ...

File 42 Ran Dalam Bahaya.pdf
Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. File 42 Ran Dalam Bahaya.pdf. File 42 Ran Dalam Bahaya.pdf.

Faidatin_Sumpah Allah dalam al-Quran.pdf
Jakarta, 14 April 2007. ( Faidatin Askan ). Page 3 of 173. Faidatin_Sumpah Allah dalam al-Quran.pdf. Faidatin_Sumpah Allah dalam al-Quran.pdf. Open. Extract.

DALAM PERSEKITARAN KATA-KATA.pdf
menggunakannya dalam pertuturan di mana-mana sahaja dan pada bila-bila masa. RANGKAP 3. Penulis berkata bahawa bahasa menjadikan sesuatu bangsa ...

Imran N Hosein - Jerusalem dalam Al-Quran (Bahasa Indonesia).pdf ...
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item. Imran N Hosein ...

Modul TKJ-19 Mengadministrasi-Server-Dalam-Jaringan.pdf ...
Sign in. Page. 1. /. 72. Loading… Page 1 of 72. SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN. BIDANG KEAHLIAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI.

Maxsi - Implementasi ICT dalam Pend dan e-business - 11 Feb ...
Mobile Phone, Email, MP3 Player dan lain-lain. Page 4 of 27. Maxsi - Implementasi ICT dalam Pend dan e-business - 11 Feb 2016.pdf. Maxsi - Implementasi ...

Irfan Sidqon_Kolokasi dalam al-Qur`an .pdf
Jakarta, Juli 2009. Pembimbing,. Dr. Ahmad Dardiri, MA. Page 3 of 15. Irfan Sidqon_Kolokasi dalam al-Qur`an .pdf. Irfan Sidqon_Kolokasi dalam al-Qur`an .pdf.

Ratno Ghani_Konsep Dhalal dalam al-Quran.pdf
There was a problem previewing this document. Retrying... Download. Connect more apps... Try one of the apps below to open or edit this item.

sistem-persamaan-linear-dua-variabel-dan-dalam-kehidupan-sehari ...
sistem-persamaan-linear-dua-variabel-dan-dalam-kehidupan-sehari-hari.pdf. sistem-persamaan-linear-dua-variabel-dan-dalam-kehidupan-sehari-hari.pdf.